Inflammatory Bowel Disease
Inflammatory Bowel Disease
I.
dipakai secara umum untuk menggabungkan dua jenis penyakit, yaitu Kolitis Ulseratif (UK) dan Penyakit Chorn (PC) dalam satu istilah yang belum diketahui penyebab pastinya. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lain yang telah diketahui penyebabnya seperti infeksi, iskemia, dan radiasi. Pada beberapa keadaan, PC dan KU
1
jarang
sulit dibedakan. Dalam beberapa kepustakaan, selain kedua penyakit tersebut juga dimasukkan intermedinate colitis atau non-spesific colitis ke dalam kelompok IBD, bila gejalanya tidak jelas masuk ke diagnosis KU atau PC. (Stenson, 1995)
II.
barat bervariasi antar 5-18 per 100.000 penduduk. Adapun prevalensinya berkisar 10-20 kalinya. Dalam decade terakhir kejadian PC cenderung meningkat. IBD cenderung terjadi pada usia muda (umur 25-30 tahun) dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara wanita dan laki-laki. Yang cukup menarik adalah adanya perbedaan distribusi geografis. Prevalensi di Eropa Utara lebih tinggi daripada di Eropa Selatan, demikian pula di Amerika. Orang kulit putih jauh lebih banyak terkena dibandingkan kulit hitam. Dari segi ras, tampaknya IBD banyak terdapat pada orang Yahudi. IBD lebih cenderung terjadi pada kelompok social ekonomi tinggi, bukan perokok, pemakai kontrasepsi oral, dan diet rendah serat. (Marks, 1999) Belum ada data prevalensi dan insidensi IBD di Indonesia. Bila bertitik tolak pada data endoskopi di Sub-bagian Gastroenterologi RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, di 20 kasus KU dan 10 kasus PC dari 700 pemeriksaan kolonoskopi atas berbagai indikasi. Data di masyarakat
2
mungkin lebih tinggi daripada data yang ada di rumah sakit, mengingat sarana endoskopi belum tersedia merata di pusat pelayanan kesehatan di Indonesia. Pada studi prospektif di beberapa rumah sakit di Jakarta pada kasus yang dilakukan kolonoskopi atas indikasi diare kronik, hematokezia, dan nyeri perut kronik (total 451 kasus), didapatkan KU sebanyak 5,5 %, PC 2,0 %, dan 2,4 % indeterminate colitis. (Djojoningrat, 2001)
III.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD maupun penjelasan yang
memadai untuk menerangkan fenomena populasi ataupun data geografis penyakit ini. Tidak dapat disangkal bahwa faktor genetic memainkan peranan penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar dan adanya keterikatan familial. Teori adanya peningkatan permiabelitas epitel usus, terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies, peran nitrit oxide dan riwayat infeksi (terutama Mycobacterium paratuberculosis) banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi masalah adalah hal apa yang mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya kompleks, antara interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk antigen (termasuk
permiabelitas epitel usus), dan kemungkinan disregulasi mekanisme imun pasien IBD. (Shanahan, 1999) Secara umum diperkirakan bahwa proses pathogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumenal kolon, yang
3
terjadi pada individu yang rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetic, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus.
I.
INFLAMMATORY BOWEL DISEASE Istilah penyakit inflamasi usus (IBD) merujuk pada keadaan kolitis ulserativa (UC) dan
penyakit Crohn (CD). Inflammatory bowel disease adalah suatu kondisi kronis yang tidak diketahui etiologinya, yang dicirikan oleh episode berulang dari nyeri perut, sering kali disertai dengan diare. Meskipun kedua kondisi diatas (ulcerative colitis dan penyakit Crohn) memiliki temuan patologis yang berbeda, sehingga persentase pasien dengan penyakit inflamasi usus
(IBD) tidak jelas dilaporkan angka kejadiannya. Penyakit Crohn juga disebut enteritis regional, terminal ileitis, atau granulomatosa ileocolitis. Penyakit Crohn, sebuah subkategori penyakit inflamasi usus, dilaporkan memiliki angka morbiditas yang cukup signifikan, khususnya di negara-negara industri. Dapat mempengaruhi orang-orang dari umur berapa saja, tetapi lebih sering ditemukan pada remaja dan dewasa muda. Peradangan dan ulserasi terjadi terutama di ileum terminalis dan kolon, meskipun setiap bagian dari saluran pencernaan dapat terkena penyakit inflamasi usus (IBD) ini. Tidak ada etiologi yang jelas tentang penyakit inflamasi usus (IBD) ini, meskipun sejumlah faktor mempunyai kontribusi kepada etiopathogenesis penyakit inflamasi usus (IBD), termasuk genetik, mikroba, penyebab terjadinya peradangan, kekebalan tubuh (imunitas), dan kelainan pada system permeabilitas tubuh. Pengobatan secara konvensional dilaporkan tidak memberikan hasil yang cukup memuaskan, tetapi dapat memberikan kontribusi untuk resolusi flare-ups akut dan berperan terhadap terjadinya episode remisi. Efek samping yang ditimbulkan setelah intervensi medikamentosa yang dilakukan menyebabkan intervensi yang lebih alami untuk membantu mempertahankan kondisi penderita pada saat sekarang ini lebih dipertimbangkan. Nilai remisi yang lebih baik terlihat dalam pasien Crohn's siapa yang mendapatkan obat penekan imun lebih dulu daripada steroids Remisi dari penyakit Crohn's mungkin lebih besar
jika pasien mendapatkan obat penekan, bukan steroids, lebih dulu. Berita itu, diterbitkan dalam edisi The lanset, sebuah studi yang berasal dari pasien penyakit Crohn's di Eropa. Studi menunjukkan nilai remisi lebih baik bila pasien memulai perawatan penyakit Crohn's tertentu dengan obat penekan kekebalan daripada steroids. "Tidak hanya pasien seperti mendapatkan penyakitnya di bawah kontrol, namun mereka juga terkena penyebaran steroids 5
memperpanjang penggunaan terkait dengan penyakit metabolis dan bahkan meningkat kematian," kata Feagan, yang mengarahkan pada percobaan klinis di Robarts Research Institute di Kanada dari University of Western Ontario. Peneliti lainnya sedang menguji dengan strategi yang sama. Jika temuan mereka, diharapkan nanti dalam tahun ini, yang sesuai dengan studi di Eropa, "perawatan algoritma untuk pasien dengan penyakit Crohn's akan berubah," mengenyangkan sebuah editorial di The Lancet. Studi Eropa termasuk 133 orang pasien penyakit Crohn's yang tidak mulai mengambil obat penyakit Crohn's apapun. Para peneliti yang menugaskan separuh dari pasien secara acak untuk memulai pengobatan penyakit Crohn's dengan mengambila dua obat penekan kekebalan, Remicade dan Imuran. Pasien itu dapat mengambil corticosteroids kemudian, jika diperlukan. Sebagai
perbandingan, pada pasien lainnya yang mendapat kan pengobatan penyakit Crohn's standar, dengan melibatkan pengambianl corticosteroids terlebih dahulu, kemudian mengambil Imuran, dan akhirnya mengambil Remicade. Tujuan dari studi ini adalah untuk melihat grup mana yang lebih baik nilai remisi tanpa operasi setelah 26 minggu pengobatan dan setelah satu tahun perawatan.
Nilai remisi sangat unggul di antara para pasien yang memulai pengobatan dengan Remicade dan Imuran. Di antara pasien itu, 60% adalah dalam remisi setelah 26 minggu pengobatan dan hampir 62% adalah dalam remisi dalam satu tahun pengobatan dimulai. Sebagai perbandingan, sekitar 36% dari pasien yang mulai dengan pengobatan steroid dalam remisi itu setelah 26 minggu perawatan dan 42% adalah dalam remisi setelah satu tahun pengobatan dimulai. Setelah tahun pertama perawatan, dua kelompok mempunyai nilai remisi yang mirip. Kemudian kambuh terjadi bagi para pasien yang dimulai dengan Remicade dan Imuran daripada orang-orang yang dimulai dengan steroids. Pasien yang memulai dengan Remicade dan Imuran kurang kemungkinan untuk memiliki borok dua tahun setelah perawatan, dibandingkan dengan mereka yang dimulai dengan steroids. Dalam pola yang jelas, para peneliti menyarankan untuk memulai dengan Remicade dan
Imuran mungkin dapat mengubah bagian dari penyakit. Kedua kelompok itu memiliki persentase efek samping yang sama, para peneliti mengingatkan.
II.
GAMBARAN KLINIS Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan
manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodusum dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada sebagai gangguan nutrisi. Gambaran klinis KU relative lebih seragam dibandingkan pada PC. Hal ini disebabkan karena distribusi usus yang terlibat pada KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi yaitu dapat hanya usus halus, ileosaekal, kolon ataupun dapat melibatkan semua bagian traktus gastrointestinal. Adapun gejala dan lesi anatomis yang terlibat dapat dilihat pada table 1. (Stenson, 1995)
Perjalanan klinis IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi ini dapat disebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi spontan. Dengan sifat perjalan klinis IBD yang kronik-eksaserbasi-remisi, diusahakan suatu criteria klinis sebagai gambaran aktivitas penyakit untuk keperluan
8
pedomn keberhasilan pengobatan umum maupun menetapkan fase remisi. Secara umum Disease Activity Index (DAI) yang didasari dari frekuensi diare, ada tidaknya perdarahan per anum, penilaian kondisi mukosa kolon pada pemeriksaan endoskopi, dan penilaian klinis secara umum oleh dokter, dapat dipaki untuk maksud tersebut. (Goebell, 1998) Derajat klinis KU dapat dibagi atas berat, sedang, dan ringan beerdasarkan frekuensi diare, adanya demam, derajat anemia, dan laju endap darah (klasifikasi Trulove). Perjalanan penyakit KU dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual dalam beberapa minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa.
Colitis Ulseratif
Gejala dan tanda : Diare kronik Perdarahan per anum Nyeri perut Adanya massa intraabdomen Terjadinya fistula Timbul striktur/stenosis usus Keterlibatan usus halus Keterlibatan rectum Menifestasi ekstraintestinal Komplikasi megakolon toksik ++ ++ + 0 +/+ +/95% + +
Penyakit Chorn
++ + ++ ++ ++ ++ ++ 50% + +/-
Patologi : Lesi bersifat segmental Bersifat transmural Didapatkan granuloma Terjadi proses fibrosis Terjadi fistula 0 +/0 + +/++ ++ 50% ++ ++
10
Pada PC selain gejala umum di atas, adanya fistula merupakan hal yang karakteristik (Termasuk di perianal). Nyeri perut relative lebih mencolok. Hal ini disebabkan oleh sifat lesi yang transmural sehingga dapat menimbulkan fistula dan obstruksi serta berdampak pada timbulnya bacterial overgrowth.
Secara endoskopik, penilaian aktivitas penyakit KU relative lebih mudah dengan menilai gradasi berat-ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat. Tetapi pada PC hal tersebut lebih sulit, terlebih bila ada keterlibatan usus halus (tidak terjangkau oleh tehnik pemeriksaan endoskopi), sehingga dipakai criteria yang lebih spesifik (Chorns Disease Activity Index) yang didasari pada penilaian adanya demam, data
laboratorium, manifestasi ekstra-intestinal, frekuensi diare, nyeri abdomen, fistulasi, penurunan berat badan, terabanya massa intra-abdomen, dan rasa sehat pasien. (Modigliani, 1999)
I. 3.1
PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik
sebagai dasar diagnosis IBD maupun untuk membedakan KU dengan PC. Data laboratorium lebih banyak berperan untuk menilai derajat aktivitas
11
penyakit dan dampaknya pada status nutrisi pasien. Parameter yang banyak dipakai adalah kadar hemoglobin, hematokrit, kadar besi serum untuk menilai kehilangan darah dalam usus, laju endap darah untuk menilai aktivitas inflamasi serta kadar albumin serum untuk status nutrisi, serta C reactive protein yang dapat dipakai juga sebagai parameter aktivitas penyakit.
penatalaksanaan kasus IBD. Akurasi diagnostic kolonoskopi pada IBD adalah 89% dengan 4% kesalahan dan 7% hasil yang meragukan. Adapun gambaran endoskopi KU dan PC yang karakteristik dapat dilihat pada table 2. (Modigilani, 1999) Pada dasarnya KU merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon secara difus dan kontinyu, dimulai dari rectum dan menyebar ke
proksimal. Sedangkan PC bersifat transmural, segmental dan dapat terjadi di saluran cerna bagian atas, usus halus, ataupun kolon.
12
Dari
data
kolonoskopi
pada
beberapa
rumah
sakit
di
Jakarta
didapatkan bahwa lokasi KU adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid, 12% kolonsebelah kiri dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis). Sedangkan PC, 11% terbatas pada ileum terminal, ileo-kolon 33%, dan kolon 56%. Ileo-saekal merupakan predileksi beberapa penyakit yaitu TBC, amebiasis, PC, dan keganasan. Data di Jakarta memperlihatkan bahwa pada temuan lesi per-kolonoskopik yang terbatas pada ileo-saekal disebabkan oleh 17,6% PC, 23,5% TBC, 17,6% amebiasis, dan 35,4% colitis infektif. (Djojodiningrat, 2003)
Colitis ulseratif
Penyakit Crohn
13
Bersifat kontinyu Adanya skip area (adanya mukosa lesi) Keterlibatan rectum Lesi mudah berdarah Mukosa granular normal di antara
+++ 0
+ +++
+ + + +++
Cobblestoned
appearece/pseudo polip
Sifat ulkus : Terdapat pada mukosa yang inflamasi Keterlibatan ileum (ada lesi di ileum) Lesi ulkus berukuran diskrit Bentuk ulkus : Diameter > 1cm Dalam Bentuk linier (longitudinal) + + + +++ ++ +++
14
+++
++++
+++
aphloid
++++
3.3. Radiologi
Tehnik
pemeriksan
radiologi
kontras
merupakan
pemeriksaan
diagnostic pada IBD yang saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda dapat memperlihatkan striktur, fistula, mukosa yang irregular, gambaran ulkus dan polip, ataupun perubahan distenbilitas lumen kolon
berupa penebalan dinding usus dan hilangnya haustrae. Interpretasi radiologi merupakan kontraindikasi pada KU berat karena dapat
mencetuskan megakolon toksik. Foto polos abdomen secara sederhana dapat mendeteksi adanya dilatasi toksik yaitu tampak lumen usus yang melebar tanpa material feses di dalamnya. Untuk menilai keterlibatan usus halus dapat dipakai metode enterocolytis yaitu pemasangan kanul
dialirkan secara kontinyu tanpa terganggu oleh kontraksi pylorus. Peran CT scan dan ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada PC dalam mendeteksi adanya abses ataupun fistula.
3.4.
Histopatologi
Spesimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostic dari pada specimen yang diambil secara biopsy per-endoskopik. Terlebih lagi bagi PC yang lesinya bersifat transmural sehingga tidak dapat dijangkau dengan teknik biopsy per-endoskopik. Gambaran khas untuk KU adalah
16
adanya
abses
kripti,
distorsi
kripti,
infiltrasi
sel
monoukleus
dan
polimorfonuklear di lamina propia. Sedangkan pada PC adanya granuloma tuberkuloid (terdapat 20-40% kasus) merupakan hal yang karakteritik disamping adanya infiltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina propia serta ulserasi yang dalam. (Surawitz, 1993)
I.
