Anda di halaman 1dari 27

Hari, Tanggal : Senin, 2 dan 9 Desember 2013 Putaran : VII ANALISIS SPERMA RUTIN I. TUJUAN 1.

1 Tujuan Instruksional Umum 1.1.1 Mahasiswa mengetahui prosedur pemeriksaan sperma baik secara makroskopis maupun mikroskopis. 1.1.2 Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan pemeriksaan sperma secara makroskopis maupun mikroskopis. 1.2 Tujuan Instruksional Khusus 1.2.1 Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan atau analisis sperma baik secara makroskopis maupun mikroskopis. 1.2.2 Mahasiswa dapat mengetahui hasil pemeriksaan atau analisis sperma yang diperiksa serta dapat menginterpretasikan hasil yang diperoleh II. METODE Adapun metode yang digunakan dalam analisis sperma secara mikroskopis dan makroskopis kali ini adalah sebagai berikut. 2.1 Analisis Sperma secara Makroskopis Analisis sperma secara makroskopis dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap beberapa parameter antara lain uji koagulasi atau likuefaksi, pemeriksaan warna, bau , pH, volume, dan viskositas. 2.2 Analisis Sperma secara Mikroskopis Analisis sperma secara mikroskopis dilakukan dengan beberapa metode antara lain : 1. Metode Direct preparat 2. Pembuatan preparat hapusan dengan pewarnaan giemsa dan eosin 5% 3. Metode hitung jumlah sperma dengan kamar hitung Improved Neubauer. III. PRINSIP 3.1 Pemeriksaan Makroskopis Sampel sperna dikumpulkan kemudian ditunggu hingga mengalami likuefaksi 520 menit setelah diejakulasikan. Kemudian diamati makroskopisnya meliputi likuefksi sperma, warna, bau, volume, konsistensi, dan pH. 3.2 Pemeriksaan Mikroskopis 3.2.1 Direct Preparat

3.2.2

3.2.3

Sperma diteteskan pada objek glass, kemudian ditutup dengan cover glass, diusahakan tidak terbentuk gelembung, kemudian diperiksa dengan pembesaran lensa objektif 40 kali. Preparat Apusan dengan Pewarnaan Giemsa Sperma diteteskan pada objek glass kemudian dihapuskan dengan kaca penghapus (kaca objek bagian tepi) dengan sudut 300-450 terhadap kaca sediaan lalu kaca penghapus didorong sedikit ke belakangsperma menyebar rata di tepi kaca penghapuskaca penghapus didorong ke depan dengan kecepatan konstan hingga terbentuk hapusan seperti lidah kucingdibiarkan sediaan mengeringdifiksasi dengan methanol p.a selama 5 menitdiwarnai dengan cat giemsa 10% didiamkan selama 30 menitdialiri dengan airdikeringkandiamati morfologi dengan mikroskop pembesaran lensa objektif 100 kali dengan penambahan oil imersi. Preparat apusan dengan Pewarnan Eosin 5% Sperma diteteskan di atas kaca objek lalu ditetesi eosin 5%dihomogenkandibuat apusan tipis dengan kaca penghapus dengan sudut 300-450 terhadap kaca sediaan lalu kaca penghapus didorong sedikit ke belakangsperma menyebar rata di tepi kaca penghapuskaca penghapus didorong ke depan dengan kecepatan konstan hingga terbentuk hapusan seperti lidah kucingdibiarkan sediaan mengeringdibaca di bawah mikroskop dengan perbesaran lensa objektif 40 kali.

IV.

DASAR TEORI 4.1 Tinjauan Umum tentang Sperma Spermatozoa adalah sel kelarnin jantan yang dibentuk pada tubuli semineferi testes

melalui proses yang disebut spermatogenesis (Toelihere, 1993 dan Salisbury dan VanDemark, 1985). Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa, mencakup

spermatositogenesis dan spermiogenesis (Dorland, 2007). Spermatogenesis melibatkan sel germinativum primordial yang belum berdiferensiasi, spermatogonia berpoliferasi dan diubah menjadi spermatozoa yang mengandung 23 kromosom dan dapat bergerak. Beberapa tahap yang dilalui: 1. Spermatogenesis Setelah sel anak pernghasil sperma bermitosis dua kali untuk menghasilkan spermatosit primer, setiap spermatosit primer akan bermeiosis menjadi dua spermatosit sekunder dengan

jumlah haploid 23 kromosom rangkap. kemudian dengan bermeiosis kedua kali, akhirnya menghasilkan empat spermatid( masing-masing 23 kromosom tunggal).

2. Spermiogenesis ???????????????????????????????

Faktor-faktor hormonal yang merangsang spermatogenesis adalah : 1. Testosteron : disekresikan oleh sel-sel leydig yang ada pada interstisium testis. Testosterone ini sangat penting bagi pertumbuhan dan pembelahan sel-sel germinal testis. 2. LH (Luteinizing Hormone) : dihasilkan oleh glandula hipofisis bagian anterior. Hormone ini merangsang sel-sel leydig untuk menghasilkan testosterone.

3. FSH (Folikular Stimulating Hormon) : dihasilkan oleh glandula hipofisis bagian anterior, untuk merangsang sel-sel sertoli yang berperan dalam proses spermatogenesis. 4. Estrogen : dibentuk dari testosterone 5. Hormon pertumbuhan : diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi metabolisme testis.

4.2 Fisiologi Spermatozoa Secara garis besar spermatozoa terbagi atas kepala dan ekor (Gamer dan Hafez, 2000). Sedangkan menurut Salisbury dan VanDemark (1985) spermatozoa normal memiliki kepala, leher, badan dan ekor (Gambar 1). Kepala spermatozoa terisi dengan materi inti mengandung kromosom DNA (deoxy ribonucleic acid) yang membawa informasi genetik. Bagian tengah ekor (axonema) terdapat sejumlah mitokondria yang dipercaya dapat memberikan energi untuk daya gerak. Bagian ini mengandung sebagian besar mekanisme daya gerak spermatozoa dan memiliki peranan yang sangat penting terhadap motilitas (Toelihere, 1993).

Metabolisme spermatozoa dalam keadaan anaerob menghasilkan asam laktat yang makin tertimbun dan meninggikan derajat keasaman atau mendan pH larutan tersebut. Derajat keasaman sangat mempengaruhi daya tahan hidup spermatozoa. Pada sapi dan dornba, pH semen adalah netral, sekitar 6,8 (ToelihereJ 993b). Spermatozoa juga melakukan proses metabolime secara aktif, dengan adanya enzim yang dibutuhkan untuk reaksi kimia seperti glikolosis, siklus asam trikarbosilik, oksidasi asam lemak dan transpor elektron (Gamer dan Hafez,2000). Proses metabolisme juga dilakukan untuk menghasilkan dan menyimpan energi berupa ATP (adenosine triphospate) yang digunakan untuk pergerakan atau motilitas spermatozoa (Metz dan Monroy, 1967). Setelah menyelesaikan spermatogenesis dalam testes, spermatozoa harus terlebih dahulu mengalami pematangan di epididrnis, kapasitasi disaluran reproduksi betina dan reaksi akrosom saat berikatan dengan sel telur agar fertilisasi dapat terjadi (Djuwita et al., 2000). Sedangkan menurut Tomaszewska et al. (1991) spermatozoa mengalami fase pematangan yang kornpleks di dalam saluran reproduksi betina yaitu kapasitasi dan reaksi akrosom. kapasitasi Spermatotoa dan Reaksi Akrosom Kapasitasi Spermatozoa. Spermatozoa mamalia mengalami proses pernatangan di dalam saluran reproduksi jantan (Tomaszewska et al., 1991). Pematangan pada epididimis meliputi penghilangan sisa-sisa sitoplasma (cytoplasmic droplet), penambh beberapa protein pada membran plasma, serta memperoleh kemampuan bergeraklmotilitas (Djuwita et al., 2000). Kapasitasi merupakan proses fisiologis yang te rjadi selama spermatozoa melalui saluran reproduksi betina dimana ter jadi perubahan kestabilan membran plasma spermatozoa sehingga memungkinkan terjadmya proses reaksi akrosom (Djuwita et al., 2000). Anderson (1977) mengemukakan bahwa kapasitasi spermatozoa dapat dilihat dari dua mekanisme, pelepasan faktor kimia (faktor dekapasitasi) dari spermatozoa dan aktifasi enzim akrosom (reaksi akrosom). Proses kapasitasi memungkinkan terjadinya perubahan membran spermatozoa serta pelepasan suatu komponen dari perrnukaan akrosom (Blandau, 1980). Kapasitasi mencakup pemecahan parsial akrosom bagian luar dan membran plasma, sehingga enzim akrosom dapat dilepaskan. Enzim-enzim tersebut selanjutnya dapat menembus zona pelusida. Kapasitasi juga mengaktifkan metabolisme sel-sel spermatozoa dengan menaikkan laju glikolisis dalam sel

danmenaikan metabolisme oksidatif (Randson, 1992). Menurut Mach ef al. (1991) kapasitasi mengakibatkan terjadinya hipermotilitas spermatozoa dan memudahkan terjadiiya reaksi akrosom walaupun belum menyebabkan terjadiiya pelepasan enzim akrosom karena membran akrosom sebelah luar masih utuh. Secara in vitro kapasitasi spermatozoa dapat dilakukan dengan pencucian (sentrifugasi) pada medium BO ataupun CRlaa yang telah diberi tambahan kafein, heparin Gosenkrans dan First, 1991). Beberapa metode kapasitasi telah banyak dikembangkan untuk menyiapkan spermatozoa menjadi terkapasitasi, diantaranya menggunakan kafein, heparin, percoll gradient, hipotaurin, liposom, medium berkekuatan ion tinggi (high ionic strength medium) dan masih banyak yang lain (Herawati et al., 2001). Reaksi Akrosom. Reaksi akrosom yaitu peleburan membran plasma dengan membran akrosom dari spermatozoa (Djuwita et al., 2000, Garner dan Hafez, 2000 dan Anderson, 1977) yang memungkinkan pengeluaran enzim-enzim hidrolitik yang terkandung di dalam tudung akrosom. Setelah dekat dengan oosit, spermatozoa yang telah menjalani kapasitasi akan terpengaruh oleh zat-zat dari corona radiata ovum, sehingga isi akrosom dari daerah kepala spermatozoa akan terlepas dan berkontak dengan lapisan corona radiata. Pada saat ini dilepaskan hyaluronidase yang dapat melarutkan corona radiata, hypsine-like agent dan lysine-zone yang dapat melarutkan dan membantu spermatozoa melewati zona pelusida untuk mencapai ovum (Reksoprodjo et al., 2007) 4.3 Penilaian Kualitas Spermatozoa 1. Motilitas Spermatozoa. Semen normal akan mengandung sejurnlah spermatozoa yang bergerak progresif, mati, hidup tetapi imrnotil, atau motilitasnya lemah (Campbell et al. 2003). Penaksiran motilitas merupakan penilaian subyektif terhadap kemampuan dan kualitas motilitas dari spermatozoa (Ax et al., 2000). Perkiraan motilitas adalah suatu prosedur secara visual dan hasilnya dimyatakan secara komparatif, tidak mutlak. Oleh karena itu untuk melihat motilitas spermatozoa di dalam suatu sampel semen diteruskan secara keseluruhan atau sebagai rata-rata dari populasi spermatozoa (Toelihere, 1993b dan Salisbury dan VanDemark, 1985).

Motilitas spermatozoa sangat rentan dengan perubahan kondisi lingkungan (Ax et al., 2000). Sewaktu penampungan harus diperhatikan agar ejakulat tidak mengalami penurunan suhu secara mendadak (cold shock) yang sangat mempengamhi motilitas spermatozoa. Panas yang berlebih-lebihan dan bahan- bahan kimia atau benda asing lainnya juga mendan motilitas speramatozoa (Toelihere, 1993b). 2. Hidup Mati Sperma Hidup Mati Spermatozoa. Perbedaan afinitas zat warna antara sel-sel spermatozoa yang mati dan yang hidup dipergunakan untuk menghitung jumlah spermatozoa yang hidup secara obyektif. Zat warna yang digunakan adalah eosin atau eosin negrosin (Toelihere, 1993b), sedangkan menurut Salisbury dan VanDemark (1985), eosin adalah pewarna yang paling baik digunakan, dilengkapi dengan opal blue sebagai latar belakang sehingga pengamatan spermatozoa yang benvama dan yang tidak benvama menjadi jelas. Penghitungan spermatozoa hidup dan mati perlu dinilai secara kritis. Zat warna atau teknik pewamaan yang kurang baik sangat mempengdi hasil pemeriksaan. Teknik pewamaan dilakukan dengan membuat preparat ulas. Spermatozoa yang mati akan benvama merah dan sepermatozoa yang hidup tak benvama. Suatu kejadian kerusakan spermatozoa yang tinggi biasanyaberhubungan dengan motilitas dan fertilitas yang rendah. Akan tetapi motilitas yang rendah dapat berkaitan dengan persentase spermatozoa hidup yang normal (Toelihere, 1993b). 3. Abnormalitas Spermatozoa. Setiap sampel semen mengandung beberapa spermatozoa abnormal. Morfologi abnormalitas spermatozoa mempunyai hubungan yang besar dengan fertilitas (Ax et aL, 2000). Ada korelasi positif antara morfologi normal sperma dengan abnormalitas. Pada domba, ketika terdapat 20% atau lebih spermatozoa abnormal menunjukkan ketidaksuburan atau fertilasnya diragukan. Lebih dari 15% spermatozoa abnormal maka tidak dapat digunakan untuk inseminasi buatan (Ax et aL, 2000). Jumlah abnormalitas dihitung dari pemeriksaan sekitar 200 sel spermatozoa. Kelainan morfologi di bawah 20% masih dianggap normal (Toelihere, 1993a). Jumlah total spermatozoa hidup per inserninasi lebih penting dari persentase spermatozoa abnormal. Ketidakmampuan dari satu spermatozoa untuk penetrasi ke zona pelusida dari sel teIur

dipercaya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi fertilisasi (Ax et al.,2000). Abnormalitas bisa terjadi pada kepala, leher, badan, ekor, atau beberapa kombinasi pada bagianbagian tersebut. Abnormalitas pada kepala termasuk kepala kembar, kepala pipih atau berbentuk buah per bulat, mengerut, membesar, menyempit, memanjang dan kepala kecil. Abnormalitas pada leher terdiri dari leher patah, dan kepala tak berekor, abnormalitas pada badan umumnya bengkok, patah, pendek, membesar, atau rnenebal, filiform ganda dan seperti

batang,penggabungan tanpa sumbu dengan kepala. Abnormalitas pada ekor adalah melingkar, ganda, patah, menggulung (Salisbury dan VanDernark, 1985). 4.4 Analisis Sperma Analisis semen dilakukan agar dapat mengetahui gangguan-gangguan fertilitas pada penderita yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada produksi hormon androgen pada penderita tersebut. Dan prosedur analisis semen ini dilakukan berdasarkan buku petunjuk WHO Manual for the examination of the Human Semen and Sperm-Mucus Interaction (WHO, 1999). Semen, yang diejakulasikan selama aktivitas seksual pria, terdiri atas cairan dan sperma yang berasal dari vas defferents (10% dari keseluruhan semen), cairan vesikula seminalis (hampir 60%), cairan kelenjar prostat (kira-kira 30%), dan sejumlah kecil cairan kelenjar mukosa, terutama kelenjar bulbourethra. Jadi, bagian terbesar semen adalah cairan vesikula seminalis, yang merupakan cairan terakhir yang diejakulasikan dan berfungsi untuk mendorong sperma melalui duktus ejakulatorius dan urethra (guyton, 2008). Pada pemeriksaan sperma ini dilakukan tahap-tahap yaitu: 1. Pengumpulan sampel sperma Sebelum melakukan analisis sperma perlu terlebih dahulu untuk memberikan penerangan sejelas-jelasnya kepada pria yang akan diperiksa tersebut mengenai maksud dan tujuan analisis sperma dan juga untuk menjelaskan cara pengeluaran dan penampungan sperma tersebut. Penerangan mengenai cara pengeluaran, penampungan dan pengiriman sperma ke laboraturium. Sebelum pemeriksaan dilakukan sebaiknya pasien dianjurkan untuk memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Melakukan abstinensia selama 3 5 hari, paling lama selama 7 hari.
Beberapa cara memperoleh sperma 1. Masturbasi / Onani

Cara ini merupakan methode yang paling dianjurkan untuk memperoleh sperma, biasanya dengan tangan (baik tangan sendiri maupun tangan istrinya) atau dengan suatu alat tertentu. Kebaikan cara ini menghindari kemungkinan tumpah ketika menampung sperma, menghindari dari pencemaran sperma dengan zat-zat yang lain. 2. Coitus Interuptus ( CI ) Adalah melakukan persetubuhan secara terputus, hal ini kurang baik dianjurkan sebab : Memungkinkan sperma dapat tercampur dengan cairan vagina, sehingga banyak mengandung epitel, leukosit, eritosit, bakteri, parasit, jamur dll. Dalam jumlah penampungannya kurang, karena sperma sebagian dapat mesuk ke vagina. Disamping itu terjadi kesalahan pada pemeriksaan PH dan konsentrasi. 3. Coitus Condomatosus Pengeluaran sperma dangan cara ini dilarang dan sangat tidak diperkenankan. Karena sebagian besar karet kondom mengandung bahan spermiacidal, yaitu bahan yang dapat mematikan sperma 4. Reflux poscital Adalah suatu cara Coitus dimana setelah sperma keluar dan masuk ke vagina, sperma tersebut dibilas demga pz atau cairan lainnya. Hal ini akan timbul kekeliruan dalam volume konsentrasi dan viskositas. 5. Massage prostat Adalah suatu cara pengeluaran dengan cara memijat kelenjar prostat lewat rectum, disini jelas akan timbul kekeliruan dalam penafsiran pH, konsentrasi dan sebagainya yang keluar adalah cairan prostat. Jadi cara memperoleh sperma yang paling baik adalah dengan onani meskipun faktor psikis ada pengaruhnya.

b.Pengeluaran ejakulat sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan harus dikeluarkan di laboratorium. Bila tidak mungkin, harus tiba di laboraturium paling lambat 2 jam dari saat dikeluarkan. c. Ejakulat ditampung dalam wadah / botol gelas bemulut besar yang bersih dan steril ( jangan sampai tumpah ), Kemudian botol ditutup rapat-rapat dan diberi nama yang bersangkutan. d. Pasien mencatat waktu pengeluaran mani, setelah itu langsung di serahkan pada petugas laboraturium untuk pemeriksaan dan harus diperiksa sekurangkurangnya 2 kali dengan jarak antara waktu 1-2 minggu. Analisis sperma sekali saja tidak cukup karena sering didapati variasi antara produksi sperma dalam satu individu. e. Sperma dikeluarkan dengan cara : rangsangan tangan (onani/masturbasi), bila tidak mungkin dapat dengan cara rangsangan senggama terputus (koitus interuptus) dan jangan ada yang tumpah.

f. Untuk menampung sperma tidak boleh menggunakan botol plastik atau kondom. 3. Pemeriksaan Sperma Pemeriksaan sperma (lebih tepatnya analisis semen) adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur jumlah serta kualitas semen dan sperma seorang pria. Pengertian semen berbeda dengan sperma. Secara keseluruhan, cairan putih dan kental yang keluar dari alat kelamin pria saat ejakulasi disebut semen. Sedangkan 'makhluk' kecil yang berenang-renang di dalam semen disebut sperma. Analisis semen merupakan salah satu pemeriksaan tahap pertama untuk

menentukan kesuburan pria. Pemeriksaan ini dapat membantu menentukan apakah ada masalah pada sistim produksi sperma atau pada kualitas sperma, yang menjadi biang ketidaksuburan. Perlu diketahui, hampir setengah pasangan yang tidak berhasil memperoleh keturunan, disebabkan karena ketidaksuburan pasangan prianya. Ada dua tahap penting pada pemeriksaan sperma, yaitu tahap pengambilan sampel dan tahap pemeriksaan sperma. Pada tahap pengambilan sampel, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah : 1. Pria yang akan diambil semennya dalam keadaan sehat dan cukup istirahat. Tidak dalam keadaan letih atau lapar. 2. Tiga atau empat hari sebelum semen diambil, pria tersebut tidak boleh melakukan aktifitas seksual yang mengakibatkan keluarnya semen. WHO bahkan merekomendasikan 2 7 hari harus puasa ejakulasi, tentunya tidak sebatas hubungan suami istri, tapi dengan cara apapun. 3. Semen (sperma) dikeluarkan melalui masturbasi di laboratorium (biasanya disediakan tempat khusus). Sperma kemudian ditampung pada tabung terbuat dari gelas. 4. Masturbasi tidak boleh menggunakan bahan pelicin seperti sabun, minyak, dll. Sedangkan pada tahap kedua, dilakukan pemeriksaan sampel semen di laboratorium.

5. Pelaporan Hasil Pemeriksaan Hasil pemeriksaan biasanya disajikan dalam istilah sebagai berikut : Polyzoospermia : Konsentrasi sperma sangat tinggi Oligozoospermia : Jumlah sperma kurang dari 20 juta/ml Hypospermia : Volume semen < 1,5 ml

Hyperspermia : Volume semen > 5,5 ml Aspermia Pyospermia : Tidak ada semen : Ada sel darah putih pada semen

Hematospermia : Ada sel darah merah pada semen Asthenozoospermia : Sperma yang mampu bergerak < 40%. Teratozoospermia :> 40% sperma mempunyai bentuk yang tidak normal Necozoospermia : sperma yang tidak hidup Oligoasthenozoospermia : Sperma yang mampu bergerak < 8 juta/ml

Contoh kesimpulan dalam pemeriksaan sperma : Jumlah Sperma : Oligozoospermia Motilitas Morfologi Viabilitas Viskositas : Nekrozoospermia : Teraozoospermia : Buruk : Normal

Hasil pemeriksaan sperma yang normal menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan nilai acuan untuk analisa sperma/air mani yang normal, sebagai berikut : 1. Volume total cairan lebih dari 2 ml 2. Konsentrasi sperma paling sedikit 20 juta sperma/ml 3. Morfologinya paling sedikit 15% berbentuk normal 4. Pergerakan sperma lebih dari 50% bergerak kedepan, atau 25% bergerak secara acak kurang dari 1 jam setelah ejakulasi 5. Adanya sel darah putih kurang dari 1 juta/ml 6. Analisa lebih lanjut (tes reaksi antiglobulin menunjukkan partikel ikutan yang ada kurang dari 10 % dari jumlah sperma)

V. ALAT DAN BAHAN Sama kaya di jurnal VI. VII. CARA KERJA On process HASIL PENGAMATAN On process

VIII. PEMBAHASAN IX. KESIMPULAN X. DAFTAR PUSTAKA XI. LEMBAR PENGESAHAN

Anda mungkin juga menyukai