Anda di halaman 1dari 26

Pengantar

Farmakoepidemiologi
Defenisi
 Ilmu yang mempelajari tentang penggunaan
obat dan efeknya pada sejumlah besar
manusia (Strom B.L)
 Sebagai aplikasi latar belakang, metode dan
pengetahuan apidemiologik untuk mempelajari
penggunaan dan efek obat dalam populasi
manusia (Porta dan Hartzema)
Farmakoepidemiologi vs Farmakologi

 Farmakologi :ilmu yang mempelajari efek obat


 Farmakologi klinik adalah ilmu yang
mempelajari efek obat pada tubuh manusia
 Farmakoepidemiologi : menjembatani antara
ilmu farmakologi dan farmakologi klinik
Farmakoepidemiologi vs Farmakologi
klinik
 Tujuan utama farmakologi klinik

Terapi secara individual membutuhkan


rasio keuntungan/resiko yg spesifik
untuk tiap pasien. Diantisipasi bahwa
Untuk mengoptimalkan
status klinis pasien dpt mempengaruhi
penggunaan obat
hasil terapi

Farmakoepidemiologi berguna untuk Memberikan informasi tentang efek


Merugikan dan menguntungkan dari Obat, sehingga memungkinkan
Penilaian yg lebih baik tentang Keseimbangan rasio resiko/keuntungan
Dari penggunaan obat pd pasien tertentu
Farmakoepidemiologi vs Epidemiologi

 Epidemiologi : studi tentang distribusi dan faktor


penentu penyakit dalam populasi
 Farmakoepidemiologi : mempelajari penggunaan dan
efek obat pada sejumlah besar manusia, sehingga dapat
dikatakan farmakoepidemiologi adalah cabang ilmu
epidemiologi
 Farmakoepidemiologi menjembatani antara
farmakologi klinik dengan epidemiologi
 Farmakoepidemiologi mengaplikasi metode
epidemiologi dalam area farmakologiklinis
Farmakopidemiologi juga berarti aplikasi dari ilmu epidemiologi;
metode dan alasan untuk mengetahui kemanfaatan (benefit) dan
juga adverse (kejadian yang tak dikehendaki) dari suatu obat pada
populasi manusia.

Tujuan dari farmakoepidemiologi :


Mengawasi, mengontrol, dan memprediksi obat-obat yg digunakan pada treatment
Farmakologi pada waktu, tempat dan populasi tertentu
Sehingga diperoleh info mengenai : efikasi, savety dan ekonomi suatu obat
Latar belakang sejarah
 Regulasi obat bertujuan menjamin hanya obat yg
efektif dan aman yg tersedia dipasaran

Tahun 1937 lebih dari 100 orang meninggal karena gagal ginjal
Akibat eliksir sulfonilamid yg dilarutkan dlm etilenglikol

Memicu diwajibkannya uji toksisitas praklinis untuk pertama kali.


Industri diwajibkan melaporkan data klinis tentang keamanan obat
Sebelum dipasarkan
1950-an ditemukan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastis

1952 pertama kali diterbitkan buku tentang efek samping obat

1960 dimulai program MESO (monitoring efek samping obat)

1961 bencana thalidomid, hipnotik lemah tanpa efek samping dibandingkan


Golongannya, namun ternyata menyebabkan cacat janin. Studi epidemiologi
In utero memastikan penyebabnya adalah thalidomid, sehingga dinyatakan
Thalidomide ditarik dari peredaran karena bersifat teratogen
Tahun 1962, diperketat harus dilakukannya uji toksisitas sebelum diuji pd manusia

1970-an hingga 1990-an mulai banyak dilaporkan kasus/kejadian efek samping


Obat yg sudah lama beredar

1970-an klioquinol dilaporkan menyebabkan neuropati subakut mielo-optik.


Efek samping ini baru diketahui setelah 40 tahun digunakan

Dietilstilbestrol diketahui menyebabkan adenocarcinoma serviks dan vagina


(setelah 20 thn digunakan secara luas)

1990-an dimulai penggunaan farmakoepidemiologi untuk mempelajari efek


obat Yang menguntungkan, aplikasi ekonomi kesehatan untuk studi efek obat,
studi Kualitas hidup dll

1996 dikeluarkan Guidelines for Good Epidemiology Practices for Drug, Divice
And Vaccine Research di USA
Regulasi Perijinan Obat Baru
(perijinan obat baru hrs melewati uji praklinis (hewan coba)
dan uji klinis)

