Anda di halaman 1dari 53

SAP VII

DELIK
DELICT/STRAFBAAR FEIT
1. Istilah & Arti Delik/Strafbaar Feit.
2. Unsur
– Teori Monisme
– Teori Dualisme
3. Jenis/macam
4. Teknik Perumusan Delik dalam UU
– Merumuskan unsur delik
– Kualifikasi unsur delik
5. Gabungan
1. Istilah & Arti Delik/Strafbaar feit.
1. Delik adalah suatu perbuatan atau suatu tindakan
terlarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang.
2. Ada dua istilah yang digunakan dalam bahasa
Belanda untuk tindak pidana yaitu: strafbaar feit
dan istilah Delict yang mempunyai makna sama.
• Delict : dapat diterjemahkan dengan delik saja
sedangkan
• Strafbaar feit dalam bahasa Indonesia mempunyai
beberapa arti dan belum diperoleh kata sepakat
antara para sarjana Indonesia mengenai alih
bahasa.
Beberapa istilah lain tentang”delik”:
1.Satochid Kartanegara: Tindak pidana.
2.Moeljatno: Perbuatan pidana.
3.Purnadi Purbacaraka: peristiwa pidana.
4.Simons: Strafbaar feit (peristiwa pidana).
5.van Hamel: Strafwaardig feit (peristiwa yang patut atau
bernilai untuk dipidana).
6. Vos: Strafbaar feit.
7. Hazewinkel-Suringa: Strafbaar feit.
8. Mr. Tresna, E. Utrecht & Wirjono Prodjodikoro:
peristiwa pidana.
9. Suprapto: perbuatan pidana.
10. Subekti & CH. Himawan: tindak pidana.
11. Mr. Tirtaamidjaja: pelanggaran pidana
Beberapa pengertian delik/strafbaar feit:
1.Simons: Strafbaar feit ialah perbuatan melawan hukum
yang berkaitan dengan kesalahan (schuld).
2.van Hamel: perbuatan manusia yang diuraikan oleh
undang-undang, melawan hukum, patut atau bernilai untuk
dipidana (strafwaardig feit) dan dapat dicela karena
kesalahan (en aan schuld te wijten).
3.Vos: kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh
peraturan perundang-undangan diberikan pidana.
4.Hazewinkel-Suringa: terpilih untuk setiap tingkah laku
yang dilarang disertai ancaman pidana, baik ia terdiri atas
berbuat (doen) maupun atas pengabaian (nalaten).
5.Van Hattum: peristiwa yang menyebabkan seseorang
dapat dipidana (feit ter zake van het welk een persoon)
6. Mr. Karni, Soesilo dan H.J. Van Schravendijk:
perbuatan yang dapat di hukum.
7. Mr. Andi Zainal Abidin Farid: istilah yg paling
tepat adalah “delik” yg berasal dari bahasa Latin
“delictum”, karena:
*) bersifat universal, semua orang di dunia
ini mengenalnya;
*) bersifat ekonomis karena singkat;
*) tdk menimbulkan kejanggalan seperti
“peristiwa pidana”, “perbuatan pidana”
(bukan peristiwa - perbuatan yg dipidana,
tetapi pembuatnya).
*) luas pengertiannya, sehingga meliputi
delik2 yg diwujudkan oleh koorporasi.
2. Unsur Delik
Terjadinya perbedaan pendapat dari para ahli,
tentang perumusan pengertian Strafbaar Feit
(delik/peristiwa pidana) adalah pada dasarnya
dilatar belakangi dari adanya pandangan atau
aliran ilmu hukum pidana yang dianutnya yakni
ALIRAN MONISME dan ALIRAN
DUALISME, yang sering juga disebut aliran
monistis dan aliran dualistis.
A. Aliran Monistis :
• Pandangan aliran monistis tentang delik
adalah menyatukan unsur-unsur delik
tentang unsur perbuatan (unsur obyektif)
dan unsur pembuat (unsur subyektif)

• Aliran ini berpendapat bahwa jika ada


delik maka disitu ada orang yang harus
dipidana, jadi berarti semua unsur delik
sama dengan syarat-syarat orang dijatuhi
pidana.
• Aliran ini mempertegas bahwa “apabila
salah satu unsur delik tidak ada, maka tidak
ada orang yang dapat dipidana atau tidak
ada delik yang terjadi”, dengan kata lain,
“jika ada peristiwa pidana maka disitu ada
strafbaar person, tanpa itu tidak ada
peristiwa pidana”.

• Aliran monisme ini dipelopori oleh Simons,


van Hattum dan van Hamel, J. Jonkers,
Wiryono Projodikoro, dan van Schavendijk.
B. Aliran Dualistis
• Memisahkan unsur perbuatan dengan orang
yang melakukan.
• Dianut oleh Pompe, Vos, Tresna, Roeslan
Saleh, A. Zaenal Abidin F.
• Perbedaan aliran ini hanya dibicarakan pada
konteks teori semata, pada praktik hukumnya
yang dibicarakan adalah unsur-unsur yang ada
dalam rumusan delik yang bersangkutan
(konkret) dan tidak mengacu pada pendapat
teoritis (abstrak)
• Dalam praktik, syarat mutlak memidana adalah
terpenuhinya semua unsur delik.
• Jika dalam delik yang didakwakan terdapat
unsur subyektif (kesalahan atau melawan
hukum, contoh pasal: 368,369,378,390) unsur
itu juga harus terdapat pada diri pelakunya
dalam arti harus terbukti.
• Jika salah satu unsur delik tidak terpenuhi,
maka putusannya bebas dari segala dakwaan
(vrijspraak).
• Jika terdakwa tidak memiliki kemampuan
bertanggung jawab (p.44KUHP) maka
putusannya lepas dari tuntutan hukum (ontslag
van rechtvervolging.
3.Unsur Delik
1. Secara teoritis, perbedaan pandangan antara
aliran monistis dengan aliran dualistis ikut
mempengaruhi cara merumuskan unsur delik
yang dilakukan oleh para penganut masing-
masing faham tersebut.
2. Menurut penganut faham dualistis, unsur delik
umumnya terdiri dari :
a) Perbuatan manusia yang dilarang,
b) Dimuat dalam UU,
c) Diancam pidana bagi pelakunya.
• Menurut penganut faham monistis : tidak ada
pemisahan antara unsur-unsur mengenai
perbuatannya dengan unsur-unsur mengenai
orangnya.
3. Unsur delik menurut UU:
a)Unsur tingkah laku
b)Unsur melawan hukum
c) Unsur kesalahan
d)Unsur akibat konstitutif
e)Unsur keadaan yang menyertai
f) Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut
g) Unsur syarat tambahan untuk memperberat
pidana
h) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya
dipidana
i) Unsur obyek hukum tindak pidana
j) Unsur kualitas subyek hukum tindak pidana
k) Unsur syarat tambahan untuk memperingan
pidana
Catatan : unsur melawan hukum dan unsur
kesalahan merupakan unsur subyektif.
Andi Zainal Abidin Farid (1995:221),
ada 4 unsur delik, yaitu :
1. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif.
2. Akibat (khusus delik-delik yang dirumuskan
secara materieel)
3. Melawan hukum formil yang berkaitan dengan
asas legalitas, dan melawan hukum materill.
4. Tidak adanya dasar pembenar.
Kesimpulannya : Delik adalah “Suatu perbuatan
aktif atau pasif, yaitu untuk materil disyaratkan
terjadinya akibat yang mempunyai hubungan
kausal dengan perbuatan, yang melawan
hukum formil dan materil, dan tidak adanya
dasar pembenar yang membenarkan
perbuatan itu”.
a) Unsur Tingkah Laku
• Tindak pidana : mengenai larangan berbuat.
• Perbuatan, umum disebutkan dalam delik.
1. Jenis Perbuatan :
-. Aktif (Positif/handelen): mengambil (362),
membuat secara palsu (268), dsb.
-. Pasif (Negatif/nalaten): membiarkan (304), tak
memberikan pertolongan (531),(308),(164),
(522).
2. Perumusan tingkah laku oleh pembentuk UU:
-. Bentuk abstrak yang wujud konkretnya banyak
dalam pelaksanaannya, contoh: menghilangkan
nyawa (338) => mencekik, menembak, meracun,
menumbak, dsb. Bentuk abstrak lain : merusak,
menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai,
menghilangkan (233,406).
-. Bentuk tingkah laku yang konkret: mengambil
(362, pencurian), memberi keterangan (242),
mengedarkan (247), dll.
-.Deliknya mencantumkan perbuatan sekaligus
cara melakukannya (285, 368, 378).
-. Cara melakukan, termasuk unsur tingkah
laku. Disebut dengan unsur cara melakukan
karena berdasarkan kedudukan kedua unsur
itu dalam delik yang bersangkutan.
-. Pencantuman unsur cara melakukan
sekaligus dengan unsur perbuatan terdapat
pada bentuk tingkah laku yang abstrak. Karena
disebutkan cara-caranya, maka tingkah laku
abstrak tersebut menjadi terbatas. Contoh:
Memaksa (369) : ancaman pencemaran nama
baik dan membuka rahasia.
Memaksa (285) : menggunakan kekerasan
dan atau ancaman kekerasan.
3. Perbuatan menurut syarat penyelesaian delik:
a. Perbuatan sebagai syarat penyelesaian delik,
bergantung penuh pada selesainya perbuatan.
Contoh: Pencurian (362), tergantung pada
selesainya perbuatan mengambil, jika tidak maka
terjadi percobaan pencurian.
b. Perbuatan yang (harus) mengandung akibat
sebagai syarat penyelesaian delik. Disini,
selesainya delik tidak bergantung pada selesainya
perbuatan secara nyata, tapi pada timbulnya akibat
dari perbuatan nyata tadi. Contoh: pembunuhan
(338), bukan pada penembakan tapi adanya jasad
manusia. Perusakan benda (406), bukan pada
pemukulannya tapi pada rusaknya benda.
b) Unsur Sifat Melawan Hukum (USMH)
USMH bersumber pada :
a.Undang-undang (melawan hukum formil/
formelle wederrechtelijk)=>tertulis.
b. Masyarakat (melawan hukum materil/ materieel
wederrechtelijk)=> tidak tertulis.
c.Seringkali pada keduanya. Co: pembunuhan
manusia, selain pada p.338 KUHP, juga tercela
oleh masyarakat.
d.Pencantuman USMH secara tegas dalam delik
karena ada kekhawatiran perbuatan yang sama
dengan maksud yang berbeda akan dipidana pula.
e. USMH/sifat tercela, dinyatakan dalam
rumusan delik dengan:
•Tegas : melawan hukum. Cara ini yang paling
sering digunakan oleh pembentuk undang-
undang. Contoh: pasal 362,368,369,372,dsb.
•Menyebut: tanpa hak / tidak berhak / tanpa
wenang). Pasal 548,549c.
•Menyebut : tanpa izin (496,510).
•Menyebut : melampaui kewenangannya (430).
•Menyebut : tanpa memerhatikan cara yang
ditentukan dalam peraturan umum (429).
f. Delik negatif (ommissie): mengabaikan
kewajiban hukum, yang berisi keharusan
bertindak/positif.
-. USMH dicantumkan tegas pada pasal 522.
-. USMH tidak dicantumkan secara tegas pada
pasal 164,304,308,523,524,525,531.
-. Timbulnya USMH pasif karena:
a.Undang-undang (522),
b.oleh kedudukan (524,305,308),
c.jabatan (304),
d.karena perjanjian (304),
e.keadaan tertentu (531).
g. Berdasarkan redaksi rumusannya, unsur sifat
melawan hukumnya (wederrechtelijkkheid)
perbuatan dapat terletak pada :
-. Perbuatannya itu sendiri seperti pada pasal-
pasal : 167(1), 179, 180, 254(2), 255(2), 331(1),
335(1), dan 448.
-. Maksud dari melakukan perbuatan, seperti pada
pasal-pasal : 362, 368(1), 369 (1), 378, 390.
c) Unsur Kesalahan (Schuld)
• Adalah unsur mengenai keadaan atau
gambaran batin orang sebelum atau pada saat
memulai perbuatan.
• Selalu melekat pada diri pelaku => subyektif.
• Unsur kesalahan (keadaan batin pelaku),
menghubungkan antara perbuatan dan akibat
serta SMH perbuatan si pelaku.
• Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga
unsur tersebut dengan keadaan batin
pembuatnya maka pertanggungjawaban
dapat dibebankan kepada orang tersebut.
• Kesalahan (schuld) dalam hukum pidana
berhubungan dengan pertanggungan jawab,
yang terdiri dari kesengajaan(dolus/opzet)
dan kelalaian (culpa).
• Unsur kesalahan (baik kesengajaan maupun
kelalaian) dalam rumusan delik yakni:
a. Delik tertentu, dicantumkan secara tegas
(104,179,204,205,362,368,373,378,406,480)
b.Tidak dicantumkan sama sekali (162,167,170,
211,212,289,294,422).
• Dalam pelanggaran unsur kesalahan tidak
dicantumkan.
• Faktanya, kesalahan dalam pelanggaran tidak
dibedakan antara bentuk kesengajaan dan
bentuk kelalaian, sebagaimana dalam
kejahatan.
• Rumusan beberapa pelanggaran mustahil
dapat diwujudkan tanpa kesengajaan. Contoh:
pasal 490 (1), 504, 525, 545.
• Culpa ada di pelanggaran meski tidak secara
tegas dicantumkan, “karena salahnya” sebagai
dalam kejahatan. Contoh : 515, 516, 523,531,
559.
i. Kesengajaan/Opzet
• Pengertian tidak ada dalam UU, tapi dalam MvT
WvS : Pidana pada umumnya, hendaknya
dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan
perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki
(willens) dan diketahui (wetens).
• Mengenai M.v.T tersebut, Satochid Kartanegara
(Leden Marpaung 2005:13) mengutarakan
bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en
wetens (dikehendaki dan diketahui) adalah
“seseorang yang melakukan suatu perbuatan
dengan sengaja harus menghendaki (willen)
perbuatan itu serta harus menginsafi atau
mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.”
• Beberapa pakar merumuskan de wil sebagai
“keinginan, kemauan, atau kehendak”.
Dengan demikian, perbuatan merupakan
pelaksana dari kehendak. Kehendak (de wil)
dapat ditujukan terhadap:
-. perbuatan yang dilarang;
-. akibat yang dilarang.

• Dahulu dikenal dolus malus yang mengartikan


kesengajaan (opzet) sebagai perbuatan yang
dikehendaki dan si pelaku menginsafi bahwa
perbuatan itu dilarang dan diancam hukuman.
TEORI SENGAJA (OPZET)
• Teori Kehendak (wilstheorie).
• Teori ini dikemukakan oleh von Hippel dalam
bukunya Die Grenze Vorsatz und Fahrlassigkeit
tahun 1903. Menurutnya (Leden Marpaung
2005:14) kesengajaan adalah kehendak
membuat suatu tindakan dan kehendak
menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu.
Akibat dikehendaki apabila itu yang menjadi
maksud dari tindakan tersebut.
• Contoh: A mengarahkan pistol kepada B, A
menembak mati B, A adalah sengaja apabila A
benar-benar menghendaki kematian B.
• Teori Pengetahuan (Membayangkan)/
voorstellingstheorie.
• Teori ini diutarakan Frank dalam bukunya
Festschrift Gieszen tahun 1907. Menurut Frank (Leden
Marpaung 2005:14) teori ini mengemukakan bahwa
manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat;
manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan atau
membayangkan (mengetahui) kemungkinan adanya
suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang
ditimbulkan dari suatu tindakan dibayangkan sebagai
maksud dari tindakan itu, oleh karena itu, tindakan yang
bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang
terlebih dahulu telah dibuatnya.
• Contoh : A membayangkan kematian musuhnya B; agar
dapat membayangkan hal tersebut, A membeli sepucuk
pistol. Pistol tersebut kemudian diarahkan kepada B dan
ditembak sehingga B jatuh kemudian meninggal.
3 bentuk kesengajaan (opzet):
a. Kesengajaan sebagai maksud
Penting untuk membedakan antara “maksud” dengan

“motif”. Sehari-hari, motif sering diidentikkan dengan


tujuan. Agar tindak timbul keragu-raguan, diberikan contoh
sebagai berikut :
A bermaksud membunuh B yang menyebabkan ayahnya

meninggal. A menembak B dan B meninggal.


Pada contoh di atas, dorongan untuk membalas kematian

ayahnya disebut motif.


Adapun maksud adalah A melakukan perbuatan atau

mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya


ancaman hukuman pidana, dalam hal ini menghilangkan
nyawa B.
Sengaja sebagai maksud menurut M.v.T adalah
dikehendaki dan dimengerti.
b. Kesengajaan sebagai Kepastian
Si pelaku mengetahui pasti atau meyakini benar atau
menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan itu selain
akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain.
Contoh:
oA berkehendak untuk membunuh B, A lalu membawa
senjata api menuju rumah B.
oSampai di rumah B, A melihat C berdiri di depan B.
oDisebabkan rasa marah, walaupun ia tahu bahwa C yang
berdiri didepan B, A tetap melepaskan tembakan.
oPeluru yang ditembakkan oleh A pertama-tama mengenai
C dan kemudian B, hingga C dan B mati.
oDalam hal ini :
oOpzet A terhadap B adalah kesengajaan sebagai
maksud.
oOpzet A terhadap C adalah kesengajaan sebagai insaf
akan kepastian.
c. Kesengajaan sebagai kemungkinan
(Dolus Eventualis)
•Kesengajaan ini juga disebut “kesengajaan
dengan kesadaran akan kemungkinan”.
•Bahwa seseorang melakukan perbuatan
dengan tujuan untuk menimbulkan suatu
akibat tertentu.
•Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa
akan timbul akibat lain yang juga dilarang
dan diancam oleh undang-undang.
• van Bemmelen menjelaskan pendapat Pompe
(Leden Marpaung 2005:13) sebagai berikut:
• Yang dinamakan dolus eventualis adalah
kesengajaan bersyarat yang bertolak dari
kemungkinan.
• Artinya, tidak pernah lebih banyak dikehendaki
kemungkinan matinya orang lain, tidak dapat
dikatakan bahwa ia menghendaki orang itu
mati.
• Tetapi, jika seseorang melakukan suatu
perbuatan dengan kesadaran bahwa
perbuatannya akan dapat menyebabkan
matinya orang lain, hal itu menunjukan bahwa
ia memang menghendaki kematian orang itu.
• Contoh dolus eventualis: Arrest Kue Hoorn.
• Kasus dikota Hoorn, si A membenci si B dan
hendak membunuhnya.
• A mengirim kue tar berisi racun ke B.
• Istri si B menerima kue tar tersebut dan
memakannya yang selanjutnya tewas.
• Si B tidak makan kue tar, jadi tidak tewas.
• Putusan HR adalah si A:
a. Melakukan pasal 340 KUHP kepada istri si B
b. Melakukan percobaan pembunuhan terhadap
si B.
ALPA/LALAI
(NEGLIGENCE/CULPA)
• Pengertian : wet harus bertindak pula
terhadap mereka yang tidak berhati-hati atau
teledor. (keterangan resmi pembentuk WvS)
• Van Hamel : dua syarat kealpaan:
i. Tidak mengadakan pengduga-duga sebagai
yang diharuskan oleh hukum;
ii. Tidak mengadakan penghati-hati sebagai yang
diharuskan oleh hukum.
i. Hal pertama ini mengandung dua kemungkinan:
• Terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi
karena perbuatannya, padahal pandangan itu
kemudian ternyata tidak benar. Disini kekeliruan
terletak pada salah pikir atau pandang, yang
seharusnya disingkiri. Karenanya disebut kealpaan
yang disadari (bewuste culpa).
• Terdakwa sama sekali tidak mempunyai pikiran
bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena
perbuatannya. Disini terdakwa sama sekali tidak
mempunyai pikiran bahwa akibat mungkin akan
timbul, hal mana merupakan sikap yang berbahaya.
Karenanya disebut kealpaan yang tidak disadari
(onbewuste culpa).
Contoh kasus Kealpaan yang Disadari :
•Si A mengendarai motor dengan cepat di jalan
yang ramai;
•Si A percaya, dirinya pandai mengemudi
sehingga tidak akan menabrak orang;
•Pandangannya keliru sebab ternyata dia
menabrak orang.
Jadi seharusnya perbuatannya disingkirkannya,
sekalipun ia pandai, justru karena ramainya lalu
lintas dan kemungkinan akan menabrak.
Disini, adanya kemungkinan itu diinsafi tetapi
tidak berlaku baginya karena kepandaian yang
ada padanya.
Contoh kasus Kealpaan yang Tidak Disadari
•Si B mengendarai motor sedang dia belum
faham tekniknya serta tidak pula memiliki
rijbewijs (SIM);
•Sewaktu dikejar anjing, dia bingung dan
karena itu menabrak orang.
Disini tidak terlintas sama sekali
kemungkinan akan menabrak orang,
padahal seharusnya kemungkinan itu
diketahui, sehingga naik motor harus
dengan teman yang lebih pandai.
ii.) Menyangkut Tidak mengadakan penghati-hati
sebagai yang diharuskan oleh hukum, van Hamel
menyatakan bahwa hal ini karena tidak melakukan
penelitian, kebijaksanaan, kemahiran atau usaha
pencegahan yang tertentu atau dalam caranya
melakukan perbuatan.
•Obyek : bukan batin terdakwa, tapi perbuatan.
•Pendirian Objektif, karena menitikberatkan
kealpaan pada sifatnya perbuatan terdakwa.
•Kesimpulan : Barangsiapa saat melakukan suatu
perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang
seperlunya, maka dia juga tidak menduga-duga
akan terjadinya akibat yang tertentu itu karena
perbuatannya.
Contoh kasus (Moeljatno,2008:222-226):
•Perkara Landraad Ambon yang diperiksa oleh
R.v.J. Makassar mengenai tenggelamnya kapal
penumpang di Ambon. Pasal 359 KUHP.
•Perkara kecelakaan lalulintas di Jakarta, dakwaan
: pasal 360 KUHP subsider pasal 2 jo pasal 48
WvO (membahayakan lalu lintas umum.
Dapatkah culpa hapus karena kealpaan orang
lain?
Culpa tidak dapat hapus karena kealpaan orang
lain, karena perbarengan perbuatan keduanya
sehingga akibat itu terjadi.
Bentuk culpa lainnya:
•Delik culpoos yang sesungguhnya : perbuatan
terdakwa berupa menimbulkan suatu akibat
yang tertentu, jadi delik-delik tersebut
dirumuskan secara materil. Akibat yang dilarang
ditimbulkan karena kealpaaannya.
Contoh : pasal 188,344,360,231(4),232(2).
• Delik culpoos yang tidak sesungguhnya : delik
dolus yang salah satu unsurnya di-culpa-kan.
• Contoh pasal 287 KUHP:
1.bersetubuh dengan perempuan yang dia tahu
umurnya belum 15 thn.(dolus biasa)
2.bersetubuh dengan seseorang yang diduga
selayaknya belum 15 thn.(unsur diculpakan).
• Istilah yang digunakan ”selayaknya harus
diduga (redelijkerwijs moeten vermoeden) ”,
• Istilah lain: mempunyai alasan kuat untuk
menduga.
• Pasal-pasal lain: 288, 282(2), 283(3).
d). Unsur akibat konstitutif
Terdapat pada:
a)Delik materil : adanya akibat menjadi syarat
selesainya delik.
b)Ada akibat sebagai syarat pemberat pidana.
c)Akibat sebagai syarat dipidananya pembuat.
Akibat konstitutif ada dua:
a.Disebut secara tegas: 285,289,368,369,378.
b.Tidak disebut secara tegas: 338, 406.
e). Unsur keadaan yang menyertai
1) Mengenai cara melakukan perbuatan: bisa
kongkret, bisa abstrak (285,289,368,378)
2) Cara untuk dapat dilakukannya perbuatan:
363(1) sub 5.
3) Objek delik: 362,372,406,363(1)ke-1,288,293.
4) Subjek delik: bersifat objektif 342,414,415,
449, 451, 363(1)ke-4. Bersifat subjektif 340.
5) Tempat KP:363(1)ke-3,160,207,532,536(1).
6) Waktu KP:363(1)ke-3, 363(1)ke-2,124,127,
212,217.
f.) Unsur syarat tambahan untuk
dapatnya dituntut pidana
• Hanya terdapat pada delik aduan.
• Perbedaan dgn laporan, delik aduan hanya :
i. Dapat dilakukan oleh yang berhak mengadu
saja, korban kejahatan atau wakilnya yang sah.
(pasal 72)
ii. Pengaduan diperlukan hanya terhadap delik
aduan saja.
• Dicantumkan tegas: 284(2),310-318jo319 dan
362-365jo367
• Dicantumkan tidak tegas: 376=>367,370=>367.
g.) Unsur syarat tambahan
untuk memperberat pidana
• Berupa alasan untuk diperberatnya pidana.
• Terletak pada bermacam tempat dalam delik:
i. Pada akibat yg timbul setelah perbuatan
dilakukan. Psl 111(2),288(2)(3),300(2)(3).
ii. Pada obyek hukum deliknya, misal
penganiayaan pada ibunya, anaknya, istrinya,
pejabat yang sedang menjalankan tugas atau
pada orang yang bekerja padanya. Psl 351 ke-
1 dan ke-2, 352.
iii. Cara melakukan perbuatan. Psl 310(2), 356
ke-3, 336 (2).
iv. Pada subyek hukum delik, seperti dokter,
bidan, juru obat, contoh 349 jo 346, 347, 348.

