DI APOTEK:
1. Dokter menulis resep dengan kode, dan
resep tersebut hanya bisa ditebus di apotek yang
ditunjuk dokter.
2. PSA menjual psikotropika dan pada saat
membuat laporan bekerja sama dengan dokter
untuk membuatkan resep.
3. Krim malam, krim pagi buatan apotek
sendiri, tidak diketahui formulanya.
DI PUSKESMAS ATAU KLINIK:
1. Yang menyerahkan obat kepada pasien bukan
apoteker, melainkan bidan, mantri, perawat, karena
puskesmas tidak memiliki apoteker.
DI RUMAH SAKIT:
1. Apoteker membuat suatu obat yang isinya
campuran dari beberapa obat (oplosan).
DI INDUSTRI:
1. Klaim, saling mengklaim suatu produk melanggar
etika.
2. Kebohongan publik menginfokan tentang khasiat
suatu obat yang tidak benar.
KASUS PRODUKSI
KASUS I:
Kasus Ia
▣ Dalam FI IV disebutkan bahwa tablet efedrin memiliki kadar yang dapat diterima adalah 90-100% efedrin
anhydrat.
▣ Untuk memproduksi tablet efedrin 50 mg sebanyak 1.000.000 tab diperlukan 50 kg serbuk efedrin anhydrat
dengan penambahan berbagai bahan campuran lainnya.
▣ Hasil uji bagian QC didapat kadar efedrin 95,25%, KS/KB, WH memenuhi syarat sehingga barang tersebut
diluluskan.
▣ Tablet efedrin yang dibuat menjadi 1.047.500 tablet.
▣ Hasil ini terjadi berulang-ulang.
▣ Telah dilakukan check proses, namun hasil sama.
Kasus Ib
Apoteker S, seorang Manajer roduksi suatu Industri farmasi diminta untuk memproduksi sediaan Tablet
Captoprl 25 mg. Sesuai dengan syarat standard dalam Farmakope Indonesia edisi IV, syarat kadar Captopril
tablet adalah 90 s.d. 110%. Guna memproduksi 100.000 tablet Captopril 25 mg, Apoteker S menimbang 2,300
kg sehingga tiap tablet mengandung rata-rata 96,00%. Obat dapat diproduksi dan secara peraturan
perundang-undangan memenuhi syarat kadar. Apoteker S dibanggakan oleh pemilik industri dan mendapat
bonus besar karena produksi Captopril tablet menghasilkan laba yang banyak.
Pasal 6
•Usaha industri obat tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
•a. Dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
b. Memiliki nomor pokok wajib pajak.
Pasal 7
“Industri obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak mencemari lingkungan”.
Pasal 8
“Usaha industri obat tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya seorang apoteker warga
negara indonesia sebagai penanggung jawab teknis”.
Pasal 9
•Industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional wajib mengikuti pedoman cara pembuatan obat
tradisioanl yang baik (CPOTB).
•Pemenuhan persyaratan dimaksud ayat 1 dinyatakan oleh petugas yang berwenang melalui pemeriksaan
setempat.
Pasal 23
Untuk pendaftaran obat tradisional dimaksud dalam pasal 3 obat tradisional harus memenuhi
persyaratan:
•Secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia .
•Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi prsyaratan yang ditetapkan.
•Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat.
•Tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotik.
•
Pasal 7 (1)
“Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung
jawab”.
Pasal 9 (2)
“Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
apoteker sebagai penanggung jawab”.
KASUS PENGADAAN
KASUS DISTRIBUSI
KASUS I:
Apotek panel melanggar UU.
Penyelesaian:
Pada prinsipnya yang penting (tolong menolong):
1. Bagi yang nempil:
a. minta tolong dengan sopan dan cara yang baik, jangan hanya
menggunakan kertas sobekan untuk pemesanan.
b. Komunikasikan / telepon dulu, siapkan dokumen tertulis.
c. Kalimat terbaik: (1) SP; (2) Copi Resep; (3) Dengan kertas yang
baik. 1 & 2 Untuk nempil narkotik boleh tapi pake SP narkotik
(baca UU Narkotika No.35/2009)
2. Bagi yang ditempili:
a. Harga (pada umumnya HNA + PPN x index 1,3), namun untuk
sejawat tidak sama dengan harga pada umumnya, atau bukan
juga harga netto, ini egois. Tapi index misalnya 1,1. Tidak menarik
biaya tueslag dan embalanse.
KASUS III:
Narkotik boleh didistribusikan dari apotek ke apotek, dari apotek ke RS. Masa sesama
sejawat tidak saling percaya untuk nempil obat, percuma kuliah lama kata bu Bondan.
Yang penting ada SP nya aja (kesepakatan di Yogya pake SP khusus, tapi berdasarkan
undang-undang yang penting ada permintaan tertulis dari apoteker). UU Narkotik tahun
70an memang tidak diperbolehkan, namun UU Narkotik sekarang boleh. UU Narkotika
No. 35/2009:
Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai
pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien
berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui
suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan
oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di
apotek.
KASUS PELAYANAN
PELAYANAN RESEP
Definisi
Permenkes 922/Menkes/Per/X/1993–Pasal 1(h)
Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan kepada Apoteker
Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai
peraturan perundangundangan yang berlaku.
Resep yang baik adalah resep yang jelas dan dapat dibaca, resep harus memenuhi peraturan yang
ditetapkan oleh SK. MENKES RI No. 26 MenKes/Per/1981, Bab III, pasal 10, yang memuat :
•Nama, alamat dan No Surat Ijin Praktek Dokter
•Tempat dan tanggal penulisan resep
•Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan obat.
•Nama setiap obat/komponen resep (dengan Bentuk sediaan obat, Dosis, Jumlah dan petunjuk
pemakaian)
•Tanda tangan/ paraf dokter, alamat jelas rumah untuk obat narkotika
•Tanda seru/paraf dokter, pada obat yang melebihi dosis maksimum.
•Nama penderita
Perundang-undangan:
Permenkes No.278/279/280/Menkes/SK/V/1981
Melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan
Salinan resep harus ditanda-tangani atau diparaf oleh Apoteker
Pelayanan Resep
Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep
ada kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat,
apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis
resep.
(Anief, M., 2000).
OWA atau BUKAN
Apotek menjual antibiotik secara bebas tanpa resep misal Amox adalah obat
yang tidak termasuk OWA, tetapi banyak pasien minta amox tanpa resep
dokter. Apotek A tetap melayani. Sehingga untuk mengantisipasi jika diperiksa
oleh Dinkes & POM, agar tidak ketahuan maka apoteker di apotek tersebut
membuat copi resep sendiri ‘resep putih’ untuk melegalkan transaksi.
So:
o Resep putih merupakan dokumen palsu dan tidak bertanggung jawab
sehingga melanggar kode etik dan UU, seharusnya bila apoteker menyerahkan
obat selain OWA, maka harus berani bertanggung jawab. Keadaan pasien
ditanya terlebih dahulu beserta alasannya.
o Tidak benar karena copi resep ada tulisan pcc (pro copi confirm) artinya
sesuai benarnya/aslinya. Apoteker ini hanya takut peraturannya tapi tidak tau
prinsipnya. Menurut bu Bondan apoteker bisa memberikan judgement profesi
(keputusan) karena kita seorang profesional yang berbasis keilmuan.
o Jadi jika berdasarkan judgement kita amox harus diserahkan maka buat
catatan dan keterangan (tanggal, nama & alamat pasien, dasar pertimbangan,
keluhan, nama obat, dosis, dan jumlah obat, keterangan lain yang jelas, saat
penyerahan diberikan informasi dan konseling) dan dibubuhi tanda tangan
apoteker sehingga apoteker tidak perlu membuat dokumen palsu.
o
PENDIRIAN APOTEK
KASUS:
Apoteker H, seorang apoteker baru yang belum lama disumpah menjadi
apoteker di salah satu perguruan tinggi terkenal di Yogyakarta. Ia ditawari
beberapa pemilik sarana apotek untuk mendirikan apotek di suatu tempat yang
strategis namun berdekatan dengan beberapa apotek yang telah ada. Apoteker
H segera menerima tawaran tersebut tanpa berkonsultasi dengan sejawat
lainnya ataupun organisasi profesi (Ikatan Apoteker Indonesia).
Analisis Kasus:
• Kode etik Apoteker Indonesia dan Implementasi Jabaran Kode Etik
BAB I_pasal 5:
“Didalam menjalankan tugasnya seorang apoteker harus menjauhkan
diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan
martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian”.
BAB II _Tentang kewajiban apoteker terhadap teman sejawat
Pasal 10:
“Seorang apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagai
mana dia sendiri ingin diperlakukan”.
Pasal 11:
“Sesama apoteker harus saling mengingatkan dan saling menasehati
untuk mematuhi ketentuan-ketentuan kode etik”.
Pasal 12:
“Seorang apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
meningkatkan kerja sama yang baik sesama apoteker didalam memelihara
keluhuran martabat, jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling
mempercayai didalam menunaikan tugasnya”.
Pasal 18
SIPA dan SIKA hanya diberikan 1 tempat fasilitas kefarmasian.
Pasal 20
Dalam menjalankan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh
Apoteker Pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
Pasal 21
(1). Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
(2). Penyerahan dan Pelayanan Obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
Pasal 19
(1). Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada
jam buka apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk apoteker pendamping.
(2). Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena
hal2 tertentu berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk Apoteker
Pengganti.
(3). Penunjukan dimaksud (1) dan (2) harus kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kab/Kota dengan tembusan kepada Kepala Kesehatan Propinsi setempat
dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-9
(4). Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi
persyaratan dimaksud dalam Pasal 5.
(5). Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih
dari 2 tahun secara terus menerus, Surat Ijin Apotek atas nama Apoteker bersangkutan
dicabut.
Kesimpulan:
Pada Kasus ini, Apoteker M melanggar peraturan Kode Etik sebagai
Apoteker, bilamana APA berhalangan hadir di Apotek selama 3 bulan secara
terus menerus, maka APA harus segera mencarikan Apoteker Pengganti
dengan syarat memiliki SIPA dan tidak sedang bekerja sebagai APA di apotek
lain.
APA M melanggar peraturan KepMenKes, karena dalam hal ini
kemungkinan Apoteker Pendamping bekerja di Apotek di setiap waktu selama
APA tidak berada ditempat dalam waktu yang tidak menentu juga, sedangkan
Aping hanya bekerja pada waktu2 tertentu setiap jam buka apotek.