 Fase 1. Uji fase 1 dilakukan terhadap probandus


sehat, kecuali untuk sitotoksik. Uji ini bertujuan
untuk menentukan metabolisme obat, mencari
rentang dosis aman, mengidentifikasi reaksi toksik
 Fase II. Uji fase II dilakukan terhadap sejumlah kecil
pasien. Uji ini bertujuan untuk mendapatkan lebih
banyak informasi farmakokinetika, efek samping
relatif, informasi efikasi obat, penentuan dosis
harian dan regimen
 Fase III. Uji fase III dilakukan terhadap sejumlah
besar pasien 500-3000. Uji ini bertujuan untuk
evaluasi efikasi dan toksisitas obat, umumnya
desain penelitian yang digunakan adalah randomize
clinical trial
Ruang lingkup farmakoepidemiologi
(farmakoepidemiologi dpt menjawab pertanyaan terkait obat sbb):

 Long term effect. Farmakoepid dpt meninjau obat-


obat yg efeknya jangka panjang, contohnya kaitan
antara estrogen dengan kanker endometrium
 Low Frequency effect. Farmakoepid dpt meninjau
obat-obat yg angka kejadiannya sangat jarang, bisa
ditemui pd populasi yg sgt besar, contoh :
fenilbutazon dan kaitannya dgn anemia aplastik,
klindamisin dengan colitis dan halotan dengan
jaundice
 Effectiveness in Costumary Practice. Farmakoepid dpt
meninjau bagaimana penggunaan obat pada pasien anak-
anak , pasien ibu hamil, rawat jalan,pasien emergency.Perlu
tidaknya upgrading tenaga kesehatan
 Efficecy in new Indication. Pd studi farmakoepid dpt
ditemukan indikasi baru dari indikasi yg diapprove. Baru
ketahuan ternyata obat tersebut efektif juga untuk indikasi
lain. Contohnya propanolol untuk antihipertensi, captopril
untuk reumatik athritis, amantadin untuk mabok jalanan yg
sebelumnya untuk parkinson, gabapentin untuk neuropati
dsb`
 Secondary effect. Farmakoepid dapat
meninjau bagaimana efek kedua obat bagi
pasien
 Modifier of Efficacy. Farmakoepid dpt meninjau
bagaimana jika satu obat dikombinasi dgn obat
lain,apakah akan menimbulkan sinergsi atau
tidak
Kontribusi Farmakoepidemiologi
Memberikan informasi yang mendukung data yg telah
didapat pada studi pra-marketing :
 Hasil studi farmakoepid mempunyai presisi lebih tinggi
 Hasil studi farmakoepid dpt menunjukkan data pd pasien
yg tidak menjadi objek studi pra-marketing (anak,
geriatri,ibu hamil dll
 Studi farmakoepid dpt menunjukkan hasil modifikasi krn
pemakaian obat lain (interaksi obat) atau adanya penyakit
lain
 Studi farmakoepid dpt menunjukkan keamanan relatif
terhadap obat lain dengan indikasi sama
 Memberikan informasi baru yang belum didapat dari
studi pra-marketing, meliputi :
‒ Penemuan efek samping dan efek
menguntungkan yang tidak terdeteksi
sebelumnya (efek tidak biasa dan efek tertunda)
‒ Informasi pola pemakaian obat
‒ Informasi efek overdosis obat
‒ Implikasi ekonomis dari pemakaian obat
 Kontribusi umum Farmakoepidemiologi:
– Reasuransi keamanan obat
– Pemenuhan kewajiban etik dan legal
Manfaat studi Farmakoepidemiologi
diklasifikasikan dalam konsep:
 Peraturan/Kebijakan
‒ Sebuah rancangan untuk studi farmakoepidemiologi
postmarketing dibutuhkan sebelum obat disetujui untuk
dipasarkan. Sebagian besar studi yang dibutuhkan
berupa uji klinik acak, yang dirancang untuk klarifikasi
efikasi obat dan toksisitas obat. Studi post marketing
dilakukan untuk merespon laporan efek samping obat.
Studi ini akan menyelidiki apakah efek samping ini
terjadi lebih sering pada subjek terpapar obat dari pada
yang tidak menggunakan, serta berapa besar resiko
peningkatan efek samping.
 Pemasaran
‒ Untuk membantu perluasan pemasaran dengan
dokumentasi keamanan obat. Karena keterbatasan
informasi yang tersedia tentang efek suatu obat baru,
umumnya dokter ragu-ragu untuk meresepkan obat
baru, hingga mulai banyak dilaporkan tentang efikasi
dan keamanan obat tersebut. Studi post marketing
formal yang melaporkan keuntungan dan kerugian
obat ini dibanding kompetitornya dapat
mempercepat meluasnya pemasaran suatu obat.
‒ Untuk meningkatkan pengakuan merk
 Untuk membantu penetapan kriteria baru terhadap
obat. Penetapan kriteria baru terhadap obat meliputi
membuka pasar baru, alternatif penggunaan (misal
untuk anak atau geriatri), indikasi baru, mengurangi
pembatasan label.

 Untuk menjaga bertahannya obat di pasar.


Kegagalan menjawab pertanyaan akan efek
samping suatu obat dapat mengakibatkan
kehilangan pasar bahkan penarikan obat. Hal ini
dapat antisipasi dengan studi farmakoepidemiologi.
Contoh :
• Pfizer tidak pernah mendanai studi untuk mengantisipasi
pertanyaan bahwa Piroxicam (Feldene) lebih beresiko
menyebabkan kematian akibat perdarahan saluran cerna pada
lansia dibanding NSAID lain, namun saat itu sudah banyak studi
farmakoepidemiologi tentang keamanan Piroxicam, sehingga
Feldene bisa diselamatkan pemasarannya.
• Namun McNeil, saat muncul pertanyaan tentang reaksi
anafilaksis yang disebabkan zomepirac, tidak mampu
menyediakan data yang menyatakan keamanan obat tersebut,
akhirnya obat ditarik dari peredaran.
• Syntex, saat launching ketorolac parenteral, langsung melakukan
studi cohort postmarketing. Saat dilaporkan ada beberapa efek
samping, hasil studi cohort telah selesai dan segera dipublikasi
sehingga menyelamatkan obat dari pasar.
Legalitas
• Semua obat mempunyai efek samping. Keputusan obat
disetujui untuk dipasarkan dan keputusan dokter untuk
meresepkan tergantung pada keseimbangan antara
keuntungan dan resiko obat. Bila mengalami efek merugikan
akibat pemakaian obat, konsumen dapat mengajukan gugatan
di peradilan, namun harus bisa membuktikan penyebab,
kerusakan dan bukti telah terjadi kelalaian.
• Menghadapi tuduhan pengadilan akan efek merugikan obat,
perusahaan tidak bisa mengelak bila semua hal di atas dapat
dibuktikan. Untuk membuktikan bahwa memang obat dapat
menyebabkan efek samping di atas bila digunakan dengan
benar, bukan dari kelalaian pengguna, pabrik dapat
melakukan studi farmakoepidemiologi. Studi ini juga dapat
melindungi pabrik dari tuduhan tanpa dasar.
 Klinis
‒ Uji hipotesis
Tujuan utama dari sebagian besar studi farmakoepidemiologi
adalah untuk uji hipotesis. Hipotesis dapat diuji berdasarkan kelas
struktur kimia suatu obat.
Contoh:
Studi terhadap cimetidin dilakukan karena cimetidn
mempunyai kesamaan struktur dengan metiamide,
yang telah ditarik dari peredaran karena
menyebabkan agranulositosis.
Hipotesis juga dapat didasarkan temuan studi pre
marketing dan postmarketing baik dengan hewan coba
maupun uji klinis. Bila suatu obat memang
menyebabkan efek samping, uji hipotesis juga bisa
dilakukan untuk menghitung frekuensi kejadian efek
samping.
– Studi penyusunan hipotesis, dibutuhkan
berdasarkan:
Pada prinsipnya semua obat membutuhkan studi ini, namun
diprioritaskan pada obat yang lebih penting untuk dipelajari. Contoh :
senyawa kimia baru lebih perlu diuji dibandingkan “mee too product”,
karena belum adanya data-data keamanan senyawa yang sejenis
sehingga obat baru lebih berpeluang menimbulkan efek samping.
Profil keamanan suatu kelas obat juga merupakan pertimbangan
penting untuk memutuskan perlunya dilakukan studi postmarketing**
obat baru dari kelas yang sama. Profil dari obat lama dari kelas yang
sama dapat digunakan untuk memprediksi profil obat baru. Formulasi
obat dapat menjadi pertimbangan perluya dilakukan studi
farmakoepidemiologi formal.
** Post marketing surveylance (PMS) : yg berhubungan dgn ROTD
sangat dianjurkan untuk mengatasi kesenjangan antara hasil uji
klinik dengan kondisi kenyataan
 Penyakit yang kan diterapi juga merupakan pertimbangan perlu
tidaknya studi postmarketing dilakukan. Obat yang digunakan
untuk terapi penyakit kronis akan digunakan dalam jangka
panjang, sehingga diperlukan studi efek samping jangka
panjang.

 Juga obat yang digunakan untuk terapi penyakit umum perlu


d iuji, karena banyaknya pasien yang akan menggunakan
obat ini. Obat yang digunakan untuk terapi penyakit yang
self-limited, karena toksisitas serius tidak bisa diterima.

 Terutama obat yang digunakan oleh individu sehat, seperti


kontrasepsi oral. Orang dengan penyakit ringan tapi
menggunakan obat untuk penyakit parah, dapat lebih rendah
toleransinya terhadap toksisitas. Penting juga untuk melihat
adanya alternatif terapi, sehingga dibandingkan keuntungan
dan resiko obat baru dengan obat yang sudah biasa
digunakan.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai