Anda di halaman 1dari 142

ISSN 2089-5933

Diterbitkan Oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gresik

e- JURNAL PENDIDIKAN

Vol. 1

No. I

Hlm. 1-66

Gresik Juni Nopember

ISSN
2089-5933

e- JURNAL JENDELA PENDIDIKAN


JURNAL ILMIAH KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Di Terbitkan oleh :

Ketua Penyuting Rektor Universitas Gresik Wakil Penyuting Dekan FKIP Penyuting Pelaksana Dra. Eka Sri Rahayu, M.Pd Dra. Adrijanti, M.Pd Etiyasningsih, S.Pd., M.Pd Sri Sundari, S.Pd.,M.Pd Drs. Agus Tri Sulaksono, M.Pd Penyuting Ahli Prof. Dr. H. Sukiyat.SH.,M.Si Dra. Hj. Bariroh, M.Pd Drs. Syaiful Khafid, M.Pd Mitra Bestari Prof. Dr. Marhamah, M.Pd (Universitas Islam Jakarta) Prof. Dr. Willem Mantja, M.Pd (Universitas Negeri Malang) Prof. Dr. H. Sukiyat, SH.,M.Si (Universitas Gresik ) Pelaksana Ahmad Faizin, SS Alamat Penerbit/Redaksi Kampus Universitas Gresik Jl. Arif Rahman Hakim No. 2B Gresik Telp /Fax (031) 3978628

Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Nopember . Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian analitis-kritis di bidang administrasi pendidikan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah, sehingga Jurnal Jendela Pendidikan versi elektronik bisa hadir di Masyarakat khususnya kalangan pemerhati dan pemangku pendidikan. Jurnal Jendela Pendidikan versi elektronik ( e-Journal) akan mendampingi Jurnal Jendela Pendidikan versi cetak yang lebih dulu hadir, Jurnal Jendela Pendidikan ini berisi tentang sejumlah artikel penelitian baik artikel bersifat empiris atau laporan penelitian maupun artikel yang bersifat kajian teori atau artikel konseptual. Penulis artikel berasal dari kalangan akademisi atau dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gresik yang akan dipublish masyarakat luas khususnya para pemerhati pendidikan. Hal ini sesuai dengan misi utama keberadaan e-Journal Pendidikan sebagai media komunikasi dan informasi yang bersifat ilmiah. Kami berharap partisipasi berbagai kalangan baik akademisi, praktisi, maupun birokrasi untuk menulis dalam jurnal ini, sehingga berbagai temuan, pemikiran dan ide serta gagasan dapat terkomunikasi dalam jurnal ini semoga terbitan pertama Jurnal Jendela Pendidikan versi elektronik bermanfaat bagi kita semua.

Gresik, Desember 2011

Tim Redaksi

ISSN 2089-4554

DAFTAR ARTIKEL

SUPERVISI PENGAJARAN SEBAGAI PEMBINAAN PROFESIONALISME GURU


Rochmanu Fauzi

1-09

PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI SISWA PADA BIDANG STUDI BAHASA INDONESIA DI SDN BANGSAL SURABAYA 10 - 18
Etiyasningsih

PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN GAYA KOGNITIF TERHADAP PEMAHAMAN UNIFLYING GEOGRAPHY 19-29
Syaiful Khafid

IKLIM KERJA LEMBAGA DI PONDOK PESANTREN AL FUTUHIYAH GENDONGKULON BABAT LAMONGAN 30-38
Sri Sundari

PENDIDIKAN KARAKTER : WACANA KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA


Soesetijo

39 - 59

PENGARUH DISIPLIN GURU TERHADAP PRESTASI SISWA DI SDN BANJARSARI GRESIK 60 - 78


Etiyasningsih

STUDI TENTANG PENGARUH PELAKSANAAN SUPERVISI KEPALA SEKOLAH TERHADAP KEDISIPLINAN GURU DALAM PELAKSANAAN PROSES BELAJAR MENGAJAR DI SDN NGAGELREJO SURABAYA 79 - 87
Sri Sundari

TELAAH KRITIS PENDIDIKAN UNTUK SEMUA (EDUCATION FOR ALL)DALAM KONTEKS MANAJEMEN PENDIDIKAN 88 - 106
Soesetijo

E - Jurnal JENDELA PENDIDIKAN

Vol. 01

No. 01

Hlm. 1 - 106

Gresik Juni Nopember

ISSN 2089-4554

Supervisi Pengajaran sebagai Pembinaan Profesionalisme Guru

Oleh Rochmanu Fauzi

Abstrak supervisi pengajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dalam melaksanakan tugas pokoknya sehari -hari yaitu mengajar. Ada tiga pendekatan dalam supervisi pengajaran, yaitu (1) pendekatan langsung, (2) pendekatan tidak langsung, dan (3) kolaboratif. Teknik-teknik supervisi kunjungan supervisor kelas, yang pengajaran yang paling bermanfaat individual, guru. Diskusi Dalam adalah pembicaraan dan kelompok, praktiknya

demonstrasi mengajar, dan sebagainya. Para guru lebih menghargai hangat menghargai supervisi pengajaran masih berorientasi pada aspek administratif saja. Berdasarkan uraian tersebut disarankan para supervisor perlu ada penyegaran secara rutin, dalam pelaksanaan supervisi pengajaran para supervisor sebaiknya menggunakan pendekatan supervisi klinis, perlu ada pertemuan seusai supervisi yang telah dilakukan oleh Kepala Sekolah atau Pengawas Sekolah, sebagai upaya untuk tindak lanjut setelah pelaksanaan supervisi dilaksanakan.

Kata

kunci:

mutu

pendidikan,

supervisi

pengajaran.

Cara hidup suatu bangsa sangat erat hanya kaitannya sekedar dengan tingkat pendidikannya, Pendidikan bukan melestaiikan kebudayaan dan meneruskan dari generasi ke generasi. Akan tetapi juga diharapkan akan dapat mengubah dan mengembangkan pengetahuan. Sementara itu, salah satu fenomena di bidang pendidikan yang banyak disoroti oleh para pemerhati, cendekiawan maupun masyarakat Membahas pendidikan, pada masalah umumnya mutu adalah masalah mutu pendidikan. sebenarnya

terkait

satu

sama

lain

dan

seyogyanya ini dijadikan acuan dalam proses peningkatan mutu pendidikan. mutu secara paradigma Oleh yang karena salah harus menerus itu, satu ditata dan sebagai terus

berkelanjutan. Menurut Mastuhu (2003) dalam pengelolaan suatu unit pendidikan, mutu dapat dilihat dari "masukan", "proses", dan "hasil". Permasalahan yang 1983), diidentifikasi sampai pendidikan (Depdikbud, saat ini,

formulasinya tetap sama, yaitu masalah (1) masalah kuantitatif, (2) masalah kualitatif, (3) masalah relevansi, (4) masalah efisiensi, (5) masalah efektivitas, dan (6) masalah khusus. Uraian secara singkat masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut ini. 1. Masalah Kuantitatif Masalah kuantitatif adalah masalah akibat yang timbul sebagai antara hubungan

membahas masalah yang sangat kompleks. Oleh karena masalah mutu pendidikan dengan lainnya. selalu Salah kaitsatu mengkait indikator indikator-

instrumen yang dianggap cukup efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah dengan supervisi pengajaran oleh Kepala Sekolah maupun Pengawas. Untuk itu perlu adanya pergeseran dari paradigma lama menuju ke paradigma yang baru. Paradigma pendidikan akreditasi, evaluasi, Kelima pendidikan otonomi baru tinggi, manajemen terdiri dan dari mutu. baru saling akuntabilitas, paradigma tersebut

pertumbuhan sistem pendidikan pada satu pihak dan pertumbuhan penduduk Indonesia pada pihak lain. Untuk mengatasi masalah ini perlu adanya suatu nasional setiap sistem yang warga pendidikan memungkinkan ncgara

Indonesia

memperoleh

pendidikan warga

yang

layak Dalam

sebagai rangka belajar

peningkatan kualitas tidak sampai menghambat peningkatan kuantitas dan sebaliknya. 3. Masalah relevansi Masalah masalah hubungan pendidikan relevansi timbul antara dan adalah dari sistem yang

bekal dasar kehidupannya sebagai negara. pemerataan pendidikan ini, perlu dilaksanakan dengan dalam kewajiban segala bidang konsekuensinya pembiayaan,

ketenagaan, dan peralatan. 2. Masalah kualitatif Masalah kualitas dapat tercakup kualitatif daya adalah manusia masalah bagaimana peningkatan sumber Indonesia gara bangsa Indonesia meinpertahankan pula masalah eksistcnsinya. Dalam masalah ini ketinggalan bangsa Indonesia dan perkembangan modern. Ditinjau dari latar bclakang ini, masalah kualitas masalah pendidikan yang merupakan memprihatinkan

pembangunan dan jangka dalam pelaksanaan agar wahana bagi dan

nasional serta antara kepentingan perorangan, pendek keluarga, dalam di dan nasional efektif masyarakat, baik dalam jangka maupun panjang. Hal ini meminta adanya keterpaduan perencanaan pembangunan pendidikan penunjang proses dengan kaitan pokok nilai, antara lain

merupakan yang pembangunan

ketahanan nasional. Masalah ini sendirinya pula di dalam seperti mempunyai masalah tata pembangunan masalah pembangunan tenaga dengan

dalam rangka kelangsungan hidup bangsa dan negara. Dalam sistem pendidikan ini sendiri, masalah kualitas menyangkut banyak hal, kualitas calon anak didik, guru dan tenaga kependidikan lainnya, prasarana, berhubungan penanganan sehingga dalam keseimbangan proses pendidikan perlu dan erat aspek yang sekali sarana. dengan kuantitatif adanya dinamis sehingga Penanganan aspek kualitatif ini

nasional, pertanian,

industri.

perencanaan

kerja, dan pertumbuhan wilayah. 4. Masalah efisiensi Masalah hakikatnya Adanya daya efisiensi adalah pada masalah dana dan

pengelolaan pendidikan nasional. keterbalasan adanya pengelolaan manusia sungguh-sungguh sistem tidak

pengembangan

memerlukan Keterpaduan

nasional,

pengelolaan efisien dan terpadu.

hanya swasta, sekolah

tercermin antara antara dan

di negeri

dalam dan luar

menyangkut

soal

pengadaan

di

hubungan

lembaga-lembaga prestasi menurut studi, prestasi, kesejahteraan. kerja, dan wilayah pembinaan

pendidikan pengangkatan, penyebaran dan bidang dan dan yang karir

pendidikan

guru, pembinaan sistem karir dan pemerataan

pendidikan

sekolah, antara departemen yang satu dan departemen yang lain, di dalam sendiri, lingkungan tetapi juga di jajaran antara Departemen Pendidikan Nasional semua unsur dan unit lersebut. 5. Masalah efektifitas Masalah efektifitas adalah masalah keampuhan pendidikan keseimbangan samping dana Hal yang menyangkut pelaksanaan nasional. yang Dalam dinamis sumber

status, Masalah

kompleks ini menyangkut banyak lembaga dan unit serta koordinasi dan kerjasama antara lembaga dan unit tersebut. Esensi dari permasalahanpermasalahan hakekatnya pendidikan pendidikan. untuk pendidikan adalah atau Mastuhu pada bermuara mutu (2003) Sistem yang ialah Mastuhu bahwa merupakan jika bergerak jika dapat standar mutu suatu maju

hubungan dengan permasalahan antara kualitas dan kuantitas, di keterbalasan tenaga, berkaitan termasuk dan evaluasi, pengawas, dan ini efektivitas dengan aspek serta dan

pada satu istilah yaitu kualitas

mengemukakan bahwa kata kunci menggambarkan Nasional mendatang yang Pendidikan abad-abad pendidikan Selanjutnya, mengatakan (quality)

proses pendidikan amat penting. kurikulum, metodologi masalah

bagaimana yang diperlukan dalam bermutu.

guru,

masukan instrumental lainnya. 6. Masalah khusus Di masalah dibicarakan dibicarakan Guru samping umum di pula masalahyang atas, telah perlu

istilah yang dinamis yang turus bergerak; dikatakan baik, mundur merosot. yaitu mutunya dikatakan Mutu atau bertambah bergerak mutunya berarti umum excellence

beberapa pelaksana pendidikan guru

sebaliknya

masalah khusus sebagai berikut. sebagai sistem pendidikan faktor kunci di dalam pelaksanaan nasional. Masalah

superiority

melebihi

yang berlaku. Sedangkan sesuatu

dikatakan bermutu jika terdapat kecocokan antara syarat-syarat yang dimiliki oleh benda yang dikehendaki dengan maksud dari orang yang Dalam unit menghendakinya pengelolaan mutu suatu dapat (Idrus, dkk., 2002). pendidikan,

oleh mutu baik

Watson secara agar

(dalam

Taroeratjeka, demi

2000) bahwa suatu upaya pencarian terus-menerus tampil mendapatkan cara kerja yang lebih mampu bersaing melampui standar umum. Menurut Supriadi (2000) kita tidak perlu dipusingkan oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai

dilihat dari: "masukan", "proses", dan "hasil". 'Masukan" meliputi: siswa. Tenaga dana, pengajar, sarana, administrator,

validitas metodologisnya atau berusaha mencari excuse apabila ternyata ada hasil-hasil perlu studi yang tidak sesuai bagi dengan harapan kita. Sikap optimis untuk di dikembangkan Indonesia, yang pendidikan sesuai walaupun

prasarana, kurikulum, buku-buku perpustakaan, laboratorium, dan alat-alat perangkat perangkat meliputi, pengelolaan pengelolaan pengelolaan mengajar, antara dialog, evaluasi civitas dan pembelajaran, keras lunak. pengelolaan program program kegiatan interaksi akademika, wisata akreditasi. baik maupun "Proses" lembaga, studi, studi. belajarakademik seminar ilmiah,

hasil surveinya tidak menyenangkan dengan diharapkan. langkah selanjutnya membuat visi ke depan untuk meningkatkan kualitas manajemen pendidikan. Suatu saran yang dikemukakan oleh Supriadi di dalam menghadapi kualitas adalah permasalahan pendidikan rendahnya Indonesia

penelitian,

Sedangkan ilmiah,

memiliki visi global dan kehendak untuk bersaing secara internasional, maka insan pendidikan mulai para pengajar perguruan wacana dan peneliti dan di lembaga di pengambil studi-studi pendidikan tenaga tinggi kependidikan

"hasil": meliputi lulusan. penerbitanpenerbitan, temuan-temuan dan hasil-hasil kinerja lainnya. Ketiga unsur di atas (input, proses, dan output) terus berproses atau berubah-ubah. Oleh karena itu, pengelola unit pendidikan atau sekolah perlu menetapkan patokan atau benchmark, yaitu standar target yang harus dicapai dalam suatu periode waktu tertentu dan terus berusaha melampuinya. Seperti dikemukakan

keputusan dituntut untuk membuka terhadap internasional. KONSEP Di pendidikan DASAK antara yang SUPERVISI masalah-masalah sedang mendapat

PENGAJARAIN DI SEKOLAH

pcrhatian pemerintuh salah salunya adalah puningkatan mutu pendidikan (Benly, (2002) IW2). Dalam PROPENAS sampai dijelaskan bahwa

melaksanakan terhadap guru

pembinaan agar lebih

profesional, maka instrumen yang sangat relevan dan tepat adalah dengan pengajaran adalah kemampuan pokoknya kelas. Dari mengenai mengenai (1998) tentang membantu berbagai rumusan supervisi, menuliskan supervisi guru kajian definisi Mantja formulasi pengajaran melayani bahkan melalui pada dan supervisi hakikatnya meningkatkan keterampilan yaitu pengajaran. Oleh karena supervisi untuk

dengan awal abad ke-21 pembangunan pendidikan masih menghadapi krisis ekonomi berbagai bidang kcliidupan. Walaupun sejak tahun 2000, ekonomi Indonesia telah mulai tumbuh positif (4,8 persen), akibat sosial, yang krisis politik dalam dan kehidupan memberi

guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari mengajar para peserta didik di

kepercayaan dikawatirkan masih akan kurang bagi mutu menguntungkan Program terutama

upaya peningkatan kualitas SDM. peningkatan pendidikan di sekolah dasar dapat dicapai manakala proses belajar mengajar dengan dapat berlangsung dan baik. berdayaguna mengkaji tidak

adalah semua usaha yang sifatnya atau dan guru agar ia dapat memperbaiki,

berhasil guna. Dalam mutu lepas dari risalah dapat pendidikan,

mengembangkan, meningkatkan serta dan dapat efisien pula demi

pengajarannya, menyediakan pertumbuhan mencapai dan oleh

penyelenggaraan

sistem pendidikan. Dari berbagai faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan, ditinjau dari aspek manajemen faktor, (b) pendidikan ke dalam (a) dapat tiga faktor dikelompokkan yaitu: sistem sistem

kondisi belajar murid yang efek'if jabatannya tujuan Definisi untuk pendidikan yang dirumuskan

meningkatkan mutu pendidikan. Mantja ini sudah mewakili konsep supervisi pengajaran. Apabila tujuannya hakikatnya membantu meningkatkan dikaji supervisi adalah guru kualitas dari pada untuk untuk proses

instrumental sistem pendidikan, faktor manajemen di pembinaan pendidikan, dalamnya termasuk

profesional guru, dan (c) faktor substansi manajemen pendidikan (Mantja, 1998). Untuk dapat

belajar Harsosandjojo

mengajarnya. (1999)

proses belajar mengajar yang tepat. Tujuan tersebut ditambah dengan (4) tujuan perantara ialah membina guruguru agar dapat mendidik para siswa dengan baik, atau menegakkan disiplin kerja secara manusiawi. Dalam kaitannya dengan tugastugas supervisor, secara lebih khusus Nurtain (1989) membagi 10 (sepuluh) bidang tugas supervisor yang dirinci sebagai 2, berikut ini. Tugas pengajaran. Tugas 5, I , pengembangan kurikulum. Tugas pengorganisasian fasilitas. penataran pemberian staf. 9, Tujuan 3, pengadaan staf. Tugas 4, penyediaan penyusunan Tugas berkaitan khusus. hubungan terakhir pengajaran. Mengkaji tugas-tugas supervisi pengajaran ditelaah fungsi tersebut dari pokok dan di atas, dapat tujuan supervisi, supervisi yaitu 7, pcnycdiaan bahan-bahan. Tugas 6, pendidikan. orientasi 8, murid yang Tugas

mengemukakan tujuan supervisi yaitu membantu guru dalam hal (1) membimbing pengalaman pengalaman belajar sisvva, (2) menggunakan sumber-sumber belajar, (3) menggunakan metodemetode yang baru dan alat-alal pelajaran modern, (4) memenuhi kebutuhan belajar para siswa, (5) menilai proses pembelajaran dan hasil belajar siswa, (6) mcmbina reaksi mental atau moral kerja guru-guru dalam rangka pertumbuhan pribadi dan jabatan mereka, (7) melihat dengan jelas tujuan-tujuan mengguaakan mereka dalam pendidikan, waktu dan pembinaan dan (8) tenaga sekolah.

anggota-anggota dengan Tugas tugas

pelayanan Dan

Tujuan supervisi ini pada akhirnya adalah ditujukan untuk meningkatkan kualitas para siswa. Hal ini oleh tujuan dan (yang sebagaimana Sergiovanni untuk bersifat sekaligus membantu dikemukakan (1983) bahwa

pengembangan 10, penilaian

masyarakat.

supervisi ialah (1) tujuan akhir adalah mencapai total). akan pertumbuhan para dapat siswa Dengan perkembangan

pengajaran itu sendiri. Sesuai dengan memperbaiki mengembangkan

demikian

memperbaiki dalam

masyarakat, (2) tujuan kedua ialah kepala sekolah menyesuaikan program pendidikan

situasi belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, maka tujuan supervisi pendidikan mencakup tujuan dasar, tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan pendidikan, dasar adalah supervisi membantu

dari waktu ke waktu secara kontinyu (dalam rangka menghadapi tantangan perubahan zaman), (3) tujuan dekat ialah bekerjasama mengembangkan

tercapainya tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan institusional. Tujuan rinci pendidikan jelas nasional secara dalam dan dirumuskan

(coordinating),

dan

(4)

kegiatan uraian

pengawasan (controlling). Berdasarkan tersebut di atas, bahwa kualitas adalah dikemukakan meningkatkan mengajar, guru dapat untuk belajar faktor

GBHN. Sedangkan tujuan institusional dapat dilihat di dalam kurikulum yang memuat landasan, program dan pengembangan. Tujuan pendidikan, memperbaiki mengembangkan pendidikan. administrasi maupun proses. Administrasi berikut: kesiswaan, ketenagaan, kurikulum, keuangan, administrasi masyarakat. administrasi sebagai (1) (2) (3) (4) (5) sebagai administrasi administrasi administrasi administrasi administrasi dan (6) hubungan Sedangkan proses substansi meliputi hal-hal sebagai Administrasi sebagai umum adalah supervisi membantu dan administrasi yang

sentral yang perlu mendapatkan perhatian secara optimal. Media untuk profesionalisme melalui Supervisi hakikatnya untuk supervisi adalah meningkatkan guru adalah pada kualitas pengajaran. ditujukan

pengajaran

dimaksud adalah meliputi baik substansi sebagai administrasi

meningkatkan

pembelajaran yang dilakukan oleh guru di kelas, sehingga tujuan akhirnya adalah kualitas hash belajar siswa dapat ditingkatkan secara optimal.

SUPERVISI PENGAJARAN Dalam pemakaiannya secara umum supervisi diberi arti sama dengan director, manager. Dalam bahasa pemakaian dalam bawah manajemen. Dalam yang (1976) ialah supervisi sistem sekolah, khususnya dalam sistem sckolah berkembang, didefinisikan situasinya agak lain. Dalam Good umum istilah ini ada kecenderungan untuk membatasi supervisor yang lebih kepada orang-orang yang berada kedudukan dalam hicrarkhi

sarana/prasarana,

meliputi hal-hal terkait dengan unsur-unsur manajemen, antara lain (1) kegiatan (2) pengarahan meliputi perencanaan kegiatan (actuating) kegiatan dan (planning), kegiatan yang kegiatan

pengorganisasian (organizing), (3)

pengarahan

(directing)

pengkoordinasian

sebagai segala usaha dari para pejabat yang para sekolah yang diangkat kepada bagi dalam melihat tenaga diarahkan guru dan lain

Memperhatikan peranannya pendidikan

penting dasar

dan dan

menengah yang demikian besar, maka pendidikan dasar dan menengah harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, pembinaan terhadap para guru di sekolah dasar merupakan suatu kebutuhan yang lagi. tidak dapat ditunda-tunda diarahkan belajar pada Pembinaan proses usaha

penyediaan

kepemimpinan

kependidikan perbaikan stimulasi

pengajaran,

pertumbuhan

professional dan perkembangan dari para guru, seleksi dan revisi tujuan-tujuan pengajaran, Wiles (1982) peudidikan, dan bahan metoda-metoda bahwa dalam belajaryang

terhadap guru sekolah dasar, terutama pembinaan adalah belajar mengajar. Pembinaan proses mengajar memberi bantuan pada guru untuk memperluas pengetahuan, meningkatkan keterampilan mengajar dan menumbuhkan sikap profesional, schingga guru menjadi lebih ahli dalam mengelola KBM untuk membclajarkan anak didik dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran di SD dan tujuan pendidikan 1999/2000). Supervisi pendidikan di sekolah dasar sekolah mengajar. Sekolah yang melalui lebih dasar diarahkan kemampuan dalam proses ini untuk guru rangka belajar dapat Sekolah yang dapat meningkatkan (Depdikbud,

mengajar, dan evaluasi pengajaran. menjelaskan bantuan situasi pelajaran supervisi sebagai

pengembangan suatu kegiatan

mengajar yang lebih baik; ia adalah disediakan untuk membantu para guru menjalankan pekerjaan mereka dengan lebih baik. Peranan supervisor adalah mendukung, membantu, dan membagi, bukan supervisi menyuruh. yang Wiles baik (1982) bahwa hendaknya di selanjutnya mengatakan

mengembangkan latihan membantu pekerjaannya. dalam

kepemimpinan jabatan

dalam kelompok, membangun program untuk meningkatkan keterampilan guru, dan guru meningkatkan kemampuannya dalam menilai hasil

peningkatan kualitas Supervisi

dilakukan oleh siapa saja, baik Kepala maupun Pengawas sebagai dan bertugas supervisor bimbingan

pemberian pelayanan sehingga

bantuan guru

SUPERVISI SEBAGAI

PENGAJARAN PEMBINAAN

bercorak

profesional,

PROFESIONAL GURU

melaksanakan tugasnya dalam proses

belajar mengajar dengan lebih baik dari prestasi sebelumnya. Supervisi sekolah adalah pendidikan pada dalam di hakekatnya rang ka

meningkatkan

proses

belajar -

mengajar di kelas. Supervisor atau pembina, yaitu Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, atau semua dalam pejabat yang terlibat layanan supervisi, dan

pembinaan terhadap para guru. Adapun sasaran pembinaannya, antara lain (1) merencanakan kegiatan aktif, (2) belajar menge lola mengajar dan menarik, mengajar kegiatan yang (3) sesuai dengan st rategi belajar belajar menantang

adalah pihak yang selama i ni dipandang berwe wenang, jawab kaji karena itu pula di anggap paling bertanggung Kilas supervisi awalnya dalam historis pada yang kegiatan supervisi. balik pengajaran, istilah

menilai kemajuan anak belajar , (4) memberikan umpan balik yang sebagai dan bermakna, sumber (6) dan siswa (5) media yang memanfaatkan pengajaran, mengalami anak kelas lingkungan membimbing belajar,

dimunculkan adalah supervisi pendidikan (Kuri kulum 1975). Kemudian. 1984 guiu untuk dan atau pada 1994 Kurikul um digunakan guru dasar. istilah dalam masih Dengan super visi nama praktik sekolah dapat

istilah pembinaan profesional pembinaan sekolah demi kian pendidikan SMU dapat kegiatan 1994 digunakan. jenjang

melayani

kesul itan (7)

terutama bagi anak lamban dan pandai, mengelola tercipt a yang (8) dan sehingga be lajar dan

Walaupun supervisi Kurikulum tetap demikian bahwa

lingkungan menyenangkan, menyusun keeping) 1999/2000). Menurut supervisi profesional atau layanan guru, kepada

disimpulkan

mengelola (Depdikbud,

catatan kemajuan anak (record

pendidikan maup un pembinaan profesional bergantian pendidikan Dengan merupakan dal am pada layanan yang digunakan secara

Mantja adalah yang agar ia

(1990) bantuan

atau

pembinaan diberikan belajar untuk

sekolah di Indonesia. de mikian dikemukakan bahwa supervisi (pembinaan profe sional guru ) dimaksudkan unt uk

bagaimana

mengembangkan

kemampuannya

meningkatkan ke mampuan dan keterampilan sehari-hari proses dengan berjalan khususnya belajar pendukungnya dalam guru yaitu segala dengan mengajar, dalam melaksanakan tugas pokoknya mengel ola aspek sehingga baik kegiatan sehingga belajar -mengajar

approach), (2) pendekatan tidak langsung (non directive approach), dan (3) pendekatan kolaboratif (collaborative Pendekatan sebuah di peran mana kepala langsung dalam sekolah pendekatan approach). adalah upaya dasar, supervisi,

peningkatan ke mampuan guru pengawas TK/SD, dan pembina lainnya lebih besar dari pada peran guru yang bersangkutan. Pendekatan adalah tidak langsung pendekatan

tujuan pendidikan dasar dapat tercapai secara optimal. Pada hakikatnya kegiatan pembinaan menyangkut dua belah pihak yaitu pihak yang dilayani atau pihak yang dibina dan pihak yang melayani atau yang 2003). sama membina Baik me miliki (Ekosusilo, yang dibina

sebuah

supervisi, di mana dalam upaya peningkatan ke mampuan guru peran lainnya kepala lebih kecil sekolah, daripada pengawas TK/SD, dan Pembina peran guru yang bersan gkutan. Pendekatan kolaboratif adalah sebuah di peran pendekatan dalam kepala supervisi, upaya sekolah, mana

maupun pembina har us samakemampuan yang berkembang secara serasi sesuai dengan ke dudukan dan peran masing-masing. ini adalah Oleh kedua sebab itu, sasaran pembi naan profesional belah pihak yaitu guru sebagai pihak yang dibina dan kepala sekolah atau pengawas sekolah sebagai pihak yang membina. BEBERAPA Secara tiga PENDEKATAN garis be sar ada

peningkatan ke mampuan guru pengawas TK/SD, dan pembina lainnya sama besarnya dengan peran guru yang bersangkutan. Penggunaan tersebut dua akan teacher karakteristik diberi pendekatan dengan yang yaitu tingkat guru di sesuaikan supervisi, dan

DALAM SUPERVISI PENDIDIKAN pendekatan langsung dalam (directive

tingkat abstraksi guru (level of abstraction) komitme n guru (level of teacher commitment). Daya abstraksi guru bisa tinggi, sedang, dan bisa

supervisi pendidikan, yaitu (1) pendekatan

juga

rendah.

D emikian guru dan

pula bisa yang

mengenal dan mempraktekkan teknik-teknik pendidikan supervisi tersedia supervisi dan dan yang pengajaran. sejumlah yang supervisi lazim Ada teknik dipandang perhatian untuk masalah belajar, dan

dengan tinggi,

komitme n sedang, harus

rendah.

Pendekatan digunakan

sup ervisi

digunakan dalam pelaksanaan

disesuaikan

dengan tinggi -re ndahnya daya abstraksi dan komitmen guru yang disupervisi. 1. Guru yang memiliki daya abstraksi dan komitmm yang rendah disupervisi pendekatan langsung. 2. Guru tetapi dengan kolaboiatif. 3. Guru yang memiliki daya abstraksi yang tinggi tetapi komitme nnya sebaiknya dengan kolaboratif. 4. Guru yang yang memiliki dan daya abstraksi disupervisi pendekatan tidak (Bafadal, 2003). komitme n sebaiknya dengan langsung rendah, disup ervisi pendekatan yang memiliki yang daya tinggi, abstraksi sebaiknya rendah, disupervisi pendekatan sebai knya dengan

bermanlaat untuk merangsang me ngarahkan pengajaran, guru-guru terhadap kurikulum mengidentifikasi mengajar untuk kondisi mengajar berikut dan yang dan ini

masalah yang bertalian dengan menganal isis kondisi Yang

komitmennya

mengelilingi belajar. umumnya

pada

dipandang teknik yang paling bermanfaat bagi supervisi. 1. Kunjungan kolas. Kunjungan disebut kelas (sering kunjungan supervisi)

yang dilakukan kepala sekolah (atau pengawas/p enilik) adalah teknik paling efektif untuk mengamati guru bekerja, alat, metode, dan teknik mengajar tertentu yang dipakainya, dan untuk belajar me m-pelajari secara yang situasi keseluruhan mempengaruhi murid. h asil ia Dengan analisis bersama

tinggi

TEKNIK-TEKNIK SUPERVISI Bagaimana Sekolah maka dalam Kepala mensupervisi Sekolah perlu

dengan memperhatikan semua faktor pertumbuhan menggunakan observasinya,

para guru ?. Dalam konteks ini, Kepala

dengan guru dapat menyusun suatu program yang baik unt uk memperbaiki kelas tertentu. kondisi Sudan yang melingkari menga jar-belajar d i tentu, kunjungan kelas, agar efektif, hendaknya dengan dengan Pada sangat disertai dipersiapkan berhati -hati budi bahasa kelas sekolah dengan teliti dan dilaksanakan

membantu guru mengembangkan arah diri dan tumbuh dalam pekerjaan. 3. Diskusi Kclompok Dengan diskusi kelompok (atau sering pula disebut pertemuan kelompok) dimaksud sualu kegiatan dimana sekelompok orang berkumpul dalam melalui informasi mencapai situasi bcrlatap lisan berusaha keputusan bersama. staf panel, muka dan untuk tentang Kegiatan pengajar, seminar, interaksi atau suatu bertukar

yang baik pula. umumnya antara kunjungan kepada hendaknya diikuti oleh pembicaraan individual dengan guru. 2. Pembicaraan individual Pembicaraan merupakan sangat teknik penting karena individual supervisi yang kesempatan bekerja guru

masalah-masalah bentuk seperti:

diskusi ini dapal mengambil beberapa pertemuan diskusi

lokakarya, konperensi, kelompok studi, pekerjaan komisi, dan kegiatan lain yang bertujuan untuk bersama-sama membicarakan dan menilai masalahmasalah tentang pendidikan dan pengajaran. Pertemuan-pertemuan

yang diciptakannya bagi kepala sekolah (pengawas/penilik) secara individual untuk dengan

serupa ini dipadang suatu kegiatan yang begitu penting dalam program supervisi sebenarnya modern, hidup sehingga dalam guru suasana

sehubungan dengan masalah-masalah profesional masalah yang pribadinya. mungkin Masalahdipecahkan

melalui pembicaraan individual bisa macam-macam: masalah-masalah yang bertalian dengan mengajar, dengan kebutuhan yang dirasakan oleh guru, dengan pilihan dan pemakaian alat pengajaran, teknik dan prosedur, atau bahkan masalah-masalah yang oleh kepala sekolah dipandang perlu untuk dimintakan pendapat guru. Apapun yang dijadikan pokok pembicaraan, ia mewakili teknik yang sangat baik untuk

pelbagai jenis pertemuan kelompok. 4. Demonstrasi mengajar Demonstrasi Rencana demonstrasi mengajar yang telah merupakan teknik yang berharga pula. disusun dengan teliti dan dicetak lebih dulu, dengan menekankan pada hal-hal yang dianggap penting atau pada nilai teknik mengajar

tertentu, akan sangat membantu. Pembicaraan sehabis demonstrasi bisa menjelaskan banyak aspek. Suatu analisis observasi adalah perlu. 5. Kunjungan kelas antar guru Sejumlah mengungkapkan guru-guru Kunjungan direncanakan efektif lagi di antara ini atas jika studi telah bahwa mereka biasanya permintaan observasi

sekolah perhatian pekerjaan menerus dilakukan lokal. dengan

untuk dan itu. di penting

menciptakan keinginan dan bagi terusdan

Penyesuaian sekolah lokal ini

pengembangan

kurikulum dengan sesuai

mengembangkan materi muatan Muatan potensi lingkungan

kunjungan kelas yang dilakukan sendiri adalah efektif dan disukai.

sekitar sekolah. 6. Buletin supervisi Buletin efektif. ikhtisar penelitian, dalam organisasi bidang studi. Ia tentang analisis bisa supervisi berisi penelitianpresentasi dan merupakan alat komunikasi yang pengumuman-pengumuman,

guru-guru. Teknik ini akan lebih tiap diikuti oleh suatu analisis yang berhati-hati. 6. Pengembangan kurikulum Perencanaan dan pengembangan menyediakan penyesuaian kurikulum yang

pertemuan-pertemuan professional, dalam berbagai

perkembangan

kesempatan

sangat baik bagi partisipasi guru. Pentingnya relevansi kurikulum dengan dan Tetapi tidak untuk standar murid kebutuhan bagi peningkatan dalam banyak murid dan masyarakat pemeliharaan kualitas prakteknya, usaha dan 7. Perpustakaan Profesional Perpustakaan sekolah professional sumber merupakan

informasi yang sangat membantu kepada peitumbuhan professional personil pengajar tidak di sekolah. suatu Perpustakaan menyediakan professional saja

pendidikan di negara kita diakui. sekolah-sekolah secara individual melakukan menyesuaikan itu dan dengan

sumber informasi, tapi ia juga suatu rangsangan bagi kepuasan pribadi. Buku-buku tentang pandangan professional, bacaan suplementer yang lebih baru, dan majalah professional yang banyak

mengembangkan

kurikulum kebutuhan terus

masyarakat

berubah. Terserah kepada kepala

jumlah-nya

itu

hendaknya

akan memenuhi kebutuhan dan kepentingan murid. Sebenarnya teknik lain, ada tetapi teknikyang

tersedia bagi semua guru. Juga sumbangan-sumbangan dari guru dapat menjadi bagian dari "gudang" informasi ini.

diterapkan di atas dengan singkat adalah teknik-teknik yang dalam sejumlah penelitian dipandang manfaatnya pembaca membaca

8. Lokakarya Lokakarya kesempatan untuk untuk untuk menyediakan Kerjasama, ide-ide, masalah-

telah yang

menunjukkan lebih terurai untuk

bagi supervisi. Untuk pembahasan disarankan

memperteukan mendiskusikan

masalah bersama alau khuais, dan untuk pertumbuhan pribadi dan professional dalam berbagai

sumber-sumber lain. Pada hakekatnya tidak ada satu teknik tunggal yang bisa memenuhi segala kebutuhan; dan bahwa sualu teknik tidaklah baik alau buruk pada dalam Masalah yang umumnya, kondisi utama kebutuhan. melainkan tertentu. adalah

bidang studi. Ada banyak jenis lokakarya itu. Dalam lokakarya seni, barangkali sebagian bcsar waktu akan diisi dengan dengan dan scni. partisipasi mempelajari teknik-teknik Dalam lebih banyak sungguh kegiatan tckanan

keterampilan

menetapkan

Beberapa teknik hubungan antara sekolah dengan masyarakat yang diperkenalkan (1) laporan oleh Sahertian orang tua (1989) antara lain adalah seperti: kepada murid, (2) majalah sekolah, (3) surat kabar sekolah, (4) pameran sekolah, (5) open ke house, (6) (7) yang personil kunjungan melalui sekolah,

lokakarya kepada

matematika mungkin menganalisis

diberikan

dan memilih pengalaman belajar yang sesuai, menemukan bahan teknologi pengajaran dan metodemetode presentasi ini, dan menilai program-program baru. 9. Survey sekolah-masyarakat Suatu studi yang komprehensif tentang masyarakat akan membantu guru dan kepala sekolah untuk memahami dengan lebih jelas program sekolah yang

kunjungan ke rumah murid, (8) penjelasan ole h diberikan sekolah (11)

sekolah, (9) gambaran keadaan melalui murid -murid, (12) (10) melalui radio dan televisi, laporan tahunan, organisasi perkumpulan alumni

sekolah, (13) melalui kegiatan ekstra kurikulum, dan (14) pendekatan secara akrab.

dengan

baik, sifat

supervisor membantu efektif, (7)

menunjukkan pengajaran

dan menyediakan model -model yang supervisor memberikan peran serta yang cukup tinggi kepada guru unt uk dalam (8) pengambilan wawancara supervisor p engembangan dengan dan (9) seharusnya iklim yang t erbuka, yang memungkinkan hubungan keputusan supervisi,

RESPON

DAN

SIKAP

GURU

TERHADAP PENGAJARAN

SUPERVISI

Kajian tentang si kap guru terhadap perhatian merujuk penelitian temuan supervisi Neagley sejumlah beberapa yang & menjadi Evans hasil pakar

mengutamakan seperti supervisor menciptakan organisasional yang pemantapan Dalam supervisi cenderung sudah yang namun masih domi nan Fenome na khusus Mengatasi pakar yang Pendidikan

(dalam Mantja, 1998) dengan

keterampilan hubungan insani , halnya teknis keterampilan

supervisi pengajaran. Te muan dilaporkan, antara lain (1) supervisi yang efektif harus didasarkan atas prinsip-prinsip dinamika guru dari yang sesuai (2) para dengan perubahan sosial dan kelompok, kepala yang ol eh yang menghendaki supervisi sekolah, seharusnya tenaga berjabatan supervisi dan untuk

saling menunjang (supportive). praktiknya pengajaran berorientasi saja. yang pada dalam adalah edukatif, le bih secara

dilaksanakan selama ini masih administratif Walaupun

sebagaimana dikerjakan personel tidak

dirumuskan disupervisi dan pada aspek ini dalam di Kri sis kompclen.

supervisor, (3) kepala sekolah melakukan dengan baik, (4) semua guru membutuhkan mengharapkan supervisi

kegiatan supervisi ba hwa aspek administratif

kenyataannya administratif. dikaji Konferensi Indonesia: Menuju Salali

cenderung

disupervisi, (5) p ara guru le bih menghargai dan menilai secara positif perilaku supervisi yang "hangat", saling mempercayai, bersahabat, guru, (6) dan menghargai dianggap supervisi

Pembaruan, yang dii kuti para

bermanfaat bila direncanakan

satu rekomendasi dari konferensi ini, khusu'snya yang berkaitan masalah sebagai langsung supervisi berikut ini. Rekomendasi 23 Fungsi-fungsi pada seba-gai semua sarana pendidikan pengawasan jenjang untuk dimaksud mengutamakan akademik administratif berlaku dioptimalkan dengan dikemukakan

saja dan monoton itu-itu saja, bahkan nampak diacuhkan. di hadapan ingin (1989) Namun guru tidak menampakkan ketidak-setujuannya hormat yang sekaligus supervisor, karena dilandasi rasa tidak menimbulkan konflik. Penelitian dilakukan Mantja juga menyimpulkan bahwa respon dan sikap guru terhadap supervisi ditentukan oleh kemanfaatan, data pengamatan yang obyektif, kesempatan menanggapi balikan, perhatian gagasan teratur supervisor guru. dan terhadap yang yang Supervisi hubungan

memacu mutu pendidikan. Pengawasan dengan aspek-aspek daripada sebagaimana 2001). Keefektifan orientasi supervisi melainkan dipengaruhi orientasi dilakukan dan di dan atas, juga oleh penerapan pendekptan tidak hanya sangat persepsi, yang

selama ini (Jalal & Supriadi,

diciptakan lebih direktif.

dapal

mengurangi pendekatan atau non

ketegangan emosional guru. Guru menyukai kolaboratif supervisi

tergangung pada supervisor saja, KENDALA-KENDALA PELAKSANAAN SUPERVISI PENGAJARAN Dalam banyak Mantja pelaksanaannya, kendala. temuan bahwa kurang personil positif pengelola kurangnya kepala supervisi pengajaran di sekolah menghadapi (1990) dalam yang sikap kurang

respon, dan sikap guru terhadap supervisi oleh supervisor.

Penelitian mengenai sikap guru terhadap supervisi dikemukakan oleh Ekosusilo (2003) bahwa guru tidak terlalu positif yang oleh terhadap dilakukan Selanjutnya Ekosusilo penelitiannya supervisi supervisor. dikemukakan dalam simpulan

disertasinya

meuyalakan

kendala-kendala antara sekolah terhadap teknis lain: yang

menunjang keefektifan supervisi,

supervisi edukatif;

bahwa supervisi yang dilakukan supervisor dianggap biasa-biasa

keterampilan

supervisi

sekolah; pengendalian emosional supervisor karena haras dalam menerima tenaga kelas guru atau respons guru; kepala sekolah yang kurangnya memegang

kepada para guru sebagai subyek supervisi, hanya (2) fokus pada supervisi aspek terarah

administrasi, kurang menyentuh pada pengembangan kemampuan guru tidak dalam mengelola proses belajar mengajar, (3) supervisor melaksanakan kunjungan dan kelas secara serius, (4) supervisor mendominasi pembicaraan berjalan satu arah, (5) tidak ada penilaian umpan balik, dan (6) supervisor tidak pernah meminta pada guru untuk meminta pada guru komentar terhadap inilah supervisi dilaksanakan untuk maupun supervisi yang memberikan penilaian yang telah

bidang studi tertentu, sehingga supervisi menjadi kurang efektif; dan adanya guru yang tingkat Temuan nampaknya tinggi, di karena jenjang pendidikannya lebih tinggi dari kepala Mantja yang sekolahnya. ini, cukup

mempunyai kadar transferabilitas kendala-kendala

pendidikan dasar berkisar pada permasalahan-permasalahan temuan tersebut di atas. Isvanto (1999) mengemukakan bahwa permasalahan pendidikan, antara lain adalah manajemen sekolah yang tidak efektif, dan kepala kemampuan manajemen

dilaksanakan.

Kendala-kendala mengakibatkan yang oleh Pengawas

pengajaran

Sekolah di sekolah dasar tidak dapat optimal, sehingga tujuan pokok untuk pelaksanaan meningkatkan supervisi kualitas

sekolah pada umumnya rendah terutama di sekolah negeri dan pembinaan kesejahteraan konsisten. Mengkaji kendala supervisi, (2003) dikemukakan penelitian pelaksanaan lain: (1) perihal kendalapelaksanaan Ekosusilo untuk Temuan tentang antara tidak dalam temuan menarik di sink Ekosusilo supervisi supervisor karier guru yang dan tidak

kegiatan belajar mengajar tidak dapat tercapai. Temuan Ekosusilo (2003) ini memberikan gambaran bahwa guru pembinaan masih perlu profesional ditingkatkan

lebih lanjut.

mengkomunikasikan rencana/program supervisinya

(b) pembicaraan individual, (c) SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan uraian tentang peningkatan mutu pendidikan melalui supervisi pengajaran di atas, maka dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut: dalam (1) masalah-masalah bidang diskusi demonstrasi pengembangan bulletin perpustakaan lokakarya, (j) kelompok, mengajar, kurikulum, profcsioml, survey (d) (e) (g) (h) (i) sekolah-

kunjungan kelas antar guru, (1) supervisi,

masyarakat; (6) para guru lebih menghargai dan menilai secara positif perilaku saling dan supervisi yang "hangat", bersahabat, supervisi dilaksanakan cenderung Saran-saran Berdasarkan simpulan di atas, maka dapatlah dikemukakan saran-saran sebagai berikut: (1) untuk meningkatkan kemampuan supervisor, rutin bagi dalam sesuai guru; aspek sebagai ada para maka perlu secara program penyegaran sehingga tugasnya supervisi mempercayai, menghargai yang masih pada

pendidikan adalah (a) masalah kuantitatif, (b) masalah kualitatif, (e) masalah dan relevansi, (e) (f) (d) masalah efisiensi, masalah masalah untuk dan dalam pokoknya kelas; (3)

guru; dan (7) dalam praktiknya pengajaran selama ini berorientasi

efektivitas, pada

khusus; (2) supervisi pengajaran hakikatnya adalah guru tugas di meningkatkan keterampilan melaksanakan peserta Pengawas didik kemampuan

administratif saja.

sehari-hari yaitu mengajar para supervisor atau pembina, yaitu Sekolah, Kepala Sekolah, atau semua pejabat yang terlibat dalam layanan supervisi, adalah pihak yang dianggap paling bertanggung jawab dalam kegiatan supervisi; (4) ada tiga pendekatan dalam supervisi pengajaran, yaitu (a) pendekatan langsung, (b) pendekatan tidak langsung, dan (c) pendekatan teknik-teknik kolaboratif; (5)

supervisor, tujuau

melaksanakan dengan (2) arah

dan sesuai dengan keinginan para supervisi perlu kepada tanpa difokuskan/ditekankan akademik pelengkap

mengabaikan faktor administratif pelaksanaan supervisi tcrhadap para guru di sekolah; (3) dalam pelaksanaan supervisi di sekolah, para

supervisi pendidikan yang paling bermanfaat bagi supervisi antara lain adalah: (a) kunjungan kelas,

supervisor format dalam

perlu di

membekali yang dapat (4) sekolah;

merekam dan mencatat kegiatan guru dalam melaksanakan tugas-

dokumen

tugasnya pengajaran klinis, dan

melaksanakan

supervisi untuk ada

disarankan (5) perlu

menggunakan prosedur supervisi pertemuan sesuai supervisi untuk mendiskusikan hasil supervisi yang telah dilakukan oleh Kepala Sekolah atau Pengawas Sekolah, sebagai setelah upaya tindak lanjut pelaksanaan supervisi

dilaksanakan.

DAFTAR RUJUKAN

Bafadal, I. 2003. Seri Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar, Dalam Kerangka Manaje men Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara. Benty, D.D.N. 1992. Kemampuan Kepi'la Sekolah Dasar Membant u Guru dalam Mengembangkan Pengajaran Menurut Persepsi Guru Guru SD Negeri di Kecamatan Lowokwaru Kodya Malnng. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasa Sarjana, Institut Keguruan dan Ilmu pendidikan Malang. Depdikbud. 1976. Kurikulum Sekolah Dasar 1975, Garis -Garis Besar Program Pengajaran Buku III D Pedoman Admini strasi dan Supervisi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depdikbud. 1994/1995. Pedoman Kerja Pelaksanaan Sup ervisi. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SD, TK dan SLB, Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menenga,'., Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depdikbud. 1995. Pedoman Pembi naan Profesional Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Ekosusilo, M. 2003. Iiasil Penelitian Kualitatif, Supervisi Pengajaran Dalam Latar Budaya Jawa, Studi Kasus Pembi naan Guru SD di Kralon Surakarta. Sukoharjo: Penerbit Uvitet Bantara Press. Indrafachrudi, S.(Koordinator). 1989. Administrasi Penerbit IKIP Malang. Pendidikan. Malang:

Idrus, N., dkk. 2000. Quality Assurance, Handbook. 3 -Edition. Jakarta: Engineering Education Development Project, Du Malcomlm Jones (ed)., Director General of Higher Education. Iswanto, B. 1999. Olonomi Daerah: Implikasi bagi Pengelolaan Pendidikan. Makalah disajikan dalam seminar nasional Formula Manajemen Pendidikan dalam Kerangka Otonomi Daerah di Bidang Pendidikan pada tanggal 23 Aeustus 1999 di Universitas Neseri Malane. Jalal, F. & Supriadi, D. 2001. Reformasi Penclidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama Depdiknas -Bappenas-Adicita Karya Nusa. Mantja, W. 1998. Manajemen Pembinaan Profesional Guru Berwawasan Pengembangan Sumber Daya Manusia: Suatu Kajian Ko.tse ptual-

historik dan Empirik. Pidalo Pengukuhan Guru Besar [KIP Malang. Making: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (The New Mind Set of National Education in the 21 s ' Century). Yogyakarta: Safiria Insania Press bekerjasama dengan Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia (MSI UII). Sahertian, P.A. & Mataheru, F. 1982. Prinsip & Tehnik Supervisi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Supriadi, D. 2004. Satuan Biaya Pendidikan, Dasar dan Menengah: Rujukan Bagi Penetapan Kebijakan Pendidikan Pada Era Otonomi dan Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Lemadja Rosdakarya.

ISSN 2089-5933

Diterbitkan Oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gresik

E - JURNAL JENDELA PENDIDIKAN

Vol. 01

No. 0I

Hlm. 1-106

Gresik Juni Nopember

ISSN
2089-5933

PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD TUNAS BANGSA WONOKROMO SURABAYA

Etiyasningsih*)

Abstrak, Bahasa Indonesia dipakai di sekolah dari tingkat paling rendah sampai perguruan tinggi, dipakai juga dalam acara resmi pada pemerintahan termasuk kehakiman pengadilan, serta di segala bentuk komunikasi tingkat nasional. Dari segi ilmiah dapat dijadikan kunci untuk membuka pintu untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, dengan pertimbangan tersebut maka yang perlu diperjatikan adalah bimbingan orang tua dalam menunjang prestasi anak di sekolah. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Namun berperan serta orang tua dan masyarakat dalam menunjang prestasi belajar anaknya belum tampak menggembirakan, apabila status pendidikan orang tuanya atau masyarakat pada umumnya masih rendah, maka semata-mata pendidikan anaknya diserahkan kepada guru di sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian dilakukan di SD Tunas Bangsa Kecamatan Wonokromo Surabaya. Populasi sebanyak 34 anak dan orang tua. Sampel diambil dengan teknik total sampling diperoleh 34 responden anak dan orang tua siswa. Pengumpulan data dengan dokumentasi dan kuesioner, selanjutnya dilakukan uji regresi sederhana untuk mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa. Hasil penelitian menunjukkan Fhitung = 16,995 > Ftabel = 4,17. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung hitung = 0,000 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil penelitian d iharapkan orang tua lebih banyak memberikan bimbingan kepada anaknya terutama dalam belajar bahasa Indonesia, bimbingan di keluarga hendaknya mencakup bantuan belajar, pengawasan, pengaturan waktu belajar dan keteladanan yang ditunjukkan secara rutin, dan orang tua wali murid selalu mengawasi cara belajar anaknya dan selalu berkonsultasi dengan guru atau orang lain. Pihak sekolah diharapkan dapat sering mengadakan hubungan dan konsultasi mengenai perkembangan belajar anak dan juga memecahkan kesulitan yang timbul dalam bimbingan belajar anak dengan wali murid atau orang tua siswa

Kata Kunci : Bimbingan Orang Tua terhadap Prestasi Belajar Siswa

Pendidikan yang berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan sedini mungkin merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Banyak orang tua berpendapat bahwa tugas mencerdaskan anak adalah tugas guru dan institusi pendidikan, sementara mereka selaku orang tua asyik dengan profesinya sendiri, implikasi dari pendapat semacam ini adalah memunculkan ketidakpedulian orang tua terhadap spiritual, intelektual dan moral anaknya sendiri. Masih banyak di antara orang tua yang lalai akan tugasnya dalam membantu perkembangan dan pemahaman diri putra putrinya, mereka menyibukkan dirinya dengan urusan masing-masing. Bagi orang tua yang taraf ekonominya kuat, waktunya banyak digunakan untuk acara-acara yang dianggap sesuai dengan martabat sosialnya, sementara bagi orang tua yang taraf ekonominya lemah, waktunya banyak digunakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga dengan keadaan ini timbulah berbagai kesulitan yang dihadapi oleh anak terutama kesulitan alam belajar yang mengakibatkan prestasi belajar mereka semakin menurun. Ketika anaknya gagal memenuhi harapannya, pihak pertama yang dituding adalah guru dan institusi pendidikan, kalau kita renungkan anggapan orang tua bahwa pencapaian itu hanyalah tergantung pada lembaga sekolah, pendapat seperti ini kurang tepat, dan akan merugikan diri sendiri. Bagaimanapun guru, sekolah, dan institusi pendidikan yang lainnya hanyalah pihak yang membantu mencerdaskan peserta didik. Sedangkan keberhasilan dalam suatu pendidikan itu ditentukan oleh tiga komponen, yaitu orang tua (keluarga), guru (pemerintah), dan masyarakat (lingkungan). Dalam mendidik seseorang anak tidak akan berhasil tanpa ada kerjasama yang baik antara orang tua yang mendidik di rumah, dengan guru yang mendidik di sekolah. Demikian juga dengan lingkungan di sekitarnya juga menunjang. Antara orang tua, guru dan lingkungan dalam menangani anak

harus ada kerjasama yang baik sehingga merupakan tri tunggal yang tidak dapat dipisahkan. Sehubungan dengan hal tersebut, jika ditinjau ari segi waktu belajar antara pendidikan sekolah dan ada dirumah, maka waktu belajar tersebut lebih banyak dirumah. Oleh sebab itu sebagai orang tua harus benarbenar dapat membantu dan mengarahkan putra putrinya, memahami lebih jauh dan mendalam tentang pola dan upaya mencerdaskan. Orang tua harus mengerti tentang dasar-dasar pendidikan, psikologi perkembangan, proses belajar mengajar dan pengetahuan lain guna mencapai tujuan yang sesuai dengan harapan dan cita-citanya. Negara Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang, dan sedang getolgetolnya membangun, seiring dengan pembangunan itu, maka di segala bidang harus dikembangkan pemerintah. Di dalam persiapan pembangunan yang siap dipakai perlu sumber daya manusia yang handal, maka pemerintah menggalakkan pembangunan di bidang pendidikan. Maka tidaklah mengherankan apabila pemerintah selalu berusaha dengan getol untuk meningkatkan pendidikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, guna mempercepat tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Untuk itu di dalam merealisir tujuan pendidikan itu, maka diseluruh jalur, jenis dan jenjang pandidikan baik dengan jalur formal maupun non formal berkewajiban untuk segera mendukung dan mewujudkannya. Bahkan dilingkungan keluargapun di harapkan peran serta aktifnya, karena suatu program akan berhasil dengan baik apabila aktifitas di dukung oleh semua pihak. Di dalam Undang-undang pendidikan Nomor 2 tahun 1989, disebutkan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut : Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan

jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Pendidikan Nasional harus juga menumbuhkan jiwa patriotic dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan social serta kesadaran pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi ke masa depan. Iklim belajar mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di lingkungan masyarakat, terus juga di kembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, dan berkeinginan untuk maju. Dan sebagai bangsa Indonesia harus berkomunikasi di antara suku satu dengan suku yang lainnya dengan baik, agar tetap terpelihara rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Berkomunikasi antara suku kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam hal ini termuat dalam dokumen resmi Negara, seperti : Sumpah Pemuda dan dalam Undang-undang Dasar 1945, Bab XV pasal 36 : Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dipakai di sekolah dari tingkat paling rendah sampai perguruan tinggi, dipakai juga dalam acara resmi pada pemerintahan termasuk kehakiman pengadilan, serta di segala bentuk komunikasi tingkat nasional. Dari segi ilmiah dapat dijadikan kunci untuk membuka pintu untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, dengan pertimbangan tersebut maka yang perlu diperjatikan adalah bimbingan orang tua dalam menunjang prestasi anak disekolah. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Namun berperan serta orang tua dan masyarakat dalam menunjang prestasi belajar anaknya belum tampak menggembirakan, apabila status pendidikan orang tuanya atau masyarakat pada umumnya masih rendah, maka semata-mata pendidikan anaknya diserahkan kepada guru di sekolah.

Kesadaran bahwa tugas utama memberi bimbingan anak adalah tugas orang tua, maka akan memberikan pengaruh positif dalam pembentukan tanggung jawab dan mendorong motivasi belajar, mempermudah proses belajar pada anak dan pengkoordinasian lingkungan keluarga untuk mewujudkan anak-anak cerdas dan berprestasi terutama pada bidang studi bahasa Indonesia. Pemikiran inilah yang menjadikan penulis mengangkat judul skripsi ini dengan harapan dapat mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa pada Bidang Studi Bahasa Indonesia di SD Tunas Bangsa Kecamatan Wonokromo Surabaya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil populasi seluruh siswa kelas IV SD Tunas Bangsa Kecamatan Wonokromo Surabaya. Sampel diambil dengan teknik total sampling diperoleh responden sebanyak 34 siswa. Variabel bebas (X) dalam penelitian ini yakni bimbingan orang tua, yang dimaksud bimbingan orang tua adalah suatu proses pemberi bentuan secara terus menerus dan sistematik dari pembimbing kepada peserta bimbingan agar tercapai pemahaman dari penerima diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan memperoleh kebahagian hidup. Variabel prestasi belajar Bahasa Indonesia (Y) yaitu suatu suatu hasil yang teah dicapai setelah kegiatan belajar mengajar Bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan adalah nilai ulangan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis. Uji hipotesis dilakukan untuk menjawab hipotesa yang telah diajukan sebelumnya. Uji yang digunakan

dalam penelitian ini adalah uji Regresi Sederhana dengan rumus persamaan regresi sederhana : Y = a + bX Y = Prestasi Belajar Bahasa Indonesia X = Bimbingan Orang Tua a = Nilai konstanta b = Nilai arah sebagai penentu ramalan (prediksi) yang menunjukkan nilai peningkatan (+) atau nilai penurunan () variabel Y.

Pernyataan 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Corrected item total correlation 0,642 0,620 0,686 0,355 0,677 0,793 0,543 0,439 0,354 0,495 0,535 0,651

Ket Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

Sumber : Hasil Olah Data SPSS

HASIL PENELITIAN

Hasil Pengujian Validitas Validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan mengukur apa yang diinginkan dan mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Instrument valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapat data itu valid. Dalam uji validitas ini suatu butir pernyataan dikatakan valid jika corrected item total correlation lebih besar dari 0,339 (untuk jumlah responden 34 orang) sebagaimana tabel r produk momen terlampir. Hasil pengujian validitas terhadap variabel bimbingan orang tua (X) dan Prestasi Belajar Siswa (Y) dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 1 Hasil Uji Validitas Variabel Prestasi Belajar Siswa (X) PernyaCorrected item Ket taan total correlation 1 0,843 Valid 2 0,372 Valid 3 0,638 Valid 4 0,601 Valid 5 0,540 Valid 6 0,541 Valid 7 0,767 Valid 8 0,476 Valid

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk item pernyataan variabel bimbingan orang tua, corrected item total correlation yang diperoleh untuk seluruh item pernyataan adalah lebih besar dari 0,339 (untuk jumlah responden 34 orang), hal tersebut berarti bahwa secara keseluruhan item pernyataan mengenai bimbingan orang tua adalah valid. Hasil Uji Reliabilitas Suatu alat ukur dikatakan reliabel atau handal, jika alat itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berbeda senantiasa menunjukkan hasil yang relatif sama. Untuk menguji reliabilitas suatu instrument dapat digunakan uji statistic Cronbach Alpha (), dimana suatu alat ukur dikatakan reliabel jika nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,60. Hasil pengujian reliabilitas terhadap variabel bimbingan orang tua (X) diperoleh alpha sebesar 0,7483 lebih besar dari 0,6 sehingga dapat diputuskan bahwa item kuesioner telah reliabel.

Uji Asumsi Klasik Uji normalitas

Regression Studentized Residual

Dalam penelitian ini uji normalitas kriterianya adalah jika distribusi data adalah normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Dependent Variable: Prestasi Belajar Siswa
1,0

Scatterplot
Dependent Variable: Prestasi Belajar Siswa
2,0 1,5 1,0 ,5 0,0 -,5 -1,0 -1,5 -2,0 -3 -2 -1 0 1 2

,8

Expected Cum Prob

Regression Standardized Predicted Value


,5

Gambar 2 Grafik Scatterplot


,3

0,0 0,0 ,3 ,5 ,8 1,0

Observ ed Cum Prob

Gambar 1 Grafik Normalitas Standar Residual Regresi

Dari grafik scatterplot di atas terlihat titik menyebar secara acak dan tersebar di atas maupun di bawah angka 0 pada suhu Y, hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi sehingga model regresi layak dipakai untuk mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa. Hasil Pengujian Regresi Linier Sederhana Untuk mengetahui ada atau tidaknya pergaruh antara variabel bebas bimbingan orang tua terhadap variabel terikat yang dalam hal ini adalah prestasi belajar siswa (Y), maka digunakan analisis model agresi linier sederhana dengan model persamaan sebagai berikut : Y = + bX1 Dimana : Y X b3 = Prestasi Belajar Siswa = Bimbingan Orang Tua = Koefisien regresi X

Sesuai kriterianya grafik normal plot di atas terlihat titik-titik menyebar di sekitar garis diagonalnya, serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian menunjukkan bahwa model regresi layak dipakai karena memenuhi asumsi normalitas.

Uji Heteroskedastisitas Indikator uji ini adalah melihat grafik Scatterplot, jika titik-titik menyebar secara acak serta tersebar di atas maupun di bawah angka 0 pada suhu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

Output perhitungan dengan program SPSS for Windows seperti terlihat dalam gambar berikut.

ANOVAb Sum of Squares 151,891 285,991 437,882


Model 1 Unstandardized Coefficients B Std. Error 35,537 3,292 ,190 ,046

a Coe fficients

Model 1

df 1 32 33

Regression Residual Total

Mean Square 151,891 8,937

F 16,995

Sig. ,000 a

Standardized Coefficients Beta ,589

(Constant) Bimbingan Orang Tua

t 10,797 4,123

Sig. Zero-order ,000 ,000 ,589

Correlations Partial ,589

Part ,589

a. Dependent Variable: Prestasi Belajar Sisw a

a. Predictors: (Constant), Bimbingan Orang Tua b. Dependent Variable: Prestasi Belajar Sisw a

Gambar 4 Uji t

Gambar 3 Uji F Sebagaimana Uji F di atas yang menunjukkan adanya pengaruh, Uji t juga seperti pada Gambar 4.5 memperlihatkan thitung sebesar 4,123 > ttabel sebesar 2,042 (sebagaimana Critical Value for the t Distribution terlampir) artinya terdapat pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa. Untuk menunjukkan besarnya pengaruh atau kontribusi tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan dapat dilihat koefisien regresi (standarized coefficients Beta) pada gambar 4.2 sebesar 0,589. Selanjutnya sesuai dengan rumus regresi sederhana dapat dimasukkan angka-angka tersebut sebagai berikut : Y = a + bX = 35,537 + 0,190 Selanjutnya berdasarkan persamaan di atas deskripsi pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa berdasarkan unstandarized coeffisients beta adalah sebagai berikut: 1) Konstanta sebesar 35,537 menyatakan bahwa jika variabel tingkat pendidikan dianggap konstan (tidak ada upaya membimbing), maka prestasi belajar siswa sebesar 35,537 point. 2) Koefisien regresi tingkat pendidikan sebesar 0,190 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1 poin bimbingan orang tua akan meningkatkan prestasi belajar siswa sebesar 0,190 poin. Jika angka tersebut dikalikan 1000, deskripsinya menjadi setiap ada upaya bimbingan orang tua sebesar 1000 poin maka akan meningkatkan prestasi belajar siswa sebesar 190 point.

Gambar 3 di atas menunjukkan hasil uji F dengan program SPSS for Windows, dengan Fhitung sebesar 16,995. Angka ini selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel df = 32 sebagaimana Tabel F pada lampiran (Critical Values for the F Distribution =0,05). Tabel F dengan df = 32 dan n =1 diperoleh Ftabel = 4,17. Sehingga Fhitung = 16,995 > Ftabel = 4,17. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung hitung = 0,000 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan. Selain adanya pengaruh yang signifikan, pada uji korelasi juga terlihat adanya korelasi positif antar kedua variabel yang diperoleh Pearson Correlation sebesar 0,589 lebih dari rtabel sebesar 0,339 (Sebagaimana r tabel Product Moment pada df = 32 terlampir).
Cor relations Prestas i Belajar Sis w a 1,000 ,589 , ,000 34 34 Bimbingan Orang Tua ,589 1,000 ,000 , 34 34

Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N

Prestas i Belajar Sisw a Bimbingan Orang Tua Prestas i Belajar Sisw a Bimbingan Orang Tua Prestas i Belajar Sisw a Bimbingan Orang Tua

Gambar Pearson Correlations Besarnya pengaruh atau kontribusi tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan dapat dilihat pada gambar Uji t berikut ini.

INTERPRETASI Bimbingan orang tua sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Memang bimbingan orang tu sangat diperlukan oleh siswa mengingat belajar di sekolah tanpa diulang di rumah kemungkinan lupa atau kurang memahami. Jika orang tua mau dan mampu membimbing anaknya maka anak akan lebih mengingat dan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru di sekolah. Secara umum hal ini sesuai dengan Ketut Sukardi bahwa bimbingan adalah suatu proses bantuan yang diberikan pada seseorang agar mengembangkan potensipotensi yang dimiliki, mengenali dirinya sendiri, mengatasi persoalan sehingga mereka dapat menentukan sendiri jalan hidupnya, secara bertanggung jawab tanpa bergantung pada seseorang atau orang lain. Selain itu bimbingan merupakan suatu proses pemberi bantuan yang terus menerus dan sistematis terhadap individu dalam memecahkan masalah yang dihadapi agar tercapai kemampuan untuk memahami dirinya (self undertanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self aceptaince), kemampuan untuk mencurahkan dirinya (self direction), sesuai dengan potensi atau kemampuan dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat. Bantuan yang diberikan orang-orang yang memiliki keahlian dan pengalaman khusus dalam bidang tertentu yaitu bidang pendidikan. Bimbingan mencakup pertolongan yang diberikan seseorang dengan tujuan untuk menolong orang itu kemana ia ingin atau harus pergi, apa yang ia inginkan dilakukan dan bagaimana cara yang sebaik-baiknya tersebut memecahkan masalah yang timbul dalam kehidupan. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan mengenai bimbingan, yaitu: Bimbingan ialah suatu proses pemberi bentuan secara terus menerus dan sistematik dari pembimbing kepada peserta bimbingan agar tercapai pemahaman dari penerima diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam

mencapai tingkat perkembangan yang optimal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan memperoleh kebahagian hidup (Totok Santoso, 1986:25). Pertolongan dalam bimbingan menurut Slamet (1989:25) antara lain (1) Pertolongan di arahkan peningkatan kemampuan dalam menghadapi hidup dengan segala persoalan, (2) Pertolongan yang kontinyu yang diberikan atas dasar perencanaan dan pemikiran yang ilmiah, (3) Pertolongan yang proses pemecahan dari persoalan yang membutuhkan aktivitas dan tanggung jawab bersama antara yang menolong dan yang ditolong, (4) Pertolongan yang isi, bentuk dan caranya disesuaikan kebutuhan tiap-tiap kasus. Secara spesifik tujuan bimbingan oleh orang tua ataupun pihak tertentu adalah dapat mengetahui keadaan pribadi siswa untuk membantu kesulitan belajar yang mungkin dihadapi. Tujuan bimbingan belajar yang dimaksudkan adalah untuk memperoleh tingkat perkembangan belajar yang optimal bagi setiap siswa sesuai dengan kemampuannya agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Selain itu bimbingan bertujuan untuk membantu siswa agar mencapai perkembangan yang optimal yaitu siswa dapat menemukan dirinya sendiri, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan sehingga dapat mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab, pelajar yang kreatif dan pekerja yang produktif. Drs. Bimo Walgito menyatakan bahwa tujuan utama bimbingan belajar agar masing-masing siswa dapat mengembangkan kemampuan yang ada pada mereka sehingga tercapai prestasi yang optimal. Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan belajar adalah untuk mengenali kemampuan-kemampuan yang terendam dalam diri anak sehingga dapat diharapkan anak tersebut dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang terpendam, jadi

bimbingan belajar sangat penting untuk keberhasilan siswa. Tujuan bimbingan orang tua terhadap anaknya antara lain (1) Untuk mengetahui keadaan pribadi anak yang dianggap mempunyai masalah, (2) Untuk memahami jenis atau sifat kesulitan belajar yang dihadapi, (3) Untuk mengetahui faktor penyebab kesulitan anak dalam pelajaran, (4) Untuk mengetahui baik secara kuratif (penyembuhan) maupun secara prefentif (pencegahan) kelemahan-kelemahan belajar yang dihadapi oleh anak.

Sutrisno Hadi, 1983. Metodologi Research I dan II, Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta. Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Winamo Surahmad, Drs. Msc. 1976. Pengantar Penyelidikan Ilmiah. CV. Jenmars Bandung. Wjs. Poerwodarminto, 1961. Kamus Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Bimo Walgito. 1982. Bimbingan dan Penyuluhan Sekolah. Yayasan penerbit Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta. Dep. Dik. Bud. 1984. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta Jakarta. Dewa Ketut Sukerdi, Drs . 1983 . Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah. Penerbit Indonesia. GBHN, Ketetapan MPR RI No. 11/MPR/1008, Bima Pustaka Surabaya. I. Djumhur dan Moh. Surya. 1975 Bimbingan dan Penyulahan di Sekolah (Guiedence Counseling). Penerbit CV. Ilmu Bandung. Ngalim Purwanto MP, Drs. 1997. Psikologi Pendidikan. Remaja Resdakarya Bandung. Suhartini Arikunto. 1981. Prosedur Penelitian , Rineka Cipta Jakarta. Siti Rahaju Hadi Noto, 1982. Prinsip-prinsip Bimbingan dan Penyuluhan. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.

ISSN 2089-5933

Diterbitkan Oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gresik

E - JURNAL JENDELA PENDIDIKAN

Vol. : 01

No. : I

Hlm. 1-106

Gresik Juni Nopember

ISSN 2089-4554
1

Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah dan Gaya Kognitif terhadap Pemahaman Uniflying Geography

Syaiful Khafid
Email: syaiful.khafid@yahoo.co.id

Abstract: Penelitian ini dilaksanakan untuk membandingkan pemaha-man uniflying geography antara siswa yang diajar dengan menggu-nakan pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang diajar secara konvensional, dan antara siswa bergaya kognitif field independent dan siswa yang bergaya kognitif field dependent yang menggunakan desain kuasi eksperimental. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah mempe-roleh skor signifikan lebih tinggi dalam bidang geografi dari siswa yang diajar secara konvensional. Lagi pula, siswa dengan gaya field inde-pendent ternyata memperoleh skor signifikan lebih tinggi daripada siswa dengan gaya kognitif field dependent, Akan tetapi, penelitian tersebut tidak menunjukkan pengaruh interaksional dari model pembe-lajaran dan gaya kognitif terhadap pemahaman uniflying geography siswa.

Kata kunci: pembelajaran berbasis masalah, gaya kognitif, pemahaman geografi

Geografi sebagai mata pelajaran formal siswa pertama kontak yang dengan membawa realitas dapat

uniflying geography yang dilakukan guru geografi di kelas hanya dan

menekankan

ranah

kognitif

kehidupan

seharusnya

hafalan serta kurang mendorong siswa berpikir kritis dan kreatif (Khafid, penilaian 2008:19) Sudradjat Menurut (dalam

menjadi satu mata pelajaran yang cukup menarik. Bahkan arti penting geografi bagi kehidupan diakui juga oleh tokoh atau pejabat dari

Daldjoeni, 1997:129) permasalahan yang menonjol adalah rendahnya partisipasi siswa dalam mempelajari geografi baik secara intelektual

kalangan

ketentaraan Kalau

maupun dalam

pemerintahan.

kenyataan geografi menjadi kurang menarik sebagian besar siswa tentu ada faktor-faktor penyebab yang menjadikan demikian (Suharyono dan Amien, 1994) sehingga

maupun emosional. Pertanyaan yang berasal dari siswa yang berupa gagasan muncul. atau sanggahan ada diikuti jarang yang oleh

Jikapun jarang

berakibat rendahnya pemahaman geografi (Khafid, 2010). Rendahnya uniflying geography pemahaman disebabkan

berpendapat gagasan siswa lain,

sehingga

sebagian bahwa geografi

merasakan

pembelajaran

paradigma pendidikan konvensional yang menggunakan metode

membosankan, kering, tidak jelas, dan sulit dipahami. Ada rendahnya lima faktor penyebab pemahaman

pembelajaran klasikal dan ceramah, tanpa diselingi aneka metode termasuk

kualitas

pembelajaran

inovatif,

uniflying geography, yaitu: (1) siswa belum mampu menerapkan objek formal studi geografi ketika

adanya penyekat ruang struktural antara guru dan siswa. Pembelajaran

mengkaji fenomena geosfer (objek material studi geografi), (2) siswa kurang memiliki kemampuan untuk merumuskan gagasan sendiri, (3) siswa kurang memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapat

memperhatikan gaya kognitif belajar siswa.

Untuk

meningkatkan

pemahaman uniflying geography diperlukan perubahan paradigma yang digunakan sebagai landasan dalam pembelajaran. Perubahan paradigma bagaimana bagaimana pembelajaran, berfokus pada perlu siswa guru memikirkan belajar dan

kepada orang lain, (4) siswa belum terbiasa menggunakan media peta ketika belajar geografi. dan (5) siswa belum terbiasa pendapat bersaing dengan

menyampaikan

mengelola hanya belajar.

teman yang lain (Khafid, 2008:19). Di samping itu, ada tiga faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa, yaitu: (a) faktor endogen, berasal dari siswa, (b) faktor eksogen,

bukan hasil

Menurut Degeng (2001a) tujuan utama pembelajaran adalah

berasal dari lingkungan, dan (c) faktor jenis gaya kognitif yang

mengembangkan mental yang

kemampuan memungkinkan

digunakan siswa (Syah, 2001:130). Hasil belajar geografi yang rendah tersebut bukan hanya dibebankan kepada siswa, melainkan yang

seseorang dapat belajar. Riyanto (2005:98) mengatakan bahwa

peran guru adalah memberikan kemudahan kepada siswa untuk membangun sendiri pengetahuan dalam benaknya. Guru memberi siswa anak tangga yang

pertama bertanggung jawab adalah guru geografi. Karena itu, guru perlu merefleksi model pembelajaran yang pernah diterapkan untuk mengubah paradigma pembelajaran dengan

membawa siswa ke pemahaman

yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri harus memanjat anak belajar menjadi tangga itu tersebut. sendirilah Jadi, yang

fasilitas yang diperlukan siswa. Selain itu, guru memberikan upaya dan

dukungan meningkatkan

dalam temuan

tujuan

pembelajaran.

perkembangan intelektual siswa. Beberapa kelebihan

Keaktifan siswa menjadi unsur yang sangat penting dalam

penerapan pembelajaran berbasis masalah di antaranya: (1) siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep

menentukan kesuksesan belajar. Sebenarnya target yang harus dipenuhi guru adalah siswa

mampu merekonstruksi sebuah kejadian yang Model

tersebut, (2) melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berikir siswa yang lebih tinggi, (3)

pembelajaran berbasis masalah menurut Mustaji di (2004:73) dalam

penggunaannya

pengembangan tingkat berpikir yang lebih tinggi dalam situasi yang berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana pembelajaran belajar. Pada

pengetahuan berdasarkan dimiliki pembelajaran (4) siswa

tertanam skemata siswa lebih dapat yang sehingga bermakna, merasakan sebab yang

pembelajaran ini, guru bereran mengajukan permasalahan atau pertanyaan, dorongan, memberikan memotivasi dan

manfaat

pembelajaran

masalah-masalah

diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi
3

menyediakan bahan ajar, dan

dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang dipela-jari, (5)

dideskripsikan bagaimana

sebagai seseorang

cara siswa

menjadikan siswa lebih mandiri dan lebih dewasa, mampu

mengolah informasi, sehingga ia dapat mencapai prestasi belajar yang maksimal (Degeng, 2001b:1). Pendapat Atkinson sebagaimana dikutip Lamba (2006:124)

memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain,

menanamkan sikap sosial yang positif di antara siswa, dan (6) pengondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling

membedakan gaya kognitif, yaitu gaya kognitif field independent

berinteraksi terhadap guru dan temannya sehingga pencapaian ketuntasan belajar siswa dapat diharapkan.
Gaya kognitif dapat

(articulated) dan field dependent (global). Siswa yang bergaya kognitif field independent untuk tinggi mempunyai mencapai daripada

kecenderungan prestasi lebih

dikonsepsikan sebagai sikap, pilihan atau strategi yang secara stabil menemukan cara-cara siswa yang khas dalam menerima, mengingat, berpikir, dan memecahkan masalah. Menurut Slameto (2003:162) gaya kognitif adalah variabel penting dalam pilihan-pilihan yang dibuat oleh siswa dalam sejumlah hal berhubungan dengan perkembangan akademik. Jadi, gaya kognitif

kecenderungannya

menghindari

kegagalan. Mereka selalu optimis akan berhasil dan cenderung akan mencapai prestasi yang maksimal. Pendapat Witkin sebagaimana

dikutip Degeng (2001b:3) siswa yang bergaya kognitif field independent cenderung melakukan analisis dan sintesis terhadap informasi yang dipelajari. Sebaliknya, siswa yang bergaya kognitif field dependent

lebih

cenderung

mengantisipasi

tantangan, kegairahan, dan kerja keras. Kemungkinan berhasil atau

kegagalan dengan memilih tugastugas yang mudah dan sifatnya harus banyak bimbingan, serta

gagal dalam konsep gaya kognitif ada dua kecenderungan yaitu

kurang mampu memisahkan hal-hal yang relevan dan tidak relevan dalam suatu situasi. Individu yang mempunyai gaya kognitif field

kecenderungan keberhasilan dan

mendekati kecenderungan

menjauhi kegagalan. Gaya kognitif sebagai gaya usaha untuk berhasil dan menganggapnya dengan sebagai

independent jika dihadapkan pada tugas-tugas bersifat yang analisis kompleks dan

cenderung

dorongan

kecenderungan

melakukannya dengan baik, dan apabila berhasil, antusias untuk

mendekati suatu keberhasilan atau suatu yang berkaitan dengan

melakukan tugas-tugas yang lebih berat lebih baik lagi dan mereka lebih senang untuk bekerja secara mandiri. keinginan Gaya kognitif sebagai

prestasi. Gaya kognitif seseorang individu ditentukan oleh kedua

kecenderungan tersebut. Gaya kognitif memiliki landasan teoretik dan empirik yang kokoh. Perilaku ini telah banyak diamati pada bidang bisnis, pendidikan, dan latar lainnya. Kajian Heller (1992) menyimpulkan karakteristik gaya ada kognitif enam yang

untuk

mengalami

keberhasilan dan peran serta dalam kegiatan di mana pada keberhasilan upaya dan

bergantung kemampuan

seseorang

(Slavin,

1995). Gaya kognitif seseorang dapat dilihat dari sikap dan perilaku, misalnya keuletan, ketekunan, daya tahan, keberanian menghadapi

konsisten ditemukan dalam konteks sekolah yaitu: (1) siswa yang bergaya kognitif field independent lebih

menyukai terlibat dalam situasi ada risiko kegagalan. Sebaliknya, siswa yang bergaya kognitif field memilih

Kajian

tingkat

gaya

kognitif

dalam penelitian ini terbatas pada tingkat gaya kognitif yang dapat dilihat dari perilaku subjek.

dependent

cenderung

tugas-tugas mudah, (2) faktor kunci yang memotivasi siswa bergaya

Misalnya, siswa mudah dipengaruhi oleh lingkungannya ataupun sulit dipengaruhi oleh lingkungan di

kognitif field independent adalah kepuasan intrinsik dari keberhasilan itu sendiri, bukan pada ganjaran ekstrinsik, seperti uang atau

mana siswa itu berada, harapan untuk sukses, bekerja akan gagal, keras, dan

kekhawatiran

prestise. Siswa yang bergaya kognitif field independent akan bekerja keras agar berhasil, (3) cenderung

keinginan memperoleh nilai yang tinggi (Lamba, 2006) Mata pelajaran geografi

membuat pilihan atau tindakan yang realistis, dalam menilai

membangun dan mengembangkan pemahaman siswa tentang variasi dan organisasi spasial masyarakat, tempat, permukaan karakteristik dan lingkungan bumi. yang di

kemampuannya dengan tugas-tugas yang dikerjakan, (4) siswa yang bergaya kognitif field independent menyukai situasi yang dapat menilai sendiri kemajuan dan pencapaian tujuannya, (5) siswa yang bergaya kognitif field independent perspektif waktu jauh ke depan, dan (6) siswa yang bergaya kognitif tidak field selalu

Dengan ini

kompleks

merupakan tantangan bagi siswa, sehingga siswa yang bergaya kognitif field independent akan lebih tekun belajar, bekerja keras, berusaha

semaksimal mungkin, dan tidak membuang-buang waktu karena

independent

menunjukkan rata-rata nilai yang tinggi di sekolah.

merasa tertantang, mereka ingin

berprestasi.

Siswa

yang

bergaya

kognitif field dependent tidak begitu rela untuk melibatkan dalam diri

sepenuhnya

mengerjakan

tugas-tugas yang kompleks, karena takut gagal tidak mau menanggung risiko. Untuk menjadi geografi terpadu (unifying geography) perlu

ditegaskan komponen inti geografi. Matthews dan Herbert (2004:379) mengusulkan empat komponen inti geografi, yaitu: (1) ruang (space), tempat (place), lingkungan Gambar 1. Konsep Uniflying Geography Berdasarkan uraian di atas,

permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan adakah uniflying signifikan sebagai berikut: (1)

(environment), dan peta (maps). Ruang, tempat, lingkungan, dan peta menjadi label geografi. Keempat komponen tersebut mempunyai

perbedaan geography antara

pemahaman secara

pembelajaran

kedudukan yang sama dalam kajian geografi, baik kajian geografi fisik maupun geografi manusia. Demikian juga dapat menjadi dasar konsep untuk disiplin geografi terpadu.

berbasis masalah dan pembelajaran konvensional?, perbedaan (2) adakah uniflying

pemahaman

geography secara signifikan antara siswa yang bergaya kognitif field independent dan siswa yang bergaya kognitif field dependent?, dan (3) adakah interaksi antara metode

pembelajaran terhadap geography?

dan

gaya

kognitif uniflying

pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran variabel konvensional, yaitu (2) gaya

pemahaman

moderator

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menguji signifikansi pemahaman uniflying geography yang berbeda antara masalah konvensional, perbedaan pembelajaran dan (2) berbasis

kognitif yang dikategorikan atas gaya kognitif field independent dan gaya kognitif field dependent, dan (3) variabel terikat yaitu pemahaman uniflying geography. Populasi

pembelajaran menguji uniflying

penelitian ini adalah siswa kelas X SMAN 1 Sidayu semester genap tahun pelajaran 2010/2011 dengan jumlah siswa 280 orang. Sampel penelitian berjumlah 64 siswa

pemahaman

geography secara signifikan antara siswa yang bergaya kognitif field independent dan siswa yang bergaya kognitif field dependent, dan (3) menguji interaksi antara metode pembelajaran terhadap geography dan gaya kognitif uniflying

diambil dengan teknik random yang terdiri atas 32 siswa yang bergaya kognitif field independent dan 32 siswa yang bergaya kognitif field dependent. Instrumen penelitian yang

pemahaman

METODE Jenis penelitian penelitian kuasi ini adalah

digunakan dalam pengumpulan data terdiri atas dua yaitu (a) tes gaya kognitif, dan (b) tes pemahaman geografi. Instrumen gaya kognitif terdiri dari 20 soal yang berbentuk gambar-gambar yang rumit. Dalam gambar-gambar yang rumit itu eksperimental

dengan desain faktorial 2 x 2. Variabel-variabel yang diteliti adalah (1) variabel bebas yaitu metode pembelajaran yang terdiri atas

ditempatkan sederhana.

gambar Sebagai

yang

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis

jawabannya

siswa disuruh mencari gambar yang sederhana itu di dalam gambar yang rumit dengan jalan menebalkan

kovarian (anakova).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa ada perbedaan pemahaman uniflying

gambar yang sederhana tersebut. Tes gaya kognitif dilaksanakan pada minggu pertama bulan Januari 2011. Tes pemahaman uniflying

geography secara signifikan antara pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran konvensional. Temuan ini membuktikan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu ada perbedaan pemahaman uniflying signifikan geographysecara antara pembelajaran

geography dengan menggunakan 40 soal pilihan ganda yang setelah diujicobakan diperoleh soal yang memenuhi syarat valid dan reliabel sebanyak 35 soal untuk setiap soal terdapat jawaban. lima Sebelum kemungkinan dilakukan

pengujian hipotesis, terhadap semua data dilakukan uji prasyarat dengan uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas digunakan uji Uji menggunakan

berbasis masalah dan pembelajaran konvensional siswa kelas X SMAN 1 Sidayu. Jadi, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima.

Kolmogorov-Smirnov. homogenitas

Maksudnya, metode pembelajaran berbasis daripada masalah metode lebih unggul

perangkat analisis Levene Statistic. Dari pengujian ternyata bahwa

pembelajaran

konvensional dalam mempengaruhi pemahaman uniflying geography.

semua kelompok data memenuhi asumsi normalitas dan homogenitas.

geography.

Jadi,

hipotesis

yang

diajukan dalam penelitian yaitu ada interaksi Hasil analisis dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa ada perbedaan pemahaman uniflying pembelajaran terhadap antara dan gaya metode kognitif uniflying

pemahaman

geography siswa kelas X SMAN 1 Sidayu ditolak.

geography secara signifikan antara siswa yang bergaya kognitif field independent dan siswa yang bergaya kognitif field dependent siswa kelas X SMAN 1 Sidayu. Temuan menunjukkan ini

Pengaruh Metode Pembelajaran terhadap Pemahaman Uniflying Geography Hasil analisis dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa ada perbedaan pemahaman uniflying

bahwa siswa yang

bergaya kognitif field independent rerata hasil belajarnya lebih tinggi daripada siswa yang bergaya kognitif field dependent. Jadi, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

grography secara signifikan antara metode pembelajaran berbasis

diterima. Maksudnya, siswa yang bergaya kognitif field independent lebih baik pemahaman geografinya daripada siswa yang bergaya kognitif field dependent. Hasil analisis dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara dan gaya metode kognitif uniflying

masalah dan metode pembelajaran konvensional. Temuan ini

membuktikan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu ada perbedaan pemahaman

.uniflying geography siswa kelas X SMAN 1 Sidayu. Geografi integratif merupakan yang ilmu

pembelajaran terhadap

pemahaman

mempelajari 10

fenomena dimensi

geografis fisik dan

mencakup sosial di

Gambar 2. Geografi dan bidangbidang ilmu bantunya (Haggett,

permukaan bumi dalam perspektif keruangan wilayah untuk pembangunan manusia hidup

2001:766).

supaya

sejahtera. Geografi sebagai disiplin ilmu dan kajian mata pelajaran dengan geografis yang Geografi dan bidang-bidang ilmu bantunya dapat dikuasai oleh siswa, antara lain jika digunakan metode pembelajaran berbasis masalah. Hal ini menurut Khafid (2010:77) karena siswa akan lebih banyak kesempatan untuk berpartisipasi, memberi dan menerima menjelaskan belajar bantuan dan dalam dalam

fenomena

cukup luas, kompleks, dan sulit sehingga menuntut kemampuan

siswa memecahkan masalah untuk dapat memahami fenomena fisik dan sosial secara komprehensif

dengan pendekatan spasial maka guru geografi harus berbasis melakukan masalah

pembelajaran

dengan melibatkan siswa secara aktif. Untuk fisik dapat dan memahami sosial di

meningkatkan kelompok,

fenomena

permukaan bumi dalam perspektif spasial maka siswa perlu mendalami ilmu geografi dan ilmu bantu

meningkatkan motivasi untuk sukses karena sukses tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk kelompoknya. Motivasi yang baik dalam mengerjakan tugas akan

geografi dengan bimbingan guru melalui kajian Gambar 2.

membantu perkembangan belajar, siswa tidak terisolasi, siswa diberi lebih banyak tanggung jawab.

