TBC Milier PDF
TBC Milier PDF
TB pada nak :
1he Creat Immitator
RIKN UTM - Edisi Mei 2007 (Vol.6 No.10)
Gefala TB pada anak sangat bervariasi dan tidak safa melibatkan organ pernafasan
melainkan banyak organ tubuh lain seperti kulit (skrofuloderma), tulang, otak, mata, usus,
dan organ lain. Jangan sampai salah diagnosis atau overdiagnosis'
Siapa yang tidak kenal dengan tuberkulosis (TB)? Penyakit ini kian populer setelah
dalam beberapa waktu belakangan ini muncul di layar kaca dengan slogan baru yang
disandangnya, 'TB. Bukan Batuk Biasa`. Beberapa awam mungkin lebih mengenalnya
dengan sebutan penyakit flek paru.
Tak disangka, TB ternyata adalah penyakit usang yang sudah ditemukan sejak jaman
Mesir kuno. Meski usang, tapi penyakit ini masih belum bisa juga dibasmi di muka bumi.
Sampai-sampai, TB pun memiliki hari peringatan sedunia yang jatuh setiap tanggal 24 Maret.
Dengan adanya hari peringatan itu, tentu diharapkan dunia aware terhadap penyakit ini.
Misdiagnosis atau Overdiagnosis
TB bukanlah penyakit yang hanya dapat diderita orang dewasa. Anak-anak pun
terancam. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan terdapat lebih dari 250.000 anak
menderita TB dan 100.000 di antaranya meninggal dunia.
Di sinilah masalah mulai muncul. Insiden yang terus merangkak tidak disertai
dengan kemudahan menegakkan diagnosis sedini mungkin. Demikian papar ProI Dr dr Cissy
B Kartasasmita SpA(K) dalam The 2007 National Symposium Update on Tuberculosis and
Respiratory Disorders, Bandung, 23-25 Maret 2006 lalu.
Pada orang dewasa, diagnosis pasti ditegakkan apabila menemukan kuman M.
tuberculosis dalam sputum/dahak. Akan tetapi, anak-anak sangat sulit bila diminta untuk
mengeluarkan dahak. Bila pun ada, jumlah dahak yang dikeluarkan tidak cukup. Jumlah
dahak yang cukup untuk dilakukan pemeriksaan basil tahan asam adalah sebesar 3-5 ml,
dengan konsistensi kental dan purulen.
Masalah kedua adalah jumlah kuman M. tuberculosis dalam sekret bronkus anak
lebih sedikit daripada orang dewasa. Hal itu dikarenakan lokasi primer TB pada anak terletak
di kelenjar limIe hilus dan parenkim paru bagian periIer. BTA positiI baru dapat dilihat bila
minimal jumlah kuman 5000/ml dahak.
Selain itu, gejala klinis TB pada anak tidak khas. Hal-hal tersebutlah yang sering
membuat kita misdiagnosis atau overdiagnosis!
Batuk Kronik 1arang Terjadi
Gejala klinis TB tergantung Iaktor pejamu (usia, status imun, kerentanan) dan
Iaktor agen (jumlah, virulensi). Gejala TB pada anak yang umum terjadi adalah demam yang
tidak tinggi (subIebris), berkisar 38 derajad Celcius, biasanya timbul sore hari, 2-3 kali
seminggu. Gejala lain adalah penurunan naIsu makan, dan gangguan tumbuh kembang. Batuk
kronik yang merupakan gejala tersering pada TB paru dewasa, tidak terlalu mencolok pada
anak. Mengapa? Sebab lesi primer TB paru pada anak umumnya terdapat di daerah parenkim
yang tidak mempunyai reseptor batuk. Kalaupun terjadi, berarti limIadenitis regional sudah
menekan bronkus dimana terdapat reseptor batuk. Batuk kronik pada anak lebih sering
dikarenakan oleh asma.
Gejala-gejala yang tersebut di atas dikategorikan sebagai gejala nonspesiIik. Perlu
dicatat bahwa gejala nonspesiIik dapat juga ditemukan pada kasus inIeksi lain. Maka dari itu,
keberadaan inIeksi lain perlu dipikirkan agar anak tidak overtreated. Selanjutnya, gejala
spesiIik tergantung dari organ yang terkena seperti kulit (skroIuloderma), tulang, otak, mata,
usus, dan organ lain.
Oleh karena gejala TB pada anak sangat bervariasi dan tidak saja melibatkan organ
pernaIasan melainkan banyak organ tubuh lain, maka ada yang menyebut TB sebagai the
great immitator.
Diagnosis
Cissy menjelaskan bahwa diagnosis TB pada anak ditegakkan berdasarkan riwayat
penyakit, gejala klinis, uji tuberkulin serta pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan
radiologi.
Uji tuberkulin (tes Mantoux) menjadi alat diagnostik utama pada kasus TB anak.
Sebanyak 0,1 ml tuberkulin jenis PPD-RT 23 2 TU atau PPD-S 5 TU disuntikan intrakutan di
bagian volar lengan bawah. Setelah 48-72 jam, daerah suntikan dibaca dan dilaporkan
diameter indurasi yang terjadi dalam satuan milimeter. Perlu diperhatikan bahwa diameter
yang diukur adalah diameter indurasi bukan diameter eritema! Untuk meminimalkan
kesalahan pengukuran, lakukan palpasi secara halus pada daerah indurasi, lalu tentukan
tepinya.
Hasil uji tuberkulin dapat dipengaruhi oleh status BCG anak. Pengaruh BCG
terhadap reaksi positiI tuberkulin paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah
penyuntikan. Jadi, ketika membaca uji tuberkulin pada anak di atas 5 tahun, status BCG dapat
dihiraukan.
Uji tuberkulin dinyatakan positiI apabila diameter indurasi _5 mm pada anak dengan
Iaktor risiko seperti menderita HIV dan malnutrisi berat; dan _10 mm pada anak lain tanpa
memandang status BCG. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-
15 mm masih mungkin disebabkan oleh BCG selain oleh inIeksi TB. Bila indurasi _15 mm
lebih mungkin karena inIeksi TB daripada BCG.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah hitung sel darah, laju endap
darah, urinalisis, enzim hati dalam serum (SGOT/SGPT). Asam urat sebaiknya diperiksa
apabila akan diberikan pirazinamid dan penglihatan harus diperiksa bila diberikan
ethambutol. Pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pada TB milier atau bila ada tanda-tanda
kecurigaan TB milier atau meningitis TB.
Foto rontgen harus diambil dari 2 sisi yaitu postero-anterior dan lateral. Gambaran
yang umum terlihat adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakea. Dapat juga ditemukan
kolaps atau konsolidasi dengan hiperinIlasi lokal yang terjadi akibat obstruksi bronkus
parsial. Diagnosis banding pembesaran kelenjar hilus/paratrakea pada anak adalah inIeksi
Mycoplasma, atau keganasan (limIoma sel T dan neuroblastoma). Hasil Ioto rontgen
sebaiknya diinterpretasikan oleh radiolog yang kompeten dan berpengalaman, tegas ProI
Cissy. Pada beberapa kasus, interpretasi Ioto rontgen sulit dilakukan sehingga CT-Scan
mungkin diperlukan.
UKK Respirologi IDAI 2007 menyusun sistim skoring yang dapat digunakan sebagai
uji tapis bila sarana memadai. Bila skor _6, beri OAT selama 2 bulan, lalu evaluasi. Bila
respon positiI maka terapi diteruskan, tetapi bila tidak ada respon, rujuk ke rumah sakit untuk
ditinjau lebih lanjut. Rujukan ke rumah sakit dilakukan sesegera mungkin bila ditemukan
tanda-tanda bahaya seperti gambaran milier pada Ioto rontgen, gibbus, skroIuloderma, dan
terdapat tanda inIeksi sistim saraI pusat (kejang, kaku kuduk, kesadaran menurun), serta
kegawatan lain. Tabel 1]
WHO membuat kriteria anak yang diduga (suspected) menderita TB, bila:
1. sakit, dengan riwayat kontak dengan seseorang yang diduga atau dikonIirmasi menderita
TB paru;
2. tidak kembali sehat setelah sakit campak atau batuk rejan (whooping cough);
3. mengalami penurunan berat badan, batuk, dan demam yang tidak berespon dengan
antibiotik saluran naIas;
4. terdapat pembesaran abdomen, teraba massa keras tak terasa sakit, dan ascites;
5. terdapat pembesaran kelenjar getah bening superIisial, tidak terasa sakit, dan berbatas
tegas;
6. mengalami gejala-gejala yang mengarah ke meningitis atau penyakit sistim saraI pusat.
