Anda di halaman 1dari 5

Apakah Pancasila Belum Menjadi Filsafat Pendidikan?

28 Juli 2009 09:47 Oleh: R.D.Karolus Jande, MH Dalam simposium bertema "Pengembangan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan

Pembangunan Bangsa", di Universitas Gaja Madah Jogyakarta, pada tanggal 14 Agustus 2006, Rektor UGM Prof. Dr. Sofian Effendy mengatakan: "Pancasila sebagai ideologi negara belum menjadi filsafat yang mendasari perumusan ilmu pengetahuan yang kontekstual Indonesia. Pancasila lebih dimaknai sebagai doktrin politik untuk melestarikan kekuasaan negara. Karena belum dijadikan sebagai dasar perumusan pengembangan ilmu pengetahuan, terjadi kolonisasi pemikiran yang kini makin marak. Pendidikan justru menghasilkan lulusan yang lebih menghayati ilmu pengetahuan milik budaya bangsa lain yang nilai-nilainya berbeda dengan bangsa Indonesia". Apa artinya pernyataan, "Pancasila sebagai ideologi negara belum menjadi filsafat yang mendasari perumusan ilmu pengetahuan yang kontekstual Indonesia"? Apakah Pancasila belum menjadi filsafat dan/atau belum menjadi filsafat pendidikan? Bila Pancasila belum menjadi filsafat, bagamana mungkin kita dapat berbicara tentang Pancasila sebagai filsafat pendidikan? Sebab filsafat pendidikan Pancasila merupakan aplikasi filsafat Pancasila, sama halnya filsafat pendidikan merupakan aplikasi dari filsafat pada umumnya. Pancasila belum menjadi Filsafat? Prof. Effendy mengatakan, Pancasila sebagai ideologi negara belum menjadi filsafat yang ganda yaitu

mendasari perumusan ilmu pengetahuan yang kontekstual Indonesia. Secara implisit pernyataan ini mau menegaskan, Pancasila belum menjadi filsafat pendidikan. Pernyataan ini pun bermakna Pancasila belum menjadi filsafat. Karena berbicara mengenai filsafat pendidikan Pancasila berarti juga berbicara tentangfilsafat Pancasila. Filsafat Pendidikan Pancasila merupakan terapan dari filsafat Pancasila, maka selama membahas filsafat pendidikan Pancasila akan berangkat dari filsafat Pancasila. Sebagaimana filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai, demikian pun filsafat pendidikan Pancasila menggunakan cara kerja dan hasil-hasil filsafat Pancasila, berupa pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan dan nilai-nilai. Apa yang dikatakan oleh Prof. Effendy itu dikatakan dengan cara lain secara filosofis oleh Pastor Prof. Dr.

N. Dryarkara : "...Pancasila sudah lama menjadi weltanschauung(pandangan hidup/pendirian hidup) bagi kita bangsa Indonesia, tetapi tanpa dirumuskan sebagai filsafat". Driyarkara menjelaskan: "Dalam kalangan suku-suku primitif terdapat juga weltanschauung tetapi tanpa rumusan filsafat. Jadi, tidak samalah Weltanschauungdan filsafat. Fisafat ada di dalam lingkungan hidup. Banyak pula bagian-bagian filsafat yang tidak langsung berdekatan dengan sikap hidup. Dengan belajar filsafat, orang tidak dengan sendirinya mempelajari weltanschauung. Juga tidak pada tempatnya jika dalam filsafat aspek weltanschauung ditekankan berlebihan" (Dryarkara, Karya Lengkap, 2006, hal.856). Menurut Driyarkara, filsafat sebagai filsafat belumlah berupa (menjadi) Weltanschauung.Dengan berfilsafat orang berhasrat memerlukan memandang realitas sedalam-dalamnya. Sudut praktis, sudut hidup di kesampingkan. Di sini manusia tidak mengutamakan apa yang praktis, apa yang harus dilakukan: di sini manusia mementingkan pengertian, di sini manusia mengutamakan pandangan, di sini manusia terutama hendak mengetahui kebenaran. Filsafat adalah pengertian abstrak. Pandangan hidup bicara hal konkret,

praktek hidup. Filsafat beralih menjadi pandangan hidup atau pendirian hidup, yang dalam istilah bahasa Jerman disebut Weltanschauung, takala manusia berpikir tentang realitas dirinya sendiri. Manusia akan terdorong untuk mengambil sikap, untuk menetapkan pendiriannya. Ia akan terdorong untuk berkata: "demikianlah realitasku dalam semesta-realitas. Itu harus aku terima! Jadi: aku terima juga dan akan kujalankan (Dryarkara, Karya lengkap, 2006, hal.855). Pancasila dipandang sebagai dalil-dalil filsafat. Dengan mengakuinya (Pancasila) orang masih tinggal dalam lingkungan filsafat. Pancasila barulah menjadi pandangan hidup, pendirian hidup atau sikap hidup, jika orang berkata demikian: itulah kehendaku, itulah keputusanku, itulah tekadku (Dryarkara, Karya lengkap, 2006, hal.856). Apa itu Filsafat? Apa itu filsafat? Inggris "philosophy"; Yunani "philosophia" (cinta akan kebijaksanaan) dariphilos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Filsafat mempunyai banyak arti sebagaimana filsuf-filsuf menggunakannya. Beberapa definisinya antara lain: 1) upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas; 2) upaya melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata; 3) upaya menentukan batasbatas dan jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabhsannya dan nilainya; 3) penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan; Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 2002). Pancasila sebagai filsafat seharusnya mendasari Ilmu Pengetahuan Kontekstual. Pernyataan ini mau memperlihatkan hubungan Pancasila sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan. Hubungan seperti hubungan filsafat dan ilmu lainnya. Obyek dan tujuan filsafat akan menjadi jelas bila ia dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Sebagaimana ilmuilmu tersebut, filsafat adalah pengetahuan tentang sebab peristiwa atau hal-hal. Filsafat adalah ilmu universal. Sebab, filsafat menyimak seluruh kenyataan dan menyelidiki sebab-sebab dasariah dari segala sesuatu. Filsafat melangkah terus hingga mencapai sebab terakhir dan mutlak segala sesuatu. Sedangkan ilmu lainnya hanya merupakan ilmu khusus, yaitu hanya menggeluti sebagian kenyataan dan mencari sebab-sebab di dalam satu bidang terbatas dari suatu kenyataan (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 2002). Singkat kata, filsafat menjawab pertanyaan "apa dan mengapa" secara mendasar? Sedangkan ilmu lain, menjawab pertanyaan "apa dan mengapa" secara mengdangkal dan "bagaimana" tentang suatu kenyataan Dalam penyelidikan untuk mencari apakah filsafat itu, sampailah kita pada ilmu pengetahuan, demikian pendapat belumlah Driyarkara. boleh Akan tetapi, mengejar pengetahuan ilmiah itu belumlah filsafat. Mencari kebijaksanaan itu lain, lebih tinggi, lebih mendalam lagi. Dengan lain perkataan: "pengetahuan ilmiah" disebut "filsafat" atau "kebijaksanaan". Bijaksana (sophos) mengandung arti: 1) mempunyai insight, pengertian yang mendalam, yang meliputi seluruh kehidupan manusia dalam segala aspeknya dan seluruh dunia dengan segala lapangannya, dan hubungan-hubungan antara semuanya itu; 2) sikap hidup yang "benar", yang baik dan tepat berdasarkan pengertian tadi, yang mendorong akan hidup sesuai dengan pengertian yang dicapai itu. Jadi, sudut praktis. (Driyarkara, Karya Lengkap, 2006, hal 988). Pancasila Menjadi Filsafat? ini tentu sama

Apakah benar Pancasila

belum menjadi filsafat? Menurut Siswono Yudo Husodo, Pancasila adalah

landasan filosofis Bangsa Indonesia (Menuju Welfare State, 2009). Apa artinya? Apakah mau menegaskan bahwa Pancasila adalah filsafat bangsa Indonesia? Driyarkara mengatakan, Pancasila dapat dipandang sebagai dalil-dalil filsafat. Apa artinya? atau sudah menjadi filsafat. Apakah mau menegaskan bahwa Pancasila belum menjadi filsafat, "Dalil-dalil" berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu

kebenaran; atau pendapat yang dikemukakan dan dipertahankan sebagai suatu kebenaran. Pancasila dapat dipandang sebagai dalil-dalil filsafat. Bagaimana kita menyelami pikiran ini? Bila filsafat sebagai sebuah pencarian, maka Pancasila adalah filsafat. Dengan mengutip

pendapat Presiden Soekarno, Dryarkara menegaskan:

"Presiden Soekarno mendapatkan Pancasila itu

dengan menggali dalam manusia Indonesia". Menggali, artinya meneliti sejarah, meneliti keadaan sosiologis, serta meneliti watak-watak dan psike manusia Indonesia. Jika semuanya itu diselidiki untuk menjawab pertanyaan: bagaimanakah dasar yang sebaik-baiknya bagi negara kita? Maka jawabannya dapat dirumuskan dalam lima sila itu". Sila-sila Pancasila itu menurut Driyarkara dipandang sebagai dalil-dalil filsafat. Filsafat Sebagai Sebuah Pencarian. Menggali adalah sebuah proses pencarian. Filsafat secara harafiah berarti cinta akan kebijaksanaan. Nama itu sendiri menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian menyeluruh tentang segala sesuatu yang dimaksudkan kebijaksanaan, namun terus menerus harus mengejarnya. Berkaitan dengan apa yang dilakukannya, filsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio manusia yang menembusi dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu. Filsafat menggumuli seluruh realitas, tetapi teristimewa eksistensi dan tujuan manusia (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 2002). " Driyarkara membenarkan visi Presiden Soekarno. Namun dia menyarankan agar para sarjana dalam lapangan-lapangan yang bersangkutan menegakkan pendapat presiden tersebut dengan bukti-bukti yang berdasarkan penyelidikan ilmiah. Kampus harus memelopori pemikiran untuk mengembangkan filsafat bangsa Indonesia sebagai paradigma pembangunan dan sebagai landasan etik pembangunan nasional," kata Sofian Effendy. Driyarakara sendiri menegakkan pendapat Soekarno itu tidak bertitik tolak dari penyelidikan ilmiah. Titik tolaknya adalah kodrat manusia sendiri. Driyarkara sadar betul bahwa Pancasila tidak hanya dapat ditemukan dengan dan dalam menggali dalam kehidupan manusia Indonesia pada konkretnya. Driyarkara sadar bahwa Pancasila adalah inheren (melekat) pada eksistensi manusia sebagai manusia, lepas dari keadaan tertentu pada konkretnya. Oleh sebab itu, dengan memandang kodrat manusia qua talis (sebagai manusia), kita akan sampai ke Pancasila. Jika itu sudah tampak, maka akan terbukalah jalan menuju hubungan Pancasila dengan Religi (Driyarkara, Karya Lengkap, 2006, hal.834). Titik berangkat pertama filsafat adalah kegiatan manusia, khususnya kegiatan pengetahuan dan kehendak, yang merupakan kenyataan yang pertama dialami secara langsung oleh manusia. Dalam kegiatan ini dia menjadi sadar akan eksistensnya sendiri dan eksistensi orang lain. Dari sudut pandangan ini, seluruh filsafat adalah penjelasan tentang kegiatan manusia yang menyentuh akar-akarnya yang terdalam. Dalam arti luas, titik berangkat filsafat adalah pengetahuan mana saja tentang kenyataan yang mendahului penelitian filosofis. Ini menyangkut pengetahuan biasa sehari-hari yang dimiliki individu, warisan budaya masa lalu dan juga hasil-hasil khusus lainnya. Pengetahuan-pengetahuan semacam ini membantu filsafat, tetapi filsafat juga membantu pengetahuan-pengetahuan ini sepanjang ia memantapkan dan menjelaskan prinsip-prinsip dasarnya. Sila dalam Pancasila, sila yang pertama ialah sila Ketuhanan. Kita akui sepenuhnya bahwa sila itu adalah sila pertama dalam susunan menurut nilai (susunan hirarkhis). Akan tetapi, cara lahirnya pengertian kita

tidak mulai dengan sila itu. Sila itu diketemukan sebagai dasar dari segala sila. Tuhan adalah realitas Yang Pertama, tetapi dalam kesadaran kita yang jelas (eksplisit) tidak kita mengerti sebagai yang pertama. Dalam kesadaran dan pengertian kita yang kita sentuh ialah barang-barang dari alam jasmani. Dalam persentuhan itu kita mengakui sendiri sebagai serba terhubung dalam alam jasmani, dalam pengertian kita yang demikian itu kita mengerti bahwa diri kita sendiri (dan barang-barang dunia) itu terbatas, relatif, tergantung, terjadi, tidak niscaya dan mutlak adanya. Dalam pengertian inilah tersirat pengertian tentang Tuhan. (Dryarkara, Kumpulan Karya, 2009, hal 848). Menurut Prof. Dr. Mohammad Noor Syam, SH Ketua Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang (UM), "sebagai nilai peradaban awal dan puncak pemikiran budaya umat manusia, diakui berwujud nilai filsafat. Nilai filsafat menjangkau kesemestaan (fisika dan metafisika; alam semesta sampai Tuhan Maha Pencipta semesta). Kebenaran filsafat diakui bersifat fundamental dan hakiki; karenanya dijadikan filsafat hidup (Weltanschauung); yang dipraktekkan sepanjang sejarah bangsa. Karenanya, nilai fundamental ini menjiwai bangsa itu, sebagai jiwa bangsa (Volksgeist, jatidiri nasional) (Malang, 20 Juli 2008). Pendapat ini mau menegaskan bahwa Pancasila adalah filsafat, karena sila-sila Pancasila merupakan nilai-nilai fundamental, yang menjiwai bangsa Indonesia, menjadi roh atau jiwa bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat disimpulkan, seluruh realitas manusia Indonesia; manusia Indonesia; c) upaya bahwa Pancasila menjadi filsafat. Sebagai filsafat, Pancasila

merupakan: a) upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang b) upaya melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata batas-batas dan jangkauan pengetahuan: sumbernya, menentukan

hakekatnya, keabhsannya dan nilainya; d) penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan; e) disiplin ilmuyang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat. Singkat kata, Pancasila merupakan nilai-nilai fundamental, yang menjiwai bangsa Indonesia, menjadi roh atau jiwa bangsa Indonesia. Filsafat Pendidikan Pancasila Sudah dikatakan di atas, filsafat pendidikan Pancasila merupakan terapan dari filsafat Pancasila, maka selama membahas filsafat pendidikan Pancasila akan berangkat dari filsafat Pancasila. Filsafat pendidikan Pancasila menggunakan cara kerja dan hasil-hasil filsafat Pancasila, berupa pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan dan nilai-nilai Pancasila. Sebagai Filsafat, Pancasila harus menampakkan diri sebagai indikator karakteristik mentalitas bangsa Indonesia. Rumusan mentalitas itu sebagai sosok acuan bangsa, termasuk pendidikan sehingga dimensi karakteristik mentalitas itu menjadi tujuan institusional (lembaga pendidikan), tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional. Kedudukan filsafat dan filsafat pendidikan Pancasila sangat berperan sentral, terutama pada penentuan tujuan pendidikan. Yaitu bagaimana menjabarkan/ mengelaborasikan filsafat hidup atau tujuan hidup menjadi tujuan pendidikan. Kesesuaian antara filsafat hidup dan tujuan pendidikan dapat menentukan hasil pendidikan yang akan dicapainya. Jadi, Pancasila menjadi filsafat pendidikan Pancasila berkenaan dengan kepastian mekanisme penyerapan kristalisasi nilai yang menjadi harapan masyarakat, kemudian dirumuskan menjadi tujuan pendidikan sehingga arah dan landasan pendidikan nasional Indonesia yang bersifat filosofis, yaitu filsafat pendidikan Pancasila (H.Ong Komar, Harian Pikiran Rakyat, Selasa 2 Juni 2009) Peranan Filsafat Pendidikan Pancasila pendidikan. Tujuan pendidikan itulah yang dielaborasi menjadi tujuan konstitusional pendidikan (red. dalam UUD 1945), tujuan

Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik. Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof. Dr. Umar Anggara Jeniemenyatakan, Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu pengetahuan diperlukan untuk panduan etik. Sila-sila dalam Pancasila adalah prinsip-prinsip etika universal yang juga dihormati negara lain (Kompas, 16 Agustus 2006). Filsafat Pendidikan Pancasila mendasari Ilmu Pengetahuan kontektual milik budaya bangsa Indonesia yang nilai-nilainya berbeda dengan bangsa lain. Ilmu pengetahuan kontekstualyang dimaksud adalah ilmu pengetahuan milik budaya bangsa Indonesia yang nilai-nilainya berbeda dengan bangsa lain. Menurut ajaran Ki Hadjar Dewantara, ilmu pengetahuan kontekstual budaya Indonesia yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan yang beralaskan garis-hidup bangsanya (cultureel-nationaal) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyat, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia ke seluruh dunia; ilmu pengetahuan yang membuat peserta didik mampu mengalaminya sendiri dan kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakyatnya (Karya, KH.Dewantara, bagian Pertama: Pendidikan, 2004). (Penulis, Ketua MNPK)

Anda mungkin juga menyukai