11

Metode pembelajaran berbasis masalah menggunakan level yang lebih tinggi dalam berpikir.

siswa yang bergaya kognitif field independent dan siswa yang bergaya kognitif field dependent. Temuan ini menunjukkan bahwa siswa yang bergaya kognitif field independent rerata hasil belajarnya lebih tinggi daripada siswa yang bergaya kognitif field dependent. Jadi, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

Berinteraksi dengan teman atau orang lain mendorong orang untuk membangun kembali pikiran mereka seperti merangkum, menguraikan, dan menjelaskan. Ketidaksetujuan, jika ditangani dengan baik akan membantu dalam kejernihan

diterima dan siswa yang bergaya kognitif field independent lebih baik pemahaman geografinya daripada siswa yang bergaya kognitif field dependent. Temuan ini memperkuat penelitian McCelland (dalam

berpikir dan meningkatkan untuk membangun kembali pengetahuan yang baru. Mendengarkan perspektif orang lain, terutama yang dalam

kelompok meningkatkan

heterogen, bahwa

kesadaran

Slameto, 2003) yang menyatakan bahwa seorang yang bergaya kognitif field independent lebih baik hasil belajarnya (pemahaman geografi) dibandingkan dengan yang bergaya

banyak cara pandang, menghargai keberagaman sebagaimana tuntutan studi geografi.

Pengaruh

Gaya

Kognitif

kognitif field dependent. Dalam rangka belajar di sekolah gaya kognitif terwujud sebagai daya penggerak siswa, sikap, dan perilaku untuk belajar mengusahakan dan kemajuan yang

terhadap Uniflying Geography Hasil analisis dan pengujian hipotesis perbedaan menunjukkan pemahaman ada

uniflying

geography secara signifikan antara

berprestasi

12

maksimal.

Siswa

yang

bergaya

dengan teman-teman. Siswa yang bergaya kognitif field dependent dengan mudah dipengaruhi oleh lingkungannya, belajar hidupnya. baik lingkungan lingkungan menghindari

kognitif field independent keinginan untuk sukses benar-benar berasal dari dalam diri sendiri. Siswa ini tetap bekerja keras baik dalam situasi bersaing dengan orang lain, maupun dalam bekerja sendiri.

maupun Ia ingin

kegagalan dan bersamaan dengan itu memiliki aspirasi yang tidak

Siswa yang bergaya kognitif field independent untuk memperoleh

realistis, menentukan target yang sebenarnya terlalu rendah atau

prestasi baik, dia mencapai sesuai dengan taraf kemampuannya. Untuk itu, lebih tekun belajar, bekerja keras, ingin berkompetisi sehingga tidak waktu. pernah membuang-buang bersukses

terlalu tinggi untuk mencari jaminan tidak akan mengalami kegagalan. Siswa yang bergaya kognitif field independent memiliki harapan

Pengalamannya

untuk sukses dan bekerja secara mandiri. Mereka oleh tidak mudah

meningkatkan usaha untuk sukses lagi dikemudian hari. Sebaliknya, siswa yang bergaya kognitif field dependent untuk berprestasi baik tidak begitu rela untuk melibatkan diri sepenuhnya dalam mengerjakan tugas belajar yang dihadapinya.

dipengaruhi

lingkungannya

sehingga selalu mau belajar terus sepanjang hayat.

Interaksi Metode Pembelajaran dan Gaya Kognitif terhadap Pemahaman Geography Hasil analisis dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa tidak Uniflying

Pada siswa yang bergaya kognitif field independent berusaha secara maksimal, ukuran mengenai prestasi banyak mereka ditentukan sendiri oleh usaha belajar

ataupun

13

ada

interaksi

antara dan gaya

metode kognitif uniflying yang

terhadap

pemahaman

belajar

pembelajaran terhadap geography.

geografi. Atau dengan kata lain metode pembelajaran berbasis

pemahaman Jadi,

hipotesis

masalah dan metode pembelajaran konvensional membawa suatu akibat terhadap hasil belajar geografi siswa kelas X SMAN 1 Sidayu apapun juga tingkat gaya kognitifnya. Demikian dengan gaya kognitif, gaya kognitif field independent dan gaya kognitif field dependent membawa suatu akibat terhadap pemahaman

diajukan dalam penelitian yaitu ada interaksi pembelajaran terhadap antara dan gaya metode kognitif uniflying

pemahaman

geography siswa kelas X SMAN 1 Sidayu terbukti tidak ada interaksi. Interaksi dalam penelitian ini diartikan kerja sama dua variabel bebas atau lebih suatu dalam variabel

uniflying geography siswa kelas X SMAN 1 Sidayu apapun juga metode pembelajarannya. Belajar pengetahuan adalah dari penyusunan pengalaman

mempengaruhi

terikat. Interaksi terjadi manakala suatu variabel bebas memiliki efekefek yang berbeda terhadap suatu variabel terikat pada berbagai

konkrit, aktivitas kolaborasi, refleksi, dan interpretasi. Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan data primer dan bahan manipulatif pada kritis dan dengan

tingkat dari suatu variabel bebas lainnya. Dalam penelitian ini

terungkap bahwa tidak ada interaksi, ini berarti bahwa metode

penekanan berpikir

keterampilan kompleks.

pembelajaran bekerja sendiri-sendiri memengaruhi pemahaman belajar geografi, demikian juga dengan gaya kognitif bekerja sendiri-sendiri

Karakteristik siswa begitu sangat kompleks meliputi antara lain

intelegensia, sikap, gaya belajar,

14

gaya kognitif, gaya berpikir, dan motivasi. Gaya kognitif hanyalah salah satu bagian dari sekian banyak karakter sehingga kalau interaksi belum tampak dalam penelitian ini, hal itu dapat dimaklumi, masih memerlukan mendalam pengkajian dengan lebih

bagaimana membelajarkan peserta didik di sekolah supaya mereka memiliki kecakapan hidup dan

berkembang majemuknya.

kecerdasan

SIMPULAN DAN SARAN Ada uniflying signifikan perbedaan pemahaman secara

memasukkan lain sebagai atau

geography antara

variabel-variabel variabel mengeliminasi

pembelajaran

kovarian

berbasis masalah dan pembelajaran konvensional siswa kelas X SMAN 1 Sidayu. berbasis daripada Motode masalah metode pembelajaran lebih unggul

variabel-variabel

tersebut dalam penelitian. Demikian juga metode pembelajaran, begitu banyaknya model-model

pembelajaran

pembelajaran dan memang harus diakui bahwa tidak ada ketentuan yang pasti mengenai metode

konvensional dalam mempengaruhi pemahaman uniflying geography. Ada geography pemahaman yang uniflying secara

pembelajaran yang cocok untuk satu mata pelajaran tertentu sehingga dalam tujuan

berbeda

pembelajaran,

signifikan antara siswa yang bergaya kognitif field independent dan siswa yang bergaya kognitif field

pembelajaran dapat tercapai. Proses belajar itu sendiri merupakan suatu sistem pembelajaran yang secara otomatis terjadi dalam diri

dependent di kelas X SMAN 1 Sidayu. Siswa yang bergaya kognitif field belajar independent geografinya pemahaman lebih tinggi 15

seseorang. Tugas pendidik adalah

daripada siswa yang bergaya kognitif field dependent. Tidak metode ada interaksi antara (metode

meningkatkan prestasi akademik, kecakapan sosial, dan kecakapan komunikasi, aktif, siswa menjadi lebih aktivitas belajar

pembelajaran

pembelajaran berbasis masalah dan metode pembelajaran konvensional) dan gaya kognitif (gaya kognitif field independent dan gaya kognitif field dependent) terhadap pemahaman uniflying geography siswa kelas X SMAN 1 Sidayu. Metode

menyenangkan, dan menggairahkan. Guru geografi disarankan untuk memulai pembelajaran karena model dengan berbasis model masalah,

pembelajaran ini

adalah sebagai salah satu metode yang mampu memahami konsep esensial geografi dan memecahkan permasalahan spasial global. Gaya kognitif adalah salah satu karakteristik siswa yang perlu

pembelajaran (metode pembelajaran berbasis masalah dan metode

pembelajaran

konvensional)

membawa suatu akibat terhadap pemahaman belajar geografi apapun juga tingkat gaya kognitif siswa. Gaya kognitif (gaya kognitif field independent dan gaya kognitif field dependent) membawa suatu akibat terhadap geography pemahaman apapun juga uniflying metode

mendapat perhatian guru di sekolah. Siswa yang bergaya kognitif field independent berikanlah tugas-tugas yang menantang untuk namun sukses,

memungkinkan

mulailah dengan tugas-tugas yang sedang. Sebaliknya, siswa yang

pembelajarannya. Pembelajaran berbasis masalah adalah salah satu yang model dapat

bergaya kognitif field dependent berikanlah motivasi terutama dalam hal tujuan belajar di sekolah,

pembelajaran

mulailah dengan tugas-tugas yang

16

mudah. Peningkatan kualitas belajar bukan merupakan kegiatan yang insidental, merupakan melainkan suatu proses harus yang

berkelanjutan. Tidak ada ketentuan yang pasti mengenai metode pembelajaran

yang paling tepat digunakan. Tepat tidaknya suatu metode baru terbukti dari hasil belajar siswa melalui evaluasi yang berkelanjutan dan beragam yang mampu memahami konsep geografi yang satu (uniflying geography) dan fenomena geosfer atau masalah kegeografian melalui pendekatan spasial dengan sudut pandang ekologi manusia dan

regional. Guru geografi disarankan melakukan mencoba pembelajaran penelitian berbagai dengan metode inovatif

17

DAFTAR RUJUKAN Daldjoeni, N. 1997. Pengantar Geografi untuk Mahasiswa dan Guru Sekolah Bandung: Alumni. Degeng, I.N.S. 2001a. Teori Belajar dan Pembelajaran. Malang: LP3 UM. Degeng, I.N.S. 2001b. Karakteristik Belajar Mahasiswa: Kajian Temuan PeneliTian dan Terapannya dalam Rancangan Pembelajaran. Malang: LP3 UM. Heller, P.1992. Teaching Problem Solving Through Cooperative Grouping, Part I:

Kognitif, dan Hasil Belajar Geografi. Jurnal Ilmu Pendidikan, 17 (1): 73-78. Lamba, H.A. 2006. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Model STAD dan Gaya Kognitif terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa SMA. Jurnal Ilmu Pendidikan, 13 (2): 122-128. Matthews, J.A. and Herbert, D.T. 2004. Unifying Geography Common Heritage, Shared Future. London: Routledge.

Mustaji. 2004. Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik. Surabaya: Unesa Univer-sity Press.

Group versus Individual Problem Solving. New York: McGraw-Hill. Haggett, P. 2001. Geography A Global Synthesis. London: Prentice Hall.
Khafid, S. Rancangan Pendekatan 2003. Pengembangan Pembelajaran dengan

Nur, M. dan Wikandari, P.R. 1999. Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Unesa University Press. Riyanto, Y. 2005. Paradigma Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning Research, Theory and Practice. Boston: Allyn and Bacon. Suharyono dan Amien, M. 1994. Pengantar Filsafat Geografi. Jakarta: Dirjen. Dikti. Depdikbud. Suparno, P. Konstruktivisme Yogyakarta: Kanisius. Syah, M. 2001. Psikologi Belajar. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997. dalam Filsafat Pendidikan.

Konstruktivistik pada Mata Pelajaran Geografi. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: PPS Teknologi Pembelajaran Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Khafid, S. 2007. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw dan Gaya Kognitif terhadap Prestasi Belajar Geografi Siswa Kelas X SMAN 1 Sidayu. Jurnal Forum Pendidikan Pengetahuan, II (04): 31-40. & Ilmu

Khafid, S. 2008. Peningkatan Pemahaman Konsep Geografi melalui Implementasi Ayat-Ayat Pembelajaran Kontekstual Siswa SMAN 1 Sidayu. Jurnal Kajian Teori dan Praktik Kependidikan, 35 (1): 17-28. Khafid, S. 2010. Pembelajaran Kooperatif Model Investigasi Kelompok, Gaya

18

ISSN 2089-4554

19

Diterbitkan Oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gresik

E JURNAL JENDELA PENDIDIKAN

Vol. : 01

No.: I

Hlm. 1-106

Gresik Juni Nopember

ISSN 2089-4554

IKLIM KERJA LEMBAGA DI PONDOK PESANTREN AL-FUTUHIYAH

20

GENDONGKULON-BABAT LAMONGAN

Sri Sundari *) Abstrak, Iklim kerja yang kondusif adalah suatu kondisi, keadaan atau suasana kerja yang dirasakan menyenangkan oleh setiap individu yang ada dalam lembaga sehingga orangorang di dalamnya selalu terdorong untuk terlibat secara produktif guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Lembaga penyelenggara pendidikan salah satunya memiliki fungsi dalam usaha-usaha mengembangkan pendidikan dalam rangka ikut dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan iklim kerja di Pondok Pesantren Al Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan fokus penelitian adalah iklim kerja di Pondok Pesantren Al Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan. Data dikumpulkan dengan kuesioner selanjutnya data ditampilkan dengan tabel dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim kerja organisasi yang meliputi, suasana kerja, orientasi nilai, citra diri, gaya kepemimpinan, daya dorong, daya tanggap, dan sistem ganjaran dirasakan nyaman, kondusif, penuh keakraban dan kekeluargaan, saling menghargai oleh pegawainya, dan terlaksananya kepemimpinan dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian diharapkan pimpinan pesantren dapat mempertahankan dan meningkatkan iklim kerja yang ada khususnya suasana kerja, orientasi nilai, gaya kepemimpinan, daya dorong, daya tanggap, ganjaran dan meningkatkan citra diri orgaisasi di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan.

Kata Kunci : Iklim Kerja

PENDAHULUAN Peningkatan prestasi kerja dalam suatu lembaga merupakan tujuan yang diinginkan oleh lembaga. Sebagai satu kesatuan yang kompleks dimana di dalamnya terdapat sekelompok manusia yang memiliki kesamaan tujuan dan kepentingan, mereka kurang bekerja secara produktif jika tidak disertai dengan adanya iklim kerja yang menyenangkan. Lembaga sebagai suatu proses, di dalamnya terdapat kerjasama antara pimpinan dan pegawai dalam pencapaian tujuan lembaga. Kerjasama dapat tercipta dengan baik, apabila setiap personil yang ada baik pimpinan maupun staf

mempunyai pandangan bahwa Keseluruhan lebih berarti dan bagian. Sebagai faktor utama dalam lembaga, kelangsungan hidup dan keberhasilan lembaga bergantung pada manusia yang berperan dibalik alat-alat ataupun sumber-sumber daya lainnya. Oleh sebab itu, seharusnyalah lembaga sebagai wadah manusia beraktifitas mempunyai tanggungjawab penuh untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki serta selalu menciptakan iklim kerja yang kondusif dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

21

Lingkungan tempat bekerja merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai di dalamnya, walaupun ada faktor-faktor lain yang menentukan maupun mempengaruhinya. Orang-orang yang berada di dalam lembaga, tempat bekerja haruslah mampu menciptakan iklim kerja yang memberikan rasa aman, pengakuan dan penghargaan serta menjanjikan kepuasan kerja kepada anggotanya sehingga nanti pada akhirnya mampu berkinerja dengan baik. Iklim lembaga yang menyenangkan akan tercipta, bilamana hubungan antar manusia (human relationship) berkembang dengan harmonis. Lingkungan kerja yang harmonis yang mendukung lembaga dibutuhkan oleh orang-orang dalam lembaga baik atasan maupun bawahan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Stoner dalam Mulyono (1993:88) iklim kerja / suasana lembaga (work situation characteristic) adalah faktor lingkungan kerja individu. Di dalam lembaga hendaknya timbul dinamika kerjasama. Kerja sama ini adalah bagian yang vital dalam kehidupan berlembaga. Adanya interaksi dan proses kerja sama anggota satu dengan anggota lainnya, antara bagian satu dengan bagian yang lainnya maupun antara atasan dan pegawainya akan menimbulkan pemahaman terhadap suatu kondisi dan lingkungan kerja sehingga mudah untuk mencrima informasi dan arus gagasan (ide) dalam melakukan kerjasama guna mencapai tujuan. Pentingnya kebebasan berinteraksi dan menjalin hubungan dalam lembaga untuk menciptakan iklim kerja yang kondusif telah dikemukakan oleh Stoner (dalam Mulyono, 1993:67) yang mana iklim kerja yang permisifdan kreatifakan

terpupuk apabila para individu mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan para anggota kelompoknya sendiri maupun dengan kelompok-kelompok kerja lainnya. Interaksi semacam ini mendorong terjadinya pertukaran informasi yang bermanfaat, arus gagasan yang bebas dan perspektif yang sehat mengenai masalah yang ada. Berkenaan dengan iklim kerja lembaga menurut Stoner (1982) ada dua golongan yang mempengaruhi situasi pekerjaan, yaitu lingkungan kerja langsung di dalamnya termasuk sistem imbalan lembaga dan kebijakan serta tindakan lembaga. Sedangkan Cribbin, (1981) menjelaskan salah satu unsur iklim kerja lembaga yang kondusif adalah gaya kepemimpinan. Dengan demikian iklim kerja yang kondusif adalah suatu kondisi, keadaan atau suasana kerja yang dirasakan menyenangkan oleh setiap individu yang ada dalam lembaga sehingga orang-orang di dalamnya selalu terdorong untuk terlibat secara produktif guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, Pondok Pesantren AlFutuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan memiliki fungsi yang urgen dalam usaha-usaha mengembangkan pendidikan di daerah dalam rangka ikut dalam meningkatkan pendidikan daerah. Secara keseluruhan keadaan iklim kerja di lingkungan Pondok Pesantren AlFutuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan dapat dikatakan kondusif. Hal ini bisa dilihat bagaimana masing-masing unit kerja begitu berhati-hati dalam menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh. Contohnya, informasi

22

internal lembaga benar-benar dijaga kerahasiaannya, meskipun berusaha mendapatkannya dengan prosedur yang benar. Setiap unit menjalankan tugasnya dengan sistem birokrasi lembaga yang baik sesuai dengan fungsi tiap-tiap unit/bagian yang terdapat pada struktur lembaga. Dengan kata lain tiap-tiap unit/bagian bekerja benar-benar mengikuti aturan sistem pintu ke pintu (door to door). Begitu juga hubungan antar rekan kerjanya yang terjalin dengan baik antara satu dengan yang lain, meskipun masih terdapat hubungan yang kurang baik.

Penelitian ini berupa penelitian deskriptif karena penelitian ini bertujuan untuk mencatat, mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan keadaan-keadaan yang ada tentang objek yang akan diteliti (Mardalis, 1990: 26). Dengan melihat variabel yang ada di dalam penelitian ini, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.

Populasi dan Sampel Penelitian Populasi Populasi sebagai keseluruhan subjek yang diteliti yang didapat dan suatu informasi tentang masalah penelitian yang akan dilakukan (Arikunto. 1992:102). Latunussa (1988:11) menjelaskan populasi adalah sekumpulan objek yang diteliti. Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah seluruh staf di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan yang berjumlah 67 orang. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian Rancangan penelitian pada dasarnya merupakan keseluruhan proses dan penentuan secara matang hal-hal yang dilakukan untuk dijadikan pedoman selama pelaksanaan penelitian. Suatu penelitian diselenggarakan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan metode penelitian yang sesuai. Berkaitan dengan metode penelitian, Surakhmad (1982: 131) mengemukakan tiga macam metode penelitian yaitu : historis, deskriptif dan eksperimen. Ditinjau dan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan kejadian-kejadian masa lalu dan sekarang dengan melihat variabel yang ada.

Tabel 1 Jumlah Staf Pondok Pesantren AlFutuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan No 1. 2. 3. 4. Sub. Bagian Penasehat Penanggungjawab Pimpinan Staf Pengajar Jumlah 4 1 4 25

23

5. 6. 7. 8. 9.

Tata Usaha Dewan Pengurus Bendahara Sekretaris Pegawai

5 10 2 2 8 67

penelitian populasi, selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-50 atau lebih. Dengan melihat penjelasan di atas untuk mendapatkan sampel yang representatif maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel total. Dengan kata lain semua populasi akan menjadi subjek penelitian.

Jumlah

Sumber Pondok Pesantren AI-Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan

Sampel Penelitian Tujuan pengambilan sampel penelitian dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan tenaga, waktu dan biaya, namun sampel harus mewakili atau mencerminkan seluruh populasi yang menjadi objek penelitian. Definisi sampel penelitian banyak dikemukakan oleh para ahli, Arikunto (1996:117) menjelaskan sampel adalah Sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sedangkan Hadi (1997:21) mengemukakan bahwa sampel adalah Sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel penelitian ini diambil acuan sebagai wakil populasi yang representatif. Ukuran besarnya sampel yang pasti memang tidak ada, namun untuk menjaga validitas data penelitian harus mempunyai pedoman tertentu. Seperti yang dikemukakan oleh Arikunto (1996: 120) Apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil seluruhnya, sehingga merupakan

Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan oleh seorang peneliti dalam pengumpulan data. Instrumen penelitian yang digunakan untuk menyimpulkan data dari lapangan untuk variabel iklim kerja lembaga adalah angket. Alasan menggunakan angket adalah karena pertimbangan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya.

Prosedur Pengembangan Instrumen Berkaitan dengan pengembangan instrumen, maka langkah berikutnya yaitu menyusun instrumen masing-masing variabel yang berpedoman pada indikator yang disajikan pada jabaran-jabaran. Kemudian jabaran masing-masing variabel ditetapkan dan disajikan dalam bentuk matrik jabaran variabel, sub variabel dan indikator penelitian. Sebaran nomer item instrumen penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.:

Tabel 2

24

Jabaran variabel, sub variabel, indikator penelitian san nomor item dalam instrumen penelitian (sebelum uji coba)
Variabel Iklim kerja lembaga Sub Variabel a. Suasana kerja Indikator a. Suasana kerja yang hangat, ramah, santai dan penuh kesungguhan b. Saling menghargai c. Saling menolong d. Terbuka terhadap gagasan baru No. Item 1,2,3

4 5 6

b. Orientasi nilai

a. Mengerjakan yang baik-baik b. Kerjasama dengan orang lain c. Perlakuan etis d. Memperbaiki prestasi e. Memutuskan tujuan unit atau lembaga

7 8 9 10 11

c. Citra diri

a. Cakap b. Percaya diri c. Sangat konservatif dan hati-hati

12 13 14

d. Gaya kepemimpina n

a. Konsultatif dan partisipatif b. Berorientasi pada pemecahan masalah bersama c. Memberikan pengarahan dan pengendalian d. Berorientasi pada manusia e. Banyak membantu dan memudahkan f. Adil g. Inovatif h. Berorientasi pada kebaikan dan terpusat pada perspektif jangka pendek dan jangka panjang

15,16 17 18 19 20 21 22 23,24 25,26,27,28

e. Daya tolak atau daya dorong

a. Tumbuh sesuai rencana b. Mempertahankan kedudukan c. Menekan inovasi dan teknologi d. Menekannkan sumber daya manusia dan manajemen

29 30

25

Variabel

Sub Variabel

Indikator

No. Item 31,32,33 34,35

f. Daya tangkap

a. Kecepatan lembaga yang tinggi b. Tidak tergesa-gesa c. Direncanakan

36 37 38

g. Ganjaran

a. Ganjaran materi 1. Gaji 2. Tunjangan b. Ganjaran psikologis 1. Pengakuhan dan penghargaan 2. Perhatian dan tanggung jawab

39 40,41,42,43

44 45

26

Analisis Data Analisis data merupakan bagian metode penelitian yang sangat penting dalam mencari makna data untuk memecahkan masalah penelitian. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Untuk menentukan teknik analisis yang tepat, maka harus memperhatikan tujuan penelitian dan data yang tersedia. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif. Teknik ini digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan kondisi yang ada/tingkat iklim kerja lembaga yang dirasakan oleh pegawai di Lingkungan Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan (tujuan umum) serta keadaan/tingkat lingkungan kerja langsung, orientasi nilai, citra diri, gaya kepemimpinan, daya dorong, daya tanggap dan pemberian kompensasi pegawai di Lingkungan Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan (tujuan khusus). Adapun langkah-langkah yang perlu dilaksanakan adalah :

Katagori kelas Sangat tinggi Tinggi Cukup

Penafsiran skala sikap Selalu Sering Kadangkadang Tidak pernah

Skor interval 3,24 4 2,6 3,25 1,76 2,5

Kurang

1 1,75

Menentukan besarnya persentase Untuk menyatakan kondisi masing-masing variabel dengan rumus : %= Keterangan : f = Frekuensi N = Jumlah subyek

HASIL PENELITIAN

Tabel 4 Deskripsi Data Variabel Iklim Kerja Lembaga

Menentukan kualifikasi Langkah ini dilakukan untuk menentukan kualifikasi penilaian terhadap variabel penelitian, yang harus ditentukan terlebih dahulu lebar kelas intervalnya. Sedangkan untuk menentukan lebar kelas interval (i) adalah rentang (R)= skor tertinggi dikurangi dengan skor terendah, dibagi dengan banyaknya interval (k). Dengan demikian rumus untuk menentukan panjang interval (i) adalah :
No. Kualifikasi

B. Kelas interval 131 160 101 130 71 100 40 70

f 25 39 3 67

% 37,31 58,20 4,47 100

1. Sangat tinggi 2. 3. 4. Tinggi Cukup Kurang Total

Banyaknya interval/kategori kelas dalam penelitian ini ditetapkan berjumlah 4 yaitu: Tabel 3 Kategori dan Penafsiran Skala Sikap

Berdasar hasil pengolahan data variabel iklim kerja lembaga di Pondok Pesantren AlFutuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan menunjukkan bahwa secara umum berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 58,20% atau sebanyak 39 dari 67 responden menyatakan bahwa iklim kerja lembaga di Pondok Pesantren Al- Futuhiyah 27

Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kossen (1986) menjelaskan bahwa hubungan manusiawi merupakan tanggungjawab setiap orang dalam lembaga. Manajer mempunyai tanggung jawab utarna untuk menegakkan iklim hubungan manusiawi yang menyenangkan, demikian pula para anggota (sub ordinal) dan para karyawan operasional lembaga juga mempunyai pengaruh terhadap iklim dan seyogyanya berbagi tanggungjawab.

Tabel 6 Deskripsi Data untuk Sub Variabel Orientasi Nilai


No. Kualifikasi D. Kelas interval 16,26 20 12,51 16,25 8,76 12,50 5 8,75 f 12 43 12 67 % 17,91 64,17 17,91 100

1. Sangat tinggi 2. 3. 4. Tinggi Cukup Kurang Total

Tabel 5 Deskripsi Data untuk Sub Variabel Suasana Kerja


No. 1. 2. 3. 4. Kualifikasi Sangat tinggi Tinggi Cukup Kurang Total C. Kelas interval 16,26 20 12,51 16,25 8,76 12,50 5 8,75 f 8 51 8 67 % 11,95 76,12 11,95 100

Tabel 5 menunjukkan bahwa secara umum suasana kerja di Pondok Pesantren AlFutuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 76,12% atau sebanyak 51 dan 67 responden menyatakan bahwa suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori tinggi. Sedangkan 8 sponden dengan persentase 11,95% menyatakan bahwa suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi dan 8 orang reponden lainnya dengan persentase sebesar 11,95% menyatakan bahwa suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan berada dalam kategori cukup.

Hasil pengolahan data untuk sub variabel orientasi nilai dengan menggunakan teknik persentase menunjukkan bahwa secara umum orientasi nilai di Pondok Pesantren AlFutuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 64,17% atau sebanyak 43dari 67 responden menyatakan bahwa orientasi nilai pegawai di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori tinggi. Sedangkan masingmasing 15 responden dengan persentase sebesar 17,91% menyatakan bahwa orientasi nilai di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi dan kategori cukup

Tabel 7 Deskripsi Data untuk Sub Variabel Citra Diri

No. 1. 2. 3. 4.

Kualifikasi Sangat tinggi Tinggi Cukup Kurang

E. Kelas interval 9,76 12 7,51 9,75

f 17 10

% 25,37 14,93 44,78 14,93

5,26 7,50 30 3 5,25 10

28

Total

67

100

Tabel 7 menunjukkan bahwa secara umum citra diri di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori cukup dengan persentase sebesar 44,80% atau 30 dari 67 responden menyatakan bahwa citra din lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori cukup. Sedangkan 17 responden dengan persentase sebesar 23,90% menyatakan bahwa citra diri lembaga berada dalam kategori sangat tinggi, 10 responden dengan persentase sebesar 14,92% menyatakan berada dalam kategori tinggi dan 10 responden dengan persentase yang sama sebesar 14.92% menyatakan berada pada kategori kurang

pegawai merasa puas dengan gaya pemimpinan atasannya, mereka merasa diperhatikan, diarahkan dan dilibatkan dalam setiap pemecahan masalah di dalam lembaga, selain itu mereka merasa dimudahkan dan dibantu oleh atasan. Sedangkan 23 responden dengan persentase sebesar 34,32% menyatakan bahwa gaya kepemimpinan atasan berada dalam kategori tinggi dan 8 responden dengan prentase sebesar 11,94% menyatakan dalam kategori cukup. Semakin efektif gaya kepemimpinan yang dilakukan maka akan mempermudah pencapaian tujuan lembaga yang ditetapkan.

Tabel 8 Deskripsi Data untuk Sub Variabel Gaya Kepemimpinan Tabel 9 Deskripsi Data untuk Sub Variabel Daya Dorong
No. 1. 2. 3. 4. Kualifikasi Sangat tinggi Tinggi Cukup Kurang Total F. Kelas interval 40 48 31 39 22 30 12 21 f 36 23 8 67 % 53,73 34,33 11,94 100 No. Kualifikasi G. Kelas interval 19,51 24 15,01 19,50 10,51 15,00 6 10,50 f 37 23 7 67 % 55,22 34,33 10,45 100

1. Sangat tinggi 2. 3. 4. Tinggi Cukup Kurang Total

Tabel 8 menunjukkan bahwa secara umum gaya kepemimpinan di pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 53,73% atau sebanyak 36 dari 67 responden menyatakan bahwa gaya kepemimpinan di kantor Dinas Penididikan Kabupaten Situbondo berada dalam kategori sangat tinggi. Ini menunjukkan bahwa para

Tabel 9 menunjukkan bahwa secara umum daya dorong di Pondok Pesantren AlFutuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 55,22% atau 37dari 67 responden menyatakan bahwa daya dorong lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah 29

Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan 23 responden dengan persentase sebesar 34,32% menyatakan bahwa daya dorong lembaga berada dalam kategori tinggi dan 7 responden dengan persentase 10,44% menyatakan bahwa daya dorong lembaga berada dalam kategori cukup.

