Anda di halaman 1dari 55

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH PEKERJA PT X SECARA BERSAMA-SAMA DENGAN MENANDATANGANI SURAT PENGUNDURAN DIRI DITINJAU DARI UNDANGUNDANG

NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN SKRIPSI

Oleh MARIA NICKYTA HANDOJO NRP 2090824 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA SURABAYA 2013

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH PEKERJA PT X SECARA BERSAMA-SAMA DENGAN MENANDATANGANI SURAT PENGUNDURAN DIRI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Di Fakultas Hukum Universitas Surabaya

PEMBIMBING

Sriwati, S.H., M.Hum

Dr. Sylvia Janisriwati, S.H., M.Hum.

Oleh MARIA NICKYTA HANDOJO NRP 2090824

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA SURABAYA 2013

SUSUNAN TIM PENGUJI SKRIPSI Berdasarkan KEPUTUSAN DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA NOMOR : 082/SK/V/2013

1. Sriwati, S.H., M.HuM. Ketua merangkap anggota

__________________

2. Dr. Sylvia Janisriwati, S.H., M.Hum. Sekretaris merangkap anggota

__________________

3. Suhariwanto, S.H., M.Hum. Anggota

__________________

4. Soetrisno, S.H., M.Hum. Anggota

__________________

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan melimpahkan berkat dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja PT X secara bersama-sama dengan menandatangani surat pengunduran diri ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat terselesaikan dengan baik. Maksud dan tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Dalam Penyusunan skripsi ini saya memperoleh banyak bantuan, masukan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Rektor Universitas Surabaya yang memberikan kesempatan pada saya untuk menjadi bagian dari civitas academica di Universitas Surabaya. 2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Surabaya yang dengan sabar meluangkan waktu untuk memberikan pemecahan pada kesulitan akademik yang saya temui di Fakultas Hukum Universitas Surabaya. 3. Kepala Laboratorium Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Surabaya yang telah memberikan pengarahan dan persetujuan pada saat saya mengajukan proposal skripsi.

iv

4.

Ibu Sriwati, S.H., M.Hum. dan Ibu Dr. Sylvia Janisriwati, S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing yang memiliki kontribusi yang amat besar dalam memberikan pengarahan, petunjuk, saran, pengetahuan, dan berkenan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk membimbing sehingga saya dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya yang telah memberikan bekal ilmu hukum kepada saya. 6. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Surabaya yang telah memberikan bantuan dalam masalah penyelesaian administrasi hingga selesainya skripsi ini. 7. Kedua orang tua saya, Papa Agus Handojo Surjanto dan Mama Christiana Inawati, untuk segala doa, kasih sayang dan semangat yang tiada henti. 8. Saudara-saudara saya, Marcelina Lupita Surjanto and Yohanes Kevin Surjanto yang telah membantu dan memberikan semangat, motivasi dalam kehidupanku. 9. Sahabat-sahabat saya, Catherine Chandra, Ester Immanuel Gunawan, Melyana Trisnawati, Melina Hartanto, Chateryna Anggun Laurentia, Anastasia Priscilia, Tifani Tristandi, Nirmala Sari, Adelina Setyowati dan Merry Setyawati Tantono, terima kasih telah memberikan motivasi kepada saya. 10. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Surabaya angkatan 2009, Citra Meidarti Chandra Wijaya, Benita Citra, Mahendra Wangsa dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Saya berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi semua pihak yang membacanya dan dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi almamater tercinta Universitas Surabaya. Semoga berkat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa tidak henti- hentinya menaungi kita semua.

Surabaya, 6 Mei 2013 Penulis

Maria Nickyta Handojo

vi

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................ DAFTAR ISI ...................................................................................................... BAB I : PENDAHULUAN ..................................................................... 1. Latar Belakang Masalah ......................................................... 2. Rumusan Masalah .................................................................. 3. Alasan Pemilihan Judul .......................................................... 4. Tujuan Penelitian ................................................................... 5. Metode Penelitian ................................................................... a. Tipe Penelitian .................................................................. b. Pendekatan ......................................................................... c. Bahan atau Sumber Hukum ............................................... d. Langkah Penulisan ............................................................ 6. Pertanggungjawaban Sistematika ........................................... iv vii 1 1 5 5 6 7 7 7 7 8 9

BAB II :

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, OUTSOURCING DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN 11 11

KERJA ....................................................................................... 1. Pengertian Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja ............... vii

2. Pengertian Outsourcing ........................................................... 3. Pemutusan Hubungan Kerja dan Hak-Hak Pekerja................. . BAB III : PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH PEKERJA PT X DENGAN MENANDATANGANI SURAT

20 21

PENGUNDURAN DIRI .......................................................... 1. Kronologis Kasus ................................................................... 2. Analisis Masalah ....................................................................

31 31 33

BAB IV :

PENUTUP ............ ..................................................................... 1. Simpulan ................................................................................ 2. Saran .......................................................................................

44 44 45

DAFTAR BACAAN ...........................................................................................

vi

viii

BAB I PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, hubungan industrial Pancasila antara pekerja dan pengusaha merupakan hubungan yang saling menguntungkan. Pekerja

memberikan tenaganya untuk menghasilkan barang dan/atau jasa, sedangkan pengusaha memberikan upah kepada pekerja atas barang dan/atau jasa yang dihasilkannya. Kenyataannya, hubungan tersebut tidak sesederhana itu, berbagai persoalan yang timbul antara pekerja dan pengusaha secara terus-menerus, menunjukkan betapa kompleksnya hubungan tersebut. Kondisi hubungan antara pengusaha dan pekerja yang demikian, mendorong diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disingkat UU Ketenagakerjaan) dan peraturan pelaksanaan lainnya. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan dapat memperjelas hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja dan dapat dijadikan dasar untuk menuntut apabila salah satu pihak merasa dirugikan, terutama pekerja yang sering kali berada di posisi lemah. Hal ini tampak dari Konsideran Bagian Menimbang UU Ketenagakerjaan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk

mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Perkembangan dunia usaha sekarang ini sangatlah ketat sehingga banyak perusahaan yang berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Salah satu sistem yang digunakan adalah perusahaan berupaya untuk fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Sistem ini dikenal dengan istilah outsourcing. Istilah Outsourcing berasal dari dua suku kata: out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa

pekerja/buruh. Istilah outsourcing tidak secara eksplisit tercantum dalam UU Ketenagakerjaan, namun di dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan dapat dilihat secara tersirat yang dimaksud dengan praktik outsourcing adalah sebagai berikut 1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan.

2. Penyediaan jasa pekerja. 1 Sistem outsourcing diberlakukan pula oleh PT X yang merupakan salah satu perusahaan media terkemuka di Indonesia. PT X semula mempekerjakan 159 orang pekerja di bidang keamanan dan transportasi sebagai pekerja tetap di bawah perintah PT X secara langsung, namun PT X kemudian berniat untuk mengalihkan pekerja-pekerja tersebut pada perusahaan outsourcing PT Y sebagai pekerja tidak tetap. Peralihan 159 orang pekerja PT X menjadi pekerja pada perusahaan outsourcing PT Y ini merupakan suatu keinginan sepihak dari PT X. PT X membuat surat pernyataan (selanjutnya disingkat surat pengunduran diri) bahwa pekerja bersedia untuk mengundurkan diri sebagai pekerja dari PT X dan menyatakan bahwa selanjutnya pekerja bersedia untuk dialihkan menjadi pekerja tidak tetap pada perusahaan outsourcing PT Y, selanjutnya tanpa alasan yang jelas 159 orang pekerja tersebut diminta untuk menandatanganinya.

Penandatangan surat pengunduran diri tersebut oleh pekerja menunjukan bahwa pekerja yang memiliki inisiatif untuk mengundurkan diri dari PT X. Kebijakan PT X ini dilaksanankan oleh bagian Human Resource Development (selanjutnya disingkat HRD) sebagai wakil perusahaan yang mengatur bidang perburuhan. Awalnya, pihak HRD membagikan surat panggilan kepada 159 pekerja yang menjadi sasaran kebijakan PT X, lalu pihak HRD

Hidayat Muharam, Hukum Ketenagakerjaan serta Pelaksanaanya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2006, h. 13.

meminta pekerja untuk menandatangani surat pengunduran diri, dengan mengatakan bahwa apabila pekerja tidak mau menandatanganinya, maka persoalan ini akan diselesaikan melalui pengadilan. Metode yang demikian membuat PT X berhasil mendapatkan tandatangan 119 orang pekerja, akan tetapi 40 orang pekerja yang terdiri dari 11 orang pekerja di bidang keamanan dan 31 orang pekerja di bidang transportasi, menolak dengan tegas. Hal ini karena mereka memahami bahwa peralihan ini sangat merugikan mereka, dulunya mereka menjadi pekerja tetap akan tetapi dengan menandatangani surat pengunduran diri tersebut mereka menjadi pekerja tidak tetap dan dipekerjakan dengan sistem outsourcing, terlebih lagi upah mereka juga lebih sedikit dari pada yang sebelumnya. Penandatangan surat pengunduran diri oleh 119 orang pekerja menunjukan bahwa telah terjadi pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pekerja. Sebaliknya, penolakan penandatangan surat pengunduran diri tersebut dapat diartikan bahwa pekerja tersebut menolak untuk mengundurkan diri sebagai pekerja tetap dari PT X dan menolak untuk dialihkan menjadi pekerja tidak tetap pada perusahaan outsourcing PT Y, akibatnya per tanggal 31 Juni 2012 dikeluarkan surat skorsing oleh PT X bagi perkerja tersebut tanpa alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Dampak dari skorsing tersebut adalah sejak tanggal 1 Juli 2012, pekerja yang tidak menandatangani surat pengunduran diri tersebut tidak diperbolehkan untuk bekerja pada PT X dan seluruh daftar hadir mereka serta akses fasilitas bagi mereka telah diblokir oleh

PT X. Pekerja tersebut tidak lagi memperoleh hak-hak mereka seperti yang seharusnya mereka peroleh sebagai pekerja dari PT X, seperti mereka tidak lagi mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja bagi pekerja dan keluarganya serta hakhak lainnya. Mereka hanya mendapatkan upah bulanan. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pekerja PT X secara bersama-sama dengan menandatangani surat pengunduran diri sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? 3. Alasan Pemilihan Judul Skripsi dengan judul "Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja PT X secara bersama-sama dengan menandatangani surat pengunduran diri ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dipilih dengan alasan: Ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja, yaitu dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

Kenyataannya, pengusaha sering kali tidak memperhatikan kesejahteraan pekerjanya akan tetapi memanfaatkan kedudukannya yang lebih dominan untuk membodohi pekerjanya untuk terhindar dari segala kewajiban yang harus dipenuhinya. Hal tersebut tampak dalam kasus ini, pengusaha membuatkan suatu surat pernyataan bahwa pekerja bersedia untuk mengundurkan diri dan bersedia untuk dialihkan pada perusahaan lain, agar pengusaha tidak perlu memberikan kewajiban seperti halnya apabila pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja. Inilah yang menjadi alasan dipilihnya judul skripsi diatas. 4. Tujuan Penelitian Tiap penelitian harus mempunyai kegunaan dalam pemecahan masalah. Penelitian dilakukan dengan bertitik tolak pada masalah yang berkembang di masyarakat. Suatu penelitian setidaknya harus mampu memberikan manfaat praktis pada kehidupan masyarakat. Alasan di atas dirumuskan dengan jelas dan seksama agar mencapai tujuan yang diinginkan. a. Tujuan Praktis adalah menganalisis tentang apakah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pekerja PT X secara bersama-sama dengan menandatangani surat pengunduran diri sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. b. Tujuan Akademis adalah sebagai salah satu prasyarat mendapat gelar Sarjana Hukum Universitas Surabaya.

5.

Metode Penelitian a. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah bahan pustaka yang merupakan data dasar dalam (ilmu) penelitian, digolongkan sebagai data sekunder.2 b. Pendekatan Pendekatan masalah yang digunakan untuk menganalisis masalah adalah statute approach dan conceptual approach. Statute approach yaitu dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.3 Pendekatan masalah berikutnya yang digunakan adalah conceptual approach, yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.4 c. Bahan atau Sumber Hukum

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 2003, h. 24.
3

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006,

h. 93.
4

ibid, h. 95.

Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas,5 yaitu

KUHPerdata, UU Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian kerja waktu tertentu. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat dipergunakan untuk membantu bahan hukum primer serta masalah yang akan dibahas, yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.6 d. Langkah Penelitian Langkah pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan sistematis untuk lebih mudah membaca dan mempelajarinya Langkah pembahasan dilaksanakan dengan menggunakan penalaran yang bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur, yang kemudian diimplementasikan pada permasalahan yang

ibid, h. 141. ibid.

dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya digunakan penafsiran sistematis dengan menghubungkan pasal-pasal yang satu dengan pasal lainnya atau peraturan perundang-undangan satu dengan lainnya yang ada dalam undang-undang itu sendiri maupun dengan pasal-pasal dari undang-undang lain untuk memperoleh pengertian lebih mantap serta mengkaitkannya dengan pendapat para sarjana sampai pada jawaban permasalahan. 6. Pertanggungjawaban Sistematika Pada bagian pertanggungjawaban sistimatika ini diuraikan secara rinci bagian tiap-tiap bab serta sub bab yang dibahas serta yang memberikan uraianuraian yang mendukung di dalam menganalisa kasus yang dipaparkan diatas. Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab sebagai berikut : Bab I, Pendahuluan, yang mengawali seluruh rangkaian uraian dan yang terdiri dari latar belakang masalah yang menggambarkan adanya pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pekerja PT X secara bersama-sama dengan menandatangani surat pengunduran diri, bab ini juga mengemukakan permasalahan yang akan dibahas yang diletakan di rumusan masalah, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan yang terbagi dalam tujuan akademis dan tujuan praktis, metode penelitian yang digunakan, serta pertanggung jawaban sistematika yang menguraikan setiap bagian bab dalam penulisan skripsi ini

10

Bab II, Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja, Outsourcing dan Pemutusan Hubungan Kerja, sub bab pertama mengenai pengertian hubungan kerja dan perjanjian kerja, sub bab kedua mengenai pengertian dan ruang lingkup outsourcing dan sub bab ketiga mengenai pemutusan hubungan kerja dan hakhak pekerja. Bab ini akan membahas ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai hal-hal tersebut. Bab III, Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja PT X dengan Menandatangani Surat Pengunduran Diri, sub bab pertama mengenai uraian masalah dan sub bab kedua membahas masalah tersebut. Bab IV, Penutup, merupakan akhir kajian masalah yang dibahas, yang terdiri dari sub bab kesimpulan dan saran, sub bab kesimpulan memberikan konklusi terhadap seluruh uraian dan pembahasan yang telah dibahas dalam bab III. Kesimpulan merupakan perumusan kembali secara singkat jawaban atas pokok permasalahan yang sebagaimana telah dikemukakan, sedangkan sub bab saran sebagai alternatif pemecahan masalah dan rekomendasi bagi pemerintah maupun aparat penegak hukum di Indonesia.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, OUTSOURCING DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

5.

Pengertian Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja Berdasarkan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Lalu Husni berpendapat sebagai berikut: Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja, yakni suatu perjanjian dimana pekerja menyatakan kesanggupan untuk bekerja pada pihak perusahaan/majikan dengan menerima upah dan majikan/pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. 7 Perjanjian kerja menurut Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Menurut Pasal 1601a KUHPerdata, perjanjian kerja diartikan sebagai Perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Menurut A. Ridwan Halim, pengertian perjanjian kerja adalah

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, h. 123.

11

12

sebagai berikut : Suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan-karyawan tertentu, yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban mereka masing-masing terhadap satu sama lainnya.8 Berdasarkan definisi sebagaimana tersebut diatas dalam perjanjian kerja terdapat dua pihak, yaitu pihak majikan dan pihak buruh. Pihak majikan selaku pemberi kerja, menurut Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja/buruh menurut Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Perjanjian kerja tersebut harus memenuhi unsur-unsur perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan, yaitu Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Unsur-unsur ini harus dipenuhi, apabila ada salah satu unsur yang tidak terpenuhi, maka hubungan kerja tidak terjadi. Unsur pertama pekerjaan, menurut Djumadi di dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan

A. Ridwan Halim (dkk.), Seri Hukum Perburuhan Aktual, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, Cet I, 1987, h. 29.

13

sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian kerja tersebut.9 Pekerjaan itu haruslah dilakukan pekerja itu sendiri sesuai dengan perjanjian kerja dan tidak boleh dialihkan kepada orang lain tanpa seizin dari pengusaha. Unsur kedua upah, menurut Pasal 1 angka 30 UU Ketenagakerjaan, pengertian upah adalah sebagai berikut : Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Unsur ketiga perintah, yang menimbulkan adanya pimpinan orang lain. Menurut Djumadi, kedudukan kedua belah pihak tidaklah sama yaitu pihak yang satu kedudukannya di atas (pihak yang memerintah), sedang pihak yang lain kedudukannya di bawah pihak (pihak yang diperintah).10 Unsur perintah ini menempatkan pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Perjanjian kerja, menurut Pasal 51 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dibuat secara tertulis atau lisan. Suatu perjanjian yang sah akan mengikat sebagai undang-undang dan mempunyai akibat hukum bagi mereka yang membuatnya. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, ada

Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004,

h.36.
10

Djumialdji, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h.8.

14

empat syarat yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian menjadi sah, yaitu a. Kesepakatan kedua belah pihak, yaitu pengusaha dan pekerja. Kesepakatan berarti kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut haruslah bersepakat, setuju dan seia sekata atas hal-hal yang diperjanjikan. Dengan demikian tidak ada paksaan atau dwang, kekeliruan atau dwaling dan penipuan atau bedrog.11 Lalu Husni berpendapat bahwa kesepakatan berarti Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan12 Pasal 1323 KUHPerdata menyatakan bahwa Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam perjanjian yang dibuat itu. b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum. Suatu perjanjian yang sah harus dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu mereka yang dapat dikategorikan sebagai pendukung hak dan

11

Djumadi, op.cit. h. 18. Lalu Husni, op.cit. h. 67.

12

15

kewajiban. Pihak-pihak tersebut berupa orang maupun badan hukum, yang telah memenuhi beberapa syarat yang terdapat dalam peraturan perundangundangan. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain sebagai berikut : 1. Adanya harta kekayaan yang terpisah 2. Mempunyai tujuan tertentu 3. Mempunyai kepentingan sendiri 4. Ada organisasi Dengan terpenuhinya ke empat syarat tersebut, barulah badan hukum tersebut bisa disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek hukum.13 Apabila yang membuat perjanjian adalah orang, maka orang yang dianggap dapat melakukan hubungan hukum dengan pihak lain adalah orang yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata, yang menentukan bahwa : Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1. orang-orang yang belum dewasa; 2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Ketentuan Pasal 1330 angka 3 KUHPerdata telah tidak berlaku lagi sejak adanya Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa

13

Djumadi, log.cit.

16

(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Ketentuan ini diperkuat lagi dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963. c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan. Maksud dari syarat ini adalah sesuatu yang didalam perjanjian tersebut harus telah ditentukan dan disepakati. Ketentuan ini sesuai dengan yang disebutkan pada Pasal 1333 KUHPerdata bahwa barang yang menjadi objek suatu perjanjian harus ditentukan jenisnya.14 d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (sebab yang diperbolehkan). Berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata, Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3) UU Ketenagakerjaan, apabila perjanjian

14

ibid, h. 20.

17

yang dibuat itu bertentangan dengan ketentuan huruf a dan b maka akibat hukumnya perjanjian kerja itu dapat dibatalkan dan apabila bertentangan dengan ketentuan huruf c dan d maka akibat hukumnya perjanjian kerja itu adalah batal demi hukum. Berdasarkan Pasal 56 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat dibedakan antara Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Mengenai PKWT, Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian kerja waktu tertentu (selanjutnya disingkat Kep.100/Men/VI/2004), menentukan bahwa yang dimaksud dengan PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Menurut Djumialdji, Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu, yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.15 PKWT disyaratkan harus dibuat secara tertulis, jika tidak tertulis, dianggap sebagai PKWTT, sesuai ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja meskipun dapat dibuat untuk waktu tertentu, namun tidak semua perjanjian kerja tersebut dapat dibuat untuk jangka

15

Djumialdji, op.cit, h. 11.

18

waktu tertentu. Pasal 59 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan mengatur sebagai berikut (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu c. yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; d. pekerjaan yang bersifat musiman; atau e. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. (4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. (6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. (7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. PKWT ini menghasilkan adanya pekerja yang berstatus tidak tetap, yaitu pekerja yang berkerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), yaitu perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja untuk mengadakan hubungan

19

kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. PKWT inilah yang mendasari adanya pekerja kontrak.16 Menurut Pasal 1 angka 2 Kep.100/Men/VI/2004, yang dimaksud dengan PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Menurut Djumiadji, Perjanjian Kerja untuk waktu tidak tertentu, yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap.17 Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU Ketenagakerjaan, PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan selama tiga bulan, apabila perjanjian dibuat secara lisan, maka syarat masa

percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan, apabila tidak dicantumkan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Menurut Nurahcmad PKWTT merupakan perjanjian kerja yang menjadi dasar bagi perkerja tetap.18 Menurut Pasal 1313 KUHPerdata kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama dan seimbang. Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja mengikat kedua belah pihak. Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian kerja tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi

Much. Nurahcmad, Tanya Jawab Seputar Hak-Hak Tenaga Kerja Kontrak, Transmedia Pustaka, Jakarta, 2009, h. 1.
17

16

Djumialdji, log.cit. Much. Nurahcmad, log.cit.

18

20

mereka yang membuatnya. Perjanjian ini tidak dapat ditarik kembali tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. 2. Pengertian Outsourcing Outsourcing terbagi atas dua suku kata: out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa Indonesia berarti alih daya. Istilah outsourcing tidak secara eksplisit tercantum dalam UU Ketenagakerjaan, namun di dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan dapat dilihat secara tersirat yang dimaksud dengan praktik outsourcing adalah sebagai berikut 1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan. 2. Penyediaan jasa pekerja.19 Hal ini berarti bahwa di dalam outsourcing terdapat dua perusahaan, yaitu perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan dengan perusahaan yang menerima penyerahan sebagian pekerjaan tersebut. Pengertian outsourcing yang sebenarnya menurut undang-undang adalah pengalihan pekerjaan, dimana pekerja yang melakukan pengalihan pekerjaan itu seharusnya menjadi pekerja permanen dari perusahaan yang

19

Hidayat Muharam, log.cit..

21

menjadi penyedia pekerja/pekerjaan (outsorcer) tersebut.20 Sedangkan menurut Lalu Husni, outsourcing memiliki pengertian sebagai Pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja. Ini berarti ada perusahaan yang secara khusus melatih/mempersiapkan, menyediakan, mempekerjakan tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan lain. Perusahaan inilah yang mempunyai hubungan kerja secara langsung dengan buruh/pekerja yang dipekerjakan.21 3. Pemutusan Hubungan Kerja dan Hak-Hak Pekerja Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disingkat PHK) menurut Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut: Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. PHK adalah langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan (pengusaha) yang disebabkan karena suatu keadaan tertentu22 Asri Wijayanti mengartikan PHK sebagai berikut: PHK berarti suatu keadaan dimana si buruh berhenti bekerja dari majikannya. Hakikat PHK bagi buruh merupakan awal penderitaan, maksudnya bagi buruh permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dari

Muchtar Pakpahan dan Ruth Damaihati, Konflik Kepentingan Outsourcing dan Kontrak dalam UU No. 13 Tahun 2013, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, 2010, h. 108.
21

20

Lalu Husni, op.cit. h. 187.

Zainal Asikin (ed) et. al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, h. 173.

22

22

berakhirnya mempunyai pekerjaan, permulaan berakhirnya kemampuannya membiayai keperluan hidup sehari-hari baginya dan keluarganya.23 PHK yang dilakukan, haruslah sesuai dengan ketentuan yang ada pada UU Ketenagakerjaan. Pasal 151 UU Ketenagakerjaan mengatur sebagai berikut (1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. (2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benarbenar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Kesimpulannya, PHK harus dijadikan tindakan terakhir apabila terjadi perselisihan hubungan industrial, sedapat mungkin dilakukan perundinganperundingan terlebih dahulu sebelum memutuskan tindakan PHK. Selain itu, PHK harus didasari dengan adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, namun berdasarkan Pasal 154 UU Ketenagakerjaan ada beberapa pengecualian, yaitu dalam hal a. b. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;

Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 158.

23

23

c.

d.

pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau pekerja/buruh meninggal dunia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 152 UU Ketenagakerjaan, cara

mendapatkan penetapan PHK dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah sebagai berikut (1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. (2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2). (3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Menurut ketentuan Pasal 155 UU Ketenagakerjaan, apabila PHK dilakukan tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka PHK tersebut batal demi hukum. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya atau dapat melakukan tindakan berupa skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

24

Menurut Asri Wijayanti, Pada dasarnya cara terjadinya PHK ada 4 macam yaitu PHK demi hukum, PHK oleh buruh, PHK oleh majikan dan PHK atas dasar putusan pengadilan. 24 1. PHK demi hukum Pasal 1603e KUHPerdata menentukan bahwa hubungan kerja berakir demi hukum jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian atas peraturan-peraturan atau dalam peraturan perundang-undangan atau jika semua itu tidak ada menurut kebiasaan. Menurut Asri Wijayanti PHK demi hukum terjadi karena alasan batas waktu masa kerja yang disepakati telah habis atau apabila buruh meninggal dunia.25 Hal ini diatur pada Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menentukan sebagai berikut: Perjanjian kerja berakhir apabila : a. pekerja meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

24

ibid, h. 161. ibid, h. 161.

25

25

2.

PHK oleh pekerja PHK oleh buruh dapat terjadi apabila pekerja mengundurkan diri atau telah terdapat alasan mendesak yang mengakibatkan pekerja minta di PHK. Hal ini harus dilakukan pekerja atas kemauannya sendiri tanpa indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, seperti yang diatur dalam Pasal 154 huruf b UU Ketenagakerjaan bahwa pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali Mengenai PHK oleh pekerja, Pasal 162 UU Ketenagakerjaan mengatur sebagai berikut (1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. (3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat : a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. (4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

26

Berdasarkan ketentuan Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut : a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan; c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih; d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh; e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja. 3. PHK oleh majikan Asri Wijayanti berpendapat bahwa PHK oleh majikan dapat terjadi karena alasan apabila buruh tidak lulus masa percobaan, apabila majikan mengalami kerugian sehingga menutup usaha, atau apabila buruh melakukan kesalahan.26 Berkaitan dengan alasan PHK, Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan menentukan: (1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
26

ibid, h. 162.

27

melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan; g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. (2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut : a. pekerja/buruh tertangkap tangan; b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan yang terdapat dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan berikut ini: a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;

a.

28

b.

c. d. e. f.

g.

h.

i.

j.

pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; pekerja/buruh menikah; pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama; pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Menurut Kartasapoetra, sanksi atau hukuman bagi pemutusan

hubungan kerja yang tidak beralasan, yaitu a. b. Pemutusan tersebut adalah batal dan pekerja yang bersangkutan harus ditempatkan kembali pada kedudukan semula. Pembayaran ganti rugi kepada pekerja tersebut. Dalam hal ini pekerja berhak memilih antara penempatan kembali atau mendapatkan ganti rugi.27

G. Kartasapoetra. Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar Grafindo, Jakarta, 1992, h.287.

27

29

4.

PHK atas dasar putusan pengadilan PHK ini merupakan akibat dari putusan pengadilan yang muncul sebagai akibat dari adanya sengketa antara buruh dan majikan mengenai perselisihan hubungan industrial. Berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan Dalam

hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Hal ini berarti merupakan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak apabila tejadi PHK, yang menimbulkan hak bagi pekerja untuk memperoleh uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak apabila terjadi PHK. Berdasarkan Pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan, perhitungan uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak adalah sebagai berikut: (2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut : a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.

30

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. (3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai be-rikut : a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah. (4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perhitungan di atas menunjukan bahwa besarnya uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja sangat dipengaruhi oleh seberapa lamakah pekerja tersebut bekerja untuk pengusaha, semakin lama pekerja bekerja, semakian besar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja yang diterima oleh pekerja.

BAB III PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH PEKERJA PT X DENGAN MENANDATANGANI SURAT PENGUNDURAN DIRI

6.

Kronologi Kasus PT X merupakan salah satu perusahaan media terkemuka di Indonesia. Pada awalnya, PT X mempekerjakan 159 orang pekerja di bagian umum, yaitu pekerjaan yang bersifat penunjang, dengan berkedudukan sebagai pekerja tetap di bawah perintah PT X secara langsung. 159 orang pekerja ini telah mempunyai surat pengangkatan sebagai pekerja tetap dan sebagian besar telah bekerja cukup lama di PT X, yaitu sekitar 7 sampai 15 tahun. Setelah sistem outsourcing mulai terkenal di dunia bisnis, PT X ingin pula menerapkan sistem outsourcing agar dapat fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang (non-core) diserahkan kepada pihak lain. Akhirnya, 159 orang pekerja tersebut hendak dialihkan pada perusahaan outsourcing PT Y dan berkedudukan sebagai pekerja tidak tetap. Peralihan 159 orang pekerja PT X menjadi pekerja pada perusahaan outsourcing PT Y ini merupakan suatu keinginan sepihak dari PT X. PT X membuat surat pernyataan bahwa pekerja bersedia untuk mengundurkan diri sebagai pekerja dari PT X dan menyatakan bahwa selanjutnya ia bersedia untuk

31

32

dialihkan menjadi pekerja tidak tetap pada perusahaan outsourcing PT Y (selanjutnya disingkat surat pengunduran diri), selanjutnya tanpa alasan yang jelas 159 orang pekerja tersebut diminta untuk menandatanganinya.

Penandatangan surat pengunduran diri tersebut oleh pekerja menunjukan bahwa pekerja yang memiliki inisiatif untuk mengundurkan diri dari PT X. Kebijakan PT X ini dilaksanankan oleh bagian Human Resource Development (selanjutnya disingkat HRD) sebagai wakil perusahaan yang mengatur bidang perburuhan. Awalnya, pihak HRD membagikan surat panggilan kepada 159 pekerja yang menjadi sasaran kebijakan PT X, lalu pihak HRD meminta pekerja untuk menandatangani surat pengunduran diri, dengan mengatakan bahwa apabila pekerja tidak mau menandatanganinya, maka persoalan ini akan diselesaikan melalui pengadilan. Metode yang demikian membuat PT X berhasil mendapatkan tandatangan 119 orang pekerja, akan tetapi 40 orang pekerja yang terdiri dari 11 orang pekerja di bidang keamanan dan 31 orang pekerja di bidang transportasi, menolak dengan tegas. Hal ini karena mereka memahami bahwa peralihan ini sangat merugikan mereka, dulunya mereka menjadi pekerja tetap akan tetapi dengan menandatangani surat pengunduran diri tersebut mereka menjadi pekerja tidak tetap dan dipekerjakan dengan sistem outsourcing, terlebih lagi upah mereka juga lebih sedikit dari pada yang sebelumnya. Penandatangan surat pengunduran diri oleh 119 orang pekerja menunjukan bahwa telah terjadi pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh

33

pekerja. Sebaliknya, penolakan penandatangan surat pengunduran diri tersebut dapat diartikan bahwa pekerja tersebut menolak untuk mengundurkan diri sebagai pekerja tetap dari PT X dan menolak untuk dialihkan menjadi pekerja tidak tetap pada perusahaan outsourcing PT Y, akibatnya per tanggal 31 Juni 2012 dikeluarkan surat skorsing oleh PT X bagi perkerja tersebut tanpa alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Dampak dari skorsing tersebut adalah sejak tanggal 1 Juli 2012, pekerja yang tidak menandatangani surat pengunduran diri tersebut tidak diperbolehkan untuk bekerja pada PT X dan seluruh daftar hadir mereka serta akses fasilitas bagi mereka telah diblokir oleh PT X. Pekerja tersebut tidak lagi memperoleh hak-hak mereka seperti yang seharusnya mereka peroleh sebagai pekerja dari PT X, seperti mereka tidak lagi mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja bagi pekerja dan keluarganya serta hakhak lainnya. Mereka hanya mendapatkan upah bulanan. 7. Analisis Masalah Berdasarkan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Begitu pula dengan hubungan hukum antara PT X dan 159 orang pekerjanya didasarkan atas perjanjian kerja, yang diatur dalam Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan sebagai berikut Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Selama hubungan kerja berlangsung, maka PT X dan pekerja harus

34

mentaati perjanjian kerja. Berdasarkan Pasal Pasal 1 angka 15

UU

Ketenagakerjaan, Perjanjian kerja tersebut didalamnya memuat unsur-unsur pekerjaan, upah dan perintah. Unsur pertama pekerjaan, dalam hal ini ada pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan oleh pekerja sendiri. PT X menempatkan pekerja tersebut di bidang umum, yaitu pekerjaan yang bukan merupakan bisnis inti, akan tetapi hanya merupakan pekerjaan penunjang. Unsur kedua yaitu upah, 159 orang pekerja PT X menerima upah setiap bulannya dari PT X, ditambah dengan upah lembur jika ada lembur, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya. Unsur ketiga perintah, pelaksanaan kerja 159 orang pekerja tersebut didasarkan pada perintah dari PT X secara langsung. Kedudukan kedua belah pihak tidaklah sama yaitu PT X merupakan pihak yang memerintah sehingga kedudukannya berada di atas 159 orang pekerja tersebut yang merupakan pihak yang diperintah. Unsur perintah ini menempatkan 159 orang pekerja tersebut harus tunduk pada perintah PT X untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Perjanjian kerja antara PT X dan 159 orang pekerja telah dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UU Ketenagakerjaan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak; kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak

35

bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hal ini berarti bahwa perjanjian kerja tersebut mengikat kedua belah pihak yaitu PT X dan 159 orang pekerja sebagaimana mengikatnya undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menetukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian kerja sebagaimana Pasal 56 UU Ketenagakerjaan dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Menurut Djumialdji, perjanjian kerja terdiri atas 1. Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu, yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. 2. Perjanjian Kerja untuk waktu tidak tertentu, yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap. 28 Hubungan hukum antara PT X dan 159 orang pekerja didasarkan pada perjanjian kerja berbentuk PKWTT, sehingga kedudukan pekerja tersebut adalah sebagai pekerja tetap dan hubungan kerja akan berlangsung sampai pekerja memasuki masa pensiun, kecuali apabila salah satu pihak melakukan PHK. PT X berkehendak untuk mengubah sistem pengelolaan tenaga kerja di bidang pekerjaan yang bersifat penunjang untuk kemudian dialihkan

pengelolaannya pada perusahaan outsourcing PT Y. Dampaknya, pekerja yang dahulunya berada di bawah pengelolaan PT X akan beralih menjadi di bawah
28

Djumialdji, log.cit.

36

pengelolaan perusahaan outsourcing PT Y. Hal ini berarti, hubungan kerja juga beralih, yang semula pekerja melakukan hubungan kerja dengan PT X kemudian beralih menjadi hubungan kerja dengan PT Y, sehingga terjadi PHK dalam hubungan kerja PT X dan pekerja yang berjumlah 159 orang tersebut. Mengenai PHK, Pasal 151 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur sebagai berikut (4) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. (5) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Kesimpulannya, PHK harus dijadikan tindakan terakhir apabila terjadi perselisihan hubungan industrial, sedapat mungkin dilakukan perundinganperundingan terlebih dahulu sebelum memutuskan tindakan PHK. Seharusnya, dalam rangka perubahan sistem pengelolaan tenaga kerja di bidang yang bersifat menunjang ini, PT X mengadakan perundingan dengan 159 orang pekerja yang terkena dampak dari perubahan sistem ini. Kedua belah pihak dapat mencari solusi agar PHK tidak terjadi, ataupun apabila segala upaya telah dilakukan dan PHK tetap harus dilakukan, maka kedua belah pihak dapat mencapai suatu kesepakatan sehingga PHK dapat dilakukan tanpa memberikan kerugian bagi kedua belah pihak.

37

Pada kenyataannya, PT X tidak mengajak 159 orang pekerja tersebut untuk berunding. PT X mengambil suatu tindakan sepihak, yaitu dengan membuat surat pernyataan bahwa pekerja bersedia untuk mengundurkan diri sebagai pekerja dari PT X dan menyatakan bahwa selanjutnya ia bersedia untuk dialihkan menjadi pekerja tidak tetap pada perusahaan outsourcing PT Y. Kemudian, tanpa alasan yang jelas PT X meminta 159 orang pekerja dari untuk menandatangani surat pernyataan tersebut. Sebagaimana menurut Asri Wijayanti, Pada dasarnya cara terjadinya PHK ada 4 macam yaitu PHK demi hukum, PHK oleh buruh, PHK oleh majikan dan PHK atas dasar putusan pengadilan.
29

Tindakan PT X yang meminta 159

orang pekerja untuk menandatangani surat pengunduran diri merupakan tindakan PHK oleh majikan yang direkayasa menjadi PHK oleh buruh. Surat pengunduran diri yang telah ditandatangani oleh buruh tersebut nantinya akan dijadikan bukti bahwa pekerja mengundurkan diri sebagaimana yang dinyatakan secara tertulis pada surat tersebut. Proses PHK oleh buruh dengan menandatangani surat pernyataan tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 162 ayat (1) dan ayat (3) UU Ketenagakerjaan bahwa (1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

29

ibid, h. 161.

38

(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat : d. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; e. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan f. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. Syarat pertama, pekerja mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri. Syarat ini sekilas memang tampak telah terpenuhi dengan adanya penandatangan surat pengunduran diri oleh 119 pekerja, namun menurut ketentuan Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pengunduran diri haruslah atas kemauan sendiri. Penandatanganan surat pernyataan tersebut oleh 119 orang pekerja tidak berarti pekerja-pekerja tersebut sepenuhnya setuju terhadap seluruh isi surat pernyataan tersebut, karena pada dasarnya kalau diberi kesempatan bebas untuk memilih, mereka akan memilih untuk tidak menandatangani surat pengunduran diri tersebut. Asri Wijayanti berpendapat bahwa yang terpenting adalah menyangkut kebenaran status pekerja dalam hubungan kerja serta kebenaran alasan PHK.
30

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa alasan mengundurkan diri dari buruh harus benar karena jangan sampai terdapat kebohongan di dalam alasan tersebut. Pengunduran diri itu harus benar-benar murni atas inisiatif buruh sendiri tanpa

30

ibid, h. 167.

39

dipengaruhi oleh pihak lain.

31

Alasan mengundurkan diri dari pihak buruh

secara sukarela harus benar-benar ditelusuri kebenarannya. Hal ini untuk melindungi buruh dari tindakan sewenang-wenang dari majikan. Ketentuan Pasal 154 huruf b UU Ketenagakerjaan menjelaskan lebih dalam mengenai PHK oleh buruh, yaitu bahwa Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.

Kesimpulannya, berdasarkan ketentuan Pasal 154 huruf b dan Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, terdapat 2 unsur penting yang harus dipenuhi agar surat pernyataan pengunduran diri dapat dikatakan sah, yaitu unsur pertama adalah unsur atas kemauan sendiri dan unsur kedua adalah unsur tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha. Pengunduran diri dengan menandatangani surat pernyataan oleh 119 orang pekerja PT X bukanlah berasal dari kemauan pekerja-pekerja tersebut. Pekerja PT X tidak pernah berniat untuk mengundurkan diri dan meminta untuk dibuatkan surat pengunduran diri. Apabila mereka memang menghendaki adanya pengunduran diri, maka pekerja-pekerja tersebut dapat membuat surat pengunduran dirinya sendiri dan menandatanganinya sendiri. Pengunduran diri atas kemauan sendiri berarti harus benar-benar murni atas inisiatif pekerja sendiri

31

ibid, h. 168.

40

tanpa dipengaruhi oleh pihak lain, dalam kasus ini tindakan PT X yang membuatkan surat pengunduran diri bagi pekerja lalu meminta mereka untuk menandatanganinya menunjukan dengan jelas bahwa yang berinisiatif bukanlah pekerja, melainkan PT X. Hal ini menunjukan bahwa unsur pertama, yaitu unsur atas kemauan sendiri, tidak terpenuhi dalam penandatangan surat pernyataan pengunduran diri oleh 119 pekerja PT X. Pengunduran diri dengan menandatangani surat pernyataan oleh 119 orang pekerja PT X mengandung unsur adanya tekanan/intimidasi dari PT X, meskipun tidak secara langsung dinyatakan secara tegas adanya ancaman. Tekanan/intimidasi dari PT X ini merupakan suatu bentuk paksaan terhadap pekerjanya. Paksaan adalah suatu perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, di mana terhadap orang yang terancam karena paksaan tersebut timbul ketakutan baik terhadap dirinya maupun terhadap kekayaannya dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.
32

Menurut Pasal 1324 KUHPerdata,

Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata

32

Dzulkifti Umar dan Jimmy P, Kamus Hukum, Grahamedia Press, Surabaya, 2012, h. 316.

41

Tindakan HRD PT X dalam meminta pekerja untuk menandatangani surat pengunduran diri dengan mengatakan bahwa apabila pekerja tidak mau menandatangani surat pengunduran diri, maka PT X akan menyelesaikan masalah tersebut di pengadilan merupakan suatu bentuk tekanan/intimidasi yang memaksa pekerja untuk menandatangani surat tersebut. Situasi dan kondisi yang diciptakan oleh HRD saat itu berpotensi menimbulkan rasa takut pada pekerja mengingat pekerja tersebut tidak memiliki latar belakang pendidikan yang baik untuk mampu mengerti pelaksanaan proses hukum, serta keterbatasan kemampuan untuk mengeluarkan segala biaya yang diperlukan dalam menempuh proses hukum. Tekanan/intimidasi ini semakin diperkuat dengan melihat kedudukan PT X dan pekerjanya yang tidak seimbang. Sebagaimana menurut Djumadi, kedudukan kedua belah pihak tidaklah sama yaitu pihak yang satu kedudukannya di atas (pihak yang memerintah), sedang pihak yang lain kedudukannya di bawah pihak (pihak yang diperintah).33 Kedudukan PT X yang lebih dominan dari pada pekerja menimbulkan tekanan tersendiri bagi pekerja. Tindakan HRD PT X merupakan suatu bentuk tekanan/intimidasi yang menimbulkan adanya paksaan terhadap pekerja dalam menandatangani surat pengunduran diri, sehingga tampak bahwa unsur kedua yaitu unsur tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, tidak terpenuhi dalam penandatangan surat pernyataan pengunduran diri oleh 119 pekerja PT X.

33

Djumialdji, op.cit, h.8.

42

Kesimpulannya, surat pernyataan pengunduran diri yang ditandatangani oleh 119 pekerja PT X tidak memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan Pasal 154 huruf b dan Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yaitu tidak dibuat atas kemauan sendiri dan mengandung indikasi adanya tekanan/intimidasi dari PT X. Hal ini berarti, tidak ada permohonan pengunduran diri dari pekerja, sehingga syarat pertama dalam Pasal 162 ayat (3) tidak terpenuhi. Praktek yang demikian memang sering terjadi. Asri Wijayanti berpendapat bahwa Dalam praktik alasan mengundurkan diri banyak dipakai oleh personalia atau HRD suatu perusahaan tentang keluarnya seorang buruh dari hubungan kerja. Meskipun sebenarnya pengunduran diri itu hanya rekayasa majikan supaya hak yang diperoleh buruh lebih kecil daripada yang seharusnya. kenyataan dalam praktiknya sebenarnya PHK tersebut atas inisiatif majikan, tetapi direkayasa menjadi PHK karena pengunduran diri buruh. 34 Syarat kedua, pekerja tidak terikat dalam ikatan dinas. 159 orang pekerja tersebut tidak terikat dalam ikatan dinas apapun. Syarat ketiga, tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. Pekerja PT X tetap melakukan kewajibannya sampai proses pengunduran diri dan peralihan ke perusahaan outsourcing PT Y selesai. PHK yang dilakukan oleh 119 Pekerja PT X tidak memenuhi ketentuan pengunduran diri sebagaimana ditetapkan pada Pasal 162 UU Ketenagakerjaan, sehingga dalam hal ini pengunduran diri secara bersama-sama yang dilakukan oleh pekerja PT X tidak dapat dikatakan sah menurut UU Ketenagakerjaan.

34

Asri Wijayanti, op.cit. h.168

43

Hal ini berarti, PHK masih belum terjadi dan 119 pekerja PT X tersebut mempunyai hak untuk bekerja sebagai pekerja tetap di PT X dan memperoleh kembali upahnya yang semula beserta hak-hak pekerja lainya. Apabila PT X tetap menghendaki adanya PHK, maka PT X harus melalui prosedur yang berlaku menurut UU Ketenagakerjaan dan memenuhi segala kewajiban yang timbul akibat tindakan PHK tersebut.

BAB IV PENUTUP

1.

Simpulan Berdasarkan kajian dan pembahasan yang telah dikemukakan terhadap permasalahan sebagaimana diuraikan pada bab-bab terdahulu dapat disimpulkan bahwa PHK yang dilakukan oleh pekerja PT X secara bersama-sama dengan menandatangani surat pengunduran diri tidak sah, karena tidak memenuhi syarat pengunduran diri dalam Pasal 162 ayat (3) huruf a UU Ketenagakerjaan, yaitu : pekerja harus mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri. Syarat ini tidak terpenuhi dalam penandatangan surat pengunduran diri oleh 119 pekerja, karena tidak memenuhi 2 unsur penting yang terdapat dalam ketentuan Pasal 154 huruf b dan Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yaitu 1. tidak memenuhi unsur atas kemauan sendiri karena pekerja PT X tidak pernah berniat untuk mengundurkan diri melainkan PT X yang menghendakinya untuk menjalankan sistem outsourcing di PT X, dan 2. tidak memenuhi unsur tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha karena tindakan HRD dalam meminta pekerja untuk

menandatangani surat pengunduran diri mengandung tekanan/intimidasi yang memaksa pekerja untuk menandatangani surat tersebut. 44

45

Hal ini berarti sebenarnya tidak ada pengajuan permohonan pengunduran diri secara tertulis dari pekerja, sehingga PHK masih belum terjadi dan pekerja PT X mempunyai hak untuk dipekerjakan kembali seperti keadaan semula. 3. Saran a. Pekerja PT X dapat segera melakukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan berdasar pada ketentuan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan untuk memperoleh kedudukan yang menjadi haknya. b. Pelaksanaan sistem outsourcing oleh PT X tidak dilarang oleh UU Ketenagakerjaan, akan tetapi dalam pelaksanaannya PT X tetap harus mematuhi ketentuan yang ada dalam UU Ketenagakerjaan dan harus mau menanggung segala kewajiaban yang timbul dari pelaksanaan sistem outsourcing.

DAFTAR BACAAN

Asikin, Zainal (ed) et. al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.

Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.

Djumialdji, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Halim, A. Ridwan (dkk.), Seri Hukum Perburuhan Aktual, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, Cet I, 1987.

Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012.

Kartasapoetra, G., Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar Grafindo, Jakarta, 1992.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006.

Muharam, Hidayat, Hukum Ketenagakerjaan serta Pelaksanaanya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2006.

Nurahcmad, Much., Tanya Jawab Seputar Hak-Hak Tenaga Kerja Kontrak, Transmedia Pustaka, Jakarta, 2009.

Pakpahan, Muchtar dan Ruth Damaihati, Konflik Kepentingan Outsourcing dan Kontrak dalam UU No. 13 Tahun 2013, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, 2010.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 2003.

Umar, Dzulkifti dan Jimmy P, Kamus Hukum, Grahamedia Press, Surabaya, 2012.

Wijayanti, Asri, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Anda mungkin juga menyukai