•Pada waktu dilakukannya delik, contoh belum


lewat 2 tahun. Pasal 216 (3), 303 bis ayat 2,
321(2).
•Pada berulangnya perbuatan, misalnya pada
profesi atau kebiasaan. Psl 282(2), 295(2),
299(3), 321 (2).
h.) Unsur syarat tambahan
untuk dapatnya dipidana
• Unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul
setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan
untuk dapat dipidananya perbuatan.
• Jika setelah perbuatan dilakukan, keadaan ini
tidak timbul maka terhadap perbuatan itu tidak
bersifat melawan hukum dan karenanya si
pembuat tidak dapat dipidana
• SMH dan patutnya dipidana perbuatan
tergantung sepenuhnya pada timbulnya unsur
syarat tambahan tersebut.
• Beda dengan unsur akibat konstitutif:
a. Unsur akibat konstitutif mensyaratkan harus
ada hubungan kausal antara perbuatan yang
menjadi larangan dengan akibat yang timbul,
sedang pada unsur ini tidak perlu; pasal 123.
b. Pada unsur akibat konstitutif, jika akibat tidak
timbul maka delik tidak terjadi yang bisa hanya
percobaan delik saja (338 jo 53) sedang pada
unsur syarat tambahan untuk dapatnya
dipidana, jika akibat tidak ada maka delik tidak
ada, juga percobaan delik tidak ada. Pasal 531,
344.
i.) Unsur Obyek hukum delik
• Seringkali diletakkan sesudah unsur perbuatan
seperti pada pasal 338 => menghilangkan
(perbuatan), nyawa orang lain (obyek).
• Terkadang tidak menyatu dengan atau
setelah unsur perbuatan. Pasal 378,368,369.
• Unsur obyek pada dasarnya adalah unsur
kepentingan hukum (rechtbelang) yang harus
dilindungi dan harus dipertahankan oleh
rumusan delik.
j.)Unsur Kualitas Subyek hukum delik
• Rumusan delik umumnya ditujukan kepada
setiap orang.
• Pada delik umum dimulai dengan “barang
siapa”(hij die), pada delik-delik khusus, kadang
dirumuskan dengan “setiap orang”.
• Unsur ini selalu bersifat obyektif, misalnya:
kualitas PNS pada semua kejahatan jabatan
(BAB XXVIII), orang yang karena terpaksa
diberi barang utk disimpan, wali, pengampu,
pengurus yayasan(375), 383 bis, 267, 308,341,
342, dll.
k.)Unsur syarat tambahan
memperingan pidana
• Ada dua macam:
a. Obyektif, misalnya terletak pada nilai/harga
obyek kejahatan secara ekonomis pada delik
pasal 364, 373, 379, 407, bila nilai obyek
kurang dari Rp. 250,- atau bukan berupa
ternak.
b.Subyektif, terletak pada sikap batin si pelaku,
jika karena culpa, misalnya pasal 409 sebagai
hal yang meringankan dari pasal 408.

Anda mungkin juga menyukai