Anda di halaman 1dari 546

Buku Prosiding

Konferensi Internasional Budaya Daerah Ke-2 (KIBD-II)

Denpasar, Bali 22-23 Februari 2012

Penyunting I Wayan Suardian Nyoman Astawan

KEARIFAN LOKAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER


Buku Prosiding Konferensi Internasional Budaya Daerah Ke-2 (KIBD II) Denpasar, 22-23 Februari 2012

Penyunting I Wayan Suardiana Nyoman Astawan

Pustaka Larasan Bekerja sama dengan IKIP PGRI BALI dan IKADBUDI

KEARIFAN LOKAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER Penyunting I Wayan Suardiana Nyoman Astawan Pracetak Slamat Trisila Penerbit Pustaka Larasan Jalan Tunggul Ametung IIIA/11B Denpasar, Bali Telepon: 0361-2163433 Ponsel: 0817353433 Pos-el: pustaka_larasan@yahoo.co.id Laman: www.pustaka-larasan.com Bekerja sama dengan IKIP PGRI BALI dan IKADBUDI Cetakan Pertama: Februari 2012 Perpustakaan Nasional: Katalag Dalam Terbitan (KTD) Denpasar: Pustaka Larasan, 2012 x + 536 halaman; Ukuran: 23 x 15.5 cm ISBN: 978-797-3790-77-0

ii

SAMBUTAN Rektor IKIP PGRI BALI


embangunan bangsa yang berkarakter se-Nusantara penting kita rumuskan demi terwujudnya harmonisasi komponen bangsa dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara secara berkesinambungan. Agar terhimpunnya materi sebagai dasar mengembangkan pendidikan yang berkarekter mendesak untuk diadakan. Langkah menuju hal tersebut, akan kita diskusikan untuk selanjutkan dirumuskan dalam seminar yang bertema Kearifan Lokal dan Pendidikan Karakter sesuai dengan judul-judul makalah yang telah masuk ke Panitia. Seminar dan Konferensi Ikatan Dosen Budaya Daerah (KIDBD II) kali ini merupakan lanjutan dari International Conference on Traditional Culture and Rancage Award 2010 yang diadakan di Yogyakarta. Sebagai penghimpun dan penggerak organisasi Ikatan Dosen Budaya Daerah Indonesia (Ikadbudi), pada kesempatan ini Saya secara pribadi dan atas nama lembaga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Sutrisna Wibawa, M.Pd. selaku Ketua Ikadbudi Pusat atas kepercayaannya kepada IKIP PGRI Bali untuk menyelenggarakan acara ini. Penyelenggaraan acara ini diharapkan menghasilkan rumusan yang komprehensif tentang kearifan lokal khususnya yang berkaitan dengan materi-materi yang memuat nilai-nilai pendidikan yang berkarakter Nusantara. Karakter bangsa Indonesia menjadi penting untuk dirumuskan, lebih-lebih dalam situasi berbangsa, kita berada dalam kehidupan yang multikultur. Saya menyambut baik atas terhimpunnya makalah dalam Konferensi ini dalam satu kumpulan buku agar pemikiran-pemikiran yang menyangkut masalah pendidikan yang berkarakter se-Nusantara lebih mudah dirumuskan. Konferensi kali kedua di IKIP PGRI Bali ini diharapkan pula dapat menghimpun anggota IKadbudi secara kuantitas lebih tersebar sampai ke pelosok tanah air. Sebagai salah satu organisasi profesi di Indonesia, IKADBUDI memiliki posisi yang strategis dalam merumusakan kearifan lokal khususnya yang menyangkut nilainilai karakter bangsa. Untuk itu, melalui prosiding ini diharapkan kita memiliki arsip yang valid tentang data-data awal mengenai kearifan lokal. Mengingat, hanya dalam bentuk buku yang baik kita akan dapat menyimak gagasan dan pemikiran, kritik dan saran dari para cendekiawan untuk dijadikan bahan diskusi, renungan dalam

iii

menyusun rumusan-rumusan berikutnya tentang kearifan lokal. Akhirnya, selamat membaca semua pemikiran yang ada dalam prosiding ini semoga ada manfaatnya untuk menggali nilainilai kearifan Nusantara demi merumuskan pendidikan karakter yang bersumber dari kearifan lokal Nusantara! Denpasar, 17 Februari 2010 Rektor IKIP PGRI BALI Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum.

iv

PENGANTAR PENYUNTING
rosiding ini memuat kumpulan makalah yang diseminarkan dalam Konferensi Internasional Budaya Daerah II (KIBDII) yang diselenggarakan antara Ikatan Dosen Budaya Daerah Indonesia (IKADBUDI) Pusat bekerjasama dengan IKIP PGRI Bali. Penyelenggaraan acara ini berlangsung selama dua hari, mulai dari hari Rabu Kamis, tanggal 22 -- 23 Februari 2012 bertempat di Auditorium IKIP PGRI Bali. Acara ini merupakan pertemuan para pakar yang seprofesi di Indonesia menyangkut tentang kearifan lokal (local wisdom) terutama yang berkaitan dengan pendidikan karakter (character education). Diangkatnya tema Kearifan Lokal dan Pendidikan Karakter ini erat kaitannya dengan situasi bangsa Indonesia kini yang diterangai menafikan nilai-nilai kearifan lokal sehingga adanya degradasi moral yang menyelimuti bangsa yang besar ini. Kisah pilu anak-anak Sekolah Dasar (SD) yang melakukan contek massal dan kegalauan orang tua murid ketika anak-anak mereka akan menempuh Ujian Nasional, salah satu misal, adalah contoh tiadanya pondasi karakter yang kuat bagi komponen bangsa untuk menghadapi tantangan zaman saat ini pun ke depan. Untuk itu, membangun karakter bangsa melalui langkah merunut kearifan lokal se-Nusantara mendesak untuk dilakukan. Salah satu jalan menuju ke arah tersebut adalah dengan melaksanakan seminar seperti ini. Seminar dan Konferensi Budaya Daerah kali kedua ini menyarikan empat puluh lima makalah dari dosen, karya siswa, dan guru dari UI (Jakarta), UPI (Bandung), FKIP Muhamadiah (Solo), UNY (Yogyakarta), UGM (Yogyakarta), Unhas (Makassar), dan dari Bali sendiri seperti Unud, IKIP PGRI, IHDN, Poltek, IKIP Saraswati Tabanan, dan Undiksha. Semua makalah yang terhimpun dalam Prosiding ini merupakan hasil pemikiran dari penulisnya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kearifan lokal yang ada di masingmasing daerahnya. Kearifan lokal itu umumnya disarikan dari teks lisan (tersirat) maupun dari teks tulis (tersurat) dalam berbagai aspek kajian. Sesuai dengan tema sentral dari seminar, aspek-aspek karakter bangsa khususnya yang berkaitan dengan pendidikan karakter

ditawarkan paling banyak dalam makalah yang ada di dalam prosiding ini. Tampaknya, dalam konteks Nusantara, ada benang merah yang cukup signifikan bahwa kita di Indonesia memiliki akar yang sama khususnya menyangkut nilai-nilai budi pekerti yang adiluhung itu. Nilai-nilai itu tercermin dalam karya-karya tradisi seperti pribahasa, folklor (dalam tataran lisan) dan Guguritan (Sunda), Geguritan (Bali), Serat (Jawa), I La Galigo (Makassar) (dalam tataran tulis). Semua nilainilai yang masih berserakan itulah nantinya penting dirumuskan untuk dijadikan acuan sebagai bahan ajar bagi anak didik bangsa Indonesia agar memiliki dasar pijakan untuk membentuk karakter anak bangsa yang siap bersaing di tingkat global. Denpasar, 17 Februari 2012 Penyunting I Wayan Suardiana Nyoman Astawan

vi

DAFTAR ISI
Sambutan Rektor IKIP PGRI Bali ~ iii Kata Pengantar Penyunting ~ v I Made Suarta ~ 1 Membangun Pendidikan yang Berkarakter Kearifan Lokal I Nyoman Darma Putra ~ 9 More Than Just Numpang Nampang The Participation of Women in Textual Singing and the Interpretation of Balinese Literature on Radio and Television Programs Natalia Theodoridou ~ 24 How do we approach a foreign culture? the problems of representation Kim Geung Seob ~ 35 Komunikasi Antar Budaya Korea dan Indonesia: Kajian tentang Prilaku Masyarakat Korea dan Jawa Christoper Allen Woodrich ~ 51 Free and Cyber Sex in MIRC Viewed from Javanese Sexual Norms H. Rahman ~ 63 Revitalisasi Kompetensi Pedagogi dalam Konteks Peningkatan Kualitas Pembelajaran Budaya Daerah Hj. Nunuy Nurjanah ~ 69 Cara Mendidik Anak dalam Perspektif Etika Sunda Ruhaliah ~ 79 Pendidikan Karakter dalam Peribahasa dan Permainan Anak Sunda I Wayan Gede Wisnu ~ 90 Rengganis Repertoar: Pemanfaatan Kesenian Lokal dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Bali Ery Iswary ~ 96 Orientasi Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Makassar: Penguatan Peran Bahasa Ibu Menuju Good Society

vii

H. Yayat Sudaryat ~ 105 Nilai Kearifan Lokal Ungkapan Tradisional dalam Membangun Pendidikan Karakter Ida Ayu Putu Purnami ~ 116 Geguritan Maniguna: Transformasi Feminisme dalam Membangun Pendidikan Karakter Sri Harti Widyastuti ~ 126 Inferensi Ungkapan Tradisional Jawa Bentuk Penjaga Karakter Bangsa Farida Nugrahani ~ 135 Reaktualisasi Tembang Dolanan Jawa Dalam Rangka Pendidikan Karakter Bangsa Ida Bagus Manik Putra Ariana ~ 149 Pendidikan Seks untuk Pasangan Suami Istri dalam Teks Resi Sembina Grya Jungutan, Bungaya-Karangasem Ai Sumiati Rahman ~ 165 Komunikasi Interpersonal Budaya Daerah dalam Konteks Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kepuasan Kerja Guru Nunuy Nurjanah, Dingding Haerudin, Ruhaliah ~ 176 Dampak Sertifikasi Guru dalam Menumbuhkembangkan Kemampuan Profesional Guru Muatan Lokal di SMP Jawa Barat D.B. Putut Setiyadi ~ 185 Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam Tembang Macapat dan Pemanfaatannya sebagai Media Pendidikan Budi Pekerti Bangsa Avi Meilawati ~ 204 Cerita Dewi Seri sebagai Sumber Kearifan dalam Kehidupan Berkeluarga Nanny Sri Lestari ~ 212 Legenda Arif Muhamad: Sebuah Kekayaan Tradisional yang Dapat Digunakan untuk Membangun Wisata Budaya di Daerah Candi Cangkuang Dian Hendrayana ~ 220 Dari Puisi Guguritan Hingga Tembang yang Beranak Pinak Dede Kosasih ~ 228 Nilai-nilai yang Terkandung dalam Kakawihan Barudak Sunda: Persepsi dan Realisasi Kebahasaan

viii

I Nyoman Darsana ~ 244 Refleksi Budaya dalam Retorika Bahasa Politik Elite Indonesia Afendy Widayat ~ 259 Makna Laku dalam Budaya Jawa Purwadi ~ 269 Sastra dan Budaya Jawa Pada Masa Kraton Kartasura Turita Indah Setyani ~ 282 Sembah Catur dalam Serat Wedhatama Merupakan Dasar Perilaku Berbangsa dan Bernegara Suwarna ~ 293 Kearifan Lokal dalam Upacara Tuk Si Bedug Membentuk Karakter Masyarakat Mranggen Kab. Sleman Retty Isnende ~ 303 Upacara Ngelaksa di Kabupaten Sumedang Sebuah Kearifan Lokal dari Tatar Sunda Ali Imron A-Maruf ~ 317 Revitalisasi Kesenian Tradisi dalam Pengembangan Pariwisata Budaya: Studi Kasus di Surakarta Retty Isnendes, Asep Sutiadi, dan Hernawan ~ 331 Pembuatan Film Dokumenter: Flora dalam Budaya Sunda Darmoko ~ 344 Udyoga Parwa: Resepsi dan Transformasi Teks Ida Bagus Rai Putra ~ 352 Danghyang Nirartha dalam Teks Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra: Analisis Resepsi Sang Ayu Putra Sriasih ~ 371 Kajian Kakawin Nitisastra sebagai Salah Satu Sumber Kearifan Lokal dalam Pengembangan Pendidikan Karakter I Nengah Martha ~ 382 Mengenali Keberadaan Bahasa Daerah Saat Ini dan Ciri Pemangkunya Kadek Eva Krishna Adnyani ~ 391 The Karooshi Phenomenon in Japan

ix

I Wayan Adnyana ~ 398 Minimarket and Consumer Cultural in Denpasar Society AB. Takko Bandung ~ 408 Mengungkap Nilai-nilai Luhur I La Galigo sebagai Rujukan dalam Pendidikan Karakter Bangsa Ipisode Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina I Made Rai Jaya Widanda & Luh Nyoman Chandra Handayani ~ 427 Balinese in Minority Speech Community Pande Wayan Renawati ~ 444 Esensi Pitutur yang Ber-Character Education sebagai Local Wisdom di Bali I Nyoman Suwija ~ 456 Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pelajaran Bahasa Bali I Ketut Yarsama ~ 475 Pola Perubahan Penggarapan Pertanian pada Masyarakat DesaTirtasari: Kajian Berdasarkan Pendekatan Postmodern Daru Winarti dan Sulistyowati ~ 491 Pesan Tipikal Driji dalam Budaya Jawa Sulistyowati dan Slamet Pinardi ~ 502 Redefinisi Ketenangan Hidup Abdi Dalem di Tengah Dunia Modern Studi Keseharian Juru Kunci Makam Imogiri dalam Menyikapi Perubahan Zaman Ni Nyoman Karmini ~ 521 Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Diah Sawitri: Model Eksistensi Diri pada Era Globalisasi

MEMBANGUN PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER KEARIFAN LOKAL


I Mad Suarta IKIP PGRI Bali
1. Pendahuluan nstitusi pendidikan di Indonesia sesuai dengan UU Pendidikan No. 20 Tahun 2003 mengisyarakatkan bahwa Perguruan Tinggi diharapkan untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia yang berkarakter. Dalam Bab II pasal 3 dijelaskan hal sebagai berikut.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Diunduh dari Google, 22 Januari 2012)

Karakter (watak) generasi muda bangsa sangat mendesak untuk dibentuk agar bangsa kita memiliki karakter yang khas Nusantara. Sudah tentu dalam mewujudkan tujuan tersebut penting untuk dirumuskan dahulu apa itu karakter bagi dunia pendidikan tinggi? Persoalan ini akan mampu dijawab dengan baik apabila kita telah mampu merumuskan definisi dari karakter dalam dunia pendidikan. Sebab, dalam konteks Indonesia, kita terdiri dari beragam etnis dan sudah tentu pula ada beragam budaya di dalamnya. Keberagaman budaya itu sesungguhnya merupakan modal utama kita dalam merumuskan konsep pendidikan yang berkarakter. Pertanyaan muncul dari manakah kita mesti mulai? Lokal atau Nasional? Untuk menjawab persoalan tersebut, menurut pemikiran Saya kita harus membangunnya dari lokal dahulu. Setelah nilai-nilai kelokalan se-Nusantara (pinjam istilah Rusyana, 1997) yang kita miliki itu dapat dirumuskan barulah kita cari benang merahnya untuk digunakan sebagai penyokong ideologi bangsa. Kesatuan konsep karakter kelokalan dalam pendidikan seNusantara penting dirumuskan secara bersungguh-sungguh untuk menemukan jati diri bangsa dalam konteks global. Ciri khas kebhinekaan kita se-Nusantara harus dimaknai dengan memunculkan

karakter kelokalan, namun harus bernilai universal yang tidak akan lapuk di makan zaman. Rumusan dari nilai-nilai karakter lokal itu secara umum se-Nusantara pasti ada garis merahnya. Kesamaankesamaannya demikian pula sebaliknya perbedaan-perbedaan yang ada mari kita petakan, kumpulkan, untuk selanjutnya dirangkum menjadi satu pemikiran yang padu! 2. Sumber Nilai-nilai Kearifan Lokal Bali Masyarakat Bali memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang beragam. Dalam tataran lisan, ada ungkapan tradisional yang dikenal dengan sebutan Paribasa (Pribahasa). Selain itu, masih dalam tataran lisan, satua (folklor) Bali juga memiliki tema-tema yang beragam. Keberagaman tema-tema itu mesti dirumuskan dalam konteks se-Nusantara. Dalam tataran tulis, teks-teks tradisional yang bersifat susastra (belles letters) seperti Geguritan, Kakawin, Kidung, bahkan sampai Parwa menorehkan beragam kearifan lokal yang mesti segera disarikan untuk selanjutnya kita inventarisasi sebagai nilai-nilai budaya bangsa! Paribasa (Pribahasa)sebagai ungkapan lisan yang beberapa di antaranya telah ditulis dalam bentuk buku (Ginarsa, 1984; Bagus, dkk., 1979/1980; Simpen, 2004; Tinggen, 1988; Budha Gautama, 2004). Berdasarkan catatan dari masing-masing penulis di atas, dan setelah disarikan kembali oleh Tim Penyusun yang dibentuk oleh Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali Tahun 2006 ditemukan ada enam belas bentuk pribahasa lokal Bali yang sarat dengan nilai-nilai. Bentuk-bentuk itu seperti: (1) Sesonggan (Pepatah), (2) Sesenggakan (Ibarat), (3) Wewangsalan (Tamsil), (4) Sloka (Bidal), (5) Bebladbadan (Metafora), (6) Peparikan (Pantun/ Madah), (7) Pepindan (Perumpamaan), (8) Sesawangan (Perumpamaan), (9) Cecimpedan (Tekateki), (10) Cecangkriman (Syair teka-teki), (11) Cecangkitan (Olok-olok), (12) Raos Ngmplin (Kata-kata mendua arti/pelawak), (13) Sesimbing (Sindiran), (14) Sesemon (Sindiran halus), (15) Sipta (Alamat/Pertanda), dan (16) Sesapan (Doa). Belakangan, dikumpulkan lagi dua bentuk baru yang kemungkinan masuk dalam kelompok pribahasa, namun lebih bersifat personalistik seperti (17) Gigihan (Bahasa spontan yang muncul ketika seseorang terkejut) dan (18) Basa Jumbuh (Bahasa kesombongan individu ketika ingin mengungkapkan kebanggaan diri) (Suardiana, 2007: 3). Selain dari ungkapan lisan, teks-teks tulis yang bersifat susastra sebagaimana telah diungkapkan di atas sangat banyak memiliki nilainilai pendidikan yang berakar se-Nusantara. Teks-teks itu umumnya disitir hanya bagian-bagian tertentu saja untuk dijadikan bahan ajar

sesuai keperluan sesuai tema yang diajarkan. Namun, di Bali ada teks yang khusus membicarakan masalah ajaran yang digolongkan ke dalam kelompok teks Tutur. Secara keseluruhan, baik teks yang bersumber dari ranah lisan maupun tulis, di Bali, secara lisan lalu dituturkan kembali dari mulut ke mulut, meskipun dalam penyampaiannya ada yang diucapkan sesuai kemampuan penutur bukan pada kebenaran. Sebagai misal, menyebut Sesonggan (Pepatah), sering diucapkan Sinonggan. Budaya tutut itulah yang menjadi kegiatan inti untuk meneruskan nilainilai dalam dunia pendidikan di Bali yang mungkin juga layak untuk ditirukan di tingkan Nasional. 3. Pendidikan yang Berkarakter Kearifan Lokal Bali Kemajuan dunia tidak bisa dilepaskan dari teknologi. Namun, selain mengejar teknologi kita juga tidak melupakan tradisi. Tradisi dimaknai sebagai adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat (Alwi, 2005: 1208). Sebagai warisan leluhur bangsa, tradisi harus kita maknai sebagai kaki peradaban, sedangkan teknologi adalah kepala. Tanpa kaki (tradisi) yang kuat sebagai penyangga, kita tidak memiliki kepala yang kuat pula. Untuk itu, mensinergikan kekuatan tradisi dan teknologi mendesak untuk kita rumuskan dalam sistem pendidikan kita! Berkarakter tidaknya pendidikan kita dapat kita lihat dari out put (luaran) yang dihasilkan oleh dunia pendidikan itu sendiri. Bila kita tonton tayangan TV, kita saksikan adegan sinetron yang ditayangkan, sudahkan mencerminkan nilai-nilai dari masyarakat Indonesia? Seberapa prosen banyak kisah-kisah yang ditayangkan di TV mengangkat tema-tema kearifan lokal dengan dialog-dialog yang betul-betul menyampaikan pesan moral tradisi Nusantara? Saya yakin kita jarang menemukan cerita-cerita yang berlatar belakang kelokalan. Kebanyakan dari tayangan itu melukiskan setting kekinian, zaman global, bukan tradisi leluhur yang patut kita suri tauladani. Usaha-usaha untuk mengisi kekosongan tema-tema yang mengangkat nilai-nilai tradisi se-Nusantara sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah patut dipertimbangkan ungkapan-ungkapan tradisi seperti yang telah dimuat dalam Paribasa (Pribahasa) itu. 3.1 Rendah Hati, namun Terampil Bekerja Pendidikan yang berkarakter ketika kita mampu membangun manusia Indonesia yang rendah budi namun cerdas logika dan pikir. Ungkapan yang cocok digunakan sebagai dasar pijakan berpikir dan

berprilaku dalam konteks Bali adalah ungkapan sebagaimana yang diungkapkan dalam Sesonggan (Pepatah) berikut ini.
Payuk prungpung misi berem

Terjemahannya:

Priuk compang-camping isinya beram.

Ungkapan di atas dimaksudkan, kita mesti meniru si periuk, meskipun bentuknya jelek (compang-camping) namun karena isinya benda yang memiliki fungsi yang banyak (beram) maka akan banyak manfaatnya bagi kehidupan. Di Bali, beram itu memiliki manfaat untuk minuman sebagai penghangat tubuh dan juga sebagai persembahan. Tampilan luar tidak mesti terlalu mentereng yang penting isinya (kualitas diri) manusia Indonesia harus mampu bersaing dengan Sumber Daya Manusia (SDM) di belahan dunia mana pun. Bukan sebaliknya, tampilan luar mentereng, namun tidak mampu menguasai keterampilan dengan baik sehingga kalah bersaing di dunia global. Ungkapan di atas disuratkan dengan apik oleh pengarang Bali yang bernama Ki Dalang Tangsub. Lewat tokoh I Nyoman Karang dalam Geguritan Basur ditandaskan bahwa sebagai manusia janganlah terlalu sombong. Agar memiliki sifat yang rendah budi, I Nyoman Karang menasihati kedua putrinya, Ni Sokasti dan Ni Rijasa dengan petuah-petuah sebagai berikut.
Eda ngadn awak bisa, depang anak ngadanin, geginann buka nyampat, anak sahi tumbuh luhu, ilang luhu ebuk katah, yadin ririh, liu enu paplajahan! (Pupuh Ginada, Geguritan Basur) Janganlah menganggap dirimu mampu, biarlah orang lain yang menilai, ibarat seperti orang menyapu, akan senantiasa ada kekotoran, hilang sampah, debunya banyak, meskipun pintar, masih banyak yang perlu dipelajari!

Terjemahannya:

Sikap rendah hati, rendah budi harus ditanamkan sejak dini di hati anak didik kita agar mereka hormat dengan Catur Guru, yakni (1) Guru Rupaka (orang tua), (2) Guru Pangajian (Guru pengajar), (3) Guru Wissa (Pemerintah), dan (4) Guru Swadiaya (Tuhan). Sikap hormat yang dibarengi dengan etos kerja yang tinggi, mengingat uangkapan Eda

ngadn awak bisa itu akan membuat individu Bali giat bekerja, giat belajar demi mengisi diri agar mampu menjadi pribadi yang santun namun dapat menguasai banyak ketrampilan sebagai bekal hidup! 3.2 Menghargai Perbedaan di Tengah Kemajemukan Indonesia kita ketahui terdiri atas beragam kepercayaan dan suku dengan aneka peradabannya. Agar mampu meminimalkan gesekan antar sesama penting dirumuskan ungkapan yang memiliki nilai keuniversalan. Wewangsalan (Tamsil) yang berbunyi:
Clebingkah batan biu, Jlema ngndah ajak liu.

Terjemahannya:

Kepingan periuk tanah di bawah pohon pisang, manusia berkarakter majemuk karena (hidup) berbanyak.

Agar kita dapat menerima perbedaan, dapat memahami beraneka budaya dan karakter masyarakat Indonesia, dalam bergaul kita harus memaknai ungkapan Clebingkah batan biu, Jlema ngndah ajak liu itu agar terhindar dari gesekan. Dengan paham karakter dan budaya orang lain kita akan mampu bersosialisasi dengan baik! Kita paham hidup di dunia ini tidak bisa sendirian. Berdasarkan fakta tersebut mau-tidak mau kita harus hidup selaras secara berdampingan, dan saling menghargai. Agar mampu menumbuhkan pikiran, ucapan, serta sikap dan prilaku yang menjunjung nilai-nilai kemajemukan, ungkapan Clebingkah batan biu, Jlema ngndah ajak liu patut selalu diingat! Ungkapan Clebingkah batan biu, Jlema ngndah ajak liu tersebut dipertegas lagi dengan ungkapan dalam bentuk Wewangsalan (Tamsil) yang berbunyi:
Punyan dagdag lusuh-lusuh, awak degag ngelah musuh

Terjemahannya:

Pohon dagdag 1(*)subur gemulai, diri congkak (banyak) memiliki musuh.

Apabila kita dalam melakoni kehidupan congkak, sombong, sudah pasti banyak memiliki musuh karena prilaku congkak, sombong akan membuat orang menjauh dari diri kita. Hidup dalam keberagaman akan dapat berjalan dengan harmonis bila kita mampu menerima perbedaan itu dan tidak sombong serta saling menghargai
(*) Dagdag adalah salah satu pohon yang di Bali daunnya lazim dipakai sebagai pakan ternak terutama ternak babi.

satu sama lain tanpa memandang suku, agama, dan adat istiadat. 4. Simpulan Pendidikan yang berkarakter Nusantara mendesak untuk dirumuskan! Perumusan itu hendaknya dilakukan oleh segenap komponen bangsa yang memangku kepentingan di bidang pendidikan dan yang berminat untuk itu. Isi pendidikan yang berkarakter seNusantara diambil dari nilai-nilai luhur budaya daerah yang ada di Nusantara. Konteks Bali, selain kedua hal di atas, masih banyak nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur kita yang dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan. Merumuskan nilai-nilai pendidikan bangsa Indonesia yang berkarakter dimulai dari mengisi budi (pikiran) anak didik dengan mengajarkan sikap yang rendah budi atau rendah hati namun memiliki cita-cita tinggi untuk mengejar kemajuan (teknologi) agar mampu bersaing di dunia global. Selebihnya, dalam konteks Nusantara, nilainilai multikultur mendesak pula untuk dirumuskan sebagai piranti meredam konflik yang terjadi akhir-akhir ini di Republik yang kita cintai!

DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Bagus, I Gusti Ngurah, dkk. 1979/1980. Peribahasa dalam Bahasa Bali. Singaraja: FKIP Universitas Udayana. Gautama, Budha, Wayan. 2004. Pralambang Basa Bali. Denpasar. CV. Kayumas Agung. Ginarsa, Ketut. 1984. Paribasa Bali. Balai Penelitian Bahasa SingarajaBali. Rusyana, Yus. Cerita-cerita Nusantara tentang Padi Paper dibawakan dalam Temu Ilmiah Kedua Ilmu-ilmu Sastra Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran di Hotel Panghegar Jalan Merdeka Bandung. Simpen, W. AB. 1988. Kidung Prmbon. Denpasar: Cempaka-2. Simpen, W. AB. 2004. Basita Baribasa. Denpasar: Upada Sastra. Tim Penyusun. 2006. Paribasa Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Privinsi Bali. Tinggen, I Nengah. 1988. Aneka Rupa Paribasa Bali. Singaraja: Percetakan Rhika Dewata. Suardiana, I Wayan. 2007. Paribasa Bali Paper dalam Lokakarya Bahasa Bali bagi Guru-guru SD s.d. SMA se-Kodya Denpasar.

MORE THAN JUST NUMPANG NAMPANG The Participation of Women in Textual Singing and the Interpretation of Balinese Literature on Radio and Television Programs1
I Nyoman Darma Putra Udayana University, Bali
he singing and interpretation of traditional Balinese texts, known as mabebasan or makidung, has always been a predominantly male activity. Makidung has customarily been carried out either to accompany religious rituals or for pleasure but has rarely involved the participation of female literary enthusiasts. In the Balinese ritual context, women are assigned to deal with offerings and other preparations related to the ceremony. However, during the last decade, when makidung began to become a popular interactive pastime on radio and television programs, many adult women have started to join their male counterparts in this form of literary activity. This paper examines the recent growth in the participation of Balinese women in makidung by focusing on its social and cultural background and its significance in enlivening the development and appreciation of literature. It does not share the skeptical attitude that views the publics enthusiasm for taking part in radio and television makidung programs as chiefly motivated by numpang nampang (exhibiting ones face), as stated by Kadek Suartaya in an article in the Bali Post (2/3/2003). But, it will argue that such participation plays an important role in reviving the makidung tradition in a novel way and may also begin to enhance gender equality in what has been a male dominated activity within the Balinese literary world. The paper will first briefly outline the development of textual singing and interpreting activities in electronic mass media. We have followed mabebasan on radio intermittently since the late 1990s, and then from early 2000 followed the interactive mabebasan program
1 Materials for this paper are collected from a larger project entitled Textual Traditions, Identity and Media in Contemporary Bali carried out collaboratively by A/Prof Helen Creese (The University of Queensland) and myself (University of Udayana). This project was funded by Australian Research Council for the period of three years, 2010-2013. Thanks to our research assistant teams I Wayan Lamopia, I Wayan Suardiana, IDG Windhu Sancaya, for their help in preparing and identifying some materials for this paper.

when it appeared on local television in Bali. We have collected almost one hundred hours of recordings of a television program from Bali TV, and use this recording to see how Balinese women participate in the program, both as part of a group that appears in the studio or those taking part in the interactive program. Interviews with active participants were held in order to gain insight into the motivation of women in mabebasan activities. The paper then examines how gender related issues are discussed during the textual interpretation exchange by analysing a sample of text used during the interactive TV program and the way it was interpreted so as to negotiate gender issues. Apart from aiming at understanding the enthusiasm of Balinese women in taking part in mabebasan programs on electronic mass media in Bali, previous studies also aim to contribute to the literature of research on media studies in Indonesia, especially to the new interactive form of programs. Jurriesn (2006; 2007) has studied the role of interactive radio programs in Bali in the context of freedom of expression, while Creese (2009) and Putra (2009) look at how mabebasan radio and TV interactive programs play a role in revitalising the Balinese literary tradition, and hence the Balinese cultural identity. The current study investigates specifically the enthusiasm of Balinese women in mabebasan activities on radio and TV programs, something yet unexplored. As shown in several studies, radio and TV have played a significant role in promoting local arts and culture trhough artistic performance (Lindsay 1997; Hobart 1999; 2000; Creese 2003; Aprs 2003; Suryadi 2005). Radio and TV are often accused as a form of mass media which promote global culture and provide little space to promote local culutre, but there is substantial evidence that radio and TV programs in Indonesia have been proud to promote local arts and culture. This paper is one attempt to contribute to the acknowledgement of the role of electronic mass media to encourage the preservation of regional arts and culture, hence regional and cultural identities. From Ritual to Electronic Mass Media There has been a new phenomenon in mabebasan activities in Bali. What used to be performed to accompany rituals and as a form of literary appreciation by predominantly male literary enthusiasts (Rubinstein 1993), mabebasan now is also performed chiefly for pleasure and entertainment on electronic mass media like radio and television programs. In its new form of presentation, mabebasan activities have attracted a high number of female participants. School age kids or teenagers have also shown an interest in taking part in performing mabebasan on television.

10

The appearance of mabebasan on radio and television programs is closely related to social and political changes in Indonesia. During the New Order between 1996-1998, the government tightly controlled the press. Many newspaper outlets were banned or shut down just because they criticised government performance. In 1994, for example, New Order closed three media outlets including Tempo, Editor, and Detik. Through licensing regulation, the New Order government put the mass media under a regime of strong oppression. Only state radio and television, RRI and TVRI, were allowed to produce news and current affairs, while private channels had to relay it. Toward the end of the New Order, new TV stations, like RCTI and SCTV which are owned by President Soehartos family or chronie, were given permission to produce news, but they were tightly monitored (Kitley 2000; Sen 2003). After the fall of Suharto, media have been mushrooming in Indonesia, especially after Suhartos successor President Habibie revoked the press licensing. New print and electronic mass media appeared throughout the country. After a few years, many of those have collapsed because of financial reasons and their inability to cope with the harsh media competition. For electronic media, the newly-found freedom of press allowed them to produce news and current affairs. In addition many of them broadcast talk back or interactive programs, allowing people to express their social and political concerns. In Bali, according to data by the Bali broadcasting Commission, as of 2011, there are 71 radio stations, some of which still having their license processed, and around 20 stations are in preparation to apply for licenses. In 2002, there were only 29 radio stations in Bali, increased to 63 in 2008. If they all got their licenses approved, there would be around 91 radio stations in Bali. There have also been some interesting developments concerning the number of TV stations as well. Until 2002, there was practically only one state TV station in Bali, whereas in 2011 there are 12 stations, though only a couple of them have permanent license, while other still have their license applications processed. Many television stations broadcast interactive mabebasan programs, including Bali TV, TVRI Bali, and Dewata TV either pre-recorded or live interactive (see Table 1).

11

Tabel 1: Kidung Interaktif program on radios and TV stations in Bali


Station Bali TV Dewata TV TVRI Bali RRI Denpasar Program Kidung Interaktif * Gita Santi (pre-recorded) Tembang Guntang (prerecorded) Kidung Dewata (live) Gegirang * Dagang Gantal * Taman Penasar (live) Tembang Warga* Days/ Time Thurs, 14.30-15.30 Mon-Wed, 15.3016.00;Thurs, 16.00-16.30 Wednesday, (pre recorded) Thursday, 17.30-18.00 Wed, 19.00-20.00 Mon-Fri, 10.00-12.00 Saturday, 10.00-12.00 Tues, Thurs, Sat, 18.0019.00 Mon-Fri, 10.30-11.45 Mon-Fri, 17.00-18.00 Sat, Sun, 10.30-11.45 Wed, 9.00-10.00 Thurs, 9.00-10.00 Sat, 9.00-10.00 Mon-Sat, 18.00-19.00 Mon-Sat, 16.00-17.00 Mon-Sat, 19.00-20.00 Sun, 19.00-20.00

RRI Singaraja

Sudang Lepet Jukut Undis * Penglipur Sore * Widia Sabha * Radio Pesona Bali (Singaraja) Manah Egar* Shanty Sewa Kosala Gita Jaya Santi Radio Singaraja FM Dharma Gita * Radio Genta Bali (Denpasar) Warung Bali * Darma Kanti (Pesantian) Gegitaan (Lesson of Mewirama) Radio Besakih Karangasem Salak Bali * Radio Yuda Denpasar Gegitaan * Radio Dipa Cantik Denpasar Radio Pemkot Denpasar Radio Mega Nada Tabanan Radio Global (Tabanan) Radio Gelora Gianyar Radio Jegeg Bali Gianyar

*) = Interactive program. Note: The table need updated. A number of radio stations in Bali were closed temporarily until they are able to fulfill new license requirements. In Gianyar, for example, only Radio Mandala is still on operation, while other stations including Radio Jegeg Bali FM, Hert line Fm, and Radio Gelora FM (owned by District Government) are temporarily closed.

Radio Mandala Gianyar Radio Dunia Bokasih, Klungkung/Bangli

Mon-Sun, 16.00-17.00 Daily, 13.00-15.00 and 17.00-19.00 Sancita Dipa * Mon-Sat 11.00-13.00 Dipa Santi (Live, Group) Mon-Sun 19.00-21.00 Gita Sancaya (Pre-recorded) Sun, 16.00-18.00 Mega Nada Gita Santi * Mon-Fri, 15.00-17.00 Darma Kanti (Live, Group) Mon-Wed, Fri, Sun, 18.0019.00 Panglila Cita * Mon-Fri, 10.00-12.00 Gita Santi * Thurs-Sat, 14.00-17.00 Parade Pesantian (Live Group) Sun-Wed, 15.00-17.00 * (During full moon and new moon time slot is used for makakawin). Lila Cita * Daily, 15-17.00 Budaya Bali * Daily except Thursday, 18.00-20.00

12

Mabebasan began to be broadcast occasionally on government radio stations in the 1970s. This was an initiative taken by the Consultative Council for Promoting Cultural Affairs or Listibiya (Rubinstein 1993: 105). This organisation had its branches at every district level and they organised mabebasan groups in their area to perform on air on the government-run local radio stations. The programmes were akin to conventional mabebasan, in that the participants came to the studio while the listeners simply listened and could have no input. Interactive mabebasan, in its earliest form, was first broadcast in the 1980s on limited frequencies between short-wave radio users in south and west Bali (Manda 2002; Rai Putra 2002). Unlike mabebasan broadcast on conventional radio stations where participants are sitting around together, users of this form of mabebasan were not in direct personal contact, but did engage in interactivity. The vocaliser sang a poem from one end, while one or more interpreters gave their interpretation from the other end. Participation in this activity was limited to those who owned a short-wave radio communicator known in Indonesia as a handy talky (HT). Although these devices can have coverage of up to 45 km, ordinary people who did not have the correct equipment could not listen to it. Since the mid 1980s, mabebasan enthusiasts in Jembrana have been using a type of cable communication, called kontek, in order to do textual singing between the group members. The participants are limited to those who have access to kontek equipment at home or elsewhere, like their workplace or shops. There are currently more than eight kontek groups in Jembrana, each numbering between 30-70 people. In addition to the Kontek, they also have handy talky to achieve wider coverage of communication for performing and listening to mabebasan. No other region in Bali uses Kontek like Jembrana. This can be accounted for by the fact that Jembrana as a region has a limited number of radio stations, and consequently lacks continuous broadcasting of interactive kidung, thus making Kontek a chief alternative for mabebasan enthusiasts in the region. In early 1991, RRI radio station began the first interactive mabebasan program and was soon followed by private radio stations like Yudha Bali. The programs soon became popular throughout Bali, attracting thousands of active participants and passive listeners. What is meant by active participants is people who joined the interactive program by calling from home, or came to the studio to take part in the textual singing, while passive participants do neither. But, they also actively listen and enjoy the program in various ways (the study of

13

which would require extensive ethnographic research). The programs became more popular after Bali TV, TVRI Bali, and Dewata TV also started broadcasting mabebasan either on weekdays or on a weekly basis. The Mabebasan tradition, which was almost defunct, has now become lively. In the past, only elaborate rituals used to be accompanied by mabebasan activities, now almost no ritual, small or big, is held without mabebasan. Groups of mabebasan are also mushrooming, usually attached to or based in villages. In Bali today, there are 1485 village institutions (Desa Pakraman), each of which has roughly five groups of mabebasan scattered throughout its ward level (banjar). There are also many mabebasan groups set up at schools, government offices, hotels, banks, and a petrol station company, thus it is estimated that there are more than 8000 mabebasan groups in Bali. Most of the organisastions and their members are active either in performing mabebasan to accompany rituals or performing for entertainment on TV. These numbers are unprecedented in the history of Balinese mabebasan. Not only does this enliven the entire literary tradition in Bali, it also infuses tradition into popular culture, as it is actively present on radio and television stations. There are also loosely organised mabebasan groups set up by each radio station, populated by the radio stations followers and enthusiasts. Like village groups, these groups also regularly volunteer to perform mabebasan activities at festivals of major temples in Bali like Besakih, Batur, Samuan Tiga, and also at Semeru temple in East Java. Womens Participation The lively participation of women in mabebasan activities is a phenomenon of considerable importance since the tradition was previously dominated by men. In Balinese ritual activities, women are assigned to kitchen work and the preparation of offerings. There was little chance for them to take part in textual singing and interpretation. But, since the popularisation of mabebasan on radio and TV programs, many middle age women, who have more leisure time at home during the day or after selling goods at the local market, have a chance to enjoy interactive kidung through radio or TV. Some of them start learning how to sing by taking part in the interactive program. Being generally shy, interacting through radio could give them an arena to build confidence while not being as exposed. Many women who are new comers to mabebasan activities said they learn how to sing through the radio and are grateful that radio or TV presenters guide them when they encounter difficulties while

14

singing. Sometimes after acquiring some confidence, they become addicted to interactive textual singing. They feel incomplete if they are unable to participate in the interactive program. The participants were slowly getting to know each other virtually. This is when they start to join or be invited to join a group of mabebasan where they can continue to learn more types of tembang or pupuh and exchange copies of literary works. Their groups often volunteered to accompany rituals in temples or appeared on television. Performing on TV often becomes an immediate goal for new groups. It motivates them to learn and practice, as they try to perfect their appearance. Groups also need to provide uniforms and other ancillary preparations for a TV performance. For our project, we have close to 200 hours of recordings of Kidung Interaktif from Bali TV including some from TVRI Bali and pre-recorded mabebasan from Dewata TV. They were broadcast from 2004-2011. The same amount of hours from Dagang Gantal program of RRI Denpasar. We continue to collect and record interactive kidung programs. On general observation, the participation of women in interactive programs has been considerably high, either in the studio or as listeners, and they have been active in interactive activities by making phone calls to sing from home. In this paper, I randomly looked at 60 programs, around one third of the collection, of Kidung Interaktif Bali TV. Out of the program there are a couple of all-women groups pesantian, and there are almost none which comprise only of men. Each group comprised five to ten members, excluding the TV presenter. Groups are also accompanied by a gugantangan gamelan group, comprised of around ten players, mostly men, including teenagers. From the 60 groups of mabebasan who made an appearance on Bali TV between 2004-2008, there were 423 members of mabebasan, out of which 232 were women, i.e. 54.8%. Meanwhile, there were 191 men, which made up the remaining 45.15%. The time slot for kidung interaktif is 60 minutes. The first half of it is for the performance of the group who is coming to the studio, while the second half is for quizzes and interaction. The number of women who participated in the interactive part was 147 or 62.5%, while men callers counted for only 36.4%, almost half of the women callers. When the number of performers and callers were summed up, there were 379 female participants (57.5%) compared to 279 male participants (42.4%), see Table 2.

15

Table 2: Participants of Women in 60 Programs of Kidung Interaktif 20042008.


Mabebasan Group Member Female Male Total 232 191 423 54.8% 45.15% 100% Number of Interactive Participant Female Male Total 147 88 235 62.5% 36.4% 100% Grand Total Female 379 57,5% Male Total 279 658 42.4% 1005

The significantly high number of women participating in mabebasan activities on electronic mass media is inseparable from a similar tendency in other artistic practices. There has been a tendency of emancipation for Balinese women being accepted to get involved in various Balinese artistic practices such as visual arts, gamelan orchestras, and as arts directors. Previously, it had been hard to find women painters, women playing gamelan, or women becoming artistic directors, or even as mask-dancers. Balinese women have also come forward as dance coreographer, which was another role dominated by men. Recently, the annual Bali Arts Festival showcased women gong kebyar gamelan orchestra on top of men or teenagers male gamelan orchestra. This tendency comes about the same time as the participation of women in mabebasan activities, with an even greater involvement of women. Two popular presenters of kidung interactive are women. Luh Nengah Suciati works as presenter for Bali TV Kidung Interactive and Radio Global Dharma Kanthi, while Jero Murniasih has been one of the presenters of Dagang Gantal since the program was introduced first in 1991. Both Suciati and Murniasih have a background as performers before becoming radio and TV presenters. Murniasih known as Mbok Luh Camplung (her nickname) receives regular performance commissions as she became popular as a radio announcer. Or, her popularity as performer increases her charisma as a radio presenter. Suciati works as a junior high school teacher, while Murniasih works at RRI Denpasar with her main job being a kidung interactive presenter with her duo I Gusti Ngurah Sandiyasa aka Gde Tomat. Other radio stations with kidung interaktif programs also have women presenters, though not as popular as Suciati and Murniasih. Female presenters, like Suciati and Murniasih, have played a significant role in encouraging women to take part in mabebasan activities. Luh Suciati said she often encourages women to come forward and leave behind shyness in learning our tradition. Her profession as teacher gives her a didactic method in encouraging

16

new learners of mabebasan. A number of women active in mabebasan activities said that they feel more confident in taking part in the radio interactive mabebasan for two reasons. One, as new learners and mature people they need not feel shame because on radio their face will not be seen. Two, they found that radio and TV presenters kindly guide and assist them when they have difficulty in singing a verse. Often novice women callers asked for guidance from the presenter when they were on-air on interactive program. The phrase they often used was please take my hand if I tremble (tolong kedetin yen tyang srandang-srendeng). In an interview, Murniasih said the fact that there are now more women textual singers than before proves that learning matembang is not as difficult as imagined. Murniasih feels proud to see that there are now more women able to makidung than men. However, since many of them learn how to sing, there is a lack of women being skilled interpreters, as if interpretation has become the job of men. Motivation Women interested in learning mabebasan are motivated by a combination of personal and social reasons. There are many young women, school aged students, learning mabebasan at school or for competition at the village level. But, those active in radio interactive programs are mostly middle aged women, aged around fifty years or more. They either stay at home looking after their grandchildren, or having their own small business, or have enough spare time for entertainment. Personal motivation means having a personal reason that motivates one to start learning or re-start learning singing because now they have more time for themselves to enjoy. When they were young, they were busy with working for income, but now that their children are grown or married, their responsibility to work hard for their families has been taken over by the next generation. It is time for them to enjoy themselves on an affordable entertainment and pleasure. Ni Nyoman Sampreg (60), a self-employed rice seller, said that she joined mabebasan activities for entertainment and finding new friends. She said:
What else do I need to do. I worked hard to raise my son and daughter. I did it without my husband, who died a long time ago. Both of our children got married and they have their own life. They do not need my support anymore, and I am unable to do so as I am getting old. Working hard will not make me rich. I just work for enough to eat, and enjoy the rest of my life (6 June 2011).

Enjoying life, having a form of personal entertainment, and finding new friends were shared by many others. When she was young, Sampreg

17

joined a janger dance group which involves a lot of singing. She had every confidence to sing a song, and quickly learnt a couple of tembang with basic rhythms she needs to take part in interactive mabebasan. Learning literary values, moral teachings, religious values are among other personal reasons given by women learning makidung. For them getting old means a time to learn more about religious teaching, advice from literary works, and other moral teachings. Another example of a personal reason to learn and take part in mabebasan activities is given by Wayan Darsi (45), a souvenir seller at Sukawati Arts Market, Gianyar. She was born in an artistic family, her grandfather and mother are dancers. She was interested in matembang since she was a kid, but became serious about singing traditional poems when she was 35. At that time, she suffered from a respiratory problem (sesak nafas). She was encouraged by her family and friends to practise matembang as a way of breathing exercise (olah vokal). It worked well and her breathing problem was solved. Being healthy is important for Darsi, and performing mabebasan in a ritual provides no financial benefit at all. Only occasionally, she receives Rp 50,000 (AUD$ 5,5) when performing makidung at a hotel ritual. Ni Wayan Kawan aka Dadong Edi (55), an unemployed woman from Batubulan, said that she found herself to be able to read again after not having done so for decades. She looks after her grandchildren every day at home. Radio programs, especially kidung interaktif programs, are the only means for her to get entertained. She is interested in learning matembang after sometimes following the kidung interaktif radio programs, broadcast from Denpasar or Gianyar. Sometime last year she started to phone in to Gianyar-based Jegeg Bali radio station and singing via phone. She was grateful to sing guided by the presenters. It gave her every confidence to sing and make regular phone calls from then on, and became an active participant in kidung interactive. She is learning makidung exclusively from radio. As mentioned earlier, Dadong Edi once was able to read basic stuff, but had forgotten and become illiterate since she had no job that required reading. She only studied for three years at elementary school, but since learning makidung, her eagerness to learn the alphabet was rekindled and now she is no longer illiterate. As she was getting known by others, she was invited to join a mabebasan group, and was given copies of literary texts by new friends. The most important thing for her is that she is now being able to read again. Voluntary performances of makidung at rituals or ngayah is an example of social motivation. This source of motivation came after the

18

personal one. Most female participants in interactive programs make new friends, get involved in a new social network, and then join or are asked to join a mabebasan group. Each radio station, like Jegeg Bali, Yudha Bali, Radio Global, RRI Denpasar, established a loose group of their followers and organised a program to ngayah at various important temples in Bali and Java. Doing ngayah provides them nothing but happiness, and this is an important aspect of makidung. Many of the women interviewed said that by participating in makidung either at rituals or on electronic interactive, are a way of relieving stress or feelings of anxiety. Luh Suciati summarises that whatever the motivation of women participating in kidung interactive and pesantian groups, they play an important role in preserving and revitalising the Balinese literary tradition. Jero Murniasih added that, with the growing number of women in participating in kidung, it is much easier now to find textual singers (aluh ngerereh tukang gending), or pesantian group should they be required to accompany rituals. Both shared the view that mass media and women help to revive Balinese tradition in the modern era. Texts Read and Women Issues There is a huge corpus of traditional Balinese poetry, comprising various poetic genres including kekawin, kidung and geguritan from which readings for mabebasan can be selected (Robson 1972; Rubinstein 2000). But, since a kidung interactive programme has time constraints and the number of people who want to take part generally exceeds the available time, participants are only able to read one or two short stanzas selected from either the traditional corpus or specifically written for the occasion. There is not enough time to read a full text or present a whole story. In one hour of kidung interaktif, there could be opportunities for up to 12 people to sing, depending on time lost to commercial breaks. The presenter always uses the time available to try and maximise the number of participants and often politely encourages the singing of a short poem. The texts read in kidung interaktif are usually taken from classic or familiar works. These include extracts from religious texts such as the Bhagawadgita and Sarasamuscaya, classic stories like Kekawin Ramayana, Kekawin Mahabharata, Sutasoma, and Kekawin Siwaratrikalpa and familiar works including Gaguritan Basur, Sampik Ing Tay and Jayaprana. But, since radio and television, like other mass media, work within a framework of actuality and topicality, presenters, participants and active audiences always try to include topical items either by

19

selecting a relevant stanza from available works or by creating new poems that comment on current issues. A survey of programmes from RRI Denpasar, RRI Singaraja, Bali TV and TVRI Bali, shows that the works read are dominated by the categories of the classic and familiar, while specifically created poems, although not as numerous, continue to be viable. Parallel to the growing number of women taking part in mabebasan activities, either on interactive mode or in ritual activities, the discussion of gender issues began to flourish. There are many works which have potential themes of gender-related concerns, which are often selected and discussed by mabebasan members. In Indonesia, Bali not being exceptional in this case, there are at least two days in one year when public and media discourse is dominated by news on women issues, these being Kartini Day (21), the celebration of the Indonesian feminist hero, and on the celebration of Mother Day or Hari Ibu (22 December). Activities like seminars and other ancillary events, such as cooking competitions for men, are only held to mark these anniversaries. The spirit of such celebrations and women-related issues are occasionally also echoed on the kidung interaktif programs. On its program broadcast on 25 December 2008, for example, Kidung Interaktif Bali Tv dedicated their program to raise, sing, and discuss womens issues. The mabebasan group appearing on that day was Seka Shanti Sanggar Seni Giri Lango from Gianyar. They started the program by mentioning the Mother Day and also Christmas, and New Year 2009. Moderated by presenter Luh Suciati, two male members of the group came up with a joke and a pun to discuss the important position of women in the family, society, and the nation. Women, one said, are like madu (honey) and wisia (poison), so it is the obligation of the member of each family, society, and nation to respect and ensure the appropriate position of women in order to ensure the prosperity and harmony of the family, society, and the nation. One member said that the war in Ramayana was caused by women. It appears that he refers to Dewi Sita, the wife of Rama who was kidnapped by the demon Rahwana. An unavoidable bloody war occurs between Rama and Rowena because of the dishonouring of the woman. The word used in referring to the women here is Ibu (mother), and from this word, another man reminds us of the importance of paying our respects to our Ibu like Ibu Kartini and through the celebration of Hari Ibu. By using the word Ibu, he goes on to make a pun by saying that women should never become Ibuduh, in Balinese mean she who is crazy. During the interactive activities, the topic of song and discussion went on to other

20

issues, thus womens issues quickly faded from the program. On another program, which featured an all-women pesantian group, women-related issues take centre stage. The group is called Ganda Nadhi Umbara from Belayu, Tabanan, comprises five members plus one women presenter, Luh Suciati. In her introduction, Suciati expresses her pride to the group, although they were still on early stage of learning, these women were daring enough to perform and share their readings and singing of literary and religious values. Should they make any mistake, wise audience members were expected to give advice for improvement in the attempt of reviving Balinese arts and literary traditional. The group picks up the love story between Wayan Mudita and Kusumasari, part of the Geguritan Dukuh Siladri. This geguritan poem depicts several issues around love, loyalty, magic and power. Wayan Mudita and Kusumasari are cousins but they are not aware of their realtionship, thus they almost fall in love with each other. A third woman steps into their realtionship and falls in love with Mudita, which results in conflict involving power and black magic to win love. Interestingly, a caller, called Ibu Kadek from Tabanan also sang a verse with the same theme. In the geguritan, Mudita is depicted as having a good character, being a responsible person, but in Ibu Kadeks verse, the male character is presented as a disloyal person who does not keep his promise.
Ulung bulan di langit Uli pidan baan ngarsayang Janjin belin nguni Munyin belin memanesin Ngaku tresna kanti lampus Munyin beli tanpa guna Ngedegin basang sesai Nuukin kayun Sakitan belin majalan (Bali TV, 10/07/2008) Falling flower of the sky Id long been expecting Your old promise my brother Your promise caused me suffering It confessed you would love me till you died Your promise was meaningless It made me angry everyday You only follow your will Going wherever you like

The interpretation was given by the presenter, Suciati. The role of interpreter is important in giving and expanding on the meanings of the song. The interpreter often makes jokes, puns, and illustrations to emphasise the meaning as they like. Sometimes the illustrations given are too far, but still relevant to the text and context. When giving interpretation for the line Ngaku tresna kanti lampus (It confesses you would love me until you die), the interpreter (pangartos) said in the Balinese language:

21

Beli janji tinggal janji, pih bulan maduan ke luar negeri, nganti mati nyen kon tresnan belin, sakewala kondn maan men apa, suba beli ilang, buin kija kadn

You, my brother, keep promising me, saying to take me on honeymoon overseas, stating that you love me until you die, but nothing happened yet you had disappeared again, gone without notice.

There is nothing in the text to suggest a honeymoon overseas, but the interpreter freely adds to it as an illustration of how meaningless the promise of the man can be. It causes the girl to feel disrespected. When interpreting the last line of the text, the interpreter continues to express criticism to the irresponsible man. In making that criticism even stronger yet popular, the interpreter uses an English expression by accusing him of being a playboy. More close studies of verses sang and interpreted in makidung or mabebasan activities by female participants are required in order to achieve a better understanding of their spirit and seriousnessin discussing womens or gender issues. But, as the examples above have illustrated, mabebasan activities have shown how female participants (singers and presenter) openly expressed their concern toward mens attitudes through electronic mass media. In some other cases, women also express their comments on various general issues, making womens aspirations and voices heard in the public arena. Hence, it showcases the courage of women to negotiate their position imaginatively in a male dominated society. Conclusion It has been rather unpredictable that the mabebasan tradition, which was almost defunct, was given a new form by electronic mass media, especially radio and television. Interactive textual singing programs that radio and TV in Bali provided, increased the number of people to take part in mabebasan activities. Interestingly, the number of women surpassed the number of men in what used to be male dominated literary tradition. The participation of women in kidung interaktif programs and also in accompanying rituals has significant meaning in revitalising the literary tradition. While the willingness of women in making use of the mabebasan interactive programs to raise and discuss womens issues and to negotiate their position in the public arena, the increased participation of women in mabebasan activities on and off air does give a sense of emancipation or of a democratization of Balinese arts and tradition. Thus, their appearance on radio and on TV is much more than just numpang nampang.

22

Bibliography
Arps, Bernard. 2003. Letters on air in Banyuwangi (and beyond): Radio and phatic Performance, Indonesia and the Malay World 31, no. 91: 30116. Creese, Helen. 2000. Balinese Television Histories: broadcasting historical discourses in late New Order Indonesia Review of Indonesia and Malaysian Affairs, 34 (1) Winter 2000, pp.39-81. Creese, Helen. 2009 Singing the text: On-Air textual interpretation in Bali. in J. Van der Putten and M. K. Cody, eds. Lost times and untold tales from the Malay world, pp. 210-226. Singapore: Singapore University Press. Jurrins, Edwin.2006. Radio awards and the dialogic contestation of Indonesian journalism, Indonesia and the Malay World Vol. 34, No. 99 July 2006, pp. 119149. Jurrins, Edwin.2007.Indonesian radio culture: modes of address, fields of action, Review of Indonesian and Malaysian Affairs, vol. 41, no. 1 (2007), pp. 3370. Kitley, Philip. 2000. Television, nation, and culture in Indonesia. Athens OH: Ohio University Press. Lindsay, Jennifer.1997. Making Waves: Private Radio and Local Identities in Indonesia,Indonesia, Vol. 64, (Oct., 1997), pp. 105-123. Manda, I Nyoman. 2002. Basa Bali Pinaka Sarana Ngawerdiang Sastra Baline Ida Bagus Darmasuta et al (eds), Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali V, pp 184-200. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar. Putra, I Nyoman Darma. Kidung Interaktif Vocalising and interpreting traditional literature through electronic mass media in Bali, Indonesia and the Malay World, 37:109, pp. 249-276. Rai Putra, Ida Bagus. 2002. Susastra Bali miwah Kahananipun, in Ida Bagus Darmasuta et al (eds) Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali V, pp 26475. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar. Robson, Stuart. 1972. The Kawi classics in Bali, BKI, 128 (2/3):308-329. Rubinstein, Raechelle. 1993.Pepaosan: challenges and change, in Danker Schaareman (ed), Balinese music in context: A sixty-fifth birthday tribute to Hans Oesch, pp. 85-113. Winterthur: Amadeus Verslag. Rubinstein, Raechelle. 2000. Beyond the realm of the senses; The Balinese ritual of kekawin composition. Leiden: KITLV. Sen, Krishna. 2003. Radio days: media-politics in Indonesia, Pacific Review 16 (4): 57389. Suartaya, Kadek. 2003. Ketika Menembang Menumpang Nampang , Bali Post, Minggu Paing, 2 Maret 2003. Suryadi. 2005.Identity, Media and the Margins: Radio in Pekanbaru, Riau (Indonesia), Journal of Southeast Asian Studies, 36 (1), pp 131151 February 2005.

23

HOW DO WE APPROACH A FOREIGN CULTURE? THE PROBLEMS OF REPRESENTATION


Natalia Theodoridou School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London

hile attempting to write a paper on regional culture, one question seemed pressing: What is the place of a foreign research student in a conference about regional culture and local wisdom? Was I planning to talk to you about your own knowledge, to teach you about your own culture? I think this would be inappropriate, let alone impossible. So in this paper, I would like to talk about my current research project and, while doing so, to address a few questions that may be important: How do we understand other peoples culture? How do we approach this kind of outsider research methodologically? In fact, how has Bali been studied and represented in the past, and what can we do differently today? What the project is about My project is about Balinese theatre, both live and televised, and its representations. But why theatre and why Bali? Balinese theatre has haunted European imagination, as well as practitioners and scholars of theatre for almost a century, while Bali has been haunted in return by a vast number of academics and artists interested in its theatre. In addition, the metaphor of the whole of Balinese existence as a sustained theatrical performance has been predominant in European and American representations of the island. The first representations of the people of the island, before the colonisation by the Dutch, depict them as aggressive and poorly governed, while soon after Bali comes to be the paradise island, where every native is an artist. Boon explains this transition as an economically manufactured one: Since there were no commodities of trade for colonial enterprises; tourism alone promised to yield significant profits (Boon 20).1 And a fundamental aspect of life on this vision of Bali was a double theatricality: not only did the

1 Of course, things are always more complicated than this. Space does not permit to go into great depth here. Suffice it to say that neither does the commercialization of performance cover the entirety of Balinese performance practices, nor can the motivation of Balinese to create art be limited to economic reasons.

24

Balinese love theatre per se, with a variety of presumably ancient genres ranging from shadow theatre to dance and opera, their very existence came to be understood as a constant theatrical performance. However, very few people have taken into account Balinese ideas of what foreigners have identified and studied as theatre, often reducing the subjects and object of study to preconceived models and theories. I argue that, in order to access the missing object of study, one would have to shift the focus to Balinese accounts of their practices, because any analysis of theatre cannot rely solely on accepting received accounts. Theatre as practice, however, cannot be limited to what actors alone do or have to say about what they do; it is a relationship, the unscripted interaction between performer and spectator, that makes up a large part of the event, even more so in improvised genres, as is the case for much of theatre in Bali. It is therefore necessary to look at both actors and audiences ideas about theatre. However, since the popularization of television in Indonesia, making and watching televised theatre has been a widespread activity which introduces a new set of issues regarding the relationship between actor and spectator and changes the landscape in unexpected ways (80% of theatre companies in Bali disappeared because people wanted to go see only the very best of them as seen on TV [Hobart 1999:3]). Moreover, television audiences have turned out to be an exceptionally elusive object in media studiesboth shining in their absence and unknowability, and subject to representation and articulation by a variety of, usually complex, agents. Therefore the purpose of my research is to engage in a detailed study of audiences in Bali. This involves audiences of both live and televised theatre, as well as, if not predominantly, their representations by actors and producers. I propose to investigate the different representations and imaginings of audiences as they arise in theatre productions on Balinese television (both national and local), film (ethnographic, documentary, and development), as well as live performance. By de-positivizing and de-essentializing audiences in this way, I hope to draw attention to the conditions under which and the purposes for which different kinds of audiences are constructed, finalized, and hegemonized, in other words to the business of proclaiming there to be a unitary essence to audiences (and to Bali by extension). Theoretical framework Margaret Mead and Gregory Bateson, the famous 20th century

25

anthropologists, in their study of Balinese character, pronounced that Balinese culture is in many ways less like our own than any other which has yet been recorded (1942: xvi). And they werent the only ones to remark on the extreme otherness of the Balinese. However, there is one aspect of Bali that scholars from Europe and the Americas have had no trouble describing in familiar western categories: and that is theatre. Western dramaturgical models are readily exportable for the analysis of what those doing the analyzing take to be their Balinese counterparts. It is very easy to do so because theatre and performance studies is now a well-developed and prolific discipline (even in a Foucauldian sense of practices in which people discipline themselves and discipline other people), with an extremely sophisticated, institutionalized apparatus, while, as I mentioned earlier, the association of Bali with theatre is more than well-established in European imagination. So the Euro-american reasoning is this: Of course other peoples theatre is different, but it is still theatre,2 is it not? And if this is so, we can talk about it using the familiar concepts of actor, stage, audience, rehearsal, performance, improvisation, training etc. We just need to be aware of the cultural translation that is required to make sense of certain thingswe can, for example, go so far as to acknowledge that theatre in Bali is inextricable from dance and talk about dance dramas. But this is missing the point, as it basically presents a problem of apriorism, of knowing things before going out to investigate them. We already know what theatre is, we come to Bali, identify as theatre what we have already decided theatre is, and then we are happy when we find out that this theatre is like our own theatre in so many ways! While, of course, we are ignoring a whole other range of practices that our subjects of study may find equally, or more, important, in the meantime. It is not just a problem of translation, of English having grown into an enunciative language that interprets at the same time as it translates. The problem is how things are represented, by whom, on what occasion, for what purpose. As Balinese say, what is important is Desa, Kala, Patra. But what do I mean by representation? As is implied in the word itself, re-presentation presupposes the absence of the thing represented. As Nelson Goodman has shown and Mark Hobart has elaborated,
2 And to what extent does this class-term do justice to Balinese practices, given that there is no equivalent term in Basa Bali? In my experience, Balinese refrain from referring to such general things as theatre (the most common translation for terms such as igel-igelan, sasolahan or balih-balihan) and prefer to refer instead to specific genre such as Arja, Calonarang, Topng, and their particular context.

26

one can never represent something as itself; one can only represent something as something else, on an occasion, for a purpose, and with an outcome (Goodman 1976:27-31; Hobart 2008:12-13). Representation is, therefore, a transformational act. But how should one approach these practices and their representations? Following Goodmans re-conceptualization of the question what is art? as when is art (1978:66-67), I would suggest that the first step would be to ask when is theatre, when is the audience and so on, and according to whom. This situates the objects of study in their historical contingency and also highlights the idea of representation. In addition, I draw particular attention to acts of commentary, especially by actors, members of the audience in live performances, and the media industry, not in an attempt to get to the authentic native voice but to recognize the practices involved in their plurality and underdetermination. Finally, rather than recycling the standard position of the scholar as disinterested observer, I would tend to think of ethnography as a practice in a way that refuses to hierarchize the researcher and the subjects of study and at the same time avoids to treat them as merely other. Following a Wittgensteinian line, the point is not to find a middle ground between our theatre and their practices, but to have an appreciation of what the project involves in order to go on. In order to illustrate the theoretical problems that I outlined here, I would like to draw on some historical examples. How has Bali been represented, and what are the problems of representation?

Figure 1. Bali as a place to be colonized.

27

Figure 2. Bali as part of Indonesia.

Figure 3. Bali, the Ultimate Island.

Figure 4. Bali as a playground.

28

Maps, precisely because they are supposed to be accurate descriptions of the world, illustrate rather neatly the point that I want to make. Who makes the map of Bali? Who is a map for? What is it for? It is easy to forget that cartography is a matter of representation and imagining, in the case of Bali largely as part of colonial practices. If something as presumably concrete as geography can change so much overtime, what happens when the object of study is something as discursively constructed and fleeting as, for instance, audiences? Furthermore, writing about geography can prove rich in metaphors that reveal far more about the agents of representation than the thing represented. For instance, the presumed theatricality of Bali seems manifested even geographically: the island is dramatically mountainous,3 a snug little amphitheatre (Pringle 2004:1), likened to a flattened diamond (Pringle 2004:1) belonging to the necklace of equatorial emeralds that is Indonesia.4 The latter echoes earlier representations almost verbatim: The Miracle of Bali, a 1969 BBC narrated by David Attenborough, described it as a tiny bead on the necklace of islands that stretches from west of Malaysia to New Guinea and Australia. As might be expected, cultural examples are even more complicated. I would like to look briefly at a couple of documentaries: Mead and Batesons Trance and Dance in Bali and The Miracle of Bali, mentioned above. There is so much that can be, and has been, said about ethnographic film in general and Trance and Dance in Bali, filmed in 1937 in Pagutan, in particular. Here, I would like to focus on the historical contextualization of the film and the effect of its technique/technology/mise en scene on the way Bali, the Balinese, and theatre are represented The genesis of ethnographic film can be searched as far back as 1895 with the first travelogues made by travelling agents and journeying filmmakers. In its early stages ethnographic film had strong affinities with salvage operations and a taxidermic approach to the non-Western and the non-urban. The first attempts at full-blown ethnographic films, like Curtiss In the Land of the Headhunters (1914) and Flahertys Nanook of the North (1922) had such a strong more or less fictional narrative element that can by todays standards hardly be considered ethnographic at all. Mead
3 Bali-Geography <http://www.marimari.com/content/bali/general_info/geography. html> [Accessed 30/10/2010]. 4 Bali & Indonesia on the Net <http://www.indo.com/indonesia/archipelago.html> [Accessed 11/01/2009].

29

and Batesons attempts were among the first by trained anthropologists that tried to maintain a level of scientific vigour. The film was sponsored by the Committee for Research in Dementia Praecox, as schizophrenia was then known. This is because their study of Balinese culture was actually framed by a concern for the American national character. This film is only part of a massive collection of data concerning the Balinese character (Bateson & Mead 1942), which they saw as one in which the ordinary adjustment of the individual approximates in form the sort of adjustment which, in our own cultural setting, we call schizoid. Therefore understanding how they cope with the condition could lead to methods of child-rearing in America that would help avoid raising schizoid children. Funds were also provided by the American Museum of Natural History. This, I think, is also significant, because it stresses not only the scientific aspirations of the filmmakers but also the supposedly by then overcome taxidermic tendencies. After the credits, there is a set of intertitles summarizing the storyline of the theatrical ceremony that we are going to watch. Briefly, it explains that Rangda the Witch is angry because no husband wants to marry her daughter and order her pupils to bring plague upon the people of the village. The only one who can stand up against her is Barong, the guardian spirit of the village. His followers attack her but they fail and fall into trance, which involves turning ceremonial daggers (kris) against themselves without causing injury. Then Barong and Rangda fight but there is no resolution, nobody wins. The explanation of the action after the intertitles is taken up by Meads narration. The whole film is about twenty minutes. This means that they have condensed a performance that normally lasts several hours. Also, performances of this sort usually take place at nightthis was remedied for the purposes of filming. The performances themselves were commissioned by the anthropologists for Margaret Meads birthday. They even asked that two different plays be combined so that they could shoot both men and women in trance. However some shots are not even from this performancepart of it was filmed by Jane Belo, Meads former student, in 1939. The film was shot with a hand-held and hand-wound Movikon camera which only allows 3-minute takes. However most takes are much shorter than that, creating very disjunctive and often disorienting sequences. The camera is constantly moving and changing angles to get the best possible shots of the individual dancers, especially in the trance-scenes. Therefore what lends continuity to the material is

30

Meads voice-over narrative; her voice is what articulates the otherwise fragmented footage and creates something that never was. The images end up supplementing the narration, rather than the other way around. Their excess is tamed, repackaged and rendered in terms appropriate for a Western viewer. This is particularly pronounced, I think, when the dancers fall into trance. Because altered states of consciousness are empirically inaccessible to the viewer, the ethnographer undertakes the task of translating them for us. Balinese spectators of these performances are not absent, but they populate the margins of the frame. In other words, they are not represented. They are the ones who get disarticulated by Meads articulation. This I think has to do with the fact that audience practices were irrelevant to the fixation of meaning that Mead and Bateson were attempting as well as to the purposes of their study. They set out to look for schizoid personalities in Bali, they studied what they conceived as schizoid behavior and then considered this to be fundamental of the Balinese character. People casually passing by or looking on with varying degrees of attention were not part of the model and were therefore overlooked. They may have been in the frame, but they were narrated into silence. However, Mead and Bateson were impressively ahead of their time in anticipating more recent reflexive methodologies. For instance, they projected some of their footage to their subjects. However, the Balinese were then asked to comment on whether or not they believed that a trance dancer was in trancethe framing of the question, in other words, negated the possibility of commentary and incorporated it back into the grand narrative. Another example of almost conscious representation of Bali as theatre comes from The Miracle of Bali documentary mentioned earlier. In the opening scenes, while presenting the home of the leader of a world-famous gamelan orchestra, the camera smoothly travels in front of what comes across as a series of tableaux vivants: people of all ages, seemingly oblivious to the presence of the camera or the crew, are displayed side by side with intriguing murals, instruments, trees and a cockatoo, carrying out happily, harmoniously, and, above all with grace the theatre of everyday life. And then came academics such as Clifford Geertz who showed that in fact it has always been so: Bali was a theatre state already from the 19th century, long before it succumbed to the Dutch (1980). In fact, the argument is that this empty theatricality of kingship, with kings being not powerful agents but mere symbols of power, was the reason

31

why Bali was finally conqueredthe counter argument of course being that this is precisely the colonial rationale by which the Dutch attempted to suture over what actually went on and that this state of affairs more accurately described kings after the conquest, when they were indeed limited to pomp and ritual, stripped as they were from their political power. This business of imagining Bali as paradise was not solely carried out by Europeans, or soon after American who were lured to the islandBali soon became a paradise for Indians (with Nehru, the first prime-minister of India, calling Bali the morning of the world), Japanese and Indonesians alike: Bali in the 1950s became a tourist destination for many Indonesians with President Sukarno focusing his attention on Balinese art and culture (Vickers 3-4). In sum, what I want to argue is this: presenting the historical and geographical background, or indeed any facts about the area of research is supposedly a straightforward task. However, several historiographical approaches have shown history taken as the totality of events and the raw material of lived experience in a past period of time to be largely inaccessible, and have focused instead on history as a narrative (Collingwood [1946] 2005; White 1973). As such, history cannot be neutral. Moreover, an attempt to present the historical background is misleading from the outset as it suggests that history is background rather than a site of contestationor a series of antagonistic monologues. Of course there are dozens of other ways that Bali has been represented, with its whole culture equated with music or religion etc., but I chose to focus on theatre because this is my background and because it does make the point about the problems of representation rather clear. So what is the solution? Dialogue It is the dialogue around the practices we are researching that should become the centre of attention. I am using the term dialogue here in its Bakhtinian sense. To put it (perhaps too) simply, dialogue is the ongoing process of communication (Morson & Emmerson 1990:50). According to Bakhtin, existing epistemologies monologize knowledge by transforming the open-endedness of dialogue into a monologic summary of the worlds contents that inevitably misrepresents its unfinilizable spirit (Morson & Emmerson 1990:60). One representative of a massively monologic form of knowledge is the kind of apriorism I described before, which is so often found

32

in the thought of theatre scholars and anthropologists. Anthropology is the business of studying other peoples culture, which is almost always incommensurable and irreducible to the researchers own. Mark Hobart argues that culture, like society, is a retrospective and nostalgic notion, a particular Euro-American holistic category that glosses over the unfinalizability and contingency of peoples practices (2000). And thinking about practices also involves a set of practices. Society and culture, as massive suturing operations, were the necessary conditions of epistemological supremacy over our subjects of study. Cultural studies fares better than anthropology in this respect: it has taken culture as the conditions under which social divisions like class, gender and race are articulated, naturalised, represented and contested. As I have mentioned before when talking about representation, it is a transformational act, undertaken by someone, for someone, on an occasion, for a purpose, with an outcome. In addition, as Laclau has argued for the case of society, (and I think this may be true of audiences as well): the act of representation is the very condition of intelligibility for that which it claims merely to express (1990). Conclusion The discussion so far can be summed up as follows: A researcher should not approach the object of study from above, using pre-conceived notions and ideas that might be incompatible with the subject matter. Paying attention not only to what people say, but how they say it and in what capacity is of primary importance, because representation is never innocent. We should therefore look at who is representing whom as what, on what occasion, for what purpose. Coming to a close, one point seems critical. The examples I presented here should not be dismissed as mere figures of speech that do nothing. Linguistic and pictorial representations naturalize Bali as theatre/jewel/paradise. A number of scholars have argued, from various angles, that language is not a means to describe the natural world but a tool people do things with (Wittgenstein 1958, Austin 1962, Feyerabend 1975, Goodman 1976, Butler 1997). The question then becomes, what have the various naturalizing metaphors of Bali as done, and what has been disarticulated in the process?

Bibliography Austin, J. L. 1962. How to Do things With Words. Oxford: Clarendon.

33

Bateson, G. & Mead, M. 1942. Balinese character: a photographic analysis. New York: Academy of Sciences. Boon, J.A. 1977. The Anthropological Romance of Bali 1597-1972: Dynamic Perspectives in Marriage & Caste, Politics & Religion. Cambridge: University Press. Butler, J. 1997. Excitable Speech: A Politics of the Performative. London and New York: Routledge. Collingwood, R. G. [1946] 2005. The Idea of History. Oxford: University Press. Feyerabend, P. 1975. Against method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge. London: Verso. Geertz, C. 1980. Negara: the Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton, N.J.: University Press. Goodman, N. 1976. Languages of art. Indianapolis: Hackett. Goodman, N. 1978. Ways of Worldmaking. Indianapolis: Hackett. Hobart, M. 1999. The End of the World News: Television and a Problem of Articulation in Bali. International Journal of Cultural Studies 3.1: 79-102. Hobart, M. 2000. After Culture: Anthropology as Radical Metaphysical Critique. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Hobart, M. 2008. Bali is a Brand: a Critical Approach. Paper presented at Kongres Kebudayaan Bali. ISI, Denpasar. June 2008. Laclau, E. 1990. New Reflections on the Revolution of our Time. London: Verso. Morson, G.S. & Emerson, C. 1990. Mikhail Bakhtin: Creation of a Prosaics. Stanford, California: Stanford University Press. Pringle, R. 2004. A Short History of Bali: Indonesias Hindu Realm. Crows Nest, Australia: Allen & Unwin. The Miracle of Bali. 1969. Film. Narrated by Attenborough, D. BBC. Trance and Dance in Bali. 1951. Film. Filmed by Bateson, G. & Mead, M. Narrated by Mead, M. USA: Pennsylvania State University. Vickers, A. 1997. Bali: a Paradise Created. Berkeley & Singapore: Periplus. White, H. 1973. Metahistory: The Historical Imagination in NineteenthCentury Europe. Baltimore & London: Johns Hopkins University Press. Wittgenstein, L. 1958. Philosophical investigations. 2nd. ed. Oxford: Blackwell.

34

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA KOREA DAN INDONESIA: Kajian tentang Perilaku Masyarakat Korea dan Jawa
Kim Geung Seob Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
I. Pendahuluan omunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A. and Richard E. Porter: 1994). Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku nonverbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman. Pentingnya komunikasi antarbudaya dikarenakan interaksi sosial keseharian kita itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua orang terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65% lagi terjadi dalam komponen nonverbal (Ray L. Birdwhistell: 1969). Namun demikian, studi sistematis tentang komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup bentuk-bentuk komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, kebanyakan program-program pengajaran bahasa asing sering mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal.

35

Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui media massa merupakan pengalaman umum yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri dengan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut orang awam berpikiran bahwa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu yang universal. Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khususnya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah, orang cenderung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama (Bennet, Milton J.: 1998). Tujuan kajian tentang komunikasi antarbudaya antara Jawa dan Korea ini adalah untuk mengemukakan hal-hal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat di Jawa dan Korea. Makalah ini tidak hanya menekankan bagaimana orang Jawa dan Korea berbeda dalam berbicara tetapi bagaimana mereka bertindak antarorang dan bagaimana mereka mengikuti aturan-aturan terselubung yang mengatur perilaku anggota masyrakat. II. Dimensi Ragam Budaya Telah dikenal ribuan anekdot mengenai kesalahpahaman akibat komunikasi antarbudaya antara orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Karena besarnya jumlah pasangan budaya, dan karena kemungkinan kesalahpahaman berdasarkan bentuk verbal maupun perilaku nonverbal antara tiap pasangan budaya sama besarnya, maka terdapat banyak anekdot mengenai hal-hal tentang antarbudaya yang mungkin dibuat. Yang diperlukan adalah cara untuk mengatur dan memahami banyaknya masalah yang mungkin timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian besar perbedaan dalam komunikasi antarbudaya merupakan hasil dari keragaman dalam dimensi-dimensi berikut ini. 2.1 Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan Tindakan keakraban merupakan tindakan yang secara simultan mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk

36

berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Contoh tindakan keakraban misalnya senyuman, sentuhan, kontak mata, jarak yang dekat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan kedekatan atau spontanitas antarpersonal yang besar dinamakan budaya kontak karena orang-orang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan dan sering bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang rendah cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan. Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya terdapat di negara-negara hangat dan budaya kontak rendah terdapat di negaranegara beriklim sejuk. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa yang termasuk mempunyai budaya kontak adalah negara-negara Arab, Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan Jawa. Negara-negara dengan budaya kontak rendah misalnya Jerman, Inggris, Jepang, dan Korea (Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani: 1998). Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung berorientasi hubungan antarpersonalnya dingin, sedangkan budaya di iklim hangat cenderung berorientasi antarpersonal dan hangat. Bahkan orang-orang di daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik lebih banyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah dingin. 2.2 Individualisme dan Kolektivisme Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan budaya adalah tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini menentukan bagaimana orang hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi. Kajiannya tentang individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda yang semuanya negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah tingkat individualismenya adalah Venezuela, Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Timur atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan ke-47. Tingkat yang menentukan suatu budaya itu individualistik atau kolektivistik mempunyai dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif kurang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain, tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan kurang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka

37

(Hofstedet: 1980). Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa para individualis bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orangorang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada normanorma sebagai nilai utama dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang dalam budaya individualistik didorong untuk mengungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif. 2.3 Feminin dan Maskulin Maskulinitas adalah dimensi budaya yang sering terlupakan. Ciri-ciri khas maskulin biasanya disangkutpautkan dengan kekuatan, ketegasan, persaingan, dan ambisi, sedangkan ciri-ciri khas feminin dihubungkan dengan kasih sayang, pengasuhan, dan emosi. Penelitian antarbudaya menunjukkan bahwa anak perempuan diharapkan lebih dapat mengasuh daripada anak laki-laki walaupun ada variasi yang cukup banyak dari negara yang satu dengan yang lain (Hall: 1976). Budaya maskulin menganggap penting kompetisi dan ketegasan, sedangkan budaya feminin lebih mementingkan pengasuhan dan perasaan. Tidak heran, maskulinitas suatu budaya dihubungkan secara negatif dengan persentase wanita dalam pekerjaan teknis dan profesional serta dihubungkan secara positif dengan pemisahan kedua jenis kelamin dalam pendidikan tinggi. Negara dengan maskulinitas tertinggi adalah Jepang, Austria, Venezuela, Itali, dan Swiss. Kecuali Jepang, negara-negara ini semuanya terletak di Eropa Tengah dan Karibia. Negara dengan nilai maskulinitas terendah adalah Swedia, Norwegia, Belanda, Denmark, dan Finlandia yang semuanya negara Skandinavia atau Amerika Selatan kecuali Thailand. Indonesia ditempatkan ke-30 dan Korea berurutan ke-41.

38

2.4 Kesenjangan Kekuasaan Dimensi fundamental keempat dalam komunikasi antarbudaya adalah kesenjangan kekuasaan. Kesenjangan kekuasaan telah diukur dalam banyak budaya menggunakan Indeks Kesenjangan Kekuasaan (IKK). Budaya dengan nilai IKK tinggi mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang lebih terpusat dalam tangan sedikit orang daripada terbagi dengan cukup merata di seluruh penduduk. IKK sangat berkaitan dengan otoritarianisme. Negara dengan IKK tertinggi adalah Filipina, Meksiko, Venezuela, India, dan Singapura. Negara-negara tersebut semuanya negara-negara Asia Selatan atau Karibia, kecuali Perancis. Negara dengan IKK terendah (mulai dari yang paling rendah) adalah Austria, Israel, Denmark, Selandia Baru, dan Irlandia. Dalam hal ini, Indonesia terletak di tingkat ke-8 yang sangat tinggi dan Korea berurutan ke-27. Sistem sosial dengan perbedaan kekuasaan juga menghasilkan perilaku kinesik yang berbeda. Dalam keadaan beda kekuasaan, bawahan sering tersenyum dalam usaha untuk tampak sopan dan menenangkan atasan. Hofstede (1980) menyatakan bahwa garis lintang dan iklim merupakan kekuatan utama dalam membentuk budaya. Dia menekankan bahwa kunci yang mempengaruhi variabel yaitu bahwa teknologi diperlukan bagi pertahanan hidup di iklim yang lebih dingin. Kebutuhan ini menimbulkan rangkaian kejadian di mana anak-anak tidak terlalu tergantung pada penguasa dan lebih banyak belajar dari orang lain daripada tokoh-tokoh penguasa. Kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi kesenjangan kekuatan besar selalu menekankan nilai ketidakseimbangan atas status-status individu (Alo Liliweri: 2001). Senyum yang terus menerus yang dilakukan orang-orang Timur mungkin merupakan usaha untuk menenangkan atasan atau menghasilkan hubungan sosial yang lebih mulus; mungkin berhasil dinaikkan jabatannya dalam budaya berIKK tinggi. 2.5 Konteks Tinggi dan Rendah Dimensi penting terakhir dari komunikasi antarbudaya adalah konteks. Hall (1976:91) menggambarkan budaya konteks tinggi dan rendah yang cukup mendetil. Komunikasi atau pesan konteks tinggi (KT) adalah suatu komunikasi di mana sebagian besar informasinya dalam konteks fisik atau ditanamkan dalam seseorang, sedangkan sangat sedikit informasi dalam bagian-bagian pesan yang diatur, eksplisit, dan disampaikan. Teman yang sudah lama saling kenal sering menggunakan KT atau pesan-pesan implisit yang hampir tidak mungkin untuk dimengerti oleh orang luar. Situasi, senyuman,

39

atau lirikan memberikan arti implisit yang tidak perlu diucapkan. Dalam situasi atau budaya KT, informasi merupakan gabungan dari lingkungan, konteks, situasi, dan dari petunjuk nonverbal yang memberikan arti pada pesan itu yang tidak bisa didapatkan dalam ucapan verbal eksplisit. Pesan konteks rendah (KR) hanyalah merupakan kebalikan dari pesan KT, sebagian besar informasi disampaikan dalam bentuk kode eksplisit. Pesan-pesan KR harus diatur, dikomunikasikan dengan jelas, dan sangat spesifik. Tidak seperti hubungan pribadi, yang relatif termasuk sistem pesan KT, institusi seperti pengadilan dan sistem formal seperti matematika atau bahasa komputer menuntut sistem KR yang eksplisit karena tidak ada yang bisa diterima begitu saja. Budaya konteks tertinggi ditemukan di Timur, Cina, Jepang, dan Korea merupakan budaya-budaya berkonteks sangat tinggi. Bahasa merupakan sebagian dari sistem komunikasi yang paling eksplisit, namun bahasa Cina merupakan sistem konteks tinggi yang implisit. Orang-orang dari Amerika sering mengeluh bahwa orang Jepang tidak pernah bicara langsung ke pokok permasalahan, mereka gagal dalam memahami bahwa budaya KT harus memberikan konteks dan latar dan membiarkan pokok masalah itu berkembang (Hall, .: 1984). Komunikasi jelas sangat berbeda dalam budaya KT dan KR. Pertama, bentuk komunikasi eksplisit seperti kode-kode verbal lebih tampak dalam budaya KR seperti Amerika dan Eropa Utara. Orangorang dari budaya KR sering dianggap terlalu cerewet, mengulangulang hal yang sudah jelas, dan berlebih-lebihan. Orang-orang dari budaya KT mungkin dianggap tidak terus terang, tidak terbuka, dan misterius. Kedua, budaya KT tidak menghargai komunikasi verbal seperti budaya KR. Orang-orang yang lebih banyak bicara dianggap lebih menarik oleh orang Amerika, tetapi orang yang kurang banyak bicara dianggap lebih menarik di Korea seperti suatu budaya berkonteks tinggi. Ketiga, budaya KT lebih banyak menggunakan komunikasi nonverbal dari pada budaya-budaya KR. Budaya KR, dan khususnya kaum pria dalam budaya KR, tidak dapat merasakan komunikasi nonverbal sebaik anggota budaya KT. Komunikasi nonverbal memberikan konteks untuk semua komunikasi, tetapi orangorang dari budaya KT sangat dipengaruhi isyarat-isyarat kontekstual. Dengan demikian, ekspresi wajah, ketegangan, tindakan, kecepatan interaksi, tempat interaksi, dan pernak-pernik perilaku nonverbal lainnya dapat dirasakan dan mempunyai lebih banyak makna bagi orang-orang dari budaya konteks tinggi. Terakhir, orang-orang dari budaya KT mengharapkan lebih banyak komunikasi nonverbal

40

dibandingkan pelaku interaksi dari budaya KR. Orang-orang dari budaya KT mengharapkan para komunikator untuk memahami perasaan yang tidak diungkapkan, isyarat-isyarat yang halus, dan isyarat-isyarat lingkungan yang tidak dihiraukan oleh orang-orang dari budaya KR. III. Struktur Sosial dan Nilai Masyarakat Korea dan Jawa Korea dalam sepanjang sejarahnya sangat penting artinya dari sudut strategi geografis. Hal tersebut dikarenakan semenanjung Korea terletak di tengah tiga negara besar yaitu Jepang, Cina, dan Rusia. Selain itu, sampai akhir masa abad ke-19 semenanjung Korea sudah lama menjadi jembatan penghubung antara kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi dari daratan Cina dengan kepulauan Jepang. Letak geopolitik kerajaan Korea sebagai sebuah semenanjung yang berfungsi sebagai jembatan penghubung itu telah memberikan keuntungan dan kerugian. D isatu sisi kerajaan Korea dapat dengan mudah menyerap seni budaya dari negara tetangga, tetapi sebaliknya senantiasa menjadi sasaran dari negara-negara tetangga yang agresif Salah satu yang berhasil diserap Korea adalah ajaran konfusianisme. Ajaran konfusianisme yang berasal dari Cina ini disampaikan ke Jepang melalui semenanjung Korea. Namun anehnya justru ajaran konfusianisme ini tidak berkembang di Cina, namun sangat berkembang di Korea dan Jepang. Ajaran konfusianisme ini diajarkan oleh seorang bijak dari Cina, yang bernama Kong Zui. Beliau mengajarkan sistem etika moral yang ideal dengan membangun hubungan dalam keluarga dan negara dalam kesatuan yang harmonis. Kong Zui yang diperkirakan hidup pada abad 6 Sebelum Masehi mengungkapkan hubungan tersebut pada dasarnya adalah sebuah sistem subordinasi dari hubungan : 1. Ayah dan anak orang tua dan anak 2. Yang tua dan yang muda 3. Suami dan istri 4. Pertemanan 5. Penguasa dan Masyarakat Ajaran konfusianisme sangat menitikberatkan kesetiaan kepada raja dan kerajaan (negara), moral, dan pembaktian kepada orang tua. Di samping itu menekankan pada perbuatan yang sepatutnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti cara bermasyarakat dan cara mendidik. Bahkan untuk tata cara bermasyarakat yang sangat tinggi. Masyarakat (bangsa) Cina memberi gelar masyarakat Korea dengan sebutan the country of eastern decorum atau orang ramah dari timur. Hal

41

tersebut berkat ajaran konfusianisme yang merasuk kuat dalam tata nilai yang ada dalam masyarakat Korea. Salah satu negara yang juga terkenal keramahannya adalah Indonesia, khususnya suku Jawa. Masyarakat Jawa sangat terkenal dengan tutur bahasanya yang lembut dan penuh sopan santun. Meskipun ada sebagian yang berasal dari Jawa Timur yang dipandang kurang memenuhi syarat sebagai orang Jawa, namun suku Jawa tetap merupakan suku yang terkenal dengan keramahannya. Karena biasanya yang dipandang orang Jawa adalah orang Jawa yang bertempat tinggal di bagian tengah Jawa (Jawa Tengah - Surakarta) dan Jogjakarta. Ada begitu banyak kesamaan dalam tata nilai masyarakat, di antaranya selalu menempatkan orang lain sesuai dengan usianya, kedudukan sosial/strata sosialnya, atau dengan kata lain pola hubungan yang berlaku lebih cenderung vertikal daripada horizontal. Di samping itu masyarakat konfusianis Korea dan masyarakat Jawa sangat mementingkan kekeluargaan. Walaupun dalam keadaaan tidak mampu, mereka tidak dapat melupakan rasa bakti mereka terhadap orang tua. Baik di saat orang tua hidup maupun ketika sudah meninggal. Begitu dekatnya hubungan kekerabatan sampai ada peribahasa Jawa yang menyatakan mangan ra mangan ngumpul yang berarti susah senang ditanggung bersama. Yang dipentingkan di sini adalah rasa kebersamaan dalam menghadapi segala persoalan hidup. Namun demikian ada kesamaan nilai-nilai yang sekarang dipandang tidak menghargai harkat perempuan. Yaitu hubungan keluarga pada masyarakat Konfusianis Korea lebih berarti daripada hubungan suami istri. Dapat dikatakan bahwa suami lebih mendengar perkataan ibunya daripada istrinya sendiri. Bahkan ada peribahasa Korea yang khusus menyatakan hal tersebut adalah darah lebih kental daripada air. Jadi untuk masyarakat Konfusianis Korea, istri masih dianggap sebagai orang lain. Begitupun masyarakat Jawa menganggap istri hanya sebagai konco wingking atau teman belakang. Sedangkan perbedaan nilai-nilai di antara masyarakat Konfusianis Korea dan masyarakat Jawa, yaitu : 1 Hubungan kekerabatan hanya dihitung dari garis ayah. Hal ini tidak terdapat dalam masyarakat Jawa, karena hubungan kekerabatan masyarakat Jawa dihitung dari pihak maternal dan paternal, atau dengan kata lain bersifat bilateral descend. Sedangkan hubungan kekerabatan masyarakat Korea bersifat paternal, dan begitu kuatnya prinsip konfusianisme ini sampai tercermin dalam prefiks bahasa Korea.

42

Pernikahan/perkawinan diperbolehkan hanya bila di luar klan darahnya. Masyarakat Jawa tidak mengenal klan seperti Korea. Namun pada masyarakat Jawa kuno, perkawinan justru diharapkan terjadi di antara kerabat jauh mereka. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan tulang yang tercerai berai agar utuh kembali. Pernikahan diadakan sebagai perpanjangan dari keluarga yang ada. Prinsip ini biasanya merupakan salah satu tujuan dari pernikahan selain membentuk keluarga baru. Namun pada masyarakat konfusianis Korea lama atau kuno secara tegas berprinsip bahwa kehadiran suatu pernikahan hanya untuk satu tujuan pokok, yaitu mempersembahkan anak lelaki sebagai penerus keluarga. Bahkan hal tersebut dijadikan dosa utama dalam ajaran konfusius, bila tidak melahirkan anak lelaki bagi suami dan keluarga suami. Pada masyarakat Jawa tidak ada ketentuan tentang hal ini karena masyarakat Jawa tidak mengenal marga atau klan seperti masyarakat konfusius Korea, namun memang sangat dihargai bila si sulung merupakan anak lakilaki, yang nantinya diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat keluarga. Perceraian tidak hanya dilakukan oleh suami/isteri. Perceraian dapat disebabkan beberapa macam, namun yang berbeda bagi masyarakat Jawa adalah perceraian dapat dilakukan oleh selain suami/isteri. Yang dimaksudkan di sini adalah inisiatif perceraian dapat diberikan oleh ayah suami, bahkan kakek suami pada jaman Korea lama. Hal tersebut jarang terjadi pada masyarakat Jawa, itupun karena pihak mertua laki-laki merupakan pihak yang sok berkuasa . Adanya upaya adopsi bila tidak mempunyai penerus klan. Bila mendambakan seorang anak laki-laki untuk meneruskan usaha keluarga, biasanya yang terjadi pada masyarakat Jawa adalah mengambil isteri baru. Dengan adanya pernikahan baru tersebut diharapkan isteri muda dapat dipersembahkan sang penerus keluarga. Namun berbeda dengan masyarakat Konfusius Korea yang melakukan upaya adopsi untuk mencari penerus keluarga. Namun adopsi yang dilakukan pun berbeda, hanya dilakukan kepada saudara laki-laki yang terdekat yang mempunyai anak laki-laki pada jaman Korea lama pula.

IV. Sopan Santun dan Kebiasaan di Korea dan Jawa Sopan santun merupakan jalan bagaimana seseorang dapat

43

mendisiplinkan diri mereka dan bagaimana dapat diterima dalam menjalin suatu hubungan. Di Korea, rasa hormat dan sopan santun menjadi aspek penting dalam kehidupan. Di Jawa kerukunan dan kehormatan menjadi aspek penting dalam pergaulan. Seseorang diharapkan agar tidak memacu konflik dalam bersikap, dan dalam cara berbicara serta membawa diri dituntut untuk selalu menunjukan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Orang Korea menjunjung tinggi senioritas, sedangkan di Jawa lebih menekankan status. Baik di Korea maupun di Jawa mengetahui secara rinci mengenai lawan bicara adalah hal yang wajar dalam pembicaraan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui status lawan bicara dan bagaimana kita bersikap. Menolak untuk memberi jawaban juga bukan merupakan hal yang tidak sopan jika kita melakukannya dengan sikap sopan pula. Orang Korea dan orang Jawa pada dasarnya adalah orang yang ramah. Akan tetapi, orang Korea tidak begitu mudah mengekspresikan perasaan mereka dan sangat membatasi kontak fisik. Ketika bertemu dengan seseorang, orang Korea hanya mengangguk secara sopan atau berjabat tangan. Berjabat tangan dengan wanita bukanlah hal yang biasa sedangkan di Jawa hal ini biasa terjadi. Akan tetapi, bila seseorang telah mengenal orang Korea dengan dekat, rasa kekeluargaan akan lebih terasa, dan akan lebih sering terjadi kontak fisik antarteman atau antarkenalan. 4.1 Sopan Santun di Muka Umum Membuang ingus di tempat umum, adalah hal yang tidak sopan di Korea. Tetapi, bersendawa, masih bisa diterima. Di Jawa, baik membuang ingus maupun bersendawa di depan umum adalah hal yang tidak sopan. Di Korea, mendorong-dorong dari belakang ketika berada di tempat ramai adalah hal yang biasa. Akan tetapi, bila ini dilakukan di Jawa, kadang bisa menyulut keributan. Apabila seseorang bermaksud untuk lewat atau terburu-buru, perlu untuk mengucapkan kata Nuwun sewu atau Permisi. Di Korea terdapat fenomena yang dianggap wajar jika laki-laki saling berangkulan atau wanita saling bergandengan tangan. Hal ini merupakan ekspresi keakraban atau bila melihat dua orang pria dewasa berjalan sambil berangkulan. Adapun, wanita yang berjalan bersama sambil bergandengan tangan adalah hal yang biasa. Baik di Korea maupun di Jawa, bila ada sepasang kekasih berpelukan atau berciuman di depan umum dianggap tidak sopan.

44

4.2 Sopan Santun di Meja Makan Pada umumnya sopan santun di meja makan antara orang Jawa dan Korea dapat dikatakan hampir sama. Ketika sedang makan, kita tidak boleh bercakap terlalu banyak, tidak boleh mengunyah hingga menimbulkan suara, dan berusaha jangan sampai ada makanan yang tercecer. Tunggulah orang yang lebih tua untuk duduk terlebih dahulu, dan orang muda tidak boleh mendahului orang tua ketika makan. Akan tetapi, di Jawa, tuan rumah biasanya mempersilahkan tamu untuk memulai hidangan terlebih dahulu. Apalagi jika tamu adalah orang yang lebih tua atau dihormati. Tidak seperti di Jepang dan Cina, negara tetangga Korea, yang menggunakan sendok untuk makan nasi dan sup, dan sumpit hanya digunakan untuk mengambil hidangan sampingan atau lauk pauk lainnya yang tersedia. Ketika makan, orang Korea tidak mengangkat mangkuk tempat sup atau nasi seperti orang Jepang. Orang Korea tidak mengayun-ayunkan sumpit, dan tidak menancapkan sendok atau sumpit di atas nasi karena dianggap seperti memberi makan orang mati. Jika hal ini dilakukan tamu, dianggap mempermalukan orang yang menjamunya. Bila selesai makan, sendok dan sumpit diletakkan secara rapi di samping mangkuk, jika sendok dan sumpit diletakkan di mangkuk nasi atau sup, dianggap belum selesai makan. Orang Jawa makan dengan dua cara. Ada yang menggunakan sendok, dan ada pula yang menggunakan tangan. Aturan makan dengan sendok sama seperti kebiasaan orang barat, hanya saja peralatannya lebih sederhana, terbatas sendok nasi dan garpu saja. 4.3 Kebiasaan yang Berhubungan dengan Senior Baik orang Jawa maupun Korea, sangat menghormati orang tua. Kita tidak boleh berbicara sambil membelakangi atau menatap mata mereka ketika berbicara, karena hal ini tidak sopan. Bila menerima atau memberikan sesuatu kepada orang tua, kita harus menggunakan kedua tangan kita. Di Korea, dalam hal berjabat tangan orang muda harus menunggu ajakan orang yang lebih tua, sedangkan di Jawa kebalikannya, orang yang lebih mudalah yang mengajak berjabat tangan. Kemudian, orang Jawa bila berjalan di hadapan orang yang lebih tua akan membungkukkan badan, sedangkan di Korea tidak perlu. Saat minum, di Korea orang yang lebih muda harus memiringkan tubuhnya ketika minum agar tidak dilihat secara langsung oleh orang yang lebih tua. Akan tetapi jika berhadapan dengan orang yang beda usianya tidak terlalu jauh, mereka tidak perlu melakukannya. Sedangkan di Jawa, hal ini tidak perlu dilakukan.

45

4.4 Kebiasaan Bertamu dan Mengundang Saat berkunjung ke rumah orang Korea, pengunjung perlu untuk membuka alas kaki dan sebaiknya tamu menggunakan kaos kaki atau stoking karena bertelanjang kaki di hadapan orang tua dianggap tidak sopan. Di Korea juga terdapat kebiasaan untuk membawa bingkisan bila berkunjung ke rumah seseorang. Di Jawa juga ada kebiasaan melepas alas kaki bila berkunjung ke rumah seseorang, tetapi bertelanjang kaki di hadapan orang tua tidak menjadi suatu masalah yang dianggap serius. Di Korea tidak ada kebiasaan go Dutch atau membayar sendirisendiri seperti di Jepang tetangganya. Apabila kita berada di Korea, kita harus siap untuk menjamu atau dijamu. Akan tetapi, di sana ada kebiasaan bahwa orang yang lebih tua yang akan menjamu yang lebih muda, karena mereka merasa bertanggung jawab kepada yang lebih muda dan merasa perlu untuk menjaga yang lebih muda. Di Jawa juga tidak dikenal budaya go Dutch, yang mengundang atau yang mengajak adalah yang berkewajiban untuk membayar atau menjamu. 4.5 Kebiasaan Lain Di Korea, orang tidak menulis dengan tinta merah ketika memberikan alamat, atau pesan kepada seseorang. Tinta merah memiliki arti kemarahan atau ketidakramahan. Bagi orang Korea, angka 4 adalah angka sial. Angka ini berarti mati. Oleh karena itu, bila kita mengundang tamu orang Korea, jangan memesan kamar no 4 atau kamar yang berada di lantai 4. Bagi orang Jawa, tidak ada angka sial, tetapi mungkin karena adanya pengaruh barat, ada orang Jawa yang menganggap angka 13 sebagai angka sial. Akan tetapi, orang Jawa menganggap hari-hari tertentu sebagai hari keramat, seperti Jumat dan Selasa Kliwon, serta malam 1 Suro. 1 Suro dianggap sebagai hari para raja, karena itu biasanya pada hari-hari itu orang Jawa tidak mengadakan pesta pernikahan atau syukuran. V. Perilaku Nonverbal Indonesia dan Korea 5.1 Bentuk Ekspresi Metode hubungan sosial orang Indonesia dan Korea di mana orang berpura-pura menyukai sesuatu walaupun jelek dan berpurapura tidak menyukai sesuatu walaupun bagus, tentunya mempunyai implikasi yang berbeda dengan metode orang Amerika yang membedakan dan menganalisa semua hal di muka umum. Orang Indonesia cenderung bergerak dari hal-hal yang khusus dan kecil ke hal-hal yang umum dan lebih besar. Mereka mulai dari masalah-

46

masalah pribadi dan lokal dan berkembang ke masalah-masalah yang menyangkut negara dan bangsa. Namun orang Korea cenderung melakukan sebaliknya. Mereka merasa lebih enak untuk memulai dari bagian yang umum atau besar dan kemudian menyempit ke faktafakta yang khusus. Orang Korea menulis alamat mulai dari nama negara, propinsi, kabupaten, kota, nama jalan, dan akhirnya nomor rumah dan nama orang. Namun di Indonesia, mulai dari nama orang, nomor rumah, kota, dan akhirnya baru nama negara. Dalam nama pun, orang Korea meletakkan nama keluarganya lebih dulu dan baru diikuti namanya sendiri, sedangkan di Indonesia sebaliknya. Adapun baik orang Indonesia maupun orang Korea menjawab ya, ini tidak selalu berarti mengiyakan, tetapi hanya berarti saya mengerti keadaanmu, silakan lanjutkan..., tidak berarti persetujuan atau niat untuk menuruti si pembicara. Jika seseorang menerima jawaban ya dari anggota kedua masyarakat sebagai tanda persetujuan, sering timbul kesalahpahaman, dan tampak bahwa orang itu belum cukup mengerti pikiran lawan bicara. Ini sama halnya sewaktu seseorang mengatakan Anda tidak perlu melakukan ini atau Silahkan terima hadiah ini ketika ada orang lain yang membawakan hadiah atau benda berharga lainnya. Jika dia menerima begitu saja hadiah itu, dia dianggap tidak sopan. Selain itu, kedua msyarakat memiliki persamaan tentang cara berpikir yang lebih cenderung ke emosional dibandingkan rasional. Orang Indonesia dan Korea memecahkan masalah berdasarkan emosi. Ketika orang minta tolong pada orang lain, hal itu menunjukkan bahwa orang yang dimintai tolong harus memecahkan persoalan tersebut walaupun tanpa memperhitungkan akal sehat. Maksudnya, walaupun orang yang minta tolong mengetahui bahwa hal itu tidak sah atau bertentangan dengan aturan masyarakat, dia mengharapkan masalah atau kesulitan itu bisa dipecahkan orang yang dimintai tolong dengan menggunakan alfa-nya. Dalam hal ini, orang berorientasi rasional mungkin menolak dengan mengatakan hal itu tidak sah atau mustahil, tetapi dalam masyarakat Indonesia dan Korea, seseorang mungkin berpikir bahwa satu perkecualian kecil tidak akan menjadi masalah, dan biasanya orang mengharapkan kesulitan itu akan dipecahkan dengan cara atau metode alfa-nya. Orang Barat mencari keindahan yang ditemukan dalam diri manusia, sedangkan alam hanya merupakan latar belakang bagi umat manusia. Namun sebaliknya dengan orang Indonesia dan Korea. Sebagai contoh, dalam lukisan Renaissance sumber dari sebagian seni Barat, alam adalah latar belakang yang kabur bagi manusia di masa

47

mudanya. Orang Barat memanusiakan alam, dan orang Korea atau Indonesia mengalamkan manusia. Hampir semua sampul majalah Time bergambar manusia, sedangkan sebagian besar sampul majalah Korea bergambar alam tanpa manusia di latar belakangnya. Dari segi hubungan kekerabatan, terdapat konsep persamaan di antara orang Indonesia dan Korea. Hubungan lebih cenderung vertikal daripada horisontal. Tiap orang relatif lebih tinggi atau lebih rendah. Dalam keluarga pun semua dalam hubungan vertikal: kakak laki-laki terhadap adik laki-laki, kakak perempuan terhadap adik perempuan. Bahkan anak kembar pun tidak sederajat, yang lahir lebih dulu adalah kakaknya, dan kedudukannya lebih tinggi daripada yang lahir kemudian. Di dalam kedua masyarakat tiap orang dianggap sebagai individu yang memiliki seluruh hubungan manusia mirip dengan hubungan keluarga. Hal itu dapat dicontohkan dengan memanggil orang yang lebih tua kakek, nenek, kakak, paman, atau bibi, dan mereka memanggil orang yang lebih muda adik. 5.2 Bentuk Perilaku Nonverbal Perilaku nonverbal yang terdapat antara masyarakat Korea dan Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan yang dapat dirinci sebagai berikut. - Orang Indonesia maupun orang Korea menganggap kontak mata sebagai tantangan dan tidak boleh dilakukan kepada orang yang dihormati atau lebih tua. - Di Indonesia, acungan jempol berarti bagus atau oke dan mengacungkan jempol ke arah bawah berarti jelek atau merendahkan, sedangkan di Korea acungan jempol berarti yang terbaik, nomor satu atau bos. - Orang Korea menghitung dengan melipat jarinya dari ibu jari berurutan ke arah kelingking dengan satu tangan, sedang orang Indonesia dengan cara membuka tangan dari ibu jari berurutan ke arah kelingking dengan dua tangan. - Terdapat konotasi seksual antara Indonesia dan Korea dalam menggunakan jari dan tangan. Di Indonesia, tabu untuk menunjuk dengan jari tengah. Di Korea, meletakkan ibu jari di antara telunjuk dan jari tengah pada tangan yang sama atau menggosokkan telapak tangan yang terbuka di atas kepalan tangan yang lain berarti hubungan seksual. - Di Korea, membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk berarti uang, sedang di Indonesia, ini berarti beres. Adapun melambaikan tangan dengan telapak menghadap keluar dan gerakan vertikal

48

berarti selamat jalan. - Di Indonesia untuk menunjukkan sesuatu dengan sopan (menunjukkan sesuatu kepada orang yang lebih tua) menggunakan ibu jari, sedangkan di Korea menunjuk sesuatu dilakukan dengan jari telunjuk. - Di Indonesia, meletakkan jari telunjuk miring menempel di jidat menyatakan gila, sedangkan di Korea hal itu dinyatakan dengan membuat lingkaran berkali-kali dengan jari telunjuk di jidat. - Orang Korea menunjuk pada dirinya sendiri, ia akan menunjuk dadanya dengan jari jempol, sedangkan orang Indonesia untuk menunjuk pada dirinya sendiri menepuk atau menunjuk pada dadanya. - Untuk menyatakan tidak punya uang, orang Korea menyatukan jempol dan telunjuk kemudian digerakkan, sedangkan bagi orang Indonesia hal tersebut dianggap sebagai pernyataan bahwa orang yang melakukan hal tersebut sedang menyepelekan sesuatu, atau menganggap sesuatu itu mudah sekali. - Bagi orang Indonesia untuk memberitahu bahwa ia tidak punya uang, cukup dengan menggabungkan jempolnya dengan telunjuk dan kemudian digerak-gerakkan. - Melambaikan tangan dengan telapak menghadap ke luar dengan gerakan vertikal berarti selamat jalan di Indonesia, sedang di Korea itu berarti mengundang orang untuk mendekat. - Berbeda dengan Amerika, baik orang Korea maupun Indonesia menggunakan telapak tangannya untuk menulis. - Orang Indonesia menunjukkan rasa hormat pada orang yang lebih tua dengan sedikit membungkukkan punggung ketika berjalan melewati orang yang lebih tua, sedangkan di Korea tidak terdapat hal seperti itu. - Di Indonesia menggesek-gesek ibu jari telunjuk berarti uang, sedangkan di Korea uang ditunjukkan dengan membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk. - Sebagai bentuk salam, umumnya orang Indonesia menggunakan jabat tangan dan cium pipi, sedangkan di Korea membungkukkan badan dan jabat tangan. Dalam hal jabat tangan terdapat perbedaan pula antara Indonesia dan Korea. Di Indonesia umumnya yang muda mengajak jabat tangan, sedangkan di Korea yang muda menunggu ajakan jabat tangan dari yang tua. VI. Penutup Manusia berkomunikasi dengan berbagai cara yang menekankan atau mengingkari apa yang dikatakannya melalui kata-kata. Mereka

49

belajar membaca bagian yang berbeda dari spektrum komunikasi. Telah dibahas bahwa kedua negara mempunyai cara pikir dan adat kebiasaan yang ternyata halnya sama dan berbeda. Diketahui pula bahwa perbedaan arti yang sangat jauh antara kedua negara itu mungkin terjadi. Tiap orang mungkin merasa adat dan budaya orang lain aneh dan lebih rendah. Namun, tidak akan ada budaya standar, juga tidak akan ada ras standar, atau satu bahasa standar. Hal-hal yang mendasar dalam hidup di mana pun sama saja. Hal-hal tersebut bukannya sama sekali berbeda, hanya cara orang mengungkapkan kesan dan pemikiran yang berbeda-beda. Jika seseorang berbuat salah, dia tidak perlu mempertengkarkan siapa yang benar atau salah, tetapi berusaha memahami satu sama lain, karena kebanyakan masalah ini timbul dari perbedaan budaya atau mungkin ketidaktahuan tentang budaya lain, bukan karena unsur kesengajaan. Untuk memecahkan kesalahpahaman ini, orang harus mengenal adat kebiasaan negara yang dimaksud.

DAFTAR PUSTAKA
Alo Liliweri, 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ayatrohaedi dkk, 1989, Tata Krama Di Beberapa Daerah Di Indonesia,. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bennet, Milton J. (editor). 1998. Basic Concepts of Intercultural Communication Selected Readings. Maine: Intercultural Press, Inc. Hall, Edward T. 1976. Beyond Culture. New York: Anchor Books Doubleday Hall, Edward T. 1984. The Dance of Life: The Other Dimension of Time. Garden City, N.Y.: Anchor Press Hofstede, Geert. 1980. Cultures Consequences International Differences in WorkRelated Values. Abridged Edition. Newbury Park: Sage Publications Mulyadi, dkk. 1989. Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarge Dan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Ray L. Birdwhistell, 1969. Kinesics and Context, Philadelphia: University of Pennsylvania Press Samovar, Larry A. and Richard E. Porter. 1994. Intercultural Communication A Reader. 7th Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani. 1998. Communication Between Cultures. Third Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company. Soegeng R. dkk, 1990. Tata Kelakuan Di Lingkungan Keluarga dan Masyarakat Daerah Jawa Tengah, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

50

FREE AND CYBER SEX IN mIRC VIEWED FROM JAVANESE SEXUAL NORMS
Christopher Allen Woodrich Windsor, Ontario, Canada
Introduction hanging times have historically led to changing mores in traditional societies. With the advent of the modern information society, complete with new forms of social interaction, this is leading to changes in how people relate to one another, including through sex. It is also leading to a change in how we define key aspects of sexual relations. For example, research by Fritz H.S. Damanik, assistant lecturer at the department of sociology at the University of North Sumatra, indicates that young women are generally viewing virginity as a burden, an obligation, or a choice; traditionally, the Islam-influenced cultures in the archipelago have only seen virginity as an obligation.1 With time for interpersonal mingling on the decline and the Indonesian population increasingly computer-literate, the internet has become an increasingly important tool to facilitate interactions between the sexes. Dating sites for certain groups, including sites exclusively for Muslims or exclusively for certain ethnic groups, have become increasingly common. Others who are less tradition-oriented use the internet to find partners for casual sex or even prostitution. This paper intends to outline how residents of the city of Yogyakarta use the internet relay chatting channel mIRC to find sexual partners and then describe how the program could be better used, in accordance with traditional Javanese sexual norms, to both keep families together and create new ones.

Definitions mIRC mIRC is a stand-alone internet relay chatting program invented by English-Jordanian Khaled Mardam-Bey in 1995.2 One of the most
1 2 Damanik, Fritz H.S. Menguak Makna Keperawanan Bagi Siswi SMA (Sekolah Menengah Atas). 2006. Jurnal Harmoni Sosial. Vol. I., No. 1., P. 34. Frequently asked questions. 7 March 2011. mIRC. Downloaded 25 August 2011. http://www.mirc.com/faq.html.

51

popular programs of 2003,3 mIRC continues to be used today and has been downloaded almost 35 million times.4 The program consists of several channels run through a single server. Upon booting up the program, the user is required to input a screen name of his or her choosing as well as a channel starting with a hash key (#). Chatting can be done in two manners, firstly through a central room in which all users on the channel can read what is being said, or in private rooms opened in separate windows by clicking on the name the user who is to be spoken to. Data intensive communications, such as webcam use, are not supported. Free sex Free sex or promiscuity is the state of having sexual relations with no commitment between partners, often in large numbers.5 According to Finnish sexologist Edvard Westermark, historically there have been two main theories as to the rise of free sex in human society. The first is that human culture is inherently promiscuous, dating back from prehistoric times.6 Men are believed to be evolutionarily driven to propagate their sperm as far as possible, while women have a drive to receive the sperm of many partners; according to said theory, these drives result in greater genetic diversity.7 An opposing view is that free sex culture is a social construct.8 Aspects of free sex culture have been evident in Indonesia for hundreds of years, when the kings of Java would keep concubines from conquered nations as symbols of their power and the kings of Bali exercised the power to force widows into prostitution.9 The belief held then, that the sexual prowess of the king reflected his political control,

3 4 5 6 7 8 9

Traffic patterns of September 2003. 22 October 2011. Internetnews.com. Downloaded 25 August 2011. http://www.internetnews.com/stats/article.php/3096631. mIRC. 9 March 2011. Cnet. Downloaded 25 August 2011. http://download.cnet. com/mIRC/3000-2150_4-10001733.html. Promiscuity in Sex and Society. Volume 3. 2010. Marshall Cavendish: New York. Pp. 667 690. Westermarck, Edvard. The History of Marriage. 1903. Macmillan & Co.: London. P. 103. Lehrman, Sally. The Virtues of Promiscuity. 22 July 2002. AlterNet. Downloaded 4 September 2011. http://www.alternet.org/story/13648/. Westermarck, Edvard. Op. Cit. P. 103. Cribb, Robert, and Audrey Kahin. Historical Dictionary of Indonesia. 2004. Lanham, Maryland: Scarecrow Press. P. 357.

52

continued into the time of President Sukarno.10 With globalization bringing the after-effects of the American sexual revolution which led to the average American man having seven partners over his lifetime, with women averaging four11 to Indonesia, there is increasing concern that the sexual activity in teenagers is ruining traditional mores and leading to an increase in HIV / AIDS cases throughout the country. Javanese sexual mores Sexuality is a common theme in traditional Javanese tales, from the rape of Dewi Uma (resulting in the birth of Batara Kala, the destroyer)12 to the kidnapping of Shinta for Prabu Rahwana to have carnal knowledge of her in the Ramayana.13 These legends reflect the Javanese understanding of sexuality as a symbol of power, with the most powerful men allowed to have relations with whomever they wish. However, people in general are expected to have a single partner. This expectation reflects how sacredly the Javanese view intercourse between a husband and wife; in Javanese culture, the best sex builds a healthy mind and body and can lead to the wife becoming pregnant.14 As such, traditionally Javanese have viewed sexual intercourse as something that cannot be rushed, but must be planned and done at the right time and place: in bed, with the lights out and the consent of both participants, while the other members of the household are sleeping. Sexual relationships outside of this norm are considered nistha, or an affront to nature, and are believed to be able to affect the resulting child; for example, the child may be cursed to lead an unlucky life, or become undisciplined and a troublemaker.15 Different sexual practices have differing levels of acceptability in Javanese culture. Intimate kisses and the mercenary position (known as the closed pail or wadah tutup) are standard, although other positions are allowed.16 However, some activities are forbidden or frowned upon. The standing position, for example, is thought to
10 11 The revolutionary hero was a noted womanizer. Ibid. P. 387. Promiscuity Op. Cit. P. 667. Endraswara, Suwardi. Seksologi Jawa. 2002. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. P. Ibid. p. 3. Ibid. p. 83. Ibid. pp. 86 88. Ibid. p. 83.

12 123. 13 14 15 16

53

result in children who are prone to illness.17 Masturbation, bestiality, necrophilia, group sex, and voyeurism are forbidden.18 Research by Pieternella van Doorn-Harder of the University of Illinois indicates that Muslim Javanese men generally consider it their right that their wives have intercourse only with them, and that said men believe women should not show any libido of their own; they should only please their husband. This belief is accepted by women as well.19 Similar beliefs are held traditionally as well, that women should cook, be made-up, and bear children; they should work to satisfy their husbands.20 Adultery is traditionally forbidden. Virginity, in Javanese culture, is considered a measure of selfworth, with young women who do not bleed the first time they have intercourse after marriage considered stained; other traditional signs of female virginity include small, firm breasts, small hips, and a flat stomach. Males are traditionally thought to have already had sex if they have a firm understanding of intercourse and a smooth glans.21 Research Method The data in this paper was collected using observation and interviews from the period of 1 to 22 September 2011. The researcher logged into the #Yogyakarta channel on mIRC using the screen name co_bule_tampan_cr_ce_indo (handsome white male looking for an Indo[nesian] girl) at various times of the day, with a focus on the evening. The screen name and channel were selected to ensure that the greatest possible number of respondents would be able to answer questions necessary for the successful completion of this research. Meanwhile, the timeframe was chosen to ensure a fuller understanding of the mIRC subculture, including when the most users interested in casual sexual relationships are online. The initial stage of research was done through observations of the main chat room for the channel. When the observations were complete, the researcher selected screen names with a high likelihood of belonging to seekers of casual sex, such as ce_pengen (girl who wants [something]), from a list of chat room members and invited
17 Endraswara, Suwardi. Sampyuh: Seks Jawa Agung. 2009. Yogyakarta: Kuntul Press. Pp. 112 115. 18 19 20 21 Ibid. p. 5, 13.

Van Doorn-Harder, Pieternella. Women Shaping Islam: Indonesian Women Reading the Quran. 2006. Urbana: University of Illinois Press. p. 247. Endraswara, Suwardi. 2002. Op. Cit. p. 69. Ibid. pp. 62 64.

54

said person to a private chat. After a period of making conversation, the researcher began to write in a more sexually explicit manner; if and when the prospective respondent replied in a similar manner, the researcher invited the respondent to meet face to face at a hotel in Yogyakarta after a short session of cybersex. Once at the hotel, the researcher revealed his goal, namely to study the free sex culture on mIRC. Those respondents willing to be interviewed afterwards were remunerated at their request, while those unwilling to be interviewed were allowed to leave. A total of four respondents agreed to be interviewed, as shown below. Names have been changed to protect privacy. Bunga Bunga is a 35-year-old woman of mixed Javanese and Chinese heritage who was met on mIRC on 2 September while she was using the screen name ce_sepi (lonely woman). The following day, the subject was met at Wilis Hotel in central Yogyakarta, where she agreed to be interviewed. Through the resulting interview, Bunga revealed that she is a headscarf-wearing Muslim appraiser in the city of Semarang who began looking for a partner on mIRC after her husband slept with a karaoke bar waitress from the Grand Candi Hotel in Semarang; as such, she was driven by revenge. She used the #Yogyakarta channel to avoid being seen in public in Semarang with a man who was not her husband. Regarding her feelings about meeting people for casual sex, Bunga said that she felt it was shameful and a sin; this was mainly influenced by her religion, and not her ethnicity. However, she was curious regarding sexual acts which she had seen in pornographic films, such as group sex. Although she said that she had never met a man for sex via mIRC beforehand, she has had cybersex, using Yahoo! messenger to exchange webcam feed. Sekar

Sekar is a 25-year-old woman of mixed Javanese and Dutch descent who holds a degree in information technology. Using the screen name ce_pengen, on 5 September she agreed to meet the researcher at Malioboro Street after doing cybersex on mIRC. From Malioboro, the researcher and Sekar went to nearby Peti Mas Hotel for the interview. According to Sekar, after graduating from an academy in Semarang she moved to Yogyakarta to be free from her parents. She often practices casual sex with both men and women, meeting them

55

online or at the bar of Phoenix Hotel; whenever she has sex with a man, she insists that he wear a condom to protect her from sexually transmitted diseases. When asked about her feelings regarding casual sex, Sekar said that things such as sin and guilt did not match the spirit of the modern world. Although she would prefer to be in a relationship, she does not mind casual pairings and enjoys experimenting. Rosa

Rosa is a 24-year-old university student of mixed Javanese, Chinese, and Papuan descent. Met on 8 September, she was using the screen name ce_cr_co (woman seeks man). After a chat, she requested that the researcher meet her at a 24-hour dining kiosk in Paingan, Sleman; after a late dinner she brought the researcher to her boarding house. According to Rosa, she is originally from Wonosobo but is in Yogyakarta to study at YKPN. She often changes boyfriends and casual sex partners and has been pregnant once before; the pregnancy was terminated. She says that she is allergic to birth control pills and instead insists that her partner wear a condom. Regarding her feelings about casual sex, Rosa says that she enjoys it and finds it relaxing. However, she hides her activities from her parents as she thinks that they would bring her back to Wonosobo. Fleur

Fleur is a 25-year-old Javanese woman from the city of Ambarawa. When she was met on 13 September, she was using the screen name ce_cr_co. After cybersex, she asked the researcher to pick her up at the web caf where she was chatting. From there, the researcher and subject went toPura Puspa RosaHotel in Papringan for the interview. According to Fleur, she and her boyfriend in Ambarawa are in an open relationship, allowing both to freely choose sex partners. As Fleur considers herself difficult to please, she enjoys the arrangement; she uses mIRC to find partners if she is feeling lustful and at a web caf. Regarding her feelings about casual sex, Fleur said that she was not worried about it so long as she met the person in a public place first and her partner wears a condom. As for the open relationship, she considers it good for the two of them. However, she does not discuss her sexual relationships with her family. Results Not everyone on mIRC is looking for a casual sex partner or

56

cybersex, at least in the #Yogyakarta channel. In the main chat room, mIRC users run a bot or similar program to play a game similar to Hangman. The computer gives a total number and layout of characters, as well as a clue; users then try and guess the word(s). For example, a clue may read Suatu provinsi di Indonesia ---- ----- (A province in Indonesia ---- ----), with the lines indicating the total number of letters; in this case, the answer is Jawa Barat (West Java). Discussion of free sex and cybersex generally does not occur in the group room. Those persons looking for partners generally use a certain type of user name, indicative of their purpose. For example, a male user may use user names such as co_cr_ce_bispak (male looking for female willing to have sex for free), co_gd_cr_ce (large male seeking female), or co_mau (male wants [something]). Female users may use names such as ce_sk_duit (female likes money, for one willing to have sex for money) or ce_imut_pgn (cute girl wants [something]). Transsexuals and cross-dressers also participate in the free / cybersex culture on mIRC, generally by indicating their orientation in their screen names, such as waria_lucu (funny transsexual) and wr_cr_co (transsexual seeking male). On the other hand, those seeking casual conversation or life partners will use more neutral names, such as rizka_manis (sweet Rizka) and anak_stece (student of Stece, a senior high school in Yogyakarta). When in private chat rooms, there are different activities that can be done. Most conversations start with the initiating user saying ASL? (age, sex, location?) or something similar. Users uninterested in chatting with the initiator of the conversation can close the chat window immediately; if interested, they reply with the answer followed by u?, kamu? (both meaning you?) or ASL?. In response, the initiator of the conversation can close the window if no longer interested, for example if the person is too young or too old, or the initiator can reply with his/her information. From this initial icebreaker, the conversation can diverge into any topic. Generally both participants then exchange links to their Facebook profiles (or other social media, if relevant). For people looking for casual sex or cybersex partners, this is meant to ensure that they can see their prospective partners before doing anything; among other users, it is seen as an easier way to know more about their conversation partner than talking to said person. However, these profiles can be faked. For example, while conducting this study the researcher met a user with the screen name tante_girang (older woman who likes younger men, equivalent to the American slang word cougar). Tante_girang used

57

the picture of an Indonesian celebrity as his/her profile picture, and all posts on the users Facebook wall were about sex; the lack of regular status posts and other daily issues indicated that the profile was a fake, created exclusively for mIRC and other online chat forums. After exchanging Facebook profiles, both participants may have a conversation on a neutral topic as more in-depth icebreaker. When this is complete, or if one of the participants wishes to be direct, the conversation will become increasingly oriented towards sex and innuendo. This may involve statements which can be understood sexually, such as q dah lama ga ada ce (I havent had a girl[friend] in a long time), or explicit questions like lo suka seks? (Do you like sex?). At this point, people not interested in pursuing sexual relations or cybersex will close the chat window or try to change the topic. However, those interested in sex or cybersex, or those intent on toying with the other participant, will continue the conversation. Often this leads up to cybersex, which on mIRC takes the form of a sexually themed story written by one or both participants. If both participants wish to exchange webcam feed to increase their arousal, they will switch to Yahoo! messenger. This video feed can simply consist of the participants faces, or show them masturbating. An example of cybersex done during the course of this study is as follows:
Researcher: Subject: Researcher: Subject: Researcher: Aku buka bajumu, membelai dadamu yang mulus. Pentilmu semakin keras dengan sentuhanku. ah dont stop Kudekati pentilmu dengan lidahku kujilat. Enak gak? Ahhh. Enak. Gw buka celana lu. Gw tarik wah gede juga, mau isap Boleh say

Or, translated:

Researcher: Subject: Researcher: Subject: Researcher:

I take off your shirt and caress your smooth chest. Your nipples harden under my touch. ah dont stop My tongue approaches your nipples I lick them. Do you like it? Ahhh. Love it. I unzip your pants. I tug ah, its so big. I want to suck on it. Go ahead dear

This cybersex continues until both participants are satisfied. During the course of this research, when this is done while one or both

58

participants are masturbating and reach an orgasm, a meeting did not follow as the prospective subject no longer felt the need. Participants are also able and at times willing to meet face-to-face after their conversation or cybersex; in these situations, the cybersex serves as a form of foreplay. During this study, all participants asked to meet in public places, such as hotels and internet cafes. None asked to meet at their homes or boarding houses, possibly for safety concerns. Analysis As noted above, casual sex is not accepted in traditional Javanese culture. Coitus is considered something that is for two people who are married, and may only be done with ones spouse(s). Pre-marital sex, adultery, and group sex are all considered to be against cultural norms. As such, sexuality on mIRC, insofar as face-to-face meetings are concerned, generally goes against Javanese sexual mores. Users of the program meet and, when possible, engage in coitus with people whom they have never met, are not married to, and are unlikely to see again. Some, such as Bunga, are already married and as such are committing adultery. Users interviewed all indicated some understanding that their activities on mIRC are not in accordance with traditional sexual mores. Bunga, who most openly indicated that she felt guilt over what she was doing, indicated her religious background played a role in how she felt; said influence was also displayed subconsciously, when she used the word sin to describe her intended activities. Other users interviewed demonstrated an implicit understanding that their families would not approve of their activities on mIRC and acted on said knowledge by partaking in sexual-oriented activities on mIRC in an environment where their families would not be able to interfere. As such, traditional values are still felt by these mIRC users. An interesting phenomenon which may warrant further study is that respondents, whose participation in a free sex culture on mIRC deviated from Javanese sexual mores, were more likely to be involved in other activities considered deviant by the dominant culture. Bunga is intent on committing adultery, Sekar is a bisexual who occasionally participates in group sex, Rosa has had an abortion, and Fleur is in an open relationship. All of these activities are considered to be against the prevailing mores in Java. However, the use of mIRC for cybersex is not as clear-cut, caused in part by the technology itself being too new for traditional culture to provide feedback. In Javanese culture, sex requires physical contact; if

59

there is no physical contact during cybersex, then the actions committed do not fall afoul of traditional mores. Admittedly, other activities that can be partaken in during cybersex, such as masturbation, do fall afoul of said mores. As such, the following analysis will deal exclusively with pure cybersex, defined as the exchange of sexually-charged dialogue and narrative between two partners through the internet. If participants are not married, the traditional views of premarital sex are liable to weigh heavily on how cybersex is received by the wider community. Despite participants not having physical contact, they are still expressing sexual urges and partaking in sexually-charged activities with people who are not their spouses. Said activities are liable to be poorly received by the traditional community, especially considering that cybersex in some aspects resembles pornography: it features a frank depiction of sexual relations between two people and is meant to cause sexual excitement.22 However, there is no pre-existing condemnation of sexual activities between married couples; as such, the moral value of cybersex between married couples must be judged solely on the activity itself. Although, as noted above, in some aspects cybersex resembles pornography and as such could face heavy resistance from traditionalists the fact that cybersex can be done over great distances could serve as a mitigating factor. In modern society, with growing numbers of spouses working in different cities or travelling abroad for business, some couples have greater emotional distance. As a result of the increased loneliness and isolation, there are greater opportunities and motives to commit adultery; in fact, it is common to hear tales of married businessmen travelling to Bangkok and returning with a sexually transmitted disease caught from a prostitute there. If more couples are willing to perform cybersex during period of prolonged absence, adultery rates could be reduced. Conclusion and Suggestions for Further Action As shown in the above analysis, there are two issues related to casual sex and cybersex as facilitated by mIRC. The first is that traditional morals, which forbid casual and premarital sex, have only a minor influence on the participants of free sex culture on mIRC. The second is that cybersex, as a relatively new social behaviour, requires socialization of its positive and negative aspects, preferably in accordance with traditional mores.
22 As noted above, voyeurism is not considered a moral act in Javanese culture; this extends to pornography as well, which has a heated history throughout the archipelago.

60

The ideal approach is to deal with each issue separately, to avoid overcomplicating the issues. Firstly, to deal with free sex and cybersex issues as they apply to unmarried persons a two-fold approach could be introduced. Firstly, children could be raised in an environment conductive to understanding and respecting traditional mores. This intrinsically involves the parents, as children are liable to emulate what they observe their parents doing; as such, if parents want their child to keep in accordance with traditional mores and values, they themselves must do so. Secondly, parents must understand that traditional values cannot be applied to every single situation in the modern world situations which could not be imagined even a hundred years ago and be willing to teach children responsibility. It is not enough to simply address current issues - the march of technology goes on at an increasing pace, and the challenges faced by young adults in 2025 may be entirely different than what they face now. As such, they must have an instinctive understanding of how to responsibly handle unfamiliar technologies. For those already married, or soon to be married, the issue becomes how to apply the technology to their relationship. This cannot be adequately dealt with without a greater discourse on the place of technology in traditional Javanese society; although admittedly there could be resistance to the practice of cybersex, it may find acceptance in general society due to its ability to draw married couples closer emotionally when living apart. If the practice of cybersex is accepted by the community in general, then spouses may require an introduction to cybersex and ways in which it can be done which do not go against traditional mores, such as by not masturbating during cybersex. To ensure greater understanding of the influence of technology in the sexuality of Javanese culture, further research of how other technologies are used by people seeking sexual satisfaction is necessary. With the number of cellular phone users in Indonesia now over 100 million, and an increasing amount of said phones having cameras, the practice of sexting (the sending of sexually explicit text messages, often accompanied by photographs) warrants study. Sexuality through other commonly-used technologies, such as the aforementioned Yahoo! messenger, also warrants study. Through these studies it is hoped that the role of technology in the sexual activities of Indonesians, especially the Javanese, can become more readily apparent and be addressed in accordance with traditional mores.

61

Bibliography
Damanik, Fritz H.S. Menguak Makna Keperawanan Bagi Siswi SMA (Sekolah Menengah Atas). 2006. Jurnal Harmoni Sosial. Vol. I., No. 1., Pp. 28 35. Endraswara, Suwardi. Seksologi Jawa. 2002. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Endraswara, Suwardi. Sampyuh: Seks Jawa Agung. 2009. Yogyakarta: Kuntul Press. Frequently asked questions. 7 March 2011. mIRC. Downloaded 25 August 2011. http://www.mirc.com/faq.html. Lehrman, Sally. The Virtues of Promiscuity. 22 July 2002. AlterNet. Downloaded 4 September 2011. http://www.alternet.org/story/13648/. mIRC. 9 March 2011. Cnet. Downloaded 25 August 2011. http://download. cnet.com/mIRC/3000-2150_4-10001733.html. Promiscuity in Sex and Society. Volume 3. 2010. Marshall Cavendish: New York. Pp. 667 690. Traffic patterns of September 2003. 22 October 2011. Internetnews.com. Downloaded 25 August 2011. http://www.internetnews.com/stats/ article.php/3096631. Van Doorn-Harder, Pieternella. Women Shaping Islam: Indonesian Women Reading the Quran. 2006. Urbana: University of Illinois Press. Westermarck, Edvard. The History of Marriage. 1903. Macmillan & Co.: London

62

REVITALISASI KOMPETENSI PEDAGOGI DALAM KONTEKS PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN BUDAYA DAERAH
H. RAHMAN Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Pendahuluan ajian pedagogi di antaranya menelaah model pembelajaran. Model pembelajaran merupakan pedoman bagi guru dan murid dalam pelaksanan proses belajar-mengajar. Model pembelajaran (model of teaching) adalah suatu perencanaan yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran ataupun setting lainnya. Models of teaching is plan or pattern that can be used to shape a curriculums (long-term courses of studies), to design instructional materials, and to guide instruction in the classroom and other setings (Joyce & Weil, 1980:1). Pernyataan Joyce & Weil di atas, sejalan dengan pendapat Kemp (1977) yang mengartikan bahwa model pembelajaran merupakan suatu perencanaan pembelajaran (desain instrucsional) yang digunakan dalam menentukan maksud dan tujuan setiap topik/ popok bahasan (goals topics, and purposes), menganalisis karakteristik warga belajar (leaner characteristics), menyusun tujuan instruksional khusus (learning objectives), memilih isi pembelajaran (subject content), melakukan prates (pre assesment), melaksanakan kegiatan belajar mengajar/sumber pembelajaran (teaching learning activities/resources), mengadakan dukungan pelayanan (suport services), melaksanakan evaluasi (evaluation), dan membuat revisi (revise). Baik Joyce & Weil (1980) maupun Kemp (1977) sependapat, bahwa model pembelajaran merupakan suatu pola perencanaan pembelajaran yang digunakan dalam proses belajar-mengajar. Rumpun model pembelajaran ada empat macam (Joyce & Weil 1980:ix-xvii, Dahlan, dkk.,1984:24-25, Rahman, 2011:8), yakni sebgai berikut. 1) Model pemrosesan informasi (the information processing family), yaitu model pembelajaran yang menjelaskan cara individu

63

memberi respons rangsangan dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan data, memformulasikan masalah, membangun konsep dan merencanakan pemecahan masalah, serta menggunakan simbol-simbol verbal dan nonverbal. 2) Model pribadi (the personal family), yaitu model pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan diri individu. 3) Model interaksi sosial (the social family), yaitu model pembelajaran yang mengutamakan hubungan individu dengan masyarakat atau orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada proses realitas yang ada dan dipandang sebagai negosiasi sosial. 4) Model prilaku (the behavioral models), yaitu model pembelajaran yang dibangun atas dasar teori yang umum, yakni teori perilaku. Model pemrosesan informasi (the information processing family) dijadikan rujukan dalam tulisan ini, karena model pembelajaran tersebut sejalan dengan kegiatan murid merespons informasi dalam kegaiatan belajar-mengajar budaya daerah. Tinjauan Pustaka Berbagai model pembelajaran dapat digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran, di antaranya adalah model Cooperative Integrated Reading and Compotion (CIRC) dalam pembelajaran unsur intrinsik dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem. Teoretis dan penerapan model tersebut sebgai berikut. 1. Guru membentuk kelompok beranggota tiga/empat orang siswa yang heterogen Para siswa dina ieu pangajaran, hidep baris dibagi jadi sababaraha kelompok. Unggal kelompok jumlahna tilu/opat siswa. Angggota kelompok henteu dipilih, pokona unggal kelompok aya tilu/opat siswa. Upama aya kelompok nu anggotana kurang ti tiluan, eta anggota kelompok teh ngagabung jeung kelompok sejen. Jumlah anggota kelompok teu leuwih ti opat siswa 2. Guru memberikan wacana/teks sesuai dengan bahan pembelajaran Hidep unggal kelompok dibagi wacana/teks sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem. Ieu teksna.
SYH KURO JEUNG SYH DARUGEM Kacaturkeun di Nagara Bagdad aya syh anu sakti. Ngaranna Syh Darugem. Ceuk ujaring carita, Syh Darugem th rundayan ti Syh Magribi anu kaceluk jembar pangabisana.

64

Hiji po, Syh Darugem nampa bja majar di Pulo Jawa aya syh sakti anu kaceluk ka awun-awun ka koncara ka janapria. Ceuk bja, ta Syh th lian ti loba santrina og jadi pananyaan jalam ra ti suklakna ti siklukna. Malah cenah santrina datang ti mana-mendi teu saeutik nu ngahaja datang ti sjn nagri. Demi ngaran ta syh, ceuk bja anu katarima ku manhna, nya ta Syh Kuro. ladalah, nya syh modl naon atuh manhna th, nepi ka jadi catur salembur, ar sajagat. Panasaran teuing hat aing, nya kumaha kasaktian jeung pangabisa manhna th nepi ka pada muji ku sanagri, kitu gerendengna Syh Darugem th. Dina hate leutik mah, Syh Darugem th asa katitih. Katitih ku bja anu can puguh bukurna. Anu matak, hatna beuki panasaran ba, hayang ngabuktikeun bja ta. Hayang nyaksian ku panon sorangan mun aya di Pulo Jawa aya syh anu sakti mandraguna, anu jembar pangabisana. Tuluy ba Syh Darugem th bebekelan, seja miang ka tanah Jawa. Lain ba bekel lahir, tapi pangpangna mah bekel batin. Sagala eusi kitab ku manhna dilalab. Kitab Kaagamaan, Kitab Kasantikaan, dideres beurang peuting pikeun nambahan lmu jeung ngandelan pangabisa. Geus ngarasa masagi mah, Syh Darugem tuluy balayar ngajugjug Tanah Jawa. Kacaturkeun Syh Darugem geus nepi ka Pasantrn Kuro. Syh Kuro dibagakeun sakumaha tatamu umumna. Ngan heunteu apaleun Syh Darugem th, lamun Syh Kuro geus apaleun naon maksud manhna datang ka Tanah Jawa. Bubuhan apal Syh Kuro mah jalama anu sadurung winarah ta. Ti anggalna og geus bisa neguh, naon maksud sabenerna Syh Darugem nepungan manhna. Ngan hal ta disidem wa ku Syh Kuro th. Kitu deui Syh Darugem, teu wani balaka mimitina mah. Hiji po Syh Darugem diajak leuleumpangan ku Syh Kuro. Laleumpangna laju ngalr bari ngobrol ngalr ngidul. Uplek pisan ngobrolna th. Bubuhan duanana og jalma anu laluhung lmuna, jalembar pangabisa. Atuh dina ngadu catur g papada pinter nyarita, tara bakeun piomongeun. Barang ngaliwat ka hiji tempat, nyampak aya tangkal buah anu kacida leubeutna. Ngan hanjakal parentil jeung ngarora knh. Kaciptana th keur sumedeng hahaseumna. Tapi Syh Kuro tuluy ngala hiji. Kitu deui Syh Darugem. Barang diasaan ku Syh Darugem, puguh ba manhna ell-ellan bakat teu kuat ku haseum. Tapi anh, Syh Kuro mah ngadaharna bangun nu ngeunah pisan. Naha bet beuki nu haseum-haseum, Syh? ceuk Syh Darugem hran. h, da buah nu kami mah asak. Rasana amis kacida. Matak seger didaharna, tembal Syh Kuro. Barang diilikan ku Syh Darugem, enya ba, buah nu diala ku Syh Kuro mah bet asak. Warnana konng semu beuereum. Atuh manhna milu ngasaan, enya ba amis meni kareueut. Syh Darugem bari gogodg lantaran hran. Sanggeus buahna didahar, pelokna ku Syh Kuro dialungkeun. Dadak sakala, pelok buah th tuluy jadi. Nagcambah, tuluy nonghol daunna. Heuleut memenitan, ta pelok th geus jadi tangkal buah

65

anyar anu kacida subur jeung ngmplohna. Syh Darugem anu nyaksian ta kajadian, beuki kerung ba tarangna. Pok nannya ka Syh Kuro, Diajar lmu sihir di mana Syh th? Kami mah teu boga lmu sihir, tmbal Syh Kuro, ta mah ngan lantaran Kakawasaan Gusti Alloh ba. Mun Alloh ngidinan, sagala rupa og tangtu bakal kajadian. Syh Darugem unggut-unggutan. Duanana laleumpang deui, beuki jauh ka kalrkeun. Jog anjog ka darah nu loba rawa-rawana. Geus wanci lohor harita th, duanana kudu sarolat. Tapi di dinya th bet hs cai beresih. Cai anu aya, sajaba ti kotor th barau deuih. Keur bingung kitu, Syh Kuro tuluy ngala awi saleunjeur. Pokna ka Syh Darugem, Sok geura wudu, cenah. Puguh w Syh Darugem th bingung, Wudu di mana ari Syh? Piraku kudu wudu ku cai kotor jeung bau mah. Syh Kuro ngan imut ba ngadng kitu th. Kk ba cangkng Syh Darugem dicekel, tuluy dijungjungkeun, sarta tuluy diasupkeun kana awi. Ku kasaktian Syh Kuro, awak Syh Darugem anu sakitu harelung jangkung, dikersakeun ngaleutikan sarta bisa asup kana liang awi. Sanggeus aya di jero awi, Syh Darugem teu kira-kira kagtna. Lantaran di dinya aya talaga anu sakitu liuhna. Caina cenembrang hrang, tiis matak seger kana awak. Anginna ngahiliwir, tempatna pikabeutaheun. Clom ba, manhna abdas di dinya. Pasosor, kakara manhna baralik deui ka Pasantrn. Ayeuna mah Syh Darugem th teu loba nyarita, da rumasa geus kattr pangabisa. Kabuktian omongan batur th, Syh Kuro th singhorng enya saktina. Lain ba jembar lmuna agamana, tapi luhung og kasaktianana. Kituna th bari henteu kudu sombong jeung hohoak yn aing jalma sakti. Tapi geus kabuktian apan, salila di perjalanan manhna teu nginjeum sirah teu nginjeum panon, nyaksian pisan kumaha saktina Syh Kuro. Ti harita Syh Darugem ngaku guru ka Syh Kuro. Manhna teu balik deui ka Nagri Bagdad, kalah tuluy mondok di Pasantrn Kuro, neuleuman deui lmuning agama ka Syh Kuro. Malah tuluyna mah jadi bentong (pangiring) Syh Kuro, sarta ku balara dilandi Syh Bentong. Ka mana ba Syh Kuro indit, Syh Bentong salawasna nunutur jadi pangiringna. Sababada pupus, Syh Kuro dikurebkeun di Pulo Kalapa. Ari Syh Bentong, dimakamkeunana th di Pulo Masigit, teu jauh ti makam guruna.

3. Siswa saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberikan tanggapan terhadap wacana/teks yang ditulis pada lembar jawaban Wacana/teks sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem bieu, ayeuna baca nepi ka tamat. Sarengsena tamat maca, hidep kudu nulis unsur intrinsik tina eta dongng, nya ta: 1) Saha palaku utama sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur?

66

2) Di mana tempatna eta sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur? 3) Iraha waktu kajadianna eta sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur? 4) Kumaha jalan carita sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur? 5) Naon tema sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur? 6) Naon amanat sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur? 4. Murid membacakan hasil kerja kelompok Ayeuna bacakeun tulisan 6 jawaban patalekan tadi (Saha palaku utama sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur? Saha palaku tambahan sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur? Di mana tempatna eta sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur? Iraha waktu kajadianna eta sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur? Kumaha jalan carita sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur? Naon tema sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur? Jeung Naon amanat sempalan Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem di luhur? 5. Guru membuat kesimpulan bersama murid Sarengsena siswa macakeun hasil diskusi (bagilir unggal kelompok) nu ngahasilkeun 6 jawaban unsur instrinsik, ayeuna guru jeung siswa nyaruakeun (nycogkeun) jawaban 6 unsur intrinsik Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem. 6. Guru membacakan kesimpulan Sarengsena nyocogkeun jawaban siswa jeung konci jawaban nu aya di guru, guru macakeun kacindekan jawaban 6 patalekan unsur intrinsik Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem. Panutup Berbagai model mengajar dapat dijadikan alternatif dalam peningkatan kualitas pedagogi pembelajaran budaya daerah. Salah satu model adalah model CIRC yang digunakan dalam pembelajaran menulis unsur intrinsik Dongng Syh Kuro jeung Syh Darugem. Dari enam langkah model CIRC, lima langkah (langkah satu sampai dengan langkah lima) menggambarkan pembelajaran siswa aktif,

67

kreatif mencari jawaban, efektif mencari jawaban dari teks dengan cara bekerja kelompok, menyenangkan dalam mencari jawaban dari teks yang sudah disediakan, dan inovatif, karena siswa mencari bersama-sama dalam kelompok.

DAFTAR PUSTAKA
Attalib, Hilsham (1992) dalam Training Guide for Islamic Workers. Malaysia Harmer, Jeremy. (1992). The Practice of English Language Teaching. London and New York: Longman. Heaton, J. B. (1995). Writing English Language Tests. London and New York: Longman. Joyce, Bruce & Marsha Weil. (1980). Models of Teaching. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Rahman. (2000). Bunga Rampai Perencanaan Pengajaran Bahasa. Bandung: FPBS UPI. Rahman (2005). Desain Instruksional Bahasa. Bandung: Alqo Print. Rahman, dkk. (2006). Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Bandung: Alqo Print. Rahman (2006). Alternatif Model Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: LPMP. Rahman (2011). Model-model Pembelejaran dan Bahan Pembelajaran(Cetakan ke-5). Bandung: Alqo Print.

68

CARA MENDIDIK ANAK DALAM PERSFEKTIF ETIKA SUNDA


Nunuy Nurjanah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Kisi-kisinya adalah sebagai berikut. 1. Etika Sunda dalam mendidik anak. 2. Cara orang tua zaman dahulu dan zaman sekarang dalam mendidik anak. 3. Pengaruh bahasa (tatakrama bahasa, ungkapan, dan peribahasa) dalam mendidik anak. 4. Peran ibu dalam mendidik anak. 5. Cara menumbuhkan nilai-nilai ke-Sundaan terhadap anak pada zaman sekarang. Sebelum membahas materi (lima kisi-kisi yang pertama) tersebut, akan disampaikan dahulu konsep ka-Sunda-an. Kata ka-Sunda-an asalnya dari kata Sunda. Kata Sunda asalnya dari bahasa Sansakerta yang akar katanya sund berarti bercahaya terang benderang; dari bahasa Kawi Sunda berartiair; dari bahasa Jawa Sunda berarti tersusun, merangkap, menyatu; dari bahasa Sunda, Sunda berarti indah, molek. Sunda artinya penamaan wilayah baratlaut dari India Timur yang dikelilingi sistem Gunung Sunda sepanjang 7.000 km, mulai dari kepulauan Filipina, Formosa, sampai lembah Brahmaputera India. Sunda Besar adalah himpunan pulau-pulau besar di wilayah Indonesia: Sumatra, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sunda Kecil meliputi Bali, Nusa Tenggara (NTT dan NTB), dan Timor (Suryala, 2003:54). Ka-Sunda-an artinya (1) adalah keadaan manusia yang selalu mendapat pancaran pencerahan cahaya (nur) Ilahi, sehingga paham akan perjalanan hidupnya. kehidupannya akan menjadi cahaya penerang dan pemberi tenaga kehidupan makhluk yang lainnya; (2) kesadaran untuk memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, baik sumber daya manusia maupun lingkungan hidupnya; (3) karaker yang menunjukkan emangat hidup bergelora, beretos kerja tinggi, beretika, berani membela keadilan, serta mempunyai loyalitas tinggi terhadap bangsa, negara, dan keyakinan

69

dirinya; (4) sifat manusia yang proaktif, percaya diri, berwawasan wiraswasta, serta mampu memanfaatkan waktu; (5) watak manusia yang hatinya suci bersih, menjauhkan diri dari memperdayai dan mencelakai orang lain, logikanya seimbang, serta selalu mempererat ikatan silaturahim dengan siapa pun juga; (6) manusia yang paham akan dirinya sebagai makhluk ciptaan Allh SWT serta mampu meningkatkan kualitas spiritual rawayan jatinya ke arah kualitas manusia yang selalu sadar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaannya; (7) manusia yang keberadaan hidupnys bermanfaat bagi diri maupun lingkungannya. Teguh pendirian dalam mencapai maksud dan tujuan hidupnya. sadar akan visi dan misi keberadaannya di dunia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT; (8) manusia yang berkecukupan, baik kekayaan lahiriah maupun batiniah; (9) manusia yang mempunyai kualitas diri sebagai hasil dari perjuangan hidupnya dan kesadaran dirinya; (10) manusia yang hidupnya selalu berhatihati, menggunakan akal pikiran dan perasaan secara seimbang dan mampu memprediksi keadaan; (11) keadaan yang beres ertib sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Posisional, proporsional, dan prefesional; (12) kemampuan untuk menyelaraskan kehidupan lahir batih serta kesediaan untuk berbagi kasih, saling asah-asih dan asuh dengan sesama makhluk; (13) kesadaran sebagai makhluk yang harus mampu mengarungi kehidupan ini, baik dalam keadaan senang maupun susah; (14) manusia yang mampu meningkatkan kualitas SDM-nya dalam keadaan aspek; (15) kemampuan untuk mengakselerasikan dan memotivasi hidup sehingga mencapai kualitas optimal sebagai manusia yang bermartabat; (16) kualitas kehidupan yang beretika, bermoral, berakhlak, serta berestetika yang menyiratkan citarasa keindahan yang luhur serta bermanfaat bagi kemanusiaan yang bermartabat; (17) semangat untuk berprestasi dalam mencapai kualitas yang lebih unggul. Sanggup berkompetisi dalam kebaikan; (18) manusia yangmampu bertawakal dan bersyukur dalam menapaki perjalanan hidupnya; (19) manusia yang mampu mengenal kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri; (20) kemampuan berprilaku, bertatakrama, dan beretika dalam kehidupan di masyarakat; (21) keadaan fisik laki-laki yang sehat dan beroman muka yang menimbulkan rasa simpatik orang lain dan berkarakter maskulinitas yang tangguh; (22) keadaan wanita yang cantik secara fisik juga jelita batiniah ruhaniahnya; (23) kesadaran terhadap lingkungan hidup yng

70

tertata dengan baik; (24) manusia yang mampu menebarkan rasa kasih sayang, saling menghargai antara sesama insan, mencintai lingkungan hidupnya, menjaga harmoni yang selaras dan serasi, mengutamakan ketentraman dan kedamaian, serta tunduk berserah diri kepada Yang Maha Pencipta; (25) keadaan kualitas insan yang unggul secara fisikal maupun psikhis, baik lahiriah maupun batiniah yaitu pada tataran (a) IQluhung elmuna, (b) EQjembar budayana, (c) SQpengkuh agamana, dan (d) AQrancage gawena (Suryalaga, 2003: 5878). Sundanu nyusun jeroning dada (yang tersusun dalam dada, diartikan keimanan dan ketaqwaan yang kuat). Numutkeun ka-Sundaan mah maranehna teh kedah kitu... (Menurut pandangan hidup orang Sunda sudah sepantasnya seperti itu...). Sunda dengan ka-Sunda-an adalah kesadaran hidup yang universal. Dengan demikian, ka-Sunda-an tidak hanya menjadi penanda bagi orang Sunda saja, tetapi jauh lebih luas bisa dijadikan penanda bagi siapa pun, etnis mana pun, bangsa apa pun, asal mempunyai sifat, karakter, perilaku ka-Sunda-an, dia adalah manusia Sunda. Walau demikian jangan sampai terabaikan, peran orang Sunda sebagai etnis yang ditakdirkan hidup dan ditugasi untuk menyejahterakan tatar Sunda sebagai tugas suci Ilahiah. Selanjutnya, dalam tulisan ini yang dimaksud ka-Sunda-an adalah pandangan hidup orang Sunda. 1. Bagaimana etika Sunda dalam mendidik anak? Etika yang dipakai oleh tiap etnik akan tercermin dalam perilaku kehidupannya sehari-hari.Dengan demikian, kita mengenal etika Sunda, etika Jawa, etika Bali, etika Batak, dste. dengan memperhatikan pola kehidupan mereka sehari-hari. Suku bangsa Sunda mempunyai tata cara hidup, adat kebiasaan, dan budaya yang merupakan akulturasi dan integrasi dengan budaya lain yang datang dari luar. Misalnya, di masyarakat dikenal upacara selamatan netes, upacara selamatan kandungan, upacara selamatan bayi, upacara selamatan turun tanah, upacara selamatan mencukur rambut, upacara selamatan khitan dan gusar, dste. Hal ini jelas merupakan sisa-sisa agama kultur. Untuk itu, sebagai seorang Sunda muslim, saya tidak mengikuti budaya yang tidak sesuai dengan tuntunan Al-Islam dan insya-Allah saya akan berusaha meluruskan pemahaman masyarakat agar tidak mengikuti segala sesuatu yang

71

diada-adakan. Kita harus ingat bahwa perkataan yang paling benar adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW. Seburuk-buruk masalah adalah masalah yang baru, semua yang baru adalah bidah, semua yang bidah menyesatkan, dan semua yang menyesatkan akan membawa ke neraka. Allah SWT berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki perbuatanmu serta mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya maka ia sungguh akan berbahagia dengan kebahagiaan yang agung (Al-Ahzab:70-71). 2. Bagaimana cara orang tua zaman dahulu dan zaman sekarang dalam mendidik anak? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya kemukakan cara orang tua saya mendidik saya. Yang kuiingat adalah kerja keras ibuku setiap hari. Ibuku selalu mengerjakan semua pekerjaannya tanpa ada pembantu. Waktu itu aku masih duduk di SD kelas 2. Adikku sudah ada tiga, karena ibuku melahirkan hampir selisih dua tahun sekali. Namun, menjelang tidur, ibuku masih sempat meninabobokan aku dan adik-adikku dengan sebuah cerita dongeng Sunda. Kemudian, aku dan adik-adikku selalu diajari ibuku untuk mengaji Al-Quran setiap bada Magrib. Dari cara inilah aku dan adik-adikku tumbuh. Kalau liburan sekolah, ayahku suka membawaku ke Situ Gede yang tempatnya kurang lebih 1,5 km. Aku selalu berjalan kaki mengikuti jejak kaki ayahku yang kadang-kadang aku setengah berlari mengejarnya. Perjalanan ke situ dengan menyusuri sawah, hutan, dan kadang-kadang melompati sungai-sungai kecil. Aku semakin terlatih untuk bisa berjalan cepat, melompat dengan terampil supaya pas ke pematang sana. Di situ aku harus terampil juga menangkap ikan-ikan yang dijaring oleh kecrik ayah. Aku harus segera memindahkan ikan-ikan itu sebelum hasil jaringan ikan-ikan berikutnya tiba, karena ayahku terampil sekali melingkarkan kecrik ke air dan mendaratkannya di hadapanku. Secara langsung aku dilatih untuk memecahkan segala masalah yang dihadapi, baik oleh ibuku maupun oleh bapakku.

72

Ibuku dengan kelembutannya mengajarkanku kepekaan hidup, jiwa sosial menghadapi sesama, dll. Ayahku melatih keberaniannku untuk bisa tegar mengarungi hidup ini. Itulah sekilas cara pendidikan ibu dan bapakku yang kalau diceritakan tidak akan tamat-tamat seiring dengan pembalasanku pada jasa keduanya yang tidak mungkin terbalaskan. Jazakumullaahu khairan Ema sareng Apa. Abdi mung tiasa nyanggakeun ieu doa, Allaahummagfirlii wali-walidayya warhamhumaa kamaa rabbayaani shaghiiraa. Aamiiin Ya Rabbal aalamiin. 3. Bagaimana pengaruh bahasa Sundatatakrama basa, babasan, jeung paribasadalam mendidik anak? Dalam bahasa Sunda dikenal adanya tatakrama basa atau undak usuk basa Sunda. Tatakrama (tata=aturan, norma, adat; krama=sopan, hormat, perilaku) atau undak usuk bahasa bertujuan untuk saling menghormati, saling menghargai di antara sesama anggota masyarakat, supaya masyarakat bisa hidup tenang dan tentram menuju masyarakat bahagia lahir dan batin. Undak usuk basa Sunda sekarang meliputi (1) kecap ragam loma (2) kecap ragam hormat keur ka sorangan, dan (3) kecap ragam hormat keur ka batur. Contoh: (a) Ieu buku keur maneh (Ini buku untukmu). (b) Nu hiji deui mah kangge abdi. (Yang satu lagi untukku). (c) Nu ieu mah haturan Pa Ustad Ade (Yang ini untuk Pak Ustad Ade). Babasan atau ungkapan adalah gabungan kata yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya (Moeliono (peny.), 1990:991). Paribasa peribahasa merupakan (1) kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan biasanya mengisahkan maksud tertentu (dll. peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan) atau (2) ungkapan atau kalimat-kalimat ringkas, padat berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku (Moeliono (peny.), 1990:671). Peribahasa merupakan cerminan cara mendidik anak dalam persfektif ka-Sunda-an, terutama peribahasa yangberisi perintah

73

untuk berbuat baik dan larangan berbuat salah. Menurut Rusyana (1981:4-35) bahwa isi peribahasa itu terbagi tiga: (1) wawaran luang, (2) pangjurung laku alus, dan (3) panyaram lampah salah. Contoh peribahasa yang berisi (1) wawaran luang, (2) pangjurung laku alus, dan (3) panyaram lampah salah. A. Wawaran Luwang 1. Asa ditonjok congcot (=menerima sesuatu yang sudah lama diidamkan tanpa disangka-sangka, sehingga dia menjadi sangat berbahagia). 2. Asa kagunturan madu (=mendapat rizqi besar; sangat berbahagia) . 3. Ati mungkir beungeut nyanghareup (=melakukan sesuatu dengan terpaksa). 4. Balungbang timur, caang bulan opat welas, jalan gede sasapuan (=keadaan hati yang bersih; tanpa dendam). 5. Banda tatalang raga(=jangan terlalu sayang pada harta kita kalau untuk keselamatan jiwa) . 6. Batah kapok anggur gawok (=dalam berbuat kebaikan kita tidak boleh kapok, tapi harus bersungguh-sungguh) . 7. Batok bulu eusi madu(=sesuatu yang di luarnya sederhana, tapi di dalamnya sangat bagus) . 8. Beja mah beje(=harus hati-hati kalau menerima berita yang belum tentu kebenarannya) . 9. Bedog mintul mun diasah, laun-laun jadi seukeut (=meskipun pada awalnya tidak paham, tapi kalau rajin belajar mesti akan ada hasilnya). 10. Bonteng ngalawan kadu (=tidak seimbang; yang lemah melawan yang kuat). 11. Buruk-buruk papan jati (=sejelek-jeleknya dengan saudara tidak akan terlalu jelek) . 12. Hade ku omong goreng ku omong (perkataan itu bisa menimbulkan kebaikan atau keburukan; maka berhati-hatilah). 13. Halodo sataun lantis ku hujan sapoe(=kebaikan yang sudah tertanam lama bisa hilang sama sekali disebabkan perbuatan yang jelek satu kali) . 14. Hunyur mandean gunung(=ingin menyerupai orang yang lebih kaya atau lebih tinggi pangkatnya) .

74

15. Indung tunggul rahayu, bapa tangkal darajat (=orang tuayang menjadi penyebab keselamatan dan kemulyaan anaknya) . 16. Kabeureuyan mah tara ku tulang munding (=jangan semberono; manusia celaka umumnya karena hal kecil-kecil; bukan oleh perkara besar). 17. Kaduhung tara ti heula(=sebelem bekerja pikirkanlah matangmatang; jangan menyesal kemudian) . 18. Kujang dua pangadekna (=perkataan atau perbuatan yang dua rupa maksudnya) . 19. Lamun keyeng tangtu pareng (=kalau kita rajin, pasti berhasil). 20. Leutik-leutik ngagalatik (=meskipun kecil tapi berani dan pekerjaannya bagus) . 21. Lodong kosong ngelengtrung (=orang yang kurang pengetahuannya biasanya hanga ngomong doang). 22. Manuk hiber ku jangjangna (=orang hidup harus menggunakan akalnya) . 23. Milik teu pahili-hili, bagja teu paala-ala (=setiap manusia sudah punya rizki masing-masing; yang penting dia mau bekerja keras) . 24. Mun teu ugakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih (=kalau tidak berusaha, tidak akan ada hasil). B. Pangjurung Laku Alus 25. Ari diarah supana, kudu dipiara catangna (=kalau mau hasilnya, harus memelihara yang menghasilkan itu) . 26. Elmu tungtut dunya siar (=jangan terlewat untuk mencari ilmu dan harta kekayaan) . 27. Kudu babalik pikir (=harus berubah; dari berperilaku jelek menjadi berprilaku baik). 28. Kudu bibilintik ti leuleutik, babanda ti bubudak (=harus rajin menabung sejak kecil; kalau sudah dewasa, kita bisa menimatinya) . 29. Kudu bodo alewoh (=kalau tidak tahu atau tidak paham,us bertanya) . 30. Kudu dibeuweung diutahkeun (=sebelum melakukan sesuatu harus dipikirkan matang-matang, supaya selamat). 31. Kudu dipikir pait peuheurna (=harus ingat pada resikonya) . 32. Kudu hade gogog hade tagog (=baik berbicara maupun berperilaku harus baik).

75

33. Kudu ka bala ka bale (=harus cekatan, baik bekerja yang kasar maupun yang ringan-ringan) . 34. Kudu leuleus jeujeur liat tali (=harus bijaksana; lemah lembut) . 35. Kudu ngadek sacekna nilas saplasna (=harus berbicara sebenarnya dan seperlunya) . 36. Kudu beak dengkak (=harus berusaha semaksimal mungkin) . C. Panyaram Lampah Salah 37. Ulah bahe carek langsung saur (=harus bisa menahan diri dalam perkataa; berbicara sebenarnya dan seperlunya) . 38. Ulah bengkung bekas nyalahan (=jangan sampai terjadi; waktu kecil baik, sudah besar jelek perangainya) . 39. Ulah bentik curuk balas nunjuk ( =jangan memerintah saja, tapi harus mulai melakukan sendiri) . 40. Ulah biwir nyiru rombengeun (=jangan suka membicarakan kejelekan orang lain) . 41. Ulah geledug ces (=jangan ribut awalnya saja; tapi tidak ada buktinya) . 42. Ulah gindi pikir belang bayah (=jangan berprasangka jelek) . 43. Ulah haripeut ku teuteureuyeun (=jangan sampai tergoda oleh makanan dan keuntungan yang belum tentu sehingga lupa untuk mempertimbangkan baik buruknya) . 44. Ulah jati kasilih ku junti (=pribumi jangan terkalahkan oleh pendatang) . 45. Ulah kabawa ku sakaba-kaba (=jangan terbawa arus yang tidak baik) . 46. Ulah kawas cai dina daun taleus (=nasihat atau pengajaran harus benar-benar dicamkan, jangan lewat begitu saja) . 47. Ulah kawas seuneu jeung injuk (=jangan cepat bertengkar setiap kali bertemu) . 48. Ulah marebutkeun paisan kosong (= jangan memperebutkan yang tidak ada manfaatnya). 49. Ulah sok beurat birit (=jangan susah kalau diperintah) . 50. Ulah sok elmu ajug (=jangan hanya bisa mengajari orang lain sedangkan diri kita sendiri berbuat tidak senonoh). 4. Bagaimana peran indung dalam mendidik anak?

76

Orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya dengan cara mendidik, membersihkan pekerti, dan mengajarinya akhlaqakhlaq yang mulia, serta menghindarkannya dari teman-teman yang berpekerti buruk. Orang tuanyalah yang membuat anaknya cenderung untuk menerima kebaikan atau keburukan, karena seorang anak itu dilahirkan menurut fitrahnya. Perhatian seorang ibu terhadap anaknya dimulai sejak anaknya masih dalam kandungan. Seorang ibu harus memperhatikan makanan yang dikonsumsinya selama ia mengandung, yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang sesuai untuk dirinya dan bayi dalam kandungannya. Dia tidak boleh melalaikan gizi yang diperlukan oleh dirinya yang akibatnya akan membahayakan bayi yang ada dalam kandungannya. Ketika bayi telah keluar dari rahim sang ibu, maka secara otomatis suplai gizi alaminya itu terputus, dan menjadi kewajiban bagi kedua orang tua bayilah untuk menangani penyusuannya. Sang ibu menyusui bayinya dari air susu yang telah diciptakan oleh Allah pada teteknya, sehingga bayi mudah mencernanya. Adapun sang ayah berkewajiban memberi nafkah kepada si ibu dan mencukupi semua keperluannya. Setiap ibu berkewajiban untuk menyusui bayinya, suka atau tidak suka. Seorang ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya, terkecuali bila ia dalam keadaan telah diceraikan. Ia tidak boleh dipaksa untuk menyusui bayinya dari suami yang menceraikannya, terkecuali atas kemauan sendiri. Selanjutnya ibu bersama bapaknya berkewajiban mendidik dan memberi tuntunan kepada anaknya hingga dewasa. Mendidik dan memberikan tuntunan merupakan sebaik-baik hadiah dan perhiasan ynag diberikan oleh orang tua kepada anaknya dengan nilai yang jauh lebih baik daripada dunia dan segala isinya. 5. Bagaimana cara menumbuhkan ka-Sunda-an terhadap anak zaman sekarang? Untuk menumbuhkan ka-Sunda-an terhadap anak zaman sekarang juga tertumpu pada peran orang tua. Orang tualah yang akan mewarnai kehidupan anak-anaknya. Untuk itulah, suri teladan orang tua sangat besar artinya dalam menumbuhkan ka-Sunda-an. DAFTAR PUSTAKA

77

Lembaga Basa jeung Sastra Sunda. 2007. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: CV Geger Sunten. Nurihsan, A. Juntika. 2006. Akhlak Mulia dalam Persektif Bimbingan dan Konseling Islami. Bandung: Rizqi Press. Rosidi, Ajip. 2005. Babasan&Paribasa. Bandung: PT Kiblat Buku Utama. Rusyana, Yus. 1984. Pedaran Paribasa Sunda. Bandung: Gunung Larang. Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan sastra Sunda dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro. Suryalaga, R. Hidayat. 1993. Etika jeung Tatakrama. Bandung: VC Geger Sunten.. Suryalaga, R.Hidayat. 2003. Kasundaan Rawayan Jati. Bandung: Wahana Raksa Sunda.

78

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERIBAHASA DAN PERMAINAN ANAK SUNDA


Ruhaliah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
1. Pengantar evolusi budaya global sangat mudah mempengaruhi budaya lokal. Televisi, internet, HP, merupakan media yang dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga budaya global pun dengan mudahnya mempengaruhi perilaku masyarakat. Semua peristiwa baik di dalam maupun di luar negeri akan dapat diketahui dengan cepat, baik yang positif maupun negatif, sehingga kadang-kadang dengan mudahnya ditiru masyarakat tanpa mempertimbangkan segi positif dan negatifnya. Banyak segi positif yang dapat dijadikan contoh tetapi tidak sedikit yang harus dihindari. Film perang, sindikat narkoba, teorisme, demo, perampokan, geng motor, dan lain-lain, kadang menarik untuk ditonton dan tanpa sengaja dijadikan guru oleh pihakpihak yang menyalahgunakannya. Bahkan pembunuhan terhadap presiden pun menjadi tontonan yang dianggap menarik dan layak diperbincangkan. Karena seringnya menonton hal-hal yang kurang baik maka perilaku kurang baik tersebut menjadi dianggap biasa. Perubahan anggapan tersebut akan menimbulkan perubahan perilaku di masyarakat. Hal ini menyebabkan beban pendidikan semakin berat, baik di rumah maupun di sekolah. Tetapi berbagai masalah tersebut bisa diminimalisir apabila generasi muda dipersiapkan dengan baik melalui pengenalan budaya yang ada di daerahnya. Bagi masyarakat Sunda misalnya, budaya Sunda merupakan salah satu alternatif untuk mempersiapkan manusia Sunda menjadi manusia Indonesia yang berkarakter dan berakhlak baik, sehingga bisa memilih mana yang bisa diikuti dan mana yang tidak.

2. Pembahasan Pada era globalisasi saat ini semua hal menjadi lebih mudah dibandingkan dengan ketika belum merambahnya teknologi informasi. Berbincang dengan teman, menonton peristiwa, berdiskusi, segala sesuatu bisa dilakukan dengan siapapun, bahkan dengan orang yang berada di lain negara. Bahkan seminarpun dapat dilakukan tanpa

79

berkumpul di suatu tempat. Dengan adanya tele-conference misalnya, kita dapat berbincang secara langsung seakan-akan kita berhadapan langsung. Walaupun jaraknya ribuan kilometer seakan-akan ada di hadapan kita. Berbagai kemudahan yang didapat dari media elektronik ternyata tidak berdiri sendiri. Ada segi lain yang mengikutinya, yaitu akibat negatifnya. Berbagai keburukanpun dapat dengan seketika berada di hadapan kita, bahkan di hadapan bayi yang baru lahir. Berita mengenai kejadian tertentu di negara tertentu, gosip, hiburan, dan lain-lain merupakan sesuatu yang dapat didapat dengan mudah dan murah. Tetapi berbagai acara tersebut bila tidak disaring, dipilih dan dipilah, akan dengan mudahnya menimbulkan pengaruh negatif, baik disadari maupun tidak. Film kartun, komedi, sinetron, dan lainlain merupakan hiburan yang kadang tanpa sengaja mengenalkan kekerasan, dan membentuk karakter yang tidak diinginkan. Misalnya kartun Happy Three Friends, rekaman di berbagai situs di interrnet, film di handphone, acara komedi di televisi, iklan di televisi, merupakan sedikit contoh di antara sekian banyak yang kemungkinan dapat berakibat negatif apabila tidak disaring terlebih dahulu. Keadaan ini terus berlangsung hingga tanpa disadari membentuk karakter penontonnya. Film kartun Happy Three Friends misalnya, disajikan dengan musik yang menarik, gambar yang bagus, seolah-olah disajikan untuk anak kecil. Tetapi apabila diperhatikan dengan seksama, di dalamnya terdapat kekerasan dan kriminalitas yang sangat tinggi. 2.1 Pendidikan Karakter Banyak sarana yang bisa mempengaruhi kepribadian seseorang, sejak dalam kandungan, ketika lahir, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Apa yang terlihat di sekelilingnya akan terekam dengan baik dalam ingatannya. Rekaman tersebut merupakan bekal dalam membentuk kepribadian. Pendidikan berlangsung sejak dalam kandungan hingga mendekati liang lahat. Prosesnya panjang dan melibatkan banyak pihak sehingga terbentuklah pribadi tertentu. Semua masyarakat tentu menginginkan generasi yang baik bukan generasi yang buruk. Tetapi kadang-kadang kenyataan tidak sesuai dengan harapan, akibat dari berbagai unsur negatif yang tanpa disadari menjadi unsur pembentuk kepribadian, karakter, dan akhlak manusia. Bahkan nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Artinya akhlak (karakter) itu merupakan kunci pembentukan pribadi dari generasi ke generasi.

80

Di dalam berbagai budaya setiap suku bangsa dan bangsa tentu telah dipersiapkan bentuk-bentuk pendidikan yang akan membentuk manusianya menjadi manusia yang terhormat. Tetapi akibat kurangnya pengenalan terhadap budaya tersebut, dan karena generasi sekarang lebih banyak dikenalkan dengan media elektronik yang serba instan, pembentukan karakter dalam kehidupan sehari-hari menjadi sangat berkurang. Rasa toleransi, kebersamaan, kejujuran, kreativitas, semangat, dan nilai-nilai pendidikan lainnya semakin tidak tersampaikan. Ketika semakin lama generasi muda semakin mangkhawatirkan, maka disusunlah pendidikan karakter, yang harus diintegrasikan ke dalam berbagai bidang studi. Di dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003, disebutkan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Selanjutnya pada Pasal 3 dikemukakan bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jadi masalah karakter sudah dipersiapkan sejak dini baik oleh agama maupun negara. Tetapi kadang-kadang masyarakat lupa bahwa di dalam budaya daerah hal tersebut sudah tersedia. Berbagai kelompok manusia telah menyiapkan pendidikan bagi generasi mudanya. Begitu pula dengan masyarakat Sunda. Berbagai unsur budaya di tatar Sunda merupakan media pembentukan karakter manusia Sunda. Ungkapan dan peribahasa, pantun, pantrangan, permainan anak, dongeng, tradisi lisan, berbagai upacara, merupakan bentuk-bentuk bagian dari budaya yang di dalamnya terkandung pendidikan nilai yang harus ditanamkan kepada anak agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh pengaruh negatif globalisasi. Kemdiknas menyiapkan 18 butir pendidikan karakter yang dapat digabungkan dalam berbagai bidang studi, termasuk bahasa daerah, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/

81

komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab. Butir-butir tersebut sesungguhnya sudah tersirat di dalam budaya daerah, walaupun tidak langsung disebutkan. 2.2 Pendidikan Karakter dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda Pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang, baik disadari maupun tidak. Pada semua masyarakat, pendidikan sudah dimulai ketika bayi dalam kandungan. Ketika masyarakat masih menggunakan tradisi lisan sebagai alat berkomunikasi, berbagai ungkapan dan peribahasa akan didengar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bila si pendengar dalam bentuk kelompok maka kelompok pendengar itu menjadi perekam dan kemudian menjadi pewaris ungkapan tersebut. Tetapi setelah komunikasi banyak dilakukan dalam bentuk tertulis, maka ungkapan dan peribahasa itu hanya ada dalam tulisan, dan yang mengetahuinya hanya si pembaca. Padahal sesuatu yang didengar dan dilaksanakan akan lebih mudah menyerap dibandingkan dengan hanya berbentuk teks bacaan. Bila melihat sesuatu yang negatif seorang ibu mengusap-usap perutnya sambil berkata, misalnya: - Utun, Inji, ulah sok saturut-turutna. Ketika melahirkan bayi masih dibantu olah dukun beranak (paraji), maka ketika baru lahir seorang bayi sudah dinasihati: - Ulah sok sadenge-dengena lamun lain dengekeuneunana; (Jangan sembarang mendengar apabila tidak layak untuk didengar) - Ulah sok sacokot-cokotna lamun lain cokoteunana; (Jangan sembarang ambil apabila tidak berhak untuk diambil); - dan sebagainya. Contoh ungkapan tersebut merupakan pendidikan karakter sejak dini. Tetapi ketika melahirkan sudah tidak dibantu oleh dukun beranak maka kalimat itupun sekarang sudah sangat langka didengar. Berikut ini contoh ungkapan dan peribahasa, yang mungkin masih harus dipertahankan, diubah, atau ditinggalkan. a) Cageur bageur bener pinter Kalimat ini merupakan ungkapan bahwa yang utama adalah kesehatan, fisik dan mental. Peribahasa ini juga berkaitan dengan ungkapan orang Sunda: Kumaha damang? Apabila seseorang dinyatakan sehat baik fisik maupun mentalnya maka bageur, bener, dan pinter akan mudah didapat. Tetapi apabila yang diutamakan pinter dulu maka orang tersebut belum tentu cageur

82

dan bageur, karena banyak orang cerdas yang menyalahgunakan kecerdasannya. b) Someah hade ka semah Ungkapan ini menyarankan agar masyarakat Sunda bersikap ramah kepada tamu. Di dalam agamapun dikemukakan bahwa salah satu ciri orang beriman adalah yang menghormati tamunya. Tetapi saat ini mungkin harus dipertimbangkan lagi, karena tidak semua tamu layak untuk diperlakukan dengan ramah, karena ada juga tamu yang bertujuan kurang baik. c) Hade ku omong goreng ku omong Peribahasa ini merupakan jalan keluar ketika menghadapi sesuatu yang harus dirundingkan. Bahwa musyawarah akan lebih baik dibandingkan dengan diselesaikan sendiri. d) Caina herang laukna beunang Proses merupakan hal penting di dalam mencapai tujuan. Dan pencapaian tujuan itu lebih baik dengan proses yang baik. Tidak hanya kepentingan pribadi tetapi juga sebaiknya menyenangkan orang lain e) Indung tunggul rahayu bapa tangkal darajat Peribahasa ini merupakan pedoman karakter, bahwa menghormati ibu dan ayah merupakan kewajiban seorang anak, karena dengan restu orang tua semua cita-cita bisa terlaksana. Hal ini juga sesuai dengan ajaran agama. f) Saur kudu diukur sabda kudu diungang Kehati-hatian di dalam berbicara merupakan sebuah keharusan bagi siapapun. Karena ucapan yang tidak layak bisa kenyakiti orang lain dan mencelakakan diri sendiri. Di dalam bahasa Indonesia ada ungkapan mulutmu harimaumu, sedangkan di dalam agama Islam salamatulinsan fi hifdzillisan. g) Hade gogog hade tagog Masalah penampilan sudah dipikirkan oleh masyarakat Sunda sejak dulu, karena itu muncullah peribahasa tersebut. Ucapan dan perilaku harus menggambarkan pribadi yang santun, Pada tingkat nasional juga hal ini menjadi pertimbangan sehingga muncullah sekolahsekolah kepribadian, misalnya Sekolah Kepribadian John Robert Power. Walaupun pada saat ini orang yang berpenampilan baik belum tentu bertujuan baik. h) Silih asih silih asah silih asuh Saling menyayangi merupakan langkah awal dalam berkomunikasi. Bila segala sesuatu, termasuk pendidikan, dilakukan dengan rasa saling menyayangi, maka hasilnya pasti akan sangat memuaskan. Setelah saling menyayangi dilanjutkan dengan saling mencerdaskan

83

dan saling mengayomi. Bila peribahasa ini dilaksanakan dalam berbagai kegiatan oleh berbagai pihak, maka kriminalitas tidak akan ada. i) Bobot pangayon timbang taraju Di dalam membuat keputusan diperlukan berbagai pertimbangan agar dapat menyelesaikan segala sesuatunya dengan tidak merugikan suatu pihak. Apalagi pembuatan keputusan itu dilakukan oleh pimpinan. Apabila dibuat keputusan tanpa pertimbangan maka bisa jadi ada masalah lain yang tidak diharapkan. Karena itu kebijaksanaan sagat diperlukan dalam pembuatan keputusan. j) Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok Peribahasa ini merupakan ungkapa bahwa ketekunan itu sangat diperlukan dalam mencapai tujuan. Seberat apapun pekerjaan yang harus dihadapi, apabila dilakukan dengan tekun dan teliti, maka hasilnya akan menggembirakan. Ketekunan itu bagaikan air yang menetes tiada henti ke atas batu, sekeras apapun batunya akan menjadi berlubang karena tetesan air tersebut. k) Paheuyeuk-heuyeuk leungeun Paheuyeuk-heuyeuk leungeun artinya bergandengan tangan, yaitu bergotong-royong dalam mengerjakan sesuatu. Dengan bergotongroyong pekerjaan akan menjadi lebih cepat terselesaikan. l) Melak cabe jadi cabe melak bonteng jadi bonteng Hasil itu bergantung dari pekerjaan yang dilakukan. Bila pekerjaan baik akan menghasilkan sesuatu yang baik dan bila mengerjakan hal yang buruk maka akan menghasilkan hal yang buruk. Karena itu orang baik akan mengerjakan hal yang baik agar hasilnya menjadi baik. m) Manuk hirup ku jangjangna jalma hirup ku akalna Manusia diberi akal oleh Sang Pencipta. Karena itu manusia tidak boleh mudah putus asa dalam menghadapi kehidupan. Burung akan terbang mencari makanan di manapun berada, sedangkan manusia bukan hanya mencari makanan. Karena itu manusia harus menggunakan akalnya dalam berbagai kegiatan. n) Nimu luang tina burang; Nimu luang tina baruang; Nimu luang tina bincurang; Nimu luang tina daluang; Nimu luang tina papada urang. Menuntut ilmu harus dilakukan sepanjang hayat, dalam situasi apapun. Proses pendidikan ini bisa berasal dari hal-hal yang pahit dan menyakitkan (burang), bisa dari hal yang mencelakakan (baruang), bisa berasal dari perselisihan (bincurang), bisa berasal dari

84

buku/tulisan (daluang), dan bisa berasal dari sesama manusia (papada urang). Tentu saja hal yang terbaik adalah yang berasal dari buku dan sesama manusia. o) Hade ku omong goreng ku omong; Keterbukaan adalah hal penting dalam menyampaikan pendapat. Baik ataupun buruk, harus disampaikan agar orang lain tidak berprasangka. Maka masyarakat Sunda harus bisa menyampaikan apa yang harus disampaikan. Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit. Ungkapan itu yang diajarkan di dalam agama Islam supaya masyarakat bisa menyampaikan sesuatu dengan benar. p) Ati putih badan bodas Keiklasan merupakan perilaku yang harus dibiasakan. Manusia tidak boleh menjadi pendendam, pembohong, dan lain-lain. Peribahasa ini merupakan kebalikan dari Beungeut nyanghareup ati mungkir, artinya munafik. Padahal munafik itu sangat dilarang karena akan meragukan dan mencelakakan. q) Ka bala ka bale Sifat dinamis sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, jadi harus bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Orang yang dinamis akan mudah bergaul dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Karena orang lain akan merasa nyaman atas keberadaannya. r) Gurat batu Ungkapan ini mempunyai arti yang sama dengan Teu unggut kalinduan teu gedag kaanginan. Artinya tetap kukuh dalam pendirian selama mempertahankan kebenaran. Jadi tidak tergoda oleh sesuatu yang mencelakakan. s) Ka hareup ngala sajeujeuh ka tukang ngala salengkah Tidak boleh berlebihan dalam segala hal. Harus ada pertimbangan kurang lebihnya, ke depan atau belakangnya, baik-buruknya, dan sebagainya. Orang yang bijaksana adalah orang yang tidak asal melangkah tanpa memikirkan resikonya. Selain dari ungkapan dan peribahasa yang telah dikemukakan tersebut, masih ada ratusan peribahasa lainnya, baik yang langsung berkaitan dengan pendidikan maupun tidak. Tetapi bagaimanapun

85

ungkapan dan peribahasa tersebut merupakan sebuah proses pendidikan di masyarakat baik langsung maupun tidak. Ungkapan dan peribahasa merupakan kontrol sosial sehingga masyarakat pemakainya memiliki pertimbangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Bentuk ungkapan yang disampaikan secara negatif misalnya 1) Adigung adiguna, 2) Ngagulkeun payung butut; 3) Ngaliarkeun taleus ateul; 4) Muragkeun duwegan ti luhur, 5) Gede cahak manan cohok; dan sebagainya. Untuk menegaskan bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan maka di awal ungkapan dituliskan kata /ulah/ (jangan). 1.3 Pendidikan Karakter dalam Permainan Anak Permainan anak terdiri dari bermacam ragam. Ada yang menggunakan alat, gerak, lagu, dan ada yang tidak. Jadi ada yang disebut kakawihan dan ada yang disebut kaulinan. Permainan (kaulinan) ini merupakan salah satu sarana pembelajaran dan rekreasi. Tetapi di samping itu juga ada olah raga, seni gerak, seni suara, seni tari, dan lain-lain. Bahkan banyak di antara permainan yang mengandung filsafat dan data sejarah. Dengan bermain anak akan menjadi gembira, kreativitasnya terlatih dengan baik, dan secara tidak langsung mengenali sejarah dan filsafat masyarakat yang ada di sekelilingnya. Di masyarakat Sunda terdapat ratusan permainan anak. Ada yang hanya lagu, ada yang hanya gerak, dan ada yang merupakan gabungan dari keduanya. Ada yang hanya kesenian, ada yang berupa kesenian dan olah raga, dan ada yang hanya olah raga. Permainan yang mengandung unsur olah raga upamanya Gatrik, Loncat Tinggi, Sondah, Cungkelik Cungkedang, matematika upamanya Congklak, Sondah, Gatrik, Langlayangan, dan lain-lain. Selain unsur-unsur tersebut, pendidikan karakter terus berlangsung dalam permainan dan nyanyian anak-anak ini. Kerja sama, kejujuran, bertanggung jawab, introspeksi diri, kerja keras, mandiri, cinta damai, peduli lingkungan merupakan unsur karakter yang ada dalam permainan anak. Karena bila anak tidak jujur akan dikucilkan oleh temannya. Begitu pula jika malas, tidak bertanggung jawab, tentu menjadi beban bagi teman bermainnya. Berikut ini disampaikan beberapa contoh permainan, yang di dalamnya tampak jelas mengandung unsur pendidikan karakter dan nilai. Permainan dan lagu ini ada yang bebentuk monolog dan ada yang berbentuk dialog. Tetapi ada juga yang dapat dilakukan dengan bentuk keduanya. Nyanyian yang berbentuk monolog di antaranya: Aanyaman, Babagongan, Beber Layar, Blungblong, Bulantok, Cacag Gurame, Carecet Murag, Cingcangkeling,

86

Cing Ciripit, Dog Celentong, Dudukuy Pelentung, Dukduk Dalikduk, Dutdut Colotok, Enjot-enjotan, Eundeuk-eundeukan Tuan Seh, Eureuleu, Galah Ginder, Gere-gere Tong, Gobang Gojir, Gugunungan, Haphap Dagoan, Hatiku Jang Wawan, Hethet Embe Janggotan, Hihid Aing, Hitut, Hompimpah, Jaleuleu, Jing Duang Deong, Jongjang, Jung Jae, Kacang Buncis, Kalong, Kelenang Keleneng, Kingkilikan, Kukudaan, Ma Ijah, Mars Siliwangi, Maung Lapar, Menta Angin, Meuncit Manuk, Meuncit Reungit, Milang Jawa, Milang Kadaharan, Moncor Pager, Ngawuluku, Neng Prasa, Ngadu Hayam, Ngadu Panggal, Ngambat Papatong, Ngokok, Ningningnang-ningningnong, Ni Ongo, Oet-oetan, Ojok-ojok Uang-aung, Ole-ole Ogong, Oyong-oyong Bangkong, Pacici-cici Putri, Paciwit-ciwit Lutung, Pacublek-cublek Uang, Pakalengkaleng Agung, Papanting, Paparahuan, Papatong Diambat, Papatong Eunteup, Papatungan, Pat Lapat, Pom Pilep, Prang Pring, Sakentrung Taligung, Salam Sereh, Samagaha, Sang Nata, Sapedah Mini, Sasalimpetan, Suling Aing, Sur Gutuk, Surser, Susupaan, Tek Kotek Kotek, Tilil, Ting Kolanding, Tokecang, Tong Maliatong, Trang Trang Kolentrang, Tuk Taligu, Tuk Tuk Brung, Tukang Kaleng, Turaes, Tutunjuk, Ucang Angge, Ucing jeung Anjing, Uga, Ula Elo Heursah, Ula Elo Kembang, dan Waru Doyong. Sedangkan teks yang berbentuk diaqlog di antaranya Ambil-ambilan, Baju Beureum, Bolu Bogem, Cir Kupek, Eundeuk-eundeukan Caladi, Eundeukeundeukan Lagoni, Gobang Kalima Gobang, Kali-kali Jahe, Nanangkaan, Ngala Hui, Oray-orayan, Punten Mangga, Si Jendil, Tongtolang Nangka, dan Wek Wek Dor. Berikut ini disajikan contoh teks kakawihan. a. Kakawihan Tat Tit Tut Tat tit tut daun sampeu saha nu hitut saha nu ngambeu. Teks ini sangat pendek tetapi dengan tegas menyebutkan bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kelakuannya. Atau apa yang dikerjakannya akan berakibat kepada orang lain. Siapa yang ketut ialah yang menciumnya. Itulah akibat dari pekerjaannya. b. Kakawihan Perepet Jengkol Perepat jengkol jajahean Si ... ngompol jejeretean.

87

Teks ini dinyanyikan sambil diikuti gerakan. Dilihat dari segi teksnya permainan ini mungkin tidak begitu menarik, tetapi gerakannya sungguh-sungguh menyajikan unsur pendidikan seperti kerja sama, tanggung jawab, dan lain-lain. Sekurang-kurangnya tiga orang anak membentuk lingkaran tetapi saling membelakangi. Masing-masing sebelah kaki mereka dikaitkan kepada kaki temannya, sehingga bila satu orang terjatuh maka yang lainpun akan terlepas. Jadi di dalam permainan ini keseimbangan dan kerja sama merupakan hal yang sangat penting. Perepet Jengkol c. Permainan dengan Lagu dan Gerak Banyak permainan yang diiiringi lagu dan gerak tetapi alat yang digunakan hanya anggota badan seperti tangan dan kaki. Permainan bentuk ini misalnya Paciwit-ciwit Lutung, Ayang-ayang Gung. Di dalam permainan ini semua anak membiasakan diri untuk mengantri, tidak boleh ada yang berebut. Orang yang berada pada posisi paling bawah bisa menjadi paling atas, begitu juga sebaliknya, tetapi dengan berurutan, tanpa harus merebut kesempatan orang lain. Pacublek-cublek Uang d. Permainan tanpa Lagu Permainan tanpa lagu ada yang menggunakan alat dan ada yang tidak. Alat yang digunakan sangat beragam, tergantung daerahnya. Ada yang mengguakan bambu, kayu, kaleng, karet, tali, bata, dan lain-lain. Pada saat ini beberapa
Permainan Egrang (Jajangkungan)

88

permainan sudah tidak dimainkan lagi oleh anak-anak karena lahan untuk bermain semakin tidak ada. Tetapi pada kelopok tertentu dijadikan ajang rekreasi dan lomba olah raga tradisional, seperti pada gambar berikut ini. 3. Penutup Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan dapat dilakukan oleh semua orang. Pendidikan adalah proses yang berlangsung lama dengan berbagai cara. Dan jenis pendidikan yang paling meresap adalah yang dilakukan sejak masa kanak-kanak dan tanpa disengaja. Karena yang terjadi di masa kanak-kanak seringkali mempengaruhi karakter dan karakter anak tersebut ketika dewasa. Tetapi seiring dengan perkembangan teknologi, beberapa jenis pendidikan semakin berkurang. Selain dari tempat, waktu, sarana juga sangat berpengaruh. Ketika masih menggunakan teknologi lokal unsur kreativitas seseorang sangat terlatih. Tetapi ketika semua dikerjakan dengan teknologi barat, maka kreativitas tersebut menjadi sangat berkurang. Pola dan proses ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian. Akibat adanya game tertentu maka anak menjadi sering mengisolasi diri, asyik dengan dirinya sendiri, sehingga rasa sosialnya berkurang dan kemudian rasa toleransi semakin menghilang. Lama-kelamaan yang terbentuk adalah kebiasaan mementingkan diri sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Anas, Zulfikri. 2011. Pembangunan Karakter Melalui Kearifan Lokal makalah pada Seminar Nasional Tradisi Lisan dalam Pengembangan Kurikulum, UPI, 23 September 2011. Hasan, Said Hamid dkk. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional Badan Litbang Puskur. Lubis, Mochtar. 1993. Budaya, Masyarakat, dan Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Natawisastra, Mas. 1979. Saratus Paribasa jeung Babasan (Jilid I-V). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Ringkasan Eksekutif Seminar Nasional Pendidikan. 2010. Badan Penelitian Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional. Ruhaliah. 1996. Kakawihan Tradisional Masyarakat Sunda. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. 700 Paribasa Sunda. Bandung: Tarate.

89

RENGGANIS REPERTOAR: Pemanfaatan Kesenian Lokal Dalam Pembelajaran bahasa dan Sastra Bali
I Wayan Gede Wisnu Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
I. Pendahuluan ada dasarnya, pembelajaran bahasa Bali dapat dilakukan pada tiga ranah yang potensial, yaitu agama, pendidikan, dan kebudayaan (Bagus, 2001 : 11). Ranah agama dimaksudkan pada aktivitas agama Hindu di Bali, yang di dalamnya banyak menggunakan bahasa Bali. Ranah pendidikan dimaksudkan sebagai ruang formal, informal, maupun nonformal dalam pembelajaran bahasa Bali. Ranah budaya dimaksudkan sebagai ruang sosial budaya masyarakat Bali yang menaungi penggunaan bahasa Bali. Ketiga ranah tersebut memang terbukti efektif dalam pembelajaran, pembinaan, maupun pengembangan bahasa Bali hingga saat ini. Masing-masing ranah tersebut memberikan suatu ruang yang kompleks dalam menciptakan fenomena-fenomena pembelajaran bahasa Bali sebagai bagian dari pembinaan maupun pengembangan bahasa Bali. Dalam keagamaan, seperti terlihat pada maraknya dharma wacana pada saat ini, telah mampu menempatkan bahasa Bali sebagai bagian yang penting di dalamnya. Dalam pendidikan, khususnya pendidikan formal, masuknya mata pelajaran bahasa Bali dalam kurikulum pendidikan nasional melalui muatan lokal, telah mampu memberikan ruang legislasi eksistensi bagi bahasa Bali dalam ruang formal. Begitu juga dalam kebudayaan, seperti hadirnya seni inovatif saat ini dengan ikon wayang cenk blonk, juga mampu mengusung bahasa Bali pada ranah populer. Dalam perkembangannya hingga saat ini, ketiga ranah tersebut dapat bersinergi untuk saling mendukung antara ranah yang satu dengan yang lain. Hal ini cenderung hanya terjadi antara ranah agama dan budaya karena ikatan tehadap kedua ranah tersebut sangat kuat di Bali. Agama Hindu seringkali dianggap sebagai roh dari kebudayaan Bali, sebaliknya, kebudayaan Bali dipandang sebagai manifestasi dari agama Hindu di Bali. Dengan demikian, fenomena keagamaan dan kebudayaan terjalin sebagai satu kesatuan dalam pelbagai aspek

90

kehidupan masyarakat Bali, sedangkan pendidikan cenderung dipandang sebagai sesuatu yang formal, ilmiah, dan tanpa rasa, yang seolah-olah sulit dipertemukan dengan agama dan budaya. Kondisi tersebut cenderung menempatkan ranah pendidikan, khususnya pendidikan formal, pada posisi yang kurang bersinergi dengan aspek agama maupun budaya di Bali. Terkait dengan wacana pendidikan karakter (character education) saat ini, kehadiran agama dan budaya sangat diperlukan. Agama dan budaya merupakan sumbersumber kearifan lokal yang mampu memberikan kontribusi dalam memformulasikan substansi dalam pendidikan karakter tersebut. Upaya-upaya untuk menginternalisasi aspek agama dan budaya dalam pendidikan tentunya sudah banyak dilakukan. Adanya hajatan Porsenijar secara rutin setiap tahun, secara tidak langsung mampu menginternalisasi aspek-aspek budaya maupun agama di Bali dalam pembelajaran, seperti lomba nyurat lontar, tari maupun tembang klasik, dan karawitan. Upaya tersebut perlu dilakukan dengan berkesinambungan dan dikembangkan secara kreatif dan inovatif. Salah satu upaya dalam memadukan antara aspek pendidikan, keagamaan, maupun kebudayaan terkait dengan pembelajaran bahasa Bali, telah dilakukan oleh mahasiswa pendidikan bahasa Bali Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja dengan olah kreatif dan inovatif dalam menciptakan kesenian Rengganis Repertoar. Kesenian ini merupakan perpaduan dari aspek ilmiah dalam pendidikan formal dengan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Bali Utara, yaitu perpaduan antara seni drama modern dengan kesenian rengganis, sebagai salah satu kesenian khas Bali Utara. Perpaduan ini menghasilkan suatu bentuk drama moderen berbahasa Bali dengan iringan musik melalui alunan oral musik (paduan suara) rengganis. Dalam hal ini, telah tercipta teater Bali moderen yang tetap dikemas secara tradisi. Secara tidak langsung, seni drama ini dapat memberikan ruang pembelajaran bahasa Bali, baik bagi mahasiswa yang menggarapnya maupun bagi audien yang menikmatinya. Upaya ini merupakan suatu kontribusi yang positif dalam mendukung upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Bali. Hal ini sejalan dengan pandangan Bagus (2001: 12) bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga kelangsungan hidup bahasa Bali adalah menciptakan kreativitas kehidupan moderen di Bali, seperti pada lagu pop daerah, nanyian tradisional, maupun dagelan. Dalam tulisan ini ingin diungkapkan aspek-aspek pembelajaran bahasa Bali melalui kesenian Rengganis repertoar tersebut sebagai suatu inovasi dalam pemanfaat kerarifan

91

lokal dalam pendidikan formal. II. Pembahasan II.1. Sejarah Rengganis dan Terbentuknya Rengganis Repertoar Rengganis merupakan suatu bentuk seni paduan suara yang tercipta tahun 1940-an di desa Panglatan, Kabupaten Buleleng. Pencipta kesenian ini adalah I Gusti Made Alit beserta rekannya, yaitu I Ketut Sridana dan I Ketut Widra. Inspirasi kesenian ini muncul ketika I Gusti Made Alit sedang beraktivitas di sawah pada malam hari. Ketika itu, beliau menembangkan pupuh dangdang gula untuk mengisi kesepiannya. Alam pun menyambut tembang yang dilantunkan melalui suara katak yang bersahut-sahutan. Fenomena alam inilah yang kemudian diolah bersama rekan beliau tersebut hingga melahirkan suatu bentuk seni paduan suara yang kemudian dinamai rengganis. Istilah rengganis tersebut dapat dimaknai sebagai suatu lantunan suara yang manis, yaitu dari kata reng nada,suara dan nis manis, serta dapat juga dimaknai sebagai suara-suara di keheningan (alam maya), yaitu dari kata reng suara dan nis niskala, alam maya. Kesenian ini mengembangkan pupuh dangdang gula melalui penambahan alunan oral musik enam orang pemain pendukungnya. Pemain-pemain tersebut memiliki peran sebagai seorang kejur (sebagai gong), seorang pangugal (sebagai pemimpin lagu), dua orang pangiing (pemberi suara 1 atau nada dasar), dan dua orang panyandet (pemberi suara 2 atau nada perangkai). Peran tersebut lazim dijumpai dalam karawitan, namun pada kesenian ini, peran tersebut dilakukan secara oral dengan pola yang serupa dalam karawitan. Pelantunan syair pada peran tersebut terdengar seperti alunan suara katak yang berdendang di tengah sawah. Hal inilah yang ditonjolkan sebagai suatu estetika nada suara dalam mengembangkan pupuh dangdang gula pada kesenian rengganis tersebut. Kesenian ini telah didokumentasikan oleh Putu Satria dalam bentuk film dokumenter. Film tersebut menjadi inspirasi bagi pengasuh mata kuliah drama pada jurusan pendidikan Bahasa Bali Undiksha (I Wayan Artika) untuk menginternalisasi kesenian rengganis dalam mendesain suatu model drama moderen berbahasa Bali. Dalam hal ini, rengganis diposisikan sebagai (1) musik pengiring dan (2) media penyampaian narasi-narasi dalam drama. Sebagai musik pengiring, rengganis mengawali, mengakhiri, dan menyelingi insiden maupun babak dalam drama yang ditampilkan. Sebagai media penyampaian narasi, rengganis selalu menyampaikan gambaran peristiwa cerita dalam drama melalui teks-teks yang dilantunkan.

92

Pembelajaran drama dalam perkuliahan tersebut pada dasarnya mengenalkan drama moderen dengan pola Barat pada mahasiswa. Terkait dengan jurusan bahasa Bali, mahasiswa pun dituntut untuk menampilkan corak Bali dalam garapan drama yang hendak dipentaskan sebagai ujian akhir semester. Kehadiran rengganis dalam drama tersebut dapat memberikan kemasan yang bernuansa Bali, apalagi cerita yang ditampilkan diadopsi dari karya-karya sastra Bali (Geguritan Sampik dan Geguritan Jayaprana). Perpaduan antara drama modern dengan kesenian rengganis dalam membentuk drama moderen bahasa Bali selanjutnya disebut sebagai Rengganis Repertoar. Pada satu sisi, hal ini dapat (1) melestarikan dan mengembangkan rengganis, sebagai suatu warisan budaya lokal Bali Utara, dan (2) pada sisi lain, hal ini juga dapat menciptakan suatu bentuk drama moderen berbahasa Bali yang sekaligus sebagai model dalam pembelajaran drama Bali moderen pada ranah pendidikan formal. II.2. Rengganis Repertoar Dalam Pembelajaran Bahasa Bali Sebagai suatu karya mahasiswa (akademik), Rengganis Repertoar merupakan salah satu media yang strategis dalam pembelajaran bahasa Bali sebagai bagian dari upaya pembinaan maupun pelestarian bahasa dan sastra Bali saat ini. Kesenian ini dapat memberikan suatu ruang pragmatis dalam apresiasi, interaksi, kritik, maupun inovasi, terkait dengan pembelajaran bahasa dan sastra Bali. Pemahaman tentang teori maupun konsepsi tentang bahasa dan sastra Bali yang telah dikenal sebelumnya dapat diapresiasikan dalam kesenian ini. Kesenian ini dapat memberikan ruang guna memperluas ranah penggunaan bahasa Bali. Bahasa yang digunakan dalam menyusun syair-syair dalam rengganis adalah bahasa Bali. Hal ini dapat memperluas penggunaan bahasa Bali, khususnya dalam karya seni. Sang penyair tentu dituntut dalam pengetahuan dan wawasan tentang kosakata bahasa Bali yang memadai. Syair-syair yang tercipta selanjutnya dapat menjadi refren dalam memperluas cakrawala kosakata bahasa Bali. Hal ini semakin tampak pada penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa komunikasi pada percakapan tokoh-tokoh dalam drama rengganis repertoar tersebut. Aneka ragam bahasa Bali yang baik dan benar terakumulasi secara sinergis dalam teks penokohan yang dirancang dalam drama. Kondisi tersebut menunjukkan ruangruang yang kian terbuka dalam penggunaan bahasa Bali. Begitu juga dengan sastra Bali, kesenian ini dapat menjadi media dalam transfomasi dan apresiasi karya-sastra Bali ke dalam seni pertunjukan, khususnya dalam bentuk drama moderen berbahasa

93

Bali. Penggunaan karya-karya sastra Bali sebagai sumber cerita dalam kesenian ini dapat menjadi suatu upaya untuk lebih mengenal dan memahami karya-karya sastra Bali, yang di dalamnya menyelipkan nilai-nilai budaya Bali, sebagai refleksi dari kearifan lokal masyarakat Bali. Hal ini serupa dengan munculnya fenomena wayang kulit inovatif yang sedang populer di Bali saat ini, seperti Wayang Kulit Cenk Blonk. Di samping dapat mengeksiskan karya-karya sastra Bali, kesenian inovatif ini juga dapat menjadi media dalam pembelajaran karyakarya sastra Bali, khususnya dalam memahami nilai-nilai budaya Bali yang terdapat di dalamnya. II.3. Rengganis Repertoar : Kasus Pada Drama Rengganis Repertoar Lakon Sampik Ingatai dan Jayaprana Garapan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Bali Undiksha Rengganis repertoar adalah sebuah rintisan yang telah digarap oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa Bali Undiksha Singaraja terkait dengan pengambilan mata kuliah drama pada semester V (September Desember 2011). Mahasiswa tersebut terdiri atas dua kelas (kelas A dan Kelas B) yang masing-masing diminta menggarap drama berbahasa Bali dengan pola rengganis repertoar dengan tema yang berbeda. Kelas A menggarap tema Jayaprana, sedangkan kelas B dengan tema Sampik Ingtai. Drama ini mulai digarap pada akhir Oktober 2011. Drama Sampik Ingtai dipentaskan hari Kamis, 12 Januari 2011 di Open Stage desa Anturan, sedangkan drama Jayaprana dipentaskan sehari kemudian (Jumat, 13 Januari 2011) di wantilan desa Dharma Jati Tukad Mungga. Tampilan drama mahasiswa ini sekaligus sebagai ujian akhir semester pada mata kuliah drama tersebut. Kedua penampilan tersebut memperoleh simpati dari penonton, baik dari para dosen, mahasiswa, masyarakat, maupun pelatih Rengganis (I Wayan Sukerena) dari desa Panglatan. Hal ini menghantarkan mereka pada pemerolehan nilai maksimal pada mata kuliah tersebut. Di samping kesuksesan mereka dalam mementaskan drama rengganis repertoar yang telah digarapnya, secara tidak langsung meraka telah melaksanakan suatu proses pembelajaan bahasa dan sastra Bali secara efektif, komunikatif, dan komprehensif. Syair-syair rengganis menguatkan pemahaman mereka tentang bahasa Bali ragam sastra (puisi). Bahasa Bali ragam ini penuh dengan diksi guna pencapaian estetika bahasa dalam fiksi. Terlebih lagi dalam narasi maupun dialog para tokoh drama, mereka diarahkan pada upaya pragmatis dalam memahami bahasa Bali yang baik dan benar. Dengan mendramatisasi kisah fiksi tentang percintaan tragis

94

pada kedua karya sastra tersebut, mereka dapat lebih mengenal, memahami, maupun mengapresiasi karya sastra yang telah hidup dan berkembang dalam masyarakat Bali. Kisah yang sebelumnya sempat didengar, dibaca, dianalisa, dan didiskusikan, selanjutnya dapat lebih dirasakan fibrasi fiksi yang terkandung di dalamnya. sesuatu yang sebelumnya hanya sebuah kisah, kini telah menjadi desah dalam nafas mereka. Nilai-nilai budaya yang terselip dalam dua kisah tersebut tentu akan semakin menancap dalam hati sanubari mereka. III. Kesimpulan dan Saran Tulisan ini membicarakan tentang proses pembelajaran bahasa dan sastra Bali saat ini melalui kesenian inovatif, yang dalam hal ini berupa kesenian rengganis repertoar. Kesenian ini merupakan olah kreatif dalam dalam memadukan antara rengganis, yaitu suatu seni paduan suara tradisional yang tercipta di Bali Utara, dengan seni drama moderen untuk menciptakan suatu bentuk drama moderen berbahasa Bali. Pada satu sisi, kesenian ini dapat melestarikan dan mengembangkan salah satu warisan budaya ataupun kearifan lokal masyarakat Bali utara dan pada sisi lain, kesenian ini dapat menciptakan suatu bentuk drama modern berbahasa Bali. Kesenian ini dapat memberikan ruang dalam pembelajaran bahasa dan sastra Bali. Kesenian rengganis repertoar ini adalah sebuah rintisan yang memerlukan upaya-upaya penyempurnaan untuk mencapai suatu bentuk dan tampilan yang ideal sebagai suatu model drama moderen berbahasa Bali. Sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menciptakan nuansa progresivitas seperti pada kesenian-kesenian inovatif saat ini. Begitu juga dengan sentuhan aspek-aspek budaya lokal (kearifan lokal) dapat menciptakan nuansa represivitas seperti pada kultur masyarakat Bali.

DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I Gusti Ngurah. 2001. Tantangan, Potensi, serta Peluang Bahasa Bali Di Tengah Peradaban Globalisasi (makalah). Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Hobsbawam, Eric. 1998. I.Introduction : Inventing Tradition. Dalam The Invention of Tradition. Penyunting : E. Hobsbawam dan T. Ranger. Cambridge : Cambridge University Press. Soebadio, Haryati. 1986. Kepeibadian Budaya Bangsa. Dalam Keperibadian Budaya Bangsa (local genius). Editor : Ayatrohadi. Jakarta : Pustaka Jaya. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsif-prinsif Dasar Sastra. Bandung : angkasa.

95

ORIENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL MAKASSAR: Penguatan Peran Bahasa Ibu Menuju Good Society
Ery Iswary Universitas Hasanuddin, Makassar
Pendahuluan asalah pendidikan karakter akhir-akhir ini menjadi topik yang sangat menarik diperbincangkan oleh karena kondisi masyarakat yang semakin hari semakin memprihatinkan, khususnya pada aspek hubungan sosial (sesama manusia). Fenomena memburuknya hubungan antara sesama manusia dalam kondisi tertentu (saling menuding dan menghujat), semakin ramainya pejabat dan para petinggi pemerintahan melakukan korupsi, dekadensi moral di kalangan remaja berbentuk tawuran, penggunaan narkoba dan sex bebas, membuat pemerintah kembali menggiatkan pendidikan karakter sejak belia hingga perguruan tinggi. Isu pendidikan karakter dicanangkan kembali secara resmi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010. Substansinya adalah pemerintah ingin memperoleh dukungan sepenuhnya dari rakyat Indonesia yang menjadikan pengembangan karakter dan budaya bangsa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.Pernyataan Presiden ini tentu saja perlu direspons secara serius khususnya dari lembaga pendidikan agar pendidikan karakter menjadi bagian dari isi kurikulum dan menjadi bagian dari proses pembelajaran di dalam kelas. Proses pendidikan yang telah dijalani seorang individu sejak dini hingga dewasa diharapkan dapat membentuk dan menginternalisasi karakter positif yang diperolehnya. Tetapi kenyataannya, pendidikan formal semata tidaklah cukup untuk membentuk pribadi seseorang mempunyai karakter positif. Orientasi pembentukan karakter positif sejak dini di kalangan anak-anak dan pendidikan karakter yang kontinyu pada setiap jenjang pendidikan hingga perguruan tinggi diharapkan dapat memberikan penyadaran, khususnya kepada generasi muda tentang etika berperilaku baik di dalam keluarga,

96

masyarakat, dan terhadap lingkungan. Di era golbalisasi ini konsep pendidikan karakter yang berbasis bahasa ibu yang berisi kearifan lokal diharapkan dapat memberikan kontribusi tersendiri dalam membentuk karakter seseorang sejak dini. Bahasa ibu yang biasanya bahasa daerah adalah bahasa yang pertama kali diajarkan ibu kepada anaknya sejak kecil, baik saat mengajarkan berbicara maupun pada saat menceritakan dongeng lokal. Etika berbicara yang baik biasanya telah ditanamkan seorang ibu kepada anaknya sejak dini melalui cara bertutur, dan ajaran moral diajarkan berdasarkan substansi norma budaya yang berlaku dalam masyarakatnya, yang dapat dilakukan melalui dongeng atau petuahpetuah. RUMUSAN MASALAH Kertas kerja ini mencoba menyorot dua hal yang menarik untuk diperbincangkan, yaitu : 1. Bagaimana konsep kearifan lokal Makassar mengajarkan pendidikan karakter kepada masyarakatnya melalui media bahasa ibu? 2. Jenis-jenis pendidikan karakter apa saja yang dapat ditemukan dalam manuskrip Makassar yang berupa pappasang (pesan/ wasiat)? Teori Pendidikan Karakter dan Bahasa Ibu Koesoema (2010) berpendapat bahwa karakter sama dengan kepribadian, yang mana kepribadian itu sebagai ciri, karakteristik, gaya, sifat khas dari seseorang yang bersumber dari lingkungan dan keluarga pada masa kecil, yang selanjutnya membentuk kepribadiannya. Berdasarkan pendapat ini dapat disimpulkan bahwa karakter seseorang dipengaruhi oleh lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat tempatnya bersosialisasi sejak kecil hingga dewasa, yang selanjutnya membentuk kepribadiannya. Sehubungan dengan pilar karakter, Muin (2011:211) berpendapat bahwa ada 6 pilar yang saling berkaitan dengan karakter manusia yaitu penghormatan, tanggung jawab, kesadaran berwarganegara, keadilan dan kejujuran, kepedulian dan kemauan berbagi, serta kepercayaan. Untuk menegakkan pilar-pilar ini dapat diperoleh melalui pesan atau petuah berbasis budaya lokal yang ada dalam budaya masing-masing etnik. Penguatan peran bahasa ibu dan pemertahanannya juga dapat berfungsi jika bahasa-bahasa lokal juga difungsikan secara realistis dalam bentuk pendidikan karakter.

97

Pemertahanan bahasa ibu (language maintenance) lazim didefinisikan sebagai upaya yang disengaja, antara lain, untuk (1) mewujudkan diversitas kultural, (2) memelihara identitas etnis, (3) memungkinkan adaptabilitas sosial, (4) secara psikologis menambah rasa aman bagi anak, dan (5) meningkatkan kepekaan linguistis (Crystal, 1997). Salah satu bentuk pemertahanan bahasa ibu adalah dengan mengeksplorasi nilai-ilai kearifan lokal yang dimiliki oleh bahasa yang bersangkutan, baik yang masih berupa manuskrip maupun bahan tertulis lainya. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut khususnya yang menyangkut pendidikan karakter positif disosialisaikan kepada masyarakat agar dapat dijadikan pedoman untuk mendidik anak yang lebih berkarakter. Pendidikan karakter sejak dini utamanya berbasis bahasa dan budaya lokal diharapkan dapat melahirkan generasi yang lebih beretika dan lebih santun. Jika anggota masyarakat adalah para generasi yang beretika, saling menghargai keberagaman dan perbedaan, maka konflik antar etnik otomatis dapat terhindar yang pada gilirannya dapat menciptakan good society. Revitalisasi bahasa dan budaya lokal selalu didengungkan oleh karena menjad identitas etnik pemiliknya. Bahasa lokal diharapkan juga menjadi sumber kekayaan nilai kearifan lokal sehingga perlu dipelihara. Adapun tujuan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah adalah: a. Memantapkan keberadaan dan kesinambungan penggunaan bahasa, sastra dan aksara daerah sehingga menjadi faktor pendukung bagi tumbuhnya jati diri dan kebanggaan daerah; b. Memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa, sastra, dan aksara daerah; c. Melindungi, mengembangkan, memberdayakan, dan memanfaatkan bahasa, sastra dan aksara daerah yang merupakan unsur utama kebudayaan daerah yang pada gilirannya menunjang kebudayaan nasional; d. Meningkatkan mutu penggunaan potensi bahasa, sastra dan aksara daerah. Konsep Pendidikan Karakter Berdasarkan Kearifan Lokal dalam Pappasang Bahasa Makassar Isi pappasang yang berbentuk manuskrip berbahasa Makassar antara lain adalah pemberian tuntunan kepada masyarakat agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, rasa dan karsa; baik sebagai pemimpin maupun anggota

98

masyarakat. Untuk menjadi manusia berkarakter perlu diupayakan untuk mempunyai sifat-sifat tertentu. Misalnya, untuk menjadi pemimpin berkarakter berdasarkan pappasang Makassar harus memenuhi beberapa kriteria, seperti tercantuk dalam teks berikut: Persyaratan untuk jadi pemimpin (raja) haruslah ahli dalam kepemimpinan agar nantinya dapat mengorganisir pemerintahannya secara baik; ahli dalam manajemen maupun ahli dalam berbicara.
2. Nikanaya karaeng, ia naparek poktahannya.o mallaka ri Allah taala laherek bateng yang dikatakan raja yang dijadikan pegangan haruslah takut pada Allah lahir batin 1. Nikanaya karaeng panrita yang dikatakan raja harus ahli

Seorang pemimpin diisyaratkan agar takut kepada Allah secara lahir batin agar dalam menjalankan roda pemerintahannya tidaklah sewenang-wenang dan harus merasa bahwa ada yang melihat segala macam perbuatan yang dilakukannya. Sifat ini sebagai sifat pengontrol sang pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya. Sifat berani haruslah dimiliki seorang pemimpin agar tak gentar menghadapi berbagai masalah dan sanggup bertindak untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya tanpa pernah merasa takut selama berada dalam kebenaran, baik secara agama maupun adat. Sifat jujur dalam keadaan apapun menjadi suatu persyaratan agar keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin harus adil, sehingga tidak akan merugikan rakyat dan dirinya sendiri. Kondisi marah tidak bisa mempengaruhi sikap dan tindakan seorang pemimpin dalam pengambilan keputusan maupun dalam bersikap terhadap sesama (rakyatnya).
5. 6. 4. Malambusukpi rilarrona siagang ritamalarrona harus jujur baik dalam keadaan marah maupun tidak marah 3. Baranipi harus berani

Filosofi dari pesan ini bahwa seorang pemimpin tidak boleh takut menghadapi segala macam tantangan dalam bentuk apapun; dan juga tidak boleh terpesona oleh hal-hal yang bisa membuat pemimpin tidak adil dalam mengambil keputusan dan bersikap. Filosofinya bahwa seorang pemimpin harus dapat melihat hal-hal dan
7. Napabutapi matanna nanapatongoli tompi tolinna harus membutakan matanya dan menulikan telinganya

Matattappi ribicaranna dapat dipercaya perkataannya Mammempopi ripassimbangenna mappakamallak-mallaka namappakabuyubuyua. Harus duduk di antara hal yang menakutkan dan yang mempesonakan

99

masalah secara proporsional, dan tidak boleh mendengarkan kabar angin atau kabar yang tak jelas duduk perkaranya.
8. Majaiampi panngamaseang pakmaikna nasipak malabona. Mempunyai rasa belas kasihan (rasa simpati) yang besar daripada sifat pemurah.

Pesan ini mengingatkan para pemimpin agar tidak kikir dan mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap rakyatnya. Pemimpinpun diharapkan agar mempunyai rasa simpati yang tinggi terhadap nasib rakyat yang diperintahnya. Di samping pesan/petuah kriteria untuk memilih seorang pemimpin, dipesankan pula jika seorang pemimpin ingin masyarakatnya makmur dan langgeng dalam kepemimpinannya (pemerintahannya) haruslah mengikuti wasiat seperti berikut:
1. Malambusukpi ri karaeng serea [jujur kepada Tuhan yang Maha Esa], malambusukpi ri paranna karaeng [jujur kepada sesama raja], malambusukpi ri pakrasanganna [jujur kepada negeri tetangganya], mamlambusukpi ri tau jaina [jujur kepada rakyatnya], malambusukpi ri kalenna siagang bone ballakna [jujur pada diri sendiri dan seisi rumahnya], malambusuki mange risikamma nacinika mata nalanngereka toli [jujur kepada seluruh yang dilihat mata dan yang didengarkan telinga].

Berdasarkan pesan di atas, kejujuran merupan sifat yang sangat penting dilakukan dalam segala aspek kehidupan jika ingin menjadi pemimpin yang sukses dan disenangi rakyatnya.Sifat jujur harus dimulai dari diri sendiri, sesama, lingkungan/tetangga, hingga jujur kepada Allah.
2.

Pesan ini mengisyaratkan agar sebelum memutuskan perkara perlu mempertimbangkan secara matang, dan selayaknya keputusan itu merupakan keputusan bersama bukan keputusan pribadi. Hal ini diisyaratkan agar nantinya tidak ada pribadi yang dituding menjadi sumber kegagalan jika ada masalah yang muncul di kemudian hari. Jika menuai keberhasilan maka yang berhasil bukan pribadi tetapi atas nama kebersamaan.
3. Malompo panngamaseampi siagang malompo pannulungpi ritaujaina. Harus besar rasa kasihsayangnya dan jiwa penolongnya kepada rakyatnya

Apa-apa erok nagaukang, eroko nakanang, nacinippi dallekanna, nakirakira bokona, appatangarakpi ripakbicaranna, nasabak sibajik-bajikna gauka iyamintu gauk nipassamaturukiya apa yang ingin dilakukan, ingin diucapkan, maka seorang pemimpin harus melihat sebabnya dan memperhitungkan akibatnya, meminta pendapat dari pemangku adat, sebab sebaik-baik perbuatan adalah perbuatan yang telah disepakati bersama.

Seorang pemimpin hendaklah mempunyai rasa simpati dan empati kepada nasib rakyat, dan perlu terus dijaga agar terhindar dari

100

kesengsaraan dan musibah.


4.

Manusia yang dapat dipercaya adalah manusia yang dapat dipegang kata-katanya termasuk janjinya. Utamanya kepada para pemimpin agar bukan hanya mengiming-imingi rakyat dengan janji tapi perlu pembuktian. Siapa yang berperilaku baik akan menuai kebaikan dan prinsip ini sangat penting bagi pemimpin yang ingin langgeng kekuasaannya.
5. Baranipi rigauk kuntu tojeng. berani bertindak berdasarkan kebenaran

Jarreki rijanji namalukmu kana-kana siagang mabajik pannggaukang risesena adaka siagang saraka. memegang teguh janjinya dan lembut perkataan serta berperilaku baik sesuai adat dan sara.

Pesan ini mengisyaratkan agar jangan pernah merasa takut dalam memimpin atau bertindak selama berada dalam rel kebenaran. Kebenaran merupakan pedoman dalam melakukan semua tindakan dalam menjalankan kepemimpinan. Selain pesan di atas, juga ada jenis pesan yang khusus diperuntukkan guna menjaga serta mengontrol panca indera dan pikiran agar terhindar dari hal-hal yang tak dinginkan. Pesan tersebut menyatakan bahwa ada 3 pasal untuk menjaga diri dari pikiran kotor, yaitu: Filosofi dari pesan ini bahwa dalam bertingkahlaku haruslah dapat mengontrol diri dan tingkah laku kita dapat menjadi cermin untuk introspeksi. Tingkah laku yang baik dapat dijadikan pelajaran untuk berbuat lebih baik dan perilaku yang dianggap kurang baik harus dihindari.
2. Allei bajika nanutantangi kodia ambil yang baik dan hindarkan keburukan 1. Tangaraki gauknu naiya nualle anrongguru amatilah perbuatanmu, jadikanlah pelajaran

Pesan ini mengisyaratkan bahwa sebagai manusia harus mempunyai filter diri dalam berperilaku. Evaluasi dan monitoring secara internal dalam berperilaku lebih diutamakan dalam menjalani kehidupan.
3. Nasabak antu kanaya siballaki antu bajika siagang kodiya, kamma tonji antu nawa-nawaya. ucapan itu tempatnya bersatu antara kebaikan dan keburukan, sama halnya dengan pikiran.

Pesan ini juga menuntut seorang individu agar dapat membedakan hal-hal baik dan buruk dalam berucap dan berpikir. Menurut pesan ini ucapan dan pikiran terdiri atas campuran hal-hal yang baik dan buruk, sehingga sebagai manusia diharapkan dapat memilah-milah secara intuitif dan normatif untuk menjalankannya.

101

Pesan lainnya adalah pesan untuk hati, dan dinyatakan seperti berikut :
Jagai bajiki pandallekanna atinnu jagalah dengan baik haluan hatimu Napunna bajik pandallekanna atinnu karena jika haluan hatimu baik

Bajik tongi ampe-ampenu ri karaenga siagang riparannu dipakjari akan baik juga tingkah lakumu kepada Allah yang menciptakanmu Napunna kodi pandalekanna atinnu tetapi jika haluan hatimu tidak baik Kodi tongi antu panngapetta rikaraenga siagang ripanrita tunipakjari akan tidak baik pula pengaruhnya terhadap Allah yang menciptakanmu dan sesama ciptaanNya Adapun substansi pesan di atas khususnya untuk hati agar dijaga haluannya tetap baik, karena sifat dan perilaku manusia bersumber dari hati. Manifestasi tingkah laku manusia juga merupakan cermin suasananya hatinya. Seseorang yang baik hati (inner beauty) akan tampak mempunyai wajah yang cerah dan menarik dalam berperilaku.

Adapun macam-macam pikiran yang dideskripsikan dalam pappasang (pesan) Makassar ada 4 macam. Keempat macam pikiran ini berorientasi kepada 4 unsur pembentuk bumi, yaitu angin, api, air, tanah. Adapun jenis-jenis pikiran tersebut dideskripsi sebagai berikut:
1. 2. Naiya nawa-nawa anginga kuasa magassingi nateyai lambusuk Adapun pikiran angin sangat kuat tetapi tidak bisa jujur Naiya nawa-nawa pepeka kuasa malompoi natanacinikai bokona Adapun pikiran api sangat besar kuasanya tetapi tidak melihat akibatnya 3. Nawa-nawa jeknek carakdeki apparek nateyai bajik nakimbolong Pikiran air pintar berbuat tetapi tidak mengandung kebaikan 4. Anjo nawa-nawa buttaya carakdeki nalambusuk Pikiran tanah itu pintar dan jujur

Macam-macam pikiran di atas beranalogi dengan sifat unsur yang diacunya. Pikiran angin beranalogi kepada sifat angin yang dapat menghancurkan bumi dengan kekuatannya dan bersifat fleksibel tanpa pendirian; akibat yang akan ditimbulkannya pun tidak diperhitungkan. Adapun pikiran api juga beranalogi dengan sifat api yang bersifat panas (emosi) tanpa perhitungan ; pikiran api mudah tersulut oleh hasutan orang sekelilingnya tanpa memperhitungkan akibatnya. Pikiran air meskipun tampak sejuk dan tenang tetapi tampak tidak mempunyai pendirian; bersifat labil mengikuti lingkungan tempatnya berada (ibarat air mengikuti bentuk wadahnya). Sedangkan pikiran tanah dianalogikan dengan kecerdasan dan kejujuran karena senantiasa stabil dan produktif.

102

Konsep ini dapat memberikan pencerahan untuk mencoba mengarahkan pikiran agar berorientasi pada macam pikiran yang bersifat tanah yaitu pintar dan jujur serta bersifat produktif. Seperti diketahui bahwa tanah mempunyai sifat fertilitas dan tempat tumbuhnya segala macam makhluk hidup. Pesan-pesan yang terdapat dalam manuskrip berbahasa makassar perlu diresosialisasikan kepada masyarakat yang empunya budaya, agar masing-masing individu dapat menghayati dan menginternalisasikan dalam kehidupannya. Selanjutnya, para orang tua dapat mewariskan nilai-nilai kearifan lokal tersebut dengan jalan mendidik karakter anak-anak mereka sejak dini Jenis-jenis pesan yang bersumber dari kearifan lokal Makassar sangatlah kaya akan nuansa pendidikan, khususnya pendidikan manusia yang lebih berkarakter, misalnya pesan untuk menjadi pemimpin yang baik, cara menjaga hati dan etika yang baik, kejujuran dalam berbagai aspek kehidupan, bagaimana memfungsikan pikiran agar senantiasa berpikir positif. PENUTUP Konsep pendidikan karakter dalam masyarakat Makassar berorientasi kepada pemberian tuntunan kepada masyarakat agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, rasa dan karsa; baik sebagai pemimpin maupun anggota masyarakat. Konsep karakter yang diajarkan antara lain adalah bagaimana menjadi pemimpin yang baik dan disenangi rakyatnya sehingga dapat menciptakan stabilitas kehidupan untuk menuju masyarakat yang lebih damai (good society). Isi pesannya menjelaskan bahwa ada beberapa kriteria seorang pemimpin yang berhasil antara lain seorang pemimpin harus pintar dan berani; bertaqwa kepada Allah; memiliki keberanian untuk berbuat/bertindak untuk kepentingan orang banyak; jujur dalam situasi apapun; harus buta dan tuli terhadap apa yang dilihat dan didengarnya;serta rasa belas kasih kepada rakyat. Pendidikan karakter lainnya adalah tentang jenis-jenis pikiran yaitu pikiran bersifat angin, air, api, dan udara, yang dimiliki oleh manusia, sehingga mempengaruhi karakternya dalam berperilaku. Pikiran hendaklah diorientasikan kepada sifat tanah yang bersifat stabil dan produktif, dan menjadi tempat bersemainya kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Pencitraan positif terhadap bahasa daerah melalui penguatan peran bahasa ibu dan pemahaman tentang bahasa daerah masingmasing akan lebih mempermudah pemahaman tentang kearifan lokal.

103

Orientasi kepada pembentukan karakter positif di kalangan generasi muda (mahasiswa) diharapkan dapat melahirkan apresiasi terhadap bahasa ibu,yang bermuara kepada pembentukan komunitas cinta damai (good society) dan tetap berprinsip Bertindak lokal berpikir global.

DAFTAR PUSATAKA
Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Azza, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia. Yogjakarta : Ar-Ruzz Media. Bantang, Siradjuddin. 2008. Sastra Makassar. Makassar: Refleksi. Diknas. 28 Desember 2010. Konsep Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Kelas. http://id.shvoong.com/social-sciences/education/. Febriandy, Stevent. 05 /10/2009. Pendidikan Sulawesi Selatan. http://www. depdiknas.go.id Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: PT. Refika Aditama. Masnur, Muslich dan Oka .2010. Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Mulyana (ed). 2008. Pembelajaran Bahasa dan Sasra Daerah dalam Kerangka Budaya. Yogjakarta: Tiara Wacana. Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Munthe, Bermawi. 2009. Desain Pembelajaran. Yogjakarta: CTSD UIN Sunan Kalijaga. Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia. Sarkawi. 9 Agustus 2007. Dari Huruf Lontara ke Latin. Pergeseran Pendidikan Tradisional ke Kolonial di Makassar. http://www.depdiknas.go.id Koesoema A, Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Muin, Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter : Konstruksi Teoretik dan Praktik. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media. Sumarsono.2008. Sosiolinguistik. Yogjakarta: SABDA.

104

NILAI KEARIFAN LOKAL UNGKAPAN TRADISIONAL DALAM MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER


H. Yayat Sudaryat Univeritas Pendidikan Indonesia, Bandung
Prawacana angsa Indonesia memiliki kekayaan dan keragaman budaya daerah. Salah satu unsur dan sekaligus sebagai alat kebudayaan adalah bahasa. Bahasa akan menggambarkan budaya. Basa teh ciciren bangsa Bahasa menunjukkan bangsa. Unsur-unsur budaya seperti sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem teknologi dan peralatan, sistem ilmu pengetahuan, sistem agama dan kepercayaan, seni, serta bahasa itu sendiri akan tercermin dalam bahasa. Salah satu bahasa daerah di Indonesia adalah bahasa Sunda. Jumlah penuturnya termasuk terbesar kedua di Indonesia setelah bahasa Jawa. Bahasa Sunda diekspresikan dalam berbagai bentuk, antara lain, berupa ungkapan tradisional. Ungkapan tradisional dapat berupa babasan dan paribasa yang merupakan susunan kata-kata yang relatif tetap dengan makna yang tertentu pula, biasanya mengandung makna kiasan dan perbandingan sebagai lambang kehidupan kebudayaan masyarakat pemakainya. Misalnya, peribahasa kudu paheuyeuk-heuyeuk leungeun yang bermakna harus bergotong royong mengacu kepada karakter bermasyarakat. Tulisan ini menyajikan nilai kearifan lokal pendidikan karakter dalam ungkapan tradisional Sunda. Ada lima hal yang disajikan dalam tulisan ini, yakni (1) pendidikan karakter, (2) hasil pendidikan karakter, (3) nilai ilmu pengetahuan, (4) empat pilar pendidikan, dan (5) ranah kompetensi pendidikan.

Pendidikan Karakter Istilah karakter (Inggris: character) yang bermakna watak atau sifat (Echols & Shadily, 1996:107). Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Karakter disebut juga watak dan tabiat (KBBI, 1988:389). Istilah karakter dapat disamakan dengan nilai, budi pekerti, moral, watak, atau akhlakul karimah.

105

Karakter bangsa dapat diwariskan dan ditumbuhkan melalui pendidikan. Pentingnya pendidikan karakter tersurat dan tersirat dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Bab II, Pasal 3), yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (ranah kognitif, afektif, dan psikomotor) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat (Kemendiknas, 2011:8) yang berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dapat dibedakan atas empat kelompok, yang disebut sebagai catur tunggal watak, yakni (1) olah hati, (2) olah pikir, (3) olah raga dan kinestetik, serta (4) olah rasa dan karsa. Pertama, karakter olah hati (spiritual and emotional development) melingkupi perilaku beriman, bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. Misalnya: Teu unggut kalinduan teu gedag kaanginan tangguh dan pantang menyerah. Kedua, karakter olah pikir (intellectal development) mencakup cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi ipteks, dan reflektif. Misalnya: Kudu bodo alewoh kalau tidak tahu harus banyak bertanya. Ketiga, karakter olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic development) mencakup karakter perilaku bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih. Misalnya: Ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak rukun dan seia sekata. Keempat, karakter olah rasa dan karsa (affective and creativity development) meliputi karakter perilaku ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, mencintai tanah air dan bangsa (termasuk bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia), dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. Misalnya: Bengkung ngariung bongkok ngaronyok bersama-sama dalam suka dan duka; Kudu inget ka

106

bali geusan ngajadi ingat kepada tanah kelahiran. Hasil Pendidikan Karakter Hasil pendidikan dapat berupa hasil akhir dan dampak pendidikan. Hasil akhir atau output pendidikan merupakan capaian pendidikan oleh peserta didik. Hasil akhir ini diperoleh melalui penilaian pendidikan. Orang Sunda berpandangan bahwa pendidikan itu harus mampu menciptakan orang yang serba bisa atau piawai dalam berbagai hal, yang disebut jelema masagi manusia paripurna dan orang yang banyak pengalaman: Legok tapak gentng kadk. Di samping itu, tujuan akhir perjalanan setiap insan adalah menuju kehidupan yang tertib, beres dan sejahtera lahir batin: Hirup kudu alus tungtung, brs pancn dipigaw, tutas tugas dipilampah Akhir kehidupan harus tertib, beres, dan sejahtera lahir batin. Dampak atau outcome pendidikan merupakan perwujudan akhir pendidikan yang terlihat dalam praktek kehidupan seharihari. Dampak pendidikan adalah peserta didik diharapkan mampu memasuki Gapura Panca waluya (gerbang lima kesempurnaan hidup), yakni kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Dalam hal ini, terbentuk insan yang nyunda, nyantri, nyakola berbudaya, agamis, akademis dan menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) unggul (paripurna) dengan lima penanda utamanya Panca Rawayan (lima jembatan) yang indikatornya berupa keadaan: Cageur, Bageur, Bener, Pinter, Singer. a) CAGEUR, yaitu sehat lahir-batin, jasmani dan rohani dan sehat dalam berinteraksi sosial atau kesalihan sosial. b) BAGEUR, yaitu bermoral, baik hati, taat kepada hukum agama, hukum nurani, hukum positif dan hukum adat. c) BENER, yaitu beriman, jujur, adil, jelas serta lurus visi dan misi hidupnya. d) PINTER, yaitu mampu mengatasi masalah dan tantangan hidup; proaktif, beretos kerja tinggi, dan berprestasi; dan e) SINGER, yaitu terampil, mahir, atau piawai dalam bergaulan dan wanter (berani) menjalani hidup. Panca rawayan yang menjadi indikator SDM yang unggul tersebut harus dibarengi dengan karakteristik atau watak: f) PANGGER, yaitu teger (tegar), cangker (kuat), dan kukuh dalam segala aspek kehidupan, serta taat pada hukum.

107

Nilai Ilmu Pengetahuan Isi dari pembicaraan sistem ilmu pengetahuan dalam suatu kebudayaan adalah uraian mengenai cabang-cabang pengetahuan, misalnya pengetahuan tentang alam, benda, tumbuh-tumbuhan, binatang, ruang, dan waktu. Masyarakat Sunda berpandangan bahwa ilmu pengetahuan itu merupakan ciri manusia untuk membedakannya dari binatang: Sato busana daging, jalma busana lmu Ciri manusia itu berilmu tidak hanya makan seperti binatang. Ilmu dan harta harus dicari: Elmu tungtut dunya siar. Oleh karena itu, harus belajar sejak dini sehingga setelah dewasa tinggal memanfaatkannya: Guguru ti lelembut, diajar ti bubudak, ngulik pangarti ti leuleutik, geus ged kari makna. Ilmu itu merupakan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman yang baik maupun buruk, dari buku, dan dari sesama kita, baik secara langsung maupun tidak langsung: Meunang luang tina burang mendapat pengetahuan dari musibah; Diajar ti papada urang Belajar dari orang lain; dan Kabisa mah tina luang jeung daluang Pengetahuan itu didapat dari pengalaman dan membaca. Siapa pun berharap agar dirinya pintar, jangan bodoh. Ulah bodo katotoloyoh Jangan seperti orang yang bodoh; Teu nyaho dialip bingkengbingkeng acan Tidak tahu apa-apa sama sekali; Miyuni hurang, tai ka hulu-hulu Orang yang sangat bodoh, tidak tahu apa-apa; Kolot dina kolotok munding Sudah tua tetapi kurang berpengalaman; apalagi masih kecil janganlah berperilaku seperti orang dewasa: Ulah kokolot begog Anak kecil jangan berbuat seperti orang dewasa. Masyarakat Sunda menyadari betul bahwa di dunia ini tidak ada orang yang bodoh. Semua orang diberi kemampuan untuk belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan asalkan rajin atau tidak malas. Matih tuman batan tumbal Bisa karena biasa. Betapa pun bodohnya, kalau mau belajar, lambat laun akan pandai. Bedog mintul mun diasah laun-laun jadi seukeut. Meskipun bodoh, kalau mau belajar pasti lamalama akan bisa. Kita diharuskan rajin belajar: Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok. Harus rajin, kelak kemudian akan berhasil yang dimaksud; Suluh besem og ari diasur-asur mah hurung Kalau rajin, lama-kelamaan akan bisa juga. Apabila merasa bodoh atau tidak tahu, kita harus rajin bertanya kepada orang lain: Kudu bodo alwoh Sungguhpun bodoh jika suka bertanya akan tahu juga. Janganlah membiarkan diri terbelunggu

108

oleh ketidaktahuan karena akan merugikan diri sendiri: Kawas monyt ngagugulung kalapa .Seperti orang yang memegang benda, tetapi tidak tahu cara memanfaatkannya. Pengetahuan dan pendidikan itu harus diperoleh sebanyakbanyaknya, jangan sampai kurang. Dengan memiliki pengatahuan yang memadai, kita dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Orang yang berpengetahuan kurang akan dianggap tidak bersekolah: Siga teu nyakola. Seperti tidak pernah belajar atau sekolah saja dan seperti anak kecil Budak bau knh jaringao Anak kecil yang masih kurang pengalaman. Orang yang sudah memperoleh dan mempunyai ilmu yang tinggi itu dianggap orang yang serba bisa: Luhur ku lmu jembar ku pangabisa sugih ku pangarti. Banyak ilmu pengetahuannya dan banyak pengalaman Legok tapak gentng kadk Banyak pengalamannya. Orang yang demikian dikatakan Geus masagi Serba bisa dan serba tahu. Apabila sudah berilmu tinggi, janganlah sombong. Setinggi apapun ilmu manusia akan memiliki kelemaham karena tidak akan setinggi ilmu Tuhan. Tidak akan terserap semuanya ilmu yang diberikan Tuhan itu. Jika air laut digunakan sebagai tintanya dan tumbuhtumbuhan sebagai penanya, tidak akan cukup untuk menuliskan ilmu dari Tuhan. Oleh karena itu, orang yang baik semakin tinggi ilmunya semakin menyadari kelemahan dirinya. Kudu kawas lmu par Makin berilmu makin bijaksana, tidak sombong. Orang tua sering memberikan pepatah bahwa lebih baik memiliki ilmu daripada memiliki harta. Ilmu tidak berat membawanya: Elmu mah teu beurat mamawana Ilmu tidak akan ada habisnya jika diamalkan. Dengan ilmu kita akan mudah memperoleh harta, tetapi memiliki harta suatu waktu akan habis atau musnah. Uncal teu ridueun ku tanduk Ilmu tidak akan ada habisnya jika diamalkan. Dalam memberikan dan menerima ilmu, terdapat berbagai cara. Orang Sunda beranggapan bahwa ilmu itu janganlah dipamerkan, apalagi mengajari orang tua: Nyiduh ka langit mengajari orang yang lebih tua. Karena itu, dalam beberapa hal orang Sunda suka rendah hati sehingga dianggap kurang baik apabila memberitahu orang yang sudah tahu: Ngebjaan bulu tuur Mengajari orang yang sudah mengetahuinya; Mapatahan ngojay ka meri atau Mapatahan nak ka monyt Mengajari orang yang sudah mengatahuinya. Dalam mencari limu, kemampuan seseorang itu berbeda-beda,

109

ada yang lamban (bodoh) dan ada yang cepat (pintar). Orang Sunda berharap bahwa orang yang belajar itu memiliki otak yang encer: Encr uteuk mudah memahami sesuatu. Pelajaran yang diterima itu harus berbekas: Ulah kawas cai dina daun taleus; atau Ulah kawas cai dina daun bolang Belajar tetapi tidak berbekas. Dalam kehidupan masyarakat Sunda ada anggapan bahwa seorang murid tidak akan melebihi gurunya, terutama dalam hal umur dan pengalaman. Taktak moal ngaluhuran sirah pengalaman anak tidak akan melebihi orang tuanya. Meskipun begitu, dalam kenyataannya seorang murid dapat lebih pintar dari gurunya. Memang seorang murid harus terus mencari sehingga ilmu dan pengalamannya terus bertambah. Oleh karena itu, tidak menjadi masalah jika ada: Sirung ngaluhuran tangkal murid melebihi gurunya sehingga tidak menutup kemungkinan, orang yang berusia muda, tetapi ilmunya sudah tinggi: Leutik-leutik ngagalitik; atau Leutik-leutik g cab rawit Meskipun masih muda, tetapi memiliki kepintaran. Empat Pilar Pendidikan Untuk mencapai catur diri insan, peserta didik harus memiliki empat pilar pendidikan dari UNESCO, yakni (1) belajar mengetahui (learning to know), (2) belajar mengerjakan (learning to do), (3) belajar memiliki (learning to be), dan (4) belajar hidup bersama (learning to live together). Pilar pertama, belajar mengetahui (learning to know) mengkondisikan peserta didik mendapat pengalaman belajar yang menyenangkan dan berbudi pekerti (beretika) luhur. Perhatikan pupuh Maskumambang yang menggambarkan percakapan hati dan pikiran: H barudak kudu mikir ti leuleutik, manh kahutangan, ku kolot ti barang lahir, nepi ka ayeuna pisan. [Hai anak-anak haruslah berpikir sejak kecil, Kamu telah berhutang, Kepada orang tuamu sejak lahir, Sampai masa sekarang ini.] Pilar kedua, belajar mengerjakan (learning to do) menunjukkan bahwa belajar tidak hanya INGAT saja, tetapi harus MENGERTI, surti, bahkan terampil baik verbal maupun non-verbal. Bukan belajar tatabahasa (gramatika), tetapi langsung berkomunikasi. Anak-anak harus cas-cs-cos (piawai berbahasa), serta ditugasi supaya pokpk-prak (langsung praktek berbahasa). Pilar ketiga, belajar memiliki (learning to be) menjelaskan bahwa

110

kemampuan atau keterampilan lahir dan batin harus menjadi milik pribadi peserta didik. Peserta didik membentuk pemahamannya sendiri (students learn best by actively constructing their own understanding). Dengan cara begitu, peserta didik diharapkan mampu memasuki Gapura Panca waluya (gerbang lima kesempurnaan hidup), yakni kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Terbentuk insan yang nyunda, nyantri, dan nyantika, menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) unggul dengan lima penanda utamanya disebut Panca Rawayan yang indikatornya berupa keadaan Cageur-Bageur-Bener-Pinter-Singer. Pilar keempat, belajar hidup bersama (learning to live together) mengacu kepada belajar berkelompok. Dengan cara berkelompok, peserta didik bekerja bersama-sama (rempug jukung sauyunan; ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak), belajar saling mengisi atau silih ldan (sharing). Inilah kunci utama Tri-SILAS atau silih asihsilih asah silih asuh). Silih asih merupakan tingkah laku yang memperlihatkan rasa kasih sayang yang tulus. Dengan maksud mewujudkan suatu kebahagiaan di antara mereka. Asih menuntut kejujuran, dedikasi, kemampuan berdisiplin, kesabaran, ekspresi diri, dan ekspresi rasa keindahan. Substansi silih asih cenderung kepada kualitas intrinsik yang berada dalam batiniah seseorang. Bila rasa asih telah bersemayam dalam batiniah setiap pendidik, maka hubungan sosial kelas pun akan selalu dilandasi dengan getaran-getaran keindahan nilai manusiawi yang selaras dan harmonis, yang berakhir pada kebahagiaan bersama sebagaimana tertuang dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang berbunyi Ngertakeun bumi lamba yakni mensejahterakan alam dunia. Silih asah adalah saling mencerdaskan, saling menambah ilmu pengetahuan, memperluas wawasan dan pengalaman lahir batin untuk peningkatan kualitas kemanusiaan dalam segala aspeknya, baik pada tataran kognisi, afeksi, spiritual, maupun psikomotor. Silih asah bertujuan mempersiapkan SDM agar mampu mengatasi tantangan dan masalah yang dihadapinya. Hal ini sangat penting bagi seorang pendidik agar terjalin komunikasi dan adanya pentransferan yang baik dan lancar antara pendidik dan peserta didik. Silih asah merupakan proses aktivitas antara dua pihak, ada yang berperan sebagai pemberi dan penerima pengetahuan. Asah berarti memiliki visi dan misi, pengendalian diri, alat ukur dalam mencapai tujuan, menuntut kesabaran, memerlukan keterbukaan, memiliki sistem keteraturan,

111

kemampuan mengelola, inovatif, proaktif, pandai berkomunikasi dan bersinergi. Silih asuh mengandung makna membimbing, menjaga, mengayomi, memperhatikan, mengarahkan, dan membina secara saksama dengan harapan agar selamat lahir batin dan bahagia dunia akhirat. Asuh adalah kesederajatan, mampu menghargai, adil, bersifat satria, kebeningan hati, menuntut tanggung jawab dan kebersamaan. Andaikata dicerna secara saksama, makna kearifan lokal yang terkandung dalam silih asih, silih asah, dan silih asuh ternyata sarat dengan nilai kemanusiaan yang universal. Sehubungan dengan proses pendidikan, silih asih dimaknai sebagai mengasihi dengan segenap kebeningan hati, silih asah bermakna saling mencerdaskan kualitas kemanusiaan, sedangkan silih asuh adalah kehidupan yang penuh harmoni. Yargon silih asih, silih asah, dan silih asuh merupakan sistem berinteraksi dalam masyarakat yang mengandung kebersamaan dalam kemitraan dan keterlibatan yang bertanggung jawab. Sikap moral ini harus dimiliki oleh seorang pendidik yang ideal. Seorang pendidik dikatakan baik dan ideal jika telah mampu mensejahterakan peserta didiknya melalui berbagai metode pendidikannya. Akhirnya, tercipta suasana masyarakat tata tengtrem kerta raharja damai dan sejahtera (Suryalaga, 2003:87-106). Berkaitan dengan karakter silih asih, silih asah, dan silih asuh tersebut terdapat pupuh Pucung yang berbunyi: Utamana jalma kudu ra batur, Keur silih tulungan, Silih titipkeun nya diri, Budi akal ngan ukur ti pada jalma. [Yang utama orang harus banyak kawan, U n t u k tolong-menolong, Saling meninitipkan diri, Budi akal hanya berasal dari sesama orang]. Berdasarkan empat pilar pendidikan tersebut, peserta didik dikondisikan agar menjadi teuneung jeung ludeung (berani berbuat berani bertanggung jawab) dalam mengarungi kehidupan. Sikapnya berubah dari sawios abdi mah di pengker (biarlah saya ini di belakang), menjadi berani di barisan terdepan. Sikap acuh tak acuh terhadap belajar disebabkan teu gaduh buku margi teu gaduh artos (tidak punya buku karena tidak punya uang), harus diubah menjadi najan teu gaduh artos, buku tetep ngagaleuh (meskipun tak punya uang, buku tetap terbeli). Hasilnya akan memberi warna kepada seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia yang berkualitas dan berakhlakulkarimah.

112

Masyarakat Indonesia yang berkualitas ditandai dengan enam aspek karakter atau Moral Manusia sebagai berikut. (1) MMT, yakni Moral Manusia terhadap Tuhan, yang ditandai dengan kualitas iman dan taqwa (IMTAQ). (2) MMP, yakni Moral Manusia terhadap Pribadi, yang ditandai dengan kualitas sumber daya manusia (SDM). (3) MMM, yakni Moral Manusia terhadap Manusia lainnya, yang ditandai dengan kesadaran akan adanya masyarakat yang multi-religi, muliti-etnis dan multikultur. (4) MMA, yakni Moral Manusia terhadap Alam, yang ditandai dengan kesadaran ekologi/ekosistem dan geopolitis/ kewilayahan. (5) MMW, yakni Moral Manusia terhadap Waktu, yang ditandai dengan kesadaran akan adanya waktu linear, waktu cyclis, dan waktu baqa. (6) MMLB, yakni Moral Manusia dalam mencapai kesejahteraan Lahir Batin, yang ditandai dengan kesadaran Etika dan Estetika. Hubungan empat pilar pendidikan dari Unesco dengan pendidikan karakter Sunda terlihat dari empat hal, yakni: (1) learning to know berkaitan dengan karakter pinter, (2) learning to do berkaitan dengan karakter singer, (3) learning to be berkaitan dengan karakter pangger, dan (4) learning to live together berkaitan dengan karakter cageur, bageur, dan bener. Hasil pendidikan tersebut dapat dicapai apabila dilakukan melalui proses pembelajaran yang tri-SILAS, yakni silih asih, silih asah, jeung silih asuh. Ranah Kompetensi Pendidikan Kompetensi yang dihasilkan melalui pendidikan meliputi tiga ranah (domain), yakni (1) ranah kognitif, (2) ranah afektif, dan (3) ranah psikomotor. Ketiga ranah kompetensi tersebut dapat dikaitkan dengan pendidikan karakter Sunda jelema masagi, yang mampu memasuki gapura panca waluya, yakni jelema anu cageur, bageur, bener, pinter, tur singer, diikuti dengan karakter pangger. Apabila gapura panca waluya dihubungkan dengan tiga ranah kompetensi akan tampak bahwa (1) ranah kognitif berkaitan dengan karakter pinter (pintar); (2) ranah

113

psikomotor berkaitan dengan karakter singer (terampil); dan (3) ranah afektif berkaitan dengan karakter cageur, bageur, bener, tur pangger (sehat, baik hati, benar, dan kukuh). Ketiga ranah kompetensi pendidikan (kognitif, afektif, dan psikomotor) yang menghasilkan jelema masagi, yakni jelema anu cageur, bageur, bener, pinter, tur singer tersebut, harus dilakukan melalui proses pembelajaran yang tri-SILAS, yakni silih asih, silih asah, dan silih asuh. Orang Sunda tidak mengharapkan pendidikan itu menghasilkan peserta didik yang pandai tetapi berbuat seperti orang bodoh. Ulah pinter aling-aling bodo Orang pandai berbuat seperti orang bodoh, tetapi menghasilkan jelema masagi manusia paripurna. Pascawacana Ungkapan tradisional mengandung nilai kearifan lokal seperti nilai karakter bangsa. Nilai kearifan lokal harus dijaga, diwariskan, dan dilestarikan. Upaya mewariskan kearifan lokal dapat dilakukan melalui proses pendidikan. Melalui proses pendidikan diharapkan tercipta jelema masagi manusia paripurna yang cageur, bageur, bener, pinter, singer, tur panger sehat, baik hati, benar, pintar, terampil, dan kukuh. Upaya itu dapat dilakukan melalui proses pendidikan yang tri-SILAS, yakni silih asih, silih asah, dan silih asuh. Antara pendidik dan peserta didik terjadi hubungan yang harmonis (sauyunan), sehingga berlangsung pendidikan yang menyenangkan: ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak atau sareundeuk saigel, sabobot sapihanean, sabata sarimbagan seia sekata dalam ucapan dan tindakan.

DAFTAR PUSTAKA
Dananjaya, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor. Djajawiguna, H.I. Buldan & Kadarisman. 1982. Babasan jeung Paribasa Sunda. Bandung: Pustaka Buana. Sudaryat, Yayat dkk. 2004. Manifestasi Unsur-unsur Budaya dalam Ungkapan Tradisional Sunda. Bandung: Lemlit IKIP. Sudaryat, Yayat. 1994. Ulikan Semantik Sunda. Bandung: Geger Sunten. Sudaryat, Yayat. 2007. Makna dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya. Suryalaga, Hidayat. 2003. Kasundaan Rawayan Jati. Bandung: Wahana Raksa Sunda. Suryalaga, Hidayat. 2010. Filsafat Sunda. Bandung: Yayasan Nur Hidayah. Warnaen, Suwarsih dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda. Bandung: Sundanologi.

114

LAMPIRAN Kesesuaian antara empat pilar pendidikan Unesco dan pendidikan karakter Sunda dapat digambarkan pada bagan berikut. Bagan 1: Kesesuaian Karakter dengan Empat Pilar Pendidikan Unesco
Jelema masagi Learning to know Learning to do Learning to be Afektif Silih asih Silih asah Silih asuh Pinter Singer Pangger Cageur, Bageur,

Kesesuaian antara ranah kompetensi dengan pendidikan karakter Sunda tampak pada bagan berikut. Bagan 2: Kesesuaian Karakter dengan Ranah Kompetensi
Ranah Kompetensi Jelema masagi Pinter Silih asih Silih asah Afektif Silih asuh
Cageur, Bageur, Bener, Pangger

Kognitif Psikomotor

Singer, rapekan

115

GEGURITAN MANIGUNA : Transformasi Feminisme dalam Membangun Pendidikan Karakter


Ida Ayu Putu Purnami Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
Pendahuluan ecara umum sastra Bali dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: sastra Bali Purwa dan sastra Bali Anyar. Sastra Bali Purwa adalah warisan sastra Bali yang mengandung nilai-nilai tradisional masyarakat pendukungnya, contohnya: geguritan, kakawin, kidung. Sastra Bali Anyar adalah sastra yang mengandung unsur-unsur masukan yang baru dari kebudayaan (sastra) modern, contohnya: cerpen, novel, cerber, novelat (Granoka, 1981 : 3). Bali adalah salah satu daerah yang banyak menyimpan naskahnaskah lama. Naskah tersebut bisaanya disimpan di tempat-tempat formal, seperti : Gedong Kirtya Singaraja, Kantor Dokumentasi Budaya Bali, Perpustidakaan Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Perpustidakaan Dwijendra, Museum Bali, Perpustidakaan Institut Hindu Dharma Denpasar dan lain-lain. Selain itu, ada juga yang disimpan pada tempat informal, yakni pada rumah-rumah penduduk, geria, jero, maupun puri, sebagai koleksi pribadi. Naskah-naskah tersebut memuat berbagai macam nilai yang luhur dan berharga yang dapat dijadikan cerminan atau pedoman pada masyarakat sekarang ini. Memperhatikan banyak dan beragamnya isi naskah Bali, para pakar kemudian mengklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Friederich (dalam Agastia, 1985:2) membagi Kesusastraan Bali menjadi 3 golongan, yaitu: (1) Karangan Sanskrit, (2) Karangan-Karangan Kawi, dan (3) Karangan-Karangan Jawa Bali. Geguritan sebagai salah satu kesusastraan Bali tradisional merupakan suatu bentuk karya sastra yang dibentuk oleh pupuhpupuh. Pupuh-pupuh tersebut diikat oleh beberapa syarat yang bisaa disebut padalingsa, yang meliputi banyaknya baris dalam tiap-tiap bait (pada), banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap barisnya (Agastia, 1980 : 17). Geguritan merupakan sebuah puisi naratif, karena di lihatdari segi bentuk adalah puisi sedangkan dari segi isinya adalah bercerita (naratif). Ditinjau dari segi isi cerita amatlah beragam, bahkan sering dipakai lakon dalam seni-

116

seni pertunjukan. Adapun salah satu karya sastra geguritan yang sangat menarik untuk di kaji dari nilai-nilai feminisme adalah Geguritan Maniguna. Geguritan Maniguna merupakan sebuah karya sastra Bali tradisional yang dibangun oleh pupuh-pupuh dalam bentuk variatif. Geguritan Maniguna memiliki keunikan tersendiri dibandingkan geguritangeguritan yang lain yakni terletidak pada struktur ceritanya, dimana tokoh wanita yang bernama Diah Arini sangat berperan dalam cerita ini, bukan Maniguna yang menjadi pusat cerita. Meskipun pada judul itu terlihat nama Maniguna, namun pada ceritanya justru Diah Arini yang memegang peranan penting dalam cerita ini. Dimana cerita geguritan ini mengisahkan tentang emansipasi wanita, sosok wanita lebih ditonjolkan dan memiliki peranan yang sangat penting dalam geguritan ini. Adapun nilai-nilai feminisme yang terdapat pada geguritan Maniguna adalah wanita sebagai yaitu wanita sebagai pujaan, dimana wanita sering di puja-puja dan didambakan oleh seorang pria. Wanita sebagai istri yang setia, dimana kesetiaan wanita terhadap suami sudah menjadi suatu ajaran, sudah merupakan etos yang ditanamkan pada wanita melalui pendidikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Selain itu aspek lain yang tercermin dalam geguritan ini adalah wanita sebagai perebutan kaum pria, dalam konteks seorang wanita yang sudah jelas menikah kemudian diinginkan oleh laki-laki lain dengan cara tipu dayanya atau dengan kekerasan. Selanjutnya aspek wanita sebagai penyelamat atau pelindung, dimana wanita sering dilukiskan sebagai sosok yang anggun dan lemah lembut, namun dibalik keanggunan dan wanita memiliki jiwa pemberani yang dapat menyelamatkan dan melindungi dirinya sendiri, keluarga maupun orang lain. Adapun nilai-nilai tersebut masih tercermin pada era sekarang ini. Dalam tulisan ini akan dicoba menyajikan nilai-nilai feminisme yang terdapat pada geguritan Maniguna serta transformasi nilainilai feminisme dalam membangun pendidikan karakter siswa atau mahasiswa pada jaman sekarang ini. Sajian ini tentunya dapat dijadikan pedoman pada masyarakat, para siswa atau mahasiswa pada khususnya, agar senantiasa mampu menjadi panutan, bertingkah laku sesuai dengan norma agama. Pembahasan Dalam uraian ini akan dideskripsikaan tentang nilai-nilai feminisme yang terdapat dalam geguritan Maniguna yakni (1)

117

wanita sebagai pujaan, (2) wanita sebagai istri yang setia, (3) wanita sebagai perebutan kaum pria dan (4) wanita sebagai penyelamat atau pelindung. Selain itu juga akan dibahas transformasi nilai feminisme dalam membangun pendidikan karakter, di mana nilai-nilai feminisme yang terdapat dalam geguritan Maniguna dikaitkan dengan perilaku siswa atau mahasiswa pada jaman sekarang. Nilai-Nilai Feminisme dalam Geguritan Maniguna Adapun nilai-nilai feminisme yang terdapat pada geguritan Maniguna adalah 1. Wanita sebagai pujaan Wanita sebagai pujaan, dimana sosok wanita sangat didambakan dan dimimpikan kehadirannya oleh seorang pria. Tidak sedikit dari seorang pria mampu melakukan segala cara untuk dapat menaklukkan hati wanita pujaannya untuk dijadikan pujaan hati maupun tambatan hati. Wanita dianugrahi ragawi yang indah yang tidak dimiliki oleh seorang pria. Dalam geguritan ini diceritidakan tokoh utama wanita yang bernama Diah Arini memiliki wajah yang cantik, kecantikannya tiada tara sehingga mampu menaklukkan hati para pria yang melihatnya. Selain kecantikan ragawi yang dimilikinya, Diah Arini juga dilukiskan sebagai wanita yang cerdas. Sangat sempurna jika kita melihat sosok dari Diah Arini, sehingga banyak pria yang terpesona dengan kecantikannya dan jatuh hati kepadanya. Hal ini tampak ketika Maniguna jatuh hati kepadanya, Maniguna melakukan segala cara untuk dapat menaklukkan hati pujaan hatinya. Selain itu, para raja pun terpesona dengan kecantikan dari Diah Arini. Mereka ikut berebut dan menggunakan berbagai cara untuk dapat memperistri Diah Arini. 2. Wanita sebagai istri yang setia Citra wanita sebagai istri yang setia boleh dikatidakan menjadi tema yang umum dalam kesusastraan Bali. Kesetiaan wanita terhadap suami sudah menjadi suatu ajaran, sudah merupakan etos yang ditanamkan pada wanita melalui pendidikan nilai-nilai dalam kehidupan seharihari masyarakat Bali, yang proses internalisasinya (pendalaman nilai budaya) dilakukan melalui karya sastra. Dalam geguritan Maniguna kesetiaan seorang wanita terhadap suaminya terlihat ketika Diah Arini yang ditinggal pergi oleh suaminya, kemudian ada seorang raja bernama Raja Nandana yang hendak menjadikannya istri. Sang raja sanggup memberikan segala kemewahan yang ada di istana, namun Diah Arini tidak tergoda dengan kemewahan yang ada. Dia

118

tetap setia terhadap suaminya, dan pada waktu suaminya (Maniguna) meninggal karena dibunuh oleh Raja Nandana, Diah Arini tetap setia menemani dan mengobati suaminya. Sikap Diah Arini mencerminkan sosok wanita yang memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap suaminya, walaupun suaminya telah meninggal tetapi dia tetap ingin bersama. 3. Wanita sebagai perebutan kaum pria Wanita sering yang menjadi korban kekerasan dan kekuasaan, apakah kekuasaan dalam arti lembaga pemerintahan ataupun kekuasaan laki-laki sering menjadi tema dalam karya-karya satra Bali tradisional. Dalam konteks tersebut wanita sering ditampilkan sebagai makhluk yang sering diperebutkan oleh kaum pria, yang dimaksudkan diperebutkan di sini adalah seorang wanita yang sudah jelas menikah kemudian diinginkan oleh laki-laki lain dengan cara tipu dayanya atau dengan kekerasan. Pada geguritan Maniguna, Diah Arini menjadi tokoh yang diperebutkan oleh para raja. Diah Arini sudah syah menjadi istri dari Maniguna, namun karena kecantikannya yang sangat mempesona, Raja Nandana jatuh hati kepada Diah Arini. Sang raja sangat marah ketika mengetahui Maniguna adalah suami dari Diah Arini, dan sang raja pun memerintahkan pengawalnya untuk membunuh Maniguna serta membawa kabur Diah Arini ke istana untuk dijadikan istri. Diah Arini kembali menjadi korban perebutan kaum pria, diawali dengan Raja Canda yang tertarik melihat kecantikan Diah Arini. Sang raja berusaha memisahkan Diah Arini dengan suaminya yaitu dengan cara membuang Maniguna ke tengah lautan, setelah itu sang raja lalu membawa Diah Arini ke istana untuk dijadikan istrinya.

