Anda di halaman 1dari 33

CONTOH PROPOSAL PENELITIAN NORMATIF A.

JUDUL : PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP TERHADAP KELEMBAGAAN KORPORASI SAKIT

RUMAH

MUHAMMADIYAH YANG BERFUNGSI SOSIAL B. BIDANG ILMU : ILMU HUKUM C. LATAR BELAKANG Rumah sakit swasta didalam menyelenggarakan kegiatannya, menurut Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (selanjutnya ditulis UU Kesehatan) harus tetap memperhatikan fungsi sosial. Adapun yang dimaksud dengan fungsi sosial menurut Penjelasan Pasal 57 ayat (2) UU Kesehatan adalah penyelenggaraan kegiatan sarana kesehatan harus memperhatikan kebutuhan pelayanan kesehatan

golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan secara komersial, tetapi lebih dititikberatkan kepada kemanusiaan. Hal yang sama dengan RS Muhammadiyah, dimana sejak

didirikan membawa misi sosial yaitu melayani kaum dhuafa, pasien yang datang adalah banyak dari masyarakat tidak mampu yang berharap mendapatkan kemudahan pelayanan dan pembiayaan. Namun demikian karena kebutuhan pendanaan untuk pengembangan fasilitas dan

pelayanan, fungsi sosial dari RS Muhammadiyah tersebut telah bergeser kepada fungsi komersial. Hal ini dilakukan untuk mengatasi kesulitan

dalam berkompetisi dengan rumah sakit swasta lainnya khususnya yang

telah merubah kelembagaannya menjadi badan usaha (korporasi) seperti Perseroaan Terbatas. Rumah sakit di Indonesia tidak sekedar sebagai wadah atau tempat perawatan terbatas. Sekarang rumah sakit telah menjadi institusi sosial. Menurut Pasal 6 Permenkes RI Nomor 159b Tahun 1988 tentang Rumah Sakit, penyelenggaraan kegiatan rumah sakit harus mendapat ijin dari Menteri Kesehatan. Selanjutnya menurut Pasal 8 ayat (2) Permenkes RI Nomor 532 Tahun 1982, untuk memperoleh ijin dari Menteri Kesehatan rumah sakit dimiliki dan diselenggarakan oleh badan hukum. Hal tersebut merupakan pelaksanaan Pasal 58 UU Kesehatan, bahwa rumah sakit sebagai suatu lembaga yang diselenggarakan dan dimiliki oleh masyarakat maupun swasta harus berbentu badan hukum, dengan maksud agar mudah didalam melakukan pengawasannya. Menurut Pasal 3 Permenkes Nomor 159 b Tahun 1988, rumah sakit dapat dimiliki dan diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. Rumah sakit pemerintah dimiliki dan diselenggarakan oleh Depkes, Pemda, ABRI dan BUMN. Rumah sakit swasta dimiliki dan diselenggarakan oleh Yayasan dan Badan Hukum lain yang bersifat sosial. Namun dengan telah diundangkannya PP Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham oleh Perusahaan PMA dan Permenkes Nomor 84/Menkes/II/Per/1990 tentang Legalisasi Keberadaan Rumah Sakit Swasta Pemodal, maka telah terbuka peluang untuk rumah sakit berbentuk Perseroan Terbatas. Seiring dengan terjadinya pergeseran kebijakan politik kolonial, pada awal abad XX rumah sakit-rumah sakit pemerintah dan

swasta/keagamaan didirikan di berbagai daerah di Indonesia. Sampai saat

ini, terdapat 1056 rumah sakit, yang terdiri dari 428 RS Pemerintah, 111 RS ABRI/POLRI, 452 RS Swasta lain, dan 64 RS Muhammadiyah (Trisnantoro, 2006: 4). Berdasarkan jumlah keseluruhan rumah sakit di Indonesia, ternyata 48,9% dimiliki oleh Swasta. Sebagian rumah sakit swasta didirikan oleh yayasan atau perkumpulan sosial, khususnya

dengan latar belakang keagamaan atau lembaga-lembaga sosial lainnya, yang biasanya diprakarsai oleh kalangan masyarakat atau orang-orang yang terhormat. Sudah tentu rumah sakit seperti ini membawa misi sosial dan karena itu tidak profit making. Mungkin karena sifat non profit making inilah ada kesan bahwa rumah sakit seperti ini dikelola dengan asal jalan dan semata-mata mengutamakan pelayanan medik bagi

pasien-pasien yang dirawat. Kerugian yang ada biasanya akan ditangani lembaga-lembaga keagamaan/sosial yang bersangkutan, dari donasi yang diperolehnya. Meskipun demikian, dalam perkembangan dewasa ini, rumah sakit tidak mungkin hampir dikelola semata-mata sakit sosial. Dalam keadaan realita

sekarang,

seluruh

rumah

swasta

menghadapi

kehidupan yang semakin materialistis. Rumah sakit harus membayar teknologi kedokteran, listrik, air, dapur, dan bahkan imbalan jasa dokter dan paramedik dengan mengikuti harga pasar. Dalam keadaan inilah, dari segi manajemen, rumah sakit yang selama ini lebih mementingkan aspek sosial, seolah-olah ketinggalan kereta dalam pengelolaannya. Adanya globalisasi ekonomi yang melanda semua Negara,

perusahaan-perusahaan memasuki lingkungan bisnis yang sangat berbeda dengan lingkungan bisnis sebelumnya. Pasar dimasuki oleh pesaing-

pesaing domestik maupun mancanegara, yang telah membawa berbagai produk barang dan jasa yang sangat sarat dengan kandungan

pengetahuan tingkat dunia. Dunia usaha di Indonesia saat ini menghadapi berbagai macam tantangan, yaitu adanya persaingan ketat, juga

menghadapi krisis ekonomi dan sosial. Demikian pula di sektor kesehatan, khususnya rumah sakit juga mengalami hal yang sama dengan kondisi dunia usaha lainnya. Biaya produksi meningkat, sehingga secara otomatis tarif pelayananpun harus meningkat. Bagi rumah sakit yang profit making, seperti RS Pondok Indah atau RS Gleneagles yang keduanya berbentuk Perseroan Terbatas (PT), tarif dapat ditingkatkan seiring dengan peningkatan mutu yang dilakukan. Sementara itu, dilihat dari posisi RS Muhammadiyah, situasi masih belum menggembirakan. Dilihat dari sisi kuantitas RS

Muhammadiyah memang berjumlah 64, namun hanya ada 6 RS yang memiliki Jumlah Tempat Tidur (selanjutnya ditulis JTT) diatas 150. Bila dibandingkan kualitas dengan rumah sakit-rumah sakit lain, 6 RS

Muhammadiyah tersebut masih di bawah RS Keagamaan non Islam dan swasta lainnya (Trisnantoro, 2006: 4-5). Muhammadiyah merupakan gerakan sosial-keagamaan (Islam) modernis terbesar. Berdasarkan laporan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, Jawa Timur tahun 2005, dapat diketahui bahwa terdapat 525 amal usaha di bidang kesehatan. Dari 525 amal usaha di bidang kesehatan tersebut, 64 berupa rumah sakit Islam (RSU, RSIKA, RSJ, dan RSAB), dan lainnya adalah balai pengobatan dan atau rumah bersalin yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Amal usaha di bidang

kesehatan ini merupakan amal usaha yang paling dapat langsung manfaatnya oleh warga Muhammadiyah sendiri

dirasakan ataupun

masyarakat umum. Pada tahun 2005, keberadaan RS Muhammadiyah di Indonesia berjumlah sekitar 15% dari jumlah RS swasta se-Indonesia. Penyebaran tersebut tidak merata. Apabila dilihat per-propinsi maka Jawa tengah dan Jawa Timur mempunyai konsentrasi RS-RS Muhammadiyah yang terbesar yaitu 20 dan 25 buah. Sementara itu di Propinsi DIY terdapat 2 RS Muhammadiyah, yaitu RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RSU PKU Muhammadiyah Bantul. RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta dimiliki oleh PP Muhammadiyah Yogyakarta dengan JTT sebanyak 220, sedangkan RSU PKU Muhammadiyah Bantul dimiliki oleh PDM Bantul dengan JTT

sebanyak 103 (Trisnantoro, 2006: 4-5). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2002: 2) bekerjasama dengan Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK) FK UGM menunjukkan beberapa kecenderungan yang muncul pada RS Keagamaan 10 tahun belakangan ini, yaitu:
1. Rumah sakit-rumah sakit yang berbasis keagamaan tidak mempunyai

sumber dana bantuan dari donatur dalam maupun luar negeri untuk keperluan menutup biaya operasional. Keadaan ini telah membuat esensi awal dari rumah sakit ini, yaitu untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin sebagai wujud fungsi sosial rumah sakit menjadi hilang. 2. Tujuan pemilik RS Keagamaan dan para dokter berubah, dimana rumah sakit menjadi tempat untuk mendapatkan dana dan penghasilan. Hal ini berbeda dengan masa lampau dimana Pemilik rumah sakit mencarikan dana dan dokter bekerja dengan dasar misi sosial keagamaan. Saat ini motivasi para dokter (terutama dokter spesialis) di RS Keagamaan kebanyakan bukan misi semata, akan tetapi mencari penghasilan sehingga jasa pelayanannnya cukup besar. 3. RS Keagamaan praktis bergerak di segmen kelas menengah dan atas. Hal ini disebabkan sumber dana untuk fungsi sosial rumah sakit harus diperoleh oleh internal rumah sakit sendiri, bukan berasal dari pihak

luar. Misi sosial menjadi beban rumah sakit karena menggunakan subsidi silang. Beban ini tidak ada pada RS-RS making profit. Akibatnya RS-RS Keagamaan menjadi sulit berkompetisi. 4. Kultur bekerja RS-RS Keagamaan masih belum berada dalam model corporate (badan usaha). Berbagai RS Keagamaan yang potensial untuk bekerja secara jaringan ternyata masih sendiri-sendiri. Adapun fakta-fakta yang ada di RS-RS Muhammadiyah adalah sebagai berikut.(Trisnantoro, 2006: 8-10)
1. Kepemilikan

berbeda-beda, tumbuh sendiri-sendiri dari PP Muhammadiyah, PDM, dan PCM). 2. Ada RS yang mempunyai konflik antar pemilik. 3. Model investasi untuk rumah sakit berasal dari swadana masingmasing daerah. Sumber dana bervariasi antara PP, PDM dan PCM. Tidak ada yang bekerjasama dengan perorangan sebagai saham atau kerjasama dengan model bagi hasil. 4. Investasi untuk pengembangan selanjutnya berasal dari Sisa Hasil Usaha yang dikumpulkan, bukan dari PP/PDM/PCM. 5. Ada tradisi mengembangkan RS dari dana yang berasal dari RS yang ada lebih dulu. Dana dapat berupa pinjaman lunak atau semacam pinjaman saja tanpa ada keterangan jelas mengenai pengembaliannya. 6. Sumber dana operasional RS terutama dari pasien, kerjasama dengan asuransi. Adapun dari pemerintah adalah dana KS/Askes Gakin. Sumber dana dana dari Donatur (pengajian umum, donator tetap) jumlahnya relatif kecil, biasanya digunakan untuk membiayai pasien tidak mampu. Adanya dana KS/Askes Gakin cukup membantu karena dapat menutup sebagian hutang pasien tak mampu yang bisa mencapai Rp. 600 juta/tahun. 7. Pembayaran pajak disamakan dengan Badan Usaha, PAM disamakan dengan hotel, padahal harus melayani pasien miskin. 8. Dana dari RS dianggap paling lancar. Ada RS yang membiayai panti asuhan dan kegiatan Muhammadiyah lainnya. 9. Salah satu sumber dana adalah dari diskon obat yang diberikan terlebih dahulu, biasanya dibelikan alat atau untuk pengembangan performance. 10. RS sebagai amal usaha maka berkewajiban membayar SWO (Simpanan Wajib Organisasi) untuk maintenance dan kegiatan dakwah persyarikatan (PP/PWM/PDM/PCM/PRM). Contoh dua RS menyetorkan setiap bulan Rp. 60 juta ke PP sebagai SWO, RS lain ada sebesar Rp. 10 juta setiap bulan atau bervariasi. 11. 5-10% dari SHU (ditentukan sendiri oleh pemilik masing-masing) digunakan untuk pengembangan atau pendirian satelit, tetapi pada prakteknya belum diketahui. 12. Jasa medik relatif lebih kecil dibandingkan dengan rumah sakit lainnya.

Mayoritas direksi RS Muhammadiyah bekerja bukan full timer. Jika seorang dokter maka pekerjaan fungsional masih jalan dimana prkatek pada jam kerja. Akhirnya tugas direktur disambi, dengan penghasilan fungsional bisa 20 kalinya direktur. Hal ini menimbulkan kesenjangan dengan direksi non dokter, karena jam kerjanya sama tapi penghasilannya berbeda. 14. Adanya persaingan antar RS Muhammadiyah di satu kota. 15. Ada RS yang mengalami penurunan kinerja dan bertambahnya pesaing.
13.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka manajemen RS Muhammadiyah perlu mempertimbangkan paradigma baru dan strategi yang tepat untuk mengelola rumah sakit dengan efisien tanpa mengurangi mutu pelayanan, yaitu dengan menggunakan prinsip-prinsip korporasi. Maksudnya adalah RS Muhammadiyah dikelola seperti badan usaha yang menggunakan sistem pelayanan yang dijalankan berdasarkan prinsipprinsip bisnis. D. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah secara konseptual, dapat diterapkan sosial? 2. Bagaimanakah penerapan prinsip-prinsip korporasi (badan usaha) ke dalam kelembagaan RS Muhammadiyah yang sarat dengan nilai-nilai ajaran Islam ? E. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan pada pokok permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : prinsip-prinsip korporasi (badan usaha) yang berfungsi

dalam kelembagaan Rumah Sakit

1. Untuk mengetahui apakah secara konseptual prinsip-prinsip korporasi

dapat diterapkan dalam kelembagaan Rumah Sakit yang berfungsi sosial:


2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan prinsip-prinsip koroprasi

dalam kelembagaan RS Muhammadiyah yang sarat nilai nilai ajaran Islam. F. MANFAAT PENELITIAN
1

Memberikan

kontribusi

keilmuan

kepada

ilmu

hukum

tentang

kemungkinan penerapan prinsip-prinsip korporasi dalam kelembagaan Rumah Sakit yang berfungsi sosial. 2. Memberikan kontribusi tekhnis kemungkinan penerapan prinsip-prinsip korporasi dalam sosial. G. TINJAUAN PUSTAKA kelembagaan RS Muhammadiyah yang berfungsi

1. Kelembagaan dan Prinsip-prinsip Korporasi


a. Pengertian korporasi Dalam penelitian ini terminologi korporasi diterjemahkan sebagai badan usaha yang bergerak di bidang bisnis atau biasa disebut sebagai perusahaan, seperti halnya pengertian korporasi yang terdapat dalam Blacks Law Dictionary (Blacks Law Dictionary :365) adalah an entity (usualy a business ) having authority under law to act as single person distinct from the shareholders who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely . Pengertian perusahaan tidak terdapat dalam WvK (di Indonesia disebut dengan KUHD) (Purwosutjipto, 1983: 14). Pemerintah Belanda

pada waktu membacakan memori van toelichting RUU WvK di muka parlemen menerangkan perusahaan ialah keseluruhan perbuatan, yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba (bagi diri sendiri)

(Purwosutjipto, 1983:14; Usman, 2000: 26). Menurut Molengraaf, perusahaan (dalam arti ekonomi) adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan, menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian

perdagangan. Pengertian perusahaan di sini tidak mempersoalkan tentang perusahaan sebagai badan usaha, akan tetapi justru perusahaan sebagai perbuatan, yaitu hanya meliputi kegiatan usaha (Muhammad, 1993: 7-8). Selanjutnya menurut Polak memandang perusahaan dari sudut komersil, artinya baru dikatakan perusahaan apabila diperlukan

perhitungan laba rugi yang dapat diperkirakan dan dicatat dalam pembukuan. Laba merupakan tujuan utama setiap perusahaan, maka jika tidak ada laba, hal tersebut bukan perusahaan. Polak tidak

mempersoalkan perusahaan sebagai badan usaha (Muhammad, 1993: 89; Usman, 2000: 26). Pengertian-pengertian perusahaan tersebut di atas pada intinya tidak jauh berbeda dengan yang dirumuskan dalam Pasal 1 huruf b UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, sebagai berikut : Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus, dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa perusahaan adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan di dalam bidang perekonomian yang dilakukan secara terus menerus atau teratur, terang-terangan dan dengan tujuan untuk memperoleh

keuntungan dan/atau laba. Mengenai pengertian badan usaha, A. Ridwan Halim (Ali, 1999: 108) menjelaskan bahwa badan usaha adalah: 1). Perwujudan atau pengejawantahan organisasi perusahaan, yang memberikan bentuk cara kerja, wadah kerja dan bentuk/besar kecilnya tanggung jawab pengurus/para anggotanya; 2). Menghasilkan laba yang diperoleh dari hasil pemasaran barang jasa yang dihasilkan oleh perusahaannya; 3). 4). Perwujudan dari suatu perusahaan yang terorganisir; Merupakan organisasi dari suatu perusahaan. Selanjutnya dalam tulisan ini yang dimaksud dengan istilah korporasi adalah badan usaha. Badan usaha tersebut dapat dijalankan oleh perorangan, persekutuan atau badan hukum.

b.

Bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip korporasi Pada dasarnya bila ditinjau dari sudut yuridisnya, maka badan

usaha itu dapat dibedakan atas (Ali, 1999: 109; Hadhikusuma & Sumantoro, 1991: 11; Usman, 2000: 28-84; Ichsan, 1986: 283 ; Muhammad, 1993: 49-52 )

1). Dilihat dari status hukum perusahaannya:

10

a). Badan usaha yang merupakan badan hukum, antara lain:


Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi

b). Badan usaha yang bukan badan hukum, antara lain: Firma,
Comanditaire Venootschap (CV)

2). Dilihat dari status kepemilikannya: a). Perusahaan Negara (BUMN) b). Perusahaan Swasta 3). Dilihat dari jumlah pemiliknya a). Perusahaan Perseorangan b). Perusahaan Persekutuan
Dari berbagai uraian serta pengertian dari masing-masing bentuk perusahaan seperti Perseroan Terbatas (UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas), Koperasi (UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian), Badan Usaha Milik Negara (UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara), CV dan Firma (Pasal 16 Pasal 35 Kitab Undang -undang Hukum Dagang) dapat dirumuskan tentang prinsipprinsip korporasi sebagai berikut.

1. Harta kekayaan sebagai modal 2. Tujuan mencari keuntungan 3. Fungsi dan tanggung jawab organ
Rumusan di atas akan digunakan sebagai pembatasan pengertian tentang prinsip-prinsip korporasi dalam penelitian, dan untuk selanjutnya akan dibahas sesuai dengan tujuan penelitian.

c. Teori Badan Hukum

11

Badan hukum merupakan terjemahan istilah bahasa Belanda yaitu rechtspersoon (van Hoeve, 1986: 403) dan bahasa Inggris yaitu legal persons (Echols & Shadily, 2000: 353). Ada syarat-syarat tertentu agar suatu badan usaha mempunyai kedudukan sebagai badan hukum. Menurut doktrin syarat-syarat tersebut adalah: 1). Adanya kekayaan yang terpisah; 2). Mempunyai tujuan tertentu; 3). Mempunyai kepentingan sendiri; 4). Ada organisasi yang teratur (Syahrani, 1985: 61-62; Rido, 1983: 4560; Hadisoeprapto, 1996: 90-91; Suhardana, 1992: 59). Syarat-syarat tersebut merupakan syarat material yang harus ada. Syarat formal adalah syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan untuk mendapatkan status sebagai badan hukum. Dalam hal penentuan status badan hukum atau bukan bagi suatu badan usaha, tidak terlepas dari peranan hukum positif suatu negara. Misalnya Perseroan Terbatas untuk mendapatkan status badan hukum adalah setelah

mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM (lihat UU tentang Perseroan Terbatas). Dalam rangka mengetahui kedudukan badan hukum dapat dilihat dalam undang-undang, yaitu dinyatakan secara tegas bahwa suatu organisasi adalah badan hukum (misalnya BRI); dan tidak dinyatakan secara tegas, tetapi dengan peraturan sedemikian rupa bahwa organisasi itu adalah badan hukum, misalnya Bank Tabungan Pos (Suhardana, 1992: 60).

12

Menurut Pasal 1653 KUHPerdata, macam-macam badan hukum dapat dibedakan menjadi: 1). Badan hukum yang didirikan oleh pemerintah, misalnya propinsi; 2). Badan hukum yang diakui oleh pemerintah, misalnya organisasiorganisasi agama; 3). Badan hukum yang didirikan untuk maksud-maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan, misalnya perseroan terbatas. Penggolongan 1999: 30) 1). Teori yang berusaha ke arah peniadaan persoalan badan hukum, antar alain dengan jalan mengembalikan persoalan tersebut kepada orangorangnya yang berhak. Termasuk teori ini adalah teori organ dan teori kekayaan bersama. 2). Teori lainnya yang hendak mempertahankan persoalan badan hukum, yaitu teori fiksi, teori harta kekayaan yang bertujuan, dan teori kenyataan yuridis. Menurut teori fiksi yang diajarkan oleh Van Savigny, adanya badan hukum itu merupakan anggapan saja yang diciptakan oleh Negara, sebab sebenarnya badan atau perkumpulan atau organisasi itu tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatakan kehendaknya sendiri, seperti halnya manusia. Sehingga badan hukum bila akan bertindak untuk melaksanakan kehendaknya harus dengan perantaraan wakilnya yaitu alat perlengkapannya, misalnya: direktur atau pengurus dalam suatu Koperasi. dalam suatu Perseroan Terbatas , teori-teori badan hukum sebagai berikut.(Ali,

13

Teori kekayaan yang diajarkan oleh Brinz dan van der Heijden, adanya badan hukum diberi kedudukan sebagai orang disebabkan badan ini mempunyai hak dan kewajiban yaitu hak atas harta kekayaan dan dengan harta kekayaan itu memenuhi kewajibannya kepada pihak ketiga. Oleh karena itu badan tersebut memiliki hak dan kewajiban, maka berarti ia merupakan pendukung hak dan kewajiban. Kekayaan yang dimiliki bdan hukum tersebut biasanya berasal dari kekayaan seseorang yang

dipisahkan dari kekayaan orang yang bersangkutan dan diserahkan kepada badan itu, seperti yayasan, PT dan lainnya. Teori organ diajarkan oleh Von Goerke, badan hukum merupakan suatu kenyataan seperti manusia dan bukan merupakan suatu anggapan saja. Oleh karena itu bdan hukum seperti manusia, yaitu mempunyai alat kelengkapan atau organ sebagaimana organ tubuh manusia, seperti: alat berpikir dan alat bertindak. Contoh, di dalam PT, alat perlengkapan organisasi adalah RUPS, Direksi dan Komisaris. Teori pemilikan bersama diajarkan oleh Planol, badan hukum sebenarnya adalah merupakan kumpulan dari manusia sehingga

kepentingan-kepentingan atau pemilikan dari manusia-manusia selaku anggota dari perkumpulan badan tersebut. Teori realita yuridis diajarkan oleh Suyling dan Scholten, badan hukum disamakan dengan manusia adalah suatu kenyataan yuridis, yaitu fakta yang diciptakan oleh hukum. Adanya badan hukum itu karena ditentukan oleh hukum. 2. Kelembagaan dan Fungsi Sosial Rumah Sakit

a. Pengertian Rumah Sakit

14

Batasan tentang rumah sakit banyak macamnya. Beberapa diantaranya adalah seperti yang dikutip oleh Azrul Azwar (1996: 82): 1). Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medik professional yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanent menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien (American Hospital Association 1974). 2). Rumah sakit adalah tempat dimana orang mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya yang diselenggarakan (Wolper dan Pena 1987). 3). Rumah sakit adalah pusat dimana pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan (Assosiation of Hospital Care 1947). Menurut Maeijer (1987: 129-130), rumah sakit merupakan badan usaha yang mempunyai ciri tersendiri; usahanya tertuju pada

pemeriksaan medikdan perawatan medik pasien yang masuk rumah sakit. Rumah sakit bukan merupakan badan usaha dalam arti perusahaan yang bertujuan mencari keuntungan di bidang harta kekayaan). Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa fungsi dan kegiatan rumah sakit pada saat ini bervariasi. Selanjutnya pengertian rumah sakit di Indonesia dapat ditelusuri melalui peraturan perundangundangan yang ada. Pengertian rumah sakit menurut Kepmenkes RI Nomor

031/Birhup/1972 sebagai berikut. 1). Suatu kompleks atau ruang yang dipergunakan untuk menampung dan merawat orang sakit atau bersalin. 2). Kamar-kamar orang sakit yang berada dalam satu perumahan

khusus, seperti: a). Rumah sakit khusus;

15

b). Rumah sakit bersalin; c). Lembaga masyarakat; d). Kapal laut. Selanjutnya apabila ditinjau dari Pasal 1 Permenkes RI Nomor 159b Tahun 1988 tentang Rumah Sakit dinyatakan: Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan, diantaranya meliputi menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan, serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Kemudian dibedakan lagi antara: 1) Rumah sakit umum, yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan semua jenis penyakit dari yang bersifat pelayanan dasar sampai dengan sub spesialistik. 2) Rumah sakit khusus, yaitu rumah sakity yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan jenis penyakit tertentu atau disiplin ilmu. 3) Rumah sakit pendidikan, yaitu rumah sakit umum yang dipergunakan untuk tempat pendidikan tenaga medik tingkat S1, S2 dan S3. Berdasarkan beberapa pengertian rumah sakit tersebut di atas dapat diketahui, pengertian rumah sakit menurut Permenkes Nomor 159b Tahun 1988 ternyata lebih lengkap dan terperinci. Pengertian rumah sakit disamping sebagai tempat untuk pelayanan kesehatan, juga dapat dinyatakan sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Kesan rumah sakit hanya sebagai tempat untuk menampung orang sakit dapat dihindarkan. Fungsi rumah sakit seperti yang dinyatakan di dalam Permenkes Nomor 159b Tahun 1988 adalah: 1) Menyediakan dan menyelenggarakan: a). Pelayanan medik. b). Pelayanan penunjang medik. c). Pelayanan perawatan. d). Pelayanan rehabilitasi. e). Pencegahan dan peningkatan kesehatan. 2) Sebagai tempat pendidikan dan atau latihan tenaga medik. 3) Sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi bidang kesehatan.

16

Selanjutnya

di

dalam tentang

Pasal Pedoman

Kepmenkes Rumah

Nomor Sakit

983/Menkes/SK/XI/1992

Organisasi

Umum, bahwa rumah sakit umum mempunyai fungsi, yaitu:

1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)

Menyelenggarakan Menyelenggarakan Menyelenggarakan Menyelenggarakan Menyelenggarakan Menyelenggarakan Menyelenggarakan

pelayanan medik; pelayanan penunjang medik dan nonmedik; pelayanan dan asuhan keeperawatan; pelayanan rujukan; pendidikan dan latihan; penelitian dan pengembangan; administrasi umum dan keuangan. Nomor 159b Tahun 1988 disebutkan

Di dalam Permenkes

pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah kegiatan pelayanan berupa pelayanan rawat jalan, rawat inap dan pelayanan gawat darurat yang mencakup pelayanan medik dan penunjang medik. Dalam rangka penyelenggaraan kegiatannya, berdasarkan Pasal 3 Permenkes Nomor 159b Tahun 1988, maka rumah sakit dapat

diselenggarakan dan dimiliki oleh pemerintah atau swasta. Rumah sakit pemerintah dapat dimiliki dan diselenggarakan oleh Depkes, Pemda, ABRI dan BUMN. Rumah sakit swasta dimiliki dan diselenggarakan oleh Yayasan dan Badan Hukum lain yang bersifat Sosial. Namun dengan telah diundangkannya Permenkes Nomor 84/Menkes/II/Per/1990 tentang

Legalisasi Keberadaan Rumah Sakit Swasta Pemodal, maka telah terbuka peluang untuk rumah sakit berbentuk Perseroan Terbatas. Sesuai dengan perkembangan yang dialami, pada saat ini rumah sakit dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu (Lestari, 2001: 14):

1) Menurut pemilik yaitu rumah sakit pemerintah (governmen hospital)


dan rumah sakit swasta (private hospital).

17

2) Menurut filosofi yang dianut, yaitu rumah sakit yang tidak mencari
keuntungan (nonprofit hospital) dan rumah sakit yang mencari keuntungan (profit hospital). 3) Menurut jenis pelayanan yang diselenggarakan, yaitu rumah sakit umum (general hospital) dan rumah sakit khusus (speciality hospital). 4) Menurut lokasi rumah sakit, yaitu rumah sakit pusat, propinsi, dan kabupaten. Menurut Kopit, McCann, Blacstone, Fuhr and Hansmann (2000:

1054) karakteristik dan misi-misi non profit making hospital adalah sebagai berikut.

1) Rumah sakit dikelola dengan tidak mencari keuntungan dan tidak


melaksanakan power market.

2) Rumah sakit tidak akan menaikkan harga yang akan mengarah pada

keuntungan yang lebih besar, tetapi akan memaksimalkan jumalah pasien, kualitas pelayanan dan perawatan kemanusiaan secara cumacuma. Rumah sakit ini akan menghargai pelayanannya hanya pada titik diperlukan untuk memenuhi kebutuhan finalsialnya ( break event point). 3) Individu yang menjalankan rumah sakit tidak mendapatkan insentif untuk melaksanakan power market, sebab individu tersebut tidak bertindak untuk memperoleh secara pribadi dari kenaikan harga. 4) Rumah sakit tersebut dikecualikan dalam hal pembayaran pajak.

b. Kelembagaan Rumah Sakit


Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Permenkes 159b Tahun 1988, bahwa setiap rumah sakit harus berbentuk badan hukum.

Selanjutnya menurut Pasal 3 Permenkes Nomor 159b Tahun 1988, bahwa rumah sakit dapat dimiliki dan diselenggarakan oleh Pemerintah dan Swasta. Rumah sakit pemerintah dapat dimiliki oleh Depkes, Pemda, BUMN, dan ABRI. Sementara itu, rumah sakit swasta dapat dimiliki dan diselenggarakan oleh Yayasan dan Badan Hukum sosial lainnya. Namun dengan adanya Permenkes Nomor 84 Tahun 1990 maka rumah sakit dapat berbentuk Perseroan Terbatas.

18

Secara umum kelembagaan sebuah rumah sakit 1998, 109 & 2002: 95) adalah:

(Koeswadji,

1). Pemilik rumah sakit (misalnya Pemerintah, Yayasan, Perkumpulan dan Perseroan Terbatas). 2). Direksi 3). Staf medik fungsional 4). Komite Medik 5). Tenaga Kesehatan Tetap & Tidak Tetap Dalam merupakan lalu lintas yang hukum hubungan hukum rumah sakit

organ

mempunyai

kemandirian

untuk

melakukan

perbuatan hukum. Rumah sakit merupakan badan hukum, oleh karena itu dibebani hak dan kewajiban. Di dalam kemandiriannya untuk berbuat menurut hukum sebagai subyek hukum inilah rumah sakit melibatkan tenaga kesehatan seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Tenaga kesehatan tersebut melakukan pekerjaannya sesuai dengan keahliannya dan diikat dengan kode etik profesinya masing-masing bekerja berdasarkan Arbeidsovereenkomst. Secara umum perjanjian untuk melakukan pekerjaan ini diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata, berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan menerima upah. Syarat-syarat tersebut dituangkan dalam deskripsi tugas yang dibuat oleh rumah sakit sebagai badan hukum selaku pihak yang memberi pekerjaan, dan tenaga kesehatan sebagai penerima pekerjaan. Secara singkat pemberian status rumah sakit sebagai badan hukum, untuk rumah sakit swasta dituangkan dalam akta pendirian

19

Yayasan (lihat UU Nomor 16 Tahun 2001 jo UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, selanjutnya ditulis UU Yayasan) (dapat juga bentuk badan hukum lain, tergantung siapa pemiliknya), yang telah didaftarkan ke Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia, dan telah diumumkan dalam Tambahan Berita Negara. Salah satu contoh kelembagaan rumah sakit swasta yang dimiliki dan diselenggarakan oleh Yayasan. Organ yayasan terdiri dari Pembina

(Pasal 28-30 UU Yayasan), Pengurus (Pasal 31-39 UU Yayasan), dan Pengawas (Pasal 41-41). Adapun yang melaksanakan perbuatan hukum yayasan adalah pengurus yayasan, yang terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara (Pasal 32 ayat (2) UU Yayasan). Dalam organisasi sebuah rumah sakit, biasanya di samping pengurus yayasan, ada lembaga direksi yang mengerjakan kegiatan rumah sakit sehari-hari. Dalam kenyataannya seorang direktur rumah sakit swasta diangkat dan diberhentikan oleh pengurus yayasan. Direksi tersebut bertugas melaksanakan kebijaksanaan dan pengelolaan rumah sakit sehari-hari. Kewenangan ini tidak bersifat otonom, tetapi lahir karena adanya pelimpahan wewenang yang diberikan oleh pengurus yayasan. Dengan demikian direksi bertanggung jawab langsung kepada pengurus yayasan. Di lain pihak apabila dalam hal tertentu pengurus yayasan yang memutuskan sesuatu, direksi harus mempersiapkan

pelaksanaannya. Direksi berkaitan dengan

bertanggung jawab atas rumah sakit sebagai

tugas-tugas yang sarana kesehatan

fumgsi

berdasarkan ketentuan Pasal 56-59 UU Kesehatan.

20

Di samping pengurus yayasan dan direksi, dalam organisasi rumah sakit ada medical staff. Anggota medical staff terdiri dari para dokter spesialis yang direkrut oleh rumah sakit. Keterlibatan medical staff ini bukan sebagai pekerja tetapi keterlibatannya dalam kegiatan rumah sakit berdasarkan atas toelatingscontract (kontrak untuk

merawat/memasukkan pasien untuk dirawat). Secara yuridis medical staff ini tidak mempunyai arti, karena mereka bukan merupakan bagian tetap dari organ rumah sakit yang diberi status sebagai badan hukum oleh hukum, dan juga tidak mempunyai kewenangan seperti halnya pengurus dan direksi rumah sakit. Dari segi fungsinya medical staff ini menentukan secara fungsional peraturanperaturan untuk staf tetap rumah sakit yang harus dipatuhi anggota staf. Tujuan medical staff sebagai staf medik fungsional adalah untuk meningkatkan mutu dalam pelayanan medik rumah sakit, melalui

kerjasama, penugasan, serta pengwasan secara perorangan. Sarana pengawasan dilakukan melalui medical audit, yang bertujuan untuk mencegah dilakukannya kesalahan/kelalaian rumah sakit. Komite medik ini kedudukannya secara fungsional berada di bawah direktur rumah sakit, dan secara struktur berada di bawah direktur yang membidangi keperawatan. Dilihat dari aspek hukumnya, audit medik yang dilakukan oleh komite medik yang secara struktural berada di bawah direktur rumah sakit yang menangani urusan keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum baik bagi pasien maupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Di sinilah peran dan fungsi hukum pada umumnya dan hukum kesehatan-kedokteran pada khususnya dalam

21

organisasi rumah sakit, yaitu di satu pihak mengatur batas-batas tanggung jawab etik rumah sakit terhadap dokter dan tenaga kesehatan lainnya, dan di lain pihak tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya (Koeswadji, 1998: 112). Struktur kelembagaan rumah sakit swasta yang dimiliki dan diselenggaran oleh Yayasan dapat dilihat dalam lampiran.

c. Fungsi Sosial Rumah Sakit


Pasal 57 ayat (2) UU Kesehatan, Sarana kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatannya tersebut tetap memperhatikan fungsi sosial. Adapun yang dimaksud dengan fungsi sosial sarana kesehatan adalah bahwa dalam menyelenggarakan kegiatan setiap sarana kesehatan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat harus memperhatikan kebutuhan pelayanan kesehatan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan. Kode Etik Rumah Sakit 1986 sudah ada pernyataan: Rumah sakit sebagai unit sosio-ekonomi tidak semata-mata mencari keuntungan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam penyelenggaraan kegiatannya rumah sakit tidak mengharamkan mencari keuntungan, tetapi juga tidak boleh mengutamakan keuntungan, karena rumah sakit bukan suatu badan usaha yang berbentu perusahaan yang berorientasi laba. Pemerintah telah menyediakan rambu-rambu untuk

penyelenggaraan rumah sakit yang berfungsi sosial. Adapun penjabaran tentang fungsi sosial eumah sakit tersebut dapat diketahui dari Pasal 25 Permenkes RI Nomor 99a/Menkes/SK/III/1982 tentang Sistem Kesehatan

22

Nasional jo Pasal 6 ayat (1) Permenkes Nomor 532/Menkes/Per/IX/1982 tentang Upaya Pelayanan Medik Swasta jo Permenkes Nomor 290 Tahun 1986 dinyatakan bahwa: Setiap rumah sakit harus melaksanakan fungsi sosialnya dengan antara lain menyediakan fasilitas untuk merawat penderita yang tidak mampu. Bagi rumah sakit pemerintah sekurang-kurangnya menyediakan 75% dari kapasitas tempat tidur yang tersedia, sedangkan bagi rumah sakit swasta sekurang-kurangnya menyediakan 25% dari kapasitas tempat tidur yang tersedia. Adapun bentuk-bentuk fungsi sosial yang dilakukan oleh rumah sakit swasta adalah (Lestari, 2001: 46):

1) Menyediakan jumlah tempat tidur kelas III atau kelas khusus untuk 2) 3) 4) 5)
masyarakat kurang mampu atau tidak mampu minimal 25%. Pembebasan biaya bagi masyarakat tidak mampu. Pengaturan tarif bagi masyarakat tidak mampu. Pelayanan gawat darurat 24 jam tanpa memungut uang muka. Melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan program pemerintah di bidang kesehatan. Penyelenggaraan fungsi sosial di atas harus dilaksanakan tanpa mengurangi mutu pelayanan kesehatan rumah sakit swasta dengan konsep pelayanan prima. Menurut penulis, dalam praktek fungsi sosial ini hanya semata-mata diterjemahkan ke dalam bentuk tarif ruang rawat kelas III atau kelas khusus, bukan biaya pelayanan yang sebenarnya. Tarif tersebut hanya mencakup subsidi untuk biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit bagi komponen pelayanan umum non medik, seperti sewa tempat tidur dan sebagian dari kamar, makam dan pemakaian sprei. Biaya ini biasanya tidak terlalu besar variasinya antar pasien di rumah sakit. Selain itu, pasien ruang rawat kelas III juga menerima subsidi dari dokter yang merawatnya dalam bentuk jasa medik gratis, bukan dari rumah sakit sendiri.Adapun biaya yang harus ditanggung sendiri oleh pasien meliputi

23

biaya untuk membeli obat, membeli bahan dan barang habis pakai untuk tindakan diagnostic maupun pengobatan, biaya transport ke rumah sakit dan hilangnya kesempatan untuk memperoleh pendapatan akibat sakitnya (opportunity cost) (Lestari, 2001: 47).

3.

Syirkah

a. Peristilahan dan Pengertian Syirkah


Korporasi (perusahaan atau badan usaha) di dalam hukum Islam disebut dengan Sharikah atau shirkah atau syirkah (Nyazee, 2002: 13; An Nabhani, 1990: 146-158). Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi'il mdhi), yasyraku (fi'il mudhri), syarikan/syirkatan/syarikatan

(mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus AlMunawwir, 1984: 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh al alMadzhib al-Arbaah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah) (Al Mushlih & Ash Shawi, http://alsofwah.or.id/cetakekonomi.php?id=49&idjudul=8). Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146; Dahlan, 2001: 193). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. (An-Nabhani, 1990: 146; Al Mushlih & Ash Shawi, http://alsofwah.or.id/cetakekonomi.php?

id=49&idjudul=8).

24

Terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan para fuqoha tentang syirkah (Dahlan, 2001: 193), yaitu: 1). Madzhab Maliki, syirkah adalah suatu ijin untuk bertindak hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka. 2). Madzhab Syafii, syirkah adalah adanya hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang disepekatinya. 3). Madzhab Hanafi, syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orangorang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan. Berdasarkan beberapa pengertian syirkah tersebut di atas dapat diperoleh esensi yang sama bahwa syirkah merupakan ikatan kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam perdagangan. Apabila akad syirkah telah disepakati, maka semua pihak berhak bertindak hukum dan mendapat keuntungan terhadap harta serikat itu.

b. Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya ja'iz (mubah), berdasarkan dalil Hadist Nabi saw. berupa taqrir (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi saw. membenarkannya. Nabi saw. bersabda, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah ra: Allah Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR Abu Dawud, alBaihaqi, dan ad-Daruquthni).

25

Syirkah

disyariatkan

berdasarkan

ijma'/konsensus

kaum

muslimin. Sandaran ijma' tersebut adalah beberapa dalil tegas seabagai berikut. 1). QS. An Nisa 12: "tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.

Saudara-saudara seibu itu bersekutu atau beraliansi dalam memiliki sepertiga warisan sebelum dibagi-bagikan kepada yang lain. 2). QS. Al Anfal 41: "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah." Harta rampasan perang adalah milik Rasulullah dan kaum muslimin secara kolektif sebelum dibagi-bagikan. Mereka semua-nya beraliansi dalam kepemilikan harta tersebut. 3). Riwayat yang shahih bahwa al-Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam keduanya bersyarikat dalam perniagaan. Mereka membeli barangbarang secara kontan dan nasiah. Berita itu sampai kepada Rasulullah Maka beliau memerintahkan agar menerima barang-barang yang mereka beli dengan kontan dan menolak barang-barang yang mereka beli dengan nasi'ah.

c. Rukun Syirkah
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu: (1) ijab-kabul, disebut juga shighat ; (2) dua pihak yang berakad (qidni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta); (3) obyek akad, yang disebut juga maqd alayhi, yang

mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (ml) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).

26

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syark (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).

d. Bentuk-bentuk dan Prinsip-prinsip Syirkah


Syirkah itu ada dua macam (An-Nabhani, 1990: 148-156; Al Mushlih & Ash Al Shawi, Jawi, http://alsofwah.or.id/cetakekonomi.php? file://C:\WINDOWSTEMP\CD1V2F1N.htm;

id=49&idjudul=8;

Dahlan, 2001: 193-195). 1). Syirkah Hak Milik (Syirkah Amlak), yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan. 2). Syirkah Transaksional (Syirkah Uqud), yaitu akad kerjasama antara

dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan. Macammacam Syirkah Transaksional menurut mayoritas ulama terbagi menjadi beberapa bagian berikut: 1). Syirkah 'Inan: yaitu persekutuan dalam modal, usaha dan

keuntungan. Yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal yang mereka miliki bersama untuk membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama. Jadi modal berasal dari mereka semua, usaha juga dilakukan mereka bersama, untuk kemudian keuntungan juga dibagi pula bersama. Syirkah

semacam ini berdasarkan ijma' yang dilakukan oleh Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali dibolehkan (Nyazee, 2002: 99, 181, 203, 215).

27

2). Syirkah Abdan (syirkah usaha), yaitu kerjasama antara dua pihak atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh mereka, seperti kerjasama sesama dokter di klinik, atau seorang tukang jahit atau tukang cukur dalam salah satu pekerjaan. Semuanya dibolehkan menurut Madzhab, Hanafi, Hambali, dan Maliki, namun Imam Syafi'ie melarangnya (Nyazee, 2002, 101, 185, 207, 215). 3). Syirkah Wujuh, yaitu kerjasama dua pihak atau lebih dalam keuntungan dari apa yang mereka beli dengan nama baik mereka. Tak seorangpun yang memiliki modal. Namun masing-masing memilik nama baik di tengah masyarakat. Mereka membeli sesuatu (untuk dijual kembali) secara hutang, lalu keuntungan yang diperoleh dibagi bersama. Syirkah semacam ini dibolehkan menurut kalangan Madzhab Hanafi dan Hambali, namun tidak sah menurut kalangan Madzhab Maliki dan Syafi'i (Nyazee, 2002, 101, 198, 209, 218). 4). Syirkah Mufawadhah, yaitu setiap kerjasama dimana masing-masing pihak yang beraliansi memiliki modal, usaha dan hutang piutang yang sama, dari mulai berjalannya kerjasama hingga akhir. Yaitu kerjasama yang mengandung unsur penjaminan dan hak-hak yang sama dalam modal, usaha dan hutang. Kerjasama ini juga dibolehkan menurut mayoritas ulama, namun dilarang oleh Syafi'i. Kemungkinan yang ditolak oleh Imam Syafi'i adalah bentuk aplikasi lain dari Syirkah Mufawadhah, yaitu ketika dua orang melakukan perjanjian untuk bersekutu dalam memiliki segala keuntungan dan kerugian, baik karena harta atau karena sebab lainnya (Nyazee, 2002: 110, 190, 229, 231).

28

5). Syirkah Mudhrabah, yaitu syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (ml). (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhrabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirdh. (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Dari berbagai uraian serta pengertian dari masing-masing bentuk syirkah tersebut di atas dapat dirumuskan tentang prinsip-prinsip syirkah sebagai berikut.

1) Harta kekayaan sebagai modal 2) Tujuan mencari keuntungan 3) Fungsi dan tanggung jawab organ
Rumusan di atas akan digunakan sebagai pembatasan pengertian tentang prinsip-prinsip syirkah dalam penelitian, dan untuk selanjutnya akan dibahas sesuai dengan tujuan penelitian. H. METODE PENELITIAN 1.Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu mencari asas-asas, doktrin doktrin dan sumber hukum dalam arti filosofis yuridis (Marzuki, 2005: 137-139) untuk memahami pada prinsip-prinsip Rumah korporasi dan

kemungkinan

diterapkan

lembaga

Sakit.

Selanjutnya

29

penelitian ini juga

mencari bentuk konsep penerapan prinsip-prinsip

korporasi kedalam RS Muhammadiyah yang sarat dengan nilai nilai Islam. Penelitian ini akan mengakaji asas- asas yang berlaku umum atau disebut penelitian filosofis (Sukanto & Mamudji, 1985:62) terhadap

norma, kaidah serta peraturan perundangan

yang terkait dengan

kelembagaan korporasi, kelembagaan rumah sakit dan ajaran Islam tentang syirkah (badan usaha). 2. Bahan Penelitian Untuk mendapatkan bahan penelitian tersebut, maka penelitian ini akan dilakukan dengan studi pustaka yang mengkaji bahan hukum (Marzuki, 2005: 44). Bahan hukum sebagai bahan penelitian diambil dari bahan kepustakaan yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier dan bahan non hukum.

1) Bahan hukum primer, merupakan bahan pustaka yang berisikan


peraturan perundangan yang terdiri dari

a) Quran dan Hadist b) Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 c) KUH Perdata dan KUH Dagang d) Peraturan Perundangan tentang korporasi (badan usaha) e) Peraturan Perundangan tentang yayasan dan perkumpulan f) Peraturan perundang tentang Rumah Sakit. g) Peraturan perundang lain yang terkait dengan penelitian 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer, dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu:

30

a) Buku-buku ilmiah yang terkait. b) Hasil penelitian terkait. c) Makalah-makalah seminar yang terkait. d) Jurnal-jurnal dan literatur yang terkait. e) Doktrin, pendapat dan kesaksian dari ahli hukum baik yang
tertulis maupun tidak tertulis.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu berupa kamus dan ensiklopedi. 4) Bahan Non Hukum, yaitu bahan yang digunakan sebagai
pelengkap bahan hukum yaitu :

a). Buku buku tentang penyelenggaran Rumah Sakit b). Hasil penelitian tentang penyelenggaran Rumah Sakit c). Jurnal tentang penyelenggaran Rumah Sakit
3. Tempat Pengambilan Bahan Penelitian Bahan hukum baik primer, sekunder mapun tersier serta bahan non hukum dalam penelitian ini akan diambil di tempat :

1) Berbagai perpustakaan, baik lokal maupun nasional 2) Departemen terkait 3) Rumah Sakit Muhammadiyah dan rumah sakit lainnya 4) Media massa cetak dan Media Internet
4. Alat dan Cara Pengambilan Bahan Penelitian

1). Bahan hukum


melalui

primer, sekunder dan tersier akan diperoleh

studi kepustakaan dengan cara menghimpun semua dan dengan

peraturan perundangan , dokumen-dokumen hukum buku-buku serta jurnal ilmiah yang berkaitan

31

permasalahan.

Selanjutnya

untuk

peraturan

perundangan

maupun dokumen yang ada akan diambil pengertian pokok atau kaidah hukumnya dari masing masing isi pasalnya yang terkait dengan permasalahan, sementara untuk buku, makalah dan jurnal ilmiah akan diambil teori, maupun pernyataan yang terkait, dan akhirnya semua data tersebut di atas akan disusun secara sistematis agar memudahkan proses analisis.

2). Bahan Non Hukum yang berupa jurnal,dokumen,

buku-buku

maupun hasil penelitian tentang penyelenggaraan rumah sakit akan diperoleh melalui studi kepustakaan untuk dipahami dan selanjutnya digunakan sebagai pelengkap bagi bahan hukum

3). Bahan Hukum sekunder yang merupakan pendapat dari ahli


hukum yang terkait dengan penelitian cara pengambilannya dengan menggunakan metode wawancara secara tertulis

(Marzuki, 2005: 164-166 ;Sukanto & Mamudji 1985: 62). 5. Teknik Analisis Data Bahan hukum dan bahan non hukum yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara preskriptif dengan menggunakan

metode deduktif yaitu data umum tentang konsepsi hukum baik berupa asas-asas hukum, postulat serta ajaran-ajaran (doktrin) dan pendapat para ahli yang dirangkai secara sistematis sebagai susunan fakta-fakta hukum untuk mengkaji kemungkinan penerapan prinsip-prinsip korporasi ke dalam kelembagaan RS Muhammadiyah yang berfungsi sosial mendasarkan pada ajaran nilai-nilai Islam. serta

32

33

Anda mungkin juga menyukai