Anda di halaman 1dari 33

Al-Madkhal ila

Dirāsah al-Mażāhib al-


Fiqhiyyah Karya Syekh
Ali Jum’ah
Dosen Pengampu: H. Mokhammad Yahya, M.A.,
Ph.D

Oleh: Khairun Nisa (210101210049)/MPAI-C


PETA KONSEP
TURATS

MEMAHAMI TURATS

SUMBER HUKUM ISLAM

MAZHAB IMAM AL-SYAFI’I

MAZHAB IMAM ABU

HANIFAH MAZHAB IMAM

MALIK MAZHAB IMAM

HANBALI

5 POKOK KAIDAH FIKIH

MAQASHID AL-SYARI’AH 2
TARIKH AL-TASYRI’
TURATS

Pengertian Keautentikan
Turas Turast:
atau khazanah keilmuan Turast: pertanyaan yang
Ada berbagai
t
Islam merupakan suatu produk muncul terkait kodifikasi turast,
pemikiran para ilmuan Muslim diantaranya tentang keautentikan
berabad-abad tahun yang lalu. nya.
Dalam kajian Islam dikenal
Syekh Ali Jum’ah menyebutkan berbagai keilmuan seperti ilmu
bahwa jarak waktu produk rijal, ilmu sanad, jarh ta’dil,
pemikiran yang disebut dengan mustalahul hadits dan lain-lain
turast dan atsar adalah 100 untuk menjawab pertanyaan
tahun. tentang keautentikan 3
tersebut.
MEMAHAMI TURATS

Syekh Ali Jum’ah menyebutkan setidaknya ada 5 hal yang harus


diperhatikan untuk mendapatkan pemahaman yang maksimal
ketika berhadapan dengan turats, yaitu:
1. Mengetahui gambaran sikon yang terjadi ketika turast itu
ditulis.
2. Memperhatikan sudut pandang yang dipakai oleh shohibul
turast
ketika beliau menulis kitab yang bersangkutan.
3. Memahami istilah-istilah yang digunakan penulis, karena
setiap
tempat/zaman/keadaan memiliki istilah yang berbeda-beda.
5. Pendalaman terhadap aspek kebahasaan dan tutur kata serta
4. Pengetahuan tentang keilmuan penunjang lainnya yang 4
pecahannya yang digunakan shohibul turast.
digunakan
dalam menulis turast tersebut.
SUMBER HUKUM ISLAM

1. Al-Qur’an, merupakan sumber


hukum Islam pertamayang
sifatnya qath’ al-tsubut. Ada 3 jenis hukum yang ada dalam
al-
perkataan mukallaf,
Qur’an, yaitu baik segi ibadah
(1). hukum-hukum terkaitataupun mu’amalah.
keimanan, (2). hukum-
2. hukum
Sunnahterkait akhlak, merupakan
Nabi/Hadits, (3). Hukum-hukum
sumber terkait
hukumperbuatan
kedua yang
dan
terdiri dari 3 jenis hukum, yaitu (1). Hukum yang
mengafirmasi dan menguatkan hukum yang ada di dalam al-
Qur’an, (2). Hukum yang menjelaskan kemujmalan yang ada di
dalam al-Qur’an, (3). Hukum
yang sifatnya sebagai muqayyad bagi ayat al-Qur’an yang sifatnya 5
muthlaq atau mengkhususkan ke ‘am-an al-Qur’an.
3.Ijma’, merupakan kesepakatan para ulama mujtahid terkait
suatu hukum syari’ah dari masa ke masa. Ijma’ terbagi dua, yaitu
(1). Ijma sharih, ketika semua mujtahid menyepakati hukum sebuah
masalah. (2). Ijma sukuti, ketika sebagian mujtahid lebih dulu
menetapkan hukum suatu persoalan dan mujtahid lain tidak
membenarkan/menolak ketetapan tersebut.
4.Qiyas, yaitu penetapan suatu hukum dengan cara membawa
suatu persoalan ke hukum lain yang dianggap memiliki keterikatan
‘illat hukum.

6
MAZHAB IMAM AL-SYAFI’I
(150-204 H)

Sumber Dasar Pengambilan Hukum Imam al-


Syafi’i:
1. Al-
Imam mazhab sepakat untuk 4 sumber
Qur’an ini, poin ke-5 dst merupakan sumber
hukum
2. Sunnah yang khusus digunakan oleh Imam al-Syafi’i
3. Ijma’
4. Qiyas
Imam al-Syafi’I menggunakan qiyas sebagai sumber hukum dalam
level standar/moderat, tidak terlalu membatasi seperti Imam Malik
dan tidak terlalu berlebihan seperti Imam Abu Hanifah. Menurut
beliau, ijtihad dan qiyas maknanya sama.
7
5. Aqwal al-Shahabah, ada 4 ketentuan
yaitu:
a. Sahabat sepakat: hujjah
b. Sahabat berbeda pendapat: tarjih
c. Qaul munfarid dan tidak terdapat di al-Qur’an/sunnah: lebih
utama dari qiyas
d. Qaul seputar ijtihad (belum memutuskan hukum): tidak dapat
dijadikan hujjah
6. Mempertimbangkan Asal Hukum/ ‫ايشأل يفلص األ رابتعا‬
‫ء ا‬, ketika tidak
terdapat nash terhadap suatu hukum, maka harus kembali ke
dasarnya: ‫أ‬00‫صألن‬0‫ل‬
‫ةحابالنافمعاليف ا‬,
‫صألو ا‬ ‫ا‬ ‫الاضماليفل‬
‫يمرتحر‬

7. Istishhab, yaitu tetap berpegang ke hukum yang telah ada


sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut.
8
Contoh:‫ذ ةءارب‬0‫م‬0‫ناسنإل ة‬
‫ا‬
8. Istiqra, yaitu meneliti seteliti mungkin berbagai
persoalan
juziyyah/parsial supaya dapat dihukumkan
dengannya. Contoh: Hukum shalat witir

9.Al-Akhdzu bi aqalli ma qila, yaitu mengambil jumlah yang paling


minimal dari berbagai pendapat yang ada.
Contoh: Pembayaran diyat kafir dzimmi, ada beberapa pendapat
untuk hal ini, (1). 1/3 diyat membunuh orang Islam, (2). ½ diyat
membunuh orang Islam (Imam Malik), (3). Sama seperti diyat
diyat
9
membunuh orang Islam/100% (Imam Hanafi). Imam Syafi’I
mengambil
Sumber Hukum yang Ditolak Imam al-Syafi’i:

1.Al-Maslahah Al-Mursalah, dan ini diterima oleh Imam Malik


Yaitu penetapan suatu hukum untuk kemaslahatan orang banyak,
contoh: menghukum orang yang diduga mencuri hingga
orang tersebut mengaku.
2. Al-Istihsan, dan ini dipakai oleh Imam Abu Hanifah
Yaitu mengunggulkan/mengutamakan qiyas khafi dibandingkan
qiyas jali.
Contoh: jual beli mu’athah, tidak diterima oleh Imam al-Syafi’I
karena tidak adanya qiyas jali-nya.
10
3.Praktik Penduduk Madinah, dan ini diterima oleh Imam Malik
Argumen Imam al-Syafi’i:para sahabat tidak hanya terbatas
di Madinah semata, namun tersebar ke berbagai negara.

4.Syar’u Man Qablana, sebagian ulama menjadikannya hujjah


Asumsinya bahwa ketika Islam di bawa oleh Nabi Muhammad,
maka seluruh syari’at sebelumnya secara
otomatis terhapus dengan adanya syari’at baru
yang di bawa oleh Nabi, sehingga
syari’at sebelumnya tidak lagi bisa digunakan.
11
MAZHAB IMAM ABU
HANIFAH (80-150
H)
• Abu Hanifah merupakan imam mujtahid yang berasal dari
Irak/Kufah tergolong ahl al-ra’yi.

• Orang pertama yang menggagas fiqh taqdiry/fikih prediksi atau


perkiraan terkait masalah-masalah yang belum pernah terjadi
dengan harapan apabila kasusnya terjadi maka hukumnya telah
ada. Hal ini banyak diikuti oleh para fuqaha selanjutnya.

12
• Sumber dasar pengambilan hukum Imam Abu
Hanifah:

13
1. Al-Qur’an, sumber utama dan pertama
hukum.
2. Sunnah/Hadits Nabi, Abu Hanifah membedakan status hukum
yang berasal dari al-Qur’an (dalil qath’i) dan Hadits Nabi (zhanny):
fardhu-wajib, haram-makruh tahrim.
Hadits mutawatir beliau ambil sebagai sumber hukum. Adapun
hadits ahad digunakan hujjah jika telah terverifikasi
keshahihannya. Ada beberapa perincian tentang kehujjahan
hadits ahad:
• Diterima jika tidak bertentangan dengan qiyas
• Ketika bertentangan, terkadang Abu Hanifah memakai hadits
ahad dan menolak qiyas, namun di lain kesempatan beliau
memakai qiyas dan menolak hadis ahad karena dianggap
bertentangan dengan kaidah-kaidah umum.
3. Aqwal al-Shahabah, sebagai sumber ketiga dalam istinbat 1
hukum Imam Abu Hanifah ketika tidak ditemukan nash dalam al- 4

Qur’an ataupun sunnah.


4.Ijma’
5.Qiyas, dalam memahami nash Abu Hanifah sering menggunakan
qiyas. Ketika dalil yang ada tidak cukup untuk melahirkan sebuah
hukum, maka beliau akan menelaah kasus tersebut dan
mengaitkannya dengan hukum yang sudah ada dengan melihat segi
maslahat, juga meneliti penyebab kasus dan berbagai aspek yang
mempengaruhi hukum tersebut sehingga akhirnya qiyas bisa
dipakai.
6.Istihsan, menurut definisi al-Karkhy yaitu Perpindahan seorang
mujtahid di dalam memberikan hukum terhadap sebuah kasus
kepada hukum yang berbeda karena adanya aspek pertimbangan
yang lebih kuat dibandingkan hukum semula.
7.‘Urf/tradisi-adat kebiasaan, Imam Hanafi menggunakan ‘urf
dalam berhujjah jika tidak terdapat hukum dalam nash al-Qur’an, 1
hadits, ijma’, qiyas dan istihsan. 5
MAZHAB IMAM MALIK
(93-179 H)

Sumber dasar pengambilan hukum Imam Malik:

1. Al-Qur’an (nash, zhahir, mafhum mukhalafah, mafhum aulawy,


dan
syibh nya)
2. Sunnah/Hadits Nabi saw (nash, zhahir, mafhum
mukhalafah, mafhum aulawy dan syibh nya)

3. Ijma’

4. Qiyas
5. Praktik Penduduk
1
Madinah’ 6
7.Istihsan
8.Sad al-Dzara’I / Upaya Pencegahan
9.Istishhab

• Adapun terkait mura’atul khilaf, Imam Malik hanya kadang-


kadang
menggunakannya.

1
7
MAZHAB IMAM HANBALI
(164-241 H)

Ada 5 dasar hukum yang dibangun oleh Imam Hanbali menurut


Ibnu al-Qayyim, yaitu:
1. Nash, baik al-Qur’an ataupun sunnah
2. Fatwa sahabat
3. Memilah dan memilih fatwa sahabat, hal ini dilakukan jika
terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Dipilih yang
paling dekat dengan al-Qur’an dan sunnah.
4. Hadits mursal dan hadits dha’if, jika tidak ditemukan dalil lain
dan ini lebih unggul menurut Imam Hanbali daripada qiyas.
5. Qiyas, dan ini dilakukan hanya dalam keadaan urgen/darurat.
1
8
• Terkadang Imam Hanbali tidak memberikan fatwa apapun
terkait suatu kasus ketika tidak ditemukan dalil apapun/terjadi
pertentangan pendapat di dalamnya karena beliau sangat
berhati- hati dalam memberikan fatwa ketika tidak ada atsar
salaf.
• Perincian dasar sumber hukum Imam Hanbali:
1. Nash sebagai sumber hukum pertama, baik al-Qur’an ataupun
sunnah kedudukannya sama.
2. Memakai dalil am ataupun zhahir nash ketika tidak ada dalil
yang men-takhsis, namun jika terdapat qarinah ataupun dalil
lain yang men-takhsis maka yang dijadikan hujjah adalah yang
sudah di- takhsis (sesuai pendapat jumhur ulama).
3. Mafhum muwafaqah dapat dijadikan hujjah, sedangkan mafhum
mukhalafah menurut jumhur ulama Hambali (hanabilah) juga
1
dapat dijadikan hujjah. 9
4. Wajib mengembalikan ayat mutasyabih ke ayat
muhkamat.
5.Wajib memakai sunnah dalam menafsirkan al-Qur’an, dan
sunnah diutamakan daripada zhahir ayat karena sunnah sifatnya
sebagai penjelas al-Qur’an, men-taqyid ke-mutlaq-annya, men-
takhsis keumuman ayat. Namun jika tidak ada sunnah/hadis, maka
baru zhahir ayat dipakai.
6.Wajib merujuk ke tafsir sahabat terkait makna al-Qur’an ketika
tidak ada hadis dari Nabi saw dan sahabat lain tidak menentang
tafsir tersebut. Adapun tafsir dari tabi’in, jika status ahad maka
tidak bisa dijadikan hujjah. Sedangkan ijma tabi’in dapat
dijadikan hujjah.
7.Ilmu tidak diturunkan secara turun temurun, namun hak Allah
SWT (Ilmu Kalam). 2
0
8. Terkait khabar ahad, ada 2 riwayat: (1). Bisa dijadikan hujjah, (2).
Tidak bisa dijadikan hujjah. Namun, mayoritas ulama Hanbali
mengatakan tidak bisa dipakai.
9.Terkait khabar wahid, wajib menggunakannya sebagai hujjah.
10.Penggunaan hadits dha’if, 3 pendapat:
• Dijadikan hujjah ketika tidak ada sumber lain, bahkan hadits
dha’if lebih diutamakan dibandingkan fatwa sahabat.
• Digunakan hujjah dalam fadha’il a’mal.
• Tidak boleh dijadikan hujjah dalam hal apapun.
11. Menurut ulama madzhab Hanbali, khabar ahad yang telah
diterima
oleh banyak orang bisa dijadikan pondasi dalam beragama.
12. Boleh menggunakan khabar wahid dalam hukum pidana,
2
berbeda dengan pendapat mayoritas ulama mazhab Hanafi. 1
13. Ijma’ juga bisa dijadikan hujjah. Imam Ahmad lebih berhati-hati
dalam periwayatnnya,

14.Menggunakan istishhab sebagai hujjah.


15.Adapun qaul sahabah, ada 2 pendapat: (1). Hujjah (2). Tidak bisa
dijadikan hujjah. Namun, yang lebih rajih adalah pendapat yang
mengatakan hujjah.
16.Menggunakan maslahah mursalah sebagai hujjah.
22
17.Menggunakan sadd al-dzara’i sebagai hujjah.
18.Menggunakan istihsan sebagai hujjah.
19.Menggunakan ‘urf sebagai hujjah, khususnya dalam kasus
mu’amalah karena beliau membahasnya secara meluas, melihat
berbagai maqashid dan lain-lain.
20.Secara umum, Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan qiyas.
Adapun qiyas yang ditolak beliau kemungkinan besar adalah qiyas
yang bertentangan dengan sunnah.

23
5 POKOK KAIDAH FIKIH

“Kemudharatan harus
dihilangkan”

24
“Adat kebiasaan dapat dijadikan rujukan hukum”

25
“Kesukaran/kesulitan itu dapat mendatangkan kemudahan”

26
“Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan”

“Setiap sesuatu tergantung pada maksud/tujuan pelakunya”

27
MAQASHID AL-SYARI’AH

5 Hierarki Maqashid al-Syari’ah –tujuan ditetapkannya suatu


hukum- menurut Syekh Ali Jum’ah:
1. Perlindungan Jiwa (hifzh al-nafs)
2. Perlindungan akal (hifzh al-’aql)
3. Perlindungan agama (hifzh al-din)
4. Perlindungan keturunan (hifzh al-nasl)
5. Perlindungan harta (hifzh al-mal)

28
TARIKH AL-TASYRI’

Syekh Ali Jum’ah membagi tarikh tasyri’ –sejarah legislasi hukum


Islam- ke dalam 4 periode, yaitu:
1. Periode Sahabat,
Pada masa ini ditemukan berbagai macam persoalan yang
sebelumnya tidak ada pada masa Nabi saw, hal ini dilatarbelakangi
oleh meluasnya wilayah Islam dan bertambahnya orang yang
memeluk agama Islam. Sehingga, di masa inilah mulai adanya
perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu hukum dan di masa
ini juga istilah ijma’ muncul.
Metode pengambilan hukum para fuqaha saat itu adalah berpegang
kepada nash al-Qur’an, kemudian hadits Nabi, baru kepada ra’yi. 2
9
Pembukuan kitab fiqih dan hadits belum ada pada masa ini.
2. Periode
Mujtahid,
Dimulai dari awal abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H.
Pada masa ini fikih berkembang sangat pesat. Ada beberapa
sebab yang melatarbelakangi perkembangan tersebut, di
antaranya:
a. Adanya perhatian Dinasti Abasiyah terhadap ilmu fikih dan para
ahli fikih
b. Meluasnya negara Islam
c. Lahirnya para imam-imam mazhab
d. Adanya kodifikasi hadis dan diketahui status shahih atau
dha’ifnya sehingga memudahkan para mujtahid untuk merujuk
karena
Pada hadis
periode sebagai
ini pula fikihsumber hukum Islam
mulai dibukukan dan kedua.
menjadi disiplin
ilmu yang berdiri sendiri. 3
0
3. Periode
Taqlid,
Periode ini dimulai sejak pertengahan abad ke-4 H hingga jatuhnya
Baghdad pada abad ke-7 H. Abad ini di kenal dengan masa
stagnasi perkembangan fikih. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, di antaranya:
a. Melemahnya kekuasaan politik Dinasti Abasiyyah
b. Mazhab fikih telah terkodifikasi secara sempurna pada masa
sebelumnya.
c. Adanya perasaan takut dalam berijtihad dan merasa tidak
berkompeten dalam hal tersebut.
Namun, pada periode ini tetap menghasilkan berbagai produk
keilmuan, di antaranya berkaitan dengan hal berikut : (1).
Penjelasan terkait hukum-hukum yang dinukil dari para imam
mazhab, (2). Meringkas kaedah-kaedah istinbat hukum yang di
tempuh imam mazhab, (3). Men-tarjih pendapat para imam, dan
3
(4).
Pengorganisasian fikih 1
mazhab.
4. Periode Sekarang,
Periode ini dimulai sejak jatuhnya Baghdad pada abad ke-7 H dan
berlanjut hingga saat ini. Para fuqaha pada periode ini memiliki
kecenderungan dalam menulis kitab-kitab, baik yang sifatnya
mukhtasar ataupun syarh. Lahir pula kitab-kitab fatwa yang ditulis
oleh para ulama masa ini untuk menjawab berbagai persoalan
dalam masyarakat dengan tetap menyebutkan pendapat dari
berbagai kitab mazhab fikih.
Studi fikih mengalami kebangkitan pada masa ini, terlihat pada
antusias masyarakat Islam dalam mempelajarinya di tingkat
perkuliahan. Di samping itu, karya-karya di bidang fikih pada
masa ini juga mulai merebak.

32
Referens
i:
Ali Jum’ah, Al-Madkhal ila Dirāsah al-Mażāhib al-
Fiqhiyyah, Mesir: Dar al-Salam, Cetakan ke-6,
2020.

TERIMA
KASIH

33

Anda mungkin juga menyukai