Anda di halaman 1dari 13

TEORI-TEORI HUKUM PIDANA

(strafrechts theorien)
2. Teori-teori hukum pidana (strafrechts theorien)

• Pokok pikiran yang mendorong para penulis Barat (Eropa)


mencetuskan teori-teori hukum pidana, karena mereka berpijak
pada konsep ”mengapa suatu kejahatan harus dikenai hukuman
pidana?” dan ”mengapa alat-alat negara (aparat penegak
hukum: polisi, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan, advokat/pengacara) memiliki hak (wewenang)
untuk memidana seseorang yang melakukan kejahatan?”.
• Pokok pikiran para ahli tersebut di atas sangat filsafati, artinya
membutuhkan jawaban dan kajian yang dalam dengan
menggunakan konsep pikiran yang bersifat filsafat. Hal ini
tentunya tidak mudah, karena mencakupi aspek kajian yang sangat
luas dan mendalam (epistemologi).
(1) Teori Negativisme

• Tokoh terkemuka teori Negativisme adalah Hazewinkel-Suringa,


dan Johanes Huss (1365-1415). Johanes Huss seorang rohani
(gerejawan) di Bohemen (Hussieten), juga sebagai hakim. Inti
teorinya adalah:
1) Bahwa ada anggapan tidak ada hak dari siapapun termasuk
negara untuk memidana seorang penjahat. Oleh karena itu si
penjahat tidak boleh dilawan dan bahwa musuh tidak boleh
dibenci;
2) Mengingkari hak suatu pemerintahan, yang tahu diri sendiri
bersalah terhadap Tuhan, untuk menghukum orang;
3) Hanya Tuhan yang mutlak tepat dapat menjatuhkan pidana
kepada mahluk-mahluknya (Prodjodikoro, 2003: 23).
(2) Teori absolut atau mutlak

• Tokoh terkemuka dari teori absolut adalah Mr. J.M. Van


Bemmelen, Mr. W.F.C. Van Hattum, Leo Polak, Imanuel Kant,
Hegel, Mr. W. Zevenbergen, Mr. R. Kranenburg.
• Inti teori absolut adalah:
1) Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana – tidak boleh tidak
– tanpa tawar menawar.
2) Seorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan.
Tidak melihat apa akibat dari penjatuhan pidana itu bagi si
pelaku. Tidak peduli apakah masyarakat akan menderita rugi
akibat seseorang dipidana (karena ia dermawan), tapi hanya
dilihat ke masa lampau (apa yang telah dilakukan), tidak dilihat
ke masa depan (dampak pidana bagi si pelaku dan masyarakat).
3) Pembalasan (vergelding) atas suatu kejahatan yang ditimpakan
pada korban dan keluarganya, sehingga kepuasan korban dan
keluarganya dapat dirasakan. Kepuasan terhadap pembalasan ini
kemudian menjadi dasar pikiran tentang mutlaknya suatu
hukuman (pemidanaan).
4) Kemutlakan pidana membawa pada konsekwensi akan keinsafan
dan keadilan (rechts bewustzijn) dari sesama warga negara.
5) Kemutlakan pidana sebagai follow-up dari kejahatan, dan sebagai
suatu reaksi keras dari masyarakat dan pemerintah terhadap
suatu kejahatan. (ulasan: Sakura Alfonsus, 2009).
3. Teori Relatif atau Nisbi

• Tokoh terkemuka teori relatif atau nisbi yaitu Zevenbergen, Van


Hamel, Grolman, Van Hatum, Hazewinkel-Suringa, Paul Anselm
Feurbach, Stelzer, Groos, dan Kraus.
• Inti sari teori Relatif atau nisbi adalah:
1) Suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu
pidana. Tidak cukup suatu kejahatan harus dipidana tetapi
perlu dipersoalkan apa perlunya dan manfaatnya suatu pidana
bagi masyarakat atau bagi si penjahat, baik pada saat
dijatuhkannya pidana maupun pada masa yang akan datang.
2) Perlu digariskan/ditetapkan tujuan (doel-theorien) dari pada
pidana, misalnya agar dikemudian hari kejahatan tidak terulang
kembali (prevensi)
3) Prevensi umum (general) dan prevensi khusus (special), bahwa
dengan ancaman akan dipidana dan kemudian dijatuhkannya
pidana orang akan takut melakukan kejahatan.
4) Memperbaiki si penjahat dapat melalui perbaikan yuridis,
perbaikan intelektual, dan perbaikan moral. Perbaikan yuridis
agar si penjahat taat akan peraturan; perbaikan intelektual:
dibangun cara berpikir si penjahat agar ia insaf akan sifat
buruknya; perbaikan moral: mendorong perasaan kesusilaan si
penjahat agar ia menjadi orang bermoral, beraklaq yang tinggi.
5) Ancaman pidana bagi si penjahat merupakan ancaman psikologis
(psychologischedwang) untuk tidak melakukan kejahatan.
Konsekuensi teori Relatif

• Teori relatif lebih menekankan pada tujuan menjatuhkan pidana


bergantung pada kemanfaatannya bagi masyarakat, maka
konsekuensinya adalah:
1) Jika pemidanaan berfungsi sebagai tujuan untuk memperbaiki si
penjahat maka sanksi pidana dan pelaksanaan pidana mutlak
diperlukan, jika tidak maka sanksi pidana dan pelaksanaan
pidana tidak perlu dilakukan.
2) Jika teori relatif tidak diterima, maka harus dicari pengganti
pelaksanaan pidana misalnya melakukan pengawasan terhadap
tindak tanduk si penjahat atau menyerahkan pembinaannya
kepada suatu badan/lembaga swasta atau pemerintah untuk
dilakukan rehabilitasi sosial bagi si penjahat.
4. Teori gabungan (verenigings theorien)

• Tokoh teori gabungan adalah Zevenbergen, Beling, Binding,


Merkel, Van Hattum, Pompe, Hazenwinkel-Suringa, Hugo de
Groot, Taverne.
• Inti sari teorinya adalah:
1. Mengakui pandangan teori absolut dan teori relatif.
2. Perlu adanya unsur pembalasan (vergelding) dalam hukum
pidana, agar memberikan pembelajaran bagi si penjahat dan
kepada masyarakat umum.
3. Dalam pelaksanaan pemidanaan perlu memperhatikan unsur
perbaikan (rehabilitasi sosial) terhadap penjahat sebagai
implementasi atas unsur prevensi umum dan prevensi khusus.
3. Pengaturan tindak pidana dalam KUHP

• Secara umum tindak pidana dalam KUHP di bagi atas dua, yaitu
kejahatan (misdrijven) dari Pasal 104 – 488 KUHP, dan
pelanggaran (overtredingen) dari Pasal 489 – 569 KUHP.
• Pembedaan atas kejahatan dan pelanggaran ini oleh pembuat
undang-undang di Belanda bermaksud agar baik kejahatan
maupun pelanggaran dapat dihukum berdasarkan ketentuan
undang-undang maupun hukum pidana (KUHP).
• Hal ini berarti bahwa kejahatan dan pelanggaran merupakan
perbuatan pidana yang pantas dihukum karena kedua-duanya
menimbulkan akibat yang merugikan orang lain, (tanpa melihat
seberapa besarnya kerugian dimaksud jika diukur dari nilai
materialnya).
• Tentang pembedaan kejahatan dan pelanggaran dapat dilihat
pengaturannya dalam MvT (Memorie van Toelichting) yang ada
dalam Rancangan KUHP Belanda, sbb: ”ada perbuatan-perbuatan
yang oleh hukum, ada yang oleh undang-undang dinyatakan
sebagai suatu tindak pidana. Ada kalanya diadakan ancaman
pidana terhadap suatu perbuatan, yang sudah merupakan
pelanggaran (onrecht) sebelum pembentuk undang-undang
menetapkannya, dan yang kita anggap tidak baik
(onrechtvaarding), meskipun pembuat undang-undang tidak
mengaturnya. Dalam hal ini ada kejahatan yang diatur dan tidak
diatur dalam undang-undang, atau hanya disebut sebagai
pelanggaran oleh undang-undang padahal sesungguhnya sudah
merupakan kejahatan. Oleh karena itu diputuskan oleh pembuat
rancangan KUHP Belanda agar kedua-duanya merupakan tindak
pidana yang diancam dengan hukum pidana”.
• Menurut Wirjono Prodjodikoro, pembedaan atas kejahatan dan
pelanggaran, tidak ada perbedaan yang secara kualitatif tetapi
terbatas pada perbedaan secara kuantitatif, yaitu pada
kejahatan pada umumnya diancam dengan hukuman lebih
berat dari pada pelanggaran, hal ini terjadi jika dilihat dari sifat
lebih berat daripada kejahatan.
• Wirjono Prodjodikoro menegaskan bahwa prinsip yang termuat
dalam KUHP hanya berlaku bagi kejahatan dan tidak bagi
pelanggaran (berlaku secara berlainan), misalnya:
1) Perbuatan percobaan (poging) (Pasal 53 KUHP), dan membantu
(medeplichtigheid) (pasal 55 KUHP) untuk pelanggaran, pada
umumnya tidak merupakan tindak pidana.
2) Tenggang waktu untuk daluarsa (verjaring) bagi kejahatan adalah
lebih panjang daripada bagi pelanggaran.
3) Kemungkinan keharusan adanya pengaduan (klacht) untuk
penuntutan di muka hakim, hanya ada terhadap beberapa
kejahatan, tidak ada terhadap pelanggaran.
4) Peraturan tentang gabungan tidak pidana (samenloop) adalah
berlainan bagi kejahatan dan pelanggaran, (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 35).

• Konsekuensi logis dari adanya pembedaan antara kejahatan dan


pelanggaran ini adalah, ketentuan hukum pidana dalam undang-
undang di luar KUHP harus ditentukan kualifikasi pidananya
apakah kejahatan atau pelanggaran.
• Catatan: kemungkinan tindak pidana akan dimuat dalam
peraturan legislatif di era otonomi daerah, semuanya termasuk
golongan pelanggaran (hukuman ringan).

Anda mungkin juga menyukai