TAMBAHAN PANGAN
DAN KERACUNAN
MAKANAN
NAMA KELOMPOK 2
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 dijelaskan bahwa BTP adalah
bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai pangan dan biasanya bukan merupakan ingredien
khas pangan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan
kedalam pangan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, pengepakan, pengemasan,
penyimpanan atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan suatu komponen atau
mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.
PENGGOLONGAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN
Menurut peraturan Menkes No. 235 tahun 1979
a. Berdasarkan fungsinya
BTP dapat dikelompokan menjadi 14 yaitu: Antioksidan; Antikempal; Pengasam, penetral;
Enzim; Pemanis buatan; Pemutih dan pematang; Penambah gizi; Pengawet; Pengemulsi,
pemantap dan pengental; Peneras; Pewarna sintetis dan alami; Penyedap rasa da aroma,
Sekuestran; dll
b. Berdasarkan tujuan penggunaannya di dalam pangan
Pengelompokkan BTP yang diizinkan digunakan pada makanan dapat digolongkan sebagai:
Pewarna; Pemanis buatan; Pengawet; Antioksidan; Antikempal; Penyedap dan penguat rasa
serta aroma; Pengatur keasaman; Pemutih dan pamatang tepung; Pengemulsi; Pemantap dan
pengental; Pengeras, Sekuestran, Humektan, Enzim dan Penambah gizi
A. PENGA
WET
Pengawet (Preservative) adalah BTP untuk mencegah atau menghambat
fermentasi, pengasaman, penguraian, dan perusakan lainnya terhadap
Pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Bahan pengawet umumnya
digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah
rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi,
pengasaman atau peruraian yang disebabkan oleh mikroba. Tetapi tidak
jarang produsen menggunakanya pada pangan yang relatif awet dengan
tujuan untuk memperpanjang masa simapan atau memperbaiki tekstur.
Pada saat ini masih banyak ditemukan penggunaan bahan pengawet yang
dilarang untuk digunakan dalam pangan dan berbahaya bagi kesehatan
seperti boraks dan formalin.
A. PENGA
WET
A. PENGA
WET
Zat pengawet terdiri dari zat pengawet organik dan anorganik dalam bentuk asam dan
garamnya.
Pada prinsipnya Peraturan Menteri Kesehatan ini memuat beberapa hal pokok yaitu :
1. Jenis dan jumlah meksimum berbagai macam BTP yang diizinkan digunakan di dalam
pangan serta jenis pangan yang dapat ditambahkan BTP tersebut.
2. Jenis bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam pangan, yaitu :
a. Asam borat dan senyawanya
b. Asam salisilat dan garamnya
c. Dietilpirokarbonat
d. Dulsin
e. Kalium klorat
f. Kloramfenikol
PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 772/MENKES/PER/IX/88 TENTANG
BAHAN TAMBAHAN PANGAN
3. Pangan yang mengandung BTP, pada labelnya harus dicantumkan nama golongan
BTP, dan pada label pangan yang mengandung BTP golongan antioksidan, pemanis
buatan, pengawet, pewarna dan penguat rasa harus dicantumkan pula nama BTP dan
nomor indeks khusus untuk pewarna
PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 772/MENKES/PER/IX/88 TENTANG
BAHAN TAMBAHAN PANGAN
4. Pada wadah BTP harus dicantumkan label yang memenuhi ketentuan Peraturan Menteri
Kesehatan RI tentang Label dan Periklanan Pangan. Selain itu pada label BTP harus
dicantumkan pula :
a. Tulisan “Bahan Tambahan Pangan” atau “Food Additive”
b. Nama BTP, khusus untuk pewarna dicantumkan pula nomor indeksnya.
c. Nama golongan BTP.
d. Nomor pendaftaran produsen.
e. Nomor pendaftaran produk, untuk BTP yang harus didaftarkan.
f. Pada label BTP dalam kemasan eceran harus dicantumkan pula takaran penggunaannya.
BAHAN TAMBAHAN MAKANAN YANG SERING
DIGUNAKAN DAN BAHAYANYA BAGI KESEHATAN
Sesuai permenkes No. 033 Tahun 2012 tentang penggolongan bahan tambahan
makanan ada 27 golongan, tetapi dari 27 golongan tersebut beberapa yang
digunakan masyarakat yaitu :
a. Pewarna
Bahan tambahan makanan berupa pewarna alami dan sintetis yang ketika
ditambahkan ke dalam pangan mampu memberi atau memperbaiki warna.