4. Wanita sebagai penyelamat atau pelindung Ada sesuatu yang unik yang ditampilkan oleh pengarang pada cerita geguritan Maniguna ini, dimana seorang wanita memiliki jiwa pemberani yang mampu membunuh musuh-musuhnya. Wanita sering dilukiskan sebagai sosok yang anggun dan lemah lembut, namun dibalik keanggunan dan kelemah lembutannya tidak jarang wanita memiliki jiwa pemberani yang dapat menyelamatkan dan melindungi dirinya sendiri, keluarga maupun orang lain. Diah Arini yang merupakan tokoh utama dari geguritan Maniguna mempunyai jiwa pemberani untuk menyelamatkan dirinya sendiri maupun suaminya. Diawali dengan kematian suaminya yang dibunuh sangat kejam oleh para raja yang ingin memperistri dirinya. Dengan berbekal rasa sakit hati dan

119

rasa cinta terhadap suaminya, Diah Arini berusaha menyelamatkan hidupnya dari paksaan sang raja yang ingin memperistrinya. Diah Arini memanfaatkan ragawi yang dimilikinya, dengan kecerdasan dan kecantikan yang dimilikinya, Diah Arini akhirnya berhasil membunuh Raja Nandana. Serta dengan tipu dayanya Diah Arini berhasil mencari tahu kelemahan dari sang raja, dan akhirnya Diah Arini berhasil membunuh Raja Canda. Selain dapat menyelamatkan dirinya dari para raja yang hendak memperistrinya, Diah Arini juga dapat menyelamatkan suaminya. Dengan berbekal petunjuk dari Tuhan, Diah Arini dapat menghidupkan kembali suaminya yang telah dibunuh oleh Raja Nandana dan Raja Canda. Transformasi Nilai Feminisme dalam Membangun Pendidikan Karakter Adapun yang menjadi sasaran di dalam membangun pendidikan karakter di sini adalah siswa atau mahasiswa. Seperti yang kita ketahui, pada jaman sekarang ini ada beberapa perilaku siswa atau mahasiswa yang tidak sesuai dengan norma agama. Pada kesempatan ini akan di bahas seperti apa nilai feminisme yang terdapat pada geguritan Maniguna jika dikaitkan dengan perilaku siswa atau mahasiswa pada jaman sekarang. Wanita sebagai pujaan, di mana seorang wanita yang memiliki kecantikan ragawi akan di puja-puja oleh kaum pria. Seorang pria akan melakukan segala cara untuk dapat menaklukkan hati wanita yang di sukainya. Dalam geguritan Maniguna di ceritidakan, Diah Arini dilukiskan sebagai wanita yang sangat cantik dan menjadi pujaan kaum pria, banyak pria yang jatuh hati karena kecantikannya, tidak hanya dari rakyat bisaa, kaum bangsawan seperti raja pun sangat mengagumi kecantikan yang dimiliki oleh Diah Arini. Namun Diah Arini masih tetap bisa membawa dirinya, dia tidak memanfaatkan kecantikan yang dimiliki untuk memanfaatkan seorang pria. Dia tetap memilih pria yang pas menurut kata hatinya, tidak memandang pria itu berasal dari keturunan bangsawan atau rakyat bisaa, miskin atau kaya, tampan atau jelek. Namun jika di lihat pada jaman sekarang ada beberapa perilaku siswa atau mahasiswa yang tidak sesuai dengan norma agama. Mereka memanfaatkan kecantikan yang di milikinya untuk menaklukkan pria yang berduit. Tidak jarang dari mereka rela di jadikan sebagai wanita simpanan, asalkan kebutuhan hidup mereka terjamin. Ada juga yang memanfaatkan kecantikannya untuk menipu maupun mencuri demi mendapatkan uang agar bisa berpoya-poya membeli kebutuhan mereka. Sungguh di sayangkan perilaku siswa

120

atau mahasiswa seperti itu, alangkah baiknya kecantikan yang di miliki tidak di salah gunakan dan harus di imbangi dengan kecantikan dari dalam yaitu memiliki moral yang bagus. Namun tidak sedikit dari siswa atau mahasiswa yang memanfaatkan kelebihan ragawi yang di miliki untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat seperti ikut dalam pemilihan putra-putri kampus, putri Indonesia, ataupun kegiatan lainnya. Wanita sebagai istri yang setia, dimana setiap wanita harus mempunyai pemikiran untuk setia terhadap pasangannya. Dalam geguritan Maniguna di ceritakan, Diah Arini adalah seorang wanita yang sangat menjungjung kesetiaan terhadap pasangannya. Meskipun banyak pria yang ingin menjadikannya istri, namun Diah Arini tetap memilih Maniguna sebagai pasangan hidupnya. Seberapa besar cobaan yang datang kepada mereka, dengan ketulusan hatinya Diah Arini tetap mendampingi suaminya, ia tidak pernah mengeluh terhadap cobaan yang menimpa rumah tangganya. Jika di lihat perilaku siswa atau mahasiswa sekarang, tidak sedikit dari mereka yang mulai mengindahkan kesetiaan. Hal ini dapat di lihat dari siswa atau mahaasiswa yang memiliki pasangan lebih dari satu. Tidak jarang dari mereka justru merasa bangga karena memiliki banyak pasangan, karena merasa paling cantik atau paling terkenal di sekolah atau kampus bahkan di masyarakat. Memiliki banyak pasangan bagi sebagian siswa atau mahasiswa menjadi prestise tersendiri bagi mereka. Ada beberapa Terlebih lagi untuk pasangan remaja yang terhalang oleh jarak yang memisahkan mereka, kesetiaan itu hanya sebatas wacana. Mereka akan melakukan perselingkuhan dengan alasan yang tidak masuk di akal. Kecanggihan teknologi seakan tidak ada artinya lagi, padahal dengan teknologi canggih seperti sekarang, jarak seakan tidak menjadi penghalang pada sebuah hubungan. Gontaganti pasangan apalagi mengarah pada pergaulan bebas, tentu sangat berbahaya. Tidak sedikit dari siswa atau mahasiswa yang terpaksa berhenti sekolah ataupun kuliah karena hamil. Ada juga beberapa kasus di mana para siswa atau mahasiswa melahirkan anak tanpa di akui kehamilannya oleh seorang pria dengan berbagai alasan. Kalau sudah seperti ini tentu wanita yang menjadi korban, oleh sebab itu sebagai seorang wanita hendaknya pintar-pintarlah membawa diri agar jangan salah pergaulan. Kesetiaan harus mulai di tanamkan sejak dini pada siswa atau mahasiswa, karena akan berdampak pada kehidupan rumah tangga mereka kelak. Namun di balik permasalahan ini, tentu masih ada perilaku siswa atau mahasiswa yang masih menjungjung nilai kesetiaan, tidak sedikit dari mereka yang menjalin hubungan

121

hanya pada satu orang saja selama hidupnya. Wanita sebagai perebutan kaum pria, dalam konteks tersebut wanita sering ditampilkan sebagai makhluk yang sering diperebutkan oleh kaum pria, yang dimaksudkan diperebutkan di sini adalah seorang wanita yang sudah jelas menikah kemudian diinginkan oleh laki-laki lain dengan cara tipu dayanya atau dengan kekerasan. Pada geguritan Maniguna, Diah Arini menjadi tokoh yang diperebutkan oleh para raja. Meskipun status Diah Arini sudah jelas menjadi istri dari Maniguna, namun karena kecantikannya yang sangat mempesona, Raja Nandana jatuh hati kepada Diah Arini. Sang raja sangat marah ketika mengetahui Maniguna adalah suami dari Diah Arini, dan sang raja pun memerintahkan pengawalnya untuk membunuh Maniguna serta membawa kabur Diah Arini ke istana untuk dijadikan istri. Diah Arini kembali menjadi korban perebutan kaum pria, diawali dengan Raja Canda yang tertarik melihat kecantikan Diah Arini. Sang raja berusaha memisahkan Diah Arini dengan suaminya yaitu dengan cara membuang Maniguna ke tengah lautan, setelah itu sang raja lalu membawa Diah Arini ke istana untuk dijadikan istrinya. Jika kita melihat pada masa sekarang, para siswa atau mahasiswa banyak yang terlibat perkelahian bahkan tidak sedikit dari mereka yang terlibat perkelahian yang mengarah pada tawuran antar geng, antar desa, antar banjar (di Bali), dimana akar permasalahannya adalah memperebutkan wanita. Kehadiran wanita bisa menjadi penyejuk dalam kehidupan seseorang dan kehadirannya dapat pula menjadi masalah bagi sebagian orang. Sebagai generasi muda yang hidup di jaman globalisasi, hendaknya para siswa atau mahasiswa mampu menjaga perilaku agar tidak melanggar dari norma agama. Agar kehadiran seorang wanita tidak danggap sebagai pengacau ataupun penghancur dalam kehidupan kaum pria. Kekuasaan dan harta menjadi modal yang kuat untuk melakukan kekerasan terhadap wanita. tidak sedikit dari para siswa dan mahasiswa menjadi korban kekerasan seorang pria. Para pria tidak segan-segan melukai pasangannya hanya karena masalah kecil, banyak juga dari kaum wanita yang enggan melaporkan perbuatan pasangannya karena alasan cinta. Inilah yang menjadi boomerang, mengapa kaum pria tidak sedikit yang lolos dari jeratan hokum akibat penganiyayaan maupun kekerasan terhadap wanita. Di harapkan para siswa atau mahasiswa sekarang bisa membedakan antara perasaan dengan logika, mereka dapat menegakkan keadilan dan mampu mengambil sikap tegas jika mendapatkan perlakuan kasar dari pasangannya. Wanita sebagai penyelamat atau pelindung, adapun pengertian

122

sebagai penyelamat atau pelindung adalah di mana seorang wanita mampu menjadi penyelamat pasangannya dari perbuatan yang melanggar norma agama, sebagai pelindung keluarganya. Pada geguritan Maniguna, diceritidakan bahwa Diah Arini mampu menjadi penyelamat maupun pelindung suaminya dari perilaku kejam sang raja. Berbekal kecerdasan dan kecantikan yang di miliki oleh Diah Arini, ia berhasil memperdayai raja hingga raja-raja tersebut meninggal. Selain itu diceritidakan juga bagaimana perjuangan Diah Arini untuk menyelamatkan suaminya dari kematian, berbekal tekad yang kuat dan rasa cinta yang tulus terhadap suami, Diah Arini berhasil menyelamatkan suaminya dari kematian. Jika kita melihat cerminan nilai tersebut pada jaman sekarang, tentu ada beberapa yang sudah mengalami pergeseran. Tidak sedikit dari perilaku siswa atau mahasiswa yang justru menjerumuskan pasangannya ke hal-hal yang bersifat negative seperti mengkonsumsi narkoba, mabuk-mabukan, serta pergi ke tempat-tempat hiburan malam sehingga pelajaran atau kuliah mereka terlantar. Mereka seakan tidak mementingkan masa depan, karena prinsip hidup mereka, hidup cuma sekali jadi harus di nikmati dan di pakai untuk bersenang-senang. Yang lebih parah jika perilaku mereka tidak di awasi oleh orang tua, karena alasan sibuk berkarir, para orang tua sering memanjakan anak dengan materi. Hal inilah yang menjadi permasalahan mengapa kenakalan remaja sering terjadi, karena lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak-anak mereka. Terlepas dari kasus tersebut, tidak sedikit dari para siswa atau pun mahasiswa yang justru bisa menjadi penyelamat atau pelindung bagi keluarga dan pasangannya. Tidak sedikit dari mereka yang berusaha membantu menjadi tulang punggung di keluarga. Bekerja keras demi dapat menyelesaikan pendidikan, bekerja keras demi menolong orang tua yang sakit dan lainnya. Bagi siswa atau mahasiswa yang mempunyai pasangan pecandu narkoba, pemabuk, perokok, penjudi, mereka mampu berperan sebagai penyelamat dengan menyadarkan pasangan mereka untuk dapat terlepas dari obat-obatan terlarang, minum-minuman keras, rokok dan judi. Tidak sedikit dari mereka yang berhasil mengarahkan pasangannya menuju jalan yang benar, memikirkan masa depan dan mewujudkan cita-cita mereka. Dalam hal pendidikan, tidak sedikit dari para siswa atau mahasiswa yang membantu pasangannya dalam hal pendidikan. Membantu pasangannya dari segi moril, membantu mengajarkan materi pelajaran atau perkuliahan yang tidak di mengerti oleh pasangannya, agar mendapatkan nilai ujian yang memuaskan. Keberhasilan seorang siswa atau mahasiswa mengarahkan pasangannya untuk lulus dalam

123

ujian nasional, menyelesaikan skripsi atau tesis tepat waktu. Peran wanita sangat besar dalam hal ini, ada pepatah yang menyebutkan suksesnya seorang pria karena wanita, hancurnya seorang pria pun karena seorang wanita. Penutup Berdasarkan apa yang sudah di paparkan di atas, banyak sekali nilai-nilai feminisme yang terdapat dalam geguritan Maniguna dapat di jadikan dasar dalam bersikap serta bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama. Nilai-nilai feminisme tersebut antara lain, wanita sebagai pujaan, wanita sebagai istri yang setia, wanita sebagai perebutan kaum pria dan wanita sebagai penyelamat atau pelindung. Seperti halnya wanita sebagai pujaan, di mana seorang wanita mampu memanfaatkan kecantikan yang mereka miliki untuk hal-hal bersifat positif. Wanita sebagai istri yang setia, di mana seorang wanita harus mampu menjungjung tinggi kesetiaan terhadap pasangannya, itu menjadi modal yang kuat dalam membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis. Wanita sebagai perebutan kaum pria, di mana dengan kelebihan yang di miliki oleh seorang wanita mampu menyelamatkan diri dari orang-orang yang berbuat jahat. Wanita sebagai penyelamat atau pelindung, di mana kehadiran seorang wanita mampu melindungi keluarga, teman, pasangan serta orang-orang di sekitarnya. Transformasi nilai feminisme dalam membangun pendidikan karakter, dikaitkan dengan perilaku siswa atau mahasiswa pada jaman sekarang. Tak sedikit dari mereka yang mulai berjalan di jalan yang salah, namun tak sedikit juga dari mereka yang masih mampu memepertahankan nilai-nilai feminisme tersebut. Harapan ke depannya, melalui nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam karya sastra, para siswa atau mahasiswa mampu mengamalkan nilai-nilai yang bermanfaat dan dijadikan dasar untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agama. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam karya sastra tersebut dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat mencetak sumber daya manusia yang memiliki moral yang bagus, memiliki sopan santun dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

DAFTAR PUSTAKA
Agastia,Ida Bagus Gede.1980. Geguritan Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali. Untuk Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian Bali ke-2, 9 Juli 1980.

124

__________.1985. Keadaan dan Jenis-jenis Naskah Bali. Yogyakarta: Makalah Untuk Seminar Bahasa, Sastra, Etika, dan Seni Jawa, Bali dan Sunda. Proyek Javanologi departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan. Bandel, Katrin. 2009. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra. Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: INSISTPress. Putra, I Nyoman Darma. 2007. Wanita Bali Tempo Doeloe. Denpasar: Pustaka Larasan. Robson, S.O. 1978. Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia Dalam Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa Bandung

125

INFERENSI UNGKAPAN TRADISIONAL JAWA BENTUK PENJAGA KARAKTER BANGSA


Sri Harti Widyastuti Universitas Veteran Bantara Suharti
A. Latar Belakang Masalah ewasa ini, persoalan karakter bangsa mengemukakan kembali seiring bermunculannya aneka persoalan yang berkaitan dengan perilaku para pemimpin. Pemimpin yang seharusnya mengemban amanah rakyat dan menjadi panutan setelah didukung oleh rakyat dengan semangat dan kesetiaan yang tak berbatas pada satuan proses pemilihannya. Justru setelah jadi pemimpin tidak menunjukkan karakter pemimpin tetapi justru mengecewakan rakyat. Perjuangan rakyat sudah diabaikan dan tidak ada bekasnya. Dengan cepat sebagian pemimpin justru terlena pada kekuasaan dan ingin cepatcepat mencari biaya yang telah dikeluarkan. Untuk menutupnya adalah dengan mengambil keuntungan dengan cara cepat, bahkan uang rakyat pun tanpa sadar ikut diambilnya. Fenomena yang terjadi di negara ini terjadi karena lemahnya karakter, baik yang dimiliki oleh para pemimpin di pusat maupun di daerah. Karakter sebagai pemimpin sudah tidak muncul lagi karena tertutupi dengan nafsu ingin segera hidup enak dalam lingkup industrialis. Nilai-nilai kearifan lokal untuk hidup harmoni dengan memperhatikan pola-pola keseimbangan dengan alam terhadap sesama dengan rambu-rambu nilai-nilai kearifan lokal sebagai penjaga karakter sudah menipis. Menurut berbagai penelitian disimpulkan bahwa kearifan lokal adalah pandangan masyarakat tentang berbagai sudut kehidupan yang sudah mengalami pengujian melalui pengamatan yang terusmenerus selama beberapa generasi. Pandangan tersebut terdeskripsi menjadi kumpulan pengetahuan tentang berbagai hal seperti misalnya ungkapan tradisional, lagu dolanan, upacara tradisi, pola-pola perlakuan terhadap berbagai sektor kehidupan seperti pendidikan anak usia dini, perlakuan terhadap lingkungan alam, pola-pola dalam menjalankan kehidupan melalui profesinya masing-masing seperti cara memasak tradisional yang berkembang pada tradisi tertentu,

126

menanam padi secara tradisional yang masih dilangsungkan sampai saat ini, mengolah tanah pekarangan sesuai dengan peruntukan dan fungsinya yang kemudian menjadi tradisi, dan seterusnya. Kearifan lokal mempunyai fungsi yang sangat besar dalam rangka pembentukan dan penjagaan karakter bangsa. Hal ini disebabkan kearifan lokal sesungguhnya merupakan penjaga harmoni jagad gedhe dan jagad cilik. Salah satu bentuk kearifan lokal yang masih hidup adalah ungkapan tradisional Jawa. Adapun pengertian ungkapan tradisiomal menurut Alan Dundes (dalam Dananjaya, 1982:28) adalah peribahasa dalam bahasa Jawa disebut paribasan yaitu kalimat atau kelompok kata yang tetap susunannya dan mengiaskan suatu maksud tertentu. Padmosoekotjo (1960:13) membedakan paribasan dengan istilah bebasan, paribasan, dan saloka. Larvandes (dalam Dananjaya, 1982:281), menyebut peribahasa adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang, sedangkan Berhand Russer (dalam Dananjaya, 1982:28) menuliskan bahwa paribasan adalah kebijaksanaan orang banyak yang merupakan kecerdasan seseorang. Sumarti Suprayitno (1986:449) menyebut bahwa paribasan adalah ungkapan tradisional yang mempunyai makna apa adanya tidak bermakna kias. Bebasan adalah ungkapan yang bermakna kias. Saloka adalah ungkapan yang mempunyai arti berbalikan. Selanjutnya dalam percakapan sehari-hari ketiga jenis tersebut disebut paribasan. Ungkapan tradisional adalah sarana berbahasa untuk mengungkapkan maksud yang telah dibalut dengan etika dan estetika sehingga makna yang dihasilkan adalah makna yang halus, bila itu digunakan untuk menasehati atau menegur maka hal itu tidak kentara sebagai sebuah teguran. Ungkapan tradisional menunjukkan etika berbahasa masyarakat Jawa. (Hendrokumoro, 2010:3), menyebutkan ajaran etika sama dengan pepali, unggah-ungguh, subasita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, paranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, warsita, wewarah, duga prayoga, wewalir, dan pitungkas. Dalam masyarakat Jawa terdapat pandangan bahwa orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, dapat menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa, dan juga genturing tapa (Hendrokumoro, 2010:3). B. Pendidikan Karakter Pada masa lalu dikenal istilah pendidikan budi pekerti. Masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi pengolahan budi pekerti, terbukti munculnya genre piwulang dan niti dalam karya sastra Jawa. Karya

127

sastra yang berjenis niti dan piwulang ini dalam karya sastra Jawa ditulis dengan tulisan tangan yang kemudian sering dikenal sebagai naskah dalam istilah filologi. Adapun piwulang yang banyak dituliskan adalah piwulang kepada manusia, agar supaya selamat di dunia dan akherat. Demikian pula naskah Jawa membicarakan piwulang yang mengandung pesan moral agar berterima di lingkungan sosial, menjadi ayah atau suami yang baik, menjadi istri atau ibu yang baik, menjadi abdi yang baik, bagaimana mendidik anak dan piwulang tentang sangkan paraning dumadi. Bila dicermati pendidikan budi pekerti ini adalah sama dengan pendidikan karakter.Para pakar yang kemudian mengolah peristilahan tersebut sehingga dewasa ini isu tentang pendidikan karakter menjadi topik hangat di berbagai lembaga pendidikan. Adapun pengertian pendidikan karakter dijabarkan sebagai berikut. Menurut Ditjen Dikdasmen (2000:5) dan Lebranc (2009:13) menyebut bahwa pendidikan karakter sama dengan pendidikan afektif, karena esensi pendidikan budi pekerti identik dengan pendidikan karakter. Lebih lanjut Hill (dalam Suwarna, 2011:7), menyebut bahwa pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku. Karakter yang baik merupakan motivasi untuk berbuat baik, setuju terhadap perilaku berbudi luhur dalam setiap situasi. Menurut Leblanc (dalam Suwarna, 2011:8), pendidikan karakter meliputi aspek pendidikan: 1) respect (sikap hormat); 2) honesty (ketulusan); 3) self control (disiplin); 4) integrity (integritas, jujur dan dapat dipercaya); 5) perseverance (kegigihan); 6) empathy (empati, dapat merasakan perasaan orang lain); 7) forgiveness (pemaaf); 8) tolerance (toleransi); 9) politeness (kesantunan); 10) sportiveness (sportif, mentaati aturan); dan 11) humility (rendah hati). Lebih lanjut Leblanc (dalam Suwarna, 2011:8) menyebut The Six Pillars of Character yakni 1) trust wordhiness (keterpercayaan/ dapat dipercaya), yang merupakan bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi berintegritas, jujur, dan loyal. 2) fairness (kejujuran), bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain. 3) caring (kepedulian), bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian pada orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar. 4) respect (menghormati), bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain. 5) citizenskip (sadar hukum), bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam. 6) responsibility (bertanggung jawab), bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.

128

Tanggung jawab mengandung dan mencakup muatan kelima pilar sebelumnya. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter berujung pada terbentuknya manusia yang mempunyai karakter yang dapat dipercaya, jujur, peduli terhadap sesama dan lingkungan, mempunyai sikap menghormati dan menghargai orang lain, sadar dan taat pada peraturan, dan bertanggung jawab. 3. Ungkapan Tradisional sebagai Penjaga Karakter Bangsa Sebagai suatu kearifan lokal yang berasal dari pandangan hidup dan sudah menjadi tradisi turun temurun, maka kearifan lokal dikaitkan dengan pendidikan karakter bangsa mempunyai fungsifungsi. Agar fungsi tersebut dapat maksimal, maka makna dalam ungkapan tradisional tersebut perlu diinferensi agar selaras dengan perkembangan zaman. Pemaksimalan makna akan mengembangkan fungsi kearifan lokal sebagai penjaga karakter bangsa. Adapun fungsi ungkapan tradisional tersebut antara lain sebagai berikut. 1. Mengingatkan untuk tetap menjaga integritas dan loyalitas serta kejujuran, sehingga menjadi orang yang dapat dipercaya. Di bawah ini adalah ungkapan yang mempunyai maksud agar seseorang mempunyai pribadi yang selalu menjaga integritas, memegang komitmen serta menjaga kejujuran. a. Becik ketitik ala ketara Perbuatan baik dan buruk pasti suatu ketika akan dapat diketahui. Oleh karena itu harus tetap menjaga kejujuran, kesetiaan, dan integritas sehingga dapat dipercaya. Apa gunanya tindakan manipulasi, karena pada dasarnya kelicikan, keburukan dan ketidakjujuran suatu ketika pasti akan terbuka. Ungkapan tersebut dapat diinferensi bahwa walaupun tidak diawasi, dimonitor namun secara alami, perbuatan baik pasti akan terbuka dan perbuatan buruk akan diketahui. Oleh karena itu, bahwa semua tindakan menyimpang seperti manipulasi, korupsi, KKN, dan menjatuhkan orang lain karena kecemburuan status pasti suatu ketika akan diketahui. Ungkapan ini dapat menjadi penjaga agar orang hati-hati dalam bertindak, agar orang lain percaya pada loyalitas dan integritasnya. b. Bawa leksana Yang berarti menepati kata-kata, lebih jauh dapat diberi makna bahwa orang Jawa mengajarkan agar manusia

129

menepati janji yang telah terucap dan menjalankan komitmennya.Oleh karena itu para pemimpin hendaknya mempunyai sikap seperti itu, jangan hanya menjadi Lanang kemangi, ibarat laki-laki yang penampilannya bagus tapi tindakan dan komitmen tidak terjaga karena tidak punya kemampuan. c. Aja nggege mangsa Jangan mempercepat waktu. Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa manusia harus menjaga tertib religi, sosial, dan kosmos agar segalanya berjalan melalui proses. Dewasa ini, manusia ingin segala sesuatu berjalan cepat dan instan. Untuk menggapai jalan kesuksesan banyak yang melalui jalan pintas. Tentu untuk itu, maka kejujuran diabaikan. Banyak orang dikorbankan untuk tercapainya kepentingannya. Maka ungkapan aja nggege mangsa merupakan pernyataan dari masyarakat agar dalam hidup tetap memperhatikan proses. 2. Kepedulian terhadap sesama dan lingkungan a. Memayu hayuning bawana Yang artinya adalah menjaga dunia. Secara luas ungkapan tersebut bermakna mewujudkan kesejahteraan dunia. Untuk mewujudkan hal itu, maka harmoni perlu dijaga. Pada tingkat hubungan antar manusia maka harmoni hubungan antara manusia dijaga melalui penjagaan tingkah laku, unggah-ungguh, pengendalian diri agar tidak ada yang tersakiti. Harmoni manusia dengan alam juga perlu dijaga agar tidak terjadi eksploitasi berlebihan, sehingga merusak keseimbangan alam. Manusia berusaha menjaga dan hati-hati ketika memanfaatkan sumber daya alam, tanaman untuk kepentingannya. b. Manunggaling kawula Gusti Dalam konteks ini, ungkapan tersebut mengandung makna bersatunya raja dengan rakyat. Hal itu menggambarkan kepedulian yang harus dimiliki oleh pemimpin, sehingga pemimpin tersebut dekat dengan rakyat atau masyarakatnya. Kedekatan tersebut akan membawa dampak kebaikan bagi institusi yang dipimpinnya, karena pemimpin sangat tahu persoalan rakyat atau bawahannya, sehingga mudah untuk mengatasi, supaya pemimpin bisa diterima di hati rakyat maka pemimpin harus peduli

130

terhadap kebutuhan, persoalan, dan kesiapan rakyat. Tentu hal ini berdampak untuk meminimalisir kerusakan lingkungan. c. Dinunuti wiku manik retno adi Yang artinya orang pandai yang tidak mau mengajari orang lain. Adalah bentuk ungkapan yang bermakna kias berbalikan. Bahwa orang pandai harus peduli dan mau memberikan ilmunya pada orang lain. d. Aja mung milik gebyar Artinya jangan hanya menginginkan segala sesuatu yang serba kemilau. Ungkapan ini mengandung makna bahwa orang harus peduli pada orang lain, lingkungan yang tidak hanya bernuansa material dan kekayaan, namun harus peduli pula pada orang kecil, dan juga situasi yang lebih sederhana karena belum tentu segala sesuatu yang bernuansa megah, mewah, terhormat membuat nyaman dan tenteram hidupnya. 3. Menghormati orang lain a) Aja rumangsa bisa sing bisa rumangsa Ungkapan tersebut mengandung arti lugas, bahwa janganlah merasa mampu tanpa diimbangi dengan memahami dibalik yang dikerjakan tersebut. Inferensi dari arti tersebut adalah orang menjadi arogan dan sombong karena merasa diri hebat bisa melakukan segala galanya, Orang yang demikian tersebut cenderung untuk mengabaikan orang lain, tidak menghormati pemikiran dan sikap orang lain, karena merasa diri serba bisa. Orang tersebut sesungguhnya tidak mengetahui apa yang seharusnya dilaksanakan dan dilakukan. b) Giri lusi janma tan kena ingina Yang artinya tidak boleh menghina sesama (menghormati orang lain), sebab selagi cacing merangkak, akhirnya bisa mencapai puncak gunung juga. Apalagi manusia tidak boleh dihina. Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa manusia harus saling menghormati. Dengan demikian, tidak akan terjadi pertikaian, permusuhan. Masyarakat Jawa sangat menomorsatukan hal hormat-menghormati orang lain, anak, orang muda, siswa menghormati orang tua, orang yang lebih tua, dan gurunya. Demikian sebaliknya,

131

sehingga muncul undha usuk basa dalam bahasa Jawa. 4. Sadar Hukum a) Negara mawa tata, desa mawa cara Ungkapan tradisional tersebut berarti negara mempunyai peraturan adat istiadat dan kebiasaan masing masing yang mungkin sudah menjadi tradisi, Inferensi makna tersebut adalah bahwa setiap anggota masyarakat harus memahami, menghormati adat istiadat masing masing agar terjadi keharmonisan, tidak saling bermusuhan maupun bertengkar. Adanya kefahaman perbedaan didasari oleh adanya kesadaran hukum yang tinggi oleh anggota masyarakat untuk menghormati perbedaan. Hal ini sesungguhnya menjadi konsep multikultur yang cocok dengan keadaan negara Indonesia. b) Aja Nggege Mangsa Ungkapan tersebut berarti jangan mempercepat waktu, memotong waktu sementara proses belum selesai. Inferensi makna selanjutnya adalah manusia Jawa sesungguhnya menjunjung tinggi tertib kosmos dan tertib religi. Dalam menjalani kehidupan manusia seperti melakukan perjalanan atau sulu sehingga memnbutuhkan waktu. Kecenderungan masyarakat sekarang banyak yang melakukan jalan pintas atau bersifat instan untuk mencapai sesuatu, oleh karena itu banyak dilakukan pelanggaran hukum. c) Srengenge pine , banyu kinum, bumi pinendhem Ungkapan tradisional tersebut mempunyai arti lugas matahari dijemur, air direndam bumi dikubur. Semula ungkapan tersebut untuk lingkup pengadilan. Matahari diibaratkan sebagai raja, Banyu diibaratkan sebagai patih dan bumi diibaratkan sebgai jaksa. Masing masing unsur bekerja dengan kesadaran hukum yang tinggi sehingga pada saat mengadili suatu perkara maka pemeriksaannya harus jelas seperti terangnya matahari, putusannya adil seperti jernihnya air dalam gelas. Semua itu dilalui setelah melalui penyelidikan yang teliti dan seksama.

5. Bertanggung Jawab Ungkapan ungkapan yang menyatakan tentang tanggung jawab adalah:

132

a) Anak polah bapa kepradah Ungkapan tersebut mempunyai makna bahwa perilaku anak menjadi tanggung jawab orang tua. Bila anak mempunyai kelakukan yang kurang baik maka orang tua akan merasa bahwa dididikannya tidak baik. Orang tua bertanggung jawab terhadap perilaku anaknya. b) Mikul dhuwur mendhem jero Ungkapan tersebut berarti orang harus bisa menghormati dan mengenang jasa jasa para pemimpin terdahulu, demikian pula meneruskan yang baik dan mengubur yang buruk sebagai bagian tanggung jawab sebagai penerusnya. Semua itu tidak terlepas dari pemikiran bahwa pemimpin tersebut adalah juga manusia yang tidak bisa lepas dari kealpaan. Apa yang dianggap tidak benar harus dilihat pada konteksnya, sehingga penggantinya bisa meneruskan langkah dengan baik, bertanggung jawab sebagai generasi penerus yang mempunyai kearifan. 4. Kesimpulan Ungkapan-ungkapan tradisional yang merupakan mutiara kata dari nenek moyang mengandung pesan moral yang dapat berlaku sepanjang jaman. Ungkapan-ungkapan tradisional tersebut dibuat sebagai petuah, nasehat yang disampaikan secara tersirat dengan memperhatikan estetika bahasa yang tinggi. Seiring dengan tergerusnya akar budaya maka perlu adanya penguatan karakter bangsa. Lebih lanjut karakter bangsa perlu dijaga agar tetap terjaga. Karakter-karakter yang tampak kental pada ungkapan tradisional Jawa adalah pembentukan karakter jujur, menjaga integritas, loyal sehingga dapat dipercaya, mempunyai kepedulian tinggi terhadap sesama, dan lingkungan, menghormati orang lain, sadar hukum dan bertanggung jawab. Untuk memahami ungkapan tradisional tersebut perlu dilakukan inferensi supaya pengembangan makna sesuai dengan konteks dapat maksimal, lebih lanjut masyarakat dapat menerima dan mengaplikasikan dalam tutur dan tindak untuk pembelajaran karakter baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

133

DAFTAR PUSTAKA
Dananjaya, James. 1982. Folklor Indonesia, Jakarta: Grafiti Pers. Ditjen Dikdasmen. 2000. Pesoman Umum dan Nilai Budi Pekerti untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:: Ditjen Dikmenum. Leblanc, Patrice R & Gallava, Nancy P. 2009. Affective Teacher Education. New York: Association of Teacher Educattors. Padmosoekatja. 1960. Ngengrengan Kasusastran Djawa. Yogyakarta: Hien Hoo Sing. Pasya, Lukman. 2011. Butir-butir Kearifan Jawa. Yogyakarta: IN A2 Na Books. Soedarsono. 1986. Kesenian, Bahasa dan Folklor Jawa. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara: Direktorat Jenderal Kebudayaan. Suwarna. 2011. Pembelajaran Bahasa Jawa sebagai Media Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

134

REAKTUALISASI TEMBANG DOLANAN JAWA DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA (KAJIAN SEMIOTIK)
Farida Nugrahani Program Pascasarjana Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
I. Pendahuluan emajuan ipteks dewasa ini terlihat tidak lagi berkorelasi positif bahkan berbanding terbalik dengan tingginya perilaku menyimpang yang merupakan pelanggaran etika sosial masyarakat, dan tata karma pergaulan yang bersumber pada nila-nilai luhur budaya bangsa. Perilaku menyimpang yang banyak dijumpai di tengah-tengah masyarakat antara lain maraknya tindakan anarkis dan main hakim sendiri, merajalelanya praktik korupsi, lumrahnya perilaku asusila, dan pelanggaran etika --yang lebih sederhana-- yaitu ketidaksantunan dalam berbahasa. Dari berbagai pelanggaran etika sosial masyarakat tersebut, semakin mempertegas dugaan bahwa bangsa ini telah mulai kehilangan jati diri, yang ditandai dengan bergesernya nilai-nilai kemanusiaan, keagamaan serta kemampuan masyarakat dalam pengendalian diri dan membina kebersamaan. Masyarakat mulai mengabaikan nilainilai kearifan lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang dalam berinteraksi dan bersosialilasi dengan lingkungannya. Disinyalir hal itu merupakan dampak dari ketidaksiapan masyarakat ketika harus berhadapan dengan era global dengan perkembangan peradaban yang semakin kompleks (Nugrahani, 2008:16). Spradley (2007:15) menyampaikan bahwa dalam perkembangan peradaban dunia yang semakin maju, seseorang dapat mengalami peristiwa kebanjiran budaya (culturally overnhelmed) yaitu munculnya pengaruh dari dua budaya atau lebih sekaligus, atau bersamasama. Dalam kasus ini, bagi generasi muda yang belum menguasai budayanya sendiri, sementara sudah harus berhadapan dengan pengaruh berbagai budaya asing ---sebagai dampak dari canggihnya teknologi informasi---, maka mereka akan mengalami kebingungan. Dalam dirinya belum terbentuk filter yang mampu membedakan budaya yang baik, dan cocok bagi dirinya. Akibatnya, dengan mudah seseorang (utamanya generasi muda) akan mengalami peristiwa

135

ketercerabutan budaya sehingga menciptakan budayanya sendiri. Hal itu terjadi karena selain tidak lagi mengenal budaya asli nenek moyangnya, juga belum mampu memilih dan memilah, mana budaya yang baik sesuai karakter bangsanya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa nilai-nilai moral (akhlak) yang digariskan dalam ajaran agama dewasa ini mulai diabaikan atau (sengaja) dikaburkan. Nilai-nilai kesantunan dan budi pekerti luhur yang diwariskan nenek moyang juga semakin memudar, bahkan menjadi asing di negeri sendiri. Sementara itu, para pemimpin bangsa yang seharusnya berperan sebagai contoh panutan juga tidak lagi mampu menempatkan dirinya dengan benar (Nugrahani, 2011:2). Bila demikian keadaannya, kemana karakter bangsa ini akan berpijak? Bagaimana pembentukan karakter generasi muda dapat dilakukan? Pertanyaan besar itulah yang perlu mendapatkan jawabannya, bila bangsa ini ingin tetap eksis sebagai bangsa yang memiliki jatidiri dan karakter yang kuat dalam percaturan dunia. Stereotipe bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur yang ramah, santun, andhap-asor, lembah-manah, suka bergotong royong, dan religius, yang selama ini selalu dibangga-banggakan sebagai pembanding kontras dengan ciri kepribadian bangsa Barat yang serba bebas, individualis, sekuler, materialis dan kapitalis, tampaknya tinggalah mitos belaka. Menurut Poernomosidi (2006:1) kebiasaan latah masyarakat Indonesia yang suka meninggalkan budayanya sendiri dan lebih tertarik mengikuti arus budaya global secara primordial tidak hanya menimpa pada generasi muda saja, tetapi juga pada seluruh generasi bangsa. Oleh sebab itu secara nasional karakter bangsa ini dalam pertaruhan yang membawanya ke dalam kondisi kritis. Melunturnya kebanggaan masyarakat terhadap budayanya sendiri mengakibatkan terputusnya estafet pewarisan nilai-nilai kearifan lokal kepada generasi penerusnya. Hal ini merupakan masalah besar yang tidak boleh dibiarkan. Segala upaya dari sejak dini perlu dilakukan, agar generasi penerus bangsa dapat tumbuh menjadi manusia yang berkarakter baik dan terpuji. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain pembiasaan anak untuk bermain dan menyanyikan lagu-lagu (tembang) dolanan Jawa, yang banyak mengandung nilai-nilai didaktis yang bersumber pada filsafat budaya Jawa yang adiluhung, yang mengajarkan nila-nilai kebaikan, dan akhlak/budi pekerti luhur dan mulia. Berkaitan dengan upaya pembentukan karakter bangsa itulah, maka disampaikan hasil penelitian ini, yang membahas tentang

136

Reaktualisasi Tembang Dolanan Jawa dalam Rangka Pembentukan Karakter Bangsa (Kajian Semiotik). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsilan (1) makna tembang dolanan Jawa; (2) nilainilai kearifan lokal (local wisdom) yang terdapat dalam tembang dolanan Jawa; dan (3) pentingnya reaktualisasi tembang dolanan Jawa dalam pembentukan karakter bangsa. Melalui hasil penelitian yang sedehana ini diharapkan dapat ditemukan alternatif solusi dalam upaya pembentukan karakter generasi muda (Jawa) sebagai penerus cita-cita bangsa (Indonesia), sebagaimana konsep pendidikan karakter yang sedang digalakkan oleh pemerintah dewasa ini. II. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Alasannya, karena metode ini (1) mampu menggambarkan proses dari waktu ke waktu dalam situasi yang alami tanpa rekayasa peneliti; (2) memungkinkan untuk dilakukan analisis induktif, yang berorientasi pada eksplorasi, penemuan dan logika induktif, sehingga teori yang dihasilkan didasarkan pada pola dalam kenyataannya; dan (3) memungkinkan pendeskripsian perilaku manusia dalam konteks natural (Sutopo, 2003:2). Data penelitian ini dikumpulkan melalui teknik kajian pustaka (content analysis), wawancara mendalam (in-depth interviewing), dan observasi (observation). Kajian pustaka dilakukan dengan sumber data teks/dokumen yang berkaitan dengan tembang dolanan Jawa dan budaya Jawa pada umumnya. Wawancara mendalam dilakukan dengan narasumber (informant) para pakar budaya Jawa, sesepuh dan pinisepuh, serta generasi muda (etnis Jawa) dan guru bahasa Jawa. Sementara itu, observasi dilakukan dengan sumber data aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat (Jawa) dalam kondisi yang alami, tanpa rekayasa peneliti. Validitas data penelitian ini diuji melalui trianggulasi sumber dan trianggulasi metode. Trianggulasi sumber ditempuh melalui wawancara mendalam kepada para informant dari status dan peran yang berbeda. Trianggulasi metode ditempuh dengan cara menggali data yang sejenis dengan metode yang berbeda (Sutopo, 2002: 80). Data yang diperoleh melalui wawancara dibandingkan dengan hasil pengamatan tentang aktivitas subjek yang menggambarkan perilakunya melalui observasi. Sementara itu, reliabilitas data diwujudkan melalui pelaksanaan penelitian yang dapat diinterpretasikan dengan hasil yang sama (Yin, 2000:38). Reliabilitas data diusahakan untuk meminimalkan kekhilafan (error) dan penyimpangan (bias) dalam penelitian.

137

Analisis data penelitian ini dilakukan di lapangan bersama dengan proses pengumpulan data. Pada waktu data dikumpulkan, proses analisis dimulai dengan penyusunan refleksi peneliti, yang merupakan kerangka berpikir, gagasan, dan kepedulian peneliti terhadap data yang ditemukan (Bodgan & Biklen, 1982:84-89). Analisisnya dilakukan secara interaktif, dalam bentuk siklus. Setiap data yang diperoleh dikomparasikan dengan data lain secara berkelanjutan, dengan model analisis interaktif. Komponennya meliputi reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi (Miles & Huberman, 1984:23). Ketiganya dilakukan ketika proses pengumpulan data berlangsung, seperti dalam gambar berikut.
Data collection Data Reduction Data display Conclusions

Drawing/ Verifying Components of Data Analysis: Interactive Model

Selanjutnya untuk pemaknaan tembang dolanan Jawa digunakan metode pembacaan model semiotik yang terdiri atas pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:39). Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang cermat dalam tataran satuan linguistik pada teks tembang dolanan Jawa. Adapun pembacaan hermeneutik adalah pembacaan bolak-balik antara teks tembang dolanan Jawa dengan referensi di luar teks atau realitas sosial budaya masyarakat Jawa yang menjadi latar social dalam tembang dolanan Jawa tersebut. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Makna Tembang Dolanan Jawa Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) tembang diartikan sebagai ragam suara yang berirama. Irama tersebut berupa rangkaian tangga nada yang tersusun secara urut dan harmonis sehingga menghasilkan bunyi-bunyian yang mengandung unsur-unsur keindahan atau estetik. Dalam istilah bahasa Jawa tembang berarti lagu. Tembang juga disebut dengan istilah sekar, sebab tembang memang berasal dari kata kembang yang mempunyai persamaan makna dengan kata sekar, atau bunga. Tembang sebagai ekspresi estetik mengandung ciri-ciri utama seperti: bersifat kontemplatif-transedental, bersifat simbolik, dan

138

bermakna filosofis. Sebagai ekspresi esetik, tembang dapat menimbulkan multi tafsir, karena merupakan bagian dari karya sastra yang bersifat multiinterpretable. Pemaknaannya bergantung pada horison harapan pembacanya (Jauss, 1974). Dalam masyarakat Jawa tembang sudah ada sejak semula, bahkan sebagian besar warisan budaya nenek moyang (Jawa) dikemas dalam bentuk kidung atau tembang. Salah satu warisan budaya yang dahulu digemari oleh anak-anak (Jawa) adalah tembang dolanan. Tembang dolanan ini bukan hanya berfungsi sebagai lagu yang biasanya dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain dan bersosialisasi dengan lingkungannya, atau lagu sekedar hiburan semata-mata. Lebih dari itu tembang dolanan merupakan karya seni yang sangat menarik karena di dalamnya terkandung makna tang tersirat, berisi pesan-pesan moral yang penting sebagai pembentuk karakter yang baik bagi anak bangsa. Makna yang dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada anak-anak untuk memiliki sikap dan kepribadian yang religius, mengutamakan kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan dengan orang lain. Tidak malas atau sombong, rukun dengan sesama, dan senang membantu orang lain. B. Nilai Local Wisdom dalam Tembang Dolanan Jawa sebagai Pembentuk Karakter Bangsa Ada sembilan pilar karakter, yang penting untuk ditanamkan dalam pembentukan kepribadian anak. Berbagai pilar karakter tersebut sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai luhur universal, meliputi: (1) cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya, (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, (3) kejujuran, (4) hormat dan sopan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan (Megawangi dalam IndrawatiRudy, 2010:717). Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tembang dolanan Jawa itu, perlu dikembangkan dalam pendidikan karakter bagi generasi muda penerus bangsa. Berikut ini disampaikan beberapa nilai kearifan local (local wisdom) yang tersirat di dalam tembang dolanan Jawa.
(1) ILIR-ILIR Lir ilir, lir ilir, tandur wus sumilir Tak ijo royo-royo tak sengguh temantn anyar Cah angon, cah angon, pnkna blimbing kuwi Lunyu lunyu yo pnken kanggo mbasuh dodotiro Dodotiro, dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir

139

Dondomana jrumatana kanggo sba mengko sor Mumpung padhang rembulan, mumpung jembar kalangan. Yo surako surak hiyo. (Bangunlah, bangunlah! tanaman sudah bersemi Demikian menghijau bagaikan pengantin baru Anak gembala, anak gembala panjatlah (pohon) belimbing itu! Biar licin dan susah tetaplah kau panjat untuk membasuh pakaianmu Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak dibagian samping Jahitlah, benahilah! untuk menghadap nanti sore Mumpung bulan bersinar terang, mumpung banyak waktu luang Bersoraklah dengan sorakan Iya!)

Syair tembang dolanan yang berjudul Ilir-Ilir mengandung pesan moral yang sarat dengan nilai-nilai religius, tanggung jawab, kedisiplinan, kerja keras, dan pantang menyerah. Tembang tersebut menyiratkan pesan bahwa kita sebagai umat manusia diminta untuk mampu bangkit (bangun) dari keterpurukan, dengan mempertebal iman dan berjuang demi mendapatkan kebahagiaan (sebagaimana pasangan pengantin baru). Buah belimbing yang dipetik si anak gembala (dengan susah payah) itu merupakan ibarat dari perintah Allah untuk melaksanakan sholat lima waktu. Meskipun berat (banyak rintangan) dalam menjalankannya (diibaratkan pakaiannya sampai terkoyak sobek), harus tetap dikerjakan. Dengan senantiasa taat menjalankan perintah Allah, terbuka harapan bagi umat manusia untuk memperbaiki diri agar nanti siap ketika waktunya tiba untuk menghadap, memenuhi panggilan Illahi.
(2) SLUKU-SLUKU BATOK Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo Si Rama menyang Sala, oleh-olehe payung motha Mak jenthit lolo lobah, wong mati ora obah Nek obah medeni bocah, nek urip goleka dhuwit.

(Ayun-ayun kepala, kepalanya geleng geleng Si bapak pergi ke Sala, oleh-olehnya payung mutha Secara tiba-tiba begerak, orang mati tidak bergerak Kalau bergerak menakuti orang, kalau hidup carilah uang)

Tembang Sluku-Sluku Bathok mengajarkan kepada kita nilainilai untuk cinta kepada Tuhan dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap kehidupan yang dijalani, kedisiplinan, serta kemandirian dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab dalam menjalani kehidupan. Makna yang tersirat dalam tembang tersebut bahwa manusia hendaklah senantiasa membersihkan batinnya dengan berdzikir atau mengingat Asma Allah dengan menggeleng-gelengkan

140

kapala (ela-elo) dengan mengucapkan Laa illa ha illallah (=tidak ada Tuhan selain Allah) baik pada saat gembira maupun sedih, baik ketika mendapatkan kenikmatan maupun musibah. Semuanya dilakukan atas kesadaran bahwa hidup dan mati manusia ada di tangan Allah semata. Ketika masih berkesempatan hidup, hendaklah rajin beribadah dan mencari nafkah atas ridha Allah, karena ketika sewaktu-waktu dipanggil menghadap-Nya, kita tidak lagi mampu melakukan apa pun.
(3) PADHANG BULAN Yo prakanca dolanan ing njaba Padhang mbulan padhang kaya rina Rembulan kang ngaw-aw Nglikak aja turu sor-sor

(Ayo teman-teman bermain diluar Cahaya bulan yang terang benderang Rembulan yang seakan-akan melambaikan tangan Mengingatkan kepada kita untuk tidak tidur sore-sore)

Tembang dolanan yang berjudul Padang Bulan itu mengajarkan kepada kita untuk cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya sebagai ciptaan-Nya. Selain itu tembang dolanan Jawa tersebut juga mengajarkan sifat kasih sayang, kepedulian, dan kebersamaan terhadap sesama manusia. Syair dalam tembang dolanan tersebut mengandung pesan hendaknya manusia bersyukur kepada Allah Swt. dengan menikmati keindahan alam ciptaan-Nya. Untuk menunjukkan rasa syukur itu kita diharapkan tidak hanya menghabiskan waktu malam untuk tidur (terlalu awal), namun sebaiknya memanfaatkan waktu untuk bersilaturrahim, dan dan juga melaksanakan ibadah (shalat malam) kepada Allah Swt.
(4) JARANAN Jaranan-jaranan jarane jaran teji sing numpak ndara bei, sing ngiring para mantri jeg jeg nong..jeg jeg gung, prok prok turut lurung gedebug krincing gedebug krincing, prok prok gedebug jedher (Berkuda, berkuda, kudanya teji (tinggi besar) yang naik Tuan Bei, yang mengiring para menteri Jeg-jeg nong, jeg-jeg gung, prok prok menyusuri jalanan Gedebug krincing gedebug krincing, prok prok gedebug jedher)

Tembang dolanan Jaranan mengajarkan nilai-nilai untuk hormat dan santun kepada atasan, orang yang lebih tua, atau berkedudukan lebih tinggi. Selain itu juga mengajarkan sifat kasih

141

sayang, kepedulian, dan kerja sama dengan orang lain. Syair dalam tembang tersebut menyiratkan pesan akan pentingnya kebersamaan, karena pada dasarnya manusia itu saling membutuhkan. Orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi membutuhkan orang yang lebih rendah, demikian pula sebaliknya. Bagi yang berkedudukan tinggi (ndara Bei) membutuhkan pengawalan bawahannya (para menteri) dalam menjalankan tugasnya. Sementara itu, bagi yang mempunyai kedudukan lebih rendah harus menghormati orang yang berkedudukan lebih tinggi. Ndara Bei merupakan perlambang orang yang berkedudukan tinggi dan/atau keturunan ningrat yang berpunya (kaya) karena tunggangan-nya (hewan sebagai kendaraan) adalah kuda yang tinggi besar (jaran teji) sehingga berjalannya pun harus diiringi oleh bawahannya (para menteri). (5) MENTHOK-MENTHOK Menthok-menthok tak kandhani, mung solahmu angisin-isini Bokya aja ndheprok, ana kandhang wae Enak-enak ngorok, ora nyambut gawe Methok-menthok, mung lakumu megal-megol gawe guyu (Menthok-menthok aku nasehati, perilakumu memalukan Jangan hanya diam dan duduk, di kandang saja Enak-enak mendengkur, tidak bekerja Menthok-menthok, jalanmu meggoyangkan pantat membuat orang tertawa) Syair tembang dolanan Menthok-Menthok mengandung makna bahwa seseorang itu perlu memiliki sikap rendah hati, dan mau instrospeksi diri. Sebagai umat manusia kita tidak boleh sombong, dan harus tetap menghargai orang lain. Sebab, semua ciptaan Allah memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Ibarat menthok, binatang yang penampilannya jelek, tidak menarik, suka tidur, dan malas-malasan pun masih bermanfaat bagi orang lain, karena mampu membuat orang lain tertawa atas kelucuan tingkahnya. Karena itu, sebaiknya kita jangan segan untuk melihat kekurangan diri sendiri dan tidak mudah merendahkan orang lain atas kekurangannya. Tembang ini juga menyampaikan pesan bahwa sebaiknya kita tidak bermalas-malasan (banyak tidur), karena itu bukan sifat yang baik.
(6) GUNDHUL PACUL Gundhul gundhul pacul cul, gembllengan nyunggi nyunggi wakul kul, gembllengan

142

wakul ngglimpang, segan dadi sak ratan wakul ngglimpang, segan dadi sak rattan (Kepala botak tanpa rambut ibarat cangkul, besar kepala (sombong, angkuh) membawa bakul, dengan gayanya yang besar kepala (sombong, angkuh) bakulnya jatuh, nasinya tumpah berantakan di jalan tidak bermanfaat lagi)

Syair tembang dolanan Gundul-Gundul Pacul menggambarkan sifat seorang anak yang berpenampilan jelek, sombong (gemblelengan), dan berperilaku tidak bertanggung jawab. Dari sifat dan perilakunya yang buruk itu, telah menyebabkan dirinya tidak mampu bekerja dengan baik, sehingga melakukan hal yang sia-sia (tidak bermanfaat). Tembang itu mengandung pesan bahwa menjadi orang tidak boleh merasa dirinya paling pintar, paling hebat, sehingga membuatnya bersikap sombong, serta ceroboh. Sifat yang demikian itu hanya akan menyebabkan kegagalan, dan kesia-siaan, sebab orang yang sombong, serta ceroboh tidak akan mampu mengemban amanah yang menjadi tanggung jawabnya dengan baik.
(7) DHONDHONG APA SALAK Dhondhong apa salak, dhuku cilik-cilik Andhong apa mbecak, mlaku dimik-dimik (Dhondhong apa salak, dhuku kecil-kecil Naik delman apa naik becak, jalan pelan-pelan)

Syair tembang dolanan Dhondhong Apa Salak ini mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berbuat baik, dan tidak menyakiti orang lain baik secara lahir maupun batin. Selain itu mengajarkan untuk memiliki sifat kemandirian, tidak senang bergantung pada bantuan orang lain, bagaimanapun lemahnya kemampuan kita. Dari berbagai pesan yang disampaikan dalam tembang dolanan Jawa yang telah diuraikan di atas, dapat disampaikan bahwa tembang dolanan Jawa pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) bahasanya sederhana, (2) mengandung nilai-nilai estetis, (3) jumlah barisnya terbatas, (4) berisi hal-hal yang selaras dengan keadaan anak, (5) lirik dalam lagu dolanan menyiratkan makna religius, kebersamaan, kemandirian, tanggung jawab, rendah hati, dan nilai-nilai sosial lainnya. Dengan memperhatikan ciri-ciri tersebut, tidak diragukan lagi apabila tembang dolanan Jawa itu pantas untuk dikonsumsi anak-anak, karena banyak nilai-nilai positifnya. Secara umum dapat disampaikan

143

bahwa semua tembang dolanan tersebut mengarah pada aspek cerminan pandangan, falsafah hidup, dan nilai moral yang dibangun dalam masyarakat Jawa, yang pantas untuk digunakan sebagai pembentuk karakter generasi muda (Jawa) penerus bangsa. C. Reaktualisasi Tembang Dolanan Jawa dalam Rangka Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pembelajaran Bahasa Jawa (Muatan Lokal) di Sekolah Indonesia merupakan negara besar yang memiliki berbagai suku bangsa dengan keragaman budaya tradisinya. Berbagai macam budaya tradisi yang dimiliki itu merupakan suatu kebanggaan dan aset kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Sebagai warga bangsa yang bangga terhadap kebudayaannya, sudah selayaknya apabila selalu berupaya untuk ikut menjaga dan mempertahankan budayanya, karena kekayaan budaya itu merupakan identitas suatu bangsa, dalam mengekspresikan jati dirinya. Dewasa ini, perubahan dan perkembangan zaman berlangsung dengan pesat, terutama ditandai dengan semakin canggihnya teknologi informasi berbasis komputer sehingga memungkinkan terjadinya komunikasi dan interaksi antarmasyarakat dunia. Di satu sisi teknologi canggih itu telah memberikan manfaat dan banyak kemudahan yang luar biasa kepada semua orang yang memanfaatkannya. Namun di sisi lain, proses interaksi antarbangsa di dunia itu juga berdampak negatif utamanya bagi terkikisnya kebudayaan tradisi, sebagai warisan nenek moyang yang menyimpan nilai-nilai luhur budaya suatu bangsa. Kebudayaan tradisi yang terancam oleh budaya global dan dikhawatirkan mencapai kepunahan, antara lain adalah: bahasa daerah, adat-istiadat, dan berbagai macam kesenian daerah (dalam konteks ini, adalah tembang dolanan Jawa). Tembang dolanan Jawa itu merupakan salah satu sarana komunikasi dan sosialisasi anak-anak (Jawa) dengan lingkungannya. Melalui tembang dolanan itu, anak-anak dapat bergembira, bermain dan bersenang-senang dalam mengisi waktu luang. Tembang dolanan merupakan suatu hal yang menarik bagi anak. Meskipun sarat dengan pesan moral yang mendidik, tembang dolanan Jawa disampaikan dalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dihafal dan dicerna sesuai dengan tingkat kematangan psikologis atau perkembangan jiwa anak yang masih suka bermain. Pesan atau ajaran-ajaran dan nilainilai moral budi pekerti dalam tembang dolanan tersebut, disampaikan melalui perumpamaan-perumpamaan dan analogi, yang dikemas dalam bahasa yang sederhana namun tetap indah (estetis).

144

Patut disayangkan karena dewasa ini tembang dolanan sudah jarang didendangkan ketika anak-anak (Jawa) bermain dengan sebayanya. Mereka, (utamanya) yang tinggal di perkotaan lebih cenderung untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa pengantar sehari-hari. Akibatnya mereka kurang mengenal bahasa Jawa, dan tentunya juga kurang akrab dengan budaya Jawa, termasuk tembang dolanan Jawa yang merupakan salah satu bagian dari seni budaya tradisi warisan nenek moyangnya. Menurut Soetomo (2000:27) sistem budaya terdiri atas empat kelompok lambang, yakni (1) konstitusi (keagamaan/kepercayaan); (2) kognisi (ilmu pengetahuan); (3) evaluasi (etika); dan (4) ekspresi (estetika). Sistem budaya dapat diturunkan atau diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, apabila terdapat alat komunikasi antarmanusia, dan antargenerasi, yakni bahasa. Fungsi bahasa selain sebagai sarana pengembangan kebudayaan juga penerus kebudayaan. Bahasa dan kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak terpisahkan dari eksistensinya sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu terlibat dengan bahasa karena bahasa merupakan alat komunikasi utama dengan orang lain. Demikian pula halnya dengan kebudayaan, ia merupakan bagian dari hidup manusia yang tak terpisahkan. Di mana ada manusia di sana ada kebudayaan. Tidak ada manusia yang hidup tanpa kebudayaan, sebaliknya tidak ada kebudayaan yang lahir tanpa manusia, karena kebudayaan merupakan pengetahuan yang diperoleh dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial bagi masyarakat pemiliknya (Spradley, 2007:5). Dari uraian yang disampaikan, dapat digarisbawahi bahwa pelestarian tembang dolanan Jawa sangat penting bagi generasi penerus bangsa. Namun demikian kendala utamanya adalah telah tergesernya kedudukan dan fungsi bahasa daerah (Jawa) oleh bahasa nasional (Indonesia). Kini generasi muda (Jawa) mayoritas tidak lagi mengenal bahasa daerah sebagai bahasa ibunya. Fungsi bahasa daerah (Jawa) telah tergantikan oleh bahasa Indonesia. Padahal menurut teori, sulit bagi seseorang untuk memahami budaya tanpa mengenal bahasanya, seperti pendapat Linguis besar Wilhelm von Humbolt (1835) dan Antoine Meilet (1857), bahwa begitu dekatnya hubungan antara budaya dan bahasa, sehingga budaya itu tidak seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang tidak tergantung pada masyarakat tempat bahasa itu digunakan (language est eminemment un fait social). Bahasa merupakan cermin budaya masyarakat pemakainya, oleh sebab itu penting sekali

145

untuk tetap mempertahankan bahasa daerah (Jawa) sebagai bahasa Ibu, dalam rangka pelestarian budaya (termasuk tembang dolanan Jawa) sebagai aset kekayaan budaya bangsa. Melalui pembelajaran Bahasa Jawa dengan materi tembang dolanan Jawa diharapkan usaha pelestarian budaya tradisional Jawa dapat berlangsung dengan baik. Melalui bimbingan gurunya dalam pembelajaran Bahasa Jawa anak-anak dapat mengapresiasi tembang dolanan Jawa yang sarat akan nilai-nilai luhur sebagai pembentuk karakternya. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan bahwa melalui pembelajaran yang dilaksanakan anak-anak dapat tumbuh menjadi manusia yang berbudaya, mandiri, mampu mengaktualisasikan diri dengan potensinya, mengekspresikan pikiran dan perasaannya, memiliki wawasan yang luas, mampu berpikir kritis, dan berkarakter kuat, sehingga peka terhadap masalah sosial pada bangsanya. IV Simpulan Berdasarkan analisis nilai-nilai dalam tembang dolanan Jawa di atas dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut. Pertama, tembang dolanan Jawa bukan hanya lagu biasa yang berfungsi sebagai hiburan untuk dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Lebih dari itu tembang dolanan merupakan karya seni yang menarik karena di dalamnya tersirat makna yang penting bagi hidupan manusia. Tembang dolanan Jawa berisi pesan-pesan moral yang sesuai bagi pembentukan karakter atau budi pekerti luhur bagi anak bangsa. Makna yang dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada anak-anak untuk memiliki sikap dan kepribadian yang religius, mengutamakan kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan dengan orang lain, tidak memiliki sifat sombong, mawas diri, dan dapat menghargai orang lain. Kedua, nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam tembang dolanan Jawa pada dasarnya sejalan dengan sembilan pilar karakter yang mengandung nilai-nilai luhur universal. Sembilan pilar karakter tersebut adalah (1) cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya, (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, (3) kejujuran, (4) hormat dan sopan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Nilai-nilai luhur universal yang terdapat dalam tembang dolanan Jawa, yang sesuai dengan Sembilan pilar karakter itu perlu dikembangkan dalam pembentukan karakter

146

generasi muda penerus bangsa. Ketiga, mengingat tembang dolanan Jawa yang sarat dengan nilainilai kehidupan dan pesan-pesan moral, maka tembang dolanan Jawa itu dipandang perlu untuk diaktualisasikan dalam kehidupan generasi muda. Terlebih jika dikaitkan dengan pendidikan karakter bangsa yang saat ini sedang digalakkan oleh seluruh komponen bangsa. Melalui pembelajaran Bahasa Jawa dengan materi apresiasi tembang dolanan Jawa diharapkan anak-anak akan tumbuh menjadi manusia yang berbudaya, mandiri, mampu mengaktualisasikan diri dengan potensinya, mengekspresikan pikiran dan perasaannya, memiliki wawasan yang luas, mampu berpikir kritis, berkarakter kuat, sehingga peka terhadap masalah sosial pada bangsanya. DAFTAR PUSTAKA
Bogdan, Robert C. & Sari Knopp Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Jauss, Hans Robert. 1974. Literary History as a Challenge to literary Theory dalam Rapl Cohen (ed). New Directions in Literary. London: Routdlege & Kegankaul Kartini, Yuyun. 2010. Tembang Dolanan Anak-Anak Berbahasa Jawa Sumber Pembentukan Watak dan Budi Pekerti. dalam: Http://Kentruk. Com/?P=286april 22nd, 2010. (Diakses 8 Februari 2012) Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. Beverly Hills: Sage Publication. Nugrahani, Farida. 2008. Reaktualisai Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa dalam Konteks Multikultural dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya. Mulyana (Ed). Yogyakarta: Tiara Wacana. -------. 2011. Penanaman Nilai-Nilai Kearifan Lokal Melalui Pembelajaran Unggah-Ungguhing Basa dalam Upaya Pembentukan Karakter Generasi Muda. dalam Proseding Seminar Nasional Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Muhammadiyah Malang, 30 April 2011. Poernomosidi, Begug. 2006. Nilai-nilai Budaya Jawa dan Pembangunan Karakter Bangsa. Makalah dalam Seminar Nasional Pembangunan Karakter Generasi Muda di PBSJ FKIP Universitas Veteran bangun Nusantara Sukoharjo. Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. London: Indiana of University Press. Rudy, Rita Indrawati. 2010. Ideosinkrasi Pendidikan Karakter Melalui Bahasa dan Sastra. Jakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia FPBS Universitas Negeri Jakarta dan Kepel Yogyakarta. Soetomo, Istiati. 2000. Ilmu-ilmu antar-Bidang untuk Sosilolinguistik Abad Mendatang Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Sastra

147

Universitas Diponegoro Semarang. Spradley, James. P. 2007. The Etnographic Interview. (Edisi terjemahan Misbah Zulfa Eliza).Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Sutopo, H.B. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press. Yin, Robert K. 2000. Case Study Research: Design and Methods (Studi Kasus: Desain dan Metode). Terjemahan M. Djauzi Mudzakir. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

148

PENDIDIKAN SEKS UNTUK PASANGAN SUAMI ISTRI DALAM TEKS RESI SAMBINA GRYA JUNGUTAN BUNGAYA
Ida Bagus Manik Putra Ariana Undiksha Singaraja
Latar Belakang aman boleh berubah, modernisasi boleh menyusup ke desa-desa, namun tidak menjamin terjadinya perubahan pada semua bidang kehidupan manusia menuju kearah yang lebih baik. Modernisasi adalah transformasi masyarakat dari keadaan yang kurang maju menuju keadaan yang lebih baik dan maju dalam tatanan pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi dll. Modernisasi sulit dan bahkan tidak mungkin dibendung, disuatu tempat ia layaknya air bah yang dengan segera dapat mengantikan nilainilai lama kedalam nilai-nilai baru, ditempat lain ia bergerak lambat seperti tetesan-tetesan air yang menimpa batu, namun dalam kurun waktu tertentu dapat dipastikan ia akan berhasil menembus kekerasan batu sekalipun. Intinya cepat atau lambat masyarakat dunia mau tidak mau, suka atau tidak suka akan memasuki era modernisasi. Modernisasi pada bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan mengajak manusia bergerak dari tata nilai irasional menuju rasional, modernisasi ekonomi menyebabkan semakin meratanya kesejahteraan ekonomi masyarakat, modernisasi pada bidang tekhnologi membuat manusia semakin mudah mendapatkan informasi, berkomunikasi, memperoleh hiburan dll. Suksesnya modernisasi menembus pelosok-pelosok desa hingga mencapai beranda-beranda masyarakat dusun terpencil melalui radio, TV, Internet dll mungkin mengembirakan bagi sebagian orang yang mencermati modernisasi dari sisi positifnya, namun tidak demikian dengan orang-orang yang melihat dan mencermati adanya faktorfaktor membahayakan sebagai wujud lain modernisasi. Pola hidup konsumtif, kehidupan yang semakin individualistic, kesenjangan sosial, kriminalitas, dan pola hidup seks bebas adalah acaman nyata modernisasi bagi umat agama dan masyarakat dengan budaya ketimuran. Hal seperti ini tentunya menghawatirkan bagi para pemerhati efek negative modernisasi bagi kehidupan umat manusia. Hanya dengan memasukkan kata kunci pada mesin pencarian

149

seperti google, yahoo, opera, mozila dll, pengguna dapat dengan mudah menampilkan situs-situs porno dan syur, masyarakat penikmat modernitas internet bisa berjam-jam menikmati tayangantayangan tanpa sensor dari film XXX-Vidio profesional, artis mesum, hingga tayangan bokep amatiran pemuda kampung dengan gadis lugu, tersaji luas dan tanpa batas di dunia maya tersebut. Tayangan seperti ini tentunya sangat membahayakan untuk ditonton oleh kalangan remaja. Tontonan-tontonan seperti itu cenderung menggiring penikmatnya untuk memasuki sepenuhnya dunia birahi dan hubungan kelamin semata, sementara komunikasi, kasih sayang, dan cinta terabaikan sama sekali. Tayangan-tayangan seperti ini tentunya dapat menggiring penikmatnya terutama mereka yang tergolong tipis sradha/imannya untuk berfantasi lebih kearah pengumbaran nafsu dan kenikmatan kelamin semata, hingga moralitas tanpa disadari akan semakin menipis lalu akhirnya berujung pada pelanggaranpelanggaran etika dan adat ketimuran yang berlaku di masyarakat Indonesia. Acaman bagi moralitas dan etika ketimuran seperti ini tentunya telah disiapkan antisipasinya berupa pendidikan seks/seks edukasi bagi masyarakat. Sepanjang tahun 2010-2011 media masa Bali Post online dan Metro Bali online, memberitakan telah dilaksanakannya seminar seks, diataranya: 1) Pada tanggal 14 November 2010 Media Bali Post (berita Kota) memberitakan bahwa menjelang HUT III, RS BaliMed Gelar Seminar Seks Pada Remaja pada tanggal 13 November 2010 bertempat di RS BaliMed. Acara ini dihadiri oleh siswa SMP dan SMU sedenpasar dengan dua orang pembicara, yakni: dr. Komang Tonika, Sp.OG dari rumah sakit BaliMed dan dr.IGN Prameswara yang juga kordinator Klinik Remaja Kisara. (http://www.balipost. co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=44676;); Selanjutnya 2) pada tahun 2011 radio SWiB FM Bali (Karangasem) pada tanggal 21/4/2011 mengelar seminar seks pranikah yang silenggarakan pada tanggal 25 April 2011. (http://www.balipost. co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=50755); dan Metro Bali juga memberitakan 3) dalam rangka menyongsong HUT Mangupura yang ke-2, Kabupaten Badung menggelar seminar dengan mengambil tema Seks Tabu Remaja dan Permasalahannya seminar ini diselenggarakan pada tanggal 31/10/2011 bertempat di Wantilan Kantor DPRD Badung, dengan Narasumber dr.Pramesemara S,Ked Staf Bagian Andrologi dan Sosiologi FK Unud dan Koordinator Klinik Remaja Kisara Daerah Bali. (http://metrobali.com/?p=2638).

150

Modernisasi Pendidikan khususnya dalam ranah seks, memberi peluang seluas-luasnya bagi penyelenggaraan seminar-seminar seks edukasi untuk para remaja yang pada masa lampau hal seperti ini adalah barang tabu, kenyataan ini dapat dipandang sebagai bukti nyata dari dampak positif modernisasi di Indonesia; namun anehnya pendidikan seks bagi pasangan menikah (suami-istri) di Indonesia malah tak ada gaungnya sama sekali, perhatian pemerintah dan masyarakat hanya tertuju pada pendidikan seks remaja saja, dan seolah-olah menganggap pendidikan seks pada pasangan menikah adalah sesautu hal yang kurang penting bahkan terkesan sama sekali tidak penting. Apabila dicermati seolah-olah ada paradigma terbalik dalam masyarakat Indonesia dulu dan kini, hingga keluarlah ungkapan dalam masyarakat sebagai berikut dulu pendidikan seks bagi remaja adalah tabu, pendidikan seks bagi pasangan menikah wajar; kini pendidikan seks untuk suami istri ditabukan, pendidikan seks untuk remaja diwajarkan. Walau pun ungkapan tersebut tidaklah sepenuhnya benar namun merujuk sedikitnya perhatian pemerintah dan instansi terkait menyasar pendidikan seks bagi pasangan menikah hal seperti ini juga tidak dapat dianggap sepenuhnya salah. Tujuan pendidikan seks untuk remaja adalah untuk mencegah terjadinya penyimpangan seksual pada remaja, sedangkan pendidikan seks bagi pasangan menikah adalah untuk mencegah terjadinya perselingkuhan dan lepas tanggung jawab pada keluarga. Mencegah penyimpangan seks pada remaja dan mencegah perselingkuhan pada pasangan suami istri sama pentingnya dan hendaknya keduanya mendapatkan perhatian dan porsi yang sama. Kurangya pendidikan seks yang diperuntukan bagi pasangan menikah di Indonesia terutama Bali, menyebabkan mereka mencari informasi tersebut pada situs-situs porno dunia maya. Celakanya informasi yang didapatkan hanyalah sepotong-sepotong dan tidak komprehensif. Sebagian besar informasi yang didapatkan hanya berupa instruksi bercinta dan gaya-gaya akrobatik tanpa adanya sentuhan-sentuhan folosofis theologies dalam menikmati hubungan seks. Tayangan-tayangan video seks dari situs-situs porno yang tersaji di dunia maya tersebut sebagian besar menyajikan adegan mengumbar birahi semata, tanpa adanya sentuhan cinta dan kasih sayang seperti seharusnya sanggama suami istri dilakukan. Hal yang sangat mengejutkan adalah hasil survei yang diadakan oleh produsen alat kontrasepsi ternama Durex yang bertajuk Sexual Wellbeing Global Survey yang menunjukkan 13% pria dan 6% wanita

151

Indonesia tidak setia pada pasangan atau memiliki lebih dari satu pasangan seks, Ini berarti lebih tinggi dibandingkan pria dan wanita di Amerika Serikat yaitu 10% dan Inggris sebanyak 8%. Padahal, negara-negara Barat terkenal lebih bebas dan liberal dibandingkan negara Timur, seperti Indonesia (http://bataviase.co.id/node/901615). Penyebab tingginya angka ketidaksetiaan pasangan ini mengindikasikan masih kurangnya diberikan pemahaman seks yang baik dan benar pada pasangan-pasangan menikah di Indonesia, hingga sangatlah dipandang perlu dan mendesak agar Pemerintah, jajaran terkait dan masyarakat yang perduli mengusahakan dan menggiatkan pendidikan seks bagi pasangan menikah (suami istri) guna mencegah terjadinya disharmonis dan perceraian dalam membina rumah tangga hingga kedepan prosentase ketidaksetiaan pasangan dapat ditekan seminimal mungkin. Pendidikan seks bagi pasangan menikah penting diberikan, agar mereka dapat memahami pengertian seks dalam semua manifestasi dan variasinya, dapat memahami nilai penting moral dan etika sebagai aturan dalam menikmati seks sebagai salah satu kenikmatan anugerah Tuhan, dapat memahami bahwa hubungan manusia yang menikah seharusnya memberikan kepuasan pada individu-individu dalam berkeluarga, dapat memahami penyimpangan-penyimpangan seksual yang membahayakan kesehatan fisik dan mental, serta mereka dapat menjauhkan diri dari eksplorasi seks yang berlebihan serta mampu memahami bahwa masing-masing individu yang telah menikah dalam melakukan aktivitas seksual dapat lebih efektif dan kreatif dalam berbagai peran, sebagai suami atau istri, sebagai orang tua dan anggota masyarakat. Pendidikan seks bagi calon pengantin belum menjadi sebuah kewajiban di Negara Indonesia. Pembekalan pranikah yang ada selama ini biasanya lebih bersifat rohani, itupun bukan merupakan program pemerintah sehingga tidak wajib dilakukan oleh pasangan yang mau menikah, sedangkan di Negara Iran, pasangan suami istri yang menikah dan hendak tanda tangan di masjid mereka diharuskan untuk mengikuti pendidikan seks (http://sosbud.kompasiana. com/2011/09/18/sex-educationmutlak-perlu/). Karena tidak diwajibkan oleh pemerintah, mau tidak mau pasangan suami istri harus mencari literature-literatur yang dapat memberikan pendidikan seks secara komprehensip dan memadai dalam membina hubungan pernikahan yang sehat dan langgeng sampai akhir hayat. Nun jauh terpencil disebuah desa di gunung kidul menurut Sunarno Mantingan, masih ada sebuah tradisi sapihan atau sengkeran.

152

Pasangan suami-istri yang baru saja sah menikah tidak boleh langsung berkumpul atau berhubungan intim sebagaimana seharusnya pasangan suami-istri. Dalam masa sapihan atau sengkeran ini mempelai perempuan dikeloni oleh orangtua atau mertua perempuan untuk lama waktu yang sangat relatif (http://sosbud.kompasiana. com/2011/08/09/persimpangan-jalan-pendidikan-seks/). Hal seperti ini dipandang sebagai proses transformasi nilai dari pihak orang tua kepada pasangan mempelai wanita guna kesiapannya dalam berbagai hal kehidupan dan tentunya juga seks. Dalam budaya Bali hal serupa juga masih ada dilaksanakan, walaupun kini tradisi ngekeb di Bali waktunya semakin dipersingkat dan semakin kehilangan arah dan tujuannya semula. ngekeb adalah prosesi isolasi menjelang pernikahan guna mempersiapkan pengantin menuju kesiapan mental dan spiritual guna memasuki jenjang pernikahan. Dalam masa isolasi ini, mempelai pria dan wanita di bekali berbagai bekal ilmu yang nantinya berguna untuk kehidupan rumah tangganya ke depan, prosesi isolasi ini biasanya dilaksanakan selama tiga hari tiga malam, dalam masa ini pengantin diberikan pemahaman tentang berbagai hal dan juga seks oleh sang widagdeng smara orang yang memahami ilmu seks, pada hari ketiga setelah masa isolasi selesai, selanjutnya dilakukan prosesi upacara yang bernama makekalan, setelah upacara makekalan selesai, barulah pasangan yang menikah boleh melakukan hubungan seks dan dianggap sah secara agama Hindu dan budaya Bali. Teori pentingnya pendidikan seks bagi pasangan manusia yang telah menikah bukan barang baru dalam khasanah naskah Bali, di perpustakaan-perpustakaan formal seperti Gedong Kirtya, PUSDOK, perpustakaan lontar UNUD dll; demikian juga di perpustakaan informal Grya dan Puri, teks-teks tentang seks bagi pasangan suami istri dapat kita jumpai, seperti misalnya Rahasyasanggama, Smarakridhalaksana, usaddha lara kamatus, panglanang, Resi Sambina dll, teks-teks inilah yang menjadi acuan bagi kehidupan seks pasangan menikah masyarakat tradisional Bali yang juga menjadi acuan bagi sang widagdeng smara.guna memberikan pelajaran seks kepada pasangan pengantin Hindu di Bali. Sayangnya untuk masa sekarang ini, sangat jarang masyarakat Bali yang mengetahui dan masih perduli akan kearifan budayanya dalam menyucikan seks. Teks Resi Sambina Grya Jungutan Bungaya misalnya, secara sangat jelas menyatakan bahwa pendidikan seks itu sangat penting diberikan kepada pasangan menikah dan hendaknya dijadikan bekal dalam kehidupan rumah tangga kedepan yapwan matuha ya, ikang

153

prayoga magelis kayunnya yan mangkana, jika sudah menikah yoga (yoga seks=pendidikan seks) itulah yang mendesak untuk diketahuinya; hinga pentingnya pendidikan seks bagi pasangan menikah adalah hal yang mendesak diberikan. Naskah Resi Sambina Naskah asli Resi Sambina adalah pustaka warisan temurun dari Ida Ketut Rai dari Grya Jungutan Bungaya kabupaten Karangasem, naskah aslinya beliau warisi dari Ida Pedanda Gede Ketut Kekeran. Pada tahun 2005 penulis diberikan naskah alih aksara Resi Sambina dari Bali ke Latin dalam bentuk foto copy langsung oleh pewaris sah pustaka tersebut. Naskah alih aksara yang diberikan ternyata adalah hasil ketikan dari Drs. Laura J. Bellows, MA dari Universitas Virginia Amerika Serikat melalui pembacaan dan terjemahan langsung naskah Resi Sambina oleh Ida Ketut Rai bertanggal 31 Maret 2000. Naskah yang menjadi acuan dari tulisan ini adalah naskah salinan hasil wawancara tersebut di atas dengan jumlah halaman 10 lembar kertas folio. Ida Ketut Rai tidak tahu siapa sesungguhnya yang mengarang naskah Resi Sambina ini, jadi kajian kepengarangan karya satra ini hanya bisa ditumpukan pada keterangan naskahnya. Ratna Candra adalah sebuah nama yang mengaku telah menuliskan apa yang ia pelajari dari gurunya, sayangnya Ratna Candra tidak menjelaskan secara jelas siapa nama gurunya Lawan prayoga ngkana ri kama sastra, anung pawarah sang guru, yeka kinawruhan sang sang ratna candra, telas niweruh, ginaweta ng sastra cara, denira sang maha widagda (lembar 3). Istruksi seks dalam kama satra, adalah ajaran dari sang guru, itulah yang dipelajari oleh sang Ratna Candra, setelah dia paham, dibuatnyalah tulisan, hasil penjelasan dari dia yang maha ahli. Dalam paragraph ini Ratna Candra hanya menunjuk gurunya sebagai Ia yang ahli tanpa menjelaskan namanya. Pertanyaan berikutnya adalah siapakah guru ratna candra yang dipujinya maha ahli dalam ilmu seks? Satu-satunya keterangan yang dapat kita kait-kaitkan hanyalah pada wacana terakhir naskah ini yang menyebut sebuah nama Resi Sambina. Nihanta kunang kawruhakna denira sang mangega kama sastra, lwirning baga laksana, Ra, Si, Sa, mbi, Na. RA purwa, Si daksina, sa pascima, Mbi utara, Na madia (9-10) Inilah ilmu pengetahuan seks yang hendaknya dipelajari oleh orang yang mau menerimanya, perihal pendidikan seks, ialah Ra (dibaca Re), si, sa, mbi, na. Ra letaknya di timur, Si letaknya di selatan, Sa letaknya di barat, Mbi letaknya di utara, Na letaknya di tengah. Nama Resi Sambina diterangkan oleh Ratna Candra dengan demikian hormat

154

dan juga dengan menyertakan arti dari suku kata-suku kata yang membangun nama tersebut. Ra dalam pembacaan aksara bali di baca re seperti pada restu, Ra adalah penguasaan pada wilayah timur, Si adalah penguasaan pada wilayah selatan, Sa penguasaan pada wilayah barat, Mbi penguasaan pada wilayah utara, dan Na penguasaan pada wilayah tengah; di sini Ratna Candra hendak memuji kehebatan Gurunya yang bernama Resi Sambina dalam penguasaan berbagai bidang ilmu dan pengetahuan penting pada zamannya. Menurut kamus Jawa Kuna kata rsi, resi artinya guru atu orang bijaksana (kamus Jawa Kuna, 200:945) sedangkan kata Sambina ini tak ada satu pun kata yang dapat menerangkannya, kecuali kita kaitkan dengan kata Sambinya yang artinya sambil, pada waktu yang sama. (Kamus Jawa Kuna, 200:1002). Jika kedua kata tersebut dikaitkaitkan agar memiliki makna, resi sambinya jadinya akan bermakna Seorang guru atau orang bijaksana yang secara bersamaan juga memahami ilmu seks. Karena tidak adanya kata Sambina sebaiknya makna kata di atas dimaknai sebagai guru atau orang bijaksana yang bernama Sambina yang menguasai berbagi macam ilmu penting pada zamannya dan juga ilmu seks. Pendidikan seks secara terbuka, seperti bentuk seminar era sekarang, pada zaman itu ternyata masih sangat ditabukan; namun walau secara umum ditabukan, ternyata dikalangan tertutup pelajaran seks ini diakui sangat bermanfaat dan penting untuk di kuasai. Ikanang prayoga nung tan winarahaken sang widagda ring wwang len, rahasya ya de nira, yateka winarahakenku, sarasaning ananga sastra, teki prayoga winarahakenku, ikanang yogya gawean de sang widagda (lembar2). Pengetahuan ini tidak diceritakan oleh para ahli kepada orang lain, dirahasiakan olehnya, ajaran inilah yang aku bicarakan, pengetahuan akan hakekat seks, inilah teorinya sekarang aku bicarakan, yang hendaknya dipraktekkan oleh para ahli. Wacana di atas menjelaskan jika Ratna Candra menyadari jika pendidikan seks pada zamannya masih sangat tertutup dan hanya untuk kalangan terbatas saja, hingga dengan tegas dikatakannya jika orang ahli sekalipun akan sangat merahasiakan pengetahuan tersebut. Pabila di cermati Ratna Candra adalah sosok mendobrak tradisi tabu pada zamannya, ia menyatakan bahwa ajaran rahasia inilah yang sekarang akan ia bicarakan kepada orang-orang yang bijaksana, orang-orang yang berpikir cerdas mengetahui arti penting seks bagi harmonisasi kehidupan manusia dan mereka tidak menolaknya seperti masyarakat kebanyakan. Ratna candra dengan sangat tegas mengatakan bahwa seks yang ia pelajari dengan tekun telah mampu membuatnya mahir dalam

155

bercinta dan ia telah pula dapat memahami hakekat dari seks itu sendiri bagi kehidupan manusia, walau bagi para ahli lainnya ilmu seperti ini tetap dirahasiakan. Kadyangganing prayoga ya teka kinaweruhakenku paramarthanya, matanghyan wihikan, rin gelemku mangabyasa, rinahasya teki denira sang kawi waneh (2-3). Prihal berhubungan seks itulah aku pelajari hakekatnya, hingga menjadi pandai, karena tekunku mempelajarinya, ilmu yang dirahasiakan oleh para ilmuwan. 1. Manfaat Pendidikan Seks Pendidikan seks dalam pandangan Ratna Candra sangat layak diberikan kepada sepasang kekasih menjelang pernikahannya namun tentunya belum boleh dipraktekkan langsung, dengan harapan saat mereka menikah dan membentuk keluarga, pasangan suami istri tersebut sudah dapat mempraktekkan seks yang baik dan benar, yang dapat mengantar mereka pada kebahagiaan rohani jasmani dan biologis. ikang kama sastra ngarania, ajining rare mwang matuha teka, yapwan tan wruh ikang wwang ring kama tattwa yeka tan maha purusa ngarannia. (3).Pendidikan seks, adalah ilmu pengetahuan bagi orang yang menjelang menikah, apabila ia tidak mendapatkan pendidikan seks, ia tidak layak disebut pria utama. Bagi Ratna Candra pasangan menikah terutama suami apabila belum mendapatkan pendidikan seks mereka ini belum layak menyandang gelar maha Purusa atau pria utama; barulah setelah mendapatkan pendidikan seks, seorang pria layak menyandang gelar pria utama (maha purusa). Orang pintar hendaknya selektif dalam memberikan ilmu seks ini, sesuaikanlah kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia dengan fase umurnya. Anak-anak dan remaja lebih membutuhkan busana dan perhiasan, apabila sudah dewasa mereka membutuhkan pengakuan akan kedewasaannya melalui ritus ngaraja swala/ngaraja singa dan matatah, apabila mereka sudah menikah pendidikan sekslah yang paling dibutuhkannya. Ring anwam pangan inum pawehannira yaning rare kunang. Yaning stri yowana sedeng wayahnya, wehen wibhusana denira, yapwan tengah tuwuh wayah nikang stri, upacara paminton sang maha widagdha iri ya, yapwan matuha ya, ikang prayoga maglis kahyunnya yan mangkana (lembar 3). Bagi para remaja dan anak-anak makanan dan minumanlah yang diberikan oleh para ahli, apa bila wanita sudah memasuki usia remaja diberikan pakaian dan perhiasan yang indah oleh para ahli, apabila ia sudah menengah umurnya (umur pantas menikah), pengakuan akan kematangannyalah yang diberikan para ahli, apabila sudah menikah, pendidikan seks itulah yang paling diinginkannya.

156

Ratna Candra meyakini bahwa orang yang telah mempelajari ilmu seks kama tattwa secara otomatis mereka akan memperoleh apa yang disebut dengan tri warga yakni dharma, artha, dan kama. Dharma adalah kebajikan, kebaikan, sopan santun; artha adalah harta benda, kekayaan, uang; kama adalah cinta, kasih sayang, kesenangan (Kamus Jawa Kuna, 2000: 197, 64,448);.ikang wwang yadiapin daridra lawan wirupa kunang, yan ilu ya mamicara kama tattwa, yeka wwang manemu triwarga dharma artha kama, muang sapala dadinia wih, ya lituh, ya susila, ya wruh mawus, ngaranikang wwang yan mangkana, yan lana mamicara kama tattwa (halaman 1). manusia biarpun miskin dan buruk rupa, jika ia ikut mempelajari kama tattwa (hakekat seks), ialah orang yang memperoleh tiga hal pokok (tri warga), kebenaran, kekayaan, dan kesenangan, serta hakekat kehidupan lainnya, dia akan tampan, dia akan berbudi baik, dia akan pintar beretorika, demikianlah perubahan yang akan didapatinya, jika ia tekun mempelajari ilmu seks. Adapun mereka yang merasa jijik dengan ilmu seks ini, mereka sesungguhnya adalah orang bodoh yang tidak akan pernah mengetahui simpul saraf-simpul saraf seks yang dapat memuaskan diri sendiri dan pasangan dalam penikmatan seksnya. Ratna Candra mengandaikan orang yang bodoh ini berkeadaan persis seperti ember bocor yang di tuangi air, ratna candra menganggap tak ada gunanya mengajari mereka yang jijik dan berpandangan tabu akan pendidikan seks. Dadinikang wwang mapunggung tan weruh rikanang nadi, winarah twi tan wruh atah, apan wwang apunggung, pamulangin diun lunga paramartanya (lembar 3). Mereka yang bodoh tidak akan pernah tahu simpul saraf utama seks, diberitahu mereka tidak mau memahami, sebab manusia yang bodoh berkeadaan seperti kuali bocor di isi air. Siapapun suami yang telah mempelajari ilmu seks, hendaknya dimanfaatkan untuk memuaskan kebutuhan biologis istrinya, hal ini nantinya akan berefek pada semakin membaiknya prilaku istri secara etik dan akan menekan nafsu seks yang menyimpang dan sesat yang kemungkinan bisa timbul dari ketidak puasan istri secara biologis. Matanghyan darsana ng kana, ya ta dadi aken kapahenaken ambek anakbi, dumehnya dadi inak ambeknya, ilang raganya (6) Pendidikan seks, jadikanlah alat untuk menyenangkan istri, manfaatnya akan membuat baik etikanya, hilang nafsu sesatnya. 2. Instruksi dan Seni Bercinta Ini adalah salah satu saja dari instruski dan seni bercinta yang di sajikan Oleh Ratna Candra dalam kitabnya. Untuk mengawali bercinta Ratna Candra menyarankan seorang suami hendaknya memegang

157

mesra leher istrinya, kemudian diraba dan dielus dengan penuh kasih, berikutnya suami hendaknya mencium dengan lembut bibir si istri, berikutnya barulah dilakukan rangsangan-rangsangan khusus pada istri menurut warna kulitnya. Apabila istri berkulit cenderung kuning hendaknya suami memfokuskan rangsangan, baik dengan sentuhan, rabaan, pijitan, jilatan, hisapan, dan kulumannya pada tubuh bagian atas istri, maksudnya di atas pusar, meliputi daerah payudara, leher, tengkuk, dll oleh Ratna Candra, wanita berkulit kuning dinamakannya Singha Wikranta (wanita Singa). Apabila kulit istri cenderung berwarna kemerahan disebut dengan Padma Prasita (wanita Lotus), suami hendaknya lebif focus merangsang tubuh bagian kanan dari istri. Apabila berkulit kehijauan Rata Wahana, suami hendaknya lebih memfokuskan rangsangan pada tubuh bagian kiri. Sedangkan istri yang berkulit cenderung gelap Sarpa Nuyapana (wanita ular) suami hendaknya lebih focus merangsang tubuh bagian bawahnya. Lebih jauh dikatakan seorang suami dengan istri yang berkulit semu kuning, hendaknya memasukkan dan memainkan kira-kira 3cm penisnya terlebih dahulu sebelum melakukan koitus penuh, yang berkulit semu merah kira-kira 6cm, yang berkulit semu hijau kirakira 9cm, sedangkan yang berkulit semu hitam 12 centi dimasukkan. Ikang tambian kinolahaken ikang gulunya, ring kaping rwa rekhana, ring kaping tiga sesepin lambenya, telas ring kaping pat ika mengenakaken ta sira purusa widagdha, yan akuning ikang stri I ruhur unggwaning raganya, yan bang-bang ring tengenan unggwaning ragania, yan makiris ahijo ring kiwa unggwaning raganya, yan ahireng ring sor unggwaning raganya. Yan akuning ikang stri eka anguli tam akna, bang-bang awak pwaya rwanguli tam akna, yan makiris ahijo telung guli tam akna, yan ahireng pwaya petang guli tam akna (4). Pertama kali peganglah lehernya, kedua raba, ketiga isap bibirnya, ke empat dilanjutkan dengan tindakan khusus pria ahli, apabila istri berkulit semu kuning rangsangannya terletak pada tubuh bagian atas, apabila berkulit semu merah letak rangsangannya ada ditubuh bagian kanan, apabuila agak kurus semu hijau letak rangsangannya ada ditubuh bagian kiri, apabila berkulit semu hitam letak rangsangannya ada ditubuh bagian bawah. Apabila istri berkulit semu kuning masukkan penis sedalam tiga senti (eka anguli), pabila berkulit semu merah masukkan penis dua kali tiga senti (rwanguli), apabila kurus bersemu hijau tiga kali tiga senti dimasukkan, apabila berkulit hitam empat kali tiga senti dimasukkan (petang guli). Secara umum Ratna Candra menunjukkan daerah-daerah sensitive rangsangan seks bagi semua tipe wanita, hal ini hendaknya dipahami oleh para suami, daerah sensitive berikut hendaknya di

158

ciumi, dijilati, dan dikulum; diataranya: bibir atas dan bawah, pipi, daerah dagu dan leher, lidah, dan payudaranya. nihan tawak nikang stri anung sauten, lambe iruhur isor, pipi, jangut, ilat, susunia. Nahan ta ya sahuten de sang maha widagda (lembar 5). Inilah bagian tubuh istri yang bisa kamu isap, bibir atas dan bawah, pipi, dagu/leher, lidah, dan susunya. Itulah yang disap oleh lelaki ahli. 3. Penemuan-Penemuan Jaringan G-Spot yang Canggih pada Masanya Ratna Candra menunjuk adanya gelendutan daging pada vagina yang di umpamakannya seperti bulan purnama purna sasangka, seorang suami harus tahu posisi dan manfaatnya dalam membangkitkan hasrat biologis istri; bahkan Ratna Candra menyatakan si bulan purnama itulah duta dari hadirnya sang ananga yang adalah nama lain dari dewa asmara. Jadi seorang suami wajib tahu organ ini dan bisa merangsangnya dengan sentuhan. ikang purna sasangka, ya inasparsanira, rikanang ananga duta (lembar 1) yang seperti bulan purnama itu di raba, dipakai sebagai duta asmara seks Bagi suami yang belum paham dan masih kebingungan mencari organ seks ini Ratna Candra menegaskan secara lebih terperinci. iluhuring pundak ikang baga ya ina sparsa nira, ina sparsa tekang purna sasangka (lembar 2). di atas bahu vagina, itulah yang dirabanya, rabalah yang seperti bulan purnama itu. Jadi ketika kita melihat utuh vagina layaknya manusia, bagian di atas dari bahu (kepala) vagina itulah Purna Sasangka. Secara umum dalam dunia medis purna sasangka ini dikenal dengan nama Klitoris. Klitoris adalah organ bulat kecil di bibir bagian atas vagina yang merupakan sebuah kelenjar sensitive dengan demikian banyak ujung saraf didalamnya, dan sangat sensitive terhadap sentuhan atau tekanan langsung dan tidak langsung. Klitoris ini dapat membesar karena batang klitoris akan teraliri darah apabila menerima rangsangan. Menurut Ajen Janawati, dalam bukunya Pendidikan Seks Untuk Remaja, klitoris atau kelentit adalah organ yang terletak di atas ujung labia minora. Jika bibir vagina dibuka akan terlihat benjolan kecil sebesar kacang polong, inilah yang disebut klitoris (2006:43) Setelah menguraikan letak dan fungsi purna sasangka (klitoris), selanjutnya Ratna Candra menunjuk lagi satu bagian sensitive rangsangan seks pada vagina istri, yang disebutnya dengan Nari Wisesa. hana pwangkana ri wisesa ring baga mandala, ya ta sparsan denira, itengahning baga mandala, hana ta mangsa mangadeg, ri tengahning mangsa ya teka windu, hana liang mahet, ngkana tonggwaning nari wisesa, ikang nadi munggwakna tan ring yawa tan ring dalem, tengahning sawuku

159

pramananya, yateka sparsan de sang maha purusa widagda (8). Adalah sesuatu yang hebat di bagian vagina, itulah yang diraba olehnya (ahli seks), didalam liang vagina, adalah daging bergelendut, ditengah daging itu ada titik bulat, ada lobang kecil, disanalah letak dari kehebatan seks perempuan, simpul saraf ini letaknya tidak diluar dan tidak didalam, setengah jari letaknya, itulah yang diraba oleh pria ahli seks. Organ yang juga merupakan jaringan saraf seks selain klitoris ini letaknya di liang vagina, tidak terlalu didalam dan tidak menyembul keluar, jika diukur dengan jari tangan ketika bibir vagina dibuka, letaknya hanya setengah jari tengah dikedalaman liang vagina di dinding bagian depannya. Seorang suami yang mengetahui dengan fasih tempat ini akan dengan mudah memuaskan istrinya di ranjang. Ratna Candra menamakan jaringan ini sebagai Nari Wisesa kekuatan wanita. Senada dengan petunjuk Ratna Candra dalam Resi Sambinanya, adalah seorang ahli kebidanan dan ginekologi dari Jerman Ernst Grafenberg bekerja sama dengan ahli kebidanan dan ginekologi Amerika yang ternama bernama Robert L. Dikinson, M.D, pada tahun 1950 menulis suatu zona erotis selalu bisa ditunjukkan pada dinding depan vagina disepanjang saluran uretra (yang) tampak dikelilingi oleh jaringan erektil seperti corpora convernosa (jaringan pada penis) bila mendapatkan rangsangan seksual, uretra wanita ini mulai membesar dan dengan mudah dapat dirasakan. Daerah ini membengkak semakin besar pada akhir orgasme. Bagian yang paling merangsang itu terletak di uretra belakang, dimana dia muncul dari leher kandung kemih. Jaringan seksual ini kemudian dinamakan dengan G-Spot/Granfenberg-Spot (Alice Khan Ladas, Beverly Whipple & Jhon D. Perry, 2000:45). Dari paparan di atas, fungsi organ seksual dalam vagina wanita berupa Klitoris dan G-spot telah dikenal secara fasih oleh Ratna Candra dalam karyanya yang berjudul Resi Sambina. 4. Manfaat Daya Seks Bagi Kesehatan Manusia Ratna Candra menyatakan bahwa seks adalah obat madhosadha yang dapat membuat pasangan menikah memperoleh kesehatan fisik dan mental. Kata madhosadha adalah gabungan dari kata madhu dan usadha; madhu artinya madu, minuman madu, air gula 625 dan usadha yang artinya obat (zoetmulder, 2000:625,1350). Pasangan menikah yang bisa memperoleh ejakulasi dan orgasme dan rutin melakukan seks dalam kehidupan pernikahannya akan mampu menghilangkan berbagai macam penyakit. Seorang suami hendaknya memanfaatkan klitoris dengan baik agar istri dapat mencapai orgasme,

160

karena orgasme istri adalah obat bagi berbagai macam penyakit. ikang purna sasangka, ya inasparsanira, rikanang ananga duta, smarosada kunang, asing atah ingkana anung sinangguh madhosada, ikang pasida tumungkula, kedik-kedik wineh kadi ardha candra (1-2) yang seperti bulan purnama, itulah yang dirabanya, dipakai perantara nafsu asmara, dijadikan obat seks, semua yang ada disana disebut madu/ sari patinya obat, yang akan mampu menundukkan penyakit, sedikitsedikit diberikan seperti fase bulan. Lebih jauh Ratna Candra menyatakan wanita/istri memiliki delapan dewata penjaga yang berstana di delapan penjuru tubuh istri, delapan dewata inilah yang berwenang membebaskan istri dari segala jenis kesengsaraannya. Wolu ikang dewata mangastula ri awak nikang stri, sira ta wenang manglepasaken papa nikang stri, ndya ta ya, nihan lwir nika Sang Hyang angastula ri awak nikang stri. Ada delapan dewa yang berstana dalam tubuh istri, beliaulah yang berkewenangan membebaskan kesengsaraan, siapah dia, inilah Dewa yang bersemayam didalam diri istri (lembar 8). Ratna Candra memerincinya sebagi berikut: 1) Dewa Brahma berstana di tubuh bagian bawah, Dewa Wisnu berstana di barat laut, Dewa Indra di utara, Apsari di timur laut, Uma di tubuh istri bagian atas, Sita menyatu dengan tubuh istri, Arjuna di selatan, dan Dewa Iswara di barat daya. Manfaat seks bagi kesehatan terbukti ilmiah dan sahih secara medis, berikut delapan manfaat seks bagi kesehatan menurut Dr Gloria G. Bramer dalam bukunya The Better Sex Guide to Extraordinary Love Making yang dikutif oleh Vivanews (http://kosmo.vivanews. com/news/read/228981-manfaat-seks-untuk-kesehatan): 1. Mencegah kanker prostat pada pria. Bramer mengatakan, berhubungan seks tidak hanya sekedar menunjang kedekatan fisik antara pasangan suami istri. Para suami yang sering merasakan nikmatnya orgasme bersama pasangan terbukti mampu menurunkan risiko kanker prostat dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh mereka. 2. Meningkatkan kesehatan jantung. Ingin merasa terlihat bugar di dalam dan di luar? Berhubungan seks akan meningkatkan kebugaran kardiovaskular, mengurangi stres, dan merangsang peningkatan perasaan bahagia secara alami. Hal positif lainnya, otot-otot panggul akan makin kencang. 3. Berhubungan seks melibatkan seluruh tubuh. Berolahraga tentu melibatkan seluruh tubuh Anda. Sama halnya ketika Anda melakukan hubungan seks. Seluruh tubuh ikut bergerak, kata Fulbright. Otak Anda merasa lebih rileks, menenangkan dan

161

menghilangkan stres. 4. Seks memperlancar aliran darah. Sirkulasi oksigen dalam otak berjalan lancar. Hal ini pada gilirannya juga mempengaruhi organ-organ reproduksi dan jantung Anda, membuat mereka sehat, kuat, dan meningkatkan fungsionalitas, ucapnya. 5. Bercinta membuat tubuh lebih lentur. Seks juga menurunkan hormon testosteron, sehingga otot bekerja dan membuat Anda lentur. Pada dasarnya melakukan hubungan seks seperti menggabungkan manfaat dari berjalan dan yoga ke dalam satu kegiatan, kata Fulbright. 6. Menghilangkan selulit. Seks dapat membantu menangkal timbulnya selulit di kaki dan paha. Meski tidak bisa menghilangkan secara sempurna, hubungan intim secara teratur mampu menyamarkan tampilan selulit yang ada. Karena berhubungan seks bisa melunturkan lemak tubuh. 7. Seks meningkatkan hubungan pasangan. Sebagai kegiatan fisik yang paling sering dilakukan oleh pasangan suami istri, seks akan mendekatkan pasangan. Ini berarti semakin sering bercinta dengan pasangan, koordinasi atau komunikasi yang terjalin antara Anda dan suami akan lebih baik. 8. Pembangkit energy. Berolahraga bisa meningkatkan energi dan stamina. Sama halnya jika semakin banyak Anda melakukan hubungan seks, semakin Anda merasakan adanya peningkatan energi dan stamina. Tidak hanya di kamar tidur, hubungan intim yang rutin juga bisa meningkatkan semangat kerja Anda. 5. Seks Sebagai Kegiatan Suci Pasangan Suami-Istri Melalui Ritus Agama Perkawinan dalam agama hindu adalah bentuk sakralisasi seks, orang yang sudah melalui prosesi ini akan dinyatakan sah untuk melakukan hubungan seks dan berkewajiban untuk melanjutklan keturunannya. Manawa Dharma Sastra III.2 menyatakan wedanadhitya wedau wa wedamwapi yathakra mam, awipluta brahmacaryo grihastasrama mawaset. Seorang murid yang sudah mempelajari ke tiga weda, dua ataupun satu saja tanpa melanggar peraturan-peraturan untuk murid itu, (ia) akan memasuki ketingkat sebagai kepala rumah tangga (Manawa Dharmasastra, 1995:130). Artinya seorang pemuda yang telah dengan tekun dan taat mempelajari minimal satu saja dari kitab veda di pasraman hingga tamat, ia telah diperkenankan memasuki masa membina rumah tangga grehastin. Geoffrey Parinder (2005:25) menyatakan bahwa dalam tradisi

162

Hindu upacara perkawinan menjadi persembahan rumah tangga yang paling terperinci mengenai pengorbanan rumah tangga kendatipun hanya sedikit ritual-ritual berikutnya yang bisa dilacak ke periode weda. Perkawinan dianggap sebagai persembahan itu sendiri dan laki-laki yang tidak kawin disebut orang yang tanpa persembahan. Ratna Candra menambahkan, walaupun telah menikah, seorang suami yang baik, bijaksana, dan mahir dalam ilmu seks, belum cukup mensakralisasi hubungannya hanya dengan ritual pernikahan itu saja, ia masih harus mempelajari Kama Tattwa (hakekat seks). Pabila berkenan memilih teks Resi Sambina sebagai acuan pendidikan seksnya seorang saumi oleh Ratna Candra diwajibkan menghafal mantramantra senggama, karena kenikmatan seks adalah sarana utama yang akan mengantar istri untuk mencapai alam moksha ika punian sang widagda maha purusha mangkana, ya ta dumeh sira tumemwaken kamoksha padan (lembar7). Itulah pemberian dari orang yang sangat ahli seks, itulah yang diberikannya hingga (istri!) mencapai alam pembebasan moksha. Berikut adalah mantranya: Apan kama tattwa pinaka marga, nihanta ng mantra kena-kena de sang maha widagda purusa, ri awakning anakbi kalaning sanggama lingnya: Syang mantraning susu karwa, Ang mantraning puser, Tang ring hati, Ong ring ulu, Ong mantraning ngaran, Byang ring walakang, Ung mantraning tangan kiwa Ang mantraning tangan tengen, Nyang bahu ring tengen, Yang bahu kiwa, Pang ring pundak, yateka laksanakna ri kalaning masanggama lawan stri (lembar 9). Apabila hakekat seks kama Tattwa dijadikan jalan, inilah mantra yang hendaknya dipahami oleh para ahli seks, saat bersenggama dengan istri: Syang adalah mantra saat memegang kedua susu, Ang saat menyentuh pusar, Tang saat menyentuh ulu hati, Ong saat menyentuh kepala/leher, Ong kala mengingat nama istri, Byang saat menyentuh punggung dan bagian belakang tubuh, Ung mantra saat menyentuh tangan kiri, Ang mantra saat menyentuh tangan kanan, Nyang saat menyentuh bahu kanan, Yang saat menyentuh bahu kiri, Pang mantra saat menyentuh Pundak, itulah yang hendaknya dirapalkan saat bersenggama dengan istri. Dari wacana Ratna Candra di atas, mantra yang wajib dirapalkan tatkala suami memegang, mengelus, memijat, mencium, menjilati dan mengulum payudara adalah Syang; saat rangsangan yang sama dilakukan pada daerah pusar mantranya Ang; saat suami merangsang daerah ulu hati mantranya Tang; saat suami merangsang daerah kepala hingga leher mantranya Ong demikian juga mantra ini dipakai saat mengingat nama istri; Saat suami merangsang bagian punggung

163

hingga bagian belakang tubuhnya mantra yang diucapkan adalah Byang; Ung dipakai saat merangsang tangan kiri dan Ang untuk tangan kanan; Ketika suami merangsang bahu kanan mantranya adalah Nyang, sedangkan untuk yang kiri mantranya Yang; saat suami merangsang bahu istrinya mantra yang dirapalkan adalah Pang. Mereka yang memahami Pendidikan seks akan mengantar istrinya mencapai alam pembebasan. Demikianlah selayang pandang dari pendidikan seks bagi pasangan menikah menurut Ratna Candra dalam karyanya Resi Sambina. Tentunya apa yang disajikan di sini masih dalam tataran permukaan saja, hingga studi lanjut atas topik ini akan dilanjutkan dilain waktu dan kesempatan.

DAFTAR PUSTAKA
Alica Kahn Ladas, Beverly Whipple & John D. Perry, 2000. G-Spot, Titik kenikmatan & penemuan mutakhir lainnya tentang seksualitas manusia. Mitra Media Publisher: tanpa nama kota. Ajen Dianawati, 2006. Pendidikan Seks Untuk Remaja. Kawan Pustaka : Depok Maswinara, I Wayan, 1997. Kama Sutra. Paramita : Surabaya. Geoffrey Parinder, 2005. Teologi Seksual. PT LKiS Pelangi Aksara : Yogyakarta. Zoetmulder P.J. & S.O Robson, 2000. Kamus Jawa Kuna Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. Semadi Astra, I Gede, Dkk, 2001. Kamus Sanskerta-Indonesia. Pemprop Bali : Denpasar. Team Penyusun Kamus, 1991. Kamus Bahasa Bali-Indonesia. Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati Bali : Denpasar. Team Redaksi KBBI III, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke Tiga. Balai Pustaka : Jakarta.

164

KOMUNIKASI INTERPERSONAL BUDAYA DAERAH DALAM KONTEKS HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN KEPUASAN KERJA GURU
Ai Sumiati Rahman IKIP Sukabumi
Pendahuluhan ahasa ibu merupakan salah alat komunikasi interpersonal dalam melaksanakan usaha pendidikan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Pemerintah sebagai salah satu penanggung jawab pendidikan telah banyak melakukan berbagai kebijaksanaan dalam usahanya untuk meningkatkan kualitas hidup rakyatnya. Hal ini dapat dilihat dari bermacam perbaikan yang dilaksanakan mulai dari perbaikan kurikulum, pengadaan buku, pengadaan gedung dan peralatan, peningkatan kualitas guru, baik untuk tingkat daerah maupun pusat. Akan tetapi kualitas pendidikan seperti yang diharapkan masih belum tercapai. Oleh sebab itu penelitian tentang hal di atas terus diadakan, agar masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia dapat diatasi, sehingga pada akhirnya akan merupakan alternatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sekolah dalam hal ini guru SD Se-Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat sebagai organisasi harus memiliki seorang pemimpin yang bertanggung jawab bagi terselenggaranya segala kegiatan di dalam organisasi tersebut untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tanggung jawab pokok pemimpin adalah memberi arah pada semua kegiatan dalam organisasi agar tertuju kepada pencapaian tujuan yang diinginkan meskipun tanpa kehadiran pemimpin organisasi yang tidak mendapatkan arahan dari pimpinannya diperkirakan kegiatan-kegiatan berjalan tanpa arah atau tidak terkoordinasi, sehingga tidak akan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk menjalankan tugas tersebut, kepala sekolah SD seKecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat perlu senantiasa meningkatkan kemampuan berkomunikasi interpersonal budaya

165

daerah, pengabdian dan kreativitasnya agar dapat melaksanakan tugas secara profesional sehingga kualitas kepemimpinan kepala sekolah signifikan bagi keberh Banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kepuasan kerja seorang guru dalam suatu organisasi antara lain komunikasi interpersonal, dan gaya kepemimpinan kepala sekolah . Tinjauan Pustaka A. Teori Komunikasi Interpersonal Budaya Daerah Komunikasi interpersonal budaya daerah memiliki arti yang sangat penting bagi manusia, karena tanpa komunikasi budaya daerah tidak akan terjadi interaksi dan tidak akan terjadi saling tukar pengetahuan dan pengalaman apalagi untuk melakukan kerja sama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Sifat menyampaikan informasi, sistem informasi, komunikasi juga dikatakan perilaku informatif yang merupakan produk dari proses sosialisasi di mana individu berperilaku dengan stimuli yang diterima, informasi kognitif yang bersifat menyampaikan pesan administrasi tentang cara-cara membuat surat seperti permohonan cuti yang baik, pengisian kartu rencana studi, pindah jurusan dan lain-lain. Dengan komunikasi seseorang dapat memperoleh berbagai informasi yang diperlukan untuk melaksanakan sesuatu, mulai dari tujuan, persyaratan kerja, waktu pelaksanaan kerja dan personil yang melaksanakannya. Hal ini dapat dipahami dari definisi komunikasi yang disampaikan oleh Taylor. Menurut Taylor, Communication may be definded, as giving, receiving or exchanging information, opinions or ideas by writing, speech or visual means, so that the material communicated is completely understood by everyone concerned. Artinya, komunikasi dapat didefinisikan sebagai pemberian, pengiriman atau pertukaran informasi, pendapat atau gagasan secara tertulis, lisan atau dengan alat visual, sehingga materi yang dikomunikasikan dapat dipahami dengan lengkap oleh orang-orang yang berkepentingan. Dengan memilah substansi yang terdapat di dalam definisi ini, maka komunikasi mengandung elemen pengirim informasi, materi informasi, media informasi, dan penerima informasi. Pengirim informasi adalah orang yang memiliki gagasan atau pendapat yang akan dikirimkan/ disampaikan; materi informasi adalah gagasan atau ide yang akan dikirimkan; media informasi adalah penyampaian lisan (langsung/ pertelepon), tulisan (surat, memo dan pengumuman), alat visual (televisi, proyektor, dan lain-lain); dan penerima informasi adalah orang yang menerima informasi yang dikirimkan.

166

Komunikasi interpersonal budaya daerah adalah antara dua orang, biasanya berhadapan muka, walaupun orang dapat menggunakan media komunikasi (seperti pesawat telepon) untuk berkomunikasi secara pribadi tanpa kehadiran mereka secara bersamasama. Satu hal yang terpenting dari hasil hubungan interpersonal ini adalah perkembangan hubungan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi interpersonal dapat membangun hubungan sosial yang baik di antara individu organisasi/perusahaan. Dengan hubungan personal yang baik ini, tugas-tugas koordinasi kerja dapat dilaksanakan dengan baik, dalam menjalin kerjasama untuk mencapai tujuan perusahaan. Ada tiga elemen komunikasi interpersonal yaitu sumber/encoding, signal dekoding/tujuan. Pengertian sumber atau encoding adalah orang yang menyediakan informasi yang akan disebarkan kepada orang lain. Enkoding adalah meletakkan informasi ke dalam bentuk yang dapat diterima atau dipahami orang lain. Signal adalah informasi yang sudah dienkodekan sebagai sumber yang hendak dibagikan menyusun suatu pesan. Dekoder/tujuan adalah orang yang mendapatkan informasi. Pengkodean adalah proses pengubahan kembali signal menjadi informasi. Elemen komunikasi yang terdiri dari 3 bagian ini diperluas oleh Shaw dan Onkvisit yang mengatakan bahwa, Communication is basically a five-stage process consisting of source, information, decoding, and destination. Artinya, pada dasarnya komunikasi memiliki lima langkah proses yang terdiri dari sumber, pengkodean, informasi, dan tujuan. Pembentukan simbol atau dekode dan pemberian arti simbol yang disebut dengan dekode, dan penyampaian umpan balik pengertian pesan oleh si penerima pesan kepada si pemberi pesan merupakan suatu proses pemindahan pesan. Proses komunikasi dapat berlangsung di antara pengirim dan penerima pesan, dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu komunikasi interpersonal dan komunikasi impersonal. Komunikasi interpersonal dapat berlangsung dari satu individu ke individu lain, sedangkan komunikasi impersonal dapat berlangsung dari satu individu ke suatu kelompok individu atau masyarakat luas. Ada dua bentuk komunikasi, oral dan tertulis. Komunikasi oral disebut juga komunikasi lisan, di mana berlangsung percakapan tatap muka, diskusi kelompok, panggilan telepon, dan hal lain. Media komunikasi dalam pembicaraan tatap muka ini adalah katakata langsung yang dinyatakan isi komunikasi dalam tulisan seperti memo, surat, laporan, catatan dan lainnya dimana kata-kata dituliskan untuk menyampaikan arti. Komunikasi interpersonal secara tertulis

167

memberikan sebuah catatan tetap, merupakan yang terbaik, ekonomis, dan mudah didistribusikan, namun, komunikasi tertulis ini lebih kaku bila dibandingkan komunikasi lisan. Dilihat dari segi arus komunikasi, maka komunikasi dari atas ke bawah adalah jalur komunikasi antara manajer, penyelia, dan bawahan. Komunikasi dari bawah ke atas berisi dari saran-saran dari bawahan kepada atasan. Sedangkan komunikasi horizontal adalah komunikasi di antara bawahan atau sesama setingkat/sederajad, teman sejawat dan sahabat. Grapevine adalah komunikasi yang diabaikan para manajer tetapi ada dalam organisasi, biasanya gosip yang kebenarannya kurang akurat. Jaringan adalah sistem komunikasi informal kedua yang menggambarkan pandangan kelompok/group terhadap atasan dan lainnya. Komunikasi grapevine dan jaringan ini merupakan komunikasi informal yang berlangsung dalam praktek kehidupan sehari pegawai yang diantaranya adalah diskusi pribadi, percakapan setelah makan siang, gosip di lift, pembicaraan di telepon, kesempatan pertemuan di koridor, pertemuan informal karyawan, memerintahkan bawahan, berhubungan dengan pelanggan, pertemuan resmi, wawancara, sesi pelatihan, memberikan materi presentasi, seminar. Semua komunikasi ini bertujuan untuk menyebarkan informasi atau memperoleh informasi baik berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pekerjaannya. Komunikasi interpersonal yang menjadi komunikasi organisasi, berlangsung secara formal menuruti struktur organisasi yang ada, sedangkan komunikasi interpersonal informal berlangsung dalam aktivitas luar organisasi baik yang mempengaruhi atau tidak mempengaruhi pekerjaan masing-masing individu yang terlibat dalam komunikasi. Bagan atau struktur organisasi mempermudah seseorang melihat bagaimana komunikasi berlangsung secara vertikal (antar tingkat), horizontal (antar bagian), dan diagonal antara bagian dan tingkat. Tiap aktivitas pekerjaan menuntut komunikasi interpersonal baik secara vertikal dengan atasan tentang hal-hal seperti prosedur, target dan program kerja, atau secara horizontal tentang hal-hal seperti penyamaan pandangan tentang prosedur kerja yang harus diikuti. Proses komunikasi dikatakan berhasil jika penerima pesan mengerti pesan sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim pesan. Kunci utama keberhasilan komunikasi interpersonal adalah kesamaan pengertian antara penerima dan pengirim pesan atas pesan yang dikomunikasikan. Oleh karena itu, agar komunikasi interpersonal dapat berjalan efektif, para komunikan harus memahami kendala-

168

kendala yang akan mengganggu mereka dalam berkomunikasi. B. Teori Kepuasan Kerja Pekerjaan sesungguhnya merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia, sebagai aspek kehidupan yang memberikan status seseorang di dalam masyarakat. Kondisi ini menunjukkan bahwa kerja merupakan aspek yang paling mendasar dari kehidupan manusia, karena akan memberikan status bagi semua anggota masyarakat. Kemudian berbeda dengan uraian di atas, terdapat pengertian pekerjaan yang dikaitkan dengan lima macam kemampuan dalam melakukan suatu pekerjaan, yaitu muscular, sensory, mental, social, dan conceptual. Pekerjaan diartikan sebagai kegiatan yang membutuhkan berbagai persyaratan kemampuan dan untuk itu biasanya yang pelakunya mendapatkan balas jasa dan kepuasan. Dari pengertian di atas, ada tiga unsur yang perlu diperhatikan, yakni kemampuan, balas jasa dan kepuasan. Dengan demikian untuk melakukan suatu pekerjaan diperlukan kemampuan tertentu, berupa muscular, sensory, mental, social dan conceptual (imaginative). Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbedabeda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Kepuasan kerja merupakan respon sikap atau emosional orang terhadap kondisi pekerjaannya saat ini. Dalam pengertian ini kepuasan kerja diartikan sebagai sesuatu konstruk yang unidimensional yakni kita sering memutuskan bahwa pekerjaan kita memuaskan atau tidak memuaskan. Dari uraian di atas berarti kepuasan kerja yang timbul pada diri guru tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, melainkan banyak faktor yang turut mempengaruhinya, seperti a. Faktor hubungan antar guru, b. Faktor individual, c. Faktor-faktor luar. Selain itu terdapat pula faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kepuasan kerja sebagai berikut; a) kedudukan, b) pangkat jabatan, c) umur, d) jaminan finansial dan jaminan sosial, dan e) mutu pengawasan Apabila yang didapat ternyata lebih besar daripada yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun terdapat perbedaan, tetapi merupakan perbedaan yang positif. Sebaliknya makin jauh kenyataan yang dirasakan itu di bawah standar

169

minimum akan menjadi perbedaan yang negatif, maka makin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan khusus merupakan bagian dari kepuasan umum yaitu sebagai hubungan antara dari aspek situasi dan reaksi pekerja. Seorang guru yang masuk dan bergabung dengan suatu organisasi mempunyai seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang menyatu membentuk suatu harapan yang diharapkan dapat dipenuhi oleh organisasi dan atasannya . D. Teori Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki pemimpin tersebut. Menurut Charles Z. Keating terjemahan A.M. Mangunhardjana, Kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan McFarland dalam tulisan Soewarno Handayaningrat memberikan definisi kepemimpinan sebagai suatu proses dimana pimpinan digambarkan akan memberikan perintah atau pengarahan, bimbingan atau mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih atau mencapai tujuan yang ditetapkan. Di pihak lain Moenir memberikan definisi tentang kepemimpinan sebagai sifat, kemauan, proses atau konsep yang dimiliki seseorang sedemikian rupa sehingga telah diikuti, dipatuhi dan dihormati serta disayangi oleh orang lain itu sehingga bersedia dengan penuh keikhlasan melakukan kegiatan atau perbuatan yang dikehendaki seseorang tersebut. Dalam mempelajari masalah kepemimpinan para ahli menggunakan beberapa pendekatan. Stoner seperti dikutip Purwanto mengemukakan bahwa, pendekatan kepemimpinan dibedakan menjadi lima macam, yaitu pendekatan sifat, perilaku, kontingensi, path goal, dan teori kepemimpinan situasional. Sedangkan Carrol dan Tossi merangkum menjadi tiga macam pendekatan yaitu, Pendekatan kesifatan, pendekatan perilaku, pendekatan situasional. Pendapat Carrol dan Tossi ini sejalan dengan pendapat Handoko bahwa penelitian teori-teori kepemimpinan dapat diklasifikasikan menjadi, Pendekatan kesifatan, pendekata perilaku, pendekatan situasional. Pendekatan kesifatan memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sikap-sikap

170

kepemimpinan yang tampak. Pendekatan perilaku bermaksud mengidentifikasikan perilaku-perilaku (behavior) pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan efektif, sedangkan pendekatan situasional menganggap bahwa kondisi yang menentukan efektivitas kepemimpinan dengan situasi tertentu. Pengertian perilaku kepemimpinan mengacu kepada pendekatan perilaku, yakni pendekatan yang berlandaskan pemikiran bahwa keberhasilan dan kegagalan pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap dan bertindak yang bersangkutan. Gaya bersikap dan bertindak akan nampak dari cara memberi tugas, cara memberi perintah, berkomunikasi, membuat keputusan, cara mendorong semangat bawahan, menegakkan disiplin, cara mengawasi. Sedangkan Hersey mengatakan, Tingkah laku pemimpin adalah apa yang dikatakan dan dilakukan seorang pemimpin. Pendekatan inilah yang melahirkan berbagai teori kepemimpinan, salah satunya perilaku kepemimpinan yang dikemukakan oleh para peneliti Universitas Ohio Staff peneliti dari Universitas Ohio merumuskan kepemimpinan sebagai suatu perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu group ke arah pencapaian tujuan tertentu. Menurut hasil penelitian yang mereka lakukan dapat dibedakan adanya dua macam perilaku kepemimpinan, yaitu Initiating Structure (struktur tugas) dan Consideration (tenggang rasa). Pusat penelitian Universitas Michigan melakukan penelitian untuk mempelajari masalah kepemimpinan. Dari penelitiannya ditemukan adanya dua macam perilaku kepemimpinan, yaitu The Job centered (terpusat pada pekerjaan) dan the Employee Centered (terpusat pada guru). Adapun gaya-gaya kepemimpinan yang pokok atau dapat disebut ekstrim ada tiga, yaitu Otokratis, Laissez faire, Demokratis. a. Otokratis. Dalam kepemimpinan otokratis pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya memimpin adalah menggerakkan dan memaksakan kelompok, penafsirannya sebagai pemimpin tidak lain adalah menunjukkan dan memberi perintah, kewajiban anggota hanyalah mengikuti dan menjalankan, tidak boleh membantah dan mengajukan saran. Kekuasaan yang demikian ini akan dapat menimbulkan sikap menyerah tanpa kritik, sikap asal bapak senang atau sikap sendiko dawuh terhadap pemimpin dan cenderung untuk mengabaikan perintah dan tugas jika tidak ada pengawasan langsung. Dominasi

171

yang berlebihan mudah menghidupkan oposisi terhadap pemimpin atau menimbulkan sifat-sifat agresif pada anggota kelompok terhadap pemimpinnya. b. Laissez Faire Dalam kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan pimpinan. Tipe ini diartikan sebagai membiarkan orang-orang berbuat sekehendak hatinya. Pemimpin sama sekali tidak memberikan kontrol atau koreksi terhadap anggota-anggota kelompok. Tingkat keberhasilan organisasi atau lembaga yang dipimpinnya semata-mata disebabkan karena kesadaran dan dedikasi beberapa anggota kelompok dan bukan pengaruh dari pimpinannya. c. Kepemimpinan Demokratis Kepemimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam setiap kelompok atau organisasi. Kepemimpinan ini diwujudkan dalam dominasi perilaku sebagai pelindung, penyelamat serta cenderung memajukan dan mengembangkan organisasi, diwarnai dengan usaha mewujudkan hubungan manusiawi yang efektif berdasarkan prinsip saling menghormati, menghargai satu dengan yang lain. Tidak ada rasa tertekan atau takut, namun pemimpin selalu dihormati dan disegani secara wajar sebagai anggota biasa, dia tidak pernah memberikan perintah tanpa alasan yang jelas atau menjelaskan pentingnya masalah, juga selalu mendiskusikan semua masalah dengan kelompoknya serta memperlakukan bawahannya sebagai kawan kerja. Menurut Robert Tannembaum dan Warren A. Schmid yang dikutip oleh Thoha mengatakan bahwa Kepemimpinan yang otokratis tekanan orientasinya diarahkan pada tugas, sedangkan kepemimpinan yang demokratis tekanan orientasinya diarahkan pada hubungan pemimpin dengan yang dipimpinnya. Dengan demikian kepemimpinan yang demokratis adalah cenderung berorientasi bawahan atau sama dengan perilaku perhatian (konsiderasi). Perilaku kepemimpinan berorientasi bawahan atau demokratis menimbulkan situasi kerja yang kekeluargaan dan kondusif. Disiplin yang tinggi bukan disebabkan oleh ancaman atau sanksi, tetapi bersumber dari kesadaran masing-masing yang secara positif menunjang pada peningkatan kualitas dalam bekerja atau melaksanakan kegiatan. Bila kesadaran ada maka setiap perintah atau instruksi yang diberikan terasa sebagai ajakan untuk berbuat suatu bagi kepentingan bersama. Hal ini sejalan dengan pendapat Kartini Kartono, Di bawah kepemimpinan yang demokratis terdapat disiplin kerja dan ketepatan kerja yang lebih tinggi.

172

Usaha menciptakan disiplin kerja dapat dilakukan melalui perhatian dan kerja sama dari pemimpin, yaitu perilaku kepemimpinan yang menciptakan hubungan kerja dengan guru yang didasari rasa saling menghormati dan menghargai. Siagian menyatakan, Setiap orang dalam organisasi bagaimana pun rendahnya pendidikan. Simpulan Pertama, terdapat hubungan positif antara komunikasi interpersonal budaya daerah dengan kepuasan kerja guru seKecamatan Cikakak Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Ini berarti bahwa makin baik komunikasi interpersonal seorang guru pada organisasi, akan makin tinggi kepuasan kerja guru tersebut. Demikian pula sebaliknya, makin kurang baik komunikasi interpersonal seorang guru pada organisasi, makin rendah pula kepuasan kerja guru tersebut. Oleh karena itu komunikasi interpersonal merupakan variabel yang penting untuk diperhatikan di dalam memprediksi kepuasan kerja guru. Meskipun secara statistik berhasil diuji terdapat hubungan yang positif antara kedua variabel, peneliti menyadari bahwa faktor komunikasi interpersonal bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan tinggi rendahnya kepuasan kerja guru. Masih ada faktor lain yang mungkin berperan terhadap kepuasan kerja seperti gaya kepemimpinan kepala sekolah, aktualisasi diri, disiplin kerja, promosi jabatan, pengetahuan guru, keterampilan kerja, dan faktor lainnya yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Kedua, terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru se-Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Hal ini berarti bahwa makin baik gaya kepemimpinan kepala sekolah pada guru makin tinggi pula kepuasan kerja guru tersebut. Demikian pula sebaliknya, makin kurang baik gaya kepemimpinan kepala sekolah pada guru, makin rendah pula kepuasan kerja guru tersebut. Oleh karena itu gaya kepemimpinan kepala sekolah merupakan variabel yang penting untuk diperhatikan dalam memprediksi kepuasan kerja guru. Meskipun secara statistik berhasil diuji terdapat hubungan yang positif antara kedua variabel, peneliti menyadari bahwa faktor gaya kepemimpinan kepala sekolah bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan tinggi rendahnya kepuasan kerja guru. Masih ada faktor lain yang mungkin berperan terhadap kepuasan kerja seperti komunikasi interpersonal, aktualisasi diri, disiplin kerja, promosi jabatan, pengetahuan guru, keterampilan kerja, dan faktor lainnya

173

yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Ketiga, terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dan komunikasi interpersonal secara bersama-sama dengan kepuasan kerja guru se-Kecamatan Cikakak Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Dengan demikian berarti bahwa makin baik gaya kepemimpinan kepala sekolah pada guru dan makin baik komunikasi interpersonalnya, makin tinggi pula kepuasan kerja guru tersebut. Sebaliknya makin kurang baik gaya kepemimpinan kepala sekolah seorang guru dan makin kurang baik komunikasi interpersonalnya, makin rendah pula kepuasan kerja guru tersebut. Kondisi ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan kepala sekolah dan komunikasi interpersonal, merupakan dua variabel yang penting untuk diperhatikan dalam menjelaskan peningkatan kepuasan kerja seorang guru.

DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, Panji. 2005. Perilaku Keorganisasian. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Arikunto, Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Asad, Moh. 1997. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty. Bernandin and Russel dalam Foustino Cordoso Gomez. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset. Cribbin, James J. 2000. Kepemimpinan: Mengefektifkan Strategi Organisasi. Jakarta: Pustaka Binaman Presindo. Gasperz, Vincent. 1998. Manajemen Produktivitas Total: Strategi Peningkatan Produktivitas Bisnis Global. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gibson, Ivancevich & Donnely. 2003. Organisasi, Perilaku, Struktur dan Proses. Alih bahasa: Agus Dharma, Jakarta: Erlangga. Gomes, Cardoso. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset. Gordon, Thomas. 2005. Menjadi Pimpinan Efektif. Jakarta: PT Gramedia. Greech, Bill. 2006. Manajemen Mutu Terpadu. Terjemahan Alexander Sudiro. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Handayaningrat, Soewarno. 2000. Pengantar Studi Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Gunung Agung. Handoko, T. Hani. 2003. Manajemen. Yogyakarta: BPFE. Hasibuan, Malayu S.P. 2006. Organisasi dan Motivasi: Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara. Hersey, Paul. 2004. Kunci Sukses Pemimpin Situasional. Terjemahan Budiono. Jakarta: Delaprasta. Kartono, Kartini. 2001. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali Press. Kussriyanto, Bambang. 2001. Peningkatan Produktivitas Karyawan. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Mangunhardjana, A.M. 2002. Manajemen Kepemimpinan. Yogyakarta:

174

BPFE. Moenir, A.S. 1998. Kepemimpinan Kerja Teknik dan Keberhasilannya. Jakarta: Bina Aksara. Nawawi, Hadari. 2003. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nitisamito, Alex S. 2002. Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Purwanto, M. Ngalim. 2000. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remadja Karya. Reksohadiprodjo, Sukanto dan T. Hani Handoko. 2000. Organisasi Perusahaan. Yogyakarta: BPFE. Robbins, Stephen P. 2000. Organization Theory, Structure, Design and Application. California: International Inc. Siagian, Sondang P. 1999. Bunga Rampai Manajemen Modern. Jakarta: Gunung Agung. ---------------------------. 2002. Manajemen dalam Pemerintahan. Jakarta: LAN-RI. ---------------------------. 2006. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi. Jakarta: Gunung Agung. Soekanto, Soerjono. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit UI. Sutarto. 2001. Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Thoha, Miftah. 1998. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Radjawali Press. Wahjosumidjo. 2004. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Wayong J. 1999. Fungsi Administrasi Negara. Jakarta: LAN-RI. Yuwono, S. 2003. Kepemimpinan dalam Organisasi Aparatur Pemerintah. Yogyakarta: Liberty.

175

DAMPAK SERTIFIKASI GURU DALAM MENUMBUHKEMBANGKAN KEMAMPUAN PROFESIONALITAS GURU MUATAN LOKAL SMP DI JAWA BARAT
Nunuy Nurjanah, Dingding Haerudin, dan Ruhaliah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
LATAR BELAKANG ntuk dapat menjadi guru yang profesional dalam mengelola pembelajaran, guru atau calon guru dituntut memiliki penguasaan bidang studi, pemahaman tentang peserta didik, penguasaan pembelajaran yang mendidik, dan pengembangan kepribadian dan keprofesionalan (Depdiknas, 2004; Mukhadis, 2004). Pasal 46 Peraturan Pemerintah RI No. 74 tahun 2008 menyatakan guru memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan Kualifikasi Akademis dan kompetensinnya, serta untuk memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya. Tugas pengembangan profesional utamanya merupakan tanggung jawab guru secara individual. Oleh karena itu, seperti halnya tenaga profesional lainnya, guru diharapkan selalu mengikuti dan melakukan pengembangan profesional. Pengembangan profesional penting bagi guru sejalan dengan perubahan pada tempat kerja (Brown, 2000) dan perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, dan peserta didik (NRC, 1988:55-56). Kegiatan yang telah dilaksanakan dalam bentuk diklat tidak dapat dibiarkan begitu saja, maka setelah selesai kegiatan perlu dilakukan tindak lanjut tentang keadaan yang sesungguhnya di lapangan. Materi yang diberikan melalui diklat telah menyesuaikan dengan kebutuhan lapangan, dimana sebelumnya beberapa guru dimintai secara acak pendapatnya mengenai kesulitan yang dialami guru di lapangan. Kegiatan tindak lanjut guru di lapangan dalam pemberdayaan kompetensinya harus dilakukan dalam proses belajar dan mengajar. Namun demikian, guru tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya dukungan dan hubungan kerja dengan pihak lain yang ada disekitarnya. Oleh karena itu, dipandang perlu adanya konsultasi dengan kepala sekolah dan pengawasnya, koordinasi dengan guru

176

dan tenaga staf lainnya serta mengadakan komunikasi dengan siswa dan orang tua serta masyarakat sekitarnya. Berdasarkan diklat yang telah dilaksanakan, dipandang perlu adanya kegiatan yang dapat melihat secara dekat tentang aktivitas guru pasca diklat dimana dapat diperoleh informasi di antaranya mengenai korelasi materi yang diberikan dengan aktivitas guru di lapangan. Ada pihak lain yang perlu dilihat yakni kemanfaatan dari diklat terhadap lingkungannya yakni bagaimana dampaknya terhadap kinerja sekolah, kepala sekolah, guru teman sejawat, siswa dan masyarakat orang tua siswa. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan dampak sertifikasi guru melalui PLPG terhadap: 1. peningkatan sikap kerja/kreativitasnya bgai guru bidang studi mulok mata pelajaran bahasa Sunda. 2. peningkatan persiapan kegiatan belajar mengajar guru mulok bahasa Sunda. 3. peningkatan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar guru mulok bahasa Sunda. 4. peningkatan penilaian kegiatan belajar mengajar guru mulok bahasa Sunda. 5. deseminasi atau penulararan hasil program sertifikasi guru muatan lokal bahasa Sunda di sekolah. 6. peningkatan pengembangan profesi guru mulok mata pelajaran bahasa Sunda. 7. kontribusi/kebermanfaatan kinerja guru mulok mata pelajaran bahasa Sunda. TINJAUAN PUSTAKA Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 menyatakan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Uji kompetensi tersebut dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio, yang merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi guru. Komponen penilaian portofolio mencakup: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di

177

bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Guru peserta program sertifikasi yang belum lulus pada penilaian portofolio dan direkomendasikan oleh LPTK untuk mengikuti Diklat Profesi Guru (DPG) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi guru sesuai dengan persyaratan sebagai guru profesional yang ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tentang peningkatan profesionalitas guru. 1. Peningkatan Profesionalitas Guru Muatan Lokal Bahasa Sunda di Lapangan Untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2007 tentang Guru. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dirailiki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: 1). pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; 2) pemahaman terhadap peserta didik; 3) pengembangan kurikulum/ silabus; 4) perancangan pembelajaran; 5) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; 6) pemanfaatan teknologi pembelajaran; 7) evaluasi hasil belajar; dan 8) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang: 1) beriman dan bertakwa; 2) berakhlak mulia; 3) arif dan bijaksana; 4) demokratis; 5) mantap; 6) berwibawa; 7) stabil; 8) dewasa; 9) jujur; 10) sportif; 11) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; 12) secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri;

178

dan 13) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan. Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk: 1) berkomunikasi lisan, tulisan, dan/atau isyarat secara santun; 2) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fimgsional; 3) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orangtua/wali peserta didik; 4) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku; dan 5) menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan. Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu, teknoiogi, dan/atau seni yang diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan: 1) materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu; dan 2) konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknoiogi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu. 2. Diklat Profesi Guru (DPG) Tujuan Diklat Profesi Guru Tujuan Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (Diklat Profesi Guru atau DPG) untuk meningkatkan kompetensi guru sesuai dengan persyaratan sebagai guru profesional yang ditetapkan dalam undangundang. Peserta DPG Peserta DPG adalah guru peserta program sertifikasi yang belum lulus pada penilaian portofolio dan direkomendasikan oleh LPTK penyelenggara sertifikasi untuk mengikuti DPG. Tipe DPG DPG terdiri atas dua tipe, yaitu tipe A dan tipe B. Penentuan tipe DPG bagi peserta yang belum lulus didasarkan pada pencapaian hasil skor penilaian portofolio. Mekanisme Kerja DPG a) Penentuan peserta DPG oleh LPTK Penyelenggara Sertifikasi Guru.

179

b) DPG diselenggarakan oleh LPTK Penyelenggara Sertifikasi Guru. c) DPG diakhiri dengan uji kompetensi guru yang dilakukan oleh LPTK Penyelenggara Sertifikasi Guru. d) Peserta yang lulus mendapat sertifikat pendidik, sedangkan yang tidak lulus diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulang di LPTK sebanyak dua kali dengan tenggang waktu se kurang-kurangnya dua minggu sejak tanggal pengumuman. e) Peserta yang telah mengukuti ujian ulang sebanyak dua kali namun masih belum lulus, maka diserahkan kembali ke dinas pendidikan kabupaten/kota untuk dibina lebih lanjut.

Materi DPG Materi DPG mencakup empat kompetensi guru, yaitu: (1) pedagogik, (2) sosial, (3) kepribadian, dan (4) profesional. Jabaran rinci materi DPG ditentukan oleh LPTK penyelenggara sertifikasi. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian ini secara umum menggunakan pendekatan A dominant-less dominant (Creswell, 1994), yakni paradigma kuantitatif sebagai pendekatan utama, ditambah dengan penggunaan paradigma kualitatif untuk menelusuri kasus-kasus tertentu yang berkaitan dengan tanggapan, sikap, dan motivasi peserta. Penelitian ini merupakan objective-based study sehingga secara umum menggunakan desain kuasi evaluasi dampak (Stufflebeam dan Shinkfield, 1988) dengan single group after project assessment design dan single group after project assessment design (FYA & Sharp, 2000). Metode Penelitian `Metode yang digunakan adalah deskriptip kuntitatif, yaitu pengumpulan informasi dengan instrumen tes untuk kemampuan akademik, tes produk, dan kuesioner untuk menjaring deseminasi atau penularan hasil sertifikasi atau diklat sertifikasi, kompetensi secara umum guru tamatan diklat, pengelolaan kegiatan belajar mengajar, penelitian, dan pengembangan karir. 1. Instrumen Instrumen yang dipakai untuk menjaring data yang digunakan adalah tes kemampuan akademik bidang studi dan kuesioner isian.

180

Untuk lebih jelasnya, instrumen yang digunakan dapat dilihat tabel sebagai berikut: 2. Pengolahan Data Data yang terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan statistik deskriptif dengan cara (1) dikompilasi, (2) ditabulasi, (3) diberi skor dan dipresentasi, dan (4) diinterpretasi. 3. Klasifikasi dan Kriteria Penilaian Pada analisis deskriptif, data kuantitatif yang diperoleh melalui instrumen penilaian dicari skor reratanya kemudian dikonfersikan ke data kualitatif dengan skala 5 serta skornya dideskripsikan. Deskripsi tersebut akan dijadikan dasar untuk menentukan dampak evaluasi sertifikasi guru muatan lokal bahasa Sunda berdasarkan panduan dan perangkatnya. Konfersi tersebut dengan skala 5 dikembangkan oleh Sudijono (2003) Sebagai pedoman dalam penilaian evaluasi dampak diklat digunakan tabel sebagai berikut: Klasifikasi Hasil Penilaian Monitoring dan Evaluasi Pasca Diklat
No 1 2 3 4 Klasifikasi Sangat Berdampak Berdampak Cukup Berdampak Kurang Berdampak Rentang Nilai 4,00 s.d. 5,00 3,00 s.d. 3,99 2,00 s.d. 2.99 1,00 s.d. 1,99 Keterangan Tidak memerlukan perbaikan Memerlukan perbaikan ringan Memerlukan penyempurnaan Sangat memerlukan penyempurnaan

4. Sasaran Sasaran kegiatan penelitian dari masing-masing daerah adalah 5 orang guru tamatan diklat PLPG Muatan Lokal Bahasa Daerah, 5 Kepala Sekolah, 5 Pengawas, dan 5 orang siswa dari 1 orang guru tamatan diklat PLPG tersebut. Adapun daerah sampel yang diteliti adalah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Tasikmalaya.

HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil pengolahan data instrumen penelitian evaluasi pascadiklat yang diperoleh dari instrumen, maka diambil interpretasi seperti pada tabel berikut.

181

Tabel Hasil Penelitian Evaluasi PascaPLPG di Jawa Barat


Kota Kab. Kab. Kab. Kota No Aspek Kompetensi Bandung Bandung Garut Tasik Tasik Peningkatan Kegiatan 1 Persiapan Pembelajaran 4,03 4,02 4,28 4,04 3,81 Peningkatan kegiatan Pelaksanaan 2 Pembelajaran 4,08 3,92 4,26 4,06 3,92 Peningkatan Kegiatan 3 Penilaian 4,34 4,02 4,42 4,2 3,92 Peningkatan Pengalaman Menjadi Instruktur/ 4 Pengimbahasan 2,58 2,35 2,39 2,04 2,88 Peningkatan 5 Pengembangan Profesi a. Mengikuti Seminar/ Lokakarya/Workshop 3,03 3,1 2,15 2,82 2,98 b. Penelitian Tindakan Kelas 3,37 2,96 3,17 3,3 2,95 c. Studi Banding (Benchmarking) 2,28 2,18 1,69 1,8 1,77 d. Menulis Buku e. Menulis Artikel Ilmiah Peningkatan Sikap Kerja/ 6 Kreativitas Rata-rata 2,9 1,85 4,03 3,249 1,66 1,83 3,97 3,001 1,49 1,12 4,53 1,39 1,37 2,14 Ratarata 4,036

4,048 4,18

2,448 2,816 3,15 1,944

2,13 1,914 1,99 1,632 3,95 3,724 3,03

2,95 2,716

Dari tabel tersebut, ternyata hanya tiga aspek (30%) saja yang menyatakan bahwa diklat PLPG kurang berdampak terhadap kemampuan guru dalam (1) menulis artikel ilmiah, (2) menulis buku, dan (3) studi banding/benchmarking, sedangkan pada yang lainnya (70%) dinyatakan cukup berdampak, berdampak, bahkan sangat berdampak. Hal ini cocok sekali dengan usaha pemerintah untuk meningkatkan kemampuan guru dalam menulis artikel ilmiah dan menulis buku, yaitu dengan adanya kewajiban guru untuk mengumpulkan Angka Kredit Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (AKPKB) bagi Guru yang mau naik pangkat mulai dari golongan III/b ke III/c sebesar 4 kumulatif dari publikasi ilmiah atau karya inovatif. Angka tersebut terus bertambah sampai 20 kumulatif bagi guru yang mengajukan dari golongan IV/d ke IV/e. Ketentuan ini tercantum dalam Permenneg PAN&RB No.16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

182

SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengolahan data yang dikumpulkan dengan menggunakan instrumen monitoring dan evaluasi pascadiklat di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kota Tasikmalaya maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Berturut-turut disebutkan dari yang terbesar ke yang terkecil adanya pengaruh diklat PLPG Muatan Lokal Rayon 10 terhadap (1) peningkatan kegiatan penilaian( 4,18); (2) peningkatan sikap kerja/ kreativitas (4,09); (3) peningkatan kegiatan persiapan pembelajaran (4.03); (4) peningkatan kegiatan pelaksanaan pembelajaran (4,02); (5) peningkatan pengalaman menjadi instruktur/pengimbahasan (2,38); dan (6) peningkatan pengembangan profesi (2,28). 2. Secara umum menunjukkan bahwa yang dampaknya paling kecil berturut-turut disebutkan (1) studi banding (1,92), menulis buku (2,14), PTK (2,34), menulis artikel ilmiah (2,36), dan mengikuti seminarlokakarya/workshop (2,66). 3. Kinerja guru alumni diklat dapat meningkatkan kemampuannya dalam peningkatan kegiatan penilaian, peningkatan sikap kerja/ kreativitas, peningkatan kegiatan persiapan pembelajaran, dan peningkatan kegiatan pelaksanaan pembelajaran bahasa daerah (bahasa Sunda) di masing-masing sekolahnya akan tetapi kurang maksimal dalam meningkatkan kemampuan mereka dalam menulis artikel ilmiah, menyusun PTK, melakukan studi banding, dan menulis buku pelajaran. 4. Hendaknya PLPG lebih meningkatkan program pengembangan profesi guru, sehingga guru-guru dapat mengembangkan kemampuannya dalam melakukan penelitian-penelitian ilmiah dan menghasilkan berbagai tulisan/karya ilmiah. 5. UPI perlu mengadakan pemantauan yang kontinu dan memberikan pembinaan yang terus-menerus terhadap alumni diklat PLPG.

DAFTAR PUSTAKA
Creswell, John W. (1994). Research Design Qualitative and Quantitative Approach. Thousand Oaks: SAGE Publication. Direktorat PSMP (2007) Laporan Pelaksanaan Workshop ToT Bimbingan Teknis KTSP SMP untuk Tim Pengembang Kurikulum Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota Region Bandung Angkatan 2, Tanggal 17 23 Mei 2007. Tidak Diterbitkan. Dirjendikti. (2007). Pedoman Sertifikasi Guru dalam Jabatan, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

183

Dirjendikti. 2010. Panduan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Profesional : Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Stufflebeam, D. L. & Shinklfied, A. J. (1988). Systematic Evaluation. Boston: Kluwer-Nijholl Publishing. The Foundation of Young Australian (FYA) & Sharp, C. (2000). Start Do It Yourself: Evaluation Manual. Tersedia: http://www.youngaustralians. org. [8 Pebruari 2008]. Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).Bandung: Nuansa Aulia. Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Wacana: Intelektual.

184

PEMAHAMAN KEMBALI LOCAL WISDOM ETNIK JAWA DALAM TEMBANG MACAPAT DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN BUDI PEKERTI BANGSA
D.B. Putut Setiyadi Universitas Widya Dharma, Klaten
I. Pendahuluan i kalangan masyarakat Jawa, tembang macapat telah dikenal sejak pengaruh Islam berkembang di pesisir kian meluas. Hal itu diperkirakan terjadi pada abad XV1 dan sampai saat ini masih tetap hidup. Tembang macapat merupakan genre sastra Jawa yang berbentuk puisi dan dipakai sebagai media pendidikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Banyak tulisan para pujangga atau raja Jawa yang digubah dalam bentuk tembang macapat, seperti yang tersebut dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid I yang berisi naskah-naskah yang ada di Museum Sono Budoyo Yogyakarta (Behrend, 1990) antara lain yang berisi sejarah, silsilah, hukum, ajaran, primbon, adat-istiadat, sastra wayang, dan sebagainya. Sebagai salah satu hasil kebudayaan masyarakat Jawa, tembang macapat memiliki pengaruh yang sangat besar di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Tembang itu begitu sederhana sehingga banyak orang Jawa dapat melantunkan tembang macapat itu pada zaman tembang itu populer. Oleh karena itu, banyak pujangga ataupun para raja memilih media berupa wacana tembang ini sebagai sarana pendidikan atau pesan bagi masyarakat Jawa pada zaman keraton Kasunananan Surakarta atau Mangkunegaran khususnya. Pendidikan atau pesan yang digubah dalam bentuk tembang tersebut antara lain berkaitan dengan pembentukan watak, moral, atau budi pekerti luhur bangsa dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini agaknya mencontoh para wali dalam rangka penyebaran agama Islam2. Sebagai contoh karya pujangga besar R.Ng. Ranggawarsita yang berjudul Srat Jk Lodang,

1 Saputra (2001:21) menyebutkan munculnya tembang macapat antara pertengahan abad XV sampai pertengahan abad XVI Masehi. 2 Macapat tidak hanya diciptakan oleh seseorang, tetapi oleh beberapa orang wali dan bangsawan (Arps, 1992:63; Laginem, dkk., 1996: 27)

185

Srat Sabd Jati, Srat Kltidh, Srat Sabd Tm. Wulangrh, Wulang Sunu, Wulang stri karya Sri Susuhunan Paku Buwana IV. Tripm, Wedtm, Wirwiyt karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV. Karya ketiga tokoh itu banyak dikenal di tengah masyarakat. Sampai-sampai banyak orang hafal akan lari-larik dari tembang itu. Pada era modern ini pun tembang macapat masih ditulis atau diciptakan dengan disisipi pesan-pesan tertentu yang berkaitan dengan pengembangan budi pekerti luhur bangsa. Tmbang (skar) macapat3 merupakan salah satu jenis puisi di dalam bahasa Jawa yang disebut juga tmbang cilik atau skar alit, atau tmbang lumrah4 (Laginem, dkk., 1996:26). Disebut tembang karena dalam membawakannya sebenarnya harus dilagukan atau dinyanyikan (Marsono, 1992:77). Hal itu juga dikatakan oleh Arps (1992:14) bahwa tembang macapat merupakan puisi tradisional tertulis yang biasanya dibaca dalam bentuk nyanyian. Cara membaca yang harus dinyanyikan ini merupakan salah satu keunikan dari bentuk puisi dalam bahasa Jawa. Tembang macapat merupakan corak kesenian dalam budaya tradisional yang secara kolektif dimiliki, dikenal, dan banyak mengandung pengetahuan, serta kearifan lokal (local wisdom) masyarakatnya. Selain itu, juga sarat dengan kaidah, serta berisi petuah, nasihat, dan berbagai kearifan pandangan hidup Jawa. Tembang macapat adalah salah satu jenis kesenian yang memadukan antara puisi dengan musik, baik musik tradisional maupun modern. Pilihan bentuk perpaduan antara tembang dengan musik itu tidak lepas dari kesenangan nenek moyang etnik Jawa untuk melantunkan tembang. Ini terbukti pula dengan adanya berbagai alat musik tradisional Jawa yang telah diciptakan olehnya. Keindahan tembang saat dilantunkan menyebabkan orang mudah menghafal dan menyimpan dalam hati pesan-pesan yang disisipkan dalam tembang itu. Selanjutnya dapat diajak dengan mudah untuk melaksanakan pesan-pesan itu dalam kehidupan sehari-hari. Jika pesan-pesan itu diterapkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, maka pesan itu dapat membentuk cita rasa keindahan dan kehalusan budi suatu masyarakat. Hal ini sesuai pendapat Tedjohadisumarto (1958) bahwa tembang juga dapat dipakai
3 Macapat (Jw.mcpat, telah diindonesiakan macapat) secara tradisional disebut tembang (skar) macapat. Istilah macapat sinonim dengan tembang macapat atau skar macapat. Skar merupakan bentuk krama dari kata tembang (Poerwadarminta,1939:600; Darusuprapta, 1989:19; Arps, 1992:57; Saputra, 2001). 4 Bandingkan dengan Subalidinata (1994); (Moeliono, 1997); Saputra (2001).

186

sebagai sarana membangun kehalusan budi dan cita rasa keindahan. Hal lain yang menarik dari tembang macapat adalah adanya wujud salah satu anasir budaya Jawa yang bersifat khas karena isinya mengandung sapaan, amanat, atau pesan bagi seseorang yang menjadi anggota masyarakat etniknya. Tembang macapat dihiasi pula dengan aneka simbol di dalamnya yang harus ditafsirkan maknanya. Hal ini selaras dengan pendapat Casson (1981) bahwa kebudayaan adalah sistem arti yang bersifat simbolik dan bahasa merupakan sistem tanda yang berfungsi sebagai simbol. Simbol-simbol itu dapat diidentifikasi antara lain melalui kespesifikan bahasa yang digunakan dan ritme suara yang lazim dilantunkan. Sebagai contoh, simbol seperti tersirat dalam larik tembang macapat karya Ranggawarsita dalam Srat Kalatidha berikut ini.
Amnangi jaman edan, ewuh y ing pambudi, mlu edan nora tahan yn tan mlu anglakoni, boy kaduman melik, kalirn wkasanipun, dilalah kars Allah, begj-begjane kang lali, luwih begj kang eling lawan waspd. Menyaksikan zaman edan, serba salah dalam menyiasati, ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak akan kebagian, kelaparan akhirnya, kalau sudah dikehendaki Allah, seberuntung apa pun yang lupa daratan, lebih beruntung yang sadar diri dan ``waspada.

Dalam salah satu bait dari Srat Kalatidha5 di atas mengandung pepatah dan piwulang yang ditujukan kepada anggota masyarakat yang mengenalnya dan menjadi pemilik budayanya. Piwulang ajaran, pendidikan yang terkandung dalam bait (pd6) itu disampaikan dalam simbol bahasa yang menyiratkan makna konteks yang mengacu kepada pola pikir orang Jawa. Etnik Jawa diharapkan selalu ling teringat atau sadar diri akan keberadaan Tuhan serta waspd waspada dalam setiap perilaku hidupnya walaupun diberi kenikmatan yang memabukkan. Orang yang eling dan waspd tidak akan terseret arus keadaan yang dialaminya. Ia senantiasa dapat mengontrol diri agar tetap berjalan di atas rel kebenaran, kepositifan

5 Diambil dari Kamajaya (2000) 6 Pd inggih punika satunggal skar ingkang kadadosan saking sawatawis gtr (umpaminipun skar Kinanti 6 gtr)pd adalah satu tembang yang terjadi dari beberapa baris (misalnya tembang Kinanti enam baris/larik. Pupuh inggih punik gegolonganing skar ingkang sami, ingkang kadadosan saking sawatawis pd Pupuh adalah sekelompok tembang yang sama, yang terjadi dari beberapa bait.

187

(kebaikan), laku utm atau ke budi pkrti luhur7 karena sadar sebagai makhluk Tuhan. Dengan demikian, orang yang selalu berbuat eling dapat terhindar dari perbuatan yang negatif dan mendapatkan pahala dari Allah. Karena itulah disebutkan orang itu lebih beruntung daripada orang yang mengikuti keangkaramurkaan karena terseret arus zaman edan. Ungkapan eling dan waspd memiliki implikatur imperatif permintaan dari penulis kepada O2 agar di dalam kehidupan sehari-hari, konsep itu selalu diingat dan dipakai sebagai peringatan apabila O2 mengalami hal-hal yang mengharuskan ia memutuskan untuk berbuat angkara murka atau tidak. lihat kutipan di atas, larik-larik dalam wacana tembang ternyata mengandung ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan filsafat hidup dan menjadi pendidikan bagi orang Jawa. Makna yang terkandung di dalamnya harus ditafsirkan sendiri oleh anggota masyarakat. Dalam menafsirkan makna, seseorang harus memiliki skemata atau knowledge of the world tentang sesuatu yang disasmitakan itu. Sebagai contoh ungkapan ilmu iku tinmune kanthi laku8 ilmu itu diperoleh dengan perbuatan prihatin9. Diperolehnya ilmu, menurut ungkapan di atas harus disertai laku yang secara harafiah berarti perbuatan. Pemahaman kata laku tidak hanya sampai pada makna harafiah saja. Ada makna lain yang harus dipahami dengan cara menerapkan konsep itu di dalam kehidupan sehari-hari. Kata laku di samping memiliki makna dasar perbuatan yang bersifat lahiriah juga memiliki makna tambahan yang lain, yaitu diikuti oleh adanya perbuatan yang bersifat batiniah, misalnya puasa, berdoa atau berdzikir, dan sebagainya. Dengan cara itu, seseorang baru dapat menemukan konsep dan implikatur dari kata laku serta memahaminya. Pada kesempatan ini pembahasan hanya dibatasi pada Tripm, Wulangrh, dan Kltidh yang masing-masing mewakili karya dari keraton Kasunanan, Mangkunegaran, dan dari pujangga. Agar masalah dapat lebih terfokus, masalah-masalah yang dibahas dalam pembahasan ini dirumuskan sebagai berikut. (1) Apa urgensi pemahaman kembali kearifan lokal etnik Jawa
7 Budi pekerti luhur atau sifat akhlakul karimah adalah watak dan perbuatan yang mulia. Budi pekerti luhur pada dasarnya merupakan sikap atau perilaku yang dilandasi pertimbangan baik buruk, kemudian memilih ke hal yang baik untuk dilakukannya (Endraswara (2003:3). 8 Lihat Wedhtm karya KGPAA Mangkunagara IV 9 Ilmu yang dimaksud adalah sains, tetapi apabila ilmu yang dimaksud adalah ilmu metafisika, laku di situ mempunyai arti lain, yakni bertapa atau berpuasa atau tindakan spiritual lain yang dapat meraih tercapainya ilmu itu.

188

dalam tembang macapat? (2) Dapatkah kearifan lokal etnik Jawa yang terdapat dalam tembangtembang macapat itu dimanfaatkan sebagai media pendidikan budi pekerti luhur bangsa Indonesia? 2. Bahasa dan Kebudayaan Bahasa adalah symbolic meaning system bahasa adalah sistem makna yang simbolis, begitu pula halnya dengan kebudayaan yang dikatakan sebagai symbolic meaning system (Casson, 1981:11-17). Lebih jauh ahli ini menyatakan sebagai berikut.
Like language, it is a semiotic system10 in which symbols function to communicate meaning from one mind to another. Cultural like symbols, like linguistic symbols, encode a connection between a signifying form and a signaled meaning, Seperti bahasa, kebudayaan adalah sistem tanda yang merupakan simbol yang berfungsi untuk mengkomunikasikan makna dari satu konsep pikiran ke yang lain. Simbol-simbol yang terdapat dalam kebudayaan, seperti halnya simbol-simbol linguistik, mengkodekan hubungan antara bentuk yang menandai dan makna yang ditandai.

Dari pernyataan itu tampak lebih jelas lagi bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang berfungsi sebagi simbol dalam mengkomunikasikan makna dari seseorang kepada yang lain. Kebudayaan juga simbol, seperti simbol bahasa, yang merupakan penanda dan petanda11. Senada dengan itu Sapir (1960:70) juga mengatakan bahwa bahasa merupakan petunjuk yang sifatnya simbolis terhadap budaya. Jadi, bahasa sebagai hasil kebudayaan manusia merupakan simbol makna yang diciptakan untuk keperluan manusia dalam berkomunikasi. Halliday dan Hassan (1992:4) mengatakan bahwa budaya sebagai seperangkat sistem semiotik, sebagai seperangkat sistem makna, yang semuanya saling berhubungan. Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Secara garis besar Levi-Strauss12 (1963:68) membedakan tiga macam pandangan mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan sebagai berikut. (1) Bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi dari seluruh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. (2) Bahasa adalah bagian dari kebudayaan, atau bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. (3) Bahasa merupakan kondisi kebudayaan. Kaitan antara bahasa dan kebudayaan ini kemudian dikaji
10 Bandingkan dengan Halliday dan Hassan (1992) 11 Bandingkan Saussure (1988:145) 12 Bandingkan dengan Ahimsa-Putra (2001: 24); Levi-Strauss (2005:92).

189

dalam bidang ilmu yang disebut etnolinguistik atau antropolinguistik (Levi-Strauss, 1963:359). Penelitian yang berkaitan dengan bidang ini awalnya dilakukan oleh Franz Boas yang meneliti orang-orang Indian dan Eskimo. Penelitian Boas beserta metodenya mengenai orang Indian tersebut kemudian dilanjutkan oleh muridnya Edward Sapir (Samsuri, 1988:50). Pandangan Sapir itu kemudian dikembangkan oleh Benjamin L. Whorf. Bagi Whorf cara memandang, cara memahami, serta menjelaskan berbagai macam gejala atau peristiwa yang dihadapinya, sangat dipengaruhi oleh bahasa yang digunakannya. Pandangan ini kemudian terkenal dengan sebutan Sapir-Whorf Hypothesis (AhimsaPutra, 1996:3). Dalam hipotesis tersebut disebutkan bahwa bahasa menentukan bukan hanya budaya tetapi juga cara dan jalan pikiran yang berbeda pula. Dengan kata lain suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain akan mempunyai jalan pikiran yang berbeda pula (Anwar, 1990: 86). 3. Kearifan Lokal dan Wujudnya Istilah kearifan lokal itu terjemahan dari local genius yang diperkenalkan pertama oleh Quaritch Wales (1948-1949) dengan arti kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan tersebut berhubungan (Rosidi, 2010:1). Pendapat lain dari Ahimsa-Putra (t.t.:5) mendefinisikan kearifan lokal adalah perangkat pengetahuan dan praktek-praktek pada suatu komunitas baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamanya berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak. Kearifan lokal (local wisdom, local knowledge, local genius) juga didefinisikan sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Rajab dalam http://www.depsos. go.id/). Menurut Ridwan (2010:2) kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang

190

dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan/kebijaksanaan. Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Tim Wacana Nusantara (2009:1) menyatakan bawa kearifan lokal merupakan adat dan kebiasan yang telah mentradisi dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat tertentu di daerah tertentu. Kearifan lokal tersebut terpelihara dengan baik meskipun telah terjadi interaksi dengan dunia luar dan mengalami akulturasi budaya denga kebudayan di luar kebudayaan mereka. Menurut Ridwan (2010:3) kearifan-kearifan lokal dalam masyarakat kita dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku seharihari. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut, misalnya alon-alon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiaine manfaat ilmune, patuh gurune barokah uripe (masyarakat pesantren), dan sebagainya. Menurut Marsono (2007:182) dalam masing-masing etnik Nusantara banyak terdapat kearifan lokal. Sewaktu bangsa Nusantara belum bisa tulis-menulis kearifan lokal yang memuat amanat pembentukan budi luhur dituangkan dalam bentuk upacara-upacara tradisional, legendalegenda/ cerita rakyat/ dongeng, ungkapan-ungkapan, dan relief. Setelah bangsa ini mampu tulis-menulis maka sarana yang dipakai lewat bentuk tulis. 4. Pembahasan 4.1 Urgensi Pemahaman Kembali Kearifan Lokal Etnik Jawa Melalui Tembang Macapat Dari hasil telaah dan pemahaman kembali terhadap tembang macapat Tripm, Wulangrh, dan Kltidh (selanjutnya disingkat T, W, dan K) dapat dikatakan bahwa ketiga tembang macapat itu mengandung bermacam-macam piwulang/ ajaran yang berkaitan dengan budi pekerti manusia hidup di dunia. Wujud piwulang itu berupa ungkapan-ungkapan yang disisipkan di dalam tembang macapat itu. Penggubah tembang (O1) bermaksud memberikan piwulang itu kepada para keturunan raja, para abdi keraton, dan juga masyarakat etnik Jawa (O2).

191

Penyampaian pesan berupa piwulang yang dibungkus melalui tembang itu sangat efektif, sehingga mampu menjangkau masyarakat etnik Jawa secara luas. Dengan cara memasyarakatkan tembang macapat di kalangan etnik Jawa, pesan-pesan raja sampai kepada O2 secara perlahan namun pasti. Masyarakat diajak nembang dengan berbagai metrum yang berbeda. Dari kebiasaan nembang itulah pesan-pesan itu dengan tidak disadari telah dihafal oleh masyarakat etnik Jawa dan meresap ke dalam hati sanubari mereka. Kemudian dalam kehidupan sehari-hari secara otomatis melaksanakan pesanpesan itu. Dengan demikian O1 secara tidak langsung telah mempengaruhi O2 agar melaksanakan pesan-pesan tersebut. Apa yang dilakukan oleh O1 dapat pula dikatakan sebagai bentuk kearifan lokal yang dilakukan oleh O1 atau para leluhur etnik Jawa. Dikatakan demikian karena para leluhur berusaha membentuk budi pekerti masyarakat etnik Jawa melalui tembang. Leluhur etnik Jawa juga menciptakan tradisi yang menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh etnik Jawa dalam kehidupannya. Tradisi itu dipelihara secara turun-temurun dan hingga saat ini masih dipertahnkan keberadaannya. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa tembang macapat merupakan sumber kearifan lokal etnik Jawa di dalam hal piwulang budi pekerti atau watak yang patut diteladani. Berdasarkan telaah terhadap ketiga tembang tersebut, ditemukan kearifan lokal yang berkaitan dengan pembentukan budi pekerti luhur etnik Jawa. Pesan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, raja/ pemimpin/ negara, dan dengan manusia lain. Hubungan manusia dengan alam diintegrasikan dengan ketiga hubungan tersebut. Berikut ini pembicaraan secara singkat mengenai hal itu. (1) Piwulang yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan Kearifan lokal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan yang ditemukan dalam ketiga tembang yang dibahas tersebut antara lain agar O2 memahami kesempurnaan Tuhan. Kesempurnaan itu terbukti dari penyebutan terhadap Tuhan seperti Hjang Agung Yang Agung (W, 309, 516, 521, 836), Gusti Kang Murb Tuhan Yang Maha Menguasai (W, 448), Hyang Widdhi atau Allah (K,69, 99), dan sebagainya. Piwulang yang lain adalah agar O2 memahami ajaran Islam beserta kitab suci Al-Quran karena merupakan kitab yang isinya berupa tuntunan kehidupan yang sempurna (W, 21), kalau perlu bisa dilakukan dengan cara berguru untuk mempelajari kitab suci tersebut.

192

Namun, tidak sembarang guru bisa dipilih, harus ada kriteria tertentu (W, 31 38). Setelah itu hendaklah menjalankan rukun Islam dan syariat agama yang lain (W,1092). Dalam menjalankan rukun Islam itu hendaklah selalu berdzikir dan berdoa (W, 1181 1187). Tidak lupa pula berupaya mendekatkan diri kepada Yang Maha Esa (W, 1400 1408) dengan cara selalu mengolah batin (W, 8186), selalu bersyukur dan ikhlas dalam menjalankan ibadah (1177 1180 dan 1224 1225); serta jangan terlena karena hidup hanya diibaratkan mung mampir ngombe (W, 1126 1132), setiap saat manusia dipanggil menghadap-Nya karena memenuhi takdirnya ((T, 20, 40, dan 59; K, 55 62). Selain itu, ajaran agar O2 tidak smbrn (W, 1112 1118) di dalam menjalankan perintah agama. Pendekatan diri kepada Tuhan biasa dilakukan oleh etnik Jawa, baik melalui cara kejawen atau agama. Jika melalui kejawen proses pendekatan diri kepada Tuhan biasanya dilakukan dengan cara semedi berdoa secara khusyuk, nglakoni meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi, atau tp brt bertapa dalam suatu tempat tertentu. Dalam agama Islam hal itu dilakukan dengan cara melaksanakan rukun Islam disertai berdoa secara khusyuk atau melakukan ritual agama Islam secara khusus seperti shalat malam atau berdzikir. Selain itu ada empat tahap proses pendekatan diri kepada Tuhan dengan tingkatan makin tinggi semakin memperoleh kemungkinan untuk bisa dekat dengan Tuhan. Empat tahapan itu adalah syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Tahapan syariat adalah tahapan paling rendah, diikuti tahapan berikutnya makin tinggi tatarannya. Dari pengetahuan tentang kedekatan diri dengan Tuhan itu dalam budaya Jawa muncul kearifan lokal yang berupa ungkapan smbah rg sebagai padanan tingkat syariat, smbah cipt padanan tahap tarekat, smbah jiw sebagai padanan hakikat, smbah rs padanan makrifat. Smbah rs merupakan tataran tertinggi dalam tahapan kedekatan antara manusia dengan Tuhannya. Dalam budaya Jawa tingkat makrifat atau smbah rs dapat disamakan dengan manunggaling Gusti-kawul. Ada kepercayaan di dalam sistem religi etnik Jawa bahwa antara seseorang dengan Tuhannya bisa menyatu yang disebut manunggale Gusti-kawul. Persatuan ini diibaratkan permata atau emas dengan tembaga yang menyatu menjadi suasa. Persatuan itu juga harus bersih, tidak ada nafsu aluamah dan amarah, suci lahir-batin. Itu semua harus disertai dengan kesabaran, tidak boleh tergesa-gesa atau nggege mangsa. Kalau telaten akan tercapai kemanunggalan itu. Di dalam masyarakat etnik Jawa kepercayaan ini saat ini masih ada dan dilakukan di dalam masyarakat etnik Jawa, walaupun agama

193

Islam telah mendalam di masyarakat etnik Jawa. Konsep persatuan tersebut memiliki padanan atau disimbolkan dengan konsep curig manjing warngk keris yang masuk ke dalam wadahnya. Kedekatan manusia dengan Tuhannya diibaratkan pula dengan ungkapan cdhak tanp senggolan, adoh tanp wangnan dekat tidak bersenggolan, jauh tidak tanpa batasan atau tanpa jarak. Itulah perumpamaan hubungan manusia dengan Tuhan yang telah mencapai tataran tertinggi di dalam sistem religi etnik Jawa. Untuk mencapai tataran manunggale Gusti-kawul etnik Jawa harus msu cipt mati rg mengheningkan cipta dan mematikan raga yang menjadi sikap laku prihatin. Sikap ini bisa dipadankan dengan ngungkurke kadonyan menjauhi keduniawian yang dilakukan dengan cara semadi melakukan doa secara khusyuk dan harus mematikan pancaindera atau nutupi babahan haw sng sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia. Babahan haw sng adalah konsep yang dipercaya oleh etnik Jawa merupakan sumber keduniawian manusia, yakni munculnya nafsu yang ada pada diri manusia. Sembilan lubang yang dimiliki manusia, yaitu hidung, telinga, mata, mulut, payudara, dan lubang seksual. Orang yang berlaku msu cipt mati rg menutup semua lubang itu dalam arti khusuk berpusat pada doa. Begitulah etnik Jawa menyikapi hubungan antara dirinya dengan Sang Pencipta. Etnik Jawa memiliki kearifan lokal berupa ungkapan yang menyatakan bahwa takdir merupakan garising ppsthn garis takdir atau garising kodrat kepastian kodrat. Segala sesuatu kalau sudah takdir tan kn owah gingsir tidak bisa berubah lagi. Dalam ungkapanungkapan yang lain muncul ungkapan-ungkapan pula seperti pasrah pasrah, sumarah karsaning Gusti berserah diri kepada Tuhan, wis ginaris ing Gusti telah ditakdirkan oleh Tuhan, mupus ppsthening takdir menyerah dengan adanya takdir. Orang tidak bisa menghindar dari takdir buruk yang datang yang diungkapkan kabntus ing tawang, ksandhung ing rt menabrak angkasa, tersandung di jalan yang rata. Ungkapan itu merupakan kiasan untuk menggambarkan sesuatu yang sebenarnya tidak mungkin terjadi, namun manusia tidak bisa menghindarkan diri dari takdir yang telah digariskan oleh Tuhan Ungkapan-ungkapan itu dimanfaatkan untuk bangkit dari kesedihan dan menimbulkan semangat ketika menghadapi takdir yang berhubungan dengan kesedihan. Yang berkaitan dengan takdir muncul pula ungkapan siji pati satu, kematian, loro jodho dua, jodoh, tlu tibaning wahyu tiga, jatuhnya wahyu Illahi. Ungkapan lain lagi yang muncul berkaitan dengan takdir adalah bj-cilk beruntungcelaka, lr kpenak sakit-sehat, sugih mlarat ky-miskin itu sudah

194

takdir. Etnik Jawa percaya bahwa mnungs mung sakdrm nglakoni manusia hanya sekedar menjalankan apa yang menjadi takdir Tuhan. Ungkapan lain kridaning ati ora bis mbdhah kutaning pasti; budi dayaning manungs ora bis ngungkuli garesang kuws tidak setiap keinginan manusia dapat dipenuhi, budi daya manusia tidak bisa melebihi kekuasaan atau apa yang ditakdirkan Tuhan. (2) Piwulang menyangkut hubungan manusia dengan Raja/ Pemimpin/ Negara Piwulang yang berkaitan dengan hubungan manusia sebagai abdi kepada raja/ pemimpin/ negara yang ditemukan dalam ketiga tembaang yang ditelaah, mencakup perilaku agar O2 selalu menunjukkan guna, ky, dan purun kepada raja (T, 110); meneladani sikap nasionalisme, bela negara, dan kepahlawanan; memiliki rasa balas budi kepada negara (T, 1 10, 21 24, 41 60); tidak melupakan tanah tumpah darah (T, 31 40) marsudi ing kotaman (T, 61 70); taat hukum (W, 455 458); Kearifan lokal yang dapat diambil dari pengetahuan ini adalah sikap yang harus dilakukan oleh rakyat apabila ingin mengabdi kepada raja. Seseorang harus memiliki gun kepandaian. Gun disimbolkan kepandaian atau kesaktian Patih Suwanda dalam memenangkan sayembara yang diadakan oleh Raja Magada. Ky adalah keberhasilan Patih Suwanda dalam menaklukkan raja-raja lain dalam mengikuti sayembara, sehingga ia dapat memperoleh harta rampasan dan upeti dari raja-raja yang ditaklukkan. Purun adalah kesetiaan Sang patih di dalam melaksanakan tugas negara yang tanp pamrih, bahkan nyawanya sebagai taruhannya. Ia hanya melaksanakan tugas sesuai dengan apa yang ditugaskan oleh raja. Apa yang ia bawa tidak sedikitpun dikorupsi. Jadi, pengabdian yang total diharapkan dilakukan oleh mereka yang mengabdi. Kearifan lokal yang dapat diperoleh dari pola berpikir di atas adalah munculnya ungkapan sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi pati sedikit saja dahi (wajah istri) dipegang (dilecehkan), atau tanah sejengkal saja apabila diganggu, maka harus dibela dengan taruhan nyawa. Dalam pandangan etnik Jawa, (istri dan) tanah merupakan lambang harga diri. Sebuah negara, bahkan hanya sejengkal tanah saja, harus dibela sampai mati apabila itu diganggu atau diduduki negara (orang) lain. . Kearifan lokal yang muncul dalam komunitas etnik Jawa berkaitan dengan hal di atas adalah munculnya ungkapan mikul dhuwur mndhm jro memikul tinggi, memendam yang dalam. Ungkapan ini mengandung maksud agar O2 menghormati orang tuanya/ leluhur/

195

pemimpin setinggi-tingginya dan menghargainya. Dengan demikian O2 telah melakukan laku utm . Sikap ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang anak atau generasi muda kepada orang tua/ leluhur/ pemimpin yang telah memberikan segala keperluan kita. Temuan lain yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan raja/ pemimpin/ negara adalah agar O2 sebagai seorang abdi negara hendaklah gemi , nastiti cermat, dan ngati-ati hati-hati (W, 499 502); bersikap mantep teguh dan setya tuhu loyal terhadap raja (W, 511 515); mematuhi semua perintah raja (W,516 520, dan 556 560); melaksanakan kewajiban sesuai tugasnya (W, 562 570); menghormati (menyembah) raja, karena raja merupakan wakil Tuhan (W, 516 520); ikhlas lahir-batin (W, 521 525); seorang perwira bersikap ksatria, santun, dan teliti dalam berperilaku (W, 937 941); menerima dan menikmati semua pemberian raja (W, 965 976); meniru hal yang positif dari raja W, 1562, 1566, 1568, 1573 1575, 1656, 1669, 1674, 1682, 1685). Selain meminta, O1 juga melarang kepada O2 sebagai abdi negara agar tidak absen dalam pisowanan (W, 471 478); tidak menggampangkan dan membuka rahasia raja (W, 501 506); tidak menolak keingin raja (W, 471, dan 1030 1041); tidak melanggar wwalr atau hal yang tabu W, 1553 1561); tidak bosan berdialog dengan ulama (W, 1605 1608); tidak menolak buku-buku yang berisi ajaran (W, 1625 1632). Yang berkaitan dengan sikap seorang pemimpin, dalam ketiga tembang itu ditemukan ajaran yang ditujukan kepada O2, hendaklah jika menjadi raja/ pemimpin negara bisa mempertimbangkan baik dan buruk (K, 10 18); memiliki kemampuan lebih (K, 19 27); menjadi teladan bagi yang dipimpin (K, 7280); mengetahui bahwa semua yang dilakukan atau dikatakan raja adalah benar adanya (W, 491494); menjaga kehormatannya (W, 1151 1153); bijaksana dan adil (W, 1161 1174); melestarikan tradisi (desa tetap ramai dan rakyat bekerja) W, 1231 1237); luas pengetahuannya (W, 1610 1633); mampu memberantas keangkaramurkaan (K, 19 27); menciptakan kedamaian dan kesejahteraan pemerintahan dan rakyatnya (K, 90 98); bisa mati sajroning urip (K, 108 116); tidak adigang. adigung, dan adigun (W, 186 195); tidak membuat kesalahan (K, 37 45); tidak beriman lemah (T, 37 45); tidak terseret zaman edan dan melakukan aji mumpung (K, 64 71); tidak mengikuti arus keangkaramurkaan (K, 37 45). Apa yang diuraikan di atas dapat diberikan penjelasan beberapa bagian sebagai contoh. Kearifan lokal yang muncul dalam komunitas etnik Jawa berkaitan dengan (K, 10 18) di atas adalah munculnya

196

ungkapan becik ktitik l ktr baik dapat dikenali, buruk akan ketahuan. Ungkapan ini untuk menyebut orang yang berperilaku baik akan dikenali dan dikenang orang, tetapi jika berperilaku buruk meskipun disembunyikan rapat-rapat akan ketahuan juga. Selain itu seorang pemimpin dalam menjalankan roda kepemimpinan hendaklah berpegang teguh pada ajaran sastr jendr hayuningrat pangruwating diyu ilmu rahasia yang dimiliki seorang raja dalam menciptakan keselamatan dunia, dan dapat menghancurkan keangkaramurkaan. Kearifan lokal yang muncul di kalangan masyarakat Jawa berkaitan dengan apa yang diungkapkan dalam (K, 7280) adalah ungkapan ing ngars sung tuldh, ing mady mangun kars, tut wuri handayani di depan memberi keteladanan, di tengah memberikan dorongan kehendak yang dipimpin, dan mengikuti dari belakang untuk kebaikan dan keselamatan. Raja atau pemimpin hendaklah memiliki sikap ini untuk menjadi pemimpin yang berbudi luhur. Dengan sikap ini bawahan akan segan dan menghormati. Kearifan lokal yang diperoleh dari (W, 1151 1153) adalah munculnya ungkapan mpan papan dapat menempatkan diri di mana pun. Di manapun dan kapan pun seorang pemimpin harus dapat menjaga kehormatan dan martabatnya. Dengan menerapkan konsep empan papan seorang pemimpin dapat menyesuaikan diri di manapun ia berada. Orang akan dikatakan ora ngrti tt krm tidak tahu tata krama atau norma-normaa kehidupan apabila dia tidak bisa menerapkan konsep mpan papan. Akibat ketidaktahuan ini orang tersebut akan menjadi orang yang wirang karena tidak bisa menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi. Seorang pemimpin juga harus mengetahui ungkapan ajining diri dumunung ing kdaling lathi kehormatan seseorang tergantung dari ucapannya. Orang yang tidak pernah menepati janjinya dia akan dikatakan pembohong sehingga kehormatannya menjadi turun. Sosok pemimpin harus mengetahui ajining sarir dumunung ing busn harga diri seseorang terletak pada cara ia berpakaian. Jadi, seorang pemimpin juga wajib menjaga kata-kata dan penampilannya. Kearifan lokal yang muncul dalam komunitas etnik Jawa berkaitan dengan (K, 90 98) adalah munculnya ungkapan mburu snnge dhewe mengejar nafsu kesenangan pribadi yang dikenakan kepada pejabat yang tidak memikirkan kesejahteraan rakyat. Pejabat model ini hanya mencari keuntungan diri sendiri, keluarga, dan golongannya. Watak pejabat yang demikian merupakan watak yang tidak baik dan tidak patut diteladani, dia memiliki sifat angkara murk budi candhl angkara murka, dan budi pekerti yang jelek, dan

197

sebagainya. (3) Piwulang menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain Piwulang yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia lain yang ditemukan dalam ketiga tembang yang dianalisis, dapat dkelompokkan menjadi dua, yaitu yang berupa permintaan dan yang berupa larangan. Yang berupa permintaan adalah hendaklah menjaga keprofesionalan (W, 71 80); berusaha keras dalam meraih cita-cita (W, 81 86); agar selektif dalam berteman (W, 95 98); agar menghormati, patuh, selalu mengingat ajaran orang tua/ leluhur, dan berperilaku baik(W, 166 171); tabri rajin dan teliti (W, 142 147); meniru ajaran yang benar walaupun datangnya dari kaum sudra (W, 182 186); rrh sabar, ririh halus, lembut, ngati-ati hati-hati, atau cermat (W, 213 216); dapat mempertimbangkan yang baik dan yang buruk, adat dan tatanan, tata krama (sopan santun), serta musyawarah untuk perkara yang kecil maupun besar (W, 257 263); mengenali watak manusia (W, 284 295); melakukan smbah lim W, 403 414); mengurangi makan, tidur, dan nafsu yang membara (W, 601 607); menyadari bahwa benar-salah, baik-buruk, untung-celaka disebabkaan oleh ulah sendiri (W,615 621); hati-hati berbicara (W, 697 708); satu saudara kandung bersatu dan tidak individual (W, 516 522); tidak pilih kasih (W, 871 874); saling menghormati dan saling menghargai (W, 875 878); tahu asal-usul (W, 977 982); senang menimba ilmu atau belajar tekun (W, 1067 1072); selalu bertakwa (W, 1091 1097); bersikap narim menerima (W, 953 958); banyak mendengarkan atau membaca cerita dan senang nembang (W, 1266 1272); berbudi pekerti luhur (W,1436 1444); berhati-hati menentukan sikap (W, 1381 1390); generasi muda lebih baik daripada pendahulunya (W, 1658 1665); mencari kesempurnaan hidup (W, 1730 1737); mendoakan keturunannya (W, 1666 1673); mawas diri (K, 72 80). Yang berupa larangan adalah agar O2 tidak berlebihan tidur dan makan (W, 87 92); tidak sombong, angkuh, dan congkak (W, 93 94); tidak banyak bicara (W, 153 158); tidak kpatuh (W, 171 175); tidak suka disanjung dan disuap maupun menyuap (W, 226 235); tidak suka mengobral janji (W, 246 250); tidak dekat orang yang bersikap dgsur (W, 277 283); tidak bersikap drngki, sri, dor, irn, mrn, panastn, kumingsun, jail, mutakil, dan basiwit (W, 312 318); tidak bersikap lunyu, lmr(an), genjah, angrong prasanakan, nyumur gumuling, dan ambuntut arit (W, 347 353); tidak mengikuti ajaran yang diberikan oleh orang tua atau saudara jika dirasa hal itu tidak baik (W, 379 386); tidak berani kepada orang tua (W, 395 398); tidak melakukan

198

tiga hal, yaitu nggunggung menyanjung, nacat mencacat orang lain, dan maoni tidak mempercayai semua orang (W, 625 629); tidak suka ngrasani (W, 678 684); tidak mengumpat atau berkata-kata kotor (W, 709 714); jangan mengambil janda saudara, abdi, dan teman bekerja (W, 721 726); jangan mengonsumsi opium atau narkoba, bertaruh, menjadi penjahat, dan berhati saudagar, dan pemabok (W, 739 744); tidak bergaul dengan wanita yang buruk tabiatnya, serta tidak membuka rahasia di depan wanita (W, 829 834); tidak angkuh, bngis, lngus, lanas, calak, lancang, langar, ladak, sumalonong, ngidak, ngpak, dan siy-siy (W, 1133 1139); tidak smbrn teledor, bersikap tidak menerima, tidak mudah bosan berdialog dengan orang tua (W, 1161 1167); tidak mengabaikan wulang (W, 1594 1601). Ungkapan-ungkapan yang disisipkan dalam tembang macapat dalam hal berhubungan antara manusia dengan manusia yang lain atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakaat yang lain di atas merupakan ajaran yang disampaikan O1 kepada O2. Isi ajaran tersebut ada yang berupa sebuah permintaan dan ada pula yang berupa larangan. Permintaan tersebut pada umumnya berupa permintaan dari O1 kepada O2 agar melakukannya, sedangkan yang berupa ajaran mengenai perilaku buruk berupa larangan agar O2 tidak melakukannya. Semua ajaran itu menjadi kearifan lokal etnik Jawa yang hidup dan menjadi tradisi bagi etnik Jawa sampai saat ini. Berdasarkan telaah terhadap ketiga tembang di atas dapat dikatakan bahwa pemanfaatan kembali terhadap kearifan lokal etnik Jawa yang terdapat dalam tembang macapat sangat urgen jika dikaitkan dengan upaya pembentukan budi pekerti luhur bangsa Indonesia. 4.2 Pemanfaatan Tembang Macapat sebagai Media Pendidikan Budi Pekerti Luhur Bangsa Indonesia Berdasarkan pembahasan tentang tembang macapat Tripm, Wulangrh, dan Kltidh sebagai sumber kearifan lokal bagi etnik Jawa diketahui bahwa ketiga tembang itu berisi pendidikan, piwulang, atau ajaran. Adapun ajaran itu berisi hal-hal yang menyangkut budi pekerti luhur yang berkaitan dengan budi pekerti manusia yang meliputi sikap nasionalisme, kepahlawanan, agama, etika, moral, dan perilaku hidup sehari-hari, serta perilaku dalam pemerintahan. Ajaran itu tidak hanya mengenai hal-hal yang baik, namun juga mencakup hal-hal yang buruk. Keduanya diajarkan agar O2 dapat membedakan budi pekerti yang baik dan sifat-sifat buruk. Pendidikan yang baik wajib diteladani, sedangkan sifat-sifat yang buruk ditinggalkan dan

199

disimpan sebagai pengetahuan jika suatu saat menghadapi hal yang buruk itu. Ungkapan-ungkapan yang ada di dalam tembang itu merupakan kearifan lokal dan kekayaan kebudayaan yang dimiliki etnik Jawa. Ungkapan-ungkapan yang diidentifikasi sebagai ajaran tentang budi pekerti itu selanjutnya menjadi pola pikir dan pandangan hidup etnik Jawa yang terselip di dalam larik-larik tembang. Penyebaran ke berbagai komunitas etnik Jawa itu terjadi melalui nyanyian yang sering dilakukan oleh masyarakat etnik Jawa. Dengan cara menyanyikan mereka akhirnya hafal ungkapan-ungkapan yang terdapat di dalam tembang itu. Dengan menyanyikan tembang itu mereka juga tidak sadar telah merefleksi makna ungkapan-ungkapan yang ada di dalam tembang itu. Dengan demikian secara otomatis ungkapan-ungkapan itu lalu memasyarakat dan menjadi kearifan yang dimiliki oleh etnik Jawa. Dengan demikian akhirnya ungkapan-ungkapan itu lalu menjadi kearifan lokal yang dimiliki oleh etnik Jawa. Ungkapan-ungkapan itu dikatakan sebagai kearifan lokal etnik Jawa karena hanya etnik Jawa saja yang memahami makna atau sasmita dari ungkapan-ungkapan melalui proses refleksi dalam kurun waktu yang lama. Dari ungkapan yang ada di dalam tembang kemudian etnik Jawa melengkapi dengan ungkapan-ungkapan lain yang diciptakan untuk menghadapi permasalahan-permasalah yang muncul di dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan lain itu merupakan ungkapanungkapan yang mengandung daya sugesti bagi etnik Jawa, sehingga etnik Jawa mampu keluar dari permasalahan yang dihadapi. Sebagai contoh: ada ungkapan adiguna, adigang, adigung menyebabkan munculnya ungkapan aja dumeh sebagai langkah untuk menanggulangi agar orang tidak melakukan perbuatan adiguna, adigang, adigung. Dari uraian di atas disimpulkan bahwa dalam ketiga wacana tembang macapat itu terkandung konsep pemikiran atau cara memandang masyarakat etnik Jawa terhadap Tuhan, negara/ raja, dan manusia lain. Konsep itu lalu dituangkan dalam bentuk tulisan yang berupa tembang macapat. Setelah itu, tembang beredar di masyarakat etnik Jawa dan apa yang tertulis di dalam larik-larik itu menjadi sistem kognisi atau sistem pengetahuan bagi etnik Jawa. Sistem pengetahuan yang berupa cara pandang etnik Jawa itu dapat dipahami oleh etnik Jawa secara turun-temurun dan direfleksi secara tidak langsung melalui nyanyian dalam kurun waktu yang lama. Pengetahuan ini kemudian menjadi strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan masyarakat etnik Jawa dalam menyelesaikan berbagai persoalan atau masalah yang muncul di kalangan mereka. Dengan

200

demikian ungkapan-ungkapan itu telah menjadi kearifan lokal dan kekayaan kebudayaan bagi etnik Jawa dan dimiliki secara turuntemurun. Cara menanamkan ungkapan-ungkapan yang mengandung pendidikan, piwulang, atau ajaran kepada generasi selanjutnya melalui tembang dan tulisan itu sangat baik dilestarikan karena dengan tembang pesan-pesan mudah masuk ke dalam hati sanubari. Walaupun ada pula ungkapan-ungkapan yang saat ini tidak relevan karena kemajuan zaman, namun kearifan ini perlu pula dipakai sebagai model bagi penanaman dan pengembangan budi pekerti luhur bagi generasi muda. 5. Simpulan Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman kembali kearifan lokal etnik Jawa dalam tembang macapat sangat urgen dalam rangka pembentukan budi pekerti luhur bangsa Indonesia. Dikatakan demikian karena tembang macapat mengandung ajaran budi pekerti luhur bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika masyarakat melaksanakan pendidikan, piwulang, atau ajaran tersebut, dapat diprediksikan terciptanya kehidupan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan, pemimpin, dan manusia yang lain, termask di dalamnya alam semesta. Kearifan lokal etnik Jawa yang berupa ajaran yang bersumber dari tembang macapat itu dapat dimanfaatkan sebagai model dalam menanamkan budi pekerti bagi bangsa Indonesia. Penanaman budi pekerti melalui tembang tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi masyarakat masing-masing. Jenis tembang yang dipilih menyesuaikan dengan cita rasa tembang masyarakat daerah masing-masing. Misalnya di Jawa menggunakan media tembang macapat. Di Bali dan Sunda juga ada macapat, mungkin di Betawi dengan tembang yang dibungkus gambang kromong. Di Sumatra atau daerah lain dengan lagu daerahnya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Hedi Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press. _______. 1996. Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. _______. 1994. Model-model Linguistik dan Sastra dalam Antropologi. Bulletin Antropologi. Th. IX.

201

_______. tt . Bahasa, Sastra dan Kearifan Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Anwar, Khaidir.1990. Fungsi dan Peranan Bahasa: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Arps, Bernard. 1992. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of Javanese Literature. London: University of London. Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara: Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Djambatan. Casson, Ronald W. 1981. Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan Publishing Co., Inc. Darusuprapta. 1989. Macapat dan Santiswara dalam Humaniora No. 1. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. _______. 1985. Serat Wulang Reh. Surabaya: CV Citra Jaya. Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya. Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspekaspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial (terjemahan Asruddin Barori Tou). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kamajaya. 2000. Lima Karya Pujangga Ranggawarsita. Jakarta: Balai Pustaka. Kartomihardjo, Soeseno. 1993. Analisis Wacana dengan Penerapannya pada Beberapa Wacana. PELBA 6 , hal. 2158. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya dan Kanisius. _______. 2000. Analisis Wacana dalam Pengajaran Bahasa. Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia, Tahun 18, Nomor 1, hal. 123140. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atmajaya. _______. 1993. Sasmita a Shared Knowledge of The World among Javanese. Paper in Second International Symposium on Humanities: Linguistics and History. Yogyakarta: Faculty of Letters. Laginem, Slamet Riyadi, Prapti Rahayu, Sri Haryatmo. 1996. Macapat Tradisional dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books, Inc., Publishers. _______. 2005. Antropologi Struktural (terjemahan Ninik Rochani Sjams). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Mardiwarsita, L. 1981. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende: Nusa Indah. Marsono. 1996. Lokajaya: Suntingan Teks, Terjemahan Struktur Teks, Analisis Intertekstual, dan Semiotik. Disertasi. Yogyakarta: Pascasarjana UGM. _______.2007. Revitalisasi Kearifan Lokal Guna Mewujudkan Masyarakat Sejahtera dalam Kemajuan Terkini Riset Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: LPPM UGM. Marsono; Waridi Hendrosaputro (Penyunting). 1999/2000. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Yayasan Studi Jawa-Lembaga Studi Jawa. Poerwadarminta, W.J.S. 1953. Sarining Paramasastra Djawa. Jakarta: NoordhoffKolff N.V. ________. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij NV. Putut Setiyadi, Dwi Bambang. 2004. Wacana dalam Tembang Macapat Wulangreh: Kajian Pragmatik dalam Jurnal Terakreditasi Fenolingua,

202

Nomor 1, Tahun 13, hal. 85107. Klaten: Universitas Widya Dharma. _______. 2009. Wacana Tembang Macapat sebagai Pengungkap Sistem Kognisi dan Kearifan Lokal Etnik Jawa serta Dasar Pembentukan Kepribadian Bangsa. Hibah Penelitian untuk Mahasiswa Program Doktor Tahun Anggaran 2009. Yogyakarta: LPPM Universitas Gadjah Mada. Rajab. 2007. Kearifan Lokal. http://www.depsos.go.id/ Ricoeur, Paul. 2003. Filsafat Wacana. Yogyakarta: IRCiSoD. Ridwan, Nurma Ali. 2010. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. http:// www. nusantara-online.com. Riyadi, Slamet. 1988. Macapat: Kajian Unsur dan Sejarah. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. Rosidi, Ajip. 2010. Kearifan Lokal dan Pembangunan Bangsa dalam International Conference Proceedings on Traditional Culture and Rancage Award 2010, hal. 2835. Yogyakarta: Faculty of Language and Arts, Yogyakarta State University. Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Depdikbud. Sapir. Edward. 1960. Culture, Language, and Personality. USA: University of California Press. Saputra, Karsono H. 2001. Sekar Macapat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Lingustik Umum (terjemahan Rahayu S. Hidayat). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soesilo. 2002. Ajaran Kejawen: Filosofi dan Perilaku. Jakarta: Yayasan Yusula. _______. 2003. 80 Ajaran Ungkapan Orang Jawa. Jakarta: Yayasan Yusula. Soetrisno, R. 2004a. Nilai Filosofis Kidung Pakeliran. Yogyakarta: Adita Pressindoesti. _______. 2004b. Dimensi Moral dalam SyairTembang pada Pagelaran Wayang Purwa. Disertasi. Yogyakarta: Pascasarjana UGM. Sri Susuhunan Pakubuwana IV. TT. Wulangreh. Sukoharjo: Cendrawasih. Subalidinata, R.S. 1994. Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Sudaryanto dan Pranowo (Ed.). 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa. Tedjohadisumarto, R. 1958. Mbombong Manah 1. Jakarta: Djambatan. Tim Penyusun Kamus. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tim Wacana Nusantara. 2009. Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Klasik http:// www.nusantara-online.com Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Winter Sr. C.F. dan Ranggawarsita, R.Ng. 1994. Kamus Kawi Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Yule, George. 2006. Pragmatik (terjemahan Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zoetmulder, P.J. 2000. Manunggaling Kawula Gusti. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. _______. 1994. Kalangwan (Terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Djambatan.

203

CERITA DEWI SRI SEBAGAI SUMBER KEARIFAN DALAM KEHIDUPAN BERKELUARGA


Avi Meilawati Universitas Negeri Yogyakarta
Pendahuluan ndonesia pada masa kini menuju kehidupan global. Segala aspek kehidupan memperlihatkan keterbukaannya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kecarutmarutan yang ada semakin vulgar tidak tertutupi. Tanpa malu, tanpa tedheng aling-aling menunjukkan sikap yang tidak dapat dijadikan teladan. Pemimpin yang tidak dapat dijadikan panutan oleh bawahannya. Guru yang tidak dapat dijadikan acuan oleh muridnya. Ulama yang mengingkari perintah agama. Penegak hukum yang tidak menegakkan hukum. Fenomena global ini menunjukkan moralitas yang mengalami degradasi. Keprihatinan sosial ini muncul karena pihak-pihak yang seharusnya dapat dijadikan teladan tidak menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya masing-masing sesuai perannya. Sebelum membahana sebagai figur publik yang besar, masing-masing individu mendapatkan pembelajaran dalam keluarga. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama penanaman pilar budi pekerti dan karakter yang membentuk kepribadian seseorang. Jika seseorang sudah memperoleh karakter yang kuat di keluarga, maka pengaruh lingkungan yang negatif akan dapat dihindari dan ditanggulangi. Perwujudan sebuah keluarga yang harmonis memerlukan partisipasi dari semua pihak keluarga. Perlu dijalin komunikasi yang baik antara suami-istri, antara orang tua dengan anak, dan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Kesemuanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Jika ada salah satu saja dari ketiga hubungan tersebut mengalami masalah maka akan mengganggu kestabilan rumah tangga. Keharmonisan tidak dapat terwujud. Penulis mengambil cerita Dewi Sri sebagai bahan renungan, bahwa dalam keluarga pasti pernah mengalami konflik. Dari konflik yang ada, hendaknya dapat dijadikan hikmah dan renungan agar konflik tidak membesar. Bagaimana seharusnya bersikap agar tidak terjadi konflik.

204

Dalam makalah ini disajikan nilai luhur yang ditinggalkan Dewi Sri sebagai pedoman hidup berkeluarga, yang nantinya dapat dijadikan acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Asal-usul Dewi Sri Dewi Sri merupakan dewining sandhang pangan. Di tanah Jawa, dewi Sri dianggap sebagai dewi sumber rejeki, dewi teman para petani. Kata sri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti cahaya dan yang indah sekali. Dewi Sri terjadi dari Retnodumilah di Kayangan. Dewi Sri mempunyai satu jiwa bertiga dengan dua dewi lainnya, yaitu Dewi Widowati atau Tisnawati dan Dewi Lokati atau Rumingrat yang kemudian disebut Hapsari Triwati. Dewi Sri merupakan putri dari Dewi Brahmaniati dengan Raden Srigati, raja di negara Purwacarita yang bergelar Prabu Sri Mahapunggung. Dewi Sri memiliki adik kembar yang bernama Raden Sadana. Pada suatu hari, Raden Sadana dijodohkan dengan Dewi Panitra, putri Hyang Pancaresi. Raden Sadana menolak dengan alasan tidak mau melangkahi kakak perempuannya. Kedua orang tuanya marah, akhirnya Raden Sadana memutuskan untuk pergi meninggalkan Keraton. Mendengar adiknya pergi, akhirnya Dewi Sri turut pergi meninggalkan keraton. Pada suatu hari dalam perjalanan, Dewi Sri mendengar keluh-kesah Buyut Soma dan Nyi Samini tentang ketidakharmonisan keluarga dan keadaan serba kekurangan dalam menjalani hidup. Dewi Sri mananyakan tentang kehidupan pasangan tersebut selama ini, dan menyimpulkan bahwa Buyut Soma dan istrinya banyak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan dalam berumahtangga. Jalan keluar untuk dapat menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis adalah melakukan empat aturan yang harus dilakukan dalam berumahtangga. Setelah selesai memberikan nasihat, kemudian ia bersedhi dan paginya meneruskan perjalanan. Saat bersemedi, Dewi Sri diberikan lebu pratalaretna oleh Sang Hyang Jagat Nata. Pada suatu hari, Dewi Sri dikejar oleh Ditya Kalandaru dan terkepung, akhirnya Dewi Sri menaburkan lebu pratalaretna yang membutakan mata Ditya Kalandaru. Lepas dari Ditya Kalandaru, Dewi Sri tertangkap oleh Garudayaksa Wilmuka. Hal itu diketahui oleh Garuda Winanteja, kemudian Garuda Winanteja bertarung dengan Garudayaksa Wilmuka. Ketika Dewi Sri lepas dari cengkeraman Garudayaksa Wilmuka, tubuhnya hancur terhempas ke tanah. Mendengar kabar tersebut, orang tua Dewi Sri murka dan mengutuk Dewi Sri menjadi ular, juga mengutuk Raden Sadana

205

menjadi burung Sriti. Di lain tempat, wujud Dewi Sri yang sudah ditabur oleh Sang Hyang Jagatnata berubah menjadi ular. Dan Raden Sadana berubah menjadi burung Sriti. Akhirnya Dewi Sri pun moksa dan Raden Sadana melanglang buana ke tanah Hindustan. Nilai luhur dalam Cerita Dewi Sri Cerita Dewi Sri mengandung nilai luhur yang dapat dijadikan sumber pembelajaran bagi keluarga di masa sekarang. Selain itu juga disajikan kasus-kasus yang seharusnya dihindari dalam kehidupan berkeluarga, yang dapat memicu ketidakharmonisan. Nilai tersebut meliputi hubungan antara suami-istri, antara anak dengan orang tua, dan hubungan antar saudara. 1. Hubungan antara suami istri Diceritakan bahwa Dewi Sri dalam perjalanannya keluarmasuk desa, mendengarkan sepasang suami-istri yang sudah tua. Buyut Soma & Nyi Samini mengeluh bahwa hidup mereka tidak harmonis dan serba kekurangan. Setelah bertanya tentang sebabnya, Dewi Sri berkesimpulan bahwa pasangan suami-istri itu banyak menerjang norma. Dewi Sri menasehati empat perkara yang harus dijalankan oleh keduanya. Empat perkara tersebut masih relevan dengan masa sekarang dan dengan kehidupan beragama yang berkembang di Indonesia. (1) kudu tetep rukun mong-kinemong anggone salaki rabi Rukun itu memerlukan pengorbanan, karena prinsip rukun dalam masyarakat Jawa menimbulkan kesadaran bahkan mengalahkan kepentingan pribadi demi mencapai kesepakatan bersama (Hadiatmadja, 2011: 37). Jika ada masalah muncul, solusinya adalah musyawarah untuk mufakat. Melihat kewajiban masing-masing, suami istri pelu menyadari bahwa pernikahan adalah penyatuan dua manusia berbeda. Diharapkan, dengan perbedaan yang ada dapat saling memahami dan semakin mendewasakan satu sama lain. Hendaknya suami-istri saling menghormati agar kerukunan di antara keduanya tetap terjaga. Di mana dianjurkan di antara keduanya saling menjaga kehormatan pasangan masing-masing, sebagaimana disyariatkan dalam Islam bahwa diantara kewajiban istri terhadap suami adalah termasuk menjaga kehormatan dirinya serta kehormatan suaminya. Dalam ajaran Islam juga dikemukakan Hadis Tirmidzi bahwa Mukmin yang sempurna imannya adalah yang sebaikbaik pribadinya, dan sebaik-baik pribadi adalah orang yang sebaik-baiknya terhadap istrinya (Rasjid, 1992: 370). Hal tersebut

206

memerintahkan agar suami dapat berbuat baik kepada istrinya, menyayangi, mengasihi, dan menghormati. Istri tidak hanya sebagai kanca wingking yang tidak boleh tahu apa-apa, namun sebagai partner dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Semua permasalahan dapat dikomunikasikan dan dicari jalan keluarnya bersama-sama. Selanjutnya, dari Ummu Salamah sesungguhnya Nabi saw telah bersabda: barang siapa diantara perempuan yang mati dan ketika itu suaminya suka kepadanya maka perempuan itu akan masuk surga (Rasjid, 1992: 371). Hadis itu menunjukkan bahwa istri harus berbakti kepada suami. Bakti yang dilakukan adalah sesuai dengan aturan yang ada, baik norma sosial maupun norma agama. Sedangkan dasar filsafat masyarakat Jawa sejak jaman dahulu sudah akrab dengan pepatah rukun agawe santosa, crah agawe bubrah. Konsep kerukunan tersebut muncul sebagai alat pengendali emosi diri. Manusia Jawa hendaknya dapat mengendalikan emosi, tidak mudah terpancing dengan lingkungan negatif. Menurut Hadiatmadja (2011: 43), ada beberapa ungkapan tradisional yang dapat dijadikan pedoman untuk menjaga kerukunan, antara lain: ana bapang sumimpang, ana catur mungkur (jika ada orang sedang marah maka lebih baik menyingkir, dan jika ada orang bergunjing sebaiknya menjauhi); suradira jayaningrat lebur dening pangastuti (kemurkaan dapat dikalahkan oleh kebijaksanaan); aja dhemen metani alaning liyan (jangan suka mencari keburukan orang lain); aja dhemen ngetung becike dhewe (jangan suka menghitung kebaikan sendiri); aja ngewak-ewakke (jangan memamerkan kelebihan sendiri); aja adigang-adigung-adiguna (jangan menonjolkan kekuasaan, kebesaran, dan kepandaian); dan ana rembug becik dirembug (jika ada masalah lebih baik dimusyawarahkan). Pengendalian diri disertai dengan kesadaran kebijaksanaan akan menghasilkan jiwa yang welas asih dan dapat lebih menerima dan memahami orang lain. (2) tansah ngluluri para leluhure tuwin ajeg sembah-Hyang Hendaknya pasangan suami-istri juga meluangkan waktu mengingat leluhurnya, dan mengambil hikmah dari apa yang pernah diajarkan oleh orang tua sebelumnya termasuk mendoakan mereka. Dalam ajaran Islam pun terdapat perintah untuk mendoakan orang tua. Serta amalan yang abadi, salah satunya adalah doa anak kepada orang tua. Mengenal leluhur, sama artinya berusaha mengenal diri sendiri. Mengetahui dari mana asal diri. Dalam Serat Wulang Reh pun dikenal ajaran

207

sembah lima yang salah satunya adalah orang tua. Orang tua merupakan lantaran manusia dapat dilahirkan di dunia dan dapat merasakan kenikmatan hidup. Ada wewaler aja lali marang asale (jangan melupakan asal-usul). Silsilah keturunan yang ada secara vertikal meliputi sepuluh tingkatan, yaitu anak, putu, buyut, canggah, wareng, udheg-udheg, gantung siwur, grobag senthe, debog bosok dan galih asem. Sembah Hyang merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhan penciptanya. Konteks yang muncul dari makna sembah hyang adalah prinsip eling, waspada, percaya, mituhu (Hadiatmadja, 2011: 24). Eling bermakna manusia harus selalu ingat akan keberadaan dan kedudukan dirinya. Manusia diciptakan oleh Tuhan untuk mengabdi kepada Tuhan. Waspada merupakan sikap yang selalu berhati-hati dari godaan nafsu-nafsu yang ada pada diri manusia itu sendiri, yaitu nafsu luamah, supiyah, dan nafsu amarah. Percaya yang dimaksud adalah keimanan yang kuat bahwa segala sesuatu itu berasal dari Tuhan dan semua akan kembali kepada Tuhan. Mituhu adalah konsep kepatuhan kepada Tuhan, dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Dari empat konsep tersebut, maka kegiatan sembah Hyang dapat dilaksanakan secara sadar dan benar. Sembah Hyang merupakan perwujudan dari empat konsep, terutama menjalankan salah satu perintah. Menghamba kepada Tuhan. Manusia hendaknya berusaha, melakukan yang terbaik, dan hasil akhir diserahkan kepada Tuhan. (3) taberi mimikir lan nyambut gawe, tangi luwih esuk, reresik pekarangan, bale omah sapirantine, ngengakake lawang-lawang, adus reresik badan lan ajeg ngaturake pujamantra; sore sarampunge nyambut gawe uga banjur adus lan ngaturake pudjamantra ajeg, mapan turu yen wanci lingsir sore. Hendaknyalah setiap pasangan suami-istri fokus pada pekerjaannya masing-masing. Dalam keseharian selalu bangun pagi menyambut hari, membersihkan rumah dan pekarangan, termasuk perkakas di dalamnya, membuka pintu, mandi membersihkan diri dan berdoa. Sore selesai bekerja juga segera membersihkan diri, berdoa dan beristirahat ketika malam menjelang. Ada istilah kebersihan merupakan sebagian dari iman. Dengan menjadikan suasana bersih, maka akan sedap dipandang, membuat pasangan suami istri betah di rumah. (4) gemi, nastiti, ngati-ati, sabar, narima lan waspada, ora lirwa ing budidaya

208

Suami harus memberikan nafkah kepada istrinya. Dalam Islam juga diajarkan seperti dalam surat Thalaq ayat 7 orang yang mempunyai kemampuan hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya. Sementara istri dalam mengelola pemberian suami harus hati-hati, tidak boros. Memanajemen keuangan keluarga sesuai kebutuhan, hidup tidak berlebih-lebihan, tidak begitu saja mengikuti tren yang berlaku. Dalam pepatah Jawa ada ungkapan ana sethithik didum sethithik ana akeh didum akeh dan cecengilan iku ngedohake rejeki. Maksudnya adalah, suami dalam membagi rejeki harus adil. Suami harus dapat mencukupi semua kebutuhan rumah tangga. Jika istri bekerja, maka kembali pada konsep awal bahwa segala manajemen perekonomian keluarga harus dimusyawarahkan agar tidak menjadikan masalah. Sementara dari pihak istri, istri harus dapat mengatur pengeluaran keluarga sesuai dengan apa yang diperoleh suami. Istri harus dapat bersikap gemi, berhatihati, tidak boros. 2. Hubungan antara anak dengan orang tua Dewi Sri disayangi dan dirawat orang tua sejak kecil. Hubungan keduanya baik dan harmonis. Orang tua menyayangi anak, anak berbakti, menghormati, dan patuh kepada orang tua. Hingga suatu hari, orang tua memberi dhawuh kepada anak lelakinya, R. Saddana untuk menikah. Raja dan ratu sudah merasa cukup mempertimbangkan, memikirkan masak-masak hingga meminta pertimbangan para dwija dan brahmana di negeri itu. Namun R. Sadana merasa tidak sampai hati karena harus melangkahi saudara tuanya, Dewi Sri. Karena tidak berani menolak permintaan orang tua, sekaligus tidak mau menyinggung kakaknya, R. Sadana memilih untuk meninggalkan istana. Raja marah dan menuduh R. Sadana sebagai anak durhaka. Raja juga menuduh Dewi Sri telah mengetahui dan mengijinkan adiknya pergi meninggalkan istana. Sikap orang tua tersebut kurang bijak karena terlalu memaksakan keinginan terhadap anaknya tanpa meminta persetujuan anak tersebut, untuk menyelesaikan permasalahan keluarga sebaiknya dikomunikasikan dahulu dengan musyawarah. Kedua pihak tidak boleh memaksakan kehendak masing-masing. Dalam cerita Dewi sri, kejadian Dewi Sri menjadi ular dan raden sadana menjadi burung sriti adalah akibat kutukan ayahnya.
he putraku Saddana, teka banget-banget anggonmu wangkal ambadal pitutur becik lan sihing wong tuwa, milalu kalambrangan lunga saparan-paran, nunusuh saenggon-enggon kaya pratingkahe manuk. Sarta anggegendeng gawe kasangsaraning sadulur wadon. Anakku nini Dewi Sri, putri nata malah milalu

209

lunga saparan-paran, tansah tlusuban wedhi kapethuk wong nagara, nganti kaya pratingkahe ula.

Kemarahan orang tua Dewi Sri memuncak ketika mendengar perjalanan kedua anaknya. Ayah Dewi Sri mengucap kutukan, didengar oleh Dewa dan terjadilah kutukan tersebut. Orang tua hendaknya menjaga lisannya, karena doa orang tua manjur. Perintah orang tua merupakan hal yang harus dilaksanakan. Namun orang tua sendiri hendaknya bijaksana dalam menjaga lisan, karena kata-kata adalah doa. Dan doa orang tua biasanya dikabulkan oleh Tuhan. Sebagai orangtua hendaknya dapat lebih bijaksana dalam mengendalikan emosi, meredam amarah dan menyelesaikan persoalan karena orang tua adalah teladan bagi anaknya. Sebaliknya pun demikian. Hubungan anak terhadap orang tua hendaknya berbakti dan berlaku sopan, sesuai dengan Al-Quran, surah Luqman ayat 15: bergaulah dengan keduanya (ibu-bapak) dalam dunia dengan sebaik-baiknya. Berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban. Orang tua merupakan lantaran keberadaan seseorang di dunia, maka harus disembah. Selain itu, kewajiban seorang anak kepada orang tua adalah mikul dhuwur mendhem jero, anak harus dapat menjunjung tinggi kebaikan orang tua dan dapat menutupi aib kekurangannya sehingga nama baik keluarga di masyarakat dapat terjaga. Jangan sampai terjadi anak polah bapa kepradah (karena ulah anak, ayah yang menanggung resiko). Anak yang tidak dapat menjaga nama diri dan martabat orang tua, maka orang tualah yang harus menanggung malu dan mempertanggungjawabkan perbuatan negatif anaknya. 3. Hubungan antara saudara Dewi Sri dan Raden Sadana merupakan saudara kembar yang saling mengasihi dan menyayangi. Keduanya saling menghormati. Atas dasar rasa hormat kepada sang kakak, Raden sadana menolak untuk dijodohkan dengan Dewi Panitra. Hubungan kekeluargaan pada masyarakat Jawa amat erat. a) Bacin-bacin iwak, ala-ala sanak (meskipun kelakuannya tidak baik tatapi masih saudara); b) Mambu-mambu yen sega (meskipun kelakuannya tidak baik tatapi masih saudara); Kedua peribahasa tersebut menggambarkan bahwa meskipun keluakuan saudaranya buruk, tetap dianggap sebagai saudara karena memang mempunyai pertalian darah. c) Tega larane ora tega patine (jika sakit mungkin tidak dipedulikan,

210

tetapi kalau meninggal merasa kehilangan); d) Mangan ora mangan kumpul (persaudaraan yang kokoh). Dalam menjaga hubungan keluarga, orang Jawa mendidik anak menjadi orang yang patuh dan menghormati orang yang lebih tua. Sedangkan orang yang lebih tua dapat lebih bijaksana daripada yang lebih muda (Hadiatmadja, 2011: 26). Kesemua petuah tersebut menandakan betapa hubungan persaudaraan pada masyarakat Jawa berlangsung erat. Antar saudara diharapkan saling bergotong-royong, saling menghormati, saling mengasihi, dan saling menjaga. Musibah bagi salah satu anggota keluarga biasanya merupakan kesedihan bagi yang lain, sehingga bahu-membahu mengatasi musibah tersebut bersama-sama. Asas kebersamaan dalam persaudaraan memunculkan karakter reponsibility (tanggung jawab), respect (rasa hormat), fairness (keadilan), dan caring (peduli). Penutup Cerita Dewi Sri mengandung nilai yang dapat diterapkan dalam kehidupan sekarang. Nilai-nilai tersebut antara lain mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirisendiri, dan manusia dengan manusia lain. Dalam kehidupan berkeluarga, asas kerukunan dan saling menghormati harus dijaga untuk menjaga keharmonisan keluarga. Kerukunan dan saling menghormati diterapkan pada hubungan antara suami dengan istri, hubungan antara orang tua dan anak, serta hubungan antar saudara. Pembinaan sikap dasar tersebut, kedepannya dapat sebagai pembelajaran pembentukan karakter pada tingkat keluarga, yang meliputi : 1) reponsibility (tanggung jawab), 2) respect (rasa hormat), 3) fairness (keadilan), 4) courage (keberanian), 5) honesty (kejujuran), 6) citizenship (kewarganegaraan), 7) self-diciplene (disiplin diri), 8) caring (peduli), dan 9) perseverance (ketekunan).

DAFTAR PUSTAKA
Hadiatmadja, Sarjana. 2011. Etika Jawa. Yogyakarta: Grafika Indah. _______. 2010. Filsafat Jawa. Yogyakarta: Kanwa Publisher. Kamadjaja. 1971. Almenak Dewi Sri. Jogja: UP Indonesia. Rasjid, Sulaiman. 1992. Fiqh Islam. Bandung: Sinar baru. Suseno, Frans Magnis. 1988. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia

211

LEGENDA ARIF MUHAMAD: Sebuah kekayaan tradisional yang dapat digunakan untuk membangun wisata budaya di daerah candi Cangkuang
Nanny Sri Lestari Universitas Indonesia, Jakarta
1. Pendahuluan asyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sangat heterogen.Hal ini dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa di Indonesia.Suku bangsa tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda.Setiap suku bangsa memiliki kekayaan budaya yang berbeda.Kekayaan budaya tersebut menjadi ciri khas yang unik dari setiap suku bangsa terseut.Kekayaan budaya tersebut jika diperhatikan dengan seksama menjadi sebuah rangkaian budaya.Satu dari sekian banyak peninggalan budaya masyarakat Indonesia adalah bangunan candi yang tersebar di seluruh Indonesia.Bangunan candi merupakan kekayaan fisik yang menunjukkan adanya aktifitas sosial budaya masyarakat pada jamannya.Akftifitas social budaya tersebut mencerminkan adanya kegiatan yang berkait dengan kreatifitas seni. Entah itu berupa seni arsitektur ataupun seni yang lain. Kreatifitas seni dalam arsitektur bangunan ini dikolaborasikan dengan situasi keagamaan yang ada pada masanya.Bangunan-bangunan candi ini didirikan selalu dengan tatanan lanskap yang popular pada jamannya. Seperti pada pola gambar di bawah ini,

Gambar1: lukisan lanskap masa lalu

212

Perhatikan gambar di atas, bangunan candi selalu berlatar belakang gunung atau perbukitan lalu ada danau atau air di sekitarnya serta tanaman penghias diperbukitan dan tanaman penghias di air. Situasi seperti ini juga terjadi pada satu candi di Jawa barat. Di Jawa barat tepatnya di daerah Garut terdapat satu daerah yang dikenal sebagai daerah candi Cangkuang.Daerah ini dikenal dengan sebutan desa Cangkuang atau situ Cangkuang karena memamang di daerah tersebut terdapat situ atau danau yang disebut situ Cangkuang.Berdasarkan penelitian arkeologi candi Cangkuang candi ini ditemukan dalam bentuk sisa bangunan berupa bebatuan sisa candi yang jumlahnya 40%.Penemuan didasarkan petunjuk dari tulisan arkeolog Belanda 1893 yang bernama Voldermann. Voldermann menulis laporan tentang situ dan candi kecil di desa Cangkuang ini dalam Bataviaasch Genootschap.Secara teknis posisi candi kecil ini berada pada ketinggi 700 m di atas permukaan laut.Daerah situ Cangkuang ini berada di tengah sebuah cekungan yang bagian utara terdapat gunung Haruman sedangkan di bagian barat berjajar mengelilingi agak ke arah timur adalah pegunungan Mandalawangi. Di sisi lain terdapat perbukitan gunung Guntur. Untuk mencapai desa Cangkuan harus menempuh jarak sekita 500 m dengan menggunakan rakit bambu. Dalam usaha menata ulang bangunan candi Cangkuang ini, para arkeolog mengambil perkiraan bahwa candi ini mirip dengan candi

Gambar 2: Keterangan tentang pemugaran candi Cangkuang

213

Hindu yang ada di Jawa Tengah.Situs candi Cangkuang ini ditemukan pertama kali pada tanggal 29 Desember 1966 oleh seorang ahli arkeolog yang bernama Dr.Uka Tjandra Sasmtra. Diperkirakan candi ini berdiri abad 7-8 Masehi dengan besaran candi panjang 4,5 m tinggi 8,5 m. Candi ini dipugar tahun 1970-1076.Di dalam candi Cangkuang ini ditemukan arca dewa Siwa. Menurut keterangan penduduk di sekitar lingkungan candi tidak ada nama khusus untuk candi ini masyarakat sekitar menyebut candi ini sebagai candi Cangkuang karena terletak di desa Cangkuang. Desa Cangkuang terletak terletak di tengah danau. Lingkungan masyarakat yang tinggal di tengah desa itu disebut sebagai masyarakat kampong pulo. Perumahan di kampung Pulo hanya 6 rumah dan semuanya memiliki bentuk yang sama.
Gambar 3: Rumah adat di kampong Pulo

Menurut keterangan lisan yang diperoleh dari masyarakat sekitar daerah tersebut disebut desa dan situ Cangkuang karena ketika pertama kali ditemukan daerah itu banyak ditemukan tanaman cangkuang.Pohon Cangkuang atau daam bahasa Latinnya Pandanus Furtacus Roxb ini memiliki banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Menurut keterangan mereka buahnya dapat dimakan, sedangkan daun pohon cangkuang dapat digunakan untuk membuat anyaman tikar dan untuk pembungkus gula aren. Hal lain yang menarik dari candi Cangkuang dan kampong pulo ini adalah adanya peninggalan naskah kuno.Setelah pemugaran situs candi pemerintah daerah setempat membanun sebuah Gambar 3: Pohon Cangkuang mesium kecil yang menyimpan 6 atau Pandanus Furtacus Roxb. buah koleksi naskah.Manuskrip

214

yang tersimpan di ataranya adalah sejumlah naskah yang berisi khutbah hari Jumat dari seorang pemuka agama, naskah tentang fikih, naskah khutbah idhul fitri yang terpanjang di Indonesia dan Al Quran nul Karim.
Gambar 4: Naskah yang terdapat di meseum candi Cangkuang

Satu hal yang menarik adalah naskah tersebut di buat di atas kertas tradisional atau masyarakat setempat menyebutnya sebagai kertas Saeh atau dengan nama Latin Brousonettia Papyrifera Vent. Menurut keterangan masyarakat setempat tanaman ini digunakan untuk membuat kertas tradisional, melalui kertas tradisional inilah warisan pemikiran diabadikan sehingga dapat dibaca dari generasi ke generasi.

Gambar 5: Pohon Saih/Saeh Atau Brousonettia Papyrifera Vent

2. Legenda di sekitar candi Cangkuang Selain terdapat bangunan candi yang berada berdampingan dengan makam seorang penganut agama Islam, di sekitar daerah candi Cangkuang beredar satu cerita yang sangat terkenal yaitu legenda mbah Dalem Arif Muhamad. Legenda ini menarik karena memiliki sebuah keunikan budaya.Dia dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai penyebar agama Islam di sekitar tempat tersebut.Menurut keterangan penduduk mbah dalem Arif Muhamad adalah seorang

215

tokoh cerita.Beliau adalah seorang penyebar agama Islam yang sangat terkenal di daerah tersebut, tetapi petilasannya merupakan sebuah candi yaitu bangunan pemujaan yang menganut agama Hindu dan makamnya sendiri.
Gambar 6: Makam mbah dalem Arif Muhamad yang terletak di samping candi Cangkuang

Dalam cerita masyarakat setempat, sebagai tokoh masyarakat beliau banyak mengajarkan tentang agama Islam dan cara hidup yang baik.Bagi masyarakat sekitar candi mbah dalem Arif Muhamad selain dianggap sebagai tokoh penyebar agama Islam, dia juga memperkenalkan tata nilai kehidupan yang baru yaitu tatacara pewarisan budaya.Di lingkungan kampung Pulo rumah-rumah adat hanya dapat dihuni oleh keturunan perempuan.Keturunan laki-laki justru tidak tinggal di lingkungan ini.Kondisi ini sangat berbeda dengan daerah-daerah lain yang pada umumnya mewariskan harta warisan kepada katurunan laki-laki. 3. Permasalahan makna warisan budaya Candi Cangkuang merupakan satu dari sekian banyak monument warisan budaya yang luar biasa.Apa artinya warisan ini? Apa maksudnya nenek moyang bangsa ini mewariskan sebuah monument budaya yang sangat unik seperti ini? Apa makna dibalik semua ini? Rangkaian pertanyaan menantang saya untuk memahami makna peninggalan ini. 4. Warisan budaya bangsa dalam arti dan makna. Di atas tadi telah dibicarakan bahwa secara arsitektur lingkungan atau lanskap lokasi ini sangat indah sekali. Ada rangakaian pegunungan yang menglilingi candi, ada danau yang berada di sekitar candi, dan ada alat transportasi khusus untuk mencapai candi.Hal yang tak kalah penting adalah tempat ini jauh dari keramaian atau terpencil.Mungkin pada jaman dahulu tempat ini sangat sepi.Untuk mencapai tempat ini harus melalui perkampungan penduduk lokal, sungai, hutan dan danau.Dalam pemikiran saat ini membangun sesuatu di tempat yang sangat terpencil bukan hal yang udah.Pasti ada sesuatu yang ingin

216

disampaikan melalui situasi ini. 4.1 Arti, maksud dan makna fisik tata letak candi Jika dilihat dari posisi letak geografis bangunan sekitar candi, maka dapat dikatakan bahwa pemikiran tentang arsitektur lingkungan pada masa itu sudah sangat maju.Seperti yang digambarkan sebelumnya. Bahwa di atas bukit yang dikelilingi pegunungan ada danau dan di tengah danau ada daratan kecil berbentuk bukit dan di atas bukit ada bangunan pemujaan.Sebuah lanskap pemandangan yang sangat indah dan sudah dipikirkan sejak jaman dahulu. Maksud dari tata letak lokasi candi yang sangat jauh dari kebisingan kehidupan masyarakat adalah untuk membuat para penganut agama dapat berdoa dengan khusuk, tidak terganggu oleh hiruk pikuk kehidupan kota yang sangat duniawi. Makna dari letak candi tersebut adalah hubungan manusia dengan tuhan adalah di atas segala kepentingan hidup. Hubungan manusia dengan tuhan harus dilakukan dengan cara yang khusuk, bukan sambil lalu saja. 4.2 Arti, maksud dan makna candi sebagai peninggalan orangtua Jika kita berfikir logis setiap orangtua pasti ingin mewariskan sesuatu kepada keterunannya.Warisan tersebut tidak hanya harta benda yang dapat dilihat, diraba dan diterawang, tetapi juga warisan pemikiran atau warisan pengetahuan. Pengetahuan apa saja yang dapat menjadi bekal bagi kehidupan keturunannya di masa depan. Jika kita melihat pada tata letak candi Cangkuang maka mungkin yang ungin diwariskan adalah pengetahuan yang terintegrasi. Artinya pengetahuan yang tidak hanya fisik yaitu pengetahuan tentang tata letak, alam dan keindahan tetapi juga pengetahuan tetang rohani atau kejiwaan.Maksudnya manusia hidup di dunia ini tidak hanya membutuhkan kebutuhan jasmani saja tetapi juga kebutuhan rohani. Bagi manusia memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari itu penting tetapi memenuhi kebutuhan rohani juga penting.Maknanya hidup tidak hanya bekerja secara fisik tetapi juga harus bekerja didalam rohani manusia tersebut. Harus dipahami baik kepercayaan kuno maupun kepercayaan yang baru semuanya menyatakan bahwa ada kehidupan lain setelah kehidupan jasmani di muka bumi ini. 4.3 Arti, maksud dan makna candi sebagai warisan budaya Melihat tata letak dan perjalanan sejarah masyarakat yang berada di sekitar candi, dapat dilihat bahwa kehidupan dimuka bumi ini sangat dinamis. Anggota masyarakat saling berinteraksi satu sama lain dalam

217

kehidupan ini. Anggota masyarakat saling membutuhkan dan harus dapat saling mengisi keperluan hidup satu sama lain. Ini menujukan bahwa kehidupan terus berlangsung dari generasi ke generasi selanjutnya.Mbah dalem Arif Muhamad menanamkan satu pemikiran yang unik bahwa anak perempuan atau keturunan perempuan harus tinggal di dalam kampung pulo sedangkan anak laki-laki atau keturunan laki-laki dianjurkan untuk keluar dari kampung pulo. Artinya anak perempuan atau keturunan perempuan diminta untuk menjaga, merawat dan melestarikan budaya yang ada, sedangkan anak laki- laki atau keturunan laki-laki diminta untuk menyebar luaskan pemikiran yang baru ke generasi yang baru.Orangtua selalu berfikir tentang kedamaian, karena generasi saat ini tidak muncul begitu saja tetapi berasal dari generasi sebelumnya.Maksud utama dari pemikiran yang unik adalah untuk menunjukkan bahwa ada pertalian yang nyata tetapi ada juga pertalian yang tidak nyata.Pertalian yang nyata adalah terbentuk satu keluarga yang kemudian merambah menjadi masyarakat.Pertalian yang tidak nyata adalah para keturunan yang sudah jauh dari keluarga inti di jaman dahulu atau nenek moyangnya diharapkan masih dapat menjadi tulangpunggung persaudaraan. Sebuah strategi kekerabatan yang cukup unik. Dari situasi ini membutikan bahwa warisan adalah sesuatu yang sangat berharga.Maknanya warisan tidak hanya warisan fisik tetapi juga warisan budaya.Warisan budaya dapat menunjukkan kekayaan fisik sekaligus kekayaan jiwa. Maknanya warisan harus bias menjadi jembatan bagi kesadaran hidup bersama dalam bermasyarakat. 5. Warisan kekayaan tradisional dapat digunakan untuk membangun wisata budaya Melihat warisan masa lalu kita akan berfikir bahawa kehidupan di masa lalu sebenarnya tidak banyak berbeda dengan masa kini.Warisan masa lalu memberikan sebuah gambaran yang begitu konkrit tentang kehidupan masa lalu. Tali kekeluargaan yang dikembangkan oleh mbah dalem Arif Muhamad merupakan satu konsep meperluaskan interaksi kehidupan dan membangun satu masyarakat yang baik. Tata nilai yang dikembangkan memberikan sebuah gambaran tentang kesetaraan kehidupan manusia di bumi.Konsep kesetaraan dan keseimbangan ini ditumbuhkan sejak lama untuk menghindari benturan pandangan. Dalam pandangan tradisional yang dikembangkan adalah perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama dalam rangkaian membangun masyarakat yang damai. Dengan membangun nilai tersebut diharapkan terjadi keseimbangan kehidupan bermasyarakat.

218

Warisan kekayaan tradisional yang seperti ini sebaiknya dipelihara dengan baik.Dengan memelihara warisan budaya diharapkan masyarakat saat ini dapat mengambil manfaat yang cukup banyak. Tidak hanya manfaat materi atau duniawi tetapi juga dapat memberi manfaat rohani 6. Kesimpulan Candi Cangkuang dan Legenda mbah dalem Arif Muhamad merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.Secara fisik saat ini yang dapat dilihat adalah lokasi tempat candi ini dibangun merupakan tempat yang memang sengaja dipilih dengan alasan tertentu.Lokasi candi yang memang khusus ini memberikan kesempatan bagi masyarakat pada masa sekarang untuk memanfaatkan sebagai lokasi wisata budaya. Legenda mbah dalem Arif Muhamad yang juga memiliki petilasan pemakaman di samping candi Cangkuang menjadi monument wisata budaya yang menarikuntuk direnungkan. Hal lain yang menarik diperhatikan adalah mbah dalem Arif Muhamad juga memperkenalkan huruf Arab berbahasa Jawa atau pegon.Ini menunjukkan adanya kebersamaan dalam membina kerukunan kehidupan bersama. Masyarakat dapat memanfaatkan semua peninggalan ini tidak hanya sebagai wisata budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Astri, Istianah , (2004), Makna, Simbol bagi Masyarakat Tradisional, Aneka Warta, Semarang. Bajur,Slamet , (2002) , Religi bagi Masyarakat Tradisional. Sumber Pengetahuan Yogyakarta. Bagus Jimaat ,(2001), Keindahan Wisata Ziarahdi Jawa Tengah, Aneka Warta, Semarang. Sukardi, Ahmad,(1998), Menikmati Wisata Tradisional, CV Jaya Indah, Garut, Jawa barat. Sujana, Adi, (2000), Wisata Candi di Indonesia, Triraya Bumi, Bandung, Jawa Barat Suhadi, Imam , (2000), Wisata Candi di Jawa Timur, Barimurti Adi, Surabaya, Jawatimur. Rastri, Rustiana , (2003), Ayo Kunjungi Indonesia: menyambut tahun kunjungan Indonesia, Brosur Wisata di Candi Prambanan Jawa Tengah.

219

DARI PUISI GUGURITAN HINGGA TEMBANG YANG BERANAK-PINAK


Dian Hendrayana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Latar Belakang Guguritan uguritan adalah sebentuk puisi yang terikat dengan guru gatra (jumlah baris dalam satu bait), guru wilangan (jumlah suku kata dalam satu baris), serta guru lagu (bunyi pada suku kata terakhir dalam satu baris). Dalam khazanah kesusastraan Sunda, formula guguritan ini disebut sebagai pupuh (aturan menulis guguritan). Guguritan ini digolongkan ke dalam puisi buhun atau puisi lama. Istilah lama di sini bertalian erat dengan usia atau kelahiran bentuk puisi tersebut, yakni sekitar pertengahan abad XVII. Guguritan yang berkembang di tatar Sunda terdiri atas 17 (tujuh belas) macam. Ketujuh belas guguritan tersebut yakni Asmarandana, Kinanti, Sinom, Dangdanggula, Gambuh, Jurudemung, Magatru, Pucung, Wirangrong, Durma, Gurisa, Pangkur, Lambang, Ladrang, Balakbak, Mijil, dan Maskumambang. Menurut para ahli karawitan Sunda, dari ketujuhbelas guguritan tersebut, dua guguritan yakni Lambang danLadrang bukan merupakan kiriman dari Mataram, melainkan hasil dari kreativitas bujangga Sunda (Wibisana, 2000:562). Rosidi (1966:55) menyebutkan masuknya guguritan ke tatar Sunda ditengarai sebagai imbas dari invansi Mataram ke tatar Sunda sekitar abad XVII. Dalam prakteknya, boleh jadi, datangnya Mataram ke tatar Sunda membawa pengaruh budaya termasuk materi sastra yang kemudian dikenal oleh masyarakat Sunda sebagai puisi guguritan. Di samping pengaruh Mataram yang kemudian tersebar di masyarakat Sunda, keberadaan guguritan pun datang setelah masyarakat Sunda terbiasa mengirim upeti ke tanah Jawa pada zaman Sultan Agung (1613-1625 M). Saat berada di tanah Jawa itulah, orang Sunda para pengirim upeti tersebut banyak menimba dan mempelajari budaya Jawa, termasuk materi guguritan. Dan budaya itulah yang kemudian dibawa pulang ke tanah Sunda, lalu diterapkan dan dikembangkan secara kreatif dalam kehidupan sehari-hari di tatar Sunda. Bagi masyarakat Sunda sendiri materi guguritan tidak saja dikenal sebagai materi sastra, melainkan juga materi lagu. Terhadap lagu dari guguritan tersebut masyarakat Sunda menyebutnya sebagai

220

seni tembang (dari bahasa Jawa juga thembang), yakni berupa tembang rancag dengan irama merdeka (bebas) tanpa mengenal ketukan. Sekitar abad XVIII-XIX materi seni tembang menjadi sebentuk seni vokal yang baru. Dikatakan baru karena sebelumnya masyarakat Sunda telah terlebih dahulu mengenal seni vokal Sunda seperti kakawihan, beluk, pupujian, sisindiran, kawih pantun, dan sebagainya (Sukanda, 1984:9). Seni vokal Sunda semacam ini dirangkum dalam sebuah istilah yang dikenal masyarakat Sunda sebagai kawih. Keberadaan materi kawih dapat ditelusuri pada naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesyan (1518 M), yang berbunyi:

Hayang nyaho di sakweh ning kawih ma: kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisi(n)diran, kawih pengpeledan, bongbong kaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih ba(ng)barongan, kawih tangtung, kawih sasa(m)batan, kawih igel-igelan; sing sawatek kawih ma, paraguna tanya. (Jika ingin mengetahui segala macam lagu batuha, kawih panjang, kawih lalaguan, kawih panyaraman, kawih sisindiran, kawih pengpeledan, kawih bongbongkaso, perane, porod eurih, kawih babahanan, kawih bangbarongan, kawih tangtung, kawih sasambatan, kawih igel-igelan, maka tanyalah paraguna/akhli karawitan).

Adapun materi kawih yang berkembang di tatar Sunda memiliki teks berupa sajak bebas dan tidak terikat dengan aturan pupuh seperti yang berlaku dalam guguritan. Fungsi kawih tersebut pada umumnya biasa digunakan dalam upacara, bekerja (membajak sawah, berladang), serta bermain (lagu anak-anak). Perkembangan Guguritan Pada awalnya, (seperti juga pada tradisi di Jawa) materi guguritan di masyarakat Sunda dikembangkan ke dalam karya sastra berbentuk wawacan. Penyebarannya pertama-tama dilakukan di lingkungan pesantren, yakni di daerah Priangan Timur, terutama di daerah Garut dan Tasikmalaya. Di daerah itu pulalah kemudian muncul seni Tembang Cigawiran (di daerah Limbangan Garut) dan seni Tembang Ciawian (Pagerageung, Tasikmalaya). Karena perkembangan wawacan tersebut bermula dari lingkungan pesantren, maka seni tembang Cigawiran dan seni tembang Ciawian berisi dan bernuansakan materi keislaman, baik berbentuk kisah Islam maupun bentuk ajaran agama Islam. Dalam perkembangan kemudian, wawacan ditulis dan menyebar di lingkungan bangsawan dan lingkungan pendidikan. Pada masa itulah banyak sastrawan Sunda, guru, serta petinggi di kepemerintahan yang menuliskan cerita dalam bentuk wawacan. Adapun para

221

bujangga yang bisa dicatat di sini di antaranya R. Muhamad Moesa, R. Bratawidjaja, R. Suriadiredja, Abdussalam, R. Satjadibrata, R. Memed Sastrahadiprawira, serta MA Salmun. Wawacan yang menyebar di lingkungan pesantren umumnya ditulis dalam huruf pegon (huruf Arab), sedangkan wawacan yang ditulis oleh para bangsawan atau pendidik lebih banyak menggunakan aksara Jawa-Sunda. Namun, setelah masyarakat Sunda mengenal budaya menulis huruf latin yang disebarkan oleh Belanda, terutama lewat sekolah-sekolah, maka wawacan pun ditulis dalam huruf latin. Kadang-kadang pemerintah Belanda mencetak wawacan dalam dua huruf yakni aksara latin dan aksara Jawa. Jika dilihat darisumber dan karakterisasinya, seperti yang dicatat Wibisana (2000:768) wawacan yang bersumber pada sastra Arab atau pengaruh Islam di antaranya Hayatipinus, Bidayatussalik, Carios Para Nabi, Abdurahman jeung Abdurahim, Amir Hamzah, Ratu Sep Malik bin Diazin, serta Iman Elmu Reujeung Amal; wawacan yang bersumber dari sastra Jawa di antaranya Wawacan Rengganis, Angling Darma, Sekar Taji, Piwulang Batara Sunu; wawacan yang bersumber babad lokal Sunda di antaranya Wawacan Kanjeng Pangeran Sumedang, Dipati Imbanagara, Dipati Ukur, Babad Sukapura, Kidung Sunda, Banten Girang; wawacan yang bersumber dari cerita pantun di antaranya Wawacan Sulanjana, Lutung Kasarung, Mundinglaya di Kusumah, Sri Dangdayang Trisna Pohaci, Rangga Wulung. Masih dalam catatan Wibisana, setelah sastra Sunda dipengaruhi oleh Barat, banyak bentuk wawacan yang meniru bentuk roman, dengan tokoh cerita manusia biasa yang tidak memiliki kesaktian seperti halnya tokoh dalam sastra lama. Wawacan yang dimaksud di antaranya Wawacan Rusiah Nu Kasep (Ny. R. Hadijah Machtum), Enden Saribanon (R. Memed Sastra Hadiprawira), Juag Tati (R. Hasan Soemadipura). Memasuki paruh waktu akhir abad XIX, ekspresi guguritan banyak ditulis dalam bentuk dangding. Bentuk dangding ini merupakan karya puisi liris yang ditulis dalam bentuk puisi guguritan yang terdiri atas beberapa bait saja; tidak berkisah seperti halnya dalam wawacan. Puisi guguritan dalam bentuk dangding ini banyak ditulis terutama di awal abad XX hingga periode sebelum Perang dunia II (Rusyana,1980:1). Para penulis dangding merupakan sastrawan yang berlatar belakang pendidikan dan keagamaan seperti halnya RA. Bratawidjaja (Asmarandana Lahir Batin), R. Memed Sastra Hadiprawira (Di Jalan Tasik Garut), Haji Hasan Mustapa (Kinanti Jung Indung Turun), R. Haji Muhamad Moesa (Wulang Krama), R. Ece Majid (Guguritan Laut

222

Kidul), dan MA Salmun (Ngalayung ka Tungtung Lembur). Puisi dangding seperti ini begitu populer hingga tahun 30an. Bahkan pada satu periode, dalam khazanah sastra Sunda pernah ada kredo bahwa penulisan puisi yang bagus adalah penulisan dangding, maka jika menulis puisi tidak menuliskan dangding maka puisi itu tidak termasuk puisi yang baik (Rosidi, 1966:56). Kondisi ini dibenarkan oleh Moriyama (2005:55) yang mengatakan bahwa puisi dangding bagi masyarakat Sunda adalah bentuk puisi yang sangat digandrungi dan mampu mengangkat derajat seseorang dalam status masyarakat. Karya dangding ini pulalah yang kemudian banyak dipergunakan oleh para seniman tembang Sunda Cianjuran pada periode 19001930 dalam menggubah lagu kreasi baru. Terkadang para seniman tembang Cianjuran menulis sendiri dangding untuk keperluan penggubahan lagu tembang. Yang dimaksud lagu tembang kreasi baru adalah lagu gubahan baru hasil olah kreasi seniman padaleman saat itu terhadap materi tembang dari lagu tembang buhun yang berupa tembang rancag. Lagu tembang baru tersebut kemudian dikenal sebagai tembang Cianjuran. Sebagai contoh, jika pada tembang buhun terdapat hanya satu lagu pupuh Sinom, maka dalam lagu kreasi baru pupuh sinom tersebut berkembang menjadi lagu Sekar Gambir, Sinom Ela, Liwung, Sinom Degung, Setra, Satria, dan sebagainya. Demikian pula yang terjadi pada pupuh Dangdanggula yang kemudian beranak pinak menjadi Bayubud, Mangari, Kentar Cisaat, Kentar Ajun, Erangbarong, Dangdanggula Degung, dan sebagainya. Tembang Sunda Dalam kamus bahasa Sunda, tembang berarti melagukan guguritan. Artinya, seni suara yang bermaterikan guguritan, otomatis disebut tembang. Dalam masyarakat Sunda, materi tembang atau materi seni suara yang menggunakan teks guguritan terdiri atas tembang wawacan, tembang Cigawiran, tembang Ciawian, serta tembang Cianjuran. Tembang wawacan adalah seni menembang dengan teks berbentuk wawacan. Bentuk musikalitas tembang wawacan berorientasi kepada bentuk tembang rancag buhun, yakni nyanyian atas teks guguritan yang disinyalir sebagai bentuk asli kiriman dari Mataram. Melodi lagu tersebut cukup sederhana, tanpa polesan vibrasi yang rumit. Biasanya setiap harga satu suku kata hanya memiliki harga satu nada. Namun dalam perkembangannya, seni tembang wawacan kerap dipercantik atau dipoles dengan seni beluk (Sukanda, 1984:32).

223

Seni beluk sendiri adalah seni kawih tanpa kata-kata dengan melodi yang dinamis dan beroktaf tinggi. Seni beluk biasa digunakan saat masyarakat Sunda menunaikan pekerjaan di hutan, di saat menggarap huma (ladang). Alhasil, tembang wawacan yang semula bermelodi sederhana, selanjutnya menjadi senandung tembang yang memiliki dinamika melodi yang cukup rumit dan penuh improvisasi bergaya seni beluk. Karena itulah, tak jarang masyarakat Sunda kini menyebut seni tembang wawacan sebagai seni beluk. Seni Cigawiran dan Ciawian adalah seni suara Sunda yang menggunakan teks guguritan (wawacan) yang berkembang di pesantren (Sueb, 1997:64). Seni tembang Cigawiran berasal dari daerah Limbangan Garut (sekitar 30 km ke arah tenggara dari Bandung), sedangkan Ciawian berasal dari daerah Ciawi Tasikmalaya (sekitar 60 km ke arah Selatan dari Bandung). Kedua seni ini berkembang di lingkungan pesantren. Karena itu, naskah yang ditembangkannya pun berisikan ajaran serta cerita keislaman atau seputar hakikat hidup berdasarkan cara pandang Islam yang ditulis dalam bentuk wawacan. Sayangnya, baik seni tembang Cigawiran maupun seni tembang Ciawian tidak terlembagakan dengan baik. Akibatnya, seni tembang Cigawiran dan seni tembang Ciawian kini tidak banyak lagi dilantunkan karena regenerasi senimannya tidak berjalan dengan baik. Seni Tembang Cianjuran adalah seni suara yang berasal dari daerah Cianjur (sekitar 50 km ke arah barat dari Bandung). Berbeda dari Tembang Cigawiran dan Tembang Ciawian yang berasal dari kalangan pesantren, seni tembang Cianjuran berasal dari lingkungan kadaleman, bangsawan. Jika tembang Cigawiran dan tembang Ciawian tidak berkembang dengan baik, maka Tembang Cianjuran hingga kini masih mendapat tempat yang cukup tinggi di masyarakat (Apung SW, 1994:46). Hingga sekarang, menurut catatan dari Dinas Pariwisata, di kota Bandung saja sedikitnya terdapat sekitar 200 perguruan seni tembang Sunda Cianjuran (2002). Eksistensi tembang Sunda Cianjuran yang telah berusia lebih dari satu abad ini ditopang dengan pengorganisasian yang cukup baik. Sedikitnya ada tiga lembaga yang mengurusi tembang Cianjuran yakni Daya Mahasiswa Sunda (DAMAS), yang mengurusi pasanggiri (lomba) tembang Sunda Cianjuran; Panglawungan Pamager Asih yang mengurusi pergelaran tembang Sunda Cianjuran; Yayasan Pancaniti yang mengurusi pengkajian dan pengembangan. Ketiga lembaga ini satu sama lainnya bekerja menurut aturan kerjanya masing-masing namun memiliki sinerji yang cukup harmonis.

224

Sejak perang kemerdekaan hingga sekarang, masih berlangsung kegiatan pasanggiri (lomba) tembang Sunda Cianjuran dengan agenda tiga tahunan Terakhir, tahun 2009 merupakan Pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran ke-20 yang diselenggaraan oleh DAMAS. Kegiatan tembang Cianjuran sempat vakum ketika terjadi revolusi di tahun 1947-1950, serta Gerakan 30 September/PKI di tahun 1965. Namun kegiatan pasanggiri tersebut bisa kembali terlaksana pada tahun 1969, hingga sekarang. Di samping keberadaan tiga lembaga tadi, kepedulian pemerintah, baik provinsi maupun tingkat kota dan kabupaten pada beberapa daerah di Jawa Barat cukup memberikan perhatian yang cukup tinggi, seperti halnya di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Cimahi, Sumedang, Garut, Purwakarta, Subang, Tasikmalaya, dan tentu saja Cianjur. Di kabupaten dan kota yang disebutkan tadi, terdapat beberapa sanggar yang mengkhususkan diri menggarap dan memelihara seni tembang Sunda Cianjuran. Guguritan dan Tembang Sunda Cianjuran Keberadaan dangding (guguritan) dengan Tembang Sunda Cianjuran merupakan sisi mata uang, di mana sisi yang satu sangat membutuhkan sisi yang lain. Lagu-lagu tembang Sunda gubahan baru (1960-1990) banyak menggunakan teks berbentuk dangding. Teks-teks tersebut diambil dari dangding yang ditulis dan tersebar di media massa seperti Mangle, Cupumanik, Galura, atau Sunda Midang. Bahkan sekarang, tradisi penulisan dangding di majalah-majalah berbahasa Sunda masih terus dilakukan. Para penulis dangding tersebut di antaranya Wahyu Wibisana, Deddy Windyagiri, Etti RS, Apung SW, serta Dian Hendrayana. Karya puisi dangding yang pernah dimuat di media massa tersebut pada setiap tahunnya senantiasa dijadikan materi untuk penilaian sastra LBSS (Lembaga Basa jeung Sastra Sunda) di samping penilaian terhadap prosa (carpon) dan essey. Dengan adanya tradisi hadiah sastra Sunda dari LBSS tersebut, maka gairah penulisan dangding pun seolah tidak pernah mati. Selain dari media massa, teks dangding juga kerap dipetik dari buku karya Wahyu Wibisana (Riring-riring Ciawaking), Yus Rusyana (Guguritan Munggah Haji), Deddy Windyagiri (Jamparing Hariring), dan Dyah Padmini (Jaladri Tingtrim). Sebagai sebuah produk seni yang banyak digandrungi masyarakat, materi Tembang Cianjuran kerap digunakan dalam beberapa sendi kebudayaan. Dalam rangkaian upacara pernikahan seperti Ngaras,

225

Siraman, Ngeuyeuk Seureuh, Sawer, Buka Pintu, di sebagian besar daerah di Jawa Barat senantiasa menggunakan materi seni tembang Cianjuran di mana teksnya berupa puisi dangding. Demikian pula dalam acara peresmian, ulang tahun, acara kepemerintahan seperti sertijab, penyambutan tamu kehormatan, seringkali menggunakan materi seni tembang Cianjuran. Di samping penggunakan materi tembang Cianjuran dalam berbagai acara ritual serta acara resmi kepemerintahan, seni tembang Cianjuran senantiasa digunakan dalam pertunjukan gending karesmen. Pertunjukan ini berupa pagelaran drama di mana dialognya menggunakan tembang Sunda Cianjuran. Pertunjukan ini kerap dipertontonkan di lingkungan kadaleman sejak jaman sebelum Perang Dunia II. Dan sekarang pertunjukan gending karesmen masih sering dipentaskan, terutama di Kota Bandung. Kesimpulan Puisi guguritan di masyarakat Sunda begitu lekat dan dikenal secara luas. Bahkan di sekolah-sekolah, materi guguritan dijadikan bagian dari mata pelajaran Bahasa Sunda setiap tingkatan. Materi tersebut tidak saja sebagai materi sastra ansich, melainkan juga sebagai materi seni suara. Hingga sekarang, keberadaan puisi guguritan masih tetap hidup dan berkembang. Keberadaan yang masih eksis tersebut didukung karena adanya media ekspresi dalam bentuk seni suara yakni tembang Sunda (terutama tembang Sunda Cianjuran) yang hingga sekarang masih hidup dengan subur di masyarakat Sunda. Puisi guguritan pun tetap bertahan karena masih ditulis oleh para pengarang untuk dipublikasikan pada media massa terutama majalah. Di samping pelembagan dalam media seni suara dan media cetak, kehidupan guguritan ditopang pula dengan tradisi pasanggiri menulis dangding yang biasa dilaksanakan oleh Paguyuban Pasuhdan serta hadiah sastra yang saban taun diberikan oleh Lembaga Basa dan Sastra Sunda (LBSS). Tentu saja, kondisi yang demikian kondusif tersebut menggiring gairan penulisan dan pemuliaan guguritan terus berjalan seperti tak pernah terhenti.***

DAFTAR PUSTAKA
Apung SW. 1994. Pamanggih jeung Papanggihan. Bandung: Kencana Press Moriyama, Mikihiro. 2005. Semangat Baru. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

226

Rawayan. 2002. Bandung: Sanggar dan Lingkung Seni Sunda. Bandung: Dinas Pariwisata Rosidi, Ajip. 1966. Kesusatraan Sunda Dewasa Ini. Jakarta: Tjupumanik ---. 1982. Ngalanglang Kasusatraan Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya Rusyana, Yus. 1980. Puisi Guguritan Sunda.Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen dan Kebudayaan Sub, Ac Hasan. 1997. Wawasan Tembang Sunda. Bandung: CV Geger Sunten Sukanda, Enip. 1984. Tembang Sunda Cianjuran: Sekitar Pembentukan dan Pengembangannya. Bandung: Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia Subproyek Akademi Seni Tari Indonesia Bandung. Wibisana, Wahyu, dkk. 2000. Lima Abad Sastra Sunda. Bandung: CV. Geger Sunten.

227

NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM KAKAWIHAN BARUDAK SUNDA: Persepsi dan Realisasi Kebahasaan
Dede Kosasih Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
1. Pendahuluan rus globalisasi dewasa ini terasa semakin menguat, dan pengaruhnya semakin menyebar ke berbagai ranah kehidupan. Kondisi ini sejauh tertentu mendesak nilai-nilai budaya lokal yang telah hidup selama berabad-abad dan diwariskan secara turun-temurun. Pewarisan ini dapat terganggu (bahkan terputus) oleh masuknya unsur budaya asing, apabila unsur baru tersebut lebih disukai dibanding unsur asli. Yang perlu diwaspadai, tidak semua pengaruh dari luar bersifat positif, dan kekhawatiran akan ekses negatif dari pengaruh luar tersebut telah dikemukakan banyak kalangan, seperti pendidik, orang tua, dan pemerhati dunia anak. Namun di tengah gencarnya arus globalisasi terbersit sebuah optimisme. Futurolog Naisbitt & Aburdene (1995) memprediksi bahwa di tengah terpaan peradaban global, kecintaan pada budaya lokal untuk menunjukkan jati diri akan semakin menguat. Tentu prediksi ini perlu dijawab dengan upaya sadar untuk membangun peradaban tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal. Dalam konteks tarik ulur global-lokal ini, salah satu area yang layak disoroti adalah dunia anak, karena anak merupakan generasi pewaris sebuah sistem budaya. Salah satu unsur dari dunia anak adalah permainan. Karena dunia anak adalah dunia bermain dan imajinasi (lihat Mustapha 1997), maka permainan anak perlu mendapat perhatian yang serius, karena turut membentuk karakter anak yang pada gilirannya akan membentuk kepribadiannya ketika dewasa. Permainan anak telah berkembang demikian pesat seiring dengan perkembangan sosial dan teknologi. Permainan anak sekarang ini (sebagian impor) ditenggarai banyak mengarah ke pembentukan sikap konsumtif dan individualistis. Adapun permainan tradisional dipercaya lebih dapat membangkitkan kreativitas dan kepedulian pada lingkungan (sosial dan alam). Sayangnya, permainan tradisional tampaknya semakin banyak ditinggalkan. Salah satu unsur pembentuk permainan anak adalah lagu. Permainan oray-orayan (ular-ularan) dalam budaya Sunda, misalnya,

228

biasanya disertai lagu Oray-orayan. Lagu anak dalam masyarakat Sunda dikenal dengan istilah kakawihan barudak. Dalam kakawihan tersebut terkandung potensi pengaruh positif: selain kegembiraan yang didapat, terpupuk juga sifat kebersamaan, kreativitas, ataupun kecintaan terhadap alam. Dapat dikatakan, kakawihan barudak ini merupakan salah satu wujud dari kearifan lokal masyarakat atau etnik Sunda. Penelusuran literatur menunjukkan bahwa kajian tentang kearifan lokal telah banyak dilakukan, menyoroti berbagai bidang kehidupan dan dilakukan di berbagai belahan dunia. Di antaranya, terdapat kajian kearifan lokal yang mengangkat nilai lokal dalam pengelolaan sumber daya alam (misalnya Kongsat et al. 2009; Channuan et al. 2009). Terdapat juga kajian yang mengeksplorasi penerapan nilai lokal dalam bidang rekayasa (misalnya Yukimatsu et al. 2008; Gertler & Vinodrai 2009), dan dalam upaya pelayanan kesehatan atau pengobatan (misalnya Chakravorty et al. 2011; Zhang & Pan 2008). Terkait ranah sosialpolitik, muncul berbagai kajian kearifan lokal dalam kaitannya dengan bidang hukum (misalnya LaFrance & Allen 2010; Schragger 2009), dengan proses kemasyarakatan (misalnya Hubert 2005; Craw 2006), dengan bidang sosial-ekonomi (misalnya Ong 2009; Baker & Coulter 2007), dan dengan bidang pendidikan (misalnya Meyers & Willhauck 2003; Jules 1994). Dalam konteks ini belum teridentifikasi adanya kajian ilmiah yang khusus membahas lagu tradisional anak. Kajian ini mengeksplorasi nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan menurut persepsi orang Sunda dan realisasi kebahasaan yang berpotensi mendukung kandungan nilai-nilai tersebut. 2. Tinjauan Pustaka Seperti diungkap secara singkat pada bagian pendahuluan, kakawihan barudak Sunda akan dieksplorasi dalam konteks kajian kearifan lokal. Meskipun kajian tentang kearifan lokal telah cukup banyak dilakukan dalam berbagai bidang, kajian yang berfokus pada lagu tradisional, apalagi lagu tradisional anak-anak (kakawihan barudak), belum teridentifikasi pada literatur. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan menjadi penelitian perintis dalam bidang ini. Namun demikian telah terdapat bahasan umum di mana kakawihan barudak dapat ditempatkan. Dalam hal ini, konsep kakawihan barudak dapat dikaji minimal dari tiga perspektif, yakni budaya secara umum, teori folklore, dan teori kebahasaan yang mengacu pada penggunaan bahasa dalam konteks kemasyarakatan.

229

Istilah kakawihan berasal dari kata kawih yang artinya lagu atau nyanyian. Dan istilah kawih ini telah lama sekali dikenal dan dipergunakan oleh masyarakat Sunda, bahkan sudah teridentifikasi dalam naskah Sunda Siksa Kanda Ng Karesian yang ditulis pada tahun 1581 M (Danasasmita dkk. 1987). Dalam budaya Sunda juga dikenal kesenian sejenis yang disebut tembang, namun ini muncul belakangan setelah budaya Sunda memperoleh pengaruh budaya Jawa pada abad ke-17 (lihat Rosidi 1984, 1996). Dengan demikian, kawih merupakan tradisi yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Dari perspektif budaya secara umum, Keesing (dikutip Damono 1979:4) mengemukakan bahwa melalui kebudayaan manusia membina interaksi dengan sesamanya dan dengan alam, serta mewariskan nilainilai yang dianggap bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka dari generasi ke generasi. Dengan demikian, kebudayaan secara langsung ataupun tidak langsung mampu memberikan identitas tertentu bagi individu dan masyarakat pendukungnya. Dalam konteks ini kakawihan barudak merupakan wahana interaksi bagi anak-anak, dalam rangka memupuk keterampilan sosialnya. Permainan seperti ini akan turut membentuk karakternya di masa mendatang. Dari perspektif folklore, kakawihan dapat dikategorikan ke dalam bentuk puisi nyanyian (lihat Rusyana 1981; Dananjaya 1994). Kakawihan sebagai puisi rakyat (sajak rakyat) dibagi menjadi tiga kategori yaitu sajak untuk anak-anak atau nursery rhyme; sajak permainan atau play rhyme; dan sajak untuk menentukan siapa yang jadi dalam suatu permainan atau tuduhan atau counting out rhyme (Dundes, 1968). Menurut Bascom (dalam Dananjaya, 1994), terdapat empat fungsi folklore, yaitu (a) sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan (pedagogical device), dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawasan agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Kakawihan barudak Sunda tampaknya minimal memenuhi fungsi (a), yakni sebagai pencerminan nilai-nilai yang dianut masyarakat Sunda, misalnya bahwa dunia anak-anak itu harus berupa dunia yang menyenangkan, juga fungsi (c), misalnya sebagai sarana bagi anak-anak untuk belajar bekerja sama dan menghormati aturan main. Dari perspektif teori bahasa, kakawihan barudak dapat ditinjau di antaranya lewat teori genre sebagai bagian dari teori tatabahasa sistemik-fungsional (lihat Halliday 1994; Eggins 2004). Dalam hal ini,

230

kakawihan merupakan sebuah genre lisan, dan seperti genre lainnya memiliki tiga unsur utama, yakni fungsi sosial, struktur skematik, juga fitur-fitur linguistik tertentu. Eksplorasi lanjutan terhadap fitur linguistik dapat dilakukan lewat analisis bahasa figuratif, seperti yang dipaparkan di antaranya oleh Holman (1992) dan Frost (2006). Holman (1992) membagi bahasa figuratif menjadi dua kelompok utama, yaitu schemes, yang lebih berpijak pada unsur bentuk, dan tropes, yang lebih berbasis makna. 3. Metode Kajian Kajian ini mengeksplorasi nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan barudak serta realisasi kebahasaannya terutama dengan menggunakan prosedur kualitatif-deskriptif. Kajian ini dilaksanakan di wilayah Bandung Raya, yang secara administratif meliputi Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Penelitian ini melibatkan anak-anak Sunda dan orang Sunda dewasa yang tinggal di wilayah Bandung Raya. Mereka diseleksi secara purposif dan dilibatkan terutama untuk menggali persepsi mereka tentang kakawihan barudak. Prosedur pengumpulan data ditetapkan berdasarkan jenis data yang diperlukan. Data jenis pertama adalah kakawihan barudak itu sendiri, yang diambil dengan cara studi dokumen (buku, artikel) dan observasi ke lapangan serta media massa untuk mengidentifikasi keberadaan kakawihan. Data jenis kedua adalah persepsi anak-anak dan orang dewasa terhadap kakawihan, yang diambil lewat wawancara dengan responden. Data kakawihan dianalisis secara kualitatif untuk mengidentifikasi fitur-fitur pembentuknya. Data wawancara digunakan untuk mengidentifikasi pandangan responden terkait nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan. 4. Temuan dan Pembahasan Paparan berikut membahas dua hal, yakni nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan menurut responden serta bahasan lanjutannya, serta unsur kebahasaan yang mendukung perwujudan nilai-nilai tersebut. 4.1 Nilai-nilai dalam kakawihan 4.1.1 Persepsi responden akan nilai-nilai kakawihan Nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan diungkapkan oleh tiga kelompok responden yaitu anak-anak, orang dewasa, dan guru. Nilai-nilai yang tergali disajikan dalam Tabel 1 berikut. Dalam konteks

231

ini seorang responden dapat mengungkapkan lebih dari satu nilai yang dianggap relevan dengan kakawihan; dengan demikian, jumlah nilai yang disebutkan tidak mencerminkan jumlah responden, melainkan jumlah keseluruhan nilai yang diungkapkan oleh seluruh responden. Tabel 1: Nilai dari kakawihan yang diungkapkan responden Nilai yang terungkap Rekreatif Edukatif Kebersamaan Konservasi Ekonomis Kepedulian sosial Kedisiplinan Ignorance Jumlah Anak-anak Jumlah 17 4 8 3 % 50 12 24 9 Dewasa Jumlah 19 15 9 5 2 % 38 30 18 10 4 Guru Jumlah 9 10 6 3 2 1 2 34 6 50 31 % 29 32 19 10 6 3

Tabel 1 menunjukkan bahwa para responden, dalam bahasanya sendiri, mengungkapkan sejumlah nilai yang terdapat dalam kakawihan, yakni nilai rekreatif, edukatif, kebersamaan, konservasi, ekonomis, kepedulian sosial, dan kedisiplinan. Bahkan terdapat 2 kemunculan ungkapan ketidakpedulian terhadap kakawihan oleh responden anakanak. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa tiga buah nilai, yakni rekreatif, edukatif, dan kebersamaan, diungkapkan oleh semua responden dalam urutan tiga teratas. Dengan demikian, ketiga nilai ini dianggap nilai yang paling pokok oleh seluruh responden. Ketiga nilai ini akan dieksplorasi lebih lanjut di bawah ini. 4.1.2 Nilai rekreatif Dapat dikatakan bahwa fungsi yang paling pokok dari kakawihan barudak adalah fungsi rekreatifnya. Kakawihan dimaksudkan sebagai hiburan yang kontekstual, apalagi sebagian dari kakawihan tersebut merupakan bagian dari permainan anak-anak. Aspek yang menjadi pembentuk fungsi rekreatif mencakup di antaranya unsur kebahasaan, seperti akan dibahas pada Bagian 4.2. Dalam hal ini lagu anak-anak secara kebahasaan mengandung sejumlah bahasa figuratif, baik yang berupa permainan bentuk maupun permainan makna, yang

232

mendukung nilai hiburan dari kakawihan. Aspek transitivitas dan progresi tema juga turut mendukung nuansa rekreatif dari kakawihan. Dengan memiliki dimensi rekreatif, kakawihan bermanfaat untuk menciptakan kegembiraan di kalangan anak-anak. Dalam suasana gembira ini tentu berbagai nilai lain yang positif dapat diinternalisasi secara maksimal. Selain itu, kebahagiaan ini dapat menjadi sumber untuk gairah dan daya hidup yang dapat mendorong mereka untuk berkreasi. Kesempatan untuk mendapat kegembiraan seperti ini tentu relevan dengan konteks Indonesia, di mana anak-anak mendapat beban kurikulum yang besar, yang cenderung menggiring mereka ke arah rutinitas. Dapat dikatakan bahwa kebahagiaan (atau ketidakbahagiaan) masa kecil merupakan unsur yang turut mempengaruhi pembentukan karakter seseorang. Jika kepribadian seorang manusia dipahami sebagai hasil dari sebuah proses, maka bahan dasarnya adalah dunia anak-anak ini. Bagaimana format yang akan terbentuk nanti sangatlah bergantung pada bahan dasarnya yang dibentuk pada masa kecil. 4.1.3 Nilai kebersamaan Kakawihan sarat dengan nilai kebersamaan karena kakawihan berikut konteks kemunculannya (dapat berbentuk permainan) pada umumnya diperagakan secara bersama-sama. Misalnya, kakawihan Oray-orayan dinyanyikan bersama-sama dalam rangka membentuk permainan Oray-orayan, yang melibatkan cukup banyak anak untuk membentuk baris yang panjang supaya tampak seperti oray ular. Pada permainan ini sejumlah anak berkumpul di tempat yang cukup luas. Untuk menentukan siapa yang menjadi kepala ular, biasanya dilakukan undian dengan menggunakan kakawihan Hompimpah atau Cingciripit. Setelah kepala terpilih, anak lainnya berebutan untuk berada di belakangnya. Mereka berbaris sambil berpegangan pada teman di depannya dan berjalan meliuk-liuk sambil mendendangkan lagu Oray-orayan. Orang naon? Orang bungka! Bungka naon? Bungka Laut! Laut naon? Laut dipa! Dipa naon? Di pandeuri! ri...riiii...riiii...! Setelah lagu berakhir, anak-anak biasanya riuh rendah, karena si kepala ular harus menangkap ekornya atau anak yang berada paling belakang. Walaupun bentuknya tampak sederhana, permainan ini mengandung unsur yang sangat berguna bagi pemupukan sikap mental anak-anak terutama dalam hal kebersamaan. Dengan permainan tersebut, anak-anak bisa mendapatkan kegembiraan hidup tanpa harus dibeli dengan uang. Selain itu, nampak pula rasa

233

solidaritas anak-anak dalam bermain, karena bila jumlah pemainnya kurang banyak maka permainan tersebut kurang seru. 4.1.4 Nilai dalam konteks edukatif Kakawihan sarat dengan nuansa edukatif karena lewat keterlibatan dengan kakawihan anak-anak mendapatkan pengalaman yang turut membentuk karakter mereka. Fungsi edukatif dari kakawihan ini dibangun oleh berbagai nilai. Misalnya, nilai rekreatif dan kebersamaan yang dipaparkan di atas dapat membentuk karakter anak yang ceria sekaligus memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Nilai-nilai lainnya (seperti kecintaan budaya, kepedulian sosial, kehematan, kedisiplinan, apresiasi, dan kesadaran akan aturan) juga perlu dieksplorasi dalam proses pendidikan. Nuansa edukatif dari kakawihan ini dapat terlihat dari kehidupan anak-anak tempo dulu. Karena belum banyak terpengaruh oleh dunia luar, mereka sangat dekat dengan alam sebagai lingkungan hidup mereka. Mereka memanfaatkan apa yang ada di lingkungannya untuk menjawab berbagai tantangan, baik yang bersifat personal, sosial, maupun natural. Sebagai akibatnya, mereka harus kreatif dalam menghadapi tantangan yang muncul. Misalnya, ketika menginginkan satu jenis mainan, mereka harus mengkreasinya sendiri dengan memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka. Dalam konteks inilah tampaknya akan-anak secara bersama-sama tumbuh subur dengan penuh kegembiraan dan menginternalisasi nilai-nilai kehidupan yang beredar di sekitarnya. Sebaliknya, dunia anak-anak sekarang tampaknya lebih bernuansa individual dan pasif. Sebagian waktu senggang mereka dihabiskan dengan menonton TV atau melakukan permainan yang cenderung bersifat individual, seperti play station. Mereka juga tampaknya tidak tertantang untuk menciptakan permainan sendiri (pasif) karena berbagai bentuk permainan telah tersedia, sehingga mereka merupakan objek dari perkembangan teknologi, di mana mereka hanya menjadi pemakainya. Dalam konteks edukatif, nilai-nilai lama yang positif perlu diupayakan untuk dapat diinternalisasi oleh generasi berikutnya, namun tampaknya tidak dalam bentuk sebelumnya karena sudah tidak kontekstual dengan kehidupan sekarang. Dengan demikian, transformasi kakawihan berikut permainan yang menyertainya merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak: sajikan dalam bentuk baru yang mampu menggaet perhatian anak-anak yang dibesarkan pada zamannya. Transformasi ini bagaimanapun merupakan pilihan

234

bijak dibanding tersisihnya nilai lokal oleh nilai luar yang terus masuk dan belum tentu bersifat positif. 4.2 Realisasi kebahasaan Nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan di atas, terutama nilai rekreatif, dibentuk di antaranya oleh aspek linguistik. Ini dapat dilihat di antaranya dari penggunaan bahasa figuratif (schemes dan tropes), penggunaan proses, dan progresi tematis. 4.2.1 Bahasa figuratif: schemes Bahasa figuratif yang masuk kedalam kategori scheme berpijak pada unsur bentuk, baik bunyi, kata, maupun struktur sintaksis (lihat Holman 1992). Bahasa figuratif jenis ini yang digunakan dalam kakawihan adalah aliterasi, asonansi, anadiplosis, epizeuxis, anafora, dan end rhyme. Gaya bahasa aliterasi direalisasikan lewat pengulangan bunyi konsonan dalam satu kalimat untuk menciptakan untaian bunyi yang enak didengar, seperti terilustrasikan pada kakawihan Ambil-Ambilan di bawah ini. Pada baris kedua dari kakawihan tersebut, terdapat pengulangan konsonan /t/ hingga tiga kali. Pengulangan konsonan ini menciptakan efek bunyi tertentu yang dapat membuat pendengar menjadi terfokus pada kata-kata yang terucap dan sekaligus berpotensi mengikat perhatian pendengar pada apa yang diucapkan.
Ambil-ambilan Turugtug hayam samantu

Gaya bahasa asonansi direalisasikan lewat pengulangan bunyi vokal dalam satu kalimat, seperti terilustrasikan pada kakawihan Cingcangkeling berikut ini. Pada baris pertama dari kakawihan tersebut terdapat pengulangan vokal /i/ hingga empat kali. Seperti halnya pada pengulangan bunyi konsonan, pengulangan bunyi vokal juga menciptakan efek bunyi tertentu yang dapat membuat pendengar menjadi terfokus pada kata-kata yang terucap dan sekaligus terikat perhatiannya pada apa yang diucapkan.
Cingcangkeling manuk cingkleung cindeten ......

Dalam gaya bahasa anadiplosis kata atau frase yang muncul di akhir baris diulang pada awal baris berikutnya, seperti terilustrasikan pada kakawihan Cacag Gurame berikut ini. Kata gurame yang muncul pada ujung baris pertama diulang pada awal baris kedua. Hal yang sama

235

terjadi pada kata gobang, yang diulang pada awal baris berikutnya. Efek pengulangan kata tadi adalah nuansa keterkaitan antar elemen, dan berpotensi menimbulkan keindahan dan semangat pada yang meyanyikannya.
Cacag gurame Gurame tali gobang Gobang pancar rame

Dalam gaya bahasa epizeuxis dilakukan pengulangan kata untuk penekanan atau aksentuasi, seperti pada kakawihan Het-het Embe Janggotan di bawah ini. Pada kakawihan ini, kata lauk diulangi pada frase yang sama, menjadi laukna lauk bilatung. Selanjutnya, kata kejo diulang pada frase kejona kejo gandrung. Pengulangan ini menimbulkan efek penekanan atau penguatan, yang dapat membuat kakawihan menjadi lebih dinamis.
Het-het embe janggotan Pa kuwu kariaan Laukna lauk bilatung Kejona kejo gandrung Prang prung bedog buntung

Anafora adalah gaya bahasa yang direalisasikan dengan cara mengulangi kata yang sama pada awal frase, klausa, atau kalimat agar mendapat efek paralel dan klimaks tertentu. Contohnya terdapat pada kakawihan Nanangkaan berikut ini.
Nangkana ge kark dipelak Nangkana kakara jadi Nangkana kakara jadi tongtolang Nangkana kakara gumading Ayeuna geus asak

Terdapat juga kakawihan yang bercirikan bunyi yang sama pada ujung-ujung kalimat atau baris (end rhymes), seperti dapat diamati pada kakawihan Dudukuy Pelentung di bawah ini. Pada kakawihan ini terjadi pengulangan bunyi /u/ pada ujung setiap baris.
Ka mana jalan ka gintung Ka gintung ngalangkung gunung Ka saha abdi nyalindung Upami sanes ka indung

4.2.2 Bahasa figuratif: tropes Bahasa figuratif yang masuk kedalam kategori trope berpijak pada unsur makna (lihat Holman 1992). Bahasa figuratif jenis ini yang digunakan dalam kakawihan di antaranya adalah metafora, metonimi,

236

paradoks, dan personifikasi. Dalam gaya bertutur yang metaforis, satu hal dibandingkan dengan hal lainnya tanpa menggunakan lagi kata penghubung seperti, laksana, dan yang sejenisnya. Gaya bahasa metafora ini terilustrasikan pada kakawihan Aanyaman (Anyaman) berikut. Dalam kakawihan ini, kaki yang saling berkait diibaratkan anyaman. Pada anyaman, material yang pipih dan tipis dijalin saling bertumpang untuk membentuk satu kesatuan sehingga tercipta sebuah produk yang mempunyai fungsi tertentu, seperti keranjang. Dalam hal ini, kaki yang saling berkait diibaratkan anyaman yang berfungsi untuk membentuk sebuah permainan.
Pakait-kait suku Bitisna patumpang-tumpang Anyaman masing pageuh Tacan lesot ulah reureuh

(Kaki berkait Betisnya saling tumpang Anyaman harus kuat Belum lepas jangan berhenti)

Metonimia adalah gaya bahasa yang menyebutkan sesuatu dengan tidak langsung, seperti tercermin pada kakawihan Ayang-ayang Gung di bawah ini. Kata Batawi pada kakawihan ini adalah sebutan lokal untuk kota Batavia atau Jakarta, yang sejak zaman kolonial Belanda menjadi pusat pemerintahan di Indonesia. Dengan demikian, kata Batawi merujuk pada pemerintah pusat. Kakawihan ini bernada sindiran, bercerita tentang orang yang gila pangkat dan kekuasaan.
Lempa lempi lempong Ngadu pipi jeung nu ompong Jalan ka Batawi ngemplong

Dalam gaya bahasa paradoks, digunakan dua ungkapan yang artinya bertentangan. Gaya bertutur ini terlihat pada kakawihan Dudukuy Pelentung berikut. Pada Pada kakawihan ini diceritakan seseorang yang oleh ibunya ditundung dimarahi/diusir, sementara oleh ayahnya diceungceurikan ditangisi/disayangi.
Dudukuy pelentung digantung Digantung di kakaitan Ku indung abdi ditundung Ku bapa diceungceurikan

Pada gaya bahasa personifikasi benda mati ataupun binatang

237

dianggap sebagai manusia, sehingga bertingkah laku seperti manusia. Gaya bahasa tersebut dapat diamati pada kakawihan Haphap Dagoan di bawah ini. Haphap adalah sejenis bunglon yang bisa meloncat seperti terbang. Dalam konteks ini si bunglon terbang dianggap memiliki carecet saputangan, seperti manusia, karena ketika terbang terlihat seperti sedang membawa sebuah saputangan yang dibentangkan, yang sebetulnya adalah selaput yang berfungsi sebagai sayap.
Haphap dagoan Carecet sia tinggaleun

4.2.3 Sistem Transitivitas Pada kakawihan yang diidentifikasi dalam penelitian ini ditemukan sejumlah proses yang mendukung representasi kakawihan Sunda. Proses yang teridentifikasi paling banyak muncul ialah proses material (62,5%) diikuti oleh proses relasional (22,3%). Proses material sebagai proses fisik ditemukan misalnya pada potongan kakawihan Aanyaman di bawah ini. Dalam kakawihan tersebut digunakan kata kerja pakait-kait saling berkait dan patumpangtumpang berjalin/bertumpuk. Ditemukannya proses material dalam porsi yang paling banyak menunjukkan adanya kecenderungan untuk melibatkan pelaku kawih secara aktif-dinamik mencipta gerak yang selaras dengan isi kakawihan.
Pakait-kait suku bitisna patumpang-tumpang

Proses relasional merupakan proses yang menjelaskan atribut atau identifikasi mengenai entitas tertentu. Proses relasional yang menunjukkan atribut dan identifikasi terdapat dalam potongan kakawihan Gobang Gocir berikut ini. Kata lada pedas menunjukkan proses relasional atributif, di mana pedas merupakan atribut dari cabe beureum cabe merah. Di sisi lain, kata randa menunjukkan proses relasional identifikasi karena randa janda merupakan value dari baju beureum yang berbaju merah. Banyaknya proses relasional yang muncul menunjukkan kecenderungan para pencipta kakawihan untuk memberikan atribut atau definisi kepada entitas yang disebut dalam kakawihan, agar entitas tersebut tergambarkan seperti yang diharapkan.
Jir gobang gojir cabe beureum lada cing geura taksir baju beureum randa

238

4.2.4 Progresi tematis Setiap bagian pada kakawihan Sunda dikembangkan dengan alur yang berbeda-beda. Teridentifikasi adanya progresi tematis linier (zigzag), paralel, dan turunan, serta campuran progresi. Progresi paralel digunakan dalam jumlah paling panyak. Alur pengembangan kakawihan berprogresi linier ditemukan misalnya dalam kakawihan Cacag Gurame berikut ini. Pada contoh ini, kata yang menjadi rheme pada satu klausa menjadi theme pada klausa berikutnya. Pada baris pertama gurame menjadi rheme, dan berubah menjadi theme pada baris kedua. Pada baris kedua gobang menjadi rheme, dan berubah menjadi theme pada baris ketiga.
Cacag gurame Gurame tali gobang Gobang pancar rame dst.

Selanjutnya ditemukan juga progresi semi-linier, yakni bahwa perubahan dari rheme menjadi theme hanya berlaku pada suku kata terakhir dari suatu kata atau baris. Ini ditemukan misalnya pada kakawihan Ayang-ayang Gung sebagai berikut. Pada kakawihan ini bunyi pada akhir baris pertama yaitu gung menjadi awal bunyi kata pertama pada baris kedua yaitu gung. Demikian halnya dengan bunyi pada akhir baris kedua -m menjadi bunyi awal pada kata pertama pada baris ketiga mnak. Demikian seterusnya, sehingga bunyi pada baris sesudahnya mengulang bunyi pada baris sebelumnya.
[Ayang-ayang Gung] Ayang-ayang gung Gung goongna ram Mnak Ki Mas Tanu Nu jadi wadana Naha mani kitu dst.

Alur pengembangan kakawihan dengan progresi paralel digunakan misalnya dalam kakawihan Baju Beureum berikut. Kakawihan ini didominasi oleh progresi paralel, yang ditunjukkan oleh penggunaan kata ari pada awal baris ketiga yang merupakan pengulangan dari kata pertama pada baris kedua. Kata ari terus digunakan secara berulang

239

pada baris-baris setelahnya sampai dengan baris terakhir.


Baju beureum sombong Ari bong bongkar mobil Ari bil bil salamet Ari met metik cabe Ari be beas ketan Ari tan tanteu girang dst.

Progresi turunan terilustrasikan pada kakawihan Suling Aing sebagai berikut. Pada kakawihan ini kata pertama pada baris kedua yaitu suling dijelaskan proses pembuatannya pada klausa/baris ketiga (diliangan ku bangbara), klausa keempat (ditoktrokan ku caladi), dan klausa kelima (dipasieup ku sireupeun).
Torotot heong, torotot heong Suling aing tulang maung Diliangan ku bangbara Ditoktrokan ku caladi Dipasieup ku sireupen Torotot heong, torotot heong

Perlu dicatat bahwa sebuah kakawihan dapat mengandung lebih dari satu progresi tematis, seperti terilustrasikan pada kakawihan Baju Beureum berikut, yang mengandung progresi paralel dan semi-linier (zigzag). Progresi paralel terlihat dari pengulangan kata ari di awal baris, sejak baris kedua. Progresi semi-linier terlihat dari pengulangan suku kata terakhir setiap baris, yang diulang di awal setiap baris berikutnya, setelah kemunculan kata ari. Digunakannya gabungan progresi ini membuat kakawihan ini tampak lebih hidup.
Baju beureum sombong Ari bong bongkar mobil Ari bil bil salamet Ari met metik cab Ari b bas ketan Ari tan tanteu girang dst.

5. Kesimpulan Kajian ini mengeksplorasi permasalahan yang terkait dengan lagu tradisional anak-anak (kakawihan barudak) dalam masyarakat Sunda, yakni nilai-nilai yang terkandung dalam kakawihan dan bagaimana

240

nilai-nilai tersebut terealisasikan secara kebahasaan. Ditemukan bahwa nilai yang terungkap berkaitan erat dengan dengan realisasi kebahasaannya. Teridentifikasi sejumlah nilai yang tekandung dalam kakawihan, seperti diungkapkan oleh para responden. Semua kelompok responden menempatkan dalam urutan tiga besar tiga buah nilai, yakni rekreatif, kebersamaan, dan edukatif. Dapat dikatakan bahwa dari ketiga nilai ini, nilai rekreatif adalah nilai yang pertama dan utama dari kakawihan, karena fungsi pokok kakawihan adalah untuk menciptakan kegembiraan. Selanjutnya, nilai kebersamaan pun tidak dapat dikesampingkan karena kakawihan biasanya dilakukan dalam format kebersamaan. Kedua nilai ini, beserta nilai-nilai lainnya, selanjutnya mendukung fungsi edukatif dari kakawihan, yakni untuk menciptakan manusia yang memiliki karakter positif. Nilai rekreatif dari kakawihan ternyata sejauh tertentu didukung oleh realisasi kebahasannya. Dalam hal ini banyak muncul bahasa figuratif baik dari jenis schemes maupun tropes. Penggunaan bahasa figuratif ini membuat kakawihan menjadi menarik dan enak didengar. Secara transitivitas, representasi banyak dilakukan terutama lewat proses material, diikuti oleh proses relasional. Proses material dapat melibatkan pelaku kawih secara aktif-dinamik mencipta gerak yang selaras dengan isi kakawihan, dan proses relasional memberikan atribut atau definisi kepada entitas yang disebut dalam kakawihan. Terakhir progresi tematis yang digunakan cukup bervariasi. Progresi yang paling banyak muncul adalah progresi paralel, yang memungkinkan terjadinya pengulangan sebuah ungkapan yang membuatnya menjadi terus diingat. Terdapat juga campuran progresi tematis, seperti progresi paralel dan linier. Campuran progresi ini membuat kakawihan menjadi lebih hidup. Berdasarkan temuan-temuan di atas dapat dikatakan bahwa kakawihan menjadi salah satu sumber nilai yang dapat dieksplorasi lalu diangkat untuk menciptakan sistem pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai lokal, terutama pada pendidikan tahap awal (SD dan SLTP). Lewat praktek seperti ini diharapkan orang Indonesia dapat menemukan dan menegaskan karakternya sebagai entitas yang berjati diri lokal namun tetap berperan aktif dan ikut mewarnai pergaulan global (lihat Alwasilah et al. 2009).

241

DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. (2009). Etnopedagogi: Landasan praktek pendidikan dan pendidikan guru. Kiblat Buku Utama, Bandung. Baker, Kathleen and Alex Coulter. 2007. Terrorism and tourism: the vulnerability of beach vendors livelihoods in Bali. Journal of Sustainable Tourism, Vol. 15/3, hal. 249-265. Chakravorty, Jharna; Sampat Ghosh; Victor Benno Meyer-Rochow. 2011. Practices of etnomophagy and etnotherapy by members of the Nyishi and Galo tribes, two ethnic groups of the state of Arunachal Pradesh (North-East India). Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine, Vol. 7/5, hal. 1-14. Channuan, Prathip; Subunn Ieamvijarn; Budsakorn Saenyabud; Prasopsuk Rittidet. 2009. Appropriate technological development guidelines for rubber plantation for community economic development using local wisdom in Northeastern Thailand. Journal of Social Sciences, Vol. 5/3, hal 216-218. Craw, Michael Craw. 2006. Overcoming city limits: vertical and horizontal models of local redistributive policy making. Social Science Quarterly, Vol. 87/2, June 2006, hal. 361-379. Damono, Sapardi J. 1979. Sosiologi Sastra: sebuah pengantar ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers Danasasmita, Salh dkk. 1987. Swaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyk Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Dundes, Alan. 1968. The Form of Folklore: Definition on Theories of Folklore, Proverb, Riddle, Superstition, Gesture, Blason Populaire, Folk Speech, Written Forms, Folktale, Legend, Myth, Drama, Folk Music. Berkeley Calif. Fybate Lecture Notes. Eggins, Suzanne. 2004. An Introduction to Systemic Functional Linguistics, edisi ke-2. London: Continuum. Gertler, Meric s. dan Tara Vinodrai. 2009. Life sciences and regional innovation: one path or many? European Planning Studies, Vol. 17/2, hal. 235-261. Halliday, M.A.K. 1994. An Introduction to Functional Grammar, edisi ke-2. London: Arnold. Hubert, J. Z. 2005. Replacing mythos by logos: an analysis of conditions and possibilities in the light of information-thermodynamic principles of social synergetics and of their normative implications. Dialogue and Universalism. Vol. 1/2, hal. 93-104. Jules, Didacus. 1994. Adult education policy in mocro-states: the case of the Carribean. Policy Studies Review, 13:3/4, hal. 415-432. Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kongsat, Surapong; Anongrit Kangrang; Kitti Srisa-Ard. 2009. An applied local wisdom to manage water for developing riverside community: a case study of the Lam Ta Kong river basin. Journal of Social Sciences,

242

Vol. 5/2, hal. 134-138. LaFrance, Casey dan Jennifer M. Allen. 2010. An exploration of the juxtaposition of professional and politican accountability in local law enforcement management. International Journal of Police Science and Management, Vol. 12/1, hal. 90-118. Meyers, Patty dan Susan Willhauck. 2003. Thelma and Louise do religious education: a dialogue from the edge for leading with hope. Religious Education, Vol. 98/3, hal. 382-398. Mustapha, Abdullah. 1997. Dunia anak-anak kita yang sedang terancam. Pikiran Rakyat, Kamis, 24 April 1997. Naisbitt, John, & Patricia Aburdene 1990, Megatrend 2000: Ten New Directions for the 1990s, New York: Morrow. Ong, Lynette. 2009. The Communist Party and financial institutions: institutional design of Chinas post-reform rural credit cooperatives. Pacific Affairs, Vol. 82/2, hal. 251-278. Rosidi, A. (2009). Manusia Sunda. Kiblat Buku Utama, Bandung. Rosidi, Ajip. 1984. Ciri-ciri manusia dan kebudayaan Sunda. Dalam Edi S. Ekadjati (ed.) Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung: Girimukti Pasaka, hal. 125-161. Rosidi, Ajip. 1996. Pancakaki. Bandung: Girimukti Pasaka. Rusyana, Yus. 1981. Cerita Rakyat Nusantara. Bandung: Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Bandung. Schragger, Richard C. 2009. Mobile capital, local economic regulation, and the democratic city. Harvard Law Review, Vol. 123:482, hal. 483-540. Stigler, W. S., & Hiebert, J. (1999). The teaching gap: Best ideas from the worlds teachers for improving education in the classroom. The Free Press, New York. Yukimatsu, Keiko; Songkoon Chantachon; Souneth Pothisane; Wissanu Kobsiriphat. 2008. Comparing local silk textiles: the Thai-Lao Matmii and the Japanese Tumugi Kasuri. SOJOURN: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 23/2, hal.234-251. Zhang, Letian dan Tianshu Pan. 2008. Surviving the crisis: Adaptive wisdom, coping mechanisms and local responses to avian influenza threats in Haining, China. Anthropology & Medicine, Vol. 15/1, hal.19-30.

243

REFLEKSI BUDAYA DALAM RETORIKA BAHASA POLITIK ELITE INDONESIA


I Nyoman Darsana Universitas Udayana, Bali
1. Latar Belakang ahasa, budaya, dan politik adalah tiga hal yang saling terkait dan menarik untuk dibicarakan. Melalui bahasa akan tercermin gambaran budaya suatu masyarakat. Demikian juga melalui bahasa akan dapat dicermati fenomena politik yang di dalamnya terdapat perilaku yang secara terus menerus mempengaruhi dan menampakkan dominasi suatu kelompok. Bertolak dari kenyataan itu, tulisan ini mencoba melihat bagaimana keterkaitan serta refleksi budaya dan politik suatu masyarakat melalui bahasa yang dipakainya. Di sisi lain, tulisan ini juga dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan bahwa fenomena bahasa dalam wacana politik semakin menggejala di tengah-tengah masyarakat saat ini. Hal itu setidak-tidaknya diamati dari berbagai bentuk pemakaian bahasa seperti terlihat pada Pesan Kemerdekaan Era Reformasi, Nurcholis Madjid pada Kompas Minggu tanggal 17 Agustus 2003, halaman 11 memuat yang berbunyi sebagai berikut: Kini saatnya, bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan yang dicita-citakan Merdeka dari penyelewengan Merdeka dari kesengsaraan Merdeka dari keserakahan Merdeka dari rasa dendam Merdeka dari kesewenangan Merdeka dari ketakutan Merdeka dari keterbelakangan Merdeka dari penyelewengan Demi masa depan yang lebih bermertabat (Nurcholis Madjid pada Kompas Minggu tanggal 17 Agustus 2003) Bentuk-bentuk bahasa seperti di atas bukanlah hanya sekadar sebatas ungkapan biasa. Di dalamnya sarat dengan makna. Di satu pihak bentuk tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga terkesan sederhana, tetapi cukup menggelitik. Penggunaan bentuk tersebut tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan informasi, tetapi lebih

244

merupakan pengungkapan diri dan penampakan aspek filososfis dan budaya. 2. Refleksi Budaya dalam Retorika Bahasa Politik Elit Indonesia pada Harian Umum Kompas 2.1 Bahasa, Budaya, dan Politik Bahasa, budaya dan politik adalah istilah yang pada dasarnya saling berkaitan. Koentjaraningrat (1974:11) memasukkan bahasa ke dalam salah satu kriteria dari tujuh isi budaya yang ada. Hal tersebut dapat diterima karena bila dicermati lebih jauh wujud kebudayaan itu sendiri dinyatakan antara lain dalam bentuk ide, nilai, gagasan, norma dan aturan, perilaku dalam masyarakat, wujud dalam bentuk benda. Secara kritis dapat ditelusuri bahwa sebenarnya wujud kebudayaan itu dapat diungkapkan dan disosialisasikan satu sama lain dalam masyarakat melalui bahasa. Begitu eratnya hubungan antara bahasa dan budaya, maka kekayaan dan kemisikinan suatu budaya dapat ditelusuri melalui bahasanya, demikian juga sebaliknya. Hal itu setidaknya dapat dilakukan dengan membandingkan kata-kata berikut. (5) BI : padi, beras, nasi, gabah BING : rice Data (5) menunjukkan bahwa antara budaya Indonesia dan Inggris terdapat perbedaan dalam pengungkapan suatu objek. Di samping itu, ada kecenderungan benda budaya tersebut tidak dimililiki oleh penutur bahasa Inggris. Ini dapat dibuktikan berdasarkan eksistensi bentuk bahasa tersebut pada masing-masing masyarakat pendukung bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Fenomena di atas didukung oleh hipotesis yang dikemukakan dalam hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan bahwa bahasa menentukan kondisi manusia sehingga ia memandang suatu realitas dengan cara tertentu dan pada akhirnya wujud budaya dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya akan berbeda. Bahasa dengan politik juga sangat erat kaitannya. Hal itu setidaknya tercermin dari kutipan yang menyatakan bahwa language is also a medium of domination and power (Jurgen Habermas, 1967:287). Dominasi dan kekuasaan adalah kosa kata yang muncul dalam wacana politik. Keduanya akan diperankan melalui permainan bahasa sebagaimana yang akan diuraikan pada bagian berikut ini.

245

2.2 Bahasa sebagai Alat Dominasi dan Kekuasaan Pergeseran Orde Lama ke Orde Baru tidak saja mengakibatkan terjadinya pergeseran ideologi, tetapi juga diikuti oleh pergeseran bahasa. Pergeseran bahasa dapat dilihat pada tataran leksikon dan pergeseran makna kata. Sejumlah kata yang digunakan pada masa Orde lama tidak lagi kedengaran pada masa Orde Baru. Demikian juga kata-kata yang digunakan pada masa Orde Baru tidak pernah muncul pada masa Orde Lama. Sejumlah kata atau ungkapan yang muncul pada masa Orde Lama dapat dilihat pada data berikut. (6) revolusi (7) nekolim (8) kapitalis (9) nasakom (W)komunisme (11) indokrinasi, dll. (Latif 1996) Sedangkan sejumlah kata atau ungkapan yang muncul pada era Orde Baru antara lain adalah sebagai berikut. (12) bapak pembangunan (13) anti-pembangunan (14) gerakan pengacau keamanan (15) era tinggal landas (16) stabilitas nasional, dll. (Harian Kompas, Oktober-Desember 1998) Penggunaan kata atau ungkapan tersebut setidaknya menggambarkan tiga hal, yaitu pertama, ideologi kepemimpinan elit politik, kedua distribusi kekuasaan, dan ketiga, tipe kepemimpinan elit politik. Kosa kata Orde Lama (Orla) berpusat pada revolusi. Hal ini menggambarkan terjadinya perubahan yang sangat mendasar dari orde lama (Orla) ke Orde Baru (Orba). Umumnya kosa kata seperti itu lebih banyak dimunculkan oleh Presiden Ir. Soekarno. Ia menciptakan kata-kata secara kreatif. Ini juga sebagai pertanda bahwa kekuasaan berpusat di tangan Presiden. Di sini benar-benar tergambar bahwa bahasa merupakan alat dominasi dan kekuasaan, dan semakin membuktikan keeratan hubungan bahasa dengan politik. Fenomena seperti di atas muncul karena tujuan utama penguasa adalah memperkuat dan memperluas kekuasaannya. Hal itu akan dilakukan dengan berbagai cara termasuk melalui rekayasa bahasa. Suroso (1998) mengemukakan bahwa penggunaan bahasa yang bernuansa politis memiliki empat sasaran. Pertama, penguasa Orde Baru menciptakan simbol-simbol ancaman persatuan dan kesatuan

246

yang berdampak psikologis untuk menghantam kekuatan kritis. Kedua, penguasa Orde Baru melakukan konsolidasi kekuatan melalui penghalusan (eufemisme) bahasa yang Umar Khayam menyebutnya dengan kembang bahasa atau bahasa topeng (Marian Kompas, 27 Oktober 1998), memperalat bahasa untuk menyudutkan kekuatan oposisi, memproduksi kata-kata yang dapat mengerem emosi rakyat seperti ungkapan Soeharto itukan juga pendiri bangsa, mengapa tidak diizinkan ikut dalam Dialog Nasional (Gus Dur, Marian Kompas, Desember 1998). Ungkapan Gus Dur di atas menurut beberapa pengamat politik selain memiliki visi tersembunyi, juga mensinyalir penggunaan bahasa untuk meredam emosi masyarakat Indonesia. Fenomena lingual seperti itu senada dengan ungkapan Soeharto pada Harian Kompas, 7 September 1998 Buktikan jika saya punya kekayaan di luar negeri. Ungkapan tersebut merupakan salah satu gejala bahasa yang orientasinya untuk meredam emosi masyarakat Indonesia. Ketiga, penguasa mencaplok surat kabar untuk mengkomunikasikan propaganda. Keempat, penguasa Orde Baru menggunakan eufemisme untuk memantapkan citra. 2.2.1 Penciptaan simbol-simbol untuk menyudutkan kekuatan kritis Di atas telah dikemukakan bahwa bahasa juga merupakan alat dominasi dan kekuasaan. Ini berarti bahwa melalui bahasa anggota masyarakat menunjukkan dominasi dan kekuasaannya terhadap anggota masyarakat lainnya. Fenomena seperti itu dapat diamati pada data berikut. (17) anti-pembangunan (18) GPK (19) OTB (20) mempermalukan bangsa (21) subversi (22) inkonstitusional (23) provokator (24) mendalangi (25) adu domba (26) makar Pada dasarnya bila ditelusuri fitur-fitur makna masing-masing kata diatas, semuanya memiliki medan makna yang bernuansa negatif. Pada data (17) anti-pembangunan dapat diartikan seseorang atau sekelompok masyarakat yang mencoba menentang dan tidak menyukai segala sesuatu yang digagaskan, diperintahkan, dan dibangun oleh pemerintah.

247

Pada data (1.8), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) diartikan suatu gerakan yang mencoba mengganggu dan merongrong keamanan negara. Istilah ini diluncurkan oleh pemerintah Orde Baru terutama sekali kepada sekelompok orang yang mencoba mengajukan argumentasi kepada pemerintah temtama sekali mereka yang berada di Aceh, Irian Jaya, dan Timor-Timur. Pada data (19), OTB dapat diartikan suatu Organisasi Tanpa Bentuk atau bentuk organisasinya tidak diumumkan secara resmi. Istilah ini muncul dan membingungkan karena sebenarnya tidak ada organisasi yang dibuat tanpa bentuk. Istilah ini dimunculkan untuk menetang PRO (Partai Rakyat Demokrasi), yaitu sebuah organisasi politik yang berdiri pada masa Orde Baru. Pada data (20), mempermalukan bangsa dapat diartikan membeberkan kejelekan yang mempermalukan bangsa sendiri dan dimunculkan ketika Sri Bintang Pamungkas memberikan ceramah di Jerman, terutama berkaitan dengan kebijakan Orba yang tidak disukainya. Pada data (21), subversi dilontarkan kepada siapa saja yang mencoba menentang pemerintah. Pada data (22), inskonstitusional adalah isti]ah yang dipakai untuk segala tindakan yang tidak sejalan dengan undang-undang. Pada data (23), provokator adalah istilah yang dipakai untuk siapa saja yang mencoba memancing terjadinya kekacauan. Pada data (24), mendalangi adalah istilah yang dipakai untuk orang yang berada dibalik suatu peristiwa atau kekacauan. Pada data (25), adu domba digunakan untuk orang-orang yang mencoba mengadu antar sesama. Pada data (26), mahar adalah istilah yang dilontarkan untuk sekelompok orang (Barisan Nasional) yang mencoba menentang pemerintah. Bila dicermati secara lebih mendalam latar pemunculaii kata dan ungkapan tersebut, dan kepada siapa ditujukan, pemakaiannya cenderung menyimpang dari makna yang dimaksudkan oleh katakata tersebut. Kata-kata tersebut dimaknai secara seram dan ditujukan kepada siapa saja yang mencoba menentang pemerintah dalam arti untuk mendominasi dan menunjukkan kekuasaan sebagaimana yang dinyatakan oleh Jurgen Habermas (1967:287). Sebagai contoh, kata mahar, didefinisikan sebagai suatu perbuatan untuk menggulingkan pemerintahan yang syah. Namun, dalam pemakaiannya sangat menyimpang dari maksud tersebut. Dikatakan demikian karena kata makar tidak digunakan kepada orang-orang yang mencoba menggulingkan pemerintahan Soeharto yang syah pada bulan Mei 1998. Di sini terlihat bahwa makar bukanlah diartikan makar dalam

248

arti sesungguhnya, tetapi hanya sebagai alat untuk membentengi pemerintah dan memojokkan pihak-pihak yang menentang dengan kritis. Hal yang sama juga berlaku untuk istilah PRD (Partai Rakyat Demokrasi). Segala bentuk yang mencoba menentang pemerintah pada saat PRD muncul, akan dicap sebagai PRD, walaupun sama sekali tidak bersinggungan dengan PRD. Pihak penguasa berusaha menciptakan kesan yang menyeramkan tentang PRD sehingga istilah itu tidak lagi dimaknai menurut yang sebenarnya. Ada kesan pihak yang mendominasi memaknai suatu ungkapan menurut keinginannya. Pada intinya fenomena seperti ini memiliki dua tujuan, yaitu untuk memperkokoh keberadaannya dan mendeskreditkan pihak yang didominasi. Hal itupun kelihatannya sejalan dengan fungsi bahasa sebagai alat untuk mengendalikan pihak lain. Pemaknaan bentuk-bentuk bahasa sedermkian rupa menurut keinginan penguasa kelihatannya sangat berdampak kepada masyarakat secara luas. Hal ini bisa terjadi karena bahasa juga merupakan alat untuk membentuk opini. Dengan dimaknai sedemikian rupa, sebagian masyarakat akan mempunyai kesan yang jelek tentang makar, PRD dan lain-lainnya. 2.2.2 Konsolidasi Kekuatan Melalui Penghalusan dan Penyeraman Bahasa Bahasa juga cenderung digunakan sebagai konsolidasi kekuatan. Konsolidasi kekuatan umumnya dilakukan melalui penghalusan, penyeraman bahasa dan penciptaan istilah dan simbol-simbol tertentu. Fenomena seperti itu dapat diamati pada data berikut ini. (27) Golkar, Partai Wong Cilik (28) Single Majority (29) Temu Kader (30) Siapa melawan, digebuk saja Bila dicermati data di atas, penggunaan ungkapan Golkar Partai Wong Cilik, nampaknya tidak hanya sekedar merupakan pernyataan (statement) bahwa Golkar adalah partainya orang kecil (wong cilik). Dari segi bentuk, ungkapan tersebut sepintas lalu kelihatannya merupakan statemen. Tetapi bila ditinjau dari fungsi politis bahasa, maknanya sudah menyimpang dari fitur-fitur semantis yang sebenarnya terkandung dalam suatu bentuk statement. Hal itu setidaktidaknya dapat diukur berdasarkan latar dan waktu pemunculan ungkapan tersebut.

249

Dengan berpedoman kepada konteks, dapat diinterpretasi bahwa ungkapan tersebut digunakan untuk membentuk suatu opini dan membangun suatu kesan seolah-olah Golkar itu memang merupakan partai orang kecil. Namun, yang paling mendasar dari tujun penggunaan bentuk ungkapan seperti itu adalah untuk merangkul kelompok lapisan bawah yang jumlahnya cukup banyak di seluruh Indonesia. Dalam kenyataannya, kelompok masyarakat yang disasar oleh Golkar tidak hanya masyarakat lapisan bawah (wong cilik), tetapi adalah semua kalangan. Dengan demikian, ungkapan tersebut tidak lebih hanya sekedar alat untuk mengumpulkan massa yang ada akhirnya memperkuat suatu kelompok. Ungkapan single majority (mayoritas tunggal) secara harfiah dalam bahasa Indonesia adalah mayoritas tunggal, memiliki makna yang cukup sulit diukur. Frase tersebut dimunculkan untuk menggambarkan suatu partai dengan pengikut yang sangat banyak, dan tidak bisa ditandingi oleh partai lain. Dari sisi pemaknaan kelihatannya frase tersebut dimaknai sedemikian rupa sehingga baik pencipta istilah tersebut maupun anggota masyarakat yang menerimanya merasakan suatu kesan yang positif. Ada semacam citra baik sehingga orang berbondong-bondong menjadi pengikut partai tersebut. Namun, fakta bahwa bentuk tersebut mengandung makna yang sangat bernuansa politis dapat diuji dengan realitas yang diacu. Sesungguhnya, dalam suatu wacana politik yang mengenal adanya istilah demokrasi tidak dikenal adanya istilah single mayority. Berdasarkan ciri semantis bila ditelusuri berdasarkan analisis komponen makna (Leech, 1981: 90-94), komponen makna single majority bertentangan dengan democracy. Di pihak lain, single majority tidak memberi peluang kepada pihak lain untuk mengajukan pilihan lain. Jadi, kesan atau opini yang hendak dibentuk menjadi bertentangan dengan makna yang dibawa oleh bentuk tersebut. Fenomena yang sama juga berlaku untuk istilah temu kader. Istilah ini dimunculkan pada saat tokoh-tokoh Golkar turun ke lapangan. Bila dicermati sepintas lalu, frase temu kader mengandung makna yang bemuansa positif. Secara harfiah, frase tersebut dapat diartikan, parah tokoh Golkar turun ke lapangan menemui para kadernya. Namun demikian, bila dihubungkan dengan realitas yang diacu dan diselaraskan dengan dunia realitasnya, bentuk tersebut mengandung makna tidak hanya sebatas menemui kader, tetapi lebih mengacu kepada penggalangan kekuatan. Hanya saja di sini cara yang dilakukan adalah melalui perekayasaan makna dari bentuk-bentuk bahasa.

250

Kelihatannya berdasarkan uraian di atas, Golkar, Partai Wong Cilik, Single Majority, dan Temu Kader, dari segi bentuk kelihatannya memang berbeda. Akan tetapi, disamping kekhususan makna yang dimiliki oleh masing-masingnya, ketiganya memiliki medan makna yang secara umum relatif sama. Pemakaian ketiganya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mempengaruhi dan mendominasi khalayak ramai. Ini tampaknya sejalan dengan fungsi bahasa sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yaitu tujuan politis. Pernyataan ini didukung oleh pendapat yang mengemukakan bahwa manipulasi bahasa terjadi dalam semua konteks politik di semua negara, dan kediktatoran cenderung berjalan secara sistematis dalam mekanisme seperti itu Evert Vendung dalam Latif, 1996:15). Refleksi melalui pemakaian bahasa setidaknya tercermin dari ungkapan siapa melawan, digebuk saja. Ada beberapa alasan yang dapat dipakai untuk menyatakan bahwa makna kediktatoran terkandung pada bentuk tersebut. Pertama, secara teoritis, makna adalah pemakaian bentuk dalam berbahasa (Chase, 1938). Pemunculan makna tersebut erat kaitannya dengan setting, partisipant, end, act sequence, key, instrumental, norm, and genre (Hymes dalam Jendra, 1991:59). Klausa tersebut menjadi bermakna yang mengandung unsur kediktatoran karena dilontarkan oleh pejabat tinggi pemerintah terhadap orang yang mencoba menentang berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Sebenarnya, klausa tersebut akan bermakna netral apabila diucapkan oleh orang yang bukan pejabat pemerintah dan tidak dalam suatu konteks wacana politik. Apabila klausa tersebut diungkapkan oleh seorang ayah kepada anaknya yang mungkin sedang diganggu orang, maknanya mungkin hanya sebatas perintah biasa. Demikian juga pilihan leksikon, digebuk, tidak mencerminkan bahasa seorang elit politik. Klausa siapa melawan, digebuk saja, dari segi bentuk atau makna berbeda dari jargon-jargon politik pada data (27), (28), dan (29). Akan tetapi, keempatnya memiliki makna politis yang sama dan digunakan untuk menggalang kekuatan. Hanya saja di sini, untuk data (30) pemaknaannya lebih diseramkan. Dikatakan demikian karena dalam konteks politik Indonesia, partai berkuasa (Golkar) sulit dipisahkan dari ABRI, di mana salah seorang mantan Pangab dan mantan Presiden Soeharto sendiri melontarkan pernyataan, siapa melawan digebuk saja. 2.2.3 Penggunaan Eufemisme Untuk Memantapkan Citra Eufemisme secara sederhana dapat dikatakan penggunaan

251

ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan (Kawulusan, 1998:1-6; lihat pula Latief, 1996). Dari definisi tersebut, kita dapat mengatakan bahwa eufemisme termasuk salah satu unsur kreatifitas berbahasa. Penggunaan eufemisme secara lebih luas dapat dicermati pada data berikut ini. (31) kelaparan dikatakan kekurangan pangan (32) ditangkap untuk pengusutan dikatakan diamankan (33) keluarga miskin dikatakan keluarga prasejahtera (34) harga dinaikkan dikatakan harga disesuaikan (35) korupsi dikatakan salah prosedur (36) diperiksa dikatakan diklarifikasi Sebenarnya bila dihubungkan dengan rumusan makna yang dikemukakan oleh Ogden dan Richards (1923) bahwa makna adalah hubungan antara bahasa (simbol/lambang berupa kata, frase atau klausa) dengan objek/peristiwa yang diacu yang disebut referen. Dengan demikian, kata-kata yang berada di sebelah kiri dan disebelah kanan mengacu ke objek atau peristiwa yang sama. Ungkapan, kelaparan/kekurangan pangan mengacu ke seseorang atau sekelompok orang yang kelaparan karena kekurangan pangan, ditangkap untuk pengusutan/diamankan mengacu ke suatu peristiwa di mana seseorang atau sekelompok orang yang melakukan kesalahan ditangkap untuk dimintai pertanggungjawabannya, keluarga miskin/ keluarga prasejahtera mengacu ke suatu keluarga yang miskin dan tidak memiliki apa-apa, harga dinaikkan/harga disesuaikan mengacu ke suatu kondisi dimana harga akan dinaikkan dari biasanya, korupsi/ salah prosedur mengacu ke suatu penyelewengan atau penggelapan uang negara untuk keuntungan pribadi, diperiksa/diklarifikasi mengacu ke suatu perbuatan penangkapan seseorang karena melakukan suatu tindakan kejahatan untuk dimintai pertanggungjawabannya. Akan tetapi, pada konteks ini, objek yang diacu juga dibedakan, yaitu untuk seseorang dengan status tertentu. Walaupun secara denotatif, bentuk-bentuk bahasa di atas dapat dikatakan bermakna sama, bila kita bertolak dari konsep bahwa tidak ada sinonim yang persis sama dalam suatu bahasa (Leech, 1981), masing-masing kata yang berpadanan tersebut memiliki kadar makna yang berbeda. Kata-kata yang terletak di sebelah kiri memiliki makna yang lebih kasar bila dibandingkan dengan kata-kata yang terletak di sebelah kanan. Bila dihubungkan dengan definisi eufemisme yang dikemukakan

252

di atas, yang menyatakan sebagai pengganti ungkapan yang kasar yang dianggap merugikan, ada kecenderungan penggunaan eufemisme pada data (31) sampai dengan (36) menyimpang dari definisi yang dikemukakan. Penggunaan eufemisme kelihatannya tidak dimaksudkan untuk mengganti ungkapan kasar yang dirasa merugikan, tetapi untuk menutupi kelemahan dan kekuasaan yang ada pada pemerintah. Dikatakan demikian karena apabila dipakai kata kelaparan, akan tercermin ketidakmampuan dan kegagalan pemerintah dalam menangani pangan. Akan tetapi, penggunaan ungkapan kekurangan pangan dianggap dapat menyembunyikan kelemahan itu. Demikian juga dengan ungkapan, ditangkap untuk pengusutan akan mencerminkan kekerasan yang ada pada pemerintah dalam menangani suatu masalah, dan cara seperti itu akan dapat disembunyikan melalui ungkapan diamankan. Fenomena yang sama juga berlaku untuk data (33) sampai dengan data (36). Bila dicermati data di atas, sasaran lain yang ingin dicapai kelihatannya adalah untuk meredam emosi pihak-pihak yang dikuasai. Dengan munculnya istilah-istilah seperti penyesuaian harga, diamankan, salah prosedur, keluarga prasejahtera, kekurangan pangan, dan lain-lainnya, akan terbentuk suatu kesan dalam pikiran masyarakat bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik. Namun, persoalan lain juga bisa muncul. Tidak semua lapisan masyarakat dapat berpengaruh dan membentuk suatu opini melalui rekayasa bahasa seperti itu. 2.2.4 Penciptaan istilah-istlah tertentu untuk membangun citra Bentuk lain penggunaan bahasa sebagai medium dominasi dan kekuasaan adalah penciptaan istilah-istilah tertentu. Istilah-istilah tersebut dapat diamati pada data berikut ini. (37) Sapta Pesona (38) Jakarta Tegar Beriman (39) Semarang Kota Atlas (40) Jambi Kota Beradat (41) Kadarkum (Keluarga Sadar Hukum) (42) NKKS (Norma Keluarga Kecil Sejahtera) (43) Padang Kota Tercinta (44) Bapak Pembangunan (45) Kelompencapir (46) Doa Politik (Harian Kompas, 1997) Bentuk-bentuk bahasa pada data (37-46) dapat dikategorikan

253

sebagai bentuk yang mengandung makna yang bernuansa positif, Bentuk-bentuk tersebut dimunculkan sehingga menggambarkan suatu kesan menyejukkan dari apa yang telah dikerjakan oleh pemerintah. Merujuk kepada rumusan makna yang dikemukakan oleh Ullmann (1977) bahwa segenap informasi yang dibawa oleh nama atau simbol-simbol kebahasaan, maka sapta pesona, dapat diartikan tujuh hal yang mempesonakan terutama sekali dalam bidang pariwisata. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) mempesona adalah sesuatu yang menarik perhatian dan mengagumkan. Ketujuh hal tersebut adalah apa yang dibangun oleh pemerintah sehingga terkesan bahwa pemerintah tidak sembarangan berusaha untuk mewujudkaan pembangunan di bidang pariwisata yang pada akhirnya untuk kepentingan rakyat banyak. Ungkapan, Jakarta Tegar Beriman, Semarang Kota Atlas, Jambi Kota Beradat, dan Padang Kota Tercinta ada julukan khas yang diberikan untuk nama-nama daerah hampir di seluruh Indonesia. Kelihatannya pemberian julukan seperti itu lebih dimaksudkan untuk menciptakan suatu kesan kenyamanan, kedamaian, dan ketaatan suatu daerah atau kota. Pemberian julukan seperti pada hakikatnya juga akan memberikan citra baik tidak saja kepada warga kota tersebut, tetapi juga pada pemerintah. Dengan munculnya julukan-julukan seperti itu, kesan negatif yang mungkin terdapat pada suatu daerah dengan sendirinya akan tertutupi. Di sini lain, pemberian julukan itu juga akan menggambarkan kekhasan yang dimiliki oleh masing-masing kota. Sebagai contoh, Jakarta akan menjadi khas dengan predikat berimannya, Jambi menjadi khas dengan julukan Kota Beradat, Semarang menjadi khas dengan julukan Kota Atlas. Namun demikian, pemberian julukan seperti itu secara politis juga memiliki efek negatif. Dengan adanya julukan-julukan yang sangat bernuansa positif seperti itu, sesuatu yang jelek yang mungkin merugikan pihak lain, atau sesuatu yang berkonotasi negatif yang terjadi pada daerah atau kota yang diberi predikat seperti itu akan termanipulasi. Ada kalanya, orang menjadi terbuai dengan konsepkonsep yang diluncurkan terutama karena di dalamnya terkandung suatu kesan yang positif. Hal seperti itu wajar terjadi karena sebenarnya simbol-simbol bahasa dimunculkan oleh pemakainya untuk membangun suatu kesan (image) atau membentuk opini. Ungkapan, Kadarkum (Keluarga Sadar Hukum), adalah jargon yang juga mengandung makna yang bernuansa positif. Bentuk tersebut menggambarkan suatu keluarga yang menyadari keberadaan hukum.

254

Menyadari hukum dalam konteks ini secara rinci dapat dikatakan sadar dalam arti mematuhi dan tidak melakukan apa saja yang mungkin bertentangan dengan hukum, Istilah ini dimunculkan tampaknya dalam rangka memasyarakatkan kepatuhan terhadap hukum terutama kepada keluarga yang pada akhirnya akan berdampak kepada masyarakat. Istilah ini menjadi bermuatan politis apabila ditinjau dari konteks pemunculannya dan dari segi realisasinya. Dikatakan demikian karena, dalam wacana politik Indonesia himbauan seperti ini diperntukkan kepada rakyat, sementara realisasinya tidak berlaku secara menyeluruh. NKKS (Norma Keluarga Kecil Sejahtera), adalah istilah yang menggambarkan suatu keluarga kecil, yang bahagia dan sejatera. Istilah ini muncul dalam rangka mensosialisasikan program keluarga berencana di Indonesia. Dengan mengikuti program keluarga berencana, yaitu dengan membatasi kelahiran bayi, keluarga kecil yang sejahtera akan tercipta. Dengan jumlah anggota keluarga yang sedikit, kesejahteraan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan akan dapat dicapai dengan mudah. Ungkapan, Bapak Pembangunan, merupakan gelar yang diberikan kepada seseorang yang sangat berjasa dalam membangun di berbagai bidang. Ungkapan ini diberikan kepada Soeharto ketika masih menjadi presiden. Secara denotatif, ungkapan ini sebenamya mengandung makna yang bernuansa positif. Namun, bila dihubungkan dengan konteks pemakaiannya, maknanya menjadi membias. Dikatakan membias karena makna yang terkandung di dalamnya telah dimanipulasi sedemikian rapa sehingga terkesan mengkultuskan seseorang. Dalam kenyataannya, orang yang berjasa dibidang pembangunan bukanlah hanya seorang diri. Sama seperti ungkapan-ungkapan di atas, ungkapan Kelompencapir, adalah bentuk-bentuk bahasa yang digunakan sebagai alat untuk menunjang berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. Istilah, kelompencapir (kelompok pendengar dan pemirsa) merupakan kelompok anggota masyarakat yang dihimpun untuk menerima dan menjalankan program-program pemerintah. Istilah ini dipakai terutama untuk masyarakat pedesaan. Doa Politik adalah ungkapan yang agak sulit dideskripsikan pengertiannya. Namun demikian, istilah ini dimunculkan terutama sekali untuk menopang berbagai bentuk perencanaan politis. Pemunculan istilah ini tidak bisa dipisahkan dan kenyataan bahwa lembaga-lembaga agama termasuk yang dapat dipengaruhi untuk memperkokoh keberadaan penguasa. Keterlibatan lembaga agama kelihatannya

255

cukup berdampak dalam mempengaruhi publik dan mengangkat citra pemerintah. Hal ini tampak jelas pada era Orde Baru. 2.2.5 Penggunaan Bentuk-Bentuk Bahasa yang Menentang Kekuasaan Di atas telah diuraikan bentuk-bentuk rekayasa bahasa yang digunakan oleh penguasa untuk berbagai tujuannya. Kelihatannya, dominasi dan kekuasaan tidak berlangsung begitu saja. Bentuk-bentuk perlawanan melalui manipulasi pemakaian bahasa juga bermunculan. Bentuk-bentuk seperti itu dapat diamati pada data berikut. (47) ABRI : Aksi Bersama Rakyat Indonesia (spanduk demonstran) (48) HarMoKo : Hari-Hari Omong Kosong (spanduk demonstrari) (49) KKN : Korupsi, Kolusi, Nepotisme (spanduk demonstran dan surat kabar) (50) Usut Harto Cendana (spanduk demonstrari) (51) Habibie + Wiranto = Soeharto (spanduk demonstran) Ungkapan pada data (47) sampai dengan (51) adalah bentuk ungkapan yang diciptakan oleh oposisi pemerintah. Bila dicermati, ungkapan ini dimunculkan dan dimaknai sendiri dengan tujuan untuk menandingi jargon-jargon yang dilontarkan oleh pemerintah dan juga sebagai pertanda bahwa pihak oposisi tidak mau didominasi begitu saja dan mereka juga ingin menunjukkan kekuatannya. Pada data (47), ABRI, yang secara resmi memiliki kepanjangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, diplesetkan menjadi Aksi Bersama Rakyat Indonesia (spanduk demonstran). Bila dihubungkan dengan konteks yang melatari munculnya istilah seperti itu, ada kecenderungan kelompok masyarakat melawan ABRI. Hal itu terjadi karena kelompok masyarakat dibuat tidak senang oleh berbagai tindakan yang dilakukan ABRI. Dengan munculnya istilah Aksi Bersama Rakyat Indonesia, dapat diinterpretasi bahwa mereka tidak lagi perlu ABRI dalam arti yang sesungguhnya. Pada data (48), HarMoKo adalah nama seseorang yang diplesetkan sehingga mengubah maknanya. Fenomena ini muncul juga sebagai perlawanan terhadap dominasi dan kekuasaan yang dimunculkan oleh seseorang atau sekelompok orang. Sedangkan istilah KKN pada data (49) mulanya dipakai di kalangan Perguruan Tinggi dengan kepanjangan Kuliah Kerja Nyata. Akan tetapi istilah itu dimaknai sendiri sesuai dengan dunia realitas yang diacu sehingga bergeser dari makna semula. Perlawanan yang dimunculkan oleh pihak oposisi melalui rekayasa makna juga

256

bermunculan pada liflet-liflet yang dipakai pada saat demonstrasi. Data (50), Usut Harto Cendana, memiliki makna yang ambigu. Di satu sisi, ungkapan tersebut dapat diinterpretasi, usut Soeharto yang tinggal di Cendana. Ini berarti tertuju kepada seseorang. Di sisi lain, Harto, dapat berarti harta (bahasa Minangkabau). Secara keseluruhan ungkapan tersebut dapat diinterpretasi, usut harta Cendana. Ini tidak saja tertuju kepada seseorang, tetapi jangkauannya lebih luas. Ungkapan pada data (51), Habibie + Wiranto = Soeharto, memiliki pengertian yang sangat kompleks. Kompleks dalam pengertian Soeharto dimaknai sedemikian rupa sesuai dengan fiturfitur dan perilakunya. Akan tetapi, Wiranto dan Habibie diharapkan tidak seperti Soeharto. Dalam kenyataannya tidak demikian, sehingga keduanya disamakan dengan Soeharto. Bila diamati secara umum dan terlepas dari rincian-rincian makna yang diuraikan di atas, kesemua ungkapan itu merupakan bentuk perlawanan serta kritik yang dilontarkan oleh pihak oposisi. Mereka memaknai sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah. III. Simpulan Berdasarkan analisis data di atas, ketiga pemasalahan yang diajukan pada awal tulisan ini dapat dijawab sebagai berikut: 1) Analisis data memperlihatkan bahwa bahasa memiliki kaitan yang erat dengan budaya dan politik. Dikatakan demikian karena budaya dan perilaku politik suatu masyarakat tergambar dari bentuk-bentuk bahasa yang dipakainya. Hal itu dapat dibuktikan dengan muncuhiya bermacam-macam jargon politik yang pada dasarnya menampakkan fungsi bahasa sebagai medium dominasi, kekuasaan, dan hegemoni budaya. 2) Berbagai makna yang mencerminkan perilaku politis itu diungkapkan dengan bentuk-bentuk bahasa yang singkat dan sarat makna. Bentuk cenderung tidak selaras dengan makna atau dengan kata lain, bentuk statement cenderung bermakna anjuran atau perintah. Slogan-slogan cenderung dalam bentuk kata-kata ringkas atau hanya sebatas frase. 3) Adapun tipe-tipe makna yang dikemas melalui bentuk-bentuk bahasa yang dikategorikan sebagai ungkapan politis antara lain selain makna denotatif yang bersifat informatif juga tipe makna yang telah dibiaskan melalui eufemisme dan penyeraman suatu makna sehingga terkesan membahayakan. Tipe makna seperti itu selain untuk menunjukkan dominasi dan kekuasaan juga untuk mensosialisasikan program pemerintah. Pemakaian

257

eufemisme kelihatannya salah tempat. Artinya bukan lagi sekedar penghalusan, tetapi lebih merupakan penyembunyian perilaku jelek.

DAFTAR PUSTAKA
Austin, J.L. 1990. How To Do Things With Words. New York: Oxford University Press. Chase, Stuart. 1938. The Tyranny of Words. New York: Harcourt, Brace. Jovanovich. Oumperz, Jhon J. 1982. Discourse Strategies. America: Cambridge University Press. Haviland, William A. 1985. Anthropology. Berlington. CBS. College Publishing. Hodge Robert dan Gunther Rress. 1991. Social Semiotics. America: Cambridge University Press. Jendra, I Wayan. 1991. Dasar-dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana. Kawuksan, Hans E. 1998. Bahasa Politik dalam Bahasa Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia VII, Jakarta: Depdikbud. Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Latif, Yudi, dkk. 1996. Bahasa dan Kekuasaan. Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan Pustaka. Leech Geoffrey. 1981. Semantics. The Study of Meaning. New Zealand: Penguin Books. Manners A, et al. 1979. Theory in Anthropology. New York.: Aldine Publishing Company. Moeliono, Anton. M, dkk. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ogden, C.K. dan Richards. I. 1923. The Meaning of Meaning. London: Roufedge & Kegan Paul; 8 th editon, 1946. Subroto, H.D. Edi. 1998. Eufemisme dalam Bahasa Indonesia: Kajian Manipulasi Semantik Untuk Kekuasaan. Yokyakarta: Universitas Gadjah Mada. Suroso. 1998. Ragam Bahasa Propaganda. Rejim Orde Baru: Makalah Seminar Internasional. Yokyakarta: Universitas Gadjah Mada.

258

MAKNA LAKU DALAM BUDAYA JAWA


Afendy Widayat Universitas Negeri Yogyakarta
A. Pendahuluan alam banyak budaya, berbagai sikap dan pandangan hidupnya terformulasikan dalam bahasa dan system kebahasaannya, baik dalam bentuk kata-kata tertentu, idiom-idiom atau pepatah-petitih, atau system kebahasaan lainnya. Dalam budaya Jawa, hal yang demikian itu juga berlaku, yakni dalam bentuk kata-kata tertentu, peribahasa dan idiom lainnya, serta dalam system undha-usuk basa (tingkat tutur bahasa Jawa). Bahkan, dalam salah satu peribahasanya, tercermin bahwa harga diri seseorang itu disebabkan oleh ucapannya atau bahasanya, yakni dalam peribahasa ajining dhiri amarga saka lathi. Dalam keilmuan etimologi, pemaknaan istilah tertentu dapat dirunut dari asal-usul kata dalam istilah tersebut. Kata laku dalam bahasa Jawa, merupakan kata dasar yang memiliki makna sebagai kata yang sangat penting, dalam hubungannya dengan kebudayaan Jawa secara umum dan khususnya dalam pandangan hidup Jawa. Berbagai derivasi dari kata laku, yakni kata lakon, dilakoni, nglakoni, dan lelaku, juga dapat dianggap sebagai kata kunci untuk mengungkapkan sikap dan pandangan hidup Jawa tersebut. Bahkan dalam suatu bentuk tembang Pucung, terungkap bahwa laku, merupakan kata yang menjadi dasar terlaksananya apa yang disebut ngelmu dalam budaya Jawa. Tentu saja hal yang demikian ini tidak terlepas dari pandangan hidupnya yang merupakan acuan nilai filosofis bagi masyarakat Jawa itu sendiri. Nilai filosofis Jawa bertumpu pada rasa, yang dipercayai di dalamnya sudah terkandung akal budi. Dikatakan demikian karena filsafat Jawa lebih menekankan panduan praksis hidup, daripada sebagai olah nalar intelektual semata-mata (bdk. Sudarminta, 1991: 170-172). Menurut Ciptoprawiro (1986: 25), filsafat Jawa bercirikan berpikir-menggalih, yang totalistis holistis, bukan berpikir radikal yang analitis seperti filsafat Barat. Berpikir-menggalih ini dimungkinkan oleh rasa sejati atau rasa budi, sedang berpikir radikal seperti filsafat Barat dimungkinkan oleh akal pikiran. Tidak seperti filsafat Barat, yang memilah-milah antara yang rasional dan yang bukan rasional, filsafat Jawa tidak memilah secara tegas mana yang rasional dan mana yang bukan rasional. Menurut Saryono (2011: 73) filsafat Jawa bukan

259

sekedar mencari bener (benar), tetapi sekaligus mencari pener, yakni tepat benar dalam tataran praksis. Di Jawa yang bener belum tentu diterima bila tidak pener, hal ini terungkap pada istilah bener ning ora pener. Yang menarik untuk dicermati lebih lanjut adalah dalam hubungannya dengan pandangan hidup Jawa yakni filsafat Jawa apakah sesungguhnya laku itu. Di bawah ini akan dicoba untuk mengungkapkan metafisika kata laku itu ditinjau dari berbagai formulasi bahasa Jawa, yakni yang menyangkut sikap dan pandangan hidup Jawa yang berhubungan dengan kata laku itu sendiri. B. Laku sebagai Syarat Terlaksananya Ilmu Istilah laku, dalam hubungannya dengan hal ilmu, dalam tembang Jawa, yakni tembang Pucung, terdapat ungkapan sebagai berikut. Ngelmu iku / kelakone kanthi laku / lekase lawan kas / tegese kas nyantosani / setya budya pangekese dur angkara (ilmu itu / terlaksananya dengan laku / berawal dengan kesungguhan / artinya kesungguhan yang menguatkan / yakni setia mengusahakan hilangnya angkara murka) Dalam tembang Pucung di atas, ngelmu iku kelakone kanthi laku, maksudnya bahwa terlaksananya ngelmu itu harus disertai dengan laku. Kata kanthi dapat berarti syarat atau serta atau bersama. Jadi, syarat ilmu kelakone kanthi laku (terlaksananya disertai atau bersama langkah, suatu proses yang wajib dijalani). Dengan demikian, ngelmu dalam budaya Jawa tidak dapat berdiri sendiri, dapat terlaksana hanya bila dengan laku atau dijalani. Dengan kata lain proses ilmu itu juga proses amaliah. Bagi keilmuan formal, laku yang harus dijalani adalah rajin atau tekun belajar tekun memikirkan, atau tlaten (rajin) dan titen (berpikir dan mengingat-ingat). Laku yang harus dijalani lebih bersifat pemikiran akali. Adapun bagi keilmuan kebatinan, disamping harus tekun juga harus percaya dan melaksanakan perintah guru dengan sungguhsungguh, atau dengan istilah ngestokaken (mengiyakan) dengan ngandel (percaya) dan kumandel (melaksanakan dengan berpegang teguh pada guru). Dalam hal ini laku yang harus dijalani, di samping fisik, lebih ditekanan pada rasa dan doa, yakni melalui cegah dhahar lawan guling atau berpuasa, bahkan bertapa menekan segala bentuk nafsu manusia, atau disertai pembacaan doa-doa tertentu. Hasil olah keilmuan yang dapat diraih setelah dengan proses laku, dalam bahasa Jawa disebut wasis yakni lebih bersifat kognitif, limpad lebih bersifat psiko-motorik (bela diri katosan-kanoragan dan

260

sebagainya), atau lantip yang lebih bersifat afektif. Meskipun demikian, klasifikasi tersebut tidak dapat terpisahkan betul, karena pada dasarnya ngelmu dalam kehidupan masyarakat Jawa memang bersifat lahir dan batin. Hal yang lebih tampak membuktikan itu ialah pada kata pinter dalam istilah wong pinter. Wong pinter dapat bermakna orang yang pandai dalam arti pandai dalam hubungannya dengan sekolah formal, namun wong pinter juga menunjukkan dalam hubungannya dengan kepandaian pada hal-hal yang bersifat supranatural, seperti dukun-dukun yang pandai mengobati penyakit non-medis. Bagi orang Jawa, istilah ngelmu itu berarti ilmu yang menyangkut, baik ilmu yang menyangkut segala ilmu logika yang bersifat empiric, maupun ilmu yang menyangkut berbagai keilmuan yang bersifat supranatural. Ngelmu dapat berarti berbagai keilmuan yang dapat dipikirkan dan dibuktikan secara akal, yakni berbagai keilmuan yang diajarkan di sekolah-sekolah formal. Ilmu semacam ini lebih bersifat lahiriah. Lebih dari itu, ngelmu juga dapat berarti berbagai keilmuan batiniah, yakni berbagai ilmu yang hanya dapat dirasakan dan diimani, tidak dapat dirumuskan dan dibuktikan secara akal sehat, dan bersifat supranatural. Ilmu yang terakhir ini tidak diajarkan dalam sekolahsekolah formal, tetapi hanya diajarkan di paguron-paguron (perguruan) bela diri tertentu dan keilmuan kasepuhan (bagi orang-orang tua), yang bersifat kebatinan. Salah satu hasil dari keilmuan ini disebut aji-aji. Kata aji, di samping berarti nilai, berarti raja, juga berarti ilmu. Baik nilai, raja atau pun ilmu, ketiganya merupakan hal yang sangat diaji-aji atau dihormati bagi masyarakat Jawa. Orang yang tamat dalam berguru sehingga mendapatkan aji-aji tertentu akan dianggap sakti. Adapun orang Jawa yang berguru dalam hal kebatinan, harus mengembangkan kedewasaan jiwa dengan cara olah rasa atau olah budi (Saryono, 2011: 105) yang hingga pada tingkat tertentu akan menjadi manusia yang wicaksana (bijaksana) dan dapat juga menjadi ngerti sadurunge winarah atau tahu sebelum diberi tahu atau tahu sebelum sesuatu terjadi. Secara umum, bagi orang Jawa sebenarnya berpikir itu sekaligus merasakan, artinya berpikir bagi orang Jawa itu terjadi, baik secara lahiriah maupun batiniah. Dalam istilah Jawa halus (krama) kata mikir yang berarti berpikir itu disebut manah atau menggalih. Baik kata manah atau menggalih, keduanya berhubungan dengan rasa atau berhubungan dengan hati. Kata manah berasal dari kata panah, sehingga kata manah dapat berarti memanah, dan juga dapat berarti hati atau merasakan dalam hati. Agaknya kedua makna tersebut memang berhubungan, yakni memikirkan dan merasakan dengan tajam pada sesuatu objek

261

yang dituju. Adapun kata menggalih, berasal dari kata galih, yang disamping berart hati, juga berarti bagian terdalam yang sangat keras (untuk kayu dan sebagainya) atau berarti inti sari sesuatu. Jadi kata menggalih bermakna berpikir dan merasakan secara dalam. Dengan demikian, baik manah maupun menggalih merupakan proses berpikir atau merasakan yang menyangkut aktivitas lahir dan batin. Istilah lain yang juga kadang dipergunakan dan maknanya tidak jauh berbeda, adalah bawa rasa. Kata bawa berarti dalam pengaruh atau dalam keadaan. Adapun kata rasa menyangkut perasaan. Istilah bawa rasa ini dapat bermakna berpikir sekaligus merasakan atau merenungkan. Istilah ini lebih sering dipergunakan dalam hubungannya dengan olah pikir tentang ilmu kebatinan atau ilmu kasepuhan. Menurut Magnis-Suseno (1984: 130), rasa merupakan kata kunci Jawa, rasa berarti merasakan dalam segala dimensi. Dalam rasa, orang Jawa mencapai kawruh (kata lain dari ngelmu), bahkan sampai kawruh sangkan paraning dumadi, penertian tentang asal dan tujuan segala makhluk. Istilah lain lagi, yang lebih menekankan makna lahir dan batin atau berpikir sekaligus merasakan, adalah istilah digelar-digulung. Istilah digelar artinya adalah dibentangkan, sedang kata digulung berarti digulung kembali. Jadi diuraikan lalu disimpulkan secara berulang-ulang baik melalui pikiran maupun perasaan. Istilah digelardigulung tampak menggambarkan suatu proses dari dipikirkan lalu dirasakan, atau melalui pikiran lalu melalui hati, secara berulangulang. Kusumawicitra (dalam Damarjati, 2001: 70), menyatakan bahwa menurut para sarjana Jawa, antara lahir dan batin itu sesungguhnya satu, lahir itu hanyalah utusan batin, lahir batin itu tidak pisah, tarik menarik dan saling mendampingi (wengku-winengku). Lahir dan batin itu bagaikan kawula dan Gusti. Bila dicermati lebih lanjut, laku yang bermakna proses kehidupan, selalu menyertai setiap waktu, setiap tempat dan setiap keadaan. Ngelmu yang telah diuraikan di atas, sesungguhnya sekaligus juga merupakan laku. Tidak berlebihan bila dipilih kata penyertanya yakni kanthi, yang berarti bersama. Jadi ngelmu itu bersama dengan laku, ngelmu itu sendiri juga bersifat laku dalam lelakoning urip (kejadian kehidupan). Pada tembang Pucung di atas, hal itu tercermin pada kata lekase dalam baris lekase lawan kas, yang bermakna sebagai proses, yakni awalnya dimulai dengan kesungguhan. Hal itu lebih ditegaskan dengan baris setya budya pangekese dur angkara, yang maknanya juga sebagai proses, yakni selalu setia mengusahakan hilangnya angkara murka.

262

C. Laku sebagai Proses Hidup Dalam pandangan hidup Jawa, hidup itu mengalir seperti aliran air sungai dari waktu ke waktu, dari hari ke hari, yang dapat menghanyutkan. Bagi orang Jawa, hidup ini boleh saja berjalan mengikuti arus, namun jangan sampai hal itu karena tidak disadari. Dalam hubungannya dengan kata laku, aliran air tersebut bagaikan lelakoning urip atau aliran kejadian dalam kehidupan setiap manusia yang masing-masing berbeda. Hal ini antara lain tercermin dalam geguritan (puisi Jawa Modern) karya Sumono Sandy Asmoro (Surabaya, 2000: 43) sebagai berikut.
Jroning Laku (Di dalam Laku) Angin sing nglimpekake laku (angin yang diam-diam meninggalkan laku) Nglungguhake aku lan kowe (mendudukkan aku dan engkau) Runtut kaya wayang simpingan (urut seperti wayang yang ditata di samping layar) Sangarepe dhalang (di depan dalang) Pindhane ukara banjur dipantha-pantha (seperti kalimat lalu dibagibagi) Jejer lesan lan wasesa (subjek predikat dan objek) Adhuh mitra, aku lan kowe (aduh kawan aku dan engkau) Jebul nate ngombe banyu (ternyata pernah minum air) Sing padha segere (yang sama segarnya) Lungguh ing klasa (duduk di tikar) Sing padha jembare (yang sama luasnya) Liwat dalan sing padha lempenge (melewati jalan yang sama lurusnya) Senajan seje mangsane (walaupun berbeda saatnya) Angin sing ngampirakelaku (angin yang membuat laku mampir) Nglungguhake aku lan kowe (mendudukkan aku dan engkau) Bawa rasa sawatara ngonceki cangkriman ketiga (memikirkan dan merasakan ketika mengupas teka-teki musim kemarau) Sadurunge bebarengan ngeli turut lakuning dina (sebelum bersama menghanyutkan diri mengikuti jalannya hari) Sing nggawa werna-werna patembaya (yang membawa berbagai macam sayembara).

Puisi di atas menunjukkan bahwa lelakon atau kejadian kehidupan manusia bagaikan kejadian dalam lakon pertunjukan wayang purwa, setiap manusia ditata secara urut di samping layar, lalu bila saatnya tiba ia akan dimainkan seorang dalang pada layar. Mereka bagaikan kalimat yang memiliki peran masing-masing, seperti subjek, predikat atau objek. Setiap manusia akan mengalami perjalanan hidup, makanminum, kedudukan dan lainnya, meskipun saatnya berbeda-beda, yang penuh teka-teki yang sering kali dirasakan atau dipikirkan, yang bagaikan penuh dengan sayembara. Setiap orang harus mengikuti

263

arus (ngeli) dalam kehidupan itu. Dalam hubungannya dengan puisi di atas, dalam peribahasa Jawa terdapat istilah ngeli ning aja nganti keli. Kata ngeli berasal dari kata ili yang berarti aliran, lalu mendapat awalan ka- menjadi keli yang berarti dalam keadaan hanyut atau terhanyut. Orang yang keli (terhanyut) dan tidak menyadari, bahkan tidak memiliki kemampuan untuk berenang dan berusaha keluar dari aliran air itu, ia akan celaka bahkan dapat mati. Adapun kata ngeli merupakan aktivisasi dari kata ili atau keli, sehingga secara aktif atau sadar bahkan dengan sengaja ia menghanyutkan diri. Aja nganti keli maksudnya, setiap manusia harus menyadari diri ia berkedudukan di mana dan bagaimana setiap saat ketika ia berada dalam arus kehidupan itu. Ia harus menjalankan laku atau langkah atau proses hidupnya, atau dengan kata lain hidup ini harus dilakoni atau disikapi dengan sebaik-baiknya. Dalam perjalanan hidup manusia, pengetahuan yang satu akan menjadi dasar pada pengetahuan yang lainnya, sedikit demi sedikit terus berproses berkembang sesuai dengan pengalamannya masingmasing, oleh karena itu, di Jawa juga terdapat istilah ngelmu titen, yakni yang didasari oleh memperhatikan kejadian dan mengingat-ingat untuk kemudian dimanfaatkan pada kejadian-kejadian selanjutnya. Tidak berlebihan bila Soedjonoredjo (dalam Supadjar, 2001: 70) menuliskan dalam hal proses hidup harus mencari ilmu kenyataan sebagai berikut.

Benere wong urip, eling marang uripebenere wong lali, ngudi kawruh kasunyatanwajibe wong urip, rumeksa ing uripe..asaling pangudi, rumasa, .wong urip kudu rumasa kawula (Benarnya orang hidup, ingat akan hidupnya.benarnya orang lupa, mencari ilmu kenyataan kewajiban orang hidup, menjaga hidupnyaasal pencarian adalah merasa ..orang hidup harus merasa sebagai makhluk)

Pernyataan Soedjonoredjo di atas, pada intinya orang hidup harus eling marang uripe (sadar akan hidupnya), harus ngudi kawruh kasunyatan ( mencari ilmu kenyataan), harus rumeksa ing uripe (harus menjaga hidupnya), dan harus rumasa kawula (harus merasa sebagai makhluk Tuhan). Dalam istilah lain, hal tersebut sering diistilahkan dengan eneng (tenang), ening (jernih), awas (melihat dan mengetahui dengan baik), eling (ingat). Eneng (tenang) maksudnya tidak banyak bertingkah yang tidak semestinya, harus mampu melawan getaran kehendak jahat. Ening (jernih) maksudnya jernih dalam pikiran dan perasaannya, jangan sampai terkotori oleh nafsu. Awas (melihat dan mengetahui dengan baik) maksudnya melihat keadaan sekitarnya dan mengetahui kenyataannya hingga kemungkinan-kemungkinannya.

264

Adapun eling (ingat) adalah ingat bahwa dirinya hanyalah makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa (bdk. Mulyono, 1982: 58). D. Hidup Ini Juga Merupakan Laku Laku merupakan proses dalam hidup manusia Jawa. Hidup itu sendiri juga merupakan laku, oleh karena itu sifatnya hanyalah sementara. Hidup yang sementara digambarkan dengan istilah Urip mung mampir ngombe (hidup ini hanyalah tinggal sementara untuk minum). Kata mampir mempunyai makna hanya sementara dan tempat untuk mampir bukanlah tujuan akhir, masih ada tempat lain yang dituju. Hidup yang hanya sementara ini, bagi manusia, ia sekedar menjalani (mung saderma nglakoni). Tidak jauh berbeda, dalam idiom lain dikenal istilah urip iki mung saderma nglakoni (hidup ini hanya sekedar menjalani). Kata saderma atau sadarma berasal dari kata darma yang bermakna kewajiban sebagaimana mestinya seperti kedudukan masing-masing. Adapun sa- atau sak- di depannya bermakna seukuran. Jadi, kata saderma dapat berarti sesuai dengan kedudukan dan tugas kewajiban masing-masing. Di sisi lain, saderma nglakoni artinya hidup itu sendiri bukanlah menjadi kewenangan dan kemampuan manusia, baik dalam rangka mencipta hidup atau menjadi hidup itu sendiri. Dalam hubungannya dengan ngeli ning aja nganti keli, manusia tinggal menerima hifdup ini, tetapi sekaligus harus dapat menyikapi atau mengisi hidup yang sekedar menjalani itu dengan sesadar-sadarnya dan dengan sebaik-baiknya. Dalam hubungannya dengan laku, yakni langkah menyikapi hidup itu, ketika orang Jawa itu merasa tidak mampu, kemudian bunuh diri, orang Jawa memiliki kata dalam hubungannya dengan kata ngeli tersebut, yakni kata nganyut tuwuh yang berarti bunuh diri. Kata nganyut berarti mengahanyutkan diri. Adapun kata tuwuh berarti hidup atau tumbuh. Dengan demikian kata nganyut tuwuh berarti secara sadar menghanyutkan diri dalam hidup atau kehidupan selanjutnya. Istilah lain dalam bahasa Jawa untuk nganyut tuwuh yakni kata nglalu. Kata nglalu berasal dari kata dasar lalu yang juga berarti jalan dan mendapat awalan Nasal (ng- )yang bermakna aktif. Kata nglalu berarti secara aktif berjalan, yakni berjalan menuju arus selanjutnya atau kehidupan selanjutnya. Dengan demikian bunuh diri termasuk dalam kategori laku, yakni proses kehidupan menuju proses kehidupan selanjutnya. Kata laku, kata lalu, keli dan ngeli atau nganyut berhubungan dengan makna suatu perjalanan, yakni proses perjalanan hidup. Hal

265

ini juga berhubungan dengan kata Jawa lelaku. Kata lelaku juga berasal dari kata dasar laku yang kemudian diulang suku kata depannya tetapi mengalami perubahan bunyi (proses kebahasaan yang disebut dwipurwa salin suwara). Kata lelaku bermakna sakaratul maut, atau sekarat, yakni keadaan manusia sesaat sebelum ia meninggal atau proses sesaat sebelum meninggal dunia. Dengan demikian kematian dalam pandangan hidup Jawa memang dianggap sebagai proses perjalanan menuju kehidupan selanjutnya. Dalam hubungannya dengan idiom lain, dinyatakan urip iki manggung dadi lakon (manggung atau di panggung dan sedang menjadi tokoh utama). Dunia sebagai tempat hidup manusia tidak ubahnya seperti panggung sandiwara. Hal ini tidak berlebihan, terbukti dalam suatu lagu pop berbahasa Indonesia juga dinyatakan bahwa dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah. Dalam konteks ceritanya mudah berubah, juga mengandung makna bahwa hidup ini hanya sementara. Kesemenraraan ini juga tercermin pada istilah manggung dadi lakon. Dalam konteks tertentu sering menjadi lagi manggung dadi lakon (sedang di panggung atau manggung). Kata manggung, kata dasarnya adalah anggung, yakni bunyi burung-burung (kukila) tertentu terutama burung perkutut. Bagi orang Jawa burung perkutut merupakan salah satu (di samping wisma yakni rumah, turangga yakni kuda, dan curiga yakni keris) symbol kamulyan, yakni hidup dengan tenteram dan sejahtera sekaligus mulia. Orang Jawa yang memiliki burung perkutut, dia seakan telah mampu menggenapi idealisme hidupnya, terutama bila anggung atau bunyi perkutut miliknya memenuhi kriteria bunyi perkutut yang bagus. Burung perkutut yang bunyinya bagus, akan menjadi pusat perhatian orangorang di sekitarnya. Bunyi yang bagus sebagai symbol keharmonisan, ketenteraman, kesejahteraan, dan kemuliaan. Demikian pula halnya dengan orang yang sedang berada di panggung, setiap gerak dan ucapannya akan selalu disoroti oleh orang-orang di sekitarnya. Lakon, sebagai tokoh utama di panggung akan menjadi pusat perhatian. Ia akan menjadi Pancer atau pusat dari segala arah yang disebut kiblat papat (empat penjuru) atau kanan, kiri, muka dan belakang. Kata lakon berasal dari kata dasar laku yang mendapat akhiran -an. Kata lakon dalam bahasa Jawa dapat berarti cerita, judul cerita, tokoh utama, atau pentas terutama pentas wayang purwa. Lakon yang berarti pentas wayang purwa, prosesnya selalu dimulai dari dibunyikannya gamelan yang disebut tetalu, kemudian gamelan pathet nem, pathet sanga, pathet manyura, hingga perang brubuh dan tarian Bima atau tokoh lain yang merupakan saudara tunggal bayu. Urutan proses pentas wayang

266

purwa itu juga merupakan symbol dari prosesi kehidupan manusia, sejak diturunkannya benih manusia, masa kanak-kanak, masa remaja, masa tua, hingga menjelang ajal (Mulyono, 1979: 106-114). Bila dihubungkan dengan geguritan (puisi Jawa) karya Sumono Sandy Asmoro di atas, dalam proses tersebut, wayang sebagai symbol manusia hanya ditata menurut urutan masing-masing untuk ditampilkan yakni manggung dadi lakon. Meskipun demikian, dalam rangka manggung itu segala anggung-annya, yakni segala gerak, tindakan dan ucapannya, harus dipertanggung-jawabkan, haruslah disadari dan diarahkan menuju yang baik, sehingga para penonton wayang, yakni masyarakat sekitarnya akan menjadi senang atau puas karenanya. Semuannya ini tidak berhenti hanya dalam kehidupan di dunia ini, namun juga diarahkan pada kehidupan selanjutnya setelah manusia mati. Dalam hal ini proses laku manusia adalah menyadari sepenuhnya akan sangkan paraning dumadi atau asal dan tujuan hidup di dunia ini, yakni berasal dari Dzat Yang Maha Kuasa dan akan kembali kepada-Nya. E. Simpulan Dari uraian di atas, jelaslah bahwa laku dalam filsafat Jawa merupakan proses yang harus ada, harus disadari keberadaannya, dan bahkan harus diadakan sebagai proses perbaikan kualitas hidup dan kehidupan secara terus menerus. Laku merupakan kata kunci yang harus disadari setiap saat baik dalam hubungannya dengan proses hidup sementara di dunia ini, maupun dalam rangka proses hidup selanjutnya, yakni setelah manusia meninggal dunia. Hidup ini sesungguhnya juga merupakan laku, yakni proses menuju hidup setelah manusia meninggal dunia. Orang hidup harus menyadari akan hidupnya, oleh karena itu ia harus mengetahui akan dirinya dan segala sesuatu di luar dirinya. Untuk itu manusia harus berpengetahuan. Dalam hal mencari pengetahuan secara luas (ngelmu), manusia juga harus melaksanakan dengan laku. Pengetahuan yang satu menjadi dasar pengetahuan lainnya, itu semua merupakan laku, yakni proses hidup dari waktu ke waktu.

Asmoro, Sumono Sandy. 2000. Antologi Geguritan Layang Panantang. Surabaya: Balai Bahasa Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka Mulyono, Sri. 1979. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: GUnung Agung

DAFTAR PUSTAKA

267

__________. 1982. Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung Saryono, Djoko. 2011. Sosok Nilai Budaya Jawa: Rekonstruksi Normatif idealistis. Yogyakarta: Aditya Media Publishing. Sudarminta. 1991. Filsafat Proses, Sebuah Pengantar Sistematis Filsafat Alphed Warth.-Whitehead Supadjar, Damardjati. 2001. Cet. II. Nawangsari: Butir-butir Renungan Agama, Spiritualitas, Budaya. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru

268

SASTRA DAN BUDAYA JAWA PADA MASA KRATON KARTASURA


Purwadi Universitas Negeri Yogyakarta
1. Pendahuluan erkembangan sastra dan budaya Jawa sampai memperoleh bentuknya seperti sekarang, terjadi dalam abad ke-17, bersamaan dengan perkembangan kerajaan Mataram. Pada mulanya yang menjadi pedoman unggah ungguhing basa yang harus dipakai oleh seorang pembicara ialah hubungan kekeluargaan, umur, status sosial atau tingkat kebangsawanannya terhadap orang mitra berbicara. Seseorang anak berbicara dalam bahasa krama dengan orang tuanya, paman atau kakeknya. Penguasa-penguasa Mataram, seperti Senapati, Krapyak, dan bahkan Sultan Agung, berbicara dalam tataran krama dengan Jurumartani, adik sepupu dan ipar Pemanahan. Sebaliknya Jurumartani berbicara dalam bahasa ngoko dengan para pengusa Mataram, yang terhadapnya masing-masing adalah kemenakan, cucu kemenakan dan cicit kemenakan. Di kemudian hari, keadaan berubah, setelah Jurumartani meninggal dan setelah beberapa tahun Sultan Agung memerintah, hubungan keluargaan, umur dan tingkat kebangsawanan seseorang tidak lebih penting dalam penentuan tataran bahasa yang harus dipakai oleh seeorang dalam berbicara dengan orang lain. Panembahan Purbaya, misalnya, seorang uwa (bapak besar) Sultan Agung, seorang kakek tua Amangkurat I, berbicara dalam tataran krama dengan kedua raja Mataram itu (Moedjanto, 1994: 62). Hal yang semacam terjadi juga dalam percakapan antara Pekik dan Ratu Pandan berbicara dalam bahasa krama dengan Amangkurat I, padahal Pekik adalah paman ipar dan mertua Amangkurat I, sedang Ratu Pandan adalah bibinya. Dalam makalah ini hendak diuraikan tentang seluk beluk keberadaan sastra dan budaya pada masa keraton Kartasura.

2. Kartasura Ibukota Mataram Sunan Amangkurat II selanjutnya menjadi raja di Kraton Mataram yang beribukota di Kartasura. Bratadiningrat (1990) meriwayatkan silsilah Sunan Amangkurat II. Kutipan dalam bahasa Jawa secara

269

lengkap adalah sebagai berikut : Putra dalem Ingkang Sinuwun Prabu Hamengkurat Agung, ingkang nomer 1, miyos saking garwa GKR Putrinya Pangeran Pekik Surabaia patutanipun kaliyan. GKR Wandhansari. Rayi dalem Ingkang Sinuwun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Amral asma Raden Mas Rahmat Kuning. Asalsilahipun Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat II Amral Saking Ibu dalem GKR Pambayun. 1. Sunan Ampel Denta, peputra: 2. Pangeran. Surabaiat peputra: 3. Pengeran Pekik Surabaik, peputra: 4. GKR Pambayun GKR Kulon, Permaisuri beliau Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Agung, peputra: 5. Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat II Amral. Raden Mas Ning. Ingkang Sinuwun mindhahaken Kraton Pleret dhumateng Wonokerto, awit sampun risak. Wonokerto kanamekaken Kartasura Hadiningrat, ing dinten Rabu Pon tanggal. 27 Ruwah Alip 1603 Jawi. Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat II Amral boten nurunaken nata (Bratadiningrat, 1990). Untuk mendukung keterangan di atas dapat dikemukakan juga komunikasi antara panembahan Adilangu, keturunan kelima Sunan Kalijaga, dengan Amangkurat II. Babad menerangkan hal tersebut berkenan dengan penaklukan Giri oleh Amangkurat II. Dalam penaklukan itu Adilangu berhasil mengalahkan Pangeran Singasari, salah seorang panglima Giri. Dalam peristiwa itu tidak diketemukan percakapan langsung antaraa Adilangu dengan Amangkurat II, akan tetapi penggunan beberapa kata untuk mereka dalam komunikasi itu cukup memperlihatkan unggah ungguhing basa yang mereka pakai. Pada waktu Amangkurat II berusaha memadamkan pemberontakan Trunajaya, ialah singgah di Adilangu dan dikatakan babad, nimbali Panembahan Natapraja dan Adilangu, yang dikatakan babad kemudian sowan ke hadapan Amangkurat II (Meinsma,1941: 190) Ketika untuk mengalahkan Giri dikatakan Natapraja memerlukan pusaka Mataram, Amangkurat II tidak keberatan, tertulis dalam babad bahwa pusaka itu oleh Amangkurat II pinarengaken. Kata Nimbali dan pinarengaken yang diucapkan Amangkurat II terhadap Panembahan Natapraja, yang keturunan ke-5 dari Wali Kalijaga, yang dulu sangat dihormati oleh keluarga Mataram, dapatlah disimpulkan bahwa keturunan para wali sudah diungguli oleh keagungan raja Mataram. Sehingga nampak terdapat hubungan antara unggah unguhing basa dengan kekuasaan dinasti Mataram. Begitu

270

juga dengan penggunaan kata sowan untuk Panembahan Natapraja. Rehning Kraton dalem Pleret risak dening perang Trunojaya, pramila lajeng pindhah dhateng Wonokerto. Kadhaton enggal kanamekaken Kraton KartaSura. Pindhahipun nyarengi dinten Rabu Pon 27 Ruwah Alip 1603. Negari dalem kaparingan nama Kartasura Hadiningrat.
Dhandhanggula Sang Aprabu prapteng Wanakarti Gumarudug sawadya balane Kawula lan sentanane Kadya sinebut sebut Katon sunya hangrasa wani Ya sinangkalaning candra Ri Buda Pon nuju Kaping pitulikur Ruwah Alip sewu nenemhatus telu dadi Kartasura Diningrat.

Terjemahan :

Sang Prabu tiba di Wanakarti Gemuruh suara balatentara Kawula dan para sentana Seperti bersorak-sorai Tampak gembira semangat menyala Jika dibuat candra sengkala Yakni Ri Buda Pon Tanggal dua tujuh Ruwah Alip seribu enam ratus tiga Kartasura Hadiningrat.

Sunan Amangkurat III menggantikan pemerintahan Amangkurat II di Mataram. Bratadiningrat (1990) meriwayatkan silsilah Sunan Amangkurat III. Kutipan dalam bahasa Jawa secara lengkap adalah sebagai berikut : Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Amengkurat III (1703-1705) putra dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat II ing Kartasura. Nama BRMGusti Sutikno.. Nalika jaman semanten punika manawi jumenengan nata tamtu kedah wonten sesepuh. Ingkang mbotohi ingkang majeng manawi wonten bot repotipun Panjenengan dalem Nata. Nalika semanten Adipati Puger, ngendika dhumateng Ingkang Sinuwun Prabu mangkurat III surangga wedaling pangandika,
Yen Kangmas Pangeran Adipati nggenteni jumeneng Nata, aku sudik mulih. Wis mesthi jagad bakal retu, karana Kangmas Dipati iku budine banget ala awit kegawa saka biyunge dudu turun Mataram. Wis dilalah, swargi uwa Prabu ora peputra karo garwane kang padha turun Mataram. Kangmas Dipati dhewe iya wis dilalah nggone jejodhoan karo sedulurku ora tutug. Iku mratandhani yen bakal sirna wijine. Luwih becik aku jumeneng nata dhewe.

271

Awit punika, rama dalem KGPAdipati Puger dipunkunjara. Jumeneng dalem Nata Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat III namung 2 warsa (Bratadiningrat, 1990). Pada masa pemerintahan Amangkurat II, banyak terjadi huru-hara yang menyebabkan stabilitas kerajaan Mataram terganggu. Oleh karena itu Amangkurat II memindahkan ibukota Mataram ke daerah Kartasura. Ibukota baru ini diyakini akan membawa ketenteraman dan kedamaian kerajaan. (Moedjanto, 1994: 93). Para raja yang pernah memerintah kerajaan Mataram Kartasura yaitu : 1. Amangkurat II (1677 - 1703) 2. Amangkurat III (1703 - 1708) 3. Paku Buwana I (1704 - 1719) 4. Amangkurat IV (1719 - 1726) 3. Serat Menak Serat Menak merupakan karya sastra sebagai wahana dakwah Islamiyah. Kitab ini dibuat tahun 1639 tahun Jawa, atas perintah Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Sinuwun Paku Buwana I atau Pangeran Puger di kraton Kartasura (Poerbatjaraka, 1957: 105). Cerita Menak ini berasal dari negeri Persia dan dalam bahasa Melayu disebut Hikayat Amir Hamzah. Serat Menak digubah ke dalam bahasa Jawa bersamaan dengan berkembangnya agama Islam. Salah satu cabang cerita Menak yang terkenal adalah cerita Rengganis. Cerita ini dibuat oleh Rangga Janur, pujangga Kraton Kartasura (Poerbatjaraka, 1957: 112). Serat Rengganis mengisahkan percintaan antara Pangeran Kelan dengan Dewi Rengganis dan Dewi Kadarmanik. Karya sastra yang dibuat pada masa Kraton Kartasura yang lainnya adalah Serat Manikmaya. Penciptanya yaitu Kartamursadah dari Tanah Pasundan. Para bangsawan Priangan sering mengirim putra-putrinya ke Kerajaan Mataram untuk belajar sastra dan budaya (Poerbatjaraka, 1957: 114). Serat Manikmaya sebagian menceritakan kisah-kisah yang sudah diungkapkan dalam Serat Tantu Panggelaran. Seangkatan dengan Serat Manikmaya, yaitu Serat Ambiya dan Serat Kandha. Keduanya juga terbit pada zaman kraton Kartasura. Serat Ambiya yang terpengaruh agama Islam ini menceritakan kisah awal penciptaan dunia serta cerita sejak adanya Nabi Adam. Serat Kandha menggabungkan antara unsur Hindu, Islam, dan Jawa. Di sana dijumpai kisah para Nabi yang dikemas sedemikian rupa, sehingga menjadi keunikan khas kreativitas pujangga Jawa. Paku Buwana III memerintah di kraton Surakarta pada tahun 1749-1788. Ibukota Mataram dipindahkan oleh Paku Buwana II dari

272

Kartasura ke Surakarta tahun 1743 (De Graaf, 1984: 264). Saat itu kerajaan Kartasura penuh dengan konflik keras yang terjadi antar keluarga istana. Pada masa pemerintahan Paku Buwana III terjadi proses sejarah Palihan Negari pembagian kerajaan menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 1755. Babad Giyanti secara cermat melukiskan peristiwa historis itu (Ricklefs, 1995: 84). Sinuwun Paku Buwana III aktif dalam mengembangkan sastra dan budaya. Karya Paku Buwana III yaitu Serat Wiwaha Jarwa dengan sengkalan: tasik sonya giri juga yang berarti tahun 1704 Jawa atau 1778 tahun Masehi. Di samping itu, Paku Buwana III juga ikut menyempurnakan Serat Iskandar dengan wajah baru. 4. Wahyu dan Budaya Kraton Wahyu dan legitimasi kekuasaan sangat berkaitan erat dalam kehidupan di kraton Jawa. Dalam pewayangan, lakon yang menceritakan pulung kepemimpinan dilukiskan dengan memperoleh wahyu cakraningrat. Siapa saja yang memperoleh wahyu cakraningrat, maka dia dan keturunannya akan berhak menduduki tahta kepemimpinan. Tiga pangeran putra mahkota dalam pewayangan yaitu Lesmana dari Hastina, Samba dari Dwarawati, dan Abimanyu dari Amarta bersaing sengit dalam memperebutkan wahyu cakraningrat agar tergenggam di tangannya. Karena Lesmana dan Samba tidak kuat menerima cobaan berupa wanita cantik, maka hanya Abimanyu yang kemudian berhasil memperolehnya. Akhirnya memang hanya Abimanyu yang bisa menurunkan raja di Hastina, yaitu Prabu Parikesit. Lakon wahyu cakraningrat ini di masyarakat Jawa sangat populer. Lurah, camat, bupati yang terpilih seringkali menanggap wayang dengan lakon tersebut. Harapannya mereka akan memerintah dan menerapkan kepemimpinan mirip Prabu Parikesit yang terkenal berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan. Sedangkan buat masyarakat yang diperintah akan mengakui eksistensi kepemimpinannya. Agaknya wahyu cakraningrat merupakan salah satu sarana yang ampuh sebagai sumber legitimasi kepemimpinan. Mengungkap permasalahan kehidupan kraton tidak dapat dipisahkan dari permasalahan sumber legitimasi kekuasaan raja. Pembahasan tentang hal ini haruslah melihat wujud kekuasaan tradisional Jawa dengan sejumlah konsep yang ada dalam kekuasaan itu sendiri, sesuai dengan kebudayaan politik mereka. Konsep negara gung yang harus dilihat sebagai pusat kosmologis pemerintahan, dan manca negara yang merupakan subordinasi negara gung, memperlihatkan bagaimana legitimasi kekuasaan seorang raja terhadap para kerabat

273

dan rakyatnya. Suatu cerminan hubungan patron client relationship yang dalam bahasa politik kerajaan Jawa disebut sebagai manunggaling kawula Gusti, (Ricklefs, 1974). Konsep seperti itu akan selalu muncul saat mencoba melihat kerajaan Jawa, sebagai konsep lama yang mengacu pada masa kekuasaan dinasti Mataram, meskipun sejak tahun 1755 Mataram telah terbagi dua (Mari, 1995). Kerajaan tradisional Jawa yang disebut Mataram, dalam konsep politiknya mengakui bahwa raja merupakan penguasa yang memiliki dasar sebagai dewa raja atau kalifatullah. Raja sebagai orang yang dinilai mempunyai kharisma serta kekuatan melebihi manusia biasa, memiliki kekuasaan yang amat besar terhadap kerabat dan rakyatnya. Adanya konsep dewa raja pada masa Hindu Jawa yang memandang raja sebagai inkarnasi dewa, berlanjut pada masa Islam dalam pengertian kalifatullah. Menurut Soemarsaid Moertono (1985), kenyataan ini semakin memperkokoh kedudukan raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di kerajaan (Mari, 1995). Kepemimpinan dalam pandangan budaya desa di Yogyakarta diperoleh melalui proses turunnya wahyu, pulung atau ndaru. Di desa-desa sewaktu terjadi pemilihan kepala desa, para calon kades itu biasanya saling berebut pulung. Mereka datang ke orang yang dianggap pintar, atau tempat keramat semacam kuburan leluhur hanya demi mewujudkan impiannya untuk mendapatkan pulung kepemimpinan tersebut. Kedudukannya sebagai wakil Tuhan di dunia, memungkinkan seorang raja untuk menuntut pengakuan bahwa dirinya adalah penguasa tunggal yang mempunyai kekuasaan terhadap kesetiaan dan ketaatan penuh dari bawahannya. Institusi yang berhubungan dengan ketaatan, kesetiaan, kewibawaan, serta keagungan, cukup memperlihatkan fungsinya bagi budaya kehidupan masyarakat Jawa. Mendapat perintah raja atau ngemban dhawuh dalem merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga rakyat dapat menerimanya dengan senang hati (Mari, 1995). Melihat kenyataan dari alam pikiran tersebut, tentu saja prinsip dan pandangan hidup sangat berpengaruh bagi kehidupan lingkungannya. Seorang raja yang memerintah kerajaan Jawa, selalu digambarkan bahwa ia tidak hanya memiliki kekuasaan terhadap negara dan harta benda, melainkan juga terhadap para kawula dengan segala kehidupan pribadinya. Dalam alam kebudayaan Jawa (Soemarsaid, 1985), kekuasaan raja digambarkan wenang misesa ing sanagari atau memegang kekuasaan tertinggi di seluruh negeri. Kekuasaan itu digambarkan juga dalam ungkapan mbaudendha nyakrawati atau berwenang menghukum dan berkuasa memerintah dunia (Mari, 1995).

274

Ratu binathara memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuwah, wahyu hukumah, dan wahyu wilayah. Yang dimaksud dengan wahyu nubuwah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan, wahyu hukumah menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan wewenang murbamisesa, kedudukannya sebagai Sang Murbawisesa, atau Penguasa Tertinggi ini, mengakibatkan raja memiliki kekuasaan tidak terbatas dan segala keputusannya tidak boleh ditentang, karena dianggap sebagai kehendak Tuhan. Wahyu wilayah, yang melengkapi dua macam wahyu yang telah disebutkan di atas, mendudukkan raja sebagai yang berkuasa untuk memberi pandam pangauban, artinya memberi penerangan dan perlindungan kepada rakyatnya (Darsiti, 2000). Masih banyak berbagai ungkapan yang memperlihatkan betapa berkuasanya seorang raja sehingga ia memiliki kekuasaan memerintah, mengatur, menghukum, menguasai daerah-daerah lain, menguasai militer, dan bahkan mengatur agama seperti yang terungkap dalam Senapati Ingalaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama. Menurut Moedjanta (1978), dalam segala permasalahan maka raja memiliki kekuasaan tertinggi sehingga tergambarkan kekuasaan itu sentralistik tidak terbagi-bagi dan merupakan kebulatan yang tunggal serta tiada yang mampu menandingi. Kenyataan itu diungkapkan melalui bahasa Jawa yang amat plastis, yang berbunyi endi ana surya kembar, berarti tidak membenarkan adanya kekuasaan lain yang sederajat dengan dirinya (Mari, 1995). Wewenang atau kepemimpinan yang bersumber dari pulung atau wahyu itulah yang menyebabkan kepemimpinan berubah menjadi magis, wingit, angker, gaib dan serba supranatural. Salah satu bukti pusat kepemimpinan yang berwajah wingit adalah sebagian besar pendopo kabupaten di Jawa. Di sana akan kita temukan beberapa simbol yang mendukung sifat keangkerannya, misalnya lampu yang sengaja dipasang nyala redup dan suram, pajangan pusaka tombak, keris, songsong gilap payung agung, patung Dwarapala dan sebagainya. Dari sejumlah konsep tentang kekuasaan, sebenarnya masih ada konsep lain yang mendampingi konsep kekuasaan itu, sehingga seorang raja tidak bisa bersikap sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Konsep yang mendampinginya adalah ungkapan bahwa seorang raja haruslah berbudi bawa lekasana ambeg adil para marta. Konsep ini juga menyiratkan bahwa seorang raja harus dapat menciptakan ketertiban dan keamanan rakyat serta negara, seperti dinyatakan J.B. Meinsma (1941) dalam ungkapan anjaga tata titi tentreming praja. Dengan demikian seharusnya seorang raja tidak saja menjadi

275

penghukum akan tetapi juga sebagai penegak hukum, yang merupakan manifestasi dari upaya menegakkan keadilan. Berpegang pada konsep semacam ini maka seorang raja harus wicaksana atau bijaksana dalam menjalankan kekuasaan dan pemerintahan. Kebijaksanaan itu sering digambarkan sebagai pandai mengambil keputusan yang tepat dalam menghadapi situasi (Mari, 1995). Dengan perkataan lain, kekuasaan raja yang tidak terbatas itu harus diimbangi dengan tindakan memberi perlindungan kepada rakyatnya. Hal ini dapat diumpamakan sebagai dalang-dalang itu tidak boleh melupakan peranan blencong, yang memberi penerangan pada layar permainan wayang itu. Bagi raja, hukum merupakan petunjuk agar ia dapat menjadi tempat berlindung bagi rakyatnya (Darsiti, 2000). Di dalam Serat Wulangreh disebutkan, bahwa raja berkedudukan sebagai wakil Tuhan dan memerintah berdasarkan hukum keadilan, oleh sebab itu rakyat wajib mengikutinya. Orang yang tidak mengikuti raja atau menolak perintahnya berarti ia menentang kehendak Tuhan. Di samping tiga macam wahyu tersebut di atas, dikenal pula istilah wahyu kraton,yang juga disebut dengan istilah wahyu kedhaton atau wahyu cakraningrat. Seorang yang mendapat wahyu kraton itu akan menjadi raja (Darsiti, 2000). Sebutan gung binathara menyatakan bahwa seorang raja harus berwatak mulia, adil, pembela kebenaran dan pelindung bagi rakyatnya. Menurut Van den Berg (1901) yang pernah mengulas masalah kedudukan para raja Islam di Indonesia, menyatakan bahwa dalam pengertian ajaran Islam raja adalah manusia biasa yang oleh Tuhan diberi tugas mengatur orang lain sesuai dengan ketentuan Syariah. Akan tetapi para raja Mataram telah menganggap dirinya berada di atas manusia biasa (Mari, 1995). Tradisi kritik terhadap kepemimpinan yang dilakukan secara terang-terangan dalam budaya Jawa dinilai terlalu banyak menanggung resiko. Pancaran kepemimpinan diibaratkan dengan cahaya matahari. Orang yang mengritik secara vulgar dan konfrontatif sama halnya dengan ngidoni srengenge meludahi matahari. Sudah pasti ludahnya akan hanya mengenai muka sendiri. Memang dalam budaya desa di Yogyakarta dikenal tradisi pepe berjemur di alun-alun antara dua ringin kembar. Tetapi itu bukan bersifat kritikan. Pepe hanya salah satu usaha permintaan keadilan warga kerajaan yang teraniaya oleh aparat bawahan raja. Beruntung jika raja memiliki belas kasihan, jika tidak, bukan menjadi tanggungan berat bagi raja. Konsep tentang kekuasaan besar raja terhadap rakyatnya tercermin dalam sejumlah serat, seperti Serat Niti Praja, Serat Niti Sastra, dan Serat Wulang Reh. Dalam Serat Niti Praja, posisi

276

seorang raja disamakan dengan posisi seorang dalang, sedangkan rakyat disamakan dengan wayang. Melalui perbandingan semacam itu seorang raja akan dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya. Dalam Serat Wulang Reh (Paku Buwana IV, 1925) ditekankan bahwa apa yang diperintahkan oleh seorang raja haruslah ditaati, sebab raja adalah wakil Tuhan seperti yang terlihat dalam kutipan:
Ratu kinarya wakil Hyang Agung, merentahaken hukum adil, pramila wajibe den enut, sapa tan anut ing Gusti, mring parentahe Sang Katong.

Aprasasat batali karsa Hyang Agung, mulane babo wong urip, saparsa suwiteng Ratu, kudu eklas lair batin, aja nganti nemu ewuh. (Serat Wulangreh)

Terjemahan

Raja adalah wakil Tuhan, sebagai pemegang hukum, maka wajib diturut, siapa tidak menurut perintah raja. Sama dengan menentang kehendak Tuhan, seorang yang mengabdi kepada raja, harus iklas lahir batin, jangan sampai mendapat kesulitan.

Penegasan tentang hal itu dilanjutkan dengan Samubarang ing karsanira Sang Prabu, sayekti kudu nglakoni (Semua kehendak raja, harus dijalankan ) (Mari, 1995). Pulung sebagai sumber kepemimpinan diyakini hanya melekat pada satu orang. Pulung atau wahyu tidak terbagi-bagi dan tetap utuh wujudnya. Dengan demikian seseorang yang telah mendapatkan pulung kepemimpinan itu tidak mempunyai kewajiban moral bagi dirinya untuk mengadakan distribusi wewenang. Mereka percaya bahwa kepemimpinan yang terbagi-bagi akan mengganggu harmoni alam. Kepemimpinan yang otoriter diperkenankan asal tetap pada landasan ambeg adil paramarta, memayu hayuning bawana. Ambil contoh, kisah Ken Arok. Dia mendapatkan legitimasi kekuasaan dari sinar yang terpancar lewat betis Ken Dedes. Untuk mendapatkan sinar kekuasaan itu, maka Ken Dedes dijadikan istri. Sejak itu Ken Arok sah menjadi penguasa di Kraton Singasari.

277

Demikian pula Pengeran Puger, beliau menjadi raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwana I, setelah menghisap sinar yang terpancar lewat kemaluan Sunan Amangkurat III. Suksesi seperti ini menjadi legenda yang diwariskan secara turun-temurun. 5. Kanjeng Ratu Mas Balitar Selanjutnya yang menjadi raja di Mataram adalah Sunan Paku Buwana I. Bratadiningrat (1990) meriwayatkan silsilah Sunan Paku Buwana I. Kutipan dalam bahasa Jawa secara lengkap adalah sebagai berikut : Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati Ing Ngalaga Abdulrahman Sayidin Panata Gama Kalifatullah Ingkang Kaping I Ing Nagari Kartasura Hadiningrat. Jumeneng nata nomer 1 ing Mataram tahun 1660, boyong dhateng Kartasura tahun 1705. Surud dalem ing tahun 1719. Putra dalem Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Agung ing Mataram, miyos saking Permaisuri nomer 2, GKR Wetan. Putrinya Panembahan Radin ing Pajang, nama BRMG. Darajat. Asalsilahipun Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Paku Buwana I Saking Ibu dalem GKR Wetan. 1. Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Sultan Hadiwijaya ing Pajang, peputra. 2. Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Sultan Prabu Wijaya (Benawa) ing Pajang, peputra. 3. Panembahan Raden ing Pajang, peputra. 4. GKR Wetan permaisuri beliau Sampeyan dalem Prabu Amangkurat Agung nomer 2, peputra. 5. Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Paku Buwana kaping I ing Kartasura. BRMG. Darajat. Permaisuri beliau putrinya RT Balitar. Putra-putri dalem : 1. Gusti Raden Ajeng Lembah, Permaisuri Amangkurat Kencet. 2. GPH Hangabehi. 3. Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Jawa, BRMG. Suryaputra. 4. Gusti Raden Ayu Mangkubumi. 5. GPH Prangwadana 6. GPH Herucakra ing Madiun 7. GPH Ngalogo. 8. GPH Pamot 9. Gusti Raden Ayu Adip. Sindurejo 10. G.P. panembahan Puruboyo, ing Lamongan. 11. Mios saking Permaisuri GKR Paku Buwana.

278

12. GPH Balitar 13. GK Ratu Ayunan, garwanipun Panembahan Cakraningrat. miyos saking Permaisuri Dalem. Kanjeng Ratu Mas Balitar adalah garwa dalem sinuwun Paku Buwana I. Gelar Ratu Balitar lainnya adalah Kanjeng Ratu Ibu atau Sang Aprabu Nini. Berhubung kepribadiannya yang luhur dan agung, Ratu Balitar dihormati sebagai Putri amardika jimate wong nusa Jawa (Sudewa, 1995: 245). Sikap Ratu Balitar yang bijak bestari ini mampu meredakan krisis politik yang selalu bergolak pada masa awal kerajaan Kartasura dan Surakarta. Hal ini bukan suatu kebetulan, karena beliau adalah seorang tokoh putri yang gemar akan ilmu pengetahuan. Ratu Balitar terlibat dalam pembuatan karya sastra yang berjudul Serat Iskandar, Serat Menak, dan Serat Yusuf. Serat Iskandar masih berkaitan dengan Hikayat Iskandar Zulkarnain berbahasa Melayu yang pernah dianalisis oleh Siti Chamamah Soeratno (1991) dalam bentuk disertasi. Serat Menak dan Serat Jusuf ini dibuat oleh Ratu Balitar di samping untuk syiar Islam juga demi kemajuan pendidikan masyarakat saat itu yang selalu menghadapi pergolakan politik. Bagi kebanyakan para putri sekarang, kiranya patut apabila mau meniru kebijaksanaan dan kepandaian Kanjeng Ratu Mas Balitar dalam menyikapi perubahan dan pergolakan di pentas kenegaraan. Sunan Amangkurat IV selanjutnya memerintah Kraton Mataram. Bratadiningrat (1990) meriwayatkan silsilah Sunan Amangkurat IV. Kutipan dalam bahasa Jawa secara lengkap adalah sebagai berikut :Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panata Gama Kalifatullah Ingkang Kaping IV Ing Nagari Kartasura Hadiningrat 1719-1727. Putra dalem Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Paku Buwana I miyos saking Permaisuri beliau GKR Paku Buwana putrinya Raden Tumenggung Balitar. Nama Bandara Raden Mas Gusti Suryaputra. Asalsilahipun Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Jawa Saking Ibu dalem GKR Paku Buwana : Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Demak Bintara III, Kanjeng Panembahan Mas ing Madiun, GK Ratu Retnadumilah, Permaisuri beliau Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Panembahan Senapati ing Ngalaga, Panembahan Juminah ing Madiun, Pangeran Adipati Balitar, Ki Tumenggung Balitar, GKR Paku Buwana, Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Jawa ing Kartasura, BRM Gusti Suryaputra. Permaisuri beliau GKR Kencana, putrinya Raden Tumenggung Tirtakusuma, ing Kudus. Putra-Putri dalem sedaya GPH

279

Mangkunegara Kartasura, Gusti Raden Ayu Suraloyo ing Brebes, Gusti Raden Ayu Wirodigdo, GPH Hangabei, GPH Pamot, GPH Dipanegara, GPH Danupoyo, Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Paku Buwana II, BRMG. Prabasuyoso, GPH Hadinegara, GKR Maduretna, garwa KPH Hindranata, Gusti Raden Ajeng Kacihin, GPH Hadiwijaya, GRM Subronto, GPH Mangkubumi Sultan Yogyakarta, GPH Buminata, Dandung Martengsari, Gusti Raden Ayu Megatsari, Gusti Raden Ayu Puruboyo, Gusti Raden Ayu Pakuningrat, GPH Cakranegara, GPH Silarong, GPH Prangwadana, Gusti Raden Ayu Suryawinata, GPH Panular, GPH Mangkukusuma, Gusti Raden Ayu Sujonopuro, GPH Dipawinata, Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I. Amangkurat IV adalah ayah Paku Buwana II, Hamengku Buwana I dan kakek Mangkunegara I. Dengan demikian, beliau telah menurunkan tiga dinasti besar kerajaan Jawa. GPH Mangkunegara ing Kartasura, peputra Raden Mas Sahid, jumeneng Mangkunegara I Sambernyawa ing Surakarta. GPH Mangkubumi, jumeneng Sultan Hamengku Buwana I ing Yogyakarta Hadiningrat. Jaman jumenengipun Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana III. Perjanjian Giyanti 1755. Dipun tapakastani Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana III (Bratadiningrat, 1990). GPH Mangkunegara, ayah Mas Sahid ini sangat anti pada VOC. Dia tidak rwela bila penjajah ikut campur terhadap masalah internal keluarga Mataram. Begitu gigih perjuangannya, pada suatu saat akhirnya beliau ditawan oleh VOC ke Batavia. Dari Batavia ini kemudian beliau diasingkan ke Negeri Srilangka. Hati beliau tidak lunak juga. Bahkan rasa nasionalisme semakin berkobar. Terakhir beliau dbuang ke Tanjung Harapan. Cita-cita beliau ini dilanjutkan oleh putranya, yaitu RM Sahid atau Pangeran Sambernyawa. Kelak, RM Sahid inilah yang menjadi pendiri dinasti Mangkunegaran dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. 6. Penutup Karya sastra dan budaya warisan kraton Kartasura tetap berlanjut pada periode sesudahnya. Kraton Surakarta merupakan kelanjutan dari kraton Mataram yang beribukota di Kartasura. Dengan demikian para raja Surakarta masih keturunan langsung Panembahan Senapati. Kraton Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu puncak warisan budaya Jawa. Kraton ini pernah menjadi pusat pemerintahan, kebudayaan, kesenian, perekonomian, tata nilai, tuntunan hidup keagamaan dan merupakan representasi kosmologi Jawa pada jamannya.

280

Keberadaan kraton ini adalah hasil dari proses perjalanan politik yang panjang sebagai pewaris kejayaan Kraton Mataram. Persoalan sumber legitimasi kekuasaan raja. Pembahasan tentang hal ini haruslah melihat wujud kekuasaan tradisional Jawa dengan sejumlah konsep yang ada dalam kekuasaan itu sendiri, sesuai dengan kebudayaan politik mereka. Konsep negara gung yang harus dilihat sebagai pusat kosmologis pemerintahan, dan manca negara yang merupakan subordinasi negara gung, memperlihatkan bagaimana legitimasi kekuasaan seorang raja terhadap para kerabat dan rakyatnya. Suatu cerminan patron client relationship yang dalam bahasa politik kerajaan Jawa disebut sebagai manunggaling kawula Gusti (Ricklefs, 1974). Konsep seperti itu akan selalu muncul saat mencoba melihat kerajaan Jawa, sebagai konsep lama yang mengacu pada masa kekuasaan dinasti Mataram, meskipun sejak tahun 1755 Mataram telah terbagi dua (Mari, 1995). Kraton Surakarta telah melahirkan para raja yang aktif sekali dalam mengembangkan sastra dan budaya. Bahkan raja sendiri terjun langsung dalam dunia karang mengarang, sehingga para raja ini mendapat julukan satria pinandhita. Para raja Surakarta sungguh ahli dan produktif dalam menyebarkan gagasannya lewat karya sastra yang bermutu tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Bratadiningrat, 1990, Asalsilah Warna Warni, Surakarta. Chamamah Soeratno, 1992, Hikayat Iskandar Zulkarnaen, Jakarta : Djambatan. Darsiti Soeratman, 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830 1939. Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana UGM. Graaf, 1984. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafiti Pers. Mari S Condronegoro, 1996, Busana Gaya Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Andi Offset. Meinsma, 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. SGravenhage Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius. Paku Buwana IV. 1925. Serat Wulangreh. Kediri: Tresna. Poerbatjaraka, 1964. Kapustakan Jawi, Jakarta : Djambatan. Ricklefs, 1995. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soemarsaid Moertono, 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sudewa, 1995. Dari Kartasura ke Surakarta, Studi Kasus Serat Iskandar. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia.

281

SEMBAH CATUR DALAM SERAT WEDHATAMA MERUPAKAN DASAR PERILAKU BERBANGSA DAN BERNEGARA
Turita Indah Setyani Universitas Indonesia, Jakarta
Pendahuluan angsa dan negara merupakan kelompok masyarakat tertentu dan batas wilayah yang memiliki kekhasan budaya sebagai wujud identitas kebudayaannya. Perwujudan tersebut dapat terlihat dari perilaku yang terimplementasi dalam segala tindakan dan pemikiran masyarakatnya. Tindakan dan pemikiran masyarakat merepresentasikan nilai-nilai budaya yang melingkupinya. Nilainilai budaya yang paling umum bagi suatu bangsa dan negara terkait dengan nilai etis, estetis, dan religius. Representasi nilai-nilai tersebut tertuang dalam berbagai segi kehidupan dan bentuk karya-karya seninya, antara lain karya tulis, karya lukis, dan seni tari. Oleh karena itu, untuk mengetahui bahwa suatu bangsa dan negara memiliki nilai-nilai tinggi (adiluhung) dan memiliki keberadaban, dapat dilihat dari perilaku sehari-hari dan pemikiran masyarakat yang terimplementasi dalam bentuk-bentuk karyanya. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa memiliki karakter budaya dengan nilai-nilai keadiluhungannya. Karakter tersebut terwujud dalam perilaku bangsanya disertai peninggalan karya-karya seni yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Salah satu wujud budaya yang membudaya dan dibudayakan dalam masyarakat di Nusantara adalah perilaku sembah. Secara etimologi, arti kata sembah dalam KBBI jilid tiga (2008: ) merupakan pernyataan hormat dan khidmat (dinyatakan dengan cara menangkupkan kedua belah tangan atau menyusun jari sepuluh, lalu mengangkatnya hingga ke bawah dagu atau dengan menyentuhkan ibu jari ke hidung). Misalnya mengangkat sembah berarti menghormat dengan sembah. Selain itu, kata sembah atau perkataan sembah ditujukan kepada orang yang dimuliakan, contohnya: demikianlah sembah Hang Tuah; berdatang sembah yang berartidatang seraya berkata dengan hormatnya; sembah simpuh: hormat dengan penuh takzim; sembah sujud: hormat dan khidmat atau memberi penghormatan; sembah sungkem: perlakuan sembah seraya

282

bersujud, misalnyaia melakukan sembah sungkem sambil menangis di hadapan orang tuanya, dan seterusnya. Implementasi perilaku sembah tersebut sudah terlihat dalam wujud realitas kehidupan masyarakat di Nusantara, antara lain sebagai berikut: sikap saling hormat menghormati dan harga menghargai, sikap saling mencintai sesama manusia, mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan, sikap saling tenggang rasa dan tepa selira, bekerjasama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama dengan semangat kekeluargaan, membina kerukunan beragama, membela kebenaran dan keadilan, mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan, mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa, serta sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara apabila diperlukan. Secara keseluruhan sikap-sikap dan nilai-nilai tersebut telah meresap di lubuk sanubari masyarakat Indonesia, sehingga terwujud dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perwujudan tersebut tentunya tidak sekonyong-konyong dapat terjadi apabila tidak ditanamkan sejak kelahiran seorang anak manusia. Penanaman sikap dan nilainilai adiluhung yang teresapkan itu membutuhkan proses panjang yang secara tidak langsung telah mentradisi dalam kehidupan di bumi Nusantara, khususnya Jawa. Dalam kehidupan masyarakat Jawa dikenal konsep Manunggaling Kawula Gusti dan Kasampurnaning Urip. Konsep tersebut saling berkait erat sebagai tujuan hidup manusia Jawa, yaitu kesempurnaan, di mana akan terjelma sifat ilalhi, dengan tercapainya Manunggaling kawula-Gusti, maka pertentangan baik-buruk akan diatasi dengan peningkatan kesadaran, yang disebut kadewasan jiwa kedewasaan jiwa manusia. (Ciptoprawiro, Abdullah. Filsafat Jawa. 1980: 26) Pencapaian kesempurnaan dalam pandangan hidup Jawa tercermin pada keseimbangan hidup di berbagai segi kehidupan, baik manusia (mikrokosmos) maupun alam semesta (makrokosmos). Keseimbangan tersebut merupakan tolok ukur sebagai dasar tindakan manusia yang telah manunggal, yaitu kemanunggalan/satu kesatuan antara

283

mikrokosmos dan makrokosmos dari suatu keseluruhan yang saling mempengaruhi. Zoetmulder (1983: 268-269) menyatakan bahwa:

Satu kesatuan alam semesta dan semua makhluk di dalamnya dengan segala bentuknya selalu dipandang sebagai manifestasi dari Yang Mutlak dan sebagai representasi sebuah kesempurnaan. Alam tidak hanya dapat dipersonifikasikan dengan sifat-sifat dan bentuk-bentuk manusiawi, akan tetapi juga memberi reaksi dengan cara manusiawi, turut ambil bagian dalam perasaan manusia yang bergerak di tengahtengah alam itu (Setyani, 2011: 6).

Oleh karena itu segala tindakan yang dilakukan manusia Jawa merepresentasikan keadaan batin mereka secara individu sebagai konsentrasi diri untuk menuju kesempurnaan. Salah satu cara penyempurnaan dalam kehidupan manusia Jawa diajarkan oleh para leluhurnya, baik langsung maupun tidak langsung. Karya sastra merupakan wahana penyampaian ajaran secara tidak langsung. Serat Wedhatama memberikan gambaran manusia mencapai kehidupan sempurna, yaitu dengan menjalankan sembah catur. Arti kata sembah dalam bahasa Jawa Kuno, yaitu menghormati, menyayangi, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri. Dengan kata lain, sembah catur merupakan ajaran yang disampaikan agar manusia dapat mencapai kesempurnaannya. Pada larik-larik tembang pucung pupuh tiga dari Serat Wedhatama ditegaskan bahwa:
Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese dur angkara.

Tembang tersebut bermakna bahwa ilmu atau pengetahuan yang dimiliki dapat bermanfaat apabila dijalankan, tidak sekadar diketahui, dipahami, atau dihayati. Hal itu dapat terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari dan senantiasa merupakan tindakan yang mengalir dalam setiap sendi untuk dilangkahkan. Bagi setiap manusia yang memiliki tujuan hidup mencapai kesempurnaan, akan bertindak untuk kepentingan masyarakat atau lingkungan, bahkan lebih luas bagi bangsa dan negara dengan caranya masing-masing. Dalam masyarakat Jawa dikenal konsep memayu hayuning bawana. Budya Pradipta (2004: v) mengemukakan terjemahan bebas memayu hayuning bawana yaitu mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia. Konsep tersebut dapat dilaksanakan oleh setiap manusia yang memiliki jiwa berbangsa dan bernegara di dalam dirinya. Hal itu dapat terlaksana apabila manusia menyadari

284

dan memahami dengan bersungguh-sungguh bahwa ilmu (hakikat) di mana pun keberadaannya tidak berbeda, seperti terungkap dalam pupuh pucung bait 8 beriktu:
Nora weruh rosing rasa kang rinuruh lumeketing angga anggere padha marsudi kana kene kaanane nora beda

Terjemahan:
Tidak mengetahui, inti ilmu (hakekat) yang dicari, sesungguhnya ada di dalam diri, asalkan mau berusaha, sana sini keadaan (ilmu)-nya tidak berbeda.

Dengan kata lain, segalanya berawal dari dalam diri manusia pribadi sebagai mikrokosmos yang kemudian memancar keluar (makrokosmos) hingga terjadi hubungan timbal balik di antara keduanya (satu kesatuan). Kesempurnaan ilmu (hakikat) dalam Serat Wedhatama dapat dilaksanakan dengan menjalankan sembah catur atau empat sembah. Sembah catur disebutkan pada pupuh keempat, tembang gambuh, bait pertama dengan tuturan larik-lariknya sebagai berikut:
Samengko ingsun tutur, sembah catur supaya lumuntur, dhihin raga cipta jiwa rasa kaki, ing kono lamun tinemu, tandha nugrahaning Manon.

Saya sampaikan sekarang, empat jenis sembah supaya dipahami, pertama raga, (selanjutnya) cipta, jiwa, (dan) rasa anakku, di situ hanya ditemukan, tanda-tanda anugerah dari Yang Maha Mengetahui.

Terjemahan:

Keempat jenis sembah (sembah catur) itu diharapkan dapat dipahami oleh kaum muda (tersirat dari kata anakku), dan dinyatakan pula bahwa sembah catur merupakan jalan untuk memperoleh anugerah dari Hyang Manon (Yang Maha Mengetahui). Penulis Serat Wedhatama seolah berharap bahwa keempat sembah tersebut dapat dijadikan sebagai pijakan perilaku dalam berkehidupan, terutama bagi kaum muda. Pada larik-larik berikutnya, keempat sembah tersebut dijabarkan secara rinci bagaimana seharusnya pelaksanaan sembah catur menjadi satu kesatuan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.

285

Maknawi Sembah Catur Masing-masing sembah catur tersebut apabila dipandang dalam sebuah tataran laku, merupakan tingkatan perjalanan pengenalan diri manusia secara pribadi (pakartine wong amagang laku). Tingkatan laku dalam wujud realitas sembah raga sebagai tingkat perjalan awal adalah membersihkan diri dengan menggunakan sarana air (Susucine asarana saking warih; gambuh: bait 2). Raga merupakan jasad yang senantiasa harus dijaga dan dirawat demi kesehatannya (lahir maupun batin) sehingga dapat bekerja dan melaksanakan tugas-tugasnya di dunia dengan baik. Apabila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan mencapai keberhasilan dan memperoleh anugerah watak pemimpin (sing sapa temen tinemu, nugraha geming kaprabon; gambuh: bait 10). Pada tingkatan berikutnya adalah sembah cipta atau sembah kalbu. Sembah ini masih berkaitan dengan jasad, namun bentuk penyucian yang dilakukan lebih pada kesadaran akan hawa nafsu atau keinginan jasad dan tidak lagi menggunakan air (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu; gambuh: bait 12). Dalam bekerja menyampaikan apa yang ada diciptanya dengan niat dan dilaksanakan dengan cermat, berhati-hati, tekun, serta ulet, tidak mudah tergoda, dan penuh kewaspadaan hingga menjadi watak dasar pribadi (pambukane tata titi ngati-ati, atetep telaten atul, tuladan marang waspaos; gambuh: bait 12). Apabila tingkatan ini dijalankan secara teratur dan berkesinambungan merupakan jalan menuju olah spiritual tingkat tinggi yang dimiliki seorang raja (yen lumintu uga dadi laku, laku agung kang kagungan Narapati; gambuh: bait 11). Sebab itu merupakan tujuan dari ajaran ilmu ini, agar dapat mengetahui dan mengenal terhadap yang mengasuh diri pribadinya, yaitu guru sejati (patitis tetesing kawruh, meruhi marang kang momong; gambuh: bait 11). Pembersihan diri pada tingkat sembah kalbu tersebut dengan menggunakan mata hati atau penglihatan sejati hingga mencapai tujuan dengan cara yang benar (mring jatining pandulu, panduk ing ndon dadalan satuhu; gambuh: bait 13). Pelaksanaan dilakukan dengan memusatkan perhatian atau konsentrasi tinggi terhadap gejala-gejala batin, sehingga rahasia alam dapat terkuak (lamun lugu legutaning reh maligi, lagehane tumalawung, wenganing alam kinaot; gambuh: bait 13). Bahkan jika tingkatan ini telah tercapai (yen wis kambah kadyeku; gambuh: bait 14), maka akan menemukan keadilan Tuhan Yang Maha Mengetahui (kono adile Hyang Manon; gambuh: bait 14). Berikutnya adalah sembah jiwa yang memiliki tingkatan lebih dalam dan terlepas dari urusan jasad. Dalam tataran ini manusia dapat

286

memahami hakikat kehidupan terhadap apa yang dilakukannya, bahwa kehidupan ini mengalir mengikuti/berselaras dengan alam semesta dan disebut sebagai ujung jalan spiritual (ingaranan pepuntoning laku; gambuh: bait 17). Segala sesuatu yang dilakukan dalam ketenangan, ketentraman, kedamain, kebahagiaan dengan kesungguhan batin dan cara menyucikan diri senantiasa selalu memiliki kewaspadaan dan kesadaran terhadap alam atau dunia abadi (kalakuwan tumrap kang bangsaning batin, sucine lan awas emut, mring alaming lama amot; gambuh: bait 17). Keberhasilan mencapai perjalanan sembah jiwa ini ditandai oleh pertemuan diri dengan pribadinya sebagai petunjuk (tarlen mung pribadinipun, kang katon tinonton kono; gambuh: bait 20). Gambaran petunjuk yang disampaikan adalah munculnya cahaya sejati sebagai energi penunjuk jalan yang akan membimbing atau menggerakkan akal budi (kono ana sejatining urub, yeku urub pangarep uriping budi; gambuh: bait 21). Di situlah letak dimensi kedalaman hati yang menguakan rahasia penyatuan kekuasaan (kuasa-menguasai) alam semesta dalam diri pribadi ditandai oleh cahaya bagaikan bintang yang bersinar terang (yeku wenganing kalbu, kabukane kang wengku winengku, wewengkone wis kawengku neng sireki, nging sira uga kawengku, mring kang pindha kartika byor; gambuh: bait 22). Petunujuk tersebut memberikan gambaran bahwa keselarasan mikrokosmos dan makrokosmos senantiasa menjadikan diri tersamar dalam wujud jasad yang membalutnya. Akan tetapi jiwa menuntun keadaan dan keberadaan jasad dalam satu kesatuan yang mandiri, sehingga mempengaruhi perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Pada tingkatan keempat, sembah rasa merupakan tataran tertinggi atau yang terdalam atau halus. Rasa menempati kesadaran hakiki di luar jasad diri dan berada pada inti diri yang terdalam/tertinggi. Perjalanan yang dilaksanakan tidak membutuhkan petunjuk (dadine wis tanpa tuduh: gambuh: bait 23), karena telah menyatu dengan rasa hidup atau manunggal dalam satu wujud Tuhan yang terhampar di alam semesta (rasaning urip iku, krana momor pamoring sawujud, wujudollah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kalawan madu, gambuh: bait 29). Apabila telah memahami dan menghayati gambaran itu, mengerti sabdaNya, segala hakikat kehidupan menjadi tampak nyata baik lahir maupun batin (yen wis bisa nuksmeng pasang semu, pasamoaning hebing kang Mahasuci, kasat mata lair batos; gambuh: 30). Pencapaian tersebut memunculkan tindakan apa adanya, segala yang dijalani adalah merupakan kehendak Allah/kersaning Gusti, sehingga manusia hanya

287

sekadar mensyukuri. Ciri orang yang sudah mencapai tataran sembah rasa ini antara lain: Memiliki rasa kasih yang dalam dan dapat menyesuaikan sikap berdasarkan saat dan tempat yang tepat (widadaning budi sadu, pandak panduking liru nggon; gambuh: bait 31). Berkata benar dan tepat, karena ucapannya bukanlah sepenuhnya atas kehendak diri pribadinya (ing kono yekti karasa, dudu ucape pribadi; kinanthi: 5). Tidak suka omong kosong dan mencampuri urusan orang lain (tan dahwen pati-openan; kinanthi: bait 12). Tidak suka iri hati dan berbuat jahil (tan panasten nora jail; kinanthi: bait 12). Memiliki sikap yang tenang untuk mencapai keheningan jiwa (among eneng mamrih ening; kinanthi: bait 12). Terkenal memiliki budi pekerti luhur dan pandai menyesuaikan diri (kaunang ing budi luhur, bangkit ajur-ajer; kinanthi: bait 13) Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV tersebut sebagai ajaran menyampaikan sembah catur yang masih sangat relevan hingga saat ini. Bagi yang telah diberi dan melaksanakan ajaran tersebut akan menjadi manusia utama (supadya dadya utami; kinanthi: bait 2), mampu melenyapkan segala rintangan (pasah wukir reksamuka, kekes srabedaning budi; kinanthi, bait 3), bahkan apabila senantiasa dapat menjaga kesadaran laku sembah catur semakin bertambah anugerah sabda dari Yang Maha Suci (yen yuwana ing salami, marga wimbuhing nugraha, saking Heb Kang Maha Suci; kinanthi: bait 15). Dengan kata lain, seseorang yang sudah menguasai sembah catur, ia dapat memanusiakan diri pribadinya. Secara tidak langsung dalam berkehidupan ia mengimplementasikannya sebagai dasar perilaku berbangsa dan bernegara. Sesungguhnya keempat jenis sembah tersebut telah dilakukan dalam wujud realitas kehidupan sehari-hari di berbagai daerah di Nusantara sesuai dengan kebudayaan yang melingkupinya. Budaya dari suatu negeri melambangkan suatu bangsa. Keberadaban bangsa dapat terlihat dari aplikasi budaya yang terdapat dalam kehidupan masyarakatnya. Tindakan sembah sebagai salah satu yang mewujudkan nilai-nilai etis, estetis, sekaligus religius itu merepresentasikan budaya setempat. Baik dalam ritual keagamaan, praktik-praktik laku, bentukbentuk kesenian (terutama tari-tarian) maupun sikap dan perilaku dalam berkehidupan, Berikut dapat terlihat implementasinya dalam

288

wujud realitas tersebut. Implementasi Sembah Catur Dalam Wujud Realitas Dalam ritual keagamaan di berbagai daerah Nusantara tindakan sembah merupakan perilaku inti dan paling diutamakan. Dua contoh yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini yaitu perilaku sembah umat Hindu di Bali dengan panca sembah-nya dan istilah munjung dalam konsep sembah di Jawa Barat. Ritual sembah bagi umat Hindu di Bali diuraikan dalam lontar Panca Sembah yang dilaksanakan sebagai tradisi sembah yang terdiri dari lima jenis sembah, yaitu sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra, ke dewa dan Hyang Widhi. Menyembah bhuta atau alam semesta dengan cara tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu berarti untuk mencurahkan kasih sayang pada alam untuk menjaga kelestariannya. Menyembah sesama atau pitra, mencakupkan tangan di dada. Sembah seperti itu adalah untuk menghormati sesama manusia. Menyembah

289

dewa tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas mata. Hanya menyembah Tuhanlah tangan dikatupkan dengan sikap anjali di atas ubun-ubun. Ini artinya hanya menyembah Tuhanlah kita serahkan diri secara bulat dan satukan diri sepenuh hati. Tradisi perilaku panca sembah merupakan bagian dari serangkaian upacara di Bali yang dimaksudkan untuk memberi pemujaan sesuai dengan jenis tindakan sembah yang dilakukan. Tidak berbeda jauh dengan tindakan sembah munjung. Hanya saja munjung secara khusus dilakukan sebagai rasa penghormatan. Secara etimologis kata Munjung mengandung arti menjunjung atau meninggikan derajat atau penghormatan sangat tinggi. Sikap munjung adalah cara atau tata-krama menghaturkan hormat bangsa Nusantara kepada sesuatu yang dituju, yaitu dengan cara merapatkan kedua telapak tangan di depan wajah. Sikap ini merupakan ungkapan rasa hormat yang sangat tinggi. Dalam suatu acara perhelatan sikap munjung selalu digunakan sebagai pembuka dan penutup sebagai rasa penghormatan (menyembah). Jadi, bangsa Nusantara tidak melakukan sembah dengan cara bersujud. Menghormat dan menjunjung tinggi dengan sikap munjung merupakan bentuk penghormatan yang sangat dalam dan agung. Dalam konsep Jawa, sembahan jengkeng kepada Sultan sebagai penguasa keraton dimaksudkan untuk menghormati dan tunduk takluk atas kekuasaannya. Perilaku munjungan secara umum masih dilakukan oleh hampir seluruh bangsa Indonesia yang masih memegang adab tata-krama (sopan-santun), sepertimunjungkepada orang yang dituakan ataupun kepada orang tua sendiri. Selain itu sikap munjungan juga digunakan bagi penghormatan kepada para leluhur yang sudah meninggal dunia dan kepada para Hyang serta Yang Maha Kuasa1. Selain itu, tindakan sembah pun sering terlihat pada pertunjukanpertunjukan seni tari dari berbagai daerah, Jawa dan Lampung misalnya. Dalam tarian Bedhaya Ketawang, posisisembahandimaksudkan untuk melambangkan bahwa manusia harus menghormati Tuhan sebagai Sang Pencipta. Di Provinsi Lampung, salah satu jenis tarian yang terkenal adalahTari Sembahatau disebut pulaSigeh Penguten. Oleh masyarakat lampung, ritual tari sembah biasanya diadakan untuk menyambut dan memberikan penghormatan kepada para tamu atau undangan yang
1 http://cahyadiargo.tumblr.com/post/1081307117/cara-menghormat-bangsa-nusantara

290

datang pada acara begawi (hajatan adat), seminar, kunjungan tokoh masyarakat, dan lain-lain. Akan tetapi saat ini tari Sigeh Penguten sudah seperti tarian wajib di berbagai acara sebagai tarian ritual penyambutan. Selain sebagai ritual penyambutan, tari sembah pun kerap kali dilaksanakan dalam upacara adat pernikahan masyarakat Lampung. Selain itu juga untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan. Dianggap pula sebagai pemersatu antara Lampung Pepadun dan Lampung Peminggir (Pesisir) untuk mengokohkan identitas Provinsi Lampung2. Dengan demikian tindakan sembah sudah menjadi tradisi yang dilaksanakan di berbagai daerah di Nusantara. Perilaku tersebut memuat nilai-nilai etis, estetis, dan religius yang terangkum dalam nilai-nilai sosial. Bahkan hingga saat ini perilaku sembah merupakan sikap yang senantiasa dijaga, dipertahankan, dan dilestarikan. Secara tidak langsung tindakan tersebut menjadi ciri perilaku berbangsa dan bernegara bagi masyarakat Indonesia. Manfaat lebih dalam terjelaskan dari ajaran sembah catur yang termuat dalam Serat Wedhatama. Bagi yang telah menguasai ajaran tersebut dan berhasil melaksanakan dengan penuh kesadaran secara berkesinambungan dalam kehidupannya sehari-hari, ia merupakan manusia yang memiliki dasar perilaku berbangsa dan bernegara, khususnya Indonesia. Kesimpulan Sembah Catur merupakan ajaran yang disampaikan kepada kaum muda agar senantiasa menguasai ilmu (hakikat) sebagai bekal dalam kesempurnaan hidupnya. Bagi masyarakat Jawa, kesempurnaan hidup merupakan keseimbangan antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta) dalam hubungan keilahian. Manusia yang menguasai sembah catur dapat menjadi teladan yang memanifestasikan diri pribadi untuk memancarkan cahaya Ketuhanan sebagai inti ilahiah. Oleh sebab itu, ajaran sembah catur dapat dijadikan pedoman dan pengamalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa Sembah Catur dalam Serat Wedhatama apabila dipelajari, dipahami, dihayati secara mendalam dapat diamalkan, bahkan dijadikan sebagai pedoman dasar perilaku atau tindakan manusia berbangsa dan bernegara, khususnya bangsa dan negara Indonesia.

2 Sinar Harapan, sabtu, 20 November 2010

291

DAFTAR PUSTAKA
Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Fatchurrohman. 2003. KGPAA Mangkunagara IV, Wedhatama dan Tafsir Terjemahan. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra. Setyani, Turita Indah. 2011. Tantu Panggelaran Representasi Ruang Simbolik Dalam Konsep Kesempurnaan Dunia Jawa. Tesis. Program Studi Ilmu Susastra, FIB UI. Setyodarmodjo, Soenarko dkk. 2007. Menggali Filsafat dan Budaya Jawa. Jakarta: Prestasi Pustaka. Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafati tetang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia. Zaehner, R.C. 2004. Mistisisme Hindu Muslim. Terjemahan dari Hindu and Musllim Mysticism. Penerjemah: Suhadi. Yogyakarta: LKiS. Zoetmulder, PJ. 1983. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.

292

KEARIFAN LOKAL DALAM UPACARA TUK SI BEDUG MEMBENTUK KARAKTER MASYARAKAT MRANGGEN, SLEMAN
Suwarna Universitas Negeri Yogyakarta
1. Pendahuluan enjadi pusat kebudayaan terkemuka pada tahun 2020 merupakan visi kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Sri Suwito, 2008). Visi ini sangat tepat karena Yogyakarata memiliki unggulan yang dapat menjadi icon yakni keunggulan budaya. Itulah sebabnya Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya, selain sebutan lainnya seperti kota pelajar dan perjuangan. Para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara telah mengenal bahwa Yogyakarta memiliki kebudayaan yang unik dan menarik untuk menjadi tujuan wisata. Namun patut disayangkan tujuan wisata tersebut masih terpusat di kota Yogyakarta, baik haritage yang bersifat tengible maupun intangible padahal masih banyak potensi lokal (di luar kota Yogyakarta) yang potensial. Oleh karena itu, perlu digali dan dikajikembangkan berbagai potensi lokal lainnya yangberada di luar perkotaan Yogyakarta. Akibatnya perputaran berbagai hal yang terkait dengan wisata (ekonomi, income, PAD (Pendapatan Asli Daerah) hanya terpusat di kota dan kurang menjangkau daerah-daerah yang memiliki potensi seni budaya yang layak atau patut menjadi aset wisata di Yogyakarta. Selain itu tujuan wisata terpusat pada icon-icon besar saja seperti Malioboro, Kraton, pantai, kerajinan perak, kerajinan baik, dan sebagainya. Potensi seni dan budaya (baik tangible dan intangible) belum tergarap dengan baik. Potensi wisata di luar perkotaan Yogyakarta banyak tersebar di empat kabupaten lainnya, salah satunya adalah Kabupaten Sleman. Banyak potensi wisata di Kabupaten Sleman yang dapat bertahan hingga kini dari ratusan tahun silam, yakni zaman Demak. Berbagai upacara tradisi masih lestari. Suatu tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun dan bertahan hingga kini dipastikan memiliki keunggulan sehingga dapat bertahan hingga kini. Walaupun zaman sudah maju dan canggih, namun tradisi lokal masih tetap bertahan. Gempuran zaman, desakan globalisasi tidak mengikis kearifan lokal

293

yang diyakini oleh masyarakat pendukung tradisi. Salah satu upacara tradisi di Kabupaten Sleman adalah upacara tradisi Tuk si Bedug. Upacara tradisi Tuk si Bedug berada di Desa Mranggen, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.Upacara selalu diakhiridengan puncak acara Jumat Kliwon.Jumat pada setiap tahunnya berkisar antara bulan Juni akhir hingga awal Juni. Ada berbagai acara pada setiap upacara tradisi, yakniacara hiburan seperti pasar malam yang berlangsung minimal dua minggu sebelum pelaksanaan upacara Tuk si Bedug, kesenian seperti ketoprak, karawitan, wayang kulit, macapatan, kubrasiswa, angguk (jatilan wanita), dan kesenian lainnya seperti drama, teater, pentas tari, dan kirab yang diakhiri dengan fragmen terjadinya Tuk si Bedug. Ini merupakan agenda rutin setiap tahun di antara bulan Juni-Juli.Upacara tradisi yang dilasanakan secara turuntemurun ini cenderung semakin berkembang dari berbagai segi seperti performansi, agenda acara, penonton selalu bertambah, berbagai stand kuliner, bahkan sandang, pangan, hingga stand motor.
Kirab Kanjeng Sunan Kalijaga (Koleksi KKN PPM UNY)

2. Kearifan Lokal Upacara Tuk Si Bedug 2.1 Cerita Tuk si Bedug Upacara tradisi Tuk si Bedug bermula dari cerita Sunan Kalijaga. Dikisahkan Sunan Kalijaga berdakwah hingga di suatu wilayah yang disebut Desa Mranggen. Pada saat akan melaksanakan sholat dhuhur tidak ada air. Kemudian dengan izin Allah, Sunan Kalijaga menancapkan tongkatkan dan keluarlah air dari tancapan tongkat tersebut. Karena kejadian itu pas tengah hari (bedhug: Jawa), tempat keluarnya air disebut Tuk si Bedug atau mataair yang keluar pada saat tengah hari. Air itu digunakan untuk wudlu sholat dhuhur. Suatu hari Sunan Kalijaga memotong kuku dan menyisir rambut. Saat menyisir rambut banyak rambut yang rontok.Sunan Kalijaga terhegar hati mengapa banyak rambut yang rontok. Tangan yang memegang rambut pun gemetar (nggregeli: Jawa) sehingga rambut

294

pada jatuh. Oleh muridnya yang bernama Bagus Mukmin, rambut dan potongan kuku dikubur untuk menghormati sang guru. Tempat menguburkan rambut dan kuku tersebut sekarang masih terpelihara dengan nama petilasan Ketandhan. Lokasi mataair pun samih terhaga hingga sekarang dan didirikan masjid di Dusun Mranggen tersebut. Hingga kini peristiwa tersebut dikenang dengan pelaksanaan upacara Tuk si Bedug. 2.2 Kearifan Religi Cerita Tuk si Bedug yang berakar dan berawal dari syiar agama Islam yang dilakukan oleh wali yang paling tersohor di Tanah Jawa (Sunan Kalijaga) hingga kini masih tetap terpelihara, baik dari segi cerita religi maupun dalam pelaksanaan kegiatan relegius, yakni beribadah agama Islam. Agama yang telah tertanam pada jiwa penganutnya tidak mudah tergoyahkan seperti pepatah lekang kena panas, tak mudah luntur kena hujan.Kearifan agama ini telah merasuk ke hati sanubari pada warga Desa Mranggen Sleman dan menjadi dasar perilaku religius dalam kehidupan beragama dan kehidupan sehari-hari.Upacara Tuk Si Bedug dipastikan dilaksankaan pada hari Jumat Kliwon memiliki religi sinkretis.Religi ditandai dengan hari Jumat.Hari Jumat menurut orang Islam merupakan hari terbaik. Sinkretis ditengarai oleh hari pasaran kliwon.Pasaran kliwon apabila jatuh pada hari Jumat atau Selasa sehingga menjadi Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon merupakan hari yang istimewa bagi masyarakat Jawa.hari itu dipercaya memiliki tuah, hari yang gawat (wingit), hari yang memiliki daya magis, dan hari untuk mencari keberuntungan, dan sebagainya. Berbagai seni yang ditampilkan pada upacara tradisi Tuk Si Bedug yaknikesenian seperti ketoprak, karawitan, wayang kulit, macapatan, kubrasiswa, angguk (jatilan wanita), dan kesenian lainnya seperti drama, teater, pentas tari, dan kirab yang diakhiri dengan fragmen terjadinya Tuk si Bedug.Kesenian ini berlangsung beberapa hari (kurang lebih 5 hari hingga kirab tekahir). 2.3 Kearifan Estetis Secara filosofi seni adalah keindahan.Seni yang ditampilan dalam upacara Tuk si Bedug memiliki berbagai keindahan. Keindahan itu antara lain (1) keindahan cerita dari segi alur, masalah, klimak, dan antiklimak, (2) keindahan busananya, (3) keindahan penampilannya (seni panggung), (4) keindahan suara, baik musik pengiring maupun suara lagu dari para pemain/tokohnya (seni suara), dan (5) keindahan

295

seni rupa tatah sungging (seperti wayang).

Pagelaran wayang kulit

2.4 Karifan Dedaktis Kearifan juga terdapat dalam ajaran (dedaktis) pada setiap rangkaian upacara. yang terdapat di dalamnya, baik yang berada dalam cerita ketoprak, wayang kulit, macapatan, tarian kubrasiswa, angguk, jatilan, drama, teater, tari, dan kirab. Ajaran baik pasti dapat mengalahkan yang buruk suradira jayaningrat lebur dening pangastutiterdapat dalam ketoprak, wayang, drama, teater. Berbagai ajaran kehidupan agama, rumah tangga, bermasyarakat, pemerintahan, polittik, terdapat dalam berbagai buku yang digunakan dalam macapatan.Tari kubrasiswa (bernafaskan Islam) dan angguk sesungguh tari latihan persiapan perang pada zaman penjajahan.Agar latihan itu tidak dilarang oleh penjajah, maka perlu dikemas secara tersembunyi dalam bentuk tarian.Sekarang tari ini murni berperformansi seni. Seni drama dan teater berisi tentang ajaran untuk kawula muda, dengan berbagai cerita seperti tema anti narkoba, antipergaulan bebas, marih cita-cita tinggi, tidak pernah putus asa, membangun desa, dan sebagainya. 2.5 Kearifan terhadap alam Dalam upacara kirab, kirabkan gunungan yang berisi berbagai hasil bumi seperti buah-buahan, kacang-kacangan, berbagai hasil panen mentimun, wortel, ketela, gembili, ubi, buah-buahan, jajan pasar dan sebagainya. Jumlah gunungan tidak ditentukan tergantung dari hasil panen.Kirab terbesar terjadi tahun 2009 dengan didukung 17 kelompok kirab dari desa-desa yangberada di Kecamatan Seyegan Sleman. Ini merupakan keberhasilan mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (penulis sebagai pembimbingnya/dosen pembimbing lapangan/DPL) ketika KKN di wilayah Kecamatan Seyegan.Gubungan dipikul dan diarak sepanjang jalan dan berakhir di temapt fragmen penancapan tongkat Sunan Kalijaga. Berbagai hasil bumi merupakan refleksi agar manusia dapat menghargai dan mengolah alam sehingga dapat menghasilkan bahan

296

Gunungan dan Kirab Tuk si Bedug (Koleksi KKN PPM UNY) makanan yang bermanfaat bagi manusia itu sendiri.Semakin manusia dapat bekerjasama dengan alam semakin baik alam dengan manusia, yakni dengan memberikan berbagai manfaat bahan sandang dan pangan.Selain itu kirab berbagai hasil bumi juga merupakan tanda syukur kepada Tuhan atas karunia-Nya. 2.6 Kearifan Pengabdian kepada Kraton Setiap kirab busana peserta kirab senantiasa berkiblat pada busana kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.Ini adalah wujud kesetiaan, pengabdian, dan kepatuhan rakyat Yogyakarta kepada Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.Aura dan kewibawaan raja masih kental bagi warga desa di wilayah Yogyakarta. Banyak warga yang menjadi abdi dalem kraton dengan setia.Sebagai abdi dalem hanya berharap atas berkah kewibawaan sultan, tidak berharap atas imbalan. Kirab tidak hanya terdiri prajurit kraton, tetapi juga para gadis, ibuibu petani dengan membawa berbagai hasil panenan.

297

Mahasiswa KKN menjadi pemimpin kirab

Kirab busana prajurit

2.7 Kreativitas Walaupun setiap tahuan upacara Tuk si Bedug dilaksanakan dengan acara rekatif sama, namun setiap tahun muatannya selalu berganti atau baru. Jika tidak diperbaharui, tidak mungkin akan lestari hingga ratusan tahun. Jika tidak diperbaharui setip tampilan, orang pasti akan bosan. Di sinilah seni kreasi dari pada seniman dan panitia penyelenggara.Contoh tahun 2009 masyarakat bersama dengan mahasiswa UNY membuat lakon ketoprak yang menceriterakan terjadinya Tuk si Bedug.Lakon ini telah dibukukan dan menjadi salah satu kekayaan lakon.Sebelumnya tidak ada karena tidak ada yang membuat lakon tersebut. Tahun-tahun sebelumnya pentas ketoprak senantiasa melakonkan lakon-lakon umum seperti Minakjingga, Hariya Penangsang, Jaka Umbaran, Sultan Agung, Pangeran Sambernyawa, dan lakon-lakon carangan (kreasi baru) lainnya.

2.8 Kearifan Ekonomis Sebelum upacara utama kirab dan penancapan tongkat berlangsung, telah ada pasar malam hiburan rakyat. Selain itu tradisi Tuk si bedug juga berlangsung selama rata-rata lima hari. Selama pelaksanaan tersebut geliat ekonomi begitu tampak, baik para penjual kuliner, hasil bumi, sandang, bahkan berbagai dealer motor pun ikut berjualan (mamasang stand).Dengan demikian perputaran ekonomi dapat terjadi. Para penduduk setempat jug dapat memanfaatkan situasi tersebut untuk menciptakan keuntungan. Banyak wisatawan yang berkunjung sehingga memacu usaha barang-barang kebutuhan primer maupun sekunder.

298

2.9 Potensi Wisata Upacara Tuk si Bedug merupakan salah satu agenda wisata di Kabupaten Sleman.Upacara ini juga menjadi binaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman.Binaan ini cukup berhasil.Menurut Baskara Aji (Kabid Kebudayaan Sleman) pelaksanaan upacara Tuk si Bedug selalu meningkat dari tahun ke tahun, baik dari segi materi upacara, pengunjung, geliat ekonomi, maupun kualitas penampilan. Hal ini menjadi daya tarik wisata di Kabupaten Sleman. Kondisi demikian membuat Disbudpar Sleman berani mem-publish-kan upacara Tuk si Bedug ke dunia maya sehingga akan dikenal secara global. Potensi lokal dapat diangkat globalkan dengan berbagai pendekatan salah satunya teknologi informasi (Chang, 2010). Itulah ssebabnya mahasiswa KKN UNY berusaha mengembangkan web untuk Upacara Tuk si Bedug. Hanya saying oleh pemerintah yang terkait belum dapat dtindaklanjuti secara maksimal. 2.10 Kearifan Kultural Upacara Tuk si Bedug merupakan salah satu kekayaan budaya di Sleman.Kultural mengacu pada pengertian budaya.Budaya adalah semua hasil karya manusia (budi dan daya).Masyarakat Mranggen merupakan pemangku budaya upacara Tuk si Bedug. Tuk si Beduh merupakan seni tradisi yang perlu dilestarikan karena di dalamnya terdapat berbagai muatan karakter ataubudi pekerti seperti (a) kebersamaan mangan ora mangan ngumpul (oleh Paku Buwono IV) atau golog gilig (Sri Suwito, 2011), (b) kejujuran, (c) tanggung jawab, (d) kediplinan, (e) kepercayaan, (f) musyawarah, (g) berbagi bersama, (h) gotong royong gugur gunung. Hal tersebut sesuai denganklasifikasi Character Counts! Coalition ( a project of The Joseph Institute of Ethics) yang mengeluarkan The Six Pillars of Character, yakni (1) trustworthiness (keterpercayaan/dapat dipercaya) bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi: berintegritas, jujur, dan loyal, (2) fairness (kejujuran), bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain, (3) caring (kepedulian), bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar, (4) respect (menghormati), bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain, (5) citizenship (sadar hukum), bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam, dan (6) responsibility (bertanggung jawab), bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan

299

selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin. Tanggung jawab mengandung/mencakup muatan kelima pilar sebelumnya. Thomas Lickona (1991) merangkum ajaran karakter tersebut menjadi empat yakniknowledge, feeling, loving, dan acting. Berikut lirik Gugur Gunung salah satu kearifan lokal karakter orang Jawa pada umumnya yang dilakukan oleh masyarakat Mranggen, Sleman, Derah Ismiewa Yogyakarta.
GUGUR GUNUNG Ayo kanca, ayo kanca ngayahi karyaning praja, kene, kene, kene, kene gugur gunung tandang gawe, sayuk-sayuk rukun bebarengan ro kancane, lila lan legawa kanggo mulyaning negara, siji loro telu papat, maju papat-papat diulang-ulungake mesthi enggal rampunge, holobis kontul baris, holobis kontul baris, holobis kontul baris, holobis kontul baris, (Karya Ki Narto Sabdo) Mari kawan, mari kawan melaksanakan tugas, Mari, mari, mari, mari bergotong royong, Seia sekata bekerja bersama teman-teman, Iklas untuk kemuliaan Negara, Satu, dua, tiga, empat, Bekerja empat-empat secara berantai pasti segera selesai, holobis kontul baris, holobis kontul baris, holobis kontul baris, holobis kontul baris,

2.11 Kearifan Bahasa Pelaksanaan upacara Tuk si Bedug menggunakan bahasa Jawa krama sebagai pengantarnya. Dalam stratifikasi bahasa Jawa (unggahungguh basa Jawa), bahasa Jawa krama memiliki kelebihan, yakni (a) sangat menghargai mitra bicara, (b) mengandung honorifik (penghormatan), (c) memperhalus budi pekerti, (d) memiliki etika, (e) memiliki estetika. Telah dikatakan oleh Saphif Whorf bahwa bahasa mengemas budaya. Budaya akan dapat terekspresikan dan terlestarikan jika para masyarakat pendukungnya menggunakan bahasa itu dalam berbagai kepentingan komunikasi karena bahasa pengemas budaya (Rahardi, 2009). 3. Karakter Karena Kearifan Lokal Kearifan lokal belum tentu disadari dan dipahami oleh masyarakat Mranggen, Sleman, DIY karena mereka memang tidak mengerti dan memahami akan kearifan lokal yang terdapat pada upacara Tuk si Bedug. Mereka pun belum tentu ingin tahu dan ingin paham.Itu tidak

300

penting bagi mereka.Yang penting secara turun-temurun mereka melaksanakan upacara Tuk di Bedug.Kearifan lokal membentuk karakter warga Desa Mranggen merupakan suatu kunci (Dimermen, 2009) untuk melestarikan upacara tradisi Tuk si Bedug. Walaupun tidak menyadari dan memahami terhadap esensi kearifan lokal upacara Tuk si Bedug, tetapi mereka telah mengamalkan secara langsung (pragmatis). Pelaksanaan ini konsisten dan terus menerus sehingga membentuk kristalisasi kearifan lokal dalam jiwa pelaku. Terbentuknya jiwa kearifan lokal pun belum tentu disadari oleh masyarakat Mranggen.Itulah kehebatan masyarakat pragmatis.Mereka tidak membutuhkan teori, mereka telah langsung mempraktikkannya sehingga membentuk karakter dalam membela budayanya. Karakter bersifat abstrak (tidak dapat dilihat, datan kasat mripat). Karakter tampak dari perilakunya sebagai gejala jiwa/karakternya . Karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku. Hill (2002) berkata Character determines someones private thoughts and someones actions done. Good character is the inward motivation to do what is right, according to the highest standard of behaviour, in every situation. Karakter yang baik merupakan motivasi untuk berbuat baik, bersetuju terhadap perilaku berbudi luhur dalam setiap situasi.Karakter yang demikian menjadi suatu kebiasaan dalam bertindak atau berperilaku. Kebiasaan dan pembiasaan upacara Tuk si Bedug dengan berbagai acara, peristiwa, tugas, kehidupan bermasyarakat membentuk kristalisasi kearifan lokal. Mereka langsung mempraktikkan kearifan religius, estetika, etika, didaktis, ekonomis, pariwisata, kultural, kreattivitas, pengabdian pada kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan sebagainya secara konsisten, ikhlas, dan mulia. Kearifan lokal ini secara turun-temurun telah diturunkan oleh generasi sebelumnya ke generasi berikutnya.Teknik pewarisannya dengan melaksanakan aktivitas secara langsung.Ini cukup demokratis, tidak ada pemaksaan, tidak ada indoktrinasi, dan tidak ada pembelajaran.Yang ada infiltrasi budaya yang masuk secara perlahan ke generasi berikutnya. Tongkat estafet tersebut terbukti sangat efektif dan ampuh hingga upacara yang telah berlangsung ratusan tahun namun tetap lestari hingga kini. Ini implementasi semboyan yang dicetuskan oleh Pangeran Sambernyawa dari Kraton Surakarta rumangsa handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sarira,hangrasawani ikut merasa memiliki, ikut membela/mengkajikembangkan, introspeksi, dan bertanggung jawab atau filosofi orang Ngayogyakarta Hadiningrat greget, sengguh, ora mingkuh semangat, dengan cermat/ pertitungan, dan bertanggung jawab (Sri Suwito, 2011).

301

Alangkah lebih indahnya jika materi tradisi Tuk si Bedug yang bermuatan kearifan lokal juga menjadi bagian materi pada pembelajaran afektif sesuai dengan pendapat Leblanc dan Galava (2009). Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).KTSP ini peka lingkungan sehingga yang diajarkan memang kontekstual seseuai dengan lingkungan kehidupan siswa.Dapat pula dimasukkan di materi muatan lokal bahasa Jawa atau pelajaran seni budaya. 4. Penutup Masyarakat merupakan pemangku budaya.Kearifan lokalyang telah menyatu dengan karakter masyarakat pemangkunya dapat terus lestari dan berkembang.Kearifan lokal telah menyatu dengan kepribadiannya hingga membetuk suatu karakter.Karakter masyarakat ditentukan oleh interaksi individu dengan masyarakat budaya di sekelilingnya. Secara umum pelestarian kearifan lokal dilakukan secara infiltrasi konvensional, yakni dilakukan secara perlahan dengan langsung mempraktikkan (pragmatis) dan secara tradisi turun-temurun. DAFTAR PUSTAKA

Cheng, Yin Cheong. 2005. New Paradigm for Re-engineering Education. Dorddrecht: Springer. Dimermen, Sara. 2009. Character is The Key. Canada: Wiley. Hill, T.A., 2005. Character First! Kimray Inc., http://www.charactercities.org/ downloads/publications/Whatischaracter.pdf. Leblanc, Patrice R & Gallava, Nancy P. 2009.Affective Teacher Education. New York: Association of Teacher Educattors. Lickona, Tom; Schaps, Eric, & Lewis, Catgerine. 1998. Eleven Principles of Effective Character Education In Scholastic Early Childhood Today, Nov/Dec 1998., 13; 3; . ProQuest Eduation Journals pg 53-55. Rahardi, R. Kunjana. 2009. Bahasa prevoir Budaya. Yogyakarta: Pinus. Sri Suwito, Yuwono. 2008. Eksistensi dan Kinerja Dewan Kebudayaan Propinsi DIY. Yogyakarta: Disbudpar. _________. 2010. Tata Nilai Budaya Jawa Yogyakarta. Makalah Seminar Centre of Exellence Budaya Lokal. Yogyakarta: Hotel Shapir.

302

UPACARA NGALAKSA DI KABUPATEN SUMEDANG SEBUAH KEARIFAN LOKAL DARI TATAR SUNDA
Retty Isnendes Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Pendahuluan pacara adat yang hidup dan berkembang di tatar Sunda sangat banyak. Salah satunya adalah upacara yang menjadi ritual masyarakat Sunda di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang yang disebut dengan upacara Ngalaksa. Mengenai upacara ini, sudah lama diberitakan dan sudah banyak diinformasikan keberadaannya, tetapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, baru pada bulan Juli 2011 observasi dilaksanakan. Upacara Ngalaksa yang dilakukan bulan Juli 2011, dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut dari tanggal 4 s.d. 10 Juli 2011, sama seperti pelaksanaan pada tahun-tahun sebelumnya1. Upacara ini dilaksanakan dengan khidmat dan wajib diikuti oleh segenap lapisan masyarakat, terutama warga desa dan para keturunan dari leluhur yang berasal dan menetap di daerah tersebut. Pada waktu observasi, yang bertugas menampilkan seni tarawangsa dan mengiringi kegiatan upacara Ngalaksa adalah komunitas dari Desa Cikeusik Kecamatan Rancakalong. Ngalaksa dilaksanakan dengan maksud menghormati arwah leluhur yang telah berhasil mencari dan mempertahankan bibit padi, juga sebagai rasa syukur atas keselamatan dan rezeki yang dilimpahkan dalam kehidupan para petani. Menurut Kartikasari, dkk (1991:22), ngalaksa adalah: 1) ada hubungannya dengan perubahan cara bertani dari sistem perladangan pada sistem pertanian di sawah, sekaligus mengembangkan sistem perairan dan sawah-sawah berteras, 2) pengungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada tuhan YME melalui Dewi Sri (Dewi Padi) yang telah melimpahkan kesuburan dan keberhasilan panen pada penduduk. Upacara itu sekaligus sebagai prasarana pemuas keinginan berkomunikasi manusia dengan khalik yang dipuja sebagai kekuatan adikodrati tertinggi.

1 Wawancara dengan Apa Sukarma, 04 Juli 2011 jam 21.00 di rumahnya di Desa rancakalong Kecamatan Rancakalong.

303

Upacara Ngalaksa yang sebelumnya dilaksanakan tiga atau empat tahun sekali (Kartikasari, dkk, 1991:22), sekarang dilaksanakan satu tahun sekali (Nugraha, 2010)2. Hal ini berhubungan dengan pengelolaan pemerintah Kabupaten Sumedang, dibawah Bupati H. Yon Murdono yang menjadikan Ngalaksa sebagai aset perintah daerah dalam hal kepariwisataan yang bisa mendatangkan devisa. Upacara tradisional yang dilaksanakan setelah panen ini, diwujudkan dalam budaya yang nampak yaitu berupa pembuatan laksa3 oleh kaum wanita dan dibantu oleh kaum laki-laki dari daerah yang bersangkutan. Upacara ini memang sangat menarik bila dilihat dari segi struktur dan isi, juga keunikan namanya, sehingga pada laman di dunia maya terdapat sekira 5.620 laman dari hasil penelusuran. Tetapi bila diperhatikan lebih mendetail, jumlah tersebut terus bertambah dan ternyata bercampur dengan kata Ngalaksa yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Baduy (Kanekes). Walaupun ada dua upacara dengan nama yang sama (Ngalaksa), dalam pelaksanaannya jauh berbeda.4 Populernya upacara Ngalaksa di tataran praktis tidak berbanding lurus dengan tataran akademis, terutama sebagai tulisan hasil penelitian. Sementara ini hanya beberapa yang didapatkan. Di KITLV Leiden-Belanda, terdapat satu buku yang berjudul Pengukuhan Nilainilai Budaya Melalui Upacara Tradisional: Upacara Kesuburan Tanah Ngalaksa dan Upacara Bersih Desa Syaparan (Tatiek Kartikasari, 1991). Selain itu terdapat satu judul skripsi dalam bahasa Sunda Ajen Sosiologis dina Tradisi Upacara Adat Ngalaksa di Desa Rancakalong Kacamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang pikeun Bahan Pangajaran Maca di SMA Kls XII (Ikhsan Nugraha, 2010). Penelitian lainnya belum ada ditemukan, apalagi yang ditulis oleh peneliti asing (non Indonesia). Mengapakah sampai demikian? Tentunya ini menjadi keuntungan akademik bagi peneliti yang berminat meneliti upacara ini, karena merupakan objek material yang sangat menarik. Tapi di sisi lain ini adalah kerugian akademik, karena pendokumentasian, analisis, interpretasi, serta revitalisasi terhadapnya sangat kurang. Padahal dari hasil pengamatan Juli 2011, penelusuran laman di dunia maya, dan dari hasil pembacaan dua karya penelitian tentang Ngalaksa tersebut, ditafsirkan terdapat nilai-nilai pendidikan,
2 Demikian juga yang dikatakan oleh Apa Sukarma. 3 Sejenis leupeut/lepat yang dibungkus oleh daun congkok. Bahan laksa ini adalah tepung beras yang ditumbuk bersama-sama dalam kegiatan Ngalaksa. 4 Ngalaksa pada masyarakat Baduy dilaksanakan satu hari tiap satu tahun sekali, dengan tata cara pelaksanaan yang berbeda.

304

khususnya pendidikan karakter pada upacara tersebut. Hal ini dikarenakan pada Ngalaksa ada kearifan lokal dan bisa menjadi pola pendidikan informal yang bisa diimplementasikan pada pendidikan formal. Arti dan Struktur Upacara Ngalaksa Sejatinya, upacara Ngalaksa pada observasi pertama yang saya lakukan, saya mengikuti tiga struktur saja, yaitu: mera, meuseul, dan lekasan. Tetapi dari pembacaan referensi dari tugas akhir mahasiswa, buku yang didapatkan di KITLV Leiden, dan sumber internet, keseluruhan upacara ini sangat unik dan menarik hati dan saya merumuskannya pada tulisan di bawah ini. Ngalaksa bisa artikan sebagai berikut: satu prosesi tradisional memuliakan padi dengan kegiatan utama membuat laksa sebagai tanda salametan dan rasa syukur setelah musim panen. Kegiatan tersebut memakan waktu satu bulan penuh mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, dan penutupan, dan diselenggarakan di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang. Laksa adalah sejenis leupeut/lepat yang dibungkus oleh daun congkok. Bahan laksa ini adalah tepung beras dari padi yang ditumbuk bersama-sama pada prosesi Ngalaksa. Pembuatan laksa-nya dilaksanakan oleh kaum perempuan dan dibantu oleh kaum laki-laki dari daerah yang bersangkutan. Ngalaksa dilaksanakan dengan maksud menghormati arwah leluhur yang telah berhasil mencari dan mempertahankan bibit padi, juga sebagai rasa syukur atas keselamatan dan rezeki yang dilimpahkan dalam kehidupan para petani. Menurut Kartikasari, dkk (1991:22), ngalaksa adalah: 1) ada hubungannya dengan perubahan cara bertani dari sistem perladangan pada sistem pertanian di sawah, sekaligus mengembangkan sistem perairan dan sawah-sawah berteras, 2) pengungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada tuhan YME melalui Dewi Sri (Dewi Padi) yang telah melimpahkan kesuburan dan keberhasilan panen pada penduduk. Upacara itu sekaligus sebagai prasarana pemuas keinginan berkomunikasi manusia dengan khalik yang dipuja sebagai kekuatan adikodrati tertinggi. Secara struktur, upacara ini terbagi dalam sembilan tahapan besar. Tahapan besar itu adalah: 1) Babadantenan (perundingan; tahap persiapan), 2) Bewara (mengumumkan hal-hal penting), 3) Ijabkabul, 4) Ngalungsurkeun (menurumkan bibit padi), 5) Nginebkeun (menginapkan bibit padi), 6) Hiburan, 7) Mera (pembagian bibit padi), 8) Meuseul (memijit; menumbuk padi), dan 9) Lekasan (berakhir).

305

Sebenarnya sembilan tahap besar ini setiap tahapnya bertahap lagi, tapi tidak saya kemukakan di sini. Demikian keterangan tahap-tahap besar tersebut. 1) Babadantenan (perundingan; musyawarah; tahap persiapan), Pada tahap ini dilakukan perundingan atau musyawah sebagai tanda mempersiapkan upacara. Hal-hal penting dibicarakan oleh anggota masyarakat; alat dan bahan; biaya; personel; tempat; desa yang bertanggung jawab, dan semua hal-hal penting bagi pelaksanaan upacara. 2) Bewara (mengumumkan hal-hal penting) Pada tahapan ini dilakukan pengumuman penting hasil musyawarah. Pada pelakanaannya harus dihadiri oleh perwakilan desa dan babakan, para tetua yang dianggap bertanggung jawab. Semua yang dibicarakan dan pembagian tugaspun diumumkan. Terutama pula tim kesenian jentreng yang akan mengiringi selama upacara berlangsung. Pada kegiatan bewara pula, diingatkan untuk mempersiapkan fisik dan batin pada waktunya. 3) Ijab-Kabul Tahap ini adalah tahap menjadikan kegiatan atau tanda bahwa Ngalaksa akan dilaksanakan. Setelah penjelasan mengenai rencana pelaksanaan Ngalaksa selesai disampaikan oleh sesepuh senior, maka acara dilanjutkan dengan mempersilakan juru ijab, yaitu salah seorang tokoh agama, untuk membacakan ijab dan kabul, lalu diakhiri dengan pembacaan doa. Isi ljab dan kabul ini adalah rajah atau mantra pembuka kegiatan. 4) Ngalungsurkeun Tahap ini adalah tahapan dimana para wanita membawa padi bibit untuk bahan Ngalaksa. Padi-padi tersebut dikumpulkan, tetapi sebelumnya ada padi bibit diisimpan dari goah dikeluarkan; diturunkan (dilungsurkeun) dan dikukusi dengan kemenyan. Bibit padi tersebut nanti akan disebarkan di persemaian dan merupakan benih padi yang diharapkan akan membawa kesuburan kepada yang lainnya. Wanita-wanita yang memegang wadah-wadah padi menari diiringi lagu dari jentreng dan berkeliling dengan gerak mengayun seperti sedang menggendong bayi yang baru lahir. Jika sebuah lagu sudah berakhir, maka mereka duduk sambil tetap memangku benih padinya. Kemudian satu persatu dikukusi dan disimpan berderet dekat pedupaan.

306

5) Nginebkeun Setelah padi-padi tersebut dimasukkan dan disimpan di goah, padi-padi tersebbut dianggap ngineb; nginep; masuk ke kamar. Dan dibiarkan di dalam goah sampai waktunya mera. 6) Hiburan Padi-padi yang beristirahat di kamar tersebut dihibur terus-menerus dengan jentreng (kacapi) (bunyi kawat kecapi, treng-treng-treng menjadi jentreng) yang dikolaborasi dengan tarawangsa (rebab; biola yang digesek dengan posisi berdiri, warga sekitar menyebutnya ngek-ngek, karena bunyinya yang ngek-ngekkan). Dua nama pekakas seni tersebut menjadi nama keseniannya sendiri yang mengiringi upacara Ngalaksa terus-menerus tanpa henti. Sehingga orang-orang menyebutnya sebagai kesenian jentreng dan sebagian lagi menyebutnya kesenian tarawangsa. dan lagu-lagu tanpa syair pun digesek melalui dua alat tersebut yang menjadi nama kesenian yang mengiringi Ngalaksa tersebut. Kesenian tersebut dilengkapi dengan tarian yang berpola mengayun (mengayun-ayun Nyi Pohaci). 7) Mera (pembagian padi bibit) Pada tahap ini padi bibit (padi khusus) yang akan digunakan sebagai bahan laksa dibagikan. Pada waktunya pembagian, kesenian jentreng atau tarawangsa mengiringinya. 8) Meuseul (memijit; menumbuk padi), Meuseul dari kata mencet yaitu memijit dalam konotasi kasar. Meuseul sangat halus digunakan sebagai pengganti kata menumbuk, karena padi adalah jelmaan Nyi Pohaci Sri yang harus dipijat bukan ditumbuk. Hasil meuseul adalah beras yang disimpan di ruangan khusus. Sebelum padi disimpan, padi dimandikan dahulu atau dicuci, baru setelah itu disimpan supaya rineh santai beberapa malam. 9) Lekasan (berakhir). Lekasan atau berakhirnya kegiatan adalah acara puncak dalam pembuatan laksa. Dalam kegiatan ini terdapat tahap-tahap lagi, dari mulai mengeluarkan padi dari ruangan, meuseul menjadi tepung, membuat adonan laksa, membungkusnya dengan daun congkok, menggodog hasil laksa yang telah dibungkusi, dan membagikan pada seluruh kampung. Setelah itu upacarapun diakhiri, baik secara tradisi maupun secara seremoni. Fungsi Ngalaksa Dari pengamatan dan wawancara, serta penelusuran referens, fungsi upacara Ngalaksa adalah sebagai berikut: 1) melaksanakan syukuran atau salametan pada Maha Pencipta karena

307

dengan kemurahanNya panen telah berhasil5, 2) melaksanakan tali paranti karuhun leluhur memuliakan padi sebagai makanan pokok6, 3) melaksanakan penghormatan terhadap padi yang bagaikan jelmaan perempuan (Nyi Pohaci) dan pasangan yang selalu membelanya (Sulanjana)7, 4) sebagai pengharapan terhadap kelimpahan rejeki pada tahun-tahun mendatang karena dengan bersyukur, rejeki diyakini akan datang berlimpah-limpah (interpretasi Al-Quran). 5) melaksanakan tepung lawung silaturahmi antara dulur, wargi, karibkerabat, dan ikatan-ikatan emosional lainnya dalam tatanan sosial masyarakat di desa-desa di Kecamatan Rancakalong. Sastra pada Ngalaksa Pada upacara Ngalaksa ini, sastra adalah salah satu bagian penting yang tidak bisa lepas dari ritual tersebut. Sastra yang dimaksud adalah sastra lisan yang memancar pada upacara, baik yang langsung menjadi bagian upacara, baik yang tak langsung. Sastra yang langsung adalah sastra yang digunakan dan dipakai ketika upacara berlangsung, sedangkan sastra yang tak langsung adalah sastra yang mengiringi di luar upacara atau menjadi konteks pada kegiatan tersebut. Sastra yang langsung digunakan pada upacara Ngalaksa adalah: teks pidato adat, teks puisi mantra, teks ungkapan-ungkapan bahasa yang bermakna, dan teks istilah-istilah yang dimaknai konotatif dalam Ngalaksa. Sastra yang tidak langsung biasanya dihasilkan dari wawancara di luar Ngalaksa, misalnya cerita tradisional tentang sasakala mengapa ada upacara Ngalaksa atau cerita mengapa harus ada daun congkok sebagai pembukus lepatnya. Contoh teks sastra yang berhubungan dengan kegiatan tandur8 adalah teks puisi mantra rajah. Teks ini dibacakan ketika mengalirkan air dari bendungan supaya cai ngamplang memenuhi kotakan sawah.
5 Kartikasari, dkk (1991) & Apa-Ema Sukarma (Juli, 2011) 6 Apa Sukarma (Juli, 2011) 7 Seperti terlihat dalam simbolisasi patung kepala Nyi Pohaci & Sulanjana yang disimpan di depan para penabuh tarawangsa/jentreng, bersama-sama dengan sesaji lainnya. 8 Tandur adalah kegiatan menanam benih padi, ketika para penandur memasukkan benih padi pada lumpur sawah yang sudah diberi garis-garis biasanya dilakukan dengan mundur dan serentak. Kegiatan ini adalah salah satu kegiatan penting dalam melaksanakan tali paranti pare, terutama padi yang nanti akan dipanen dan dianggap cikal; pare puhun (dibibitkan lagi) dan padi yang akan jadi bahan dalam membuat laksa.

308

Demikian teksnya.

Titip ka luhur ka susuhunan rama ka nu ngayuga Titip ka handap ka susuhunan ibu anu ngandung Ka luhur ka langit ka handap ka bumi Poma ulah aya gangguan Nyuhunkeun mulus banglus

Terjemahan:

(Saya) titipkan ke atas ke susuhunan rama yang memberikan benih (Saya) titip ke bawah ke susuhunan ibu yang mengandung Ke atas ke langit ke bawah ke bumi Mudah-mudahan tidak ada gangguan Minta mulus selamat

Contoh sastra lainnya adalah kidung sawer yang ditembangkan oleh perempuan pada kegiatan meuseul-kidung ini ditembangkan ketika mengeluarkan padi yang akan dipeuseul. Demikian teksnya.
Assalamu alaikum waalaikum salam Pun sampun ka paralun ka luhur ka sang rumuhun ka handap ka sang nugraha deudeuh nyai, mangsa cundukan bayu ti kidul suruping atina ti jenggi, nu hurung nangtung di luhur gunung, siang leumpang di karacang sidengdang di awang-awang, nu herang kolot ngalenggang, ngalenggang di panon holang, ashaduallailahaillallah, waashaduanna Muhammadarrasululoh tohid Muhammad rasul rohid alekum amana badan sanyawa rasa Allah ka baitullah laillahaillallah Assalamu alaikum waalaikum salam

Terjemahan:

Assalamualaikum waalaikumsalam Pun sampun ke paralun ke atas kepada sang rumuhun ke bawah kepada sang nugraha Sayangku Nyai, silahkan datangkan angin dari selatan masuk ke hatinya dari jenggi yang datang bercahaya dari puncak gunung, yang berkilauan dari karancang, duduk bertopang di atas awan, yang tua gagah datang melenggang, melenggang di mata holang,

309

ashaduallailahaillallah, waashaduanna Muhammadarrasululoh, tohid Muhammad rasul rohid alekum amana, badan sanyawa rasa Allah ka baitullah laillahaillallah, Assalamu alaikum waalaikum salam.

Musik pada Ngalaksa Musik yang mengiringi ritual ini adalah seperti yang disebutkan sebelumnya, yaitu jentreng atau tarawangsa yang pengertiannya merujuk pada seni musik yang dihasilkan oleh dua alat musiknya, yaitu jentreng dan tarawangsa. Perhatikan alat musik pada foto di samping. Alat musik utama adalah kecapi kecil dengan tujuh (7) kawat, yang dipetik menggunakan jari-jari tangan. Warga sekitar menyebutnya jentreng karena bunyi yang dihasilkannya trengtrengan. Alat musik kedua yang digesek adalah tarawangsa atau sejenis rebab dengan dua (2) kawat dan digesek dengan gesekan yang talinya dari surai kuda. Warga sekitar menyebut alat ini sebagai ngek-ngek, karena bunyinya yang ngek-ngekkan. Memang, pengertian kata tarawangsa sendiri adalah sejenis alat musik yang bentuk badannya seperti biola (Danadibrata, 2006:682), sedangkan ngek-ngek seperti rebab yang badannya tidak berpinggang. Dari dua alat musik ini disebutlah seni jentreng pada Ngalaksa atau seni tarawangsa pada Ngalaksa. Dua alat musik sederhana ini menghasilkan lagu tanpa syair yang sangat merdu mendayu, kadang menantang bersemangat, lalu khidmat mendirikan bulu roma, kemudian memilukan-mengharukan, dan juga menerbangkan kesadaran hingga para penari menjadi trans. Sungguh sangat luar biasa! Lagu-lagu yang dihadirkan pun mempunyai judul-judul dengan kata yang indah, arkhaik, dan konotatif. Setiap satu judul lagu, dibawakan hampir 30-45 menit. Dengan demikian satu hari satu malam dikurangi sholat dan istirahat, lagu yang dibawakan bisa mencapai 10-20 lagu. Selama tujuh hari tujuh malam, jentreng terus ditabuh, lagu-lagu tersebut terus diulang-ulang tanpa henti. Tentu saja

310

penabuhnya para tua-tua yang mempunyai kemampuan secara fisik dan batin. Mereka secara bergiliran menjalankan tugasnya dengan sabar dan khidmat. Judul-judul lagu jentreng yang buhun atau kuno ada tujuh (7) judul, yaitu: Pangapungan, Pamapag, Paminang, Angin-anginan, Sirna Galih, Tongeret, Limbangan, dan Badud. Judul-judul lain yang ditabuh yang hampir 15-20-an judul adalah inovasi dan pengayaan sejak tahun 80-an dari judul-judul buhun tersebut. Judul-judul lagu buhun dan yang lainnya mengandung muatan sastra karena mengandung makna konotatif dan filosofis yang tidak bisa diartikan secara saklek lewat unsur denotatif bahasa saja. Mungkin pada masyarakat modern dan kaum puritan, lagulagu yang panjang dan konstan dianggap bosan dan membosankan, juga membisingkan tak berfaedah. Tetapi bagi masyarakat pelaku ritual, hal tersebut adalah jiwa yang membangkitkan pengertian akan keseimbangan alam dan kehidupan. Mereka tetap bekerja seperti biasa, sedangkan yang bertanggung jawab akan kegiatan tersebut menunaikan tugasnya dengan khidmatnya. Lagu-lagu jentreng sepanjang upacara berlangsung membahana melingkupi Kampung Cijere Desa Nagarawangi, suaranya lambatlambat merayapi celah angin terdengar ke seluruh pelosok Kecamatan Rancakalong. Suaranya dibawa hembusan angin mengiringi aktivitas manusia dan pucuk-pucuk padi di sawah yang melambai seolah jari jemari Nyi Pohaci yang indah, serta pohonan dan satwa yang secara spiritual menggenapi keseimbangan jagat alit di bumi Rancakalong. Tali Paranti Ngalaksa sebagai Kearifan Lokal Ngalaksa adalah bagian dari tali paranti orang Sunda yang dilaksanakan di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang. Tali paranti adalah tali kendali atau tali pegangan yang dibuat oleh manusia Sunda sebagai usahanya dalam mewujudkan harmonisasi kehidupan di marcapada. Tali paranti berhubungan dengan alam dan kosmos. Manusia Sunda kecuali menyandingkan dirinya pada mikro dan makro kosmos, juga percaya pada alam nyata dan alam tidak nyata (gaib). Untuk menjaga harmonisasi atau keseimbangannya, segala prilaku manusia Sunda harus tertib dan runut. Oleh karena itu, hasil dari pengolahan akal budi terwujudlah tali paranti yang menjadi pegangan yang bisa menjadi tuntunan dan kendali dalam kehidupan masyarakat Sunda (Isnendes, 2011). Tali paranti dalam masyarakat Sunda berwujud aktivitas bahasa dan prilaku sebagai realisasi pemikiran dan gagasannya. Aktivitas

311

tersebut tentu saja dilengkapi dengan benda-benda yang menyertainya sebagai bagian dari budayanya. Wujud tali paranti masyarakat Sunda dalam bahasa misalnya saja berupa suruhan; keharusan; anjuran; pujian (kudu...ngarah harus...supaya), larangan; celaan (ulah; pamali; teu meunang), dan ungkapan-ungkapan. Wujud aktivitasnya berupa ritual-ritual; upacara-upacara; inisiasi-inisiasi yang dianggapnya bisa menyelamatkeun kosmos dan sebagai tanda syukur pada segala nikmat yang telah diberikan Pangran Nu Murbng Alam atau Gusti Nu Maha Kawasa (Isnendes, 2011). Tali paranti pada masyarakat Sunda, bukan hanya untuk manusia tapi juga untuk tumbuhan, terutama padi. Cara-cara masyarakat Sunda memperlakukan padi dianggap sebagai kegiatan pemuliaan terhadap perempuan. Hal itu dikarenakan dalam kosmos agraris Sunda terdapat mitos mengenai asal-muasal padi yaitu yang menceritakan bahwa padi tercipta dari jasad perempuan yang bernama Nyi Pohaci; Dewi Sri; Sanghyang Sari Pohaci. Lengkapnya mite ini bisa dibaca dari karya sastra Sunda yang berupa internalisasi pandangan dan orientasi hidup masyarakat agraris Sunda9. Hal ini terbuktikan dengan adanya kegiatan upacara Ngalaksa yang berupa tali paranti yang memuliakan padi di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang. Dari observasi pertama, tali paranti masyarakat Sunda di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang ini, saya tak meragukan lagi bahwa upacara Ngalaksa ini adalah kearifan lokal yang harus dihormati dan disosialisasikan keberadaannya tanpa merusak tatanan yang sudah ada. Kearifan lokal berasal dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Echols dan Syadily (1998) menyebutkan bahwa, local berarti setempat, sedangkan wisdom berarti kearifan atau sama dengan kebijaksanaan. Sementara itu, Ayatrohaedi mengutip Moendardjito yang mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah: 1) mampu bertahan terhadap budaya luar, 2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, 3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, 4) mempunyai kemampuan mengendalikan, dan
9 Baca Wawatjan Soelandjana, keluaran Bale Poestaka (1931) yang dikarang lagi oleh R. Satjadibrata, Wawatjan Suladjana: Samboengan Tina Kidung Njai Sri Puhatji yang ditulis oleh Madnasan (1957); Wawacan Sulanjana yang ditulis oleh Jus Rusjamsi (1964) atau Tjarita Sri Sadana atau Sulandjana pantun Sunda yang dipantunkan oleh Ki Atjeng Tamadipura dan diusahakan oleh Ajip Rosidi (1970).

312

5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya (Sartini, 2004). Kearifan lokal ditafsirkan sebagai perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. Contoh-contoh kearifan lokal di antaranya adalah: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat termasuk upacara tradisioanal, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam, yaitu: 1) berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam, 2) berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup (misalnya konsep cageur-bageur-bener-pinter), 3) berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya folklor, 4) berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan, 5) bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/ kerabat, rasulan, pancakaki, marhabaan, 6) bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian, 7) bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara keagamaan, 8) bermakna politik, misalnya upacara seba dan kekuasaan patron-klien (www.balipos.co.id. dengan beberapa penyesuaian). Kearifan lokal yang sarat nilai dan makna ini ketika dihubungkan dengan kurikulum pendidikan karakter sangat relevan sebagai dasar karakter baik di tengah carut marut persoalan sosial di Indonesia. Relevansinya dikarenakan pada orang Sunda terdapat pandangan hidup. Pandangan hidup ini adalah dasar perilaku masyarakat Sunda dalam memegang tali paranti yang kemudian memancar menjadi kearifan lokal. Warnaen dkk (1987) mengkategorikan pandangan hidup orang Sunda ke dalam lima kategori, yaitu: 1) manusia sebagai pribadi, 2) manusia sebagai bagian dari lingkungan masyarakat, 3) manusia dengan alam, 4) manusia dengan Tuhan, 5) manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah, 6) manusia dalam mengejar kepuasan batiniah. Disebutkan Warnaen bahwa pandangan hidup sebagai akar kehidupan orang Sunda yang bisa dimanfaatkan dalam kehidupannya, terlebih lagi bagi mereka yang mengalami kekaburan nilai yang dianutnya untuk mendapatkan pegangan yang lebih kokoh dengan jalan menemukan kembali nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhurnya

313

dan dianggp masih efektif dalam menghadapi tantangan hidup pada saat ini (1987:2). Selain fungsi Ngalaksa yang sarat nilai, kegiatannya pun memancarkan nilai-nilai positif, yaitu: 1) nilai gotong royong 2) nilai musyawah 3) nilai persatuan, kesatuan, dan kesetiakawanan 4) nilai pengendali sosial (Kartikasari, 1991), selain itu patut ditambahkan nilai-nilai di bawah ini: 5) nilai religius: keseimbangan spiritual dan emosional 6) nilai tanggung jawab 7) nilai seni 8) nilai cinta pada alam yang menghidupi. Bila dihubungkan dengan sembilan (9) pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal10, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan, nilai-nilai dalam upacara Ngalaksa patut diteliti lebih lanjut karena nilai-nilai karakter sembilan pilar tersebut diasumsikan terdapat didalamnya. Akan tetapi, belum dikategorikan secara khusus dan mendetail, kecuali delapan nilai yang disebutkan penulis di atas. Dari nilai-nilai tersebut, Ngalaksa sebagai kearifan lokal yang dilaksanakan sebagai bagian dari tali paranti Sunda, pada dasarnya mengandung pandangan hidup yang berupa nilai-nilai sarat makna, sangat relevan dengan tujuan pendidikan karakter saat ini yang sedang digembar-gemborkan pemerintah. Akan tetapi, ada asumsi bahwa memaknai pendidikan karakter yang sedang trend ini seolah melangit dan berbusa-busa, padahal apa yang sudah ada dalam tali paranti orang Sunda dan kebiasaankebiasaan serta nilai-nilai baik yang diyakini masyarakat tradisional Indonesia pada suku bangsa apapun, itulah yang disebut karakter11.
10 Sembilan (9) pilar karakter ini ditawarkan oleh Ratna Megawangi, Ph. D, dan disosialisasikan oleh ditjen pendidikan Indonesia 11 Pengertian ini diambil ketika berdialog dengan Prof. Dr. Iskandarwassid, M.Pd. guru besar pada Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, Rabu, 18 Januari 2012 jam 12.30 di UPI. Selaras dengan itu, Prof. Dr. H. Yus Rusyana juga memaknai pendidikan karakter sebagai sesuatu yang sudah dilaksanakan oleh suku bangsa di Indonesia sebagaima-

314

Pada kenyataannya, masyarakat suku bangsa di Indonesia sebenarnya sudah mempunyai karakternya tersendiri di samping pola sembilar (9) pilar pendidikan karakter yang disebut di atas, atau pola-pola yang banyak ditawarkan oleh beberapa ahli dan penulis pendidikan karakter. Adapun hal-hal negatif yang menjadi carut-marut sosial pada masyarakat sekarang ini dianggap berupa penyimpanganpenyimpangan karakter yang disebabkan cara pandangan politik pembangunan Indonesia yang instan dan diadopsinya paham liberalisme, materialisme, dan kapitalisme dalam setiap lini kehidupan, termasuk pendidikan. Ukuran keberhasilan pembangunan, juga di bidang pendidikan di Indonesia saat ini selalu diukur dengan angka dan paham positivistik yang rasionalis, bukan fenomenologis. Sekarang dikenal adanya angka partisipasi sekolah, tingkat kelulusan, angka minimal kelulusan, jumlah gedung sekolah, rasio guru dan murid, jumlah angka putus sekolah, dan sebagainya, tetapi banyak hal yang tidak terukur dan dilupakan yakni: kemerosotan moral, sopan-santun, lemahnya kohesi sosial, tumbuhnya sikap individualistik, melemahnya sikap pluralistik, dan yang berbahaya teralienasi (terasing) dari budaya sendiri atau mengalienasi dari budaya sendiri. Menurut Budiyono (2007:130) hal ini dikarenakan konsep pendidikan di Indonesia yang menganut sistem liberal, rasionalistik-individualistik, dan anti sosial. Permasalahan tersebut melahirkan konsep pendidikan yang tidak mengacuhkan bahkan membunuh konsep irrasional dan suprarasional. Padahal, pada masyarakat Indonesia dan suku-suku bangsanya telah berkembang kearifan lokal sebagai upaya pemecahan masalah dan adaptasi lingkungan sosial budaya dan alam sekitarnya. Dalam menemukan, mengembangkan, dan menyebarluaskan kearifan ini, masyarakat Indonesia hampir tidak menempuh metode-metode rasional sebagaimana yang dikembangkan di Barat. Masyarakat cenderung menggunakan rasionalitas khasnya yang kalau diukur dengan rasionalitas Barat termasuk dalam ketegori irrasional dan suprarasional. Padahal itulah rasionalitas negeri ini yang berbeda dengan filsafat Barat (band. dengan Budiyono, 2007: 131). Untuk itulah perlunya mensosialisasikan penguatan pendidikan berbasis budaya dengan nilai-nilai budaya dari kearifan-kearifan lokal seperti Ngalaksa ini guna mengembalikan bentuk karakter baik bangsa ini.
na adanya nilai-nilai positif yang berkembang di masyarakat, terutama yang memancar dari pendidikan sastra, Jumat, 3 Februari 2012 jam 10.00 di kediamannya.

315

Penutup Dari bahasan tentang upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang, terangkum mengenai struktur, fungsi, dan kearifan lokal upacara tersebut. Mengenai kearifan lokal upacara Ngalaksa yang relevan dengan pendidikan karakter yang dewasa ini sedang menjadi mode dan trend dalam bidang pendidikan di Indonesia, patutlah kiranya ada penelitian yang membahas aspekaspek tersebut sehingga dapat mewujud pola atau konsep alternatif pendidikan karakter dari kearifan lokal khas Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang ini, terutama dalam hal menjaga keseimbangan alam dan pembentukan kembali ide dan aktivitas positif pada insan pendidikan di Jawa Barat pada khususnya, dan pada masyarakat Jawa Barat dan Indonesia pada umumnya.* DAFTAR PUSTAKA
Budiyono, 2007. Pendidikan dalam Penguatan Basis Budaya dalam buku Indonesia Belajarlah hal 128-137. Semarang: FIP UNES. Danadibrata, R.A. 2006. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama. Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1989. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Isnendes, Retty. 2011. Tali Paranti. Leiden: artikel belum diterbitkan. Kartikasari, Tatiek, dkk. 1991. Pengukuhan Nilai-nilai Budaya Melalui Upacara Tradisional (Upacara Kesuburan Tanah Ngalaksa dan Upacara Bersih Desa Syaparan). Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan. Nugraha, Ikhsan. 2010. Ajen Sosiologis dina Tradisi Upacara Adat Ngalaksa di Desa Rancakalong Kacamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang pikeun Bahan Pangajaran Maca di SMA Kls XII (Skripsi). Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah-FPBS-UPI. Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati pada Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2. Yogyakarta: UGM diunduh dari www.jurnal.filsafat.ugm.ac.id. Warnaen, Suwarsih, dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Direktorat Jendral Kebudayaan. www.balipos.co.id. www.google.com.

316

REVITALISASI KESENIAN TRADISI DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA BUDAYA: STUDI KASUS DI SURAKARTA
Ali Imron A-Maruf Universitas Muhammadiyah Surakarta

I. Pendahuluan urakarta adalah salah satu pusat kebudayaan Jawa di samping Yogyakarta. Berbagai bentuk kesenian tradisi Jawa dan kesenian klasik dengan karya adiluhung berkembang di daerah ini. Oleh karena itu, nuansa budaya Jawa terasa kenthal dalam kehidupan masyarakat. Corak dasar kebudayaan Jawa yang masih hidup dalam masyarakat yang bersumber dari budaya kraton merupakan indikasi hal itu. Sebagai salah satu pewaris dinasti kerajaan Mataram, Surakarta memiliki dua kraton yakni Kraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Kraton memiliki ragam kesenian klasik yang dikenal adiluhung, seperti tari Bedaya Ketawang, Bedaya Anglir Mendhung, Tari Gambyong, wayang orang, dan karawitan dengan gendhing khusus. Di luar tembok istana berkembang juga jenis kesenian semacam yang kemudian dikenal sebagai kesenian rakyat, yang bersumber dari kraton (lihat Hersapandi, 1994:41; Lindsay, 1990:82) yang juga dikenal sebagai kesenian tradisi atau daerah (Sedyawati, 1983:39; Kayam, 1985:60). Karena itu, kiranya cukup beralasan jika berbagai kesenian tradisi tersebut diberdayakan menjadi aset potensial bagi pengembangan wisata budaya di Surakarta. Kesenian merupakan hasil kebudayaan sebagai materi hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1987:5). Karena merupakan keseluruhan hasil fisik dan aktivitas, perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat, sifat kebudayaan cukup kongkret berupa bendabenda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sebagai hasil kebudayaan, wajar jika kesenian kemudian menjadi aset masyarakat pemiliknya dan dimungkinkan untuk dikembangkan sesuai dengan dinamika zaman. Di pihak lain, masuknya produk-produk budaya Barat sebagai dampak globalisasi dunia merupakan tantangan tersendiri bagi upaya pengembangan kesenian tradisi. Kesenian Barat seperti: musik populer, musik rock, tari balet, dan membanjirnya media komunikasi

317

elektronik seperti: video compact disc (VCD), digital video disc (DVD), home theatre, televisi (TV) asing, ponsel, dan internet, membuat perhatian masyarakat terhadap kesenian tradisi menjadi berkurang. Akhir-akhir ini kesenian tradisi Jawa mengalami masa-masa sulit. Masyarakat terlebih kawula muda banyak yang tidak lagi mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) atas kesenian tradisi, bahkan sebagiannya sudah tidak mengenalnya lagi. Ironis memang ketika banyak universitas besar di negara-negara Barat sejak beberapa dekade yang lalu mempelajari kesenian tradisi Jawa seperti karawitan, wayang orang dan kethoprak, serta tarian Jawa dan Bali, misalnya, kini masyarakat kita mulai memandang sebelah mata atas kesenian tradisi dan cenderung kepada kesenian Barat. Ada beberapa alasan mengapa masyarakat terutama komunitas mudanya mulai melirik kesenian Barat, di antaranya kesenian dari Barat dipandang lebih glamour, mudah dinikmati, dinamis, variatif, dan praktis. Hal ini berkaitan dengan pola hidup masyarakat modern yang cenderung ke pola pragmatis, termasuk dalam mencari hiburan dan rekreasi. Beberapa hal di atas diduga mengakibatkan menyusutnya jumlah penonton pada pementasannya. Padahal, kesenian tradisi seperti wayang orang dan kethoprak di samping tarian merupakan aset Kota Surakarta unggulan dalam pengembangan sektor pariwisata budaya budaya yang dapat mendatangkan penghasilan asli daerah (PAD). Dalam konteks otonomi daerah hal itu sangatlah penting untuk diberdayakan. Pengembangan sektor pariwisata budaya dan sektor informal dapat menjadi alternatif dalam menambah penghasilan masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD). Lebih-lebih dalam konteks otonomi daerah di Kota Surakarta, sesuai dengan Undang-undang No. 22/ 1999 tentang Otonomi Daerah, maka pariwisata budaya di Surakarta utamanya wisata budaya, dapat menjadi program unggulan dalam menambah PAD. Dan, mengingat potensinya, wisata budaya dengan berbagai kesenian tradisi merupakan peluang yang perlu kita tangkap. Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk melakukan revitalisasi kesenian tradisi di Surakarta dewasa ini dalam rangka mengembangkan pariwisata budaya. Secara khusus ada tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni (1) memaparkan tantangan yang dihadapi kesenian tradisi Jawa di Surakarta dewasa ini; (2) mendeskripsikan upaya-upaya kreatif dan antisipatif untuk mengaktualisasikan kesenian tradisi di Surakarta agar tetap memiliki

318

daya pikat bagi wisatawan selaras dengan dinamika kehidupan; (3) memaparkan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan kesenian tradisi Jawa sebagai aset unggulan dalam pengembangan pariwisata budaya di Surakarta. Ada beberapa buku atau tulisan yang mengkaji kesenian tradisi Jawa. Jennifer Lindsay dalam bukunya Klasik, Kitsh or Contemporary: A. Study of the Javasene Performing Arts (1991), Umar Kayam dalam Seni, Tradisi, Masyarakat (1981), dan Rahayu Supanggah (1991) dalam Karawitan Anak-anak: Gejala Perkembangan Karawitan Jawa yang Memprihatinkan. Ketiganya menyatakan kegelisahan dan keprihatinannya mengenai kesenian tradisi yang semakin redup, padahal memiliki potensi untuk dikembangkan. Bahkan, secara ekstrem Kunt (dalam Lindsay 1991) menyatakan bahwa masa depan kesenian tradisi Indonesia sekarang tetap merupakan hal yang menggelisahkan di Indonesia, bahkan sudah terasa sejak dekade 1930an pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Edi Sedyawati dalam Pertumbuhan Seni Pertunjukan (1981), jurnal Seni Pertunjukan Indonesia dalam beberapa edisinya juga membahas berbagai perkembangan kesenian tradisi Jawa. Hersapandi dalam Etnis Cina dan Wayang Orang Panggung Komersial Suatu Kajian Sosio-Historis (1994) dan Sumanta dalam Wayang Madya Salah Satu Sarana Pengukuh Mangkunagara IV (1994) juga membahas seputar kesenian tradisi Jawa. Koentjaraningrat (1979: 205) membagi kebudayaan menjadi tujuh unsur, yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan; sistem dan organisasi kemasyarakatan; sistem pengetahuan; bahasa; kesenian; sistem mata pencaharian hidup serta sistem teknologi dan peralatan. Demikianlah ketujuh unsur kebudayaan universal mencakup seluruh manusia dalam kehidupannya. Kesenian tradisi merupakan bagian dari jagat kesenian Indonesia. Pada umumnya, ia hidup dalam dua lingkungan dua alam budaya. Di satu pihak ia lahir dari suatu kebudayaan daerah tertentu yang memiliki sejumlah ciri khas yang dibina lewat keajegan tradisi daerah tertentu, dan di pihak lain ia disadur dan dibentuk kembali oleh kebutuhan suatu hamparan kebudayaan yang lebih luas, yakni Indonesia (lihat Sedyawati, 1981: 39). Kesenian tradisi kini telah mengalami pergeseran pemilikan. Jika semula ia hanya menjadi milik masyarakat pendukung kebudayaan daerah tertentu, kini masyarakat daerah lain pun merasa memilikinya. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa kebudayaan Indonesia adalah keseluruhan kebudayaan-kebudayaan daerah. Karena itu,

319

kesenian tradisi dari kebudayaan daerah tertentu dapat memperoleh masukan cita rasa ataupun konsep-konsep kebudayaan daerah lain. Bahkan, terbuka lebar bagi kesenian tradisi akan masuknya gagasan dan cita rasa negara lain (Sedyawati, 1981: 39). . Wayang orang dan wayang kulit yang mengangkat cerita dari mahakarya Mahabharata dan Ramayana misalnya, kini tidak hanya menjadi milik masyarakat pendukung aslinya melainkan sudah menjadi milik daerah atau suku lain. Fenomena ini, menurut Kayam (1981: 66; lihat Sedyawati, 1981: 39), barangkali merupakan bagian dari proses Indonesianisasi dari banyak ekspresi kesenian termasuk citarasa daerah lain, bahkan dimungkinkan pula masuknya unsur-unsur dari mancanegara. Semakin berkembangnya nasionalisme dalam masyarakat kita, maka fanatisme kedaerahan berangsur-angsur menipis menuju semangat keindonesiaan. Hal itu juga mendorong adanya perubahan konsep dan penampilan kesenian tradisi yang lebih bersifat bikultural. Dalam penampilannya, kesenian tradisi sering pula memasukkan unsur-unsur budaya daerah lain dan nuansa yang lebih Indonesia. Bahkan, cita rasa universal mulai terasa dalam penampilan kesenian tradisi. Kesenian tradisi sering pula diartikan dengan kesenian rakyat, kesenian daerah atau kesenian klasik. (lihat Kayam, 1981: 61). Namun, dalam makalah ini digunakan istilah kesenian tradisi, bukan kesenian rakyat atau kesenian daerah. Sebab, kata rakyat dapat merupakan lawan dari kata feodal atau istana, sedangkan kata daerah dapat diartikan berlawanan dengan nasional. Meskipun istilah seni-tradisi-rakyat dan seni-tradisi-klasik ada semacam perkembangan, pada dasarnya keduanya masih memiliki sifat yang mirip (Kayam, 1981: 61). Karena itu, dalam tulisan ini dipakai istilah kesenian tradisi. Sebagai sebuah genre karya seni, kesenian tradisi memiliki beberapa ciri khas, antara lain: (1) ia memiliki jangkauan terbatas pada lingkungan kultur yang menunjangnya, (2) ia merupakan pencerminan dari sebuah kultur yang berkembang sangat lamban, karena dinamika masyarakat pendukungya memang demikian, (3) ia merupakan bagian dari suatu kosmos kehidupan yang bulat yang tidak terbagibagi dalam pengkotakan spesialisasi, dan (4) ia bukan merupakan hasil kreativitas individu melainkan tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang mendukungnya (Kayam, 1981:60). Kesenian tradisi adalah suatu karya budaya berupa seni budaya

320

yang sejak lama turun-temurun tetap hidup dan berkembang pada suatu daerah (Yoeti, 1985:2). Itu sebabnya kesenian itu disebut juga kesenian daerah. Beberapa bentuk kesenian tradisi Jawa meliputi wayang kulit, wayang wong (orang), ketoprak, ludruk, kentrung, jathilan, reog, dhagelan, karawitan, tarian klasik dan modern. Lahirnya wayang orang panggung komersial menunjukkan adanya pergeseran nilai seni dan formalitas budaya kraton, yakni terjadi perubahan bentuk dan sifat kelembagaan dari patron-client dan patrimonial ke produsen-konsumen dan kapitalis. Kuntowijoyo (1987:28) menyatakan bahwa dalam kebudayaan baru yang ditandai dengan lahirnya budayawan, golongan intelegensia, dan seniman, profesionalisme dalam budaya baru berbeda dengan profesionalisme budaya lama. Singkatnya, hubungan patron-client dalam budaya lama digantikan oleh hubungan produsen-konsumen dalam budaya baru, sifat hubungan vertikal diganti menjadi hubungan horisontal. Adapun jenis dan bentuk kesenian tradisi Jawa di Surakarta banyak ragamnya, di antaranya: Wayang Kulit/Purwa, Wayang Orang (Wayang Wong), Ketoprak, Dhagelan, tari-tarian, reog, dan karawitan. Wayang kulit adalah pagelaran wayang yang ceritanya (reportair) bersumber pada Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India (Satoto, 1990:133) dengan menggunakan media wayang (boneka dari kulit). Adapun Wayang Orang merupakan suatu jenis wayang yang tokoh ceritanya diperankan oleh manusia menggantikan boneka-boneka wayang yang merupakan pertunjukan dengan gaya tersendiri, sedang sumber ceritanya juga Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India (Satoto, 1990:190). Ditinjau dari potensinya, sektor pariwisata budaya yang paling dapat diandalkan di Surakarta adalah wisata budaya. Wisata budaya adalah suatu bentuk kegiatan pariwisata budaya dengan memanfaatkan potensi dan kekayaan budaya untuk menunjang peningkatan pembangunan nasional dengan menyejahterakan masyarakat tanpa melupakan upaya pelestarian dan pengembangannya (SKB Menparpostel, Mendikbud dan Mendagri, Tanpa Tahun). Adapun maksud dan tujuan pariwisata budaya yakni meningkatkan, mengembangkan, dan melestarikan objek wisata budaya sebagai bagian dari kebudayaan bangsa guna terwujudnya pengembangan kepariwisata budaya yang berdaya guna dan berhasil guna (Dinas Pariwisata budaya Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah, 1990). Dengan sejumlah potensi yang ada, maka pengembangan kesenian tradisi Jawa di Surakarta dapat menjadi salah satu primadona dalam mendukung pengembangan sektor pariwisata budaya. Pada

321

gilirannya, mengingat potensi dan sarana pendukungya, pariwisata budaya di Surakarta tidak tertutup kemungkinan dapat menjadi wajah wisata budaya di tingkat nasional. Banyak sekali ragam kesenian tradisi di Surakarta. Dalam penelitian ini, mengingat berbagai keterbatasan, maka dikaji lima kesenian tradisi saja yakni: wayang purwa (kulit), wayang orang, kethoprak, karawitan, dan tari. Hal itu berdasarkan alasan bahwa bentuk-bentuk kesenian tradisi Jawa tersebut dipandang representatif dan berhubungan secara signifikan dengan permasalahan penelitian. Selain itu, lima kesenian tradisi tersebut dipandang relevan dan memiliki daya jual (marketable) dari sektor pariwisata budaya. II. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Bentuk penelitian ini dipandang mampu menuangkan berbagai informasi kualitatif yang penuh nuansa. Dalam penelitian ini digunakan strategi survai yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar variabel mengenai sejumlah besar individu melalui alat pengukur wawancara. Termasuk di dalam penelitian survai yaitu ciri-ciri demografis dari masyarakat, lingkungan sosial, aktivitas, pendapat dan sikap mereka (Moses dalam Masri Singarimbun, 1985:8). Sumber data dalam penelitian ini meliputi: (1) pustaka mengenai kesenian tradisi Jawa di Surakarta dan masalah kepariwisata budayaan, serta monografi Surakarta; (2) informan, yang terdiri dari pihak-pihak terkait meliputi: Dinas Pariwisata budaya, seniman, budayawan, dan tokoh masyarakat yang memahami kesenian tradisi di Surakarta dan sejumlah wisatawan; (3) rekaman peristiwa atau catatan hasil observasi pada lokasi pagelaran kesenian tradisi dan lingkungannya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) teknik pustaka dengan content analysis berupa cuplikan dengan criterion based selection; (2) wawancara mendalam (in-depth interviewing) dengan mengajukan pertanyaan kepada informan yang bersifat terbuka (open-ended) dan tidak terstruktur yang mengarah pada kedalaman informasi guna menggali informasi yang mendalam mengenai objek penelitian (3) Observasi, dilakukan dengan menyaksikan pementasan kesenian tradisi pada beberapa even dan tempat guna memperoleh data yang akurat. Analisis data dilakukan melalui analisis kualitatif dengan model analisis interaktif. Dalam model ini tiga komponen analisis yaitu reduksi data, sajian data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasi,

322

aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus (Miles and Huberman dalam Soetopo, 2002: 93-100). Pada model ini peneliti tetap bergerak di antara empat komponen (termasuk proses pengumpulan data), selama proses pengumpulan data ber-langsung.. Skema berikut menggambarkan proses analisis data model interaktif.

Pengumpulan data

Sajian data

Reduksi data

Penarikan Kesimpulan Verifikasi

Model Analisis Interaktif III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Tantangan yang Dihadapi dalam Revitalisasi Kesenian Tradisi Kehidupan teater tradisi di tengah-tengah membanjirnya produk budaya Barat di masyarakat menghadapi tantangan yang cukup berat. Ada fenomena bahwa masyarakat mulai mengesampingkan kesenian tradisi dan mulai melirik seni budaya Barat dengan alasan antara lain: kesenian dari Barat dipandang lebih glamour, mudah dinikmati, dinamis, praktis, dan prestisius. Pada masa kini dalam mencari hiburan orang sering bertindak pragmatis, sejalan dengan pola hidupnya yang pragmatis pula. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh temuan, bahwa sepinya penonton pada pementasan wayang orang dan Kethopark di Surakarta sudah agak lama terjadi yakni sejak akhir dekade 1980-an karena adanya paling tidak empat faktor. Keempat faktor itu antara lain: Pertama, aspek kesenian tradisi itu sendiri --menyangkut cerita (aspek literernya), penggarapan teatrikalnya, teknologi pementasan, dan manajemen pementasannya--. Dari segi ceritanya, wayang orang dan kethoprak misalnya, biasanya menyajikan tema-tema yang itu-itu saja tanpa banyak variasi, sehingga terkesan monoton. Segi penggarapan teatrikalnya kurang greget dan tidak mengesankan. Akibatnya, penonton bosan melihatnya. Hal ini berbeda jauh dengan

323

ketika masih berkiprahnya seniman legendaris Rusman, Darsih, dan tokoh-tokoh seangkatannya yang bermain total dan sangat popular pada zamannya. Dari segi teknologi pementasan, kesenian tradisi di Surakarta masih menggunakan media yang konvensional sifatnya, kurang ada inovasi. Panggung dan back ground (geber) yang terlihat kumal bahkan ada yang sudah berlubang merupakan ilustrasi hal itu. Ini menyebabkan pementasan menjadi kurang menarik. Segi manajemen pementasan pun tampak kurang profesional. Pengelola kurang sigap melakukan gebrakan-gebrakan dalam pemasaran, misalnya menjalin kerja sama dengan relasi dan instansi atau institusi terkait seperti hotel dan lembaga pendidikan. Penjaringan penonton melalui publikasi dan iklan pun terkesan kurang optimal. Kedua, kurang adanya proses pewarisan nilai-nilai budaya tradisi secara terprogram, sistematis, dan terpadu bagi generasi muda melalui lembaga pendidikan. Sejak paroh dekade 1970-an, kesenian daerah, termasuk sastra daerah tidak lagi menjadi mata pelajaran yang terpandang. Beberapa tahun terakhir bahkan kesenian, bahasa, dan sastra daerah di sekolah boleh dikatakan hanya dipandang sebelah mata, sekedar menjadi muatan lokal (mulok), yang sama sekali tidak prestisius. Karena itu, motivasi siswa untuk mendalami kesenian tradisi pun kurang. Jika para siswa SD, SMTP dan SMTA dulu (dekade 1960-1970-an) memahami cerita Mahabharata dan Ramayana serta ceritacerita rakyat, sejak era 1980-an kebanyakan pelajar di Jawa Tengah dan Yogyakarta tidak memahaminya, terlebih mengapresiasinya. Ketiga, membanjirnya produk teknologi komunikasi media massa turut menjauhkan masyarakat dari kesenian tradisi. Munculnya beberapa televisi swasta di Indonesia sejak tahun 1989 yakni RCTI dan SCTV hingga Metro TV, TV Global, dan entah apa lagi, lalu TV mancanegara seperti CNN Amerika, NHK Jepang, Star TV Hong Kong, dan sejumlah TV Eropa melalui antena parabola, dengan tayangan acara yang menarik, baik olah raga, kesenian, musik, maupun filmnya menyedot perhatian masyarakat (penonton). Terjadilah semacam euforia TV swasta dan TV asing. Belum usai euforia tersebut, menjamur pula produk-produk elektronik seperti home theatre, VCD, DVD, dan internet dengan dunia mayanya yang meluas sejak 1990-an. Kini masyarakat dimanjakan betul oleh berbagai fasilitas media dengan tontonan yang variatif dan menarik. Mereka dapat menikmati tontotan bagus sambil bercengkerama dengan anak dan istri/suami. Akibatnya, mereka enggan menonton hiburan di luar rumah, termasuk kesenian tradisi.

324

Keempat, pergeseran nilai akibat berlangsungnya transformasi sosial budaya dalam masyarakat seiring dengan era globalisasi. Sejalan globalisasi, terjadilah transformasi sosial budaya yang berimplikasi pada bergesernya nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Kini masyarakat berada dalam tegangan dua kultur, di satu sisi tetap memegang nilai tradisi (lama) dan di sisi lain harus menerima nilai modern (baru) dari kultur asing yang mendunia. Akibatnya, masyarakat terlebih kaum muda kini cenderung memilih seni budaya massa (kitsch) daripada budaya lokal, termasuk kesenian tradisi (Al-Maruf, 2002: 45). 3.2 Reaktualisasi Kesenian Tradisi untuk Menarik Wisatawan Adanya tantangan yang dihadapi dalam revitalisasi kesenian tradisi, diperlukan upaya-upaya reaktualisasi kesenian tradisi agar dalam pementasannya dapat memiliki daya pikat bagi penonton. Dalam bahasa populernya, bagaimana agar kesenian tradisi itu dapat menarik selera pasar (marketable), dalam hal ini wisatawan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dari kesenian tradisi itu sendiri, dari unsur cerita (literernya), penggarapan kreatifnya, peningkatan profesionalitas pemain, penataan musik (arranger), penata tari (koreografer), teknologi pementasannaya seperti: tata panggung (setting), tata cahaya, tata suara (back ground), hingga manajemen pementasannya. Pertama, cerita (aspek literer) kesenian tradisi. Sudah selayaknya kesenian tradisi tetap memegang konvensi tertentu. Wayang orang misalnya, cerita yang dilakonkan tetap bersumber pada Mahabharata dan Ramayana. Namun, tanpa mengurangi nilai literernya, dalam pementasan di panggung melalui dialog para pemain terutama para punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) dapat diangkat masalah-masalah aktual dan kontekstual dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu, memang diperlukan usaha ekstra bagi para pekerja seni tradisi untuk memperluas wawasannya. Pemahaman tentang masalah sosial, politik, ekonomi, budaya modern, dan hal-hal lain yang sedang ngetrend di masyarakat harus dimiliki. Barangkali kita dapat belajar dari Miing, dedengkot kelompok pelawak intelek Bagito Group dan anggota lainnya. Sebelum melawak, mereka sering mengikuti berbagai seminar guna menimba pengetahuan dan menggali persoalan aktual dalam masyarakat. Wajar jika lawakannya selalau up to date dan kontekstual dengan irama zaman. Kedua, dari segi penggarapan teatrikal juga harus ditingkatkan profesionalisme SDM-nya. Segi teatrikal berkaitan dengan kemampuan

325

acting pemain dalam membawakan tokoh cerita dengan penuh improvisasi dan atraktif. Totalitas keterlibatan para pekerja seni tradisi dalam dunia panggung agaknya perlu diperhatikan. Pada masa emas kesenian tradisi Surakarta ketika Rusman, Darsih, dan rekan-rekan seangkatannya berjaya (1960-an hingga 1980-an), mereka terlibat secara total dalam dunia kesenian tradisi itu. Mereka mendedikasikan hidupnya pada kesenian tradisi tersebut. Dalam masa sekarang, banyak pemain terjun ke dunia kesenian tradisi sekedar sambilan. Akibatnya, sulit diharapkan mereka dapat terjun secara total. Ketiga, dari segi teknologi pementasan, kesenian tradisi juga perlu dilakukan inovasi dan rekonstruksi. Guna menambah daya tarik pementasan kesenian tradisi, para pekerja seni dapat mengadopsi teknologi komunikasi dan media seperti dalam sinema sehingga lebih berdaya jual. Cerita tetap bersumber dari pakem, tetapi teknologi mesti mengikuti perkembangan zaman. Dari aspek tata panggung, tata cahaya, tata suara, tata musik, perlu ditunjang dengan teknologi canggih. Panggung misalnya, kiranya dapat diusahakan agar nampak lebih hidup dengan menggunakan teknologi sinema sehingga latar (setting) akan terlihat lebih hidup dan atraktif. Dalam hal-hal tertentu, kelompok kethoprak Siswa Budaya dari Jawa Timur sudah memanfaatkan teknologi itu. Keempat, dari segi manajemen pementasan, kesenian tradisi perlu lebih profesional. Sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu bentuk hiburan yang dijajakan untuk para wisatawan/masyarakat, maka pementasan kesenian tradisi dalam konteks pengembangan pariwisata budaya harus dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis hiburan (entertainment). Dari perencanaan program, termasuk pemasaran (marketting) melalui publikasi dan promosi yang memadai dengan berbagai cara: media elektronik (radio, TV), media cetak surat kabar, pamflet di berbagai tempat strategis dan lembaga-lembaga pendidikan, selebaran, mobil keliling, dan seterusnya. Yang tak kalah pentingnya adalah manajemen keuangan. Keuangan harus dikelola dengan penuh disiplin. Dengan harga tiket masuk (HTM) yang relatif ringan (Rp 5000,00 Rp 10.000,00), penjualan tiket masuk harus benar-benar ketat. Di lapangan ditemukan data bahwa banyak penonton yang dapat masuk ke gedung kesenian/ arena tanpa membayar. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip manajemen bisnis hiburan. Terlebih jika wisata budaya ini dikembangkan dalam kerangka mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD).

326

3.3 Langkah Strategis untuk Mewujudkan Kesenian Tradisi sebagai Produk Unggulan dalam Menunjang Pariwisata budaya di Surakarta Dari wawancara dengan berbagai kalanagan diperoleh temuan, bahwa jika kesenian tradisi akan diberdayakan menjadi produk unggulan dalam wisata budaya, maka perlu dilakukan langkahlangkah strategis sebagai berikut. Pertama, mengemas kesenian tradisi menjadi sebuah suguhan kesenian yang memikat, namun efisien waktu. Untuk keperluan wisatawan terlebih wisatawan asing yang memiliki waktu relatif sedikit--, maka perlu dilakukan kreasi baru yang lebih simpel, tanpa harus mengurangi nilai estetiknya. Pementasan kesenian tradisi dapat dikemas menjadi sebuah sajian yang ringkas, padat, namun tetap atraktif. Alur ceritanya tetap dapat diikuti oleh penonton, tetapi disajikan dalam bentuk ringkas dan padat (simpel). Adapun untuk suguhan bagi wisatawan asing yang memiliki keterbatasan waktu, maka pementasan kesenian tradisi dapat dilakukan juga di hotel-hotel selain di Taman Sriwedari, auditorium RRI, dan Balaikambang--. Sebagai perbandingan, kita dapat belajar dari pementasan seni drama tari (sendratari) Ramayana di Candi Prambanan atau tari Kecak di Student Centre Bali. Keduanya digarap sedemikian atraktif dan memikat meskipun singkat. Kedua, untuk meningkatkan daya jual (marketable), pada even-even tertentu pihak pengelola perlu mendatangkan bintangbintang tamu dalam pementasan kesenian tradisi. Guna memancing masyarakat datang menyaksikan pementasan kesenian tradisi, perlu dihadirkan bintang tamu yang namanya dapat menjadi daya magnetik bagi penonton. Diperoleh data di lapangan, bahwa banyak penonton membanjiri Auditorium RRI Surakarta dan gedung kesenian Sriwedari karena ingin menyaksikan bintang tamu Basuki (alm.), Ki Manteb, dan Yati Pesek, yang ikut bermain kethoprak dan wayang orang. Sekedar ilustrasi, ketika dipentaskan kethoprak dengan lakon Arya Penangsang di auditorim RRI Surakarta dengan menghadirkan bintang-bintang kondang seperti Ki Mantep Sudarsono, Ki Gati (saudara kembar Ki Gito (Alm.) dari Yogyakarta), Timbul, Basuki (alm.), dan Nunung (Srimulat), dan lain-lain, ternyata penonton datang berduyun-duyun memenuhi arena pertunjukan. Demikian pula ketika di gedung Sriwedari digelar Wayang Orang yang diproduksi oleh para seniman muda yang tergabung dalam Paguyuban Seniman Wayang Orang Surakarta (STSI Surakarta, SMK Karawitan, sanggar-sanggar kesenian, dan para siswa dari berbagai sekolah di Surakarta yang menggeluti kesenian tradisi itu), penonton

327

pun membludak. Ketiga, perlu dilakukan kerja sama secara sinergis dengan institusi terkait. Dalam upaya lebih membumikan kesenian tradisi sebagai aset wisata budaya yang dapat mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD) sekaligus upaya pelestarian dan pewarisan seni budaya tradisi, perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait seperti: sanggar kesenian, lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi), Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Taman Budaya Surakarta (TBS), Gabungan Seniman Wayang Orang Surakarta, biro perjalanan wisata, dan hotel. Komunitas seni budaya perlu diajak kerja sama dalam penggarapan kesenian tradisi. Sekolah dan perguruan tinggi dapat diajak untuk menanamkan nilai-nilai budaya adiluhung dengan memberikan dasar-dasar apresiasi kesenian tradisi melalui proses pembelajaran di kelas, sanggarsanggar seni sekolah (ekstrakurikuler), dan menyaksikan pementasan kesenian tradisi. Dengan demikian, niscaya para siswa akan memiliki rasa memiliki (handarbeni) atas budaya warisan leluhur. Keempat, perlu retrospeksi berbagai pihak terkait untuk mengkaji revitalisasi kesenian tradisi. Melalui diskusi dan sarasehan akan dapat ditemukan berbagai permasalahan yang bergayut dengan upaya revitalisasi kesenian tradisi guna menunjang pariwisata budaya. 4. Simpulan Secara umum pementasan kesenian tradisi seperti wayang orang dan kethoprak di gedung kesenian Sriwedari, auditorium RRI Surakarta, dan Balaikambang, perlu penggarapan yang lebih kreatif dari aspek teatrikalnya dan modernisasi sarana pendukung pementasannya. Dengan pengelolaan secara terpadu dan manajemen profesional serta adanya kerja sama secara sinergis dengan pihak terkait yakni seniman/budayawan, akademisi dan pengamat budaya, Dinas Pariwisata budaya, Biro Jasa Wisata (pengusaha industri pariwisata budaya) dan pihak perhotelan, kesenian tradisi akan dapat eksis sebagai aset unggulan dalam menunjang pariwisata budaya budaya di Surakarta. Tantangan yang dihadapi dalam upaya revitalisasi kesenian tradisi meliputi empat aspek yakni: (1) penggarapan kesenian tradisi yang meliputi: segi cerita yang terkesan monoton, penggarapan aspek teatrikal kurang kreatif dan atraktif, teknologi pementasan masih konvensional, dan manajemen pementasan yang tidak profesional; (2) proses pewarisan nilai budaya tradisi dalam masyarakat tidak berjalan

328

dengan baik sehingga tingkat apresiasi masyarakat terhadap kesenian tradisi menurun; (3) membanjirnya berbagai produk teknologi komunikasi dan media massa mempengaruhi menurunnya minat masyarakat atas kesenian tradisi; (4) perubahan nilai-nilai kehidupan akibat globalisasi berdampak pada bergesernya respons dan apresiasi masyarakat atas seni budaya; kini kecenderungan masyarakat lebih kepada seni budaya modern.. Adapun upaya revitalisasi kesenian tradisi dapat dilakukan melalui reaktualisasi agar sesuai dengan dinamika kehidupan. Upaya itu meliputi: (1) penggarapan cerita yang lebih variatif dan mengangkat masalah aktual; (2) penggarapan teatrikalnya yang lebih kreatif dan atraktif; (3) perlu inovasi dalam teknologi pementasan misalnya dengan mengadopsi teknologi sinema/film; (4) pengelolaan manajemen pementasan yang profesional. Adapun langkah-langkah strategis antisipatif untuk mewujudkan kesenian tradisi menjadi aset budaya unggulan dalam pengembangan pariwisata budaya di Surakarta adalah: (1) mengemas kesenian tradisi menjadi tontonan ringkas dan padat tetapi memikat; (2) menghadirkan bintang tamu dalam pementasan pada even-even tertentu; (3) peningkatan kerja sama secara sinergis dengan pihakpihak terkait; (4) dilakukan sarasehan bersama antar-berbagai pihak terkait guna merealisasikan kesenian tradisi menjadi aset unggulan dalam menunjang pariwisata budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia. Cambridge Massachussets: Harvard University Press. Clara van Groenenael, Victoria M. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Temprint. Deparpostel. TT. Pariwisata dan Sapta Pesona. Jakarta: Dirjen Pariwisata Deparpostel. Hersapandi. 1994. Etnis Cina dan Wayang Orang Panggung Komersial dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Edisi Th. V/1994. Kartodirjo, Suyatno. 1990. Mencari Budaya yang Relevan sebagai Potensi Pengembangan Pariwisata, Makalah Seminar Pariwisata budaya Budaya se-Jawa Bali di SEMA Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret. Kayam, Umar. 1983. Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan. Koentjaraningrat. 1983. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. , 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

329

Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, or Contemporere: A Study of the Javanese Performing Arts. Ph. D. Dissertation, University of Sydney. Sayid, R.M. 1981. Ringkasan Sejarah Wayang. Jakarta: Pradnya Paramita. Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. Singarimbun, Masri (Ed.). 198 5. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Supanggah, Rahayu, 1991. Karawitan Anak-Anak: Gejala Perkembangan Karawitan Jawa yang Memprihatinkandalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Edisi Th. II/1991. Yoeti, Oka. 1985. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Angkasa. Ismail, 1990. Wawasan Jati Diri dalam Pembangunan Jawa Tengah. Semarang: Effhar dan Bahara Prize.

330

PEMBUATAN FILM DOKUMENTER: Flora Dalam Budaya Sunda


Retty Isnendes, Asep Sutiadi, dan Hernawan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Pendahuluan ksploitasi terhadap keanekaragaman hayati untuk keperluan bisnis dan industri dilakukan pialang-pialang besar tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan dan aspek keberlanjutannya (The World Conservation Union, Kehati, 2003). Beberapa data telah menunjukkan tentang kecenderungan penurunan keanekaragaman hayati di Indonesia. Sekitar 600 spesies tumbuhan diketahui telah punah pada abad ke-17. Padahal Indonesia bahkan belum sempat mendatanya (Keogh; Rustaman, 2005). Kegiatan manusia meningkatkan kepunahan spesies tumbuhan sebanyak seribu kali lipatnya. Kegiatan manusia pula yang merusak keseimbangan alam di dunia ini. Budaya masyarakat yang selaras dengan kehidupan alam sekitarnya semakin tidak dapat dipertahankan dan kemungkinan terbesarnya hilang atau punah. Padahal, keselarasan budaya dengan alam hanya akan mungkin terjadi apabila hutannya masih terjaga dan terpelihara. Sudah saatnya semua pihak harus menunjukkan kepedulian akan pentingnya konservasi alam hayati dan budaya. Kepedulian tersebut bukan hanya pada tataran menjaga secara materi tetapi juga secara immateri. Kepedulian akademis ditunjukkan dengan, di antaranya, berbagai penelitian untuk mengkaji tentang hubungan antara pengetahuan masyarakat tradisional Sunda dengan biologi, khususnya kekayaan flora di Tatar Sunda. Keanekaragaman hayati flora di Tatar Sunda merupakan aset kekayaan bangsa yang dapat menjamin kelangsungan hidup masyarakat Sunda pada khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Kekayaan dan keanekaragaman akar, umbi, batang, daun, bunga, buah di Tatar Sunda belum teridentifikasi dengan baik. Beberapa flora khas di Tatar Sunda juga mulai mengalami kelangkaan. Hal tersebut disebabkan karena pergeseran budaya dan berkurangnya kearifan lokal di masyarakat. Masyarakat kurang menyadari lagi pentingnya menanami pekarangan dengan tanaman lokal demi kelestarian tananaman tersebut. Banyaknya spesies-spesies tanaman

331

hias import yang dewasa ini sangat digemari semakin menggeser kedudukan dan kelestarian tanaman lokal. Diperlukan berbagai upaya sistematik untuk menyelamatkan kekayaan flora di Tatar Sunda. Kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman dan wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologi (Keraf, 2002 dalam Isnendes, 2009; 2010). Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang sekaligus membentuk pola prilaku manusia sehari-hari. Kearifan tradisional semakin langka saja, apalagi pada generasi muda yang notabene tidak mengenal kehidupan natural. Hal tersebut karena pergeseran budaya dan sosial ke arah konsumerisme dan teknologi (sains) yang salah kaprah. Masyarakat sosial, terutama generasi muda mengetahui alam (komunitas ekologis) sebagai pengetahuan kiranya hanya di lembaga-lembaga pendidikan saja. Itu pun apabila gurunya membelajarkannya. Apabila tidak dibelajarkan maka semakin jauhlah jarak pengetahuan mereka tentang alam. Bahkan kemungkinan mereka mempunyai sikap yang apatis dan tidak peduli pada kehidupan komunitas ekologis di sekelilingnya. Pembelajaran sains dewasa ini kurang memberi wawasan berpikir termasuk untuk memelihara lingkungan. Pembelajaran sains kurang memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup warganegara. Padahal pembelajaran sains semestinya dapat mengembangkan kepekaan terhadap lingkungan dan wawasan berpikir untuk kehidupan masa depan yang baik (Rutherford & Ahlgren, 1990; Rustaman, 2005). Kurikulum dewasa ini semestinya lebih berorientasi pada strategi mempersiapkan warga negara yang produktif (Rustaman, 2006). Apabila mengacu pada NRC (1996) rendahnya kontribusi pembelajaran sains terhadap kelulushidupan warga negara mungkin disebabkan karena terlepasnya pembelajaran sains dari konteks sosial; hanya menitik beratkan pada penguasaan materi; dan penggunaan asesmen yang tidak tepat sehingga warga negara hanya dipersiapkan untuk menguasai pengetahuan. Sebagai bahan pembelajaran, keanekaragaman hayati flora Sunda bisa dijadikan bahan dan tema dalam pembelajaran mata pelajaranmata pelajaran atau mata kuliah-mata kuliah tertentu, misalnya: Biologi, Lingkungan Hidup, Bahasa Daerah, Seni, dan Budaya, atau pada mata pelajaran akumulatif pertanian di sekolah menengah kejuruan. Bahkan di Perguruan Tinggi, keanekaragaman hayati flora Sunda bisa dikemas dan dijual pada mata kuliah tertentu, seperti

332

boga, busana, leisure and resort, dsb. Yang terpenting dari semuanya adalah mata pelajaran-mata pelajaran tersebut peka alam dan budaya, tidak terasing dan mengasingkan diri dari kondisi kontekstual alam semesta. Pengenalan peserta didik pada flora Sunda idealnya terjadi di lapangan sebagai bagian dari investigasi atau observasi pembelajarannya. Tetapi, apabila hal tersebut tidak dimungkinkan, maka media menjadi hal penting dalam menghadirkan materi flora Sunda. Penghadiran gambar pada media film adalah masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini. Gambar atau film adalah media penting, baik dalam pembelajaran atau pun dalam mediasi flora Sunda. Hal itu karena media film bisa dijadikan alat dokumenter dalam menyimpan warisan alam semesta; flora Sunda yang masih hidup dan yang diambang kepunahan. Media gambar merupakan media penting yang dapat digunakan untuk mensosialisaikan keanekaragaman hayati flora Sunda. Media tersebut dapat dijadikan sebagai sarana persuatif untuk melibatkan masyarakat Sunda dan dunia dalam upaya menjaga kelestarian flora di alam semesta. Keanekaragaman bunga, buah, daun, dan batang yang terdapat pada flora Sunda dapat diperkenalkan kepada masyarakat dunia. Penyusunan bahan untuk media gambar akan memediasi upaya-upaya investigasi dan inventarisasi flora-flora Sunda. Masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana mengangkat flora Sunda menjadi media gambar hidup tiga dimensi (film dokumenter) yang dimanfaatkan oleh masyarakat Sunda? Tinjauan Pustaka Alam dan Budaya Sunda Alam dan budaya Sunda merujuk pada pemaknaan fisiografi dan kultural tentang alam dan budaya yang terdapat di wilayah Banten, Jawa Barat, dan Cirebon. Secara fisiografi, wilayahnya berwujud dataran rendah alluvial di baguan utara dan pegunungan di bagian selatan. Perbandingan antara dataran rendah dan bagian pegunungan adalah 1:3. Ini membuktikan bahawa alam Jawa Barat lebih luas bagian pegunungan daripada bagian dataran rendahnya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya gunung yang ada di Jawa Barat, yaitu sekira 30 gunung. Kekayaan tambang yang terdapat pada alam Jawa Barat di antaranya: emas, mangan, belerang, minyak bumi, dan gas bumi. Kekayaan hayati tidak perlu diragukan lagi, apalagi didukung dengan

333

fakta sebagai wilayah yang dilalui garis katulistiwa menyebabkan Jawa Barat menjadi daerah tropis. Suatu daerah yang sangat nyaman dihuni oleh makhluk hidup, terutama flora dan fauna. Selain itu, lapisan tanah di wilayah Jawa Barat banyak mengandung endapan vulkanis dan alluvial yang berasal dari letusan gunung berapi, hal ini menyebabkan kesuburan tanahnya menumbuhkan aneka macam tanaman, baik tanaman liar berupa hutan, maupun tanaman peliharaan melalui usaha pertanian. Alffred Russel Wallace (yang namanya diabadikan menjadi garis Wallace), melakukan perjalanan ke puncak Gunung Pangrango dan Gunung Gede untuk mengobservasi dan mengumpulkan segala jenis flora dan fauna yang dijumpainya, menyaksikan sendiri adanya berbagai jenis tanaman yang biasa tumbuh di daerah tropis sampai yang biasa tumbuh di daerah dingin seperti di Eropa, bisa tumbuh di wilayah tersebut. Kebun Raya Bogor menjadi saksi bahwa hampir semua tanaman tropis dapat tumbuh di bumi Jawa Barat. Hutan lebat ditumbuhi aneka jenis pohon, mulai dari lumut, anggrek, hingga pohonan keras dan meraksasa; beringin; rasamala. Pohonan tersebut bisa tumbuh di dataran rendah sampai di dataran tinggi; puncak gunung pada ketinggian 8000 kaki lebih. Di sekitar puncak Gunung Gede saja, tidak kurang dari 3000 jenis tanaman tumbuh dengan suburnya (Wallace, 1902: 85, 89-90). Areal hutan di wilayah Jawa Barat semakin lama semakin berkurang. Pengurangan luas areal hutan itu makin lama makin luas sejak diperlukan untuk lahan perkebunan, pertanian (sawah dan ladang), pemukiman, dan industri, serta diperlukan kayunya untuk bahan bangunan dan lain-lain. Apabila tahun 1973, area hutan sekira 1.035.055,3 ha dengan hitungan 468.018,7 ha untuk hutan lebat dan 567.036,6 ha untuk hutan sejenis dan hutan belukar (Direktorat Tata Guna Lahan 1973:7-8), maka sekarang (tahun 2003) menurut Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) hutan negara secara hitungan normatif adalah 816.603 ha saja (Pusat Studi Sunda, 2007:6). Artinya, dalam kurun waktu 30 tahun, hutan di Jawa Barat berkurang seluas 218.452,3 ha. Kelenyapan hutan seluas itu, tentu berpengaruh terhadap lini kehidupan: ekosistem, flora, fauna, tambang, mineral, mengubah tatanan fisik dan psikis komunitas masyarakat tradisional atau masyarakat adat, juga pada akhirnya: budaya Sunda secara keseluruhan. Unsur-unsur universal dalam satu budaya, menurut

334

Koentjaraningrat (1993 cet ke-16:2) ada tujuh macam, yaitu: 1) sistem religi dan kepercayaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencaharian hidup, dan 7) sistem teknologi dan peralatan. Ketika komunitas hutan hilang, dengan sendirinya keselarasan manusia dengan alamnya pun hilang. Ketujuh unsur budaya pun terkena dampaknya. Dampak negatif yang terparah adalah musnah atau punahnya sub unsur yang ada pada tiap unsur budaya tadi. Untungnya, sistem pengetahuan dalam budaya manusia dapat menyelamatkan atau meminimalisir kepunahan tersebut. Pengetahuan-pengetahuan tersebut bisa diawetkan dengan unsur bahasa. Bahasa menjadi media untuk mengkomunikasikan dan merelasikan pengetahuan tersebut. Bahasa juga dapat menyimpan kekayaan enam unsur budaya lainnya. Bahasa Sunda adalah kekayaan orang Jawa Barat, khususnya orang Sunda, selain bahasa daerah lainnya. Bahasa Sunda menyimpan kekayaan budaya Sunda yang tak terkira harganya. Bagaimana tidak, selain bahasa berfungsi sebagai alat; media komunikasi yang berkembang dan dipakai untuk mengeluarkan perasaan-perasaan, pikiran, dan keinginan masyarakat penuturnya, juga secara hakikat bahasa mempunyai kemampuan sebagai menumbuhkembangkan tradisi dan budaya masyarakatnya. Dalam hal ini budaya Sunda, yang diakui sebagai bagian dari budaya daerah pendukung kebudayaan nasional bangsa Indonesia. Pada sastra lisan Sunda --yang kemudian dituliskan, hidup kekayaan budaya manusia Sunda: terutama pengetahuan yang menjadi kekayaan mengenai alam sekitar tempat yang pernah manusia Sunda diami dan berinteraksi dengannya. Pengetahuan-pengetahuan tersebut mengendap dalam ragam sastra lisan. Terutama kekayaan flora Sunda. Flora Sunda Dalam sejarah Jawa Barat (ilmu sejarah, artinya pada tataran fakta empirik, fakta primer) tercatat jenis-jenis tanaman yang telah lekat dengan kehidupan masyarakatnya. Tanaman tarum (indigo), telah ditemukan dalam tataran sejarah Kerajaan Sunda dan Pajajaran, sebagai bahan pewarna yang dijualbelikan. Tidak heran bila kemudian ada sungai bernama Citarum atau Kerajaan Tarumanagara. Demikian juga dengan lada, padi, tamanan tersebut sudah disiarkan keberadaannya hingga abad ke-17. Bahkan buah lada disebut sebagai buah yang nilai ekonominya tinggi karena dijadikan alat penukar kebutuhan pokok

335

masyarakat Sunda ketika itu, dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara dan luar Nusantara; diantaranya dengan pemerintahan Portugis. Hingga pada abad ke-20, tamanan yang tercatat dalam sejarah Sunda adalah kopi, kina, teh, karet, tebu, kelapa, jarak. Tanamantanaman tersebut berhubungan dengan perkebunan dan kisah penjajahan yang pahit dan kelabu (Haryoto Kunto, 1983). Berbeda dengan pada abad ke-21, dewasa ini, jenis tanaman padi, teh, karet, kelapa sawit, coklat, tebu, dan sejumlah sayuran mempunyai nilai tinggi. Demikian pula dengan tanaman keras, dimanfaatkan kayunya karena berkualitas tinggi dan bernilai ekonomis. Kayu-kayu tersebut tumbuh dari masa lalu dan berumur puluhan bahkan ratusan tahun. Tanaman-tanaman keras tersebut tumbuh di hutan-hutan di seluruh Jawa Barat. Selain tanaman-tanaman yang diketahui secara fakta empirik, ilmu biologi, dan ilmu sejarah, ragam kekayaan tanaman pada masyarakat Sunda juga tersimpan secara permanen dalam sastra dan folklore. Sastra lisan Sunda mewadahi kreativitas manusia Sunda yang erat berinteraksi dengan alam sekitarnya. Dalam idiom-idiom, peribahasa, sisindiran pantun, cerita rakyat, guguritan, lelucon, nyayian anakanak, flora Sunda hidup diawetkan. Dalam folklor demikian juga; dalam permainan, kepercayaan, pengobatan tradisional, perundagian (arsitektur tradisional), tatarias, tataboga, tatabusana, dsb., flora Sunda adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya. Tinjauan flora Sunda secara ilmiah populer telah ditulis oleh H. Unus Suriawiria, pengajar di Jurusan Biologi ITB. Beliau mengkhususkan diri menulis tentang lalab lalap pada budaya Sunda. Judul tulisannya adalah Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda (1981) dan Lalab untuk Kesehatan dan Kebugaran (1994). Isi dari tulisannya adalah: 1) menggali kebiasan memakan lalab orang Sunda, 2) sekilas dibahas korelasi antara kepercayaan, khasiat, dan nilai gizi yang terkandung dalam lalab, dan 3) jenis-jenis lalab yang dimakan orang Sunda. Tinjauan lain adalah berupa makalah PKMPI (Program Kreativitas Mahasiswa-Penulisan Ilmiah) yang ditulis oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa daerah FPBS UPI. Makalah tersebut berjudul Flora Sunda: Tafsir Culture Studies Idiom dan Peribahasa Sunda (2006) dan Tanaman Obat Keluarga (Toga): Tafsir Back to Nature pada Babasan dan Paribahasa (Idiom) Sunda (2008). Makalah tersebut didanai DIKTI sebesar dua dan tiga juta rupiah dan menembus PIMMAS di Malang dan Semarang. Dosen pembimbing pada kegiatan tersebut adalah penulis sendiri, Retty Isnendes, S.Pd., M.Hum. Isi dari PKMPI

336

tersebut adalah 1) mendeskripsikan flora Sunda dalam idiom dan peribahasa, dan 2) konstruksi budaya yang berkaitan dengannya, 3) tafsir back to nature terhadap flora Sunda. Sumber yang digunakan adalah tiga buku tentang idiom dan peribahasa Sunda, dan terdapat 37 idiom dan peribahasa Sunda yang mencatat nama flora. Ke-37 nama flora itulah yang dikaji oleh kelompok. Selain dua tinjauan di atas, penulis tidak menemukan lagi kajian mengenai flora yang berhubungan dengan budaya Sunda apalagi dengan mediasinya, baik berupa hasil penelitian atau berupa buku populer. Dengan demikian, kajian ini lebih luas dan dalam dengan luaran yang kongkrit berupa pemediasian terhadap flora Sunda dari dua tinjauan yang ada. Media Media pembelajaran adalah media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan dan isi pembelajaran, dan biasanya dituangkan dalam GBPP dan dimaksudkan untuk mempertinggi mutu kegiatan belajar-mengajar (Santoso S. Hamidjojo dalam Nuryani (2005: 115). Jenis-jenis media bermacam-macam, yaitu: 1) bahan publikasi, 2) bahan bergambar, 3) bahan pameran, 4) bahan proyeksi, 5) bahan rekaman audio, 6) bahan produksi, 6) bahan siaran, 7) bahan pandang dengar, 8) bahan model/benda tiruan. Foto termasuk pada real material and person menurut Gerlach&Elly dalam Suryani (2005: 118). Foto dalam kegiatan pembelajaran termasuk pada media grafis. Sedangkan fungsi media adalah sebagai berikut. 1) Memperjelas dan memperkaya atau melengkapi informasi yang diberikan secara verbal. 2) Meningkatkan motivasi dan perhatian siswa untuk belajar. 3) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyampaian informasi. 4) Menambah variasi penyajian materi. 5) Pemilihan media yang tepat akan menimbulkan semangat, gairah, dan mencegah kebosanan peserta didik. 6) Mudah dicerna dan lebih membekas, sehingga tidak mudah dilupakan siswa. 7) Memberikan pengalaman yang lebih kongkret bagi hal yang mungkin abstrak. 8) Meningkatkan keingintahuan peserta didik. 9) Memberikan stimulus dan mendorong respon peserta didik. Adapun peranan media dalam pembelajaran adalah sebagi berikut.

