Anda di halaman 1dari 11

ISLAM DISIPLIN ILMU APOTEKER

“DISKUSI KASUS PENERAPAN KODE ETIK DAN SUMPAH


APOTEKER "

NAMA : MUH AKBAR TAUHIK


NIM : 15120230027
KELAS : C1.2
DOSEN PENGAMPU : apt. ASRIANI SUHAENAH, S. Si., M. Kes

PROGRAM STUDI PEOFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023/2024
HASIL DISKUSI
A. STUDI KASUS 1
Seorang apoteker berpraktek di Apotek Sehat Farma sedang melayani seorang
remaja laki-laki berusia sekitar 16 tahun dengan keluhan batuk dan ingin membeli obat
batuk cair kemasan sachet (obat tersebut mengandung: dekstrometorphan HBr,
guaifenesin dan chlorpheniramin maleat) sebanyak 1 box (isi 30 bungkus). Apoteker
meminta identitas remaja tersebut, kemudian hanya memberikan 6 sachet. Tidak lama
kemudian datang seorang ibu (35 tahun) ingin membeli obat ranitidin sebanyak 20 tablet
dan obat flu yang mengandung pseudoefedrin 60 mg tanpa resep dokter. Apoteker
menggali informasi dan melayani obat ibu tersebut. Dan untuk mengantisipasi jika
diperiksa oleh Dinkes dan POM, apoteker membuat copy resep sendiri 'resep putih' untuk
melegalkan transaksi obat tersebut.
Bagaimana tanggapan anda terkait tindakan apoteker dalam melaksanakan tugasnya
secara profesional, berdasarkan kode etik dan apoteker serta sesuai dengan perundang-
undangan?
Identifikasi Kasus :
1. Seorang pasien remaja laki-laki berusia sekitar 16 tahun dengan keluhan batuk
dan ingin membeli obat batuk cair kemasan sachet (obat tersebut mengandung:
dekstrometorphan HBr, guaifenesin dan chlorpheniramin maleat) sebanyak 1 box
(isi 30 bungkus).
Permasalahan:
Dilihat dari jumlah obat yang ingin di beli oleh pasien sudah tidak wajar, karena
dia ingin membeli obat batuk cair kemasan sachet 1 box yang berisi 30 bungkus
yang mana sudah tidak termasuk dalam konteks terapi pengobatan. Salah satu
kandungan dari obat batuk sachet tersebut adalah Dekstrometorphan HBr yang
mana obat ini merupakan golongan OOT (Obat-Obat Tertentu) yang biasa sering
di salah gunakan oleh beberapa oknum.
Tindakan Apoteker :
Tindakan Apoteker pada kasus tersebut tidak di benarkan. Dimana seorang
Apoteker tidak memberikan sediaan obat batuk cair sebanyak 1 box melainkan
hanya memberikan 6 sachte pada remaja 16 tahun tersebut. Setelah diketahui
bahwa remaja tersebut dibawah umur 18 tahun dengan permintaan jumlah obat
yang tidak wajar.. Obat Dekstromethorpam HBr termasuk golongan OOT yang
penggunaannya harus membutuhkan pengawasan dalam penyerahan yang
meliputi : jumlah pembelian obat yang tidak wajar dan frekuensi pembelian obat
pada pasien yang sama.
2. Seorang ibu (35 tahun) ingin membeli obat ranitidin sebanyak 20 tablet dan obat
flu yang mengandung pseudoefedrin 60 mg tanpa resep dokter
Permasalahan:
Ranitidin merupakan obat golongan obat OWA dengan kode penandaan obat
keras. Selain itu, ibu tersebut juga ingin membeli obat flu yang mengandung
Pseudoefedrin 60 mg yang mana merupakan obat Prekursor dengan penanda obat
keras
Tindakan Apoteker:
Tindakan seorang Apoteker yang memberikan obat Ranitidin sebanyak 20 tablet
tidak tepat. Ranitidin merupakan obat yang termasuk kedalam OWA (Obat Wajib
Apotek) dengan penandaan obat keras yang bisa di tebus tanpa adanya resep
doter. Berdasarkan OWA obat Ranitidin memiliki jumlah batasan pemberian pada
pasien yaitu maksimal 10 tablet atau strip (150 mg) dengan syarat pasien tersebut
sudah pernah menerima atau membeli obata tersebut atau pengobatan berulang.
Jadi pada kasus tersebut seharusnya Apoteker terlebih dahulu menggali informasi
terkait obat yang ingin dibeli apakah sudah pernah diresepkan oleh dokter dan
hanya memberikan 10 tablet Ranitidin saja kepada pasien.
3. Apaoteker membuat copy resep sendiri ‘resep putih’ untuk melegalkan transaksi.
Permasalahan:
Pseudoefedrin dengan kandungan 60 mg merupakan golongan obat prekursor
yang penandaannya sebagai Obat keras karena dosis pseudoefedrin sebanyak 60
mg yang hanya diberikan atas resep dokter. Adapun alasan diberikannya tanpa
adanya resep dokter jika obat pseudoefedrin yang ingin ditebus hanya
mengandung 30 mg yang penandaannya termasuk kedalam golongan obat bebas
terbatas.
Tindakan Apoteker:
Tindakan Apoteker pertama tidak dibenarkan kerena memberikan obat flu yang
mengandung pseudoefedrin 60 mg tanpa adanya resep dokter. Karena
pseudoefedrin merupakan obat prekursor dengan kode penandaan obat keras yang
hanya diresepkan oleh dokter. Tindakan Apoteker kedua juga tidak dibenarkan
karena membuat copy resep palsu untuk melegalkan transaksi obat. Pada kasus ini
apoteker sudah berbuat curang dan tidak bertanggung jawab dengan cara
membuat copy resep tanpa adanya resep asli dari dokter.
Pelanggaran sumpah dan kode etik Apoteker serta perperundang-undangan:
Berikut beberapa poin-poin pelanggaran terkait sumpah dan kode etik Apoteker :
1. Pelanggaran sumpah apoteker poin 1 “ Saya akan membaktikan hidup saya guna
kepentingan perikemanusiaan terutama dalam bidang kesehatan” adanya pelanggaran
kode etik atas tindakan apoteker yang tidak mempertimbangkan adanya
penyalahgunaan obat batuk pada usia dibawah 18 tahun dan pemberian obat ranitidine
yang melebihi batas maksimal sesuai dengan aturan pada OWA serta pembuatan copy
resep putih yang yang dapat membahayakan kesehatan.
2. Pelanggaran Kode Etik pasal 14 pada BAB IV tentang kewajiban apoteker terhadap
teman sejawat petugas Kesehatan lainnya “seorang apoteker hendak nya menjauhkan
diri dari Tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya atau
hilangnya kepercayaan masyarakat kepada teman sejawat.”
3. Pelanggaran Kepmenkes No. 1176 tahun 1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.
3 pelanggran ini terjadi karena adanya penyerahan obat ranitidine oleh apoteker yang
melebihi batas maksimal.
4. Pelanggaran Peraturan Pemerintas Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
B. STUDI KASUS 2
Seorang pasien datang ke apotek membawa resep yang berisi cefixime 200 mg
sebanyak 14 kapsul dengan aturan pakai 2 x 1. Karena stok obat tersebut kosong,
Apoteker yang ada diapotek mengganti obat tersebut dengan merk dagang(obat paten)
dengan kandungan yang sama yaitu cefixim 200 mg tanpa memberitahukan kepada
pasien atau dokter penulis resep.
Berikan tanggapan Anda disertai dengan alasan berdasarkan kode etik dan sumpah
apoteker terkait tindakan apoteker tersebut.
Identifikasi kasus :
1. Apoteker yang ada diapotek mengganti obat cefixime dengan merk dagang (obat
paten) dengan kandungan yang sama yaitu cefixim 200 mg tanpa memberitahukan
kepada pasien atau dokter penulis resep karena stok obat cefixime kosong.
Permasalahan:
Pada kasus ini Apoteker mengganti obat pasien dari obat generik ke obat paten tanpa
sepengetahuan dan persetujuan dari pasien dan tidak mengkonfirmasikan pada dokter
penulis resep tersebut.
Tindakan Apoteker:
Tindakan apoteker pada kasus tersebut tidak dibenarkan karena melanggar sumpah
apoteker dan kode etik, selain itu juga melanggar peraturan nomor 55 tahun 2009.
Pelanggaran sumpah dan kode etik Apoteker serta perperundang-undangan:
1. Pelanggaran Sumpah apoteker poin 4 “Saya akan menjalakan tugas saya dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian”.
2. Pelanggaran Kode Etik pasal 1 pada BAB I tentang kewajiban umum “seorang
apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah/ janji
apoteker didasarkan niat luhur untuk kepentingan mahluk hidup sesuai dengan
tuntunan Tuhan yang maha Esa”.
3. Pelanggaran Kode Etik pasal 5 pada BAB I tentang kewajiban umum “Di dalam
menjalankan tugasnya seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari
keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian.
4. Pelanggaran Kode Etik pasal 9 pada BAB II Kewajiban Apoteker Terhadap Diri
Sendiri yang berbunyi “Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi dan
edukasi yang telah terbukti kebenarannya dengan profesional sesuai sesuai dengan
bidang kompetensinya demi meningkatkan kepercayaan apoteker dan derajat
kesehatan masyarakat”.
5. Pelanggaran Kode Etik pada BAB III Kewajiban Apoteker Terhadap Penerima
Pelayanan dan/ Pelanggan pasal 14 yang berbunyi “ Seorang Apoteker harus mampu
mendorong pasien untuk terlibat dalam keputusan pengobatan mereka”.
6. Pelanggaran Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, Pasal 24 yaitu “Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, pada fasilitas
pelayanan kefarmasian apoteker bisa untuk mengganti obat merk dagang dengan obat
generik yang sama komponen aktifnya atau obat merk dagang lain atas persetujuan
dokter/pasien”
C. STUDI KASUS 3
Seorang apoteker H mendapatkan tawaran oleh seorang PSA untuk menjadi
Apoteker Penanggungjawab Apotek (APA) yang berada di kampung halamannya. PSA
menawarkan bahwa selama sebagai APA, apoteker tersebut tidak terikat untuk berada di
apotek setiap hari untuk pelayanan.. Apoteker pun menerima tawaran tersebut dengan
pertimbangan bahwa selama jadi APA tidak akan mengganggu pekerjaannya sebagai
manager medical representativ (Medref) disalah satu Industri Farmasi di ibukota yang
sedang sibuk mencari dokter diapotek-apotek untuk bekerjasama dalam mempromosikan
produk obatnya dengan menawarkan bonus ke apotek jika obatnya banyak dikeluarkan di
apotek.
Bagaimana tanggapan anda terkait sikap apoteker dalam melaksanakan tugasnya secara
profesional, berdasarkan kode etik dan sumpah apoteker serta sesuai dengan peraturan
perundang-undangan?
Identifikasi kasus :
1. Apoteker H menerima tawaran untuk menjadi APA dikampung halamannya dan tidak
stanby di apotek tersebut.
Permasalahan:
Menerima tawaran sebagai APA dikampung halamannya dengan syarat tidak setiap
hari standby diapotek dengan alasan karena memiliki tanggung jawab sebagai
medical respresentative di industri farmasi di ibukota.
Tindakan Apoteker:
Pada kasus tersebut tindakan apoteker tidak dibenarkan karena tidak standby di
apotek tersebut dan tidak berada disatu kota .
2. Sebelum menerima tawaran menjadi APA, Apoteker H juga juga bekerja sebagai
manager medical representative (MedRef) di industri farmasi di ibukota yang berbeda
kotanya dengan apotek
Peremasalahan:
Apoteker H sebagai medical reprensentative (MedRef) disalah satu Industri Farmasi
diibukota bekerjasama dengan dokter diapotek dalam mempromosikan produk
obatnya dengan menawarkan bonus.
Tindakan Apoteker:
Tindakan sebagai seorang Apoteker pada kasus ini tidak dibenarkan karena sebagai
manajer marketing tidak selayaknya membuat ketentuan seperti hal tersebut karena
dianggap tidak adil dimana tujuannya untuk meningkatkan penjualan.
Pelanggaran sumpah dan kode etik Apoteker serta perperundang-undangan:
1. Pelanggaran Sumpah apoteker poin 4 “Saya akan membaktikan hidup saya guna
kepentingan perikemanusiaan terutama dalam bidang kesehatan”
2. Pelanggran Kode Etik pasal 1 pada BAB 1 tentang kewajiban umum yang berbunyi
“seorang apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah/
janji apoteker didasarkan niat luhur untuk kepentingan mahluk hidup sesuai dengan
tuntunan Tuhan yang maha Esa”
3. Pelanggran Kode Etik pasal 2 pada BAB 1 tentang kewajiban umum yang berbunyi
“Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan
mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia sebagai kumpulan nilai-nilai atau
prinsip yang harus diikuti sebagai pedoman dan petunjuk serta standar sikap dan
perilaku dalam bertindak dan mengambil keputusan”.
4. Pelanggran Kode Etik pasal 3 pada BAB 1 tentang kewajiban umum yang berbunyi
“Seorang Apoteker harus berintegritas tinggi, senantiasa menjalankan profesinya
secara profesional dan bertanggung jawab, sesuai Standar Kompetensi Apoteker
Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan
dalam melaksanakan kewajibannya”.
5. Pelanggran Kode Etik pasal 7 pada BAB II Kewajiban apoteker terhadap diri sendiri
yang berbunyi “ seorang apoteker dalam menjalankan tugasnya harus selalu
menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan pribadi semata atau kelompok dan
kepentingan tertentu lainnya yang bertentangan dengan martabat dan tradisi leluhur
jabatan kefarmasian”.
6. Pelanggaran Keputusan BPOM Tahun 2002 Tentang Promosi Obat pada BAB 3
Tentang Representatif Perusahaan yang tidak boleh menawarkan induksi, hadiah,
penghargaan insentif, dan finansial ataupun sejenisnya kepada profesi kesehatan
PBF, dan Apotek. Adanya pelanggran dikarenakan adanya penawaran bonus oleh
medref ke apotek.
7. Pelanggaran Keputusan BPOM Tahun 2002 Tentang Promosi Obat pada BAB 4
Tentang Kegiatan yang Dilarang pada pasal 9 Industri farmasi dan PBF dilarang
bekerjasama dengan apotek dan penulis resep dalam tujuan khusus untuk
peningkatan pembelian obat tertentu, serta dilarang untuk memberikan bonus berupa
uang tunai, bank draft, pinjaman, voucher, dan ticket dan barang kepada penulis
resep agar meresepkan obat produksinya atau obat yang didistribusinya
8. Pelanggaran PP RI Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian yang
mana pada pasal 18 SIPA dan SIKA hanya diberikan untuk 1 tempat fasilitas
kefarmasian sebagai APA, kemudia pasa pasal 21 yaitu penyerahan dan pelayanan
obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker.
9. Pelanggaran terhadap UU Kesehatan No.36 tahun 2009, pasal 24 yang mana tenaga
kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 harus memenuhi ketentuan
kode etik, standar profesi, pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan
kesehatan, dan standar prosedur operasional. Adanya pelanggran karena sebagai
APA pada kasus ini tidak terdapat di apotek jadi juga tidak menjalankan praktek
kefarmasian sebagai tenaga kesehatan.
10. Pelanggaran Kode Etik IPMG (Internasional Pharmaceutical Manufacturers Group)
Interaksi dengan profesi kesehatan Pasal 3.4 MR dilarang untuk memberi atau
menawarkan imbalan kepada profesi kesehatan.
11. Pelanggaran Kode Etik IPMG (Internasional Pharmaceutical Manufacturers Group)
Interaksi dengan profesi kesehatan 4.1.2. dilarang memberikan atau menawarkan
kepada profesi kesehatan sebagai imbalan atas penulisan resep,
merekomendasikan,membeli, memasok, atau mengelola produk atau komitmen untuk
terus melakukannya.
12. Pelanggaran Keputusan BPOM No. HK.00.05.3.02706 Tahun 2002 Tentang Promosi
Obat Pada BAB III Respresentative Perusahaan : Medical Resprensentative tidak
diperbolehkan menawarkan induksi hadiah atau penghargaan, intensif, donasi
finansial, dan bentuk lain yang sejenisnya kepada profesi kesehatan PBF dan Apotek.
13. Pelanggaran Disiplin Apoteker Membiarkan berlangsungnya praktek kefarmasian
yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa kehadirannya, ataupun tanpa Apoteker
pengganti dan/ atau Apoteker pendamping yang sah.
D. STUDI KASUS 4
Seorang apoteker disebuah apotik klinik, sedang melayani beberapa resep dari
dokter anak yang ada diklinik tersebut. Tidak lama berselang seorang Bapak kapolsek
didaerah tersebut memasukkan resep anaknya. Apoteker kemudian mengambil resep
tersebut dan mendahulukan menyiapkan obatnya dibandingkan dengan resep sebelumnya
dengan alasan Bapak tersebut seorang kapolsek didaerah tersebut, sambil memberikan
pengertian terhadap pasien lainnya.
Sekitar 1 jam kemudian, Seorang Bapak bernama pak Irwan (50 tahun) datang ke apotek
membawa salinan resep seperti yang tertera dibawah ini
R/ Codein tab 10 mg no. X
3dd1
……………………….did………….
Setelah Apoteker melakukan skrining resep, Apoteker mengembalikan resep tersebut dan
menyampaikan jika resep tersebut tidak bisa dilayani. Pasien merasa emosi dan marah
kepada apoteker tersebut karena sudah merasa lelah berkeliling apotek untuk mencari sisa
obat tersebut. Untuk menghindari konflik, apoteker tersebut meninggalkan dan tidak
menanggapi bapak tersebut.
Berikan tanggapan Anda disertai dengan alasan berdasarkan kode etik dan sumpah
apoteker terkait tindakan apoteker tersebut.
Identifikasi kasus :
1. Apoteker mendahulukan pelayanan resep orang tertentu kerena jabatan
Peremasalahan:
Apoteker mendahulukan resep pasien dengan alasan pasien merupakan seorang
kapolsek
Tindakan Apoteker:
Tindakan Apoteker tersebut tidak dibenarkan karena melanggar sumpah dan kode
etik apoteker.
2. Apoteker mengembalikan resep pak irawan dan menyampaikan jika resep tersebut
tidak bisa dilayani kemudian pasien merasa emosi dan Untuk menghindari
konflik, apoteker tersebut meninggalkan dan tidak menanggapi bapak tersebut.
Permasalahan:
Apoteker tidak melayani resep pasien yang ingin menebus obat narkotika sudah
tepat dikarenakan pasien hanya membawa copy resep dan tidak mebawa resep asli
karena sudah ditebus sebelumnya diapotek yang berbeda (apotek sebelumnya).
Meskipun obatnya baru diambil setengahnya. Tetapi tindakan apoteker
meninggalkan pasien yang sedang emosi tidak dibenarkan.
Tindakan Apoteker:
Tindakan Apoteker pada kasus ini tidak dibenarkan karena meninggalkan pasien
yang sedang emosi tidak dibenarkan dan melanggar kode etik dan disiplin
apoteker karena menunujukkan sikap ketidakpedulian terhadap pasien, padahal
pasien berhak mendapatkan informasi atau alasan dari apoteker terkait penolakan
resep yang dilayani dan sebaiknya kita menunujukkan rasa empati terkait apa
yang dirasakan oleh pasien serta menempatkan posisi kita sebagai pasien.
Pelanggaran sumpah dan kode etik Apoteker serta perperundang-undangan:
1. Pelanggran Kode Etik pasal 3 pada BAB 1 tentang kewajiban umum yang berbunyi
“Seorang Apoteker harus berintegritas tinggi, senantiasa menjalankan profesinya
secara profesional dan bertanggung jawab, sesuai Standar Kompetensi Apoteker
Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan
dalam melaksanakan kewajibannya”.
2. Pelanggaran Kode Etik pasal 9 pada BAB II Kewajiban Apoteker Terhadap Diri
Sendiri yang berbunyi “Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi dan
edukasi yang telah terbukti kebenarannya dengan profesional sesuai sesuai dengan
bidang kompetensinya demi meningkatkan kepercayaan apoteker dan derajat
kesehatan masyarakat”.
3. Pelanggran disiplin apoteker yaitu menolak atau mengehentikan pelayanan
kefarmasian terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah, melaksanakan praktik
Apoteker dengan tidak kompeten tugas dan tanggungjawab profesional pada pasien
dan tidak dilaksanakan dengan baik serta berperilaku tercela yang merusak martabat
dan kehormatan Apoteker.

Anda mungkin juga menyukai