Anda di halaman 1dari 35

MATERI KULIAH KE-2

BUKU II: ORANG DAN SUBYEK HUKUM

1. Tempat tinggal
2. Kewenangan berhak dan berbuat
3. Kedewasaan dan pendewasaan
4. Pencatatan peristiwa hukum
5. Keadaan tidak hadir

BUKU III: KELUARGA


6. Perkembangan hukum keluarga
BUKU II: ORANG DAN SUBYEK
HUKUM
Tempat tinggal
1. Konsep Tempat Tinggal
Tempat tinggal atau domisili adalah tempat dimana seseorang berkediaman atau
berkedudukan serta terikat dengan hak dan kewajiban hukum.

Tempat tinggal selalu berada dalam wilayah/daerah tertentu atau dapat pula berupa
rumah kantor yang berada dalam wilayah/daerah tertentu.

Tempat tinggal manusia disebut tempat tinggal kediaman.


Tempat tinggal badan hukum disebut kedudukan.
Tempat tinggal manusia atau tempat kedudukan badan hukum sering disebut alamat
rumah atau kantor.
Tempat tinggal
Tempat tinggal dibedakan menjadi:

a. Tempat tinggal Yuridis:


Tempat dimana seseorang terdaftar sebagai penduduk sah di suatu daerah, yang
dibuktikan dengan kartu tanda penduduk yang terikat dengan hak dan kewajibannya.

b. Tempat tinggal sesungguhnya:


Tempat dimana seseorang biasa berada secara fisik menurut kenyataan yang tidak
terikat dengan suatu tanda bukti yang sah karena tidak bersifat menetap.

c. Tempat tinggal pilihan:


Tempat tinggal yang disetujui.
Disepakati pihak pihak dalam perjanjian guna memudahkan penyelesaian hak dan
kewajiban jika terjadi sengketa.
Biasanya di kantor Pengadilan, dan berakhir jika perjanjian berakhir.
Tempat tinggal
2. Hak dan kewajiban hukum
Tempat tinggal menentukan hak dan kewajiban orang yang bersangkutan menurut hukum.
Hak dan Kewajiban tersebut dapat timbul dalam bidang hukum publik dan hukum perdata.

Misalnya hak kewajiban dibidang hukum publik:


a. Hak mengikuti pemilu.
b. Kewajiban membayar pajak.

Misalnya hak kewajiban dibidang hukum perdata:


c. Jika dalam perjanjian tidak ditentukan tempat pembayaran,
maka debitor wajib membayar di tempat tinggal kreditor.
d. Debitor berhak menerima kredit dari kreditor/bank di kantor kreditor/bank,
dengan demikian berkewajiban membayar kredit di kantor kreditor/bank.
Tempat tinggal
3. Status Hukum
Status hukum seseorang menentukan hak dan kewajibannya.

4. Jenis tempat tinggal


Ditinjau dari terjadinya peristiwa hukum, dapat digolongkan menjadi 4:
a. Tempat tinggal yuridis: KTP
b. Tempat tinggal nyata
c. Tempat tinggal pilihan
d. Tempat tinggal ikutan, timbul karena:
1) Perkawinan
2) Kelahiran
3) Pengampuan
Tempat tinggal

5. Arti penting tempat tinggal


• Dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban
• Penentuan status hukum seseorang dalam lalu lintas hukum dan berurusan
dengan pengadilan
KEWENANGAN BERHAK DAN BERBUAT
1. Kewenangan berhak
Hukum perdata mengatur hak keperdataan. Setiap orang memiliki hak yang sama, dan wenang
berbuat. Namun tidak semua orang wenang berbuat, karena dalam hukum sanksi hanya berlaku
dan diterapkan pada kewajiban bukan pada hak.
Kewenangan berbuat pada hakekatnya adalah melaksanakan kewajiban.
Orang yang melalaikan kewajiban akan terkena sanksi, namun yang lalai akan haknya tidak terkena
sanksi. Orang mempunyai kewenangan berhak sejak dari janin, dan tidak dapat ditiadakan oleh
suatu hukuman apapun. Sebab hak perdata adalah hak asasi yang melekat pada diri setiap orang,
sehingga tidak dapat hilang atau lenyap.

Hak keperdataan baru hilang jika seseorang meninggal dunia.


Misal: hak untuk hidup, hak untuk memiliki, hak untuk kawin, dsb.

Hak perdata berbeda dengan hak publik, yang dapat hilang jika negara menghendakinya. Sebab
hak publik diberikan oleh negara, sedangkan hak keperdataan diberikan oleh Tuhan (hak kodrati).
Contoh: hak publik, hak memilih dan dipilih.
KEWENANGAN BERHAK DAN BERBUAT
2. Kewenangan berbuat
Untuk mengetahui apakah seseorang wenang berbuat atau tidak, ada beberapa faktor yang
membatasi umur, kesehatan, perilaku. Wenang berbuat mengandung pengertian:
a. Cakap atau mampu berbuat karena memenuhi syarat hukum.
b. Kuasa/berhak berbuat diakui oleh hukum walau tidak memenuhi persyaratan hukum.

Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap atau tidak mampu menurut hukum tidak sah
karena tidak memenuhi syarat hukum. Perbuatan tersebut dapat dimintakan pembataalan melalui
pengadilan. Kepentingan orang yang tidak cakap/mampu melakukan perbuatan hukum diurus oleh
orang yang mewakilinya.
c. Kepentingan anak belum dewasa, diurus orang tuanya.
d. Kepentingan anak berada dibawah perwalian, diurus oleh walinya.
e. Kepentingan orang dewasa yang berada dibawah pengampuan, diurus oleh wali pengampunya.

Tidak semua anak belum dewasa tidak wenang melakukan perbuatan hukum.
Misal: anak dibawah umur boleh menikah, boleh menabung, boleh membuat surat wasiat, dsb.
KEDEWASAAN DAN PENDEWASAAN
1. Menurut konsep hukum perdata barat
Kedewasaan adalah menunjukan keadaan sudah dewasa memenuhi syarat hukum.
Pendewasaan menunjukan keadaaan belum dewasa oleh hukum atau belum
memenuhi syarat dewasa oleh hukum.

Menurut KUHPerdata , belum dewasa adalah belum berumur 21 tahun dan belum
pernah kawin.
Bagaimana jika belum dewasa namun sudah kawin dan kemudian bercerai, kondisi
demikian tetap dianggap sdh dewasa. (Pasal 330 KHUpdt).

Orang yang sudah dewasa dianggap cakap dan mampu berbuat hukum sepanjang
tidak ada keadaan yang membatasinya, misalnya: gila, dungu, boros, dsb.
KEDEWASAAN DAN PENDEWASAAN
Pendewasaan dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Pendewasaan penuh.
Pendewasaan penuh syaratnya berumur 20 tahun,
sedangkan pendewasaan terbatas syaratnya berumur 18 tahun.
(Pasal 421 dan 426 KUHPdt).

2. Pendewasaan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.


KEDEWASAAN DAN PENDEWASAAN

2. Menurut konsep hukum adat.


Djoyodiguno mengatakan hukum adat tidak mengenal batasan umur untuk
menentukan dewasa atau tidak.

Hukum adat menentukan secara insidental, apakah seseorang dianggap


cakap atau belum, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum.

Hukum adat melihat dari perkembangan jiwanya.


Apakah sudah mandiri dan berkeluarga.
KEDEWASAAN DAN PENDEWASAAN
3. Menurut konsep undang undang Republik Indonesia.
Menurut ketentuan UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, mengatur:
a. Ijin orang tua jika belum mencapai umur 21 th, namun ingin kawin (Pasal 6:2).
b. Umur minimal untuk diijinkan melangsungkan perkawinan, laki laki min 19 tahun
dan perempuan 16 th. (Pasal 7:1).
c. Anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum pernah kawin, berada dibawah
kekuasaan orang tua (Pasal 47:1).
d. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin yang tidak
berada dibawah kekuasaan orang tua berada dibawah kekuasaan wali (Pasal 50:1).

