Anda di halaman 1dari 15

A. KAJIAN TENTANG INSEKTISIDA a.

Pengertian Insektisida Kata insektisida secara harfiah berarti pembunuh serangga, yang berasal dari kata insekta = serangga dan kata latin cida= pembunuh. Insektisida secara umum adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh serangga pengganggu (hama serangga). Insektisida merupakan salah satu jenis dari pestisida (pembunuh hama) sedangkan kelompok pestisida lainnya antara lain rodentisida (racun binatang pengerat), akarisida (racun tungau dan caplak), fungisida (racun cendawan), herbisida (racun gulma / tumbuhan pengganggu), dan lain-lain. b. Klasifikasi Insektisida Menurut cara kerja atau distribusinya didalam tanaman dibedakan menjadi tiga macam sebagai berikut: 1. Insektisida Sistemik Insektisida sistemik diserap oleh bagian-bagian tanaman melalui stomata, meristem akar, lentisel batang dan celahcelah alami. Selanjutnya insektisida akan melewati sel-sel menuju ke jaringan pengangkut baik xylem maupun floem. Insektisida akan meninggalkan residunya pada sel-sel yang telah dilewatinya. Melalui pembuluh angkut inilah insektisida ditranslokasikan ke bagian-bagian tanaman lainnya baik kearah atas (akropetal) atau ke bawah (basipetal), termasuk ke tunas yang baru tumbuh. Serangga akan mati apabila memakan bagian tanaman yang mengandung residu insektisida. 2. Insektisida Non-sistemik Insektisida non sistemik tidak dapat diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel pada bagian luar tanaman. Lamanya residu insektisida yang menempel pada permukaan tanaman tergantung jenis bahan aktif (berhubungan dengan presistensinya), teknologi bahan dan aplikasi. Serangga akan mati apabila memakan bagian tanaman yang permukaannya terkena insektisida. Residu insektisida pada permukaan tanaman akan mudah tercuci oleh hujan dan siraman, oleh karena itu dalam aplikasinya harus memperhatikan cuaca dan jadwal penyiraman.

3. Insektisida Sistemik Lokal Insektisida ini hanya mampu diserap oleh jaringan daun, akan tetapi tidak dapat ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya (efek translaminar). Insektisida yang jatuh ke permukaan atas daun akan menembus epidermis atas kemudian masuk ke jaringan parenkim pada mesofil (daging daun) dan menyebar ke seluruh mefosil daun (daging daun) hingga mampu masuk kedalam sel pada lapisan epidermis daun bagian bawah (permukaan daun bagian bawah). Menurut cara masuknya insektisida kedalam tubuh serangga dibedakan menjadi 3 kelompok sebagai berikut: 1. Racun Lambung (racun perut) Racun lambung atau perut adalah insektisida yang membunuh serangga sasaran dengan cara masuk ke pencernaan melalui makanan yang mereka makan. Insektisida akan masuk ke organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding usus kemudian ditranslokasikan ke tempat sasaran yang mematikan sesuai dengan jenis bahan aktif insektisida. Misalkan menuju ke pusat syaraf serangga, menuju ke organorgan respirasi, meracuni sel-sel lambung dan sebagainya. Oleh karena itu, serangga harus memakan tanaman yang sudah disemprot insektisida yang mengandung residu dalam jumlah yang cukup untuk membunuh. 2. Racun Kontak Racun kontak adalah insektisida yang masuk kedalam tubuh serangga melalui kulit, celah/lubang alami pada tubuh (trachea) atau langsung mengenai mulut si serangga. Serangga akan mati apabila bersinggungan langsung (kontak) dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut. 3. Racun Pernafasan Racun pernafasan adalah insektisida yang masuk melalui trachea serangga dalam bentuk partikel mikro yang melayang di udara. Serangga akan mati bila menghirup partikel mikro insektisida dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun pernafasan berupa gas, asap, maupun uap dari insektisida cair.

c.

Sifat Insektisida Terhadap Spesifikasi Cara Kerjanya 1. Untuk mengendalikan hama yang berada didalam jaringan tanaman (misalnya hama penggerek batang, penggorok daun) penanganannya dilakukan dengan insektisida sistemik atau sistemik lokal, sehingga residu insektisida akan ditranslokasikan ke jaringan di dalam tanaman. Akibatnya hama yang memakan jaringan didalam tanaman akan mati keracunan. Hama yang berada didalam tanaman tidak sesuai bila dikendalikan dengan aplikasi penyemprotan insektisida kontak, karena hama didalam jaringan tanaman tidak akan bersentuhan (kontak) langsung dengan insektisida. 2. Untuk mengendalikan hama-hama yang mobilitasnya tinggi (belalang, kutu gajah dll), penggunaan insektisida kontak murni akan kurang efektif, karena saat penyemprotan berlangsung, banyak hama tersebut yang terbang atau tidak berada di tempat penyemprotan. Namun, selang beberapa hari setelah penyemprotan, hama tersebut dapat kembali lagi. Pengendalian paling tepat yaitu dengan menggunakan insektisida yang memiliki sifat kontak maupun sistemik dengan efek residual yang agak lama. Dengan demikian apabila hama tersebut kembali untuk memakan daun, maka mereka akan mati keracunan. INSEKTISIDA KIMIA a. Jenis Insektisida Kimia Insektisida dapat kita bagi menurut sifat dasar senyawa kimianya yaitu dalam insektisida anorganik yang tidak mengandung unsur karbon dan insektisida organik yang mengandung unsur karbon. Insektisida lama yang digunakan sebelum tahun 1945 umumnya merupakan insektisida anorganik sedangkan insektisida modern setelah DDT ditemukan umumnya merupakan insektisida organik. Insektisida organik masih dapat dibagi menjadi insektisida organik alami dan insektisida organik sintetik. Insektisida organik alami merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman (insektisida botanik) dan bahan alami lainnya. Sedangkan insektisida sintetik merupakan hasil kimia pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi.

B.

Insektisida modern pada umumnya merupakan insektisida organik sintetik. Pembagian menurut sifat kimia yang lebih tepat adalah menurut komposisi atau susunan senyawa kimianya. Pembagian insektisida organik sintetik menurut susunan kimia bahan aktif (senyawa yang memiliki sifat racun) terdiri dari 4 kelompok besar, antara lain: 1. Organoklorin (OC) Organoklorin atau sering disebut Hidrokarbon Klor merupakan kelompok insektisida sintetik yang pertama dan paling tua dan dimulai dengan ditemukannya DDT oleh Paul Mueller (Swiss) pada tahun 1940-an. DDT dalam sejarah kemanusiaan menjadi insektisida yang paling kontroversial karena di satu pihak merupakan insektisida sintetik pertama yang diproduksi besar-besaran dan jasanya sangat besar bagi kemanusiaan. PM Churchill pernah menyebut DDT sebagai Serbuk Ajaib. Di sisi lain karena dampaknya yang membahayakan kepada lingkungan hidup, Rachel Carson pada tahun 1962 menyebut DDT sebagai Minuman Kematian. Setelah DDT, kemudian berhasil dikembangkan banyak jenis insektisida yang mirip dengan DDT dan kemudian dikelompokkan dalam golongan Hidrokarbon Klor. Semua insektisida dalam kelompok ini mengandung Klorin, Hidrogen dan Karbon. Kadang-kadang ada juga yang mengandung Oksigen dan Sulfur. Insektisida OC merupakan racun kontak dan racun perut, efektif untuk mengendalikan larva, nimfa dan imago dan kadang-kadang untuk pupa dan telur. Cara kerja (Mode of Action) OC belum diketahui secara lengkap. Secara umum dapat dikatakan bahwa keracunan serangga oleh insektisida tersebut ditandai dengan terjadinya gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan terjadinya hiperaktivitas, gemetaran, kejang-kejang dan akhirnya terjadi kerusakan syaraf dan otot serta kematian. Insektisida golongan OC pada umumnya memiliki toksisitas sedang untuk mamalia. Masalah yang paling merugikan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat adalah sifat persistensinya yang sangat lama di lingkungan

baik di tanah maupun di dalam jaringan tanaman dan dalam tubuh hewan. Misalnya DDT di daerah Subtropis dalam kurun waktu 17 tahun residunya masih 39% di dalam tanah, sedangkan residu Endrin setelah 14 tahun masih dijumpai 40%. Persistensi OC di lingkungan menimbulkan dampak negatif seperti perbesaran hayati dan masalah keracunan kronik yang membahayakan kesehatan masyarakat. Masalah lain yang timbul adalah berkembangnya sifat resistensi serangga hama sasaran seperti nyamuk dan lalat terhadap DDT. Oleh karena bahayanya insektisida golongan Organoklorin sejak tahun 1973 dilarang penggunaannya untuk hama pertanian di Indonesia kecuali Endosulfan dan Dieldrin yang diijinkan secara terbatas untuk pengendalian rayap, namun sayangnya penggunaan DDT untuk sektor kesehatan masih dianjurkan secara terbatas sampai akhir tahun 1991. Kelompok Organoklorin masih dapat dibagi menjadi 3 subkelompok yaitu, pertama DDT dan senyawa dekatnya seperti Metoksiklor, Dikofol, BHC, atau HCH; kedua adalah Siklodien yang terdiri dari Aldrin, Endrin, Dieldrin, Klordan, Heptaklor dan Endosulfan. Ketiga, adalah terpene Klor seperti Toksafena. 2. Organophosphat (OP) Insektisida OP dengan unsur P sebagai inti yang aktif saat ini merupakan kelompok insektisida yang terbesar dan sangat bervariasi jenis dan sifatnya. Saat ini telah tercatat sekitar 200 ribu senyawa OP yang pernah dicoba dan diuji untuk mengendalikan serangga. OP merupakan insektisida yang sangat beracun bagi serangga dan bersifat baik sebagai racun kontak, racun perut maupun fumigan. Berbeda dengan OC, senyawa OP di lingkungan kurang stabil sehingga lebih cepat terdegredasi dalam senyawa-senyawa yang tidak beracun. Daya racun OP mampu menurunkan populasi serangga dh cepat, persistensinya di lingkungan sedang sehingga OP secara bertahap dapat menggantikan insektisida OC. Sampai saat ini

OP masih merupakan kelompok insektisida yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Kebanyakan insektisida OP adalah penghambat bekerjanya enzim asetilkolinesterase. Kita ketahui bahwa dalam sistem syaraf serangga antara sel syaraf atau neuron dengan sel-sel lain termasuk sel otot terdapat celah yang disebut Sinapse. Enzim Asetilkolin yang dibentuk oleh sistem syaraf pusat berfungsi untuk mengantarkan pesan atau impuls dari sel syaraf ke sel otot melalui sinapse. Setelah impuls diantarkan ke sel-sel otot proses penghantaran impuls tersebut dihentikan oleh karena bekerjanya enzim lain yaitu enzim asetilkolinestarase. Dengan enzim tersebut asetilkolin dipecah menjadi asam asetat dan kolin. Adanya asetilcolinesterase menyebabkan sinapse menjadi kosong lagi sehingga pengantaran impuls berikutnya dapat dilakukan. Insektisida OP menghambat bekerjanya enzim asetilkolinesterase yang berakibat terjadi penumpukan asetilkolin dan terjadilah kekacauan pada sistem penghantaran inpuls ke sel-sel otot. Keadaan ini menyebabkan pesan-pesan berikutnya tidak dapat diteruskan, otot kejang dan akhirnya terjadi kelumpuhan (paralisis) dan kematian. OP memiliki berbagai bentuk alkohol yang melekat pada atom-atom P dan berbagai bentuk ester asam fosforik. Ester-ester ini mempunyai kombinasi oksigen, karbon, sulfur dan Nitrogen. OP yang dikembangkan dari kombinasi ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok derivat yaitu : Alifatik, Fenil, dan Heterosiklik. Derivat Alifatik strukturnya ditandai oleh senyawa dengan rantai karbon yang lurus dan tidak berbentuk cincin. Derivat Alifatik meliputi insektisida-insektisida antara lain TEPP, Malathion, Dimetoat, Dikrotofos, Mitamidofos, Asefat, dan lain-lain. Derivat Fenil terlihat dari adanya cincin-cincin fenil dimana salah satu H ditempati oleh moiety P sedangkan lainnya (satu atau lebih) diganti oleh CH3, Cl, CN, NO2 atau S. Stabilitas derivat ini lebih besar daripada derivat Alifatik sehingga residunya dapat lebih lama di lingkungan.

Insektisida OP yang termasuk derivat fenil adalah Metil Parathion, Paration, Fention, Fonofos, dan lain-lain. Derivat Heterosiklik seperti fenil mereka memiliki bangunan rantai tetapi perbedaannya satu atau beberapa atom C ditempati oleh O, N atau S. Juga bangunan rantai dari kelompok ini mempunyai 3,5 atau 6 atom. Senyawa-senyawa kelompok ini paling stabil dan lama bertahan di lingkungan. Yang termasuk derivat ini antara lain Klorpirifos, Fention, Temephos, metidation dan lain-lain. 3. Carbamat Karbamat merupakan insektisida yang berspektrum lebar dan telah banyak digunakan secara luas untuk pengendalian hama. Golongan ini relatif baru jika dibandingkan 2 kelompok insektisida sebelumnya (OC dan OP). Semua insektisida Karbamat mempunyai bangunan dasar asam karbamat. Cara karbamat mematikan serangga sama dengan golongan OP yaitu melalui penghambatan aktivitas enzim kolinesterase pada sistem syaraf. Perbedaannya bahwa pada karbamat penghambatan enzim kolinesterase-nya bersifat bolak-balik (resersible) sedangkan pada OP tidak bolak balik. Insektisida tersebut cepat terurai dan hilang daya racunnya dari tubuh binatang sehingga tidak terakumulasi dalam jaringan lemak atau susu seperti OC. Beberapa karbamat memiliki toksisitas rendah bagi mamalia tetapi ada yang sangat beracun. Contoh insektisida golongan karbamat adalah Aldikarb, Metiokarb, Metomil, Propoxur, dan lain-lain. 4. Piretroid Sintetik (SP) Piretroid merupakan kelompok insektisida organik sintetik konvensional yang paling baru, digunakan secara luas sejak tahun 1970-an dan saat ini perkembangannya sangat cepat. Keunggulan SP karena memiliki pengaruh knock down atau mematikan serangga dengan cepat. Tingkat toksisitas rendah bagi manusia. Kelompok SP merupakan tiruan dari bahan aktif insektisida botani Piretrum yaitu Sinerin I yang berasal dari bunga Chrysanthenum cinerariaefolium. Sebagai insektisida botani piretrum memiliki keunggulan yaitu daya knockdown

yang tinggi tetapi sayangnya di lingkungan bahan alami ini tidak bertahan lama karena mudah terurai oleh sinar ultraviolet. Kecuali itu penggunaan di lapangan kurang praktis dan mahal karena piretrum harus dahulu diekstrasi dari bunga chrisantenum. Dari rangkaian penelitian kimiawi dengan melakukan sintesis terhadap susunan kimia piretrum dapat diperoleh bahan kimiawi yang memiliki sifat insektisidal mirip dengan piretrum dan bahan tersebut mempunyai kemampuan untuk bertahan lebih lama di lingkungan serta dapat diproduksi di pabrik. Jenis insektisida kimia yang mirip piretrum diberi nama pirethrin yang kemudian menjadi modal dasar bagi pengembangan insektisida golongan SP lainnya. Insektisida SP seringkali dikelompokkan menurut generasi perkembangannya di laboratorium. Biasanya, generasi yang lanjut merupakan perbaikan sifat SP generasi sebelumnya. Sasaran perkembangan SP kecuali sifat-sifat yang disebutkan diatas juga mencari dosis aplikasi yang sekecil mungkin dengan kemampuan mematikan serangga hama setinggi mungkin sehingga diperoleh efisiensi ekonomis yang tinggi. Sampai saat ini sudah dikenal 4 generasi SP. Salah satu anggota generasi pertama adalah Allethrin.Generasi kedua adalah Resmethrin. Generasi ketiga adalah Fenvalerate dan Permethrin. Generasi keempat adalah cypermethrin, fluvalinat dan Deltamethrin dan lain-lain. Meskipun daya mematikan SP sangat tinggi dan sangat sedikit menghadapi permasalahan lingkungan, namun insektisida ini menghadapi masalah utama yaitu percepatan perkembangan strain hama baru yang tahan terhadap insektisida SP. 5. Fumigan Fumigan sangat mudah menguap, kebanyakan mengandung satu atau lebih gas halogen yaitu Cl, Br dan F. Banyak yang sangat beracun bagi serangga hama sehingga dapat membunuh serangga di ruang tertutup. Oleh karena itu fumigan banyak digunakan untuk mengendalikan hama simpanan/gudang, hama rumah kaca, dan rayap. Beberapa fumigan juga digunakan untuk perlakuan tanah.

Beberapa contoh fumigan Kloropikrin, Naftalena, dan lain-lain.

antara

lain

CH3Br,

B.
1. 2.

Kekurangan Hama menjadi kebal (resisten) Peledakan hama baru (resurjensi) Penggunaan insektisida yang berlebihan justru mengakibatkan hama kebal terhadap insektisida sehingga terjadi resurjensi. Penumpukan residu bahan kimia di dalam hasil panen Terbunuhnya musuh alami Musuh-musuh alami seperti tikus yang mampu membunuh serangga justru mati karena insektisida buatan. Hal itu membuat eksistensi serangga meningkat sedangkan jumlah musuh alami menurun. Pencemaran lingkungan (air dan tanah ) oleh residu bahan kimia Residu yang tertinggal menyebabkan turunnya populasi hewan tanah. Hal itu berakibat pada berkurangnya tingkat kesuburan tanah. Tak jauh berbeda, lingkungan perairan yang tercemar menyebabkan satwa yang hidup di dalam dan sekitarnya turut tercemar bahkan insektisida yang dikonsumsi oleh ikan membuat manusia yang memakan ikan-ikan tersebut terserang penyakit atau kematian. Contoh : kematian 13 orang di Aceh Utara akibat mengkonsumsi tiram (Ostrea culcullata) yang tercemar pestisida. Pencemaran itu menurut Kompas 10 Mei 1993 berasal dari tambak udang yang menggunakan Brestan untuk membunuh siput dan hama yang memakan benur. Tidak ramah lingkungan Harganya mahal Membahayakan kesehatan manusia Jika manusia mengkonsumsi makanan yang mengandung residu pestisida dengan kadar 100 g setiap hari maka dalam setahun manusia mengkonsumsi bahan aktif pestisida sekitar 5,5-12,75 g setara dengan liter atau kaleng racun nyamuk yang jika diminum dapat menimbulkan kematian. Contoh: Widjanarka dari kelompok relawan anti penyalahgunaan pestisida menuturkan bahwa kubis di daerah Cipanas mengandung pestisida sejenis paration

6. Minyak Minyak tanah sejak abad ke 18 telah digunakan untuk mengendalikan serangga yang merugikan manusia antara lain untuk nyamuk dan hama buah-buahan. Masalah utama yang dihadapi dalam penggunaan minyak tanah adalah fitotoksisitasnya yang tinggi. Oleh karena itu sebelum digunakan minyak tanah harus disuling lebih dahulu dengan tehnik tertentu. Minyak tanah yang telah disuling efektif untuk pengendalian tungau, aphid dan kutu-kutu tanaman. 7. Insektisida Lain Masih banyak kelompok insektisida lain di luar yang telah disebutkan sebelumnya seperti Formamidin, Tiosianat, Organotin dan lain-lain. Termasuk dalam kelompok ini adalah insektisida Anorganik yang sudah lama tidak digunakan lagi setelah adanya insektisida organik sintetik. Termasuk dalam Anorganik adalah Kalium Arsenat, Pb Arsenat, Kriolid dan Belerang. Umumnya insektisida tersebut adalah racun perut. Kelemahan insektisida anorganik adalah toksisitas tinggi untuk mamalia termasuk manusia, residu di lingkungan persisten, ftotoksisitas tinggi, masalah ketahanan hama terhadap insektisida dan efisikasinya lebih rendah bila dibandingkan insektisida organik sintetik. b. Kelebihan dan Kelemahan Insektisida Kimia

3. 4.

5.

A.
1.

Kelebihan Mudah didapatkan di berbagai tempat Insektisida dapat dibeli dimana saja bahkan pemerintahpun memberi subsidi biaya penggunaan pestisida. Zatnya lebih cepat bereaksi pada tanaman yang diberi pestisida Kemasan lebih praktis Bersifat tahan lama untuk disimpan Daya racunnya tinggi (langsung mematikan bagi serangga)

2.
3. 4. 5. 6.