Dari berbagai jenis pewarna tekstil yang paling digunakan sebagai pewarna
makanan adalah Rhodamin B dan Methanil Yellow.
BAHAN TAMBAHAN MAKANAN YANG SERING
DIGUNAKAN DAN BAHAYANYA BAGI KESEHATAN
Ciri-ciri makanan yang menggunakan pewarna tekstil/berbahaya yaitu
1. Rhodamin B
• Warna merah terang
• Terdapat rasa pahit
• Rasa gatal ditenggorokan setelah dikonsumsi
• Bau tidak alami
2. Methanil Yellow
• Warna kuning mencolok dan berpendar
• Terdapat titik-titik warna tidak merata
Penyalahgunaan methanil yellow pada pangan antara lain krupuk, terasi, gulali, sirup.
Bahaya bagi kesehatan yaitu dapat menimbulkan tumor dalam jaringan hati, kandung
kemih, saluran pencernaan atau jaringan kulit.
BAHAN TAMBAHAN MAKANAN YANG SERING
DIGUNAKAN DAN BAHAYANYA BAGI KESEHATAN
b. Bahan Pengawet
Bahan tambahan pangan untuk mencegah atau menghambat fermentasi
pengasaman, penguraian, dan perusakan lainnya terhadap pangan yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Contoh : natrium benzoat, asam sorbat, natrium
bisulfit. Bahan pengawet yang tidak diijinkan namun banyak digunakan dalam
makanan adalah formalin dan boraks. Formalin dan boraks tidak aman
dikonsumsi sebagai makanan, namun penggunaannya sudah meluas di Indonesia
BAHAN TAMBAHAN MAKANAN YANG SERING
DIGUNAKAN DAN BAHAYANYA BAGI KESEHATAN
Ciri-ciri makanan yang mengandung boraks dan formalin :
• Menambahkan sampel dengan 3-5 tetes pereaksi I formalin dengan hati-hati tetes
demi tetes dan segera menutup botol
A. Keracunan Tetrodotoxin
2. Patofisologi
Tetradotoksin adalah racun yang tahan panas (kecuali dalam suasana alkali) dan
merupakan racun non-protein yang larut dalam air. Tetradotoksin adalah molekul organik,
kecil, heterosiklik yang bekerja langsung pada pompa natrium aktif di jaringan saraf.
Racun ini menghambat difusi natrium melalui pompa natrium, sehingga mencegah
depolarisasi dan terbentuknya aksi pootensial dar sel saraf. Racun ini bekerja pada sistem
saraf tepi (contoh saraf otonom, motorik dan sensorik). Racun ini merangsang
kemoreseptor serta mendepresi pusat pernafasan dan pusat vasomotor di medula
oblongata.
KERACUNAN MAKANAN
A. Keracunan Tetrodotoxin
3. Dosis Toksik
Pada manusia, dosis tetrodotoxin yang mematikan adalah sekitar 1 hingga 2 mg dan dosis
minimum yang diperlukan untuk menimbulkan gejala diperkirakan 0,2 mg.
4. Gejala
• Gejala awal timbul 15 menit hingga beberapa jam pasca paparan dengan makanan
yang mengandung tetrodotoksin. Bahkan pernah dilaporkan gejala inisial muncul 20
jam pasca paparan.
• Gejala awal meliputi arestesi bibir dan lidah, diikuti parestesi dan baal di daerah
wajah dan tungkai. Kemudian dilanjutkan salivasi, mual, muntah dan diare disertai
nyeri perut.
KERACUNAN MAKANAN
A. Keracunan Tetrodotoxin
4. Gejala
• Disfungsi motorik disertai kelemahan, hipoventilasi (mungkin merupakan akibat dari
disfungsi sistem saraf pusat dan tepi), kemudian diikuti oleh kesulitan bicara.
Ascending paralysis muncul dalam 4 hingga 24 jam kemudian. Paralisis tungkai
timbul sebelum paralisis bulbar, yang kemudian diikuti oleh paralisis otot-otot
pernafasan. Refleks tendon dalam (deep tendon reflex) tidak terganggu pada tahap
awal paralisis.
• Akhirnya, disfungsi jantung dengan hipotensi dan disritmia (bradikardia), disfungsi
SSP (koma) dan kejang mungkin terjadi. Korban yang mengalami keracunan akut
berat dapat mengalami koma yang dalam, pupil non reaktif, henti nafas dan
KERACUNAN MAKANAN
A. Keracunan Tetrodotoxin
4. Gejala
hilangnya seluruh refleks batang otak.
• Kematian dapat terjadi dalam 4 hingga 6 jam. Kematian terjadi akibat paralisis otot-
otot pernafasan dan gagal nafas.
•Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan:
Hilangnya fungsi saraf sensorik dan motoric
Ascending paralysisi dan depresi pernafasan
Sianosis disertai gagal nafas
Hipotensi dan disfungsi otot jantung
KERACUNAN MAKANAN
A. Keracunan Tetrodotoxin
4. Gejala
•Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan:
Gangguan irama jantung, terutama bradikardia, blok atrioventrikular, dan
bundle-branch block
Ganggan saluran penvernaan tidak terlalu menonjol, hanya muntah dan nyeri
abdomen
• Menurut Fugu Research Institute persentase korban keracunan TTX adalah 50%
karena memakan liver, 43% karena memakan ovarium, dan 7% karena memakan
kulit.
KERACUNAN MAKANAN
A. Keracunan Tetrodotoxin
5. Analisis
•Darah
TTX dapat ditemukan dalam darah dalam waktu kurang dari 24 jam setelah
konsumsi
• Urine
TTX bisa ditemukan di urin setelah 4 hari sejak konsumsi.
KERACUNAN MAKANAN
A. Keracunan Tetrodotoxin
Contoh kasus
• Aktor kabuki terkenal Bando Mitsugoro VIII, meninggal pada tanggal 16 Januari 1975,
beberapa menit setelah konsumsi hati ikan buntal
• Laki-laki 23 tahun di California mengonsumsi ± ¼ ons daging ikan buntal, 10-15 menit
kemudian, ia merasa kesemutan pada mulut dan bibir yang disertai pusing, merasa lelah,
sakit kepala, perasaan mengkerut pada leher, sulit berbicara, sesak pada dada, wajah merah,
menggigil, mual dan muntah. Setelah diperiksa, tekanan darahnya 150/90 mmHg, denyut
jantung 117 detak/menit, dan berhasil selamat.
• Laki-laki 32 tahun di California mengonsumsi 3 potong daging ikan buntal (sekitar 1 ½
ons), 2-3 menit kemudian, selagi mengonsumsi potongan yang ke-3, ia merasa kesemutan
KERACUNAN MAKANAN
A. Keracunan Tetrodotoxin
Contoh kasus
pada lidah dan mulut yang disertai perasaan ringan, gelisah, dan merasa lemah dan
pingsan. Setelah diperiksa, tekanan darah 167/125 mmHg, denyut jantung 112 detak/menit,
rata-rata pernapasan 20/menit.
• Korban wabah di Bangladesh pada bulan April 2008, mengonsumsi kurang dari 50–200 g
ikan buntal. Korban meninggal tersebut telah menelan lebih dari 100 g ikan buntal yang
terkontaminasi TTX.
KERACUNAN MAKANAN
A. Keracunan Tetrodotoxin
Pencegahan
1. Dalam Pengolahan
• Hanya pemegang lisensi yang diperbolehkan menyediakan atau menghidangkan ikan
buntal ini untuk konsumen
• Cara menangkap, memotong, membersihkan dan memasak terstandarisasi dengan
pelatihan.
2. Dalam Penyajian Makanan
• Hanya mengonsumsi dagingnya saja
• Saat membersihkan jeroan jangan sampai empedunya pecah
KERACUNAN MAKANAN
A. Keracunan Tetrodotoxin
Pencegahan
2. Dalam Penyajian Makanan
• Dipotong menyilang, dengan kepala hingga
belakang dubur dibuang
• Hanya mengonsumsi ikan buntal yang
disajikan oleh chef berlisensi
KERACUNAN MAKANAN
A. Keracunan Tetrodotoxin
Penatalaksaan
Jika ditemukan kasus keracunan akibat mengkonsumsi ikan buntal, segera bawa korban ke
rumah sakit dengan fasilitas ICU untuk segera mendapatkan pertolongan. Oleh karena gejala
akan muncul dalam 6 jam, namun dapat saja tertunda 12 hingga 20 jam.
1. Pertolongan Pertama
• Bebaskan dan amankan jalan nafas (cegah aspirasi)
• Berikan infus normal salin (NaCl 0,9%) atau kristaloid dan buka jalur vena untuk
pemberian obat-obatan
• Monitor tanda vital dan berikan oksigenasi yang adekuat.
KERACUNAN MAKANAN
A. Keracunan Tetrodotoxin
Penatalaksaan
1. Pertolongan Pertama
• Keluarkan racun dari saluran pencernaan dengan melakukan bilas lambung dengan
arang aktif (dengan atau tanpa katartik), hati-hati akan kemungkinan terjadinya
aspirasi dan trauma esophagus.
• Fokus terapi berikutnya adalah fungsi jantung hingga toksin telah tereliminasi
seluruhnya dari tubuh.
• Tidak ada antidot spesifik yang pernah dicobakan pada manusia.
Saat ini tidak ada obat penawar atau antitoksin yang diketahui terhadap tetrodotoxin. Oleh
karena itu pengobatan gejalanya bersifat suportif.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
1. Definisi
Clostridium botulinum adalah bakteri gram positif, membentuk endospora oval
subterminal dibentuk pada fase stationar, berbentuk batang, membentuk spora, gas dan
anaerobic. Ada 7 tipe bakteri ini yang berbeda berdasarkan spesifitas racun yang
diproduksi, yaitu tipe A, B, C, D, E, F, dan G. Tipe yang berbahaya bagi manusia adalah
tipe A, B, E, dan F. Produksi toksin pada daging kering akan dicegah bila kadar air
dikurangi hingga 30 persen. Toksin dari Clostridium botulinum adalah suatu protein yang
daya toksisitasnya sangat kuat sehingga sejumlah kecil dari toksin ini sudah cukup
menyebabkan kematian.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botolinum
2. Patofisiologi
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
2. Patofisiologi
Kontaminasi dapat terjadi selama masa persiapan makanan atau selama penanganan
selanjutnya, tetapi yang paling sering adalah pada saat pemanenan suatu produk.
Keberadaan C. botulinum pada bahan makanan sebenarnya tidak membahayakan
sepanjang kuman tidak menghasilkan toksin. Pertumbuhannya tergantung pada kecukupan
nutrisi yang diperlukannya untuk tumbuh serta kondisi yang obligate anaerob. Kuman
tidak dapat tumbuh pada permukaan suatu produk yang terpapar oleh udara, tetapi dapat
tumbuh di bawah permukaan produk asalkan tersedianya unsur pokok untuk oksidasi-
reduksi seperti unsur thiol, contohnya pada daging dan ikan. Potensial redok yang lambat
pada makanan kaleng dengan kondisi anaerob akan mengakibatkan toksigenesis yang
selanjutnya mengakibatkan terjadinya botulismus.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
3. Gejala
Pemunculan gejala tergantung dari penelanan toksin pada makanan, dan gejala dapat
berkembang antara 12 sampai 72 jam kemudian karena masa inkubasi dari kuman berkisar
12 sampai 36 jam. Toksin (racun) yang diproduksi C. botulinum sangat berbahaya
terhadap manusia, dapat menyebabkan gastroenteritis bahkan menyebabkan kematian.
Gejala gastroenteritis yaitu diplopia, disfagia,disfonia, dan sulit pernafasan. Gejala
botulisme berupa mual, muntah, pening, sakit kepala, pandangan berganda,
tenggorokan dan hidung terasa kering, nyeri perut, letih, lemah otot, paralisis, dan pada
beberapa kasus dapat menimbulkan kematian.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
3. Gejala
Gejala mula-mula timbul biasanya adalah gangguan pencernaan yang akut, diikuti dengan
mual, muntah-muntah, diare, ”fatig” (lemas fisik dan mental), pusing dan sakit kepala.
Pandangan berubah menjadi dua, sulit menelan dan berbicara. Otot-otot menjadi
lumpuh, dan paralisis menyebar pada system pernafasan dan jantung, dan kematian
biasanya terjadi karena sulit bernafas. Pada kasus yang fatal, kematian biasanya terjadi
dalam waktu 3 hingga 6 hari.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
4. Analisis
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis botulisme adalah:
• Tes sampel darah, feses, atau muntah untuk mendeteksi racun dari bakteri C.
botulinum.
• Elektromiografi, untuk memeriksa fungsi otot dan saraf.
• CT scan atau MRI kepala, untuk menyampingkan kemungkinan gejala diakibatkan
oleh gangguan kesehatan lain, misalnya stroke.
• Pemeriksaan cairan serebrospinal, untuk memastikan adanya infeksi atau cedera pada
otak dan sumsum tulang belakang.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
Contoh Kasus
1. Kasus Fonterra yang menarik produk (recall) dari pasaran mengandung
C.botulinum
3 Agustus 2013, Fonterra, perusahaan produk olahan susu sapi keempat terbesar di
dunia dari Selandia Baru, merilis berita mengenai adanya kontaminasi bakteri
Clostridium pada bahan dasar produk mereka, yaitu Whey Protein Concentrate
(WPC80). Fontera melaporkan bahwa kontaminasi itu berasal dari saluran pipa yang
tidak higienis di pabrik Waikato, Selandia Baru yang memproduksi WPC80, dan
terjadi pada bulan Mei 2012. Rilis ini berdasarkan aduan delapan dari kustomer Fonterra,
yang memperoleh uji positif Clostridium pada sampel produk yang mereka teliti.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
Contoh Kasus
1. Kasus Fonterra yang menarik produk (recall) dari pasaran mengandung
C.botulinum
Ada ratusan jenis (strain) bakteri Clostridium, sebagian besar tidak berbahaya. Salah
satu jenis ini yang paling berbahaya adalah Clostridium botullinum. Penderita
keracunan makanan yang mengakibatkan gangguan pada otot (paralysis), sistem
pernapasan dan pencernaan. Penderita bisa berujung kepada kematian apabila tidak
ditangani dengan segera.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
Contoh Kasus
2. Kasus keracunan ikan sarden
Seorang wanita meninggal dan 12 lainnya mendapat perawatan medis akibat keracunan
makanan yang dihubungkan dengan konsumsi ikan sarden. Penyakit ini, yang dikenal
sebagai botulisme, merupakan kondisi neurologis yang sangat serius dan biasanya
berkaitan dengan konsumsi makanan yang diawetkan dengan cara tidak tepat. Restoran
yang dimaksud diketahui telah mengawetkan ikan sarden dengan cara mereka sendiri,
menurut keterangan Direktorat Jenderal Kesehatan Prancis (DGS). Menurut DGS, para
korban telah mengonsumsi ikan sarden yang disimpan dalam stoples oleh pemilik
restoran.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
Contoh Kasus
2. Kasus keracunan ikan sarden
Botulisme sendiri adalah salah satu penyakit yang paling ditakuti di dunia medis, dengan
tingkat kematian antara 5 sampai 10 persen dari total kasus. Penyakit ini disebabkan
racun yang diproduksi bakteri Clostridium botulinum. Kondisi ini biasanya muncul
ketika proses sterilisasi makanan yang diawetkan tidak dilakukan dengan tepat, sehingga
memungkinkan bakteri berkembang biak dan memproduksi toksin. DGS saat ini sedang
melakukan pemeriksaan mendalam di restoran yang diduga jadi sumber wabah. Mereka
memperingatkan bahwa ada kemungkinan kasus tambahan dari botulisme, mengingat
penyakit ini memiliki masa inkubasi yang bisa berlangsung beberapa hari.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
Pencegahan
• Kebanyakan keracunan dapat terjadi akibat cara pengawetan pangan yang keliru
(khususnya di rumah atau industri rumah tangga). Tindakan pengendalian khusus bagi
industri terkait bakteri ini adalah penerapan sterilisasi. panas dan penggunaan nitrit
pada daging yang dipasteurisasi. Sedangkan bagi rumah tangga atau pusat penjualan
makanan antara lain dengan memasak pangan kaleng dengan suhu dan waktu yang tepat,
simpan pangan dalam lemari pendingin terutama untuk pangan yang dikemas hampa
udara dan pangan segar atau yang diasap. Hindari pula mengkonsumsi pangan kaleng
yang kemasannya telah menggembung.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
Pencegahan
• Bertitik tolak dari permasalahan tersebut maka guna mencegah bahaya botulismus
disarankan untuk: memanaskan makanan dengan temperatur yang tinggi (makanan kaleng)
dengan tujuan untuk mematikan spora, mendinginkan makanan yang tidak dimasak (suhu
lebih rendah dari 3,3°C) dan segera mengkonsumsi makanan yang telah dimasak karena
apabila dibiarkan terlalu lama (suhu makanan 20" sampai 45°C) adalah suhu optimal untuk
pertumbuhan C. botulinum.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
Peatalaksanaan
•Pertolongan pertama keracunan makanan
Dengan minum air putih yang banyak, pemberian larutan air yang telah dicampur dengan
garam. Pertolongan pertama yang bisa dilakukan adalah dengan mengganti cairan dan
elektrolit yang hilang akibat muntah atau diare.
