Anda di halaman 1dari 90

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PEDOMAN STANDAR PENGELOLAAN PENYAKIT BERDASARKAN KEWENANGAN TINGKAT PELAYANAN KESEHATAN

I. PENDAHULUAN
Pembangunan Kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi hak dasar rakyat untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 dan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pembangunan kesehatan yang telah dilakukan selama ini bertujuan untuk meningkatkan derajat dan status kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu pemerintah menetapkan Pembangunan Kesehatan dalam Program Pembangunan Nasional. Pemerintah telah menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan tingkat dasar sampai dengan rujukan yang memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangani masalah kesehatan di masyarakat. Meskipun pendekatan pelayanan kesehatan sama tetapi fokus penekanan pelayanan berbeda sesuai dengan kemampuan yang ada pada tiap fasilitas pelayanan kesehatan. Agar kesinambungan pelayanan kesehatan pada masyarakat dapat terwujud, diperlukan sistem rujukan yang berjenjang dan terstruktur, dimana ada kejelasan peran dan fungsinya sesuai tingkat fasilitas pelayanan kesehatan. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pelayanan medis di pemberi pelayanan kesehatan harus senantiasa dipertahankan bahkan ditingkatkan agar tercapai pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. Demi Tercapainya penyelenggaraan pelayanan medis yang memenuhi standar tersebut perlu pedoman pengelolaan berdasarkan kewenangan di tingkat pelayanan kesehatan. Untuk itu Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat bersama FK UNPAD, RSUP Hasan Sadikin Bandung dan Organisasi Profesi telah menyusun Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Berdasarkan Kewenangan Tingkat Pelayanan Kesehatan. Buku ini menginformasikan bagaimana pengelolaan penyakit mulai dari pelayanan dasar sampai pelayanan rujukan, perlu tidaknya kasus tersebut dirujuk berdasarkan kewenangan tingkat pelayanan kesehatan. Sehingga diharapkan dapat menjadi acuan dalam peningkatan kompetensi tenaga kesehatan di pemberi pelayanan kesehatan.

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

II.

DASAR HUKUM
1. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 128/MENKES/SK/II/2004, tentang Kebijakan Dasar Puskesmas. 3. Buku Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Rumah Sakit

III. TUJUAN
Umum : Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang optimal berdasarkan kewenangan dan kompetensi di tiap jenjang pelayanan kesehatan. Khusus : - Tersusunnya pedoman pengelolaan penyakit berdasarkan kewenangan Pemberi Pelayanan Kesehatan - Dasar pengkajian untuk rencana pengembangan dan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan

IV. PENYAKIT DAN PENGELOLAANNYA


Pengelompokan penyakit dan bagaimana pengelolaannya berdasarkan kewenangan di setiap tingkat pelayanan kesehatan terdiri dari : - Penyakit Anak - Penyakit Dalam - Penyakit Kebidanan dan Kandungan - Penyakit Bedah - Penyakit THT-KL - Penyakit Neurologi (Syaraf) - Penyakit Kulit Kelamin - Penyakit Mata - Penyakit Jiwa (Psikiatri) - Penyakit Gigi dan Mulut

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT ANAK


No 1 DIAGNOSIS TB Paru PPK 1 Skrining tanda serta gejala klinik PPK 2 Penilaian klinis diagnostik PPD, rontgen thorax) PPK 3

Bronko Pneumonia

Penilaian klinis, diagnostik dan terapi (BP ringan) sesuai MTBS

Diare

Diagnosis : Diare akut dengan /tanpa dehidrasi, diare dengan dehidrasi ringan-sedang Tatalaksana sesuai protocol

Dehidrasi berat bisa ditangani di Puskesmas DTP 4 Penyakit jantung bawaan (PJB)

dan Diagnostik dan (Tes penanganan TB paru disertai komplikasi (empyema, atelektasis, destroyed lung, hemoptysis, TB milier, Multi Drug Resistance TB (MDR-TB) Rujuk balik untuk th/ OAT rujuk balik untuk terapi OAT) Penilaian klinis, diagnostik Penegakan diagnostik dan dgn pemeriksaan penunjang terapi BP berat dengan (lab dan rontgen) ancaman gagal nafas sehingga membutuhkan ventilator, empysema dan sepsis. Penatalaksanaan rujuk balik Bronkhopneumoni Penatalaksanaan diare Diagnosis etiologi dan ringan- sedang yang tidak talaksana diare persisten / dapat direhidrasi per oral, kronis, diare dengan diare berat, diare akut penyakit penyerta seperti dengan dehidrasi berat, HIV, diare yang diare disertai komplikasi membutuhkan seperti sepsis, gangguan pemeriksaan penunjang elektrolit, (membutuhkan kultur feses, dan kultur feses) endoskopi rujuk balik dan penyuluhan

Deteksi dini PJB, Diagnosis PJB melalui tatalaksana penyakit pemeriksaan penunjang penyerta pada PJB. (EKG, rontgen thorax), penatalaksanaan penyakit penyerta PJB

Diagnosis dan tatalaksana PJB dengan pemeriksaan echocardiography dan kateterisasi jantung Tatalaksana PJB Operatif TIDAK RUJUK BALIK Bila tidak dilakukan operatif rujuk balik

Cerebal Palsy (CP)

Deteksi dini tumbuh Diagnostik kelaianan kembang (DDTK) perkembangan (Denver, Cat/Clam),

Diagnostik dan skrining CP dgn comorbid (gangguan pendengaran, pengelihatan, RM, 3

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

epilepsi)

Tatalaksana spastisitas, fisioterapi (klinik tumbuh kembang)

Gizi buruk

Deteksi Diagnosis dini PMT Rujuk

Tatalaksana gizi buruk

Penatalaksanaan komplikasi

Tatalaksana dan fisioterapi, penilaian IQ (URM : fisioterapi, terapi bicara, terapi okupasi) Rujuk balik untuk pemantauan tumbuh kembang dan stimulasi di rumah Tatalaksana kegawatan dan tatalaksana kelainan khusus Diagnosis etiologi (HIV/AIDS, kelainan congenital, sindroma malabsorbsi) Rujuk balik

Bila memerlukan pemeriksaan khusus untuk etiologi (HIV/AIDS, kelainan Kongenital ) Rujuk Rujuk balik ke PKM untuk pemantauan dan PMT 7 ISPA Diagnosis dan tatalaksana ISPA Tidak perlu dirujuk

TIDAK PERLU DIRUJUK Penegakan diagnosis melalui Hb elektroforesa, pencegahan dan penanganan komplikasi : hemosiderosis (chelating agent), splenektomi, Rujuk balik untuk transfusi berkala Penegakkan diagnosis, dengan pemeriksaan penunjang (IgG , IgM, NS1), DHF yang memerlukan perawatan intensif Rujuk balik paska perawatan

Thalassemia

Deteksi dini suspek Pemeriksaan penunjang thalassemia (darah rutin) dan pemberian (skrining tanda serta transfusi. gejala klinik: anemia, hepatosplenomegali) kontrol rutin penderita

DF/DHF

Skrining tanda serta Penanganan DHF Grade II gejala klinik sampai dengan DSS (DHF Grade III dan IV) Pemeriksaan penunjang Ig M dan Ig G Tatalaksana DF/DHF bila memerlukan perawatan dengan pemeriksaan intensif Rujuk ke PPK 3 darah rutin (Puskesmas DTP)

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

10

Sindroma Nefrotik

Diagnosis berdasarkan Penegakan diagnostis pasti gejala klinis dan pemeriksaan urin dipstik. Rujuk untuk diagnosis Rawat inap SN serangan pasti pertama (jika dibutuhkan) rujuk balik untuk melanjutkan pengobatan Jika terjadi SN resisten steroid harus dirujuk

Diagnosis lengkap dan tatalaksana SN resisten steroid dengan khemoterapi : siklofosfamid Rujuk balik untuk penanganan lanjutan, follow up remisi atau relaps

11

Epilepsi

Diagnosis berdasarkan Penanganan status gejala klinis, tatalaksana epileptikus (pemberian serangan kejang akut, fenobarbital, fenitoin) (pemberian diazepam), kontrol rutin penderita Rujuk jika terjadi status epileptikus refrakter/ memerlukan perawatan intensif ( PICU)

Pusat diagnositk epilepsi melalui EEG, CT Scan, MRI. Pengobatan dengan status epileptikus refrakter yang memerlukan PICU Rujuk balik untuk pengobatan jangka panjang Tatalaksana status konsulsivus refrakter/rawat intensif, pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnostik rujuk balik Tatalaksana kegawatdaruratan Diagnosis Etiologi Diagnosis etiologi Perawatan Bayi baru lahir level III perawatan intensif stabil rujuk balik

12

Kejang demam

Tatalaksana kejang Kejang demam kompleks demam (sederhana) dan kejang demam status konvulsivus, Bila perlu perawatan intensif/ status epileptikus refrakterRujuk Deteksi kegawatan Tatalaksana (BBLR, Infeksi/sepsis, kegawatdaruratan Ikterus neonatorum, kejang neonatus, Diagnosis etiologi asfiksia) Rujuk Perawatan Bayi baru lahir level 2 Bila perlu perawatan intensif (Level III) rujuk PPK 3 Skrining tanda serta gejala klinik Tatalaksana Demam Tifoid Pemeriksaan darah rutin (Puskesmas DTP) Diagnosis Tatalaksana simptopmatis Penatalaksanaan sampai dengan komplikasi ( Tifoid ensefalopati, perdarahan, perforasi usus) Rujuk balik

13

Masalah neonates

14

Demam Tifoid

Tidak perlu di rujuk di PPK 3

15

Morbili

Penegakan diagnosis Tatalaksana komplikasi

Tidak perlu di rujuk di PPK 3 5

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

16

Meningitis

Deteksi komplikasi Bila ada komplikasi Rujuk Deteksi dan tatalaksana Penatalaksanaan kegawatan (Kejang) kegawatan Rujuk Diagnostic etiologi (Lumbal pungsi ) dan perawatan non intensif Bila perlu perawatan intensif Rujuk ke PPK 3

Penatalaksanaan komplikasi dan perawatan intensif Penegakan diagnosis etiologi dan komplikasi (CT scan, MRI, EEG)

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT DALAM


No 1 DIAGNOSIS DM Tipe 2 PPK 1 PPK 2 PPK 3

Tanpa komplikasi, NIDDM (4) TERKENDALI dengan Standar Kompetensi Dokter KKI 2006 1 obat hipoglikemik oral (OHO) Tanpa komplikasi, TIDAK TERKENDALI dengan 1 OHO rujuk Tanpa komplikasi, TIDAK TERKENDALI dengan 1 OHO pengelolaan Tanpa komplikasi, TERKENDALI dengan 2 OHO rujuk balik

DM Tipe 2

DM Tipe 2

Tanpa komplikasi, Tanpa komplikasi, TIDAK Terkendali TIDAK TERKENDALI TERKENDALI dengan 1 dengan 1 OHO OHO pengelolaan rujuk BERKOMPLIKASI TERKENDALI dg 2 OHO & rujuk balik

TANPA KOMPLIKASI & TERKENDALI dengan Insulin BERKOMPLIKASI & TERKENDALI dg Insulin dikelola 1 bulan Bila tidak terkendali rujuk ke PPK 3 DM tipe 2 Hipoglikemi 1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK SEGERA Terkendali rujuk balik ke PPK 2 HIPOGLIKEMI (3B) Standar Kompetensi Dokter KKI 2006

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

DM tipe 2

KOMPLIKASI (KAD)

AKUT Terkendali pengelolaan rujuk balik KOMPLIKASI AKUT (KAD) rujuk (TIDAK TERKENDALI DALAM 48 JAM

Terkendali rujuk balik

1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK

DM tipe 2

KOMPLIKASI KRONIS 1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK

Terkendali pengelolaan rujuk balik

Terkendali rujuk balik

Tidak terkendali dalam 2 bulan rujuk Essential Hypertension (4) Standar Kompetensi Dokter KKI 2006

Hipertensi Esensial

Hipertensi esensial

Hipertensi Esensial

Pengelolaan Hipertensi krisis rujuk Terkendali Pengelolaan rujuk balik Terkendali Pengelolaan rujuk balik Tidak terkendali pengelolaan dan evaluasi Terkendali Rujuk balik PJK Kronik Stabil Terkendali pengelolaan RUJUK BALIK RUJUK KEMBALI SETIAP 3 BULAN

Hipertensi Sekunder

1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK

ASHD (Peny PJK Kronik Stabil Jantung Koroner 1. TEGAKKAN Kronik Stabil) DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

ASHD (Sindroma Sindroma Koroner Akut) Akut (SKA)

Koroner Terkendali pengelolaan

Stabil/terkendali (evaluasi tiap 3 bulan) rujuk balik

1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK ASHD (Gagal 1. TEGAKKAN Jantung) DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK 4 TBP tidak TBP kasus baru berkomplikasi tidak berkomplikasi

rujuk

Terkendali pengelolaan rujuk balik rujuk setiap 3 bulan Uncomplicated Pulmonary Tuberculosis (4) Standar Kompetensi Dokter KKI 2006

TB Paru (pneumotoraks)

TB paru pneumotoraks

dg Terkendali pengelolaan rujuk balik

1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS 2. RUJUK SEGERA

TB Paru (pengobatan ulang /berkomplikasi) TB Paru (MDR/XDR) 5

1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK 1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS 2. RUJUK

Terkendali pengelolaan rujuk balik

Terkendali pengelolaan rujuk balik

Diare dengan 1. TEGAKKAN Terkendali pengelolaan dehidrasi ringan DIAGNOSA KLINIS rujuk balik sedang / berat 2. RUJUK jika tidak dengan / tanpa ada fasilitas DTP komplikasi

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Goiter

1.Tegakkan diagnosis 2.Rujuk

Pengelolaan di PPK.2

COPD / Asma 1.Tegakkan diagnosis bronkiale 2.Rujuk Pneumonia tanpa komplikasi 1. Tegakkan diagnosis

Terkendali pengelolaan rujuk balik Terkendali pengelolaan

2. Pengelolaan di PPK rujuk balik 1 N

Arthritis tanpa 1. Tegakkan diagnosis Dirujuk bila ada komplikasi komplikasi 2. Pengelolaan di PPK atau memerlukan 1 fisioterapi Arthritis dengan 1. Tegakkan diagnosis komplikasi 2. Rujuk Pengelolaan di PPK.2 Fisioterapi Pengelolaan di PPK.2

10

SLE

1.Tegakkan diagnosis 2.Rujuk

11

Gastritis

1. Tegakkan diagnosis Dirujuk dengan catatan bila 2. Pengelolaan di PPK obat di PPK.1 tdk tersedia. 1 1.Tegakkan diagnosis 2.Pengelolaan di PPK 1 dgn DTP

12

Demam Dengue

Demam Dengue 1.Tegakkan diagnosis dg komplikasi 2.Rujuk DSS 1.Tegakkan diagnosis 2.Rujuk 13 Gagal ginjal akut 1.Tegakkan diagnosis 2.Rujuk GGK terminal 1.Tegakkan diagnosis

Pengelolaan di PPK.2

Pengelolaan di PPK.2 dgn fasilitas ICU

14

Pengelolaan di PPK.2 dgn fasilitas HD stabil, rujuk balik Pengelolaan di PPK.2 dg Jika PPK. 2 tidak ada fasilitas HD fasilitas HD

10

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

2.Rujuk

atau sesama fasilitas sama

PPK.2

dg

15

Sindroma Nefrotik

1.Tegakkan diagnosis

Pengelolaan di PPK.2 ( Rujuk balik untuk Tapering off, bisa dilakukan di PPK I) Pengelolaan di PPK.2 Stabil rujuk balik

2.Rujuk 16 Anemia berat 1.Tegakkan diagnosis

2.Rujuk 17 18 19 Leukemia Perdarahan saluran cerna HIV 1.Tegakkan diagnosis 2.Rujuk 1.Tegakkan diagnosis 2.Rujuk 1.Tegakkan diagnosis 2.VCT 3.Rujuk Pengelolaan di PPK.2 Pengelolaan di PPK.2 Jika PPK.2 tidak ada dengan fasilitas endoskopi fasilitas endoskopi Pengelolaan di PPK.2 utk Jika ada komplikasi. terapi ARV (ada tim konseling)

20

Hepatitis akut

1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2. 2.Rujuk jika fasilitas Diagnosis tegak, Stabil rujuk balik tdk lengkap 1.Tegakkan diagnosis 2.Rujuk Pengelolaan di PPK.2

Hepatitis kronis 21

Demam tifoid 1.Tegakkan diagnosis tanpa 2.Pengelolaan di PPK komplikasi 1 dgn DTP Demam tifoid 1.Tegakkan diagnosis dgn komplikasi 2.Rujuk Pengelolaan di PPK.2. Diagnosis tegak, Stabil rujuk balik

11

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


No. 1 DIAGNOSIS PPK 1 PPK 2 PPK 3

Hipertensi Dalam Kehamilan : Hipertensi Gestasional Skrining : Test protein urine Therapi oral anti hipertensi dapat diberikan Skrining: Test Protein urine Rujuk ke PPK II Penilaian klinis dan diagnosis Tidak ada tanda-tanda preeklamsi rujuk balik ke PPK I Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain

Preeklamsi Ringan

Penilaian klinis dan diagnosis : Tidak ada tanda-tanda preeklamsi berat rujuk balik ke PPK I untuk oral antihipertensi Penilaian klinis dan diagnosis: Perawatan/tindakan terminasi kehamilan

Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain

Preeklamsi Berat

Skrining: Test Protein urine Pemberian MgSO4 Pemberian antihipertensi Rujuk ke PPK II

Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi HELLP syndrome atau komplikasi lain Diagnosis dan penatalaksanaan kasus yang Memerlukan perawatan ICU NICU atau dengan komplikasi HELLP syndrome atau komplikasi lain

Eklamsi

Pemberian MgSO4 Pemberian antihipertensi Rujuk ke PPK II

Penilaian klinis dan diagnosis:

Tindakan terminasi kehamilan dan rawat bersama dengan bagian lain 2 Perdarahan Trimester 1: Abortus Imminens

Skrining Sarankan untuk pemeriksaan USG ke PPK II

Penilaian Klinis dan Diagnosis USG baik kembalikan ke PPK I USG tidak baik terminasi

Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain

Abortus Insipiens

Skrining: sarankan untuk pemeriksaan USG ke PPK II

Penilaian klinis dan diagnosis : USG baik Rujuk balik

Tidak usah dirujuk ke PPK III

12

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

USG tidak baik terminasi Abortus Inkomplitus Skrining : Pemeriksaan awal KU baik rujuk ke PPK II KU tidak baik Perbaiki KU sambil di rujuk ke PPK II (boleh dilakukan kuret tumpul di PONED) Abortus Komplitus Skrining: Rujuk ke PPK II untuk pemeriksaan lanjut Mola Hidatidosa Skrining : Rujuk ke PPK II Penilaian klinis dan diagnosis Penilaian klinis dan diagnosis : Terminasi Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain seperti tirotoksikosis Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain atau dengan riwayat infertilitas yang memerlukan keahlian subspesialis Penilaian klinis dan diagnosis : Terminasi

Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)

Skrining : KU baik Rujuk ke PPK II KU buruk Perbaiki KU Rujuk PPK II

Penilaian klinis dan diagnosis: Laparatomi Operatif

Trimester 2: Perdarahan Midtrimester

Skrining : Rujuk ke PPK II

Penilaian klinis dan diagnosis: Perawatan atau tindakan setelah baik Rujuk balik ke PPK I

Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain (seperti kelainan darah dan penyakit sistemik lainnya)

Trimester 3: Perdarahan Antepartum Plasenta previa

Skrining : KU baik rujuk ke PPK II KU buruk perbaiki KU sambil rujuk ke PPK II Skrining :

Penilaian klinis dan diagnosis: Perawatan/tindakan terminasi setelah baik rujuk balik ke PPK I Penilaian klinis dan diagnosis:

Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain seperti kelainan darah dan penyakit sistemik lainnya )

Solusio Plasenta

13

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

KU baik rujuk ke PPK II KU buruk perbaiki KU sambil di rujuk ke PPK II Post Partum: Perdarahan Post Partum Dini: Atonia Uteri

Tindakan terminasi

Luka jalan lahir

Skrining: Resusitasi cairan, pemberian O2 Rujuk ke PPK II sambil lakukan dekompresi manual Skrining: KU baik Rujuk ke PPK II KU buruk rujuk sambil resusitasi cairan dan pemberian O2 Skrining: KU baik Rujuk ke PPK II KU buruk rujuk sambil resusitasi cairan dan pemberian O2 Skrining: KU baik Rujuk ke PPK II KU buruk rujuk sambil resusitasi cairan dan pemberian O2 Skrining:

Penilaian klinis dan diagnosis:

Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain Diagnosis dan Penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain

Penilaian klinis dan diagnosis :

Retensio plasenta

Penilaian klinis dan diagnosis:

Diagnosis Penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain

Sisa plasenta

Penilaian klinis dan diagnosis:

Diagnosis Penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain

Perdarahan post partum lambat:

Penilaian klinis dan diagnosis:

Diagnosis

KU baik Rujuk ke PPK II KU buruk rujuk sambil resusitasi cairan dan pemberian O2

Penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain

14

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Kelainan Letak

Skrining: Rujuk ke PPK II (PONED apabila letak sungsang dan pembukaan lengkap)

Penilaian klinis dan diagnosis: Dalam kehamilan : Versi luar apabila berhasil menjadi letak kepala Rujuk balik ke PPK I Persalinan : terminasi

Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain

Kehamilan Multiple

Skrining: Rujuk ke PPK II untuk persalinan (pemeriksaan USG)

Penilaian klinis dan diagnosis: Persalinan: terminasi

Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain

Ketuban Pecah Dini

Skrining: Rujuk ke PPK II (skrening : sediakan lakmus test)

Penilaian klinis dan diagnosis: konservatif atau terminasi

Kelainan Janin: IUGR Skrining: Penilaian klinis dan diagnosis: Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain Dan memerlukan perawatan NICU Penilaian klinis dan diagnosis: Terminasi kehamilan Penilaian klinis dan diagnosis: Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain Dan memerlukan perawatan NICU Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain dan memerlukan perawatan NICU Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain

Rujuk ke PPK II IUFD Skrining: Rujuk ke PPK II Prematur Skrining:

Rujuk ke PPK II

Perawatan konservatif atau terminasi Penilaian klinis dan diagnosis: Terminasi kehamilan

Gawat Janin

Skrining: Rujuk ke PPK II

Persalinan tidak maju/Distosia

Skrining: Rujuk ke PPK II (dilakukan vakum di PONED)

Penilaian klinis dan diagnosis: Terminasi

15

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Panggul Sempit

Skrining: Rujuk ke PPK II

Penilaian klinis dan diagnosis: Terminasi Penilaian klinis dan diagnosis: Terminasi Penilaian klinis dan diagnosis: Laparotomi eksploratif Penilaian klinis dan diagnosis: Perawatan konservatif atau terminasi kehamilan Penilaian klinis dan diagnosis: Terminasi kehamilan (dokter IPD harus ada di PPK II bila ingin di rawat) Penilaian klinis dan diagnosis

Bekas Seksio sesarea

Skrining: Rujuk ke PPK II

10

Ruptura Uteri

Skrining: Perbaiki KU sambil rujuk ke PPK II

Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain Memerlukan perawatan ICU/CICU NICU. Perlu pemeriksaan lanjutan ECHO Memerlukan perawatan ICU/CICU NICU Spesialis lain yang tidak ada di PPK II

11

Penyakit Jantung: Decompensatio Cordis FC I II Decompensatio Cordis FC III-IV

Skrining: Rujuk ke PPK II

Skrining: Rujuk ke PPK II

12

Kehamilan dengan Komplikasi lain

Skrining: Rujuk ke PPK II

13

Infeksi

Skrining: Tanda-tanda infeksi

Penilaian klinis dan diagnosis.

Diagnosis dan penanganan sepsis dan memerlukan tindakan diagnosis lanjut atau perawatan ICU

16

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT BEDAH


No 1 DIAGNOSIS Appendicitis Acute PPK 1 Skrining tanda serta gejala klinik Edukasi Rujuk ke PPK 2 Jika yakin pasien akan ke RS, beri therapi pendahuluan (Antibiotik dan analgetik) Penilaian klinis, Diagnostik dan terapi (Haemmorrhoid Gr I dan II) Rujuk ke PPK 2 (Haemorrhoid Gr III dan IV) 3 Fistula ani simple Penegakan Diagnosis Therapi pendahuluan Rujuk ke PPK 2 4 Fissura ani Penegakkan Diagnosis Therapi Pendahuluan Rujuk ke PPK 2 Deteksi gejala klinik Therapi Simptomatis Therapi dan tindak lanjutan Setelah stabil rujuk kembali ke PPK 1 Penegakkan Diagnosis melalui Pemeriksaan Penunjang Therapi Pendahuluan Tindakan operasi Bila dg penyulit rujuk ke PPK 3 Hernioraphy Penanganan oleh Subspesialis Bila telah stabi rujuk kembali ke PPK 2 PPK 2 Appendectomy PPK 3 Appendectomy laparoskopiDiver

Kontrol Luka setelah stabil Rujuk balik

Hemorhoid interna

Haemorroidectomy Kontrol luka

Setelah stabil rujuk balik

Fistulectomy Setelah stabil rujuk ke PPK 1

Cholelithiasis

Rujuk ke PPK 2

Hernia inguinalis lateralis reponibilis

Edukasi

17

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Simptomatis Rujuk ke PPK 2 Deteksi dini Simptomatis Rujuk Ke PPK 2 Simptomatis Ekstirpasi dan perawatan luka post eksisi Rujuk ke PPK 2 bila : Multiple Lipoma, Tanda2 keganasan Simptomatis Ekstirpasi dan perawatan luka post eksisi Rujuk ke PPK 2 bila : Giant Ateroma 10 Struma Nodosa Deteksi gejala dan Pemeriksaan Fisik Edukasi Simptomatik Rujuk

Setelah stabil rujuk kembali ke PPK 1 Ekstirpasi dan PA Jaringan

Fibro Adenoma Mammae (FAM) Lipoma

Ekstirpasi dlm narkose umum Rujuk kembali ke PPK I untuk perawatan luka

Ateroma

Ekstirpasi dlm narkose umum

Rujuk kembali ke PPK I untuk perawatan luka Penanganan lebih lanjut (eksisi) Penanganan Subspesialistik

Rujuk ke PPK 3 jika memerlukan penegakkan diagnostic dan penanganan subspelialistik

Jika terkontrol, rujuk kembali ke PPK 2

18

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT THT-KL


NO 1 DIAGNOSIS Otitis Media Supuratif Kronik dengan penyulit PPK 1 skrining tanda dan gejala klinik Rujuk ke PPK 2 PPK 2 - Penilaian klinis PPK 3 - Penilaian Klinis

- Foto Rontgen ( Schuller dan Stenver ) - Kultur resistensi - Operasi - Rujuk ke PPK 3 bila : 1. Komplikasi intrakranial 2. Komplikasi intratemporal 3. Otorea menetap setelah terapi Maksimal - Skrining tanda dan gejala klinis - Nasofaringoskopi

- Foto Rontgen schuller dan Stenver - CT Scan telinga - Kultur resistensi - Pemeriksaan OtoMikroskopi - Tindakan : bedah mikro telinga

Tumor Kepala Leher a. Karsinoma Nasofaring b. Karsinoma Sinonasal c. Karsinoma Laring d. Tumor di leher

Skrining tanda dan gejala klinis

- Skrining tanda dan gejala klinis - Nasofaringoskopi

- Biopsi, FNAB - Menerima rujukan balik dari PPK 3 untuk perbaikan Keadaan Umum

- FNAB - Biopsi dengan endoskopi (lokal anestesi) - Operasi dengan endoskopi - Operasi kasus dengan penyulit - Radiotherapi - Kemoiradiasi - Kontrol setelah tindakan 6 bulan Pertama - Rujuk balik ke PPK 2 untuk perbaikan Keadaan umum

Rinosinusitis dengan/tanpa polip disertai

- Skrining tanda dan gejala klinik - Terapi sesuai

- Skrining tanda dan gejala klinis - Pemeriksaan THT-KL

- Nasoendoskopi - Kultur resistensi 19

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

penyulit

Pedoman Tatalaksana

lengkap - Nasoendoskopi - Kultur resistensi - Rontgen sinus ( waters, Caldwelluck) - Tindakan bedah hidung sinus konvensional Skrining tanda dan gejala klinis - CT Scan Sinus Paranasal - Tindakan bedah sinus endoskopi tingkat lanjut

Rhinitis Alergi

Skrining tanda dan gejala klinis

- Skrining tanda dan gejala klinis - Nasoendoskopi - Pemeriksaan tes alergi (Skin Prick Test) - Immunoterapi - Nasoendoskopi mencari sumber Perdarahan - Tampon hidung anterior dan posterior - Ligasi Ekstraksi benda asing dengan esofagoskopi kaku dalan narkose umum

Epistaksis

Skrining tanda dan gejala klinis

- Skrining tanda dan gejala klinis - Tampon hidung anterior - Bila perdarahan tetap tidak dapat teratasi Rujuk ke PPK III - Skrining tanda dan gejala klinis - Foto rontgen soft tissue leher AP dan Lateral - Skrining tanda dan gejala klinis - Foto thoraks

Benda Asing di esophagus

Benda asing di Bronkus

- Skrining tanda dan gejala klinis - Foto rontgen soft Tissues leher AP dan lateral - Skrining tanda dan gejala klinis - Foto Thoraks

Speech delayed (Terlambat bicara)

Skrining tanda dan gejala klinis

- Skrining tanda dan gejala klinis - Pemeriksaan Emisi Otoakustik

Ekstraksi benda asing dengan bronkoskopi kaku dan atau bronkoskopi lentur dalam narkose umum - Pemeriksaan Brain Evoked Respon Audiometri ( BERA ) - Pemeriksaan Auditory Steady State Respon - Terapi Wicara

20

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT SYARAF (NEUROLOGI)


NO 1 DIAGNOSIS PPK 1 (RAWAT INAP) STROKE Skrining tanda serta Perdarahan gejala klinik Intra Serebral PPK 2 Diagnostik dan penanganan stroke PIS PPK 3 Diagnostik dan penanganan stroke PIS disertai komplikasi inrakranial (TTIK) dan ekstrakanial (emboli paru, respiratory failure)

Penanganan sesuai guideline stroke Rujuk ke PPK 1

Manitol 20% (antiedema), penanganan factor resiko, rehabilitasi (sesuai guideline stroke) Pemeriksaan penunjang (EKG, Foto Thorax, profil lipid, pemeriksaan darah perifer lengkap) Setelah lewat fase akut rujuk balik Bila disertai tanda-tanda TTIK rujuk PPK 3

CT Scan kepala Terapi : antiedem, operatif atas indikasi, rehabilitasi

Setelah lewat fase akut rujuk balik

STROKE INFARK

Skrining tanda serta gejala klinik

Diagnostik dan penanganan stroke infark dengan komplikasi Pemeriksaan penunjang : EKG, Ro-Thorax, pemeriksaan darah perifer lengkap, faktor resiko (gula darah, profil lipid,asam urat) Terapi: manitol 20%, anti platelet agregasi, antikoagulan atas indikasi, penanganan factor resiko dan komplikasi

Diagnostik dan penanganan stroke infark dengan komplikasi

neuroprotektan, antiplatelet agregasi, penanganan faktor resiko (sesuai guideline stroke)

Pemeriksaan penunjang (EKG, ,CT-scan kepala atas indikasi, USG karotis,Transcranial Doppler,Echocardiografi)

21

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Bila ada komplikasi (sesuai guideline stroke) akut (intra dan ekstrakranial) atau ada tanda-tanda TTIK Rujuk ke PPK 2 FISIOTERAPI Setelah lewat fase akut rujuk balik Bila komplikasi berat dan tidak tertangani rujuk ke PPK 3

Terapi : manitol 20%, anti agregasi platelet, antikoagula atas indikasi, fisioterapi (sesuai guideline stroke) Perbaikan rujuk balik

Meningitis serosa

Skrining tanda serta gejala klinik

Diagnostik dan penanganan Pemeriksaan Penunjang : LP, pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit, sputum BTA, foto thorax Terapi (kortikosteroid, obat anti tuberkulosa)

Diagnostik dan penanganan komplikasi meningitis

Rujuk ke PPK 2

Pemeriksaan penunjang : CT scan bila ada tandatanda TTIK, LP dengan pemeriksaan kultur Terapi sesuai diagnostik, dexamethason, operatif bila tanda-tanda TTIK akut Perbaikanrujuk balik PPK 2

Setelah stabil rujuk ke PPK 1 untuk lanjutan OAT bila ada tanda-tanda TTIK atau perburukan klinis rujuk ke PPK 3

Tetanus

Skrining tanda serta gejala klinik

Therapi dan tindak lanjutan Tetanus grade II :

Tindakan lanjutan : tracheostomi Penanganan komplikasi tetanus (kejang tidak teratasi, disotonomi, pneumonia aspirasi , respiratory failure hebat, kardiomipati, fraktur kompresi)

22

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Terapi Pendahuluan : debridement luka, ATS 10.000 u, TT 0,5 cc, Oksigen, diazepam injeksi, metronidazole 3x500mg antibiotic (tetrasiklin 4x500mg) Tetanus grade I Tetanus grade II -V Rujuk ke PPK 2

ATS/HTIG injeksi, TT (bila belum diberikan di PPK 1), EKG, Foto thorax

Perbaikan rujuk balik

Terapi : metronidazole 3x500mg (14 hari), tetrasiklin 4x500 mg (10 hari), debidrement, diazepam injeksi) Setelah perbaikan rujuk kembali ke PPK 1

Tetanus grade III-V rujuk ke PPK 3 5 ENSEFALITIS Skrining tanda serta gejala klinik Penegakkan Diagnosis : LP Penanganan komplikasi pada ensefalitis (status epileptikus), perlu perawatan ruang intensif Pemeriksaan penunjang : LP, EEG, CT Scan, pemeriksaan antigen antibodi spesifik untuk virus Perbaikanrujuk balik

Penanganan kejang : diazepam injeksi

Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan darah, foto thorax, EEG,

Antiviral (acyclovir)

Therapi pemberian obat anti kejang, antiviral, antipiretik,

Therapi Simptomatis : untuk demam (parasetamol)