No.

Kualifikasi

I. Kelas interval 19,51 24 15,01 19,50 10,51 15,00 6 10,50

f 31 21 15 67

% 46,27 31,34 22,39 100

1. Sangat tinggi 2. 3. 4. Tinggi Cukup Kurang Total

Tabel 10 Deskripsi Data untuk Sub Variabel Daya Tanggap

No. 1. 2. 3. 4.

Kualifikasi Sangat tinggi Tinggi Cukup Kurang Total

H. Kelas interval 9,76 12 7,51 9,75 5,26 7,50 3 5,25

f 57 9 1 67

% 85,07 13,43 1,50 100

Tabel 4.11 menunjukkan bahwa secara umum pemberian ganjaran di Pondok Pesantren AlFutuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 46,27% atau sebanyak 31 dan 67 responden menyatakan bahwa pemberian ganjaran di Pondok Pesantren AlFutuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan 21 reponden dengan persentse sebesar 31,34% menyatakan pemberian ganjaran/kompensasi berada dalam kategori tinggi dan 15 responden dengan persentase 22,39% menyatakan pemberian ganjaran berada dalam kategori cukup.

Tabel 10 menunjukkan bahwa secara umum daya tanggap lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 85,07% atau 57 dari 67 responden menyatakan bahwa daya tanggap lembaga berada dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan 9 responden dengan persentase sebesar 13,43% menyatakan bahwa daya tanggap lembaga berada dalam kategori tinggi dan 1 responden dengan persentase sebesar 1,50% menyatakan berada pada kategori cukup.

KESIMPULAN

Tabel 4.11 Deskripsi Data untuk Sub Variabel Ganjaran

1. Iklim kerja organisasi di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulo Babat Lamongan para pegawainya merasa nyaman dengan suasana kerja, kepemimpinan dan ganjaran. 2. Suasana kerja di kantor menunjukkan para pegawainya benar-benar merasakan adanya suasana kerja yang penuh keakraban, saling menghargai, saling menolong dan penuh kekeluargaan. 3. Orientasi nilai menunjukkan bahwa para pegawai memiliki rasa tanggungjawab, disiplin, berusaha meningkatkan prestasi kerja dan loyal. 4. Citra diri menunjukkan bahwa kurangnya kecakapan pegawai dalam bekerjasama dengan orang dan luar organisasi. 30

5. Gaya kepemimpinan menunjukkan bahwa pegawainya merasa pimpinan telah melaksanakan kepemimpinan dengan baik. 6. Daya dorong menunjukkan bahwa pegawai dalam menjalankan tanggungjawabnya penuh dengan perencanaan, dapat memanfaatkan teknologi dengan baik dan mau mengikuti peraturan. 7. Daya tanggap menunjukkan para pegawainya bekerja sesuai dengan perintah atasan tanpa cenderung menunda pekerjaan. 8. Sistem menunjukkan para pegawai diperhatikan dan diberi kemudahan untuk kesejahteraannya.

Arikunto, S. 1996. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Burhanuddin. 1994. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Cribbin, J.J. 1981. Kepemimpinan Strategi Mengefektifkan Organisasi. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo. Faisal, S. 1981. Dasar dan Teknik Menyusun Angket. Surabaya : Usaha Nasional. Furchan. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional. Hadi, S. 1997. Statistik Jilid I. Yogyakarta : Andi Offset. Hakim. 1994. Pengantar Sederhana Penelitian Pendidikan. Jakarta : Proyek Pengembangan Pendidikan Guru. Hamzah, R. 1990. Kepemimpinan Strategi Mengefektifkan Organisasi. Jakarta : Gramedia. Handoko. 1987. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia Jilid 2. Yogyakarta : BPFE. Indrawijaya. 1986. Pertumbuhan dan Pengembangan Organisasi. Bandung : Sinar Baru. Kamalluddin. 1982. Manajemen. Jakarta : Dirjen Dikti P2LPTK.

DAFTAR PUSTAKA

Adair, J. 1993. Membina Colon Pimpinan (Sepuluh Prinsip Pokok). Jakarta : Bumi Aksara. Albert. K. 1983. Pengemhangan Organisasi. Bandung : PT. Angkasa. Anwar. 1985. Pengembangan Organisasi. Bandung : PT. Angkasa. Arikunto, S. 1992. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Kossen, S. 1986. Aspek Manusia Dalam Organisasi. Bandung : Rineka Cipta. Latif, A.G. 1988. Memberikan Pimpinan dengan Kerja Sama. Jakarta : UI Press. Latunussa. 1988. Penelitian Pendidikan, Suntu Pengantar. Jakarta : P2LPTK. Mardalis. 1990. Mefodologi Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara.

31

Marzuki. 1989. Metodologi Penelitian. Jakarta : Militon. Muhyadi. 1989. Organisasi Teori, Struktur dan Proses. Jakarta : Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Mulyono, M. 1993. Penerapan Produktivitas dalam Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara - UI. Owens. 1981. Organizational Behaviour in Education. Boston : Allyn Bacon. Prayitno. 2003. Korelasi Antara lklim Organisasi Dan Motivasi Berprestasi Dengan Unjuk Kerja Guru Pada Sekolah Menengah Umum Negeri Di Kabupaten Pasuruan. Tesis tidak diterbitkan. Purwanto, N. 1988. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta : CV. Remaja Karya. Santoso. 2001. Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Sari, D.N. 2003. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Rangka Penciptaan lklim Kerja Organisasi Di Sekolah Dasar Negeri Se-Kecamatan Sukun Kota Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Sari, L. 2000. Iklim Organisiasi Hubungannya Dengan Unjuk Kerja Dosen Dalam Mengajar Di IKIP Budi Utomo Malang. Tesis tidak diterbitkan. Soepardi. 1988. Dasar-DasarAdministrasi Pendidikan. Jakarta : Dirjen Dikti P2LPTK.

32

ISSN 2089-5933

Diterbitkan Oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gresik

PENDIDIKAN KARAKTER:
Vol. e- JURNAL JENDELA PENDIDIKAN 01 No. I Hlm. 1 - 106
1

Gresik Juni Nopember

ISSN
2089-5933

WACANA KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA

Soesetijo *)

Abstrak: pendidikan karakter menjadi perhatian serius untuk diimplementasikan di sekolah. Fenomena menunjukkan bahwa banyak keluhan masyarakat tentang menurunnya tata krama, etika dan kreativitas siswa, karena melemah-nya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sebagai langkah awal pendidikan karakter harus dimulai sejak dini, yakni pada jenjang pendidikan sekolah da-sar. Pada jenjang sekolah dasar, ini porsinya mencapai 60 persen dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Menurut Wamendiknas telah terdapat 5 dari 8 potensi peserta didik yang implementasinya sangat lekat dengan tujuan pembentukan karakter. Kelekatan inilah yang menjadi dasar hukum begitu pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter. Pendidikan budaya dan karakter bangsa ini memang harus dipraktekkan, titik beratnya bukan pada teori. Pendidikan budaya dan karakter bangsa seperti kurikulum yang tersembunyi. Bukan berarti akan diterapkan secara teoritis, tetapi menjadi penguat kuri-kulum yang sudah ada, yaitu dengan mengimplementasikanya dalam mata pelajaran dan keseharian peserta didik. Permasalahannya, mayoritas guru be-lum punya kemauan untuk melaksanakan. Kesadaran sudah ada, hanya saja belum menjadi sebuah aksi nyata. Oleh karena itu diperlukan buku pinter se-bagai acuan untuk implementasi pendidikan karakter di lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi serta perlu segera disosialisasikan grand design pendidikan karakter.

Kata-kata kunci: pendidikan karakter, wacana konsep, implementasi

Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. *)Soesetijo, staf pengajar Universitas Gresik.\ Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang pendidikan selalu mengacu pada tujuan pendidikan nasional tersebut di atas. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard
3

University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000 dalam Mendiknas, 2010) ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skills). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skills dan sisanya 80 persen soft skills. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skills daripada hard skills. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) telah menyusun grand design pendidikan karakter bangsa. Ditargetkan, seluruh satuan pendidikan telah mengembangkannya pada tahun 2014.(Media Indonesia.com, 15-9-2010). Data dan fakta menunjukkan, bahwa dari hasil penelitian psikologi sosial menun-jukkan bahwa orang yang sukses di dunia ditentukan oleh peranan ilmu sebesar 18%. Sisanya, 82% dijelaskan oleh keterampilan emosional, soft skills dan sejenisnya.(Elfindri, 2010). Ini menunjukkan bahwa soft skills memberikan kontribusi bagi keberhasilan karir seseorang. Wacana pendidikan karakter pada akhir-akhir ini memperoleh perhatian

yang cukup intens dari pemerhati pendidikan. Pemerintah menyatakan, bahwa pendidikan budaya dan karakter bangsa selama ini telah diterapkan dan menjadi kesatuan dengan kurikulum pendidikan yang sesungguhnya telah dipraktekkan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Menurut Direktur Pembinanan SMP, Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Didik Suhardi (KOMPAS.Com, Jumat, 15 Januari 2010) pendidikan budaya dan karakter bangsa ini memang harus dipraktekkan, titik beratnya bukan pada teori. Pendidikan budaya dan karakter bangsa seperti kurikulum yang tersembunyi.

(kewarganegaraan), (7) self-discipline (disiplin diri), (8) caring (peduli), dan (9) perseverance (ketekunan). Penyelenggaraan pendidikan nasional tidak semata mentransfer ilmu dan pengetahuan serta teknologi kepada peserta didik. Lebih dari itu, pendidikan harus bisa menumbuhkan semangat kebangsaan sebagai warga bangsa dengan karakter ke-Indonesia-an.(Rumapea, 2010). Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdsarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Konsep Pendidikan Karakter


Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.(Suparlan, 2010). Pendidikan karakter meliputi 9 (sembilan) pilar yang saling kait mengkait, yaitu: (1) responsibility (tanggung jawab), (2) respect (rasa hormat), (3) fairness (keadilan), (4) courage (keberanian), (5) honesty (kejujuran), (6) citizenship
4

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses

pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan di lembaga pendidikan sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Dr. Anita Lie (2010) syarat menghadirkan pendidikan karakter dan budaya di sekolah harus dilakukan secara holistik. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam
5

konteks totalitas proses psikologis dan social-kultural tersebut dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan danimplementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada 13 ayat 1 menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri dari atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik. Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga

belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relative tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasai permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehati-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan

pengalaman nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanaan dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain mengikuti, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.

Pendidikan Karakter yang Efektif


6

Menurut Lickona, dkk. (2007) terdapat 11 pinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjangbagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan

sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik. Dalam pendidikan karakter penting sekal dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihansebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilainilai dimaksud mendefinisikan-nya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah seharihari, men-contohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standarstandar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti. Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai7

nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup. Sekolah yang telah berkomitmen untuk mengembangkan karakter melihat diri mereka sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala sesuatu yang berlangsung di sekolah mempengaruhi perkembangan karakter siswa. Pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa yang sering disebut dengan istilah kurikulum tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa dengan guru, staf sekola lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik, academic curriculum (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan program-program ekstrakurikuler, extracurricular programs (tim olahraga, klub, proyek
8

pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah). Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan efektivitas kemitraan dengan merekrut bantuan dan komunitas yang lebih luas (bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan, pemerintah, dan media) dalam mempromosikan pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang tua ini dalam banyak hal seringkali tidak dapat berjalan dengan baik karena terlalu banyak menekankan pada penggalangan dukungan financial, bukan pada dukungan program. Berbagai pertemuan yang dilakukan tidak jarang terjebak kepada tawar menawar sumbangan, bukan bagaimana sebaiknya pendidikan karakter dilakukan bersama antara keluarga dan sekolah. Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian: (1) karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai?, (2) pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong pengembangan karakter?, (3) Karakter siswa: sejauh mana siswa memanifestasikan pemahaman,

komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter untuk mendapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai kemajuan.(http://www.mediaindonesia.c om, diakses tanggal 14 September 2010). Menurut Doni Koesoemo A (2010) pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman. Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini
9

mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan modal kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak hanya berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan Negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga Negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, Negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita

hanya akan bersifat parsial, inkonsisten dan tidak efektif.

diupayakan di berbagai negara seperti Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Indonesia.

Implementasi Pendidikan Karakter di Lembaga Pendidikan


Pendidikan karakter yang bakal diterapkan di sekolah-sekolah tidak diajarkan dalam mata pelajaran khusus. Namun, pendidikan karakter tersebut akan diintegrasikan dengan mata pelajaran yang sudah ada serta melalui keseharian pembelajaran di sekolah. Menurut Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal, dikemukakan bahwa pendidikan karakter yang didorong pemerintah untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah tidak akan membebani guru dan siswa. Sebab, hal-hal yang terkandung dalam pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam kurikulum, tetapi selama ini tidak dikedepankan dan diajarkan secara tersurat.(http://bukuohbuku.wordpress.c om, 1 September 2010). 1. Pengalaman di Taiwan Taiwan sebagai salah satu Negara yang memandang kemajuan pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi hasilnya dirasakan tanpa meningkatkan harkat dan martabat dari manusia. Moral menjadi salah satu tuntutan yang ingin dilengkapi seiring dengan kemajuan dari ranah pengetahuan. Upaya ini dilakukan melalui berbagai pendekatan, diantaranya adalah dengan membentuk komite disiplin dan moral di bawah Kementerian Pendidikan. Komite disiplin kemudian mencoba menetapkan berbagai standar etika yang mesti diterapkan di masing-masing satuan pendidikan, termasuk memonitor implementasinya. Kemudian mengembangkan kurikukum moral dan etika yang nantinya diterapkan dalam system pembelajaran. Beberapa Upaya Pencarian Soft Skills di Beberapa Negara Upaya di berbagai Negara mengenai pentingnya solft skills juga beragam. Dari berbagai liteatur yang disarikan dalam modul bahan ajar oleh suatu Tim di Dirjen Dikti (2008) telah
10

Tahap selanjutnya adalah dengan mengimplementasikan aturan di sekolah sebagai cara meningkatkan nilai-nilai moral dan etika. Taiwan menyadari bahwa berpikir kritis adalah penting maka arah pengembangan ditujukan pada ranah ini, termasuk kewarganegaraan, dan nilai-nilai sosial.

Sebagai catatan tambahan, Korea 2. Pengalaman di Korea Selatan Di Korea Selatan, sebagai salah satu Negara yang juga mengalami kemajuan kemajuan yang pesat pendidikannya, juga sadar akan pentingnya soft skills. Ini dikembangkan dengan seperangkat upaya. Secara makro, meningkatkan anggaran pendidikan dan mempertahankan kebijakan komitmen yang tinggi semenjak tahun 1945. Semangat dan komitmen ini dilahirkan sebagai akibat dari Korea Selatan juga ingin me-nyaingi perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi yang dihasilkan oleh Jepang, sebagai sebuah Negara tetangga yang lebih dulu berhasil. Diantaranya adalah dengan mengupayakan perbaikan metode pengajaran dan pe-nyampaian materi ajar, misalnya dengan menekankan kesadaran guru akan pentingnya karakter; mulai dari suasana, kemampuan, dan fasilitas yang mengarah kepada pembentukan karakter. Hasil dari upaya ini telah menyebabkan Korea Selatan tampil sebagai salah satu Negara yang memiliki karakter khas, untuk tampil menyaingi Jepang. Dengan karakter kerja keras, salah satunya, telah pula menghasilkan produk manufaktur yang mampu masuk ke kancah internasional. 3. Pengalaman di Jepang Merespons akan tuntutan pentingnya membangun karakter anak, maka di Jepang menurut Scribner (2007) dalam Tim Dikti (2008) untuk memenuhi aspek soft skills, dimasukkan ke dalam kegiatan-kegiatan ko-kurikuler di sekolah dan di rumah. Anak-anak tanggungjawab Jepang yang diberi rasa dalam tinggi Selatan tercatat sebagai salah satu Negara dimana tingkat akses masyarakat mudanya terhadap pendidikan tinggi termasuk tertinggi di dunia. Memulai kerja kerasnya semenjak tahun 1945. Sekarang komitmen anggaran dan dukungan masyarakat adalah sangat besar dalam memajukan pendidikan.

mengembangkan fungsinya kepada adikadik sewilayahnya, dimulai dengan proses datang ke sekolah, metode belajar di sekolah sampai pada menanamkan rasa kemandirian yang tinggi dan semangat untuk menang. Kemudian terbiasa untuk mengembangkan kreativitas di dalam kelas, Sudah menjadi motto bagi anak didik Jepang, bahwa kerja kelompok menjadi salah satu yang perlu dibiasakan. Karakter kerja keras dan mandiri yang dibangun dalam prinsip bushido, menyebabkan bangsa Jepang menghasilkan generasi yang sanggup

11

menguasai berbagai iptek untuk berbagai bidang dan proses industrialisasi. Sayang membangun sekali, karakter Jepang bangsa dalam masih

bekerja dan hidup berkelompok. Itulah pemandangan pada sekolah-sekolah dasar sampai menengah yang dikembangkan.

dibatasi oleh berbagai kendala. Dimana kendala utama dari proses pembangunan manusia di Jepang masih belum sanggup mengkikis kebiasaan bunuh diri dari sebagian dari mereka yang frustasi. 5. Pengalaman di Indonesia Kesadaran akan soft kills juga berkembang di Indonesia, namun dalam waktu yang terlalu lama dan metode yang 4. Pengalaman di Australia Sementara di Australia, pengembangan soft skills dilakukan semenjak usia dini, melalui system penyampaian dan desain pemebelajaran. Desain pembelajaran yang menyebabkan unsur-unsur soft skills terintegrasi dalam setiap proses pembelajaran. Di Australia pembentukan kepercayaan diri anak-anak mulai pada pra sekolah. Pembiasaan anak-anak untuk mengisi masa akhir minggu dengan orang tua, baik untuk kepentingan olah raga dan rekreasi. Anak-anak Australia terbiasa percaya diri. Karena setiap minggu mereka didorong untuk sanggup menyampaikan pengalaman kepada teman se kelasnya. Dan model seperti ini dilaksanakan secara terus menerus. Guru sangat berperan dalam mengkomunikasikan soft skills di sekolah. Anak-anak diajarkan akan hak dan tanggungjawabnya. Termasuk share
12

tidak

tepat.

Upaya

menekankan P-4 sewaktu

pentingnya

pendidikan

zaman Presiden Suharto telah didesain kegiatan-kegiatan yang lebih terpusat. Oleh karena penekanan hanya kepada civic education, atau pendidikan civic, maka hasil dari usaha P-4 hanya sebatas bagaimana hidup bermasyarakat dan bernegara saja. Kelemahan utama yang dirasakan bahwa pengembangan soft skills lebih bersifat indoktrinasi. Dengan kata lain upaya Indonesia dalam mendorong soft skills selama berpuluh-puluh tahun melalui penataran P-4 dianggap gagal, mengingat model itu saat sekarang sudah tidak dipakai lagi. Bahkan dianggap kegiatan P-4 dapat saja menyimpang dari yang dipahami oleh kebanyakan para ilmuwan. diberikan bukanlah keterampilan Diantaranya lebih bagaimana perangkat bahkan yang kepada ilmuwan, membentuk lunak warga

Negara. Selain dari itu para instruktur banyak yang tidak terbekali dengan baik.

Sehingga kegatan soft skills semacam itu lebih diartikan kepada proyek-proyek kegiatan oleh mereka yang berkuasa. Akselerasi adat juga merupakan upaya-upaya untuk mempertahankan soft skills, mengingat kandungan budaya lokal adalah menuntun soft skills. Misalnya bagaimana budaya dalam bertutur kata sepantasnya. Maka proses tutur kata masyarakat adat mesti dipertahankan. Upaya ini dilakukan oleh kaum adat. Namun hal ini belum terlalu baik diupayakan soft skills. Demikian juga, bagaimana kehidupan bergotong-royong diupayakan masih eksis. Sayang sekali kehidupan yang semacam itu semakin sirna. Singkat kata soft skills belum secara konsisten untuk digarap dan dipelajari. Apa yang dapat dimaknai dari segala upaya untuk mencari solf skills di berbagai Negara ? Negara maju Asia Timur serta Indonesia ? Maka upaya untuk mengembangkan karakter masih dalam batas keterbasan. Keterbatasan terutama taksonomi menonjol. Sekalipun ada upaya untuk meningkatkan ranah soft skills, namun juga kelihatannya sangat beragam dalam melihat Diantaranya, memasukkan komponen-komponennya. masih unsur luputnya anak
13

didik kita semakin berilmu dia sadar semakin sadar akan eksistensinya, posisinya dengan Sang Pencipta. Hal inilah yang menyebabkan bahwa dimensi trancedental skills menjadi bahan yang mesti disadari penting masuk sebagai salah satu taksonomi soft skills.(Elfindri, dkk, 2010).

Penerapan Pendidikan Karakter Dimulai SD Pendidikan karakter yang dicanangkan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) akan diterapkan pada semua jenjang pendidikan, namun porsinya akan lebih besar diberikan pada Sekolah Dasar (SD). Menurut Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh, mengatakan pendidikan karakter harus dimulai sejak dini yakni dari jenjang pendidikan sekolah dasar SD). Pada jenjang SD ini porsinya mencapai 60 persen dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Hal ini agar lebih mudah diajarkan dan melekat di jiwa anak-anak itu hingga kelak ia dewasa. Pendidikan karakter harus dimulai dari SD karena jika karakter tidak terbentuk sejak dini maka akan susah untuk merubah karakter seseorang. Pendidikan karakter tidak mendapatkan porsi yang besar pada tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) atau sejenisnya karena TK bukan merupakan sekolah tetapi taman bermain. TK itu

dalam

mendiseminasikan

masih ranah

menganggap keilmuan

bahwa menjadi

bagaimana

taman bermain untuk merangsang kreativitas anak, bukan tempat belajar. Oleh karena itu, jika ada guru yang memberikan tugas atau PR maka guru tersebut tidak memahami tugasnya. Sedangkan dalam menanamkan karakter pada seseorang yang paling penting adalah kejujuran, karena kejujuran bersifat universal. Pertimbangan yang rasional tentang mengapa penerapan pendidikan karakter harus dimulai pada siswa SD, karena siswa SD masih belum terkontaminasi dengan sifat yang kurang baik sangat memungkinkan untuk ditanamkan sifat-sifat atau karakter untuk membangun bangsa. Oleh karena itu, selain orang tua, guru SD juga mempunyai peranan yang sangat vital untuk menempuh karakter siswa. Pembinaan karakter yang termudah dilakukan adalah ketika anak-anak masih di bangku SD. Itulah sebabnya kita memprioritas-kan pendidikan karakter di tingkat SD. Bukan berarti pada jenjang pendidikan lainnya tidak mendapat perhatian namun porsinya saja yang berbeda. Dengan demikian maka diharapkan dunia pendidikan dapat sebagai motor pengge-rak untuk memfasilitasi peserta didik menjadi cerdas, juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadaannya
14

sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun orang lain. Esensinya pembinaan karakter harus dilakukan pada semua tingkat pendidikan hinga Perguruan Tinggi (PT) karena PT harus mampu berperan sebagai mesin informasi yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, sejahtera dan bermanfaat serta mampu bersaing dengan bangsa manapun.

Model Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Menurut Mochtar Buchori (2007) dalam Kemendiknas (2010) Pembinaan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, bahwa pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan katakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter

diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilainilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipratikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya. Memalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia,
15

kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah. Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indicator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut : 1. Mengamalkan yang dianut ajaran sesuai agama dengan dan

tahap perkembangan remaja; 2. Memahami kekurangan sikap kelebihan diri sendiri; 3. Menunjukkan diri; 4. Mematuhi aturan-aturan social yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas; 5. Menghargai keragaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan social ekonomi dalam lingkup nasional; 6. Mencari informasi dan dari menerapkan lingkungan percaya

sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis dan kreatif; 7. Menunjukkan dan inovatif; kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif,

8. Menunjukkan dengan dimilikinya; 9. Menunjukkan masalah sehari-hari; dalam

kemampuan yang

18. Menunjukkan pendek sederhana; 19. Menunjukkan

kegemaran

belajar secara mandiri sesuai potensi

membaca dan menulis naskah keterampilan berbicara,

kemampuan kehidupan

menyimak,

menganalisis dan memecahkan

membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana; 20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah; 21. Memiliki jiwa kewirausahaan. Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipratikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilainilai tersebut.(Kemendiknas, 2010).

10. Mendeskripsikan gejala alam dan social; 11. Memanfaatkan 12. Menerapkan lingkungan nilai-nilai secara bertanggung jawab; kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara kesatuan Republik Indonesia; 13. Menghargai karya seni dan budaya nasional; 14. Menghargai dan tugas pekerjaan memiliki kemampuan bersih, dan luang dan

Penyelenggaraan

pendidikan

untuk berkarya; 15. Menerapkan sehat, bugar, memanfaatkan dengan baik; 16. Berkomunikasi santun; 17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan pendapat;
16

nasional tidak semata mentransfer ilmu dan pengetahuan serta teknologi kepada peserta didik. Lebih dari itu, pendidikan harus bisa menumbuhkan semangat kebangsaan sebagai warga bangsa dengan karakter ke-Indonesia-an. Bangsa ini harus kembali kepada bangsa yang berbudi. Mampu memiliki budi pekerti yang luhur yang diajarkan oleh para leluhur bangsa. Caranya, dengan mengajarkan pendidikan karakter kepada anak-anak mulai dari bangku sekolah. Memberikan mereka pemahaman yang

hidup aman, waktu

berinteraksi secara efektif dan

di

masyarakat;

menghargai adanya perbedaan

jelas tentang karakter yang harus dimiliki manusia Indonesia di masa depan. Dengan olah raga, olah raga, dan olah jiwa sekolah kami terus menerus menanamkan nilai-nilai luhur yang harus dimiliki manusia Indonesia. Oleh karena itu, kami mengemasnya dalam berbagai bentuk kegiatan kesiswaan yang dimulai dari saat siswa pertama kali masuk sekolah sekolah. Pembangunan pendidikan keharusan, karakter karena karakter menjadi pendidikan dan suatu tidak sampai keluar (lulus) dari

Pendekatan alih-alih keutamaan

parsial

yang

tidak

didasari pendekatan pedagogi yang kokoh menanamkan dalam diri nilai-nilai anak, malah

menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral. Selama ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang seringkali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan seringkali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh. Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak skolah beramai-ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa Dengan anak-anak ada praksis kita yang ini akan mengontrolnya. diharapkan

hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, tetapi juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga keberadaannya dirinya sebagai orang anggota lain. masyarakat menjadi bermakna baik bagi maupun Menanamkan karaker pada seseorang yang paling penting adalah kejujuran, karena kejujuran bersifat universal. (Mahatma, 2010). Pendidikan Karakter Integral Pendidikan karakter hanya akan menjadi dipahami nasional sekadar secara kita. wacana lebih Bahkan, jika utuh tidak dan

menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya mengembangkan mengabaikan yang relevan nilai prinsip dasar dalam ini pedagogi dan kejujuran

pendidikan berupa kedisiplinan sosial mampu mengarahkan membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, dibanyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk
17

menyeluruh dalam konteks pendidikan pendidikan karakter yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak didik.

tidak

disertai

dengan

pemangunan

perangkat

sosial

yang

contoh sebanyak 10 sekolah di semua jenjang pendidikan di Nusa Tenggara Barat mendapatkan bantuan dari Kementerian Pendidikan Nasional untuk mengembangkan pendidikan karakter. Setiap sekolah yang mendapatkan percontohan menerima bantuan sebesar Rp. 10.000.000,00 untuk menerapkan dan membina pengembangan pendidikan karakter.(http://www.antaranews.com, diakses tanggal 7 September 2010). Sementara intinya pembinaan itu, Mendiknas, harus

dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan. Masifnya perilaku ketidakjujuran itu telah menyerambah dalam diri para pendidik, siswa dan anggota komunitas sekolah lain. Untuk itu, pendekatan yang lebih utuh dan integrallah yang dibutuhkan untuk melawan budaya tidak jujur ini. Pendidikan karakter semestinya terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral. Adanya bantuan sosial untuk mengembangkan keutamaan merupakan ciri sebuah lembaga pendidikan. Dalam konteks kantin kejujuran, bantuan sosial ini tidak berfungsi, sebab anak malah tergoda menjadi pencuri. Kegagalan kantin kejujuran adalah sebuah indikasi, bahwa para pendidik memiliki kesalahan pemahaman tentang makna kejujuran Mereka dalam tidak sendi itu, konteks mampu pendidikan. yang

Muhammad Nuh mengemukakan bahwa karakter dilakukan pada semua tingkat pendidikan hingga Perguruan Tinggi (PT) karena PT harus mampu berperan sebagai mesin informasi yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, santun, sejahtera dan bermartabat serta mampu bersaing dengan bangsa manapun.

Simpulan dan Saran


Simpulan Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka dapatlah dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut: (1) karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap

melihat persoalan yang lebih mendalam menggerogoti Sementara sekolah, Nasional pendidikan untuk Pendidikan memberikan kita.(Doni Koesoema A, 2010). mengembangkan pendidikan karakter di Kementerian (Kemendiknas)

individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara; (2) Pendidikan (sembilan) mengkait, (tanggung
18

karakter pilar yaitu: jawab), yang (a) (b)

meliputi saling respect

9 kait (rasa

bantuan kepada sekolah-sekolah yang ditunjuk sebagai percontohan. Sebagai

responsibility

hormat), (c) fairness (keadilan), (d) courage (keberanian), (f) (g) (e) honesty citizenship self-discipline (3) (kejujuran), (kewarganegaraan), perseverance

pelosok nusantara, terutama ke lembagalembaga pendidikan, dan (10) program pendidikan karakter tidak hanya dilakukan satu sampai dua tahun, namun secara berkesinambungan hingga 2025. Saran Berdasarkan butir-butir simpulan di karakter untuk atasa, di maka lembaga untuk pendidikan pendidikan pendidikan mengimplemetasikan

(disiplin diri), (h) caring (peduli), dan (i) (ketekunan); pembinaan karakter harus dilaksanakan pada semua tingkat pendidikan hingga Perguruan Tinggi (PT), (4) pembangunan karakter menjadi pendidikan peserta dan suatu tidak didik pendidikan keharusan hanya menjadi karakter karena juga

menjadikan cerdas,

dikemukakan saran sebagai berikut : (1) implementasikan karakter di sekolah dasar (SD), sebagai porsi yang cukup besar (60%), maka perlu disusun buku petunjuk pelaksanaan (juklak) yang dapat digunakan sebagai acuan para tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar, (2) sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa penerapan pendidikan karakter dapat diimplementasikan mulai pada jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Oleh karena itu, untuk mempersiapkan semuanya secara cermat, perlu diterbitkan buku pinter yang memberikan acuan kepada guru dan dosen agar pendidikan karakter dapat diterapkan diharapkan, sesuai (3) dengan dalam yang konteks

mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun orang lain, (5) pendidikan karakter yang didalamnya ada akhlak mulia akan menjadi jati diri bangsa untuk mencapai kejayaan dan kemajuan di dunia internasional, (6) pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dipraktekkan, titik beratnya bukan teori, (7) menghadirkan pendidikan karakter dan budaya di sekolah harus dilakukan secara holistik, karena tidak bisa terpisah dengan pendidikan sifatnya kognitif atau akademik, (8) permasalahannya, mayoritas guru belum punya kemauan untuk melaksanakan pendidikan karakter, kesadaran sudah ada hanya saja belum menjadi sebuah aksi nyata, (9) grand design tentang pendidikan karakter sudah tersusun, hanya belum disosialisasikan ke seluruh
19

pembelajaran di kelas atau ruang kuliah, pendidikan karakter dapat diintegrasikan pada mata pelajaran atau mata kuliah yang relevan, (4) (guru agar dan tenaga dosen) kependidikan

mempunyai acuan yang baku tentang

penerapan pendidikan karakter, maka perlu segera disosialisasikan grand design tentang pendidikan karakter, (5) pendidikan karakter harus diwujudkan untuk kepentingan anak-anak Indonesia dalam konteks kehidupan social dan buaya masyarakat, (6) perlu diadakan TOT (Training of Trainer) untuk pendidikan karakter bagi seluruh tenaga tenaga kependidikan, baik guru maupun dosen, (7) pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah jangan hanya bersifat instan, karena pemerintah saat ini sedang intens dengan soal ini, tantangannya justru bagaimana pendidikan di sekolah itu berjalan seimbang antara penguasaan pengetahuan dan pembentukan karakter siswa, dan (8) karakter perlu grand di sampai segera design lembaga dengan disosialisiasikannya pendidikan Taman

pendidikan mulai jenjang pendidikan Kanak-Kanak perguruan tinggi.

20

ISSN 2089-5933

fffffffffDi

Terbitkan Oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gresik

e- JURNAL PENDIDIKAN

Vol. 1

No. I

Hlm. 1-66
21

Gresik Juni Nopember

ISSN
2089-5933

DI SDN BANJARSARI CERME GRESIK

Etiyasningsih*)

Abstrak, Disiplin merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Agar guru dapat berhasil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, maka guru tersebut harus mentaati dan menyadari akan pentingnya kedisiplinan. Kedisiplinan guru tentunya akan berimbas kepada para siswa, guru yang tidak atau kurang disiplin, siswanya pun akan cenderung tidak displin dan sebaliknya. Kedisplinan tidak hanya pada kehadiran guru semata, namun lebih dari itu disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam hal ini misalnya guru disiplin dalam membuat persiapan mengajar, Silabus, RPP, menyiapkan buku-buku paket penunjang, alat peraga dan lain-lain. Dengan kedisiplinan guru yang tinggi siswa akan lebih semangat belajar dan mendapatkan urutan materi pelajaran yang sistematis, hal ini akan meningkatkan prestasi belajarnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh disiplin guru terhadap prestasi belajar. Penelitian ini merupakan jenis regresional. Populasinya adalah seluruh guru di SDN Banjarsari Cerme Gresik berjumlah 20 orang. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling yaitu sesuai dengan kebutuhan dan yang tidak diikutkan adalah guru komputer, diperoleh responden sebanyak 19 orang. Data dikumpulkan dengan observasi, dokumentasi dan wawancara dengan instrumen check list. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh disiplin guru terhadap prestasi belajar digunakan uji regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan Fhitung = 6,171. > Ftabel = 4,45. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung hitung = 0,024 jauh di bahwa 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil penelitian diharapkan para guru dapat menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, disiplin, jujur, dan penuh didekasi, karena dengan sikap-sikap tersebut sangat membantu dalam tercapainya prestasi belajar siswa, selain itu hendaknya juga lebih memperhatikan kehadiran, persiapan mengajar dan proses kegiatan belajar mengajar. Bagi kepala sekolah dapat memberi motivasi agar para guru lebih disiplin dengan memberi stimulus yang proporsional.

Kata Kunci : Disiplin Guru, Prestasi Belajar Siswa

22

PENDAHULUAN Kita semua menyadari bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan sangatlah berat, lebih-lebih pada saat sekarang ini. Sebenarnya telah banyak usaha pemerintah, dan aspek pendukung, guna terwujudnya tujuan pendidikan tersebut. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut pemerintah berusaha melak-sanakan kegiatan antara lain, (1) Menyempurnakan sistem pendidikan, (2) Memperluas kesempatan untuk memperoleh pendidikan, (3) Sarana dan prasarana pendidikan terus disempurnakan dan ditingkatkan serta lebih didayagu-nakan, (4) Meningkatkan jumlah guru dan mutunya, baik formal maupun non formal serta terus ditingkatkan pengembangan karier dan kesejahteraannya. Mengelola pendidikan tidak semudah yang kita bayangkan selama ini, sebab pendidikan berperan penting sebagai alat atai tempat untuk membentuk manusia Indonesia dan sebagai warga masyarakat sekaligus sebagai warga Negara yang berbudi pekerti luhur, beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta berkemampuan dan mempunyai ketrampilan dasar untuk bekal pendidikan selanjutnya dan bekal hidup di masyarakat. Guru kelas sebagai administrator menempati posisi yang sangat penting karena memikul tanggung jawab untuk meningkatkan dan mengembangkan kemajuan sekolah secara keseluruhan. Sedangkan murid dan guru yang menjadi komponen penggerak aktifitas kelas harus didayagunakan secara maksimal agar dapat tercapai suatu kesatuan yang dinamis di dalam organisasi sekolah.

Pada dasarnya sekarang ini banyak para guru yang kurang siap dalam mengajar, dikarenakan guru tersebut belum membuat persiapan mengajar, dan juga melanggar tata tertib. Disiplin merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Agar guru dapat berhasil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, maka guru tersebut harus mentaati dan menyadari akan pentingnya kedisiplinan. Karena gurulah yang ikut bertanggung jawab dalam keberhasilan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah, agar selalu berupaya untuk meningkatkan keberhasilan prestasi belajar siswa. Selain itu para guru hendaknya selalu memberikan bimbingan dan pengajaran secara baik dengan selalu berpedoman pada petunjuk dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional. Kedisiplinan guru tentunya akan berimbas kepada para siswa, guru yang tidak atau kurang disiplin, siswanya pun akan cenderung tidak displin dan sebaliknya. Kedisplinan tidak hanya pada kehadiran guru semata, namun lebih dari itu disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam hal ini misalnya guru disiplin dalam membuat persiapan mengajar, Silabus, RPP, menyiapkan buku-buku paket penunjang, alat peraga dan lain-lain. Dengan kedisiplinan guru yang tinggi siswa akan lebih semangat belajar dan mendapatkan urutan materi pelajaran yang sistematis, hal ini akan meningkatkan prestasi belajarnya.

METODE PENELITIAN

23

Deskripsi Populasi Arikunto (2002) menyatakan bahwa populasi adalah obyek yang akan diteliti hasilnya, dianalisis, disimpulkan dan kesimpulan itu berlaku untuk seluruh populasi itu. Sudjana (1996) menjelaskan popupasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung atau pengukuran, kuantitatif, atau kualitatif mengenai karateristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jenis yang ingin dipelajari sifat-sifatnya. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil populasi seluruh guru di SDN Banjarsari Cerme Gresik berjumlah 20 orang. Penentuan Sampel Pengambilan sampel ini didasari pendapat Arikunto (1998:120-121) berikut : Untuk sekedar ancer-ancer maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 1015% atau lebih tergantung setidaktidaknya dari : a) kemampuan peneliti dari waktu, tenaga dan dana, b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data, c) Besar kecilnya risiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang risikonya besar, tentu saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik. Sugiyono (2009:124) menyatakan jumlah sampel tergantung dari tingkat ketelitian atau kesalahan yang dikehendaki, misalnya tingat kesalahan 1%, 5%, 10% atau lainnya. Makin besar tingkat kesalahan makin kecil sampel.

Rumus untuk menghitung ukuran sampel dari populasi yang diketahui jumlahnya adalah : s =
2 dengan dk = 1, taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10% P = Q = 0,5 d = 0,05 s = jumlah sampel

Namun dari rumus tersebut telah dihitung untuk populasi-populasi dengan jumlah tertentu mulai 10 hingga 1.000.000 oleh Sugiono (2009:126) sebagaimana tabel terlampir. Untuk jumlah populasi 20 orang dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh sampel sebanyak 19 orang. Oleh karena itu dalam penelitian ini Dari 19 orang ini dipilih dengan teknik purposive sampling yaitu sesuai dengan kebutuhan dan yang tidak diikutkan adalah guru komputer. Definisi Operasional Variabel Agar tujuan penelitian dapat tercapai maka variabel harus didefinisikan dengan jelas dan menyebutkan indikatordindikatornya, cara pengukurannya, dan skala atau kategori penilaian yang digunakan. Berikut ini adalah definisi operasional masing-masing variabel. 1. Variabel bebas (X) yakni disiplin guru adalah suatu sikap mental seoang guru yang mengandung kesadaran dan kerelaan untuk mematuhi semua ketentuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab. Disiplin guru tersebut diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut : a. Kehadiran di sekolah

24

b. Ketepatan waktu mengajar c. Persiapan mengajar yaitu silabus, RPP d. Kegiatan belajar mengajar antara lain alat peraga, buku penunjang, buku absen siswa, daftar nilai, dan lain-lain. 2. Variabel terikat prestasi belajar (Y) yaitu suatu suatu hasil yang teah dicapai setelah kegiatan belajar mengajar. Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan adalah nilai rata-rata hasil ulangan tiap mata pelajaran bagi guru mata pelajaran dan tiap kelas pada guru kelas. Teknik Pengumpulan Data Adapun proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : 1. Survey Pendahuluan Dalam kegiatan ini, penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data-data intern perusahaan di antaranya adalah profil SDN Banjarsari Cerme Gresik. 2. Dokumentasi Teknik dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya (Suharsimi, 2002 : 236). Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data nilai siswa. Dalam data sekunder yang diperoleh dengan teknik dokumentasi ini, peneliti juga menggunakan lembar cek list untuk mencatat indikator disiplin guru. 3. Wawancara Wawancara atau interview adalah suatu metode yang tujuannya untuk memperoleh data evaluasi,

secara berhadapan muka dengan secara individu, orang yang diinterview memberikan informasiinformasi yang diperlukan secara ilmiah dalam suatu relasi face to face (Drs. Amatembun MA, supervise Pendidikan, 1975:191). Pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara adalah meyakinkan hasil observasi tentang disiplin guru. Wawancara dilakukan kepada masing-masing guru yang bersangkutan dan kepala sekolah.

Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan urutan analisa sebagai berikut : 1. Coding, adalah memberi kode pada lembar check list sesuai dengan kategori yang telah ditentukan. 2. Tabulating, adalah mentabulasi seluruh data hasil chek list ke dalam tabel-tabel yang diperlukan sehingga mudah dibaca. 3. Skoring, adalah memberi skor dari kategori-kategori tersebut sesuai skor yang telah ditentukan. Disiplin guru diberi skor tinggi, sedang dan rendah. Skor tinggi jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai >75%, skor sedang jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai 56-75%, dan rendah jika penjumlahan dari hasil penilaian <56%. 4. Uji Hipotesis Uji hipotesis berfungsi untuk menjawab hipotesa yang telah diajukan sebelumnya. Uji ini sekaligus juga menjawab rumusan masalah yang telah ditulis pada Bab I. Uji yang digunakan dalam penelitian ini

25

adalah uji Regresi Sederhana dengan rumus persamaan regresi sederhana : Y = a + bX Y = Prestasi siswa X = Disiplin guru a = Nilai konstanta b = Nilai arah sebagai penentu ramalan (prediksi) yang menunjukkan nilai peningkatan (+) atau nilai penurunan () variabel Y. Dalam penelitian ini perhitungan regresi dilakukan dengan bantuan program SPSS for Windows. Langkah menguji hipotesis : 1) Membuat Ha dan Ho dalam bentuk kalimat : Ha : Terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa Ho : Tidak terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa 2) Kaidah pengujian signifikansi : Jika Fhitung Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak artinya terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa. Jika Fhitung < Ftabel maka Ha ditolak dan Ho diterima artinya tidak terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa.

Tabel 1 Disiplin Guru di Sekolah Dasar Negeri Banjarsari Kec. Cerme Kabupaten Gresik

No 1 2 3

Daftar Nilai Kurang Cukup Baik Jumlah

Jumlah 1 4 14 19

Persentase (%) 5,2 21,1 73,7 100

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa disiplin guru dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar (73,7%) baik, 21,1% cukup, dan 5,2% kurang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sedangkan Prestasi belajar siswa diukur dari nilai rata-rata mata pelajaran dari guru yang bersangkutan jika guru tersebut adalah guru mata pelajaran, dan nilai rata-rata kelas jika guru yang bersangkutan adalah guru kelas. Nilai tersebut diperoleh selama 6 kali evaluasi terakhir yang datanya diperoleh dari dokumentasi pada guru mata pelajaran atau guru kelas masing-masing.

Terdapat 8 indikator dalam menjelaskan disiplin guru yang diperoleh datanya melalui observasi dan dokumentasi yaitu, kehadiran, ketepatan waktu mengajar, silabus, RPP, alat peraga, buku, absensi murid, buku penunjang, daftar nilai.

Tabel 2 Nilai Nilai Rata-Rata Kelas atau Nilai Rata-rata Mata Pelajaran (6 x evaluasi terakhir)

26

Nilai Rata-Rata Kelas atau Nilai Rata-rata Mata Pelajaran No Resp .


1

(6 x evaluasi terakhir)
2 3 4 5 6 Rata Rata

1 2 3 4 5 6 7 8 9

7,60 7,90 7,95 8,10 8,20 8,64 8,07 6,54 5,95 7,00 7,10 6,52 6,43 6,59 8,00 8,50 7,93 7,87 8,30 8,00 8,10 8,20 7,50 7,90 7,60 7,90 7,42 7,75 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00 7,20 7,56 7,85 7,98 8,20 8,20 7,83 8,60 8,40 8,00 8,21 7,58 7,49 8,05 7,98 7,12 7,59 7,87 8,67 8,12 7,89 7,90 7,92 8,00 8,20 8,40 8,50 8,15

Data yang terkumpul sebagaimana paparan sebelumnya selanjutnya dianalisis untuk mengetahui pengaruh disiplin guru dengan prestasi belajar siswa. Koding, skoring, dan tabulating telah dilaksanakan peneliti yang hasilnya tertera pada lampiran. Pada analisa data ini akan dipaparkan uji hipotesis dengan regresi linier sederhana. Output perhitungan dengan program SPSS for Windows seperti terlihat dalam gambar berikut.

ANOVAb Sum of Squares 1,918 5,282 7,200

Model 1

df 1 17 18

Regression Residual Total

Mean Square 1,918 ,311

F 6,171

Sig. ,024 a

a. Predictors: (Constant), Disiplin Guru b. Dependent Variable: Prestas i Sisw a

Gambar 1 Uji F

10 6,90 6,90 6,65 6,00 7,15 7,26 6,81 11 6,70 6,80 6,90 6,23 6,50 6,21 6,56

12 8,00 8,50 8,50 8,00 7,90 9,40 8,38 13 14 15 16 17 7,50 7,60 7,70 7,54 7,80 8,00 7,69 6,10 6,00 6,58 6,98 7,16 7,90 6,79 8,20 8,00 8,10 8,23 8,21 8,60 8,22 7,59 8,00 8,10 8,20 8,50 8,42 8,14 8,50 8,40 8,60 8,21 8,24 8,21 8,36

Gambar 4.2 di atas menunjukkan hasil uji F dengan program SPSS for Windows, dengan Fhitung sebesar 6,171. Angka ini selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel pada df = 17 sebagaimana Tabel F pada lampiran (Critical Values for the F Distribution =0,05). Tabel F dengan df = 13 dan n =1 diperoleh Ftabel = 4,45. Sehingga Fhitung = 6,171 > Ftabel = 4,45. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung hitung = 0,024 jauh di bahwa 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan. Selain adanya pengaruh yang signifikan, pada uji korelasi juga terlihat adanya korelasi positif (Gambar 4.3) antar kedua variabel yang diperoleh Pearson Correlation sebesar 0,516 lebih dari rtabel

18 6,80 7,10 6,85 6,98 6,85 6,20 6,80 19 7,23 8,00 8,00 8,20 8,10 8,65 8,03

Uji Regresi Linier Sederhana

27

sebesar 0,456 (Sebagaimana r tabel Product Moment pada df = 17 terlampir).


Cor relations Prestasi Sisw a 1,000 ,516 , ,012 19 19

= a + bX = 6,191 + 0,560

Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N

Prestasi Sisw a Disiplin Guru Prestasi Sisw a Disiplin Guru Prestasi Sisw a Disiplin Guru

Disiplin Guru ,516 1,000 ,012 , 19 19

Selanjutnya berdasarkan persamaan di atas deskripsi pengaruh tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan berdasarkan unstandarized coeffisients beta adalah sebagai berikut: 1) Konstanta sebesar 6,191 menyatakan bahwa jika variabel disiplin guru dianggap konstan (tidak ada upaya meningkatkan disiplin guru), maka prestasi belajar siswa sebesar 6,191point. 2) Koefisien regresi disiplin guru sebesar 0,560 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1 poin tingkat disiplin guru akan meningkatkan perkembangan perusahaan sebesar 0,560 poin. Jika angka tersebut dikalikan 1000, deskripsinya menjadi setiap ada upaya peningkatan disiplin guru sebesar 1000 poin maka akan meningkatkan prestasi belajar siswa sebesar 560 point.

Gambar 2 Uji Korelasi

Besarnya pengaruh atau kontribusi disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa dapat dilihat pada gambar Uji t berikut ini.
a Coe fficients

Model 1

(Constant) Disiplin Guru

Unstandardized Coefficients B Std. Error 6,191 ,619 ,560 ,226

Standardized Coefficients Beta ,516

t 10,003 2,484

Sig. Zero-order ,000 ,024 ,516

Correlations Partial ,516

Part ,516

a. Dependent Variable: Prestasi Sisw a

Gambar 3 Uji t

Sebagaimana Uji F di atas yang menunjukkan adanya pengaruh, Uji t juga seperti pada Gambar 4.4 memperlihatkan thitung sebesar 2,484 > ttabel sebesar 2,110 (sebagaimana Critical Value for the t Distribution terlampir untuk df = 17) artinya terdapat pengaruh disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa. Untuk menunjukkan besarnya pengaruh atau kontribusi disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa dapat dilihat koefisien regresi (unstandarized coefficients Beta) pada gambar 4.4 di atas sebesar 0,560. Selanjutnya sesuai dengan rumus regresi sederhana dapat dimasukkan angka-angka tersebut sebagai berikut :

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan disiplin guru dipengaruhi oleh tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Tanggung jawab tersebut berasal dari pemerintah karena para guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang jelas. Selain itu para guru juga bertanggung jawab atas prestasi belajar para siswanya. Guru cera umum akan merasa bangga apabila siswanya dapat berprestasi dan memiliki kemampuan yang baik.

28

Disebutkan bahwa faktor-faktor kesehatan jasmani dan rohani, ekonomi, status sosial, kepemimpinan dan peraturan dan tata tertib juga berpengaruh terhadap disiplin guru. Kesehatan seluruh guru secara umum terlihat sehat jasmani maupun rohaninya. Dikatakan bahwa kesehatan seorang guru mempengaruhi terhadap tugas sehari-hari. Sudah sewajarnyalah bila setiap guru menginginkan rasa aman dalam kehidupannya sehingga akan terhindar dari segala gangguan kesehatan. Sehingga ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan yang akhirnya dapat membawa hasil yang baik pula. Selanjutnya masalah ekonomi secara umum Pegawai Negeri Sipil telah mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemerintah melalui Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001 menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil mencapai 200% atau dua kali lipat, sehingga jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata penduduk di Indonesia Pegawai Negeri Sipil sudah cukup baik. Memang masalah ekonomi sangat penting terhadap disiplin guru. Dikatakan bahwa faktor ekonomi menambah beban bagi guru-guru dan menjadi persoalan pribadi yang dapat memungkinkan terganggunya tugas-tugas di sekolah. Padahal guru-guru menginginkan rasa aman, tentram dalam kehidupannya yang antara lain yaitu penerimaan gaji lancar, segala haknya dapat diterima dengan baik dan tepat pada waktunya, juga memiliki tempat tinggal untuk keluarganya dan lain-lain. Kemudian tentang status sosial guru di dalam masyarakat mempunyai status

yang cukup baik. Masyarakat memandang guru sebagai orang yang patut dihargai, karena mereka menyadari bahwa guru memegang peranan penting dalam pelaksanaan pembangunan di bidang pendidikan, karena pendidikan akan berjalan lancar dan berkembang baik apabila guru secara aktif ikut memajukan pendidikan di dalam masyarakat. Faktor kepemimpinan merupakan faktor penting dalam membentuk disiplin para guru. Kepemimpinan yang dimaksud ini adalah kepemimpinan kepala sekolah. Dikatakan bahwa kepala sekolah, jika kepemimpinannya efektif, maka guruguru akan memperoleh sumbangan yang berharga dalam merumuskan tujuantujuan pendidikan, berlangsung pengajaran yang efektif, terciptanya suasana yang kondusif (berguna) sehingga hal demikian itu akan mendukung terciptanya kedisiplinan guru yang baik. Dengan demikian maka factor kepemimpinan dapat mempengaruhi kedisiplinan guru. Di SDN Banjarsari Kec Cerme Kabupaten Gresik, kepemimpinan kepala sekolah sukup baik, dan komunikasi kepala sekolah dengan para guru juga berlangsung dengan baik. Tidak kalah penting adalah peraturan dan tata tertib sekolah yang mempengaruhi disiplin guru. Disiplin guru dan tata tertib sekolah merupakan dua hal yang saling terkait. Artinya disiplin guru tidak akan tercapai bila tidak ada peraturan atau ketentuan-ketentuan yang mengikat, sehingga menyebabkan guru untuk berbuat semaunya sendiri yang mengarah terciptanya sekolah yang tidak teratur/tertib. Tata tertib yang ada di SDN Banjarsari sudah cukup baik dan tercatat dan ditempatkan di posisi yang mudah dilihat.

29

Hasil uji menunjukkan pengaruh yang signifikan disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa. Ketika belajar di sekolah, faktor guru dan cara mengajarkannya merupakan faktor yang paling penting pula. Bagaimana sikap dan kepribadiannya guru, disiplinnya, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru, dan bagaimana cara guru itu mengajarkan pengetahuan kepada anak didiknya, turut menentukan bagaimana hasil belajar yang dapat dicapai oleh siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Ametembun, Drs.M.A, Supervisi Pendidikan, Penerbit IKIP Bandung, 1975 Ametembun, Drs.M.A, Manajemen Kelas, Terbitan Ketiga Penerbit IKIP Bandung, 1981 Hendyat Sutopo, Dr., Ikhtiar Teknik Penilaian Pendidikan, Penerbit IKIP Bandung, 1984 Ismed Syarif, Drs dan Nawas Riza, Drs., Administrasi Pendidikan Dasar, Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976 M. Ngalim Purwanto, Drs.M.P., Pyskologi Pendidikan, Penerbit PT. Rosda Karya Bandung 1990 M. Dimyati Mahmud, Psykologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Terapan Edisi I Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta

Kesimpulan

1. Disiplin guru di SDN Banjarsari Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik sebagian besar baik. 2. Terdapat pengaruh positif disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa di SDN Banjarsari Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik. Saran-saran 1. Para guru diharapkan agar dapat menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, disiplin, jujur, dan penuh didekasi, karena dengan sikapsikap tersebut sangat membantu dalam tercapainya prestasi belajar siswa. 2. Para guru hendaknya juga lebih memperhatikan kehadiran, persiapan mengajar dan proses kegiatan belajar mengajar. 3. Bagi kepala sekolah dapat memberi motivasi agar para guru lebih disiplin dengan memberi stimulus yang proporsional.

Sutrisno Hadi, Prof. Dr. M.A., Metodologi Reseach, Jilid II Penerbit FKP IKIP Yogyakarta 1967 Suhertin, Drs. Dan Nata Her, Drs Supervisi Pendidikan, Dalam Rangka Program Insenvice Education, Penerbit IKIP Malang 1971 S. Nasution, Prof.Dr.M.A Didaktik dan Azas-Azas Kurikulum, Penerbit Jemara Bandung 1989

30

Westy Sumanto, Drs dan Hendyat Sutopo Kepemimpinan Pendidikan, Peberbit Usaha Nasional Surabaya 1982 Subari, Drs Supervisi Pendidikan, Dalam Rangka Perbaikan Situasi Mengajar Penerbit Bumi Aksara Jakarta 1994

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Buku II Petunjuk Administrasi Sekolah Dasar, tahun 1989 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wilayah Jawa Timur Media Pendidikan, Nomor 3 Edisi Mei 1991 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka 1989 TAP MPR No. II/MPR/1993 Garis-Garis Besar Haluan Negara 1993-1998, Penerbit Bina Pustaka Surabaya 1989

31

ISSN 2089-5933

Diterbitkan Oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gresik

e- JURNAL PENDIDIKAN

Vol. 1

No. I

Hlm. 1-66
32

Gresik Juni Nopember

ISSN
2089-5933

PENGARUH PELAKSANAAN SUPERVISI KEPALA SEKOLAH TERHADAP KEDISIPLINAN GURU DALAM PELAKSANAKAN PROSES BELAJAR MENGAJAR DI SDN NGAGELREJO WONOKROMO KOTA SURABAYA

Sri Sundari *) Abstrak, Untuk mencapai tujuan pendidikan, guru juga perlu menaruh perhatian terhadap kemajuan murid di samping evaluasi belajar memecahkan masalah atau problem yang dihadapi murid dan lain-lainnya. Di dalam memperbaiki dan mensukseskan proses belajar mengajar serta memecahkan masalah lain, banyak dipengaruhi oleh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap guru dan lingkungan sekolahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap kedisiplinan guru dalam pelaksanakan proses belajar mengajar.
Penelitian ini merupakan jenis regresional. Populasinya adalah seluruh guru di SDN Ngagelrejo II/397 Kec. Wonokromo Kota Surabaya berjumlah 18 orang. Sampel diambil dengan teknik total sampling diperoleh responden sebanyak 18 orang. Data dikumpulkan dengan kuesioner, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan supervisi kepala terhadap disiplin guru digunakan uji regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan Fhitung = 5,975 > Ftabel = 4,49. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Terlihat pula signifikan hasil hitung hitung = 0,026 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil penelitian diharapkan supervisi kepala sekolah dilaksanakan sebaikbaiknya sehingga lebih meningkatkan disiplin guru. Guru hendaknya ikut mensukseskan pelaksanaan supervisi kepala sekolah agar kegiatan proses belajar mengajar lebih meningkat dan bermutu. Bagi pihak-pihak terkait khususnya pemerintah hendaknya memperhatikan pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan membantu memberikan instrumen yang valid dan handal.

Kata Kunci : Pelaksanaan Supervisi Kepala Sekolah, Kedisiplinan Guru

33

34

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi meliputi seluruh bidang kehidupan, misalnya bidang komunikasi, transportasi serta pembangunan fisik lainnya. Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, maka hubungan antara negara-negara di dunia ini semakin berkembang. Jarak antara negara yang satu dengan negara yang lainnya seolah-olah semakin dekat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendekatkan dan menyatukan negara yang satu dengan negara yang lain sehingga seolah-olah dunia ini mengglobal. Oleh karena itu, bangsa Indonesia juga berusaha untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi agar sesuai dengan perkembangan jaman. Hal ini sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945 alinea 4 yang berbunyi: Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk melaksanakan hal tersebut diatas, maka salah satu bidang yang harus diutamakan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah dalam bidang

pendidikan, karena pendidikan modal paling utama dalam menciptakan manusia yang cerdas dalam arti terampil, dapat berdiri sendiri serta bertanggung jawab terhadap bangsa dan negara. Dalam pendidikan atau pengajaran, warga negara Indonesia dijamin haknya untuk mendapatkan pengajaran sebagaimana tercantum dalam Batang Tubuh UUD 1945 Bab XIII pasal 31 ayat 1 yang berbunyi Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Untuk pelaksanaan tersebut diatas, maka pemerintah berupaya serta mempunyai tanggung jawab dalam pendidikan. Hal ini diperkuat dengan ayat berikutnya (pasal 31 ayat 2) yang berbunyi : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur oleh Undang-undang. Dengan melihat pernyataan diatas, maka pendidikan mencetuskan harapan, karena harapan terletak pada pendidikan, harapan juga menjiwai perjuangan kemerdekaan. Karena itu pendidikan merupakan bagian mutlak dari perjuangan dan merupakan investasi yang paling utama dari setiap bangsa. Oleh karena itu, mutu pendidikan lebih banyak cenderung dan tergantung pada guru dalam membimbing/mendidik proses belajar mengajar, serta kedisiplinan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kedisiplinan perlu sekali ditingkatkan untuk mencapai

35

keberhasilan pendidikan, baik disiplin waktu maupun tugas. Sebagai tenaga pendidik di sekolah, guru harus ikut aktif dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional, sebagaimana yang tercantum dalam Ketetapan MPR No. 11/83 tentang GBHN halaman 93 yang berbunyi : Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan seta cinta tanah air agar dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa dan negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut diatas, maka tugas guru juga perlu menaruh perhatian terhadap hal-hal lain. Laporan tentang kemajuan murid di samping evaluasi belajar memecahkan masalah atau problem yang dihadapi murid dan lainlainnya.
Di dalam memperbaiki dan mensukseskan proses belajar mengajar serta memecahkan masalah lain sebagaimana tersebut, banyak dipengaruhi oleh pelaksanaan supervisi Kepala Sekolah terhadap guru dan lingkungan sekolahnya.

Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian explanatory survey. Pendekatan explanatory survey ini, sebagaimana simpulan Cooper dan Pamela (2003:13), Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (1995:3) terbukti mampu dengan baik menjelaskan hubungan antar aspek yang diamati dan bukan hanya sekedar descriptive, sedangkan bentuk penelitian verifikatif menurut Moh. Nazir (1988:63) digunakan untuk menguji hipotesis yang menggunakan perhitunganperhitungan statistik.

Deskripsi Populasi dan Penentuan Sampel Deskripsi Populasi Arikunto (2002) menyatakan bahwa populasi adalah obyek yang akan diteliti hasilnya, dianalisis, disimpulkan dan kesimpulan itu berlaku untuk seluruh populasi itu. Sudjana (1996) menjelaskan popupasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung atau pengukuran, kuantitatif, atau kualitatif mengenai karateristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jenis yang ingin dipelajari sifat-sifatnya. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil populasi seluruh guru di SDN Ngagelrejo II Wonokromo Surabaya berjumlah 18 orang.

Penentuan Sampel METODE PENELITIAN Pengambilan sampel ini didasari pendapat Arikunto (1998:120-121) Untuk sekedar ancer-ancer maka apabila

36

subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau lebih tergantung setidak-tidaknya dari : a) kemampuan peneliti dari waktu, tenaga dan dana, b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data, c) Besar kecilnya risiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang risikonya besar, tentu saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik. Sugiyono (2009:124) menyatakan jumlah sampel tergantung dari tingkat ketelitian atau kesalahan yang dikehendaki, misalnya tingat kesalahan 1%, 5%, 10% atau lainnya. Makin besar tingkat kesalahan makin kecil sampel. Rumus untuk menghitung ukuran sampel dari populasi yang diketahui jumlahnya adalah : s =
2 dengan dk = 1, taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10% P = Q = 0,5 d = 0,05 s = jumlah sampel

Variabel Penelitian Dalam penelitian yang dilakukan ini, variabel yang digunakan terdiri dari satu variabel bebas yaitu disiplin guru dan satu variabel terikat yaitu prestasi belajar.

Definisi Operasional Variabel Agar tujuan penelitian dapat tercapai maka variabel harus didefinisikan dengan jelas dan menyebutkan indikatordindikatornya, cara pengukurannya, dan skala atau kategori penilaian yang digunakan. Berikut ini adalah definisi operasional masing-masing variabel. 1. Variabel bebas (X) yakni pelaksanaan supervisi kepala sekolah adalah suatu usaha untuk mewujudkan kemajuan sekolah yang bersifat teratur dan kontinyu dengan jalan membina, memperbaiki, meningkatkan kedisiplinan guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar untuk mempertinggi mutu pendidikan yang diberikan kepada siswa. Pelaksanaan supervisi kepala sekolah diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut : a. Prinsip konstruktif b. Prinsip kreatifitas c. Prinsip kooperatif d. Prinsip demokrasi e. Prinsip kontinyuitas f. Prinsip ilmiah 2. Variabel terikat (Y) yakni disiplin guru adalah suatu sikap mental seoang guru yang mengandung kesadaran dan kerelaan untuk mematuhisemua ketentuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab. Disiplin guru tersebut

Namun dari rumus tersebut telah dihitung untuk populasi-populasi dengan jumlah tertentu mulai 10 hingga 1.000.000 oleh Sugiono (2009:126) sebagaimana tabel terlampir. Untuk jumlah populasi 18 orang dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh sampel sebanyak 18 orang. Oleh karena itu dalam penelitian ini Dari 19 orang ini dipilih dengan teknik total sampling yaitu mengambil seluruh guru menjadi responden.

37

diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut : a. Kehadiran di sekolah b. Ketepatan waktu mengajar c. Persiapan mengajar yaitu silabus, RPP d. Kegiatan belajar mengajar antara lain alat peraga, buku penunjang, buku absen siswa, daftar nilai, dan lain-lain. Teknik Pengumpulan Data Adapun proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : 1. Survey Pendahuluan Dalam kegiatan ini, penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data-data intern perusahaan di antaranya adalah profil SDN Ngagelrejo II Wonokromo Surabaya. 2. Dokumentasi Teknik dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya (Suharsimi, 2002 : 236). Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk mencatat indikator disiplin guru. 3. Kuesioner Dalam penelitian ini digunakan kuesioner tertutup dengan skala Likert. Menurut Arikunto (1998:151) kuesioner tertutup adalah kuesioner yang telah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih jawaban pada kolom yang sudah disediakan dengan memberi tanda cross (x). Dalam penelitian ini kuesioner digunakan

untuk megambil data tentang pelaksanaan supervisi kepala sekolah.

Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan urutan analisa sebagai berikut : 1. Coding, adalah memberi kode pada lembar check list sesuai dengan kategori yang telah ditentukan. 2. Tabulating, Tabulating adalah mentabulasi seluruh data hasil chek list ke dalam tabel-tabel yang diperlukan sehingga mudah dibaca. 3. Skoring, Skoring adalah memberi skor dari kategori-kategori tersebut sesuai skor yang telah ditentukan. Pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan disiplin guru diberi skor tinggi, sedang dan rendah. Skor tinggi jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai >75%, skor sedang jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai 56-75%, dan rendah jika penjumlahan dari hasil penilaian <56%. 4. Uji Hipotesis Uji hipotesis berfungsi untuk menjawab hipotesa yang telah diajukan sebelumnya. Uji ini sekaligus juga menjawab rumusan masalah yang telah ditulis pada Bab I. Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Regresi Sederhana dengan rumus persamaan regresi sederhana : Y = a + bX Y = Disiplin guru X = Pelaksanaan supervisi kepala sekolah a = Nilai konstanta b = Nilai arah sebagai penentu ramalan (prediksi) yang

38

Pelak s anaan Supe rvis i Keps ek

menunjukkan nilai peningkatan (+) atau nilai penurunan () variabel Y. Dalam penelitian ini perhitungan regresi dilakukan dengan bantuan program SPSS for Windows. Langkah menguji hipotesis : a. Membuat Ha dan Ho dalam bentuk kalimat : Ha : Terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru Ho : Tidak terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru b. Kaidah pengujian signifikansi : Jika Fhitung Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak artinya terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Jika Fhitung < Ftabel maka Ha ditolak dan Ho diterima artinya tidak terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru.

Valid

Kurang Cuku Baik Total

Frequenc y 3 13 2 18

Percent 16,7 72,2 11,1 100,0

Valid Percent 16,7 72,2 11,1 100,0

Cumulativ e Percent 16,7 88,9 100,0

Tabel 1 menunjukkan dari 18 guru sebagai responden dalam menanggapi pelaksanaan supervisi kepala sekolah 72,2% menyatakan cukup, 16,7% menyatakan kurang, dan 11,1% masing menyatakan baik.

Tabel 2 Disiplin Guru di SDN Ngagelrejo II/397 Kec. Wonokromo Kota Surabaya

Dis iplin Gur u Cumulativ e Percent 16,7 100,0

Valid

Cukup Baik Total

Frequenc y 3 15 18

Percent 16,7 83,3 100,0

Valid Percent 16,7 83,3 100,0

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa disiplin guru dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar (83,3%) baik, dan 16,7% cukup.

Analisis Data Hasil Pengujian Validitas Validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan mengukur apa yang diinginkan dan mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Instrument valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapat data itu valid. Dalam uji validitas ini suatu butir pernyataan dikatakan valid jika corrected item total correlation lebih besar dari 0,468 (untuk jumlah responden 18 orang df = 16) sebagaimana tabel r produk momen terlampir. Hasil pengujian validitas terhadap variabel pelaksanaan

HASIL PENELITIAN

Tabel 1 Pelaksanaan Supervisi Kepala Sekolah

39

supervisi kepala sekolah dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 3 Hasil Uji Validitas Variabel Pelaksanaan Supervisi Kepala Sekolah Pernyataan 1 2 3 4 5 6 Corrected item total correlation 0,720 0,692 0,623 0,668 0,612 0,622 Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid

Hasil Pengujian Regresi Linier Sederhana Untuk mengetahui ada atau tidaknya pergaruh antara variabel bebas pelaksanaan supervisi kepala sekolah (X) terhadap variabel terikat yang dalam hal ini adalah disiplin guru (Y), maka digunakan analisis model regresi linier sederhana dengan model persamaan sebagai berikut :

Y = + bX1 Dimana : Y X b = Disiplin guru = Pelaksanaan supervisi kepala sekolah = koefisien regresi X

Sumber : Hasil Olah Data SPSS Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk item pernyataan variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah, corrected item total correlation yang diperoleh untuk seluruh item pernyataan adalah lebih besar dari 0,468 hal tersebut berarti bahwa secara keseluruhan item pernyataan mengenai pelaksanaan supervisi kepala sekolah adalah valid. Hasil Uji Reliabilitas Suatu alat ukur dikatakan reliabel atau handal, jika alat itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berbeda senantiasa menunjukkan hasil yang relatif sama. Untuk menguji reliabilitas suatu instrument dapat digunakan uji statistic Cronbach Alpha (), dimana suatu alat ukur dikatakan reliabel jika nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,60. Hasil pengujian reliabilitas terhadap variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah diperoleh alpha sebesar 0,8773 lebih besar dari 0,6 sehingga dapat diputuskan bahwa item kuesioner telah reliabel.

Output perhitungan dengan program SPSS for Windows seperti terlihat dalam gambar berikut.
ANOVAb Sum of Squares ,680 1,820 2,500

Model 1

df 1 16 17

Regression Residual Total

Mean Square ,680 ,114

F 5,975

Sig. ,026 a

a. Predictors: (Constant), Pelaksanaan Superv isi Kepsek b. Dependent Variable: Dis iplin Guru

Gambar 1 Uji F

Gambar 4.3 di atas menunjukkan hasil uji F dengan program SPSS for Windows, dengan Fhitung sebesar 5,975. Angka ini selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel df = 16 sebagaimana Tabel F pada lampiran (Critical Values for the F Distribution =0,05). Tabel F dengan df =

40

16 dan n =1 diperoleh Ftabel = 4,49. Sehingga Fhitung = 5,975 > Ftabel = 4,49. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Terlihat pula signifikan hasil hitung hitung = 0,026 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan. Selain adanya pengaruh yang signifikan, pada uji korelasi juga terlihat adanya korelasi positif antar kedua variabel seperti tampak pada Gambar 4.2. Hasil Pearson Correlation sebesar 0,521 lebih dari rtabel sebesar 0,468 (Sebagaimana r tabel Product Moment pada df = 16 terlampir).
Cor relations Pelaksanaan Supervis i Keps ek ,521 1,000 ,013 , 18 18

Sebagaimana Uji F di atas yang menunjukkan adanya pengaruh, Uji t juga seperti pada Gambar 4.3 memperlihatkan thitung sebesar 2,444 > ttabel sebesar 2,120 (sebagaimana Critical Value for the t Distribution terlampir) artinya terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Untuk menunjukkan besarnya pengaruh atau kontribusi pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru dapat dilihat koefisien regresi (unstandarized coefficients Beta) pada gambar 4.2 sebesar 0,589. Selanjutnya sesuai dengan rumus regresi sederhana dapat dimasukkan angka-angka tersebut sebagai berikut : Y = a + bX = 2,112 + 0,371 Selanjutnya berdasarkan persamaan di atas deskripsi pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru berdasarkan unstandarized coeffisients beta adalah sebagai berikut: 1) Konstanta sebesar 2,112 menyatakan bahwa jika variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah dianggap konstan (tidak ada upaya supervisi), maka disiplin guru sebesar 2,112 point. 2) Koefisien regresi pelaksanaan supervisi kepala sekolah sebesar 0,371 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1 poin pelaksanaan supervisi kepala sekolah akan meningkatkan disiplin guru sebesar 0,371 poin. Jika angka tersebut dikalikan 1000, deskripsinya menjadi setiap ada upaya pelaksanaan supervisi kepala sekolah sebesar 1000

Pearson Correlation

Sig. (1-tailed)

Disiplin Guru Pelaksanaan Supervis i Keps ek Disiplin Guru Pelaksanaan Supervis i Keps ek Disiplin Guru Pelaksanaan Supervis i Keps ek

Disiplin Guru 1,000 ,521 , ,013 18 18

Gambar 4.2 Pearson Correlations

Besarnya pengaruh atau kontribusi tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan dapat dilihat pada gambar Uji t berikut ini.
a Coe fficients

Model 1

(Constant) Pelaksanaan Supervisi Kepsek

Unstandardized Coefficients B Std. Error 2,112 ,305 ,371 ,152

Standardized Coefficients Beta ,521

t 6,915 2,444

Sig. ,000 ,026

a. Dependent Variable: Disiplin Guru

Gambar 4.3 Uji t

41

poin maka akan meningkatkan disiplin guru sebesar 371 point. Hasil uji regresi linier sederhana menunjukkan adanya pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Adanya pengaruh ini menunjukkan betapa pentingnya pelaksanaan supervisi kepala sekolah. Dalam kaitan pentingnya pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru, Soewadji (1980:33) menyatakan supervisi merupakan rangsangan, bimbingan atau bantuan yang diberikan kepada guru-guru agar kemampuan profesionalnya semakin bertambah, sehingga situasi belajar mengajar lebih efektif dan efisien. Kemampuan profesional tidak lepas dari disiplin guru, dikatakan profesional berarti seorang guru juga bisa melaksanakan disiplin dengan baik. Baharudun Harahap menjelaskan masalah supervisi dalam administrasi pendidikan adalah pembinaan administrasi atau kepegawaian, yaitu masalah pengaturan, penyusunan dan penyimpanan data sebagai dasar dukungan keputusan mutasi yang menyangkut kepentingan pegawai dalam kedudukan sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan yang dimaksud data di sini meliputi dokumen perorangan maupun data hasil olahan atau laporan. Laporan yaitu kartu merah, Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dan selain itu untuk mengetehui bagaimana kenaikan pangkat para guru atau pegawai dan pembagian tugasnya. Apalagi jika pelaksanaan supervisi kepala sekolah yang memenuhi prinsipprinsip yang telah ditentukan maka

semakin jelas hasilnya terhadap disiplin guru. Prinsip konstruktif misalnya, bahwa pelaksanaan bersifat membangun yaitu harus tampak perbedaan antara sebelum diadakan supervisi dengan sesudah supervisi yaitu makin majunya dalam suatu hal pengetahuan, sikap atau nilai dan ketrampilan, profesi. Maka maksudnya, supervisor hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa setiap guru pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Prinsip kreativitas juga tidak kalah penting, Dolok Saribu dan Berlian T. Simbolon (1984:236) mengemukakan bahwa supervisi hendaknya mendorong guru untuk berinisiatif, melalui supervisi hendaknya guru dapat memperoleh pengetahuan, juga berkreasi atau mencipta dengan sikap atau nilai dan ketrampilan guru atas inisiatif sendiri tidak bergantung kepada kepala sekolah atau pemimpinannya. Sedangkan prinsip kooperatif, juga telah dikembangkan oleh kepala sekolah yang dilaksanakan atas kerja sama antara kepala sekolah dan guru, sehingga terjalin kehamonisan kerja yang baik, saling mengisi dan menyadari kekurangan masing-masing. Supervisor tidak dianggap momok yang menakut-nakuti, namun di sini sebagai pemimpin mereka yang harus bias membantu kelancaran tugas para guru. Prinsip demokrasi dilaksanakan oleh kepala sekolah tidak hanya atas kemampuannya, tetapi juga ternyata perlu mempertimbangkan kemauan/pendapat para guru. Kepala Sekolah sebagai supervisor menghargai kepribadian guru, dalam pembicaraan bersama ia harus memberi kesempatan kepada guru untuk

42

mengeluarkan pendapatnya dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil hendaknya dengan jalan musyawarah. Prinsip kontinyuitas yaitu melaksanakan terus-menerus secara teratur, tidak hanya karena akan ada inspeksi atasan, sehingga para guru sudah terbiasa bekerja dengan teratur disertai dengan rasa disiplin dan tanggung jawab. Prinsip ilmiah menurut Made Pidharta (1986:39) bahwa supervisi dilaksanakan hendaknya dengan sistematika, objektif dan berdasarkan data atau informasi. Dalam hal ini tugas supervisi diharuskan pada pembinaan guru-guru. Supervisi berpegang pada tujuan sekolah, koordinasi merode belajar dan kualifikasi dengan segala aktifitasnya yang sudah ditentukan secara jelas.

SARAN DAFTAR PUSTAKA 1. Pelaksanaan supervisi kepala sekolah seyogyanya dilaksanakan sebaikbaiknya sehingga lebih meningkatkan disiplin guru. 2. Guru hendaknya ikut mensukseskan pelaksanaan supervisi kepala sekolah agar kegiatan proses belajar mengajar lebih meningkat dan bermutu. 3. Bagi pihak-pihak terkait khususnya pemerintah hendaknya memperhatikan pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan membantu memberikan instrumen yang valid dan handal.

Ametembun, Drs.M.A, Supervisi Pendidikan, Penerbit IKIP Bandung, 1975 Ametembun, Drs.M.A, Manajemen Kelas, Terbitan Ketiga Penerbit IKIP Bandung, 1981 Ghozali, Imam. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Undip, Semarang. 2002. Hendyat Sutopo, Dr., Ikhtiar Teknik Penilaian Pendidikan, Penerbit IKIP Bandung, 1984

43

Ismed Syarif, Drs dan Nawas Riza, Drs., Administrasi Pendidikan Dasar, Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976 M. Ngalim Purwanto, Drs.M.P., Pyskologi Pendidikan, Penerbit PT. Rosda Karya Bandung 1990 M. Dimyati Mahmud, Psykologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Terapan Edisi I Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta Sutrisno Hadi, Prof. Dr. M.A., Metodologi Reseach, Jilid II Penerbit FKP IKIP Yogyakarta 1967 Suhertin, Drs. Dan Nata Her, Drs Supervisi Pendidikan, Dalam Rangka Program Insenvice Education, Penerbit IKIP Malang 1971 S. Nasution, Prof.Dr.M.A Didaktik dan Azas-Azas Kurikulum, Penerbit Jemara Bandung 1989 Westy Sumanto, Drs dan Hendyat Sutopo Kepemimpinan Pendidikan, Peberbit Usaha Nasional Surabaya 1982 Subari, Drs Supervisi Pendidikan, Dalam Rangka Perbaikan Situasi Mengajar Penerbit Bumi Aksara Jakarta 1994 Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Buku II Petunjuk Administrasi Sekolah Dasar, tahun 1989 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wilayah Jawa Timur Media Pendidikan, Nomor 3 Edisi Mei 1991

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Kamur Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka 1989 TAP MPR No. II/MPR/1993 Garis-Garis Besar Haluan Negara 1993-1998, Penerbit Bina Pustaka Surabaya 1989.

44

ISSN 2089-5933

Diterbitkan Oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gresik

E JURNAL JENDELA PENDIDIKAN

Vol. : 01

No.: I

Hlm.
1 1-106

Gresik Juni Nopember

ISSN
2089-5933

TELAAH KRITIS PENDIDIKAN UNTUK SEMUA (EDUCATION FOR ALL) DALAM KONTEKS MANAJEMEN PENDIDIKAN

Soesetijo *)

Abstrak: pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya

manusia (SDM). Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pengajaran. Indonesia juga merupakan salah satu Negara yang menandatangani Education for All. Oleh karena itu, Indonesia mencanang-kan Wajib Belajar 6 tahun pada tahun 1984 dan Wajib Belajar 9 tahun pada tahun 1994. Hakikat dari Pendidikan untuk Semua dan Semua un-tuk Pendidikan adalah mengupayakan agar setiap warga Negara dapat memenuhi haknya. Untuk mewujudkan program PUS (Pendidikan Untuk Semua) tersebut, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembagalembaga sosial kemasyarakatan, maupun warganegara secara individual, secara bersamasama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk barpartisipasi aktif dalam menyukseskan pendidikan untuk semua. Agar program PUS dapat memenuhi target ca-paian sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu dikelola secara profe-sional. Dalam konteks menejemen pendidikan, secara struktural penge-lolaan PUS perlu ada kosistensi dan komitmen yang sama dalam pelak-sanaannya, terutama dalam penerapannya di lembaga-lembaga pendidikan yang terkait.

Kata-kata kunci: telaah kritis, pendidikan untuk semua, manajemen pendidikan.

Manusia pendidikan manusia potensi dalam dapat dirinya

membutuhkan kehidupannya. mengembangkan melalui proses

bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia. Indonesia merupakan salah satu Negara yang menandatangi deklarasi Education for All. Berkaitan dengan deklarasi ini dan sekaligus juga sebagai wujud keseriusan maka Indonesia Indonesia mensukseskannya,

Pendidikan merupakan usaha agar

pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga bahwa Negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan Pemerin-tah mengusahakan yang dan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan meningkatkan nasional keimanan

telah mencanangkan Wajib Belajar 6 Tahun pada tahun 1984 dan 10 tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1994, Indonesia mencanangkan Wajib Belajar 9 Tahun. Melalui Wajib Belajar 6 Tahun diharapkan anak-anak usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) dapat menikmati layanan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Artinya, anak-

ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan dengan bangsa yang diatur

anak usia SD dapat menyelesaikan pendidikan SD. Demikian juga halnya melalui pencanangan Wajib Belajar 9 Tahun diharapkan (13-15 anak-anak tahun) usia dapat SMP

undang-undang.

Untuk itu,

seluruh komponen

*) Soesetijo, staf pengajar Universitas Gresik.

menyelesaikan pendidikan SMP. Dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang pluralistis di mana setiap anak yang mengalami berbagai jenis kebudayaan diharapkan belajar beradaptasi utama terhadap kebudayaan (mainstream Indonesia

culture), upaya pendekatan belajar bagi setiap anak harus lebih banyak dikaji secara mendalam sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman dan sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak (Developmentally Appropriate Practice, DAP). Sejak kemerdekaan bangsa ini maka telah disebutkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa setiap anak Indonesia berhak dengan untuk hak belajar. asasi UUD ini yang dilandasi oleh filsafat yang serasi manusia menjaga kedaulatan manusia yang memiliki hak untuk belajar. Berbagai diarahkan keberhasilan program untuk pelaksanaan yang Wajib

masuk ke dalam kelompok tenaga kerja kasar.

Konsep Pendidikan untuk Semua (PUS) Hakekat dari Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan adalah warga mengupayakan Negara dapat layanan agar setiap memenuhi pendidikan

haknya, yaitu setidak-tidaknya untuk mendapatkan dasar (Wajib Belajar 9 Tahun). Untuk dapat mewujudkan Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warga Negara secara individual, atau untuk secara bersama-sama berkomitmen aktif untuk sendiri-sendiri, berpartisipasi menyukseskan sesuai dengan

mendukung

Belajar 6 Tahun dan 9 Tahun telah dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Berkaitan dengan hal ini, satu hal yang menjadi keprihatinan di berbagai hal Negara terpaksa adalah tidak pendidikan mengenai dapat SD, anak-anak yang karena satu dan lain menyelesaikan

dalam Pendidikan

Pendidikan untuk Semua dan Semua potensi dan kapasitas masing-masing. Sebagai unit organisasi terkecil, orang tua dari setiap keluarga tergugah dan ter-panggil untuk setidak-tidaknya membimbing anak-anaknya, pendidikan lembaga dan formal pendidikan membelajarkan baik melalui non-formal, persekolahan,

sehingga mereka ini menjadi warga Negara yang buta aksara. Demikian juga dengan anak-anak yang terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikan SMP, maka mereka akan cenderung

maupun melalui lembaga pendidikan informal. Mengirimkan anak untuk belajar melalui lembaga pendidikan sekolah sudah jelas yaitu mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan pendidikan tinggi. Apabila karena satu dan lain hal, seorang anak untuk tidak mengikuti memungkinkan

pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki, dapat membimbing dan membelajarkan dapat mengikuti anak-anaknya ujian persamaan

sehingga pada akhirnya sang anak (Upers), baik pada satuan pendidikan SD, SMP atau SMA. Pendidikan untuk Semua (PUS) Pada tanggal 5-9 Maret 1990 di Jomtien, Thailand , 115 negara dam 150 organi-sasi saling bertemu dan mengadakan Konferensi Dunia membahas Education for All (EFA) atau Pendidikan Untuk Semua (PUS). Dalam rangka mewujudkan tujuan terse-but, perlu koalisi yang luas dari pemerintah nasional, masyarakat sipil kelompok, dan lembaga pembangunan seperti UNESCO dan Bank Dunia. Mereka berkomitmen untuk mencapai enam tujuan pendidikan yaitu : 1. Memperluas dan meningkatkan perawatan anak usia dini yang komprehensif dan pendidikan, terutama rentan bagi yang paling yang dan anak-anak

pendidikan persekolahan, maka orang tua dapat mengirimkan anaknya untuk mengikuti kegiatan pembelajaran pada pendidikan non-formal, seperti Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA. Seandainya seorang anak tidak memungkinkan juga mengikuti pendidikan melalui pendidikan formal dan non-formal, maka masih ada model pendidikan alternatif yang dapat ditempuh, yaitu Sekolah dapat di Rumah (Home lembagaSchooling). Dalam kaitan ini, orang tua mengidentifikasi lembaga sosial kemasyarakatan atau unit-unit pendidikan prakarsa anggota masyarakat yang menyelenggarakan Sekolah di Rumah dan kemudian mengirimkan anaknya untuk mengikuti pendidikan di lembaga atau unit pendidikan tersebut. Atau, orang tua sendiri dengan latar belakang

kurang beruntung. 2. Memastikan bahwa pada 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, yang dalam keadaan sulit, dan mereka yang

termasuk

etnik

minoritas,

diakui semua,

dan

diukur

hasil dalam dan

memiliki akses lengkap dan bebas ke wajib pendidikan dasar yang berkualitas baik. 3. Memastikan bahwa kebutuhan belajar semua pemuda dan dewasa dipenuhi me-lalui akses adil untuk pembelajaran yang tepat dan program keterampilan hidup. 4. Mencapai 50% peningkatan dalam keaksaraan orang dewasa pada tahun 2015, khususnya bagi perempuan, dan akses ke pendidikan dasar dan pendidikan ber-kelanjutan bagi semua orang dewasa secara adil. 5. Menghilangkan dan menengah dalam 2015, perbedaan pada tahun gender pada pendidikan dasar 2005, dan mencapai kesetaraan gender dengan pendidikan dengan fokus akses dengan aspek dan

pembelajaran yang dicapai oleh khususnya berhitung keaksaraan,

kecakapan hidup yang esensial. Setelah satu dekade, karena lambatnya kemajuan dan banyaknya Negara yang jauh dari keharusan untuk kembali mencapai tujuan tersebut, terhadap masyarakat internasonal menegas-kan komitmennya Pendidikan Untuk Semua di Dakar, Senegal, pada 26-28 April 2000 dan sekali lagi pada bulan September tahun itu. Pada pertemuan terakhir, 189 negara dan mitra mereka mengadopsi dua dari delapan tujuan Pendidikan Untuk Semua yang dikenal dengan nama Millenium Development Goals (MDG) yaitu MDG 2 mengenai pendidikan dasar dan universal serta MDG 3 mengenai kesetaraan jender dalam pendidikan pada tahun 2015. Indonesia, sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) turut menyepa-kati komitmen dunia untuk menyelenggarakan for All untuk dunia pada Semua itu program atau (PUS). telah Education Pendidikan Komitmen (EFA)

pada perempuan bahwa mereka dipastikan pendidikan 6. Meningkatkan kualitas menjamin mendapat dasar semua penuh dan sama ke dalam kualitas yang baik. pendidikan semua,

sehingga

dikumandangkan

kon-ferensi

dunia di Jomtien, Thailand, pada tahun 1990. Namun seba-gai baru sebuah dideklarasikan

Indonesia berkepentingan

merasa menandatangani

konvensi tersebut untuk memperkuat komitmen bersama sebagai bangsa dalam memenuhi hak-hak setiap anak memperoleh mencapai bagian pendidikan dica-pai dari pendidikan. EFA upaya Upaya target merupakan secara

gerakan dunia pada pertemuan di Dakar, Senegal, pada 26-28 April 2000. The Dakar Framework for Action berisikan enam tujuan utama: 1) memperluas untuk pendi-dikan semu untuk 3) anak usia dini; 2) menuntaskan wajib belajar (2015); mengembangkan proses

pembangunan

nasional dalam

keseluruhan. Sudah banyak yang dapat pembangunan pendidikan sejak kemerdekaan. Tapi juga besar pekerjaan ru-mah dan tantagan era sekarang dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang unggul untuk pembangunan. Kaitannya dengan Kerangka Aksi Dakar Pendidikan untuk Semua, seluruh war-ga yang menandatangani deklarasi berupaya memperluas termasuk memegang dan Indonesia, komitmen memperbaiki

pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa; 4) me-ningkatnya 50% orang dewasa yang melek huruf (2015) khususnya perempuan; 5) meningkatkan mutu pendidikan; dan (6) menghapuskan kesenjangan gender. Target pencapaian EFA pada 2015 itu kemudian disepakati untuk dipercepat. Komitmen mempercepat target EFA digaungkan E-9 Ministerial Review Meeting on Educationfor All atau para menteri pendidikan dari Sembilan Denpasar, Negara Bali, 12 berpenduduk Maret 2008. terbesar dunia, pada pertemuan di Anggota E-9 adalah Negara dengan jumlah penduduk sekitar 60% populasi dunia. Selain Indonesia, anggota E-9 adalah Bangladesh, Brazil, Cina, Mesir, India, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan.

pendidikan. Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional Pendidikan Untuk Daerah Semua (RAN-PUS), Untuk yang Semua dijabarkan ke dalam Rancangan Aksi Pendidikan (RAD-PUS) pada semua provinsi dan sebagian besar kabupaten/kota. Sebagian menjalankan dari Pendidikan komitmen untuk

Semua,

pemerintah

mencanangkan

1. UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat 1 : setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. 2. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) : a) Kewajiban bagi orangtua untuk memberikan pendidikan dasar bagi anaknya (pasal 7 ayat 2) b) Kewajiban daya dalam bagi masyarakat memberikan dukungan sumber penyelenggaraan pendidikan (pasal 9) c) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Kebijakan Indonesia Bangsa bangsa yang maju adalah yang memperlihatkan Pendidikan di

penuntasan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Wajar Dikdas 9 Tahun mencakup jenjang pendidikan SD/MI/pendidikan setara dan SMP/MTs/ pendidikan setara. Program ini secara resmi dicanangkan Presiden Soeharto pada tanggal 2 Mei 1994. Saat itu, Presiden Soeharto menargetkan program tersebut tuntas pada tahun 2004, dengan indikator utama berupa angka partisipasi kasar (APK) SMP/ MTs/pendidikan setara minimal 95%. Pada tahun 2004, Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI sebesar 94,12% dan Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs 81,22%. Hantaman krisis ekonomi yang merangsek sejak akhir tahun 1997 itu, membuat target dire-visi menjadi akhir tahun 2008. Keputusan menjadwal ulang itu dilakukan pada tahun 2000, saat Abdurrahman Wahib menjadi Presiden RI. Landasan Pendidikan Untuk

pendidikan dalam pembangunannya. Karena pendidikan merupakan proses Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia yang akan berhenti terjadi dan melakukan pada sistem pendidikan, sulit dibayangkan apa peradaban budaya (Suyanto,

Semua di Indonesia Landasan yuridis pelaksanaan pendidikan untuk semua atau education for all di Indonesia didasari oleh beberapa hal, diantaranya adalah:

2006) manusia. Dengan ilustrasi ini, maka baik pemerintah maupun berupaya pendidikan yang untuk dengan diinginkan manusia. masyarakat melakukan standar untuk

pemerataan pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah (Nana Fatah Natsir, dalam Hujair AH. Sanaky, 2003). Dari sini, pendidikan dipandang sebagai katalisator yang dapat menunjang faktor-faktor lain. Artinya, pendidikan (SDM) menjadi sebagai upaya penting pengembangan sumberdaya manusia semakin dalam pembangunan suatu bangsa.

kualitas

memberdayakan

Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman (Suyanto, 2006). Indonesia, telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan telah dikokohkan dengan UU No. 20 tahun 2003. Pembangunan pendidikan di sekurang-kurangnya pertama, untuk kedua, ketiga, pemerataan memperoleh relevansi peningkatan Secara umum Indonesia yakni;

Untuk menjamin kesempatan memperoleh pendidikan yang merata disemua kelompok strata dan wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat strategi yaitu : perkembangannya dan kebijakan (a) perlu pendidikan,

menggunakan empat strategi dasar, kesempatan pendidikan, pendidikan,

menyelenggarakan

pendidikan yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia tantangan menyelenggarakan dapat (accountasle) dalam global, pendidikan menghadapi (b) yang

kualiutas pendidikan, dan keempat, efesiensi pendidikan. strategi itu dapat dibagi menjadi dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan Pembangunan diharapkan pendidikan. dapat pendidikan. peningkatan mutu meningkatkan kebijkan

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat

sebagai pemilik sumberdaya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, (c) menyelenggarakan proses pendidikan yang demokratis secara profesional sehingga tidak mengorbankan mutu

efisiensi, efektivitas dan produktivitas Sedangkan

pendidikan, (d) meningkatkan efisiensi internal dan eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, (e) memberi peluang yang luas dan meningkatkan masyarakat, diversifikasi sesuai dengan sehingga program sifat kemampuan terjadi pendidikan multikultural

Dengan peningkatan relevansi pendidikan, kesempatan

demikian, kualitas pendidikan, dan untuk

tuntutan pendidikan, efesiensi pemerataan memperoleh

pendidikan, belum terjawab dalam kebijakan pendidikan kita. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan pendidikan SDM yang yang egalitarian merata dan di semakin

bangsa Indonesia, (f) secara bertahap mengurangi peran pemerintah menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan, (g) Merampingkan birokrasi pendidikan sehingga lebih lentur (fleksibel) untuk melakukan dinamika dalam penyesuaian perkembangan terhadap masyarakat

berbagai daerah. Proses menuju perubahan sistem pendidikan nasional banyak menuai kendala nasional pergumulan penguasa. serius. sebagai ideologi Apalagi bagian dan ketika dari politik membicarakan konteks pendidikan

lingkungan global (Kelompok Kerja Pengkajian, dalam Hujair AH. Sanaky, 2003). Empat strategi dasar kebijakan pendidikan yang dikemukakan di atas cukup ideal. Tetapi Muchtar Bukhori, seorang pakar pendidikan Indonesia, menilai bahwa kebijakan pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite dengan kurikulum yang elitis yang hanya dapat ditangkap oleh 30 % anak didik, tidak 4 sedangkan bisa 70% 2004). lainnya (Kompas, mengikuti

Problem-problem yang

dihadapi seringkali berkaitan dengan kebijakan-kebijakan (policies) yang sangat konteks pakar strategis. kebijakan dan praktisi pemerintah, Maka, dalam pendidikan pendidikan dianggap

nasional, menurut Suyanto, banyak mengkritisi

tidak memiliki komitmen yang kuat untuk membenahi sistem pendidikan nasional.(Suyanto,2006). kurang rumusan menggambarkan Artinya, rumusandan kebijakan-kebijakan pendidikan kita, permasalahan

September

10

prioritas yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Hal ini, terutama berkaitan dengan anggaran pendidikan nasional yang semestinya sebesar minimal 20%, daimbil dari APBN dan APBD (pasal 31 ayat 4 UUD Amandemen keempat). Tetapi, sampai sekarang kebijakan strategi belum dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan rakyat kecil nasional yang tidak masih mampu menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi mengecap pendidikan di sekolah (Suyanto, 2006). Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan kebijakan kita otonomi pendidikan nasional dan itu otonomi

Kebijakan tersebut masih sangat baru, maka sudah barang tertentu banyak kendala yang masih belum terselesaikan. Otonomi yang didasarkan pada UU atau No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan kebijakan secara mandiri. dasar ideal dan ini, dapat bebas, sudah Otonomi sangat erat kaitanya dengan desentralisasi. maka otonomi dalam tumbuh Dengan yang

suasana

demokratis,

rasional

barang tentu dalam kalangan insaninsan yang berkualitas. Oleh karena itu, rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah dirumuskan misi pendidikan mewujudkan nasional sistem kita, dan yaitu iklim

pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, cerdas, berwawasan kebangsaan, serta

mempengaruhi (Suyanto,

sistem

pendidikan Sistem

2006).

pendidikan kita pun menyesuaikan dengan model otonomi. Kebijakan otonomi (otonomi banyak di bidang pendidikan kemudian akan pendidikan) membawa

sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan kualitas menguasai Indonesia. iptek dalam rangka mengembangkan manusia (Soedjiarto,1999).

harapan

perbaikan sistem pendidikan kita.

11

Untuk tersebut perluasan pendidikan, kemampuan profesionalitas pembaharuan bidang

mewujudkan diterapkan

misi arah

komersialisasi pendidikan. Hal ini, menurut Suyanto, semakin dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang oleh beberapa pengamat mengarah Persoalan dianggap pada sebagai liberalisasi apakah pengejawantahan dari sistem yang pendidikan (Suyanto, 2006). sekarang, sistem pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern, memiliki kemampuan daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya kita sebagai tentu bangsa belum. Menurut Suyanto, berbicara kemampuan, benar nampaknya belum sepenuhnya siap menghadapi (Suyanto, tantangan 2006). bidang persaingan

mesti

kebijakan sebagai berikut, yaitu : (1) dan (2) serta pemerataan meningkatkan dan kesejahteraan sistem (4)

akademik

tenaga kependidikan, (3) melakukan dalam kurikulum, pendidikan nasional termasuk dalam memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS secara luas, (5) dalam realisasi pembaharuan pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen, (6) meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya selalu sehingga reaktif membangkitkan dalam seluruh semangat yang pro-aktif, kreatif, dan komponen bangsa. (Soedjiarto, 1999). Beberapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan, mencermati kebijakan otonomi pendidikan sering dipahami sebagai indikasi kearah liberalisasi atau lebih parah lagi dikatakan sebagai indikasi kearah

Sementara, disatu sisi,

pendidikan kita menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita masih melahirkan mismatch terhadap tuntutan dunia kerja, baik secara nasional maupun regional. (Suyanto, 2006). Berbagai problem fundamental yang dihadapi pendidikan nasional

12

saat

ini,

yang

tercermin

dalam

sistem pendidikan (Suyanto, 2006) di Indonesia. Posisi Indonesia dalam PUS Indonesia merupakan salah satu Negara deklarasi sekaligus keseriusan mensukseskannya, maka yang menandatangani for All. wujud Indonesia Indonesia Education juga

realitas pendidikan yang kita jalan. Seperti pendidikan, persoalan kurikulum, anggaran strategi

pembelajaran, dan persoalan output pendidikan kita yang masih sangat rendah metodik kualitasnya. dan Problemyang problem pendidikan yang bersifat strategik membuahkan output yang sangat memprihatinkan. Output, pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, yang karena pernah malah tahunnya, kita adalah memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, mengenyam Ini artinya, output pendidikan, setiap nasional Mereka itu,

Berkaitan dengan deklarasi ini dan sebagai

telah mencnangkan Wajib Belajar 9 Tahun pada tahun 1984 dan 10 tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1994, Indonesia mencanangkan Sekolah Dasar (7-12 tahun) dapat menikmati layanan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Artinya, anak-anak usia SD dapat menyelesaikan Demikian juga pendidikan halnya SD. melalui

menjadi pengangguran terselubung. pendidikan memproduksi terselubung.

pencanangan Wajib Belajar 9 Tahun diharapkan anak-anak usia SMP (13-15 Tahun) Jalal dapat dan menyelesaikan Supriadi meskipun (2001) strategi penddikan SMP. mengemukakan

pengangguran

korban dari ketidakberesan sistem pendidikan kita yang masing sedang merangka berbenah. Mungkin saja, kita sebagai insan yang berpendidikan, tentu saja terus atau banyakan berharap akan datangnya perubahan fundamental terhadap

perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan terfokus kepada program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, jenis dan jenjang pendidikan lainnya yang tercakup. Indikator-indikator keberhasilannya

13

adalah:

(a)

mayoritas minimal

penduduk SMP dan

3. Mengembangkan pendidikan alternatif

layanan tanpa

berpendidikan

partisipasi pendidikan meningkat yang ditunjukkan dengan APK-SD 15%, APK SMP 12% mencapai dengan 80%, APK SLTA mencapai 47%, dan APK PT sebesar perluasan terkendali untuk bidang-bidang unggulan dan teknologi, (b) meningkatnya budaya belajar di kalangan masyarakat yang ditunjukkan meningkatnya pendidikan kursus-kursus, antara lain dengan program seperti peserta berkelanjutan

mengorbankan mutu program; 4. Menetapkan standar kompetensi minimal keluaran pendidikan; 5. Melanjutkan bagi program PMTAS secara terseleksi dan terkendali yang benar-benar beasiswa anggaran untuk pendidikan memerlukan; 6. Melanjutkan 7. Meningkatkan pemerintah program bagi kalangan anak-anak miskin;

program pendidikan

secara bertahap dan terencana; dan 8. Meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat dalam membiayai pendidikan. Sebagai pemerintah wujud terhadap komitmen pentingnya

masyarakat, meningkatnya penduduk melek huruf hingga mencapai 88% pada tahun 2005; (c) meningkatnya proporsi penduduk kurang beruntung yang memperoleh kesempatan pendidikan. Kebijakan program yang harus dilakukan adalah: 1. Memperluas pendidikan dasar; 2. Meningkatkan layanan pendidikan kepada kelompok yang kurang kaum beruntng, perempuan; termasuk kesempatan pendidikan dengan prioritas pada

program Pendidikan Untuk Semua (Education for All/EFA), Kementerian Pendidikan Nasional menggelar sejumlah kegiatan melalui Pekan Aksi Global Pendidikan Untuk Semua 2010. Tema untuk aksi tahun Aksi ini ini adalah yang Pembiayaan Pendidikan Bermutu Hak Semua. dipusatkan di tiga kota, yaitu di Jakarta, Bandung, dan Makasar pada 19-25 April 2010.

14

Menurut (2010), cukup aspek

Ela

Yulaciawati dalam

kecakapan bertujuan

hidup.

Pendidikan

ini

pembiayaan

mempersiapkan

orang-

program Pendidikan untuk Semua problematik. Sejumlah pertanyaan muncul menyangkut aspek pembiaya-annya, terutama mengenai standar biaya pendidikan bermutu untuk semua orang. Berapa biaya untuk apakah Untuk hanya pendidikan anak-anak itu yang akan yang cukup aspek terpinggirkan (marjinal). Kemudian, pembiayaan atau malah mendidik

orang menjelang usia lanjut agar bisa hidup mandiri dan sehat pada saat mereka telah berusia lanjut. Jika mereka bisa mandiri dan sehat di usia senja, maka biaya hidup me-reka akan bisa lebih ditekan. Jadi arahnya untuk efisiensi bagi Negara. Dalam waktu yang bersamaan juga diselenggarakan terpinggirkan, kegiatan yaitu workshop layanan pendidikan bagi anak-anak keluarga korban eksploitasi seksual anak (ESA), anak perempuan jalanan, dan anak dari para pekerja rumah tangga. tersebut Seluruh rangkaian bagian acara dari Global sebuah serikat diakses organisasi merupakan

bermanfaat marjinal,

mubazir?

anak-anak tidak

pemerintah

memikirkan

pendidikannya saja, melainkan juga memikirkan aspek kebutuhan dasar mereka. Dikemukakan lebih lanjut oleh Ela (2010) pendidikan kelompok menghasilkan dari pecan tidak semua program yang diberikan bagi dapat pendidikan program adalah marjinal produk aksiglobal untuk Semua

kampanye tahunan dunia yang diselenggarakan Campaign koalisi for Kampanye Education, dan

internasional

nonpemerintah

seperti yang diharapkan. Kegiatan lain Pendidikan

guru.(http://bataviase.co.id, tanggal 16 September 2010). Identifikasi

workshop layanan pendidikan bagi para orang lanjut usia. Masih menurut Ela (2010) orang berusia lanjut umumnya tidak bisia mandiri, oleh karena itu perlu ada materi pendidikan

Kendala-kendala

Implementasi Progeram PUS Dalam implementasi PUS di Indonesia banyak tidak berjalan yang mulus, di kendala ditemui

lapangan. Dari sisi structural birokrasi

15

di Kementerian Pendidikan Nasional (2007) kinerja, masih dirasa perlu dioptimalkan masalah peningkatan kerjasama,

mempertanggungjawabkan program/kebijakan maupun hasilnya, baik serta

suatu proses untuk

peningkatan

memenuhi standar criteria yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Namun dalam pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun di kabupaten Malang terlihat bahwa instansi (sekolah-sekolah) tidak melaksanakan akuntabilitas administrasinya. Untuk mengatasi permasalahan ini Dinas Pendidikan berupaya untuk mengembangkan berbagai kebijakan terkait dengan implementasi Program Wajib Belajar Sembilan tahun. Namun hal inipun ternyata tidak membawa perubahan berbagai faktor yang signifikan, sebab Adapun adalah: dalam pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan. pendukungnya

koordinasi dan komunikasi dengan berbagai instansi dan unit kerja terkait, baik di pusat maupun di daerah. Disamping itu masalah lainnya adalah menyesuaikan jadwal sesuai target, melalui dan memberdayakan pembentukan tim sarana dan kerja dan dapat dalam berjudul Dinas mengoptimalkan tenaga yang tersedia sebagai wujud koordinasi fungsional, mengoptimakan Temuan oleh Choiri fasilitas yang ada. lainnya, (2006) yang Kinerja diidentifikasi dari riset yang dilakukan penelitiannya Akuntabilitas Kasus tentang

Pendidikan Kabupaten Malang (Studi Akuntabilitas Adminitrasi Pelaksana Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun di Kecamatan Malang). Choiri hasil alasan Bululawang Berdasarkan (2006) perlunya penelitiannya Kabupaten penelitiannya, memaparkan sebagai berikut:

tersusunnya kurikulum dengan baik, koordinasi yang baik diantara pihakpihak yang terlibat, serta partisipasi masyarakat. Sedangkan faktor-faktor yang menghambat diantaranya: kapasitas dan kemampuan tenaga

pelaksana rendah, kemampuan dan motivasi tenaga pelaksana rendah, dukungan dana operasional rendah, respon orang tua yang belum maksimal, sikap moral masyarakat

dilakukan akuntabilitas administrasi oleh Dinas Pendidikan adalah untuk

16

serta lingkungan sosial yang tidak sehat. Hasil Pelaksanaan analisis terhadap Akuntabilitas

tangan akuntabilitas

pada sendiri,

penyelenggara bagaimana

mereka-mereka bisa mengelola potensi maupun tantangan yang dihadapinya. Sementara itu, diprediksikan pendidikan untuk semua (PUS) yang telah dicanangkan oleh pemerintah (Kementerian Pendidikan Nasional). Sebagaimana diekspos dalam harian Kompas, Rabu, 7 Juli 2010 bahwa target Pendidikan dasar tidak saat Untuk Semua ataupun Education for All, terutama pendidikan dikhawatirkan tahun 2015 universal, tercapai tenggat pada Tujuan

Administrasi adalah sebagai berikut: dalam pelaksanaan program wajib belajar Sembilan tahun di kabupaten Malang terlihat bahwa instansi (sekolah-sekolah) tidak melaksanakan akuntabilitas administrasinya. Hal ini terlihat misalnya tidak ada laporan pemberian beasiswa diberikan. Sekolah-sekolah tidak merasa perlu memberikan laporan kepada instansi diatasnya yakni Dinas Pendidikan Kabupaten Malang. Mereka justru

Pendidikan Milenium. Krisis ekonomi global menjadi sala satu hambatan besar pencapaian target tersebut. Hal ini terungkap dalam pembukaan 1st General Assembly Forum of Asia Pasific Education Parlemen Parliamentarians (FASPED) untuk atau Pendidikan for Forum Asia

hampir semua membuat kebijakan sendiri terkait dengan penyaluran dana beasiswa yang tidak sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh Dinas Pendidiikan. Dilihat dari perspektif empat jenis Akuntabilitas, belum satupun jenis akuntabilitas yang dapat dipenuhi sesuai standar oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, sehingga hal ini perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang terlibat. Sedangkan faktor pendukung maupun penghambat lebih merupakan faktor-faktor yang memberikan penekanan. Semuanya justru berada di

Pasifik, Selasa (6 Juli 2010). Sidang pertama yang diikuti oleh 26 parlemen dan dua parlemen di diwakili oleh Dalam FASPED krisis 2008 perwakilannya sambutannya, Marzuki keuangan Alie Jakarta.

Presiden global pada

mengatakan,

merupakan rintangan terbesar untuk

17

pencapaian tujuan Education for All (EFA). Dampak krisis finansial global telah mengancam akses pendidikan bagi jutaan anak di seluruh dunia. Saat ini sekitar 72 juta anak usia sekolah dasar belum mendapatkan pendidikan dasar. lambatnya dan krisis Kombinasi finansial kemiskinan, ekonomi, akan Negaraglobal pembangunan pencapaian

pemulihan

dari

tingginya

harga

pangan yang telah mengakibatkan 175 juta kasus malnutrisi tahun 2007 dan 2008. Pendidikan juga tidak kebal dari pengaruh-pengaruh tersebut karena hal-hal itu kemudian serupa rentan juga dikebelakangan. Kekhawatiran diungkapkan Director of UNESCO Bangkok Office, Regional Bureau for Education in The Asia Pasific, GwangJo Kim. Kita tetap belum on the track (dalam jalur) untuk memenuhi target EFA pada tahun 2015. Akan nada 56 juta anak di luar sekolah jika kita tidak melipatgandakan upaya kita, yang sebagiannya di wilayah Asia Pasifik. Ujarnya. Dia mencontohkan, pada tahun 1999 kawasan Asia Timur dan Pasifik merupakan tempat tinggal 6 juta anak usia pendidikan dasar yang tidak bersekolah. Tahun 2007, jumlahnya meningkat menjadi 9 juta anak. Sementara sejumlah Negara, terutama India, mencapai kemajuan sangat baik. Waktu Wakil Nasional Indonesia Menteri Jalal masih yang tersisa Pendidikan mengatakan, dalam jalur tinggal lima tahun lagi, katanya. Fasli

menggerogoti

negara pada dekade sebelumnya. Hal tersebut berarti turut mengganggu target pencapaian Tujuan Pembangunan Milineum nomor dua, yang indikatornya antara lain angka partisipasi dasar angka melek huruf umur 15-25 tahun. Ancaman tentang melesetnya pencapaian target terutama terjadi di Negara berkembang yang sebagian besar di kawasan Asia Pasifik. Menurut Education for All Global Monitoring Report 2010, target EFA tercancam gagal tercapai di Negara berkembang. Resesi ekonomi yang terjadi pada tahun 2008 diperkirakan telah menjerumuskan sekitar 90 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem. Saat ini sebagian Negara yang terkena dampak sangat besar masih dalam proses

pencapaian target EFA. Di tengah

18

krisis ekonomi dunia, Indonesia tetap memprioritaskan pendidikan, bantuan anggaran operasional tujuan

Dalam

upayanya untuk

mencapai Semua

Pendidikan

sekolah guna mengurangi hambatan biaya anak ke sekolah, buku pelajaran online, kesetaraan, kualifikasi program dan guru. Ini pendidikan peningkatan merupakan

pada 2015, peme-rintah Indonesia saat ini menekankan pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun bagi seluruh anak Indonesia usia 6 sampai 15 tahun. Dalam hal ini, UNICEF dan UNESCO member dukungan teknis dan dana. Bersama delapan UNICEF Menciptakan dengan di pemerintah Indonesia, program Peduli daerah, masyarakat dan anak-anak di propinsi mendukung Masyarakat

beberapa upaya pemerintah yang terus dilakukan. Sementara itu anggaran untuk fungsi pendidikan dalam APBN tahun 2010 telah mencapai sekitar Rp 209,5 triliun. Marzuki Alie mengatakan, perlu peran aktif anggota parlemen untuk ikut aktif dalam proses pembangunan pendidikan. Di tengah sulitnya ekonomi dunia dan berbagai tekanan, pemerintah telah menghadapi berbagai pilihan kebijakan yang sulit. Parlemen berkewajiban untuk meminta dana dan pemerintah yang cukup dalam tujuan nasional memonitor mengalokasikan pemerintah mengimplementasikan pembangunan 2010). Kontribusi Pemerintah cq Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia dalam Program PUS

Pendidikan Anak (CLCC). Proyek ini berkembang pesat dari 1.326 sekolah pada tahun 2004 menjadi 1.496 pada tahun 2005. Kondisi ini membantu 45.454 guru dan menciptakan yang tahun lebih terakhir lingkungan Dalam belajar 20

menantang bagi sekitar 275.078 siswa. Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus

pendidikan

pendidikan.(KOMPAS, Rabu, 7 Juli

19

sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak. Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anakanak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan. Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan Metode Ditambah golongan termotivasi pendidikan terjangkau 2010). ini sekolah-sekolah lagi, dari sudah bagi ekonomi memahami masih di sendiri. Indonesia. dari tidak lemah mendominasi -

Indonesia

telah

mengalami

kemajuan di bidang pendidikan dasar dalam 20 tahun terakhir ini. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Tetapi Indonesia memberikan tetap belum berhasil hak atas jaminan

pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, masalah tersebut antara lain : Anak putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak. Kualifikasi kurang. Metode pengajaran yang tidak efektif. Yaitu masih beroientasi kepada guru dan anak didik tidak diberi sendiri. Manajemen sekolah yang buruk. Kurangnya masyarakat. Kurangnya akses pengembangan dan pembelajaran usia dini bagi sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan. Alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. keterlibatan kesempatan memahami guru yang masih

anak-anak

pengalaman relatif tak

belajarnya di sekolah. Apalagi biaya mereka.(UNICEF,

20

Biaya pendidikan yang tinggi. Untuk mencapai Pendidikan

di delapan propinsi di Indonesia, UNICEF mendukung Masyarakat program Peduli Menciptakan

Untuk Semua, pemerintah Indonesia dibantu oleh UNICEF dan UNESCO melakukan kegiatan-kegiatan antara lain : 1. Sistem UNICEF langkah untuk Informasi Informasi mendukung pemerintah meningkatkan Pendidikan Pendidikan langkahIndonesia akses Berbasis Berbasis Masyarakat

Pendidikan Anak (CLCC). Proyek ini berkembang pesat dari 1.326 sekolah pada 2004 menjadi 1.496 pada 2005. Kondisi ini membantu 45.454 guru dan menciptakan yang lebih lingkungan siswa. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah peran Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah dalam menyukseskan program PUS yang dicanangkan sebagaimana pemerintah. Hal ini oleh dikemukakan belajar

menantang bagi sekitar 275.078

pendidikan dasar melalui Sistem Masyarakat. Dengan system ini memungkinkan penelusuran semua anak usia dibawah 18 tahun yang tidak bersekolah. 2. Program Wajib Belajar 9 Tahun Dalam upaya mencapai tujuan Pendidikan untuk Semua pada 2015, pemerintah Indonesia saat ini menekankan pelaksanaan program wajib belajar Sembilan tahun bagi seluruh anak Indonesia usia 6 sampai 15 tahun. Dalam hal ini, UNICEF dan UNESCO member dukungan teknis dan dana. 3. Program Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak (CLCC) Bersama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan anak-anak

Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan tenaga Kependidikan, Kementerian (Dirjen Pendidikan Nasional PMPTK Kemendiknas)

Baedhowi yang mengatakan bahwa peran Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah juga sangat penting guna meningkatkan kualitas dan pelayanan pendidikan saat ini. Apabila kompetensi Kepala Sekolah baik, maka hubungan yang signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Apabila Kepala Sekolahnya baik dan memiliki kompetensi bagus,

21

maka kepala sekolah itu diyakini bisa melakukan dengan pula.(http://bataviase.co.id, tanggal 16 September 2010). Simpulan dan Saran Simpulan Berdasar pemaparan tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan hakekat dari adalah warga sebagai berikut: (1) untuk Pendidikan agar setiap pengelolaan sekolah baik diakses

pedalaman dan pedesaan, (g) alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai, dan (h) biaya pendidikan yang tinggi; (3) untuk mencapai Pendidikan Untuk Semua, pemerintah Indonesia dibantu oleh UNICEF dan UNESCO melakukan kegiatan-kegiatan antara lain: (a) Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat, (b) Program Wajib Belajar 9 Tahun, dan (c) Program Peduli telah bidang Menciptakan tahun Masyarakat Indonesia di

Pendidikan untuk Semua dan Semua mengupayakan

Pendidikan Anak (CLCC); (4) dalam 20 terakhir mengalami kemajuan

Negara dapat memenuhi haknya, yaitu setidak-tidaknya untuk mendapatkan layanan pendidikan dasar (Wajib Belajar 9 Tahun); (2) masalah yang harus dihadapi dalam program PUS, antara lain: (a) anak putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak, (b) kualifikasi guru yang masih kurang, (c) metode pengajaran yang tidak efektif itu masih beroientasi kepada guru dan anak didik tidak diberi kesempatan memahami sendiri, (d) manajemen sekolah yang buruk, (e) kurangnya keterlibatan masyarakat, (f) kurangnya akses pengembangan dan pembelajaran usia dini bagi sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun terutama anak-anak yang tinggal di

pendidikan dasar, terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen; (5) pembangunan pendidikan di Indonesia sekurangkurangnya strategi pemerataan memperoleh relevansi menggunakan dasar, yakni; kesempatan pendidikan, pendidikan, empat pertama, untuk kedua, ketiga,

peningkatan kualiutas pendidikan, dan keempat, efesiensi pendidikan, (6) Indonesia memberikan tetap belum berhasil hak atas jaminan

pendidikan bagi semua anak; apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi

22

guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat, dan (7) peran Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah sangat penting guna meningkatkan kualitas dan pelayanan pendidikan. Saran Berdasarkan butir-butir simpulan di atas, maka dapatlah dikemukakan saran-saran sebagai berikut: (1) dari sisi struktural birokrasi di Kementerian Pendidikan Nasional masih dirasa perlu dioptimalkan masalah peningkatan kinerja, peningkatan kerjasama, koordinasi dan komunikasi dengan berbagai instansi dan unit kerja terkait, baik di pusat maupun di daerah, (2) untuk dapat mewujudkan program PUS, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warga Negara secara individual, secara bersama-sama atau sendirisendiri, berkomitmen untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan sesuai dengan potensi dan kapasitas masingmasing; (3) pembangunan pendidikan makin disadari sebagai sektor yang strategis untuk menunjang pembangunan

sektor secara keseluruhan, oleh karena itu pembangunan pendidikan harus sensitif dan tanggap terhadap dinamika pembangunan sektor-sektor lainnya; (4) perlu peran aktif anggota parlemen untuk ikut aktif dalam proses pembangunan pendidikan, parlemen berkewajiban meminta pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk pendidikan dan memonitor pemerintah dalam mengimplementasikan tujuan pembangunan nasional pendidikan, dan (5) pemerintah (Negara) harus menyiapkan seluruh sarana dan prasarana dalam rangka menuntaskan pendidikan Sembilan tahun.

23

24

25

26

Anda mungkin juga menyukai