Anda di halaman 1dari 27

CONTOH PELANGGARAN ETIKA

DI APOTEK:
1. Dokter menulis resep dengan kode, dan
resep tersebut hanya bisa ditebus di apotek yang
ditunjuk dokter.
2. PSA menjual psikotropika dan pada saat
membuat laporan bekerja sama dengan dokter
untuk membuatkan resep.
3. Krim malam, krim pagi buatan apotek
sendiri, tidak diketahui formulanya.
DI PUSKESMAS ATAU KLINIK:
1. Yang menyerahkan obat kepada pasien bukan
apoteker, melainkan bidan, mantri, perawat, karena
puskesmas tidak memiliki apoteker.

DI RUMAH SAKIT:
1. Apoteker membuat suatu obat yang isinya
campuran dari beberapa obat (oplosan).

DI INDUSTRI:
1. Klaim, saling mengklaim suatu produk melanggar
etika.
2. Kebohongan publik menginfokan tentang khasiat
suatu obat yang tidak benar.
KASUS PRODUKSI

KASUS I:

Kasus Ia
▣ Dalam FI IV disebutkan bahwa tablet efedrin memiliki kadar yang dapat diterima adalah 90-100% efedrin
anhydrat.
▣ Untuk memproduksi tablet efedrin 50 mg sebanyak 1.000.000 tab diperlukan 50 kg serbuk efedrin anhydrat
dengan penambahan berbagai bahan campuran lainnya.
▣ Hasil uji bagian QC didapat kadar efedrin 95,25%, KS/KB, WH memenuhi syarat sehingga barang tersebut
diluluskan.
▣ Tablet efedrin yang dibuat menjadi 1.047.500 tablet.
▣ Hasil ini terjadi berulang-ulang.
▣ Telah dilakukan check proses, namun hasil sama.

Kasus Ib
Apoteker S, seorang Manajer roduksi suatu Industri farmasi diminta untuk memproduksi sediaan Tablet
Captoprl 25 mg. Sesuai dengan syarat standard dalam Farmakope Indonesia edisi IV, syarat kadar Captopril
tablet adalah 90 s.d. 110%. Guna memproduksi 100.000 tablet Captopril 25 mg, Apoteker S menimbang 2,300
kg sehingga tiap tablet mengandung rata-rata 96,00%. Obat dapat diproduksi dan secara peraturan
perundang-undangan memenuhi syarat kadar. Apoteker S dibanggakan oleh pemilik industri dan mendapat
bonus besar karena produksi Captopril tablet menghasilkan laba yang banyak.

Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh apoteker?


• Cari komitmen pimpinan terhadap mutu.
• Lakukan validasi proses.
• Bobot keseragaman obat tablet efedrin 50 mg, walaupun range 95-110%, akan tetapi harus ditimbang
50 mg jangan dikurangi.
KASUS II:
▣ Pemerintah telah menetapkan harga jual obat adalah 1- 3 kali harga obat
generiknya. Seorang apoteker yang menjabat sebagai Manajer Produksi di
suatu industri farmasi mendapati bahwa harga bahan baku glibenclamide naik
sehingga setelah diproduksi menjadi tablet glibenclamide juga harga tinggi
▣ Bila mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, pabrik mengalami
kerugian. Diketahui bahwa pabrik farmasi yang memproduksi glibenclamide
tablet hanya oleh beberapa pabrik farmasi.

Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh apoteker?

▣ Tetap memproduksi Glibenclamide tablet karena sangat diperlukan oleh


masyarakat. Tapi gemana mengatasi kerugian perusahaan? So:
▣ Melakukan subsidi silang untuk menutup kerugian pabrik/jual neto aja.
▣ Efektivitas produksi/menekan biaya produksi. Ganti dengan bahan
tambahan yang lebih murah tapi tidak mengubah kualitas.
▣ Lakukan upaya diplomasi antara petinggi pabrik (pentingnya GP-Farmasi)
dengan pemerintah terkait regulasi.
KASUS III:
Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa
Tengah memproduksi OT mengandung BKO tanpa hak dan
kewenangan. Ruang produksi OT TIE dan mengandung BKO
tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan
bertingkat 2 (dua).

Hasil pengujian PPOMN terhadap barang bukti yang ditemukan


menunjukkan :

Kajian Pelanggaran Etika Dan Undang-Undang Kefarmasian

Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha


industri kecil obat tradisional (SK MENKES NO.
246/MENKES/SK/ V/1990 tentang izin usaha industri obat
tradisional dan pendaftaran obat tradisional)
Pasal 3
•Obat tradisional yang diproduksi, diedarkan diwilayah Indonesia maupun dieksport terlebih dahulu harus
didaftarkan sebagai persetujuan menteri.
•Dikecualikan dari ketentuan ayat 1 adalah obat tradisional hasil poduksi:
•a. Industri kecil obat tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem.
b. Usaha jamu racikan.
c. Usaha jamu gendong.

Pasal 6
•Usaha industri obat tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
•a. Dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
b. Memiliki nomor pokok wajib pajak.

Pasal 7
“Industri obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak mencemari lingkungan”.

Pasal 8
“Usaha industri obat tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya seorang apoteker warga
negara indonesia sebagai penanggung jawab teknis”.

Pasal 9
•Industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional wajib mengikuti pedoman cara pembuatan obat
tradisioanl yang baik (CPOTB).
•Pemenuhan persyaratan dimaksud ayat 1 dinyatakan oleh petugas yang berwenang melalui pemeriksaan
setempat.
Pasal 23
Untuk pendaftaran obat tradisional dimaksud dalam pasal 3 obat tradisional harus memenuhi
persyaratan:
•Secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia .
•Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi prsyaratan yang ditetapkan.
•Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat.
•Tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotik.

UU No. 8 Tahun 1999


tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 4a
Hak konsumen adalah :
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

PP No. 51 Tahun 2009


tentang Pekerjaan Kefarmasian Bagian Ketiga mengenai pekerjaan kefarmasian dalam
produksi sediaan farmasi

Pasal 7 (1)
“Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung
jawab”.
Pasal 9 (2)
“Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
apoteker sebagai penanggung jawab”.
KASUS PENGADAAN

Apotek menerima tawaran PBF karena ada pelicin/bonus.

KASUS DISTRIBUSI

KASUS I:
Apotek panel melanggar UU.

Untuk bersaing dengan apotek lain, sehingga apotek X mencari


PBF yang menjual harga murah walaupun tidak legal dengan
tujuan agar bisa menjual kembali dengan harga murah dengan
diskon, sehingga mampu bersaing.
KASUS II:
▣ Nempil obat antar apotek bagaimana aturan main yang baik?

Penyelesaian:
Pada prinsipnya yang penting (tolong menolong):
1. Bagi yang nempil:
a. minta tolong dengan sopan dan cara yang baik, jangan hanya
menggunakan kertas sobekan untuk pemesanan.
b. Komunikasikan / telepon dulu, siapkan dokumen tertulis.
c. Kalimat terbaik: (1) SP; (2) Copi Resep; (3) Dengan kertas yang
baik. 1 & 2 Untuk nempil narkotik boleh tapi pake SP narkotik
(baca UU Narkotika No.35/2009)
2. Bagi yang ditempili:
a. Harga (pada umumnya HNA + PPN x index 1,3), namun untuk
sejawat tidak sama dengan harga pada umumnya, atau bukan
juga harga netto, ini egois. Tapi index misalnya 1,1. Tidak menarik
biaya tueslag dan embalanse.
KASUS III:
Narkotik boleh didistribusikan dari apotek ke apotek, dari apotek ke RS. Masa sesama
sejawat tidak saling percaya untuk nempil obat, percuma kuliah lama kata bu Bondan.
Yang penting ada SP nya aja (kesepakatan di Yogya pake SP khusus, tapi berdasarkan
undang-undang yang penting ada permintaan tertulis dari apoteker). UU Narkotik tahun
70an memang tidak diperbolehkan, namun UU Narkotik sekarang boleh. UU Narkotika
No. 35/2009:

Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai
pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien
berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui
suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan
oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di
apotek.
KASUS PELAYANAN

PELAYANAN RESEP

Definisi
Permenkes 922/Menkes/Per/X/1993–Pasal 1(h)
Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan kepada Apoteker
Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai
peraturan perundangundangan yang berlaku.

Resep yang baik adalah resep yang jelas dan dapat dibaca, resep harus memenuhi peraturan yang
ditetapkan oleh SK. MENKES RI No. 26 MenKes/Per/1981, Bab III, pasal 10, yang memuat :
•Nama, alamat dan No Surat Ijin Praktek Dokter
•Tempat dan tanggal penulisan resep
•Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan obat.
•Nama setiap obat/komponen resep (dengan Bentuk sediaan obat, Dosis, Jumlah dan petunjuk
pemakaian)
•Tanda tangan/ paraf dokter, alamat jelas rumah untuk obat narkotika
•Tanda seru/paraf dokter, pada obat yang melebihi dosis maksimum.
•Nama penderita

Bagian-bagian dari resep adalah :


a. Inscriptio (identitas dokter penulis resep, SIP, alamat, kota, tanggal dan R/
b. Praescriptio (Inti resep, terdiri dari nama obat, BSO, Dosis obat dan jumlah obat)
c. Signatura, tanda yang harus ditulis di etiket obat (nama pasien dan petunjuk pemakaian).
d. Subscriptio, tanda tangan atau paraf dokter.
Secara Teknis
Resep artinya pemberian obat secara tidak langsung, ditulis
jelas dengan tinta, tulisan tangan pada kop resep resmi kepada
pasien, format, dan kaedah penulisan sesuai dengan peraturan
dan per Undang-Undangan yang berlaku.

Perundang-undangan:
Permenkes No.278/279/280/Menkes/SK/V/1981
Melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan
Salinan resep harus ditanda-tangani atau diparaf oleh Apoteker

Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004


Skrining resep : Persyaratan administratif resep, a.l:
Nama, alamat dokter, tgl penulisan resep, paraf/td tangan
dokter, Nama obat, potensi, dosis , juml yg diminta, cara
pemakain dan Informasi lainnya.
Faktanya
Resep harus mudah dibaca dan mengungkapkan dengan jelas
apa yang harus diberikan (Zunilda, 1998).
Apabila apoteker menganggap pada resep tidak dapat dibaca
dengan jelas atau tidak lengkap, apoteker harus menanyakan
kepada penulis resep (Hartono, 2003).
Dalam resep harus memuat: nama dokter, nomor Surat Izin
Praktek dokter, alamat dokter, tanggal penulisan resep,
tanda tangan dokter, nama pasien, alamat, umur, berat badan,
nama obat, dosis, jumlah yang diminta, aturan pakai.
Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri yaitu
tidak boleh ada iterasi (ulangan), ditulis dengan nama pasien tidak
boleh m.i.=mihi ipsi=untuk dipakai sendiri, alamat pasien
dan aturan pakai yang jelas, tidak boleh ditulis sudah tahu
pakainya (Aniefa, 2000).
Kaidah Penulisan Resep
Nama obat ditulis dengan jelas. Penulisan nama obat tidak
jelas dapat menyebabkan obat yang keliru diberikan kepada
penderita.
Kekuatan dan jumlah obat ditulis dalam resep dengan jelas
(Zaman, 2001).

Pemberian obat yang terlalu banyak sebaiknya dihindari karena


bisa bahaya.
Pemberian obat dalam jangka waktu yang terlalu lama
sebaiknya dihindari.
(Joenes, 2001).

Pelayanan Resep Obat


Dalam pelayanan resep ini, resep yang sudah diterima
apoteker harus dibaca secara lengkap dan hati-hati, sehingga
tidak ada keraguan dalam resep tersebut
(Scott, 2000).
Skrining Resep
Persyaratan administratif yaitu: nama, nomor Surat Izin Praktek
dan alamat dokter, tanggal penulisan resep, paraf dokter penulis
resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, berat badan pasien,
nama obat, dosis, dan jumlah yang diminta, dan cara pemakaian
yang jelas.
Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas atau jika nampak telah
terjadi kesalahan, apoteker harus mengkonsultasikan kepada
penulis resep. Hendaknya apoteker tidak mengartikan maksud
dari kata yang tidak jelas atau singkatan yang tidak diketahui
(Scott, 2000).
Beberapa jenis kesalahan memang cukup banyak dijumpai
dalam penulisan resep, misalnya masih banyak resep obat
yang ditulis tanpa ada penulisan signa atau aturan pakai, kadang
kata signa yang dituliskan kurang jelas atau kurang lengkap
(Zairina dan Himawati, 2003).
Beberapa jenis kesalahan yang terjadi pada resep:
Tidak ada umur pasien terutama untuk pasien anak.
Tidak ada tanda tangan dokter/prescriber
Nama obat tidak jelas karena tulisan yang sulit
dibaca.
Penulisan obat dengan khasiat sama lebih dari 1 kali
dalam 1 lembar resep, baik dengan nama sama atau
merk berbeda.
(Nadeem, 2003).

Pelayanan Resep
Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep
ada kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat,
apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis
resep.
(Anief, M., 2000).
OWA atau BUKAN
Apotek menjual antibiotik secara bebas tanpa resep misal Amox adalah obat
yang tidak termasuk OWA, tetapi banyak pasien minta amox tanpa resep
dokter. Apotek A tetap melayani. Sehingga untuk mengantisipasi jika diperiksa
oleh Dinkes & POM, agar tidak ketahuan maka apoteker di apotek tersebut
membuat copi resep sendiri ‘resep putih’ untuk melegalkan transaksi.
So:
o Resep putih merupakan dokumen palsu dan tidak bertanggung jawab
sehingga melanggar kode etik dan UU, seharusnya bila apoteker menyerahkan
obat selain OWA, maka harus berani bertanggung jawab. Keadaan pasien
ditanya terlebih dahulu beserta alasannya.
o Tidak benar karena copi resep ada tulisan pcc (pro copi confirm) artinya
sesuai benarnya/aslinya. Apoteker ini hanya takut peraturannya tapi tidak tau
prinsipnya. Menurut bu Bondan apoteker bisa memberikan judgement profesi
(keputusan) karena kita seorang profesional yang berbasis keilmuan.
o Jadi jika berdasarkan judgement kita amox harus diserahkan maka buat
catatan dan keterangan (tanggal, nama & alamat pasien, dasar pertimbangan,
keluhan, nama obat, dosis, dan jumlah obat, keterangan lain yang jelas, saat
penyerahan diberikan informasi dan konseling) dan dibubuhi tanda tangan
apoteker sehingga apoteker tidak perlu membuat dokumen palsu.
o
PENDIRIAN APOTEK

KASUS:
Apoteker H, seorang apoteker baru yang belum lama disumpah menjadi
apoteker di salah satu perguruan tinggi terkenal di Yogyakarta. Ia ditawari
beberapa pemilik sarana apotek untuk mendirikan apotek di suatu tempat yang
strategis namun berdekatan dengan beberapa apotek yang telah ada. Apoteker
H segera menerima tawaran tersebut tanpa berkonsultasi dengan sejawat
lainnya ataupun organisasi profesi (Ikatan Apoteker Indonesia).

Analisis Kasus:
• Kode etik Apoteker Indonesia dan Implementasi Jabaran Kode Etik

BAB I_pasal 5:
“Didalam menjalankan tugasnya seorang apoteker harus menjauhkan
diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan
martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian”.
BAB II _Tentang kewajiban apoteker terhadap teman sejawat
Pasal 10:
“Seorang apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagai
mana dia sendiri ingin diperlakukan”.

Pasal 11:
“Sesama apoteker harus saling mengingatkan dan saling menasehati
untuk mematuhi ketentuan-ketentuan kode etik”.

Pasal 12:
“Seorang apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
meningkatkan kerja sama yang baik sesama apoteker didalam memelihara
keluhuran martabat, jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling
mempercayai didalam menunaikan tugasnya”.

Permenkes No.184 thn 1995 pasal 18:


“Apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar kode etik apoteker”.
APOTEKER DALAM DILEMA

▣ Seorang Apoteker APA sekaligus PSA, Apoteknya mengalami masalah


serius tidak dapat bersaing karena sekitar apotek dispensing dll.
▣ Memutuskan untuk mencari pekerjaan sampingan.
▣ Ada tawaran di PBF dan diterima. Segera mengurus ijin dan bekerja disana.

Tindakan apa yang akan saudara lakukan sebagai apoteker?

— Pelanggaran UU dan Etika.


— Permenkes 918/Menkes/Per/X/1993
— Permenkes 922/Menkes/Per/X/1993
— Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai
kompetensi Apoteker Indonesia.
— Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan diri semata bertentangan dengan martabat dan
tradisi luhur kefarmasian (Kode Etik pasal 5).
Kode Etik Apoteker pasal 2:
“Setiap Apoteker/Farmasis harus berusaha dg sungguh2
menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Farmasis
Indonesia”.
Kepmenkes RI No.1332/MenKes/SK/X/2002
Pasal 9
“Terhadap permohonan izin apotik yang ternyata tidak
memenuhi persyaratan dimaksud pasai 5 dan atau pasal 6 , atau
lokasi Apotik tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota setempat dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 12 (dua belas)hari kerja wajib mengeluarkan
Surat Penolakan disertai dengan alasan-alasannya dengan
mempergunakan contoh Formuiir Model APT- 7”.

