Anda di halaman 1dari 52

Ringkasan HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus penyebab penyakit AIDS, melumpuhkan sistem kekebalan tubuh.

Sel Target, T helper (T4) diserang sehingga sel ini tidak mampu memulai rantai pembentukan antibodi seluler maupun humoral. Infeksi HIV bersifat laten, seumur hidup. RNA dari HIV membentuk proviral DNA yang mampu berintegrasi menjadi satu bagian dengan DNA sel induk. Perkembangbiakan proviral DNA mengikuti perkembangbiakan sel induk. Setelah masa inkubasi 510 tahun, dan akibat dari suatu faktor pencetus yang belurn diketahui sampai sekarang, bagian LTR genome DNA mulai aktif membentuk RNA dari HIV generasi baru. Setelah 23 bulan infeksi HIV, baru timbul IgM dan IgG anti HIV dalam darah penderita. Diagnosis klinik penderita AIDS secara dini sangat sulit. Cara yang penting untuk mengetahui penderita HIV adalah dengan melakukan pemeriksaan laboratorium serologik, secara ELISA dan Western blot. Hasil pemeriksaan perlu diintcrpretasi secara hati-hati, karena dapat memberikan hasil false positive maupun false negative. PENDAHULUAN Penyakit AIDS (AcquiredImmungdeficiencySyndrome atau Sindrom Kekurangan Kekebalan) disebabkan oleh suatu virus bemama Human Immunodeficiency Virus (HIV). Seperti virus lainnya, virus ini hanya dapat hidup di dalam suatu sel hidup. AIDS telah menyebar hampir ke semua negara di dunia. Laporan kasus masih akan terus meningkat dengan tajam setiap tahunnya. Perilaku seksual risiko tinggi, penggunaan donor darah yang tercemar HIV, penularan dari ibu pengidap AIDS ke bayi yang dilahirkannya,sarana transpor yang cepat, turis dan faktor penunjang lain yang belum diketahui sangat membantu penyebaran AIDS. Saat ini maupun untuk 5 tahun mendatang, obat maupun vaksin pencegah AIDS masih belum dapat ditemukan. Penderita AIDS alcan diobati selama hidupnya, makin lama penyakitnya makin memberat sampai meninggal. Bila AIDS telah menyebar di masyarakat, tidak ada cara yang efektif untuk penanggulangannya. Biaya penanggulangan AIDS akan sangat mahal. Angka kematian balita meningkat, begitu juga angka kematian orang dewasa. Status kesehatan yang selama ini telah berhasil ditingkatkan akan kembali menjadi rendah. MORFOLOGI HIV HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan nama umum virus penyebab AIDS yang telah diputuskan olh WHO. Nama lain HIV adalah HTLV III atau LAV. HIV terdiri dari 2 serotipe yaitu HIV1 dan HIV2. Terbanyak ditemukan adalah HIV1, sedangkan HIV2 terutama ditemukan di Afrika. HIV2 diketahui tidak seganas HIV1. HIV1 biasanya cukup disebut sebagai HIV saja. HIV termasuk dalam golongan Retrovirus berinti RNA.(sebagian besar virus lain adalah DNA) dan mempunyai enzim bemama reverse transcriptase yang mampu mengubah kode genetik dari DNA ke RNA.Virus ini terdiridari inti (core) dengan lapisan luar bernama amplop (envelope) Envelope HIV berfungsi sebagai alat penting untuk menempelkan virus tersebut pada sel induk (sel hidup yang diserang, biasanya sel T helper), kemudian melubangi

dinding sel induk tersebut. Envelope terdiri dari banyak komponen glikoprotein dan di antaranya yang penting adalah gp 160, gp 140,gp 120. Pemberian nama masing-masing glikoprotein tersebut sesuai dengan berat molekulnya yang diukur menurut kilo Dalton. Identifikasi laboratorik terhadap profit glikoprotein ini sangat menunjang diagnosis keberadaan envelope virus dalam tubuh manusia. Mengingat fungsi envelope ini, maka salah satu upaya pembuatan vaksin adalah dengan membentuk/menimbulkan antibodi yang mampu mengikat glikoprotein envelope sehingga HIV tidak mampu lagi menempelkan dirinya pada sel induk, dan infeksi tidak terjadi. Bagian inti (core) HIV berfungsi penting untuk replikasi virus di dalam sel induk, terdiri dari beberapa komponen protein dan yang paling penting adalah p24, p16, p15 dan enzim reverse transcriptase. Pada pemeriksaan Western blot, penemuan band p24 positif merupakan suatu konfirmasi bahwa HIV masih aktif. Bila p24 tidak ada atau tidak begitu jelas maka hasil Western blot digolongkan indeterminate. Sedangkan enzim reverse transcriptase yang ditemukan dalam pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwaHIV sedang dalam fase melakukan replikasi (perkembangan virus). Obat AIDS golongan AZT dapat melumpuhkan enzim reverse transcriptase ini sehingga perkembangan virus berhenti tetapi tidak mematikan. Kalau obat dihentikan maka HIV akan mulai berkembang lagi. Di dalam core terdapat sepasang gen jenis RNA yang penting untuk pembentukan virus HIV generasi baru. PERJALANAN PENYAKIT AIDS Virus AIDS (HIV) dapat menghindar bahkan mampu melumpuhkan sistem kekebalan tubuh (immune system), yaitu sistem pertahanan tubuh yang selalu timbul bila tubuh dimasuki benda asing. Target sel HIV terutama adalah limfosit T helper, yang dikenal sebagai sel pemberi komando awal untuk memulai suatu rantai reaksi kekebalan tubuh. Kalau sel T. helper ini lumpuh akibat infeksi HIV, maka sistem kekebalan tubuhpun tidak melakukan reaksi Mau dalam keadaan defisiensi. Akibatnya, penderita AIDS mudah mendapat infeksi oportunistik (yaitu suatu kondisi di mana tubuh dapat menderita suatu infeksi oleh kuman yang normalnya tidak menyebabkan penyakit, misalnya Pneumocystis carinii, jamur) atau bertambah beratnya suatu penyakit yang semula hanya ringan saja (tbc). Sehingga pada permulaan penyakit penderita AIDS sulit didiagnosis secara Minis, bahkan dapat meninggal tanpa diketahui penyakitnya. Patogenesis HIV dimulai pada saat virus masuk ke dalam suatu sel induk(Iimfosit T helper). RNA dari HIV mulai membentuk DNA dalam struktur yang belum sempurna, disebut proviral DNA, yang akan berintegrasi dengan genome sel induk secara laten (lama). Karma DNA dari HIV bergabung/integrasi dengan genome sel induknya (limfosit T helper) maka setiap kali sel induk berkembang biak, genom HIV tersebut selalu ikut memperbanyak diri dan akan tetap dibawa oleh sel induk ke generasi berikutnya. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa sekali mendapat infeksi virus AIDS maka orang tersebut selama hidupnya akan terus terinfeksi virus, sampai suatu saat (bagian LTR) mampu membuat kode dari messenger RNA (cetakan pembuat gen) dan mulai men jalankan proses pengembangan partikel virus AIDS generasi baru yang mampu ke luar dan sel induk dan mulai menyerang sel tubuh lainnya untuk menimbulkan gejala umum penyakit AIDS (full blown).

Setelah HIV masuk ke dalam tubuh, perjalanan penyakit AIDS dimulai dengan masa induksi (window period), yaitu penderita masih tampak sehat, dan hasil pemeriksaan darah juga masihnegatif, Setelah 23 bulan,perjalanan penyakitdilanjutkan dengan masa inkubasi, yaitu penderita masih tampak sehat, setapi kalau darah penderita kebetulan diperiksa (test ELISA dan Western Blot) maka hasilnya sudah positif. Lama masa inkubasi bisa 510 tahun tergantung umur (bayi lebih cepat) dan cars penularan penyakit (tewat transfusi atau hubungan seks). Kemudian penderita masuk ke masa gejala klinik berupa ARC (AIDS Related Complex) seperti misalnya : penurunan berat badan, diare) dan akhirnya dilanjutkan dengan gejala AIDS berupa infeksi oportunistik seperti tbc, jamur, kanker kulit, gangguan saraf dan lain-lain sampai meninggal. PEMERIKSAAN SEROLOGI HIV Berdasarkan pengamatan atas penderita AIDS secara terus menerus selama sakitnya maka dapat dibuat suatu hipotesa Grafik 1. Parameter Serologi Infeksi 11IV1 Konsentrasi Relatif Sumber : Abbott Diagnostic Div. Pada bulan pertama setelah terjadi infeksi, dalam darah penderita masih ditemukan virus HIV (viremia pertama). Pemeriksaan untuk isolasi HIV pada periode ini sangat jarang berhasil, karena sulit mengetahui kapan infeksi terjadi, lagi pula viremia hanya berlangsung sebentar, sekitar 2 bulan. Pada akhir bulan ke 2 tubuh mulai membentuk antibodi terhadap envelope dan disusul dengan pembentukan antibodi terhadap core (inti). Pada saat itu pemeriksaan antibodi HIV mulai menjadi positif untuk jangka waktu lama, kecuali pada antibodi terhadap core yang dapat menurun setelah beberapa tahun kemudian, tergantung dari frekuensi infeksi ulang. Ini berarti bahwa selama paling sedikit 2 bulan penderita tampak sehat dan dalam darahnya antibodi HIV tidak terdeteksi oleh pemeriksaan serologi; periode ini disebut window period. Setelah 510 tahun HIV mulai ditemukan dalam darah untuk kedua kalinya (viremia kedua), di samping itu juga ditemukan antibodi terhadap envelope. Tampak bahwa antibodi terhadap envelope selalu dapat ditemukan dalam darah dibanding dengan antibodi terhadap core. Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakan metoda ELISA/EIA (enzyme linked immunoadsorbent assay). ELISA pada mulanya digunakan untuk skrening darah donor dan pemeriksan darah kelompok risiko tinggi/tersangka AIDS. Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakai metoda Western Blot. Test konfirmasi lain yang jarang dipakai lagi adalah RIPA (Radioimmunoprecipitation Assay), IFA (Immunofluorescence Antibody Technique).Berbagai macam test konfirmasi tersebut tidak lebih sensitif dari ELISA, sulit dikerjakan, mahal, lama dan masih dapat memberi hasil tidak benar, false positive, false negative, indeterminate. Penggabungan test ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat spesifik mutlak dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS.

Pemeriksaan ELISA/EIA ELISA dari berbagai macam kit yang ada di pasaran mempunyai cara kerja hampir sama. Pada dasarnya, diambil virus HIV yang ditumbuhkan pada biakan sel, kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polistiren atau sumur microplate. Serum atau plasma yang akan diperiksa, diinkubasikan dengan antigen tersebut selama 30 menit sampai 2 jam kemudian dicuci. Ella terdapat IgG (immunoglobulin G) yang menempel pada bijibiji atau sumur microplate tadi maka akan terjadi reaksi pengikatan antigen dan antibodi. Antibodi anti-IgG tersebut terlebih dulu sudah diberi label dengan enzim (alkali fosfatase, horseradish peroxidase) sehingga setelah kelebihan enzim dicuci habis maka enzim yang tinggal akan bereaksi sesuai dengankadar IgG yang ada, kemudian akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat. Sekarang ada test EIA yang menggunakan ikatan dari heavy dan light chain dari Human Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibodi dapat lebih spesifik, yaitu mampu mendeteksi IgM maupun IgG. Pada setiap tes selalu diikutkan kontrol positif dan negatif untuk dipakai sebagai pedoman, sehingga kadardi atas cut-off value atau di atasabsorbance level spesimen akan dinyatakan positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam. Pemeriksaan ELISA hanya menunjukkan suatu infeksi HIV di masa lampau. Tes ELISA mulai menunjukkan hasil positif pada bulan ke 23 masa sakit. Selama fase permulaan penyakit (fase akut) dalam darah penderita dapat ditemukan virus HIV/partikel HIV dan penurunan jumlah sel T4 (Gratik). Setelah beberapa hari terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi, kemudian setelah 3 bulan IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya yaitu pada waktu gejala major AIDS menghilang (karena sebagian besar HIV telah masuk ke dalam sel tubuh) HIV sudah tidak dapat ditemukan lagi dari peredaran darah dan jumlah $el T4 akan kembali ke normal. Hasil pemeriksan ELISA harus diinterpretasi dengan hati-hati, karena tergantung dari fase penyakit. Pada umumnya, hasil akan positifpada lase timbul gejalapertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan negatif pada fase dini AIDS (Pre AIDS phase). Beberapa hal tentang kebaikan test ELISA adalah nilai sensitivitas yang tinggi : 98,1% 100%, Western Blot memberi nilai spesifik 99,6% 100%. Walaupun begitu, predictive value hasil test positif tergantung dari prevalensi HIV di masyarakat. Pada kelompokpenderita AIDS,predictive positive value adalah 100% sedangkan pada donor darah dapat antara 5% 100%. Predictive value dari hasil negatif ELISA pada masyarakat sekitar 99,99% sampai 76,9% pada kelompok risiko tinggi. Di samping keunggulan, beberapa kendala path test ELISA yang perlu diperhatikan adalah : 1)Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibodi, bukan antigen (akhir-akhir ini sudah ditemukan test ELISA untuk antigen). Oleh karena itu test uji baru akan positif bila penderita telah mengalami serokonversi yang lamanya 23 bulan sejak terinfeksi HIV, bahkan ada yang 5 bulan atau lebih (pada keadaan immunocompromised). Kasus dengan infeksi HIV laten dapat temp negatif selama 34 bulan. 2)Pemeriksaan ELISA hanya terhadap antigen jenis IgG. Penderita AIDS pada taraf permulaan hanya mengandung IgM, sehingga tidak akan terdeteksi. Perubahan dari IgM ke IgG membutuhkan waktu sampai 41 minggu. 3)Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV1. Bila test ini digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya 24%. Tetapi HIV2 paling banyak ditemukan hanya di Afrika.

4)Masalah false positive pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan pada keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini disebabkan karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang digunakan dalam test kemurniannya ber-beda dengan HIV di alam. Oleh karena itu test ELISA harus dikorfirmasi dengan test lain. Tes ELISA mempunyai sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi walaupun hasil negatif tesini tidakdapatmenjamin bahwa seseorang bebas 100%dari HIV1terutama pada kelompok resiko tinggi. Akhir-akhir ini test ELISA telah menggunakan recombinant antigen yang sangat spesifik terhadap envelope dan core. Antibodi terhadap envelope ditemukan pada setiap penderita HIV stadium apa saja (Graf k). Sedangkan antibodi terhadap p24 (proten dari core) bila positif berarti penderita sedang mengalami kemunduran/deteriorasi. Pemeriksaan Western Blot. Pemeriksaan Western Blot cukup sulit, mahal, interpretasinya membutuhkan pengalaman dan lama pemeriksaan sekitar 24 jam. Cara kerja test Western Blot yaitu dengan meletakkan HIV murni pada polyacrylamide gel yang diberi anus elektroforesis sehingga terurai menurut berat protein yang berbeda-beda, kemudian dipindahkan ke nitrocellulose. Nitrocellulose ini diinkubasikan dengan serum penderita. Antibodi HIV dideteksi dengan memberikan antlbodi anti-human yang sudah dikonjugasi dengan enzim yang menghasilkan wama bila diberi suatu substrat. Test ini dilakukan bersama dengan suatu bahan dengan profil berat molekul standar, kontrol positif dan negatif. Gambaran band dari bermacam-macam protein envelope dan core dapat mengidentifikasi macam antigen HIV. Antibodi terhadap protein core HIV (gag) misalnya p24 dan protein precursor (p25) timbul pada stadium awal kemudian menurun pada saat penderita mengalami deteriorasi. Antibodi terhadap envelope (env) penghasil gen (gp160) dan precursor-nya (gp120) dan protein transmembran (gp4l) selalu ditemukan pada penderita AIDS pada stadium apa saja. Beberapa protein lainnya yang sering ditemukan adalah: p3 I, p51, p66, p14, p27, lebih jarang ditemukan p23, p15, p9, p7. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bila serum mengandung antibodi HIV yang lengkap maka Western blot akan memberi gambaran profil berbagai macam band protein dari HIV antigen cetakannya. Definisi hasil pemeriksaan Western Blot menurut profit dari band protein dapat bermacam-macam, pada umumnya adalah : 1)Positif : a. Envelope : gp4l, gpl2O, gp160 b. Salah satu dari band : p 15, p 17, p24, p31, gp4l, p51, p55, p66. 2)Negatif : Bila tidak ditemukan band protein. 3)Indeterminate Bila ditemukan band protein yang tidak sesuai dengan profil positif. Hasil indeterminate .diberikan setelah ditest secara duplo dan penderita diberitahu untuk diulang setelah 23 bulan. Hal ini mungkin karena infeksi masih terlalu dini sehingga yang ditemukan hanya sebagian dari core antigen (p17, p24, p55). Akhir-akhir ini hasil positif diberikan bila ditemukan paling tidak p24, p31 dan salah satu dari gp41 atau gpl60. Dengan makin ketatnya !criteria Western Blot maka spesifisitas menjadi tinggi, dan sensitifitas turun dari 100% dapat menjadi hanya 56% karena hanya 60% penderita AIDS

mempunyai p24, dan 83% mempunyai p31. Sebaliknya cara ini dapat menurunkan angka false positive pada kelompok risiko tinggi, yang biasanya ditemukan sebesar 1 di antara 200.000 test padahal test tersebut sudah didahului dengan test ELISA. Besar false negative Western Blot belum diketahui secara pasti, tapi tentu tidak not. False negative dapat terjadi karenakadar antibodi HIV rendah, atau hanya timbul band protein p24 dan p34 saja (yaitu pada kasus dengan infeksi HIV2). False negative biasanya rendah pada kelompok masyarakat tetapi dapat tinggi pada kelompok risiko tinggi. Cara mengatasi kendala tadi adalah dengan menggunakan recombinant HIV yang lebih murni. KESIMPULAN Penyakit AIDS sulit dikenal dari gejala klinis saja. Masa inkubasi penyakit lama, dan selama itu penderita tampak sehat. Penyakit baru mulai dikenal setelah sampai pada stadium lanjut dan sudah sempat menyebar ke banyak orang lain. Pemeriksaan serologi HIV adalah salah satu cara untuk mendeteksi penyakit HIV secara dini. Dua macam pemeriksaan, ELISA dan Western Blot adalah pemerksaan serologi HIV yang dapat dikerjakan di Indonsia dan telah memenuhi kriteria WHO untuk menunjang upaya konfirmasi kasus, menentukan keadaan pengidap, skrining darah donor dan survei pada kelompok risiko tinggi AIDS. KEPUSTAKAAN 1.Weber IN, Weiss RA. HIV Infection : the cellular pricture, Scient Am (Oct) 1988; 6187. 2.Heseltine WA, Wong-Staal F. The molecular biology of the AIDS virus, Scient Am (Oct) 1988; 34-42. 3.Essex M, Kanki PI. The origin of the AIDS virus, Scient Am (Oct) 1988; 44-51. 4.Penny R. The natural history of HIV infection. First Asia-Pacific Congress of Medical Virology. Singapore, 6-11 Nov 1988. 5.Allain JP. Laboratory diagnosis of HIV infection. First Asia-Pacific Congress of Medical Virology. Singapore, 6-11 Nov 1988. 6.Chermann IC, Barrie-Sinoussi F. LAV virus, the aetiological agent of AIDS, Diagnostic Pasteur, 1988, p. 5-9. 7.Gadelle S, Rey F. Westem-Blot Application : detection of LAV/HTLVIII antibodies, Diagnostic Pasteur, 1988, p. 18-9. 8.Jackson JB, Balfour HH. Practical diagnostic testing for Human Immuno deficiency Virus. Clin. Microbiol. Rev. (Jan) 1988; 124-38 9.www.kalbe.co.id/files/cdk/files/07_PemeriksaanLabUntukHIV.pdf/07_PemeriksaanLab UntukHIV

AIDS
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) Klasifikasi & sumber eksternal

Pita Merah terlipat adalah simbol solidaritas orang-orang yang positif terinfeksi virus HIV dan AIDS.

ICD-10 ICD-9 DiseasesDB MedlinePlus eMedicine MeSH

B24 042 5938 000594 emerg/253 D000163

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;[1] atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang menurunkan kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap sembarang infeksi ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.

Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.[5] Pada Januari 2006, UNAIDS bekerjasama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia mereka. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.[6] Hukuman sosial bagi penderita yang terkena HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Terkadang hukuman sosial tersebut juga turut mengenai petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).

Penularan oleh HIV

HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada permukaan limfosit setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop elektron AIDS merupakan bentuk terparah akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4 + dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (L) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.

Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan.[7] Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi. [8][9] Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih beresiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini.[7][10][11] Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. [12] HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula.[13][14][15] Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.

Diagnosis
Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, penentuan tahap klinis pasien bukan merupakan sasaran sistem-sistem tersebut karena keduanya tidak sensitif maupun spesifik. Di negara berkembang, digunakan sistem World Health Organization untuk infeksi HIV menggunakan data klinis dan laboratorium, sementara di negara maju, yang digunakan ialah sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.

Sistem tahapan WHO untuk infeksi dan penyakit HIV


Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1.[16] Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.

Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernafasan atas yang berulang Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis. Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.

Sistem klasifikasi CDC untuk infeksi HIV


Pada awalnya, CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini dan merujuk penyakit ini dengan yang berhubungan dengannya, contohnya limfadenopati (virus HIV pada

mulanya dinamai berdasarkan nama penyakit ini). Mereka juga menggunakan Sarkoma Kaposi dan Infeksi Oportunistik, nama yang dibuat pada tahun 1981.] Pada media massa, digunakan istilah GRID, yang merupakan singkatan dari Gay-Related Immune Deficiency. Setelah menentukan bahwa AIDS tidak terisolasi terhadap komunitas homoseksual, kata GRID menjadi menyesatkan dan AIDS diperkenalkan pada sebuah pertemuan pada bulan Juli tahun 1982. Pada bulan September tahun 1982, CDC mulai menggunakan kata AIDS dan mendefinisikan penyakit ini. Pada tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang positif HIV dengan sel T CD4+ berjumlah di bawah 200 per L darah atau 14% dari seluruh limfositnya.Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan baik definisi ini atau definisi CDC sebelum tahun 1993. Diagnosis AIDS tetap berlaku walaupun jika setelah perawatan, jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per L darah atau penyakit tandatanda AIDS lainnya sembuh.

Tes HIV
Banyak orang yang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV.[24] Kurang dari 1% populasi perkotaan yang aktif secara seksual di Afrika telah diuji HIV, dan angka ini lebih sedikit lagi pada populasi pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita hamil yang mendatangi fasilitas kesehatan umum di perkotaan diberi bimbingan, diuji atau menerima hasil tes mereka. Dan sekali lagi, angka ini bahkan lebih kecil lagi pada fasilitas kesehatan umum di pedesaan.[24] Oleh karena itu, darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIV-nya. Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, window period (periode antara infeksi dan perkembangan antibodi yang dapat dideteksi melawan infeksi) dapat bervariasi. Hal ini menjelaskan mengapa dapat membutuhkan waktu 3-6 bulan untuk serokonversi dan tes positif. Ada pula tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA agar dapat mendeteksi infeksi HIV sebelum perkembangan antibodi yang dapat dideteksi. Metode-metode penetapan tersebut tidak secara spesifik disetujui untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.

Gejala dan komplikasi


Gejala AIDS merupakan hasil dari kondisi yang umumnya tidak akan terjadi pada individu dengan sistem kekebalan yang sehat. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, fungi dan parasit yang dalam keadaan normal bisa dikendalikan oleh elemen sistem kekebalan yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma. Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik seperti demam, keringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, kelemahan, dan penurunan berat badan. Setelah diagnosis AIDS dibuat, rata-rata lama waktu bertahan

dengen terapi antiretroviral (2005) diperkirakan lebih dari 5 tahun, tetapi karena perawatan baru terus berkembang dan karena HIV terus berevolusi melawan perawatan, perkiraan waktu bertahan kemungkinan akan terus berubah. Tanpa terapi antiretroviral, kematian umumnya terjadi dalam waktu setahun. Kebanyakan pasien meninggal karena infeksi oportunistik atau kanker yang berhubungan dengan hancurnya sistem kekebalan tubuh. Laju perkembangan penyakit klinis sangat bervariasi antarorang dan telah terbukti dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kerentanan seseorang terhadap penyakit dan fungsi imun perawatan kesehatan dan infeksi lain, dan juga faktor yang berhubungan dengan galur virus. Infeksi oportunistik spesifik yang diderita pasien AIDS juga bergantung pada prevalensi terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.

Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4 pada rata-rata infeksi HIV yang tidak ditangani. Keadaan penyakit dapat bervariasi tiap orang.
jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm) jumlah RNA HIV per mL plasma

Penyakit paru-paru utama

Pneumonia pneumocystis
Pneumonia pneumocystis (awalnya diketahui dengan nama pneumonia Pneumocystis carinii, dan masih disingkat sebagai PCP yang sekarang merupakan singkatan dari Pneumocystis pneumonia) jarang dijumpai pada orang yang sehat dan imunokompeten, tetapi umum dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyakit ini disebabkan oleh fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan profilaksis rutin efektif di negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang yang belum dites, walaupun umumnya tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per L.

Foto sinar-X paru-paru pada pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii

Tuberkulosis
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi terkait HIV lainnya karena dapat ditularkan ke orang yang imunokompeten melalui rute respirasi, dapat dengan mudah ditangani setelah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, dan dapat dicegah dengan terapi obat. Namun demikian, kekebalan terhadap berbagai obat adalah masalah serius pada penyakit ini. Walaupun insiden penyakit ini telah berkurang akibat penggunaan terapi yang secara langsung diamati dan metode lainnya di negara-negara Barat, tidak demikian yang terjadi di negara berkembang, tempat HIV paling banyak dijumpai. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TB muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada infeksi HIV belakangan, TB sering muncul dengan penyakit ekstrapulmoner (sistemik). Gejala biasanya bersifat konstitusional dan tidak dibatasi pada satu tempat, sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, nodus limfa regional, dan sistem saraf pusat.[33] Selain itu, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat keterlibatan penyakit ekstrapulmoner.

Penyakit saluran pencernaan utama

Esofagitis
Esofagitis adalah peradangan pada esofagus (tabung berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung). Pada individual yang terinfeksi HIV, hal ini terjadi karena infeksi jamur (kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau sitomegalovirus). Pada kasus yang langka, hal ini dapat disebabkan oleh mikobakteria.

Diare kronik yang tidak dapat dijelaskan


Diare kronik yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV terjadi akibat berbagai penyebab, termasuk infeksi bakteri (Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, atau Escherichia coli) serta parasit yang umum dan infeksi oportunistik tidak umum seperti

kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, kolitis kompleks Mycobacterium avium dan sitomegalovirus (CMV). Pada beberapa kasus, diare adalah efek samping beberapa obat yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping infeksi HIV, terutama selama infeksi HIV utama. Diare juga dapat menjadi efek samping antibiotik yang digunakan untuk menangani diare akibat bakteri (umum untuk Clostridium difficile). Pada stadium akhir, diare diduga menunjukkan perubahan cara saluran usus menyerap nutrisi dan mungkin merupakan komponen penting pembuangan yang berhubungan dengan HIV.[35]

Penyakit saraf utama

Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan toksoplasma ensefalitis, tetapi juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paruparu

Leukoensefalopati multifokal progresif


Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yang merupakan penghancuran sedikit demi sedikit selubung mielin yang menutupi akson sel saraf sehingga merusak penghantaran impuls saraf. Hal ini disebabkan oleh virus yang disebut virus JC yang 70% populasinya terdapat dalam bentuk laten, menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat, biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.

Kompleks demensia AIDS


Kompleks demensia AIDS adalah ensefalopati metabolik yang disebabkan oleh infeksi HIV dan didorong oleh aktivasi imun makrofag dan mikroglia otak yang terinfeksi HIV yang mengeluarkan neurotoksin. Kerusakan neurologis spesifik tampak sebagai ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV dan berhubungan dengan rendahnya jumlah sel T CD4 + dan tingginya muatan virus pada plasma. Angka prevalensinya sekitar 10-20% di negara-negara Barat, tetapi hanya 1-2% dari infeksi HIV di India. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.

Meningitis kriptokokal
Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.

Kanker yang berhubungan dengan HIV

Sarkoma Kaposi Pasien dengan infeksi HIV pada pokoknya meningkatkan insiden beberapa kanker. Hal ini terjadi karena infeksi dengan virus DNA onkogenik, terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes penyebab sarkoma Kaposi (KSHV) dan papilomavirus manusia (HPV).

Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.

Limfoma
Limfoma sel B tingkat tinggi seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma), Burkitt's-like lymphoma, diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem saraf pusat primer muncul lebih sering pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali mengakibatkan prognosis yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma ini merupakan tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr (EBV) atau KSHV.

Kanker leher rahim


Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh papilomavirus manusia (HPV).

Tumor lainnya
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, karsinoma anal, dan karsinoma usus besar. Namun demikian, insiden dari banyak tumor yang umum, seperti kanker payudara atau kanker usus besar tidak meningkat pada pasien terinfeksi HIV. Di daerah tempat HAART banyak digunakan untuk menangani AIDS, insiden berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, tetapi seiring dengan

itu kanker secara keseluruhan menjadi penyebab kematian paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.[44]

Infeksi oportunistik lainnya


Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan sitomegalovirus. Sitomegalovirus dapat menyebabkan kolitis, seperti yang dijelaskan di atas, dan retinitis sitomegalovirus dapat menyebabkan kebutaan. Penisiliosis yang disebabkan oleh Penicillium marneffei kini adalah infeksi oportunistik ketiga paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.[45]

Kemunculan gejala
Media massa melaporkan munculnya gejala spesifik di antara pasien AIDS yang sedang dalam perawatan.

Sarkoma Kaposi pada pasien AIDS


Dokter San Francisco melaporkan Sarkoma Kaposi pada laki-laki homoseksual. Kelima belas pasien tersebut adalah orang yang selamat dari HIV dalam jangka panjang yang infeksi HIV-nya dikendalikan dengan obat antiviral. Tidak satupun pasien tersebut yang tampak berisiko tinggi. Kasus baru tidak agresif, invasif atau mematikan seperti HIV yang tidak dapat dikontrol pada tahun 1980-an. Lesi tidak terlihat, sulit untuk ditangani, dan menimbulkan pertanyaan tentang respons kekebalan pasien HIV yang menua.[46]

Transmisi dan pencegahan


Tiga rute utama masuknya HIV adalah hubungan seksual, paparan dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, dan dari ibu ke fetus atau anak selama periode perinatal. Pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, dapat ditemukan HIV, tetapi tidak ada kasus infeksi oleh hal ini, dan risiko infeksi tidak berarti.

Penularan melalui hubungan seksual

Transmisi dan pencegahan


Perkiraan risiko masuknya HIV per aksi, menurut rute paparan Perkiraan infeksi per 10.000 paparan Rute paparan dengan sumber yang terinfeksi Transfusi darah 9.000 Persalinan 2.500 Penggunaan jarum suntik bersama-sama 67

Hubungan seks anal reseptif* 50 Jarum pada kulit 30 * Hubungan seksual reseptif 10 Hubungan seks anal insertif* 6,5 Hubungan seksual insertif* 5 Seks oral reseptif* 1 * Seks oral insertif 0,5 * tanpa penggunaan kondom sumber merujuk kepada seks oral yang dilakukan kepada laki-laki

Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia. Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung. Risiko masuknya HIV dari orang yang terinfeksi menuju orang yang belum terinfeksi melalui hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seksual dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Risiko transmisi HIV dari air liur jauh lebih kecil daripada risiko dari air mani. Bertentangan dengan kepercayaan umum, seseorang harus menelan segalon air liur dari individu HIV positif untuk membuat risiko signifikan terinfeksi. Sekitar 30% wanita di sepuluh negara dari "berbagai kebudayaan, geografi, dan pengaturan pemukiman" melaporkan bahwa pengalaman seksual pertama mereka akibat dipaksa, sehingga kekerasan seksual ialah kunci pandemik HIV/AIDS. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV. Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofag) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika SubSahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Risiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofag Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang

tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan. Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko transmisi HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Penggunaan efektif kondom dan penapisan (screening) transfusi darah di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Eropa Tengah dianggap sebagai salah satu penyebab kecilnya jumlah AIDS di daerah-daerah tersebut. Mempromosikan penggunaan kondom terbukti kontroversial dan sulit. Banyak kelompok beragama, terutama Gereja Katolik Roma, menentang penggunaan kondom karena alasan keagamaan dan terkadang melihat promosi kondom sebagai perlawanan terhadap pernikahan, monogami, dan moralitas seksual. Pihak yang mendukung peran Gereja Katolik dalam pencegahan AIDS dan penyakit menular seksual secara umum menyatakan bahwa walaupun Gereja Katolik mungkin melawan penggunaan kontrasepsi, Gereja Katolik juga adalah penentang kuat hubungan di luar nikah. Sikap ini juga ditemukan pada sejumlah penyedia fasilitas kesehatan dan pembuat kebijakan di negara-negara Afrika Sub-Sahara, tempat tingkat HIV dan AIDS yang sangat tinggi. Mereka juga mempercayai bahwa distribusi dan promosi kondom sama saja dengan mempromosikan seks di antara anak muda dan memberikan pesan yang salah kepada orang yang tidak terinfeksi. Namun demikian, tidak ada bukti bahwa promosi kondom meningkatkan tingkat seksualitas, dan program abstinence-only (hanya berpantang berhubungan badan dan tidak menggunakan kondom) tidak berhasil di Amerika Serikat dalam mengubah perilaku seksual dan mengurangi transmisi HIV. Evaluasi sejumlah program abstinence-only di Amerika Serikat menunjukkan dampak negatif terhadap kebersediaan kaum muda untuk menggunakan konstrasepsi akibat penekanan mengenai kegagalan kontrasepsi. Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan. Kondom lateks dapat rusak dan berlubang setelah jangka waktu tertentu, sehingga kondom semacam ini memiliki tanggal kadaluwarsa. Di Eropa dan Amerika Serikat, kondom harus memenuhi standar EC 600 (Eropa) atau D3492 (A.S.) agar diakui dapat melindungi dari transmisi HIV. Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak.

Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting. Dengan penggunaan kondom yang konsisten dan benar, risiko infeksi HIV sangatlah kecil. Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi di bawah 1% per tahun. Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual: Abstinence or delay of sexual activity, especially for youth (berpantang atau menunda kegiatan seksual, terutama bagi remaja), Being faithful, especially for those in committed relationships (setia pada pasangan, terutama bagi orang yang sudah memiliki pasangan), Condom use, for those who engage in risky behavior (penggunaan kondom, bagi orang yang melakukan perilaku berisiko). Ada pula rumusan pendekatan ABC ini dalam bahasa Indonesia: Anda jauhi seks, Bersikap saling setia dengan pasangan, Cegah dengan kondom. Pendekatan ini sangat berhasil di Uganda, yang prevalensi HIV-nya berkurang dari 15% menjadi 5%. Namun demikian, sesungguhnya banyak hal lain yang telah dilakukan di Uganda selain pendekatan tersebut. Edward Green, seorang ahli antropologi medis Harvard, mengatakan, "Uganda telah melopori pendekatan untuk mengurangi stigma, menggiatkan diskusi mengenai perilaku seksual, mengikutsertakan orang yang terinfeksi HIV dalam penyuluhan, membujuk individu dan pasangan untuk diuji HIV dan diberi bimbingan konseling, meningkatkan status perempuan, mengikutsertakan organisasi keagamaan, melibatkan praktisi pengobatan tradisional, dan masih banyak lagi. " Namun demikian, banyak yang mengkritik pendekatan ABC karena individu yang setia namun pasangannya tidak setia berisiko terkena HIV, sementara diskriminasi terhadap perempuan sangatlah besar dan perempuan tidak dapat bersuara dalam hampir setiap sektor kehidupan mereka. Program lainnya lebih mempromosikan penggunaan kondom. Misalnya, kondom merupakan bagian utama pada Pendekatan CNN:

Condom use, for those who engage in risky behavior (penggunaan kondom, bagi orang yang melakukan perilaku berisiko), Needles, use clean ones (jarum, gunakan jarum yang bersih), Negotiating skills; negotiating safer sex with a partner and empowering women to make smart choices (kemampuan negosiasi; menegosiasikan seks yang lebih aman dengan pasangan dan memberdayakan perempuan agar dapat memilih dengan bijak). Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan bahwa pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapan pendekatan itu akan harus berhadapan dengan sejumlah isu terkait kepraktisan, kebudayaan, dan perilaku. Beberapa ahli khawatir bahwa kurangnya persepsi akan kerentanan HIV pada laki-laki bersunat dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga malah mengurangi dampak usaha pencegahan ini. Selain itu, ahli kesehatan Afrika Selatan khawatir bahwa penggunaan kembali pisau tidak steril pada ritual sunat laki-laki dapat menyebarkan HIV.

Paparan dengan cairan tubuh yang terinfeksi

Wabah AIDS di Afrika Sub-Sahara tahun 1985-2003. Rute transmisi ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali syringe yang mengandung darah yang terkontaminasi dengan HIV tidak hanya merupakan risiko utama infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Risiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang

terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah transmisi HIV melalui fasilitas kesehatan. Risiko transmisi HIV pada resipien transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi". Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV. Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk syringe, bola kapas, sendok, air untuk mengencerkan obat, sedotan, dan lainlain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.

Transmisi ibu ke anak


Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi in utero selama minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat transmisi antara ibu dan anak selama kehamilan dan persalinan sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretroviral dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat transmisi hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko transmisi sebesar 10-15%. Risiko ini bergantung pada faktor klinis dan dapat bervariasi menurut pola dan lama menyusui. Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretroviral, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang transmisi HIV dari ibu ke anak. Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan

aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui transmisi ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara. Strategi pencegahan dikenal dengan baik di negara maju. Namun demikian, penelitian perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara belakangan ini menunjukkan bahwa minoritas banyak anak muda terus melakukan kegiatan berisiko tinggi dan meskipun mengetahui tentang HIV/AIDS, anak muda meremehkan risiko terinfeksi HIV. Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.

Penanganan
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretroviral secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah. Penanganan untuk infeksi HIV terdiri dari terapi antiretroviral yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy), HAART. Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orangorang yang terinfeksi HIV sejak diperkenalkan pada tahun 1996 setelah ditemukannya HAART yang menggunakan inhibitor protease. Pilihan terbaik HAART saat ini mencakup kombinasi dari paling sedikit tiga obat yang berasal dari paling sedikit dua jenis, atau "kelas" agen anti-retroviral. Kombinasi yang umum digunakan terdiri dari dua nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) ditambah dengan protease inhibitor atau non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV pada anak-anak lebih deras daripada pada orang dewasa, parameter laboratorium sedikit prediktif tentang jalannya penyakit, terutama untuk anak muda, rekomendasi perawatan lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang tempat HAART ada, dokter mengakses beban virus, kecepatan pada berkurangnya CD4 dan kesiapan pasien sementara memilih ketika untuk merekomendasikan perawatan segera. HAART membuat adanya stabilisasi gejala dan viremia pasien, tetapi tidak menyembuhkan pasien dari HIV atau meredakan gejala, dan HIV-1 kelas tinggi dapat melawan HAART, kembali setelah perawatan berhenti. Lebih lagi, akan mengambil lebih banyak waktu kehidupan individual untuk membersihkan infeksi HIV menggunakan HAART. Banyak individu terinfeksi HIV yang mendapatkan pengalaman perbaikan hebatt pada kesehatan dan kualitas hidup mereka, yang menyebabkan adanya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan HIV. Tanpa adanya HAART, infeksi HIV ke

AIDS muncul dengan rata-rata sekitar sembilan sampai sepuluh tahun dan waktu bertahan setelah memiliki AIDS hanya 9.2 bulan HAART meningkatkan waktu bertahan antara 4 dan 12 tahun. Hal ini berasal dari fakta beberapa pasien dan di banyak kelompok klonikal, mungkin lebih dari lima puluh persen pasien. HAART menerika jauh sedikit daripada hasil yang optimal. Hal ini disebabkan oleh berbagai alasan seperti efek samping/pengobatan tidak ditolerir, teori antiretroviral lebih dahulu tidak efektif dan infeksi dengan HIV yang melawan obat, namun, tidak-taat dan tidak-sakit terus menerus dengan terapi antiretroviral adalah alasan utama kebanyakan individual gagal untuk mendapat keuntungan dari perkembangan perlawanan terhadap HAART. Alasan tidaktaat dan tidak-sakit terus menerus dengan HAART bervariasi dan saling melengkapi. Isu utama psikososial, seperti akses yang kurang terhadap fasilitas kesehatan, dukungan sosial yang tidak mencukupi, penyakit jiwa dan penyalahgunaan obat mengkontribusi pada tidak-taat. Kerumitan aturan HAART, apakah karena jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan atau isu lainnya bersama dengan efek sampil yang membuat tidak-taat sengaja juga memiliki dampak berat. Efek samping termasuk lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, meningkatkan risiko sistem kardiovaskular dan kelainan bawaan.[101]
[102]

Multivitamin harian dan suplemen mineral ditemukan dapat mengurangi alur penyakit HIV pada laki-laki dan wanita. Hal ini dapat menjadi intervensi "berharga-rendah" yang tersedia selama awal penyakit HIV untuk memperpanjang waktu sebelum terapi antiretroviral didapat. Beberapa bahab gizi individual juga telah dicoba. Obat antiretroviral mahal, dan mayoritas individual yang terinfeksi tidak memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS. Hanya vaksin yang dapat menahan pandemik karena vaksin akan berharga lebih sedikit, demikian negara-negara berkembang mampu dan tidak membutuhkan perawatan harian, namun, setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap menjadi target vaksin yang sulit. Penelitian untuk membuktikan perawatan termasuk pengurangan efek samping obat, jauh menyerderhanakan aturan obat untuk membuktikan kesetiaan, dan membuktikan rentetan terbaik aturan untuk mengatur perlawanan obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa ukuran untuk mencegah infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi dengan virus ini dan dalam risiko terinfeksi.[107] Pasien dengan penindasan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan menerima terapi propilaktik untuk Pneumonia pneumosistis, dan banyak pasien mendapat manfaat dari terapi propilaktik untuk toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis. Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah aliran penyakit. Pada dekade awal epidemik ketika tidak ada penanganan berguna yang ada, jumlah besar orang dengan AIDS dicoba dengan terapi alternatif. Definisi "terapi alternatif" pada AIDS telah berubah sejak waktu itu, lalu, frase itu sering merujuk pada penanganan komunitas, belum dicoba oleh pemerintah atau penelitian perusahaan farmasi, dan beberapa berharap akan secara langsung menekan virus atau menstimulir sistem imun melawannya. Contoh obat alternatif yang diharapkan dapat mengurangi gejala atau menambah kualitas hidup termasuk urut, manajemen stres, obat jamu dan

bunga seperti boxwood, dan akupunktur. Ketika menggunakan penanganan biasa, banyak yang merujuk kepadanya sebagai penanganan "saling melengkapi". Meskipun penyebaran penggunaan obat saling melengkapi dan alternatif oleh orang yang hidup dengan HIV/AIDS, belum ada hasil efektif dari terapi-terapi ini.

Epidemiologi

Meratanya HIV diantara orang dewasa per negara pada akhir tahun 2005.
1550% 515% 15% 0.51.0% 0.10.5% <0.1% tidak ada data

UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretroviral bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup di tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan anak-anak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981. Afrika Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan perkiraan 21,6 sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta [1,5&-3,0 juta] dari mereka adalah anak-anak yang usianya lebih rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari semua orang yang hidup dengan HIV ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per empat (76%) dari semua wanita hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, terdapat 12.0 juta [10.6-13.6 juta] anak yatim/piatu AIDS hidup di Afrika Sub Sahara. Asia Selatan dan Asia Tenggara adalah terburuk kedua yang terinfeksi dengan besar 15%. 500.000 anak-anak mati di region ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi HIV/AIDS di Asia muncul di India, dengawn perkiraan 5.7 juta infeksi (perkiraan 3.4 - 9.4 juta) (0.9% dari populasi), melewati perkiraan di Afrika Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1 juta) (11.9% dari populasi) infeksi, membuat negara ini dengan jumlah terbesar infeksi HIV di dunia. Di 35 negara di Afrika dengan perataan terbesar, harapan hidup normal sebesar 48.3 tahun - 6.5 tahun sedikit daripada akan menjadi tanpa penyakit. Evaluasi terbaru dari Departemen Evaluasi Operasi Bank Dunia menetapkan keefektifan bantuan bank Dunia pada tingkat-negara HIV/AIDS, didefinisikan sebagai dialog kebijakan, hasil analitik, dan peminjaman, dengan obyektif eksplisit mengurangi dampak epidemik AIDS. Ini adalah evaluasi luas pertama dukungan Bank Dunia kepada negara-

negara untuk melawan HIV/AIDS, dari awal epidemik melalui pertengahan-2004. Dengan bantuan Bank Dunia untuk implementasi program pemerintah oleh pemerintah, bantuan Bank Dunia menyediakan pengertian penting pada bagaimana program nasional AIDS dapat dibuat lebih efektif. Perkembangan HAART sebagai terapi efektif untuk infeksi HIV dan AIDS pada pokoknya mengurangi kematian dari penyakit ini di daerah yang secara luas ada. HAART telah membuat kesalahan tanggapan bahwa penyakit AIDS telah pergi jauh, faktanya, harapan hidup orang dengan AIDS meningkat di negara-negara tempat HAART secara luas digunakan, jumlah orang yang hidup dengan AIDS telah meningkat. Di Amerika Serikat, jumlah orang dengan AIDS meningkat dari sekitar 35.000 tahun 1988 menjadi lebih dari 220.000 pada tahun 1996. Di Afrika, jumlah transmisi ibu ke anak dan meratanya AIDS adalah awal untuk membalikan dekade pergerakan kuat dalam keselamatan anak. Negara seperti Uganda berusaha untuk menurunkan epidemik transmisi ibu ke anak dengan menawarkan VCT (tes dan anjuran sukarela), PMTCT (pencegahan transmisi ibu ke anak) dan fasilitas ANC (fasilitas ante-natal), yang termasuk distribusi terapi antiretroviral.

Dampak ekonomi

Perubahan angka harapan hidup di beberapa negara di Afrika.


Botswana Zimbabwe Kenya Afrika Selatan UgandaHIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan

menghancurkan jumlah manusia dengan kemampuan produksi. UNAIDS memprediksi akibat untuk Afrika Sub Sahara tahun 2025. Jarak tersebut dari masa stabil dan pada akhirnya berkurang dalam kematian dimulai sekitar tahun 2012 merupakan bencana besar perkembangan pada jumlah kematian dengan potensi 90 juta kasus infeksi. Tanpa nutrisi yang baik, fasilitas kesehatan dan obat yang ada di negara-negara berkembang, orang di negara-negara tersebut menjadi korban AIDS. Mereka tidak hanya

tidak dapat bekerja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai. Ramalan bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya ekonomi dan hubungan di daerah. Di daerah yang terinfeksi berat, epidemik telah meninggalkan banyak anak yatim piatu yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang tua. Mortalitas yang meningkat di daerah ini akan menyebabkan populasi kecil yang tidak memiliki keterampilan dan pekerja. Pekerja yang lebih sedikit akan didominasi anak muda, yang mengurangi pengetahuan dan pengalaman kerja yang menyebabkan berkurangnya produktivitas . Meningkatnya cuti pekerja untuk melihat anggota keluarga yang sakit atau cuti karena sakit juga akan mengurangi produktivitas. Mortalitas yang meningkat juga akan melemahkan mekanisme yang menggenerasikan kapital manusia dan investasi, dengan kehilangan pendapatan dan meninggalnya orang tua.[ Dengan membunuh banyak dewasa muda, AIDS melemahkan populasi yang dapat membayar pajak, mengurangi dana untuk publik seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan untuk yang tidak berhubungan dengan AIDS menyebabkan tekanan untuk keuangan negara dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Hasil dari pertumbuhan yang lambat menyebabkan menguatkan pengeluaran yang berkembang untuk menangani orang yang sakit, pelatihan (untuk menggantikan pekerja yang sakit), pembayaran sakit dan merawat anak yatim piatu AIDS. Hal ini terutama benar jika peningkatan tajam mortalitas orang dewasa, tanggung jawab dan penyalahan dari keluarga terhadap pemerintah untuk menangani anak yatim piatu. Pada rumah tangga, AIDS menyebabkan hilangnya pendapatan dan meningkatkan pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah tangga. Pengaruh pendapatan menyebabkan pengurangan pengeluaran dan juga efek penggantian dari pendidikan dan menuju kesehatan dan pengeluaran penguburan. Penelitian di Pantai Gading menunjukan bahwa rumah tanggal dengan pasien HIV/AIDS mengeluarkan dua kali lebih banyak pada perawatan medis daripada rumah tangga lainnya. UNAIDS, WHO dan United Nations Development Programme mendokumentasikan sebuah hubungan antara menurunnya harapan hidup dan menurunnya produk domestik bruto di banyak negara-negara Afrika dengan rata-rata 10% atau lebih. Sunguh-sunguh, sejak tahun 1992, prediksi bahwa AIDS akan memperlambat pertumbuhan ekonomi di negara-negara ini telah dipublikasikan. Dampak tergantung dari asumsi tentang luasnya untuk didanai oleh tabungan dan orang yang akan terinfeksi. Kesimpulan dicapai dari model pertumbuhan 30 ekonomi Sub Sahara selama periode 1990-2025, rata pertumbuhan ekonomi negara tersebut akan menurun antara 0.56 dan 1.47%. Dampak pada produk domestik bruto per kapita sedikit meyakinkan, namun, pada tahun 2000, rata-rata pertumbuhan produk domestik bruto per kapiat Afrika menurun 0.7% tiap tahun dari tahun 1990-1997 dengan 0.3% lebih jauh menurun per tahun di negara yang juga terkena malaria. Ramalan kini adalah pertumbuhan produk domestik bruto untuk negara tersebut akan mengalami penurunan lebih jauh diantara 0.5 dan 2.6% per tahun, namun, perkiraan ini dapat diremehkan karena tidak terlihat pada pengaruh hasil produksi per kapita.

Banyak pemerintah di Afrika Sub Sahara menolak bahwa terdapat masalah untuk setahun, dan mulai bekerja menuju solusi. Pendanaan adalah masalah di daerah pencegahan HIV ketika dibandingkan pada perkiraan konservatif masalah . Perlengkapan HIV/AIDS resmi pertama di dunia diluncurkan di Zimbabwe pada tanggal 3 Oktober 2006 adalah produk hasil kolaboratif antara Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, World Health Organization dan Layanan Penebaran Informasi HIV/AIDS Afrika Selatan. Hal ini untuk memperkuat orang hidup dengan HIV/AIDS dan dukungan luar minimal suster. Paket yang berisi bentuk delapan modul memfokuskan fakta tentang HIV dan AIDS, sebelumnya dites di Zimbabwe pada bulan Maret tahun 2006 untuk menentukan penyesuaian. Peralatan ini mengatur beberapa hal lain, panduan yang dikategorikan pada manajemen klinik, pendidikan dan anjuran untuk korban AIDS.[119] Konsensus Kopenhagen adalah proyek yang mencoba untuk mendirikan prioritas untuk perkembangan kesejahteraan global menggunakan metodologi berdasarkan teori ekonomi kesejahteraan. Seluruh pesertanya adalah ahli ekonomi, dengan fokus pada proyek menjadi prioritisasi rasional berdasarkan analisis ekonomi. Proyek ini berdasarkan anggapan bahwa dalam dendam milyaran dolar yang dihabiskan untuk tantangan global oleh Perserikatan Bangsa Bangsa, pemerintah negara kaya, lembaga, amal, dan organisasi-organisasi bukan milik pemerintah, uang dihabiskan pada masalah seperti kekurangan gizi dan perubahan iklim tidak cukup untuk mencapai banyak target yang disetujui secara internasional. Prioritas tertinggi menentukan untuk mengimplementasikan ukuran baru untuk mencegah penyebaran HIV dan AIDS. The Economist memperkirakan bahwa investasi $27 milyar dapat mencegah hampir 30 juta infeksi baru pada tahun 2010.