Kejang berulang sampai status rujuk ke PPK 3

Rujuk ke PPK 2

23

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

MYELORADIKU LOPATI

Skrining tanda serta gejala klinik

Penegakkan Diagnosis dan penatalaksanaan

Penegakan diagnostik dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang : Foto polos vertebra (bila belum dilakukan), MRI (atas indikasi), bone scanning (bila ada kecurigaan Ca metastasis) Terapi : operatif, analgetik, fisioterapi

Simptomatis : anti nyeri (Na diklofenak) dan tirah baring

Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan darah, foto thorax, foto vertebra, myelografi

Rujuk ke PPK 2

Terapi : anti nyeri (Na diklofenak)

Rujuk ke PPK 3

Rujuk balik bila tidak mau operasi atau penanganan khusus

MYELOPATI

Skrining tanda serta gejala klinik

Penegakkan Diagnosis dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang: foto polos vertebra, pemeriksaan darah, myelografi Bila terdapat progresivitas Rujuk Ke PPK 3

Penegakan diagnostik dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang : Foto polos vertebra, MRI

Rujuk Ke PPK 2

Terapi : operatif (sesuai indikasi)

RADIKULOPATI

Skrining tanda serta gejala klinik

Penegakkan Diagnosis dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang: foto polos vertebra, pemeriksaan darah, EMG

Penegakan diagnostik dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang : Foto vertebra, EMG,MRI bila ada indikasi

Simptomatis : anti nyeri (Na diklofenak)

Terapi : operatif sesuai indikasi

24

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Bila tidak ada perbaikan Rujuk ke PPK 1

Bila gejala defisit neurologis berat atau terapi simptomatis tidak ada perbaikan rujuk ke PPK 3 Penanganan status epileptikus, mencari etiologi. Diagnostik status epileptikus (EEG, CT scan, MRI) Penanganan di ruang intensif Bila perbaikan dan kejang terkontrol Rujuk balik PPK 2

STATUS EPILEPTIKUS

Diagnosa berdasarkan gejala klinis, tatalaksana serangan kejang akut (pemberian diazepam dan loading dose OAE) segera rujuk PPK 1

Rujuk ke PPK 3 jika terjadi status epileptikus refrakter/yang memerlukan perawatan intensif (ICU), pemberian OAE 10 SOL ( Tumor Intrakranial dan infeksi intrakranial ) Diagnosa berdasarkan gejala klinis Diagnostik dan penanganan lebih lanjut TTIK (gejala berupa penurunan kesadaran, muntah, nyeri kepala, papiledema) Pemeriksaan penunjang : foto polos tengkorak, CT Scan kepala dengan kontras Penanganan Subspesialistik (operatif, kemoterapi, radioterapi)

Penatalaksanaan : dexamethason dan ranitidine injeksi Rujuk PPK 2

Pemeriksaan penunjang : PA

Jika perbaikan, rujuk kembali ke PPK 2

Rujuk ke PPK 3 jika memerlukan penegakkan diagnostic dan penanganan subspesialistik

25

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

NO 1

DIAGNOSIS (RAWAT JALAN) Sequele Stroke

PPK 1 Skrining tanda dan gejala klinis dan faktor resiko

PPK 2 Penanganan faktor resiko dan kecacatan (rehabilitasi) -

PPK 3

Penanganan preventif Bila ada perbaikan fungsi stroke sekunder, rujuk balik PPK 1 faktor resiko, fisioterapi Sesuai guideline stroke Bila deficit neurologis berat rujuk ke PPK 2

Radikulopati

Skrining tanda dan gejala klinis

Penegakkan Diagnosis dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang: foto polos vertebra,EMG bila alat tersedia, CT myelo sesuai indikasi, pemeriksaan darah

Penegakan diagnostik dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang : Foto vertebra, EMG,MRI bila ada indikasi

Simptomatis : anti nyeri (Na diklofenak), bila tdk ada perubahan rujuk ke PPK 2 Bila ada red flag rujuk ke PPK 2

Bila gejala defisit neurologis berat atau terapi simptomatis tidak ada perbaikan rujuk ke PPK 3 Bila ada gejala dan tanda red flag rujuk ke PPRK 3

Terapi : simptomatis dan causal, operatif sesuai indikasi

CTS

Skrining tanda dan gejala klinis Penanganan simptomatik analgetik, dan posisioning

Diagnosa dan penanganan

Penanganan dan diagnostic

EMG bila alat tersedia, USG carpal tunnel, mencari factor resiko

EMG

26

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

bila ada deficit neurologi rujuk ke PPK 2

penanganan analgetik deksamethason injeksi fisioterapi

terapi medikamentosa operatif bila ada indikasi

bila nyeri teratasi rujuk balik PPK 1

bila nyeri teratasi rujuk balik PPK 2

bila deficit neurologi berat (atrofi) rujuk ke PPK 3

Parkinson

Skrining tanda dan gejala klinis

Diagnosa dan penanganan, mencari factor resiko

Diagnosa dan penanganan Parkinson

Rujuk ke PPK 2

Obat antiparkinson Pemeriksaan darah untuk mencari faktor resiko

Pemeriksaan CT Scan Bila gejala terkontrol rujuk balik ke PPK 2

Bila gejala tidak teratasi atau efek samping obat rujuk ke PPK 3

Parkinson sekunder rujuk ke PPK 3 Bila ada perbaikan rujuk ke PPK 1 5 Nyeri kepala Skrining tanda dan gejala klinis, penegakkan diagnose berdasarkan guideline nyeri kepala perdossi Diagnosa dan penanganan nyeri kepala primer Diagnosa dan penanganan nyeri kepala

Bila nyeri kepala teratasi rujuk balik PPK 1

Pemeriksaan CT Scan, MRI sesuai indikasi

27

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Bila nyeri kepala tidak terkontrol, ada nyeri kepala sekunder dan terdapat tanda-tanda bahaya nyeri kepala (red flag) rujuk ke PPK 2

Nyeri kepala dengan red flag rujuk ke PPK 3

Penanganan nyeri kepala sekunder, operatif bila ada indikasi

Nyeri kepala sekunder periksa konsul mata, THT, gigi dll sesuai kausal

Bila sudah tertangani rujuk balik ke PPK 2

Bila teratasi rujuk balik PPK 1

Epilepsi

Skrining tanda dan Diagnosa dan penanganan gejala klinis, kejang pada epilepsi dan penegakkan diagnosa mencari etiologi berdasarkan bangkitan terapi sesuai guideline epilepsy perdossi Pemeriksaan penunjang : EEG, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, SGOT, SGPT Terapi sesuai guideline epilepsy dengan kombinasi obat

Diagnosa dan penanganan kejang

EEG, MRI

Bila kejang tidak terkontrol dengan 2 jenis obat antiepilepsi lini pertama rujuk ke PPK 2

Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, SGOT, SGPT

Setelah kejang terkontrol rujuk balik ke PPK 1

Terapi kombinasi obat lini pertama dan lini kedua sesuai guideline epilepsy

Bila kejang tidak terkontrol rujuk ke 3

Bila kejang terkontrol rujuk balik Ke PPK 2

Vertigo

Skrining tanda dan gejala klinis

Diagnosa dan penanganan, mencari etiologi

Diagnosa dan penanganan

28

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

terapi simptomatik

pemeriksaan factor resiko, CT Scan kepala bila alat tersedia,

MRI sesuai indikasi

Bila ada deficit neurologi dan progresif Rujuk PPK 2 untuk mencari etiologi dan penanganan

konsul THT Terapi simptomatik, fisioterapi Bila gejala tidak teratasi rujuk ke PPK 3

Tindakan operatif sesuai indikasi Terapi simptomatik, fisioterapi bila gejala teratasi rujuk balik ke PPK 2 Diagnosa dan penanganan

Nyeri (termasuk nyeri punggung bawah)

Skrining tanda dan gejala klinis

Diagnosa dan penanganan serta mencari etiologi

terapi simptomatik

Penanganan nyeri : analgetik, fisioterapi

EMG, MRI sesuai indikasi

Bila ada tanda-tanda red flag LBP dan tanda radikuler rujuk ke PPK 2

Pemeriksaan foto polos vertebra, EMG sesuai indikasi dan bila tersedia alatnya

Tindakan operatif sesuai indikasi

Analgetik, fisioterapi

Bila nyeri progresif dan belum teratasi dan terdapat tanda red flag Rujuk ke PPK 3 9 Neuropati/ Polineuropati Skrining tanda dan gejala klinis Diagnosa dan penanganan, serta mencari etiologi

Bila nyeri teratasi rujuk balik ke PPK 2

Penanganan dan diagnostic

terapi siimptomatik, mencari factor resiko

EMG bila alat tersedia

EMG

terapi simptomatik dan penanganan factor resiko

terapi medikamentosa dan penanganan factor resiko

29

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Bila gejala tidak teratasi, progresif Rujuk ke PPK 2

Bila terdapat deficit neurologi atau gejala tidak teratasi rujuk ke PPK 3

bila gejala teratasi rujuk balik PPK 2

10

Meningitis (post perawatan)

Skrining tanda dan gejala klinis Lanjutkan terapi OAT

Diagnostik dan penanganan Pemeriksaan Penunjang : LP, pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit, sputum BTA, foto thorax Terapi (kortikosteroid, obat anti tuberkulosa)

Diagnostik dan penanganan komplikasi meningitis

Bila gejala klinis memburuk Rujuk ke PPK 2

Pemeriksaan penunjang : CT scan bila ada tandatanda TTIK, LP dengan pemeriksaan kultur Terapi sesuai diagnostik, dexamethason, operatif bila tanda-tanda TTIK akut Perbaikanrujuk balik PPK 2

Setelah stabil rujuk ke PPK 1 untuk lanjutan OAT

bila ada tanda-tanda TTIK atau perburukan klinis rujuk ke PPK 3

30

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT KULIT KELAMIN


No 1 DIAGNOSIS PPK 1 PPK 2 PPK 3

Vitiligo

Terapi topikal untuk tipe lokalisata Bila tidak responsif atau generalisata rujuk PPK 1 Terapi topical

Terapi topikal Bila tidak responsif rujuk PPK 3

Terapi topical Fototerapi

Liken Simpleks Kronikus

Sama dengan PPK 1

Konsul ke psikiater apabila faktor psikis dinyatakan sebagai penyebab Sama dengan PPK 2 ditambah fototerapi, biologic agents

3.

Psoriasis vulgaris

Umum: hindari faktor pencetus Khusus: Terapi topikal bila luas lesi < 5% Bila tidak responsif atau luas lesi > 5% rujuk PPK 2

Umum: hindari faktor pencetus Khusus: Terapi topikal Terapi sistemik Konsul ke bagian Gigi dan Mulut, THT-KL untuk penatalaksanaan faktor pencetus Bila terdapat komplikasi artritis konsul IPD Bila terdapat komplikasi eritroderma, psoriasis pustulosa rujuk PPK 3 Terapi topikal Terapi sistemik Bila tidak responsif rujuk PPK 3

4.

Dermatitis Seboroik

Terapi topical Terapi sistemik Bila terdapat komplikasi eritroderma Rujuk PPK 2

Sama dengan PPK 2 ditambah penanganan komplikasi

5.

Dermatitis Numularis

Terapi topical Terapi sistemik

Sama dengan PPK 1 Konsul ke bagian Gimul, THT-KL untuk penatalaksanaan infeksi fokal

Sama dengan PPK 2

6.

Skabies

Penyuluhan Terapi topikal Terapi sistemik Menghilangkan faktor

Sama dengan PPK 1

Sama dengan PPK 1

7.

Tinea Kruris

Terapi topikal

Sama dengan PPK 2 31

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

predisposisi Terapi topikal Terapi sistemik Bila luas rujuk PPK 2


8.

Terapi sistemik untuk lesi yang luas

Keloid

Terapi topical Bila tidak responsif rujuk PPK 2

Terapi topikal Tindakan: injeksi kortikosteroid inralesi Bila tidak responsif rujuk PPK 3

Terapi topikal Tindakan injeksi kortikosteroid inralesi dapat dikombinasikan dengan bedah beku Eksisi dengan radioterapi Sama dengan PPK 1

9.

Xerosis Cutis

Menghindari faktorfaktor yang menambah kekeringan kulit Terapi topikal: pelembab Menyarankan kepada penderita untuk menghindari bahan penyebab Menyarankan penderita untuk menggunakan pelindung seperti sarung tangan jika terpaksa harus kontak dengan bahan penyebab Terapi topikal Terapi sistemik Bila tidak responsif rujuk PPK 2

Sama dengan PPK 1

10.

Dermatitis Kontak Iritan

Sama dengan PPK 1 Bila tidak resposif rujuk PPK 3

Sama dengan PPK 1 Melakukan pemeriksaan untuk mengetahui bahan penyebab

32

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT MATA

NO
1.

DIAGNOSIS
KONJUNGTIVITIS

PPK 1
EVALUASI Riwayat trauma/kelilipan, kontak dengan penderita mata merah, riwayat iritasi dan alergi/hipersensitiv itas (udara, debu, obat, makanan dll) Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan koreksi terbaik menggunakan pinhole. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat, konjungtivabulbi dan tarsal, dan memastikan pada kornea tidak ditemukan kelainan akibat perdagangan konjungtiva. Konjungtivitas bakteri bila ditemukan konjungtiva hiperemis, secret mukopurulen atau purulen, dapat disertai membrane atau pseudomembran pada konjungtiva tarsalis. Konjungtivitis virus bila ditemukan konjungtiva hiperemis, secret

PPK 2

PPK 3

Sama dengan fasilitas Pemeriksaan kultur primer swab secret konjungtiva Pemeriksaan komposisi pada agar darah domba, air mata dengan agar tioglikolat, dan uji melakukan pemeriksaan resistensi anti mikroba. Schirmer, BUT dan Ferning, uji anel melalui pungtum lakrimalis untuk menilai ada atau tidaknya sumbatan. Pemeriksaan dengan slitlamp untuk menilai keadaan konjungtiva bulbi, tarsal, forniks dan kornea. Melihat gambaran secret (mukoserosa, mukopurulen, purulen). Melihat gambaran folikel, papil, membrane pada konjungtivitis tarsal superior dan inferior dan konjungtiva forniks Melihat gambaran injeksi dan nodul pada konjungtivitis bulbi. Memastikan tidak ditemukan kelainan pada kornea. Melihat kelainan pada komposisi air mata, obstruksi kelenjar meibom. Pemeriksaan swab secret dengan penawaran gram bila dicurangi infeksi bakteri, Giemsa bila dicurigai virus 33

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

umumnya mukoserosa dan pembesaran kelenjar limfe preaurikuler. Konjungtivitis alergi bila mempunyai riwayat alergi atau atopi dan ditemukan keluhan gatal, dan hiperemis konjungtiva. Curigai Steven Johnson syndrome jika terjadi konjungtivitis pada kedua mata yang timbul seteleh minum atau mendapatkan terapi obatobatan. Curigai kojungtivitis gonore, terutama pada bayi baru lahir, jika ditemukan konjungtivitas pada dua mata dengan secret purulen yang sangat banyak. PENATALAKSANAAN Berikan tetes mata kloramfenikol Berikan obat tetes (0,5% -1 %)6 kali mata antibiotik sehari atau salep sprektum luas 6 kali mata 3x sehari sehari dan/atau salep selama minimal 3 mata 3 kali setiap bila hari bila dicurigai dicurigai infeksi bakteri infeksi bakteri. Berikan salep mata Berikan salep anti antivirus asiklovir 5 kali virus jka sicurigai sehari bila dicurigai infeksi virus infeksi virus. Berikan tetes mata Berikan tetes mata anti buatan 6 kali alergi (kromolin glikat) Berikan tetes antibiotika sesuai hasil gram atau kultur, 6 kali sehari atau salep mata 3 kali sehari bila infeksi bakteri Berikan tetes antivirus sdoksuridin atau asiklovir bila infeksi virus. Berikan tetes/salep mata antihistamin atau kortikosteroid bila 34

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

sehari bila dan/atau anti inflamasi dicurigai iritasi. bila dicurigai reaksi Pada steven alergi/hipersensitivitas Jhonson Berikan tetes /gel syndrome, lubrikan atau air mata diberikan tetes buatan bila ditemukan mata antiinlamasi iritasi (sterioid) dan air Dicari factor mata predisposisi penyakit buatan/lubrikan yaitu sistemik (diabetes kemudian rujuk ke mellitus, TBC, kondisi fasilitas sekunder imunitas yang rendah, untuk cacingan, kondisi mendapatkan immunocompromised). penanganan lanjut Keadaan konjungtiva dari bagian diperiksa 3 hari hingga spesialis kulit. sidapatkan perbaikan Pada Konjungtivitis klinis, Bila tidak ada gonoro, pada bayi perbaikan, memburuk diberikan injeksi atau terjasi kompliksi penilisin procain dalam 1 bulan, dirujuk 50.000 IU/Kg ke dokter mata bb/hari dan konsultan Infeksi dan kloramfenikol Imunologi atau fasilitas tetes mata (0,5% mata tersier. 1,0%) tiap jam.Bila tidak tidak ada perbaikan dan atau terjadi komplikasi pada kornea, segera rujuk ke fasilitas sekunder dan tersier. Bila tidak ada perbaikan dengan terapi dalam 1 minggu pada konjungtivitis bakteri, 2 minggu pada konjungtivitis virus dan alergi, segera rujuk ke fasilitas sekundrt atau tersier.

