Anda di halaman 1dari 12

KASUS

PELANGGARAN
KODE ETIK DI
APOTEK

KELOMPOK 1 :
Febriyan Mulyanto
Gatot Saputra
Nur Aliah
Rizma Amalia Putri

ETIKA YURISPRUDENSI
CONTOH KASUS

Kasus : seorang ibu bernama Marwah menjadi korban obat


kedaluwarsa. Warga Kelurahan Sudiang ini menuturkan, dia
Template
membeli obat seperti itu (kadaluarsa) di salah satu apotek di Daya.
Dia mencari obat diare. Saat itu, kata Marwah, dirinya hendak
membeli Lacto B, suplemen makanan.

Namun, oleh penjaga apotek, jenis obat tersebut dinyatakan


habis. Penjaga apotek tersebut, kemudian menawarkan Dialac
yang tersimpan di dalam lemari pendingin. Menurut penjaga
apotek tersebut, Dialac memiliki komposisi dan kegunaan yang
sama dengan Lacto B. Marwah mengatakan, setelah obat
tersebut diminumkan ke anaknya dengan cara mencampur ke
susu, si buah hatinya mengalami muntah hingga lima kali.
Marwah mengaku panik. Dia pun kemudian membaca seksama
sampul Dialac tersebut. Hasinya, suplemen makanan dengan
nomor registrasi POM SI.044 216 731 tersebut memiliki masa
kedaluwarsa 19 November 2008 sebagaimana yang tercantum di
pembungkus obat.
ANALISIS

Pada kasus yang terjadi di apotek


tersebut, dimana seorang pasien
diberikan obat yang sudah kadaluarsa
oleh pihak apotek, dapat dikategorikan
ke dalam kasus pelanggaran kode etik
apoteker. Kode etik apoteker
Indonesia itu sendiri merupakan asas
atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak dan nilai-nilai yang dianut dan
menjadi pegangan dalam praktik
kefarmasian
Di dalam Kode Etik Apoteker Indonesia Bab II
tentang Kewajiban Apoteker Terhadap Pasien,
dimana pasal 9 berbunyi :

Pasal 9
Seorang apoteker dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian harus mengutamakan kepentingan
masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan
melindungi makhluk hidup insani
SOLUSI

Apoteker memiliki kewajiban dimana salah satu


kewajibannnya yaitu seorang Apoteker harus
memastikan bahwa obat yang diserahkan kepada
pasien adalah obat yang terjamin mutu,
keamanan, khasiat, dan cara pakai obat yang
tepat.
Berdasarkan pasal di atas, apoteker sebagai
mitra pasien dalam menjalani pengobatan
seharusnya lebih teliti, bertanggung jawab, dan
lebih mementingkan kepentingan dan
keselamatan pasien.
CONTOH KASUS

KASUS: Salah satu apotek A di daerah Bantul yang di dirikan oleh


seorang apoteker dengan surat ijin praktek yang mengatasnamakan
namanya, dengan APA apoteker Y.
Apoteker Y juga bekerja disalah satu Perusahaan Besar Farmasi di
Jakarta. Saat ini Apoteker Y juga tercatat masih sebagai APA di Apotek A.
Di Apotek tersebut hanya terdapat satu tenaga kerja yang bukan seorang
Apoteker yang secara penuh mengerti tentang obat. , bahkan tak jarang
ketika penjaga apotek tersebut tidak datang, penyerahan obat kepada
pasien diserahkan langsung oleh keluarga dari apoteker tersebut yang
sama tidak mengertinya tentang obat. apotek tersebut menjual secara
bebas obat-obat keras yang diminta pasien tanpa resep dokter, seperti
pembelian antibiotik yang permintaannya di masyarakat masih sangat
tinggi. Belum diketahui secara jelas alasan apoteker tersebut belum
melepas apotek tersebut dan mencarikan 2 apoteker sebagai
penanggungjawab apotek, bukan dijaga oleh Aping atau AA.
ANALISIS KASUS

1. Apoteker Y bekerja sebagai tenaga kerja di suatu


perusahaan farmasi di Jakarta
2. Apoteker tersebut sebagai pemilik apotek di daerah
Bantul yang sekaligus sebagai APA apotek tersebut.
3. Apotek tersebut tidak memilik apoteker, yang terlihat di
apotek tersebut hanya ada 1 tenaga yang memberikan
pelayanan sekaligus sebagai kasir di apotek tersebut.
4. Apotek melayani secara bebas obat-obat keras yang
dibeli tanpa menggunakan resep dari dokter.
Pasal yang Terkait Kasus Tersebut :

1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan


Pasal 108
(1)“ Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang m e m p u ny a i ke a h l i a n d a n
ke w e n a n g a n sesuai dengan ke t e n t u a n
p e r a t u r a n perundang-undangan”
2. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang
Pekerjaan Kefarmasian
Pasal 21
(1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian”.
(2) “Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep
dokter dilaksanakan oleh Apoteker”.
Pasal 51
(1) “ Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau
instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan
oleh Apoteker”
3. Keputusan Menteri Kesehatan
No.1332/MENKES/PER/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pemebrian Izin Apotek
Pasal 19.
( 1 ) “ Apabila Apoteker Pengelola Apotik berhalangan melakukan
tugasnya pada jam buka Apotik, Apoteker Pengelola Apotik harus
menunjuk Apoteker pendamping.”
(2) “Apabila Apoteker Pengelola Apotik dan Apoteker
Pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan
melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotik
menunjuk .Apoteker Pengganti”
SOLUSI

Pasien atau konsumen ketika membeli obat di


apotek hanya dilakukan oleh asisten apoteker
dan juga sebagai petugas Kasir. Pelayanan
kefarmasian diapotek harus dilakukan oleh
Apoteker, jika Apoteker Pengelola Apotek
berhalangan hadir seharusnya digantikan oleh
Apoteker Pendamping. jika Apoteker
Pendamping berhalangan hadir seharusnya
digantikan oleh Apoteker Pengganti bukan
digantikan oleh Asisten Apoteker ataupun
Tenaga Kefarmasian lainnya.
Thank You

Anda mungkin juga menyukai