Kesimpulan dan Saran:


• Sebaiknya apoteker H tidak langsung menerima tawaran
tersebut dan harus berkonsultasi terlebih dahulu kepada IAI
karena mengingat peraturan yang telah ditetapkan.
Kode Etik Apoteker Indonesia:
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya seorang apoteker harus
menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang
bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian.

Lihat juga IMPLEMENTASI-JABARAN.


Kasus:
Apoteker M bekerja sebagai salah satu staf pengajar di salah satu
PT Farmasi di propinsi Y. Saat ini Apoteker M juga tercatat masih
sebagai APA di salah satu apotek di propinsi yang
berbeda. Alasan yang diungkapkan oleh Apoteker M belum
melepas apotek tersebut karena ingin membantu PSA yang belum
sanggup membayar penuh 2 Apoteker jika stand by semua
karena kondisi apotek yang omzetnya masih rendah. Selama ini
pekerjaan kefarmasian di apotek tersebut dilakukan oleh Aping
dan AA.
Permasalahan:
1. Apoteker M bekerja sebagai staf pengajar di Perguruan Tinggi Farmasi di propinsi Y
2. Apoteker tsb juga bekerja sebagai APA di Apotek berbeda propinsi dengan tempat mengajarnya.
Peraturan yang berkenaan dengan kasus:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
tentang
Pekerjaan Kefarmasian

Pasal 18
SIPA dan SIKA hanya diberikan 1 tempat fasilitas kefarmasian.

Bagaimana jika sebagai staf pengajar?

Pasal 20
Dalam menjalankan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh
Apoteker Pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian.

Pasal 21
(1). Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
(2). Penyerahan dan Pelayanan Obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan


Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No 922/Menkes/Per/X/1993
tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotik

Pasal 19
(1). Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada
jam buka apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk apoteker pendamping.
(2). Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena
hal2 tertentu berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk Apoteker
Pengganti.
(3). Penunjukan dimaksud (1) dan (2) harus kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kab/Kota dengan tembusan kepada Kepala Kesehatan Propinsi setempat
dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-9
(4). Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi
persyaratan dimaksud dalam Pasal 5.
(5). Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih
dari 2 tahun secara terus menerus, Surat Ijin Apotek atas nama Apoteker bersangkutan
dicabut.

Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan Apoteker Pengelola


Apotek selama APA tsb tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus menerus,
telah memiliki Surat Ijin Kerja dan tidak bertindak sebagai APA di Apotek lain.
Apoteker Pendamping adalah Apoteker yang bekerja di Apotik di samping
Apoteker Pengelola Apotik dan / atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari
buka Apotik.
Keputusan Kongres Nasional XVIII / 2009 IKATAN SARJANA FARMASI
INDONESIA Nomor 006/Kongres XVIII/ISFI/2009
tentang
Kode Etik Apoteker Indonesia
Pasal 3
Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi
Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada
prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.

Permenkes 922 / Th. 1993


Pasal 19
1) Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek,
APA dapat menunjuk Apoteker Pendamping
2) Apabila APA dan Aping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan
tuganya, APA dapat menunjuk Apoteker Pengganti
5) Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 (dua) tahun
secara terus-menerus, SIA atas nama Apoteker bersangkutan dicabut
Kepmenkes 1332/ Th. 2002
Pasal 19
1) Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek,
APA harus menunjuk Apoteker Pendamping
2) Apabila APA dan Aping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan
tuganya, APA menunjuk Apoteker Pengganti
5) Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 (dua) tahun
secara terus-menerus, SIA atas nama Apoteker bersangkutan dicabut

Kesimpulan:
Pada Kasus ini, Apoteker M melanggar peraturan Kode Etik sebagai
Apoteker, bilamana APA berhalangan hadir di Apotek selama 3 bulan secara
terus menerus, maka APA harus segera mencarikan Apoteker Pengganti
dengan syarat memiliki SIPA dan tidak sedang bekerja sebagai APA di apotek
lain.
APA M melanggar peraturan KepMenKes, karena dalam hal ini
kemungkinan Apoteker Pendamping bekerja di Apotek di setiap waktu selama
APA tidak berada ditempat dalam waktu yang tidak menentu juga, sedangkan
Aping hanya bekerja pada waktu2 tertentu setiap jam buka apotek.

Anda mungkin juga menyukai