Anda di halaman 1dari 11

USHUL FIQH

IJMA’ & QIYAS

Dosen pengampu Mata Kuliah:


Bapak Sansan Saefumillah,M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 1


 Arfan Jaelani
 Alia Nurhidayah
 Eneng Bindari
 Isnawati
Materi yang akan disampaikan

Fungsi dan Fungsi dan


Pengertian Ijma’ Pengertian Qiyas
Kedudukan Ijma’ Kedudukan Qiyas

Rukun & syarat Rukun & syarat


Ijma’ Qiyas

Macam-macam Macam-macam
Ijma’ Qiyas
Pengertian Ijma’

 Secara etimologis, kata ijma’ berarti “ijma’a” mempunyai dua arti kehendak atau
niat terhadap sesuatu.

 secara terminologi ijma’ ada beberapa definisi yang di ungkapkan oleh para ulama,
diantaranya:

 Beberapa ulama konteporer diantaranya abu zahrah, ali hasb abi abdul karim
zaidan memberikan definisi hampir sama terhadap ijma’ abu zahrah misalnya
memberikan definisi ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari umat islam pada
masa tertentu sesudah rosullulah saw wafat suatu hukum syara yang amaliah.
 Rukun & Syarat Ijma’
 1. adanya kesepakatan sejumlah mujtahid pada suatu masa tentang peristiwa yang terjadi
, kesepakatan itu harus dari sejumlah mujtahid dan tidak dipandang ijma’ jika hanya ada
sesorang mujtahid.

 2. Ketetapan hukum yang telah menjadi ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh mujtahid,
karena jika ada kelompok yang menentang ijma’ tersebut, maka ijma’ menjadi tidak sah.
Walaupun jumlah orang yang menentang ijma tersebut lebih sedikit dari orang yang
sepakat.

 3. suatu ketetapan dinamakan ijma’ kalau disepakati oleh seluruh mujtahid yang ada
pada suatu zaman walaupun berbeda tempat. Maka tidak terjadi ijma pada suatu tempat,
kota atau negara tertentu saja, misalnya mekkah, hijaz, mesir, atau irak, atau ahli bait,
atau golongan sunni.
 Macam-macam Ijma

 IJMA’SHARIH

Yaitu kesepakatan para mujtahid atas kedudukan hukum atau masalah tertentu yang berawal dari
fatwa setiap mujtahid yang dinyatakan dengan lisan ataupun berbuatan , yang kemudian menjadi
ijma’ setelah adanya kesepakatan bersama. Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan jumhur ulama
tentang kekuatan ijma syrih artinya ijma syarih adalah dalill qath’i setelah al qu’an dan sunnah

 IJMA’SUKUTI

Yaitu kesepakatan sebagian ulama pada suatu zaman dalam satu permaslahan tertentu
dimana sebagian yang lain tidak tidak mengemukakan pertentangan ataupun persetujuannya.
Para ulama berbeda pendapat apakah ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah atau tidak,
karena selamanya diam itu menandakan persetujuan seseorang.
Fungsi & Kedudukan Ijma’
 Dalam pandangan ulama yang berpendapat bahwa untuk kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan
sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan hukum atas
dasar taufiq Allah yang telah dianugerahkan kepada ulama yang melakukan ijma’ tersebut dan
dalam pandangan ini Ijma’ bersifat mandiri. Dalam pandangan ulama yang mengharuskan
adanya sandaran untuk suatu ijma’ dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’ itu berfungsi
untuk meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’ dalil yang asalnya
lemah atau zhanni menjadi dalil yang kuat atau qath’i, baik dalil itu berbentuk nash atau qiyas.

 Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber dalil hukum
sesudah Al-Qur’an dan Sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat
wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun
sunnah.
Pengertian Qiyas

 Qiyas menurut bahasa berarti mengukur seperti kalimat “ aku mengkukur tanah
dengan memakai satuan meter “ .qiyas mengharuskan adanya dua perkara , yang salah
satunya disandarkan kepada yang lain secara sama.

 Qiyas menurut ushul fiqh adalah : Mempersamakan suatu kejadian yang tidak ada nash
atas hukumnya, karena ada persamaan keduanya dalam illat pada hukum tersebut,

 Yang menyebabkan adanya qiyas adalah adanya kesamaan antara al-maqis ( perkara
yang diqiyaskan ) dengan al-maqis alaih ( perkara yang diqiyasi ) Dalam satu perkara,
yakni adanya penyatu antara keduanya. Perkara tersebut adalah illat.
Rukun & Syarat Qiyas

 Ashl , yang berarti pokok , yaitu suatu peristiwa yang telah diterapkan hukumnya berdasar
nash. Ashal disebut juga maqis alaih ( yang menjadi ukuran ) atau musyyabah bih ( tempat
menyerupakan ), atau mahmul alaih ( tempat membandingkan);

 Far’un yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena
tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar. Fara disebut juga maqis ( yang diukur ) atau
musyabbah ( yang diserupai) atau mahmul ( yang dibandingkan);

 Hukum ashl , yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu
pula yang akan ditetapakan pada fara’ seandanya ada persamaan illatnya.

 ‘Illah, yaitu suatu sifat yang ada pada asahal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya
sifat ada pula pada far’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum
fara’sama dengan hukum ashal.
Macam-macam Qiyas
 Qiyas Illat

Qiyas illat, yaitu qiyas yang mempersamakan ashal dengan far’u, karena keduanya mempunyai persamaan
illat.

 Qiyas Dalalah

Qiyas dalalah ialah qiyas yang illatnya tidak tersebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan
adanya illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta anak-anak yang belum
baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak.

 Qiyas Syibih

Qiyas syibih adalah qiyas yang far’u dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal
yang lebih banyak persamaannya dengan far’u. seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada
hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia.
Fungsi & kedudukan Qiyas

 Fungsi qiyas dalam mengungkapkan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah, dikemukakannya :

“Semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan orang Islam, pasti terdapat ketentuan
hukumnya atau indikasi yang mengacu pada adanya ketentuan hukumnya. Jika ketentuan
hukum itu disebutkan maka haruslah dicari indikasi mengacu pada ketentuan hukum tersebut
dengan bertijtihad. ”

Alasan menempatkan kedudukan hasil qiyas lebih rendah dari pengetahuan hukum secara
shahih dari Al-Qur’an, Sunnah maupun Ijma’, karena pengetahuan hukum yang diperoleh
dengan qiyas hanya benar secara lahir (menurut apa yang dicapai oleh kemampuan nalar
mujtahid) yang tidak aman dari pengaruh subjektivitas.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai