Anda di halaman 1dari 12

Nomor 1 Peer review adalah suatu penilaian terhadap suatu jurnal yang dilakukan oleh orang yang merupakan

ahli di bidang tersebut. Peer review berasal dari kata peer yang berarti rekan sejawat dan review yang berarti telaah kembali, dengan demikian peer review adalah telaah kembali suatu pekerjaan yang dilakukan oleh rekan sejawat ( satu profesi ). Peer review kantor akuntan publik atau auditor merupakan telaah kembali pekerjaan kantor akuntan publik atau auditor oleh kantor akuntan publik atau auditor yang lain. Timbulnya peer review mempunyai tujuan untuk saling mengendalikan pekerjaan yang telah dilakukan, sehingga diharapkan mutu suatu profesi dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Tujuan utama dari adanya peer review adalah untuk menjamin adanya standar yang tinggi dari quality control pada publikasi penelitian. (Robert M. Davison, Gert-Jan de Vreede). Telaah dari rekan auditor (peer review) merupakan mekanisme monitoring yang dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit (Harjanti, 2002:59) dalam (Elfarini, 2007). Menurut Arens, et al (2005), peer reviews can beneficial to the profession and individual firms. By helping firms meet quality qontrol standards, the profession gains from improved practioner performance and higher-quality audits. Ini berarti bahwa dengan mematuhi mematuhi standar pengendalian mutu dan peer review, profesi memperoleh keuntungan dalam peningkatan kinerja praktisi serta audit yang berkualitas, sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan system pengendalian mutu yang meliputi general policy, personnel, audit management, inspection, and review akan mempengaruhi kinerja auditor. Glover dan Prawitt (2005:418) menyatakan bahwa tujuan atas review mutu rekan seprofesi adalah untuk memastikan KAP memenuhi standar pengendalian mutu yang relevan. Review suatu pekerjaan merupakan kegiatan membandingkan antara pekerjaan yang telah dilakukan dengan standar professional pekerjaan yang telah disusun bersama kalangan profesi tersebut.

Tuntutan pada profesi akuntan untuk memberikan jasa yang berkualitas menuntut tranparansi informasi mengenai pekerjaan dan operasi Kantor Akuntan Publik. Kejelasan informasi tentang adanya sistem pengendalian kualitas yang sesuai dengan standar profesi merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban terhadap klien dan masyarakat luas akan jasa yang diberikan. Oleh karena itu pekerjaan akuntan publik dan operasi Kantor Akuntan Publik perlu dimonitor dan di audit guna menilai kelayakan desain sistem pengendalian kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai mekanisme monitoring dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit. Peer review dirasakan memberikan manfaat baik bagi klien, Kantor Akuntan Publik yang direview dan auditor yang terlibat dalam tim peer review. Peer review adalah review yang dilakukan oleh auditor terhadap kepatuhan suatu kantor akuntan public pada sistem pengendalian kualitasnya. Tujuan dari dilakukannya menurut PSPM no.3 adalah untuk meningkatkan mutu kinerja anggota IAI dalam perikatan audit, atestasi, akuntansi dan review, konsultansi. Tujuan program ini dicapai melalui tindakan pendidikan dan perbaikan, serta tindakan koreksi. Tujuan tersebut digunakan untuk melayani kepentingan masyarakat umum dan sekaligus untuk meningkatkan arti pentingnya keanggotaan IAI. Lima elemen pengendalian kualitas yang akan direview ialah: 1. Independensi, integritas, dan objektivitas 2. Personnel management 3. Penerimaan dan kelanjutan dari klien dan penugasan 4. Kinerja penugasan 5. Monitoring Peer review penting dilakukan karena dalam perikatan jasa profesional, KAP bertanggung jawab untuk mematuhi SPAP. Dalam pemenuhan tanggung jawab tersebut, KAP wajib:

1. mempertimbangkan integritas stafnya dalam menentukan hubungan profesionalnya; bahwa KAP dan para stafnya akan independen terhadap kliennya sebagaimana diatur oleh Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik; dan 2. bahwa staf KAP kompeten secara profesional, objektif, dan akan menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama (due professional care) sehingga apabila peer review dilakukan secara tepat maka akan menghasilkan beberapa manfaat, antara lain (Heru Sulistiyo, Peer Review Kantor Akuntan Publik): 1. Mengembangkan budaya belajar dan saling memberikan advis antar KAP dan SDMnya. 2. Memotivasi KAP akan selalu memperbaiki perencanaan, prosedur dan tehnik dalam melaksanakan pekerjaannya. 3. Sebagai media banch maker dan studi banding guna peningkatan kinerja KAP. 4. Menjamin mutu pekerjaan dilaksanakan secara seksama. 5. Mengembangkan stndar profesional akuntan publik. 6. Melindungi pengguna jasa KAP. 7. Meningkatkan kepercayaan dan performa KAP dalam masyarakat bisnis. Tipe pengujian peer review menurut PSPM Nomor 3 ada 2 jenis, yakni: Tipe pengujian yang dilakukan menggunakan On Site Quality Review, tipe ini dipilih karena KAP yang akan direview diasumsikan memberikan pelayanan jasa audit atas laporan keuangan tahunan klien. 1. 2. On-Site Quality Review, yakni pengujian mutu atas KAP yang melakukan audit atas laporan keuangan. Off-Site Quality Review, yakni KAP yang hanya menyediakan jasa kompilasi dan review

Nomor 2 Financial akuntansi yang Accounting dipandang Standard dari Board (FASB) yang mendefinisikan melingkupinya, materialitas sebagai berikut: Besarnya suatu penghilang atau salah saji informasi keadaan-keadaan memungkinkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang yang mengandalkan pada informasi menjadi berubah atau dipengaruhi oleh penghilang atau salah saji tersebut. Statement on Auditing Standard (SAS) no 47 menyatakan tentang materialitas sebagai berikut: kebijakan materialitas dibuat dalam kaitannya dengan kegiatan sekelilingnya dan melibatkan pertimbangan kualitatif dan kuantitatif. Tingkat materialitas laporan keuangan suatu entitas tidak akan sama dengan entitas yang lain, tergantung pada ukuran entitas tersebut (AICPA, 1983: paragraf 5). Sedangkan SPAP menjelaskan materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, yang mungkin dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut karena adanya penghilangan atau salah saji tersebut. Dalam menentukan materialitas, auditor harus mempertimbangkan : 1. Ukuran dan karakteristik satuan usaha. 2. Kondisi yang berkaitan dengan perusahaan. 3. Informasi yang diperlukan pihak yang mengandalkan laporan keuangan. Suatu jumlah yang material bagi suatu perusahaan tertentu, mungkin tidak material bagi perusahaan lain yang berbeda ukuran maupun sifatnya. Selain itu, tingkat materialitas suatu perusahaan dapat berubah dari periode ke periode. Materialitas merupakan dasar penerapan standar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Oleh karena itu, materialitas mempunyai pengaruh yang mencakup semua aspek audit dalam audit atas laporan keuangan. Dalam SA Seksi 319 Risiko Audit dan Materialitas Audit

dalam Pelaksanaan Audit mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan materialitas dalam perencanaan audit, dan penilaian terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Materialitas audit menggambarkan jumlah maksimum kemungkinan terdapat kekeliruan dalam laporan keuangan dimana laporan keuangan tersebut masih dapat menunjukkan posisi keuangan perusahaan dan hasil operasi perusahaan berdasarkan prinsip akuntansi berterima umum (William J, 1987). Dua alasan mengapa konsep materialitas penting dalam audit (Febriyanti, 2012), yaitu : 1. sebagian pemakai informasi akuntansi tidak dapat memahami informasi akuntansi dengan mudah, maka pengungkapan data penting harus dipisahkan dari data yang tidak penting, karena pengungkapan data penting yang bersamaan dengan data tidak penting cenderung menyesatkan pemakai laporan keuangan, 2. proses pemeriksaan akuntansi dimaksudkan untuk mendapatkan tingkat jaminan (guarantee) yang layak mengenai kewajaran penyajian laporan keuangan pada suatu waktu tertentu.

Pertimbangan materialitas berpengaruh terhadap pendapat auditor karena berhubungan dengan tanggung jawab auditor atas pernyataan kewajaran penyajian laporan keuangan yang diperiksanya. Dengan memperhatikan sifat audit yang memberikan keyakinan (assurance) atas kewajaran penyajian laporan keuangan, maka akan timbul risiko tidak ditemukannya hal-hal yang material. Risiko audit merupakan risiko yang terjadi karena auditor tanpa sengaja tidak memodifikasi pendapatnya secara tepat terhadap laporan keuangan yang mengandung salah saji material (SPAP 2001, SA seksi 312.02). Risiko audit diperhitungkan dalam audit karena dalam hal bukti audit yang diperoleh, auditor hanya dapat memberikan keyakinan yang memadai, bukan mutlak bahwa salah saji material terdeteksi. Semakin yakin auditor akan pendapat yang diberikannya maka semakin rendah risiko audit yang bersedia ditanggungnya.

Metode untuk melakukan penilaian materialitas Materialitas terutama berhubungan dengan standar auditing pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. SA seksi 312 mengenai Risiko dan Materialitas Audit Dalam Pelaksanaan Audit mengharuskan Auditor menentukan materialitas dalam: (1) perencanaan audit dan merancang prosedur audit, dan (2) mengevaluasi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Dalam perencanaan audit, auditor melakukan pertimbangan awal terhadap materialitas. Pertimbangan tersebut terdiri dari dua tingkatan, 1. pertimbangan pada tingkat laporan keuangan, Pada tingkat laporan keuangan materialitas dihitung sebagai keseluruhan salah saji minimum yang dianggap penting atau material atas salah satu laporan keuangan. Hal ini disebabkan karena laporan keuangan pada dasarnya adalah saling terkait satu sama lain dan sama halnya dengan prosedur audit yang dapat berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan. Pada saat ini belum ada pedoman resmi yang berasal dari standard akuntansi mapun standard auditing terkait pengukuran meterialitas secara kuantitatif, berikut merupakan gambaran mengenai beberapa pedoman yang di gunakan dalam praktik: 5% hingga 10% dari laba bersih sebelum pajak (10% untuk laba yang lebih kecil, 5% untuk laba yang lebih besar) % hinga 1% dari total aktiva 1% dari ekuitas % hingga 1% pendapatan kotor Suatu persentase variable berdasarkan mana yang lebih besar antara total aktiva atau total pendapatan

2. pertimbangan pada tingkat saldo akun. Pada tingkat saldo akun, materialitas merupakan salah saji terkecil yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang material. Dalam mempertimbangkan materialitas pada tingkat ini auditor harus juga mempertimbangkan dengan materialitas pada tingkat laporan keuangan karena salah saji yang mungkin tidak material secara individu dapat bersifat material terhadap laporan keuangan bila digabungkan dengan saldo akun yang lain .

Nomor 3 Banyak profesional akuntansi dan hukum percaya bahwa penyebab utama tuntutan hukum terhadap kantor akuntan publik adalah kurangnya pemahaman pemakai laporan keuangan tentang perbedaan antara kegagalan bisnis dan kegagalan audit, dan antara kegagalan audit, dan risiko audit. Berikut ini defenisi mengenai kegagalan bisnis, kegagalan audit dan risiko audit menurut Loebbecke dan Arens (1999,h.787) : 1. Kegagalan bisnis : kegagalan yang terjadi jika perusahaan tidakmampu membayar kembali utangnya atau tidak mampu memenuhi harapan para investornya, karena kondisi ekonomi atau bisnis, seperti resesi, keputusan manajemen yang buruk, atau persaingan yang tak terduga dalam industri itu. 2. Kegagalan audit :kegagalan yang terjadi jika auditor mengeluarkan pendapat audit yang salah karena gagal dalam memenuhi persyaratanpersyaratan standar auditing yang berlaku umum. 3. Risiko audit :adalah risiko dimana auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan disajikan dengan wajar tanpa pengecualian, sedangkan dalam kenyataannya laporan tersebut disajikan salah secara material. Bila di dalam melaksanakan audit, akuntan publik telah gagal mematuhi standar profesinya, maka besar kemungkinannya bahwa business failure juga dibarengi