PENGOBATAN Mengingat bahwa etiologi dan pathogenesis IBD belum jelas, maka
pengobatannya lebih ditekankan pada kaskade penghambatan proses inflamasi (kalau memang tidak dapat dihilangkan sama sekali). Dengan dugaan adanya faktor/agen pro-inflamasi dalam bentuk bakteri intraluminal dan komponen diet sehari-hari yng dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada kelompok orang yang rentan, diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotic, lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus, dan perubahan pola diet. Metroniazol cukup banyak diselidiki dan cukup bermanfaat pada PC dalam menurunkan derajat aktivitas penyakitnya. Sedangkan pada KU jarang digunakan antibiotic beberapa sebagai terapi diet terhadap yang agen pro-inflamasinya. karena Disamping
konstituen
harus
dihindari
mencetuskan
serangan (seperti wheat, cereal yeast, dan produk peternakan), terdapat konstituen yang bersifat anti oksidan yang dalam penelitian terbatas terlihat
17
bermanfaat pada kasus IBD yaitu glutamine dan asam lemak rantai pendek. Mengingat penyakit ini bersifat kronik eksaserbasi, edukasi pada pasien dan keluarganya mempunyai peranan penting. (Hanaver, 1997)
4.1
Kortikosteroid Sampai saat ini glukokortikoid merupakan oba pilihan untuk PC (semua derajat) dan KU derajat sedang berat. Pada umumnya pilihan jatuh pada prednisone, metilprednisolon (keduanya bentuk oral) atau hidrokortison enema. Pada keadaan berat dapat diberikan secara parenteral. Dengan tujuan memperoleh konsentrasi steroid local di usus yang tinggi dengan efek sistemik (dan efek sampan) yang renda, telah dicoba golongan glukokortikoid non-istemik untuk pengobatan IBD. Aplikasi rectal/enema diprioritaskan pada KU distal, sedangkan untuk PC dipakai preparat oral lepas lambat. Termasuk golongan ini antara lain budesonid oral/enema. Dosis rata-rata yang banyak digunakan adalah setara prednisone 40-60 mg per hari dan bila remisi telah tercapai dilakukan tapering dose dalam waktu 8-12 minggu. (Hanaver, 1997)
18
Pemakaian aminosalisilat telah lama mapan pada pengobatan IBD. Preparate Sulfasalazin (ikatan azo dari sulfapiridin dan aminosalisilat) di dalam usus akan dipecah menjadi sulfapirin dan 5 amino salicylic acid (5-ASA). Telah diketahui bahwa yang bekerja sebagai antiinflamasi pada IBD adalah 5-ASA. Saat ini tersdia preparate 5-ASA murni, baik dalam bentuk lepas lambat pada ph>5 (di Indonesia Salofalk) maupun ikatan diazo. Baik sulfasalazin maupun 5-ASA mempunyai efektifitas yang relative sama pada IBD, hanya dilaporkan efek samping yang terjadi diakibatkan komponen sulfapiridin. Dosis oral rata-rata yang banyak digunakan adalah 2-4 gram per hari. (Campieri, 1999)
4.3 Imnosupresif Bila dengan 5-ASA dan glukokortikoid gagal dicapai remisi, alternative lain adalah penggunaan obat imunosupresif seperti 6-merkaptopurin (1,5 mg/KgBB/hari/oral), azatioprin, siklosporin, dan metotreksat.
19
4.4 Loperamide (Imodium) Bekerja pada lapisan otot intestinal untuk menghambat peristaltic usus dan menurunkan motilitas usus halus. Memperpanjang waktu paruh elektrolit dan cairan sampai ke usus, meingkatkan viskositas cairan dan menurunkan kehilangan cairan dan elektrolit. Dewasa : Dosis Awal : 4 mg PO
Maintenance : 2 mg PO, tidak lebih 16 mg/d Anak : <2 tahun 2-6 tahun 6-8 tahun 8-12 tahun >12 tahun : Tidak dianjurkan : 1 mg PO : 2 mg PO : 2 mg PO : Diberikan dosis dewasa dengan Chronic diarrhea: 0.08-0.24 mg/kg/hari
4.5 Diphenoxylate and Atropine (Lomotil) Dewasa : 15-20 mg/d PO 2-3 x/ hari, diikuti 5-15 mg/hari Anak :
20
<2 tahun >2 tahun 2-5 tahun 5-8 tahun 8-12 tahun >12 tahun
: Tidak dianjurkan : 0.3-0.4 mg/kg/d PO dalam dosis terbagi : 2 mg PO : 2 mg PO : 2 mg PO 5x / hari : Diberikan dosis dewasa
4.6 Cholestyramine (Questran) Dewasa : 4 g PO qd/bid;tidak lebih dari 24 g/d atau 6 doses/hari Anak :
240/kg/d PO dibagi dalam 3 dosis
Indikasi intervensi surgical biasanya bila terjadi komplikasi atau terapi konservatif gagal dilakukan.
