Anda di halaman 1dari 25

STUDI KASUS YANG

MERUJUK KE SALAH SATU


PASAL DI PP NOMOR 51
TAHUN 2009

Kelompok 3 :

Ahmad Rizky Fadhillah (191040400253)


Defi Hermawati (191040400292)
Farhani Fauziah Fasya (191040400262)
Gina Padillah (191040400297)
Meri Mariaul Hasanah (191040400291)
Sabrina (191040400286)
Triyana Lestari (191040400250)
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian


mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan
dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi:


• Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi;
• Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi;
• Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran
Sediaan Farmasi; dan
• Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.
STUDI KASUS DAN SOLUSINYA
KASUS 1

Seorang pasien mendapat resep obat paracetamol generik, tetapi karena obat
paracetamol merek dagang Y jumlahnya digudang masih banyak dan
kecenderungan medekati tahun ED, maka obat paracetamol generik di dalam
resep diganti dengan obat Y yang kandungannya sama. Harga obat Y lebih
mahal dibandingkan obat generik, tetapi dengan informasi ke pasien bahwa
efek obat Y lebih cepat maka pasien menerimanya.

Identifikasi Masalah :
• Apoteker RS mengganti resep dengan obat Y yang harganya lebih mahal
• Apoteker RS melakukan kebohongan kapada pasien.
• Apoteker RS ada kemungkinan melakukan kesalahan pembelian obat Y
sehingga stok berlebih bahkan mendekati ED atau kemungkinan
mempunyai kerja sama dengan produsennya.
• Apoteker RS hanya mempertimbangkan keseimbangan stok obat tanpa
mempedulikan kondisi pasien.
DASAR HUKUM
Peraturan Perundangan Nomor 51 Tahun 2009
• Pasal 24
• Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan
obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang
lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien

Berdasarkan pasal tersebut maka apoteker tersebut tidak salah, tetapi


menjadi salah karena landasan dasar yang digunakan dalam mengganti
obat bukan karena stok kosong tapi karena jumlah obat Y berlebih
digudang dan mendekati waktu ED serta ada kemungkinan kerja sama
antara apoteker dengan produsen obat tersebut.
SOLUSI

Solusi dari Kasus Apoteker tidak seharusnya melakukan


kebohongan kepada pasien dengan mengganti obat dalam
resep dengan alasan efek obat lebih cepat, padahal hanya
karena stok obat pengganti berlebih dan mendekati ED.
Masalah tersebut harusnya dilakukan investigasi terkait
penyebab jumlah obat yang masih banyak digudang dan
melaporkannya dalam rapat Komite Farmasi dan Terapi (KFT).
KASUS 2

Apotek Y menjual obat keras antipsikosis Trihexpenidyl (THP)


yang dijual secara bebas kepada masyarakat. Obat THP
kebanyakan disalah gunakan dan diperjual belikan lagi kepada
anak muda pecandu obat-obatan terlarang.

Identifikasi Masalah :
• Apoteker memberikan obat keras tanpa resep dokter
DASAR HUKUM
Peraturan Perundangan Nomor 51 Tahun 2009
• Pasal 24 poin (c)
• Menyerahkan obat keras, narkotika, psikotropika kepada masyarakat
atas resep dari dokter sesuai dengan penentuan peraturan
perundang-undangan.

Karena THP termasuk dalam obat golongan OOT, maka Apoteker yang
bekerja di apotek Y melanggar Perka BPOM No. 7 Tahun 2016 tentang
Pedoman Pengeloaan OOT yang sering disalahgunakan : Penyerahan OTT
kepada pasien harus dilakukan oleh Apoteker berdasarkan resep dokter.
Penyerahan tersebut dapat dibantu oleh TTK.
SOLUSI

• Apotek dilarang menjual obat golongan keras tanpa


resep dokter
• Apotek tidak boleh menjual obat psikoptropika
tanpa resep dokter
• Obat harus diserahkan oleh Apoteker
KASUS 3

Apoteker Y bekerja di salah satu perusahaan besar farmasi di Jakarta.


Selain bekerja di perusahaan tersebut, nama apoteker Y tersebut masih
tercatar sebagai APA apotek X. Di apoteknya tersebut juga hanya terdapat
1 tenaga kerja yang notabene bukan seorang apoteker yang secara penuh
mengerti tentang obat, bahkan tak jarang ketika penjaga apotek tersebut
tidak datang, penyerahan obat kepada pasien diserahkan langsung oleh
keluarga dari apoteker tersebut yang sama sekali tidak memiliki
kewenangan untuk menyerahkan obat kepada pasien.

Identifikasi Masalah :
• Apoteker yang tidak standby karena dia bekerja di 2 tempat berbeda
sedangkan hanya ada 1 tenaga kerja yang notabene bukan seorang
apoteker yang bertugas diapotik tersebut dan dia bertugas
menggantikan apoteker tersebut bila tidak dating seperti
menyerahkan obat dan menjual obat
DASAR HUKUM
Peraturan Perundangan Nomor 51 Tahun 2009
• Pasal 1
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan
praktek kefarmasian oleh Apoteker.
• Pasal 20
Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping
dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
• Pasal 21
(1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar
pelayanan kefarmasian.
(2) Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter
dilaksanakan oleh Apoteker.
• Pasal 51
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi
rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker.
SOLUSI

Jika apoteker pengelola apotek berhalangan hadir seharusnya


digantikan oleh apoteker pendamping dan jika apoteker
pendamping berhalangan hadir seharusnya digantikan
apoteker pengganti bukan digantikan oleh asisten apoteker
atau tenanga kefarmasian lainnya. Karena tenaga kefarmasian
disini adalah asisten apoteker yang hanya membantu
pelayanan kefarmasian bukan menggantikan tugas apoteker.
KASUS 4

Seorang pasien menebus resep obat omeprazole kapsul ke apotek X.


Karena obat generik omeprazol kapsul tersebut kosong, kemudian
apoteker memberikan dengan merek dagang lain yaitu pumpitor kspdul
tsnps memberikan informasi tentang pergantian obat dan harga obatnya
yang lebih mahal. Karena pasien sangat awam, pasien tersebut langsung
membayar obatnya.

Identifikasi masalah :
• Apoteker yang mengganti obat generik ke obat paten tanpa
persetujuan dokter dan pasien
DASAR HUKUM
Peraturan Perundangan Nomor 51 Tahun 2009
• Pasal 24 poin (b)
• Apoteker juga diberikan kewenangan melakukan pergantian
obat merek dagang dengan obat generik yang sama
komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas
persetujuan dokter dan/atau pasien.

Berdasarkan pasal tersebut, apoteker melakukan kesalahan


karena mengganti obat karena tanpa persetujuan dokter
dan/atau pasien yang bersangkutan.
SOLUSI

Apoteker seharusnya menginformasikan kepada pasien


tentang pergantian obat yang di resep dengan merek dagang
lain yang komponen aktifnya sama tetapi harga merek dagang
tersebut lebih mahal. Karena dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan kepada pasien yang kurang mampu secara
finansial untuk tetap dapat membeli obat dengan mutu yang
baik.
KASUS 5

Pada apotek A ditemukan sebuah faktur penjualan obat


yang terdiri dari Parasetamol dan Amoxicillin. Namun ketika
dilihat ternyata faktur tersebut berasal dari Pedagang Besar
Alat Kesehatan (PBAK) bukan dari Pedagang Besar Farmasi
(PBF)

Identifikasi masalah :
• Apotek A membeli obat di PBAK bukan di PBF
DASAR HUKUM
Peraturan Perundangan Nomor 51 Tahun 2009
• Pasal 1 ayat (10)
Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana
yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan
Farmasi, yaitu Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan
Farmasi.
• Pasal 1 ayat (12)
Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan,
penyaluran perbekalan farmasi dalam jumlah besar sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
SOLUSI

Apoteker seharusnya tidak membeli obat ditempat yang


bukan seharusnya. PBAK adalah penyalur alat kesehatan yang
seharusnya hanya memperjual-belikan alat-alat kesehatan,
bukan obat. Sedangkan untuk membeli obat Apoteker harus
mengadakan obat dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) jika
dalam jumlah besar, sedangkan jika memenuhi kebutuhan
mendesak dalam jumlah kecil Apoteker diperbolehkan
membeli dari apotek lainnya.
KASUS 6

Seorang apoteker di rumah sakit Y diduga telah membocorkan


riwayat penyakit seorang pasien HIV/AIDS. Karena mengetahui
jika pasien tersebut ingin menikah, apoteker memberitahukan
informasi tersebut kepada calon istri dan kerabatnya sehingga
pasien batal menikah dan dikucilkan oleh semua kerabatnya.

Identifikasi masalah :
• Apoteker membocorkan rahasia kedokteran pasien kepada
kerabat pasien.
DASAR HUKUM
Peraturan Perundangan Nomor 51 Tahun 2009
• Pasal 30 ayat (1)
Setiap Tenaga Kefarmasian dalam menjalankan Pekerjaan
Kefarmasian wajib menyimpan Rahasia Kedokteran dan
Rahasia Kefarmasian.
• Pasal 30 ayat (2)
Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian hanya dapat
dibuka untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan
hakim dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien
sendiri dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
SOLUSI

Apoteker tidak seharusnya membocorkan penyakit pasien


kepada siapapun sekalipun itu kerabatnya sendiri tanpa seizin
pasien yang bersangkutan. Karena sejatinya data penyakit
pasien merupakan suatu yang amat rahasia. Semua informasi
yang tertuang dalam rekam medik menjadi hak sepenuhnya
dari pasien, oleh sebab itu data rekam medik harus dijaga
kerahasiannya agar tidak mudah dibaca oleh pihak-pihak yang
tidak berkompenten.
KASUS 7

Sebuah pabrik obat tradisional kecamatan bumiayu brebes jawa


barat tengah memproduksi obat tradisional yang mengandung
BKO secara tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi obat
tradisional TIE dan mengandung BKO tersebut di desain seperti
bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2.

Identifikasi masalah :
• Sebuah pabrik yang memproduksi OT dengan kandungan BKO
tanpa izin BPOM
• Pabrik tersebut tidak memiliki apoteker sebagai penanggung
jawab
DASAR HUKUM
Peraturan Perundangan Nomor 51 Tahun 2009
• Pasal 7 ayat (1)
Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi
harus memiliki Apoteker penanggung jawab.
• Pasal 9 ayat (2)
Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus
memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Apoteker sebagai
penanggung jawab.
• Pasal 24 poin (c)
Menyerahkan obat keras, narkotika, psikotropika kepada
masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan
penentuan peraturan perundang-undangan.
SOLUSI

Sebelum membuat sediaan obat tradisional, pengelola pabrik


harus mencari dan mempelajari apa itu CPOB (Cara
Pembuatan Obat yang Baik). Pengelola pabrik juga harus
menjadikan apoteker sebagai penanggung jawab agar tidak
terjadi kesalahan penggunaan bahan obat semaunya.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai