Anda di halaman 1dari 10

MODERASI DALAM MANASIK

HAJI

DISAMPAIKAN OLEH
H MUSTAIN AHMAD, SH MH
KANWIL KEMENAG PROV JATENG
Berlakunya hukum ‘azimah
MENGELOLA dan
BANYAK
rukhshah ORANG

Prinsip Berpindah dari pendapat yang berat


kepada yang lebih ringan
MANHAJ
DALAM
WASHATHIYAH 5 PRINSIP
Mempertimbangkan konteks
FIKIH HAJI
Beralih dari satu Mazhab kepada
Mazhab lain

Kehati-hatian dalam menetapkan


hukum
01 BERLAKUNYA HUKUM ‘AZIMAH DAN RUKHSHAH

Dalam kondisi normal, diberlakukan hukum ‘azimah


sementara dalam keadaan dharurat diberlakukan hukum
rukhshah. Sebab itu, fatwa hukum salah satunya harus
didasarkan pada perubahan situasi dan kondisi. Bahkan,
fatwa bisa berubah karena perbedaan kondisi mustafti yang
meminta fatwa.
02 BERPINDAH DARI PENDAPAT YANG
BERAT KEPADA YANG LEBIH RINGAN
Dalam hal pelaksanaan hukum Imam al-Qarafi al-Maliki,
ideal tidak mungkin dilaksanakan sebagian besar ulama madzhab
karena kodisi tertentu, maka dipilih Syafi'i, pendapat yang rajih di
ketentuan hukum yang dimungkinkan kalangan ulama Hanafi (diantaranya
sesuai dengan tuntutan realitas yang Ibnul Humam dan pengarang
ada sesuai kaidah : Musallam ats-Tsubut) mengatakan
‫الزنول إ ىل الواقع األدىن عند تعذر املثل‬ bahwa tatabbu' ar-rukhshah atau
atau ikhtiyar al-aisar diperbolehkan,
‫األعىل‬ yaitu mengambil pendapat yang
Artinya: ”Ketika tidak mungkin paling ringan atau paling mudah dari
melaksanakan yang ideal, maka turun setiap mazhab dalam suatu masalah
kepada realitas yang lebih rendah” tertentu
03 MEMPERTIMBANGKAN KONTEKS
Imam al-Qurafi menyatakan:
‫ بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك‬.‫وال تجمد على المسطور فى الكتب طول عمرك‬
‫التجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به من دون عرف بلدك والمقرر فى‬
‫ والجمود على المنقوالت أبدا ضالل فى الدين وجهل بمقاصد علماء‬.‫كتبك فهذا هو الحق الواضح‬
‫المسلمين والسلف الماضين‬
Artinya: Dan jangan terpaku pada teks yang ditulis di buku-buku, sepanjang
hidupmu. Jika ada orang yang datang meminta fatwa dan dia tidak berasal dari
orang-orang daerahmu, jangan perlakukan sesuai dengan kebiasaan di
daerahmu. Tanyakan tentang kebiasaan di daerahnya, lalu perlakukan dan
berikan fatwa sesuai dengan kebiasaan di daerahnya, bukan dengan
berpatokan pada adat di daerahmu dan yang tertulis dalam kitab-kitabmu.
Inilah kebenaran yang nyata. Sikap kaku dengan selamanya berpegang kepada
teks adalah kesesatan dalam agama, dan bukti ketidaktahuan atas niat para
ulama dan pendahulu sebelumnya.
04 BERALIH DARI SATU MAZHAB KEPADA
MAZHAB LAIN
Idealnya, ketetapan hukum dilakukan secara konsisten dengan berpegang
kepada satu mazhab tertentu, dengan bersandar pada qaul manshus imam
mazhab
Jika tidak dimungkinkan, beralih kepada pendapat para pengikutnya.
Misalnya beralih dari qaul mazhab Syafi’i, kepada pendapat Imam Nawawi.

Jika ini tidak dimungkinkan, maka bisa berpegang kepada semua pendapat
yang ada dalam berbagai mazhab fiqh (iltizam bi mazhabin ghairu mu’ayyan)
dengan melakukan pemilihan hukum diantara berbagai pendapat hukum
(taqrir baina al-aqwal)

Beralih dari QAUL ARJAH  QAUL RAJIH  QAUL MARJUH


5 KEHATI-HATIAN DALAM MENETAPKAN HUKUM

Dalam menyikapi persoalan-persoalan baru, para pembimbing hendaknya berhati-hati


dan memberikan jawaban hukum. Jangan sampai memberikan keputusan hukum yang
asal-asalan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Allah berfirman:

‫َفاْس َأُلوا َأْه َل اِّذل ْكِر ْن ُكْنْمُت اَل َتْع َلُم وَن‬
Artinya: Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
‫ِإ‬
mengetahui”. An-Nahl[16]: 43. Ibn Mas’ud menyampaikan sebuah maqalah :

‫من أفىت الناس ىف لك ما يستفتونه فهو جمنون‬


Artinya: Barangsiapa memberi fatwa kepada semua orang yang datang meminta
fatwa kepadanya, maka orang itu gila.
CONTOH KASUS ; MABIT DI MINA

Pendapat ulama’ berkaitan dengan hukum mabit di Mina:


1. Wajib, menurut jumhur ulama (madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Jemaah haji yang
tidak mabit selama satu malam wajib membayar satu mud. Jemaah yang tidak mabit dua
malam wajib membayar dua mud. Sedangkan jemaah yang tidak mabit di Mina selama tiga
malam wajib membayar dam dengan menyembelih seekor kambing;
2. Sunah, menurut madzhab Abu Hanifah, salah satu riwayat Ahmad dan Syafi’i. Dalam kondisi
tempat yang terbatas, jika jemaah haji tidak bisa mabit di Mina, maka hajinya sah sejalan
dengan pendapat ulama fuqaha mazhab Hanafi dan salah satu riwayat Imam Ahmad dan
Syafi’i yang menyatakan bahwa mabit di Mina hukumnya sunah.
LAMA WAKTU MABIT DI MINA

1. Mabit di Mina dinyatakan sah bila jemaah haji berada di Mina lebih dari separuh malam. Waktu mabit
di Mina adalah sepanjang malam hari, dimulai dari waktu Maghrib (terbenam matahari) sampai dengan
terbit fajar. Akan tetapi, kadar lamanya mabit wajib mendapatkan sebagian besar waktu malam. Ini
adalah pendapat jumhur (mayoritas) yakni mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali.
2. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa mabit di Mina sah bila jemaah sempat hadir di Mina sebelum terbit
fajar yang kedua (fajar shadiq). Ini adalah salah satu pendapat mazhab Syafi’i.
3. Kadar waktu mabit tidak diukur dengan lama atau sebentar berada di Mina, sebagaimana dikemukakan
an-Nawawi;
‫وفى قدر الواجب من هذا المبيت قوالن للشافعي أصحهما الواجب معظم الليل والثاني ساعة‬
Artinya: “Kadar lamanya (waktu) wajib mabit di Mina ada dua pendapat menurut Imam Syafi’i : pendapat
yang afsah (paling shahih) diantara kedua pendapat adalah wajib mu’dhomullail (di Mina harus lebih dari
separuh malam), dan pendapat yang kedua menyatakan cukup sesaat
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai