Anda di halaman 1dari 2

KEMATIAN DI UJUNG CONDRE Sebulan yang lalu, pemilihan bupati secara langsung di Kabupaten Cianjur berlang sung sedikit

ricuh karena maraknya kecurangan oleh calon petahana (incumbent). N amun tak banyak orang tahu, 286 tahun yang lalu, seorang bupati Cianjur justru p ernah terbunuh. Karena cinta, dendam atau politik? Tjutju Sundusiyah (65) bertutur dalam nada haru. Sambil menunjuk Alun-Alun Cianj ur, bibirnya tak henti mengisahkan sebuah tragedi tragis yang nyaris melegenda d i kalangan orang-orang tua kami hingga kini. Ya, tepat 286 tahun lalu, di tempat saya sering bermain saat masa kecil itu, seorang pemuda nekad dibantai oleh par a punggawa Dalem Aria Wiratanudatar III (1707-1726). Itu nama seorang bupati feo dal yang berkuasa laiknya raja kecil di di salah satu wilayah Priangan tersebut. Saurna mah dugi dicacag diwalang-walang,dagingna di sebar dugi ka tungtung alun-a lun palih kaler (Katanya sampai dicincang habis dan dagingnya di sebar sampai ke ujung alun-alun sebelah utara) ,ujar nenek dari 3 orang cucu itu. Praktek mutilasi tersebut dilakukan sebagai hukuman buat sang pemuda yang telah melakukan rajapati (pembunuhan) terhadap Dalem Wiratanu III dengan sebilah condr e (sejenis senjata tajam tua khas sunda yang menyerupai konde) hingga tewas. Nam un apa yang menyebabkan si pemuda berlaku senekad itu? Ada banyak versi mengenai latar belakang pembunuhan tersebut. Salah satunya seperti yang dipercayai Tjutj u: karena alasan dendam dan cinta. Alkisah, suatu hari Dalem Wiratanu III melakukan kegiatan rutinnya banteng dan rusa ke daerah Cikembar, Sukabumi. Saat singgah untuk sebuah desa terpencil, ia bertemu dengan seorang dara elok bernama Sang dalem yang sudah memiliki beberapa selir dan istri itu lantas an meminta Apun Gencay kepada orangtuanya. yakni berburu istirahat di Apun Gencay. jatuh cinta d

Tentu saja Apun dan orangtuanya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap permintaan s inuwun dalem itu. Laiknya cacah kuricah (rakyat kecil) di sebuah kawasan yang me meluk erat feodalisme, mereka sudah terkondisikan haram hukumnya untuk mengatakan tidak kepada penguasa. Padahal secara pribadi Apun telah memiliki tambatan hati. Singkat cerita, keluarga besar Apun setuju. Beberapa hari kemudian saat matahari nyaris tenggelam di sebelah barat, Apun pun datang ke pendopo kadaleman Cianjur . Namun tidak sendiri. Ia ditemani oleh seorang pemuda yang diakunya sebagai sau dara. Begitu sampai di pintu rumah Dalem Wiratanu III, nampak sang dalem tengah duduk di katil dalam wajah yang cerah didampingi seorang pengawalnya bernama Ki Purwa. Yap kadieu (Ayo mendekatlah) , panggil sang dalem. Dengan langkah pelan dan kepala menunduk, Apun mendekat ke arah Dalem Wiratanu I II. Seolah tersihir kecantikan kembang Cikembar itu, sang dalem tak berkedip mem andang wajah Apun Gencay. Tiba-tiba dalam situasi tersebut, sang pemuda yang ada di sebelah Apun menyeruak sambil menghunus condre. Demi menghadapi serangan tib a-tiba itu, tentu saja Sang Dalem terkejut. Namun ia terlambat untuk melakukan t angkisan hingga 3 tusukan condre mengoyak lambungnya. Gerakan kilat si pemuda membuat Ki Purwa juga terkesima. Barulah setelah ia mend engar jerit Apun dan teriakan kesakitan majikannya, diikuti oleh beberapa pasuka n pengawal, ia bergerak mengejar si pemuda yang sudah menghambur keluar. Terjadi lah perkelahian tak seimbang hingga menyebabkan mundurnya si pemuda ke arah alun -alun. Di area terbuka menghadap masjid agung inilah, Ki Purwa berhasil memengga l kepala si pemuda. Tidak puas dengan hanya memenggal, Ki Purwa dan pasukannya mencincang tubuh si pe