ditemukan reaksi alergi atau hipersesitivitas. Bila ditemukan kompliksi pada kornea, penatalaksanaan sesuai dengan penatalaksanaan keratitis/ulkus kornea Pada Steven Jhonson syndrome, berikan terapi anti inflamasi (steroid) tropical dan lubrikan/air mata buatan, disertai terapi dari bagian spesialis kulit. Pada konjungtivitis gonore, diberikan gentamisin/ciprofloxaci n salep mata, injeksi ceftriaxon 1 gr single dose intravena, jika ada ulkus berikan ceftriaxon 1 gr intravena tiap 12 jam selama 3 hari.Bila alergi diberikan ciprofloxacin 500 mg oral 2 kali selama 5 hari. Pada bayi berikan gentamisin/ciprofloxaci n salep mata injeksi ceftriaxon 25-50 mg/kg bb atau cefotaxim 100mg/kg bb interavena atau intramuskular. Berikan tetes/ gel mata lubrikan dan air mata buatan bila ditemukan iritasi Pemeriksaan klinis factor predisposisi local (dry eye, obstruksi duktus nasolakrimalis dll), dilanjutkan pentalaksanaan terhadap kelainan tersebut pemeriksaan laboraturium lengkap darah, urin, feses bila dicurigai predisposisi 35

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

penyakit sistemik. Berikan terapi oral/parenteral sistemik bila ditemukan factor predisposisi sistemik sesuai hasil konsultsi bagian yang bersangkutan. Keadaan konjungtiva di periksa tiap 3 hari hingga didapatkan perbaikan klinis dan evaluasi pengobatan terhadap factor predisposisi sistemik dan local 2
EVALUASI KERATITIS DAN ULKUS Riwayat KORNEA Riwayat trauma (kelilipan, Riwayat trauma (kelilipan, benda asing di kornea, benda asing di kornea, khusus riwayat trauma khusus riwayat trauma tumbuh-tumbuhan atau tumbuh-tumbuhan atau pengunaan obat tetes pengunaan obat tetes mata tradisional yang mata tradisional yang berasal dari tumbuhberasal dari tumbuhtumbuhan dapat dicurigai tumbuhan dapat dicurigai disebabkan oleh jamur, disebabkan oleh jamur, penggunaan lensa penggunaan lensa kontak), pemakaian kontak), pemakaian kortikosteroid topical. kortikosteroid topical. Pemeriksaan tajam Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu penglihatan dengan kartu Snellen dan koreksi Snellen dan koreksi terbaik menggunakan pinterbaik menggunakan pinhole. hole. Tekanan intraocular (TIO) Tekanan intraocular (TIO) diukur dengan cara palpasi diukur dengan cara palpasi Pemeriksaan dengan slit Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai lamp untuk menilai keadaan kornea dan keadaan kornea dan segmen anterior lainnya : segmenn anterior lainnya : Melihat gambaran Melihat gambaran secret (serosa, secret (serosa, mukopurulen, mukopurulen, purulen). purulen). Bentuk ulkus Bentuk ulkus (pungtata, filament, (pungtata, filament, dendritik, geografik, dendritik, geografik, oval, intersisial,dll) oval, intersisial,dll) Kedalaman ulkus Kedalaman ulkus (superficial, dalam, (superficial, dalam, apakah ada apakah ada kecenderuangan untuk kecenderuangan untuk

trauma (kelilipan, benda asing di kornea, khusus riwayat trauma tumbuhtumbuhan atau pengunaan obat tetes mata tradisional yang berasal dari tumbuhtumbuhan dapat dicurigai disebabkan oleh jamur, penggunaan lensa kontak), pemakaian kortikosteroid topical. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen dan koreksi terbaik menggunakan pinhole. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat keadaan kornea

36

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

perforasi (impending perforasi (impending perforation) dan perforation) dan perforasi. perforasi. Pemeriksaan kerokan Hipopion dapat ada korea dengan penawaran atau tidak ada. Gram dan pemeriksaan Lakukan foto keadan langsung dengan KOH 10% kornea dan segmen anterior lainnya. Pemeriksaan kerokan kornea dengan pewarnaan Gram, Giemsa dan pemeriksaan langsung dengan KOH 10% Pemeriksaan kultur kerokan kornea dengan agar darah domba, tioglikolat dan agar sabouraud dekstrosa. Bila segmen posterior sulit dinilai, lakukan pemeriksaan ultrasonografi. Bila didapatkan adanya kekeruhan vitreus dan tanda-tanda endoftalmitis, lakukan prosedur endoftalmitis. PENATALAKSANAAN Berikan tetes. Salep mata kloramfenikol (0,5-1%) enam kali sehari, atau salep mata tetrasiklin 3 kali sehari sekurangkurangnya untuk 3 hari. Jangan diberikan kombinasi antibiotika dengan obat yang mengandung kortikosteroid Jang menggunakan obat-obat tradisional. Segera rujuk ke spesialis mata apabila : Tajam penglihatan awal buruk atau menurun setelah 3 hari pengobatan Tampak lesi Pasien sebaiknya dirawat Pasien sebaiknya dirawat apabila : apabila: Lesi ulkus kornea Lesi ulkus kornea mengancam mengancam penglihatan, penglihatan, mengancam mengancam perforasi. perforasi. Pasien dianggap Pasien dianggap kurang patuh utnuk kurang patuh utnuk pemberian obat tiap pemberian obat tiap jam jam Diperlukan follow up Diperlukan follow up untuk menilai untuk menilai kebersihan terapi. kebersihan terapi. Apabila ditemukan Apabila ditemukan gambaran ulkus kornea gambaran ulkus kornea dendritik, geogradik atau dendritik, geogradik atau stroma, dapat diberikan stroma, dapat diberikan salep mata asiklovir 5 kali salep mata asiklovir 5 kali sehari atau tetes mata sehari atau tetes mata idoksuridin tiap jam. idoksuridin tiap jam. Bila pada pemeriksaan Bila pada pemeriksaan kerokan kornea kerokan kornea didapatkan hasil gram didapatkan hasil gram positif atau negative positif atau negative diberikan antibiotika tetes diberikan antibiotika tetes mata golongan mata golongan

37

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat putih di kornea Tetap berikan kloramfenikol tetes mata saat merujuk ke spesialis mata di fasilitasi sekunder dan tertier. aminoglikosida (gentamisin ,dibekasin, tobramisin) dengan konsentrasi yang ditingkatkan (fortified)tiap jam atau golongan quinolone (sprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin) tiap 5 menit pada 1 jam pertama dilanjutkan tiap jam. Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frakuensi pemberian dapat dikurangi hingga 2 minggu. Bila kerokan kornea didapatka hifa jamur (KOH positif), berikan tetes mata Natamisin 5 % tiap jam tiga kali sekali. Keadaan Korea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frekuensi pemberian dapat dikurangi hingga 3-5 minggu. Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah tetes mata sikloplegik dan anti glaukoma apabila didapatkan peningkatan TIO. Pemberian analgetik apabila diperlukan. Lakukan pemeriksaan gula darah puasa dan 2 jam setelah makan sebagai salah satu factor risiko ulkus kornea. Rujuk ke spesialis mata konsultan infeksi dan imunologi mata atau klinik mata tersier apabila didapatkan : Ulkus kornea yang terjadi pada pasien yang hanya mempunyai satu mata Ulkus kornea pada anak-anak Adanya

2012

aminoglikosida (gentamisin ,dibekasin, tobramisin) dengan konsentrasi yang ditingkatkan (fortified)tiap jam atau golongan quinolone (sprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin) tiap 5 menit pada 1 jam pertama dilanjutkan tiap jam. Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frakuensi pemberian dapat dikurangi hingga 2 minggu. Bila kerokan kornea didapatkan hifa jamur, diberikan tetes mata Natamisin 5% tiap jam dan salep mata Natamisin 5 % tiga kali sehari atau bila pasien mampu, berikan tetes mata amfoterisin B 0,15% tiap jam (tetes mata amfoterisin B 0,15% dapat dibuat dengan modifikasi sediaan bubuk untuk pemberian intravena). Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan yang kemusian frekuensi pemberian dapat dikurangi hingga 3-5 minggu. Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah tetes mata sikloplegik dan anti glaukoma apabila didapatkan peningkatan TIO. Pemberian analgetik apabila diperlukan. Lakukan pemeriksaan gula darah puasa dan 2 jam setelah makan sebagai salah satu factor risiko ulkus kornea. Tidakan Bedah: Keratektomi superfinansial tanpa membuat perlukaan

38

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat kecenderungan untuk perforasi atau perforasi. Kedurigaan ulkus kornea jamur, tetapi tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan langsung KOH 10% atau pewarnaan jamur lainnya. Tidak didapatnya kemajuan terapi setelah 3 hari pengobatan (ulkus kornea bakteri) atau 7 pengobatan (ulkus kornea jamur).

2012

pada membrane Bowman dengan indikasi : Keratitis virus epitelial Erosi kornea rekuren Keratektomi superfinansial hingga membran Bowman atau stroma anterior, dengan indikasi : Untuk menegakkan diagnosis, terutama pada ulkus kornea jamur. Menghilangkan materi infeksi, terutama jamur Tarsorafi lateral atau medial , dengan indikasi : Keratitis terpapar Keratitis neuroparalitik Tissue adhesive atau graft amnion multilayer, dengan indikasi : Ulkus korena dengan tissue loss berukuran kecil Perforasi kornea perifer berukuran kecil Flap konjungtiva, dengan indikasi : Kecenderungan perforasi/descem atocele Perforasi kornea di perifer Patch graft dengan flap konjungtiva, dengan indikasi : Kecenderungan perforasi/descemato cele Perforasi kornea di perifer Keratoplasi tembus, dengan indikasi : Mempertahankan

39

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

integritas bola mata - Mengganti jaringan kornea yang terinfeksi dengan donor kornea. Fascia lata graft, dengan indikasi : - Mempertahankan integritas bola mata, dimana sulit untuk mendapatkan donor kornea

GLAUKOMA KRONIS

EVALUASI Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen dengan koreksi terbaik dan pin-hole: biasanya tajam penglihatan masih baik.Pada stadium lanjut didapatkan koreksi tajam penglihtan tidak penuh dengan pupil melebar dan berwarna hitam. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup: gambaran bola mata tidak berbeda dengan gambaran mata normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan reflex cahaya yang lambat. Pemeriksaan funduskopi rasio CD (Perbandingan antara lebar cekungan papil terhadap lebar papil N.II) sebesar 0,6 atau lebih. Pemeriksaan tekanan intraocular dengan tonometer Schiotz : TIO 28 mm Hg (4,5/7,5) atau lebih. Pemeriksaan lapang pandang dengan tes konfrontasi : menyempit. Klafisikasi glaucoma berdasarkan pemeriksaan sudut bilik mata depan (gonioskopi) dibagi ke dalam glaucoma sudut terbuka dan glaucoma sudut tertutup. Berdasarkan etiologinya dibagi kedalam glaucoma sekunder. Glaucoma primer adalah glaucoma yang timbul dengan sendirinya pada orang yang mempunyai bakat bawaan glaucoma, sedangkan glaucoma sekunder adalah glaucoma yang timbul sebagai penyulit penyakit mata lain baik yang sedang maupun yang pernah diderita serta penyakit sistemik. Glaukoma sudut terbuka primer (glaucoma kronis) Glaukoma sudut terbuka primer adalah glaucoma primer yang ditandai sudut bilik mata depan yang terbuka, atrifi dan ekskavasi papil N.II serta lapang pandang karakteristik, yang bersifat progessif lambat, disebabkan oleh berbagai factor risiko, terutama TIO yang terlalu tinggi untuk kelangsungan Klasifikasi glaucoma mirip dengan klasifikasi pada fasilitas sekunder. Pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan kartu Snellen atau chart projector dengan koreksi dan pin-hole. Tajam penglihatan sentral sering masih baik walaupun penyakit sudah stadium lanjut. Pemeriksaan dengan biomikroskopi : Gambaran bola mata tidak berbeda dengan gambaran mata normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan reflex cahaya yang lambat. Bilik mata depan dalam dengan sudut bilik mata depan yang terbuka lebar pada glaucoma sudut terbuka primer. Bilik mata depan dangkal dan sudut bilik mata dengan sempit pada glaucoma sudut tertutup primer. Kelainan glaucoma jenis ini bersifat bilateral walaupun tidak selalu simetris pada kedua mata. Pada glaucoma sudut terbuka sekunder harus dicari factor penyebab. Pemeriksaan sudut bilik mata depan dengan gonioskopi. Pemeriksaan funduskopi : Gambar dan uruaikan papil

40

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

kesehatan mata. saraf optik. Glaukoma sudut terbuka Pemeriksaan tekanan sekunder intraocular dengan tonometer Schiotz, Gambaran klinis yang tonometri aplanasi, tonomirip dengan pen dan bila ada dengan glaucoma sudut tonometer non kontak. terbuka primer antara lapang lain adalah glaucoma Pemeriksaan pandang dengan alat pigmenter, glaucoma perimeter kinetic dan kortikosteroid, static baik manual maupun glaucoma computer:bila pseudoeksfoliasi, memungkinkan dengan glaucoma angle recess Octopus atau Humphrey. setelah trauma tumpul Bila memungkinkan dan lain-lain. evaluasi papil saraf optic Glaukoma kronis sudut dan serabut saraf retina tertutup primer dengan alat diagnostic Glaukoma jenis ini imaging seperti OCT adalah glaucoma (optical coherence primer yang ditandai tomography)dan HRT dengan tertutupnya (Heidelberg retinal trabekulum oleh iris topography). perifer secara perlahan.Bentuk primer berkembang pada mereka yang memiliki factor predisposisi anatomi berupa sudut bilik mata depan tergolong sempit. Selain sudut bilik mata depan yang tertutup, gambaran klinisnya asimptomatis mirip glaucoma sudut terbuka primer. Glaukoma tersebut dapat pula berkembang dari bentuk intermiten,subakut atau merambat (creeping). Glaukoma jenis ini juga merupakan kelanjutan glaucoma akut sudut tertutup primer yang tidak mendapat pengobatan atau setelah mendapat pengobatan yang tidak sempurna atau setelah terapi iridektomi perifer/trabekulektomi (glaucoma residual).

41

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat Pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan kartu Snellen dengan koreksi dan pin-hole. Tajam penglihatan sentral sering masih baik walaupun penyakit sudah stadium lanjut. Pemeriksaan dengan biomiksokopi : Gambaran bola mata tidak berbeda dengan gambaran mata normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan reflex cahaya yang lambat.Bilik mata depan dalam dengan sudut bilik mata depan yang terbuka lebar pada glaucoma sudut terbuka primer. Bilik mata depan dangkal dan sudut bilik mata depan sempit pada glaucoma sudut tertutup primer. Kelainan glaucoma jenis ini bersifat bilateral walaupun tidak selalu simetris pada kedua mata. Pada glaucoma sudut terbuka sekunder harus dicari factor penyebab. Pemeriksaan sudut bilik mata depan menggunakan teknik Van Herrick dan sebaliknya menggunakan gonioskopi. Pemeriksaan funduskopi : terlihat atrofi papil glaukomatosa. Pemeriksaan tekanan intraocular dengan tonometer Schiotz : TIO umumnya lebih dari 21 mm Hg. Pemeriksaan lapang pandang dengan alat perimeter sederhana atau perimeter Goldmann : cacat lapang pandang galukomatosa.

2012

PENATALAKSANAAN Tekanan intra ocular diturunkan dengan 1. GLAUKOMA TERBUKA PRIMER SUDUT 1. GLAUKOMA TERBUKA PRIMER SUDUT

42

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat obat-obatan secara bertahap berupa : - Timolol 0,25% - 0,5% 2x 1 tetes/hari (bila tidak ada kontra indikasi) - Pilokarpin 2% 4 x 1 tetes/hari - Asetazolamind 3-4 x 125 250 mg/hari - KCI 2-3 x 0,25 0,5 gr/hari Obat-obatan prinsipnya dibeirkan secara sendirisendiri, tetapi dapat dikombinasikan tergantung dari sasaran TIO. Umumnya TIO diharapkan lebih rendah dari 21 mm Hg. Oleh karena obatobatan dibeirkan untuk jangka lama dan terus menerus. Sangat penting diperhatikan kepatuhan penderita dalam melaksanakan pengobatannya. Penerita dirujuk ke dokter spesialis mata, pelayanan tingkat sekunder atau tersier bila TIO tetap diatas 21mmHg, penderita tidak patuh, tidak tahan terhadap obat-obatan, dalam stadium lanjut glaucoma dan/atau utnuk menilai progresifitas penyakitnya. Upaya pencegahan kebutaan akibat glaucoma memerlukan penyuluhan dan penjaringan glaucoma secara aktif di masyarakat, baik untuk Tujuan pengobatan pada penderita yang terbukti menderita glaucoma sudut terbuka primer adalah mencegah berlanjutnya kerusakan papil saraf optic. Sampai saat ini belum ada criteria yang memuaskan untuk menetapkan tingkat TIO yang dapat diterapkan aman untuk mempertahankan keadaan lapang pandang bagi semua penderita. Ada yang menurukan 30% lebih rendah dari TIO awal. Adapula yang menetapkan target pressure dengan perhitungan khusus yang bersifat individual/mata. a. Medikamentosa - Pemilihan obat untuk pengobatan awal didasarkan pada penilaian mata penderita dan status kesehatan umum. Bila cacat lapang pandang belum lanjut atau TIO tidak terlalu tinggi maka terapi dapat dicoba pada satu mata lebih dahulu untuk menilai manfaat dan efek samping. - Terapi medikamentosa bersifat monoterapi dimulai dengan timolol maleat (C.Timol) 0,25% 0,5% satu sampai 2x sehari bila tidak ada kontraindikasi atau obat-obat baru yang lain (seperti glaupen,

2012

Medika mentosa - Prinsip terapi mirip dengan penanganan pada fasilitas sekunder, namun dapat pula menggunakan obatobatan jenis terbaru, seperti : Prostaglandin analog (Glaupen, Glauplus, Xalatan, Travatan) Penghambat karbonik anhidrase topical (Dorzol, Azopt) Alpha 2 agonist adrenergic Terapi laser beurpa trabekuloplasti argon laser, trabekuloplasti laser selektif Terapi bedah berupa trabekulektomi tanpa/atau dengan Mitomisin C/5Fluorourasil, non penetrating filtering surgery, operasi drainase implant, siklodiatermi dan operasi kombinasi katarak dan glaukoma. 2. GLAUKOMA SUDUT TERBUKA SEKUNDER Cari faktor penyebab Medikamentosa Prostaglandin analog (Glaupen, Glauplus, Xalatan, Travatan) Penghambat karbonik anhidrase topical (Dorzol, Azopt).

