Anda di halaman 1dari 17

Kejahatan dan pelanggaran

mengenai membahayakan
keadaan
Kejahatan dan pelanggaran mengenai membahayakan
keadaan
• Yang dimaksudkan dengan kejahatan dan pelanggaran
mengenai membahayakan keadaan, adalah tindak-tindak
pidana yang termuat dalam KUHP:
1) Titel V Buku II tentang kejahatan terhadap ketertiban umum
2) Titel VI Buku II tentang perkelahian satu lawan satu (Wirjono
Prodjodikoro menyebutnya sebagai perang tanding =
tweegevecht)
3) Titel VII Buku II tentang kejahatan-kejahatan yang
mendatangkan bahaya bagi keamanan umum manusia atau
barang
4) Titel XXIX Buku II tentang kejahatan pelayaran
5) Titel I Buku III tentang pelanggaran terhadap kemanan umum
bagi orang dan barang dan kesehatan umum
6) Titel II Buku III tentang pelanggaran terhadap ketertiban umum
7) Titel IX Buku III tentang pelanggaran dalam pelayaran.
• Wirjono Prodjodikoro memulai pembahasannya mengenai
kejahatan dan pelanggaran mengenai membahayakan keadaan
ini dimulai dari ketentuan Titel VII Buku II tentang kejahatan-
kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum
manusia atau barang, dengan merujuk pada ketentuan Pasal 187
KUHP, yaitu: Barangsiapa dengan sengaja membakar, menjadikan
letusan atau mengakibatkan kebanjiran, dihukum:
1e. Penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika perbuatan itu
dapat mendatangkan bahaya umum bagi barang;
2e. Penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika perbuatan itu
dapat mendatangkan bahaya maut bagi orang lain;
3e. Penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya
dua puluh tahun, jika perbuatan itu dapat mendatangkan
bahaya maut bagi orang lain dan ada orang mati akibat
perbuatan itu.
• Kejahatan dalam Pasal 187 KUHP ini merupakan delik dolus,
yaitu harus dilakukan dengan sengaja. Jika tidak dilakukan
dengan sengaja (karena salahnya), maka orang itu dihukum
menurut Pasal 188 KUHP delik culpa (kelalaian).
• Agar pelaku dapat dihukum, maka perbuatannya itu harus
dapat mendatangkan bahaya umum bagi barang, bahaya maut,
atau bahaya maut bagi orang lain dan ada orang yang mati.
• Catatan: Coba kaji peristiwa Situ Gintung dari Pasal 187 KUHP
ini.
• Bahaya umum bagi barang artinya bahaya bagi barang-barang
kepunyaan dua orang atau lebih atau sejumlah barang kepunyaan
seseorang.
• Peristiwa yang banyak terjadi dalam praktek peradilan di
Indonesia dan dapat dikenakan pasal ini ialah bahwa untuk
membalas dendam, orang sengaja membakar rumah orang lain
dan ada yang rumah itu didirikan sendiri. Kebakaran semacam ini
biasanya menimbulkan bahaya bagi rumah itu sendiri dan bagi
barang lainnya seperti perabotan rumah yang ada di dalamnya.
• Kejadian serupa ini ada di sekitar masyarakat kita, sebut saja
”Roworeke kelabu” (2000 – 2001), ”Ende kelabu” (1998-1999),
Nggawut VS Dimpong Manggarai, Dalo VS Lao Manggarai, dan
masih ada di kabupaten lain.
• Catatan: Pasal manakah yang dipakai oleh aparat penegak
hukum, dalam proses peradilan kasus-kasus tersebut ? Perlu
dilakukan penelitian dan pengkajian.
• Dari ketentuan Pasal 187 KUHP tersebut, maka teranglah apa
yang dimaksudkan dengan perbuatan yang dapat mendatangkan
bahaya umum bagi orang dan barang.
• Dengan demikian, maka perbuatan-perbuatan seperti
menyebabkan kebakaran, peletusan, banjir, menghancurkan atau
merusak bangunan listrik, menghancurkan atau merusak
bangunan lalu lintas umum (darat, laut, dan udara), sarana
navigasi, menenggelamkan kapal atau mendamparkan kapal,
merusak tanda untuk menyelamatkan kapal (mercusuar),
meracuni air dalam sumur (PDAM), menjual makanan yang
membahayakan jiwa atau kesehatan orang, masuk dalam
kategori perbuatan pidana yang dapat mendatangkan bahaya
umum bagi orang dan barang (baca ulasan Wirjono
Prodjodikoro, 2000: 133-146)
• Kejahatan terhadap ketertiban umum sebagaimana diatur dalam
Titel V Buku II yaitu tentang kejahatan terhadap ketertiban umum
yang dalam KUHP diatur dalam Pasal 153 bis yang kemudian
dicabut dan ditempatkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1946.
• Kejahatan yang dimaksudkan dalam Titel V Buku II tersebut
merupakan bahaya bagi kehidupan kemasyarakatan dan
mengganggu tata tertib masyarakat dan stabilitas nasional,
artinya bahwa akibat kejahatan itu tidak ditujukan pada
kepentingan perorangan tetapi kepentingan banyak orang
(kepentingan bangsa dan negara).
• Misalnya ketentuan Pasal 154 KUHP: Barangsiapa di muka umum
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan
terhadap kepala Pemerintah Negara Indonesia, dihukum penjara
selama-lamanya tujuh tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
4.500,-
• Penghinaan terhadap kepala negara oleh seseorang atau
sekelompok orang tertentu (oleh warga negara asing, atau oleh
warga negara Indonesia) akan menimbulkan instabilitas nasional
(kemarahan dari warga negaranya) yang berdampak luas bagi
kepentingan negara terutama hubungan politik luar negeri jika
dilakukan oleh warga negara asing terhadap pemerintah
Indonesia.
• Kejahatan lain yang dapat mengganggu ketertiban umum adalah
kejahatan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 156a KUHP:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun
barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
• Pasal ini ditambahkan ke dalam KUHP berdasarkan ketentuan
Penpres Nomor 1 Tahun 1965 L.N. 1965 Nomor 3, yang isinya
pada pokoknya sebagai berikut:
• Pasal 1: Melarang untuk dengan sengaja di muka umum
menceriterakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan
umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang
dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan dari agama itu; penafsiran
dan kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok ajaran
agama itu.
• Pasal 3: Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 1 di atas, ia
diberi peringatan dan perintahkan untuk menghentikan
perbuatannya itu di dalam suatu keputusan Menteri Agama,
Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Jika yang
melanggar itu suatu organisasi atau aliran kepercayaan, ia oleh
Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama,
Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, dapat dibubarkan
dan dinyatakan sebagai organisasi/aliran terlarang.
• Pasal 4: Jika setelah diadakan tindakan-tindakan sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 di atas ia masih terus melanggar ketentuan
dalam pasal 1 itu, maka orang/anggota atau anggota pengurus dari
organisasi/aliran tersebut dipidana penjara selama-lamanya lima
tahun.
• Makna ketentuan tersebut adalah untuk memberikan jaminan
perlindungan terhadap kebebasan warga negara untuk memeluk
agama tertentu sesuai dengan ajaran agamanya.
• Pasal 182 KUHP Titel VI Buku II mengatur tentang perkelahian
satu lawan satu (duel), yang oleh Wirjono Prodjodikoro
menamakannya sebagai ”perang tanding= tweegevecht, duel”.
• Menurur Wirjono Prodjodikoro, dikatakan sebagai perang tanding
karena berdasarkan sejarahnya yaitu di negara-negara Barat
seperti Eropa, duel itu mempunyai unsur kehormatan pada dua
orang yang bertengkar, dan yang merasa puas dalam rasa
kehormatannya apabila diadakan duel antara dua orang tersebut
dengan menggunakan senjata yang sama dan kekuatan yang
sama.
• Peraturan dalam perang tanding itu harus ada yang menantang
dan ada yang menerima tantangan, kemudian dibantu oleh
beberapa orang, dan saksi-saksi dari masing-masing pihak, untuk
menjaga terjadinya kecurangan.
• Di Eropa, perang tanding ini tidak dikenai hukuman. Tidak lama
berselang di negara-negara lain ada upaya untuk mengurangi
praktek perang tanding itu, lalu kemudian dibuat peraturan yang
agak ketat hingga ada larangan untuk melakukan duel, seperti di
Belanda dan Indonesia, dan pada akhirnya dikenai hukuman
apabila ada yang melakukan duel, (baca pasal 184 KUHP).
• R. Soesilo mengartikan ” tweegevecht, duel” itu sebagai
perkelahian satu lawan satu yang ditempatkan dalam pasal 181 –
186 KUHP.
• Pasal 184 KUHP menyatakan bahwa:
1) Perkelahian satu lawan satu, jika sitersalah tidak melukai
lawannya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan;
2) Barangsiapa melukai lawannya, dihukum penjara selama-lamanya
satu tahun empat bulan;
3) Barangsiapa melukai berat lawannya, dihukum penjara selama-
lamanya empat tahun;
4) Barangsiapa mengambil jiwa lawannya, dihukum penjara selama-
lamanya tujuh tahun atau jika perkelahian satu lawan satu itu
dilakukan dengan perjanjian mati atau hidup, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
• Dalam Komentar Soesilo dalam Pasal 182 KUHP dinyatakan
bahwa: berkelahi satu lawan satu adalah perkelahian dua orang
dengan teratur, dengan tantangan lebih dahulu, sedangkan
tempat, waktu, senjata yang dipakai, siapa-siapa saksinya
ditetapkan terlebih dahulu. Perkelahian semacam ini disebut
duel.
• Perkelahian meskipun antara dua orang, apabila tidak memenuhi
syarat-syarat tersebut, tidak termasuk dalam pasal ini.
• Perbuatan menghasut dan menyampaikan tantangan dalam pasal
ini hanya dapat dihukum apabila perkelahian satu lawan satu itu
betul-betul terjadi.
• Antara Wirjono Prodjodikoro dan R. Soesilo secara berbeda
menterjemahkan ”tweegevecht, duel” walaupun pengertiannya
secara umum mirip sama.
• Istilah ”perang tanding” itu juga digunakan oleh Moljatno, dalam
menerjemahkan pasal 184 KUHP, tetapi pasal itu dinyatakan
dihapus.
• Jika melihat fenomena yang terjadi di dalam masyarakat dewasa
ini dalam mempertahankan haknya atas tanah (tanah hak adat
atau hak individu), perbuatan saling menyerang hingga
membakar rumah (kampung) yang menelan korban jiwa dan
harta benda, menurut hemat saya istlah yang cocok dipakai
adalah perang tanding dari pada perkelahian satu lawan satu.
Karena faktanya adalah dilakukan oleh sekelompok orang
(sekampung) melawan sekelompok orang lain (orang sekampung
lainnya) secara bersama-sama guna mempertahankan prestise
sosialnya.
• Dalam perang tanding antar kampung itu, dikoordinasikan secara
baik/matang oleh warga sekampung, melalui tetua adatnya
seperti merencanakan, menyiapkan berbagai senjata tradisional,
korban jiwa dalam perang tanding itu bukan tujuan, tetapi tujuan
utamanya adalah memperebutkan/mempertahankan tanah hak
adat yang dikuasai oleh orang lain tanpa hak (dahulu para leluhur
melakukannya untuk memperluas wilayah kekuasaan hak adatnya
atas tanah).
• Fenomena tersebut di atas, dibeberapa daerah sudah menjadi
kenyataan dan sudah dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan
akan menjadi permusuhan yang berkepanjangan dalam lingkup
masyarakat tersebut, dan bahkan menimbulkan ketunaan
ekonomis (kemerosotan sosial ekonomi: rumah terbakar, harta
benda lain juga terbakar, anggota keluarga masuk penjara atau
meninggal dunia karena menjadi korban dalam peristiwa itu).
• Pelanggaran mengenai ketertiban umum sebagaimana diatur
dalam Titel II Buku III memuat berbagai tindak pidana yang
bermacam-macam sifatnya, dan agak sulit untuk dimasukan ke
dalam titel-titel lain dari KUHP.
• Pasal 503 KUHP misalnya: Dengan hukuman kurungan selama-
lamanya tiga hari atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 225,-,
dihukum:
1e. barangsiapa membuat ingar (gaduh), diantara orang-orang
tetangga (rumoer of buren gerucht), yang mengakibatkan dapat
mengganggunya ketentraman malam (nachtrust);
2e. membuat ingar di dekat rumah ibadat atau gedung pengadilan
pada waktu dilakukan ibadat atau pemeriksaan perkara.
• Komentar R. Soesilo terhadap pasal 503 KUHP ini adalah:
1) Supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka perbuatan itu
harus dilakukan pada malam hari – waktunya orang tidur (jam
berapa, itu tergantung pada kebiasaan ditempat itu, pada
umumnya sesudah jam 11 malam).
2) Riuh atau ingar = suara riuh yang tidak enak didengar dan
mengganggu seolah-olah diperbuat secara main-main atau
kenakalan.
3) Rumah untuk melakukan ibadat = mesjid, gereja, kelenteng,
biara, candi, dsb. Rumah untuk menjalankan pengadilan =
gedung mahkamah agung, pengadilan tinggi, pengadilan negeri
dsbnya.
• Catatan: bunyi riuh: musik pesta, bunyi mesin perusahaan,
tontonan yang patut, riuh hanya pada waktu sidang pengadilan,
jika tidak sidang, tidak masuk dalam hal yang dilarang dan
diancam dengan pidana pasal 305 KUHP.

Anda mungkin juga menyukai