Anda di halaman 1dari 21

ASAS-ASAS DALAM

HUKUM PERJANJIAN/HUKUM
KONTRAK
Dr. Velliana Tanaya
Pengertian Asas
• Mahadi: asas/prinsip identic dengan kata principle (inggris), principium (latin).
Principium: permulaan; awal; mula; sumber; asas; pangkal; pokok; dasar; sebab.
• Asas/prinsip: sesuatu yang dapat dijadikan alas, dasar, tumpuan, tempat untuk
menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan.
• Principle: sumber yang abadi dan tetap dari banyak hal, aturan atau dasar bagi
tindakan seorang, suatu pernyataan yang dipergunakan untuk menjelaskan suatu
peristiwa.
• George Whitecross: asas adalah
1. Pemikiran, pertimbangan, sebab yang luas atau umum, dan abstrak;
2. Hal yang mendasari norma hukum.
Asas vs Hukum Positif
• Asas bersifat umum dan abstrak sehingga harus dikonkritisasikan
dalam bentuk norma hukum positif apabila ingin digunakan dalam
praktik hukum.
• Asas: abstrak; Hukum Positif: konkrit.
• Asas: asas konsensualisme; Hukum Positif: Pasal 1320 BW
5 Asas Penting dalam Hukum Kontrak
1. Asas Kebebasan Berkontrak
2. Asas Konsensualisme
3. Asas Pacta Sunt Servanda
4. Asas Itikad Baik
5. Asas Kepribadian
Asas Kebebasan Berkontrak
• Freedom of contract; partij autonomi.
• Mengakibatkan system hukum kontrak menjadi terbuka
• Bersifat universal yang merujuk pada adanya kehendak yang bebas
dari setiap orang untuk membuat atau tidak membuat kontrak,
pembatasannya hanyalah untuk kepentingan umum dan di dalam
kontrak harus ada keseimbangan yang wajar.
• Kebebasan ini merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran
hak asasi manusia.
• Pasal 1338 (1) KUHPerd.
• Asas ini memberikan kebebasan untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, serta
4. Menentukan bentuknya perjanjian, tertulis atau lisan.
Latar Belakang Asas Kebebasan Berkontrak
• Adanya paham “individualisme” pada jaman Yunani, dan berkembang pesat
melalui ajaran Thomas Hobbes, Johon Locke, Rosseau.
• Paham individualisme:
“setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya dan
pemerintah tidak boleh intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi)
masyarakat.
• Konsekuensi: golongan yang kuat (ekonomi) berkuasa menguasai golongan yang
lemah (ekonomi).
• Pada akhir abad 19, paham ini pudar karena dianggap tidak mencerminkan
keadilan, dan masyarakat ingin pihak yang lemah untuk lebih dilindungi.
• Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata diberikan kepada para pihak
namun perlu diawasi.
Kesimpulan
• Para pihak bebas untuk membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak
tersebut sepanjang memenuhi:
1. Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
2. Tidak dilarang dalam UU
3. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan
4. Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
•  Dalam perkembangannya ternyata asas kebebasan berkontrak dapat
mendatangkan ketidakadilan, karena asas ini hanya dapat mencapai tujuannya,
yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki
bargaining power yang seimbang.
• Jika salah satu pihak lemah, maka pihak yang memiliki bargaining position
lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain, demi
keuntungan dirinya sendiri.
• Syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan dalam kontrak yang semacam itu
akhirnya akan melanggar aturan-aturan yang adil dan layak. Dalam
perkembangannya asas ini, menimbulkan kepincangan dalam kehidupan
masyarakat, sehingga negara perlu turut campur tangan melakukan
pembatasan terhadap pelaksanaan dari asas kebebasan berkontrak untuk
melindungi pihak yang lemah
•  Fenomena adanya ketidakseimbangan dalam berkontrak dapat dicermati dari
beberapa model kontrak, terutama kontrak-kontrak konsumen dalam bentuk
standar/baku yang didalamnya memuat klausul-klausul yang isinya
(cenderung) berat sebelah.
• Dalam praktik pemberian kredit di lingkungan perbankan, misal terdapat
klausul mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala petunjuk dan
peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur kemudian, atau
klausul yang membebaskan bank dari kerugian nasabah sebagai akibat
tindakan bank.
• Dalam kontrak sewa beli, misalnya terdapat klausul yang berisi kewajiban
pembayaran seluruhnya dan seketika apabila pembeli sewa menunggak
pembayaran dua kali berturut-turut.
• Dalam kontrak jual-beli, misalnya terdapat klausul barang yang sudah dibeli
tidak dapat dikembalikan
• Paradigma kebebasan berkontrak pada akhirnya bergeser ke arah paradigma
kepatutan.
• Asas kebebasan berkontrak saat ini tidak lagi diartikan atau dipandang sama
seperti asas kebebasan berkontrak pada abad 19.
• Sekarang kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara
telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta dalam praktek-
praktek kegiatan ekonomi dalam masyarakat.
• Contoh campur tangan negara: perundang-undangan untuk menentukan
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan polis asuransi, upah minimum, kondisi
kerja dan syarat-syarat kerja, serta program-program asuransi bagi pekerja
yang diharuskan sehubungan dengan perjanjian kerja antara pengusaha dan
para pekerjanya, dsb.
• Pengadilan (Hakim) turut mengawal asas kebebasan berkontrak melalui
putusan-putusan pengadilan.
• Pengadilan dalam memeriksa dan mengadili kasus-kasus yang berkaitan
dengan asas kebebasan berkontrak juga diberikan kewenangan sepenuhnya
untuk membatasi asas tersebut, apabila memang benar-benar dirasakan
bertentangan dengan rasa keadilan dalam masyarakat.
• Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak, apabila
diperlukan, karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan
nilai-nilai dalam masyarakat.
• Asas kebebasan berkontrak tidak lagi bersifat absolut, karena dalam keadaan
tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai
serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian
berada dalam keadaan yang tidak seimbang, sehingga terjadi suatu
penyalahgunaan kesempatan atau keadaan.
Asas Konsensualisme (Persesuaian
Kehendak
• Consensus: kesepakatan dua belah pihak atau persesuaian kehendak dan
pernyataan antar para pihak.
• Asas konsensualisme: asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya
tidak dilakukan secara formal tetapi cukup dengan adanya kesepakatan
(persesuaian kehendak) dua belah pihak.
• Kehendak, kemauan, will: ada kemauan untuk saling mengikatkan diri.
Kemauan ini didasarkan pada kepercayaan bahwa perjanjian dipenuhi.
• Konsensus ini tidak ada bila terdapat 3 hal:
1.Paksaan (dwang)
2.Kekhilafan (dwaling)
3.Penipuan (bedrog)
• Asas konsensualitas dalam Pasal 1338 (2) BW merupakan ketentuan yang
imperatif, yakni kontrak yang telah dibuat secara sah tidak dapat ditarik kembali
(diputuskan) secara sepihak, melalui dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
• Hal ini berarti apabila salah satu pihak ingin menarik kembali (memutuskan)
kontrak, maka harus memperoleh persetujuan dari pihak lainnya.
• Asas konsensualisme tidak hanya harus ada pada saat pembuatan kontrak (psl
1320 BW), tetapi juga harus ada pada saat pelaksanaan bahkan saat pemutusan
(psl 1338 (2) BW)
Asas Pacta Sunt Servanda (Kekuatan
Mengikatnya Perjanjian/Kontrak)
• Asas ini mengharuskan para pihak memenuhi apa yang telah merupakan
ikatan mereka satu sama lain dalam kontrak yang mereka buat.
• Secara konkrit, asas ini dapat dilihat pada pasal 1338 (1) BW.
• Asas yang menyatakan bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang, karena perjanjian antara para pihak dianggap sebagai
perbuatan yang sakral. Tidak boleh dilakukan intervensi terhadap substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak.
• Disebut juga asas kepastian hukum, yang berhubungan dengan akibat
perjanjian
Asas Itikad Baik
• Te goede trouw, good faith, bonafide

• KBBI: itikad baik adalah kepercayaan,keyakinan yang teguh,maksud, kemauan (yang


baik).

• Kamus Hukum Fockema Andreae: maksud, semangat yang menjiwai para peserta dalam
suatu perbuatan hukum atau tersangkut dalam suatu hubungan hukum.

• Black’s Law Dictionary: an intangible and abstract quality with no technical meaning or
statutory definition, and it encompasses, among other things, an honest belief, the
absence of malice and the absence of design to defraud or to seek an unconscionable
advantage, and an individual's personal good faith is concept of his own mind and
inner spirit and, therefore, may not conclusively be determined by his protestations alone
• Prof. P.L. Wry: “kedua belah pihak harus berlaku yang satu terhadap yang lain
seperti patut saja antara orang-orang sopan, tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat,
tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat
kepentingan sendiri, tetapi juga melihat kepentingan pihak lain.

• Prof. Subekti, SH: “itikad baik di waktu membuat suatu perjanjian berarti
kejujuran. Orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya pada
pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang
buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan”

• Pasal 1338 (3) BW: “semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Maksudnya pelaksanaan perjanjian harus memperhatikan norma-norma
kepatutan dan kesusilaan.
• Itikad baik dalam pelaksanaan kontrak adalah berarti kepatuhan, yaitu penilaian
terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang telah dijanjikan
dan bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak patut dan sewenang-wenang dari
salah satu pihak.

• Orang harus mematuhi janji atau perkataannya dalam segala keadaan, atau suatu
tindakan yang mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat sebagai
penghormatan tujuan hukum

• Itikad baik harus ada dari sejak pra-contractual sampai dengan post-contractual.

• 2 jenis itikad baik (Subekti):


1. Itikad baik subjektif: kejujuran yang harus ada sebelum perjanjian dilaksanakan oleh
para pihak (pra);
2. Itikad baik objektif: kepatutan pada tahap pelaksanaan kontraktual (post). Kewenangan
menilai apakah suatu perjanjian adalah patut atau tidak ada pada Hakim.
Asas Kepribadian
• Pada umumnya tidak seorangpun dapat membuat perjanjian kecuali untuk dirinya
sendiri, karena suatu perjanjian hanya mengikat bagi pihak-pihak yang membuat
perjanjian itu dan tidak mengikat bagi pihak lain yang tidak terlibat dalam
perjanjian itu. (Pasal 1315 BW jo. Pasal 1340 BW)
• 3 golongan yang tersangkut dalam suatu perjanjian:
1. Para pihak yang membuat perjanjian (1315 jo 1340 BW)
2. Para ahli waris dari para pihak (1318 BW)
3. Pihak ketiga (1317 BW)
• Tidak semua perjanjian tunduk pada asas ini.
• Pengecualian asas ini adalah derden beding (janji untuk pihak ketiga) dalam Pasal
1317 BW. Contohnya Perjanjian Outsourcing.
Asas-asas Hukum Perikatan Nasional
• Dirumuskan dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang
diselenggarakan oleh BPHN, Dept Kehakiman tahun
1985.
• Terdapat 8 asas:
1. Asas kepercayaan : setiap orang yang akan
mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi
yang diadakan di antara mereka di kemudian hari.
2. Asas persamaan hukum : subjek hukum yang
mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak,
dan kewajiban yang sama dalam hukum.
3. Asas keseimbangan : asas yang menghendaki kedua
belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.
4. Asas kepastian hukum: perjanjian harus
mengandung kepastian hukum yang tercermin dalam
kekuatan mengikat perjanjian
5. Asas moral : suatu perbuatan sukarela dari seseorang
tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat
prestasi dari debiturnya. Asas ini terdapat dalam
perikatan sukarela (zaakwarneming).
6. Asas kepatutan : lihat pasal 1339
7. Asas kebiasaan : perjanjian tidak hanya mengikat
untuk apa yang secara tegas diatur, tetapi juga hal-
hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
8. Asas perlindungan : antara debitur dan kreditur
harus dilindungi oleh hukum.

Anda mungkin juga menyukai