6. 7. 8.

9.

20-29 ppm serta kubis dan sawi di daerah Sukabumi juga mengandung pestisida jenis paration 20-29 ppm. Matinya organisme yang berguna Insektisida dapat membunuh hewan-hewan tanah yang bermanfaat dalam proses menyuburkan tanah.

c. Akibat Pemakaian Insektisida Kimia Yang Berlebihan Memang kita akui, insektisida banyak memberi manfaat dan keuntungan. Diantaranya, cepat menurunkan populasi jasad penganggu tanaman dengan periode pengendalian yang lebih panjang, mudah dan praktis cara penggunaannya, mudah diproduksi secara besar-besaran serta mudah diangkut dan disimpan. Manfaat yang lain, secara ekonomi penggunaan insektisida relatif menguntungkan. Namun, bukan berarti penggunaan insektisida tidak menimbulkan dampak buruk. Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian insektisida, khususnya insektisida sintetis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi pertanian, terselubung bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri, bahaya insektisida semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan insektisida yang tidak bijaksana. Kerugian berupa timbulnya dampak buruk penggunaan insektisida, dapat dikelompokkan atas 3 bagian, antara lain: 1. Pengaruh Negatif Insektisida Terhadap Kesehatan Manusia Insektisida secara harfiah berarti pembunuh hama, berasal dari kata pest dan sida. Pest meliputi hama penyakit secara luas, sedangkan sida berasal dari kata caedo yang berarti membunuh. Pada umumnya insektisida, terutama insektisida sintesis adalah biosida yang tidak saja bersifat racun terhadap jasad pengganggu sasaran. Tetapi juga dapat bersifat racun terhadap manusia dan jasad bukan target termasuk tanaman, ternak dan organisma berguna lainnya. Apabila penggunaan insektisida tanpa diimbangi dengan perlindungan dan perawatan kesehatan, orang yang sering berhubungan dengan insektisida, secara lambat laun akan mempengaruhi kesehatannya. Insektisida meracuni

manusia tidak hanya pada saat insektisida itu digunakan, tetapi juga saat mempersiapkan, atau sesudah melakukan penyemprotan. Kecelakaan akibat insektisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami oleh orang yang langsung melaksanakan penyemprotan. Mereka dapat mengalami pusing-pusing ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau muntah-muntah, mulas, mata berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi luka, kejang-kejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian. Kejadian tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan kerja dan kurangnya kesadaran bahwa insektisida adalah racun. Kadang-kadang para petani atau pekerja perkebunan, kurang menyadari daya racun insektisida, sehingga dalam melakukan penyimpanan dan penggunaannya tidak memperhatikan segi-segi keselamatan. Insektisida sering ditempatkan sembarangan, dan saat menyemprot sering tidak menggunakan pelindung, misalnya tanpa kaos tangan dari plastik, tanpa baju lengan panjang, dan tidak mengenakan masker penutup mulut dan hidung. Juga cara penyemprotannya sering tidak memperhatikan arah angin, sehingga cairan semprot mengenai tubuhnya. Bahkan kadang-kadang wadah tempat insektisida digunakan sebagai tempat minum, atau dibuang di sembarang tempat. Kecerobohan yang lain, penggunaan dosis aplikasi sering tidak sesuai anjuran. Dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang-kadang ditingkatkan hingga melampaui batas yang disarankan, dengan alasan dosis yang rendah tidak mampu lagi mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Secara tidak sengaja, insektisida dapat meracuni manusia atau hewan ternak melalui mulut, kulit, dan pernafasan. Sering tanpa disadari bahan kimia beracun tersebut masuk ke dalam tubuh seseorang tanpa menimbulkan rasa sakit yang mendadak dan mengakibatkan keracunan kronis. Seseorang yang menderita keracunan kronis, ketahuan setelah selang waktu yang lama, setelah berbulan atau bertahun. Keracunan kronis akibat insektisida saat ini paling ditakuti,

karena efek racun dapat bersifat carsinogenic (pembentukan jaringan kanker pada tubuh), mutagenic (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), dan teratogenic (kelahiran anak cacad dari ibu yang keracunan). Insektisida dalam bentuk gas merupakan insektisida yang paling berbahaya bagi pernafasan, sedangkan yang berbentuk cairan sangat berbahaya bagi kulit, karena dapat masuk ke dalam jaringan tubuh melalui ruang pori kulit. Menurut World Health Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per tahun, mati akibat keracunan insektisida. Diperkirakan 5.000-10.000 orang per tahun mengalami dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver. Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan peringatan keras untuk produksi insektisida sintesis. Saat itu, bahan kimia Metil Isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi insektisida sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi insektisida sintesis. Selain keracunan langsung, dampak negatif insektisida bisa mempengaruhi kesehatan orang awam yang bukan petani, atau orang yang sama sekali tidak berhubungan dengan insektisida. Kemungkinan ini bisa terjadi akibat sisa racun (residu) insektisida yang ada didalam tanaman atau bagian tanaman yang dikonsumsi manusia sebagai bahan makanan. Konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut, tanpa sadar telah kemasukan racun insektisida melalui hidangan makanan yang dikonsumsi setiap hari. Apabila jenis insektisida mempunyai residu terlalu tinggi pada tanaman, maka akan membahayakan manusia atau ternak yang mengkonsumsi tanaman tersebut. Makin tinggi residu, makin berbahaya bagi konsumen. Dewasa ini, residu insektisida di dalam makanan dan lingkungan semakin menakutkan manusia. Masalah residu ini, terutama terdapat pada tanaman sayur-sayuran seperti kubis, tomat, petsai, bawang, cabai, anggur dan lain-

lainnya. Sebab jenis-jenis tersebut umumnya disemprot secara rutin dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi, bisa sepuluh sampai lima belas kali dalam semusim. Bahkan beberapa hari menjelang panenpun, masih dilakukan aplikasi insektisida. Publikasi ilmiah pernah melaporkan dalam jaringan tubuh bayi yang dilahirkan seorang Ibu yang secara rutin mengkonsumsi sayuran yang disemprot insektisida, terdapat kelainan genetik yang berpotensi menyebabkan bayi tersebut cacat tubuh sekaligus cacat mental. Belakangan ini, masalah residu insektisida pada produk pertanian dijadikan pertimbangan untuk diterima atau ditolak negara importir. Negara maju umumnya tidak mentolerir adanya residu insektisida pada bahan makanan yang masuk ke negaranya. Belakangan ini produk pertanian Indonesia sering ditolak di luar negeri karena residu insektisida yang berlebihan. Media massa pernah memberitakan, ekspor cabai Indonesia ke Singapura tidak dapat diterima dan akhirnya dimusnahkan karena residu insektisida yang melebihi ambang batas. Demikian juga pruduksi sayur mayur dari Sumatera Utara, pada tahun 80an masih diterima pasar luar negeri. Tetapi kurun waktu belakangan ini, seiring dengan perkembangan kesadaran peningkatan kesehatan, sayur mayur dari Sumatera Utara ditolak konsumen luar negeri, dengan alasan kandungan residu insektisida yang tidak dapat ditoleransi karena melampaui ambang batas.. Pada tahun 1996, pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian sebenarnya telah membuat keputusan tentang penetapan ambang batas maksimum residu insektisida pada hasil pertanian. Namun pada kenyatannya, belum banyak pengusaha pertanian atau petani yang perduli. Dan baru menyadari setelah ekspor produk pertanian kita ditolak oleh negara importir, akibat residu insektisida yang tinggi. Diramalkan, jika masih mengandalkan insektisida sintesis sebagai alat pengendali hama, pemberlakuan ekolabelling dan ISO 14000 dalam era perdagangan bebas, membuat

produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dan tersisih serta terpuruk di pasar global. 2. Dampak Negatif Insektisida Terhadap Kualitas Lingkungan Masalah yang banyak diprihatinkan dalam pelaksanaan program pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah masalah pencemaran yang diakibatkan penggunaan insektisida di bidang pertanian, kehutanan, pemukiman, maupun di sektor kesehatan. Pencemaran insektisida terjadi karena adanya residu yang tertinggal di lingkungan fisik dan biotis disekitar kita. Sehingga akan menyebabkan kualitas lingkungan hidup manusia semakin menurun. Insektisida sebagai bahan beracun, termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pencemaran dapat terjadi karena insektisida menyebar melalui angin, melalui aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Residu insektisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa jenis insektisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun. Dari beberapa hasil monitoring residu yang dilaksanakan, diketahui bahwa saat ini residu insektisida hampir ditemukan di setiap tempat lingkungan sekitar kita. Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap organisma bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada lingkungan menjadi masalah. Residu insektisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun insektisida kemungkinan terdapat di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan. Aplikasi insektisida dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran insektisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi insektisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar insektisida yang

disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran. Pencemaran insektisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di dalam air pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air terjadi pengenceran, sebahagian ada yang terurai dan sebahagian lagi tetap persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap mengandung resiko mencemarkan lingkungan. Sebagian besar insektisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran air irigasi. Di dalam air, partikel insektisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-mikroplankton. Oleh karena insektisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan insektisida yang mengambang di dalam air. Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton. Dengan demikian insektisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang dimiliki insektisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila zooplanktonzooplankton tersebut dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi insektisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi insektisida di dalam tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan besar, akan menerima konsentrasi tertinggi dari insektisida tersebut. Model pencemaran seperti yang dikemukakan, terjadi melalaui rantai makanan, yang bergerak dari aras tropi yang terendah menuju aras tropi yang tinggi. Mekanisme seperti yang dikemukakan, diduga terjadi pada kasus pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi, yang menghebohkan sejak tahun lalu. Diduga logam-logam berat limbah sebuah industri PMA telah terakumulasi di perairan Teluk Buyat. Sekaligus mempengaruhi secara negatif biota perairan, termasuk ikanikan yang dikonsumsi masyarakat setempat.

Kasus pencemaran lingkungan akibat penggunaan insektisida dampaknya tidak segera dapat dilihat. Sehingga sering kali diabaikan dan terkadang dianggap sebagai akibat sampingan yang tak dapat dihindari. Akibat pencemaran lingkungan terhadap organisma biosfer, dapat mengakibatkan kematian dan menciptakan hilangnya spesies tertentu yang bukan jasad sasaran. Sedangkan kehilangan satu spesies dari muka bumi dapat menimbulkan akibat negatif jangka panjang yang tidak dapat diperbaharui. Seringkali yang langsung terbunuh oleh penggunaan insektisida adalah spesies serangga yang menguntungkan seperti lebah, musuh alami hama, invertebrata, dan bangsa burung. Di daerah Simalungun, diketahui paling tidak dua jenis spesies burung yang dikenal sebagai pengendali alami hama serangga, saat ini sulit diketemukan dan mungkin saja sedang menuju kepunahan. Penyebabnya, salah satu adalah akibat pengaruh buruk insektisida terhadap lingkungan, yang tercemar melalui rantai makanan. Spesies burung Anduhur bolon, disamping pemakan biji-bijian, juga dikenal sebagai predator serangga, khususnya hama Belalang (famili Locustidae) dan hama serangga Anjing Tanah (famili Gryllotalpidae). Untuk mencegah gangguan serangga Gryllotalpidae yang menyerang kecambah padi yang baru tumbuh, pada saat bertanam petani biasanya mencampur benih padi dengan insektisida organoklor seperti Endrin dan Diendrin yang terkenal sangat ampuh mematikan hama serangga. Jenis insektisida ini hingga tahun 60-an masih diperjual-belikan secara bebas, dan belum dilarang penggunaaanya untuk kepentingan pertanian. Akibat efek racun insektisida, biasanya 2-3 hari setelah bertanam serangga-serangga Gryllotalpidae yang bermaksud memakan kecambah dari dalam tanah, mengalami mati massal dan menggeletak diatas permukaan tanah. Bangkai serangga ini tentu saja menjadi makanan yang empuk bagi burung-burung Anduhur bolon, tetapi sekaligus mematikan spesies burung pengendali alami tersebut.

Satu lagi, spesies burung Tullik. Burung berukuran tubuh kecil ini diketahui sebagai predator ulat penggerek batang padi (Tryporiza sp). Bangsa burung Tullik sangat aktif mencari ulat-ulat yang menggerek batang padi, sehingga dalam kondisi normal perkembangan serangga hama penggerek batang padi dapat terkontrol secara alamiah berkat jasa burung tersebut. Tetapi seiring dengan pesatnya pemakaian insektisida, terutama penggunaan insektisida sistemik, populasi burung tersebut menurun drastis. Bahkan belakangan ini, spesies tersebut sulit diketemukan. Hilangnya spesies burung ini, akibat efek racun yang terkontaminasi dalam tubuh ulat padi, yang dijadikan burung Tullik sebagai makanan utamanya. Belakangan ini, penggunaan insektisida memang sudah diatur dan dikendalikan. Bahkan pemerintah melarang peredaran jenis insektisida tertentu yang berpotensi menimbulkan dampak buruk. Tetapi sebahagian sudah terlanjur. Telah banyak terjadi degradasi lingkungan berupa kerusakan ekosistem, akibat penggunaan insektisida yang tidak bijaksana. Salah satu contohnya adalah hilangnya populasi spesies predator hama, seperti yang dikemukakan diatas. 3. Insektisida Meningkatkan Perkembangan Populasi Jasad Penganggu Tanaman Tujuan penggunaan insektisida adalah untuk mengurangi populasi hama. Akan tetapi dalam kenyataannya, sebaliknya malahan sering meningkatkan populasi jasad pengganggu tanaman, sehingga tujuan penyelamatan kerusakan tidak tercapai. Hal ini sering terjadi, karena kurang pengetahuan dan perhitungan tentang dampak penggunaan insektisida. Ada beberapa penjelasan ilmiah yang dapat dikemukakan mengapa insektisida menjadi tidak efektif, dan malahan sebaliknya bisa meningkatkan perkembangan populasi jasad pengganggu tanaman. Berikut ini diuraikan tiga dampak buruk penggunaan insektisida, khususnya yang mempengaruhi peningkatan perkembangan populasi hama.

a. Munculnya Ketahanan (Resistensi) Hama Terhadap Insektisida Timbulnya ketahanan hama terhadap pemberian insektisida yang terus menerus, merupakan fenomena dan konsekuensi ekologis yang umum dan logis. Munculnya resistensi adalah sebagai reaksi evolusi menghadapi suatu tekanan (strees). Karena hama terus menerus mendapat tekanan oleh insektisida, maka melalui proses seleksi alami, spesies hama mampu membentuk strain baru yang lebih tahan terhadap insektisida tertentu yang digunakan petani. Pada tahun 1947, dua tahun setelah penggunaan insektisida DDT, diketahui muncul strain serangga yang resisten terhadap DDT. Saat ini, telah didata lebih dari 500 spesies serangga hama telah resisten terhadap berbagai jenis kelompok insektisida. Mekanisme timbulnya resistensi hama dapat dijelaskan sebagai berikut. Apabila suatu populasi hama yang terdiri dari banyak individu, dikenakan pada suatu tekanan lingkungan, misalnya penyemprotan bahan kimia beracun, maka sebagian besar individu populasi tersebut akan mati terbunuh. Tetapi dari sekian banyak individu, ada satu atau beberapa individu yang mampu bertahan hidup. Tidak terbunuhnya individu yang bertahan tersebut, mungkin disebabkan terhindar dari efek racun insektisida, atau sebahagian karena sifat genetik yang dimilikinya. Ketahanan secara genetik ini, mungkin disebabkan kemampuan memproduksi enzim detoksifikasi yang mampu menetralkan daya racun insektisida. Keturunan individu tahan ini, akan menghasilkan populasi yang juga tahan secara genetis. Oleh karena itu, pada generasi berikutnya anggota populasi akan terdiri dari lebih banyak individu yang tahan terhadap insektisida. Sehingga muncul populasi hama yang benarbenar resisten. Dari penelaahan sifat-sifat hama, hampir setiap individu memiliki potensi untuk menjadi tahan terhadap insektisida. Hanya saja, waktu dan besarnya ketahanan tersebut bervariasi, dipengaruhi oleh jenis hama, jenis insektisida yang diberikan, intensitas pemberian insektisida dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Oleh karena sifat

resistensi dikendalikan oleh faktor genetis, maka fenomena resistensi adalah permanent, dan tidak dapat kembali lagi. Bila sesuatu jenis serangga telah menunjukkan sifat ketahanan dalam waktu yang cukup lama, serangga tersebut tidak akan pernah berubah kembali lagi menjadi serangga yang peka terhadap insektisida. Di Indonesia, beberapa jenis-jenis hama yang diketahui resisten terhadap insektisida antara lain hama Kubis Plutella xylostella, hama Kubis Crocidolomia pavonana, hama penggerek umbi Kentang Phthorimaea operculella, dan Ulat Grayak Spodoptera litura. Demikian juga hama hama-hama tanaman padi seperti wereng coklat (Nilaparvata lugens), hama walang sangit (Nephotettix inticeps) dan ulat penggerek batang (Chilo suppressalis) dilaporkan mengalami peningkatan ketahanan terhadap insektisida. Dengan semakin tahannya hama terhadap insektisida, petani terdorong untuk semakin sering melakukan penyemprotan dan sekaligus melipat gandakan tinggkat dosis. Penggunaan insektisida yang berlebihan ini dapat menstimulasi peningkatan populasi hama. Ketahanan terhadap insektisida tidak hanya berkembang pada serangga atau binatang arthropoda lainnya, tetapi juga saat ini telah banyak kasus timbulnya ketahanan pada pathogen/penyakit tanaman terhadap fungisida, ketahanan gulma terhadap herbisida dan ketahanan nematode terhadap nematisida. b. Resurgensi Hama Peristiwa resurgensi hama terjadi apabila setelah diperlakukan aplikasi insektisida, populasi hama menurun dengan cepat dan secara tiba-tiba justru meningkat lebih tinggi dari jenjang polulasi sebelumnya. Resurgensi sangat mengurangi efektivitas dan efesiensi pengendalian dengan insektisida. Resurjensi hama terjadi karena insektisida, sebagai racun yang berspektrum luas, juga membunuh musuh alami. Musuh alami yang terhindar dan bertahan terhadap penyemprotan insektisida, sering kali mati kelaparan karena populasi mangsa untuk sementara waktu terlalu sedikit,

sehingga tidak tersedia makanan dalam jumlah cukup. Kondisi demikian terkadang menyebabkan musuh alami beremigrasi untuk mempertahankan hidup. Disisi lain, serangga hama akan berada pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Sumber makanan tersedia dalam jumlah cukup dan pengendali alami sebagai pembatas pertumbuhan populasi menjadi tidak berfungsi. Akibatnya populasi hama meningkat tajam segera setelah penyemprotan. Resurgensi hama, selain disebabkan karena terbunuhnya musuh alami, ternyata dari penelitian lima tahun terakhir dibuktikan bahwa ada jenis-jenis insektisida tertentu yang memacu peningkatan telur serangga hama . Hasil ini telah dibuktikan International Rice Research Institute terhadap hama Wereng Coklat (Nilaparvata lugens). c. Ledakan Populasi Hama Sekunder Dalam ekosistem pertanian, diketahui terdapat beberapa hama utama dan banyak hama-hama kedua atau hama sekunder. Umumnya tujuan penggunaan insektisida adalah untuk mengendalikan hama utama yang paling merusak. Peristiwa ledakan hama sekunder terjadi, apabila setelah perlakuan insektisida menghasilkan penurunan populasi hama utama, tetapi kemudian terjadi peningkatan populasi pada spesies yang sebelumnya bukan hama utama, sampai tingkat yang merusak. Ledakan ini seringkali disebabkan oleh terbunuhnya musuh alami, akibat penggunaan insektisida yang berspektrum luas. Insektisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang menjadi sasaran, tetapi juga membunuh serangga berguna, yang dalam keadaan normal secara alamiah efektif mengendalikan populasi hama sekunder. Peristiwa terjadinya ledakan populasi hama sekunder di Indonesia, dilaporkan pernah terjadi ledakan hama ganjur di hamparan persawahan Jalur Pantura Jawa Barat, setelah daerah tersebut disemprot intensif insektisida Dimecron dari udara untuk memberantas hama utama penggerek padi kuning Scirpophaga incertulas. Penelitian dirumah kaca membuktikan, dengan menyemprotkan Dimecron pada tanaman padi muda, hama ganjur dapat berkembang

dengan baik, karena parasitoidnya terbunuh. Munculnya hama wereng coklat Nilaparvata lugens setelah tahun 1973 mengganti kedudukan hama penggerek batang padi sebagai hama utama di Indonesia, mungkin disebabkan penggunaan insektisida golongan khlor secara intensif untuk mengendalikan hama sundep dan weluk. C. INSEKTISIDA ALAMI a. Jenis Insektisida Alami

1. Mimba (Azadirachta indica)


Tanaman ini telah lama dikenal dan mulai banyak digunakan sebagai pestisida nabati menggantikan pestisida kimia. Tanaman ini dapat digunakan sebagai insektisida, bakterisida, fungisida, acarisida, nematisida dan virisida. Senyawa aktif yang dikandung terutama terdapat pada bijinya yaitu azadirachtin, meliantriol, salannin, dan nimbin. Tanaman ini dapat mengendalikan OPT seperti : Helopeltis sp,; Empoasca sp.; Tungau jingga (Erevipalpis phoenicis), ulat jengkal (Hyposidra talaca), Aphis gossypii, Epilachna varivestis, Fusarium oxyporum, Pestalotia, sp.; Phytophthora sp.; Heliothis armigera, pratylenchus sp.; Nilaparvata lugens, Dasynus sp.; Spodoptera litura, Locusta migratoria, Lepinotarsa decemlineata, palnoccocus citri, Agrotis ipsilon, Callosobruchus chinensis, Alternaria tenuis, Carpophilus hemipterus, kecoa, Crysptolestes pussillus, Corcyra cephalonnomia, Crocidolomia binotalis, Dysdercus cingulatus, Earias insulana, Helycotylenchus sp.; Meloidogyne sp.; Musca domestica, Nephotettix virescens, Ophiomya reticulipennis, Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, Sitophilus sp.; Sogatella furcifera, Tribolium sp.; tungro pada padi, Tylenchus filiformis.

Cara pemanfaatan tanaman ini sebagai pestisida nabati dapat dilakukan dengan: 1. Biji nimba dikupas / daun dimba ditumbuk lalu direndam dalam air dengan konsentrasi 20 25 gram/l. 2. Endapkan selama 24 jam kemudian disaring agar didapat larutan yang siap diaplikasikan; 3. Aplikasi dilakukan dengan cara disemprotkan atau disiramkan. 4. Sedangkan untuk pengendalian hama gudang dilakukan dengan cara membakar daun atau batang hingga didapatkan abu, lalu sebarkan/letakkan didekat sarang atau dijalur hama tersebut mencari makan.

2. Piretrum (Chysanthemum cinerariaefolium VIS)


Bahan ini berasal dari ekstrak bunga Chrysanthemum cinerariraefolium. Pertama kali ditemukan pada abad 19 di jaman perang Napoleon untuk mengendalikan kutu manusia. Sifat piretrum jaman sekarang ditiru untuk formulasi insektisida jenis aerosol. Piretrum mempunyai 6 bahan aktif yang secara kolektif dikenal dengan piretrin. Sifat piretrin sebagai insektisida kontak, tetapi nyaris tidak meninggalkan bekas (non-residual) bila permukaan yang diolesi terpapar oleh cahaya. Namun, bila permukaan di tempat gelap, zat ini akan bertahan maksimal 2 minggu. Tapi dikarenakan jumlah ekstrak bunga dari bahan alami ini terbatas, maka peneliti mensintetiskan piretrin dengan senyawa mirip piretrin yang sekarang dikenal dengan piretriod (oid = mirip dan pire = piretrin). Jadi, yang termasuk insektisida golongan piretroid saat ini adalah pensintetisan dari piretrin. Negara penghasil piretrin di dunia adalah Kenya, Tasmania dan Australia. Di Indonesia sebelum maraknya piretroid digunakan piretrin dari ekstrak Pyrethrum marc. Produsen sangat menyukai menggunakan piretrin dikarenakan harganya murah dan biaya produksinya pun rendah. Tapi, zat piretrin ini jumlahnya terbatas, sehingga pemakiaan bahan ini persentasinya kecil sampai sekarang. Cara kerja piretrin adalah dengan dua tahap yaitu dengan meracuni serangga kemudian mengganggu syaraf

(blockade) serangga. Serangga biasanya lumpuh (knock down) tetapi dapat normal kembali bila tahap pertama bisa di atasi. Di sini, serangga tidak akan mati, tetapi bila serangga tidak bisa menetralkan tahap pertama maka jaringan syaraf akan terganggu dan akhirnya mati. Aplikasi dari tanaman ini dapat digunakan untuk mengendalikan Aphis fabae, Aphis gossypii, Helopeltis sp,; Cricula trifenestrata, Plutella xylostella, Hyalopterus pruni, Macrosephum rosea, Drosophilla spp.; Empoasca fabae, ulat jengkal, Thrips Choristoneuro pinus, Doleschallia polibete, Agrotis ipsilon, Callosobruchus chinensis, Carpophilus hemipterus, kecoa Crysptolestes pussillus, Corcyra cephalonica, Crocidolomia binotalis, Dysdercus cingulatus, Earias insulana, Epilachna varivestis, Fusarium sp; Locusta migratoria, Musca domestica, Nephotettix virescens, Nilaparvata lugens, Ophiomya reticulipennis, Planococcus citri, Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, Sitophilus sp.; Spodoptera litura, Tribolium sp, Helycotylenchus sp.; Meloidogyne sp.; Pratylenchus sp.; Tylenchus filiformis.

Cara pemanfaatan tanaman ini sebagai pestisida nabati dapat dilakukan dengan: 1. Mahkota bunga dikeringkan lalu ditumbuk. 2. Hasil penumbukan direndam dalam air dengan konsentrasi 20 gram/l selama 24 jam. 3. Hasil endapan kemudian disaring agar didapatkan larutan yang siap diaplikasikan. 4. Aplikasi dilakukan dengan cara penyemprotan. 5. Aplikasi dapat dilakukan dalam bentuk tepung yang dicampur dengan bahan pembawa seperti kapur dan bedak atau menggunakan alkohol, aceton atau minyak tanah sebagai pelarut.

3. Bakung (Crinum asiaticum L.)


Tanaman ini telah lama digunakan sebagai bahan obat tardisional depresan sistem syarat pusat. Tanaman ini dapat digunakan sebagai pengganti pestisida yang berfungsi sebagai bakterisida, dan virisida. Senyawa dari tanaman ini mengandung alkaloid yang terdiri dari likorin, hemantimin, krinin dan krianamin. Tanaman ini bermanfaat untuk menekan /menghambat pertumbuhan Fusarium oxyporum.

Cara pemanfaatan tanaman ini sebagai pestisida nabati dapat dilakukan dengan: 1. Menumbuk daun dan atau umbi lalu direndam dalam air dengan konsentrasi 25 50 gram/l selama 24 jam. 2. Larutan hasil perendaman ini disaring agar didapat larutan yang siap diaplikasikan. 3. Aplikasi dilakukan dengan cara penyemprotan.

Tanaman ini walaupun belum secara efektif dapat mengendalikan Phytophthora sp,; Fusarium oxyporum, Streptococcus viridans dan Staphylococcus aureus. Cara pemanfaatan tanaman ini sebagai pestisida nabati dapat dilakukan dengan: 1. Daun sirih ditumbuk lalu direndam dalam air dengan konsentrasi 25 50 gram/l selama 24 jam. 2. Setelah itu disaring agar didapatkan larutan yang siap diaplikasikan. 3. Aplikasi dilakukan dengan cara penyiraman larutan semprot ke sekitar tanaman yang sakit atau dengan mengoleskan larutan pada bagian yang terserang (sakit).

5. Cengkeh (Syzygium aromaticum L.)


Tanaman cengkeh telah lama dikenal masyarakat, baik sebagai bumbu dapur maupun bahan baku industri (rokok, kosmetik, obat) dengan nilai komersial yang tinggi. Sejak jaman kolonial tanaman ini banyak ditanam hampir di seluruh wilayah Indonesia terutama di Maluku dan Sulawesi. Tanaman ini dapat digunakan sebagai pestisida nabati karena dapat digunakan sebagai insektisida, fungisida, bakterisida, dan nematisida. Senyawa aktif yang dikandung oleh tanaman ini dapat menghambat/menekan pertumbuhan/perkembangan cendawan penyebab penyakit, hama, nematoda dan bakteri. OPT yang dapat dikendalikan antara lain: Fusarium sp.; Phytophthora sp.; Rigidoporus sp.; Sclerotium sp.; Dacus sp.; Stegobium panicum. Pseudomonas solanacearum, Radopholus similis, Meloidogyne incognita.

4. Sirih (Piper betle L.)


Tanaman sirih dengan banyak nama daerah merupakan tanaman yang telah lama dikenal sebagai bahan baku obat tradisional, dapat digunakan sebagai bahan pestisida alternatif karena dapat digunakan/bersifat sebagai fungisida dan bakterisida. Senyawa yang dikandung oleh tanaman ini antara lain profenil fenol (fenil propana), enzim diastase tanin, gula, amilum/pati, enzim katalase, vitamin A,B, dan C, serta kavarol. Cara kerja zat aktif dari tanaman ini adalah dengan menghambat perkembangan bakteri dan jamur.

Bahan ini merupakan ekstrak dari biji tanaman mimna/neem (Azadirachta Indica). Zat ini efektif digunakan sebagai insektisida, fungisida, dan bakterisida. Cara kerja dari Azadirachtin adalah mengganggu pergantian kulit dengan menghambat metabolisme atau biosintesis ekdison. 9. Nikotin Nikotin adalah ekstrak yang berasal dari tembakau. Nikotin sangat efektif pada serangga-serangga berkulit lunak, seperti aphid dan ulat. Zat ini bahkan dibuat bubuknya (Tobacco dust) yang digunakan untuk repelen anjing dan kelinci. Cara kerja dari nikotin adalah dengan membuat serangga menjadi kejang tetapi hanya terjadi di syaraf-syaraf pusatnya saja. b. Kelebihan dan Kekurangan Insektisida Alami A. Kelebihan 1. Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: dengan bau yang menyengat. 2. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot. 3. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa. 4. Menghambat reproduksi serangga betina. 5. Racun syaraf bagi hama. 6. Mengacaukan sistem hormone di dalam tubuh serangga. 7. Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga. 8. Mengendalikan pertumbuhan jamur/bakteri. 9. Dapat menyebabkan gangguan dalam proses metamorfosa dan gangguan makan (anti feedant) bagi serangga. 10. Merupakan pengendalian hama yang ramah lingkungan. 11. Tidak mengeluarkan biaya yang besar. 12. Tidak meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam tanah maupun pada aliran air alami. 13. Tidak menyebabkan fitotoksin (keracunan) pada tanaman

Cara pemanfaatan tanaman ini sebagai pestisida nabati dapat dilakukan dengan: 1. Daun, bunga atau tangkai bunga ditumbuk hingga menjadi tepung, dapat juga diekstrak (laboratorium). 2. Sebarkan tepung/minyak tersebut pada tanaman atau sekitar perakaran yang terserang dengan dosis 50 gram/pohon, jika menggunakan serasah daun cengkeh dosis yang digunakan 100 gram/pohon. 3. Pada tanaman dengan serangan ringan dapat dilakukan penyayatan pada akar kemudian diolesi dengan tepung/ minyak cengkeh. 6. Rotenon Bahan ini dibuat dari akar dua genus tanaman kacangkacangan (Legume). Yakni berupa Derris elliptica dari Asia Tenggara dan Lonchocarpus sp. dari Amerika Selatan. Di Indonesia rotenon dikenal sebagai racun ikan pada tambak udang. Rotenon spesifik hanya membunuh ikan liar pada kolam-kolam atau tambak udang. Sebagai insektisida, rotenon ini merupakan racun kontak dan perut yang akan membuat serangga berhenti makan dan akhirnya mati. Cara kerja dari rotenon ini adalah menghambat enzim pernafasan dan metabolisme serangga. 7. Limonene/ d-limonene Limonene/d-limonene adalah nama latin dari ekstrak kulit jeruk. Insektisida ini paling efektif untuk mengendalikan hama hewan peliharaan, seperti membunuh tungau, pinjal dan caplak. Cara kerja dari Limonene/d-limonene ini mirip dengan piretrin, yaitu menggangu sistem syaraf namun tidak mengambat enzim. 8. Azadirachtin

14. Insektisida alami merupakan bahan yang mudah terurai di alam sehingga tidak dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya residu yang besar. 15. Mengurangi resistensi hama 16. Mengurangi kematian musuh alami hama, 17. Mengurangi resiko terjadinya letusan hama kedua. 18. Mengurangi bahaya bagi manusia dan ternak. 19. Tidak mencemari alam. 20. mengurangi ketergantungan petani terhadap agrokimia. 21. Biaya lebih murah. B. Kekurangan 1. Cepat terurai dan daya kerjanya relatif lambat sehingga aplikasinya harus lebih sering 2. Produksinya belum dapat dilakukan dalam jumlah besar karena keterbatasan bahan baku 3. Kurang praktis 4. Tidak tahan disimpan 5. Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan bagi serangga) 6. Cara kerjanya (efek mortalitasnya) lambat 7. Harus disemprotkan secara berulang-ulang 8. Kelebihan musuh alami dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang baru 9. Dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem 10. Daya tahan singkat (mudah terdegradasi) sehingga memerlukan frekuensi penggunaan yang lebih banyak daripada pestisida sintetik 11. Ketersediaan bahan baku yang musiman 12. Bahan nabati alami terkandung dalam kadar yang rendah sehingga untuk mencapai efektivitas yang memadai diperlukan jumlah bahan tumbuhan yang banyak dan diperlukan standar pengolahan untuk tiap tanaman dan standar aplikasi pengguanaan bagi pengendalian OPT.

Anda mungkin juga menyukai