Pengertian umur 21 tahun atau sudah pernah kawin disebut dewasa menurut UU
(dewasa hukum). Sedangkan dewasa biologis untuk melangsungkan perkawinan yaitu 16
tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki.
Mereka yang dewasa biologis jika telah menikah berubah menjadi dewasa hukum.
PENCATATAN PERISTIWA HUKUM
1. Peristiwa hukum yang dicatat
Terdapat lima peristiwa hukum dalam kehidupan manusia
a. Kelahiran
Menentukan status hukum seseorang sebagai subyek hukum pendukung hak dan kewajiban.
b. Perkawinan
Menentukan status hukum seseorang sebagai suami istri dalam ikatan perkawinan.
c. Perceraian
Menentukan status hukum seseorang sebagai janda atau duda yang bebas dari ikatan perkawinan.
d. Pewarisan
Menentukan status hukum seseorang sebagai ahli waris, sebagai janda atau duda dari
almarhum/almarhumah.
e. Penggantian nama
Menentukan status hukum seseorang sebagai orang dengan nama baru dalam hukum perdata
(manusia atau badan hukum)
PENCATATAN PERISTIWA HUKUM
2. Tujuan Pencatatan Peristiwa Hukum
Untuk memperoleh kepastian hukum tentang status perdata seseorang yang mengalami
peristiwa hukum tersebut.
Kepastian hukum sangat penting untuk perbuatan hukum, untuk menentukan hak dan
kewajiban para pihak yang berhubungan hukum.

3. Fungsi Pencatatan Peristiwa Hukum


Untuk pembuktian telah terjadi peristiwa hukum, oleh karena itu diberikan surat
keterangan adanya peristiwa hukum.
Pihak yang berhak memberikan keterangan adalah pejabat/petugas publik yang
berwenang.
PENCATATAN PERISTIWA HUKUM

4. Lembaga Catatan Sipil


Untuk melakukan pendataan, dibentuk lembaga khusus yaitu lembaga catatan sipil.
Catatan tersebut mengenai peristiwa perdata yang dialami seseorang, dan berlaku
untuk seluruh warga negara Indonesia.
Lembaga catatan sipil berlaku umum.
Untuk yang beragama non-Islam, lembaga pencatatan sipil berada di Departemen
Dalam Negeri.
Sedangkan yang beragama Islam, catatan sipil berada di Departemen Agama
PENCATATAN PERISTIWA HUKUM

5. Syarat dan Prosedur


Untuk dapat dilakukan pencatatan harus memenuhi persyaratan dan mengikuti
prosedur.
a. Membawa surat keterangan tentang terjadinya peristiwa hukum dari pihak yang
berwenang.
b. Menghadap yang berkepentingan kepada pejabat kantor catatan sipil untuk dicatat
atau didaftarkan dalam buku akta yang disediakan untuk setiap peristiwa hukum.
c. Apabila berkaitan dengan peristiwa hukum lampau, diperlukan penetapan hakim.
Misalnya: penetapan hakim tentang kelahiran.
PENCATATAN PERISTIWA HUKUM
6. Pengaturan Catatan Sipil Indonesia
Sebagai akibat pelaksanaan politik hukum kolonial di Indonesia, maka terdapat
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur catatan sipil di Indonesia.
Peraturan yang terakhir adalah Keputusan Presiden no 12 tahun 1983 tentang penataan
dan peningkatan pembinaan penyelenggaraan catatan sipil, kemudian dilaksanakan
oleh menteri dalam negeri dengan surat keputusan no 54 tahun 1983 tentang
organisasi dan tata kerja kantor catatan sipil kabupaten/kota.

Dalam surat keputusan tersebut ditetapkan tiga type organisasi kantor catatan sipil
yaitu:
a. Organisasi Kantor Catatan Sipil Tipe A.
b. Organisasi Kantor Catatan Sipil Tipe B.
c. Organisasi Kantor Catatan Sipil Tipe C.
KEADAAN TIDAK HADIR

1. Konsep keadaan tidak hadir

Keadaan tidak hadir diatur dalam Buku I Bab 18 Pasal 463 – 494 KUHPdt.
Keadaaan tidak hadir adalah:
1. Suatu keadaan tidak adanya
2. seseorang ditempat kediaman
3. karena bepergian atau meninggalkan tempat kediamannya
4. baik dengan izin atau tanpa izin dan
5. tidak diketahui dimana tempat dia berada.
KEADAAN TIDAK HADIR

2. Pengaruh keadaan tidak hadir


Keadaan tidak hadir yang berlangsung lama dapat persoalan.
Menurut KUHPdt berlangsung lama itu 5 tahun dan sampai 10 th.

Pengaruh keadaan tidak hadir, yaitu:


a. Penyelenggaraan kepentingan yang bersangkutan.
b. Status hukum yang bersangkutan sendiri, atau status hukum anggota
keluarga yang ditinggalkan mengenai perkawinan dan pewarisan.
KEADAAN TIDAK HADIR
3. Tahap tahap penyelesaian keadaan tidak hadir.
Mengenai keadaan tidak hadir, KUHPdt mengatur tahap-tahap penyelenggaraan
dalam tiga tahap:

1) Tahap tindakan sementara


Tindakan sementara dapat diambil jika orang yang meninggalkan tempat
kediamaan itu tidak memberi kuasa kepada orang lain untuk mengurus harta
kekayaaan dan kepentingannya atau jika kuasa yang diberikan itu sudah berakhir.
Tindakan sementara itu berupa pemberian tugas Pengadilan negeri kepada Balai
Harta Peninggalan/kurator atas permohonan pihak yang berkepentingan atau
kejaksaan untuk mengurus harta kekayaan dan kepentingannya baik seluruh atau
sebagian (pasal 463 KUHpdt).
KEADAAN TIDAK HADIR

2) Tahap pernyataan barangkali meninggal dunia.


Untuk mengeluarkan ketetapan pernyataan barangkali meninggal dunia,
Pengadilan Negeri memberi ijin kepada pihak yang berkepentingan untuk
memanggil orang yang tidak hadir melalui surat kabar yang ditunjuk pengadilan
sebanyak 3 x berturut turut.
Jika telah dilakukan, maka dapat mengeluarkan ketetapan barangkali meninggal
dunia dengan segala akibat hukumnya, akibat hukum tersebut adalah peralihan
hak kepada para ahli warisnya yang bersifat sementara dengan batasan batasan
tertentu.
KEADAAN TIDAK HADIR
3) Tahap pewarisan secara definitif
Persangkaan barangkali meninggal dunia menjadi sedemikian kuat sehingga terjadi
keadaan yang lebih definitif, keadaan ini mengakibatkan pewarisan menjadi definitif.
Keadaan definitif diperoleh apabila diterima kabar kepastian meninggal dunia orang
yang tidak hadir. (Pasal 485 KUHPdt).
Keadaan definitif terjadi ketika lampaui tenggang waktu 30 tahun sejak hari
pernyataan, atau belum lewat 30 tahun tetapi sudah lewat 100 hari (pasal 484
KUHPdt).
Akibat hukumnya adalah para ahli waris atau orang yang memperoleh hak berhak
menuntut pembagian warisan atas harta kekayaan orang yang tidak hadir itu.
Suami/istri yang ditinggalkan oleh orang yang tidak hadir dapat kawin lagi (Pasal 493
KHPdt), keadaan tidak hadir merupakan alasan untuk bercerai apabila ketidakhadiran
itu 2 tahun berturut turut (Pasal 19 huruf b, Peraturan Pemerintah 9 tahun 1975).
KEADAAN TIDAK HADIR
4. Beberapa pertimbangan
Keadaan tidak hadir perlu mendapatkan pengaturan dalam Hukum Perdata nasional
dengan memperhatikan pokok-pokok sebagai berikut:

a. Kepergian/meninggalkan tempat kediaman dilakukan oleh orang yang bersangkutan


tanpa ijin keluarga yang ditinggalkan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya. Alasan ini sesuai UU 1 tahun 1974.

b. Keluarga ditinggalkan yaitu istri untuk suami, suami untuk istri, orang tua untuk anak
Apabila orang ini tidak ada, baru diberikan kepada keluarga garis lurus ke atas.
Apabila orang ini tidak ada juga, baru diberikan kepada saudara kandung.
Apabila orang ini tidak ada juga, baru pemerintah melalui BHP yang mengurus untuk
kepentingan sosial dan ibadah.
KEADAAN TIDAK HADIR
c. Pihak yang meninggalkan tempat kediaman itu tidak memberi kuasa kepada pihak
keluarga yang ditinggalkan untuk mengurus harta kekayaan dan kepentingannya
sedangkan tempat berada tidak diketahui sama sekali.

d. Meninggalkan tempat kediaman itu dalam tenggang waktu 2 tahun berturut turut
dan jika ada kepastian peristiwa penyebab ketidak hadirannya, tenggang waktu
tersebut dapat diperpendek menjadi satu tahun.

e. Pengadilan Negeri adalah lembaga yang berwenang menetapkan ketidak hadiran


yang bersangkutan dan menetapkan pihak yang berkepentingan mengurus harta
kekayaan orang yang tidak hadir itu atas permohonan keluarga yang ditinggalkan.

f. Tahap tahap dan prosedur penyelesaian keadaan tidak hadir seperti telah diuraikan
sebelumnya dapat diikuti dan dipertahankan.
BUKU III: HUKUM KELUARGA
PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA
Sebelum penjajahan Belanda, masyarakat nusantara umumnya telah memeluk agama
Islam, sehingga memberlakukan hukum Islam dalam keluarga.
Meskipun demikian ada pula kelompok masyarakat yang menganut agama Islam namun
memberlakukan hukum adat dalam keluarganya.
Dengan demikian dalam masyarakat berlaku hukum Islam dan hukum adat.

Setelah Indonesia dijajah Belanda, maka sistem hukum barat diberlakukan oleh Belanda.
Kemudian Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 22 November 1946 diundangkan UU
22 tahun 1946 tentang Nikah, Talak dan Rujuk sebagai dasar hukum keluarga Islam.
Namun sebagian besar peraturan masih berasal dari peninggalan Belanda.

Penyempurnaan terus dilakukan karena hukum yang berlaku tidak sesuai dengan budaya
Indonesia. Upaya tersebut barulah terjadi dengan terbentuknya UU no 1 tahun 1974, dan
Peraturan Pemerintah no 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU no 1 tahun 1974.
KONSEP KELUARGA
Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anak yang
berdiam di satu tempat tinggal.
Ini adalah konsep keluarga dalam arti sempit.

Apabila dalam satu tempat tinggal berdiam pula orang lain sebagai akibat adanya ikatan
perkawinan, terjadilah kelompok anggota keluarga yang terdiri atas manusia manusia
yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan karena pertalian darah.
Ini adalah konsep keluarga dalam arti luas, yang terdiri dari suami, istri, anak, orang tua,
adik/kakak, adik/kakak ipar.
HUBUNGAN KELUARGA
Hubungan keluarga dengan hubungan darah adalah dua konsep yang berbeda.
Hubungan keluarga adalah hubungan dalam kehidupan keluarga yang terjadi karena
adanya ikatan perkawinan dan karena ikatan darah.
Hubungan keluarga karena perkawinan disebut juga hubungan semenda seperti mertua,
ipar, anak tiri, menantu.
Antara suami atau istri dengan mereka tidak ada hubungan darah, tetapi ada hubungan
keluarga.
Hubungan keluarga karena pertalian darah :
1. Ayah, Ibu, Nenek, Kakek (lurus keatas)
2. Anak, Cucu, Cicit (lurus ke bawah)
3. Saudara kandung dan anak-anak saudara kandung (lurus ke samping)
ARTI HUBUNGAN DARAH

Dekat – Jauh hubungan darah mempunyai arti penting dalam perkawinan, pewarisan, dan
perwalian dalam keluarga.
Hubungan darah sampai batas tertentu, dilarang dalam perkawinan.
Misal: hubungan darah satu tingkat, dua tingkat dan tiga tingkat.
Demikian juga dalam pewarisan, hubungan darah menentukan prioritas sebagai ahli waris.
Juga dalam hal Perwalian, hubungan darah menentukan prioritas menjadi wali.
Misal: orangtua meninggal atau kekuasaan orang tua dicabut haknya oleh pengadilan,
maka hubungan darah 2 tingkat (saudara kandung, nenek/kakek berhak menjadi wali bagi
anak tersebut).
HUBUNGAN DARAH DALAM KELUARGA
Hubungan darah adalah pertalian darah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain
karena berasal dari leluhur yang sama.
Hubungan darah ada 2 garis:
1. Hubungan darah menurut garis lurus keatas dan kebawah.
2. Hubungan darah menurut garis ke samping.
Hubungan darah garis lurus keatas disebut “leluhur”, garis lurus kebawah disebut “keturunan”.
Sedangkan garis ke samping adalah pertalian darah antara manusia bersaudara kandung dan
keturunannya.
Daftar yang menggambarkan pertalian darah namanya “silsilah”, dari silsilah dapat diketahui
dekat – jauhnya hubungan darah seseorang.
HUBUNGAN DARAH DAN GARIS KETURUNAN

Garis keturunan memberikan keistimewaan tertentu dalam hubungan keluarga.


Ada 3 hubungan darah dilihat dari garis keturunan, yaitu:
1. Patrilineal:
Hubungan darah yang mengutamakan garis ayah.
Kedudukan pihak suami lebih diutamakan dari pada kedudukan pihak istri.
2. Matrilineal:
Hubungan darah yang mengutamakan garis ibu.
Kedudukan pihak istri lebih diutamakan dari pada kedudukan pihak suami.
3. Parental atau bilateral:
Hubungan darah yang mengutamakan garis ayah/dan ibu atau garis orang tua bersama.
Kedudukan pihak suami dan istri berimbang dalam kehidupan keluarga.
HUBUNGAN DARAH DAN GARIS KETURUNAN
Patrilineal (Garis Ayah)
a. Kekuasaan orang tua.
Kekuasaan ayah/suami lebih diutamakan dari pada kekuasaan ibu, terhadap anak dan
hubungan keluarga.
b. Pada Pewarisan
Bagian waris anak laki-laki lebih besar dari pada anak perempuan (dua banding satu).
c. Pada Perwalian
Pihak laki-laki lebih diutamakan untuk diangkat sebagai wali anak-anak dari pada
pihak perempuan.
HUBUNGAN DARAH DAN GARIS KETURUNAN

Matrilineal (Garis ibu)


a. Kekuasaan orang tua.
Saudara laki laki pihak istri mempunyai kekuasaan utama terhadap anak-anak
(kekuasaan paman atas kemenakan).
b. Pada Pewarisan
Saudara laki laki pihak istri lebih berperan sebagai mamak kepala waris.
c. Pada Perwalian
Saudara laki laki pihak istri berperan sebagai wali terhadap anak kemenakannya.
HUBUNGAN DARAH DAN GARIS KETURUNAN

Parental (Garis Bapak dan Ibu)


a. Kekuasaan orang tua.
Suami dan istri mempunyai kekuasaan yang sama dalam keluarga, baik terhadap anak
maupun terhadap harta kekayaan.
b. Pada Pewarisan
Walau masih dikenal asas sepikul segendong, kecenderungan menuju ke arah
penerapan asas bagian yang sama antara anak laki-laki dan perempuan.
c. Pada Perwalian
Suami dan istri berperan sebagai wali terhadap anak-anak mereka, akan tetapi
peristiwa pernikahan, ayah berperan sebagai wali nikah.

Anda mungkin juga menyukai