43

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat penemuan kasus maupun deteksi dini. glauplus, xalatan, travatan, dorzol, azopt). Bila dengan obat pertama keadaan TIO yang diharapkan belum tercapai tetapi obat tersebut dianggap berespon baik (mencapai nilai efektif farmakologis) dapat ditambahkan obat tetes lainnya, tetapi bila bila dianggap tidak efektif maka obat pertama diganti dengan obat lain, lalu penilaian diulang lagi. Bila dengan monoterapi atau kombinasi ternyata belum mencapai sasaran beurpa penurunan TIO yang tidak memuaskan atau tetap berlanjutnya kerusakan atau sejak awal tekanan lebih dari 30 mmHg maka dapat diberikan terapi sistematik dengan penghambat karbonik anhidrase. Obat ini biasanya dimulai dengan dosis 125 mg, 3 4 kali per hari. Bila efektivitas yang diharapkan belum tercapai, maka dosis ditingkatkan menjadi 250 mg tiap 6 jam atau 500 mg setiap 12 jam. Pada setiap pemberian obat asetazolamide harus disertakan pemberian obat preparat kalium -

2012
Alpha 2 agonist adrenergic Terapi laser berupa trabekuloplasti argon laser, trabekuloplasti laser selektif. Terapi bedah berupa trabekulektomi tanpa/ atau dengan mitomisin C/5Fluorourasil, non penetrating filtering surgery, operasi drainase impant, siklodiatermi dan operasi kombinasi katarak dan glaukoma.

3. GLAUKOMA KRONIS SUDUT TERTUTUP PRIMER Terapi medikamentosa diberikan baik sebelum terapi definitive iridektomi perifer maupun setelahnya. Tindakan bedah trabekulektomi bila TIO diatas 21 mmHg setelah tindakan iridektomi perifer dan medikamentosa Tindakan bedah kombinasi trabekulektomi dan katarak bila ada indikasi keduanya. Tindakan iridektomi perifer laser atau trabekuloplasti Pra dan setelah tindakan diberikan alpha 2 agonis Pemberian anti inflamaasi topical setelah tindakan selama 2-3 hari Follow up tindakan laser setelah 1 hari, 1 minggu selanjutnya 4-8 minggu minggu setelah tindakan IP/trabekuloplasti laser. Bila TIO naik pertimbangan pemberian medikamentosa atau tindakan trabekulektomi. Minggu ke 8 lakukan

44

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat (KCL 0,5 gr) 2 -3 x, 0,25 0,5 gr per hari. b. Tindakan bedah : - Bila dengan pengobatan medikamentosa diatas belum memuaskan sebaiknya penerita dipertimbangkan untk dilakukan terapi bedah (trabekulektomi atau non penetrating filtering surgery) atau dikonfirmasikan untuk kemungkinan tindakan lain ke pelayanan tingkat tersier. Instruksi bagi penderita : Dalam pengobatan glaukoma penting sekali untuk memberikan instruksi pada penderita mengenai waktu dan pemakaian obat termasuk cara menekan daerah kantus internus untuk mencegah absorpsi sistemik obat tetes.Dokter harus merencanakan dan membicarakan saat dan jenis pengobatan dan meyakini bahwa nama obat dan jam pemberiannya ada tertulis di label botol. Tambahan pula pasien harus diberitahu dengan kata-kata yang sederhana mengenai mekanisme terjasinya glaukoma, alasan dan tujuan pengobatan, cara berbagai obat bekerja dan efek samping yang mungkin terjadi, Hal ini perlu dalam upaya menjaga kepatuhan penderita dalam berobat. Pasien harus diyakinkan perlunya pemeriksaan kontrol berkala seumur hidup mengenai TIO,

2012

gonioskopi dan cek TIO. Perawatan setelah tindakan trabekulektomi Berikan kombinasi antibiotic dan anti inflamasi topical serta antibiotic sistemik Kontrol 1 hari pasca bedah Kontrol 7-10 hari pasca bedah Kontrol setiap minggu sampai 1 bulan Kontrol tiap 4-6 bulan bila keadaan baik Evaluasi dan follow up pasien glaukoma kronis Perhatikan ada tidaknya progresfitas papil atrofi glaukomatosa Fundudkopo,OCT,HRT : Evaluasi setiap 6- 12 bulan. Perhatikan ada tidaknya pertambahan skotoma/kelainan lapang pandang dengan automatic perimeter setiap 6-12 bulan: Octopus,Humphrey Lakukan Gonioskopi minimal setiap 3 bulan

45

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat penilaian papil N.II dan lapang pandang, serta penggunaan obat tetes yang benar/patuh seperti yang diinstruksikan kepadanya. Penderita sebaiknya mengetahui nama dan konsentrasi obat yang sedang digunakan.Kartu pengenal tanda penderita glaukoma yang harus dibawa penderita mungkin ada manfaatnya.Penting pula pasien dan dokter lain yang merawatnya mengetahui efek samping, alergi dan kemungkinan keracunan obat glaukoma. Bila dengan penatalaksanaan diatas masih juga menunjukkan kemunduran maka dirujuk ke tingkat tersier untuk dipelajari lebih lanjut. Keluarga langsung perlu diikutsertakan dalam penatalaksanaan penderita 2. GLAUKOMA SUDUT TERBUKA SEKUNDER Cari factor penyebab seperti yang tertulis di atas, kemudian tentukan : Medikamentosa Tindakan bedah : - Iridektomi perifer - Trabekulektomi - Bedah katarak/ekstraksi lensa. 3. GLAUKOMA KRONIS SUDUT TERTUTUP PRIMER Tindakan bedah iridektomi perifer pada kedua mata Medikamentosa obatobat glaucoma untuk menurunkan tekanan intraokular - Pilokarpin 2% 4 x perhari. - Timolol 0,5 % 2 x sehari. - Asetazolamid 2-3 x

2012

46

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 250 mg sehari disertai dengan KCI 2-3 x 500mg - Obat-obat baru seperti : Glaupen, Glauplus, Xalatan, Travatan, Dorzol, Azopt. Tindakan bedah trabekulektomi, bila dengan tindakan iridektomi perifer dan obat-obatan tekanan intraocular masih diatas 21 mmHg. 4 KATARAK PADA PENDERITA DEWASA EVALUASI Pemeriksaan visus dengan kartu Snellen dengan koreksi terbaik serta menggunakan pinhole Pemeriksaandengan lampu senter dan lup untuk segmen anterior dimana tidak ditemukan kekeruhan kornea dan tampak refleks pupil yang masih baik. Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiotz. Jika TIO dalalm batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata tropicamide 0.5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat adanya kekeruhan lensa. Pemeriksaan funduskopi dengan oftalmoskop langsung untuk melihat segmen posterior jika katarak masih tidak terlalu Pemeriksaan visus dengan kartu snellen dengan koreksi terbaik serta mengunakan pin-hole. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior. Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiotz. Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata tropicamide 0.5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan slit lamp melihat derajat kekeruhan lensa apakah sesuai dengan tajam penglihatan pasien. Dilakukan pemeriksaan fundus dengan oftalmoskopi langsung atau pun tidak langsung.

2012

Pemeriksaan visus dengan kartu Snellen atau chart projector dengan koreksi terbaik serta menggunakan pin-hole. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior. Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer non-contact, aplanasi atau Schiotz Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata tropicamide 0.5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan slit lamp melihat derajat kekeruhan lensa apakah sesuai dengan tajam penglihatan pasien. Derajat katarak ditentukan sebagai berikut : a. Derajat 1 : Nukleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari 6/12, tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan. Refleks fundus juga masih dengan mudah diperoleh dan usia pendirita juga biasanya kurang dari 50 tahun.

47

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat keruh b.

2012

Derajat 2 : Nukleus dengan kekerasan ringan, tampak nukleus mulai sedikit berwarna kekuningan, visus biasanya antara 6/12 sampai 6/30. Refleks fundus juga masih mudah diperoleh dan katarak jenis ini paling sering memberikan gambaran seperti katarak subkapsularis posterior. c. Derajat 3 : Nukleus dengan kekerasan medium, dimana nukleus tampak berwarna kuning disertai dengan kekeruhan korteks yang berwarna keabu-abuan. Visus biasanya antara 3/60 sampai 6/30. d. Derajat 4 : Nukleus keras, dimana nukleus sudah berwarna kuning kecoklatan dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60, dimana refleks fundus maupun keadaan fundus sudah sulit dinilai. e. Derajat 5 : Nukleus sangat keras, nukleus sudah berwarna kecoklatan bahkan ada yang sampai berwarna agak kehitaman. Visus biasanya hanya 1/60 atau lebih jelek dan usia penderita sudah diatas 65 tahun. Katarak ini sangat keras dan disebut juga brunescent cataract atau black cataract. Dilakukan pemeriksaan

48

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

fundus dengan oftalmoskopi langsung ataupun tidak langsung. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan bersifat non bedah, dimana pasien dengan virus > 6/12 diberikan kacamata dengan koreksi terbaik. Jika visus <6/12 atau sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk opersai, pasien dirujuk ke dokter spesialis mata pada fasilitas sekunder atau tersier. Penatalaksanaan bersifat non bedah, dimana pasien dengan virus > 6/12 diberikan kacamata dengan koreksi terbaik. Jika visus <6/12 atau sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk opersi, dapat dilakukan operasi ECCE (Extra capsular cataract extraction) Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan peralatan bedah mikro, dimana pasien dipersiapkan untuk implantasi lensa tanam (IOL : Intraocular lens) Ukuran lensa tanam dihitung berdasarkan data keratometri serta menggunakan biometri Ascan, tetapi bisa juga berdasarkan anamnesis menggunakan IOL standar (power +20.00) dikurangi ukuran kacamta yang selama ini digunakan pasien.Misalnya jika pasien menggunakan kacamata S-6.00 dapat diberikan IOL power +14.00 Perhatikan juga rekomendasi tindakan bedah katarak. Penatalaksanaan bersifat bedah, jika visus sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk operasi. Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan peralatan bedah mikro, pasien dipersiapkan untuk implantsi lensa tanam (I)L: intraocular lens) Ukuran lensa tanam dihitung berdasarkan data keratometri serta menggunakan biometri Ascan. Teknik bedah katarak menggunakan teknik manual ECCE atau pun fakoemulsifikasi dengan mempertimbangkan derajat katarak serta tingkat kemampuan ahli bedah Operasi katarak hanya dilakukan jika visus sudah mengganggu kegiatan sehari-hari pasien dimana pasien berkesempatan melakukann diskusi dengan dokter mengenai alternative lain selain operasi,risiko operasi, serta perawatan pasca operasi. Pasien mengisi surat izin tindakan medis (informed consent). Setiap kali melakukan pemeriksaan pre operasi mencakup hal-hal berikut : Anamnesis riwayat penyakit mata, penyakit lain ataupun alergi.

49

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat -

2012
Visus tanpa koreksi dengan Snellen serta refraksi terbaik. Pengukuran tekanan intraocular Penilaian fungsi pupil (reflex pupil). Pemeriksaan mata luar (external examination) dengan senter dan lup atau slit lamp bergantung fasilitas. Pemeriksaan fundus dengan dilatasi pupil

Dokter spesialis mata yang akan melalukan operasi katarak sebaiknya memperhatikan persiapan preoperasi sebagai berikut : Memeriksa pasien sebelum operasi. Memberikan infomasi kepada pasien mengenai resiko, keuntungan dan kerugian operasi serta harapan yang sewajarnya dari hasil operasi. Memperoleh surat izin tindakan medis (informed consent) Memastikan bahwa hasil keratometri dan biometri A Scan sesuai dengan mata yang akan dioperasi, jika pasien tersebut direncanakan implantasi lensa tanam. Menentukan kekuatan lensa tanam yang sesuai, jika pasien tersebut direncanakan untuk implantasi lensa tanam. Membuat rencana pembedahan (jenis anesthesia, penempatan sayatan dan konstruksi luka,

50

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

refraksi pasca operasi yang direncanakan serta jadwal pemeriksaan pasca bedah). Melakukan evalusi pre operasi diatas termsuk pemeriksaan laboraturium serta berdiskusi dengan pasien ataupun keluarga pasien yang dianggap lebih mengerti dan dapat bertindak atas nama pasien. Operasi katarak bilateral ( operasi dilakukan pada kedua mata sekaligus secara beruntun) sangat tidak dianjurkan berkaitan dengan risiko pasca operasi (endoftalmitis) yang bisa berdampak kebutaan.Tetapi ada beberapa keadaan khusus yang bisa dijadikan alasan pembenaran dan keputusan tindakan operasi katarak bilateral ini harus dipikirkan sebaik-baiknya. Operasi tidak boleh dilakukan pada keadaan sebagai berikut : Pasien menolak tindakan operasi Pemberian kacamata ataupun alat bantu penglihatan lainnya masih cukup memuaskan bagi pasien. Ada dugaan bahwa operasi tidak dapat meningkatkan penglihatan pasien pasca operasi. Kualitas hidup pasien belum terganggu dengan gangguan penglihatan yang dialaminya. Pasien tidak dapat menjalani operasi

51

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012
katarak berkaitan dengan penyakit mata lain ataupun keadaan kesehatan akibat penyakit lainnya. Pasien tidak dapat memberikan surat izin tindakan medis yang sah secara hukum karena kurang pengertian ataupun kurang informasi. Pasien tidak dapat mengikuti petunjuk pengobatan pasca operasi.

Dokter spesialis mata yang melakukan operasi ataupun staf dokter tersebut, berkewajiban mendidik, menjelaskan dan member instruksi kepada pasien mengenai gejala ataupun tandatanda mengenai kemungkinan terjadinya komplikasi pasca operasi, penggunaan proteksi mata, adanya pembatas kegiatan, pengobatan, jadwal kunjungan lanjutan (follow up) dan petunjuk dimana harus mendapatkan perawatan darurat jika diperlukan. Dokter spesialis mata/staf juga menerangkan mengenai tanggung jwab pasien untuk mengikuti petunjuk yang harus dilakukan selama perawatan pasca operasi dan pasien harus segera menghubungi dokter tersebut jika mengalami masalah. Pemriksaan lanjutan pasca operasi (follow up) : Frekuensi pemerksaan pasca bedah ditentukan berdasarkan tingkat pencapaian visus

52

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012
optimal yang diharapkan. Pada pasien dengan risiko tinggi, seperti pada pasien dengan satu mata, mengalami komplikasi intra operasi atau ada riwayat penyakit mata lain sebelumnya seperti uveitis, glaukoma dan lain-lain, maka pemeriksaan harus dilakukan harus satu hari setelah operasi. Pada pasien yang dianggap tidak bermasalah baik keadaan pre-operasi maupun intra operasi serta diduga tidak akan mengalami komplikasi lainnya maka dapat mengikuti petunjuk pemeriksaan lanjutan (follow up) sebagai berikut: Kunjungan pertama: dijadwalkan dalam waktu 48 jam setelah operasi (untuk mendeteksi dan mengatasi komplikasi dini seperti kebocoran luka yang menyebabkan bilik mata dangkal,hipotonu s, peningkatan tekanan intraocular, edema kornea ataupun tandatanda peradangan. Kunjungan kedua : dijadwalwak

53

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012
pada hari ke 4-7 setelah operasi jika tidak dijumpai masalah pada kunjungan pertama, yaitu untuk mendeteksi dan mengatasi kemungkinan endoftalmitis yang paling sering terjadi pada minggu pertama pasca operasi. Kunjungan ketiga: dijadwalkan sesuai dengan kebutuhan pasien dimana bertujuan untuk memberikan kacamata sesuai dengan refraksi terbaik yang diharapkan. Obat-obat yang digunakan pasien pasca operasi bergantng dari keadaan mata serta disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing pasien (misalnya analgetika, antibiotika oral, anti glaukoma atau edema kornea, dan lain-lain). Tetapi penggunaan tetes mata kombinasi antibiotika dan steroid harus diberikan kepada pasien untuk digunakan setiap hari selama minimal 2 minggu pasca operasi.

54

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 5 PTERYGIUM EVALUASI Pemeriksaan cukup dengan lup dan lampu senter, diperiksa segmen anterior serta ditentukan derajat pertumbuhan pterygium Tajam penglihatan penderita diperiksa dengan Snellen Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiotz untuk memastikan tidak ada penyakit penyerta lainnya (glaukoma). Pada pterygium derajat 4 yang tidak dapat diukur dengan tonometer Schiotz, perkiraan TIO diperiksa dengan cara palpasi digital (dengan jari tangan). Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segment anterior serta ditentukan derajat pertumbuhan pterygium Tajam penglihatan penderita diperiksa dengan kartu Snellen, lalu dikoreksi dengan menggunakan trial frame. Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiiotz untuk memastikan tidak ada penyakit penyerta lainnya. Pada pterygium derajat 4 yang tidak dapat diukur dengan tonometer Schiotz, perkiraan TIO diperiksa dengan cara palpasi digital (dengan jari tangan).

2012

Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segment anterior serta ditentukan derajat pertumbuhan pterygium. Tajam penglihatan penderita diperiksa dengan kartu Snellen, lalu dikoreksi dengan menggunakan trial frame. Astigmatisme kornea diperiksa dengan keratometer baik secara manual maupun menggunakan alat autorefrakto-keratometer Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan cara aplanasi ataupun menggunakan tonometer non kontak.

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan bersifat non bedah, penderita diberi penyuluhan untuk mengurahi iritasi maupun paparan terhadap ultra violet. Pada pterygium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotic dan steroid seperti CXitrol 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan TIO yang tinggi Penatalaksanaan bersifatnon bedah pada pterygium derajat 1 dan 2, yaitu edukasi terhadap pasien untuk mengurangi iritasi dan paparan ultra violet. Jika pterygium mengalami inflamasi, dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotic dan steroid sepertiCXitrol 3 kali selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan TIO yang tinggi ataupun mengalami kelainan kornea. Pada pterygium derajat 3 dan 4, dilakukan tindakan bedah berupa avulsi (pengangkatan)

Penatalaksanaan pada fasilitas tersier bersifat bedah dengan memperhatikan tujuan utama dari pengangkatan dari pterygium, yaitu: Teknik operasi yang dianjurkan adalah dengan avulse pterygium disertai cangkok konjungtiva (conjunctival limbal graft) Penggunaan Mitomycin C sebaiknya hanya pada untuk penanganan kasus pterygium yang rekuren, mengingat komplikasi dari mitomycin C yang cukup berat. Sebagai perbandingan angka kekambuhan pasca pengangkatan pterygium dapat dilihat dari berbagai

55

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat ataupun mengalami kelainan kornea. pterygium. Sedapat mungkin setelah avulse pterygium maka bagian konjungtiva bekas pterygiumtersebut ditutupi dengan cangkok kongjungtiva yang diambil dari bagian kanjungtiva superior untuk menurunkan angka kekambuhan.

2012

laporan sebagai berikut.

TECHNIQUE RECURENCE RATE Bare 61 % (Tan et al) 40% (Figuiredo et al) Conjunctival 18% (Wong et al) 25,9% (Mabar et al) Conjuctival Limbal 14,6% (Mutlu et al) Graft Graft Sclera

Intra-Operative Mitomycin C 5,8% (Helal et al) Amniotic Membrane 10,9%(Prabhasawat et al) Transplantation 3% (Solomon et al) 6 KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK EVALUASI Mengenali gejala dan tanda pada masing-masing kelainan refraksi sesuai usia. Usia biasanya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu usia < 2 thn, usia prasekolah (2-5 thn), dan usia sekolah. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan umur (kelompok non verbal dengan pemeriksaan fiksasi, simbol chart, E Chart dan kelompok verbal dengan Snellen chart) Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup Mengenali gejala dan tanda pada msing-masing kelainan refraksi sesuai dengan umur usia. Usia biasanya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu usia < 2 thn, usia prasekolah (2-5 thn), dan usia sekolah. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata. Pemeriksaan status refraksi dengan pemeriksaan objektif strek retinoskopi pada pupil lebar untuk kelompok usia >2 thn dan kelompok usia prasekolah. Pemeriksaan refraksi subjektif pada kelompok usia prasekolah dan kelompok usia sekolah. Pemeriksaan segmen anterior dengan lup,senter dan slit lamp Pemeriksaan segmen Mengenali gejala dan tanda pada msing-masing kelainan refraksi sesuai dengan umur usia. Usia biasanya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu usia < 2 thn, usia prasekolah (2-5 thn), dan usia sekolah. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata. Pemeriksaan status refraksi dengan pemeriksaan objektif strek retinoskopi pada pupil lebar untuk kelompok usia >2 thn dan kelompok usia prasekolah. Pemeriksaan refraksi subjektif pada kelompok usia prasekolah dan kelompok usia sekolah. Pemeriksaan segmen anterior dengan lup,senter dan slit lamp Pemeriksaan segmen

56

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat Pemeriksaan funduskopi kedua mata dengan oftalmoskopi direk, dengan sebelumnya dilakukan dilatasi pupil dengan tropicamide 0.5% posterior dengan oftalmoskop direk. Pemeriksaan kemungkinan ambliopia dan atau mata juling.

2012

PENATALAKSANAAN Koreksi kelainan refraksi pada kelompok usia sekolah bila pada pemeriksaan subjektif virus mencapai 6/6. Rujuk ke fasilitas sekunder bila: Pada kelompok usia sekolah visus dengan koreksi tidak mencapai 6/6 Pada kelompok usia <2tahun dan kelompok usia prasekolah didapatkan tanda dan gejala kelainan refraksi dan kemampuan penglihatan tidak sesuai dengan umur Dijumpai kelainan posisi bola mata (kelainan refraksi + mata juling) Koresi kelainan refraksi pada semua kelompok harus berdasarkan pertimbangan : besarnya kelainan rekraksi cukup mengganggu aktivitas: kemampuan akomodasi pasien :. Kebutuhan tajam penlihatan sesuai umur; resiko yang timbul akibat adanya kelainan refraksi. Rujuk ke TEC bila dijumpai ambliopia dan/ atau mata juling.

posterior dengan oftalmoskop direk. Mendeteksi adanya faktor-faktor ambliopia. Koreksi kelainan refraksi pada semua kelompok umur harus berdasarkan pertimbangan : Apakah besarnya kelainan refraksi cukup mengganggu aktifitas Kemampuan akomodasi pasien. Kebutuhan tajam penglihatan sesuai umur Resiko yang timbul akibat adanya kelainan refraksi

Penatalaksanaan amblipio dan akomodatif esotropia Koreksi (tindakan)sisa esotropia pada kasus akomodatif esotropia setelah koreksi kaca mata diberikan

STRABISMUS

EVALUASI Pemeriksaan visus dilakukan sesuai Pemeriksaan dilakukan visus sesuai Pemeriksaan dilakukan visus sesuai

57

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat keadaan. Bila penderita adalah bayi, pemeriksaan visus secara subyektif belum dapat dilakukan, hanya dapat dilakukan dengan memperlihatkan sesuatu yang berwarna-warni di depan wajah bayi tersebut bila penderita anak yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masing-maisng anak, demikian pula yang dewasa. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk segmen anterior, dinilai bagaimana keadaan kornea, iris/pupil termasuk reflek pupil dan lensa. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata untuk melihat ada tidaknya hambatan pergerakan bola mata. Penetuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg. Funduskopi dengan oftalmoskop direk. keadaan. Bila penderita adalah bayi, pemeriksaan visus secara subyektif belum dapat dilakukan, hanya dapat dilakukan dengan memperlihatkan sesuatu yang berwarna-warni di depan wajah bayi tersebut bila penderita anak yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masingmasing anak, demikian pula yang dewasa. Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopy dalam sikloplegi Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior, dinilai keadaan kornea, iris pupil termasuk reflek pupil dan lensa. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskup direk/indirek untuk melihat segmen posterior Dilakukan penilaian pergerakan bola mata. Penetuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg, coveruncover test dan Alternate Cover Test (ACT)

2012

PENATALAKSANAAN Rujuk ke sekunder fasilitas Bila terdapat kelainan rekraksi, koreksi dengan kaca mata yang sesuai Bila terdapat ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang dominan dengan terlebih dahulu koreksi

keadaan. Bila penderita adalah bayi, pemeriksaan visus secara subyektif dengan cara Central, Steady, Maintain (CSM), bila penderita anak yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masingmasing anak, demikian pula yang dewasa. Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopy dalam sikloplegi Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior, dinilai keadaan kornea, iris pupil dan lensa. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskup direk/indirek untuk melihat segmen posterior Dilakukan penilaian pergerakan bola mata. Penetuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg, Krimsky, Alternate Cover Test (ACT) / Prism Cover Test (PCT) Ukur deviasi jauh dan dekat serta dinilai ada tidaknya A&V pattern. Demikian pula harus dilakukan pemeriksaan deviasi dengan dan tanpa koreksi kaca mata kalau terdapat kelainan refraksi. Bila dicurigai ada simulated divergence excees perlu dilakukan pemeriksaan sudut deviasi setelah oklusi paling sedikit 1 jam pada salah satu mata. Penilaian status sensoris

58

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat kelainan refraksi. Bila dengan pemberian kaca mata tidak ada perbaikan pada deviasinya maka dirujuk ke fasilitas kesehatan tertier untuk dilakukan penatalaksanaan selanjutnya.

2012

Bila terdapat kelainan refraksi, berikan koreksi terbaik. Bila ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang dominan. Bila dengan koreksi kelainan refraksi, tetap ekstropia, lakukan operasi. Jenis operasi yang dilakukan disesuaikan dengan diagnosis dan pola deviasi yang ada dan keadaan visus masing-masing mata. Bila tipe Divergence Excess dapat dilakukan reses rektus lateral pada kedua mata. Bila tipe Basik dan bila visus salah satu mata tidak baik, dapat dilakukan reses resek pada mata yang tidakk dominan atau yang visusnya lebih buruk Bila tipe convergence insufficiency dapat dilakukan resek rektus medieus.

TUMOR ORBITA

EVALUASI Identitas : umur (anak, dewasa muda, dan tua) Anamnesis (mata menonjol/benjolan atau ulkus dikelopak mata dan putih mata, lama gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus). Pemeriksaan mata tanpa slitlamp : Terlihat adanya benjolan/ulkus di palpebrakonjungtiva dengan Identitas : umur (anak, Identitas : umur (anak, dewasa muda, dan tua) dewasa muda, dan tua) Anamnesis (mata Anamnesis (mata menonjol/benjolan atau menonjol/benjolan atau ulkus dikelopak mata ulkus dikelopak mata dan putih mata, lama dan putih mata, lama gejala, penglihatan gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus). penurunan visus). Pemeriksaan mata Pemeriksaan mata dengan/ tanpa slitlamp : dengan/ tanpa slitlamp, Terlihat adanya sama dengan pelayanan benjolan/ulkus di kesehatan sekunder atau palpebrapun primer. konjungtiva dengan Pemeriksaan orbita : permukaan Pengukuran berbenjol-benjol besarnya proptosis pada usia tua, tidak dengan alat Hertel.

59

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat permukaan berbenjolbenjol pada usia tua, tidak menyembuh dengan pengobatan antibiotika, dengan lama gejala yang khronisdiagnosis tumor ganas epitel adneksa (basalioma;kar sinoma sel skuamosa; adenokarsinom a kelenjar Meibom; atau melanoma maligna). Teraba massa di orbita dengan lokasi tertentu, menunjukkan lebar fisura yang melebar, gejala dirasakan lebih dari 1 tahun, dan usia dewasa muda diagnosis tumor primer orbita jinak. Adanya keluhan rasa nyeri disertai tanda meradang di sekitar massa tumor, gejala dirasakan akut (kurang 1 tahun), dan umur tua diagnosis tumor primer orbita ganas. Jika gejala diderita oleh semua umur dapat dipikirkan menyembuh dengan pengobatan antibiotika, dengan lama gejala yang khronis-diagnosis tumor ganas epitel adneksa (basalioma;karsino ma sel skuamosa; adenokarsinoma kelenjar Meibom; atau melanoma maligna). Teraba massa di orbita dengan lokasi tertentu, menunjukkan lebar fisura yang melebar, dengan lama gejala lebih dari 1 tahun, dan usia dewasa muda diagnosis tumor primer orbita jinak. Adanya keluhan rasa nyeri disertai tanda meradang di sekitar massa tumor, gejala dirasakan akut (kurang 1 tahun), dan umur tua diagnosis tumor primer orbita ganas. Jika gejala diderita oleh semua umur dapat dipikirkan suatu proses inflamasi. Pemeriksaan orbita : Pengukuran adanya proptosis dengan menggunakan alat Hertel atau penggaris di kantus lateral ke ujung kornea. Pemeriksaan penunjang radiologi : Foto orbita baku pada tumor primer orbita jinak diharapkan gambaran perselubungan, phlebolith, atau pembesaran rongga -

2012
Arah terdorongnya bola mata : bola mata ke nasal bawah: Massa temporal atas (kelenjar lakrimal) usia muda, pertumbuhan lambat :benign mixed tumor usia muda/tua,pertumb uhan cepat : adenoid kistik karsinoma atau keganasan lain bola mata ke inferior: massa berada di superior umumnya neurilemmoma atau kista dermoid bola mata terdorong inferotemporal : massa berada di nasal tumor berasal sinus frontal, dapat mukokel atau keganasan dari epitel sinus (karsinoma sel skuamosa) bola mata terdorong aksial : massa berada di konus umumnya tumor dari saraf optik terutama pada penderita berusia muda, antara lain glioma, meningioma, dan dapat hemangioma kavernosa bola mata terdorong ke superior : massa berasal dari inferior kebanyakan tumor ganas berasal dari sinus maksila atau jaringan penunjang. Kuadran lokasi

60

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat suatu proses inflamasi. orbita, pada tumor primer orbita ganas dan metastasis/invasi diharapkan gambaran destruksi tulang. Pemeriksaan patologi anatomi : Benjolan/ulkus dipalpebrakonjungtiva yang meragukan keganasan dapat dilakukan biopsi eksisi/insisi untuk spesimen pemeriksaan patologi anatomi. Massa orbita yang mudah teraba dapat dilakukan tindakan biopsi insisi sebagai bahan spesimen pemeriksaan patologi anatomi.

2012

massa berada berlawanan dengan arah terdorongnya bola mata tumor sesuai dengan jaringan/organ yang berada di kuadran tersebut Gangguan gerak bola partial, tempat hambatan menunjukkan lokasi tumor (kuadran lokasi) Pemeriksaan pulsasi : bila posifit tumor dapat berupa neurofibroma atau jika diketahui didahului trauma/hipertensi pada orang tua dapat diferensiasi dengan arteri-vena fistula. Jika tumor dapat diraba, dinilai kekenyalannya. Jika teraba lunak dapat diduga tumor bersifat jinak, tetapi jika keras kenyal dapat dicurigai tumor bersifat ganas. Pemeriksaan penunjang radiologi : Ultrasonografi : pemeriksaan tidak invasif, penilaian lebih dititik beratkan pada ada tidaknya tumor dan refleks tumor. Pemeriksaan USG sukar untuk mendiferensiasika n jenis tumor. CT-scan : pemeriksaan ini cukup untuk mendiagnosis tumor orbita serta membantu untuk

61

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012
penentuan penatalaksanaan selanjutnya. Untuk membedakan sifat tumor, jinak atau ganas dengan menilai batas tumor. Pemeriksaan MRI dan arteriografi pada kasus khusus yang mencurigai fistula atau ingin mengetahui tumor berasal dari saraf optik.

PENATALAKSANAAN Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggi 12-16 tablet (2mg perKgBB) setiap hari selama dua minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika tidak berhasil sebaiknya penderita dirujuk. Pada tumor epitel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan ekstripasi dengan meninggalkan jaringan sehat.Pada tumor epitel yang Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggal 12-16 tablet (12mg perKgBB) setiap hari selama dua minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika tidak berhasil sebaiknya dirujuk untuk ekspolari lanjut. Pada tumor epitel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan ekstripasi dengan meninggalkan jaringan sehat.Pada tumor epitel yang dicurigai ganas dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang ditinggalkan. Pemeriksaan dilanjutkan

Pemeriksaan Laboratorium : Pemeriksaan ini sangat membantu dalam membedakan sifat ganas tumor. Akan tetapi pemeriksaan penanda ganas tidak ada yang spesifik untuk tumor orbita, tetapi dengan penanda ganas asam sialat menunjukkan nilai kadar yang berbeda bermakna. Pemeriksaan fisik : untuk mencari adanya keganasan atau metastasis. Pemeriksaan patologi anatomi : Benjolan/ulkus dipalpebrakomjungtiva yang meragukan keganasan dapat dilakukan biopsi eksisi untuk spesimen pemeriksaan patologi anatomi. Massa orbita yang mudah teraba dapat dilakukan tindakan biopsi

62

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat dicurigai ganas dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang ditinggalkan.Pemerik saan dilanjutkan dengan pemeriksaan patologi jaringan tumor. Jika diagnosis meragukan, sebaiknya dirujuk. Jika meragukan melakukan tindakan, terutama pada tumor orbita, baik jinak, ganas ataupun metastasis/invasi sebaiknya langsung dirujuk. dengan pemeriksaan patologi jaringan tumor.Jika diagnosis meragukan, sebaiknya dirujuk. Jika meragukan melakukan tindakan, terutama pada tumor orbita, baik jinak, ganas ataupun metastasis/invasi sebaiknya langsung dirujuk. Jika memungkinkan dapat dilakukan tindakan biopsy insisi untuk pemeriksaan patologi. Penatalaksanaan selanjutnya dapat dirujuk untuk tindakan pembedahan, radiasi, ataupun sitostatika.

2012
insisi sebagai bahan spesimen pemeriksaan patologi anatomi, kecuali bila lokasi di daerah kelenjar lakrimal.

Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggal 12-16 tablet (12mg perKgBB) setiap hari selama dua minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika tidak berhasil dapat diberikan sitostatika single agent seperti chlorambucil dengan pengawasan ahli hematologi. Pada tumor epitel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan ekstripasi dengan meninggalkan jaringan sehat.Pada tumor epitel yang dicurigai ganas dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang ditinggalkan. Pada tumor yang lebih luas, eksisi dengan rekonstruksi. Pada tumor yang lanjut dan telah berinvasi ke orbita dilakukan tindakan pembedahan radikal eksenterasi orbita. Pengobatan tambahan radiasi atau sitostatika dapat diberikan. Pada tumor konjungtiva, karsinoma sel skuamosa stadium 1 setelah ektirpasi tumor dapat dilanjutkan dengan pemberian sitostatika local seperti tetes mata mitomycin. Pemeriksaan patologi jaringan tumor

63

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

harus dilakukan. Pada tumor orbita, baik jinak, ganas, ataupun metastasis/invasi sebaiknya dilakukan tindakan biopsy insisi untuk pemeriksaan patologi. Penatalaksanaan sebelumnya dengan melakukan pemeriksaan penunjang, terutama CTscan untuk mengetahui dengan tepat lokasi tumor. Selanjutnya dapat dilakukan pembedahan, jenis pembedahan sesuai dengan lokasi dan jenis tumor. Pemberian terapi tambahan radiasi dan sitostatika dapat diberikan sesuai kebutuhan dan sesuai dengan patogenesa jenis tumor, dengan kerjasama antar disiplin. 9 DIABETIK RETINOPATI EVALUASI Anamnesia semua penderita diabetes mengenai keluhan penglihatan. Pemeriksaan visus dengan Snelen chart Pemeriksaan tekanan bola mata dengan tonometer Schiozt Pemeriksaan refleks cahaya pada pupil baik langsung maupun tak langsung Pemeriksaan funduskopi dengan menggunakan ophhalmoscope direk, apakah ada perdarahan, eksudat atau kekeruhan Pemeriksaan mata dasar yang meliputi visus, tekanan bola mata, kedudukan bola mata, pergerakan bola mata, segmen anterior dan segmen posterior. Pemeriksaan segmen anterior dengan menggunakan slit lamp untuk melihat apakah ada epiteliopati kornea, flare dan sel di BMD, RAPD, neovaskularisasi iris, tingkat kekeruhan lensa, kekeruhan vitreus. Pemeriksaan segmen posterior dengan menggunakan oftalmoskop indirek, untuk melihat kekeruhan vitreus karena perdarahan atau adanya jaringan fibro-vaskular, perdarahan retina, eksudat, pelebaran Fundus Fluorocence Angiography (FFA), dilakukan apabila ada indikasi. USG, bila terdapat kekeruhan media dan fundus tidak tembus. ERG

64

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat vitreus. vena, intra-retinal microvascular anomaly (IRMA) dan neovaskularisasi.

2012

PENATALAKSANAAN Seleksi pasien, ada diabetes mellitus atau tidak, Bila ditemukan adanya diabetes mellitus, pasien dikonsulkan ke dokter ahli penyakit dalam untuk mengontrol gula darahnya dan apabila dari anamnesis penyakit diabetes diderita sudah lebih dari 2 tahun, penderita dirujuk ke pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC) untuk evaluasi lebih lanjut. Apabila diabetes diderita kurang dari 2 tahun, pasien dapat dikonsul bilamana keadan keadaan memungkinkan. Apabila dari anamnesis tidak diketahui lamanya diabetes diderita, pasien dapat dirujuk langsung untuk evaluasi segmen posterior. Apabila funduskopi tersedia dan gambaran fundus dapat dinilai, adanya retinopati merupakan indikasi untuk rujukan ke tingkat yang lebih tinggi. Seperti tindakan pada PEC. Pasien dengan diabetic retinopati stadium non proliferative (NPDR) ringan dan sedang, dievaluasi setiap 3 bulan Kontrol gula darah dilakukan oleh dokter penyakit dalam. Pasien dengan NPDR berat, yaitu apabila ditemukan salah satu dibawah ini: Pendarahan intra retina 4 kwadran Pelebaran vena 2 kwadran Intra retina mikrovaskular abnormalism 1 kwadran Pasien dengan Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR), yaitu dengan adanya pendarahan vitreus dan pertumbuhan jaringan fibrovaskular di vitreus, dirujuk ke pelayanan kesehatan mata tersier. Apabila ditemukan katarak yang mempersulit evalusi segmen poeterior, dapat dilakukan operasi, dengan penjelasan akan prognosis penglihatan dan kemungkinan retinopati bertambah berat setelah operasi. Seperti tindakan pada SEC. Pasien dengan NPDR berat dengan/tanpa CSME, dilakukan terapi fotokoagulasi laser. Operasi vitrektomi dilakukan apabila terdapat pendarahan vitreus, pertumbuhan jaringan fibrovaskular di retina, persistent mascular edema dan ablasio retina traksi.

10

RETINA LEPAS (RETINAL DETACHMENT)

EVALUASI Anamnesia Melakukan evaluasi Melakukan tindakan

65

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat mengenai lama kejadian, dan faktor resiko seperti disebutkan diatas. Kecurigaan akan retinal detachment memerlukan uji konfrontasi. Pemeriksaan dengan funduskopi langsung apabila tersedia memberi gambaran retina lepas atau perdarahan retina, fibrosis vitreus dengan perlekatan retina dan tanda lain seperti disebutkan sebelumnya. seperti pelayanan di PEC, ditambah dengan pemeriksaan fundus untuk evaluasi retina. Pemeriksaan fundus sebaiknya dilakukan dengan funduskopi tidak langsung atau dengan condensed wide angle lens (Mainster Ocular, Super Field Volk, Super Pupil Volk atau Goldmann 3mirror. Seluruh retina lepas harus dianggap sebagai rhegmatogen. Pemeriksaan kampimetri dapat dilakukan sebagai penunjang. Pemeriksaan di SEC sudah dapat menentukan apakah penderita perlu di rujuk atau tidak ke TEC.

2012

seperti di SEC dan memutuskan jenis retina lepas. Pemeriksaan, kampimetri, elektrofisiologi atau ultrasonografi dilakukan bila diperlukan untuk menunjang diagnosis.

PENATALAKSANAAN

Rujuk ke PPK 2

Apabila tidak ada kecurigaan tetapi ada keluhan, penderita harus diistirahatkan apabila mengancam macula, hingga tindakan dilakukan. Semua jenis rhegmatogen yang tidak mengancam macula atau jenis traksional yang melibatkan macula harus dirujuk seceoatnya, umumnya dalam beberapa hari. Penderita dirujuk TEC untuk penanganan lebih lanjut dengan penjelasan akan faktor dan keberhasilan.

Melakukan tindakan sesuai dengan jenis retina lepas. Pada rhegmatogen akut dan traksional yang tidak mengancam macula, operasi dilakukan secepatnya, sedangkan yang kronik dapat dioperasi dalam waktu 1 minggu. Jenis operasi (sclera buckling atau vitektomi) tergantung kondisi yang dirtemukan, dan jenis viteus tamponade ditentukan oleh keadaan yang ditemukan pre-operative dan durante operasi, kondisi mata sebelahnya dan mobilitas penderita. Tipe exudative memerlukan pengobatan sesuai dengan penyakit yang mendasari. Keberhasilan pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki retina yang lepas.

66

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT JIWA (PSIKIATRI)

No. 1. A

DIAGNOSA

PPK 1

PPK 2 SpKJ (-) - Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Terapi pemeliharaan/ lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3 SpKJ (+) - Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut jika memungkinkan - Jika tidak memungkinkan rujuk ke PPK 3 - Terapi pemeliharaan

PPK 3

GANGGUAN MENTAL ORGANIK Demensia - Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Terapi pemeliharaan/ lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3

- Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan Kondisi agresif : Pilihan antipsikotik - Haloperidol 0.252mg/hari (po) - Risperidon 0.252mg/hari (po) - Aripiprazol 515mg/hari (po) Gejala depresi : (pilihan) - Sertralin 25mg/hari (po) - Fluoksetin 10mg/hari (po) Anti demensia : - Donepezil - Rivastigmin Non farmakologik - Terapi perilaku - Terapi stimulasi/aktivitas - Psikoedukasi keluarga - Skrining - Diagnosis Terapi sesuai penyebab Kondisi agitasi/psikotik : Antipsikotik inj - Haloperidol (im) 25mg, bila perlu diulang tiap 1 jam 67

Delirium

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2 dg SpKJ/PPK 3

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut jika memungkinkan - Jika tidak memungkinkan rujuk ke PPK III

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

atau Olanzapin (im) 5mg - Lorazepam (im, iv) 1-2mg Antipsikotik oral (pilihan) - Haloperidol 2x0.51mg/hari - Risperidon 0.51mg/hari - Olanzapin 510mg/hari - Quetiapin 25150mg/hari Terapi tambahan - Lorazepam 0.52mg/hari Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Reorientasi lingkungan - Edukasi keluarga GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENYALAHGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF Gangguan - Skrining - Skrining - Skrining - Skrining Mental dan - Kondisi akut : - Kondisi akut : - Diagnosis - Diagnosis Perilaku rujuk ke rujuk ke - Penanganan akibat PPK 2/PPK 3 PPK 2 dg kondisi akut Penatalaksanaan : Penyalahgun SpKJ/PPK 3 jika Antidotum Naloxon aan Opioid memungkinka HCl (intoksikasi) n Naloxone (iv) mulai - Jika tidak dg 0.8mg evaluasi memungkinka tiap 15, jika tidak n rujuk ke ada respon naikkan PPK 3 dosis menjadi 1.6mg sampai 3.2mg Bila ada respon teruskan pemberian 0.4mg/jam (iv) Evaluasi tanda vital Atasi penyulit Intoksikasi berat rawat ICU - Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan 68

2. A

Gangguan Mental dan Perilaku akibat

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK II dg

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Penyalahgun aan Opioid (putus zat)

- Terapi subtitusi di PPK 1 yg telah mampu laksana

SpKJ/PPK 3 - Terapi subtitusi di PPK 2 yg telah mampu laksana

jika memungkinka n - Jika tidak memungkinka n rujuk ke PPK 3 - Terapi subtitusi di PPK 2 yg telah mampu laksana

Simtomatik sesuai gejala Subtitusi opioid : - Metadon - Bufrenorfin + Nalokson - Kodein Subtitusi non opioid : - Klonidin Pemberian sedatifhipnotik dan antipsikotik diberikan sesuai indikasi Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Edukasi keluarga - Rehabilitasi - Skrining - Diagnosis - Observasi di IGD Penatalaksanaan Terapi simtomatik Rangsang muntah/kuras lambung dg activated charcoal Antipsikotik : - Haloperidol 25mg/kali - Klorpromazin 1mg/kgBB Antihipertensi : Jika TD > 140/100mmHg Gejala ansietas : - Diazepam 3x5mg - Klordiazepoksid 3x25mg Bila kejang : Diazepam 10-30mg 69

Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgun aan Amfetamin (intoksikasi)

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut jika memungkinka n - Jika tidak memungkinka n rujuk ke PPK 3

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

(parenteral) Cardiac monitoring Propanolol 2080mg/hari - Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan Observasi di IGD Rawat inap jika disertai tanda2 psikotik, depresi berat atau ide bunuh diri Antipsikotik : - Haloperidol 3x1.55mg - Risperidon 2x1.53mg Gejala ansietas : - Alprazolam 2x0.25-0.5mg - Diazepam 3x510mg - Klobazam 2x10mg Gejala depresi : - Fluoksetin 1020mg - Setralin 25-50mg - Amitriptilin 2550mg Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Edukasi keluarga - Rehabilitasi - Skrining - Diagnosis - Observasi di IGD Penatalaksanaan Terapi simtomatik Rangsang muntah/kuras lambung dg activated charcoal 70

Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgun aan Amfetamin (putus zat)

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut jika memungkinka n - Jika tidak memungkinka n rujuk ke PPK 3

Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgun aan Dekstrometo rfan (intoksikasi)

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut jika memungkinka n - Jika tidak memungkinka n rujuk ke

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PPK 3 Antipsikotik : - Haloperidol 25mg/kali - Klorpromazin 1mg/kgBB Kontraindikasi : - Antidepresan - Golongan Benzodiazepin - Skrining - Diagnosis - Observasi di IGD Penatalaksanaan Terapi simtomatik Rangsang muntah/kuras lambung dg activated charcoal Antipsikotik : - Haloperidol 25mg/kali - Klorpromazin 1mg/kgBB Kontraindikasi : - Antidepresan - Golongan Benzodiazepin SKIZOFRENIA, GANGGUAN SKIZOTIPAL, GANGGUAN WAHAM DAN GANGGUAN SKIZOAFEKTIF Skizofrenia, - Skrining - Skrining - Skrining - Skrining Gangguan - Kondisi - Kondisi - Diagnosis - Diagnosis Skizotipal, emergensi : emergensi : Gangguan Klorpromazin Klorpromazin Penatalaksanaa Penatalaksanaan Waham 25-50mg (im) 25-50mg (im) n bila tidak ada bila tidak ada Fase akut hipotensi hipotensi Fase akut atau Lorazepam atau Lorazepam Non farmakologik (im) 1-2mg (im) 1-2mg Non - Hospitalisasi - Rujuk ke PPK 2 - Rujuk ke PPK 2 farmakologik - Seklusi (isolasi) dg SpKJ/PPK 3 dg SpKJ/PPK 3 - Hospitalisasi - Restrain (fiksasi) - Terapi - Terapi - Seklusi pemeliharaan pemeliharaan - Restrain Pilihan antipsikotik /lanjutan setelah /lanjutan setelah injeksi : penanganan dan penanganan dan Pilihan - Klorpromazin 25atas petunjuk atas petunjuk antipsikotik inj : 50mg (im) dr.SpKJ selama 3 dr.SpKJ selama 3 - Klorpromazin - Haloperidol 5mg bulan untuk bulan untuk 25-50mg (im) (im) 71

2.6.

Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgun aan Alkohol (intoksikasi)

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut jika memungkinka n - Jika tidak memungkinka n rujuk ke PPK 3

3. A

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3

selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3

- Haloperidol 5mg (im) - Olanzapin 10mg (im) - Aripiprazol 9.75mg (im) - Diazepam 10mg (im/iv) Antipsikotik oral : Generasi 1 - Haloperidol 5-20mg/hari - Trifluoperazin 15-50mg/hari - Flufenazin 520mg/hari - Perfenazin 16-24mg/hari - Klorpromazin 3001000mg/hari Generasi 2 - Risperidon 28mg/hari - Olanzapin 1030mg/hari - Quetiapin 300800mg/hari - Klozapin 150600mg/hari - Aripiprazol 10-30mg/hari - Paliperidon 39mg/hari - Olanzapin sublingual Fase stabil : Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Intervensi

- Olanzapin 10mg (im) - Aripiprazol 9.75mg (im) - Diazepam 10mg (im/iv) Antipsikotik oral : Generasi 1 - Haloperidol 520mg/hari - Trifluoperazin 1550mg/hari - Flufenazin 520mg/hari - Perfenazin 1624mg/hari - Klorpromazin 3001000mg/hari Generasi 2 - Risperidon 28mg/hari - Olanzapin 1030mg/hari - Quetiapin 300800mg/hari - Klozapin 150600mg/hari - Aripiprazol 1030mg/hari - Paliperidon 39mg/hari - Olanzapin sublingual Fase stabil : Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Intervensi perilaku - Intervensi psikososial Antipsikotik oral Sama dengan di atas

72

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

perilaku - Intervensi psikososial Antipsikotik oral Sama dengan di atas Fase stabilisasi: Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Intervensi perilaku - Intervensi psikososial - Terapi okupasi/voka sional - Pelatihan ketrampilan social - Rehabilitasi Antipsikotik oral Sama dengan di atas Sediaan antipsikotik lain - Haloperidol dekanoat inj - Flufenazin dekanoat inj - Risperidon oral solution - Risperidon long acting inj Penatalaksanaa n efek samping neurologis (akatisia, distonia, parkinsonism) : - Turunkan/he ntikan obat

Fase stabilisasi: Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Intervensi perilaku - Intervensi psikososial - Terapi okupasi/vokasiona l - Pelatihan ketrampilan social - Rehabilitasi Antipsikotik oral Sama dengan di atas Sediaan antipsikotik lain - Haloperidol dekanoat inj - Flufenazin dekanoat inj - Risperidon oral solution - Risperidon long acting inj Penatalaksanaan efek samping neurologis (akatisia, distonia, parkinsonism) : - Turunkan/hentika n obat - Difenhidramin inj 1-2cc (im) - Triheksifenidil 112mg/hari - Propanolol 1030mg/hari - Lorazepam 16mg/hari Sindroma Neuroleptik Malignansi (SNM) : - Hentikan obat 73