oleh audit failure. Dalam hal yang terakhir ini, akuntan publik harus bertanggung jawab. Sementara, dalam menjalankan tugasnya, akuntan publik tidak luput dari kesalahan. Kegagalan audit yang dilakukan dapat dikelompokkam menjadi ordinary negligence, gross negligence, dan fraud (Toruan,2001,h.28). 1. Ordinary negligence merupakan kesalah yang dilakukan akuntan publik, ketika menjalankan tugas audit, dia tidak mengikuti pikiran sehat (reasonable care). Dengan kata lain setelah mematuhi standar yang berlaku ada kalanya auditor menghadapi situasi yang belum diatur standar. Dalam hal ini auditor harus menggunakan common sense dan mengambil keputusan yang sama seperti seorang (typical) akuntan publik bertindak. 2. Sedangkan gross negligence merupakan kegagalan akuntan publik mematuhi standar profesional dan standar etika. Standar ini minimal yang harus dipenuhi. 3. Bila akuntan publik gagal mematuhi standar minimal (gross negligence) dan pikiran sehat dalam situasi tertentu (ordinary negligence), yang dilakukan dengan sengaja demi motif tertentu maka akuntan publik dianggap telah melakukan fraud yang mengakibatkan akuntan publik dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Akuntan publik bertanggung jawab atas setiap aspek tugasnya, termasuk audit, pajak, konsultasi manajemen, dan pelayanan akuntansi, sehingga jika benarbenar terjadi kesalahan yang diakibatkan oleh pihak akuntan publik dapat diminta pertanggung jawabannya secara hukum. Beberapa faktor utama yang menimbulkan kewajiban hukum bagi profesi audit diantaranya adalah (Loebbecke dan Arens,1999,h.786): 1. meningkatnya kesadaran pemakai laporan keuangan akan tanggung jawab akuntan public

2. meningkatnya perhatian pihak-pihak yang terkait dengan pasar modal sehubungan dengan tanggung jawab untuk melindungi kepentingan investor 3. bertambahnya kompleksitas audit yang disebabkan adanya perubahan lingkungan yang begitu pesat diberbagai sektor bisnis, sistem informasi, dsb 4. kesediaan kantor akuntan publik untuk menyelesaikan masalah hukum diluar pengadilan, untuk menghindari biaya yang tinggi. Kewajiban Hukum Bagi Auditor Auditor secara umum sama dengan profesi lainnya merupakan subjek hukum dan peraturan lainnya. Auditor akan terkena sanksi atas kelalaiannya, seperti kegagalan untuk mematuhi standar profesional di dalam kinerjanya. Profesi ini sangat rentan terhadap penuntutan perkara (lawsuits) atas kelalaiannya yang digambarkan sebagai sebuah krisis (Huakanala dan Shinneke,2003,h.69).Kewajiban hukum auditor dalam pelaksanaan audit apabila adanya tuntutan ke pengadilan yang menyangkut laporan keuangan menurut Loebbecke dan Arens serta Boynton dan Kell yang telah diolah oleh Azizul Kholis, I Nengah Rata, Sri Sulistiyowati dan Endah Prepti Lestari (2001) adalah seperti yang ditampilkan dalam tabel berikut ini : No 1 Kewajiban Hukum Uraian Kewajiban kepada klien Kewajiban akuntan publik terhadap klien (Liabilities to Client) karena kegagalan untuk melaksanakan tugas audit sesuai waktu yang dan disepakati, pelanggaran pelaksanaan audit yang tidak memadai, gagal menemui 2 kesalahan, kerahasiaan oleh akuntan public Kewajiban kepada pihak Kewajiban akuntan publik kepada pihak ketiga ketiga menurut Common jika terjadi kerugian pada pihak penggugat Law (Liabilities to Third karena mengandalkan laporan keuangan yang

party) Kewajiban

menyesatkan Perdata Kewajiban hukum

yang

diatur

menurut

menurut hukum sekuritas sekuritas federal dengan standar yang ketat. federal (Liabilities under 4 securities laws) Kewajiban kriminal Kewajiban hukum yang timbul sebagai akibat (Crime Liabilities) kemungkinan akuntan publik disalahkan karena tindakan kriminal menurut undang-undang. Sedangkan kewajiban hukum yang mengatur akuntan publik di Indonesia secara eksplisit memang belum ada, akan tetapi secara implisit hal tersebut sudah ada seperti tertuang dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), Standar Akuntansi Keuangan (SAK), Peraturan-Peraturan mengenai Pasar Modal atau Bapepam, UU Perpajakan dan lain sebagainya yang berkenaan dengan kewajiban hukum akuntan (Rachmad Saleh AS dan Saiful Anuar Syahdan,2003). Keberadaan perangkat hukum yang mengatur akuntan publik di Indonesia sangat dibutuhkan oleh masyarakat termasuk kalangan profesi untuk melengkapi aturan main yang sudah ada. Hal ini dibutuhkan agar disatu sisi kalangan profesi dapat menjalankan tanggung jawab profesionalnya dengan tingkat kepatuhan yang tinggi, dan disisi lain masyarakat akan mempunyai landasan yang kuat bila sewaktu-waktu akan melakukan penuntutan tanggung jawab profesional terhadap akuntan publik. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kewajiban hukum bagi seorang akuntan publik adalah bertanggung jawab atas setiap aspek tugasnya sehingga jika memang terjadi kesalahan yang diakibatkan oleh kelalaian pihak auditor, maka akuntan publik dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum sebagai bentuk kewajiban hukum auditor

Meminimalkan Risiko Litigasi Bagi Akuntan Publik: 1. menggunakan surat perikatan untuk semua jenis jasa professional. Sesuai dengan SPAP standar umum dan kode etik peraturan 102.

2. melakukan investigasi yang menyeluruh atas klien prospektif. Sesuai dengan SPAP standar pekerjaan lapangan 3. lebih menekankan mutu jasa daripada pertumbuhan 4. mematuhi sepenuhnya ketentuan professional 5. mengakui keterbatasan ketentuan profesional. 6. menetapkan dan menjaga standar yang tinggi atas pengendalian mutu. Sesuai dengan SPAP standar umum. 7. memperhatikan tindak pencegahan dalam perikatan tentang keterlibatan klien dalam kesulitan keuangan. 8. mewaspadai resiko audit. 9. Hanya berurusan dengan klien yang memiliki integritas 10. Mempekerjakan staf yang kompeten dan melatih serta mengawasi dengan pantas 11. Mempertahankan independensi 12. Memahami usaha klien 13. Mendokumentasika pekerjaan secara memadai 14. Mendapatkan surat penugasan dan surat pernyataan 15. Mempertahankan hubungan yang bersifat rahasia 16. Perlunya asuransi yang memadai; dan Mencari bantuan hukum Sumber: 1. Febrianty. Pengaruh Profesionalisme Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Audit Atas laporan Keuangan. Jurnal Ekonomi Dan Informasi Akuntansi (JENIUS). Vol 2, No.2. 2012 2. Sulistyo, Heru. Peer Review Kantor Akuntan Publik. 3. Iqbal A, M. Penerapan Sistem Pengendalian Mutu Pada Kantor Akuntan Publik Non-Afiliasi Di Jakarta. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol 2 No.7. 2008 4. Standar Professional Akuntan Publik (SPAP) 5. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 6. Kode Etik Kompartemen Akuntan Publik Indonesia-IAI

7. Sarbannes Oxley Act 8. Berbagai Peraturan Menteri Keuangan dan Ketua Bapepam 9. http://bambangbima.blogspot.com/2009/12/kewajiban-hukum-auditor.html 10. http://d2bnuhatama.blogspot.com/2012/06/materialitas-audit.html 11. http://www.jtanzilco.com/main/index.php/component/content/article/1-kapnews/459-pentingnyatingkatmaterialitasdalamauditataslaporankeuangan
12.

http://massofa.wordpress.com/2008/03/28/resiko-pengujian-materialitas/

Anda mungkin juga menyukai