Tabel 1. Sistim Skoring Diagnosis TB nak
0 1 2 3
Kontak
Uji tuberkulin
Berat badan
Demam
Batuk
Pembesaran
kelenjar
Tulang
Rontgen dada
-
NegatiI
-
-
3
minggu
-
-
Normal
PositiI TB, BTA (-)
Penurunan berat
badan
_3 minggu
_1 cm, tidak nyeri
Bengkak
Malnutrisi
berat
Suggestive
TB
BTA ()
PositiI
Kemoprofilaksis
Seorang anak dapat terinIeksi kuman TB tetapi belum tentu bermaniIestasi menjadi
sakit TB. Apabila daya tahan tubuh anak menurun atau virulensi kuman TB yang
menginIeksi ganas maka anak yang semula hanya` terinIeksi menjadi sakit TB.
Ada 2 macam kemoproIilaksis TB pada anak. Tabel 2] KemoproIilaksis primer
bertujuan untuk mencegah terjadinya inIeksi tuberkulosis pada anak, dengan memberikan
isoniazid 5-10 mg/kgBB/hari, dosis tunggal. KemoproIilaksis primer dihentikan bila sumber
kontak tidak menular lagi dan anak ternyata tetap tidak inIeksi dibuktikan dengan uji
tuberkulin ulang. Kalau ternyata hasil uji tuberkulin positiI maka harus dievaluasi lebih
lanjut.
KemoproIilaksis sekunder bertujuan mencegah aktiInya inIeksi sehingga anak tidak
sakit yang ditandai dengan uji tuberkulin positiI tetapi gejala klinis dan radiologis normal.
Yang diberikan adalah isoniazid 10 mg/kgBB/hari selama 6-12 bulan. Kelompok anak
terinIeksi TB yang berisiko tinggi menderita TB adalah:
1. usia 5 tahun
2. menderita penyakit inIeksi (morbili, varisela)
3. mendapat obat imunosupresiI jangka panjang (sitostatik, steroid, dll)
4. usia pubertas
5. inIeksi paru TB, konversi uji tuberkuiln dalam kurang dari 12 bulan.
Tabel 2. Klasifikasi Kelas TB pada nak
Kelas Kontak Infeksi Sakit Tatalaksana
0
1
2
3
-
-
-
-
-
-
-
ProIilaksis 1
ProIilaksis 2
Terapi TB
OT
Prinsip penatalaksaan TB anak adalah lebih cepat mengobati daripada terlambat
agar komplikasi tidak terjadi. Bila dianamnesis dan diperiksa, anak kemungkinan besar
menderita TB maka beri OAT selama 2 bulan. Lalu, observasi apakah terdapat perbaikan
klinis. Bila ya, lanjutkan OAT lagi (total 6-12 bulan); tetapi bila tidak, mungkin bukan TB
atau TB resisten terhadap OAT.
Lama pengobatan TB berkisar 6-12 bulan yang dibagi menjadi 2 Iase yaitu Iase
intensiI dan Iase lanjutan. Pada Iase intensiI, OAT yang diberikan adalah riIampisin,
isoniazid, dan pirazinamid selama 2 bulan pertama. Sedangkan Iase lanjutan hanya diberikan
riIampisin dan isoniazid selama sisa waktu pengobatan. Waktu yang diperlukan untuk
mengobati TB boleh dibilang lama, dengan tujuan mencegah terjadinya resistensi obat,
membunuh kuman intraselular dan ekstraselular, serta mengurangi kemungkinan terjadinya
relaps. Tabel 3 & 4]
Respon anak terhadap OAT (Iarmakokinetik) berbeda dengan dewasa. Toleransi
anak terhadap dosis OAT per kilogram berat badan lebih tinggi. EIek samping hepatitis
akibat isoniazid dan riIampisin lebih banyak ditemukan pada anak. Maka dari itu, dianjurkan
untuk memeriksa rutin uji Iaal hati sebelum pengobatan, setelah 2 minggu dan 1 bulan
pengobatan.
Dosis OAT pada anak harus mengacu pada dosis per kilogram berat badan. Karena
OAT yang tersedia di pasaran berbentuk tablet untuk orang dewasa, maka saat diberikan
kepada anak, tablet itu harus digerus menjadi puyer. Tak hanya itu, isoniazid, riIampisin, dan
pirazinamid tidak boleh dicampur menjadi satu puyer sebab dapat mengganggu
bioavailabilitas riIampisin.
Berbicara mengenai minum OAT, tidak hanya sekedar minum tetapi juga patuh.
Kepatuhan minum OAT meliputi benar obat (right drugs), benar dosis (right doses), dan
benar waktu pemberian (right intervals) tertuang dalam program Direct Observed Therapy
(DOT) menjadi bagian yang sangat krusial. Orang tua atau pengasuh anak dapat dijadikan
pengawas minum obat yang bertugas mengawasi anak agar tidak lupa minum OAT.
Dilaporkan pada tahun 1999, sekitar 82,9 anak menjalankan program DOT, dan 94,8
diantaranya menunaikannya sampai tuntas. DOT juga berhasil mengurangi risiko terjadinya
TB resisten terhadap OAT.
Tabel 3. Dosis Obat ntituberkulosis Lini !ertama
Obat Dosis arian
(mg/kgBB/hari)
Dosis
Max
(mg/hari)
Efek Samping
Isoniazid
RiIampisin**
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
5-15*
10-20
15-30
15-20
15-40
300
600
2000
1250
1000
Hepatitis, neuritis periIer,
hipersensitivitas
Gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan tubuh
berwarna orange kemerahan
Toksisitas hepar, artralgia,
gastrointestinal
Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Ototoksik, neIrotoksik
* Bila INH dikombinasi dengan riIampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari
** RiIampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabitias riIampisin
Tabel 4. Dosis OT Kombinasi pada TB anak
Berat Badan
(kg)
2 Bulan
R (75/50/150 mg)
4 Bulan
R (75/50 mg)
5-9
10-19
20-32
1 tablet
2 tablet
4 tablet
1 tablet
2 tablet
4 tablet
Catatan:
Bila BB _33 kg dosis disesuaikan dengan Tabel 2 (perhatikan dosis maksimal)
Bila BB 5 kg sebaiknya dirujuk ke RS
Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah)
!encegahan
Cara terbaik mencegah terjadinya TB anak adalah dengan menemukan,
mendiagnosa, dan mengobati TB dewasa secara tuntas. Gagasan itu muncul karena pada
umumnya anak terinIeksi TB setelah terpapar dari orang dewasa dengan sputum positiI
kuman TB. Ketika seorang anak sudah menderita TB aktiI maka seluruh anggota keluarga
dan orang lain yang kontak dekat dengan anak tersebut harus diperiksa untuk mencari sumber
penularan lalu diobati. Dengan demikian, rantai penularan dapat terputus sedini mungkin.
Cara lain adalah imunisasi BCG. Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai
keeIektiIitasannya, BCG dapat mengurangi risiko terjadinya komplikasi TB seperti milier,
meningitis, dan spondilitis. Melakukan imunisasi BCG ulangan tidak direkomendasikan
karena tidak memberikan eIek protektiI tambahan.
Masalah TB pada anak memang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat di
dunia karena anak yang menderita TB tidak mudah menularkan ke orang sekitarnya. Padahal
bukan penularan yang menjadi masalah, melainkan diagnosis yang sulit. Masihkah kita
memicingkan mata terhadap situasi tersebut?
elix)