NIM : 14006011
Pelanggaran etika :
Rumah sakit
- Ada seorang dokter membuat suatu racikan obat analgesik(anti nyeri). Yang berisi
dexamethason 0,75mg
Prednison tab
Obat-obat tersebut diracik menjadi bentuk kapsul. Namun pada saat itu terdapat
komplain dari pasien yang datang dengan kondisi munface(wajah bulat gendut)
dan lumpuh diatas kursi roda.
Kasus produksi :
Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam
Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia.
Dan sebagai bahan rujukan yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik
Kedokteran Internadional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui
Muktamar Ikatan Dokter Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada
MuKerNas IDI XIII, tahun 1983.
- KEWAJIBAN UMUM
Pasal1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah
Dokter.
Pasal2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standard profesi yang tertinggi.
Pasal3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan
dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal6
Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan tehnik atau pengobatan
baru yang belum diuji kebenarannya dan hal hal yang dapat menimbulkan
keresahan masyarakat.
Pasal7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya..
Pasal7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang ( compassion ) dan
penghormatan atas martabat manusia.
Pasal7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dansejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal7c
Seorang dokter harus menghormati hak hak pasien, hak hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus
menjaga kepercayaan pasien.
Pasal7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
mahluk insani.
Pasal8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua
aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh ( promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif ), baik fisik maupun psiko-sosial,
serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar benarnya.
Pasal9
setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus
saling menghormati.
Pasal11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan
penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.
Pasal13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
Pasal15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan
prosedur yang etis.
Pasal17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi kedokteran/kesehatan.
Aturan hukum :
Dalam kaitannya dengan hal ini Van der Mijn (1989 : 57) mengemukakan adanya
sembilan alasan tentang perlunya pengaturan hukum yang mengatur hubungan antara
pasien dengan dokter.
1. Adanya kebutuhan pada keahlian keilmuan medis.
2. Kualitas pelayanan kesehatan yang baik.
3. Hasil guna.
4. Pengendalian biaya.
5. Ketertiban masyarakat.
6. Perlindungan hukum pasien.
7. Perlindungan hukum pengemban profesi kesehatan.
8. Perlindungan hukum pihak ketiga, dan
9. Perlindungan hukum kepentingan hukum.
Dari apa yang dikemukakan oleh Van der Mijn diatas, dapat dilihat bahwa hubungan
antara pasien dengan dokter mempunyai aspek etis dan aspek yuridis. Artinya hubungan
itu diatur oleh kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan
demikian baik pasien maupun dokter mempunyai kewajiban dan tanggung jawab secara
etis dan yuridis, sebagai konsekuensinya mereka juga bertanggung jawab dan
bertanggung gugat secara hukum.
Antara Hukum dan Etika
NIM :14006060
- Kasus etika :
Apoteker membuat suatu obat yang isinya campuran dari beberapa obat (oplosan).
Kasus Ib
Apoteker,seorang Manajer roduksi suatu Industri farmasi diminta untuk
memproduksi sediaan Tablet Captopil 25 mg. Sesuai dengan syarat standart
dalam Farmakope Indonesia edisi IV, syarat kadar Captopril tablet adalah 90 s.d.
110%. Guna memproduksi 100.000 tablet Captopril 25 mg, Apoteker S
menimbang 2,300 kg sehingga tiap tablet mengandung rata-rata 96,00%. Obat
dapat diproduksi dan secara peraturan perundang-undangan memenuhi syarat
kadar. Apoteker S dibanggakan oleh pemilik industri dan mendapat bonus besar
karena produksi Captopril tablet menghasilkan laba yang banyak.
Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah
memproduksi OT mengandung BKO tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi
OT TIE dan mengandung BKO tersebut didesain seperti Bunker yang terletak
dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua). Hasil pengujian PPOMN terhadap barang
bukti yang ditemukan menunjukkan :
Kajian Pelanggaran Etika Dan Undang-Undang Kefarmasian
Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obat tradisional (SK MENKES NO.
246/MENKES/SK/ V/1990 tentang izin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional)
Pasal 3
“Industri obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak
mencemari lingkungan”.
Pasal 8
Pasal 4a
Hak konsumen adalah : Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
PP
tentang Pekerjaan Kefarmasian Bagian Ketiga mengenai pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan
farmasi
Pasal 7 (1)
“Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker
penanggung jawab”
.
Pasal 9 (2)
“Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1
(satu)
orang apoteker sebagai penanggung jawab”
.