muda hingga terdiri dari beberapa potongan, ujar Tjutju yang mengaku mendapat ceri ta itu dari neneknya. Potongan-potongan daging itulah yang konon kemudian dipungguti satu persatu oleh Apun Gencay.Dalam linangan air mata, ia memungguti potongan daging sang kekasih sambil meratap.Ratapan itulah yang mengilhami pujangga Sunda kenamaan Yus Rusya na menulis kidung kematian yang tedapat dalam cerita pendeknya berjudul Apun Gen cay. Lalu bagaimana nasib Dalem Wiratanu III? Tiga jam setelah kejadian, tepatnya bad a magrib, sang dalem flamboyan itu menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya kem udian dikebumikan di komplek pekuburan keluarga yang terletak di kawasan Desa Pa moyanan (termasuk dalam wilayah Kecamatan Cianjur kota saat ini). Sejak itu pula Wiratanu III dikenal dengan sebutan Dalem Dicondre Sejarawan Sunda, Gunawan Yusuf menyebut peristiwa terbunuhnya Wiratanu III menum buhkan luka yang mendalam hingga kini di hati orang-orang Cianjur terutama kelua rga para dalem. Begitu membekasnya, hingga sesepuh Cianjur melarang keras turunan Wiratanudatar untuk menyentuh condre dan pantang menikahi gadis Cikembar. Tapi betulkah pembunuhan Wiratanu III itu semata-mata musababnya cinta? Tak ada keterangan pasti mengenai soal itu, karena hingga kini belum ada satu pun peneli ti sejarah yang mendalami tragedi menggemparkan Priangan tersebut. Namun menilik kiprah Wiratanu III yang memiliki keterlibatan jauh dalam Preanger Stelsel, kem ungkinan itu bisa terjadi. Preanger Stelsel adalah sistem pemberlakuan tanam paksa tumbuhan kopi kepada rak yat Priangan (Jawa Barat). Bekerjasama dengan para komparadornya yakni sekumpula n penguasa lokal yang feodal, VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie atau Maska pai Dagang Hindia Timur), mewajibkannya sejak 15 April 1723,terpacu oleh harga k opi saat itu tengah menjadi primadona dunia . Terlebih, menurut sejarawan Sunda, Saleh Danasasmita, kopi asal Priangan (baca C ianjur) memiliki kualitas terbaik hingga laku keras di pasaran dunia. Akibatnya kas keuangan VOC pernah surplus. Karena kopi Priangan pula Belanda sempat menyebu t kawasan tersebut sebagai gabus pelampung Belanda di tanah Hindia ,tulis sejarawan Sunda itu dalam Sejarah Bogor Bagian I Untuk soal tanam paksa kopi itu, Wiratanu III dikenal sebagai bupati yang sukses di mata VOC. Dibawah pengendaliannya, pada 1724, Cianjur bahkan pernah memanen kopi sebanyak 1.216.257 pikul (setara dengan harga 202.271,25 ringgit. Sebuah ju mlah yang sangat fantastik saat itu. Tak aneh karena prestasinya itu, Wiratanu III disukai VOC. Namun sebaliknya, rak yat Cianjur banyak yang tidak senang kepada Bupati Cianjur ke-3 itu hingga terja di pembunuhan tersebut. Menurut Gunawan Yusuf, selain masalah cinta, ada kemungk inan pembunuhan Wiratanu III disebabkan oleh korupsi yang dilakukannya terkait b isnis kopi. Bayaran kopi yang seharusnya perpikul dihargai 17.50 ringgit oleh Wiratanu III d ibayar hanya 12.50 ringgit. Jadi ia mengorupsi 5 ringgit yang seharusnya menjadi hak para petani kopi yang tak lain adalah rakyatnya. Karena soal itulah, rakyat lantas tidak puas dan melakukan pemberontakan yang menewaskan dirinya (Wiratanu III), tulis Gunawan Yusuf dalam Sejarah Cianjur Bagian 7.

Anda mungkin juga menyukai