Anda di halaman 1dari 31

KONFLIK HUKUM

HARAPAN/IDEAL:

TIDAK ADANYA
KONFLIK HUKUM
DALAM SISTEM
HUKUM
DIATASI DENGAN
AZAS HUKUM
DALAM SISTEM HUKUM
PRAKTIK:

KONFLIK
HUKUM
MACAM-MACAM KONFLIK
1. Konflik diantara sesama peraturan
perundang-undangan
2. Konflik antara peraturan perundangan
dengan putusan pengadilan
3. Konflik antara peraturan perundangan
dengan hukum adat dan hukum
kebiasaan
4. Konflik antara putusan pengadilan dan
hukum adat
(A)
KONFLIK SESAMA
PERATURAN
PERUNDANG-
UNDANGAN
(1). AZAS LEX SUPERIOR
DEROGAT LEGI INFERIOR
Peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya
mengenyampingkan
berlakunya peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah
tingkatannya, apabila kedua
peraturan perundang-undangan
tersebut memuat ketentuan yang
saling bertentangan
KESIMPULAN:
• Terdapat peringkat aturan
– Apabila ada pertentangan, maka
peraturan yang di atas
mengenyampingkan peraturan yang di
bawahnya
• Adanya hak menguji peraturan
perundangan
– Hak menguji dilakukan untuk
menentukan ada tidaknya pertentangan
tersebut
PERINGKAT
ATURAN
JENIS DAN HIERARKI
PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
(Pasal 7 (1) UU 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan)

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
CONTOH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
BERTENTANGAN DENGAN YANG ADA DI ATASNYA

• TAP MPRS><UUD:
– Tap MPRS: mengangkat presiden seumur hidup
– Pasal 7 UUD: jabatan presiden 5 tahun dan sesudahnya
dipilih kembali

• UU><UUD 45
– Pasal 19 UU 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman:
• demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau
kepentingan masyarakat mendesak, Presiden dapat turun dan turut
campur dalam soal-soal pengadilan
Turun tangan: penghentian perkara yang diperiksa
– Pasal 24 UUD 45:
• Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut UU
• Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan UU
Penjelasan: kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka,
terlepas dari campur tangan pemerintah
HAK MENGUJI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
(RECHTLIJKE TOETSINGRECHT)
2 MACAM HAK MENGUJI PERUNDANG-
UNDANGAN
1. Menguji Formil:
– Wewenang untuk menilai apakah suatu produk
legislatif tercipta melalui CARA/PROSEDUR
sebagaimana ditentukan dalam per-UU-an yang
berlaku
• Contoh: UU dibuat oleh presiden bersama dengan DPR
2. Menguji Materiel:
– Wewenang untuk menyelidiki dan menilai:
• apakah suatu peraturan perundangan ISI nya sesuai
atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
derajadnya
• apakah suatu KEKUASAAN TERTENTU BERHAK
mengeluarkan suatu peraturan tertentu
SIAPA YANG
BERHAK
MENGUJI?
HAK MENGUJI:
A. UU KEKUASAAN KEHAKIMAN
B. UU MAHKAMAH AGUNG
C. UU MAHKAMAH KONSTITUSI
UU NO. 4 TAHUN 2004 TENTANG
KEKUASAAN KEHAKIMAN
• Pasal 11 (2) huruf b dan (3):
– MA berhak menguji per-UU-an di bawah
UU terhadap UU; MA:
UJI MATERIEL
– Pernyataan tidak berlaku per_UU-an dapat DI BAWAH UU
diambil dari pemeriksaan tingkat kasasi
maupun permohonan langsung kepada MA

• Pasal 12(1):
– Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang
MK:
mengadili pada tingkat pertama dan
UJI MATERIEL
terakhir yang putusannya bersifat final UU Thd UUD
untuk menguji UU terhadap UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
UU NO. 5 TAHUN 2004
TENTANG PERUBAHAN UU NO. 14 TAHUN
1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
• Pasal 31
– (1) MA berwewenang menguji per-UU-an di bawah UU
terhadap UU
– (2) MA menyatakan tidak sah per-UU-an di bawah UU
dengan alasan bertentangan dengan per-UU-an yang lebih
tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan
yang berlaku.
– (3) (4) Per-UUPutusan tidak sahnya per-UU-an dapat
diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada
tingkat kasasi maupun permohonan langsung pada
MA.
– Per-UU-an yang dinyatakan tidak sah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
– (5) Putusan wajib dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak putusan diucapkan.
Lanjutan UU no. 5 Tahun 2004

• Pasal 31A
(1) Permohonan pengujian per-UU-an di bawah UU terhadap
UU diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada
MA, secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(2) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat pemohon;
b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar
permohonan, dan wajib menguraikan dengan jelas
bahwa:
1) materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian per-
UU-an dianggap bertentangan dengan per-UU-an
yang lebih tinggi; dan/atau
2) pembentukan peraturan perundang-undangan
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
Lanjutan pasal 31 A

(3) Dalam hal MA berpendapat bahwa pemohon atau


permohonannya tidak memenuhi syarat, maka
permohonan tidak diterima
(4) Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan
dikabulkan
(5) Dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan
menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari per-UU-an yang bertentangan
dengan per-UU-an yang lebih tinggi.
(6) Dalam hal per-UU-an tidak bertentangan dengan per-
UU-an yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan
dalam pembentukannya, permohonan ditolak.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian per-UU-
an di bawah UU diatur oleh MA
UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI

• Pasal 1 angka 1 a: Permohonan adalah


permintaan yang diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

• Pasal 10 (1 a) Mahkamah Konstitusi berwenang


mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PENGAJUAN PERMOHONAN
• Pasal 29:
– Tertulis
– Dalam bahasa Indonesia
• Pasal 52 (1): Pemohon adalah
a.perorangan warga negara Indonesia;
b.kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang;
c.badan hukum publik atau privat; atau
d.lembaga negara.
Lanjutan……
Pasal 52 (3): Dalam permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemohon wajib menguraikan dengan jelas
bahwa:
a.pembentukan undang-undang tidak memenuhi
ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b.materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
(2). AZAS LEX SPECIALIS
DEROGAT LEGI GENERALIS
Peraturan perundang-undangan
yang bersifat khusus (spesial)
mengenyampingkan
berlakunya peraturan perundang-
undangan yang bersifat umum
(general), apabila kedua peraturan
perundang-undangan tersebut
memuat ketentuan yang saling
bertentangan (konflik)
Keterangan:
• Hanya berlaku antar UU (sederajad);
apabila tidak sederajad berlaku azas
lex superior
• Contoh:
– KUHPerdata dengan KUHDagang
• 1338 KUHP: azas kebebasan berkontrak
• 22 KUHD: Tiap-tiap perseroan Firma harus
didirikan dengan akta otentik….
(3). AZAS LEX POSTERIOR
DEROGAT LEGI PRIORI
Peraturan perundang-undangan
yang kemudian (baru)
mengenyampingkan
berlakunya peraturan perundang-
undangan yang terdahulu (lama),
apabila kedua peraturan perundang-
undangan tersebut memuat ketentuan
yang saling bertentangan (konflik)
Keterangan:
• Hanya berlaku antar UU (sederajad);
apabila tidak sederajad berlaku azas lex
superior. Misalnya konflik antara UU
dengan PP, meskipun PP merupakan
peraturan baru, tetapi tetap UU lama
mengenyampingkan PP.
• Diterapkan apabila per-UU-an yang baru
tidak secara tegas mencabut berlakunya
per-UU-an yang lama. Karena pada
umumnya ada pernyataan tegas
mencabut yang lama.
Contoh:
• UUPA mencabut tegas pasal-pasal
buku II KUHP sepanjang yang
mengatur bumi, air dan kekayaan
alam
• UU Hak Tanggungan, mencabut pasal
tentang hipotik atas tanah
• UU perkawinan mencabut KUHP
tentang perkawinan, HOCI dll
• KUHAPidana mencabut HIR
(B)
KONFLIK ANTARA
PERATURAN
PERUNDANG-
UNDANGAN DENGAN
PUTUSAN HAKIM/
PENGADILAN
AZAS
“RES YUDICATA PRO VERITATE
HABITUR”
apabila terdapat putusan pengadilan/
hakim bertentangan dengan
ketentuan yang termuat dalam per-
UU-an, maka putusan hakimlah yang
dianggap benar
(C)
KONFLIK ANTARA
PERATURAN
PERUNDANG-
UNDANGAN DENGAN
HUKUM ADAT DAN
HUKUM KEBIASAAN
a. Apabila konflik antara per-UU-an yang
bersifat dwingenrecht dengan hukum
adat atau hukum kebiasaan:
• PER-UU-AN MENGENYAMPINGKAN HUKUM
ADAT ATAU HUKUM KEBIASAAN
b. Apabila konflik antara per-UU-an yang
bersifat anfullenrecht dengan hukum
adat atau hukum kebiasaan:
• HUKUM ADAT ATAU HUKUM KEBIASAAN
MENGENYAMPINGKAN PER-UU-AN
(D)
KONFLIK ANTARA
HUKUM ADAT ATAU
HUKUM KEBIASAAN
DENGAN PUTUSAN
HAKIM /
PENGADILAN
AZAS
“RES YUDICATA PRO VERITATE
HABITUR”
apabila hukum adat / kebiasaan
bertentangan dengan putusan
hakim/ pengadilan, maka putusan
hakim/ pengadilanlah yang dianggap
benar

Anda mungkin juga menyukai