Stigma

Tanda peringatan AIDS di Kota Ho Chi Minh, Vietnam (Agustus 2005). Stigma AIDS ada di dunia dalam berbagai cara, termasuk pengasingan, penolakan, diskriminasi dan penghindaran orang yang terinfeksi HIV. Diwajibkan uji coba HIV tanpa lebih dahulu persetujuan atau perlindungan kekerasan atas individual atau orang yang terinfeksi HIV yang diketahui terinfeksi dengan HIV, dan mengkarantinakan orang yang terinfeksi HIV. Kekerasan atau ketakutan atas kekerasan mencegah banyak orang melakukan tes HIV, kembali untuk hasil mereka, atau menjaga perawatan, kemungkinan berbalik apa dapat mengendalikan sakit kronik menjadi kalimat kematian dan mengabadikan penyebaran HIV. Stigma AIDS lebih jauh terbagi menjadi tiga kategori: 1. Stigma instrumental AIDS - refleksi ketakutan dan keprihatinan yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan dapat ditransmisikan. 2. Stigma simbolis AIDS - penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap melalui grup sosial atau gaya hidup diketahui berhubungan dengan penyakit. 3. Stigma kesopanan AIDS - stigmatisasi orang yang berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV. Sering, stigma AIDS diekspresikan dengan satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, persetubuhan dengan siapa saja dan penggunaan narkoba. Di banyak negara berkembang, terdapat hubungan antara AIDS dan homoseksualitas atau biseksualitas, dan hubungan ini berhubungan dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi seperti sifat anti homoseksual. Terdapat hubungan yang diketahui antara AIDS dengan semua sifat seksual laki-laki, termasuk seks antara laki-laki yang belum terinfeksi Mereka kebanyakan memiliki pengertian yang salah tentang transmisi HIV dan untuk mempunyai stigma HIV/AIDS adalah orang yang sedikit pendidikannya dan orang dengan tingkat religius atau ideologi politik yang tinggi. Lihat Stigma dan HIV-AIDS, penilaian literatur untuk penjelasan lebih lengkap tentang topik ini

Asal mula HIV


AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles.[127] Tiga dari infeksi HIV awal yang diketahui adalah:

1. Sampel plasma diambil tahun 1959 dari laki-laki dewasa yang tinggal di Kinshasa, kini merupakan bagian dari Republik Demokratik Kongo. 2. HIV ditemukan pada sampel jaringan dari "Robert R.", remaja Afrika-Amerika berusia 15 tahun yang meninggal di St. Louis tahun 1969. 3. HIV ditemukan pada sampel jaringan dari Arvid Noe, pelaut Norwegia yang meninggal sekitar tahun 1976. Dua spesies HIV menginfeksi manusia: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat.[131] Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di Kamerun selatan.[132] HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun. Banyak ahli percaya bahwa HIV masuk kedalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging. Teori yang lebih kontroversial yang diketahui dengan nama hipotesis OPV AIDS mengusulkan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia oleh penelitian Hilary Koprowski terhadap vaksin polio. Menurut komunitas ilmu pengetahuan, skenario ini tidak didukung oleh bukti yang ada.

Hipotesis alternatif
Beberapa ilmuwan dan aktivis mempertanyakan hubungan antara HIV dan AIDS, adanya HIV, atau kebenaran percobaan dan metode perawatan. Klaim ini diperiksa dan secara luas ditolak oleh komunitas ilmu pengetahuan, walaupun memiliki pengaruh politik, terutama di Afrika Selatan, dan penerimaan pemerintah tentang AIDS disalahkan untuk respon yang tidak efektif bahwa negara itu epidemik terhadap AIDS.

Kesalahpahaman HIV dan AIDS


Beberapa kesalahpahaman telah terjadi tentang HIV/AIDS. Terdapat tiga kesalahpahaman yang paling umum terjadi, yaitu AIDS dapat menyebar melalui kontak sehari-hari, hubungan seksual dengan perawan akan menyembuhkan AIDS, dan HIV hanya dapat menginfeksi laki-laki homoseksual dan pemakai narkoba. Kesalahpahaman lainnya adalah bahwa seks anal antara laki-laki homoseksual dapat menyebabkan infeksi AIDS, dan membuka diskusi homoseksualitas dan HIV di sekolah menyebabkan meningkatnya homoseksual dan AIDS. BAGAIMANA HIV MENGALAHKAN SISTEM KEKEBALAN TUBUH (Sebuah Analisis Kritis terhadap artikel Nowak yang berjudul 'how HIV Defeat The Immune System) By: Baskoro Adi Prayitno

A. PENGANTAR Sindrom cacat kekebalan tubuh atau AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang ditularkan dari seseorang ke orang lain oleh virus yang disebut HIV ( Human Immunodeficiency Virus) telah hadir sebagai penyakit menular yang sangat menakutkan dan terus meminta korban. HIV berpindah dari ke orang lain melalui hubungan seksual, homoseksual dan biseksual dari seorang pengidap HIV, transfusi darah, jarum suntik, transmisi vertikal dari ibu kejanin. Menurut catatan WHO, pada akhir tahun 2002 saja, dilaporkan sebanyak 45 juta kasus HIV. Kasus tertinggi terjadi di Afrika sebesar 28,1 juta kasus, menyusul daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara seperti, India, Thailand, Myanmar, Indonesia, dan lain-lain sebesar 6,1 juta kasus (Aditya, 2007). Menurut Hawari (2003) angka sebenarnya dari kasus HIV/AIDS adalah dikalikan 200, dengan didasarkan asumsi kecepatan penularan HIV tiap menitnya mampu menularkan kepada lima orang. Di Indonesia sendiri kasus HIV pertamakali ditemukan pada tahun 1987 di Bali, pada wisatawan asing dari Belanda. Laporan terbaru pada akhir September 2007 dilaporkan sebanyak 10,384 kasus HIV terjadi di Indonesia, dengan angka tertinggi di DKI Jakarta, sedangkan kasus HIV untuk Propinsi Jawa Timur sebesar 1,043 kasus (Depkes Riau, 2007). Temuan di atas sangat mengejutkan banyak ahli, selama ini mereka beranggapan bahwa permasalahan HIV untuk konteks Indonesia tidak terlalu merisaukan, karena jumlah kaum homoseksual di Indonesia sebagai transmisi utama penularan HIV/AIDS sangat rendah, selain itu mereka beranggapan bahwa nilai moral dan agama masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat barat, namun booming informasi dari konsekuensi global vilage menyebabkan terjadinya pergeseran nilai di kalangan masyarakat, terutama pada kalangan pelajar dan mahasiswa. Beberapa penelitian melaporkan bahwa hubungan seksual di luar nikah sudah mulai dianggap hal lumrah oleh sebagian orang. Bahkan temuan yang menghebohkan di kota Jogjakarta

yang notabene adalah kota pelajar kumpul kebo dan aborsi bayi sudah dianggap hal biasa oleh masyarakat sekitar. Temuan lain yang sangat mengejutkan para ilmuwan bahwa, pola penularan HIV/AIDS di Indonesia berbeda sama sekali dengan pola penularan di negara barat dan Afrika, bila di negara barat dan Afrika transmisi utama lewat kontak homoseksual dan heteroseksual, untuk wilayah Indonesia transmisi utama disebarkan melalui penggunaan narkotika intravena (intravena drug use), dan hubungan heteroseksual. Berikut ini gambaran umum transmisi utama penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.

Gambar 1. Grafik Trend Penularan Kasus AIDS, 1987-2001 di Indonesia (Sumber: Aditya, 2007)

Mengingat jumlah penderita yang terus meningkat dari tahun ke tahun, pemerintah mengeluarkan Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2007-2010, yang isinya dapat diringkas sebagai berikut; 1) penanggulangan HIV/AIDS sebagai prioritas nasional, 2) penanggulangan dilaksanakan melalui gerakan nasional, 3) memberi dukungan dana secara nasional, 4) memperkuat gerakan nasional penanggulangan HIV/AIDS. (Dinas Kesehatan Riau, 2007) Akibat dari kebijakan tersebut, dapat dipastikan hampir sebagian besar orang saat ini, sudah mengetahui apa dan bagaimana HIV/AIDS, terutama pada aspek pencegahan dan

penularan HIV/AIDS. Artikel-artikel dalam Bahasa Indonesia mengenai HIV/AIDS dengan mudah didapatkan, walaupun harus kita akui hanya terbatas pada artikel-artikel yang berkaitan dengan pencegahan penularan HIV/AIDS. (patut dipertanyakan pengetahuan yang baik mengenai HIV/AIDS agaknya tidak diiiringi dengan perilaku yang tepat, banyak perilaku masyarakat yang cenderung berisiko mis; penggunaan narkoba, free seks, dll) Di sisi lain, artikel-artikel lokal (berbahasa Indonesia) mengenai informasi HIV/AIDS yang agak berat, seperti bagaimana HIV bisa mengalahkan sistem kekebalan tubuh, bagaimana kajian molekuler HIV, bagaimana prospek pengobatan HIV, sangat jarang ditemukan (bila tidak boleh dikatakan tidak ada sama sekali ). Padahal (menurut saya) pengetahuan mengenai hal ini juga diperlukan, untuk memberi pemahaman yang komprehensif mengenai HIV/AIDS, bukan hanya tulisan-tulisan yang sekedar menakuti-nakuti saja tanpa ada alasan jelas. Berdasarkan pertimbangan di atas, pada makalah ini saya mengangkat artikel yang berjudul How HIV Defeat The Immune System (bagaimana HIV mengalahkan sistem kekebalan tubuh). Artikel ini diangkat dari majalah ilmiah Scientific American, edisi Agustus 1995, yang ditulis oleh Nowak dan McMichael, dua orang ahli virologi dan evolosi dari universitas Harvard dan Oxford. Artikel yang saya angkat ini memang termasuk dalam kategori artikel tua, namun menurut hemat saya, artikel ini penting untuk diketahui (paling tidak bagi saya) karena memberikan penjelasan yang cukup komprehensif mengenai bagaimana HIV dapat mengalahkan sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan full blown AIDS, selain itu artikel ini diakui oleh para ilmuan sebagai titik entry penelitian lanjutan yang berusaha mengungkap rahasia kerja virus HIV, yang tentu saja nantinya diharapkan dapat membuka jalan dihasilkan obat untuk HIV. Pada makalah ini, saya menyajikan urutan penulisan makalah sebagai berikut, pada bagian awal saya mencoba menceritakan kembali isi artikel yang telah saya sebutkan di atas, pada bagian selanjutnya (pembahasan) saya mencoba menganalisis kritis isi artikel,

sekaligus mencoba melengkapi informasi-informasi dari sumber bacaan lain yang saya anggap kurang dijelaskan oleh artikel ini. B. ISI ARTIKEL Hubungan antara HIV dengan sistem kekebalan tubuh merupakan topik yang banyak menyita perhatian ilmuan-ilmuan dunia. Beberapa temuan penelitian mutakhir menyakinkan bahwa replikasi berujung pada mutasi HIV-lah yang banyak menyebabkan rusaknya sel-sel sistem kekebalan tubuh setiap harinya. Pertumbuhan HIV berjalan sangat lambat, biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun tergantung pada kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mem-blokir laju replikasi HIV. Sayangnya bagaimanapun luar biasanya kemampuan sistem kekebalan tubuh bekerja, suatu saat akan mengalami kekalahan juga oleh HIV, keadaan seperti ini disebut dengan full Blown AIDS. Pada artikel ini penulis (Nowak dan McMichael), menjelaskan bagaimana HIV mampu menghindar dari respon pembantaian sistem kekebalan tubuh melalui bantuan evolutionary hypotesis (teori evolusi). Sekaligus penjelasan ini, akan memberikan rasionalisasi dari karakteristik (typically) HIV yang khas yaitu, membutuhkan waktu yang sangat lama, dari saat mulai terinfeksi HIV sampai dengan tahap AIDS ( kita ketahui jarak waktu antara infeksi HIV sampai dengan AIDS antara sepuluh tahun bahkan lima belas tahun lebih). Nowak dan McMichael percaya bahwa kekuatan respons sistem kekebalan tubuh tergantung pada kesehatan seseorang. Pada kasus infeksi HIV, pada awalnya sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal dan sangat baik, namun karena mutasi HIV yang terus-menerus, menyebabkan variant-variant HIV (mutant HIV) menjadi melimpah, keadaan ini mengakibatkan sistem kekebalan tubuh kesulitan bahkan gagal mengenali varian-varian HIV tersebut. Di sisi lain varian-varian HIV ( mutant-mutant HIV) ini terus menyerang sistem kekebalan tubuh. Jika hal ini berlangsung terus menerus, dalam waktu tidak lama sistem kekebalan tubuh akan bekerja tidak efektif dan akhirnya akan mengalami kekalahan.