I.
KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit IBD dapat terjadi komplikasi-komplikasi sebagai berikut : Perforasi usus Terjadi stenosis usus akibat proses fibrosis Megakolon toksik (teruama pada KU) Perdarahan saluran cerna Degenerasi maligna
Diperkirakan resiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13% setelah 20 tahun menderita.
I.
dan eksaserbasi. Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan dalam jangka waktu yang lama. Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi dan perjalanan klinis yang resisten terhadap
22
penatalaksanaan
konservatif
dan
membutuhkan
intervensi
surgical.
Dilaporkan antara 60-70% kasus PC membutuhkan intervensi surgical dalam perjalanan penyakitnya. Sedangkan pada KU, 30% pasien yang telah 25 tahun menderita penyakit ini, membutuhkan tindakan kolektomi. (Herfath, 2000) IBD sampai saat ini merupakan penyakit yang belum diketahui penyebab pastinya bermanifestasi terutama dalam bentuk diare kronik dengan manifestasi sistemik dan ekstra-intestinalnya, serta bersifat kronik kambuhan. Kekerapannya tinggi di Negara barat, tapi di Indonesia masih memerlukan data epidemiologi yang akurat. Pada dasarnya pengobatan berupa pemberian obat anti-inflamasi yang bekerja local di dinding usus maupun sistemik.
23
Istilah Inflammatory Bowel Disease (IBD, penyakit inflamsi usus) dipakai secara umum untuk menggabungkan dua jenis penyakit, yaitu Kolitis Ulseratif (UK) dan Penyakit Chorn (PC) dalam satu istilah yang belum diketahui penyebab pastinya. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lain yang telah diketahui penyebabnya seperti infeksi, iskemia, dan radiasi. Pada beberapa keadaan, PC dan KU mempunyai gambaran klinis yang tumpang tindih sehingga tidak jarang
sulit dibedakan. Dalam beberapa kepustakaan, selain kedua penyakit tersebut juga dimasukkan intermedinate colitis atau non-spesific colitis ke dalam kelompok IBD, bila gejalanya tidak jelas masuk ke diagnosis KU atau PC. Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD maupun penjelasan yang memadai untuk menerangkan fenomena populasi ataupun data geografis penyakit ini. Tidak dapat disangkal bahwa faktor genetic memainkan peranan penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar dan adanya keterikatan familial. Teori adanya peningkatan permiabelitas epitel usus, terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies, peran nitrit oxide dan riwayat infeksi (terutama Mycobacterium paratuberculosis)
24
banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi masalah adalah hal apa yang mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya kompleks, antara interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk antigen (termasuk
permiabelitas epitel usus), dan kemungkinan disregulasi mekanisme imun pasien IBD. Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodusum dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada sebagai gangguan nutrisi. Gambaran klinis KU relative lebih seragam dibandingkan pada PC. Hal ini disebabkan karena distribusi usus yang terlibat pada KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi yaitu dapat hanya usus halus, ileosaekal, kolon ataupun dapat melibatkan semua bagian traktus gastrointestinal. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis
25
Pada
pasien-pasien
dengan
Inflammatory
bowel
disease
dapat
diberikan terapi sebagai berikut : Kortikosteroid Asam Aminosalisilat Imnosupresif Loperamide (Imodium) Diphenoxylate and Atropine (Lomotil) Cholestyramine (Questran) Dicyclomine (Bentyl) Surgical
26