Anda di halaman 1dari 6

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Bioetika Istilah ini relatif baru dan terbentuk dari dua kata yunani (bios = hidup dan ethos = adat istiadat atau moral), yang secara harafiah berarti etika hidup. Dalam arti yang lebih luas, bioetika adalah penerapan etika dalam ilmu-ilmu biologis, obat, pemeliharaan kesehatan, dan bidang-bidang terkait. Sebagai sebuah etika rasional, bioetika betitik tolak dari analisis tentang data-data ilmiah, biologis, dan medis. Keabsahan campur tangan manusia dikaji. Nilai transendental manusia disoroti dalam kaitan dengan Sang Pencipta sebagai nilai mutlak.1 Sebenarnya makna asli bioetika menunjuk pada studi sistematis atas perilaku manusia dalam ilmu-ilmu tentang hidup dan kesehatan, sejauh perilaku ini diuji dalam cahaya nilainilai dan prinsip-prinsip moral. Definisi tentang bioetika ini sangat bervariasi. Bioetika merupakan bidang ilmiah yang masih muda, tapi secara umum sudah tidak diragukan lagi pentingnya.1,2 Beberapa makna yang diungkapkan oleh beberapa tokoh. Callahan melukiskan bioetika sebagai sebuah disiplin baru yang bertanggung jawab atas tugas pengolahan sebuah metodologi yang membantu para pakar medis dan mereka yang terjun dalam bidang ilmu pengetahuan untuk mengambil keputusan-keputusan yang baik dari tinjauan sosiologis, psikologis, dan sejarah. Sedangkan Varga menekankan tugas bioetika untuk mempelajari moralitas tentang perilaku manusia dalam bidang ilmu pengetahuan tentang hidup. Ini mencakup medis, namun dari sisi lain melampaui masalah-masalah moral klasik dalam bidang pengobatan dan masalah-masalah etis tentang ilmu-ilmu biologi. O. Hoffe berpandangan bahwa bioetika tertarik dengan masalah-masalah etis tentang kelahiran, hidup, dan kematian, khususnya mengikuti perkembangan-perkembangan terakhir dan

kemungkinan-kemungkinan penyelidikan dan pengobatan biologi dan medis. Ilmu ini mempelajari masalah moral tentang aborsi, sterilisasi dan kontrol kelahiran, manipulasi genetika, eutanasia, serta uji coba atas manusia. E. Sgreccia memahami bioetika sebagai bagian filsafat moral yang menakar keabsahan atau tidak sahnya campur tangan atas hidup manusia, khususnya dalam ilmu-ilmu medis dan biologis. Secara umum, bioetika disamakan dengan moral tentang dunia medis, yang terpaut dengan masalah kesehatan manusia, dalam

terang iman-kepercayaan. Bioetika adalah sebuah pendekatan fisis-biologis yang dilengkapi dengan pendekatan rohani.1 2.2 Etika kedokteran Secara sederhana etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada masa lampau, sekarang atau masa mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan tindakan yang dilakukan manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti hak, tanggung jawab, dan kebaikan dan sifat seperti baik dan buruk (atau jahat), benar dan salah, sesuai dan tidak sesuai. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah bagaimana mengetahuinya (knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana melakukannya (doing). Hubungan keduanya adalah bahwa etika mencoba memberikan kriteria rasional bagi orang untuk menentukan keputusan atau bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang lain.4 Karena etika berhubungan dengan semua aspek dari tindakan dan keputusan yang diambil oleh manusia maka etika merupakan bidang kajian yang sangat luas dan kompleks dengan berbagai cabang dan subdevisi. Etika kedokteran sangat terkait namun tidak sama dengan bioetika (etika biomedis). Etika kedokteran berfokus terutama dengan masalah yang muncul dalam praktik pengobatan sedangkan bioetika merupakan subjek yang sangat luas yang berhubungan dengan masalah-maslah moral yang muncul karena perkembangan dalam ilmu pengetahuan biologis yang lebih umum. Bioetika juga berbeda dengan etika kedokteran karena tidak memerlukan penerimaan dari nilai tradisional tertentu dimana hal tersebut merupakan hal yang mendasar dalam etika kedokteran. Sebagai suatu disiplin ilmu, etika kedokteran telah mengembangkan ragam kata tersendiri termasuk beberapa istilah yang dipinjam dari filsafat.4

2.3 Beneficence (berbuat baik) Beneficence disebut juga etika berbuat baik. Prinsip etika berbuat baik menyangkut kewajiban membantu orang lain, dilakukan dengan mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian minimal. Prinsip ini diikuti prinsip tidak merugikan (primum non nocere, first no harm, non-maleficence) yang menyatakan bahwa jika orang tidak dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat stidak-tidaknya jangan merugikan orang lain.3

Dalam tradisi etika bahasa inggris, prinsip ini disebut: the principle of beneficence. Jika menelusuri asal-usulnya, kata beneficence berasal dari bahasa Latin: bene = baik; -ficere = melakukan, berbuat. Dalam bahasa Indonesia biasanya dipakai: prinsip berbuat baik. Supaya tidak terjadi salah paham, perlu dibedakan dulu berbuat baik dalam dua arti: berbuat baik sebagai cita-cita moral yang khusus dan berbuat baik sebagai kewajiban. Dalam konteks etika kedokteran, berbuat baik dimaksudkan sebagai kewajiban. Prinsip berbuat baik berlaku secara khusus dalam hubungan dokter dengan pasien. Bila dokter menerima seorang sakit sebagai pasiennya, ia wajib berbuat wajib terhadapnya. Artinya, segala tindakan dokter harus terarah pada tujuan memulihkan kesehatan pasien. (Bandingkan Sumpah Dokter, butir 8: Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita). Prinsip ini berlaku juga lebih umum bagi dokter sebagai profesional. Misalnya, bila dokter diberi tugas mengobati prajurit musuh (dalam keadaan perang) atau teroris atau kriminal lain, ia juga harus berbuat baik pada mereka. Tidak boleh ada pertimbangan lain dalam pelayanannya terhadap mereka selain memulihkan kesehatan dengan sebaik-baiknya.5 Prinsip Beneficence yang ada dalam kasus : a) Mengutamakan Altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan orang lain). Dalam kasus ini dokter Bagus sambil bersimbah peluh menyelesaikan tindakan amputasi telapak tangan pemuda yang mengalami kecelakaan. Sudah 25 tahun dokter Bagus mengabdi di desa itu, hingga usianya 55 tahun, belum ada sedikitpun dibenaknya dokter Bagus untuk mencari pendamping hidupnya, yang ada hanya bagaimana mengobati pasien-pasiennya. b) Minimalisasi akibat buruk. Dalam kasus ini dokter Bagus mencurigai bahwa pasien menderita penyakit jantung sehingga ia membuat surat rujukan ke rumah sakit yang berada di kota. 2.4 Non-Maleficence Dalam kalangan berbahasa inggris prinsip ini disebut: the principle of

nonmaleficence, yang dalam bahasa indonesia biasanya diterjemahkan sebagai prinsip tidak merugikan. Jika kita menelusuri asal usulnya, kata nonmaleficence berasal dari bahasa Latin: non = tidak; mal = buruk, jahat; -ficere = melakukan, berbuat. Melihat etimologi ini, prinsip ini boleh diartikan juga sebagai prinsip tidak berbuat jahat. Tidak dapat diragukan, prinsip ini berakar kuat dalam tradisi etika kedokteran, sudah sejak Hippokrates. Dalam Sumpah Hippokrates ditegaskan: I will keep them (= pasien) from harm and injustice.5

Dalam lingkungan kedokteran, sering terdengar semboyan Latin yang cukup dekat dengan prinsip nonmaleficence: primum non nocere. Artinya: yang pertama-tama penting ialah tidak merugikan. Konon, semboyan yang sudah tua ini sampai sekarang tertulis pada dinding dalam banyak kamar operasi di seluruh dunia. Asal semboyan ini tidak jelas, tetapi menurut isinya memang dekat dengan tradisi Mazhab Hippokrates. Selain kutipan dari Sumpah Hippokrates tadi, dalam salah satu buku dari koleksi Hippokratik ditulis: As to diseases make a habit of two things: to help, or at least not to harm (Epidemics, I, nr. 11). Namun, dalam tradisi Hippokrates tidak tampak dengan jelas bahwa prinsip tidak merugikan ini harus diberi prioritas sebagaimana rupanya dinyatakan dalam semboyan ini(premium!). Dalam tulisan-tulisan Mazhab Hippokratik yang masih disimpan pengarang buku tidak menemukan sebuah teks yang mengatakan dengan jelas bahwa tidak merugikan merupakan hal yang paling penting.5 Prinsip ini bersifat negatif: tidak mengatakan yang harus dilakukan, tapi hanya yang tidak boleh dilakukan. Dokter tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan, sesuatu yang kurang baik bagi si pasien. Tindakan dokter atau rumah sakit harus bermanfaat untuk pasien. Ironis sekali, bila tindakan tersebut mengakibatkan kondisi pasien justru bertambah parah.3 Prinsip Non-Maleficence yang ada dalam kasus : a) Melindungi pasien dari serangan. Dalam kasus ini dokter Bagus memberi pasien yang mengalami asites dan sesak itu obat-obatan penunjang agar tidak terlalu menderita. b) Menolong pasien emergensi. Dalam kasus ini dokter Bagus terlebih dahulu menolong pemuda yang mengalami kecelakaan kerja ketika ada pasien yang akan dia periksa. c) Manfaat bagi pasien lebih banyak daripada kerugian dokter (hanya mengalami resiko minimal); mencegah pasien dari bahaya. Kasus yang menunjukannya ketika dokter Bagus mengambil tindakan amputasi pada tangan pemuda yang tulung-tulangnya sudah hancur, agar tidak membusuk dan menyebar. 2.5 Autonomy Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos (sendiri) dan nomos (hukum, peraturan, pengaturan, pemerintahan). Melihat asal-usul ini, otonomi berarti: mengatur dirinya sendiri.5 Arti etimologis ini merupakan titik tolak yang baik untuk menjelaskan pengertian tersebut. Karena otonomi dipahami sebagai mengatur dirinya sendiri, arti dasar itu dapat

berkembang ke beberapa arah yang berbeda. Terutama dua arti harus disebut. Pertama, otonomi dapat menyangkut bangsa atau negara.5 Kedua, otonomi bisa menyangkut manusia perorangan. Maksudnya adalah kebebasan seseorang untuk mengambil keputusan sendiri atau kemandirian dalam mengatur urusannya sendiri. Otonomi di sini artinya otonomi individual. Dalam konteks prinsip ketiga (menghormati otonomi), arti terakhir inilah yang dimaksudkan.5 Prinsip Autonomy yang ada dalam kasus : a) Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien; Menghargai privasi. Dalam kasus ini ibu menolak saran dokter Bagus yang menyarankan anaknya dirawat di rumah sakit karena alasan tidak mempunyai uang untuk berobat; pasien pernah melakukan pembedahan di rumah sakit namun keluarga menghentikan pengobatan. b) Berterus terang; tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien. Dalam kasus ini dokter Bagus menjelaskan pada orang tua pasien bahwa kondisi anaknya kurang baik dan kemungkinan untuk sembuh sangat kecil walaupun diberikan obat-obat kemoterapeutik. c) Melaksanakan informed consent. Dalam kasus ini dokter Bagus menjelaskan pada istri pasien emergensi bahwa tangan suaminya harus diamputasi sehingga dokter Bagus mendapatkan persetujuan istri pasien untuk mengambil tindakan amputasi. d) Menjaga hubungan (kontrak). Dalam kasus ini dokter Bagus memperbolehkan pasien pulang dengan memberi beberapa macam obat dan anjuran agar hari berikutnya datang kembali untuk kontrol. 2.6 Justice Setiap orang harus diperlakukan sama (tidak diskriminatif) dalam memperoleh haknya. Prinsip etika keadilan terutama menyangkut keadilan distributif mempersyaratkan pembagian seimbang dalam hal beban dan manfaat. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan distribusi usia dan gender, status ekonomi, budaya, dan etnik. Salah satu perbedaan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah kerentanan, yaitu kelompok yang tidak berkemampuan melindungi kepentingan sendiri.3 Walaupun pemikiran tentang keadilan berkembang terus sepanjang masa, apa yang dimaksudkan dengan keadilan menurut intinya tetap sama. Definisi ini (kalau boleh disebut

demikian) berasal kekaisaran Roma, yang terkenal sangat mengutamakan hukum dan berhasil menciptakan sebuah hukum bagus (ius Romanum) yang masih dikagumi di zaman modern. Definisi itu (dalam bahasa Latin) diberikan dalam konteks hukum dan terdiri atas tiga kata: tribuere suum cuique. Kata tribuere berarti memberikan, cuique berarti kepada semua orang. Yang sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah suum. Dalam bahasa Inggris kata itu biasanya diterjemahkan sebagai his/her own. Dalam bahasa Indonesia, dapat mengatakan yang dia empunya atau yang menjadi miliknya. Sehingga pengertian keadilan yang dirumuskan dalam bahasa Latin ini, dalam bahasa Indonesia dapat dialihkan sebagai memberikan kepada setiap orang apa yang dia empunya.5 Seperti kebanyakan profesi lain, profesi kedokteran juga sering berurusan dengan perjanjian dan bahkan dengan kontrak. Karena itu keadilan komutatif adalah penting untuk profesi kedokteran. Keadilan komutatif (commutative justice): berdasarkan keadilan ini setiap orang atau kelompok harus memberikan haknya kepada orang atau kelompok lain. Dalam bahasa Indonesia dipakai istilah keadilan tukar menukar. Keadilan komutatif menjadi fundamennya, jika dua orang mengadakan perjanjian atau kontrak. Janji harus ditepati adalah prinsip etis yang berakar dalam keadilan komutatif yang harus dipegang oleh para dokter.5 Prinsip Justice (keadilan) yang ada dalam kasus : a) Memberlakukan segala sesuatu secara universal; Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status sosial dll. Dalam kasus ini dokter Bagus memeriksa pasien sesuai nomor urut pendaftaran. b) Memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien. Dalam kasus ini dokter Bagus banyak melakukan sumbangan jasa pada pasien seperti memberi obat dan juga nasehat, menyempatkan waktu untuk melihat kondisi pasien, dan mengontrol perkembangan pasien.

Anda mungkin juga menyukai