Untuk memahami hal tersebut, Nowak dan McMichael memandang perlu untuk diketahui oleh pembaca bagaimana sistem kekebalan tubuh bekerja membasmi virus secara umum, dan bagaimana respon sistem kekebalan tubuh jika virus itu adalah virus HIV. 1. Perkelahian dalam Sistem Kekebalan Tubuh Jika virus masuk ke dalam tubuh atau sel, sistem kekebalan tubuh dengan segera menuju sel yang terinfeksi, makropage dengan bantuan sel-sel lain akan menelan partikel virus tersebut dan menghancurkanya dalam bentuk fragmen-fragmen kecil peptida (protein fragment), peptida ini kemudian dikenali oleh protein yang disebut dengan HLAs (human leukocyte antigents). Setelah tahap ini, proses kemudian berlangsung sangat rumit dengan melibatkan sel darah putih yang biasa disebut helper T-lympocyte. Setiap helper sel membawa reseptor yang mampu mengenali peptida atau epitope (peptida virus yang telah dihancurkan oleh macrophage). Jika sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal, helper cell akan berikatan dengan petida virus yang telah dihancurkan oleh macrophage yang ditampilkan pada bagian permukaan oleh HLAs, kemuadian helper cell ini mengeluarkan cairan protein (scretes small protein) yang membantu aktivasi dari sel immune lain, yaitu cytotoxic (killer T cell) dan B-Lympocyte (B cell). Dalam keadaan yang normal killer T cell secara langsung akan menyerang sel yang terinfeksi dan membunuhnya. Sedangkan B lympocyte (B cell) berperan dalam pembentukan anti bodi yang dapat mengenali secara spesifik peptida-peptida virus, hal ini dapat mengefisiensikan kerja sistem kekebalan tubuh, jika ada virus yang sudah dikenali oleh antibodi maka makrophage akan menghancurkanya secara langsung. Keseluruhan respon di atas dipercaya berpartisipasi dalam kemampuan bertahan hidup dari virus HIV, dengan kata kunci kerja sistem kekebalan tubuh harus selalu tepat. Jika kerja sistem kekebalan tubuh ini keliru (un-cheked) sedikit saja dalam mengenali hasil replikasi sebuah virus, maka dipastikan akan berakibat sangat fatal, yaitu jumlah virus akan bertambah luar biasa banyak tanpa dikenali oleh sistem kekebalan tubuh, jumlah helper cell akan menurun drastis, demikian juga dengan macrophage akibat dari pembunuhan oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri (senjata makan tuan).

Ketika terjadi infeksi, banyak T sel yang binasa akibat partikel virus baru. T killer sel dan B sel bertahan dengan banyak membunuh sel yang terinveksi virus dan partikel virus. Akibat dari hal ini secara gradual jumlah virus menjadi menurun, keadaan ini memberikan kesempatan kepada tubuh untuk me-restore (mengkonservasi) kembali helper cell dalam kosentrasi yang normal. Namun demikian virus tetap ada, pada fasefase ini biasanya hampir 30% orang yang terinfeksi menunjukkan beberapa gejala seperti ruam-ruam dan bengkak. Pada fese kedua sistem kekekebalan tubuh berangsur-angsur berfungsi kembali dengan normal, dan jumlah ukuran virus relatif sangat rendah. Namun demikian jumlah level virus secara gradual berangsur-angsur meningkat pararel dengan kerusakan dari populasi helper cell. Fakta ini menunjukkan bahwa menurunnya jumlah helper sel bukan disebabkan oleh kemampuan tubuh dalam memproduksi yang rendah, tetapi disebabkan oleh virus dan dibunuh oleh T killer sel sendiri. Keadaan ini sangat ironis T killer sel yang diperlukan untuk mengontrol inveksi HIV juga merusak helper sel untuk fungsi efisiensi. Seseorang dikatakan telah terkena AIDS jika jumlah sel heper di bawah 200 sel/mikroliter, dengan jumlah normal seharusnya 1.000 sel/mikroliter. Dalam tingkatan seperti ini, level virus menanjak sangat luar biasa, dan aktivitas sistem kekebalan tubuh drop sampai dengan nol. Akibatnya tubuh mengalami ketidakmampuan membentengi diri dari segala penyakit, termasuk penyakit yang seharusnya tidak berbahaya bagi tubuh sekalipun. Pada keadaan seperti ini jarang penderita AIDS dapat bertahan lebih dari dua tahun. 2. Teori Evolusi untuk Menjelaskan Permasalahan Teori evolusi selalu tidak bisa dilepaskan dari konsep mutasi. Mutasi adalah perubahan material genetik dari individu organisme dimana hasilnya berupa sifat yang diturunkan kepada turunannya untuk kemampuan bertahan hidup. Mutasi ini akan memberikan kemampuan kepada individu untuk tetap survival dan ber-reproduksi dengan lebih baik.

Setelah waktu berlalu, nenek moyang mereka menurunkan sifat yang sama. Salah satu pemicu terjadinya evolusi adalah tekanan lingkungan. Ketika Nowak dan koleganya mempelajari bagaimana siklus hidup HIV, dia menemukan kemiripan dengan fakta-fakta pada mikroba, yang biasanya luar biasa dalam menghindarkan diri dan menyesuaikan diri dari keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sebagai contoh, jika material genetik dibuat berubah secara konstan; maka rata-rata mutasi menjadi tinggi, hal ini memberikan kemungkinan beberapa material genetik berubah dengan sifat yang lebih advantagous. Macam material genetik utama adalah komponen dari enzim virus yaitu reverse transcriptase. Di dalam sel, virus menggunakan enzim ini untuk meng-copy RNA genom menjadi double strand DNA. DNA ini kemudian dimasukkan ke dalam inti sel yang diinfeksi, kemudian inti sel ini disandera untuk memproduksi RNA virus dan protein virus. Elemen-elemen ini, pada gilirannya akan lepas dari sel yang baru disabotase tadi, dan kemudian mencari sel-sel sabotase lainnya. Mutasi virus diduga terjadi selama proses tersebut, karena pada kegiatan tersebut mudah terjadi kesalahan (error prone). Keadaan ini dapat diperkirakan, jika setiap waktu enzim meng- copy RNA menjadi DNA baru dan merubah kembali menjadi RNA baru, maka rata-rata perbedaan variasi dari generasi-generasi virus akan luar biasa tinggi. Pola ini menyebabkan mengapa virus HIV dikenal dengan banyak varian-varian. 3. Skenario dari Kemajuan Penyakit (Disease Progression) Dengan pengetahuan yang baik dalam pikirannya mengenai evolusi HIV, Nowak dan McMichel mengembangkan sebuah skenario (dengan menggunakan simulasi komputer dan model matematika) untuk menjelaskan bagaimana virus HIV mampu bertahan dari kegiatan pembasmian oleh sistem kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan AIDS, yang biasanya membutuhkan waktu yang sangat lama. Skenario yang dikembangkan didasarkan pada asumsi mutasi berjalan dengan konstan, dimana gen virus ( viral gens) tetap melanjutkan produksi dengan varian-varian virus yang mampu bertahan dari kerja pembasmian sistem kekebalan tubuh dari waktu ke waktu. Varian-varian virus ini

muncul sebagai akibat dari perubahan-perubahan struktur dari peptida virus ( epitopes) yang gagal dikenali sistem kekebalan tubuh. Hasil dari simulasi tersebut menunjukkan bahwa, beberapa frekuensi perubahan tidak memperlihatkan pengaruh terhadap aktivitas sistem kekebalan tubuh (sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal), tetapi suatu saat terlihat peptida virus menjadi tidak terlihat oleh sistem kekebalan tubuh. Keadaan ini lama-kelamaan akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh kesulitan mengenali partikel virus. Nowak dan McMichael berhipotesis bahwa kemampuan mutasi menyebabkan kemampuan varian-varian virus untuk tetap survival, setelah sistem kekebalan tubuh sangat reaktif dalam pembasmian terhadap partikel virus ini. Virus merusak fungsi sistem kekebalan dengan menyebabkan kematian helper sel, dan kemudian jumlah virus meningkat luar biasa. Selain itu juga virus secara terus menerus memproduksi varian-varian virus yang mampu menghindar dari serangan sistem kekebalan tubuh, dan varian-varian akibat mutasi virus ini (mutant) menyebabkan tingginya populasi virus. Pada saat sistem kekebalan tubuh dapat menemukan mutantmutant ini, menyebabkan populasi virus menjadi menurun secara drastis Hasil dari simulasi tersebut juga menunjukkan bahwa, dibutuhkan waktu tunggu yang lama antara tahap inveksi HIV dengan tahap AIDS. Hasil simulasi ini juga dapat menjelaskan mengenai mengapa siklus dari penghindaran dan represi tidak teridentifikasi, tetapi pada akhirnya menyebabkan replikasi virus menjadi tidak terkontrol, yang diakhiri dengan kehilangan populasi sel helper dan menyebabkan AIDS. Secara khusus, model yang dikembangkan oleh Nowak dan koleganya menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh dapat bertahan lagi dari beberapa varian virus secara simultan, sayangnya setelah setelah beberapa tahun ketika varian-varian virus HIV sudah sangat luar biasa banyak, dan batas kemampuan kerja sistem kekebalan tubuh telah terlampaui, sistem kekebalan tubuh tidak mampu lagi mengendalikan virus. Batasan kemampuan sistem kekebalan tubuh berbeda dari orang satu dengan orang lain.

Nowak dan koleganya mencoba memberikan penjelasan intuitif (intuitive explanation) mengenai mengapa kehadiran multiple varian dari HIV dapat merusak efisiensi kerja sistem kekebalan tubuh. Nowak menjelaskan fenomena ini dengan mengibaratkan pertempuran antara dua pasukan tentara, yaitu pasukan HIV dan pasukan sistem kekebalan tubuh. Pasukan HIV adalah pasukan generalis yang mampu menyerang setiap musuh. Sedangkan pasukan sistem kekebalan tubuh adalah pasukan specialis (khusus), yang hanya mampu membunuh dan mengenali musuh tertentu (pada cerita ini ditandai dengan bendera tertentu). Pada awal pertempuran, pasukan sistem kekebalan tubuh terlihat sangat perkasa karena mereka mampu mengenali pasukan-pasukan HIV yang membawa bendera tertentu dan membunuhnya. Setelah beberapa waktu pasukan HIV berkembang menjadi tiga pasukan, dengan setiap pasukan HIV tersebut membawa bendera yang berbeda-beda. Pada keadaan ini, pasukan sistem kekebalan tubuh juga membagi dirinya menjadi tiga pasukan, setiap satu pasukan hanya mengenali satu bendera dari satu pasukan lawan (pasukan HIV). Dalam kondisi demikian pasukan sistem kekebalan tubuh dalam posisi yang dirugikan (tidak menguntungkan). Setiap pasukan sistem kekebalan tubuh hanya mengenali satu bendera dari satu pasukan lawan yang mempunyai tiga bendera, sebaliknya ketiga pasukan HIV dapat mengenali ketiga pasukan sistem kekebalan tubuh untuk ditandai dan dibunuh oleh pasukan sistem kekebalan itu sendiri. Keadaan ini berlangsung terus menerus sampai dengan pasukan sistem kekebalan tubuh dihabisi oleh pasukannya sendiri tanpa sisa. 4. Prediksi dari Keadaan Penyakit Selain dapat digunakan untuk menjelaskan konsep batas dari keragaman virus, model yang dikembangkan oleh Nowak dan koleganya juga dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa beberapa penderita HIV dengan cepat sampai pada tahap AIDS sedangkan sebagian penderita-penderita lainnya membutuhkan waktu yang sangat lama?. Untuk menjelaskan ini, konsep kunci-nya adalah respon sistem kekebalan tubuh untuk membasmi epitopes (virus peptida). Efisiensi dari kemampuan pertahanan tidak hanya ditentukan dari banyaknya angka mutasi dari epitopes, namun juga dipengaruhi oleh

kemampuan tubuh untuk mengkonservasi (me-restore) ulang sistem kekebalan tubuh. (banyak anggota aktif dari sistem kekebalan tubuh yang terus mengenali setiap infeksi virus). Karenanya, tubuh mampu mengontrol virus yang tidak terindentifikasi, dalam keadaan keragaman varian virus yang tinggi. Dalam keadaan ini pada beberapa penderita, pertumbuhan HIV terlihat lambat. Jika respon sistem kekebalan tubuh untuk mengontrol sistem kekebalan tubuh lemah, sedangkan kemampuan untuk mengkonservasi sistem kekebalan tubuh juga lemah, dalam kasus ini, HIV level akan meningkat tajam akibat dari respon sistem kekebalan tubuh yang kurang. Jika kombinasi dari respon sistem kekebalan tubuh untuk konservasi kurang dan varianvarian epitope sangat tinggi dan tidak dapat dikontrol, HIV akan berkembang dengan luar biasa cepat. Dalam situasi begini partikel virus original menjadi berkembang biak tanpa banyak tekanan dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan ini beberapa penderita dapat meningkat menjadi AIDS walaupun tanpa kehadiran keragaman virus yang signifikan. Hasil simulasi dari Nowak dan koleganya juga dapat menjelaskan, apa saja yang terjadi pada populasi virus pada saat awal HIV. Beberapa hari, sebelum sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik, varian-varian virus bereplikasi dengan luar biasa cepat. Karenanya para penderita pada saat ini, terinveksi oleh oleh beberapa variant virus, setelah waktu yang sangat pendek banyak dari virus dalam tubuh berubah dengan sangat cepat dengan banyak variasi. Keadaan ini disebut dengan fase acute dari penyakit. Setelah sistem kekebalan tubuh mulai lebih aktif, kebertahanan hidup menjadi complicable untuk HIV, dalam waktu yang tidak lama replikasi berlangsung secara bebas, virus juga mampu menyerang bangsal sistem kekebalan tubuh. Dalam keadaan ini Nowak memprediksi, bahwa seleksi tekanan menyebabkan meningkatnya keragaman dari epytope yang tidak mampu dikenali oleh sistem kekebalan tubuh. Akibatnya sistem kekebalan tubuh akan collapses. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, berikut ini ditampilkan hasil dari model skenario perkembangan penyakit yang dikembangkan oleh Nowak dan McMichael dengan berbagai tipe (tipe lambat, tipe cepat, dan tipe normal)

Gambar 6. Tipe Perkembangan Penyakit AIDS (Sumber: Nowak, 1995)

5. Pemusatan Studi Kepada Killer Sel Model matematika yang dikembangkan oleh Nowak dan McMichael hanya diperuntukkan bagi sistem kerja immune sebagai unit kesatuan sistem kekebalan tubuh. Model tersebut tidak bisa memberikan penjelasan dengan baik mengenai aktifitas dari beragam tipe sel yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Salah satunya adalah adalah killer sel, killer sel juga mengalami tekanan yang luar bisa dari HIV. Untuk menjawab pertanyaan ini Nowak dan koleganya mencoba mendesain model yang secara spesifik dapat mengamati dan memeriksa tingkah laku dari killer sel. Model ini mulai dikembangkan sejak McMichael salah satu kolega Nowak kebingungan oleh hasil penelitiannya dalam melacak respons killer sel terhadap HIV yang tidak menunjukkan gejala apapun pada penderita. Studi ini berlangsung selama kira-kira lima tahun untuk menduga pengaruh dari molekul HLA yang berbeda terhadap kemampuan dari penderita untuk melawan serangan virus. Penelitian klinis menjelaskan respon dari killer sel dalam beragam epitope dalam internal protein HIV yang disebut dengan gag. Tiga dari penderita menggunakan HLA varian B27 untuk menampilkan, dan dua pasien lainnya menggunkana HLA varian B8. Pada pasien B27, killer T sel merespons secara langsung satu fragment dari gag protein, yang mana secara tidak signifikan tidak mengalami variasi selama dalam penelitian. Pada pasien B8,

aktivitas killer T sel diarahkan terhadap perlawanan set dari tiga segmen lain dari gag. Seluruhnya ada tiga epitope hasil mutasi dihasilkan selama penelitian, dan banyak dari peptida mutant yang dihasilkan tidak dikenali oleh killer T sel. Penelitian ini merupakan dokumen pertama yang dapat menjelaskan eksistensi dari virus mutant terhadap serangan dari killer T sel pada tubuh manusia. 6. Mengapa Killer Sel Menjadi Tersesat Untuk menjawab pertanyaan ini, Nowak dan koleganya mengembangkan sebuah model simulasi komputer tentang respon killer T sel terhadap HIV. Program simulasi ini didasarkan asumsi bahwa banyak dari hasil dari pemotongan partikel virus yang telah menginfeksi sel yang ditampilkan oleh HLA dikenali oleh killer T sel. Model ini juga berasumsi banyak dari epitope mempunyai kemampuan untuk bermutasi, sehingga karenanya dihasilkan banyak varian virus dari epitope-epitope ini. Model ini bekerja dengan asumsi mutasi epitope berjalan dengan acak, dan kemudian dilacak pertumbuhan dari setiap varian virus baru, serta kelimpahan dari killer t sel setelah menyerang setiap epitope. Kelimpahan dari killer T sel menentukan pengenalan terhadap epitope. Hasil dari model simulasi komputer sangat kompleks. Pada pokoknya, meskipun semua sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal dan berhasil namun pada saatnya akan hancur juga, seiring dengan fluktuasi dari respon sistem kekebalan tubuh, seperti halnya pada dua pasien yang memproduksi molekul HLA tipe B8. Fluktuasi ini tampaknya disebabkan kompetisi antara populasi killer T sel dengan sistem kekebalan tubuh. Berdasarkan perhitungan Nowak, dalam tubuh, satu clone dari killer T sel hanya mengenali satu epitope. Pada saat killer T sel bekerja dengan melibatkan banyak clone akibatnya populasi virus menjadi sangat rendah, dengan demikian mengurangi jumlah dari sinyal stimulus dari T sel. Akhirnya T sel clone yang mengenali banyak dari epitope.

Proses seperti itu akan memberikan keuntungan dan bisa menghapuskan virus, jika virus itu tidak pernah berubah. Di sisi lain, jika epitope sangat dominant dalam respons mutasi, maka T sel clone tidak akan mengenali hasil dari mutant-mutant virus tersebut. Virus akan berlipat ganda tanpa dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh. 7. Pemikiran Tentang Potensi Pengobatan Berdasarkan model yang telah dikembangkan sebelumnya Nowak dan koleganya mencoba memikirkan tentang potensi pengobatan HIV/AIDS. Nowak melihat dari hasil simulasi bahwa seseorang yang mempunyai sistem kekebalan tubuh yang mampu secara stabil mengenali satu atau beberapa epitope mempunyai kemungkinan mampu mengontrol virus lebih baik daripada seseorang yang mampu merespon jumlah epitope yang banyak. Nowak juga menyatakan perlunya studi yang mendalam mengenai HLA dengan segera, karena pada bagian ini merupakan titik entry dari sistem penyerangan HIV terhadap sistem kekebalan tubuh. Jika hal ini dapat segera diketahui maka proses pencegahan dan penyembuhan HIV/AIDS merupakan keniscayaan. Nowak juga menyatakan bahwa jika sudah berhasil dikembangkan sebuah model kerja penyakit HIV secara akurat, maka akan berimplikasi terhadap pengembangan vaksin untuk penyembuhan dan pencegahan. Nowak juga menyarankan dalam pengobatan tidak hanya single therapy tetapi multy therapy, karena kemampuan virus dalam bermutasi yang luar biasa tinggi. 8. Suatu Pandangan yang Luas Tentang Dinamika HIV Temuan dari studi klinis dan simulasi matematika menunjukan replikasi secara masive dalam inveksi para penderita, HIV bermutasi dengan sangat cepat dan menghasilkan sekian banyak keragaman populasi virus. Mutant-mutant ini mampu menghindari serangan dari sistem kekebalan tubuh dan muncul secara dominant sampai dengan sistem kekebalan tubuh mampu bangkit kembali. Namun setiap mutant yang berhasil meloloskan diri dari pembunuhan sistem kekebalan tubuh memulai menggandakan dirinya menjadi lebih banyak dengan varian-varian yang berbeda. Keadaan ini tentu saja menyebabkan sistem kekebalan tubuh berusaha menandai mulai awal setiap sel yang

terinveksi oleh HIV dan membunuhnya. Laju pertubuhan HIV yang tinggi menyebabkan ketidak seimbangan sistem kekebalan tubuh dengan jumlah populasi HIV, akibatnya sel HIV juga menginveksi sel-sel sistem kekebalan tubuh seperti helper sel, macrophage bahkan killer T sel, akibat dari hal ini sistem pertahanan tubuh juga menandai dirinya sendiri untuk dibunuh. Sehingga sistem kekebalan tubuh secara berangsur-angsur akan mengalami penurunan hingga sampai titik nol, keadaan ini disebut dengan AIDS.

B. PEMBAHASAN 1. Analisis Kritis Isi Artikel Isi artikel yang telah dipaparkan pada bagian pemaparan isi artikel sebelumnya secara umum (menurut saya) sangat menarik. Hanya saja ada beberapa hal yang harus mendapat catatan dan perhatian khusus, yaitu: Pada tulisan artikel ini, menurut saya ada mata rantai konsep yang terputus, sehingga pembaca dengan pengetahuan yang minim mengenai biologi dan virus HIV (seperti saya) akan kesulitan dalam memahaminya. seperti; bagaimana struktur HIV sebenarnya?, bagaimana daur hidup HIV sebenarnya?, apakah HIV berbeda dengan retrovirus lainnya?, bagaimanakah sistem kekebalan tubuh bekerja secara normal?. Hal-hal di atas merupakan pengetahuan pra-sarat yang harus diketahui oleh pembaca sebelum dapat memahami isi artikel ini. Tidak dibahasnya mata rantai konsep yang telah disebutkan, sebenarnya dapat dimaklumi mungkin penulis berasumsi bahwa pembaca telah mengetahui dan memahami hal-hal tersebut.

Pada halaman 43 dalam artikel, pada sub pokok bahasan evolutionary theory predict trouble dijelaskan penyebab utama sulitnya sistem kekebalan tubuh untuk membasmi virus HIV adalah kemampuan mutasi virus yang sangat tinggi sehingga sistem kekebalan tubuh kesulitan dalam mengenali HIV. Penjelasan pada bagian ini, kurang mampu menjelaskan secara gamblang/detail mengenai bagaimana proses penghindaran HIV terhadap kegiatan pembasmian sistem kekebalan tubuh, padahal pada bagian ini merupakan bagian yang terpenting dari isi artikel sebagaimana tersurat dalam judul artikel. Pada awalnya saya berharap mendapat kejelasan mengenai hal itu dari gambar HIV versus Immune system yang divisualisasikan dalam artikel, setelah saya cermati, ternyata gambar tersebut tidak menggambarkan sedikitpun bagaimana HIV menghindari kegiatan pembasmian oleh sistem kekebalan tubuh. Gambar tersebut justru lebih banyak menceritakan siklus hidup virus HIV. Sedangkan proses mutasi HIV yang merupakan pemicu HIV viral tidak dikenali sistem kekebalan tubuh tidak digambarkan sedikitpun oleh penulis. Pada halaman 44 dalam artikel, pada sub pokok bahasan a Sceneario Disease Progresion, penulis membuat simulasi komputer mengenai skenario

perkembangan penyakit, dengan menggunakan asumsi basis data perkembangan (replikasi) HIV/AIDS yang tidak dijelaskan (disebutkan) secara jelas, padahal (menurut saya) asumsi basis data ini sangat penting, karena berkaitan dengan kemampuan memprediksi perkembangan viral HIV selanjutnya. Saya menduga (berdasarkan tulisan pada bagian lain (hal 46 alinea 2 dalam artikel) bahwa asumsi yang digunakan adalah perkembangan viral HIV secara eksponensial, jika dugaan saya benar maka temuan (hasil) simulasi hanya dapat digunakan untuk kasus HIV/AIDS dimana penderita tidak mengalami treatment/pengobatan sama sekali. Karena dengan adanya pengobatan atau treatment, maka asumsi perkembangan eksponensial menjadi gugur. Sebagai ilustrasi untuk hal ini; mengestimasi/memprediksi penduduk pada tahun tertentu, berdasarkan data penduduk dari tahun ke tahun kita bisa memprediksi penduduk pada tahun ke-n, namun dengan asumsi rata-rata pertumbuhan yang sama (r yang sama), jika pada rentang waktu ke-n tersebut terjadi kejadian luar biasa yang berkaitan dengan bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk secara ekstrim (misal; tsunami, peperangan yang banyak memakan korban) maka hasil/produk estimasi menjadi tidak tepat lagi. Fenomena ini juga berlaku bagi kasus simulasi yang dikembangkan oleh Nowak, yaitu hanya berlaku pada penderita HIV yang tidak mengalami pengobatan apapun. Berdasarkan catatan-catatan di atas, untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif perlu dibahas dan dijawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada poinpoin analisis kritis di atas, dengan menggunakan sumber-sumber artikel dan tulisantulisan dari ahli lain yang menunjang. Berkaitan dengan catatan analisis kritis nomor 1, maka akan dibahas hal-hal sebagai berikut; 1) bagaimana struktur HIV, 2) bagaimana daur hidup HIV, 3) bagaimana kerja sistem kekebalan tubuh. Berkaitan dengan catatan analisis kritis pada nomor 2 akan dibahas; 4) bagaimana HIV menghindari pembasmian kekebalan tubuh lewat mutasi, 5) mengapa masa inkubasi HIV berbeda dari penderita satu kependerita lain (bagaimana HIV menyebabkan fullblown AIDS). Sedangkan catatan analisis kritis pada nomor 3 tidak dibahas secara khusus, karena menurut saya catatan tersebut sudah cukup jelas. 2. Pembahasan Terhadap Analisis Kritis Isi Artikel a. Struktur HIV AIDS disebabkan oleh sebuah virus. Ukuran virus penyebab AIDS berukuran sepersepuluh ribu milimeter. Virus penyebab AIDS pertama kali ditemukan oleh Luc Montagnier dari Institute Pasteur Paris di Prancis pada tahun 1983, Montagnier berhasil mengisyaratkan ada suatu virus di dalam darah penderita AIDS dan menamakan virus tersebut Limphadenopaty Associated Virus (LAV). Satu tahun kemudian, tepatnya pada bulan mei 1984 seorang ahli dari Amerika Serikat yang bernama Robert Galo dari

National Cancer Institute, berhasil menemukan virus serupa yang ia berinama Human T Cell Lympotropic Virus (HTLV). (Morthesen dan Krier, 2007). Agar tidak terus-menerus menjadi pertentangan mengenai nama virus tersebut pada bulan Mei 1986 WHO melalui komite Taksonomi Internasional memberi nama virus penyebab AIDS ini dengan nama HIV (Human Immunodeviciency Virus), yang digolongkan dalam famili retroviridae, nama ini diberikan pada jenis virus yang mempunyai kemampuan yang unik yaitu mampu menstransfer informasi genetik dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebur reverse transcriptase. (Sardjito, 1994). Lebih lanjut dijelaskan, karena HIV mempunyai kemampuan replikasi balik, menyebabkan virus mempunyai kemampuan menyandera sel inang untuk digunakan sebagai mesin replikatif dalam memproduksi dirinya sendiri, maupun zat yang diinginkan oleh virus itu sendiri (Volker, 1993). Menurut Volker (1993), secara umum struktur virus HIV dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian selubung (envelope) dan bagian inti (core). Lihat Gambar 7, pada bagian envelope tersusun oleh lapisan lipid bilayer yang serupa dengan plasma membran pada sel manusia, dan memang merupakan derivat dari plasma membran sel pada manusia. Lapisan membran ini terdiri dari tiga protein yang melengkapi bagian envelope yaitu; 1) trans-membrane protein (TM; gp 41), 2) the knob, seperti pada protein permukaan (SU; gp 120) dan bagian luar, 3) matrik protein (MA; p17) pada bagian dalam. Maksud dari (p) adalah melambangkan protein, (gp) melambangkan glycoprotein, angka yang mengikuti adalah perkiraan ukuran molekular dari protein dalam kilo dalton yang ditentukan dari elektophoresis. Bagian kedua dari struktur HIV adalah bagian core (inti). Pada bagian ini berbentuk roughly bullet, dengan bagian luar skin dibentuk dari protein capsid (CA; p24), pada bagian dalam ada dua molekul RNA, setiap RNA dilapisi oleh nucleo-casid protein (NC; p7). Ada tiga enzim berasosiasi dengan RNA-NC complex, yaitu enzim protease (PR; p11), reverse transcriptase (RT; p66), integrase (IN; p32), virus juga mempunyai protein-protein lain yang fungsinya belum teridentifikasi.

Gambar 7. Struktur HIV (Sumber: Volker, 1993)

b. Daur Hidup Virus HIV Proses infeksi HIV pada sel manusia diawali dengan pengikatan the knob (SU) protein pada reseptor sel inang CD4 (Cluster of Differentiation) (Volker, 1993). Protein SU dengan gp 120 mengandung delapan belas residu asam amino sistein. Residu asam amino ini dapat membentuk ikatan disulfida dengan sel inang, sehingga dapat membentuk ikatan yang sangat kuat antara HIV dengan sel inang (Putney dalam Senam, 1999). Selanjutnya trans membran protein (TM) menetrasi (penetrates) sel membran inang, dan kemudian proses selanjutnya terjadi membran fusi di antara keduanya, keadaan ini membuka jalan inti virus masuk ke dalam sel . Setelah inti virus masuk ke dalam sel, maka prosews produksi DNA dari RNA viral dimulai. Langkah pertama yang dilakukan oleh HIV adalah, nucleocapsid (NC) protein harus dirubah (dipecah) untuk memberikan akses kepada RNA virus dengan reverse transcriptase (RT) enzim. Fakta secara invitro, menunjukkan ada hubungan antara pembelahan Nucleocapsid (NC) dengan kehadiran Protease Protein (PR). Langkah

selanjutnya

enzim

reverse

transcriptase

mengkatalis

terjadinya

polimerisasi

deoksinukleotida pada cetakan RNA, dan menghasilkan single strand DNA, setelah sintesis terjadi secara lengkap dihasilkan DNA strand lengkap (double strand DNA) yang kemudian ditransportasikan menuju inti sel inang. Pada saat ini enzim integrase (IN) juga ditransportasikan ke dalam inti sel inang, untuk membantu memasukkan (mengintegrasikan) DNA viral ke dalam DNA sel inang. Hasil akhir dari integrasi DNA viral dengan DNA sel inang disebut dengan provirus (Volker, 1993). Pada tahap selanjutnya adalah proses sabotase sel inang oleh virus HIV. Sel inang dimanfaatkan oleh virus sebagai mesin replikatif untuk memproduksi dirinya sendiri, yang kemudian meninggalkan sel inang untuk mencari korban sel yang lain. Secara lebih jelas daur hidup virus HIV dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.

Gambar 8. Siklus Hidup HIV c. Bagaimana Kerja Sistem Kekebalan Tubuh Secara singkat, bila kita berbicara tentang sistem kekebalan tubuh, selalu tidak terlepas dari kehadiran sel darah putih (lympocytes), lympocytes ini mampu mengenali secara spesifik zat asing yang masuk ke dalam tubuh ( patogen). Jika patogen spesifik masuk ke dalam tubuh, patogen ini akan difagosit oleh tipe lain dari sel darah putih yang disebut dengan macrophage, kemudian macrophage ini akan menelan spesifik patogen tersebut dan memotong-motongnya menjadi potongan-potongan kecil yang biasa disebut dengan antigen. Potongan-potongan kecil ini (antigen) dibawa pada lekukan dalam protein yang

dikenal dengan HLAs (Human Leucocyte Antigen) dan ditampilkan dalam membran macrophage. Spesifik T limpocytes yang dikenal dengan T helper sel kemudian mengenali antigen ini. Diaktivasinya T helper sel ini menyebabkan ia membelah secara cepat, dan menghasilkan jumlah sel yang identik dan mempunyai kemampuan mengenal antigen yang sama. Menurut McMichael (1996), langkah selanjutnya, akibat aktivasi sel helper akan mengaktifkan sel lain yaitu; B sel (B limfosit) dan killer sel (Cytotoxic T cell) dan Tdth (delayed type hiper sensitive cells). B sel berperan dalam pembentukan antibodi, sedangkan killer T sel akan berikatan dengan body sel yang terinfeksi oleh patoghen dan kemudian akan membunuhnya dengan mengeluarkan toksin. Sedangkan Tdth menyebabkan tipe alergi jika terdapat patoghen atau substansi asing. Secara lebih jelas sistem kerja sistem immune dapat dilihat pada Gambar 9 berikut:

Gambar 9. Kerja Sistem Kekebalan Tubuh (Sumber: http://www.hhmi.org) 5. Bagaimana HIV Menghindari Pembasmian Sistem Immune Berdasarkan penjelasan Nowak (dalam artikel yang saya angkat), kemampuan HIV menghindari pembasmian oleh sistem kekebalan tubuh dijelaskan melalui teori evolusi, terutama yang berkaitan dengan konsep mutasi yang kemudian diturunkan kepada turunanya. Nowak menduga, penghindaran HIV dari kegiatan pembasmian sistem immune melalui proses mutasi dimulai pada saat transkripsi balik untuk meng-copy genom RNA

menjadi double strand DNA sampai dengan pengubahan kembali DNA menjadi RNA. Pada saat DNA dimasukan ke dalam sekumpulan kromosom inang, yang kemudian terjadi proses pembajakan oleh virus untuk memproduksi dirinya sendiri, pada saat rangkaian proses ini mutasi mudah terjadi, karena proses ini agak mudah rusak. Dari penjelasan Nowak diketahui bahwa setiap enzim meng- copy balik dari DNA ke RNA virus kembali, rata-rata RNA baru ini mempunyai bentuk tampilan yang berbeda sama sekali dari generasi sebelumnya, karena pola inilah virus HIV dikenal dengan virus yang mudah berubah. Penjelasan Nowak ini (menurut saya) sangat bagus, namun sayang tidak dijelaskan kelanjutannya terutama dihubungkan dengan kerja sistem kekebalan tubuh, sehingga virus bisa menghindar dari proses pembasmian. Tertarik dengan hal di atas, saya mencoba mencari literatur lain yang dapat menjelaskan proses tersebut. Salah satu artikel yang mampu menjelaskan dengan sangat baik mengenai hal ini adalah artikel dari Andrew McMichael (1996), yang sebenarnya juga salah satu anggota penulis artikel yang saya angkat, berjudul How HIV Fools The Immune System, artikel ini saya unduh dari Uraian http://www.tulane.edu/~dmsander/www/335/McMichael/McMichael.html. kekebalan tubuh, sebagian besar informasi berasal dari artikel tersebut. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa, sejak sel inang diinfeksi oleh virus, maka macrophage akan memotong-motong viral protein menjadi potongan-potongan kecil yang disebut dengan antigen, yang kemudian akan ditampilkan pada HLA. Jika semua berjalan dengan baik helper sel akan menandainya dan mengaktivasi dua sel lain yaitu B sel untuk memproduksi antibodi, dan killer T sel untuk membunuh sel yang telah ditandai terinfeksi oleh virus. Akibat sebenarnya sel yang telah terinveksi virus ditandai untuk dibunuh oleh sel killer T sel untuk keberlangsungan sel lainnya. Berdasarkan penjelasan McMichael (1996) penandaan antigen ini merupakan proses yang harus selalu tepat, bila terjadi kesalahan, walaupun sedikit saja maka sistem kekebalan tubuh dalam keadaan berbahaya. Dasar inilah yang kemudian digunakan oleh McMichael menjelaskan mengapa HIV terlepas dari proses pembunuhan sistem kekebalan tubuh.

berikutnya mengenai penjelasan bagaimana HIV menghindari pembasmian sistem

Sayangnya (melanjutkan penjelasan Nowak sebelumnya) HIV merupakan virus yang mempunyai kemampuan berubah (bermutasi) yang sangat tinggi, sehingga ia menemukan jalan menggagalkan proses penandaan yang berunjung pada proses pembantaian ini. Pada kenyataanya perubahan kecil saja akibat mutasi yang telah dijelaskan sebelumnya, sudah mampu merubah struktur dari peptida virus, dan perubahan ini akan merusak fit antara peptida dengan HLA sehingga terjadi kegagalan penandaan. Hasilnya adalah petida viral menjadi tidak dikenali oleh killer Sel karena bentuk dan strukturnya telah berubah. Penjelasan ini secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11 berikut:

Gambar 10. Pembasmian Sel yang terinveksi HIV jika sistem kekebalan tubuh bekerja normal (sumber: http://www.tulane.edu)

Gambar 11. Kegagalan Proses Penandaan disebakan Rusaknya fit akibat Mutasi (bandingkan dengan gambar paling kiri) (sumber: http://www.tulane.edu).

6. Bagaimana HIV Menyebabkan Fullblown AIDS. Melanjutkan penjelasan sebelumnya, akibat kegagalan killer T sel merespon serangan HIV dan membunuh helper sel, menyebabkan virus mereplikasi diri dengan sangat cepat. Jika killer T sel mampu mengenali dan membunuh sel yang terinfeksi HIV, maka virus dapat dikontrol, namun hal ini akan berlangsung beberapa waktu saja; karena helper sel yang diinveksi oleh HIV juga akan dibunuh oleh killer T sel, dan yang menyedihkan pemeliharaan respon dari killer T sel tergantung pada helper sel, jika sel helper yang juga diserang oleh virus HIV ini juga harus dibunuh oleh killer sel, maka suatu saat kerja sistem pembasmian immune menjadi terganggu (lihat kembali bagaimana sistem immune bekerja). Rata-rata kegagalan ini dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk intrinsic aggresion seperti strain HIV, kesehatan individual, yang memberikan kemampuan untuk mereplenish stok helper sel dari respon killer sel. Kekuatan dari killer sel tergantung pada

besarnya mutasi virus. Penjelasan ini agaknya dapat menjelaskan bagaimana HIV menyebabkan AIDS, dan mengapa setiap orang berbeda-beda masa tunggu dari HIV menuju AIDS. Untuk lebih jelas penjelasan ini dapat divisualisasikan seperti pada Gambar 12 berikut.

Gambar 12. Bagaimana HIV Menyebabkan AIDS (sumber: http://www.tulane.edu)

C. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan pada bagian isi artikel dan pada bagian pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Infeksi HIV pada sel inang melalui mekanisme pengikatan HIV pada membran sel inang yang kemudian diikuti dengan dengan terintegrasinya DNA virus setelah replikasi dari RNA dengan katalis enzim reverse transcriptase kedalam genom sel inang, kemudian dilanjutkan dengan proses sabotase oleh virus untuk memproduksi dirinya sendiri HIV dapat menghindari sistem kekebalan tubuh, dengan memanfaatkan kemampuan mutasi mereka yang begitu cepat, sehingga mengubah struktur HIV yang berbeda dari satu dengan yang lainya, hal ini mengakibatkan sistem kekebalan tubuh kesulitan mengenalinya, sehingga gagal untuk dibasmi, sehingga jumlah virus meledak tajam untuk menginfeksi sel yang lain.

HIV dapat menginveksi sel limposit, seperti helper sel, sel makrophage dan sel sistem kekebalan tubuh lainnya, sehingga dapat mengakibatkan penurunan sistem kekebalan tubuh inang.

Anda mungkin juga menyukai