Anda di halaman 1dari 24

EPILEPSI

Medical Compromise
Medically-compromised adalah suatu keadaan seorang pasien yang mempunyai kelainan
atau kondisi yang harus dikompromikan ke dokter sebelum dilakukan suatu tindakan apapun yang
berhubungan dengan penyakit tersebut. Adapun kelainan sistemik yang merupakan kondisi
medically compromised diantaranya adalah kelainan hematologi, kelainan metabolik- endokrin,
kelainan kardiovaskuler, gangguan koagulasi, kelainan ginjal, dan kehamilan.
Tujuan medical compromise diantaranya mengurangi rasa nyeri dan cemas serta
ketidaknyamanan pasien, memberikan perawatan yang sesuai agar dokter gigi dapat lebih berhati-
hati dengan adanya kondisi sistemik pasien sehingga dapat melanjutkan perawatan gigi yang
dikeluhkan oleh pasien, mengantisipasi dan mengendalikan situasi saat pemeriksaan dan
perawatan penyakit dan kelainan
EPILEPSI
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang

akibatlepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang

dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-

sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000)
Etiologi epilepsy
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering
terjadi pada:
a)Trauma lahir, asphyxia neonatorum 
b)Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf 
c)Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
d)Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
e)Tumor otak 
f)Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007)
Patofisiologi Epilepsy
Kejang adalah manifestasi paroksismal dari sifat listrik di bagian korteks otak.Hal ini terjadi saat ada
ketidakseimbangan tiba-tiba antara kekuatan pemicu (eksikatori) dan penghambat (inhibitori) dalam
jaringan neuron kortikal. Pada kondisi nomal impuls saraf dari otak akan dibawa oleh
neurotransmitter seperti GABA melalui sel-sel neuron ke organ tubuh lain. Jika pada sistem tersebut
tidak normal maka akan terjadi ketidakseimbangan aliran listrik pada neuron dan mengakibatkan
terjadinya serangan kejang. Ketidakseimbangan bisa terjadi karena kurangnya transmisi inhibisi
misalnya terjadi pada keadaan setelah pemberian antagonis GABA atau selama penghentian
pemberian GABA (alcohol, benzodiazepine), atau pada saat meningkatnya aksi eksitasi seperti
meningkatnya aksi glutamat atau aspartat (Ikawati, 2011).
Patofisiologi Epilepsy
Serangan kejang dapat diakibatkan oleh :
 Instabilisasi membran sel. Membran sel yang tidak stabil ketika terjadi sedikit saja
rangsangan akan mengubah permeabilitas. Hal ini dapat mengakibatkan depolarisasi
abnormal dan terjadilah lepas muatan yang berlebihan.
 Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi GABA
 Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit yang
mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi
neuron.
Neuron-neuron bersifat hipersensitif (Hartanto, 2005).
Patofisiologi Epilepsy
Serangan kejang epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan dengan terjadinya cetusan potensial aksi
secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik ini akan mengajak neuron-neuron
sekitarnya atau neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan kejang akan
tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah neuron abnormal muncul secara bersama-
sama di dalam otak. Aktivitas listrik ini akan menimbulkan berbagai macam jenis
serangan seizure yang berbeda, tergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena
maupun yang terlibat. Sehingga epilepsy menghasilkan manifestasi yang bervariasi
(Hantoro, 2013).
Gejala
epilepsy
Klasifikasi epilepsy B. Epilepsi dan sindrom epilepsi umum
A. Epilepsi dan Sindrom epilepsi lokal 1. Idiopatik
(localized related) a.Kejang neonatus familial benigna
1. Idiopatik (primer) b.Kejang neonatus benigna
a. Epilepsi benigna dengan gelombang paku c.Epilepsi mioklonik pada bayi
daerah temporal d.Epilepsi lena pada anak (pyknolepsy)
b. Epilepsi dengan gelombang paroksismal e.Epilepsi lena pada remaja
daerah oksipital f.Epilepsi mioklonik pada remaja
c. Primary Reading Epilepsy g.Epilepsi dengan bangkitan tonik klonik saat terjaga
h.Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu diatas
2. Simptomatik (sekunder)
i.Epilepsi yang dipresipitasi faktor tertentu
a. Epilepsi parsialis kontinua kronik progresif
2. Idiopatik dan/atau simptomatik
pada anak (Sindrom Kojewnikoff’s)
j.Sindrom West (infantile spasms)
b. Sindrom dengan bangkitan yang
k.Sindrom Lennox-Gastaut
dipresipitasi rangsangan tertentu 1) Epilepsi mioklonik astatik
c. Epilepsi dan sindrom lain berdasarkan 2) Epilepsi lena mioklonik
lokasi dan etiologi 3. Simptomatik
1) Epilepsi lobus temporalis a. Etiologi non spesifik
2) Epilepsi lobus frontalis 3) Ensefalopati mioklonik dini
3) Epilepsi lobus parietalis 4) Ensefalopati infantile dini dengan burst suppression
4) Epilepsi lobus oksipitalis 5) Epilepsi simptomatik lain yang tidak termasuk diatas
3. Kriptogenik b. Etiologi spesifik
Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.
Klasifikasi epilepsy
C. Epilepsi dan sindrom epilepsy yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
1. Bangkitan umum dan fokal
a) Bangkitan neonatal
b) Epilepsi mioklonik berat pada bayi
c) Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam (deep sleep)
d) Epilepsi afasia didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
e) Epilepsi yang tidak terklasifikasi selain diatas
2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

D. Sindrom khusus
1. Berkaitan dengan situasi tertentu
f) Kejang demam
g) Bangkitan kejang terjadi hanya sekali
h) Bangkitan kejang yang terjadi akibat keadaan tertentu seperti stress, perubahan hormonal, obat,
alkohol, kurang tidur
2. Kejang terisolasi atau Status epileptikus terisolasi (Vera, et al., 2014).
Manifestasi Oral Epilepsy
Hiperplasia Gingiva

13%-50% pasien epilepsi mengalami


pembesaran gingiva akibat efek toksik obat
antikonvulsan yaitu fenition
Pembesaran gingiva terjadi 2-3 bulan pertama
dari awal pengobatan dan berlangsung selama
12 bulan kedepan
Pada pembesaran gingiva terjadi perubahan
fungsi fibroblas yang mengalami proliferasi
jaringan ikat gingiva (kolagen)
Manifestasi Oral Epilepsy

Xerostomia
Adalah keluhan subjektif dari kering yang
disebabkan oleh penurunan produksi saliva
Terjadi akibat efek samping dari obat-obat
antikonvulsan yang di konsumsi secara jangka
panjang
Bekerja dengan jalan meng-hambat reuptake
serotonin dan noradrenalin di ujung-ujung saraf
otak
Manifestasi Oral Epilepsy
Faktur pada gigi
Obat antikonvulsan mengubah
metabolisme serta klirens vitamin D
Untuk meminimalisir resiko
fraktur, vitamin D serta kalsium yang
dikonsumsi harus adekuat (minimal
1000 mg dan 400 IU setiap harus secara
teratur)
Manifestasi Oral Epilepsy
Perkembangan gigi yang abnormal
Anak yang mengkonsusmsi
fenition kemungkinan memiliki gigi
yang lebih kecil, terlambat erupsi
gigi sulung dan gigi permanen serta
resorpsi akar
Hipertonusitas dari otot-otot
mulut akibat pembesaran gingival,
menyebabkan penonjolan gigi
bagian depan dan kompresi pada
maksila
Manifestasi Oral Epilepsy
Laserasi pada mukosa bibir dan lidah
Terjadi akibat trauma dentofasial yang terjadi saat bangkitan berlangsung.
Bangkitan tonik-klonik umum dapat menyebabkan cedera mulut minor, seperti lidah
tergigit, cedera gigi dan trauma maksilofasial
Keadaan-keadaan tersebut menyebabkan luka laserasi yang terlihat pada saat
pemeriksaan

Subluksasi sendi temporomandibular


Subluksasi merupakan dislokasi persial yang terjadi pada sebuh sendi
Pada penderita epilepsi,trauma dentofasial yang terjadi saat bangkitkan berlangsung
dapat menyebabkan subluksasi sendi temporomandibular
Metode Pemeriksaan
Dilakukan anamnesis, penegakan diagnosis epilepsi dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.
1. Pemeriksaan fisik umum
Pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang,
kelainan pada kulit, kanker dan defisit neurologik fokal atau difus.
2. Pemeriksaan neurologik
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologi sangat tergantung dari interval antara saat dilakukanya
pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
3. Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan electro encepalography (EEG), rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna
pada dugaan suatu bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu menunjukan diagnosis dan membantu
menentukan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat membantu menentukan
prognosis dan menentukan perlu atau tidaknya pengobatan dengan AED.
b. Pemeriksaan CT scan dan MRI, meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi lesi epileptogenik diotak.
Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologi dapat terdiagnosis secara non invasif, misalnya
nesial temporal sklerosis, glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET. Ditemukanya lesi-lesi ini
menambah pilihan terapi pada epilepsi yang refrakter terhadsap OAE.
c. Pemeriksaan Laboratorium (Pemeriksaan hemtologik dan Pemeriksaan kadar OAE )
Tatalaksana epilepsy
Faktor-Faktor Yang Harus Dipertimbangkan Saat Memberikan Perawatan Sebelum memulai pengobatan, anamnesis pasien yang rinci
harus diperoleh. Ini harus mencakup hal-hal berikut:

1. .
Frekuensi kejang;

2. Tanggal kejang terakhir pasien;

3. Kesadaran dan keadaan pernapasan pasien selama kejang;

4. Kondisi fisik pasien setelah kejang;

5. Apakah ada tanda sebelum kejang;

6. Apakah mengalami tanda selalu menyebabkan kejang;

7. Faktor-faktor yang memprovokasi kejang;

8. Adanya status epileptikus.

9. Karena stres adalah salah satu faktor terpenting yang memicu kejang, faktor penyebab stres harus dihilangkan sebelum memulai
perawatan. Janji temu pasien harus dilakukan pada dini hari, sesi perawatan harus dibuat singkat, dan stimulan mendadak seperti
cahaya terang yang berkilauan dan kebisingan yang ekstrem harus dihindari. Selain itu, meskipun mereka mungkin sedang
minum obat, jika pasien mengalami kejang lebih dari satu kali per bulan, pengobatan mereka harus ditunda kecuali sangat
mendesak.
Tatalaksana epilepsy
Terapi utama pada epilepsi adalah penggunaan obat anti epilepsi (OAE). Obat antiepilepsi
yang paling sering digunakan adalah golongan benzodiazepine, karbamazepin, fenobarbital,
fenitoin dan asam valproat. Saat ini telah dikenal berbagai OAE terbaru yaitu lamotrigin,
vigabatrin, topiramat, gabapentin, levetirasetam dan pregabalin.
Terapi epilepsi dimulai dengan monoterapi menggunakan OAE yang dipilih sesuai jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi, kondisi penderita dan ketersediaan obat. Penghentian OAE
pada penderita epilepsi dilakukan jika penderita telah bebas kejang selama minimal dua tahun dan
gambaran EEG tidak didapatkan kelainan. Penghentian OAE dimulai dari satu OAE yang bukan
OAE utama, dengan penurunan dosis yang dilakukan secara bertahap, yaitu dosis diturunkan 25 %
dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 6 bulan.
Tatalaksana epilepsy
Terapi diet ketogenik

Diet ketogenik merupakan diet rendah gula dan protein namun


mengandung lemak yang tinggi.Komposisi nutrisi yang terdapat dalam diet
ketogenik menyebabkan pembakaran lemak yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan kadar keton dalam darah. Telah diketahui sebelumnya bahwa
keton dapat meminimalkan rangsangan pada sistem saraf pusat. Kelemahan
dari terapi diet ini adalah sering terjadi gangguan pencernaan seperti mual dan
diare, malnutrisi dan pembentukan batu saluran kemih karena diet ini
seringkali mengandung asam urat tinggi. Terapi diet ini dapat menurunkan
kejadian kejang sebesar 25-50 %
Tatalaksana epilepsy
Perawatan dental pada pasien epilepsi

1. .
Lakukan anamnesis lengkap pada pasien.
2. Ketahui hal-hal yang dapat memicu terjadinya bangkitan pada pasien.
3. Buat daftar obat antiepilepsi yang pasien sering konsumsi oleh pasien.
4. Cari tahu apakah ada kemungkinan interaksi obat dengan obat analgetik/antibiotik atau apakah ada efek oral
tertentu dari obat yang digunakan oleh pasien.
5. Instruksikan pasien untuk tetap meminum obat antiepilepsi rutin sebelum perawatan dental berlangsung agar
meminimalkan terjadinya bangkitan saat perawatan berlangsung.
6. Jadwalkan perawatan pasien.
7. Jelaskan perawatan yang akan dilakukan kepada pasien dengan detail untuk mengurangi tekanan dan stress
yang dialami pasien sebelum perawatan berlangsung.
8. Pada saat perawatan, lampu dental tidak menyinari langsung ke mata pasien, untuk meminimalkan terjadinya
bangkitan. Lakukan perawatan secepat mungkin untuk menghindari rasa lelah pada pasien yang dapat
memicu terjadinya bangkitan.
9. Jika bangkitan terjadi maka tangani secepatnya
Tatalaksana epilepsy
Perawatan dental pada pasien dengan epilepsi tidak terkontrol.
1. Lakukan anamnesis lengkap pada pasien.
.
2. Jika pasien tidak mengetahui bahwa ia mengidap epilepsi atau pasien dengan epilepsi
terkontrol, sebaiknya rujuk ke dokter saraf terlebih dahulu untuk dilakukan perawatan
epilepsi.
3. Pasien sudah dinyatakan aman untuk melakukan perawatan.
4. Ketahui hal-hal yang dapat memicu terjadinya bangkitan pada pasien.
5. Jadwalkan perawatan pasien. Jelaskan perawatan yang akan dilakukan kepada pasien
dengan detail untuk mengurangi tekanan dan stress yang dialami pasien sebelum
perawatan berlangsung.
6. Pada saat perawatan, lampu dental tidak menyinari langsung ke mata pasien, untuk
meminimalkan terjadinya bangkitan.
7. Lakukan perawatan secepat mungkin untuk menghindari rasa lelah pada pasien yang
dpat memicu terjadinya bangkitan.
8. Jika bangkitan terjadi maka tangani secepatnya
Tatalaksana epilepsy
Tindakan yang Harus Dilakukan Jika Pasien Mengalami Kejang Epilepsi Saat Perawatan Gigi

Penunjukan harus diberikan kepada pasien pada dini hari, sesi perawatan harus dibuat singkat dan stimulan tiba-tiba seperti cahaya terang
yang berkilauan dan kebisingan yang ekstrem harus dihindari.

1. .
Perawatan harus dihentikan dan tampon gigi, prostesis dan instrumen harus dilepas

2. Pasien harus dibantu dalam posisi terlentang.

3. Tidak perlu menahan pasien atau memindahkannya ke lantai; juga tidak perlu menempatkan benda di mulut pasien (misalnya untuk
menghentikan mereka menelan lidah mereka). Mencegah cedera adalah tujuan bantuan yang utama dan paling penting.

4. Pakaian ketat yang dikenakan pasien harus dilonggarkan

5. Tampon kasa tebal harus ditempatkan di mulut pasien untuk mencegah segala jenis cedera atau kerusakan pada gigi.

6. Beberapa pasien tertidur lelap setelah kejang. Dalam kasus seperti itu, pasien harus dipantau secara ketat.

7. Jika kejang berlangsung lebih dari 3 menit dan berulang, diperlukan pemberian obat.

8. Pasien harus dipantau untuk memastikan jalan napasnya tidak tersumbat. Namun, jika kejang berlangsung lebih lama dan berlanjut
meskipun telah diberikan pengobatan, pasien harus dikirim ke rumah sakit.

9. Setelah pasien sadar kembali, ia harus dikirim pulang untuk beristirahat. Pengobatan harus ditunda sampai pasien merasa sehat
kembali
Mehmet, Y.
Daftar Pustaka
(2012). Management of epileptic patients in
dentistry.

Miller, Laura. 2009. Epilepsy In: Savitz, Sean, Michael &


Ronthal, Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, p: 106-125.
Repindo, A., Zanariah, Z., & Oktafany, O. (2017). Epilepsi
Simptomatik Akibat Cidera Kepala pada Pria Berusia 20
Tahun. Jurnal Medula, 7(4), 26-29.
Vera, R., Dewi, M A R., Nursiah. 2014. Sindrom Epilepsi Pada
Anak. MKS. 46 (1) : 72-76.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai