PERTEMUAN 11
CIRI SEBUAH PROFIL
Sore itu, pria yang dulu selalu mengenakan baju dan celana putih serta mengendarai VW kodok
berwarna putih, hanya mengenakan sarung dan baju piyama. Jalannya tidak lagi tegak, agak
bongkok, dan sering bersin-bersin.
“Inilah hasil pendidikan kita. Manusia terdidik tidak bisa lagi menghargai alam, membuat udara
kotor. Saya yang terkena dampaknya, bangkis-bangkis,” kata empu Pendidikan Indonesia, Prof. Dr.
R. Slamet Iman Santoso membuka pembicaraan.
Slamet lahir di Desa Kejajar, Gunung Dieng, Jawa Tengah, 7 September 1907, dari ayah R.
Baroen Soerodiputro (seorang mantri polisi) dan ibu Oeminah. Pria kritis yang tahun ini genap
berusia 90 tahun mengaku punya enam saudara. Dari enam saudaranya, empat meninggal.
Bila menonton teve, Alif ikut mendampingi anak-anaknya. “Pantangan bila ada anak
yang minggat dari rumah karena menemui masalah,” ujar Afif. “Keluarga saya biasa-biasa
saja seperti keluarga lain, tidak ada yang istimewa. Namun alhamdulillah perilaku mereka
baik-baik dan jarang terkena penyakit,” timpalnya merendah.
CONTOH 2:
Meskipun Afif sangat ramah dan sering merendah, dalam masalah-masalah prinsip ia
tidak pernah mengenal kata kompromi. Menurut salah seorang mantan mahasiswanya,
Saeful, “Pak Afif sangat konsisten memegang prinsip”.
PIJAR SEMANGAT SANG PELOPOR
Dia memilih bidang ini ketika belum ada yang menyentuhnya. Kini, dia tetap konsisten berkarya, meski
lembaga serupa sudah tumbuh di mana-mana.
Siang itu, kantor Yayasan Hotline Surabaya di Kompleks Departemen Kesehatan Surabaya, Jawa Timur,
tampak lengang. Hanya ada dua orang staf wanita yang sedang bekerja di depan komputer. Tiga ruangan di
dalam kantor itu tampak penuh dengan berbagai berkas. Tak sampai dua menit kemudian, Esthi Susanti
Hudiono, direktur eksekutif yayasan itu muncul. Di balik wajahnya yang lembut dan perawakannya yang
mungil, ternyata tersimpan kegigihan luar biasa untuk memerangi HIV/AIDS, sekaligus mendampingi para
pekerja seks komersial (PSK) yang berisiko tinggi terkena penyakit mematikan itu.
Sudah lebih dari 18 tahun Esthi bergelut di dunia itu. Padahal, selepas kuliah di sebuah universitas swasta
di Salatiga, Jawa Tengah, tak pernah terbersit sedikit pun pikiran bahwa dia akan menjadi aktivis yang gencar
mengampanyekan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Sebagai lulusan terbaik dalam angkatannya di
fakultas keguruan, dia bekerja menjadi guru bimbingan dan penyuluhan di sebuah SMA swasta di Surabaya.
“Saya tidak terlalu menikmati pekerjaan itu,” jelasnya. “Saya hanya dianggap sebagai alat pelengkap dan
tidak pernah didengar usul serta suaranya.” Pekerjaan itu akhirnya dia tinggalkan dengan berat hati.
Esthi merintis karir sebagai aktivis ketika mengelola biro konsultasi via telepon bernama Hotline di Harian
Surya pada 1989. pekerjaan itu ditawarkan oleh Valens Doy (almarhum), wartawan Kompas yang bertugas di harian
tersebut. Valens ingin program itu menjadi perpanjangan tangan pers, tempat pengaduan bagi masyarakat yang
sedang mempunyai masalah dan tidak tahu harus mengadu ke mana. Latar belakang Esthi sebagai lulusan psikologi
pendidikan dianggap cocok untuk menggawangi program itu.
Perasaaan keadilannya yang kuat semakin terasah ketika dia melihat banyak ketidakadilan yang terjadi pada
masyarakat. “Ada banyak ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat kita,” katanya. “Dan tambahan
lagi, ada standar moral ganda yang diterapkan kepada orang-orang, khususnya yang mengalami masalah dengan
seksualitas, seperti pekerja seksual. Orang-orang tidak mau memberikan bantuan karena takut mengotori hidup
mereka yang suci.”
Meski begitu, dia sempat mengalami kebimbangan, antara meneruskan karier sebagai konseling di media atau
murni menjadi aktivis. Esthi berprinsip, jika bekerja, haruslah total sehingga bisa mencurahkan perhatian penuh
kepada pekerjaan.
Dalam proses timbang-menimbang itulah, dia ditawarkan oleh USAID untuk menangani proyek pencegahan
HIV/AIDS di kalangan PSK di Surabaya pada 1992. Dia bertugas untuk membuat penelitian epidemologi dan
kerentanan HIV/AIDS di lokalisasi Dolly, sekaligus bertujuan menyosialisasi penggunaan kondom. Program itulah
yang merupakan cikal bakal Yayasan Hotline Surabaya. Saat itu, masih sedikit yayasan dan orang yang mau bergerak
di bidang itu. “Saya pikir, tugasnya tidak terlalu berat,” Esthi mengenang. “Tetapi ternyata susah sekali.”
Menurut Esthi, tidak mudah meraih kepercayaan dari para PSK. Mereka banyak mengalami tekanan secara
mental, sehingga mudah lupa dan tidak bisa dipegang komitmen mereka. Tambahan lagi, Esthi harus
berhadapan dengan para mucikari dan pelanggan, yang ternyata memegang kontrol kehidupan para PSK
tersebut. Banyak PSK yang tidak bisa membujuk pelanggan mereka untuk memakai kondom, dan akhirnya
menurut begitu saja karena tidak mau kehilangan mata pencaharian. “Harusnya saya membuat penyuluhan buat
pelanggan juga,” katanya.
Untuk memudahkan kampanye, Esthi lalu membeli rumah untuk dijadikan wisma lapangan bagi
yayasannya. Dia pun mengembangkan pendidikan sebaya bagi para PSK. Lewat pendidikan sebaya itu, dia
membagikan pengetahuan tentang pencegahan HIV/AIDS kepada beberapa PSK, yang kemudian akan
menyebarkan kepada teman-teman mereka. Wisma di tengah lokalisasi membuat para staf Yayasan Hotline
lebih mudah memantau gerak dan ritme kerja para PSK.
Tak hanya bergerak di bidang pencegahan HIV/AIDS, Esthi mengembangkan sayap kemanusiaannya untuk
membantu para korban perdangan manusia (human trafficking). Wisma pun dipakai sebagai safe house bagi
para korban perdagangan, sampai keadaan aman dan mereka bisa kembali ke tempat asal mereka. Lagi-lagi,
menurut Esthi, ketimpangan sosial ekonomilah yang menyebabkan semua itu. “Ada korban yang dijanjikan
kerja yang layak di Surabaya, ada pula yang mau diajak pergi hanya dengan diberi sebuah telepon genggam,”
ungkapnya dengan gemas.
Totalitas membuat Esthi tak risih dan canggung untuk bekerja di lingkungan lokalisasi. Tantangan
terbesar justru datang dari para staf. “Banyak staf atau orang tua mereka yang kaget ketika tahu
lingkungan kerja kami adalah lokalisasi. Bagi staf wanita, takut nama anak mereka tercemar,
sedangkan bagi pria, takut tergoda oleh PSK,” katanya. Dan tidak mudah untuk meyakinkan orang-
orang bahwa jika dilakukan dengan sepenuh hati, lokalisasi sama dengan lingkungan kerja lain.
Selain itu, ketiadaan payung hukum, peraturan daerah, menyebabkan kegiatan pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS seperti jalan di tempat. Berbagai upaya dilakukan untuk menggolkan
usulnya tentang payung hukum tersebut, termasuk melobi Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Dinas
Kesehatan Jawa Timur, beberapa ormas dan Komisi D DPRD Jawa Timur. Upayanya tak sia-sia,
aturan itu pun disahkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 5 Tahun 2004 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Keberadaan peraturan itu menjamin ketersediaan
kondom sampai 100% di daerah yang berisiko. “Di sekitar Dolly, kondom bisa diperoleh secara gratis
di berbagai tempat, atau membeli di warung dan apotek di sekitarnya,” kata Esthi. Satu hal yang
masih diperdebatkan di daerah lain, karena khawatir dinilai melegalisasi pelacuran dengan
menyosialisasi penggunaan kondom. Meski demikian, tujuh pemerintah provinsi dan 128 pemerintah
kabupaten/kota mengikuti dengan menerbitkan peraturan daerah serupa.
Gebrakan itu tak ayal mengantarkan Esthi meraih Kartini Award pada April 2010. Penghargaan
itu diberikan oleh Pusat Kajian Wanita Universitas Airlangga kepada Wanita Jawa Timur yang
berprestasi di bidangnya. “Saya pikir penghargaan tersebut tidak terlalu diperlukan jika pemerintah
mau peduli pada masyarakatnya. Bukan hanya mempahlawankan seseorang dengan penghargaan,
tetapi kemudian tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh orang tersebut karena dianggap sudah
ada yang bersusah payah mengerjakan,” jelasnya.
Pembaruan menjadi salah satu kunci dalam upaya pendampingan bagi orang dengan HIV/AIDS
(ODHA). Dia menawarkan metode penyembuhan krisis mental ODHA dengan seni. “Seni akan
membuat orang lebih bergairah menghadapi hidup,” jelasnya. Metode penyembuhan melalui
fotografi sudah dimulai dengan melibatkan dua fotografer profesional untuk mengajar beberapa
ODHA, begitu juga terapi merajut dengan menggagas Kelompok Myra. “Saya bercita-cita untuk
membuat kampung rajut, tempat di mana mereka bisa tinggal, merajut, kemudian menjual hasil
karya mereka,” ujarnya dengan mata berbinar. Semngat yang terus dirawat, tanpa mengenal lelah.