•Pemberian Antitoksin
Antitoksin berisi antibodi yang bekerja terhadap toksin tipe spesifik pada sirkulasi tubuh
penderita. Antibodi secara langsung mencegah efek toksin. botulinum yang bekerja di
membran presinaps atau terminal saraf. Terdapat dua jenis antitoksin yang tersedia saat ini,
yaitu antitoksin yang berasal dari kuda (equine-source) dan yang berasal dari manusia yaitu
botulism immune globulin intravenous (human) (BIV-Ig).
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
Penatalaksanaan
• Pemberian Antitoksin
Antitoksin yang Berasal dari Kuda (Equine-Source):
Satu-satunya terapi spesifik yang disetujui untuk botulisme non-infant adalah
antitoksin yang berasal dari kuda. Antitoksin yang berasal dari kuda bersifat
heptavalen dan mengandung antibodi terhadap 7 serotipe toksin tipe A hingga G.
Dosis penggunaan adalah 1 vial per pasien dan digunakan secara dosis tunggal.
Sebelum pemberian, penderita perlu melakukan skin test terlebih dahulu karena
sebanyak 9% orang dapat mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap regimen
ini.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
Penatalaksanaan
Botulism Immune Globulin Intravenous (human) (BIV-Ig):
Antitoksin botulism immune globulin intravenous (human) (BIV-Ig) berasal dari
manusia dan diindikasikan pada kasus botulisme tipe infant. Antitoksin ini
mengandung plasma donor untuk menetralisasi toksin botulinum. Pemberian
dilakukan secara dosis tunggal sebanyak 50 mg secara intravena. Setiap dosis
mengandung 15 IU antibodi terhadap toksin A dan 4 IU antibodi terhadap toksin B.
Penggunaan dalam 7 hari perawatan.
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
• Pemberian antibotik
Penggunaan antibiotik diindikasikan pada kasus infeksi bakteri sekunder terkait
dengan botulisme maupun pada kasus botulisme tipe wound. Antibiotik terpilih
yang digunakan adalah penicillin G dengan dosis 250.000–400.000 U/kg/hari yang
diberikan selama 10-14 hari.
Alternatif antibiotik lain yang dapat digunakan adalah metronidazole, dengan dosis
yang digunakan pada infeksi bakteri anaerob, yaitu dosis awal 15 mg/kgBB IV
(tidak melebihi 4 gram/hari) dan dilanjutkan dengan dosis maintenance 7,5
mg/kgBB PO/IV setiap 6 jam selama 7–10 hari (atau 2–3 minggu jika gejala
parah).
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
• Pemberian antibotik
Penggunaan aminoglikosida seperti gentamicin dan tobramycin dihindari pada
kasus botulisme karena berpotensi dapat meningkatkan efek paralisis dan memicu
gagal napas pada penderita. Hal ini terjadi karena aminoglikosida mengurangi
pelepasan asetilkolin dari terminal saraf diafragma
KERACUNAN MAKANAN
B. Keracunan Botulinum
• Terapi Supportif
Bebaskan dan amankan jalan nafas (cegah aspirasi)
Berikan infus normal salin (NaCl 0,9%) atau kristaloid dan buka jalur vena untuk
pemberian oabt-obatan
Keluarkan racun dari saluran pencernaan dengan melakukan bilas lambung dengan
arang aktif (dengan atau tanpa katartik), hati-hati akan kemungkinan terjadinya
aspirasi dan trauma esophagus.
Monitor tanda vital dan berikan oksigenasi yang adekuat.
TERIMA
KASIH