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

- Difenhidrami n inj 1-2cc (im) - Triheksifenidil 1-12mg/hr - Propanolol 10-30mg/hr - Lorazepam 16mg/hr

- Terapi suportif - Perhatikan keseimbangan cairan dan observasi tandatanda vital - Rawat di ICU - Bromokriptin 2.5mg, diberikan 2-3kali/hari, maksimal 30mg/hari - Dantrolen 1mg/kgBB/hari, selama 8 hari - Benzodiazepin 12mg (im)

Gangguan Skizoafektif

- Skrining - Kondisi emergensi : Klorpromazin 25-50mg (im) bila tidak ada hipotensi atau Lorazepam (im) 1-2mg - Rujuk ke PPK 2 dg SpKJ/PPK 3 - Terapi pemeliharaan /lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3

- Skrining - Kondisi emergensi : Klorpromazin 25-50mg (im) bila tidak ada hipotensi atau Lorazepam (im) 1-2mg - Rujuk ke PPK 2 dg SpKJ/PPK 3 - Terapi pemeliharaan /lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3

- Skrining - Diagnosis Penatalaksanaa n Sama dengan di atas Mood stabilizer : - Divalproat 23x250mg - Lithium karbonat 2x400mg Gelisah/insomni a: - Lorazepam 3x1-2mg

- Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan Sama dengan di atas Mood stabilizer : - Divalproat 23x250mg - Lithium karbonat 2x400mg Gelisah/insomnia : - Lorazepam 3x12mg Pasien refrakter : - Terapi kejang listrik (ECT) 3x/minggu - Klozapin 300750mg/hari - Skrining - Diagnosis Indikasi rawat jalan : - Gejala depresi ringan - Fungsi diri baik Indikasi rawat inap : 74

4. A

GANGGUAN SUASANA PERASAAN Episode - Skrining depresif - Kondisi akut/usaha bunuh diri : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan

- Skrining - Kondisi akut/usaha bunuh diri : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut (jika memungkinka n) - Rujuk ke PPK 3

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

- Kondisi tenang/kronis : terapi pemeliharaan

- Gejala depresi berat - Risiko/usaha bunuh diri - Fungsi diri buruk - Dukungan keluarga buruk Tindakan - Hospitalisasi - Seklusi (isolasi) - Restrain (fiksasi) Farmakologik : Pilihan Antidepresan Fase Akut : - Amitriptilin 2575mg/hari - Maproptilin 25100mg/hari - Imipramin 2575mg/hari - Fluoksetin 1040mg/hari - Sertralin 2550/hari - Duloksetin 4060mg/hari - Venlafaksin 75150mg/hari - Escitalopram 1020mg/hari - Agomelatin 2550mg/hari Fase Lanjutan : Terapi dilanjutkan hingga 6-12 bln Dosis diturunkan perlahan 4-12 mg Non farmakologik : - Psikoterapi suportif - Terapi perilaku kognitif - Terapi interpersonal - Terapi keluarga 75

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Episode manik

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut (jika memungkinka n) - Kondisi tenang/kronis : terapi pemeliharaan

- Psikoedukasi keluarga - Skrining - Diagnosis Fase akut : Tindakan - Hospitalisasi - Seklusi (isolasi) - Restrain (fiksasi) Agitasi akut Antipsikotik injeksi : Pilihan Lini 1 - Olanzapin 12x10mg/hr (im), maksimal 3 hari - Aripiprazol 13x9.75mg/hr (im), maksimal 3 hari Pilihan Lini 2 - Klorpromazin 12x25-50mg (im) - Haloperidol 12x5mg (im) - Diazepam 12x10mg (im) Antipsikotik oral : Pilihan Lini 1 : - Lithium - Karbamazepin - Okskarbamazepin - Asam valproat - Natrium divalproat - Risperidon 28mg/hari - Olanzapin 1030mg/hari - Quetiapin 300800mg/hari - Aripiprazol 1030mg/hari - Klozapin 150600mg/hari Pilihan Lini 2 : 76

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

- Haloperidol 520mg/hari - Klorpromazin 100300mg/hari Non farmakologik : - Psikoterapi suportif - Terapi perilaku kognitif - Terapi interpersonal - Terapi keluarga - Psikoedukasi keluarga - Skrining - Diagnosis Fase akut : Tindakan - Hospitalisasi - Seklusi (isolasi) - Restrain (fiksasi) Antipsikotik injeksi : Pilihan Lini 1 - Olanzapin 12x10mg/hr (im), maksimal 3 hari - Aripiprazol 13x9.75mg/hr (im), maksimal 3 hari Pilihan Lini 2 - Klorpromazin 12x25-50mg (im) - Haloperidol 12x5mg (im) - Diazepam 12x10mg (im) Episode Mania Akut Pilihan Lini 1 : - Lithium - Divalproat - Olanzapin - Risperidon - Quetiapin - Aripiprazol - Lithium / Divalproat + 77

Gangguan afektif bipolar

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut (jika memungkinka n) Kondisi tenang/kronis : terapi pemeliharaan

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Risperidon - Lithium / Divalproat + Quetiapin - Lithium / Divalproat + Olanzapin - Lithium / Divalproat + Aripiprazol Pilihan Lini 2 : - Karbamazepin - Terapi Kejang listrik (ECT) - Lithium + Divalproat - Paliperidon Pilihan Lini 3 : - Haloperidol - Klorpromazin - Lithium / Divalproat + Haloperidol - Klozapin Tidak direkomendasikan : - Gabapentin - Topiramat - Lamotrigin - Risperidon + Karbamazepin - Olanzapin + Karbamazepin Episode Depresi Akut Pilihan Lini 1 : - Lithium - Lamotrigin - Quetiapin - Lithium / Divalproat + SSRI - Olanzapin + SSRI - Lithium +Divalproat Pilihan Lini 2 : - Quetiapin + SSRI - Divalproat - Lithium / Divalproat + Lamotrigin 78

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Pilihan Lini 3 : - Karbamazepin - Olanzapin - Lithium + Karbamazepin - Lithium / Divalproat + Venlafaksin - Lithium + MAOI - Terapi kejang listrik - Lithium / Divalproat + TCA - Lithium / Divalproat / Karbamazepin + SSRI + Lamotrigin Fase Stabilisasi : Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Intervensi perilaku - Terapi okupasi - Intervensi psikososial Gangguan Bipolar I Pilihan Lini 1 : - Lithium - Lamotrigin - Divalproat - Olanzapin - Quetiapin - Lithium / Divalproat + Quetiapin - Risperidon depo - Aripiprazol Pilihan Lini 2 : - Karbamazepin - Lithium + Divalproat - Lithium + Karbamazepin - Lithium / Divalproat + Olanzapin 79

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

- Lithium + Risperidon - Lithium + Lamotrigin - Olanzapin + Fluoksetin Pilihan Lini 3 : Penambahan - Fenitoin - Olanzapin - Terapi kejang listrik - Topiramat - Asam lemak omega 3 - Okskarbazepin Gangguan Bipolar II Episode Depresi Akut : Pilihan Lini 1 : - Quetiapin Pilihan Lini 2 : - Lithium - Lamotrigin - Divalproat - Lithium + Divalproat + antidepresan - Lithium + Divalproat - Antipsikotik atipikal + antidepresan Pilihan Lini 3 : - Antidepresan monoterapi Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Intervensi perilaku - Terapi okupasi - Intervensi psikososial 5. A GANGGUAN NEUROTIK, GANGGUAN SOMATOFORM DAN GANGGUAN STRES Gangguan - Skrining - Skrining - Skrining - Skrining Panik - Kondisi akut : - Kondisi akut : - Diagnosis - Diagnosis - Gangguan penanganan penanganan - Penanganan - Penanganan 80

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012
kondisi akut

panik emergensi tanpa - Rujuk ke PPK 2 agorafobia - Kondisi - Gangguan tenang/kronis panik terapi lanjutan dengan setelah agorafobia penanganan dan - Agorafobia atas petunjuk tanpa SpKJ riwayat gangguan panik

emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

kondisi akut - Terapi lanjutan

Farmakologik Pilihan gol benzodiazepine - Alprazolam 3x0.52mg/hari - Lorazepam 2x 0.52 mg/hari - Diazepam 2-3x5 mg/hari Pilihan Antidepresan - Golongan SSRI Fluoksetin 10-20 mg/hari Sertralin 25-50 mg/hari

Non farmakologik - Terapi perilaku kognitif - Psikoedukasi - Manajemen ansietas B Gangguan Ansietas Menyeluruh - Skrining - Kondisi akut : penanganan emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ - Skrining - Kondisi akut : penanganan emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ - Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut - Terapi lanjutan - Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut Farmakologik Pilihan gol benzodiazepine - Alprazolam 3x0.52mg/hari - Lorazepam 2x 0.52 mg/hari - Diazepam 2-3x5 mg/hari Pilihan Antidepresan - Golongan SSRI Fluoksetin 10-20 mg/hari Sertralin 25-50 mg/hari Pilihan lain : - Buspiron 81

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

- Venlafaxine

Gangguan Obsesif Kompulsif

- Skrining - Kondisi akut : penanganan emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

- Skrining - Kondisi akut : penanganan emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut - Terapi lanjutan

Non farmakologik - Terapi perilaku kognitif - Psikoedukasi - Manajemen ansietas Non farmakologik - Terapi perilaku kognitif - Psikoterapi berorientasi tilikan - Psikoedukasi Farmakologik (pilihan) : - Klomipramin 25100mg/hari - Fluoksetin 2060mg/hari - Sertralin 50150mg/hari - Fluvoksamin 100200 mg/hari Non farmakologik - Terapi suportif individu - Psikoedukasi - Latihan relaksasi - Terapi perilaku kognitif Farmakologik Sesuai dengan gejala klinis yang menonjol Gejala cemas : - Klobazam 2x510mg - Lorazepam 12x0.5-1mg Gejala depresi : - Fluoksetin 540mg/hari - Sertralin 12.550mg/hari - Fluvoksamin 25100mg/hari 82

Gangguan Stres Pasca Trauma

- Skrining - Kondisi akut : penanganan emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

- Skrining - Kondisi akut : penanganan emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut - Terapi lanjutan

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

- Amitriptilin 2x1025mg - Imipramin 1-2x1025mg Gejala psikotik : - Haloperidol 2x15mg - Risperidon 2x12mg - Olanzapin 1-2x2.510mg - Quetiapin 50100mg Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Terapi perilaku - Terapi kognitif perilaku Farmakologik Anticemas - Diazepam - Alprazolam - Lorazepam - Klobazam Antidepresan - Amitriptilin - Maproptilin HCl - Imipramin - Klomipramin - Fluoksetin - Sertraline Psikoterapi

6.

SINDROM PERILAKU YANG BERHUBUNG AN DENGAN GANGGUAN FISIOLOGIK DAN FAKTOR FISIK

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut - Terapi lanjutan

7.

GANGGUAN KEPRIBADIA N DAN PERILAKU MASA DEWASA RETARDASI MENTAL

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut - Terapi lanjutan - Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut - Terapi lanjutan

8.

- Skrining - Diagnosis - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi

- Skrining - Diagnosis - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi

Non farmakologik - Psikoedukasi keluarga - Pendidikan tingkah laku intensif 83

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ

- Anjuran ke Sekolah berkebutuhan khusus - Pelatihan kemandirian - Pelatihan ketrampilan Farmakologik Bila ditemukan gejala penyerta - Anti depresan - Anti cemas - Anti psikotik

9. A

GANGGUAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGIK Gangguan - Skrining - Skrining autistik - Rujuk ke PPK - Rujuk ke PPK 2/PPK 3 2/PPK 3

- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga

Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Terapi perilaku - Terapi okupasi - Terapi wicara

10. A

Farmakologik Bila ditemukan gejala penyerta - Anti depresan - Anti psikotik : Risperidon 0,1-0,2 mg/kg/hari (2 kali pemberian po) Aripiprazole 0,10,2 mg/kg/hari (1 kali pemberian po) GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIONAL DENGAN ONSET MASA KANAK DAN REMAJA Gangguan - Skrining - Skrining - Skrining Non farmakologik pemusatan - Rujuk ke PPK - Rujuk ke PPK - Diagnosis - Konseling orang perhatian dan 2/PPK 3 2/PPK 3 tua hiperaktivitas Non - Psikoedukasi farmakologik keluarga - Konseling - Intervensi orang tua keluarga - Psikoedukasi - Intervensi keluarga psikososial - Intervensi - Terapi perilaku keluarga - Intervensi Farmakologik 84

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

psikososial

Gangguan tempertantr um

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Psikoterapi suportif - Hospitalisasi

- Metilfenidat Dosis 0.3-1mg/kg BB dalam dosis terbagi - Anti depresan (SSRI) Fluoksetin 1x5 mg/hari Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Parentings skills training

Gangguan depresi

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Psikoterapi suportif - Terapi keluarga - Hospitalisasi Farmakologik - Anti depresan (SSRI) Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Psikoterapi suportif - Terapi keluarga Farmakologik - Anti depresan (SSRI) - Anti insomnia (Difenhidramin) Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Konseling perkawinan 85

Gangguan cemas

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Psikoterapi suportif

Gangguan akibat persaingan antar saudara

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling orang tua

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

- Psikoedukasi keluarga F Gangguan kelekatan reaktif - Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Psikoedukasi keluarga - Psikoterapi suportif G Gangguan enuresis - Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Membatasi minum di malam hari - Toilet training - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua - Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Toilet training - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua - Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling orang tua - Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Psikoterapi suportif

- Parentings skills training Non farmakologik - Psikoedukasi keluarga - Psikoterapi suportif - Terapi keluarga - Konseling perkawinan - Parenting;s skills training Non farmakologik - Membatasi minum di malam hari - Toilet training - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua Farmakologik - Anti depresan (Imipramin) Non farmakologik - Toilet training - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Terapi perilaku Non farmakologik - Konseling orang tua Konsultasi ke Bagian IK. Anak Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga 86

Gangguan enkoperesis

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

Gangguan makan

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

Gangguan gagap

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

- Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga K Gangguan tidur - Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga

- Terapi wicara Farmakologik (jika perlu) - Anti cemas Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga

87

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT GIGI DAN MULUT No 1 TINDAKAN Eksodontia PPK 1 PPK 2 PPK 3

Pencabutan gigi dengan : Pencabutan gigi dengan - infeksi : -abses jaringan lunak - Kelainan dan jaringan keras pertumbuhan -untuk keperluan (Impaksi dan perawatan malposisi) orthodontia dan prostodontia - kelainan pertumbuhan (supernumerary) - penyebab fokal infeksi - karies besar yang tidak dapat dirawat secara konservasi Alvelektomi
Apikoektomi a. Kista Radikuler b. Kista Periodontal c. Abses Dentoalveolar

Bedah Dento alveolar

Infeksi Daerah Diagnosis Oromaksilofas Rujuk ke PPK 2 ial Trauma - Kontusio jaringan Orofasial lunak fasial - Luka abrasi fasial - Cedera dentoalveolar - Kelainan kelenjar ludah (Xerostomia) -

Penatalaksanaan infeksi Fulnus Fasial Fraktur Mandibula Fraktur maksila Kista rongga mulut Kelainan kelenjar ludah (Sialolithiasis, Sialorrhoea, Sjorgen Sindroma , parotitis epidemica, Sealodenitis Bakterial Akut, Makulicz Sindroma, Sarkoidosis) - Kelainan syaraf kranialis - Kelainan sendi temporomandibular - Bedah Orthognati - Fraktur Mandibula - Fraktur Maksila kompleks - Neoplasma - Kista rongga mulut - Kelainan congenital - Kelainan kelenjar ludah (Sialolithiasis, Sialorrhoea, Sjorgen Sindroma , parotitis epidemica, Sealodenitis Bakterial Akut, Makulicz Sindroma, Sarkoidosis)

Konservasi

- Karies

dini,

media, - arrested caries

88

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

profunda - Atrisi, abrasi dan Perubahan warna erosi eksternal/internal - Abses periapikal Dentin hipersensitif akut/kronis Pulpitis reversible - Kelainan jaringan Nekrosis pulpa periodontal - Kista radikuler

Prostodontia

- Overdenture - Pembuatan feeding - Gigi tiruan Intermediat, plate pada celah intermediet, lengkap langit pada bayi imediet, lepasan - Obturator untuk imediet, lengkap akrilik) celah langit dewasa - Protesa hidung, telinga, muka, mata, periodontal - Implan dental Oral hygiene buruk Caries Ginggivitis Persistensi gigi sulung Akar gigi tertinggal Hiperemi pulpa Pulpitis akut/kronis Persistensi gigi sulung - Karies mencapai pulpa non vital - Abses akut/kronis dento alveolar - Amelogenesis dan dentinogenesis imperfect

Pedodontia

Periodontia

Penyakit Gigi dan Mulut

Gingivitis Hiperplasik gingiva Resesi Gusi Periodontitis - Stomatitis Aptosa - Chemical Burn - Ulkus Traumatikus - Ulkus Dekubitalis - Lingua Geografika / Benign Migratory Glossitis - Denture Sore mouth (Chronic Athropic Candidiasis) - Herpes Labialis

Resesi Gusi Periodontitis

Liken Planus Leukoplakia Karsinoma Sel Skuamosa

89

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

90

Anda mungkin juga menyukai