Anda di halaman 1dari 6

Udang Windu (Panaeus monodon)

1. Profil Komoditi Udang windu yang dikenal dalam Internasional dengan sebutan black tiger dan nama latin Panaeus monodon merupakan salah satu jenis udang yang memiliki nilai jual tinggi dan merupakan primadona ekspor non migas. Udang windu merupakan salah satu bahan makanan sumber protein hewani yang bermutu tinggi. Permintaan konsumen dunia terhadap udang rata-rata naik 11,5% per tahun. Berikut adalah klasifikasi klasifikasi udang black tiger (Fast and Lester, 1992) yaitu: Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Melacostraca Ordo : Decapoda Family : Penaeidae Genus : Penaeus Species : Penaeus monodon

Gambar 1. Udang Windu (Panaeus monodon). Udang windu terbagi menjadi dua bagian, yaitu kepala yang menyatu dengan dada (chepalothorax) dan bagian perut (abdomen). Bagian kepala beratnya lebih kurang 36-49% dari total keseluruhan berat badan, daging 24-41% dan kulit 17-23%. Umumnya udang yang terdapat di pasaran sebagian besar terdiri dari udang laut. Hanya sebagian kecil saja yang terdiri dari udang air tawar hasil budidaya

udang windu, terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Lokasi yang cocok untuk tambak udang windu adalah pada daerah sepanjang pantai (beberapa meter dari permukaan air laut) dengan suhu rata-rata 26-280C dan daerah pasang surut dengan fluktuasi pasang surut 2-3

meter. Tanah yang bertekstur liat atau liat berpasir dengan tekstur tanah dasar terdiri dari lumpur liat berdebu atau lumpur berpasir kandungan pasir tidak lebih dari 20% merupakan tanah yang coock untuk budidaya udang windu karena dapat menahan air. Jenis perairan untuk budidaya udang windu adalah air payau dengan kadar garam/salinitas antara 0 hingga 35 /mil, kadar pH antara 7,5 hingga 8,5, DO 4-8 mg/liter dan kandungan amonia kurang dari 0,1 mg/liter. 2. Pohon Industri

Udang Windu
Daging Udang Kaleng Udang Beku Kerupuk Udang Fotografi Udang breaded beku Udang masak beku

Kulit Udang Khitin Khitosan Farmasi dan kosmetik

Pengawetan kayu

Udang mentah beku

3.

Randemen Sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang

berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%). Seluruh tubuh terdiri dari ruas ruas yang terbungkus oleh kerangka luar atau eksoskeleton dari zat tanduk atau kitin dan diperkuat oleh bahan kapur kalsium karbonat. Limbah udang dapat dimanfaatkan menjadi senyawa khitosan. Namun sampai saat ini limbah tersebut belum diolah dan dimanfaatkan secara maksimal sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan khususnya bau dan estetika lingkungan yang buruk.

Khitosan merupakan salah satu bahan kimia yang dapat digunakan untuk proses pengolahan limbah tekstil. Dengan struktur polimer yang dimilikinya, yaitu 2amino-2-deoksi-D-glukosa, khitosan mengandung gugus amino bebas dalam rantai kabonnya dan bermuatan positif sehingga menyebabkan molekul tersebut bersifat resisten terhadap stress mekanik. Gugus amino bebas inilah yang banyak memberikan kegunaan bagi khitosan. Khitosan dibentuk dari bahan baku kitin melalui proses deasetilasi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, semakin kuat interaksi ikatan hidrogen dan ion dari khitosan. Sehingga khitosan bermuatan positif, berlawanan dengan polisakarida alam lainnya. Sedangkan kitin merupakan bahan yang dapat diperoleh dari proses pengolahan limbah industri perikanan, seperti kulit udang, kulit dan kepala kepiting, dan lain lain. Kandungan kitin yang berasal dari kulit udang adalah 42%-57%.

4.

Faktor Kritis Udang sebagai salah satu produk perikanan memilliki sifat mudah busuk

(highly perishable), maka penanganan dan proses produksi yang baik mutlak diperlukan agar mutu dan keamanan udang tetap segar pada saat dikonsumsi. Mutu udang terutama ditentukan oleh keadaan fisik, organoleptik (rupa, warna, bau, rasa dan tekstur), ukuran dan keseragaman udang. Oleh karena itu, tidak boleh ada cacat, rusak atau defect yang akan mengurangi nilai dari mutu udang.

Standar syarat mutu dan keamanan pangan udang beku yang harus diperhatikan adalah penilaian organoleptiknya, cemaran mikroba, cemaran kimia, fisika, dan filth. Kemunduran mutu udang segar sangat berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Sebagai produk biologis, udang termasuk bahan makanan yang mudah busuk bila dibandingkan dengan ikan. Susunan tubuh udang mempunyai hubungan erat dengan masa simpannya. Bagian kepala merupakan bagian yang sangat berpengaruh terhadap daya simpan karena bagian ini mengandung enzim pencernaan dan bakteri pembusuk. Proses penurunan mutu udang disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari badan udang itu sendiri dan faktor lingkungan. Penurunan mutu ini terjadi secara autolisis, bakteriologis, dan oksidasi. Pencegahaan terhadap sifat udang windu yang highly perishable ini adalah dengan menyimpan udang windu secara beku (dibekukan). Hal itu dilakukan agar mutu udang windu yang terus terjaga dan tidak busuk. Proses pembekuan ini membutuhkan keberadaan listrik yang digunakan untuk freezer tempat penyimpanan udang windu. Selain itu juga listrik digunakan untuk penggunaan alat elektronik lainnya dalam pengolahan udang windu menjadi produk turunannya, seperti penggunaan mixer untuk pencampuran udang dengan bahan lain dalam pembuatan nugget udang. Kemudahan sarana transportasi dibutuhkan pada saat pengantaran produk. Namun karena selama ini para pedagang dan pemesan yang langsung mengambil, sehingga tidak menjadi hal yang utama, namun tetap dibutuhkan sarana transportasi untuk memperlancar distribusi produk dan juga agar mutu produk udang windu tetap terjaga. 5. Tipe Proses Tipe proses dalam teknologi budidaya udang pada dasarnya merupakan suatu sistem pengelolaan yang terpadu untuk menciptakan suatu kondisi lingkungan di dalam petakan tambak agar sesuai dengan habitat dan behaviour udang secara alami dari awal penebaran benur sampai ke panen normal. Dapat disimpulkan, bahwa sistem pengelolaan yang termasuk dalam teknologi budidaya ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan, yang pertama adalah penentuan

jenis udang yang akan ditebar. Jenis udang yang akan dibudidayakan merupakan jenis yang bernilai ekonomis tinggi dan tidak rentan terhadap penyakit. Kemudian penentuan pola budidaya (intensif, semi intensif, tradisional, monokultur atau multikultur, dan frekuensi budidaya). Pola budidaya yang diterapkan menyesuaikan dengan kondisi daya dukung lahan dan perairan serta kemampuan teknologi dan financial budidaya serta harus didukung dengan penyiapan lahan tebar benur yang benar-benar menciptakan kondisi yang optimal bagi kelangsungan hidupnya, karena mengalami peralihan lingkungan dari hatchery ke dalam lingkungan tambak. Dalam penyeleksian jenis dan kualitas benur. Kualitas dan jumlah benur harus benar-benar terseleksi agar diperoleh tingkat kehidupan yang tinggi dan tidak bermasalah sejak dini. Selain itu, pengelolaan kualitas air tambak harus mengacu pada keseimbangan ekosistem perairan tambak. Yang harus diperhatikan pula dalam pola pemberian pakan udang harus mengikuti kebutuhan udang agar agar tidak terjadi kelebihan makanan yang dapat mengakibatkan pembusukan di dasar tambak dan berbahaya bagi udang, sehingga akan berdamapak pada produksi udang dan akhirnya akan menggangu keuangan perusahaan. Pengelolaan pertumbuhan dan kualitas udang harus dilakukan secara terus menerus agar teknologi dan perlakuan yang diberikan bisa sesuai dengan kondisi udang, dan harus ditangani dengan masalah lingkungan, sehingga pengambilan keputusan lebih mengena pada akar permasalahannya. Dalam pemanenan udang, secara prinsip pola pemanenan udang adalah menjaga kualitas dan kuantitas udang selama proses pemanenan berlangsung karena akan berpengaruh pada harga jual udang. Pengelolaan tambak pasca panen pun harus diperhatikan, karena kegiatan ini merupakan proses sterilisasi dan pengembalian produktifitas lahan untuk kegiatan budidaya periode berikutnya. Pada sistem pengelolaan berpola intensif penerapan teknologi budidaya udang di atas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dalam pengambilan keputusan serta perlakuan yang akan diberikan harus terintegrasi secara utuh. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa teknologi budidaya udang belum ada standar yang bersifat empiris yang dapat digunakan,

sehingga secara umum teknologi yang biasa dipakai masih bersifat trial and error. 6. Informasi Dasar Kelayakan Finansial Berdasarkan data yang didapat, dalam budidaya udang windu diketahui nilai R-C ratio permusimnya adalah sebesar1,31 hingga 1,59 yang artinya seriap Rp 1,00 yang dikeluarkan pada usaha budidaya udang windu akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1,31 hingga Rp 1,59. Nilai B/C ratio permusim tanamnya 1,37. Payback period pada usaha budidaya udang windu berkisar antara 3 hingga 4 tahun, yang artinya investasi yang ditanamkan pada usaha budidaya udang windu akan kembali setelah kegiatan usaha budidaya udang windu tersebut berlangsung selama 3 hingga 4 tahun, sedangkan nilai BEP pada budidaya udang atas dasar unit udang windu yang dihasilkan adalah 206,4 kg dan nilai BEP atas dasar penjualan adalah sebesar Rp 3.688.540,00 (degan asumsi harga udang windu perkilogram adalah Rp 19.000,00. Nilai NPV hasil budidaya udang windu jika tanpa ada modal pinjaman adalah sebesar Rp 6.447.242,67 dan nilai IRRnya sebesar 28,96% yang berarti usaha tersebut akan memberikan keuntungan sebesar 28,96% dari investasi yang ditanamkan, sedangkan jika menggunakan modal pinjaman, nilai NPV pada budidaya udang adalah sebsar Rp 129.061.398,60 dengan nilai IRR sebesar 45,98%.

Anda mungkin juga menyukai