337

1) Mengatasi masalah keterbatasan ruang kelas. 2) Mengatasi masalah letak geografis. 3) Mengatasi gerak benda yang terlalu cepat dalam realitas. Film

Film dipercaya sebagai media yang paling besar pengaruhnya di masyarakat. Film bukan saja sebagai pengingat yang menyentuh memori manusia pada kehidupan, tetapi juga bisa sebagai alat pengingat terhadap perubahan-perubahan kehidupan. Dengan demikian, film selain berpengaruh terhadap bagaimana melakoni kehidupan, film juga sangat berpengaruh terhadap pola pikir manusia. Film bisa membawa kita pada kehidupan yang pernah dilewati oleh manusia, juga bisa membawa kita masuk dan mengerti pada budaya yang berbeda. Selain itu, film menambah pengalaman estetis lewat keindahan yang disuguhkannya. Film adalah karya cipta seni dan budaya yang memanfaatkan media komunikasi massa pandang-dengar. Film yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan cara direkam dina pita seluloid, pita video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya (digitalisasi) dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melewati proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, memakai atau tak memakai suara, yang bisa ditayangkan melalui sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan lainnya. Pengertian film, selain pengertian di atas adalah gambar hidup atau sering disebut movie. Secara kolektif, film disebut sinema. Gambar hidup adalah bentuk manifestasi seni, bentuk populer dari hiburan, dan bisnis. Film dihasilkan oleh rekaman manusia dan peralatan (termasuk fantasi dan figur palsu) melalui kamera atau animasi (http:// www.wikipedia.org/encyclopedia.) Dalam penelitian ini akan dibuat film dokumenter. Film dokumenter adalah film yang menyajikan realita melalui cara-cara yang dibuat untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Film dokumenter dibuat tidak lepas dari meluasnya informasi pendidikan dan propaganda. Contoh film dokumenter yang sangat bermutu adalah yang ditayangkan melalui program National Geografic dan Animal Planet. Unsur-unsur dalam pembuatan film adalah: kamera, skenario, dialog, musik, latar atau setting, mutu pertunjukan, credit tile, angle kamera dan akting, warna, teknik editing (gambar, musik, suara, pencahayaan), dan sistem kontinuitas dalam editing. Beraneka ragamnya bahan tersebut dapat dilihat dari mulai yang

338

sederhana sampai yang kompleks mempunyai karakteristik tertentu. Setiap media mempunyai kelebihan dan kelemahannya. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif mengisyaratkan metode kualitatif. Metode kualitatif pada penelitian ini menekankan pada: (1) latar alamiah, (2) manusia sebagai instrumen, (3) adanya (analisis) deskriptif, (4) pentingnya proses, (5) desain yang terus disesuaikan dengan kenyataan lapangan, dan (6) hasil penelitian disepakati bersama. Metode kualitatif adalah juga sebuah prosedur penelitian yang berdasarkan dan menghasilkan data-data deskriptif berupa katakata tertulis (atau lisan yang ditulis). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pendokumentasian dan mediasi. Teknik pendokumentasian dalam penelitian ini bertujuan pengarsipan dan pendokumentasian yang bersifat penelitian di lapangan (field work). Tahapan yang dilakukan adalah 1) prapenelitian di lapangan. Dalam tahap ini, peneliti akan membuat perencanan sematang mungkin tentang: a. jenis fakta empirik biologi tentang flora Sunda; b. wilayah kerja (lapangan) yang dianggap lengkap dalam penyediaan data penelitian, perbandingkan, dan pengambilan gambar flora Wilayah kerja penelitian ini adalah provinsi Banten dan Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur, Bandung, Jatinangor, Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Cirebon); c. Menyiapkan instrumen penelitian untuk pemupuan data, atau teks wawancara untuk pembuatan gambar. d. alat-alat yang digunakan dalam pendokumentasian (alat tulis, kamera, handy camp, tape recorder, dll). 1) Penelitian di lapangan. Pada tahap ini digunakan langkah a. pengamatan, b. observasi lapangan, c. wawancara, d. pupuan data. Pada pelaksanaan pupuan data dilakukan pencatatan data dan pengambilan gambar film flora secara parsial (perbagian flora). 2) Pembuatan film. Dalam tahap ini flora Sunda diambil gambarnya dan diinterpretasi ulang keberadaannya. Setelah data diperoleh, kemudian data film dikumpulkan dan disusun menjadi film dokumenter yang lengkap setelah proses editing film.

339

Teknik mediasi dalam penelitian ini adalah bagaimana teks ditransformasi dari berupa kata-kata ke medium yang berupa gambar tiga dimensi, khususnya mengetengahkan flora Sunda yang digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat Sunda dalam gambar hidup yang bersifat dokumenter. Pembahasan Hasil Penelitian 1) Proses Pemilihan Data Data dalam pembuatan film ini adalah semua flora yang telah terpilih bagi kepentingan film itu sendiri. Dari hasil penelitian sebelumnya dan dari hasil penelitian mahasiswa Sunda, ditemukan flora dalam idiom dan peribahasa Sunda. Idiom dan peribahasa yang menggunakan flora sebagai bahannya memperlihatkan bagaimana eratnya flora dengan manusia Sunda. Manusia Sunda secara sadar dan bertransendental menggunakan flora sebagai kiasan terhadap sesuatu yang dianggap mungkin menggambarkan apa yang dimaksudnya. Dari ke-36 data yang diperoleh, dipilih idiom dan peribahasa yang mungkin dihadirkan pada film. Selain itu dilakukan juga data wawancara dengan seseorang yang dianggap ahli pada bidangnya. 2) Skenario Film Flora pada Budaya Sunda Film yang diproduksi adalah film dokumenter. Film dokumenter berangkat dari satu gagasan yang menjadi sumber lahirnya film tersebut. Membuat film dokumenter adalah mengkomunikasikan ide-ide lewat paduan gambar dan suara. Membuat film dokumenter adalah memberikan sebuah peyakinan kepada penonton tentang apa yang direkam. Hal-hal penting dalam pembuatan film dokumenter ini adalah: ide cerita, riset, menentukan alur cerita, menulis script film. a. Ide Cerita Ide cerita dalam film dokumenter ini adalah mendokumentasikan flora Sunda yang menjadi latar alam kehidupan manusia Sunda, menjadi kebutuhan dalam kehidupannya, dan menjadi budaya Sunda yang memancar dari unsur-unsur kebudayaan yang ditawarkan oleh Koentjaraningrat. b. Riset Riset yang dilakukan adalah riset pustaka dan riset visual/lapangan. Pada riset visual, membuat film dokumenter dihadapkan pada: (1) melakukan pengumpulan data-data yang sesuai dengan ide cerita,

340

juga mewawancarai orang-orang yang relevan dengan ide film, (2) mencari dan melakukan seleksi tokoh yang nanti akan menjadi juru tutur dalam film, (3) menghitung lokasi shooting, untuk kebutuhan teknis gambar dan suara, dan (4) menghitung kemungkinan lama waktu shooting. c. Menentukan Alur Cerita Alur cerita film tersebut terdiri atas, (1) awal, (2) tengah, dan (3) penutup. (1) Awal Film ini dibuka dengan gambar: kerusakan hutan. Bagaimana manusia mengeksploitasi hutan, menumbangkan pohon, kebakaran hutan, akibat dari pembukaan hutan; banjir, tandus, kemiskinan, dan lain-lain, mendirikan bangunan tanpa melihat lingkungan sekitar, dll. (2) Tengah Gambar beralih pada pemandangan yang menyejukan mata, di antaranya hutan yang rimbun, kehijauan tumbuhan, sawah yang luas, kebun, tegalan, taman kota, tumbuhan sekitar, semak belukar, tumbuhan di sekeliling rumah; pada keseharian hidup, bunga-bunga, buah-buahan, jenis-jenis pohon yang dikenal oleh orang Sunda. Pada bagian ini pula, gambar kemudian beralih ke kampus UPI, mendokumentasikan laboratorium alam UPI, melihat dari dekat pohon-pohon kampus, lalu naik ke taman botani UPI. Menyorot tumbuh-tumbuhan langka dan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya. Kemudian wawancara dilakukan dengan Bapak Drs. H. Eman Abdurrahman tentang sejarah dan jenis-jenis pohon yang ada serta kemanfaatan dan kepentingannya. Gambar kemudian beralih pada sisi budaya yang melibatkan flora atau tumbuhan oleh manusia Sunda. Gambar memperlihatkan cuplikan-cuplikan kegiatan adat/budaya yang memanfaatkan tumbuhan pada kegiatannya. Ada beberapa upacara adat yang direkam. Ada rekaman wawancara dengan Drs. Dede Kosasih, M.Si tentang hubungan flora dengan penamaan tempat/wilayah (toponimi). Ada wawancara dengan Chye Retty Isnendes, pemerhati flora dalam upacara adat Sunda. (3) Penutup Gambar kemudian difokuskan pada pengangkatan idiom dan peribahasa Sunda yang menggunakan unsur flora di dalamnya. Pada bagian ini diperlihatkan tulisan jenis idiom atau peribahasanya, lalu penayangan gambar tumbuhannya. Gambar ini diketengahkan

341

secara khusus untuk menjadi model membelajarkan flora pada peserta didik, baik dalam mata pelajaran (B. Sunda, Biologi, PLH, dll), ataupun mata kuliah (Budaya Sunda, Folklor, Tradisi Lisan, dll) yang bisa mengambil manfaat daripadanya. Kemudian film ditutup dengan sebuah pertanyaan: Bila para pendahulu kita telah mewariskan kearifan lokal yang begitu luar biasa mengenai hubungan lahir-batin antara alam dan harmoni hidup dari tumbuhan-tumbuhan di sekitarnya, bagaimana generasi sekarang dan akan datang bisa menapaki hidup pada kondisi alam yang rusak dan hancur? 4) Menulis Script Film Bagian terakhir adalah menulis script film mengenai flora dalam budaya Sunda. Bagian ini adalah bagian tersulit karena harus menentukan detil scene, gambar visual, waktu, dan audio. Simpulan Hasil penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan antara alam dan lingkungan sekitarnya. Manusia sebagai bagian dari ekosistem alam ini mempunyai peranan penting dalam kelestarian alam tersebut. Penelitian pembuatan film dokumenter flora Sunda ini merupakan salah satu upaya pengenalan kearifan lokal budaya Sunda yang tersirat dalam ungkapan dan peribahasa Sunda kepada peserta didik pada khususnya dan kepada masyarakat luas pada umumnya. Pengenalan peserta didik pada flora Sunda idealnya terjadi di lapangan sebagai bagian dari investigasi atau observasi pembelajarannya. Tetapi, apabila hal tersebut tidak dimungkinkan, maka media menjadi hal penting dalam menghadirkan materi flora Sunda. Media yang paling efektif adalah gambar dua dimensi yang berupa ilustrasi atau foto. Selain itu, adalah media gambar tiga dimensi (film). Penghadiran gambar pada media film adalah masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini. Gambar atau film adalah media penting, baik dalam pembelajaran atau pun dalam mediasi flora Sunda. Hal itu karena media film bisa dijadikan alat dokumenter dalam menyimpan warisan alam semesta; flora Sunda yang masih hidup dan yang diambang kepunahan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mempermudah peserta didik dalam mengenal flora Sunda. Selain itu, dapat menumbuhkembangkan kecintaan peserta didik terhadap kearifan budaya lokal yang tersirat dalam ungkapan dan peribahasa mengisyaratkan flora Sunda.

342

Saran Diharapkan ada penelitian lanjutan yang lebih mendalam tentang pembuatan media film dokumenter sebagai bahan media pembelajaran. Selain itu, penelitian ini menghadapi kendala keterbatasan dana penelitian. Untuk hasil yang lebih optimal diharapkan adanya peningkatan dana penelitian untuk penelitian sejenis.

DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Aditia, dkk. 2006. Flora Sunda: Tafsir Culture Studies Idiom dan Peribahasa Sunda (Makalah PKMPI). Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS Universitas Pendidikan Indonesia. http://www.wikipedia.org/encyclopedia. Isnendes, Retty, dkk. 2009-2010. Ekspedisi Alam dan Budaya: Inventarisasi, Interpretasi Budaya, serta Mediasi Gambar dan Film Flora Sunda (Akar, Umbi, Batang, Daun, Bunga, Buah (Penelitian DIKTI). Bandung: UPI. Kartawinata, K. & Qunli, H. (2005). Unesco dan Pengembangan Taxonomi di Indonesia. Lokakarya, Seminar nasional dan Kongres Penggalang taksonomi Tumbuhan Indonesia, 17-19 November. Kunto, Haryoto. 1983. Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Granesia. Koentjaraningrat. 1993 (cet ke-16). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Nuryani R. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Universitas Negeri Malang. NRC (National Research Council). (1996). National Science Education Standards. Washington: National Academy Press. Rustaman, N. Y. (2005). Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Pendidikan Sains. Makalah Seminar Nasional II HISPIPAI. Bandung, 22-23 Juli. Rustaman, N. Y. (2006). Penilaian Otentik (Authentic Assessment) dan Penerapannya dalam Pendidikan sains. Makalah Rutherford, F.J. & Ahlgren, A. (1990). Science for All Americans: Scientific Literacy. New York: Oxford University Press. Tim. 2007. Sundalana 6 (Jurnal): Menyelamatkan Alam Sunda. Pusat Studi Sunda. WRI, IUCN, & UNEP. (1995). Strategi Keanekaragaman hayati Global. Jakarta: Gramedia.

343

UDYOGAPARWA: RESEPSI DAN TRANSFORMASI TEKS


Darmoko Universitas Indonesia, Jakarta

A. PENDAHULUAN itab Udyogaparwa merupakan salah satu kitab parwa hasil karya sastra masa Jawa Kuno yang tergolong tua usianya. Kitab-kitab parwa terdiri dari delapan belas parwa, yaitu Adiparwa, Sabhapawa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa, Mahaprasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa. Dalam versi Sanskerta dapat diuraikan sebagai berikut: Sastra wayang yang populer dalam berbagai lakon mendapat inspirasi dari kesusasteraan Sansekerta (Ramayana dan Mahabharata). Ramayana dikarang oleh walmiki permulaan tarikh Masehi, terdiri dari 7 jilid (kanda) digubah dalam bentuk syair sebanyak 24000 sloka (Balakanda, Ayodyakanda, Aranyakanda, Kiskindakanda, Sundarakanda, Yudakanda, Utarakanda). Balakanda= Negara Kosala ibokatanya Ayodya yang memerintah raja Dasarata beristri tiga (Kausalya berputra Rama, Kaikeyi berputra Bharata, dan Sumitra berputra Laksamana dan Satrugna). Ayodyakanda=Dasarata menyerahkan kekuasaan kepada Rama. Kaikeyi berhak anaknya bertahta (Bharata). Rama melepaskan kekuasaannya pergi ke hutan 14 tahun. Aranyakanda=rama membanrtu pertapa krn diganggu raksasa. Laksmana memotong telinga dan idung Sarpanaka, ia diadukan kpd Rahwana, raja Langka. Marica diutus Rahwana ke hutan berubah menjadi kijang kencana menggoda Rama dan Laksamana. Kijang dipanah Rama berubah mjd raksasa dan menjerit, jeritan dikira Rama, Sita mengurtus Laksmana agar memberikan pertolonbgan. Seorang brahmana (Rahwana) mendatangi Sita. Sita mengulurkan tangan shg dibawa kabur oleh Rahwana. Kiskindakanda=Rama berjumpa dng Sugriwa (raja kera), kerajaannya direbut oleh saudaranya sendiri Walin (Subali). Rama

344

membantu Sugriwa untuk memperoleh kerajaan dan isterinya. Kiskinda digempur , Walin terbunuh, Sugriwa menjadi raja dan Anggada anaknya menjadi putra mahkota. Sundarakanda Anoman mendaki gunung mahendra, menyeberang lautan, dan tiba di Langka. Ia menemukan Sita, dan mengabarkan Rama akan datang. Ia membakar kota. Utarakanda=Sepertiga lanjutan kisah Rama, untuk memberikan contoh yang sempurna Sita diusir dari istana. Sita tiba di pertapaan Walmiki. Di pertapaan Sita melahirkan Kusa dan Lawa. Rama mengadakan aswameda hadirlah Kusa dan Lawa. Walmiki mengantarkan Sita ke istana, jika tidak suci raganya jangan diterima bumi, buni trerbelah dan muncul Dewi Pertiwi di atas singgasana emas didukung ular naga. Sita dipeluk dan dibawa ke dalam bumi. Kitab ini terdiri dari 18 jilid (parwa) yang digubah dalam bentuk syair sebanyak 100000 sloka, cerita pokoknya terdiri dari 24000 sloka menceritakan peperangan sengit selama 18 hari antara Pandawa dan Kurawa. Kitab ini dikarang oleh Wyasa Krsna Dwaipayana hidup pada zaman brahnmana dan dikumpulkan sejak 400 SM sampai 400 Sesud M. Adiparwa=Raja Santanu mempunyai anak laki-laki bernama Bhisma, jatuh cinta kepada Satyawati, dan mau dikawin kalau anak dari keturunannya menjadi raja. Bhisma melepaskan haknya sebagai raja dan bersumpah tdk akan beristri. Perkawinan Santanu dan Satyawati melahirkan Citranggada (mati muda) dan Wicitrawirya (menggantikan Santanu sbg raja Hastina). Wicitrawirya mati tanpa mempunyai anak. Satyawati minta Bhisma mengawini janda Wicitrawirya, Ambika dan Ambalika. Satyawati pernah kawin dengan Parasara, dan punya anak bernama Wyasa. Wyasa mengawini dua janda Wicitrawirya. Dari ambika, Wyasa berputra Destrarastra yang buta, dan dari Ambalika berputra Pandu. Karena Destarastra buta, Pandulah yang bertahta di Hastina. Destarastra kawin dengan Gandhari berputra 100 orang, yang tertua Duryodhana, mereka keturunan Kuru disebut Kaurawa/ Kurawa. Pandu kawin dengan Kunti, berputra Yudhistira, Bhima, dan Arjuna; dan kawin dengan Madri berputra Nakula dan Sadewa. Kelima putra Pandu disebut Pandawa. Pandu meninggal Destarastra terpaksa meraja. Kaurawa dan Pandawa serta Aswatama dan Karna diasuh bersama di Hastina dibawah dua pendeta Krpa dan Drona. Destarastra menenrtuan Yudhistira sebagai calon raja, karena unggul segalanya. Kaurawa iri hati maka berusaha mengadakan tipu muslihat membunuh para Pandawa, namun usaha itu gagal. Pandawa berhasil mendapatkan Drupadi, anak raja Drupada dari pancala dalam sebuah

345

swayamwara, ini menambah iri hati para Kaurawa. Kaurawa bersedia memberikan separo negeri yang tandus . Pandawa membuat istana baru disebut Indraprastha. Sabhaparwa=Kaurawa selalu mencari akal untuk membinasakan Pandawa. Kaurawa mengundang Pandawa bermain dadu, Yudhistira kalah sampai dirinya sendiri ditaruhkan. Atas usaha Destarastra Pandawa bebas. Kedua kali Pandawa diundang bermain dadu. Yang kalah diasingkan 12 tahun tahun ke-13 kembali ke masyarakat tetapi tidak boleh dikenal orang, tahun ke-14 kembali ke istana. Pandawa kalah lagi, 13 tahun menjakani pembuangan, Draupadi turut serta. Wanaparwa=Pengalam Pandawa selama 12 tahun di tengah hutan. Wyasa memberi saran agar arjuna bertapa di Himalaya, memohon senjata dewata menghadapi Kaurawa kelak (Arjunawiwaha). Wirataparwa=Tahun ke-13 Pandawa keluar dari hutan, di kerajaan Wirata, diterima bekerja di istana raja Drupada, Yudhistira ahli dadu, Bhima juru masak, Arjuna guru tari, Nakula penjunak kuda, Sahadewa sebagai gembala, dan Drupadi juru rias. Udyogaparwa=Tahun ke-14 Pandawa ke Indraprastha, Krsna sebagai juru runding status Pandawa. Kaurawa tidak mau mengembalikan separuh Hastina, kedua pihak bersiap perang. Bhismaparwa=Bhisma sebagai panglima Kaurawa dan Dhrstadyumna (kakak Drupadi) memimpin Pandawa. Krsna tidak turut berperang, menjadi kusir kereta Arjuna. Dimulailah mahabharatayuddha. Arjuna bimbang karena karena yang dilawan saudara-saudara sendiri dan orang tua yang disegani, Bhisma dan drona. Krsna memberi wejangan kpd Arjuna tentang hakekat dan kewajuban manusia (Bhagawadgita=nyanyian Tuhan). Bhisma gugur. Dronaparwa=Drona sebagai panglima perang Kaurawa. Karna ditandingi Gathotkaca, Abimanyu gugur oleh Dussasana. Drupada gugur. Drona gugur ditangan Dhrstadyumna hari ke-15. Karnaparwa=Gugurnya Gathotkaca dan Abimnanyu, Bhima dan Arjuna mengamuk. Bhima berhasil membunuh Dussasana dng cara kejam, dirobek dada Dussasana dan diminum darahnya. Arjuna berhasil membunuh karna (hari ke-17) dengan panahnya diperoleh waktu tapa. Salyaparwa=Salya sebagai panglima Kaurawa, ia gugur hari ke-18. Duryodhana ditinggalkan saudara-saudaranya, ia akan meninggalkan dunia ramai. Sikapnya menjadi ejekan para Pandawa, ia tampil ke medan perang menghadapi Bhima. Duryodhana gugur sempat mengangkat Aswattama sebagai panglima.

346

Sauptikaparwa=Aswattama tidak dapat menahan dendamnya terhadap tentara Pancala, ia menyusup pada malam hari untuk bertempur (hari ke-18), Dhrstadyumna berhasil dibunuhnya beserta banyak tentara Pancala. Esokharinya ia terkejar oleh Arjuna, bertempur, Wyasa dan Arjuna menyelesaikan pertempuran itu, Aswattama menyerahkan senjata dan kesaktiannya lalu mengundurkan diri sebagai pertapa. Striparwa=Bermacam cerita dirangkai sebagai wejangan tentang kebatinan dan kewajiban raja ditujukan kepada Yudhistira. Santiparwa=Bermacam cerita dirangkai sebagai wejangan tentang kebatinan dan kewajiban raja ditujukan kepada Yudhistira. Anusasanaparwa=Yudhistira melaksanakan Aswamedha, seekor kuda dilepaskan diikuti oleh Arjuna dan sepasukan tentara, selama satu tahun kuda mengembara, tiap jengkal tanah menjadi kekuasaan Yudhistira. Banyak raja yang menentang, mereka ditaklukkan oleh Arjuna. Aswamedikaparwa=Dhrstarastra dan istri beserta Kunti menarik diri ke tengah hutan menjadi pertapa. Tiga tahun kemudian mereka mati terbakar oleh api saji Dhrtarastra. Asramawasikaparwa=Musnahnya kerajaan Krsna akibat perang saudara di antara kaum yadawa, rakyat Krsna. Baladewa mati dan Krsna menarik diri ke dalam hutan dan mati terbunuh tidak sengaja oleh seorang pemburu. Mausalaparwa=Musnahnya kerajaan Krsna akibat perang saudara di antara kaum yadawa, rakyat Krsna. Baladewa mati dan Krsna menarik diri ke dalam hutan dan mati terbunuh tidak sengaja oleh seorang pemburu. Mahaprasthanikaparwa=Pandawa mengundurkan diri dari dunia ramai, setelah mahkota diserahkan Pariksit, anak Abhimanyu. Pengembaraan di hutan, draupadi meninggal, Sahadewa, Nakula, arjuna, Bhima. Tinggal Yudhistira dengan seekor anjing yang mengikuti Pandawa dalam pengembaraan. Dewa Indra menjemput Yudhistira ke surga. Yudhistira menolak kalau anjing tidak diikutsertakan. Anjing berubah menjadi dewa Dharma, Yudhistira dibawa ke Indraloka. Swargarohanaparwa=Pandawa setelah mengalami pembersihan jiwa di neraka untuk beberapa lama, kemudian ke surga. Para Kurawa semula di surga dan berganti dimasukkan di neraka untuk masa yang tidak tertentu. Telah disadur ke dalam bahasa Jawa Kuna, Ramayana pada akhir abad ke-9 dalam bentuk kakawin dengan bahasa yang sangat indah, Mahabharata pada akhir abad ke-10 dalam bentuk gancaran yang

347

diringkas. Dari sekian parwa hanya beberapa sampai kepada kita, diantaranya menyebut nama Dharmawangsa (996 M)= wirataparwa. B. Resepsi dan Transformasi Teks Sastra wayang yang tumbuh berkembang di Indonesia sedikit banyak mendapat inspirasi dari sastra India berbahasa Sansekerta. Karyakarya sastra Sansekerta telah digubah kembali menjadi edisi Jawa Kunonya pada abad ke-10 M. Pada raja Dharmawangsa Tguh Ananta Wikrama Tungga Dewa di jawa Timur pra Kadiri. Kitab-kitab parwa Sansekerta menjadi kitab-kitab parwa Jawa Kuno. Dari semula berupa puisi menjadi prosa Jawa Kuno. Seiring dengan perjalanan teks, karya sastra Jawa Kuno diresepsi oleh para pengarang Jawa baru seperti R.Ng. Yasadipura dan R.Ng. Ronggowarsito, dan KGPAA Mangkunagara VII. Misalnya dari teks Bharatayuda Kakawin menjadi Serat Bharatayuda, dari ramayana Kakawin menjadi Serat Rama, dan dari Arjunawiwaha Kakawin menjadi Wiwaha Jarwa/ Begawan Ciptaning. Menurut Hazim Amir di dalam wayang dikandung nilainilai etis, seperti nilai kebenaran sejati dan sebagainya. Sedangkan V.M Clara van Grounendael membagi wayang menjadi beberapa pengertian, yaitu sesuatu yang terkait dengan sastra, boneka, penari, dan pertunjukan. Di dalam wayang pun di kandung filsafat kehidupan manusia, dikatakan oleh, Abdullah Cipto Prawiro bahwa di dalam wayang yang merupakan gambaran hidup manusia dikandung filsafat hidup manusia Jawa sebagai ngudi kasampurnaning urip. Untuk dapat menuju kasampurnaning urip diperlukan laku, seperti tapa brata, lelana brata, tarak brata, dan sebagainya (lihat Darmoko, Wahyu dalam Lakon wayang kulit Purwa). Pandam Guritno membahas wayang terutama dari sisi kepribadian dan Pancasila. Adapun apabila dihubungkan dengan silsilah atau sejarah wayang, maka kisah wayang tersebut mengandung genealogi atau silsilah (sejarah). Sehingga dengan demikian dapat dipahami sebagai sesuatu pohon sejarah (Harjowirogo). Bagaimana eksistensinya wayang berkembang di khsuusnya di Jawa dan fungsinya dalam masyarakat, secara antropologi Koentjaraningrat membahasa dalam Kebudayaan Jawa. Soemarsaid Moertono mengetengahkan pandangannya hubungan antara wayang dan negara. Apakah yang dimaksud resepsi?. Yang dimaksud resepsi yaitu tanggapan yang dilakukan oleh seseorang (pujangga, pengarang, penulis, atau sutradara) terhadap karya sastra lama yang sebelumnya telah ada. Resepsi juga dapat dilakukan oleh masyarakat. Dalam kajian ini dititikberatkan pada resepsi kepengarangan. Sedangkan

348

yang dimaksud dengan transformasi teks yaitu perubahan bentuk maupun nilai dari yang lama menjadi yang baru. Kitab Udyogaparwa telah diresepsi oleh berbagai pengarang sehingga dalam perjalanan teks ia mengalami perubahan, baik bentuk maupun nilai. Di dalam khazanah perwayangan dan pedalangan terdapat lakon Kresna Gugah dan Kresna Duta (lihat lampiran). Pada proses terbentuknya teks baru Udyogaparwa mengalami resepsi yang mengakibatkan transformasi teks. Untukj mendapatkan pemahaman mengapa terjadi teks yang baru maka perlu mengadakan intertekstualitas (membandingkan teks lama dengan yang baru) baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis/ teks yang sezaman atau antar zaman. Di sini dapat diamati kutipan dari P.J. Zoetmulder tentang Udyogaparwa edisi Jawa kuno apa bila dibandingkan dengan teksteks Jawa Baru dari Subalidinata dan lain-lain. Perubahan terjadi dari satu naskah prosa Jawa Kuno menjadi dua lakon/ cerita yaitu Kresna Gugah dan Kresna Duta. Proses penggubahan teks dari udyogaparwa ke dalam bentuk yang baru menjadi lakon balungan maupun lakon jangkep, baik lakon pokok maupun lakon carangan. Pengarang Kresna Gugah dan kresna Duta sudah barang tentu mengadakan proses pembacaan dan pemahaman terhadap teks lama yang ada. Sejauh mana pemahaman itu tergantung dari pengalaman intelektual selama ini dan latar belakang kebudayaan yang dikuasai dan dialami. Misalnya apakah suatu sistem nilai lama akan dipertahankan atau tidak, bentuk mungkin huruf dan bahasa juga merupakan aspek yang menjadi perhatian reseptor. Sengaja akan diubah atau terdapat kesalahan baca, karena kurangnya wawasan budaya dan intelektualm tersebut. Proses penyesuaian nilai-nilai budaya terjadi jika nilai-nilai budaya lama sudah tidak relevan dengan zaman sekarang. Kecerdasan lokal perlu dihargai sebagai suatu usaha untuk menggarap atau menggubah karya sastra baru berdasarkan karya sastra yang telah ada pada masa lalu. Nilai-nilai kekinian juga terlihat dikembangkan pada usaha masyarakat untuk menggubah ke dalam wahana yang baru (alih wahana). Kasus pementasan Kresna Duta pada Dies Natalis UI 2007 dengan mementaskan wayang lakon Kresna Duta berbahasa Indonesia, sebagai usaha untuk menyelaraskan dengan keadaan sekarang. Reaktualisasi dan usaha relevansi pola pikir yang dinamis, efisien, dan efektif merupakan perubahan dari masyarakat yang tadinya memiliki pola pikir tradisional agraris. Nilai-nilai lama yang dipertahankan pada kasus Udyogaparwa, antara lain konsep mengenai triwikrama dan peristiwa perebutan

349

Kresna oleh Duryudana dan Arjuna. Tetapi pada wayang terlihat beberapa kreativitas pengarang muncul seperti konsep mengenai ngraga sukma atau pecat sukma tinggal raga. Pada lakon Kresna Gugah, sukma Kresna menghadap Batara Guru dan sukma Arjuna menyusul kakaknya Kresna itu ke Kahyangan. Pada Udyogaparwa disinggung juga mengenai Prabu drupada yang diutus Pandawa agar keduabelah pihak anatara Pandawa dan Kurawa berdamai. Di dalam perjalanan teks berikutnya kecuali tumbuh berkembang lakon Drupada Duta, juga Kunti Duta, namun pada Udyogaparwa tidak demikian kentara. Kresna Duta disebutkan baik pada Udyogaparwa maupun lakon-lakon maupun kisah-kisah pada masa Jawa Baru. Alih wahana dari udyogaparwa yang prosa Jawa Kuno itu ke dalam lakon wayang orang (Sekar Budaya Nusantara). C. Simpulan Proses resepsi teks memunculkan transformasi teks. Proses resepsi dilakukan oleh para pujangga, sastrawan, maupun dengan melakukan pembacaan (understanding) terhadap teks-teks yang sudah ada, baik secara sinkronis maupun diakronis dan di dalam pembacaan itu terdapat interpretasi terhadap isi teks (etika dan estetika) sehingga muncullah teks dalam bentuk gubahan baru. Munculnya teks dalam bentuk gubahan baru itu membuktikan adanya transformasi budaya (kasus pada Udyogaparwa). Udyogaparwa telah diresepsi oleh para pujangga/ pengarang Jawa Baru, sehingga terjadilah penafsiran baru dan muncullah karya baru seperti lakon/kisah Kresna Gugah dan Kresna Duta, dalam berbagai teks dan wahana.

DAFTAR PUSTAKA
Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Cipto Prawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Darmoko. 1998. Wahyu dalam Lakon Wayang Kulit Purwa. Depok: FSUI. ...............1999. Wayang Bentuk Isi dan Nilainya. Depok: FSUI Feinstein, Alan, dkk. 1985. Lakon Carangan dalam Wayang Kulit Jawa. Yogyakarta: Javanologi. Hazeu, G.A.J. 1979. Kawruh Asal-Usulipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami Ing Jaman Kina. Jakarta: Departemen P dan K. Grounendael, Clara van V.M, 1974. Dalang Dibalik Wayang. Jakarta: PN Balai Pustaka Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kepribadian Indonesia dan Pancasila. Jakarta:

350

UI Press. Hardjowirogo, 1965. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: PN Balai Pustaka. Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta PN Balai Pustaka. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Gunung Agung. Mulyono, Sri. 1982. Wayang Asal-Usul Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung agung. ...................... 1979. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung. Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Kapustakan Jawi. Jakarta: Djambatan. Seno Sasto Amidjojo, R.A. 1964. Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta. Soebadio, Haryati. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Penyunting Ayatrohaedi. Jakarta Dunia Pustaka Jaya. Suseno, Franz Magnis. 1982. Kita dan Wayang. Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional. Sukmono, R. 1993. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid II. Jakarta: Kanisius. Wibisono, Singgih. 1983. Wayang Sebagai Sarana Komunikasi dalam Seni dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Subalidinata, RS. 2010. Jati Diri Kepemimpinan Kresna. Oleh wayang dalam Jati diri Kresna.

351

DANG HYANG NIRARTHA DALAM TEKS LONTAR PANITI GAMA TIRTHA PAWITRA ANALISIS RESEPSI
Ida Bagus Rai Putra Universitas Udayana, Bali
1.Pendahuluan ontar Paniti Gama Tirtha Pawitra, adalah lontar yang menjelaskan tata itiket melakukan dharma agama Siwa-Budha dalam model pemaham peradaban relegi keagamaan di Bali pada zaman Gelgel. Zaman di mana tumbuh dan berkembangnya peradaban Bali pada puncak-puncak keemasannya. Semua segi kehidupan ditata dan dikembangkan berdasarkan perspektif Bali. Istilah yang muncul untuk peradaban ini adalah Kawi Bali, yaitu terciptanya bahasa supra yang digunakan masyarakat beradab (rakawi) membahasakan satyam, Siwam, Sundaram, yaitu ilmu pengetahuan, keagamaan, dan seni dalam kehidupan lahir dan batin. Istilah yang sejalan dengan Kawi Bali, yaitu Pa-Bali, titik balik dari pemahaman dan persepsi Bali, ilmu-ilmu Bali. Peradaban yang ada di luarnya (dunia) disambut dan dicerna mendalam dan dimaknai dengan persepsi yang tinggi dari perspektif Bali surgawi. Penciptaan-demi penciptaan terjadi mengukiti proses kreativitas bangsa yang mahardika. Jiwa-jiwa mulia yang mulai tumbuh dan bertumbuh, mencipta dan menciptakan aneka peradaban yang dapat memenuhi jagat pikayunan, jagat pemikiran masyarakat seutuhnya dan berkembang dalam aneka ranah kehidupan, lahir dan bathin. Pada masa-masa inilah mulai diperkenalkan ranah relegi Bali, Gama Tirtha, yaitu tata keagamaan yang suci, bersih, dan mulia berlandaskan tirtha amertha, air suci kehidupan. Sebelum istilah Hindu diperkenalkan sebagai sebutan agama Hindu atau Hindu Dharma (Siwa-Budha), leksikon Gama Tirtha inilah yang menandai relegi kehidupan masyarakat Bali sebagaimana diamanatkan dalam lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra. Teks Paniti Gama Tirtha Pawitra, berisikan ajaran keagamaan dari guru suci Dang Hyang Nirartha/Dwijendra yang disarikan oleh para putra, cucu, cicit, dan murid kerohanian yang secara nyata kita wariskan sebagai sistem keagamaan Siwa-Budha (Hindu Dharma) dalam perspektif Bali yang maha surgawi. Sistem keagamaan yang suci murni, berlandaskan pada empat esensi sarana keagamanan,

352

yaitu: weda/puja (mantram suci), adnyana (kekuatan batin), banten (sarana upacara), dan tirtha (air suci). Sebagaimana kita maklumi, pustaka lontar yang mengisahkan perjalanan suci Dang Hyang Nirartha dalam mengemban dan menyelamtkan agama Hindu jamak kita ketahui dalam model pustaka lontar Dwijendra Tattwa. Pustaka lontar Dwijendra Tattwa dengan kisah utamanya, menjelaskan perjalanan keibadatan untuk tugas suci keagamaan (dharmayatra) tokoh religio-magis Dang Hyang Dwijendra pada zamannya. Banyak karya monumental yang dihasilkan oleh Dang Hyang (guru suci) Dwijendra (raja pendeta/pendeta agung) untuk membina umat-Nya, seperti bangunan suci (pura) yang tersebar luas di Pulau Bali, Lombok, dan hingga ke Sumbawa. Dang Hyang Nirartha juga pencipta karya-karya sastra, filsafat-keagamaan, pertanian, keamanan, diplomasi politik, dan yang lainnya yang diajarkan pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460--1550M). Teks Dwijwndra Tattwa mengungkap latar belakang sejarah pendirian purapura dang kahyangan di Pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa, hasil karya sastra Bali tradisional beserta nama-nama pangawi atau pengarangnya, demikian pula nilai-nilai religiusitas, kehidupan sosial, pertanian, dan kemanusiaan lainnya yang sangat relevan, bukan saja pada zamannya, melainkan juga pada zaman ini. Teori Resepsi memberi penampang historik horizon harapan atau ruang pemahaman pembaca yang lebih luas dan terbuka untuk menjelaskan keberadaan Dang Hyang Nirartha. Horison harapan yang dibangun atas pembacaan terhadap teks-teks, setelah terakumulasi secara lengkap memberi tingkat persepsi pembacaan yang lebih baik dan lebih tinggi. Kisah Dang Hyang Nirartha tidak berhenti pada teks Dwijendra Tattwa semata, tetapi masuk pada beragam teks karyakarya tulis penyambutnya. Karya-karya tulis sebagai teks penyambut yang mewakli ruang pembaca ini, sejalan dengan ketujuh tesis teori estetika resepsi sastra Jaus (1983:20--23). Dalam konteks inilah penulis menghadirkan teks lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra, sebagai salah satu lontar penyambut dharmayatra Dang Hyang Nirartha dalam menjalankan dharma seorang guru suci (dang hyang) di Nusantara, khususnya dari Jawa ke Bali, Lombok, dan Sumbawa. Latar belakang masalah yang diketengahkan, menyambut pertanyaan: 1) Siapa itu Dang Hyang Nirartha itu ?; dan 2) bagaimana teks lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra memaknai dharmayatra yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha sebagai guru suci ?

353

2. Dang Hyang Nirartha Keturunan Purohita Majapahit Dalam konteks sejarah sosial dan peradaban nusantara, sejarahwan Soekmono mencatat bahwa Dang Hyang Mpu Pradah, kakek buyut Dang Hyang Nirartha adalah purohita (bagawanta/pendeta kerajaan) Raja Airlangga (Sri Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa) di Jawa Timur tahun 1019--1042 Masehi. Dang Hyang Mpu Pradah di samping berhasil mengarang Kakawin Bomakawya beliau juga berhasil mencegah perseteruan putra raja Airlangga dengan membagi kerajaan pada tahun 1041 Masehi menjadi dua, yaitu Jenggala (Singhasari) dengan ibu kotanya Kahuripan dan Panjalu (Kadiri) dengan ibu kotanya Daha (1981:57). Dang Hyang Mpu Pradah dalam Babad Brahmanawangsa Tattwa (13b) dan Piagem Mpu Pradah (7a) disebut-sebut sebagai pendeta sakti dan menjadi penerang kehidupan kerajaan dan masyarakat luas. Mpu Pradah adalah seorang purohita kerajaan yang memiliki pengetahuan dan kecakapan lebih. Dang Hyang Mpu Pradah dalam Babad Brahmanawangsa Tattwa juga diberi gelar Sri Pradah atau Dang Hyang Mpu Srangan (14a). Kepuruhitaan Dang Hyang Mpu Pradah dilanjutkan oleh putranya, yaitu Dang Hyang Mpu Bahula dengan gelar Sri Bahula Candra. Sang Pendeta ini disebut-sebut memiliki ilmu pengetahuan yang utama. Bahula artinya utama. Kecakapan Mpu Bahula sama dengan kecakapan ayahandanya. Bersama dengan Dang Hyang Mpu Pradah berhasil mengusir dan mengalahkan anasir jahat yang disebarluaskan oleh Walu Nateng Dirah di Daha dan Kahuripan. Dang Hyang Mpu Bahula Candra pada waktu mudanya bernama Sang Kula Wana (Babad Brahmanawangsa Tatwa, l0a). Putra Dang Hyang Bahula Candra adalah Dang Hyang Mpu Tantular. Beliau juga bergelar Dang Hyang Angsoka Natha atau Sri Angsoka Natha. Babad Brahmanawangsa Tattwa (I0b), Piagem Dang Hyang Nirartha (12a), dan Babad Dalem (3b) menyebut-nyebut bahwa kepandaian dan kecakapan Dang Hyang Mpu Tantular tidak ada yang mampu menirunya: putus ing sarwwa ajnyana, tan tularen putus ing kapandhitan ira. Wagmi maya sira, inaranan Dang Hyang Mpu Tantular, apan tan keneng tiniru kaparamarthan ing ajnyanan ira (Babad Dalem, 3b), pandai dalam segala ilmu pengetahuan, tidak tertirukan keahlian beliau dalam ilmu kependetaan, perkataannya sangat bertuah, diberi nama Dang Hyang Mpu Tantular di masyarakat, sebab tidak tertirukan keluhuran budi dan batin beliau. Babad Dalem (3b) menyatakan bahwa kemasyuran Dang Hyang Mpu Tantular di masyarakat tak terkatakan dan beliau sangat terampil: tan wuwusen kasteswaryyanira ring loka, ginakara. Dang Hyang Mpu Tantular telah

354

berhasil mengarang Kakawin Sutasoma yang terkenal, Kakawin Arjuna Wijaya yang indah, dan Kidung Kaki Twa yang filosofis. Beliau adalah padiksyan (pendeta kerajaan) di kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit dalam karya susastra kawi dikenal dengan nama Wilwatikta berdiri megah. Kepurohitaan Dang Hyang Mpu Tantular di Majapahit dilanjutkan oleh putranya, yaitu Dang Hyang Asmaranatha. Dang Hyang Asmaranatha disebukan sebagai dedukun (membidani) saat Hayam Wuruk lahir dari rahim Ibunda Ratu Kusuma Wardani dan beliau sendiri juga padiksyan (bagawanta) ketika Sri Hayam Wuruk berada di atas kemegahan singgasana kerajaannya (Babad Brahmanawangsa Tattwa, 11b). Beliau berputra dua orang, yaitu Dang Hyang Angsoka dan Dang Hyang Nirartha (Dwijendra). Kedua putra inilah yang melanjutkan tradisi keagamaan Siwa-Budha. Putra Dang Hyang Angsoka, yaitu Dang Hyang Astapaka melanjutkan tradisi Budha Bajrayana (Sogata) dan Dang Hyang Dwijendra terutama para putranya meneruskan tradisi Siwa Sidantha dari Jawa ke Bali. Babad Bahmana Wangsa Tattwa (l0b) menyebutkan bahwa sira Dang Hyang Nirartha, hari Mpu Angsoka, hatisaya kamahatmiatning kasteswaryanira, wus kalumbrah prabawanira ring loka; `beliau Dang Hyang Nirartha, adik Mpu Angsoka, luar biasa wibawa dan keluhuran bathin beliau, sudah terkenal kemuliaan beliau di dunia`. Keluhuran dan kemuliaan bathin Dang Hyang Nirartha dikenal luas oleh masyarakat pada zamannya. Babad Dalem (28b) menyebutkan bahwa kesucian batin Dang Hyang Nirartha disetarakan dengan kesucian bathin Mpu Lohgawe, kalumbrah sang pandhya maring Gelgel, yan hana wiku sakti kadi Lohgawe. Berkat kebesaran dan kesucian bathin ini, Dang Hyang Dwijendra dijuluki dengan banyak nama, antara lain Mpu Nirartha, Batara Parama Nirartha, Pranda Sakti Wawu Rawuh, Batara Sakti Wawu Dateng, Bagawan Dwijendra, Dang Hyang Dwijendra, Pangeran Sangupati, Tuan Semeru, Mpu Kupa (Supa), dan Mpu Arthati (Babad Brahmana Wangsa Tattwa, 14a). Keesaan filsafat Siwa-Budha sebagai kesadaran purba terhadap adanya multikulturalisme, sesungguhnya telah dianut oleh kakek Dang Hyang Nirartha, yaitu Dang Hyang Mpu Tantular, sebagaimana diajarkan dalam mahakawinya, Kakawin Sutasoma. Hyang Buddha tan pahi Siwa rajadewa. Rwaneka dhatu winuwus, wara Buddha wiswa, bhinneki rakwa ring apan kena parwwa nosen, mangka jinatwa lawan siwatatwa tunggal, bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (120a). Tuhan Buddha tidak berbeda dengan Tuhan Siwa, Mahadewa di antara para dewata. Keduanya dikatakan mengandung banyak unsur, Buddha yang mulia adalah kesemestaan. Bagaimana beliau yang boleh

355

dikatakan tak terpisahkan dapat begitu saja dipisahkan menjadi dua sebab jiwa Jina dan Siwa adalah satu, memiliki ciri berlainan, tetapi adalah satu. Dalam hukum agama tidak ada yang dualisme. Dwijendra Tattwa, Babad Dharma Yatra Dang Hyang Dwijendra, dan Babad Brahmanawangsa Tatwa secara seragam menjelaskan situasi zaman pada masa kehidupan Dang Hyang Nirartha. Pada saat Dang Hyang Nirartha tinggal di Greha Mas Daha, Pulau Jawa diberitakan mengalami kekacauan. Di sana-sini terjadi perkelahian dan pembunuhan. Setiap orang yang mendengar bunyi suwung-suwung (sunyi) seketika mati. Pada masa itu agama Islam masuk dan mulai berkuasa di Pulau Jawa. Orang Jawa yang masih taat pada agama lamanya, yaitu orang Majapahit banyak yang pindah ke Pasuruhan, Tengger, dan Blambangan, kemudian ada yang menyeberang ke Bali. Bersamaan dengan situasi itulah Dang Hyang Dwijendra pindah ke Daha untuk menyelamatkan agama Hindu-Majapahit yang diikuti oleh para putranya (Dwijendra Tattwa,2b). Prakampan jaga, yaitu perubahan besar-besaran dan sangat mendasar terjadi atas Pulau Jawa. Agama Hindu Jawa Majapahit terdesak oleh agama Islam yang dibawa oleh orang Tionghoa dari daerah Yunan pada masa dinasti Ming di daratan Tiongkok. Perlahan namun pasti, akhirnya, kerajaan Majapahit dijatuhkan dari dalam dan diserang dengan kekuatan senjata oleh Kerajaan Demak Islam di bawah raja Jin Bun (Raden Patah) yang berdarah campuran Majapahit (Wirabhumi) dengan Muslim Tionghoa, putri Babah Bantong (Slamet Mulyana, 2006:189). Peristiwa jatuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1478 M, sedangkan lenyapnya Kerajaan Majapahit dari peta sejarah terjadi pada tahun 1527. Peristiwa musnahnya kerajaan Majapahit dari permukaan bumi, menurut Slamet Mulyana, dibumihanguskan oleh tentara Demak di bawah pimpinan Toh A Bo, yaitu Sunan Gunung Jati alias Syarif Hidayatullah karena Ranawijaya Girindrawardhana, raja terakhir kerajaan Majapahit, mengadakan hubungan dagang dengan orang-orang Portugis, musuh utama Kerajaan Islam Demak. Semenjak itu Kerajaan Majapahit terpendam dalam abu sejarah (2006:189--192). Semenjak kejatuhan Kerajaan Majapahit, sekitar tahun 1478 Masehi, banyak masyarakat Majapahit yang menyingkir ke tempattempat yang dianggap aman. Ada yang menyingkir ke pegunungan Tengger dan ada juga yang menyeberang ke Pulau Bali. Dari sejumlah masyarakat yang menyingkir, terdapat juga pendeta kerajaan Majapahit. Seorang pendeta kerajaan Majapahit yang menyingkir ke Pulau Bali pada kurun waktu kejatuhan Majapahit adalah Dang Hyang Nirartha. Beliau tiba dengan menginjakkan kaki pertama

356

di pantai Kapurancak. Kisah sejarah ini tercatat dalam Babad Dalem (27b), yaitu pada tahun saka 1411 (eka tunggal catur bumi) atau tahun 1489 M. Buku Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Bali menerangkan bahwa Dang Hyang Dwijendra berasal dari Daha (Kediri) Jawa Timur, kemudian pindah ke Majapahit. Beliau hidup pada zaman Majapahit akhir ketika pemerintahan Girindra Wardhana (1474--1519). Setelah kerajaan Majapahit runtuh, Dang Hyang Dwijendra pindah menuju Pasuruan terus pindah ke Blambangan, kemudian dari Blambangan menuju Bali, turun di pantai Purancak (Ardana, 1987:68). Pustaka Raja Purwa mencatat perpindahan Dang Hyang Dwijendra (Mpu Arthati) ke pulau Bali setelah Majapahit jatuh ke tangan kerajaan Demak Islam dengan membawa sejumlah karya susastra, termasuk karya yang sedang dikarang (Simpen, 1987:57). Peristiwa perubahan kehidupan di Jawa dari Hindu menjadi Islam membuat pergolakan hebat di tengah masyarakat JawaMajapahit. Ada masyarakat ikut raja menjadi penganut Agama Islam yang taat, ada masyarakat memedomani ajaran kejawen, ada yang menyusul leluhurnya ke pegunungan Tengger, dan ada yang menyeberang ke Bali. Orang Majapahit yang tidak mau berubah agama, banyak yang menjauhkan diri dari pusat-pusat persebaran Islam, di antaranya terdapat juga para pendeta Majapahit. Salah satu pendeta yang menjauhi kekuasaan kerajaan Islam Demak di bawah raja Raden Patah (Raden Jinbun) itu adalah Dang Hyang Nirartha. Peristiwa menjauhi pusat pemerintahan Islam Demak dan dharmaytara Dang Hyang Nirartha ke Bali, Lombok, dan Sumbawa adalah langkah penyelamatan Hindu Nusantara. Peristiwa kejatuhan Majapahit dan pergantian keyakinan keagamaan di tanah Jawa terekam dalam teks Dwijendra Tattwa (1b--2a). Di sisi yang lain, perpindahan Dang Hyang Nirartha dari Jawa ke Bali terdapat juga dalam kisah perumpamaan dari teks Dwijendra Tattwa. Dikatakan bahwa Dang Hyang Nirartha berselisih paham dengan Sri Dalem Juru yang sudah kena pengaruh dan masuk agama Islam. Dikisahkan pula bahwa Dang Hyang Nirartha terkenal memiliki bahu badan yang harum seperti keharuman bunga mawar. Hal ini berkat kesucian dan ketinggian olah batin serta ketaatannya pada pantangan-pantangan dalam makanan (bebratan). Bau harum Sang Pendeta dapat mengharumkan bau tidak sedap orang lain yang duduk bersebelahan dengan beliau. Hal ini dianggap oleh raja Blambangan sebagai usaha Sang Pendeta mengguna-gunai orang lain, terlebih lagi saudara perempuan raja. Dang Hyang Nirartha pun tak mau berselisih paham terlalu lama. Karena sudah takdir, beliau pun

357

meninggalkan Blambangan dan menyeberang ke Bali bersama dengan semua putra dan putrinya serta seorang istri, yaitu Sri Patni Keniten (Dwijendra Tattwa, 3b--4a). 3. Dang Hyang Nirartha dan Peradaban Nusantara Dalam Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra disebutkan bahwa Dang Hyang Nirartha diberikan julukan Nilartha yang bermakna Beliau meninggalkan jagat Siwa Loka (Nilartha) menuju dunia untuk menyelamatkan alam semesta dengan mencipta dunia baru dan mengisinya dengan agama Siwa-Bhuda, yang semula oleh para tetua di Bali menyebut Gama Tirtha, yang kemudian sebagai bentuk terjemahan dari Siwa-Budha disebut Hindu Dharma yang kita warisi sampai hari ini. Dalam Lontar Kakawin Dwijendra Tattwa disebutkan bahwa sebutan Dang Hyang Dwijendra terhadap Dang Hyang Nirartha diberikan setelah Beliau sampai di Bali, setelah memberi rahasia suci kepada putrinya, Ida Swabawa (Bhatari Malanting). Gelar ini adalah atas anugerah dewata di Bali yang begitu merasa senang dengan kehadiran Beliau di Bali. Sang Hyang Mahadewa dewata tertinggi di Pulau Bali yang disebutkan sebagai Batara Toklangkir yang bersemayam di pucak Gunung Agung mengutus Sang Hyang Dwijendra untuk menyampaikan bahwa para dewata di Balilah yang meminta Ida Swabawa menjadi dewanya para lelembut untuk menjaga alam Bali hingga kelak kemudian hari. Kemudian, Dang Hyang Nirartha dengan tulus ikhlas mengabulkan pemohonan putrinya agar tetap menghuni alam lelembut yang tidak dibatasi umur dan kematian (tan kneng tuwa pati). Oleh Sang Hyang Mahadewa, karena memerhatikan Dang Hyang Nirartha adalah pribadi keesaan, Siwa-Budha Dwijendra Siwa-Ludra, beliaupun mendapat julukan Dang Hyang Dwijendra. Pimpinan lelembut itu disebut Mekele Gde Gamang, bersama 8000 lelembut lainnya diberi tugas oleh Dang Hyang Nirartha menjaga kahyangan Bhatari Mlanting dan Pulaki, agar kerahayuan alam Bali beserta isinya tetap terjaga. Karena di Pulaki (Pulo Iki, maksudnya Pulau Bali ini) harapan terakhir dan taruhan mendasar dari Dang Hyang Nirartha saat pertama kali menginjakkan kaki menyelamatkan sejumlah pancadattu yang dibawanya dari tanah jawa. Inilah belakangan hari yang biasanya disebut-sebut wahyu Nusantara itu. Tersiar berita mencengangkan yang kemudian didengar oleh Bendesa Mas akan kedatangan pendeta utama yang baru datang, tinggal di desa Gading Wani, luar biasa saktinya bagaikan Sang Hyang Widi senyatanya beliau (Dwijwndra Tattwa, 20a). Sejak dari

358

dulu Bendesa Mas menantikan seorang pendeta utama datang ke Bali, saatnya terdengar berita bahwa seorang pendeta sakti baru datang. Itu sebabnya dengan senang hati beliau bergegas berangkat menuju desa Gading Wani menghadap Dang Hyang Nirartha. Tidak dikisahkan perjalanan beliau di sepanjang jalan, telah sampai beliau di desa Gading Wani yang ditujunya. Dikisahkan Dang Hyang Nirartha sedang di hadap oleh para putranya dan murid-muridnya, tidak ketinggalan Bendesa Gading Wani, sujud bakti menghadap di bawah beliau Dang Hyang Nirartha. Setelah datang Bendesa Mas beserta pengiringnya, sepuluh orang jumlahnya berdatang sembah ke hadapan Dang Hyang Nirartha, yang ketika itu Sang Pendeta di hadap oleh murid-murid beliau di luar gedong. Dang Hyang Nirartha menyapa kepada yang baru datang, Wahai kamu dari mana asalmu baru datang kepadaku? Katakan kepadaku agar aku tahu mengenai kedatanganmu. Segera menyaut beliau yang ditanya, yaitu Bendesa Mas. Duhai Sang Pendeta Utama junjungan hamba (Kakawin Dwijwndra Tattwa, 20b). Tiada lain hamba yang tuan pendeta sapa ini adalah dari desa Mas. Kedatangan hamba ke sini menghadap Tuan pendeta tiada lain, mohon Tuan Pendeta untuk berkenan datang ke desa Mas. Ikhwalnya bahwa dari sejak dulu hamba mengharap-harapkan, memohon kepada leluhur kami agar didatangi orang seperti paduka pendeta, seluruh jiwa raga kami serahkan kepada Tuan pendeta. Demikian hatur Bendesa Mas, suka cita hati Dang Hyang Nirartha mendengarkan pengutaraan Bendesa Mas yang tiada hentinya menghaturkan sujud bakti. Saat itu Sang Pendeta menganugerahinya. Pada saat itu pula Dang Hyang Nirartha mengutarakan mengenai keberadaan Bendesa Gading Wani, kata beliau, Itu muridku Ki bendesa Gading Wani dengarkan permintaanku sekarang. Sekarang kamu bersama aku minta memelihara parhyangan Batari Uma Parwati (Kakawin Dwijwndra Tattwa,21a.) yang bersemayam di Pulaki, semua Paman yang ada ini ikut menyungsung putraku, Dewi Wiraga di Pulaki menjadi Dewi Melanting. Perhatikan juga perkataanku ini, ada delapan ribu orang, penjelmaan mahkluk hina, dahulu yang telah aku ruwat menjadi manusia, semuanya itu menjunjung putriku di Pulaki, sekarang kamu paman Bendesa aku minta mengaturnya. Sekarang semuanya akan aku musnahkan akan tidak kelihatan. Orang desa Pangametan namanya sekarang, demikian petunjuk dari putra Dang Hyang Samaranatha purohita Kerajaan Majapahit ini. Ki Bendesa menyembah dan mengikuti segala permintaan Dang Hyang Nirartha.

359

Segeralah Dang Hyang Nirartha memusnahkan penduduk desa Gading Wani, segera musnah tiada kelihatan wujudnya. Terasa sunyi senyap hanya tampak tegalan yang dilihat oleh Ki Bendesa Mas. Demikian mula kejadian itu disaksikan oleh semua pengiring Ki Bendesa Mas. Setelah semua orang desa Gading Wani musnah, kemudian Dang Hyang Nirartha berangkat menuju desa Mas bersama semua putranya, diiringikan oleh Ki Bendesa Mas bersama semua pengikutnya. Tiba-tiba di tengah perjalanan menjumpai kilat berkilauan menyamba-nyambar di angkasa (21b) Suara guntur di langit Utara hingga ke Selatan bergemuruh, hujan gerimis turun, disertai hujan bunga yang mengeluarkan bau harum, suara samar-samar didengar oleh Dang Hyang Nirartha. Cucuku sang putra Dang Hyang Smaranatha dengarkan kataku ini. Aku ini Sang Hyang Dwijendra bersabda kepadamu cucuku, baik-baiklah mendengarkannya. Sudah tepat kedatanga cucuku ke Pulau Bali bersama keluarga, pertamatama anugerah dari Sang Hyang Mahadewa, keturunan dari Budha (Jinakula) semula Ananda, sekarang Ananda menjadi penganut Siwa (Bregu Wangsa) bersintesa dengan paham Budha (majinakula). Sejatinya cucuku Siwa-Budha Dwijendra Siwa-Ludra, yang manakah kewajiban Bregu (Siwa) adalah swadarma Bapak di langit (purusa/ bapa akasa) di langit, yaitu tiada tercemar, selalu mencipta keselamatan dan kesucian, swadarma Buddha di bawah adalah ibu (pradana/meme pretiwi) keutamaan purusa (pewaris/poros utama) sesungguhnya. Karena penganut paham Siwa Budha, kini cucuku bernama Dwijendra. Satu sebagaimana aku, kemudian mulai kini dan seterusnya disebut Dang Hyang Dwijendra, demikian panugerahanku ketika berada di kerajaan Bali. Menjadi Siwaning Bwana (guru rohaniah di dunia) yang memberikan air kehidupan yang utama (Kakawin Dwijwndra Tattwa,22a.) Demkian sabda Sang Hyang Dwijendra bergema di angkasa. Dang Hyang Nirartha menghaturkan rasa syukur dan sembah bakti ke hadapan-Nya. Sementara itu, keadaan langit kembali sepi tanpa ada penyebabnya. Bersamaan dengan itu, Dang Hyang Nirartha meneruskan perjalanan (Kakawin Dwijwndra Tattwa, 19b--22a). Dalam buku Jalan Setapak Menuju Nusantara Jaya, Perjalanan Spiriual Menelisik Jejak Satrio Piningit, (2007) karangan Tri Budhi Marhaen Darmawan-Nurahmad, sebuah karya mengkaji masalahmasalah spiritual karya warisan leluhur Nusantara, Ramalan Joyoboyo, Ramalan Ronggowarsito, Ramalan Sabda Palon Noyo Genggong, Serat Darmogandul, dan Uga Wangsit Siliwangi. Dalam buku ini jelas-jelas ditunjuk dan disebut Dang Hyang Nirartha sejatinya adalah Sabda

360

Palon (Ismoyo) atau Batara Siwa yang menghidupi dan memberikan jiwa kepada agama Siwa-Budha di Nusantara. Secara panjang lebar, Nurahmad menjelaskan dan meyakinkan kepada pembacanya bahwa tokoh Sabdo Palon itu adalah Dang Hyang Nirartha (60--79) yang keberadaannya telah atau sedang mempersiapkan waktu turun (ngawatara) kembali ke dunia untuk mahasemaya, perjanjian besarnya itu. Sabda Palon tidak berkenan berganti agama menjadi agama Islam. Bait-bait teks Naskah Sabda Palon menjelaskan bahwa Sabda Palon (Ismoyo) berpisah dengan Prabu Brawijaya untuk kembali ke asal mulanya, Siwa Loka. Dalam budaya pewayangan Jawa, tokoh Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Sabda Palon kembali ke asalnya, yaitu berwujud kultipasi Dewata, Sang Hyang Siwa (Ismaya). Lamanya beliau berkultipasi 500 tahun. Sabda Palon menyatakan bahwa janjinya akan datang lagi (ngawatara) ke dunia (tanah Jawa penataran Nusantara) dengan tanda-tanda tertentu. Dijelaskan tanda yang utama berupa muntahan lahar Gunung Merapi ke arah Barat Daya. Baunya tidak sedap, kemudian diikuti berbagai bencana lainnya. Itulah tanda Sabda Palon telah datang. Pikiran Nurahmad seakan mengalir begitu saja, menjelaskan kesejatian dan tanda-tanda kehadiran Sabda Palon ke dunia. Dinyatakan bahwa setelah ia bersama gurunya menekuni dan memahami aneka bacaan warisan leluhur Nusantara sebagai apa mereka sebut wangsit, sampailah pada puncak penulisannya. Dari wangsit yang diterima oleh bapak Budi Marhaen, Nurahmad menyebut sejatinya Sabda Palon adalah seorang pendeta panasihat kerajaan Majapahit (Bagawanta/ Purohita), Prabu Brawijaya yang sakti mandra guna. Beliau tiada lain adalah sejatinya Dang Hyang Nirartha/Mpu Dwijendra/Pedanda Sakti Wawu Rawuh/Tuan Semeru yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu (2007: 64 69). Buku Menelisisk Jejak Satrio Piningit menjelaskan pula bahwa Dang Hyang Nirartha (Sabdo Palon) di kerajaan Majapahit adalah putra Dang Hyang Asmaranatha dan cucu Mpu Tantular (Dang Hyang Angsoka Natha). Mpu Tantularlah yang menyusun kakawin Sutasoma yang di dalamnya tercantum kalimat Bhinneka Tunggal Ika. Dang Hyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha, kemudian beralih menjadi pendeta Siwa. Beliau juga bernama Dang Hyang Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang dikenal sebagai seorang sastrawan yang agung (wiku pandita). Nurahmad sebagai seorang sufi memetik teks Dwijendra Tattwa karya IG.B. Sugriwa. Di dalam bukunya dijelaskan bahwa pada masa

361

kerajaan Majapahit di Jawa Timur ada seorang bagawan yang bernama Dang Hyang Dwijendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran, dan menanggulangan masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal sebagai penyebar dan penyebaran ajaran agama Hindu dengan nama Dharmayatra. Di Lombok beliau diberi nama Tuan Semeru atau guru suci dari Semeru (nama sebuah gunung di Jawa Timur). Dengan kemampuan supranatural dan mata batinnya, beliau melihat benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak yang bertikai, tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta yang ditandai dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit, salah satunya adalah bencana alam Pegunungan Anyar. Akhirnya, beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan, kemudian pergi ke Blambangan. Dang Hyang Nirartha pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun saka 1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham tripurusa, yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirartha dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supranatural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga Beliau diangkat menjadi bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika Bali Dwipa mencapai zaman keemasan, semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/ klan disusun. Awig-awig desa pakraman dibuat, organisasi subak ditumbuhkembangkan, dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu, beliau mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung ataupun kakawin. Kini karya-karya sastra yang bermutu tinggi itu masih tetap lestari dan digunakan sebagai materi yang ditembangkan di masyarakat. 4. Dang Hyang Nirartha dan Peradaban Bali Kemasyuran Bali di samping karena keindahan alam lingkungannya, juga karena daya cipta budi daya masyarakat Bali.

362

Melalui tuntunan pustaka-pustaka suci sebagai dasar monisme relegiusitasnya, masyarakat Bali memperoleh impirasi yang tinggi untuk mengolah hidup dan kehidupannya sehingga tercipta peradaban luhur yang terwariskan dari generasi ke generasi. Inti kehidupan yang hendak didambakan dalam lingkup penciptaan peradabannya itu dimaknai agar lahir, hidup, dan matinya kelak dapat membuka jagat lawangan, yaitu balik ke asal kembali kejati diri yang asli, menyatu dengan Batara Siwa, yaitu Tuhan orang Bali sendiri. Inilah cita-cita mulia manusia Bali itu. Ini pula yang membuat Bali berbeda dengan dunia yang lainnya. Para pendeta dan kaum cerdik pandai di Bali senantiasa mengabdi pada jalan peradaban adiluhung ini. Tiada pernah absen memerhatikan, menghayati tanda-tanda alam yang terjadi dan memaknainya secara lahir dan batin, mahayuhayuning buana, yaitu berperilaku mulia. Usaha secara sekala (nyata) dan niskala (tak nyata) dikerjakan, diberikan korban suci, agar alam sekala dan niskala berjalan harmonis yang pada gilirannya memberikan kerahayuan jagat beserta isinya. Sedari awal Bali terkenal karena kebudayaan. Selain itu, Bali telah dikenal dari dulu sebagai tempat penyelamatan pembedaharaan budaya lama, tempat susastra klasik itu tumbuh dan berkembang. Peninggalan budaya dan warisan pustaka yang berupa lontar kesusastraan, misalnya, tidak terwariskan begitu saja atau membeku di musim dingin atau kekeringan di musim kemarau. Karya peninggalan nenek moyang itu dipelihara dan dikembangkan agar memberi manfaat hidup. Karya-karya itu dibaca, dilagukan, didiskusikan, dan dimaknai, kemudian dijadikan panduan nilai dalam tatanan kehidupan sehari-hari. . Masyarakat Bali yang senang dan pandai dalam tulis-menulis di atas daun lontar, banyak dijumpai. Demikian pula sekaa pasantian, pepaosan, dan sekaa kidung amatlah banyak jumlahnya hingga tidak dapat dihitung jumlahnya yang pasti. Semua yang dijelaskan ini adalah kondisi yang sangat baik untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa, aksara, sastra, atau peradaban Bali secara keseluruhan. Seperti dipahaami susastra Bali telah hidup dan tumbuh sedari masa pemerintahan Prabu Darmodayana Warmadewa tahun 990 Masehi. Sang raja inilah yang mengadakan ikatan persaudaraan dengan para raja di tanah Jawa. Pada masa pemerintahan Prabu Udayana bersama dengan permaisuruinya, yaitu Ratu Gunapriya Dharmapatni (Mahendradatta) susastra Kawi sudah mulai dikenal di Bali. Suatu karya susastra yang mendapat tempat terhormat, dijadikan makuta mandita (mahkota budaya) yang selanjutnya mengantar pada

363

pertumbuhan susastra Bali klasik masa-masa berikutnya. Pada masa pemerintahan yang berpusat di Gelgel, terutama pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460--1550), kesusastraan Bali mengalami masa puncak kejayaannya. Masa-masa itu biasa pula disebut masa-masa keemasan kerajaan Bali. Pada masa itu banyak para pengarang atau pujanggga rakawi yang menciptakan karyakarya sastra orisinal Bali Klasik. Dang Hyang Nirartha/Dwijendra yang mengalih dari Pulau Jawa/Majapahit (1486 M) sedari awal kedatangan beliau menapak tanah Purancak (kakisiking Bali Kulon) telah mencipta peradaban, utamanya karya susastra. Demikian pula, setelah dinobatkan sebagai bagawanta /purohita (pendeta kerajaan), beliau banyak melahirkan karya-karya bermanfaat tinggi, seperti karya puja pangastawa mantram pengantar upacara korban suci dalam agama Hindu di Bali, mencipta sarana upacara/upakara, menulis berbagai ajaran filsafat ketuhanan, mengarang berbagai sangre susastra, seperti kidung dan kekawin. Banyak murid beliau yang juga ikut memperkaya perbendaraan satra Bali Klasik itu, seperti Kyayi Dawuh Bale Agung, Ki Gusti Pande Bhasa, Pangeran Telaga/Ida Sakti Telaga/Ida Ender (putra Dang Hyang Nirartha yang lahir dari ibu Patni Keniten, Blambangamn) dan yang lainnya. Sebagai pribadi yang agung Dang Hyang Nirartha memiliki persepsi dan kesucian yang tinggi dalam mengembangkan dan menciptakan peradaban adiluhung atas Pulau Bali. Karya penting yang terwariskan dan dijadikan umat mencari kedamaian hidup adalah bangungan suci, yaitu banyak pura Dang Kahyangan yang didirikan oleh Dang Hyang Nirartha di Pulau Bali hingga ke Lombok dan Sumbawa. Beliau adalah pengarang puja-puja prakirtanam, yaitu puja pangastawa (memuliakan Tuhan dengan segala kebesarannya) beserta sarana upakara (banten) korban suci yang disebut mahapancayaja. Ringkasnya, dengan bukti karya beliau baik yang nyata, seperti bangunan fisik maupun yang tidak nyata, seperti bangunan rohani keagamaan, itulah yang menyebabkan dharmayatra, loka palasraya, loka pala suci beliau terwariskan hingga hari ini. Masyarakat Bali, terlebih para pedanda sangat menyucikan dan menghormatinya. Dengan segenap kemampuannya para pedanda berusaha mengikuti jejak-jejak Dang Hyang Nirartha dari dahulu hingga sekarang. Secara singkat, dalam teks lontar Paniti Gama Tirta Pawitra digambarkan bahwa Dang Hyang Nirartha pengemban pribadi agung dari Batara Siwa di dunia. Beliau adalah tokoh sejarah yang karismatik, sosok religius-magis, legenda kehidupan para pendeta (pedanda) di Bali dan Lombok. Dang Hyang Nirartha sebagai tokoh

364

religio-magis yang banyak memberikan inspirasi terciptanya berbagai simbol-simbol upacara agama yang menata kehidupan masyarakat Bali dalam menjalani dunia fana dan tujuan akhir di akhirat. Ajaran pokok Dang Hyang Nirartha di Bali adalah siwasidhanta, yaitu memuja satu Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi/Parama Siwa) dalam berbagai manifestasi-Nya. Formulasi keesaan Ida Sang Hyang Widi berstana pada padma buana (bunga teratai tahta dunia semesta alam) diwujudkan dalam bangunan padmasana yang terdapat di banyak pura besar di Bali. 5. Dang Hyang Nirartha dalam Teks Lontar paniti Gama Tirtha Pawitra Dalam Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra (Koleksi Ida Pedanda Made Gunung, Griya Kemenuh Purnamawati, Blahbatuh Gianyar) disebutkan bahwa Dang Hyang Nirartha diberi julukan Nilartha yang bermakna beliau meninggalkan jagat Siwa Loka (Nilartha) turun ke dunia untuk menyelamatkan alam dengan menciptakan dunia baru dan mengisinya dengan agama Siwa-Bhuda. Dalam perjalanan sucinya itu, beliau selalu menyucikan alam semesta segenap isinya dengan sarana air suci yang disebut toya atau tirtha. Toya yang dibawa Dang Hyang Nirartha dari kahyangan ke dunia fana ini adalah anugerah Sang Hyang Jagatpati (Dewa Siwa). Agama yang diajarkan oleh Dang Hyang Nirartha oleh para tetua di Bali disebut Gama Tirtha. Agama Hindu (Gama Tirtha) ini di Jawa lebih dikenal dengan nama agama Siwa Budha. Kemudian, agama Siwa Budha disebut Hindu Dharma. Kenapa disebut Gama Tirtha, siapa yang membawanya ke tanah Bali, dan untuk apa dikembangkan di bumi ini? Petikan teks Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra (49b--51b) menjelaskan jawaban atas pertanyaan di atas sebagaimana petikan berikut.
Gama Tirtha. Gama, ento kapituian mungguh di deweke, tirtha yeh. Nanging sing ja yeh ane dadi inem muah ane panjusin. Sing ja yeh ane di tukade wiadin pancoran. Sing ja yeh danu, sing ja yeh pasih, sing ja yeh ujan, sing ja yeh damuh, sing eda ia totonan. Tatuianne ia tuah Tirtmreta, ane kabuat turuntumurun antuk Ida Batara Wawu Rawuh, sane sambatang Ida Pedanda Wawu Rawuh, kautus antuk Batara Jagatnatha, kacacarang teken watek sarwa dumadine makejang, apang pada nyungsung tirthane ento, dadi pangilang saluiring letuh digumine sekala, makadinne dadi pamrtaning urip di jagate, kautpti astitiang antuk para wikune makejang. Krananing kadi Ida Pedanda makarya tirtha, apan igama wijile, apan Ida Batara Wawu Rawuh (50a) maraga wiku suci nirmala, / tan pasingsingan, Ida dogen wikune kalugraha tuun saking swargan, mamundut tirtha nirmala mahamretane ento, krana di Bali kaparabin Ida Pedanda Wawu Rawuh, yan Batara Wawu Rawuh. Yan di Jawa kasambat Ida Hyang Nilartha. Yan ring Sasak inucap Ida Mpu Sangupati. Yan ring Sumbawa

365

kaparabin Ida Twan Sumeru. Antuk i wong Arab kaparabin Imam Madhi. Yan cara Cina kasambat Ida Wong Hundu. Yan di tanah Hindu Ida Sang Aji Saka. Yan cara Belanda kaucapang Ida Hangsap Syasi. Krana di Bali Ida Kaparabin Pedanda Wawu Rawuh, apan Ida panemben wikune, turun saking Swarga ke Dunia memuat mreta urip jagate, tekaning ngrajegang. Wireh Ida dogen wikune ane kalugraha lunga teka maring Swarga, krana ida sinanggeh kawitan, ane kaastawa olih para wikune makejang di Bali. Di Sasak Ida kaparabin Mpu Sangupati, apan Ida ngamong sangun jagate, asung urip muang kapatian jagate. Yan ring Sum (50b) bawa/ Ida Tuwan Sumeru, apan Ida Sinanggeh meme bapa dijagate, ane ngempuang saisin jagate, maka paraning sembah jagate. Yan ring tanah Jawa, Ida Sang Hyang Nilartha, apan Ida anilar Kadewatan, turun ka Martyaloka, kasiwi dening manusa loka makejang. Di tanah Arab kasambatang Ida Imam Madhi, apan Ida manggeh sasakaning gumi, makadinne maraga sangkan paran gumine makejang, mangrahayuan jagat makejang. Yan ring Belanda maparab Hangsap Syasi apan Ida manggeh sasakaning gumi, makadinne maraga sangkan paran gumine makejang. Di tanah Cina Ida inucap Wong Hundhu, dening Ida magawe suka-duka di jagate, muang satata tan kena turu muah rayunan, Ida ane suka wareg satata. Kalingane Ida ane jati luwih nirmala suksma paramartha licin, /(51a) sing sidha pandeng swabhawan Idane olih mata. Sabdan Ida tan sidha karungu dening koping, gandan Ida tan sidha kaambu dening grana, tan sidha sambatang dening cangkem, pangadeg muang rupa warnan Idane tan kena tuduhang dening tangan, maka palinggih Idane apan kapituwiane dong ja Ida maangga manusa, sing ja dewa, dewata, dong ja Batara, hyang, sing ja kala, bhuta, raksasa, pisaca, danawa, jim, setan, nora sato, mina, manuk, taru, buku, trena, lata, gulma, sthawara janggama, dong ja Ida bayu, sabda idhep, dong ja api yeh angin, dong ja tanah, langit, surya, lintang, candra, tan rasa tan urip tan pati, Ida sing ja nyeneng sing ja seda. Nanging yan awasang di pangisin jagate makejang, adanne ento sarwa endah, karungu, karasa, kanten, kambu, ento makejang manyihnayang Ida ada ditu. Mungguing Ida tuah jenek malinggih sik genah Idane kasi/ 51b) wi baan jagate makejang, wireh Ida Siwan jagate makejang, wireh ujar sang putus, Ida tuah satata kairing tur kaayahin baan manusane makejang tekaning sarwa tumitahe, sajagat Ida nirthain setata karyan Ida nglukat, mresihin, mangentas, sane ngletuhin jagate makejang, apanga pada maan karahayuan, ane idup tekaning ane mati, yadin manusane ane tuara nawang Ida, yadin tan lingan teken Ida, masih pageh Ida nirtain, asung pamretaning urip, sakewala jalmane ane tusing rungu teken Ida, kasisipang salampah lakune amikul dosa, tur kapastu antuk Ida, matinnyane dadi butha cuil, dadi reregeding gumi. Ento makasinah manusane sajagat kawengku baan Gama Tirtha, kewala marasa teken kosinge, sara ja ditu.

Artinya:

Agama itu, itu sebenarnya sudah berada dalam diri, Tirtha adalah air, tetapi tidaklah air yang diminum dan yang dipakai mandi. Tidaklah air yang dipakai mandi. Tidaklah yang di sungai atau di pancuran. Tidaklah air danau, tidaklah air laut, tidaklah air hujan, tidaklah air embun, tidaklah itu adanya. Sebenarnya adalah tirthamretha, air kehidupan yang dibawa turun yang dimanfaatkan sampai kelak kemudian hari, oleh beliau Batara Wawu Rawuh yang disebut Ida Pedanda Wawu Rawuh diutus oleh Batara Jagatnatha, Siwa, disebarkan dan dibagikan kepada

366

seluruh mahluk hidup agar semuanya menyongsong dan memuliakan Tirtha itu menjadi penghilang segala kotoran di dunia nyata dan juga menjadi saran kehidupan di bumi yang dibuat dan dipuja oleh semua pendeta. Sebabnya Ida Pedanda membuat tirtha, sebab dari agama adanya, sebab Ida Batara Wawu Rawuh sebagai wiku yang suci bersih, tidak ada yang menyamai, beliau seorang raja wiku yang dibolehkan turun dari Sorga. Itulah sebabnya di Bali disebut Padanda Wawu rawuh, yaitu Tuhan yang baru datang. Kalau di Pulau Jawa beliau disebut Hyang Nirlartha. Kalau di Sasak/Lombok beliau disebut Mpu Sangupati. Kalau di Sumbawa beliau bergelar Tuwan Sumeru. Oleh orang Arab diberi gelar Imam Madhi. Kalau cara Cina beliau disebut Wong Hundu. Kalau di tanah Hindu, India beliau disebut Sang Aji Saka. Kalau cara Belanda beliau disebut Hansap Syasi. Sebabnya di Bali beliau diberi gelar Pedanda Wawu Rawuh, sebab beliau permulaan adanya pendeta turun dari Sorga (Siwaloka) ke dunia membawa Amertha sebagai kehidupan di dunia dan sampai mengukuhkan. Sebab beliau raja pendeta yang diberi anugerah datang dan pergi ke sorga. Sebab beliau disebut asal mula yang dimuliakan oleh para wiku di Bali. Di Sasak, Lombok Beliau diberi gelar Pangeran Sangupati, sebab beliau memegang sangunya dunia, memberi kehidupan dan kematian di bumi. Kalau di Sumbawa beliau disebut Tuwan Sumeru, sebab beliau dianggap Ibu-Bapak di dunia, yang mengasuh seisi dunia, sebab tujuan makhluk untuk menghaturkan sembah bakti. Kalau di Pulau Jawa beliau disebut Sang Hyang Nilartha, sebab beliau berpindah dari sorga turun ke bumi, dipuja oleh semua manusia di bumi. Di tanah Arab beliau disebut Imam Madhi, sebab beliau sebagai kekuatannya bumi, yaitu sebagai asal dan perginya segala yang ada di bumi, karena beliau dengan ikhlas memberi kesejahteraan di seluruh dunia. Kalau di Belanda, Beliau bernama Hansap Syasi, sebab beliau ditetapkan sebagai kekuatan bumi, yaitu sebagai datang dan perginya seluruh dunia. Di negeri Cina, belaiu disebut Wong Hundhu, sebab beliau mengadakan suka dan duka di dunia, dan tidak kena kantuk dan juga makanan, beliau yang selalu senang dan kenyang. Kesimpulannya beliau yang benar-benar utama suci sunyi tercapai tujuan yang utama tak dapat dirasakan, tidak dapat diwaspadai wajah beliau dengan mata. Suara beliau tak sanggup didengar oleh telinga, bau beliau tidak dapat dicium dengan hidung, tidak dapat diucapkan dengan mulut, bentuk tubuh dan rupa warna beliau tidak dapat disentuh dengan tangan, demikianlah bentuk beliau, sebenarnya beliau bukan berwujud manusia, tidak juga dewa, dewata, tidak juga bhatara, Hyang, tidak juga kala, bhuta, raksasa, pisaca, danawa, jin, setan, tidak binatang, ikan, burung, pohon yang beruas, rumput, tumbuhan menjalar, semak belukar, mineral, parasit. Beliau tidaklah tenaga, pikiran, tidak juga api, air, angin, tidak juga tanah, langit, matahari bintang, bulan, tidak rasa, tidaklah kehidupan dan kematian, Beliau tidak hidup juga tidak mati. Akan tetapi, kalau diwaspadai dalam isinya seluruh bumi, adanya itu adalah beraneka macam, yang dapat dilihat, dirasakan, terlihat, dihirup. Itu semua sebagai ciri beliau ada di sana. Tentang beliau hanya diam dan duduk pada diri-Nya dipuja oleh semua orang di bumi, sebab beliau sebagai junjungan seluruh dunia. Sebab dikatakan oleh orang suci, Beliau

367

selalu diantar dan dilayani oleh manusia semua, sampai dengan segala makhluk. Di seluruh dunia beliau yang memberi tirtha, air suci, kerja beliau selalu ngulukat (meruwat), mresihin (membersihkan), mangentas (memberikan tirtha untuk kematian), yang mengotori seluruh dunia, supaya mendapatkan keselamatan, yang masih hidup ataupun yang meninggal. Walaupun manusia yang tidak tahu dengan beliau, walaupun tidak pernah ingat dengan beliau, juga sangat setia beliau memberikan tirtha, dengan ikhlas memberikan air kehidupan. Akan tetapi, manusia yang tidak hirau kepada beliau, disalahkan segala gerak-geriknya dan pelaksanaannya memikul dosa, lagi pula dikutuk oleh beliau. Setelah ia meninggal akan menjadi butha cuil (setan gentayangan), menjadi kotoran dunia. Itulah sebabnya manusia diperintah oleh agama Tirtha, tetapi merasa atau tidak, terserah di sana.

6. Kesimpulan Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra, adalah lontar yang menjelaskan tata itiket melakukan dharma agama Siwa-Budha dalam model pemaham peradaban relegi keagamaan di Bali pada zaman Gelgel. Zaman di mana tumbuh dan berkembangnya peradaban Bali pada puncak-puncak keemasannya. Semua segi kehidupan ditata dan dikembangkan berdasarkan perspektif Bali. Istilah yang muncul untuk peradaban ini adalah Kawi Bali, yaitu terciptanya bahasa supra yang digunakan masyarakat beradab (rakawi) membahasakan satyam, Siwam, Sundaram, yaitu ilmu pengetahuan, keagamaan, dan seni dalam kehidupan lahir dan batin. Istilah yang sejalan dengan Kawi Bali, yaitu Pa-Bali, titik balik dari pemahaman dan persepsi Bali, ilmu-ilmu Bali. Peradaban yang ada di luarnya (dunia) disambut dan dicerna mendalam dan dimaknai dengan persepsi yang tinggi dari perspektif Bali yang maha surgawi. Penciptaan-demi penciptaan terjadi mengukiti proses krativitas bangsa yang mahardika. Jiwa-jiwa mulia yang mulai tumbuh dan bertumbuh, mencipta dan menciptakan aneka peradaban yang dapat memenuhi jagat pikayunan, jagat pemikiran masyarakat seutuhnya dan berkembang dalam aneka ranah kehidupan, lahir dan bathin. Sebelum istilah Hindu diperkenalkan sebagai sebutan agama Hindu, sebelumnya dipergunakan leksikon Gama Tirtha, yaitu sebagaimana diamanatkan dalam lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra. Teks Paniti Gama Tirtha Pawitra, berisikan ajaran keagamaan dari guru suci Dang Hyang Nirartha/Dwijendra yang disarikan oleh para kerohanian yang terwariskan sebagai sistem keagamaan Siwa-Budha (Hindu Dharma) dalam perspektif Bali yang maha surgawi. Sistem keagamaan yang suci murni, berlandaskan pada empat esensi sarana, yaitu: weda/puja (mantram suci), adnyana (kekuatan batin), banten (sarana upacara), dan tirtha (air suci).

368

DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1953. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory The Critical tradition. Ithaca New York: Cornell University. Barker, Chris. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Terjemahan oleh Nurhadi dari Cultural Studies, Theory and Practice (2000). Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta. Barthes, Roland. 1973. Mythologies. Paris: Paladin Frogmore, St Albans. Barthes, Roland. 2003. Mitologi. Terjemahan oleh Christian Ly dari Mythologies. Padang: Dian Aksara Press. Berg, Cornelis Christian. 1927. De Middeljavaanche Historische Traditie. (disertasi) Rotterdam: Mees-Santpoort. ........ 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara. Darmawan, Tri Budi Marhaen dan Nurahmad. 2007. Jalan Setapak Menuju Nusantara Jaya, Perjalanan Spiritual Menelisik Jejak Satrio Piningit. Semarang: Cipta karya Multimedia. Eco, Umberco. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Fokkema, D.W dan Elrud Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentiet Century: Structuralism Marxism Aeistheticsof Reception Semiotics. C. Hurst & Company: London. Gourdriaan T. dan C. Hooykaas. 2001. Stuti dan Stava: Mantra Para Pandita Hindu di Bali (Bauddha, aiva dan Vaiava). Terjemahan oleh I Made Titibdari Stuti And Stava (Bauddha, aiva and Vaiava) of Balinese Brahman Priests.Denpasar: Pramita. Granoka, Ida Wayan Oka. Reinkarnasi Budaya. Pa-Bali, Titik Balik Memandang Dunia Perspektif Bali Masa Depan. Denpasar: Mabhakti. Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response. The John Hopskin University Press: Baltimore London. Jauss, Hans Robert.1983. Toward an Aesthetic of Reception. University Minnesotta Press. Minneaspolis. Kartodirdjo, Sartono. 1969. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3ES. ........... 2001. Indonesian Historiography. Yogyakarta: Kanisius. Kawuryan, Megandaru W. 2004. Tata Pemerintahan Negara Kertagama Keraton Majapahit. Jakarta: Panji Pustaka. Kern, JHC dan Rassers, WH. 1982. Ciwa dan Buddha. Terjemahan oleh Tim KITLV dan LIPI dari Ciwa En Boeddha in den Indischen Archiplel (1926). Jakarta: Djambatan. Kusuma, I Nyoman Weda. 2005. Kakawin Usana Bali Karya Danghyang Nirartha. Kuta Bali: Pustaka Larasan. Mantra, I. B. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Matejka, Ladislav. 1976. Semiotics Of Art. Cambridge: Mass. Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. ........ 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara- Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKis Yogyakarta. Mulkham, Abdul Munir. 2002. Syekh Siti Jenar, Pergumulan Islam Jawa.

369

Jogyakarta: Bentang Budaya. Pierce, Charles Sanders. 1940. The Philosophy of Pierce: Selected Writings. (J. Buchler, editor). New York: Harcout. Putra, Ida Bagus Rai. 1987. Babad Dalem: Suatu Tinjauan StrukturIntertekstualitas.(Sekripsi) Denpasar: Fakultas Sastra Unud. ........ 2000. Parama Dharma Dang Hyang Nirartha, dalam Kusumanjali Persembahan Kepada Dang Hyang Nirartha. Denpasar: Yayasan Dharmopadesa ........ 2000. Dang Hyang Nirartha: Rakawi Zaman Keemasan Kraton Gelgel di Bali, dalam Kusumanjali Persembahan Kepada Dang Hyang Nirartha. Denpasar: Yayaan Dharmopadesa. ........ 2006. Rakawi Dang Hyang Dwijendra Sajroning Susastra Bali. Makalah Kongres Bahasa Bali VI. Denpasar: Panitia Pasamuhan Agung Basa Bali VI, Oktober 2006. ........ 2007. Bahasa Kawi Bali dalam Tekstualitas Dharmayatra Dang Hyang Dwijendra. Denpasar: Universitas Udayana. Riffaterre, Michal. 1983. Semiotique de la poesie. Paris: Seuil. Soedjatmoko, dkk. 1995. Historiografi Indonesia, Sebuah Pengantar. (ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sumaryono, E. 1993. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Tim Penyusun Sejarah Bali. 1985. Sejarah Bali. Denpasar: Pemda Tk. I Bali. Tuuk H.N. van der. 1901. Kawi-Batineesch-Nederlandsch Woordenboek. 4 jilid. Mid 1 (1897); jilid 2 (1899); jilid 3 (1901) jilid 4 (1912). Batavia: Landsdrukkerij. Suamba, I.B. Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia: Ajaran dan Perkembangnya. Denpasar: Program Magiser Ilmu Agama dan Kebudayaan Kerja sama dengan Penerbit Widya Dharma. Sura, I Gde, dkk. 2005. Siwatattwa. Denpasar: Pengadaan Buku Penuntun Agama Hindu, Provinsi Bali. Vrede, Frans. 1979. Pengantar Hakikat Filsafat Hindu Yang Abadi. Stensilan. Jakarta: Universitas Indonesia. Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese-English Dictionary. (2 jilid). Grabenhage: Martinus Nihoff.

370

KAJIAN KAKAWIN NITICASTRA SEBAGAI SALAH SATU SUMBER KEARIFAN LOKAL DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
Sang Ayu Putra Sriasih Undiksha Singaraja
1. Pendahuluan endidikan merupakan salah satu modal dasar untuk pembangunan karakter bangsa. Sebagai salah satu modal dasar, pendidikan harus selalu bersifat inovatif. Dalam pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia, berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga berkompeten dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut, pemerintah telah menetapkan serangkaian prinsip yang dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (Dantes, 2010). Dalam proses tersebut harus ada pendidikan yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Hal ini penting karena bencana nasional tentang kemerosotan moral masyarakat Indonesia telah terjadi pada tataran terendah sampai tertinggi sebagai ancaman serius yang terkait dengan karakter bangsa saat ini. Betapa tidak, hampir setiap saat masyarakat mendengar, membaca, dan melihat berbagai perilaku yang bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia. Perilaku-perilaku itu diperoleh dalam bentuk: informasi, tulisan, atau tayangan-tayangan mengenai perampokan, pembantaian, pemboman, tawuran di kalangan pemuda/ mahasiswa; dekadensi moral seperti: pemerkosaan, perselingkuhan, penipuan, trifficking, bahkan yang spektakuler adalah perilaku di luar nalar oleh para pejabat tinggi atau pejabat negara dalam hal korupsi yang menampakkan perilaku menggila. Kalau ini tidak segera disadarkan lewat pendidikan maka kehancuran akan terjadi di depan mata karena tiada teladan yang bisa ditiru oleh generasi muda maupun bagi publik .

371

Aplikasi prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Prinsip ini perlu diaktualisasikan di masyarakat. Paradigma pembelajaran memberikan peran lebih banyak bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk dapat menyelenggarakan pendidikan berdasarkan paradigma tersebut, diperlukan acuan dasar pendidikan yang meliputi acuan filosofis, maupun acuan normatif baik yang bersifat kultural maupun lingkungan strategis (Undang-Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003). Salah satu acuan yang berbasis budaya yang dapat digunakan sebagai landasan pendidikan karakter terdapat pada kakawin Niticastra, yang tidak asing lagi bagi penikmat sastra daerah di Bali pada umumnya. Niticastra merupakan potret pandangan dan pedoman hidup yang sangat universal dalam bersikap dan berperilaku. Keuniversalan nilai-nilai ini perlu dikuak dalam meningkatkan pendidikan karakater bangsa, terutama bagi peserta didik yang akan menjadi penerus bangsa pada garda terdepan. 2. Konsep Pendidikan Karakter Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar untuk memanusiakan manusia. Konsep ini mengandung suatu idiom yang bermakna sangat dalam yakni usaha sadar dan memanusiakan manusia. Usaha sadar menyiratkan bahwa suatu pendidikan direncanakan, dipersiapkan berbagai perangkatnya, dilaksanakan secara sistematis sesuai dengan perencanaan jadwal, target, sasaran, dievaluasi, dan seterusnya (sangat kompleks). Selanjutnya, dilakukan tindak lanjut dan seterusnya. Berbicara tentang ranah pendidikan, sejak dulu telah dikenal ranah pendidikan informal, nonformal, dan formal. Di mana pun ketiga ranah itu dilaksanakan pasti memiliki kontribusi dalam hal pengetahuan, keterampilan, dan sikap terhadap pembelajar. Hal ini secara jelas dan permanen telah dirumuskan dalam (Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I) bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

372

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Usaha peningkatan sumber daya manusia merupakan tanggung jawab pendidikan, baik formal maupun nonformal (Parmiti dalam Tegeh, 2010). Pendidikan pada dasarnya adalah upaya untuk mempersiapkan atau membekali sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan keterampilan sesuai dengan tuntutan pembangunan bangsa (Sudiana dalam Tegeh, 2010). Jepang pun setelah Nagasaki dan Hirosyima dibom atom segera bangkit kembali lewat pendidikan, meskipun armada pertahanannya dalam hal ini para tentara banyak yang tewas. Akan tetapi, jika guru masih ada maka dalam waktu singkat mereka dapat berbenah diri. Dengan demikian, pembangunan pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia yang handal merupakan harga paten dan pemerintah telah bersungguh-sungguh melakukannya. Dalam Tujuan Pendidikan Nasional dirumuskan bahwa pendidikan bertujuan meninggatkan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Di samping itu, pendidikan diharapkan mampu menanamkan sendi-sendi kehidupan sehingga melahirkan manusia-manusia terdidik yang memiliki kecerdasan secara intelektual, emosional, sosial, dan kecerdasan secara sosial, juga memiliki keterampilan, dan lain-lainnya. Karakter dalam KBBI (2008:623) adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, yang membedakan seseorang dengan orang lain; sedangkan dalam Kamus Bahasa Inggris, Echols and Shadily (1992:107), character secara semantis berarti watak, karakter, sifat. Pendapat lainnya, Amri, dkk. (2011:3) mengutip Depdiknas menyatakan bahwa karakter adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Dengan demikian, karakter merupakan penggambaran secara total tentang sikap, perilaku, budi pekerti, kepribadian, personal seseorang dalam berpikir, bersikap, dan bertindak yang menyangkut baik maupun buruk. Pendidikan karakter merupakan upaya mewujudkan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, yang dilatarbelakangi realitas permasalahan kebangsaan yang carut-marut saat ini, seperti disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila. Di sisi lain, terdapat keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilainilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian

373

bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Karakter Bangsa 20102025). Dengan demikian, pendidikan ternyata bukan hanya membuat manusia pintar/cerdas tetapi yang lebih penting adalah terwujudnya manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat tujuan penciptaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sindhunata (2000:14, yang di-posted, 8 November 2008) bahwa tujuan pendidikan bukan hanya terbentuknya manusia yang terpelajar tetapi lebih daripada itu, yakni manusia yang berbudaya (educated and civized human being) dalam arti luas. Manusia berbudaya, dalam arti luas inilah yang sesungguhnya merupakan produk dari pendidikan berkarakter yang menjadi dambaan bangsa Indonesia di tengah-tengah terjangkitnya berbagai krisis mulitidemensional. Lickona (dalam Trianto, 2010) menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti plus, yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga itu pendidikan karakter tidak akan efektif dan pelaksanaannya pun harus sistematis dan berkelanjutan. Dari konsep itu, fungsi pendidikan karakter sebenarnya dapat dirumuskan sbb. (1) mengembangkan potensi dasar peserta didik agar berpikiran baik, berhati baik, dan berprilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur dan saling menghormati; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Dari uraian di atas, pendidikan karakter sesungguhnya memiliki skope yang sangat luas yakni mencakup segala pikiran, ucapan, perilaku, sifat, kepribadian, moral yang mengarah pada kebaikan dirinya dan kebaikan pada orang lain. Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen-komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Jadi, konsep pendidikan karakter sangat-sangat ideal bila diterapkan dalam mengantisipasi perkembangan global dan pembinaan mental spriritual manusia Indonesia yang kian memudar. 3. Kearifan Lokal dalam Konteks Kekinian Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki keunikan dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Salah satu keunikan itu adalah Indonesia merupakan negara majemuk dalam berbagai dimensi kehidupan seperti: SDA, SDM, etnis, agama, bahasa, adat-istiadat, kepercayaan, latar belakang kehidupan, dll., yang banyak memiliki sisi positif dan negatif. Oleh karena demikian majemuknya, mau tidak mau pasti akan terjadi sentuhan-sentuhan

374

antara dimensi yang satu dengan dimensi yang lain, atau intern dimensi itu sendiri. Salah satu dimensi yang merupakan ujung tombak manajerial pemberdayaan kehidupan adalah sumber daya manusia (SDM). SDM masyarakat Indonesia inilah yang harus ditingkatkan keimanannya dan perilaku baiknya sehingga dapat menumbuhkan harmonisasi dalam era kesejagatan saat ini. Keragaman bangsa Indonesia dari sisi etnis, suku, budaya dan lain-lainnya sejatinya juga merujuk kepada karaktreristik masing-masing. Pada saat yang sama, kekhasan itu pada umumnya memiliki kearifan yang pada masa-masa lalu menjadi salah satu sumber nilai dan inspirasi dalam merajut dan menapaki kehidupan mereka (OPINI, Kompas, 17-12- 2011. Kearifan lokal atau yang dalam bahasa Inggris dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat (local wisdom) merupakan pandangan, pengetahuan, dan strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh suatu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup suatu masyarakat. (Kompas, 17-12-2011). Dalam Kompas juga dipaparkan bahwa pembangunan yang cenderung mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya mengakibatkan keajegan kearifan lokal sebagai produk budaya yang telah sekian lama terbukti efektif menjadi terabaikannya. Banyak bukti yang mendukung bahwa kearifan lokal saat ini kurang memperhatikan kepentingan urgen yang berpihak pada publik. Hal ini tercermin dari perilaku para pemegang otoritas. Dalam implementasi kearifan lokal, yang dibutuhkan sebenarnya adalah kepemimpinan dan keteladanan. Hal ini sejalan dengan pendapat Wahid, anggota DPR RI Komisi X dari FPKB yang menegaskan bahwa sistem penanaman nilai yang ada dalam pendidikan karakter itu tercermin dalam setiap langkah pemimpin kita. Keteladanan pemimpin inidalam berbagai lini dan jenjang perlu juga secara integratif dipolakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan karakter. Para pemimpin ini perlu menunjukkan eksistensi dirinya bahwa mereka mempunyai nilai-nilai kearifan lokal yang dijadikan cermin oleh masyarakat dan itu perlu diwujudkan dalam bentuk aksi bukan sekadar wacana/ life service. Contoh: ungkapan/istilah Ajeg Bali, penerapannya tidak sejalan dengan ucapannya. Di samping itu, kepentingan yang mengutamakan diri sendiri, golongan tertentu, atau sekelompok orang dengan cara-cara biadab bukan beradab merupakan pengingkaran terhadap kebenaran nilai-nilai kearifan lokal, sehingga kerap memunculkan disharmonisasi dalam proses pembangunan yang pada akhirnya menambah biaya sosial (social cost) yang jauh lebih besar.

375

4. Kakawin sebagai Sebuah Aktivitas Seni Bali banyak mewarisi khasanah budaya Jawa, terutama yang terkait budaya sastra lisan maupun tulis. Budaya sastra lisan-tulis ini tampak pada aneka budaya adiluhung, yakni aneka kakawin. Kakawin makakawin merupakan aktivitas membaca dengan melagukan teks yang berbahasa kawi/Jawa Kuno yang disertai dengan penyampaian artinya. Di samping itu, terdapat tembang-tembang (pupuh/macapat/ mocopat) yang sampai sekarang sangat eksis di seantero masyarakat Bali yang juga sumbernya dari Jawa. Kakawin dan pupuh itu dalam perkembangan selanjutnya telah termodifikasi sedemikian rupa sesuai kepentingan dan kebutuhan masyarakat Bali (Hindu) tanpa meninggalkan kaidah aslinya. Kakawin merupakan salah satu wujud berkesenian. Jika ditengok sejarah, di Buleleng telah ditemukan prasasti Bebetin berangka tahun 896 Masehi, yang ditulis ketika pemerintahan Raja Ugrasena di Bali, yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa seni pertunjukan. Salah satunya adalah yang disebut pagending (biduan) (Bandem, 1996:53). Dalam hal ini, yang dimaksudkan biduan adalah orang yang menyanyikan lagu atau tembang yang diminati masyarakat saat itu. Dengan berbagai aktivitas seni yang dilakoni oleh masyarakat Bali, Bali juga dikenal dengan small is beautifull. Di antara sekian banyak kakawin yang berasal dari tanah Jawa, menurut hemat penulis, Niticastra merupakan kakawin yang sarat akan petuah-petuah, keteladanan dalam berbagai dimensi kehidupan. Melaksanakan aktivitas kakawin dengan membaca dan melagukan bait-bait kakawin merupakan aktivitas yang menyenangkan. Hampir semua penekun kakawin merasakan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan. Hal ini disebabkan bahwa seni makakawin akan membentuk pribadi yang tunduk, yakni tunduk pada sesama, pada lingkungan, lebih-lebih tunduk atas kebesaran Yang Kuasa (Tuhan). Kenyataan ini tidak terlepas dari substansi materi kakawin yang secara umum memang mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan yang terkait dengan kebenaran, kebaikan, kasih sayang, pendidikan, dll yang konotasinya positif. Sejalan dengan itu (Rai dalam Bali Post, rubrik Figur, 4/12-2012) menyatakan bahwa seni memiliki peran strategis dalam upaya pembentukan karakter bangsa. Melalui seni, generasi muda akan mendapat asupan nilai yang dapat membentuk akhlak mulia. Kakawin sebagai salah satu unsur seni memiliki peran strategis dalam penajaman nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai strategis yang terdapat dalam Niticastra perlu dikaji dan diimplementasikan. Pemahaman dan penghayatan nilai-nilai kakawin Niticastra dalam kehidupan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya:

376

mempelajari sendiri untuk kebutuhan transfer ilmu, mempelajari secara berkelompok untuk kepentingan bersama dan mengamalkannya dalam berbagai ritual di masyarakat sesuai tujuan kelompok, dan sebagainya. Pelaksanaan aktivitas seni di Bali sesungguhnya merupakan suatu proses yang sangat unik, yang memiliki tahapan-tahapan. Demikian pula aktivitas seni makakawin. Contoh: dalam pelaksanaan aktivitas kakawin secara berkelompok pasti dilakukan dengan didahului doa pembuka, menghaturkan canang (minimal), sembahyang, nunas tirta (air suci), lanjut proses pembacaan. Menjelang berakhir, dilakukan doa penutup, dan parama santih. Cara-cara yang ditempuh seperti itu mengingatkan dan meningkatkan rasa bakti manusia terhadap kebesaran Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi) lewat doa-doa yang dilantumkan dan ini merupakan muatan nilai spiritual yang bisa menjadi landasan kearifan lokal. Menghaturkan canang merupakan persembahan kecil yang penuh makna filosofis. Canang memuat simbul-simbul tertentu tentang kebesaran Tuhan. Sembahyang merupakan perilaku memuja kebesaran Tuhan serta kita berdoa untuk keselamatan diri sendiri dan keharmonisan alam semesta. Nunas tirta memohon berkahnya berupa air suci sebagai lambang kesuburan untuk kedamaian dalam beraktivitas. Dalam proses pembacaan juga perlu diperhatikan buku kakawin yang dibaca tidak boleh ditaruh secara sembarang/pakai alas dulang. Terakhir melakukan doa penutup dengan menghaturkan parama cantih Om Cantih, Cantih, Cantih Om, sebagai akhir kegiatan. Parama cantih merupakan doa yang isinya mohon kedamaian pada Tuhan untuk diri sendiri, kedamaian lingkungan alam semesta, serta lingkungan alam yang tidak terpantau oleh mata, telinga, pikiran/ alam sana.... Semua aktivitas yang tergambar secara sederhana di atas penuh dengan muatan kearifan lokal. Pembentukan karakter-karakter positif tercermin pada setiap tahapan kegiatan tersebut. Andaikan 25% saja masyarakat Bali melakukan kegiatan seperti ini setiap hari, betapa damainya dunia ini. 5. Kakawin Niticastra dan Nilai-nilainya Niticastra karya Raden Mas Ngabei diterbitkan Bale PoestakaBatavia tahun 1940 (Pustaka Daluang, posted on 7 January 2012). Sebagai sebuah kakawin, Niticastra hadir di tengah-tengah masyarakat Bali dengan berbagai versi tampilan, namun secara substansi tidak ada perbedaan. Versi-versi yang dimaksud adalah (a) kakawin yang menggunakan Aksara Bali tanpa disertai arti; (b) kakawin dengan Aksara Bali yang disertai dengan arti dengan menggunakan Aksara

377

Bali pula, dan (c) ada dengan menggunakan Aksara Bali, di bawahnya disalin dengan aksara Latin dan terjemahannya dengan menggunakan Akasara Bali, yang di bawahnya (terjemahannya) menggunakan huruf Latin berbahasa Indonesia (Gautama, 1990). Model c dilakukan bertujuan agar masyarakat dapat membaca dengan mudah, serta memahami, dan menguasai nilai-nilai yang ada dengan baik. Versi yang digunakan sebagai rujukan dalam makalah ini adalah butir c, yang ditulis oleh Gautama. Karena keterbatasan penulis, nilai-nilai yang diungkapkan dalam konteks ini adalah nilai-nilai yang besifat umum. Bila dicermati dalam Kakawin Niticastra terdapat 10 jenis wirama: Sardulawikridita, Wangsapatra patita, Kalengengan, Ragakusuma, Kusumawicitra, Aswalalita, Brhamara wilacita, Smaradahana, Prawira lalita, dan Wasantatilaka (Gautama, 1990). Nilai-nilai yang ada secara singkat dipaparkan berikut ini. Nilai spritual Bait 1 diawali dengan pemujaan seorang penulis terhadap kebesaran Tuhan. Pemujaan ini terkait dengan keiklasan jiwa/rohani sang penulis. Penulis (pengawi) pertama-tama mempersembahkan rasa bakti/hormatnya kepada Tuhan yang dalam hal ini disimbolkan sebagai Dewa Wisnu, yang merupakan jiwa alam yang selalu bersemayam di hati. Juga segala sembah bakti penulis ditujukan kepada Dewa Surya yang selalu bersinar menerangi alam jagat raya tanpa mengenal lelah sehingga segala niat baik dapat terwujud, di antaranya terwujudnya sebuah tuntunan hidup yang diberi nama Niticastra dalam bentuk kakawin. Pengagungan kebesaran Tuhan diibaratkan sebagai rasa syukur atas segala kemudahan yang dilimpahkan. Hal ini menunjukkan kecerdasan dan sopan santun seorang anak manusia. Nilai Pendidikan dan Keteladanan Kehebatan penulis mencurahkan pikirannya dengan mengasosiasikan kehidupan dalam berbagai bentuk nilai-nilai yang terkait dengan pendidikan moral dan keteladanan yang cakupannya sangat luas. Nilai-nilai tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: (a) keluhuran budi dan sopan santun, (b) menghindari perbuatan tercela/hina, (c) kewaspadaan akan racun-racun dalam kehidupan, (d) mencerminkan kedamaian/ persahabatan, (e) keutamaan harta, kedudukan, kecerdasan, dan keberanian, (f) menghindari menyalahkan pendeta, (g) menghindari kemiskinan diri, (h) karma selalu menyertai diri

378

kita, (i) kriteria kebaikan dan kenikmatan, (j) pentingnya berbagi, (k) menghindari ketegangan, (l) keutamaan seorang putra, (m) menghindari mencela, (n) waspada terhadap zaman kaliyuga), (o) tahapan penanaman disiplin pada anak, sastra, guru, (p) menjaga diri menuju kedewasaan, (q) memilih wanita yang layak dan yang tidak, (r) beramal secara tepat dan jujur, (s) kebohongan dalam kehidupan, (t) pentingnya posisi kepala saat tidur, (u) keutamaan pendeta, keutamaan raja, keutamaan pejabat negara, (v) kekuatan makanan, (w) keutamaan anak dan pendidikannya, (z) wanita (citra, kemapanan, dan perlakuan terhadapnya), dan lain-lain. Berdasarkan kajian sekilas, nilai-nilai yang ada amat universal. Bila dikaitkan dengan falsafah, pedoman hidup, demikian pula keyakinan dalam sebuah agama, tampaknya agama mana pun ajaranajarannya tidak terlalu jauh dari nilai-nilai tersebut. Masalahnya adakah kejujuran di antara kita bahwa nilai-nilai tersebut sangat universal? 6. Implementasi Nilai-nilai Niticastra dalam Pengembangan Pendidikan Karakter Di tengah-tengah carut-marutnya mental dan moral bangsa ini, penanaman dan pengembangan pendidikan karakter yang berbasis kearifan lokal mutlak dilakukan. Banyak media yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam pengembangan pendidikan karakter. Terlalu banyak realitas di depan mata masyarakat tentang kebobrokan mental dan moralitas bangsa ini. Pakar hukum/praktisi hukum melanggar hukum, pakar pendidikan tidak mampu mendidik dirinya, counselor tidak berdaya mengcounseling dirinya, para pejabat pemegang otoritas bertindak sewenang-wenang: perselingkuhan, perampokan uang negara, ketidakadilan, penggunaan barang haram oleh orang-orang yang mesti memberikan teladan, dll. Mengantisipasi hal itu, pengembangan pendidikan karakter mutlak perlu dilakukan secara efektif, komprehensif, dan kontinuitas dengan menggunakan rujukan Niticastra. Hasil penelitian Daniel Goleman menyatakan bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat 80 % dipengaruhi kecerdasan emosi dan 20 % IQ. Implementasi ini layaknya dimulai dari para pejabat dengan menjadikan dirinya sebagai teladan yang dapat ditiru dari pikiran, ucapan, dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan ini akan terealisasi apabila setiap ucapan dan perilakunya selalu dicermini oleh nilai-nilai spiritual, pendidikan moral, dan keteladanan dari Niticastra. Hal ini penting, karena di India pun (India kuna),

379

termasuk juga di Indonesia kitab-kitab Niticastra adalah kitab-kitab yang mengandung kebijaksanaan hidup dan pelajaran secara umum (Daluang, 2012). Jika keteladanan ini sudah diawali oleh para pemimpin dan para tokoh, secara perlahan menurun ke lembaga pendidikan dan terjadi alur yang sejalan. 7. Penutup Berdasarkan paparan di atas, pendidikan karakter sangat penting diberikan di lembaga pendidikan dalam kehidupan masa kini karena dalam pendidikan karakter yang berbasis pada kebijakan lokal seperti pengimplementasian nilai-nilai Niticastra sebenarnya terdapat kandungan ajaran pendidikan moral (moralitik-didaktik) dan keteladanan. Implementasi ajaran ini mampu (a) mengembangkan potensi dasar peserta didik agar berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur dan saling menghormati; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter jangkauannya sangat luas yakni terkait dengan kecerdasan berpikir, emosional, sosial, dan spiritual, yang mengarah pada kebaikan dirinya dan kebaikan pada orang lain. Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah maupun luar sekolah yang meliputi komponen-komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilainilai tersebut. Jadi, konsep pendidikan karakter sangat-sangat ideal bila diterapkan dalam mengantisipasi perkembangan global dan pembinaan mental spriritual manusia Indonesia yang kian memudar.

Amri, Sofan, dkk. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pusaka. Bali Post. 2012, 4 Desember. Kolom Figur: Pembentukan Karakter. Bandem, I Made. 1996. Etnologi Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius. Dantes, Nyoman. Pendidikan Profesi Guru dan Kompetensi Program Akademik (S1) pada Universitas Perluasan Mandat. Makalah dalam Workshop Pengembangan Kurikulum Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan 13-14 Maret 2009. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Echols, John and Shadily, Hassan. 1992. Kamus Inggris-Indonesia An EnglishIndonesian Dictionary. Jakarta: PT Gramedia. Gautama, Wayan Budha. 1990. Kakawin Niticastra. Tt. penerbit. Hakikat dan Pengertian Pendidikan Posted on 8 November 2008. Diambil dan Adaptasi dari: Tata Abdulah. 2004.

DAFTAR PUSTAKA

380

Pustaka Daluang. Saturday, January 7, 2012. Merunut kembali helai per helai lembaran kelam masa silam. Nitisastra. Kompas. Opini, 17-12-2011 Rejuvenasi Kearifan Lokal Pitoyo, Joko. Ajaran Moral dalam Serat Nitisastra. Dalam Internet. Tegeh, I Made. 2010. Peningkatan Kualitas Pembelajaran di Perguruan Tinggi Menuju Pribadi yang Unggul. Orasi dalam Rangka Dies Natalis ke-IV Undiksha Singaraja. Trianto. 2010. Mengembangkan Pembelajaran Tematik. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Wahid, Abdul Hamid. Perlu Konsensus Nasional Nilai-nilai Pendidikan Karakter. Diunggah oleh Administrator pada Senin 23 Mei 2011.

pustaka daluang Merunut kembali helai per helai lembaran kelam masa silam.. Semoga kian ke hari memberi makna dan semangat bagi insan bhumi pertiwi Saturday, January 7, 2012 Nitisastra Nitisastra karya Raden Mas Ngabei Poerbatjaraka Raden Mas Ngabei diterbitkan Bale Poestaka- Batavia tahun 1940; Kakawin Nitisastra yang tak dikenal penggubahnya ini, merupakan kakawin moralistis-didaktis. Kakawin ini zaman dahulu sangat termasyhur di pulau Jawa dan sekarangpun masih di Bali. Pada abad ke-18 M ada versi dalam Bahasa Jawa Baru, digubah dengan judul Serat Panitisastra. Di India kuna, kitab-kitab NitiSastra adalah kitab-kitab yang mengandung kebijaksanaan hidup dan pelajaran secara umum. Nama ini dengan kata lain adalah nama umum atau generik. Dalam bahasa Jawa kuna, pengertiannya juga mirip. Jika seseorang membicarakan Niti-Sastra, belum tentu merujuk pada kakawin ini.

381

MENGENALI KEBERADAAN BAHASA DAERAH SAAT INI DAN CIRI PEMANGKUNYA


I Nengah Martha Undiksha Singaraja
1. Pendahuluan khir-akhir ini di Bali, muncul kecenderungan bahwa, keluarga dari pasangan baru/muda menggunakan bahasa Indonesia untuk anak-anak mereka dalam rumah tangga. Hal ini tidak hanya terjadi pada pasangan yang berbeda etnik, beda kewarganegaraan, dan beda kasta, tetapi juga pada pasangan yang sama etnik dan sama kasta. Umumnya, pengalihan pemakaian bahasa Bali ke bahasa Indonesia ini dilakukan oleh pasangan-pasangan yang tinggal di kota, kaum urban, berpendidikan lumayan, status ekonomi cukup. Pengalihan pemakaian bahasa Bali ke bahasa Indonesia mereka lakukan dengan berbagai alasan, misalnya: 1) untuk memudahkan anak mereka memasuki bangku sekolah, karena di sekolah digunakan bahasa Indonesia, 2) untuk memudahkan anak mereka melakukan komunikasi dengan orang yang berbeda etnik, 3) untuk memudahkan anak mereka bisa memahami isi informasi yang disampaikan melalui media cetak dan elektronik. Selain alasan di atas, ada alasan lain yang lebih menyedihkan, misalnya: 1) untuk memberikan impresi lebih bergengsi, 2) untuk memberikan kesan lebih terdidik, 3) untuk memberikan kesan keberhasilan ekonomi, dan perbedaan status, 4) untuk memberikan kesan tidak kampungan dan katrok. Rantai pengalihan pemakaian bahasa ibu (bahasa Bali) ke bahasa lain (bahasa Indonesia) secara terus-menerus dan berdegerasi ini dapat mengancam kelestarian bahasa Bali. Sebagaimana diketahui, punah atau matinya sebuah bahasa, terkait sangat erat dengan punah atau hilangnya pemakai bahasa bersangkutan. Proses punah atau matinya sebuah bahasa adalah sebagai berikut. 1) Awalnya terjadi kontak bahasa. Masyarakat yang mulanya monolingual menjadi bilingual atau multilingual. 2) Kemudian bahasa yang lama (daerah) dan bahasa yang baru itu hidup berdampingan secara damai. Pemilihan bahasa yang

382

dikuasai penutur pada dasarnya adalah menurut keperluan. Untuk komunikasi sesama etnik dipakai bahasa yang lama (bahasa etnik itu), dan untuk berkomunikasi antaretnik digunakan bahasa yang baru. 3) Lama-lama timbul preferensi (pemilihan) penggunaan bahasa. Bahasa yang dianggap lebih bergengsi mereka gunakan untuk ranah tinggi (misalnya: pemerintahan, politik, ekonomi, pendidikan, ilmiah). Sementara itu, bahasa yang dianggap biasa digunakan untuk ranah rendah (misalnya: rumah tangga, santai, pergaulan, kekerabatan). 4) Kemudian terjadi kebocoran diglosia. Artinya, bahasa yang dahulu dipergunakan untuk ranah tinggi juga dipakai untuk ranah rendah (misalnya: rumah tangga). 5) Akhirnya bahasa yang digunakan untuk ranah rendah kehabisan penutur, dan bahasa tersebut dengan sendirinya akan menjadi punah atau mati. Di sini biasanya sudah terjadi pergeseran bahasa (code switching). Artinya bahasa yang lama (daerah) sudah tergantikan oleh bahasa yang baru (disarikan dari Gunarwan, 2007). Selain pengalihan (dengan sadar ?) pemakaian bahasa Bali di dalam keluarga, ciri-ciri anak sebagai pewaris/pemangku bahasa daerah, juga tidak kalah mengkhawatirkan, terutama dilihat dari sudut pandang: 1) pemerolehan (acquisition) dan belajar (learning) bahasa anak, 2) ciri usia anak, 3) ciri gaya kognitif (cognitive style) anak, dan 4) ciri afektif anak. Keempat ciri yang juga tidak kalah mengkhawatirkan terhadap eksistensi bahasa daerah tersebut, akan dipaparkan berikut ini. 2. Ciri-ciri Pemangku Bahasa Daerah yang Mengkhawatirkan Eksistensi Bahasa Daerah 2.1 Ciri Pemerolehan (Acqusition) dan Belajar (Learning) Bahasa Anak Dengan dialihkannya penggunaan bahasa daerah di lingkungan keluarga, maka anak tidak memiliki pajanan (exposure) sebagai input dalam proses pemorehan bahasa (language acquisition). Sebagian besar penguasaan bahasa daerah dari anak didapat melalui proses pemerolehan. Cara penguasaan bahasa melalui proses pemerolehan ini diyakini memiliki kelebihan daripada melalui pembelajaran (learning), karena: 1) Jika bahasa daerah atau bahasa ibu/bahasa pertama digunakan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, maka anak akan

383

memperoleh pajanan (exposure) yang terus-menerus tentang bahasa itu. 2) Penguasaan bahasa akan lebih mudah jika dilakukan dalam lingkungan bahasa dan lingkungan budaya dari bahasa yang hendak dikuasai. 3) Anak akan memahami bahasa dan budayanya lebih baik, karena mereka ada dalam lingkungan bahasa dan budaya yang hendak dikuasai. 4) Penguasaan bahasa kedua (B2) tidak seberhasil penguasaan bahasa daerah atau bahasa ibu/bahasa pertama, jika bahasa daerah atau bahasa ibu/bahasa pertama digunakan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. 5) Anak mendapatkan penguasaan bahasa tanpa sadar melalui berinteraksi dengan penutur asli (native speaker). 6) Penguasaan bahasa diperoleh secara spontan/serta merta, karena lingkungan memungkinkan bila bahasa daerah tersebut digunakan dalam keluarga. Jadi, dalam situasi pemerolehan (acquisition), anak akan mendapatkan pajanan pemakaian bahasa setiap saat, sehingga setiap saat mereka memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan kemampuan berbahasa mereka. Lingkungan informal dalam penguasaan bahasa ini, ternyata dapat membantu anak dalam penguasaan bahasa ibunya (Krashen, 1983). Namun dalam kasus di atas, orang tua anak sudah menghilangkan lingkungan informal penguasaan bahasa Bali ini, dengan menggantikannya pada pemakaian bahasa Indonesia. Jika penguasaan bahasa daerah dilakukan dalam setting sekolah, artinya dilakukan melalui pembelajaran (learning); maka penguasaan bahasa hanya bisa dilakukan dalam satuan: isi (content), waktu, dan pertemuan. Hal ini tentu tidak memadai untuk maksud penguasaan bahasa secara komprehensif. Diperlukan isi pelajaran dan waktu yang cukup untuk intensifikasi, ekstensifikasi, dan untuk pergiliran latihan (practise). Sementara itu, pengajaran bahasa Bali di sekolah hanya dilakukan dalam waktu 2 jam pelajaran (35 menit x 2 di tingkat SD). Ini tentu tidak cukup untuk intensifikasi, ekstensifikasi, dan untuk pergiliran latihan (practise) dalam rangka penguasaan bahasa Bali yang komprehensif. Hanya dalam beberapa aspek keterampilan berbahasa tertentu saja (morfologi, sintaksis), lingkungan formal penguasaan bahasa ini (sekolah) dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak (Ellis, 1986).

384

2.2 Ciri Usia Anak Ada usia optimal/periode kritis atau periode sensitif dalam penguasaan bahasa (Lenneberg, 1969 dalam Purwo, 1985 ). Penguasaan bahasa secara alamiah dapat terjadi hanya selama periode kritis. Kemampuan anak yang lebih besar dalam penguasaan bahasa dapat dijelaskan dari plastisitas yang lebih besar dari otak anak itu. Rusak pada bidang ujaran anak, masih bisa menguasai bahasa kembali. Bagi anak-anak, hemisferektomi kiri/kanan untuk luka yang diperoleh sebelum usia 10 tahun tidak mengakibatkan afasia. Krashen (1983) juga menyatakan bahwa, kasus hemisferektomi kiri yang terjadi pada anak-anak yang berumur 5 tahun, tidak mengakibatkan gangguan ujaran. Dalam kaitan usia peka bahasa, Lenneberg (1969, dalam Purwo, 1985 ) mengajukan istilah laterasisasi. Lateralisasi adalah pertumbuhan pada otak anak yang terjadi secara perlahan yang dimulai dari usia 2 tahun sampai menjelang masa pubertas (15 tahun). Pada masa ini terjadi pengkhususan fungsi otak kanan dan otak kiri. Otak kiri berfungsi memeroses input bahasa. Pada usia ini, otak anak sangat lentur. Karena itu, kepekaan bahasa mereka sangat tinggi. Anak-anak pada usia ini amat mudah menguasai bahasa yang ada dalam lingkungannya sebagai pajanan (lingkungan keluarga). Dengan pemajanan (exposure) dalam lingkungan pemakaian bahasa dan tanpa bimbingan secara khusus, anak-anak akan dapat menguasai bahasa tersebut dengan baik seperti penutur asli. Setelah masa pubertas, terjadi penyebelahan fungsi otak. Pada waktu itu, otak sebelah kiri dikhususkan sebagai pengolah bahasa. Dengan demikian, otak sudah tidak lentur lagi dan kepekaan bahasa sudah berkurang. Oleh karena itu hasil penguasaan bahasa setelah masa pubertas tidak sebaik seperti sebelum masa pubertas (Purwo, 1985). Dalam kaitannya dengan kecepatan anak dalam penguasaan bahasa sebelum masa pubertas, Asher dan Garcia (1969) menyatakan bahwa, anak-anak kelihatan lebih mudah dalam mencapai aksen seperti penutur asli (native speaker). Jadi, bila orang tua anak sudah menggantikan pajanan bahasa daerah (Bali) dengan bahasa Indonesia di rumah tangga, berarti anak kehilangan periode kritisnya atau masa peka bahasanya untuk menguasai bahasa daerahnya. Boleh dikatakan bahwa modus ini merupakan upaya sengaja dari orang tua untuk mengurangi kemampuan anak dalam menguasai bahasa daerahnya.

385

2.3 Ciri Gaya Kognitif (Cognitive Style) Anak Gaya kognitif adalah perbedaan individu dalam mengorganisasikan dan memungsikan kognitifnya. Jadi anak memiliki kecenderungan yang khas bagaimana ia mempersepsi lingkungannya dan memaknai sesuatu sebagai landasan dalam mengorganisasikan dan memeroses informasi ketika ia belajar. Ada tiga kelompok gaya kognitif dalam kaitan penguasaan bahasa, yakni: 1) independen dan dependen konteks, 2) refleksivitas dan impulsivitas, dan 3) keluasan kategori : luas dan sempit. 1) Independen dan Dependen Konteks Anak yang memiliki gaya kognitif independen konteks, cenderung mencicil pengenalan dan pemahaman unsur lingualnya (misalnya: kosakata). Anak sering menanyakan Apa ini Bu?, Apa itu Pa?, Ini apa namanya?, Itu apa namanya? Jawabnya akan menjadi satu kata, satu kata. Anak tidak melihat kata itu dengan kata lain dalam struktur bahasa yang lebih besar (misalnya: wacana singkat). Sementara itu, anak yang memiliki gaya kognitif dependen konteks akan mengenali dan memahami unsur lingual itu dalam konteks yang lebih luas atau konteks pemakaiannya. Pertanyaan anak yang sering muncul, misalnya: Pisang goreng itu apa, bagaimana cara membuatnya?, Kuda itu kakinya berapa, mengapa dipakai menarik pedati? Jawabnya akan berupa uraian atau narasi yang lebih panjang. Anak yang memiliki gaya kognitif independen cenderung memiliki orientasi sosial, empati, dan persepsi yang lebih besar (Brown, 1980). Pada tahap awal penguasaan bahasa ibu, anak golongan ini akan lebih baik, karena ia akan memusatkan perhatiannya pada unsur lingual yang dianggapnya relevan saja. Sementara itu, anak yang memiliki gaya kognitif dependen, lebih menunjukkan kemampuan bahasanya pada aspek-aspek yang bersifat komunikatif, karena perhatiannya pada bahasa bersifat global. Kedua gaya ini diperlukan pada tahap awal pembelajaran dan penguasaan bahasa ibu anak. 2) Refleksivitas dan Impulsivitas Anak yang memiliki gaya impulsif cenderung menanggapi input bahasa lebih cepat, lebih spontan, dan untung-untungan. Sementara anak yang memiliki gaya reflektif cenderung merespon lebih lambat dan lebih diperhitungkan. Anak bergaya impulsif lebih berani dalam menampilkan kemampuan bahasanya, meskipun apa yang ditampilkan itu mengandung kesalahan. Tingkat impulsivitas yang tinggi bisa

386

merusak penguasaan bahasa. Karena itu, anak yang memiliki gaya impulsif perlu dikendalikan dalam belajar dan penguasaan bahasanya. Sementara itu, anak yang bergaya reflektif cenderung lebih awas terhadap kualitas performansinya. Karena itu penampilan bahasanya lebih tepat dan lebih baik. Kedua gaya ini juga diperlukan pada tahap awal pembelajaran dan penguasaan bahasa ibu anak. 3) Keluasan Kategori : Luas dan Sempit Bentuk-bentuk lingual memiliki kemungkinan digunakan secara berulang-ulang dalam pemakaian bahasa, misalnya imbuhan (prefiks, infiks, sufiks) dan kata. Hal ini disebabkan oleh karena bahasa itu memiliki derivasi dan infleksi. Anak yang memiliki gaya kognitif kategori luas, akan mengembangkan hipotesisnya seperti, bentukbentuk lingual akan ajeg (konsisten) digunakan seperti itu juga dalam berderivasi dan berinfleksi. Dengan demikian ia akan melakukan analogi dan generalisasi. Oleh karena bahasa itu tidak selalu regular, tetapi juga ada yang iregular, maka bentukan analogi dan generasisasi yang ia hasilkan bisa menjadi salah. Kesalahan ini yang disebut over- generasisasi (over generalization). Namun dalam belajar dan penguasaan bahasa pada tahap awal, kemampuan melakukan analogi dan generalisasi ini diperlukan untuk mengembangkan keberanian dan kemampuan berbahasa anak. Anak yang memiliki gaya kognitif kategori sempit melihat wujud lingual dalam bahasa itu butir per butir, kasus per kasus. Ia berpandangan bahwa, setiap butir lingual pada bahasa itu khas. Anak kurang berani beranalogi dan membuat geralisasi. Karena itu, performansi dan pemakaian bahasanya cenderung lebih cermat. Gaya kognitif kategori luas maupun sempit pada anak, perlu dikembangkan sejak dini, karena gaya kognitif tertebut menjadi strategi bagi anak dalam upaya belajar dan menguasai bahasa. Kesimpulannya, apabila orang tua menggantikan penggunaan bahasa daerah di dalam keluarga dengan bahasa lain, ini berarti orang tua merampas kesempatan anak untuk mengembangkan gaya-gaya kognitifnya, sebagai upaya dan strategi anak dalam menguasai bahasa ibunya sejak dini. 2.4 Ciri Afektif Anak Ciri afektif anak yang perlu mendapat perhatian pada awal pembelajaran dan penguasaan bahasa adalah ekstroversi dan empati. Anak yang ekstrovet sering dikenali sebagai anak yang ramah (outgoing), petualang (adventuresome), banyak bicara (talkactive), suka

387

bergaul (siciable). Karena cirinya yang demikian, anak ekstrovet yang ditangani sejak dini dalam pemerolehan bahasa ibunya, maka ia akan menjadi pemakai bahasa yang amat berhasil (Brown, 1973). Tucker (dalam Brown, 1973) melaporkan, ada korelasi positif anak yang berkepribadian ekstrovet dengan kemampuan menyimak dan bicaranya dalam komunikasi interpersonal. Busch (1982) juga melaporkan terdapat korelasi positif antara ekstroversi dengan kemampuan komunikatif dalam bahasa Inggris. Dijelaskan lebih lanjut bahwa, keberhasilan dalam kemampuan berkomunikasi lisan (simak bicara) ini disebabkan oleh karena anak yang ekstrovet tersebut sensitive, banyak bicara (talkactive), dan suka bergaul (siciable), sehingga ia akan mempraktikkan bahasa yang ada di lingkungannya. Oleh sebab itu, anak yang berkepribadian ekstrovet ini perlu ditangan dengan baik oleh orang tuanya, agar kemahiran berbahasa ibunya berkembang dengan sempurna. Empati didefinisikan sebagai the ability to put oneself in anothers shoes (kemampuan untuk menempatkan diri dalam diri orang lain). Jadi, empati merujuk kepada proyeksi kepribadian diri sendiri ke dalam kepribadian orang lain agar dapat memahaminya lebih baik (Brown, 1973). Karena sifat empatiknya yang tinggi dan keingintahuannya yang tinggi tentang keadaan orang lain sambil mencecar dengan pertanyaanpertanyaan, maka anak yang memiliki kepribadian empatik ini akan memiliki kemampuan menguasai bahasa sangat baik, khususnya dalam pengucapan. Kelompok studi tentang empati, yakni Standard Thai Procedure = STP juga melaporkan bahwa, hubungan antara empati dengan kemampuan pengucapan memang ada. Kapasitas empatik ini akan makin menghilang dalam proses pendewasaan. Jadi, harusnya orang tua jangan sampai kehilangan masa/periode empati ini dalam mengembangkan kemampuan berbahasa ibu anak, dengan cara tidak menggantikan bahasa ibu anak dengan bahasa lain dalam keluarga. 3. Penutup Menggantikan pemakaian bahasa daerah dalam keluarga untuk anak-anak, membawa konsekuensi bagi kelestarian bahasa daerah itu. Pro kontra tentang hal ini telah muncul sejak lama dalam seminarseminar. Mereka yang pro membawa alasannya sendiri, demikian pula yang kontra. Namun jika kita melihat dari bagaimana anak mendapatkan/memperoleh bahasanya dan jati diri (eksistensi) anak sebagai pemangku/pewaris bahasa daerah dan juga budaya, kita akan melihat adanyanya potensi yang terabaikan dalam upaya kita memahirkan anak menggunakan bahasa daerahnya. Potensi yang

388

diabaikan atau tidak dimanfaatkan oleh orang tua tersebut adalah: 1) pajanan (exposure) bahasa daerah, karena bahasa daerah sudah digantikan dengan bahasa lain, 2) periode kritis atau masa sensitif dalam penguasaan bahasa daerah anak, 3) gaya kognitif anak dalam belajar dan menguasai bahasa daerahnya, karena gaya kognitif anak pada usia muda sedang bertumbuh dengan sangat baik, 4) ciri ekstrovet dan empati anak yang sangat membantu dalam menguasai bahasa daerahnya. Jadi, apabila pengalihan penggunaan bahasa daerah itu dilakukan secara terus-menerus dan berdegenerasi, maka kita tidak hanya akan kehilangan bahasa daerah, tetapi juga budaya, sebab bahasa inheren dengan budaya. Kepunahan budaya secara umum, juga tidak jauh berbeda dengan kepunahan bahasa, yakni: 1) Awalnya, masyarakat primordial mengenal satu budaya yang menjadi pedoman normal (lumrah, umum) prilaku masyarakatnya. 2) Lama-lama terjadi kontak budaya. Masyarakat yang dulunya monokultural menjadi bikultural atau multikultural. 3) Akhirnya kedua sistem kebudayaan itu terpolarisasi. Artinya, ada budaya yang dijadikan pedoman prilaku tinggi, dan ada budaya yang dijadikan pedoman prilaku rendah. 4) Sejajar dengan istilah diglosia dalam pemakaian bahasa, di dalam kajian budaya terdapat istilah dinomia, yaitu situasi yang melibatkan dua sistem budaya, yang satu berfungsi sebagai pedoman prilaku tinggi, dan yang lain berfungsi sebagai pedoman prilaku rendah. 5) Sebagaimana di dalam diglosia terjadi kebocoran/ketirisan, di dalam dinomia juga terjadi kebocoran/ketirisan. Hal ini terjadi jika dan bila prilaku yang dahulunya dipakai budaya lama sebagai pedoman, sekarang atau kemudian digunakan budaya yang baru sebagai pedoman. Seperti juga kebocoran/ketirisan diglosia yang mengisyaratkan kepunahan bahasa, kebocoran dinomia mengisyaratkan kepunahan budaya. 4. Rujukan
Asher, J. and R. Garcia. 1969. The Optimal Age to Learn a Foreign Language. The Modern Language Journal. Vol. 53, 1969, p. 34 41. Brown, H. 1980. Principles of Language Learning and Teaching. London: Englewood Cliffs. Brown, H. Affective Variables in Language Acquisition. Language Learning.

389

Vol. 23, 1973, p. 31 44. Busch, D. Introversion Extroversion and EFL Proficiency of Japanese Students. Language Learning. Vol. 32, 1982, p. 19 32. Ellis, R. 1986. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press. Gunarwan, A. 2007. Dampak Kepunahan Bahasa-bahasa Daerah terhadap Nasionisme dan Nasionalisme: Tinjauan Sosiologi Bahasa Makalah Kongres Linguistik Nasional XII, Surakarta, 3 6 September 2007. Krashen. S. 1983. Second Language Acquisition and Second Language Learning. Oxford: Pergamon Press. Purwo, K. B. Ancangan Psikolinguistik: Sebuah Sumbangan Pikiran bagi Penyusunan Bahan Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, No. 4, Th. 6, Desember 1985, hal. 240 -246.

390

THE KAROOSHI PHENOMENON IN JAPAN


Kadek Eva Krishna Adnyani Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja
A. Background veryone knows Japan. The country which has lack of natural resources but still grew into economically strong country. In 2004, Japans GDP reached 4588.2 billion U.S. dollars while Average national income per capita for Japan was 28. 657 U.S. dollars. This value is almost the same as France (28.297 U.S. dollars) and Germany (28 473 U.S. dollars), but lower than the UK (32 673 U.S. dollars) and the United States (34 958 U.S. dollars). Japans economic growth is quite stable at 2.3% in 2004 and rose 2.6% in 2005 (Statistics Bureau MIC, 2006 in www.stat.go.jp /English). Many things must be sacrificed to get the sensational achievements in the field of economics as practiced by the Japanese. The Allies as the victors of World War II provide a constraints on Japan, especially for its military growth. That is the reason why the Japanese government mainly focused on the development of their economies. The Japanese work as hard as possible to rebuild the Japanese economy. Consciously or not, to meet the urgent needs, Japan has to work very hard to build its economy as soon as possible and in this case means to impose a heavy work, both on the public mind and in reality. In some case, it is seems like this economic resurgence wants to repeat the glory of Meiji Restoration. The difference is in the restoration, the Japanese tried to face the challenges of the progress of western civilization, while in the post World War II they tried to get out of the economic slump. Surprisingly, the result of this economic resurgence was higher the estimated, as in the mid 1990s Gross National Product (GNP) was up to U.S. $ 37.5 billion and its economic position one level below the Swiss who have the highest GNP in the world. In addition to Japans GNP, standard of living of its people is also fairly high. Japan has a low rate of inflation and low rate of unemployment. In addition, their education and health service is also one of the best in the world. Hence all the people of Japan have been free from illiteracy (http:// www.education-in-japan.info/sub1.html#sub1r3). To achieve such a high standard of living, the Japanese companies, demanding that each employee has a strong resistance and are able to

391

master the skills which needed within the company. Demands from the company to the Japanese is actually not that difficult to implement considering that they have a variety of basic ethical, moral, character, thought, and even the spirit of hard work. Bushido ethics, which consists of three main elements of the Japanese philosophy, Shintoo, Buddhism, and Confucianism, which previously honored by the samurai (knights of feudal Japan) is still applied in the world of work by the Japanese. In addition to this concept of ethics, the Japanese people also tend to maintain their prestige in various occasions. This makes them not want to just give in and lose face, they will continue to strive to be the preserve of the things they are proud of. Most Japanese still hold the belief that they are descendants of the god Amaterasu, the supreme god in their beliefs. Human pride as descendants of the gods is coupled with the defeat of the Mongols in the event that occurred twice in 1174 and 1180. The Japanese regard this as a relief from the gods because the gods of wind (kamikaze) has brought a storm to protect them from the invasion of the Mongols. Followed later by the arrival of the Europeans who in the eyes of Japanese society, are big, hairy, and acting-abusive behavior. A barbarian who does not have the decency and the smooth and orderly behavior. The pride of Japan was collapse as they suffered defeat in World War II. They are defeated and lose face in the eyes of the world. However, ten years later they rediscovered their pride through economic development and rapid technological and became the top country in Asia. The thrust of the company was no less harsh. Through the companys management system, these employees continue to be given the pressures to boost their morale in the work. Start from their graduation from the educational program, recruited by the company with certain systems such as for example, the recommendation of seniors who have worked in the company. Instilled in them the purpose and philosophy of the company with a variety of activities, so they work in a room that is arranged in such a way (in one big room) so that the contact between super ordinates and subordinates is still maintained. With this management, workers were controlled strictly. With a variety of ethics and the concept of Japanese employees who do not feel overwhelmed when they have to do the heavy work in the long term, the problems that arise later is in terms of psychological and health of these employees. They have a wide range of health and

392

psychological problems related to the quality and quantity of their work. Many of those are stressed or even die in their productive age. Young employees continue to be pressed to achieve the desired target. However, on the other hand they are not aware of the consequences they will endure. 2. The Emergence of Karooshi In 1969 Japans population began to realize the result of over hard work when they faced the death of a 29-year-old worker at a distribution company in Japans largest newspaper. Later it was discovered that the worker has to work beyond working hours set by the government. It was adversely affecting her health, because at a young productive age, he has died of Coronary Heart Disease (CHD / coronary heart disease). As time goes by, the number of victim start to rise. During the Bubble Economy in the 1980s, it was known that these victims actually came from a relatively young employee of top-level executives, who suddenly died from a disease which usually attack old people. The media began to highlight them as a new phenomenon and people immediately gave the title to this event with karooshi. As attention to the public, Japans Ministry of Labor began publishing the first statistics of karooshi in 1987. In that year recorded twenty-one cases had risen to twenty-nine cases in 1988, and thirty cases occurred in 1989 (http://www.apmforum.com/columns/boye51.htm). In 1988 founded the first board of trustees consisting of lawyers and doctors who take care of the karooshi problem. The council estimates that more than ten thousand people dying from too much work in 1990. Subsequent years begin to set up similar institutions in each prefecture in Japan to receive complaints and consultation on cases karooshi. There is a hotline phone number to call, making it easier for people to consult. On the internet there are a lot of forums that discuss the problem of karoshi in attempt to prevent it. 3. Diseases Associated with Karooshi Karooshi is a Japanese term to refer to death from exhaustion due to overwork. From the arrangement of kanji shape , can be interpreted that karooshi is death by overwork (Karooshi Jishi Soudan Center, Uehata Taihyou to no Intabyuu, www.Karooshi.jp). Karooshi first case occurred in 1969 with the death of a 29-year-old male worker who works at a distribution company in Japans largest newspaper at that time. As the development of industry in Japan, and

393

the changing patterns of employment, karooshi not just attack full time regular workers, but also attacked the part-timer (Kooji, 2004: 7). Most cases are caused by heart disease and stroke. Diseases that are a factor of karooshi according to a study released in 1997 was subarachnoid hemorrhage (blood circulation to the brain disorder) as much as 18.4%, cerebral hemorrhage (circulatory disorders of the brain) reached 17.2%, cerebral thrombosis or infarction (brain damage due to lack of blood supply) of 6.8%, myocardial infarction (heart muscle damage due to lack of blood supply) reached 9.8%, heart failure (heart failure) as much as 18.7%, and for other reasons as much as 29.1%. Along with public awareness of the event, then the Japanese Ministry of labor began to publish first karooshi statistics on 1987. Meanwhile, the diseases associated with karooshi recorded and published as in the following table:

Mortality trend tables by Cause of Death 1925-1988 Sources: Health and Welfare Statistics in Japan 1990, Health and Welfare Statistics Association It can be seen from the table above, that the amount to a circulatory disorder of the brain associated with karooshi increase in the 70s and started declining in the late 80s. Meanwhile, it is continued to increase heart attack when entering the 80s. The total case reported by Karooshi Hotline National Network, between 1988 to 1999 is 3501 cases and divided according to the following reasons:
Impaired blood circulation in the brain: 479 cases (13.7%) Impaired blood circulation to the brain: 740 cases (15%) Damage to blood vessels: 214 cases (6.1%) Heart damage to blood vessels: 358 cases (10.2%) Heart Failure: 527 cases (15.1%) Suicide: 330 cases (9.4%) Others: 1.105 cases (31.6%)

394

The increasing number of cases occurred in 2001 karooshi of which 96 cases were recognized as karooshi. Increase in the number of cases is recognized and compensated result of changes in the criteria used to identify cases karooshi government. Karooshi victimss heirs can get compensation from the government and the company where they worked. They could receive compensation around U.S. $ 20 thousand per year from the government and even sometimes there are some companies that are willing to pay up to U.S. $ 1 million. Perhaps because of the compensation for it, since the early 1980s karooshi deaths that claimed the government continues to increase so that some had been rejected by the court. In 1988 claims paid by the government to the heirs of karoshi reach 4 percent. The figure was later increased to 40 percent in 2005 (the "Jobs for life", The Economist, and December 19, 2007 inhttp://www.stockxpert.com/ browse.phtml?f=view&id=7659251). To identify karooshi cases and patients who can get the compensation, the Japanese government issued the Standards to identify the heart and brain disease which was amended in 1995. In 2000, the criteria used to identify the diseases which trigger karooshi has changed. At first, one thing to consider is the working conditions of employees a month before the initial symptoms of heart disease and brain were detected. In February 2000, the identification period is extended to six months before the initial symptoms are identified. Now many Japanese companies are overwhelmed by Karoshi. Late November, the petition claims of Karoshi from Kenichi, Uchinos wife who works in Toyota granted by the Nagoya District Court. Uchino found dead at 4 am on one day in 2002 at the age of 30 years. He left two children aged three years and one year. Since the six months before he died, Uchino has spent more than 80 hours to work overtime every month. One thing that makes me happy is when I can sleep, says Uchino told his wife, a week before he died. 4. The characteristics of High-Risk Employees Experiencing Karooshi The following are characteristics of employees who are at high risk karooshi (www. karoshi.jp):
Working more than 10 hours a day Keep working during the holidays Working late into the night or early morning The relationship is not harmonious with the boss or co-workers Not married Smoking A lot of drinking alcohol Often skip breakfast in the morning

395

Sleeping less than 5 hours Eat a lot of fatty foods Travel to / from the office spent more than two hours Rarely exercise Suffering from obesity Tired quickly Often suffered sudden headache

5. Conclusions The ability of an employee in his work is focused on the impact of various factors, both internal and external. Most of the external factors that encourage them to work harder are from policies issued by the company. Companies around the world would want a good performance of the employee by financial or nonfinancial reason. An impulse provided by the company and the work environment is impacting on employee who in turn spends their best times to raise a company. The company implemented a variety of methods such as recruiting fresh graduate employees in order to manipulate their ideology to fit the vision and mission of the company or the use of lifetime employment contract to bind the employee to provide a wide range of bonuses to stimulate their morale. All the strategies that companies use is a useless plan if it does not pay attention to employees health conditions. Japanese companies are companies in the world who are lucky enough to get their human resources as people who are resilient and dedicated. Supported by the strategies they have, as well as the social conditions, it is make the company can easily get the best human resources that can work very well. Bad effects gradually felt by Japanese workers. Their ability to focus their work is ended up with their physical sacrifice. At the productive ages, they are attacked by a disease that primarily affects the elderly. Pressures they received from a job has get them blood circulation problem. Stress and fatigue that they ignore gradually accumulate and affect their health. All of this health problem is in order to achieve the targets that they expect. Bad impacts of health and stress they experience when entering the world of regular employment ultimately lead to greater interest in non-regular works. Part-timer and Freeter keep continue to increase at the end of the twentieth century. At 90s it is a turning point for these workers to change their direction to cultivate a more flexible world.

396

But in fact, even though the people who enter the non-regular work continue to increase, regular job applicants number is still very high. There are many reasons why they are still interested in regular employment. Predictable financial security is one reason that pops up. The condition of external and internal factors of an employee is ultimately encouraging employees to work harder. Employees are able to focus their work and achieve its goals to forget about their physical condition. Karooshi cases are still happening. Fears of self, family or the environment against attacks karooshi still quite high when viewed from the number of consultations who consultate on the karoshi hotline.

BIBLIOGRAPHY
Cole, Robert E. 1971. Japanese Blue Collar: The Changing Tradition, California: University Of California Press. Gill, Tom. 2001.Men of Uncertainty. New York: State University of New York Press. Henshall, Kenneth G. 2002. Dimensions of Japanese Society: Gender, Margins, and Mainstream. New York: Palgrave Macmillan. Henslin, James M. 2008. Sociology: A Down-to-earth-approach. USA: Pearson. and AB. Plath, David W. 1983 . Work and Life course in Japan. New York: State University of New York Press. Website: Www. karoshi.jp http://www.apmforum.com/columns/boye51.htm http://rusdimathari.wordpress.com/2007/12/26/karoshi-alias %E2%80%9Cbunuh-diri%E2%80%9D-untuk-perusahan/ www.stat.go.jp/english Suicide Surge Triggered by Overwork in Japan (Oral Presentation Text). Prevention of Suicide Subsection of SAFE COMM-10 . (May 21-23, 2001 Anchorage, Alaska). Secretary General, National Defense Counsel for Victims of Karoshi. Hiroshi Kawahito Prevention of Death from Overwork and Remedies for Its Victim. Geneva,Aug. 1991 Etsuro Totsuka, Toshio Ueyanagi

397

MINIMARKET AND CONSUMER CULTURE IN DENPASAR SOCIETY


I Wayan Adnyana IKIP PGRI BALI
INTRODUCTION omplexity and changes has become an important feature of contemporary industrial society. Complexity that permeates all aspects of life, such as trading systems, global marketing, long-distance communication via electronic networks are very sophisticated, all of which make this world more and more narrow. Globalization in relations to products that will dominate the market, are products that have quality and global prices. Products that are not served by the quality and global prices will tend to be abandoned and eliminated from the market (Revrison Baswir, 1999: 83). Small businesses continue to experience marginalization, which in turn will create a small society increasingly driven by efforts that are much more highly capitalized, with instant service. Socio-economic and cultural transformation is a very interesting study. The technological revolution of electronic and communication technologies have a connection with various parts of the world. As a result, the consumer culture trend growth in the cities. In this process of consumption, it is an important factor in the change order and the order of symbolic value. In this trend of identity and subjectivity do transformation, both related to the issue of integration and nationalism. Logic of late capitalism no longer needs to produce objects as much as possible with minimum cost, but produces the need through the creation of images (image) by advertising agencies. Mass culture or popular culture is the culture that produced for ordinary people, ordinary people in this approach is considered as a share of the market, consumers in a focus group of pop culture described certain commodities (Adlin, 2006:121). In todays consumer society, various new logic of consumption model developed and that development fundamentally changed the relationship between the consumer and the object or product. In a developing society, object is no longer bound to the logic of utility, functionality and requirements (needs), but on what is called as the logic of signs (logic of sign) and image logic (logic of image). Indonesias consumptive behavior is excessive compared with the nations of

398

Southeast Asia. This can be seen from the low level of private savings. Consumerism is often defined as lavish consumption. Denpasar as the metropolis and center of Bali, is certainly experiencing a numerous variety of social, cultural and economic developments. To meet the needs of society, with economic activity of nearly 24 hours a day, in which the consumer has changed from buying products to buying the image of the product, it is certainly the opportunity which not wasted by the owners of capital, to open a minimarket. With instan standard products and services. Consumption process is now dominated by the pleasure principle, in which the essential meaning is no longer that important. A commodity became popular is not because for whom the goods were producted, but rather due to how it is interpreted in the cultural meaning of a commodity, which is determined in the socio-economic process. Minimarket And Consumer Culture Denpasar as a capital city, have numerous mini market, supermarket and hypermarket stores which are categorized as either modern or stand-alone franchaising. The distance between one another is very close, which means a struggle for market share between mini market and particularly to the old-fashioned small traders who conduct activities in traditional markets and grocery shops. This competition is certainly will ended up with the glory of modern store in terms of better management, capital and a range of services and quality products. The spread of modern shop in Denpasar can be seen in the following table. Table 1 The Spread of Modern Store in Denpasar
No. 1 2 3 4 District Minimarket Supermarket Hypermarket South Denpasar 121 10 2 West Denpasar 64 16 - East Denpasar 38 1 North Denpasar 48 12 - Total 271 39 2 ) Sources : Department of Trade and Industry Denpasar, 2011 Total 133 80 39 60 312

From the table above can be seen that Southern Denpasar district has the biggest number of Modern Stores, which are 133 stores. That is the reason why Southern Denpasar chosed as the research area.

399

Table 2 Top Ten Minimarket in Denpasar (according to the number of the store) No. Minimarket Total 1 Circle K 48 2 Indomaret 33 3 Alfamart 21 4 LotusMart 9 5 Alfa Midi 8 6 Alfa Express 8 7 Mini Mart 6 8 Petto Mart 3 9 Cahaya Minimarket 3 10 Inti Mart 2 Sources : Department of Trade and Industry Denpasar

Type of product which small traders in South Denpasar District sell is diverse. From the observation, it is founded 10 kinds major product, which are food and beverage, clothing, fruits, household appliances, religious ceremony equipment seller, primary needs like rice or cooking oil, agricultural produts, toys, souvenirs, and eye glasses, spread almost all over the district especially in village market and surrounding citizens neighborhood. Table 3 The Bussiness Area of Small Scale Enterprise In Southern Denpasar District No Village Traditional market 1 Pemogan 4 2 Pedungan 4 3 Sesetan 3 4 Serangan 1 5 Sidakarya 2 6 Panjer 1 7 Renon 2 8 Sanur Kauh 1 9 Sanur 1 10 Sanur Kaja 1 Total 20 Shopping Centre Total 195 199 264 268 251 254 119 120 138 140 377 378 27 29 248 249 525 526 102 103 2246 2266

Sources : Monografi of Southern Denpasar District, 2009.

400

On the Law no. 20 of 2008, Micro, Small and Medium Enterprises, are all included in the category of small businesses. Small businesses are economically productive, conducted by an individual or business entity that is not a subsidiary or branch of a company and also not owned, controlled, or a part, either directly or indirectly from medium or large business. Meanwhile, the Mayor Regulation No. 9 of 2009 confirmed again by adding the element of wealth owned by small businesses is; have a net worth of Rp 50.000.000, - (fifty million rupiah) up to a maximum of Rp 500 million, - (five hundred million rupiah) excluding the value of land and building where the business conducted. On the other hands, the definition of Modern store is store with independent way of payment, such as Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket. The network manager is a businessman who do business in the field of Minimarket, through a system of unified management and distribution of goods to a network outlet. The presence of minimarket encourage consumerism. The community is no longer think rationally to meet his needs, as they already persuade by the media which advertising it widely, so that consumers continue to be influenced by the not only psychological interest but also involves political economy (Mursito, 2005: 21). Discipline mall (a term used to describe the shopping centre condition is very persuading customer to be consumptive, which starts from arrival at a mall that begin with take the trolley, often called a stroller that serves as a shopping bag, then select the item and put it on a trolley, which filled properly by the customer, as full as possible. The full contents of the trolley looks wow, and when arrived at cashier counter with a long queue, the customer queue up with discipline. On the monitor screen, the cash register shown the amount, the bigger the number, the bigger pride for the customer. For the young urban, the cool image of minimarket is attached, so it is not rare to find young people who do not want to buy goods in small stalls or traditional markets because the image will not be look cool, and prodly shop at the 24 hours minimarket. It is all because they felt a pleasure in an objective and subjective way, as it can boost the image of themselves, that they have became contemporary society. As a consequence, small scale enterprise can not win the competition and some even have to close their enterprise. Research conducted by global companies Meadwestvaco in 2000 at 12 K-Mart stores with the title Display of merchandise affect

401

sales. K-Mart is the main outlet for your writing tools. An experiment was designed in which 12 K-Mart store. Six stores were randomized assigned to implement the new system in the display of merchandise, while six other stores displaying merchandise with the old way. The experiment was conducted over six months. In conclusion: The sale of products that implement the new system has a 7% higher sales than the sales of stores that use the old system (Malhotra, 2005: 101). The Journal of Product & Brand Management Vol 15 No 2 mentioned about brand awareness and image impact on satisfaction and trust to increase future sales. This would appear to: (1) brand awareness has a positive effect on current purchase (2) brand image has a positive efeect on current purchase (3) brand awareness has a positive efeect on future purchase and (4) brand image has a positive effect on future purchase (Franz Rudolf Esch and Lagner Tobian et. al, 2006 :98-105). In European Journal of Marketing Vol.40 No. , stated that one thing that is important to foster relationships between the seller and the buyer is trust (trust). Confidence arising from a long training process until both parties trust each other. Both party will be honest, fair and reliable in carrying out activities in the future. In this connection the high level of seller and buyer confidence is influenced by: (1) increase commitment, (2) enhance cooperation, (3) harness satisfaction and (4) reduce conflicts (Leonidas.C. Et.al., 2006: 145). Research conducted by Enciety Focus - 37 with the title Big City Lifestyle Changes which took place in Surabaya concluded that lifestyle changes, especially in big cities, suppose to make the traditional stores change the old pattern of their business smartly. Development of the convenience store and mini market not only requires adjustment of the operating hours, but also the adjustment and payment of merchandise. Application of the supply chain as an alternative. Traditional store merchandise scale according to the variation of a being sold is 7.1% for <20 product number, 66.3% for 21 to 25 product number and 26.5% for > 25 products (Jawa Post, 2010). This study provides the basis of marketing strategy for the minimarket. In details, Williams in his book Keywords (1983: 87) states about culture in three broad definitions, namely (1) a general process of intellectual, spiritual, and aesthetic development, (2) a special way of life for people, a period , or a group, called the lived cultures or cultural practice, and (3) the works and practices primarily aesthetic and intellectual activity, called the signifying practices. The concept of culture written above is the recognition of various modern human

402

activities in various forms including the consumption or even consumerism. Minimarket is present in the middle of a large urban community to meet the needs of the community that felt as emergency in the middle of the night. Customer segments are employees, students and people who work until late at night or traveling at night which classified as middle-up. In running the retail business, integrated retail concept applied, CARE, implying a deep perspective. This perspective departs from a focus on customer needs, coordinating the activities which affect the consumer, and make a profit by building relationships with consumers in the long run based on customer satisfaction and value (Lynda and Cynthia, 2001: 7). The operation of minimarket which operate for 24 hours a day, helps to increase consumers number especially among younger consumers. Circle K minimarket imaged as a hip minimarket and they serve drinks that are complete enough, an option preferred by Indonesian youth of today. Buyers of the stores were also allowed to sit in front of the minimarket while enjoying what they had bought, and that indirectly lead to made circle k as the youth gathering place in the evening time. Shopping in minimarket is seen as a lifestyle or life style can be defined as a pattern of space, time, and the certain goods of social groups usage. Lifestyle, then, is how certain social groups use the space, time, and goods, with the pattern, style, or habit, which is done repeatedly in the certain space-time. When associated with the geography-time, the lifestyle is how the patterns, habits, and style of a particular social group in the routine of everyday social practices within the space-time (Filiang, 2004: 60). By understanding the customer is one of the keys to make minimarket succeed. Here are the pictures of minimarket, Circle K.

Picture 1 : Minimarket Circle K

403

Shopping at the minimarket create a memorable shopping experience through a selection of goods and creative promotional activities and create a shopping environment that is safe, comfortable and enjoyable. Minimarket Circle K is open 24 hours, appears in the following figure;

Picture 2 : Circle K on Evening Time

Minimarket visited by a lot of middle-low housewife to buy household needed per week or per month. On the other side, the circle K approached by staff, students, and young middle-up for shopping needs only at that moment. Selected target consumers as employees and students because the two segments that havea lot of activity. It is often that the duty office and school work have to be until late at night. Circle K applied the special concept of illumination (ligthing) specifically to give visitors a sense of security when shopping at night time, good lighting in the store area or in the parking lot. Store locations are also chosen specially so that it is far from posssible criminal action, such as train stations or bus terminals. Store design is also different. Circle K has a attractive modern design, by offering room and light, shelf or display of products arranged in such a way that impressed nicely, while the minimarket was designed simple. In terms of product price, the price at the Circle K is a bit more expensive than most of the minimarket but this is not an obstacle to the middle up class to shop. Circle K maximize customer satisfaction with emphasis on speed of service, cleanliness, store cleanliness, hospitality

404

services and a pleasant store atmosphere. added with the facility of free wifi or internet that is intended for those who like to surf in cyberspace, which attracted a lot of customer. Heres a comment or response from some of the mini-circle K of visitors,:
Agus Damadi found shopping at Circle K is very satisfactory, as it also comfortable and clean place, comfort is also important when shopping, the products are sold well equipped, almost everything I need is available, although the price is more expensive. Circle K also often give a bonus if you buy a particular product and not all kiosks provide a facility like this. Aloysius Sanjaya Susel expressed that minimarket is a convenient place to shop especially at night after work. Not only Circle K is open 24 hours a day, but also it is located at the side of the highway makes it easy to find. Circle K is very cool to hang out as he used to surf with friends. Items are sell well and complete so that we find almost everything here, which is also very comfortable place.

The existence of minimarket around us can not be denied as the peoples needs. A good arrangement of space, comfort, price information transparent and good service, and the price is just one hundred rupiah difference with regular stalls in things like soap and instant noodles. Every comfort is made to make customer purchased more goods outside of their daily needs so that the culture of consumerism continues to run. Consumers is as king. Just choose, take, bring it to the cashier and pay. Member card swipe. Imagine, just take the card, traveling like a king, choose, calculate, and friction out of the mini was very stylish and modern. Forget how much money they spent away. Lifestyle is the hallmark of a modern world, or who is often called modernity. The point is that those who live in modern society will use the notion of lifestyle for themselves and describe the actions of others. In daily interactions we can apply the idea of a lifestyle without the need to explain what we mean, and we are really challenged and may be difficult to find a general description of the things that refer to the lifestyle. Lifestyles are patterns of action that differentiates one person to another or life style as a set of practices and attitudes that make sense in certain contexts (Chaney, 2009: 40-41). In view of psychology, lifestyle is generally understood as a procedure or personal habits of individual and unique. But then life style followed by a group of people so there was a shift towards an understanding of lifestyle, which is to be the way of life that reflects

405

the attitudes, values and norms of a particular social group. Lifestyle as a way of life includes a set of habits, views, and patterns of response to life, and especially the equipment for a living. The way is not something natural, but it was found, adopted or created, developed, and used to show action in order to achieve certain goals (of calendar, 2006: 36-39). Conclusion Development of a minimarket in Denpasar is very rapid, so it can be said to be poorly controlled and have marginalized the small merchants who sell on traditional markets and stalls, need to get special attention from economic actors and governments. It should be understood that the minimarket as a modern store that can provide a variety of facilities and services can satisfy the consumer, especially for urban communities. Minimarket are heavily promoted by the advertising media, which is recognized by the consumer that has built a variety of imaging which is the urban lifestyle. In this research, there is a purpose to understand and transform structures of domination in capitalist society, which in this case represented by the minimarket. Industrialization has rise the production of goods and services in a very large amount, that must be combined with high number of consumers. That is the reason why consumer culture on society should be examined critically.

REFERENCES
Alfathri Adlin, 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Gaya Hidup.Yogyakarta: Jala Sutra Baswir, Revrison. 1999. Dilema Kapitalisme Perkoncoan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Baudrillard J P.2009. Masyarakat Konsumsi.Yogyakarta : Kreasi Wacana Chaney, David.2009. Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. Penerjemah Nurhaeni. Yogyakarta: Jalasutra. Leonidas C, Leonidou, Dayananda Palihawadana, Marios Theodosious, 2006. An Integrated Model Of The Behavioural Dimensions Of Industrial BuyerSeller Relationships. European Journal Of Marketing/ Vol. 40 No. 1/2 Lynda, W.K.N dan Cyinthia, T.L.M. 2005. Managing the Brick-and-Mortar Retail Stories. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer James F. Engel dkk.1994. Prilaku Konsumen. Jakarta : Binarupa Aksara Malhotra, Naresh K, 2005. Riset Pemasaran Pendekatan Terapan, Jakarta :PT Indeks Mary F. Rogers.2009. Barbie Cultural Ikon Budaya Konsumerisme. Yogyakarta: Relief

406

Mursito,BM.2005. Mall Pintu Gerbang menuju Konsumerisme. Salatiga: Merdeka. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. Ritzer, George And Douglas. 2006. Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi. Yogyakarta : Universitas Atmajaya Rudolf Esch,Franz and Tobias Lagner,Berd H. Schmitt, Patrick Geus,2006. Are brands forever? How brand knowledge and relationships affect current and future purchases. Journal of Product & Brand Management. Vol.15. No.2 Takwin, Bagus.2006. Habitus Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup. Dalam Alfathri Adlin (ed):Menggeledah Hasrat : Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta& Bandung: Jalasutra.Hal.: 35-54. Document and electronic sources Camat Denpasar Selatan, 2010. Monografi Kecamatan Denpasar Selatan Dinas Perijinan Kota Madya Denpasar, 2009. Peraturan Wali Kota Denpasar Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penataan dan pembinaan pasar tradisional, Pusat pembelanjaan, dan Toko modern Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah R.I.,2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil dan menengah Tim Redaksi Radar Bali. 2010 a. Minimarket Sisihkan Usaha Rakyat. Dalam Radar Bali, 16 Juni 2010. Tim Redaksi Jawa Post. 2010 b. Pemkot Segel Tujuh Minimarket. Dalam Jawa Pos, 13 Juli 2010. Tim Redaksi Radar Bali 2011c. Ijin Toko Modern Distop. Dalam Radar Bali, 8 April 2011 www.circlek.com

407

MENGUNGKAP NILAI-NILAI LUHUR I LA GALIGO SEBAGAI RUJUKAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA EPISODE PELAYARAN SAWERIGADING KE TANAH CINA
AB. Takko Bandung Universitas Hasanuddin, Makassar
1. Pendahuluan ada tahun 1852, Colliq Pujie Arung Panjana Toa merupakan seorang perempuan bangsawan Bugis yang pertama menghimpun kisah I La Galigo atas tugas dari peneliti Belanda yang bernama Dr. B.F. Mathes. Ia memulai penulisan lontarak dengan melukisakan komunitas para dewa di dunia atas bekerjasama dengan komunitas dewa di dunia bawah, mereka memusyawarahkan untuk menurunkan Batara Guru sebagai cikal bakal manusia pertama di dunia tengah (bumi). I La Galigo merupakan naskah warisan budaya orang BugisMakassar. Banyak pakar menyebutnya bahwa karya I La Galigo adalah karya terpanjang di dunia yang melebihi Mahabrata dari India dan karangan Homerus dari Yunani. Pada tahun 2004 telah digelar pementasan I La Galigo di beberapa negara Eropa seperti di Belanda, Perancis dan Amerika, bahkan pada tanggal 23 April 2011 dipentaskan di Makassar. Pementasan tersebut diterima dan dihargai sangat positif oleh berbagai kalangan masyarakat. Pementasan I La Galigo ini dibawah bimbingan Robert Wilson seorang seniman teater dari Amerika Serikat. I La Galigo sebagai karya terpanjang pasti banyak memuat pesanpesan kebudayaan, pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Karya I La Galigo terdiri atas beberapa episode, salah satunya adalah episode pelayaran Sawerigading ke tanah Cina. Episode ini mengandung sejumlah nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pengembangan dan pembinaan karakter bangsa.

Nilai-Nilai Luhur Batasan mengenai pemaknaan nilai kita bisa mengacu, antara lain ke definisi James P.Spradley and David W. McCurdy (1980: 283) 2.

408

A value is any concept referring to a desirable or undesirable state of affairs (Nilai adalah konsep yang mengacu kepada sesuatu yang diinginkan atau sesuatu tidak diinginkan). Jadi nilai tidak hanya sesuatu yang diinginkan, tetapi dapat juga sesuatu yang tidak diinginkan. Definisi lain menyatakan bahwa nilai budaya adalah suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan yang amat bernilai dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi bagi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat (Junus Melalatoa, 1997:6). Berbagai nilai yang termuat dalam naskah karya I La Galigo, khususnya episode pelayaran Sawerigading ke tanah Cina, akan tetapi karena keterbatasan waktu hanya akan menguraikan lima nilai, antara lain sebagai berikut: 1) Mengutamakan Kepentingan Rakyat; 2)Peranan Perempuan; 3)Tangguh Meraih Cita dan Cinta; 4) Musyawarah dan Dialog; 5) Bercermin Menata diri. Di bawah ini akan diuraikan satu persatu: Mengutamakan Kepentingan Rakyat Sang ibunda mencoba memberi pengertian kepada Sawerigading, apa yang mereka lakukan adalah atas kehendak kakeknya Sri Paduka Manurungnge, yang memantangkan mereka berdua bertemu pandang untuk menghidari rasa saling jatuh cinta. Jika ia melihat adik kembarnya dan jatuh cinta kepadanya serta memperisterinya, maka negeri tanah Luwuk akan ditimpa kesusahan yang berkepanjangan. Kisah ini memberikan gambaran perjuangan seorang ibu yang rela membohongi putranya demi meyelamatkan orang banyak. Jika ia tidak memikirkan rakyatnya, sudah pastilah ia meluluskan permintaan putranya itu, sebab ia tahu betul Sawerigading sangat pantang ditolak keinginannya. Batara Lattuk bisa saja meluluskan permintaan putra kesayangnannya itu, tanpa menghiraukan kesengsaraan yang akan dirasakan oleh rakyatnya sehingga masalah yang dihadapinya dapat teratasi. Sebab jika keinginan Sawerigading dapat terlaksana, ia tak akan meninggalkan negerinya dan tetap menjaganya melanjutkan kedudukannya sebagai raja. Ia dan istrinya tidak akan merasakan penderitaan karena kehilangan dua anak yang membuatnya lebih sengsara dari orang yang mandul. Namun ia tak melakukannya, dan lebih memilih kehilangan kedua anaknya dan merana sepanjang hidupnya dari pada harus mengorbankan rakyatnya. Pilihan yang ditempuh oleh Batara Lattuk itu, merupakan keputusan seorang raja yang sangat menyayangi rakyatnya. Demi ketentraman rakyatnya, ia rela melepaskan kebahagiannya hidup

409

rukun bersama putra-putrinya. Demi negrinya pula ia rela melepaskan kepergian putra mahkotanya yang akan mewarisi kerajaannya kelak dan tak akan kembali lagi. Dan demi rakyatnya yang sangat dicintainya, ia rela menjalani kehidupan ibarat orang yang mandul karena kedua anaknya harus meninggalkannya. Peranan Perempuan Peranan perempuan dalam episode ini tergambar ketika Sawerigading merajuk karena tidak dituruti kemauannya. Ia berbaring menutupi dirinya di dalam sarungnya dan tidak mau makan selama beberapa hari. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membujuknya. Bahkan kata-kata La Pananrang kakak sepupuya yang selalu didengarkan nasehatnya itu pun tak digubrisnya. Di tengah kegalauan dan kekalutan hati Batara Lattuk sang ayah dan We Datu Sengngeng ibundanya melihat keadaan sang putra mahkota, dipanggillah We Tenriabeng keluar dari persembunyiannya untuk membujuk Sawerigading. We Tenriabeng berusaha membujuk kakaknya yang sudah kehilangan akal sehatnya karena cintanya kepada adik kandungnya sendiri itu agar mau menerima kehendak Patotoe. Mereka berdua tidak akan mungkin hidup sebagai suami istri, sebab mereka bersaudara kandung seibu dan sebapak. Dengan berbagai bujuk rayu Sawerigading berusaha meyakinkan We Tenriabeng, namun We Tenriabeng itu tetap pada pendiriannya. Ia tidak akan membiarkan malapetaka menimpa negerinya dan menyengsarakan orang banyak yang tidak berdosa akibat perjodohan tersebut. Melalui perdebatan yang panjang, akhirnya We Tenriabeng berhasil mengalihkan perhatian kakaknya dengan memperlihatkan kepadanya I We Cudai dalam mimpinya. Setelah melihatnya, Sawerigading ingin segera menemuinya, meskipun hasrat keinginannya kepada adik kembar emasnya tidak dilupakannya. I We Cudai adalah putri Opunna Cina yang kecantikan dan postur tubuhnya sangat mirip dengan We Tenriabeng, sebab keduanya lahir dalam satu ukuran. Untuk menempuh perjalanan ke tanah Cina We Tenriabeng memberikan petunjuk untuk membuat perahu dari pohon welenrennge yang sangat besar dan tinggi. Ketegaran dan keteguhan hati We Tenriabeng yang berusaha menyadarkan kakaknya yang sudah kehilangan akal sehat adalah gambaran sosok seorang perempuan yang mampu mengendalikan emosi dan kekerasan hati seorang laki-laki. Peran We Tenriabeng dalam episode ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan Sawerigading.

410

Hanya We Tenriabenglah yang dapat meyakinkan Sawerigading, bahwa apa yang dilakukannya itu bertentangan dengan adat dan norma yang berlaku di tengah masyarakat. Sikap dan watak We Tenriabeng yang sangat teguh memegang prinsip dan keyakinan, serta kelebihannya melihat masa depan, membuat dirinya selalu dimintai saran dan pendapat untuk melakukan sesuatu. Peran We Tenriabeng juga sangat membantu ketika pasukan Sawerigading kewalahan melawan La Tenriyiwik yang dibantu oleh Oropasakka dari Positana. Ketika itu pasukan kakaknya hampir terkalahkan, namun Sawerigading segera meminta bantuannya yang pada saat itu sudah berada di Bottillangi. We Tenriabeng lalu meminta kepada suaminya agar segera turun ke bumi membantu kakaknya yang kewalahan menghadapi pasukan La Tenrinyiwik. Dengan tegas ia mengatakan, jika sang suami tidak mau membantunya maka ia akan menceraikannya. Akhirnya berkat bantuan sang adik, pasukan Sawerigading dapat memukul mundur pasukan La Tenrinyiwik. Ketika harta lamaran Saweriagding dikembalikan oleh I We Cudai karena I We Cudai tidak mau menikah dengannya, Sawerigading pun membuat perhitungan dengan peperangan yang membuat Tana Wugi menyerah kalah. Namun kekerasan hati I We Cudai yang tidak ingin tunduk dan menyerahkan dirinya kepada Sawerigading mengajukan syarat-syarat yang membuat Sawerigading resah. Ia lalu menemui adiknya We Tenriabeng di Bottillangi dan meminta petunjuknya dalam menghadapi masalahnya itu. Situasi tersebut semakin memperjelas peran perempuan yang terdapat di dalam episode ini. Sawerigading selalu mengandalkan adik perempuannya dalam menghadapi masalah yang sangat rumit. Ia yakin betul sang adik dapat menyelesaikan masalah-masalah yang sangat sulit ditemukan jalan keluarnya. Ketangguhan Meraih Cita dan Cinta Keteguhan hati seorang Sawerigading dalam mencintai seorang wanita yang menjadi pujaan hatinya mewarnai episode pelayarannya ke tanah Cina. Demi mendengarkan perkataan wanita pujaannya, yaitu We Tenriabeng, ia rela menempuh perjalanan yang sangat panjang untuk memuaskan hatinya. Seorang Sawerigading jika telah mengucapkan janji, maka sulit baginya untuk tidak menepatinya. Dalam perjalanan ke tanah Cina, Sawerigading dan para pengiringnya menghadapi tujuh kali peperangan. Peperangan pertama yang dihadapi melawan Banynyaq Paguling dari Manynyapai yang dikenal gemar mengganggu dan memerangi perahu yang dilihatnya (perompak) di tengah laut. Dalam peperangan tersebut,

411

Banynyaq Paguling tewas dan kepalanya dipenggal dan dijadikan hiasan welenrennge, sedangkan para pasukannya menyerah. Perang selanjutnya melawan La Tuppusolok To Apunnge yang juga dapat ditaklukkan oleh pasukan Sawerigading. Kepalanya pun dipenggal untuk dipasang di Welenrennge. Beberapa malam setelah mengalahkan La Tuppusolok dan pasukannya, Sawerigading kembali dihadang oleh La Tuppugellang dari Jawa Timur, seorang raja yang putus asa dan sangat ingin menyusul istrinya ke alam baka. Ia dikalahkan oleh pasukan Sawerigading dan kepalanya juga dipenggal untuk dipasang di Welenrennge. Selanjutnya mereka dihalangi oleh La Togektana Pajulimpoe Seseuraik yang juga berhasil dikalahkan dan semua perahunya dirampas, sedangkan kepalanya bernasib sama. Peperangan belum berhenti sampai di situ, setelah mengalahkan La Togektana, mereka kembali dihadang oleh perompak La Tenripula dari Jawa Barat. Raja perompak yang sudah tua renta dan sangat sombong itu juga berhasil dipenggal kepalanya oleh La Massaguni tanpa peperangan terlebih dahulu. Belum jauh mereka berlayar, mereka kembali dihadang oleh pasukan La Tenrinyiwik Langirisompa, raja perompak dari Malaka. Ia dan Sawerigading masih satu keturunan dari Patotoe yang membuat La Pananrang merasa segan untuk melawannya. Namun akhirnya perang tak dapat dielakkan dan tewaslah La Tenrinyiwik di tangan La Massaguni. Semua pasukannya menyerah, sedangkan istri dan wakkatananya yang megah itu dirampas Rintangan-rintangan tersebut tidak membuat nyalinya surut dan berbalik haluan, sebab ia yakin akan kebenaran kata-kata adiknya, bahwa I We Cudai adalah jodohnya yang harus dicarinya di tanah Cina. Keinginan Sawerigading yang sangat kuat untuk membuktikan katakata adiknya itulah yang mendorongnya tetap melanjutkan pelayaran dan tidak putus asa. Peperangan terakhir yang dilalui oleh Sawerigading sebelum sampai ke tanah Cina adalah perang melawan Settiyabonga Lompengrijawa Wulio tunangan I We Cudai yang berakhir dengan kekalahan Settiyabonga yang menyerah kepada Sawerigading. Kegigihan seorang Sawerigading yang rela menghadapi berbagai rintangan yang menghadang dalam pelayarannya dan tidak berubah haluan itu, merupakan nilai yang sangat berharga untuk dijadikan inspirasi dalam menggapai cita dan cinta. Rintangan sebesar apapun dapat dihadapi jika apa yang dicita-citakan ingin dicapai. Jiwa bahari yang telah tertanam di dalam diri Sawerigading yang senang

412

mengembara mengarungi lautan itu, hampir terkalahkan oleh rintangan yang bertubi-tubi datang mengahadang. Rintangan yang cukup unik dan menggoda adalah ketika La Pananrang mengusulkan kepada Sawerigading agar memperisteri saja Tenrilennareng isteri dari La Tenrinyiwiq yang baru saja dikalahkan dan dipotong kepalanya. La Pananrang menegaskan bahwa Tenrilennareng hampir sama dengan adik kita We Tenriabeng. Akan tetapi Sawerigading sudah mempunyai tekad yang bulat dalam meraih cita-cita dan cinta, sehingga ia menegaskan bahwa:
Aku telah menghancurkan sirih, telah memecah campuran sirih, tak enak hatinya bila kuambil isteri tak mungkin juga aku pulang ke Luwuq sebab aku telah bersumpah pada kemuliaan atas langitku

Hampir saja ia berubah haluan kembali ke Luwuk, jika bukan karena tekadnya yang sangat kuat untuk membuktikan kata-kata adiknya itu, dan janji yang sudah terlanjur diucapkannya. Sawerigading yang dikenal pengagum kecantikan wanita dan jika melihat wanita cantik ia ingin menikahinya. Namun karena keteguhannya memegang janji kepada We Tenriabeng, ia menolaknya, padahal parasnya sangat mirip dengan We Tenriabeng, adik kandungnya. Ketegaran dan keteguhan hati Sawerigading yang tetap memegang teguh janji yang telah diucapkannya, merupakan nilai yang harus diteladani. Orang yang teguh memegang janji, tidak akan mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Seperti Sawerigading yang tetap teguh memegang amanah yang diberikan oleh sang adik agar ia menjumpai seorang I We Cudai, yang ketika ditawarkan wanita secantik We Tenriabeng untuk dinikahinya, ia menolaknya meskipun jika ia menikahi wanita tersebut tidak membuatnya perjanjiannya batal. Namun ia sangat menghormati janjinya kepada sang adik. Ketika sampai di Tanah Cina, Sawerigading rela menyamar menjadikan dirinya Oro Kelling yang berdagang keliling di sekitar istana. Penyamaran tersebut membuat para sepupunya iba melihatnya. Betapa adik sepupunya yang seorang putra mahkota dan memiliki kedudukan dan kemuliaan yang tinggi itu rela merendahkan dirinya menjadi seorang pedagang yang direndahkan orang, demi meraih tujuannya. Ia rela melakukan semua itu untuk dapat masuk ke istana dan melihat secara langsung I We Cudai. Dalam penyamaran Sawrigading di tanah Cina sebagai Oro Kelling dihadapkan oleh godaan yang berkemungkinan untuk membuat hatinya luluh. Godaan itu muncul ketika ia melihat dua orang

413

wanita yang sangat mirip dengan istrinya yaitu We Sawease dan We Panangngareng, seketika itu ia teringat pada kedua istrinya tersebut. Namun bayangan tersebut dapat ditepisnya. Hati Sawerigading tetap tegar menghadapi berbagai macam ujian yang ditimpakan kepadanya meskipun itu sangat menyakitkan dan mengoyak-ngoyak harga dirinya. Cobaan yang sangat menyakitkan tersebut ketika I We Cudai menghinanya habis-habisan. Bahkan cobaan yang membuatnya sangat terpukul ketika I We Cudai mengembalikan semua mahar yang telah diberikan kepadanya. I We Cudai orang yang membuatnya berlayar mengarungi lautan luas dengan berbagai rintangan, tiba-tiba menolak dinikahkan dengan Sawerigading karena mendengar bisikan yang membuatnya sangat ketakutan. Akhirnya peperangan kembali berkobar dan tak dapat dihindari lagi. Kekalahan di pihak Cina tidak membuat I We Cudai tunduk kepadanya. Namun Sawerigading tetap mengikuti kemauan I We Cudai demi mendapatkan cintanya. Setelah menyetujui semua persyaratan yang diajukan, I We Cudai pun tidak membuatnya merasakan kebahagiaan, sebab setelah berhari-hari menjumpai istrinya mereka berdua belum pernah bertatap muka bahkan mereka belum pernah saling bersentuhan. Namun tingkah laku I We Cudai yang sangat menyakitkan itu diterimanya dengan lapang dada, demi kesetiaannya kepada janji adiknya. Meskipun pada akhirnya karena kegigihan usahanya, ia berhasil membuat I We Cudai terlena dalam pelukannya, namun sikap I We Cudai yang angkuh itu tidak berubah kepadanya. Bahkan setelah hamil pun sampai melahirkan seorang putra, I We Cudai tidak pernah menampakkan sikap yang menyenangkan di mata Sawerigading. Sifat yang sangat bertolak belakang dengan sifat para istrinya yang telah ditinggalkannya demi mendapatkannya. Namun sawerigading tidak pernah menyesali apa yang telah diputuskannya. Ketika I We Cudai menolak putranya pun karena ia keturunan orang Luwuk, tidak membuatnya marah dan sakit hati. Semua perlakuan I We Cudai itu tak membuatnya ingin kembali ke kampung halamannya, sebab ia telah berjanji tidak akan kembali ke tanah Luwuk apa pun yang terjadi. Musyawarah dan Dialog Berbagai aktivitas musyawarah dan dialog terlukis dalam ceritera episode ini. Peperangan demi peperangan dilaluinya selama dalam pelayaran Sawerigading ke tanah Cina. Setiap dihadang oleh musuh di tengah laut, La Pananrang sebagai penasehat dan jurubicara

414

Sawerigading senantiasa membangun dialog, komunikasi baik dengan para pasukannya mau pun dengan musuh. Penghadang pertama Sawerigading di tengah laut adalah Banynyaq Paguling yang terkenal sebagai tukang penghadang di laut yang sangat kuat dan belum ada yang mengalahkan pasukannya. Ketika La Pananrang melihat dari jauh pasukan Banynyaq Paguling, maka ia segera mengkomunikasikan kepada seluruh pasukan agar seluruh anggota mempersiapkan diri dan menjalankan tugas sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam kisah ini, pada keesokan paginya ketika mentari mulai bersinar berpapasanlah perahu Walenrengnge yang ditumpangi Sawerigading dengan perahu Banynyaq Paguling. Tujuh kali perahu Sawerigading menghindar ke kiri dan tujuh kali menghindar ke kanan, akan tetapi Banynyaq Paguling tetap berkeinginan untuk berhadaphadapan dengan pasukan Sawerigading. Kedua perahu sudah sangat berdekatan dan hampir bertabrakan. Pada waktu ini lah terjadi dialog yang sangat indah dan mengagumkan serta dapat dijadikan pelajaran bagi mereka yang menginginkan kesuksesan dan kemenangan. Seperti terungkap dalam juplikan naskah di bawah ini.
Sayalah Banynyaq Paguling dari Manynyapaiq yang biasa menawan di tengah laut lawan kutangkap kawan kutawan tak satupun di tolak keris perlindunganku di tengah laut. Telah lama kuinginkan Sawerigading kulayarkan perahu aku berlayar ke Ale Luwuq karena memang aku mau menentukan keributan besar sebab tak henti-hentinya disebut-sebut di kampung halamanku; Sawerigading di Ale Luwuq tak ada duanya disembah. (Salim, 1993).

La Pananrang sebagai penasehat dan jurubicara Sawerigading menjawab:

Kalau demikian kawanku Sawerigading yang menyebabkan kau berperahu berlayar maka pindahlah kemari di perahu sesamamu datu agar disimpankan air dingin dalam tempayan kehormatanmu agar masukkan di dalam perut hasil tanaman dari Luwuq. Atau harta bendakah yang kau cari tengadahkanlah takaranmu yang besar kuisi dengan berlimpah harta benda yang banyak. Atau menyabung yang kau inginkan biarlah aku kembali ke Luwuq kuupacarai kau dengan bambo emas kau tinggal di Watang Mpareq kutawarkan isi seluruh bawah langit atasnya tanah kau duduk bersanding mengngemgam emas di bawah pohon asam kutanggung semua taruhan judimu. Atau mungkin jodoh yang kau idamkan berlayar jauh, kucarikan engkau sesamamu bangsawan aku yang menanggung semua mahar kebesaranmu belanja yang tak terbilang (Salim, 1993). Banynyaq Paguling menjawab: Bukan barang makanan bukan pula harta benda, yang kuinginkan hanya musuh besar yang kuidam-idamkan (Salim, 1993)

415

Terjadilah peperangan yang dahsyat dan akhirnya dimenangkan oleh Sawerigading. Tujuh kali Sawerigading dihadang dan berperang di tengah laut selama pelayaran ke tanah Cina. Setiap dihadang ia selalu menghindar, perahunya senantiasa di arahkan tujuh kali ke kiri dan tujuh kali ke kanan. Dalam menghadapi musuh La Pananrang sebagai jurubicara Sawerigading senantiasa membangun dialog dan komunikasi yang santun dan sopan. Dalam kisah ini terlihat sudah terformat dan standar tahapan-tahapan strategi menghadapi lawan. Hal ini berulang tujuh kali dan pemenangnya adalah Sawerigading. Dalam kisah ini berbagai permasalahan diselesaikan dengan jalan musyawarah. Dalam menghadapi permasalahan ini Batara Lattuk mengumpulkan seluruh orang tua di Ale Luwuk dan Watamparek, bahkan yang sudah tidak bisa berjalan sekalipun dihadirkan. Mereka dimintai pendapat dalam memusyawarakan keinginan putranya itu, namun jawaban mereka sama dengan pantangan kakeknya. Ceritera tersebut menggambarkan sikap demokratis Batara Lattuk, ayah Sawerigading yang sangat mencintai putranya. Meskipun ia seorang raja, namun ia tidak mengambil keputusan seorang diri untuk mengatasi masalah sang putra. Dengan memusyawarahkan masalah putranya, ia telah memberi pemahaman kepadanya bahwa apa yang disampaikan kepadanya bukanlah pendapatnya sendiri, melainkan pendapat orang banyak. Bahkan salah seorang yang paling tua diantara mereka dan paling banyak pengalaman hidupnya mengatakan selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan dua orang bersaudara menikah. Sikap demokratis yang dilakukan oleh Batara Lattuk sebagai seorang raja, yang pada masa itu perkataan seorang raja adalah mutlak tak dapat diganggu gugat, merupakan sikap yang sangat mulia. Sikap demokrasi seperti itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di tengah-tengah masyarakat maupun di dalam ruang lingkup keluarga. Memaksakan kehendak kepada orang lain adalah sikap yang dapat merusak sendi-sendi pergaulan baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Pemimpin yang selalu meminta pendapat bawahannya dalam setiap keputusan adalah peminpin yang bijak dan disegani oleh rakyatnya. Sikap demokratis juga ditunjukkan dalam pelayaran Sawerigading ke tanah Cina yaitu setiap akhir peperangan yang dimenangkannya semua pasukan yang rajanya telah terbunuh diberi pilihan menyerah atau ingin melanjutkan peperangan. Sawerigading dan pasukannya tidak langsung memvonis mereka kalah dan menyerah. Setelah mereka menyatakan memilih menyerah barulah mereka dipulangkan

416

ke negeri mereka tanpa kekerasan. Bercermin Menata Diri Penataan diri mewarnai kehidupan tokoh Sawerigading. Tampaknya hal itu merupakan salah satu cara untuk mewujudkan kesempurnaan sebagai manusia, baik kesempurnaan fisik,maupun kesempurnaan psikis. Penataan diri menjadi ukuran berhasil atau tidak berhasilnya seseorang dalam bergaul, baik bergaul sesama suku, antar suku, maupun antar bangsa dan negara. Penataan diri menjadi jalan masuk untuk mengenal orang lain,menjalin hubungan, bahkan untuk menguasai orang lain. Dengan menata diri, tokoh Sawerigading dapat menundukkan daratan dan lautan secara bersamaan dan berkelanjutan. Tahapan penataan diri Sawerigading seperti terungkap dalam naskah:
Sawerigading bangun duduk, mencuci muka pada piring putih, bercermin menata diri pada kaca, membuka tempat sirih emas lalu menyirih kemudian memperbaiki desakan nafasnya (Salim, 1993).

Kebersihan diri secara lahiriah merupakan bagian dari kehidupan tokoh Sawerigading. Hal ini begitu penting dan sangat strategis untuk pengembangan keberanian, kepercayaan, dan eksistensi dirinya sebagai penguasa daratan dan lautan. Kebersihan diri itu dilakukan dan dijaga sesuai cara-cara tertentu pula. Kebersihan diri itu dimulai dengan proses, yaitu setiap bangun dari tidur duduk, mencuci muka di atas mangkuk putih kemudian bercermin menata diri dan dilakukan secara sadar, serta tidak terburu-buru. Hal ini menjadi syarat dan sekaligus menjadi ukuran sempurna atau tidaknya kebersihan diri seseorang. Tahap berikutnya, kebersihan diri itu berlanjut,Mencuci muka di mangkuk putih Prilaku ini menggambarkan kegiatan tokoh Sawerigading dalam membersihkan dirinya secara lahiriah dengan mencuci mukanya. Tampaknya, muka merupakan bagian tubuh yang mendapat perawatan khusus karena prosesnya pun berlangsung di Mangkuk putih. Hal itu memungkinkan, muka itu merupakan pemandangan utama dan pertama yang dapat menyejukkan atau merusak pandangan orang lain. Muka dapat mengekspresikan peristiwa-peristiwa nyata dan sekaligus dapat mengkongkretkan kejadian-kejadian yang bergejolak di alam bawah sadar. Kesempurnaan penataan diri itu terpancar pada muka. Untuk itu, tokoh Sawerigading menempatkan dan memanfaatkan mukasebagai ikon, indeks, bahkan sekaligus menjadi simbol keberadaannya. Muka

417

dapat mengeksperikan hal-hal lahiriah, misalnya kebersihan dan kegagahan seseorang. Selain itu, muka juga dapat mengkongretkan hal-hal yang bersifat psikis, misalnya keberanian, kharismatik, dan kepintaran, serta kecerdasan seseorang. Bagian tubuh ini menjadi sangat berharga bagi tokoh Sawerigading sehingga untuk mencucinya pun harus menggunakan wadah yang berharga dan bersih seperti mangkuk putih. Wadah mangkuk putih menyimbolkan kesempurnaan penataan diri tokoh Sawerigading. Hal ini mengisyaratkan kebersihan dan kesucian secara lahiriah dan secara batiniah. Kebiasaan ini menggambarkan kebaikan dan kemuliaan tokoh tersebut dan sekaligus mampu memantulkannya kepada orang lain tanpa merusak yang bersangkutan. Wadah itu juga menjelaskan bahwa penataan diri itu harus menggunakan peralatan dan bahan-bahan yang bernilai tinggi guna mewujudkan segala kebaikan pula. Dengan kata lain, penataan diri yang baik akan mampu melahirkan kebaikan pula. Penataan diri tokoh Sawerigading merupakan model dan suri teladan bagi masyarakat pendukungnya. Betapa tidak, tokoh tersebut memberi contoh kepada masyarakat pendukungnya dalam penataan diri dan sekaligus menanamkan, serta meyakinkan pentingnya hal itu guna meraih kesuksesan di daratan dan di lautan, bahkan di negeri Akhirat. Penataan diri dapat menjadi petunjuk dan pembuka jalan untuk melakukan hubungan persahabatan, kemitraan, bahkan hubungan perkawinan dengan masyarakat dan bangsa lain. Selain itu, dengan menata diri, tokoh Sawerigading dapat mempengaruhi orang lain dan sekaligus memotifasinya untuk menerima dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan perintah, kemauan, dan visi-misi pelayarannya. Tokoh Sawerigading mewasiatkan hakikat penataan diri ini sebagai warisan dan mukjizat yang berguna untuk mengantarkan manusia guna mencapai kesempurnaan hidup di daratan, di lautan, dan bahkan di negeri akhirat. Tokoh Sawerigading melakonkan proses penataan diri itu berlanjut ke tahap,menata diri di depan cermin. Prilaku ini menjelaskan, penataan diri itu berlangsung secara berulang kali, berterima, dan bersesuai dengan mimetiknya. Penataan diri itu berhasil baik atau tidak berhasil baik, berkecocokan atau tidak berkecocokan, bahkan berestetika atau tidak berestetika sangat bergantung pada kepintaran dan kecerdasan seseorang menggunakan cermin guna memahami, menganalisis, dan menyimpulkan dirinya. Tokoh Sawerigading sebelum melakukan pekerjaan, menerima tamu, dan melakukan perjalanan atau pelayaran selalu menata dirinya di depan

418

cermin. Tampaknya, cermin baginya merupakan benda ajaib yang dapat memperindah sosoknya dan menjelaskan kepribadiannya, baik kepada dirinya sendiri, maupun kepada orang lain. Bahkan benda itu baginya sangat berpengaruh untuk mencapai kesusksesan di daratan dan di lautan, serta untuk mencapai kesempurnaan penampilannya sebagai penguasa di lautan. penataan diri itu berakhir pada tahap, menenangkan hatinya. Tahap ini mengkongkretkan pengalaman di bawah sadar atau menyatakan sesuatu yang abstrak yang dapat mempengaruhi atau yang dapat mendorong untuk melakukan perbuatan nyata. Tahap ini merupakan tahap penyesuaian pengalaman batiniah dan pengalaman lahiriah guna mencapai harmonisasi yang dapat melahirkan satu kata dalam perbuatan. Hal ini memungkinkan, hati itu merupakan wadah yang didalamnya juga terdapat hal-hal yang bersifat negatif, misalnya rasa was-was, takut, dengki, iri, bahkan sombong yang kesemuanya dapat mewarnai dan mempengaruhi perbuatan nyata. Tokoh Sawerigading sebelum melakukan pekerjaan, menerima tamu, dan berlayar selalu memulainya dengan menenangkan hatinya. Bahkan ketika menghadapi bencana, peperangan, dan berdoa, tokoh tersebut senantiasa memulai dengan menenangkan hatinya. Hal ini membuktikan bahwa penataan diri atau ekspresi diri tokoh Sawerigading dapat mencapai kesempurnaan sangat bergantung pada kemampuannya untuk menenangkan hatinya. Akhirnya, dengan ketenangan hati, kecerdasan hati, kemauan hati, dan kekuatan hati, tokoh Sawerigading berhasil untuk menguasai daratan, lautan, negeri akhirat, serta berhasil menikahi I We Cudai di tanah Cina. sampai pada uraian di atas, tampaknya penataan diri itu merupakan salah satu nilai luhur. Tokoh Sawerigading berusaha untuk meyakinkan dan sekaligus mewariskan kepada masyarakat pendukungnya guna mencapai kesuksesan dan kesempurnaan sebagai manusia di dunia dan di negeri akhirat. Penataan diri itu harus berlangsung secara sadar dengan selalu bercermin dan menenangkan hati sebelum beraktivitas, baik yang berhubungan dengan aktivitas dunia, maupun yang berkaitan dengan aktivitas akhirat. Dengan memahami, memiliki, mengikuti, dan mengaplikasikan tahapan penataan diri tersebut, seseorang dapat mencapai kesempurnaan dan kesuksesan hidup. 3. Kesimpulan Pelayaran Sawerigading ke tanah Cina, sebagai salah satu episode yang termuat dalam karya panjang I La Galigo, memiliki sejumlah pesan

419

dan nilai kebudayaan yang dapat menjadi pijakan dewasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Nilai kebudayaan Bugis yang terkandung dalam episode pelayaran Sawerigading ke tanah Cina dikemas dalam sistem simbol yang jelas; semua unsur yang terkait dengan pelayaran itu melakonkan perannya masing-masing. Dalam episode pelayaran Sawerigading ke tanah Cina, ditemukan sejumlah nilai-nilai luhur dan nilai-nilai ini berkemungkinan untuk dapat diaplikasikan dan dirujuk dalam pembinaan dan pengembangan karakter bangsa. Ada pun nilai-nilai luhur itu antara lain: 1) Mengutamakan Kepentingan Rakyat; 2)Peranan Perempuan; 3)Tangguh Meraih Cita dan Cinta; 4) Musyawarah dan Dialog; 5) Bercermin Menata diri. DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal. 1990. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Hasanuddin Universiti Press. Ahimsa Putra Heddy Shri 1988. Minawang, hubungan patron-klien di Sulawesi Selatan. yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ambo Enre, F. 1999. Ritumpanna Welenrennge Sebuah Episode Sastra Bugis Klasik Galigo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mattulada. 1995. Latoa, satu lukisan analitis terhadap antropologi politik orang Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press. Mattulada. 1998. Sejarah, masyarakat dan kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Universiti Hasanuddin. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerjasama Forum Jakarta-Paris. Rahman, Nurhayati. 1998. Sompeqna Sawerigading Lao Ri Tana Cina (Episode Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina). Progran Pascasarjana Universitas Indonesia. Salim, Muhammad. 1993. Transliterasi dan Terjemahan I La Galigo jilid 112. Spradley, J.P. and D.WMc Curdy 1980. The Cultural Perspective. New York: John Wiley and Sons.

420

LAMPIRAN: SINOPSIS EPISODE PELAYARAN SAWERIGADING KE TANAH CINA Dalam kisah I La Galigo episode Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina diawali ketika Sawerigading jatuh cinta kepada We Tenriabeng dan ingin menikahinya, meskipun We Tenriabeng adalah adik kembarnya sendiri. Keinginan Sawerigading tersebut membuat resah para penghuni istana, sebab pernikahan dua bersaudara itu akan membawa malapetaka bagi negeri mereka. Hal inilah yang ditakutkan oleh Batara Guru, sang kakek, sehingga ketika lahir keduanya dipisahkan. Bertahun-tahun We Tenriabeng disembunyikan di dalam sebuah bilik di tengah-tengah istana manurungnge yang disekat. Namun, ibarat kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat ia akan jatuh juga, sepandai-pandai mereka menutupi kebohongan pasti ketahuan juga. Rahasia yang selama ini disembunyikan kepadanya akhirnya terungkap juga. Rahasia terungkap ketika kakak sepupu Sawerigading yang bernama La Pallawagauk yang juga dilahirkan kembar emas, secara tidak sengaja mengatakannya. Sejak saat itu Sawerigading selalu berusaha mencari kebenaran kata-kata sepupunya itu. Namun semua penghuni istana yang telah diancam oleh Batara Lattuk, ayahanda Sawerigading berusaha menutupnutupinya. Sebab mereka sangat ketakutan akan mati di ujung keris jika berani buka mulut. Berbagai usaha dilakukan oleh Sawerigading untuk membuktikan kebenaran kata-kata kakak sepupunya itu. Namun kesetiaan para penghuni istana kepada Batara Lattuk membuat usahanya belum berhasil. Pada suatu hari ketika ia sedang berbaring-baring sambil tidur-tiduran di bawah istana, ia menghitung petak istana manurungnge yang lebih banyak dibandingkan yang dilihatnya dari atas istana. Secara kebetulan ia juga melihat busa langir jatuh dari atas istana yang semakin menguatkan kecurigaannya. Di tengah kebingungannya muncul pemikirannya untuk memanjat di atas rakkeang istana dan melihat isi bilik yang menurut La Pananrang tempat para penenun yang menenun kain. Dengan berdalih ingin mengukur tiang sebab ia ingin membangun istana di Watamparek yang persis istana manurung, ia berusaha mengintai di atas bilik tersebut dari loteng para-para. Usahanya tidak sia-sia, ia berhasil melihat seorang gadis berparas sangat cantik yang sedang bercanda dengan dayang-dayangnya. Kecantikan We Tenriabeng yang bagaikan sinar bulan purnama itu telah membuatnya jatuh cinta yang mendalam. Ia berusaha membujuk ayah bundanya agar mengizinkannya menikahi We Tenriabeng, sebab ia merasa We Tenriabeng itu bukan saudaranya, sebab sepengetahuannya ayah bundanya selalu mengatakan ia adalah putra satu-satunya yang mereka miliki. Permohonan Sawerigading yang tak pernah ditolak keinginannya itu, membuat sang ayah merasa bimbang mengambil keputusan. Untuk itu ia mengumpulkan seluruh rakyatnya yang sudah berusia lanjut bermusyawarah. Namun tak seorang pun diantara mereka yang menyetujui pernikahan tersebut, sebab belum pernah terjadi di kolong langit dan permukaan bumi. Bahkan salah seorang yang paling tua renta diantara mereka yang sudah tuli dan pikun juga tidak membenarkannya. Sawerigading tak dapat menerima hasil musyawarah, ia tetap bersikukuh ingin menikahi We Tenriabeng yang telah membuat hidupnya selalu gelisah. Ia berusaha membujuk We Tenriabeng agar menerima cintanya.

421

Ia akan dibawa ke luar dari Luwuk untuk meluluskan hasratnya agar negeri mereka terlepas dari kutukan. Namun dengan pemikiran yang matang, We Tenriabeng menyatakan tetap menolak, sebab di mana pun mereka berada, kutukan itu akan tetap terjadi, sebab itulah kehendak sang Patotoe yang tak seorang pun dapat mengubahnya. Berbagai usaha dilakukan Sawerigading agar apa yang diinginkannya dapat terwujud, yaitu menikahi We Tenriabeng, namun dengan segala upaya We Tenriabeng pun berusaha menyadarkannya agar negeri mereka tidak terkena kutukan Patotoe. Di tengah keinginan Sawerigading yang menggebu-gebu ingin mengajaknya menikah, We Tenriabeng teringat akan seorang putri yang parasnya sangat mirip dengan kecantikan parasnya, sebab mereka berdua dilahirkan dalam satu ukuran. Putri yang dimaksud adalah I We Cudai, putri Opunna Cina. We Tenriabeng menyarankan kepada sang kakak agar berlayar ke Tanah Cina melamar I We Cudai, dan tebanglah pohon welenrennge untuk dijadikan perahu. Pohon welenrennge adalah pohon raksasa yang sangat besar dan tingginya mencapai langit. Untuk meyakinkan sang kakak, We Tenriabeng lalu memperlihatkan di dalam mimpinya paras I We Cudai yang cantik jelita itu. Bahkan We Tenriabeng bersumpah, jika apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan apa yang dilihatnya di Tanah Cina kelak, ia bersedia melanggar ketentuan Patotoe dan menikah dengan Sawerigading. Sumpah adiknya itulah yang membuat Sawerigading bersemangat untuk segera berangkat ke tanah Cina untuk segera membuktikannya. Dalam perjalanan ke tanah Cina, Sawerigding dan para pengiringnya menghadapi tujuh kali peperangan. Peperangan pertama yang dihadapi melawan Bannyakpaguling dari Mancapai yang dikenal gemar mengganggu dan memerangi perahu yang dilihatnya (perompak) di tengah laut. Dalam peperangan tersebut, Bannyak Paguling tewas dan kepalanya dipenggal dan dijadikan hiasan welenrennge, sedangkan para pasukannya menyerah. perang selanjutnya melawan La Tuppusolok To Apunnge yang juga dapat ditaklukkan oleh pasukan Sawerigading. Kepalanya pun dipenggal untuk hiasan welenrennge. Beberapa malam setelah mengalahkan La Tuppusolok dan pasukannya, mereka kembali dihadang oleh La Tuppgellang dari Jawa Timur, seorang raja yang putus asa dan sangat ingin menyusul istrinya ke alam baka. Ia dikalahkan oleh pasukan Sawerigading dan kepalanya juga dipenggal untuk menghiasi welenrennge. Selanjutnya mereka dihalangi oleh La Togektana Pajulimpoe Seseuraik yang juga berhasil dikalahkan dan semua perahunya dirampas, sedangkan kepalanya juga dijadikan hiasan welenrennge. Peperangan belum berhenti sampai di situ, setelah mengalahkan La Togektana, mereka kembali dihadang oleh perompak La Tenripula dari Jawa Barat. Raja perompak yang suda tua renta dan sangat sombong itu juga berhasil dipenggal kepalanya oleh La Massaguni tanpa peperangan terlebih dahulu, dan menggantungnya di welenrennge sebagai hiasan. Belum jauh mereka berlayar, mereka kembali dihadang oleh pasukan La Tenrinyiwik Langirisompa, raja perompak dari Malaka. Ia dan Sawerigading masih satu keturunan dari Patotoe yang membuat La Pananrang merasa segan untuk melawannya. Namun akhirnya perang tak dapat dielakkan dan tewaslah La Tenrinyiwik di tangan La Massaguni. Semua pasukannya meyerah, sedangkan

422

istri dan wakkatananya yang megah itu dirampas. Peperangan terakhir yang dihadapi sebelum sampai ke tanah Cina adalah perang melawan Settiyabonga tunangan I We Cudai dari Jawa Timur. Namun Settiyabonga selamat dari tebasan pedang La Massaguni, sebab ia menyerah dan dipulangkan kembali ke negerinya. Setibanya di Tanah Cina, Sawerigading menyamar menjadi Oro Kelling yang menjajakan dagangannya berkeliling di lingkungan istana. Penyamaran itu dilakukan dengan tujuan mengintai keadaan sekitar istana dan kemungkinannya dapat menyaksikan I We Cudai secara langsung. Berhari-hari penyamaran tersebut dilakoninya yang membuat para sepupunya khawatir jika penyamaran tersebut ketahuan. Pada suatu hari ia kembali menjajakan dagangannya di sekitar istana, ia sangat terkejut melihat seorang gadis calon pembeli dagangannya yang wajahnya sangat mirip dengan wajah We Sawease dan We Panangngareng istrinya. Kenyataan tersebut membuatnya sangat terpukul dan sangat sedih. Ia pulang dengan tubuh lunglai dan deraian air mata, kerinduannya kepada sang istri tiba-tiba terusik. Ia mengutuki dirinya yang tak henti-hentinya diberi cobaan oleh Patotoe. Namun dengan penuh kebijakan Panritawugi yang selalu menemaninya berkeliling menjajakan dagangannya mengingatkannya agar tidak terganggu dengan keadaan itu. Hal tersebut hanya akan menjadi penyakit dalam dirinya, sebab kepergian mereka ke Tanah Cina ibarat berlayar ke alam baka, mereka tak akan mungkin lagi kembali ke tanah Luwuk. Setelah kejadian itu, Sawerigading kembali menjajakan dagangannya di sekitar istana. salah seorang penghuni istana akhirnya memanggilnya dan menawar dagangannya. Hal tersebut diketahui oleh Opunna Cina, ia lalu menyuruh pelayan untuk memanggilnya naik ke istana. Ketika berada di istana, Sawerigading kembali teringat akan istananya di Watamparek dan keadaan istananya di tanah Luwuk. Kesedihanpun kembali menghinggapi perasaannya. Ketika ia mengeluarkan semua barang dagangannya, We Tenriabang ibunda I We Cudai memerintahkan We Majang untuk memanggil kedua putrinya keluar melihat barang dagangan tersebut. Ketika We Tenriesang keluar dari biliknya dan duduk di hadapannya, Sawerigading yang mengira ia adalah I We Cudai, ia tak tertarik sedikit pun melihat kecantikannya. Ia berkata di dalam hatinya kata-kata We Tenriabeng adiknya ternyata bohong belaka. Apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan apa yang dilihatnya. Namun ketika I We Cudai keluar dari biliknya dan duduk di hadapannya, betapa terkejutnya Sawerigading menyaksikan kecantikannya yang bagai pinang dibelah dua dengan kecantikan We Tenriabeng. Seketika ia merasa lunglai dan hilang kesadaran. Ia terkulai di sisi Panritaugi yang membuat Opunna Cina bertanya-tanya. Sawerigading segera memerintahkan para sepupunya untuk segera mengajukan lamaran ke Opunna Cina. Namun ujian untuk Sawerigading belum berakhir sampai di situ, ketika mengajukan lamaran ke Opunna Cina, mahar yag diminta sebagai mas kawin adalah sebanyak helai bulu-bulu kucing kesayangan istana dan mahar tersebut harus diangkut selama tiga bulan setiap hari tanpa henti. Dengan ketinggian derajat dan kemuliaannya, semua syarat yang diajukan disanggupi oleh Sawerigading. Setelah semua mahar diangkut ke istana La Tanete, karena mendengar bisik-bisik yang mengatakan ia akan celaka jika dimiliki oleh orang Luwuk dan dibaringi orag Bajo.

423

Bisikan tersebut membuat I We Cudai sangat ketakutan, ia lalu memerintahkan agar semua mahar yag telah diterima dikembalikan ke tempat asalnya sebab ia tak ingin menikah dengan Sawerigading. Perubahan sikap I We Cudai itu membuat Opunna Cina dan permaisurinya terkejut. Terlebih lagi ketika I We Cuadai mengatakan ia lebih suka dibuang ke tempat yang jauh atau dibunuh sekalipun dari pada menikah dengan Sawerigading. Dengan terpaksa harta pemberian sebagai mahar untuk I We Cudai dari Sawerigading dikembalikan ke wangkangnya. Walaupun kedua kakak I We Cudai telah menghalanginya, sebab ia tahu dengan mengembalikan mahar tersebut berarti membunyikan genderang perang. Betapa hancur hati Sawerigading mengetahui harta pemberiannya dikembalikan. Seluruh harta lamaran yang diangkut selama tiga bulan ke istana La Tanete itu dalam waktu semalam telah dikembalikan semua, tak selembar benang pun yang tersisa di Tana Wugi. Apa hendak dikata, peperangan tak dapat dihindarkan lagi. Genderang perang pun ditabuh sebagai tanda peperangan segera berkobar. Para pengikut Sawerigading pun berikrar akan berjuang sekuat tenaga sampai tetes darah penghabisan untuk membela kehormatan mereka. Mereka akan menyerang habis-habisan karena telah melecehkan kehormatan mereka. Peperangan yang akhirnya dimenangkan oleh Sawerigading itu, tidak serta merta membuat I We Cudai menyerahkan diri kepadanya. Ketika situasi semakin genting, seluruh penghui istana dan saudara-saudara I We Cudai memerintahkan kepadanya agar maju melawan orang Luwuk itu, sebab semua kehancuran itu disebabkan oleh kesombongannya yang menganggap dirinya terlalu tinggi untuk menikah dengan Sawerigading. Atas desakan para penghuni istana, akhirnya We Tenriabang ibunda I We Cudai menghadap Sawerigading dengan membawa persembahan agar Opunna Warek itu menghentikan peperangan, sebab Tanah Wugi sudah menyerah dan tunduk kepada panji perang Sawerigading. Sawerigading lalu mengutus kakak laki-laki I We Cudai La Tenriranreng dan La Makkasau untuk menasehati adiknya agar mau menyempurnakan perkawinannya dengan dirinya. Namun I We Cudai yang sombong itu mengajukan syarat, ia akan menyempurnakan pernikahan itu jika La Tuppucina dan La Tuppugellang inang pengasuhnya dihidupkan kembali. sawerigading memberi kesempatan kepada I We Cudai jika ia masih ingin menambah persyaratannya. I We Cudai pun mengajukan syarat lagi pernikahan mereka tidak diupacarakan. Sawerigading hanya boleh datang kepadanya pada waktu malam saja, ketika obor sudah dipadamkan tanpa iringan upacara adat kerajaan, dan tanpa sambutan Puang Matoa meresmikan pernikahan mereka. Syarat yang diajukan I We Cudai belum lengkap sampai di situ, ia lalu menambahkan, ia harus ditempatkan di dalam bilik yang berlapis tujuh dinding yang palangnya semua tertutup mati. Ia juga minta dibuatkan kelambu tujuh lapis yang sudah terjahit di bagian bawahnya. Dan yang terakhir, ia juga akan mengenakan baju tujuh lapis dengan ujung sarung yang sudah dijahit dan penutup kepala yang diikat. Sawerigading tunduk dan bersedia pada persyaratan yang diajukan oleh I We Cudai demi mendapatkan cintanya. Sawerigading naik ke Bottillangi untuk melaporkan kejadian yang menimpanya di Tana Wugi itu kepada adiknya We Tenriabeng. We Tenriabeng lalu menyuruhnya turun ke bumi,

424

kelak ia akan diberi jalan keluarnya. Ketika Sawerigading tiba di bumi, dinding tujuh lapis yang diinginkan I We Cudai sudah rampung. Pada suatu malam, ketika Sawerigading sedang tertidur lelap, ujung sarungnya tertarik-tarik oleh hembusan angin yang akan membawanya terbang ke istana Latanete. Ketika ia tiba di layangan puncak istana, ia disambut oleh dua ekor kucing mikomiko dan meompalo. Kedua kucig tersebut menuntunnya masuk ke dalam bilik I We Cudai. Sawerigading segera menekan tubuh I We Cudai dan mendapatkan ujung sarungnya yang terjahit. Semalaman Sawerigading merayu I We Cudai dengan harta yang banyak, namun ia tak bergeming sedikit pun. Ia tetap tak mau tunduk kepada Sawerigading. Selama tujuh malam Sawerigading diantarkan oleh angin menemui I We Cudai yang dikenal dengan Botting Ranenring (perkawinan-angin). Sudah habis harta yang dijadikan hadiah dan pemberian, namun wajah I We Cudai belum terlihat dan tubuhnya belum tersentuh olehnya. Mengetahui keadaan kakaknya tersebut, We Tenriabeng lalu menurunkan sebuah istana yang lengkap dengan isinya untuk kakaknya yang malang itu, sebab perahuperahu Sawerigading sudah tak layak lagi ditempati banyak barang. Istana tersebut diberi nama istana Mallimongen. Atas saran orang tua I We Cudai, Sawerigading menikahi I We Cimpau sambil menuggu luluhnya hati I We Cudai. Sejak saat itu Sawerigading dan I We Cimpau tinggal di istana Mallimongen bersama para pengikutnya. Pada suatu malam, ketika sedang nyenyak tidurnya, Sawerigading dibangunkan oleh angin yang membawa pesan dari adik kembarnya di Bottillangi. We Tenriabeng menegur Sawerigading yang terlena dalam pelukan I We Cimpau, padahal bukan dia yang membuatnya berlayar mengarungi lautan dan meninggalkan negeri dan kedua orang tua mereka dalam keadaan merana. Sekaranglah saatnya yang tepat mengunjungi I We Cudai yang sedang tertidur lelap tanpa menghiraukan lagi pasangan kelambunya dan tidak memerintahkan lagi memalang pintu biliknya. Setelah mendengarkan pesan adiknya tersebut melalui bisikan angin, Sawerigading segera berangkat ke istana La Tanete menjumpai I We Cudai di biliknya tanpa diketahui oleh orang lain. Semalaman Sawerigading terus merayunya dengan harta yang banyak, namun telah habis harta yang diberikan, demikian pula kekuasaannya, I We Cudai tak juga mau menyerahkan dirinya ke pelukan Sawerigading. Sawerigading mulai merasa gelisah dengan kekerasan hati I We Cudai. Sawerigading teringat akan Orosada yang berkepala dua dan ujung dahinya bertolak belakang, ia lalu berjanji akan memberikannya kepada I We Cudai yang membuat I We Cudai merasa geli. Ia merasa Sawerigading sedang mempermainkannya sebab ia tak mungkin memiliki Orosada berkepala dua tersebut. Setelah Sawerigading membuktikan janjinya, barulah I We Cudai berpaling. Malam itu, untuk pertama kalinya Sawerigading merasakan sesarung dengan I We Cudai. Terbesit penyesalan di dalam diri I We Cudai setelah menyentuh tubuh Sawerigading yang selama ini disangkanya pengawalnya yang telah membisikkan kata-kata yang menakutkan itu. Ternyata menyentuh tubuhnya bagaikan menyentuh kain sutra yang halus dan tidak lusuh. Sudah hampir dua bulan Sawerigading menjalankan tugas seperti suami dewa yang

425

berangkat malam dan pulang sebelum pagi. Setiap malam ia berangkat ke istana La Tanete ditemani oleh La Pananrang yang setia menunggunya di luar ketika ia sedang bercengkerama di dalam bilik I We Cudai. Sawerigading sangat bahagia melihat perubahan sikap I We Cudai kepadanya. Namun ketika Sawerigading meminta agar ia mengizinkannya tinggal terus di La Tanete, I We Cudai tidak mengiakannya. Ia merasa malu karena sudah terlanjur mengatakan tidak mau ditiduri oleh orang Luwuk. Ketika I We Cimpau mulai hamil, Sawerigading tak pernah lagi menjumpai I We Cudai di istananya, sebab ia tidak tega meninggalkan I We Cimpau seorang diri dalam keadaan mengidam. Pada saat yang bersamaan ternyata I We Cudai juga mulai hamil dan lahir lah putranya diberi nama I La Galigo. Lima tahun setelah kelahirannya di atas tikar emas, paman-pamannya La Pananrang dan La Massaguni mengajarinya menyabung ayam pada sabungan emas, sehingga ia pun mulai megadakan sabungan bersama teman sebayanya. Ketika diadakan upacara naik raga I La Galigo, para kerabat Sawerigading yang berasal dari seberang lautan berdatangan ke tana Wugi untuk meramaikannya. Raja-raja di Cina sangat kagum akan kebesaran rajaraja kerabat Sawerigading. Atas saran kakak sepupunya We Tepperena, I We Cudai mengadakan acara sabungan ayam dan mengundang seluruh penyabung di sekitar Cina seputar Sabbang yang berbatasan dengan Tanah Wugi. Tujuan sabungan itu adalah agar I We Cudai dapat melihat putranya yang konon kabarnya sudah pandai menyabung. Para penyabung pun mulai berdatangan, tak ketinggalan pula Sawerigading yang datang bersama putranya I La Galigo. Ketika para penghuni bilik melihat kegagahan Sawerigading, mereka mencerca kedunguan tuan putrinya I We Cudai yang telah menghina dan menolaknya dan betapa beruntungnya I We Cimpau yang menikahinya dan bersesarung dengannya, orang yang begitu sempurna di Alelino dan susah ditemukan. Mendengar ucapan para pelayannya, I We Cudai segera menjenguk keluar jendela. Ia melihat Sawerigading yang sedang dipayungi payung emas bersama putranya I La Galigo yang sedang menari Maloku mengayunayunkan destarnya, dan melenggang lenggokkan pangkal lengannya, serta memencak-mencakkan jari tangannya. Setelah berbicara dengan Sawerigading menantunya, Opunna Cina pun segera menggendong cucunya naik ke istana La tanete yang disambut taburan bertih keemasan oleh ibunda yang telah membuangnya. Ketika Sawerigading melihat I We Cudai tunduk menjemput putranya dan menggendongnya di pinggangnya, ia kembali dimabukkan oleh kecantikan dan kebaikan I We Cudai.

426

BALINESE IN MINORITY SPEECH COMMUNIITY


I Made Rai Jaya Widanta Luh Nyoman Chandra Handayani Politeknik Negeri Bali (PNB)
1. Background of the Study alinese are considered multilingual community as they have been engaging with more than two languages or dialect which is in general called code (Holmes, 1997:9), (Wardhaugh, 1986:86). There are three most common languages used as their media of communication in various domains, they are Balinese language or Bahasa Bali (BB), Indonesian language or Bahasa Indonesia (BI), and English or Bahasa Inggris (B Ing.). BB is the most dominant media of communication, BI is the second most language of every day interaction, while B Ing. is the least one. BB is widely used in all over the Island. BI is the more neutral language used in more formal situation, like school, office, printings, and usually used by people from different religion, tribe, or casts and B Ing is used as supplement language which is not used entirely but mixed with BB or B Ing. Apart from those languages, BB also has some varieties based on different perspective. The varieties require that the speakers should be able to use the varieties properly in such a way that the addressees will not be insulted. The situation leads in a diglossic situation (Eastman, 1983:41). The varieties are grouped into two parts based on geography and social factors which then contribute to dialects, such as geographical dialects and social dialect. They are eight regencies in which people obviously speak BB with different dialect one another. The difference of the dialects ranges from the close to the farthest in distance. Badung dialect has slight difference from Gianyar dialect since the areas are closely located one another. These dialects are very different from that of Buleleng as they are very distance. In addition, social dialect is also widely applied by Balinese living in a place having different social status. There are commonly four dialects of BB or generally called speech level used as the result of the existence of four casts, such as Brahmana (the first cast), Ksatria (the second cast), Waisya (the third cast), and Sudra (the lowest cast). In its implementation, they will use different speech levels depending on

427

whom they communicate with. Those from Sudra cast will use higher level to address those who are from higher social status. BB with its speech level is not commonly used as media of interaction by Balinese (in this case is Hindu people) only, but also other religions followers who were born and have been being involved with Balinese society for decades. The people of Kampung Sindu sub village at Sinduwati village, Sidemen district, Karangasem regency are one of group of people who are accustomed to BB. They are entirely Moslem. There are two mosques in which member of community do religious activity. The people base their daily activities on Moslem religious concepts, such as educational, social duties, and traditional obligation. Moslem education is included in the curriculum. The elementary school is called Madrasah, a Moslem school under Almajid foundation. This sub village is geographically considered exclusive since it is surrounded by sub villages resided by Hindu community in majority. Nevertheless, the community of Sindu Islam is considered obedient Moslem follower. It can be seen from their daily behavior, such as doing a five time-prayer, fasting on Ramadhan, and goodwill to their neighbor, and other certain religious activities. Islam is unique politically, traditionally, and religiously. The community is considered a minor Moslem group in Bali, but they claim to be one of majority Moslem. For them, Moslem is a religion of heritage not only as a belief having abstract value but also as an attribute or symbol of culture which differentiates Moslem community of Sindu Islam from other Moslem community, or from Hindu community at its borders. The situation influences them to identify their group to find their identity. The case leads in an implication to some aspects, such as social, culture, as well as language use either for needs of internal communication within the community or external communication including Hindu community at its surrounding. The study was initiated with an empirical study throw observation, interview, and questioner. Throw the initiating observation it was found that the community of Sindu Islam is a bilingual or even multilingual community. It was signalized that there is a different pattern of bilingualism which is relatively different from other speech community, particularly when their bilingualism interacting pattern is viewed from some social factors, such as difference in age, gender, and social status of the community. Pursuant to the prior observation, it was found that they use BB as their daily media for communication. Obviously, BB is known to have a complex speech rule which

428

drives a diglossic speech situation. The phenomenon is resulted by the existence of birth status; whether one was born in the family of triwangsa (three high casts) or jaba (the lowest cast). The dichotomy between the triwangsa and jaba is not absolutely found in Sindu Islam community however, they have to be alert with the system since they have to interact daily with people from the two casts at their neighboring areas. This is one of problems that need to be further observed. Is there a diglossic language situation, if so what is the situation like? The same case on language situation as explained above is assumed to happen in residences which residents are majority non Balinese, like in Sindu Islam. In this area BB is used as vernacular, language for daily interacting media. Considering the salient case, the research is focused on studying the choice and use of code by Sinduwati Moslem speech community. The research is undertaken by virtue of sociolinguistic perspective since backgrounds of history, religion, culture, and language situation found in Sinduwati is considered typical. 2. Statement of Problem Pursuant to the background explained in advance, the main problem of this study is the use of code by Sinduwati Moslem speech community. The problem is detailed as follows; 1) What codes are spoken by the speech community of Sinduwati, and which code is dominantly chosen as their daily media for communication?, 2) Is there different use of code associated with the domains? 3. Data, Data Collecting Method and Technique Basically, the data required for this study is divided into two, verbal and nonverbal data. Verbal or primary data is required to draw the real life condition of the language used by the Moslem speech community of Kampung Sindu. The study also needs nonverbal or secondary data obtained with questionnaire to evidence the existence of the verbal data. In addition, it was intended to find out some insufficiently obtained verbal data for the needs of analysis. The questions the questionnaire is built up of are mostly close question so that respondents do not have other alternate choice. They have to choose only one answer in stead. There are a number of methods, a set of research procedures with certain clear and organized stages, used to collect data in order for the researcher to obtain comprehensive and objective data. This method is used to get some data, including respondents personal data, type of expression they use in their daily

429

life associated with each domain, their responses related to reasons why they choose and use the code in each domain. Some techniques, a set of more operational way of collecting data (Sumarsono, 1990), are used in this research, such as interview and observation, elicitation, taking note, and recording technique. Interview, note taking, and elicitation was done in accordance with questionnaire to obtain non verbal data, while observation and recording was incidentally to get real data. 4. Some Concepts 4.1 Code Holms (1997) proposed that code refers to any set of linguistic form which patterns according to social factors. It is a set of linguistic term referring to language in context. A code or variety is a set of linguistic form used under specific social circumstances, i.e. with a distinctive social distribution. Code is therefore a broad of term which includes different accents, different linguistic style, different dialects and even different languages which contrast with each other for social reasons. This term (code) is linguistically neutral because it covers all the different realization of the abstract concept language in different social contexts (Holmes, 1997:9). This definition is in line with Wardhaughs (1986) idea, any kind of system that two or more people employ for communication. This broad notion includes not only language or the standard language but also varieties of language, such as dialect, style, low standard language, pidgin, Creole, patois, vernacular, as well as lingua franca (Wardhaugh, 1986:86). The definitions signalize that code is a set of linguistic form which patterns usage depends on social context and a number of social factors. In other words, code is used under specific social circumstances (Sumarsono, 1990:84-85; Hudson:24). This term is used in this research since it is neutral linguistically since it refers not only language but also accent, style, register, and variety of language. By virtue of this clear cut, the community of Sinduwati has been employing some codes used interchangeably. There are three standard languages as a means by which they interact in their daily lives. BB is used more widely than BI, such as interaction between family members, between people around their neighbor, between colleagues at market, between people at farming areas, between relatives or community members when involving in any traditional and social activity. BI is exclusively used for interaction between students and teachers at

430

school and in the case when they serve friends or guests who speak BI. B Ing., however, is used in more specifically occasion, such as between English teachers at school or in classes at school which subject taught is English. In addition, it is mainly used to communicate with foreigners visiting this village for certain purposes. Apart from the main means of communication, Arabic and Malay (the old version of BI) are used specifically in a religious domain officiated at mosque. These two codes are frequently used as communicating media on preaching or mebebasan. This activity is usually undertaken a day before Moslem holidays, such as Ramadhan, Israk Miraj, and other special days. At this occasion, the person in charge to read the text called amir reads the Arabic text in Malay using melody of sacred song. Since the text is built of paragraphs, amir reads paragraph by paragraph. A priest translates the paragraph after being read in BB. The translation is uttered in such away in BB so that it is comprehensible for the participants. In addition to this practice, Arabic is also used in other circumstances, for instance when priest or leader of Mosque open meeting on a religious or traditional activity, like prayer, giving speech on wedding ceremony, anniversary of Mosque, celebration officiated at Mosque, as well as in an Arabic subject class at school. 4.2 Moslem Speech Community of Sinduwati Sinduwati is a village built up of four sub villages, namely Kikian, Iseh, Sindu Bali, Sindu Islam sub village, and Punia sub village. Sindu Islam is the one which 100 (one hundred) percents of its people are Moslem. This sub village is considered typical since it is surrounded by four sub villages which people are Hindu and are constructed (about 20 percents of them) by triwangsa people (including, Brahmana, Ksatria, Waisya), and the rest eight percents are Sudra. Sindu Islam sub village is resided by 150 families or around 700 people. Historically, Moslem people at Sindu Islam were from Makasar and moved to Lombok. When the King of Karangasem widened his government to Lombok, there were some exchanges undertaken in terms of culture, tradition, as well as people. Up on the victory of Karangasem kingdom some Moslem people were taken to Karangasem and commanded to be shield at the western of the kingdom against Klungkung kingdom attack. To handle the order from the king, they were graced residing site which is now called Sinduwati village particularly Sindu Islam sub village. Therefore, they live side-by side with the triwangsa from other sub villages at Sinduwati village. As the

431

proof, they reside the areas lower than those of the triwangsa. The lasting heritage can all time be viewed in the form of their behavior, sense of integration, solidarity, and coherence to the triwangsa who are believed to be descendent of royal family of Karangasem kingdom. They solely dedicate themselves to take parts to cooperate with the triwangsa when there is a religious, social, or traditional activity at triwangsa families, such as cremation ceremony, mutual work, and others. The Moslem people find that it is a part of their duties to enhance harmonious live with each other. 4.3 Language Domains Domain is a cultural concept abstracted from topics of communication, relation between communicator and communicant, and setting (the site where a communication takes place) in accordance with symbols existing in the society (Jaya Putra, 2008:72). Based on its concept, Language domain is a constellation between participant (speaker and interlocutor), location, and topic (Somarsono, 1990:197). According to Bell in Adi Putra (2009) concept of language domain had been used by researchers on language shift in Germany to know the use of German being compared to other languages in contact situation. Schmidt Rohr is the first person who undertook the research to know entire status of language choice. The proposed domain included family, recreational places, street, school, church, literature, press, military, court, and governmental administration. Fishman (1968) stated that the number of domain used in sociolinguistic research can not absolutely be determined. He used simple domain including family, neighbor, work, and religion. Sumarsono (2009) used some domains including family, intimacy, education, religion, transaction, and government. In this research, there are seven domains used, including family, intimacy, neighbor, education, government, transaction, and religion. The chosen domains are considered to be representative to sorts of code used by the community. In addition, they are merely determined to be needed for this research. Each domain is explained in detail as follows. 1. Family domain. Through questionnaire, respondent is asked to determine language they usually use for communication at home between parents, grandparents, brothers and sisters, and other people like house maid, or other relatives living at the same house. The topics of talk are things related to daily activities, including meals, house works, activity, and others. 2. Intimacy domain. Participants involved in this domain are those

432

3.

4.

5.

6.

7.

4.4

whoa are at the same ages acting as friends or colleagues. This domain is characterized with relax situation, and the verbal interaction occurs at uncertain sites like street, lane, rice field, or farm. The topics discussed are those in accordance with their interest, concern, including their concern on parents, fashion, TV program, games, and others. Neighbor domain. The interlocutors involved in this domain are relatives, friends, and neighbor living side by side with the speakers. The topics talked in this case are general ones, such as gossip, fashion, entertainment, and other social problems. Education domain takes place at school but not in class room or study room, such as school yard, square, canteen, teachers or staff room. This is based on an assumption verbal communication in learning process is done in BI. They are asked to determine language choice they most intensively use when they do interaction with friends, teachers, staff, and cleaning service. The topics discussed are things related to school either directly or indirectly, including teacher, class mate, teaching-learning situation, and test. Government Domain. This domain involves the use of language when participants deal with things in formal situation, such as in village administration office or government offices. Transaction domain includes activities like goods or service trading transaction, especially that of bargaining at traditional market, stall, and other transaction sites. Religion domain includes discussion or talk concerning things related to religion (Moslem) between priest, ustad, amir, haji and members of prayer at mosque, boarding (pesantren), and other boarding sites.

Recording and Questionnaire Recording and questionnaire techniques as devices to obtain the primary and secondary data respectively were used as the most device in this stage. Questionnaire contains a number of questions or statements pursuant to which respondents have to make a short dialogue built up of at least two sentences. To make it representative for nearly all types of common question or sentence respondents usually include in their daily talks, there are a number of language functions based on which their sentences are constructed. The language functions include asking thing, requesting, commanding, saying compliment, accepting invitations, complaining, telling information, refusing invitation, inviting, and offering

433

things. Recording, on the other hand, is undertaken to obtain real data on code used by the community. In this case, a number of speech situations or dialogues in the seven domain ware recorded. The recording was done in with a secret method in order for them to perfume the communication in a real life situation. 5. Analysis There were some questions to respond up on the field observation through recording and interview with questionnaire, namely 1) the code spoken by Moslem community of Sinduwati, 2) the use of code associated with different domains, and 3) speech level used in relation to those domains. 5.1 The Code Spoken by Moslem Community of Sinduwati Fundamentally, BB, no matter which level it is appertained, is the main language by which the Moslem community of Sinduwati communicate. This means of communication is widely used to do interaction with each other at sub village of Sindu Islam or with sub villagers from the four sub villages, such as Iseh, Punia, Kikian, and Sindu Bali. This language is utilized by Sindu Islam sub villagers to communicate with people from the same and different age, gender, status, and profession. BB is the most language for old people since they know a little about BI and even do not know Sasak language, the language used by their original forefathers, Lombok people since they are parted from their origin for about 400 years or about seven generation from (according to one of the respondents). However young people and school students sometimes speak Indonesian particularly in a formal situation, like school during a lesson or mixed BB and BI in situation where the speaker and interlocutors want to show their being modern. BB is also used to communicate in different language domain to see how the use of BB is observed not as a part but as the whole means of interaction. There were seven different domains appointed to be parameter by which BB can be entirely observed to represent the language used by Moslem speech community of Sinduwati. 5.2 Code Choice and Its Domains In spite of the choice of BB for every language domain generally, there is also difference in the use of it in terms of speech level in consistence with whom the speakers speak. They use different level of

434

BB when they speak with those from the same age, older or younger than them, those having higher or lower social status. As it had been explained in advance, there were seven domains each of which is differently determined to pursue reliable data. a. Family Domain This domain is considered to be the most domains in which BB is eternally used since there are three different age-based speech community involved, such as old people (parents), adults, and young people. Parents are those who are married and / or have children. They are normally one parents in one house counted as one family to be recorded at sub village administration. Basically, there are 150 (one hundred fifty) families at Sindu Islam sub village. However, not all of them are residing at this village. Many of them live out side the area, out side Karangasem regency, or even out side Bali to earn living. Adults are unmarried people who are upper seventeen. Each family usually has at least one child who may be adult or youngsters. They are mostly, even thought many of them are employees, students of senior high school and university. And young people on the other hand are those who are younger than adult. They are mostly elementary school and junior high school students. Although some of young people and adults of the sub village live out side there are still many who live for school or work at the area from whom the data were gained. The three aged-based groups of pure respondents are always involved in the speech event in balanced. The speech event does not only occur intra the same-aged participants but also inter participants who are from different groups. This case is also a part of the research point since there is possibility of difference in code used by the participants. Old people are considered more static than the rest two age groups of people since they are less tolerant toward interference and new ideas. The interference can be linguistic and non linguistic which dominantly result in changes in the way they communicate with the language. The more tolerant they are with such interferences the more language phenomena they will be committed in, such as code mixing, code switching, or code borrowing (Wardhaugh,1986:86 ). As the result, there will also be process of convergence, a phenomenon in which they accept and try to use their interlocutor language for the sake of maintaining communication to avoid conversation break down. In the real life situation, old people of Sindu Islam sub village

435

mostly have and use one language (BB) for their daily interaction. They do not, even though know Indonesian from some mass media like TV, radio, or the papers, use BI or other languages to hold interaction with each others. Based on the recorded data and that obtained with questionnaire there are 10 (ten) language function-based items of question to be responded by the old-aged participant name M. Amin with his wife as the interlocutor. Having seen the BB spoken by respondent in this domain, the lowest level of BB (Kepara) seems to dominate the language. They even never used the higher levels of BB which is a lot more honorific (like Madya and Singih). According to the respondent there are two main reasons by virtue of what they are committed to using such level of BB; (1) they are alert to be common people; (2) BB Kepara is suited with such speech situation. According to social stratification, Moslem people do not have casts based on which Balinese (in this case Hindu community) live in society. They live as other religion followers (except Hindu) do. Hence, they also use one means of communication to generalize and simplify their way of interaction. As the result this brings on a good harmony among them. In addition to this, BB kepara fits with the domain and situation under which both speaker and interlocutor interact. This is in line with Hymes (1973) perspective Ethnography of Communication proposing parameter pursuant to which speakers usually decide what code to use during interaction. It is explained that communicators and communicants tend to consider the eight components of parameters during the communication, called SPEAKING, including Scene, Participant, End, Act sequence, Key, instrument, Norm, and Genre.
Data 1 Nu sakit sirahe, Bah? is a common expression to ask whether some one still gets headache or not. Since the talk occurs at family domain between spouses they do not use the more honorific levels (BBM or madya or even BBS or singgih) otherwise it sounds strange or odd, like Kantun sungkan duwure? or Napi kantun sungkan prabu retune?.

The case on use of BB by Sindu Islam sub villagers at Sinduwati above draws entirely the same case as what old people do to adults. Despite having different age and educational back ground old people

Data 2 Bah, gaenang kopi, kejep! is also a common expression in BB Kepara. This utterance is normally spoken when speakers are well acquainted one another. In addition, it sounds funny to utter more honorific expression to people we get on very well with, otherwise they will be disappointed. Thus they will not say Biang, karyanang tiyang wedang ajebos? (for BBM) and Ratu, karyanang titiyang wedang ajebos? (for BBS).

436

seem to feel that there is no border raising a gap in using BB. This code is considered a common means of communication by which they communicate their ideas of any kind. However, to show their being absolutely familiar, old people do not infrequently use BBK with lower type of addressing system. The expression in data 3 Cai nake ngateh memene ke peken! is very salient to show how relationship between the speaker and interlocutor is made very closely. The word cai meaning you emphasizes that the speaker uttering this expression feels that there is no border existing between them. This is, even though not found in all family members, especially those living away from their origin very common done by local family who has been residing at this area. The lower class of BBK spoken by the old people to adults in data 3 is not constant. It depends mostly on whom (adult people) they speak to and when the dialog takes place. If the speaker speaks with adults who are from higher cast of people who have higher social status their sentence choice will certainly be different. There is then a bit different fact drawn by old people to young people utterance. In addition to the use of BBK, BI is also frequently used since it seems to be a common media. The expression (in data 4), Memene ada jumah, Luh? is an obvious evidence of the use of BBK. This expression is commonly expressed by old people to young people whose mother tongue is BB. However, data 5 Ma, diam nake Ima? is uttered by an old people talking with her grand daughter whose mother is from Bandung. Regardless of the use of totally BI or mixed BB and BI, this case usually happens in the case that the children are from families whose mother or father is from other Moslem community like Java, Lombok, Madura, Bandung, or other non Balinese speaking regions. This is caused by the fact that BI is commonly used by the parents who share different mother tongues. Generally, BB is used for interaction between old and young people in this domain. They tend to used BBK which is a common means of interaction among them. However, BI is also sometimes used by old people to talk with young people whose father or mother is from out side Sindu Islam sub village, for example Java, Sumatra, Sulawesi, or other origins. b. Friendship Domain BB, even though not entirely, is dominantly used as the language for communication among people of different ages at friendship domain. The main reason is basically the participants and scene

437

perspective, i.e. who is being involved and when or where does the speech take place. The following data draws how BB is used in this domain. Data 6 Sing nyidaang, legaang malu Data 7 Dija mesekolah jani, Tut? Data 8 Nyen meliang sepatu luwung ne, De? The three expressions above were spoken by old people. They are uttered to three differently-aged participants; they were old, adult, and young people respectively. Obviously, the expression is not different one another in term of the type of BB used. There is no speech level applied by the speaker therefore, it sounds common and standard. The speaker did not see that he should use different types of BB (BBM or BBS) since the participants were people he knows very closely and speech situation under which the event occurred was eligible to do so. The following three data, however, was spoken by an adult speaker to three different participants. Despite of using BBK the BBM was also used as one of the participant being involved in the speech event was a priest whom the society usually respects for his religious and social duty. This case can be seen in the data 9 Tan ada acara napi ring Masjid? The adult speaker in this case used BBM even though in a simpler way. His being not very familiar with BBM made him use BBM doubtfully. As the result he inserted some terms in BBK to compose a BBM expression. The words tan, acara, napi, ring belong to BBM while ada belongs to BBK. In the data 10 Nyanan SMS gen raga nah? and data 11 Cobak loking pulpen ne, dija meli pulpen ne? the speaker used BBK entirely to show his being very close to participants. In daily life people normally show their friendship with some signals, such kinesthetic, facial expression, and language. The use of non formal language in an interaction can signalize that speakers and interlocutors have good friendship. The speaker, in this occasion, tries to show that his relationship with adult speaker (in data 10) as well as with young speaker (in data 11) are the same. Young people also show totally the same circumstances on the use of BB in their interaction. Since this domain is grouped into less formal one it then influences the language use. In data 12, Ha ha, ngeling ya pak, the speaker uses BBM to show his being closed to the interlocutor. The next two utterances from the young speaker, such as data 13 Gas ibi sing solat ya, gas puan sing solat ya and

438

data 14. Kuda meli? are the salient examples on how BB is used in interaction. c. Neighborhood Domain Like domain of friendship, family, transactional, and religious which implicate non formal situation, neighborhood domain also involves BBK since it is the setting considered to be non formal one. Even though, there is code-switching occasionally occurs, depending on whom the speaker speak to, BBK is still the main chosen media of interaction among the society. The following data is best to describe the phenomenon. Data 15 Da ja kenten napi, Data 16 Ten ngalih TV pak AJi?, niki ampun wenten nak ngadep, data 17 Jemak ketone, data 18 Niki ujan-ujan, apang angetan, wedangin dumum, Data 19 Ngajeng malu de? are that using BB both madya and kepara level since neighborhood is the second most familiar domain after family domain to which society are closely involved. In other word, it is the first environment people usually communicate with up on their leaving their family. Similarly, in accordance with Balinese social activities and traditional and religious obligation, neighbor is the first party we have to cooperate or to discuss with when we have such activity or event as death, wedding ceremony or others. T h e r e f o r e , BBK is mostly used for the media of interaction. As we can see, data 17 and 19 use BBK since speech participants involved are those who are from sudra level. However, the words choices do not meet its function when they communicate with people from upper level or tri wangsa. Data 15, 16, 18 above show, although not totally BBM, how words are set and chosen in order for speech to be in accordance with higher level of people, the tri wangsa group. However, they still apply some BBK words in stead of BBM for some reasons. They use de ja instead of sampunang ja, Ngalih instead of ngerereh, nak instead of sane, ngadep instead of ngadol ujan-ujan instead of sabeh and apang instead of mangda. This is done as the speakers feel that they are well acquainted with their interlocutors yet still intend to respect them. Data 20 Sana tunggu di luar dulu, however, is the one which is apart from the means of communication above. This case occurs occasionally, particularly when the interlocutors do not know or are not familiar with Balinese. This treatment is usually given to children born up to intermarried spouse, which one of them come from out side Bali or Sindu Islam, such as Lombok, Java, Bandung, Jakarta, or Sumatra.

439

The speaker will use BI the language which is firstly transferred by their parents to their children, to avoid communication brake down. d. Educational Domain Despite the formal situation, BB is still the main means of communication among members of speech community at school. BBK is the most language spoken by the participants at this domain. The following three utterances expressed by old people (a teacher and the school head) use BBK. Data 21. Iyang mara masuk suba maan DP, orahin nyemak hadiah. Data 22. Kene ceritane, waktu rapat-rapat tujuine I raga jak bu agama, data 23. Ngih tiyang ke bawah dumun, masalah uang niki. BBK is dominantly used for communication at school by teachers. It is obvious that the speaker of data 21s utterance tried to use BB words totally since he is an old man whose language of interaction is BB in his every day life. However, in data 22 and 23, he inserted some words of BI since he spoke with the school head whose position is higher than his in the institution. Some words of BI were applied in order for his to make more clear sentences in accordance with the context of situation. Similarly, the adult speaker at school also tends to use BBK with some code-switching to BI when doing interaction. Data 24 Sareng bu Dayu, bu Dayu kan ditelpon di sekarang katanya oke. Langsung ngerereh contoh blanko ...kenten.. langsung ngerereh contoh blanko ..kenten..alngsung ngaryanin langsung dikirim, data 25. pak dados langsung kenten dumun both contain code-switching from BB to BI, and data 26 blangko nika meanggen sampun dikirim factually draw how adult speakers constructed expressions in this domain. Apparently, adult speaker who gets used to using BI in his daily life tends to insert BI words more than old people do. Nevertheless, young people intensively use BB at school to communicate with their colleagues. In the following data, it can be clearly seen that they construct their BBK sentences with insertion of BI sometimes. Data 27 sajan iraga gen kene ajak jaja, ane muani-muani tileh jajane and Data 29 Bungkusin nake were uttered with totally in BBK, while data 30 Nak pak guru nyedekahang pis, langsung bagi raga ajak dadua still inserted mixed BI and BB and pure BI words, such as nyedekahang and langsung respectively. e. Governmental Domain Governmental domain focused in this research is that related to Sinduwati village administration, especially Kampung Sindu sub

440

village. Unlike other domain where BBK is involved totally, this domain is that where bilingualism is applied. Therefore, BI is a bit more commonly and widely used since communication does not only involve local people but also outsiders. In addition, topic of speech also extends more widely to other topics which enable speakers and interlocutors to use BI. The data beneath which are uttered by adult and old people overtly clarify how the language(s) and itys variety are used.
Data 31 Ada teka pak Kades ibi? Data 32 Tolong info teman-teman tentang cuti bersama, nah! Data 33 Dusun Kampung Sindu mula konden ngelah bale banjar Data 34 Masyarakat driki nak sampun baur saking dumun, tan wenten gap, Data 35 Tanah nika wantah pican griya, makane semeton muslim driki sering ngayah ke griya yening wenten karya. Data 36 Jumat hari pendek kantor tutup jam sebelas nika

Obviously, BBK is used in data 31 and 33. The speakers are aware that their interlocutors are local people who feel more convenient if they use BBK in that setting and scene. In addition, the speech situation is also considered non formal, i.e. at the parking area of the village office. However, 32 and 36 draw how dialogue occurred in a formal situation. The speaker in this case used BI to communicate with her interlocutor (her colleague) pursuant to office-related topic. In data 36, speaker also tried to use BI to respond to an interlocutors questions who is not a part of their colleagues. On the other hand, data 34 and 35 involved BBM to show speakers courtesy to the interlocutor. f. Transactional Domain This domain put forward traditional market as a setting in which BBK is used for communication. The interacting media shared by speakers basically similar to that of other domain. However, some language functions used by both speakers and interlocutors have special embedded expressions which make them sound different from that used in other domain. But the analysis will highlight it as the main focus in this study. The following expressions are spoken by both old people and adults. Data 37. Ento buin mudahan, ento kone ji solase, Data 38. Ji dasa, ji dasane, sing ji siane, Data 39. Oh, potong orange. Kaden nak ji solase, kaden nak ji telung atak, Data 40. Pindang ane cenikan to bang, Data 41. Nika tan wenten, lamen kun wenten nika all

441

use BBK as the most common means of communication at market. Clearly, the variety of BB used commonly in market is that used by community member in other domains, i.e. BBK. It can be seen from the linguistic items used in terms of vocabulary, grammar and structure. All vocabularies by which sentences in data 37, 38, 39, 40, and 41 are built up of are derived from BBK. However, some of those words, as in some cases of other domains are pronounced shorter than their full forms. The words ji , nak, atak, ane, to are actually from the full forms of aji, anak, satak, sane, and ento respectively. g. Religious Domain Religious domain covers some activities such as those carried out in mosque, wedding site and other related setting. Speech event taking places at mosque particularly involved speech event involving BBM, the middle class BB usually used to interact with people from ksatria cast. In this case the setting was at mebebasan, reading a religious text written in Arabic language using Malay language and translated into BB. Since the situation of the speech is formal and religious and viewed by Moslem devotees, BB is used as the media of translating the text is BBM. Look at the following data. Data 42 Di sampune weneten titah dane Allah Sbahana Wata Allah mangkin malaikat Jibrail sareng malaikat Bikail rauh ke surga ngambil Burak sane keliwat jegeg, data 43 Nah, disampune keambil, burake niki raris tedun ke dunia, kenten, data 44 Mangkin wenten titah ida Allah Uta Allah, perintah ida Allah Uta Allah dalam Israk Miraj niki taler wenten firman ring Alquran. The three data of the translation of Moslem religious text use BBM. Basically, the speech involved BB based on variety of language people use in daily life. Since the speech situation was considered more honorific, the interpreter decided to use BBM to be respectful to the participants. This can be proven that all words in the sentences used BBM except those related to Moslem terms such as, Allah, Uta Allah, Sbahana Wata Allah. Apart from this there is also Indonesian word used, like dalam. The salient fact successfully proves that BB is still the main media of communication for Moslem community of Sinduwati in religious domain. Od, educational, governmental, 6. Conclusion Up on the analysis, there was two conclusions can be drawn, as follows; (1) Moslem speech community use BB as the main means of

442

communication among their colleagues. This language is used in all domains observed during the research, including family, friendship, neighborhood, educational, governmental, transactional, and religious domain. (2) There is speech level applied by Moslem speech community. The case is applied depending on scene, participant, end, act sequence, key, instrument, norm, and genre. BIBLIOGRAPHY
Eastman, C.M. dan Longyear C. 2005. Linguistics. In Microsoft Encarta Encyclopedia 2002. 1993-2001 Microsoft Press. Fishman, J. A. 196. Readings in the Sociology of Language. The Hague: Mouton. Holmes, J. 1997. An Introduction to Sociolinguistics. Addison Wesley Longman Inc., New York: Longman Group UK Limited. Hudson, R. A. 1980. Sociolinguistics. London: Cambridge University Press. Hymes, D. 1974. Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: University of Pannsylvania Press. Jaya Putra, Adi. 2008. Desertasi: Penggunaan Kode oleh Masyarakat Tutur Pegayaman. Denpasar: Udayana Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pembinaan ahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jakarta. Wardhaugh, R. 1986. Introduction to Linguistics. New York: McGraw-Hill Inc.

443

ESENSI PITUTUR YANG BER- CHARACTER EDUCATION SEBAGAI LOCAL WISDOM DI BALI
Pande Wayan Renawati IHDN Denpasar
Latar Belakang ada masa globalisasi ini, melihat, menyaksikan prilaku generasi muda pada umumnya seperti menjauh dari nasehat orang tua. Orang tua memanggil, menyuruh anaknya untuk melaksanakan keinginannya terlihat berteriak-teriak seakan-akan sampai habis suaranya memberi sebuah nasehat malah semakin terabaikan. Ada apa dengan mereka? Itu menjadi pertanyaan besar dibenak setiap orang tua yang mengalaminya. Kemajuan informasi dan teknologi pada berbagai media, serta adanya narasi dari sebuah film atau sinetron yang mengandung kekerasan, penculikan, pemukulan, hingga pembunuhan yang cendrung menonjol, disamping digambarkan trik dan strateginya untuk ke hal yang negatif, serta hanya beberapa persen ditayangkan dari kisah tersebut yang berisi tentang petunjuk untuk kebaikan, sepertinya itulah penyebab dari pengaruh yang kuat pada kisah yang telah ditontonnya. Pengaruh permainan seperti game, yang memang akan menghiburpara generasi muda, sepertinya tidak bisa dengan mudah dikendalikan perkembangannya. Hal hal tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata. Perlu ada pengawasan kuat dari orang tua terkait dengan kemajuan zaman dan perkembangan arus globalisasi. Sebagaimana diketahui bahwa generasi muda sebagai penerus, sebagai tiang penyangga negara di masa depan harus dibina sejak dini. Menurut Suyanto dalam Nugroho (2008 : 29) mengatakan bahwa pendidikan memiliki fungsi penting bagi daerah terutama untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). SDM dengan dana yang memadai dapat dipastikan setelah diberikan kepada otonomi daerah maka daerah harus mandiri, kreatif dan mampu mengembangkan daerahnya untuk mewujudkan kesejahteraan. Arah kebijakan disebutkan Guruge (1996 : 3) menjelaskan bahwa diagnosa situasi pendidikan sekarang ini yang menunjukkan kelemahan dan kekurangan-kekurangan perlu dikoreksi, sehingga

444

mengarah atau mencapai relevansi efektifitas dan efisiensi. Maknanya jelas bahwa pendidikan sangat dibutuhkan bagi setiap daerah, dan semua arahnya itu sangat bagus oleh karena itu perlu adanya kebijakan untuk mengembangkannya. Hal itu tidak mudah perlu kebijakan dari semua unsur baik dari keluarga, sekolah, hingga pemerintah negara. Unsur yang paling dekat dengan mudah dikenalnya adalah dari keluarga. Keluarga satu-satunya alat berpijak yang paling kuat dalam rangka mengendalikan dan membina segala bentuk perkembangan hingga pendidikan generasi muda untuk mencapai cita-cita luhur. Dasarnya dari lingkungan keluarga terlebih dahulu dengan nasihat yang patut didengar dari orang tuanya. Jika keluarga turut mendukung keberhasilan generasinya maka akan semakin cepat untuk meningkatkan sumber daya itu. Namun jika keluarga tidak mendukung bagaimanapun arah kebijakannya tidak akan mampu untuk diaplikasikan selanjutnya. Selain harus selalu tekun sembahyang sehari-hari generasi muda harus selalu dikendalikan dengan penuh bijaksana melalui nasehat atau pitutur (istilah Bali). Budaya memberi pitutur terhadapnya sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari penduduk Bali sejak masa lampau. Untuk itu hingga kini ajaran tersebut tidak terlepas dari benak setiap orang tua untuk harapan masa depannya untuk bisa menjalani hidup yang lebih baik. Dasar memberi ajaran kepadanya dilandasi oleh naskah (lontar) yang mengandung nasehat. Dari latar belakang tersebut ada beberapa hal menjadi rumusan masalah yang perlu dibahas sebagai berikut. 1). Bagaimanakah esensi pitutur yang didasarkan atas naskah (lontar) Kumara Tattwa? ; 2). Bagaimanakah esensi pitutur yang didasarkan atas naskah (lontar) Jatiswara? Untuk lebih jelas, bahwa tulisan ini mempunyai tujuan agar mendapatkan pemahaman yang luas serta menemukan titik terang ketika permasalahan tersebut muncul dan dapat disikapi dengan penuh bijaksana oleh orang tua ataupun yang mengasuhnya. Untuk memahami isi kedua naskah itu, perlu adanya pemahaman secara mendalam, serta dapat menginterpretasi maknanya. Disamping itu agar bermanfaat pula dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan sebagai pengkaji budaya yang memfokuskan perhatiannya terhadap keselamatan dan kebahagiaan generasi muda melalui pemahaman naskah (lontar) dan ajaran tersebut yang layak untuk dikaji. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap orang tua untuk bisa mengevaluasi gerak gerik keturunannya ataupun membantu mencari jalan keluar dalam menghadapi permasalahannya dan membuatnya menjadi lebih berdaya dan berhasil guna dalam

445

mengembangkan kehidupannya di masa yang akan datang. Pembahasan Yang menjadi konsep dasar pemahaman ini adalah esensi pitutur, character education, serta lokal wisdom. Kata pitutur menurut Zoetmulder (2006 : 1308) mengandung arti peringatan, nasihat, teguran, dan amanat. Jadi pitutur benar-benar digunakan sebagai petunjuk bagi setiap anak-anak di Bali sebagai peringatan orang tua agar anaknya memperoleh keselamatan lahir batin dalam menjalankan hidup ini. Pitutur kadangkala susah untuk dicerna tetapi hal itu pasti ada solusinya dengan cara merangkaikan dengan kisah-kisah cerita rakyat serta memberi nasehat di saat-saat waktu yang senggang seperti saat santai bersama keluarga, juga baik saat mengeloninya menjelang tidur karena hal itu terbukti mau didengar dan dimengertinya. Yang menjadi esensi pitutur ini adalah hal yang menjadi inti pokok untuk dapat dengan mudah dpahami lewat nasihat yang dipaparkan. Dalam hal ini penulis tertarik untuk memberi pitutur lewat naskah (lontar) naskah (lontar) yang berisikan hal hal yang mengandung petunjuk secara praktis dan menjadi inti pada naskah (lontar) itu untuk dipahami lebih mendalam. Ada disebut pula tentang character education. Tentu saja kata tersebut tidak diabaikan begitu saja karena mengandung makna pendidikan yang berkarakter atu bercirikan atau mempunyai suatu ciri ciri pendidikan. Dalam hal ini pitutur mempunyai ciri khas yang dipandang sebagai suatu hal untuk dikagumi dan menjadi pelita dalam menjalani hidup bagi anakanak tersebut. Terkait dengan lokal wisdom, pitutur ini telah menjadi trend dari masa lalu hingga kini yang tidak mudah untuk dihapus begitu saja. Hal ini merupakan suatu kebijakan lokal para leluhur di Bali untuk selalu memberi nasihat kepada keturunannya, sehingga mampu menjadi tauladan di masa depan. Untuk memahaminya, beberapa jenis pitutur yang penulis dapat dan telah dipilah dengan baik akan dipaparkan dalam pembahasan di bawah ini sebagai berikut. 1. Naskah (Lontar) Tutur Kumaratattwa Naskah (Lontar) Tutur Kumaratattwa merupakan dokumentasi Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, yakni sebuah naskah salinan berupa hasil transliterasi teks tutur kumaratattwa yang diketik oleh Made Pardika, seorang petugas Gedong Kirthya Singaraja. Pemilik aslinya adalah I Made Wirya dari Desa Panji Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng. Naskah teks lontar ini diketik ulang oleh I Made Pardika pada tanggal 15 Februari 2001 dan disimpan di Perpustakaan Gedong

446

Kirthya Singaraja yang berisi kode katalogus K 2322. Naskah ini di simpan pula di Perpustakaan Universitas Leiden dengan kode Lor 10.249 (Haryati Soebadio, 1985 ; 4). Tutur Kumaratattwa merupakan satu dari beribu-ribu naskah yang diwarisi masyarakat Bali hingga kini. Tutur Kumarattatwa mengandung nilai-nilai luhur yang berisikan mengapa manusia menderita dan bagaimana manusia melepaskan diri dari penderitaan itu. Adapun sumber penderitaan manusia adalah dasendriya (sepuluh nafsu). Intinya manusia harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan dasendriya, ibarat penggembala menggembalakan gembalaannya, dengan cara mengenali, dan memahami kejatidirinya sehingga manusia dapat mengerahkan segala kekuatan yang ada di dalam dirinya. Jika dikaitkan dengan kehidupan di masa kini, maka naskah ini sangat berperan sesungguhnya untuk mengarahkan pikiran para generasi penerus bangsa guna mampu untuk menghindari dari segala emosi jiwa yang tanpa kendali seperti adanya pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, pembakaran, dan masih banyak lagi hal lain yang perlu diantisipasi lebih awal dengan mendalami tutur dari naskah ini. Sehingga para generasi tersebut mampu menahan diri dari gejolak baik itu dari dirinya sendiri, pengaruh lingkungan maupun dari faktor keturunan. Menurut Anonim (2003 : 30) Bhatara Guru mengatakan ada seratus bentuk perwujudan dari sepuluh nafsu (dasendriya), ada juga perwujudan tri guna (satwam, rajas, tamas) yang dinamakan ganitri, digelar ditiga dunia. Karena itu manusia tidak mampu menghadapi pancamahabhuta yang galak siang malam, pada setiap delapan jam. Itulah sebabnya biji ganitri berjumlah seratus delapan. Yang menimbulkan kepapaan menguasai sorga neraka, adalah astadewi atau pracanamaya karena lahir dari Bhatari Parwati sebagai perwujudan Bhatari Parameswari terdiri atas. Jayasidhi, pikiran yang bersikukuh pada kemampuan diri, senang dipuji dan tidak mau mengalah; Caturasini, mengumbar pikiran, suka mencela orang, suka menghina orang tua, tidak mengenal tata krama pergaulan dalam menciptakan kebahagiaan dunia; Namadewi, suka mengaku-ngaku, suka mengutuk, berlagak kuasa; Mahakroda, suka marah, suka berbohong, selalu bhuta hati dan tatapan matanya galak, tidak pernah berkata jujur; Camundi, suka berkata yang berbelit-belit, budinya goyah, tidak

447

berbakti, tidak ada yang dipuji, suka menindih tetapi tidak suka ditindih, suka marah matanya galak; Durgadewi, pikiran selalu ditimpa kesulitan tanpa disadari, tidak tahu bahaya, tidak mengenal dosa, selalu berprilaku jahat, harapannya tiada terbatas; Sirni, selalu senang batinnya hampa, tidak mau berpulang pada diri sendiri, suka mengaku-aku; Wigna, nafsu asmara memenuhi dirinya berpadu dengan lubuk hatinya, suka berkata melambung tinggi. Hal itulah disebut dengan manusia bingung yang terus menerus berada dalam kekotoran, kepapaan, menghina kebaikan. Jika semua itu selalu berputar-putar di pikiran maka akan menjadi manusia yang tidak berbudi dan akibatnya penuh derita. Sehingga untuk mengalihkan semua itu ke hal-hal yang benar dari keutamaan astadewi itu dengan cara mengambil ganitri dengan membayangkan astalingga serta memuja astadewi. Jika tidak ditemui yang diharapkan harus dipusatkan batin ke astalingga yang terdiri atas. Suda, pikiran bening; Spatika, pikiran tenang; Sunya, pikiran kosong; Mahatana, pikiran agung; Prabaswara, pikiran memenuhi alam semesta; Nirawarana, pikiran tiada batas; Nirmala, pikiran tak kotor; Niskala, pikiran yang tidak bergerak. Demikianlah dijelaskan tentang hal yang mengalami kepapaan astadewi serta hal yang menimbulkan kebahagiaan melalui astalingga. Ajaran ini sangat penting untuk dipahami untuk mampu menahan diri melalui pengendalian diri. Bhatara Guru menginstruksikan supaya meniru orang yang berbuat kebaikan, sebagaimana wujud Sanghyang Kala dulu, betapa tampan tiada bandingnya. Oleh karena itu jika berbuat jahat, tidak berselang lama pasti akan bertemu Kala. Sebab Bhatara Guru memberi ganjaran dalam hidupnya, tersisih maupun menemukan kesuksesan dalam kehidupannya, sama seperti mahluk lainnya tidak dapat dihindari, yang tanda-tandanya muncul pada perbuatan yang baik maupun buruk. Ajaran di atas sebagai dasar dalam bertindak sehingga manusia yang memahami hal itu bisa menyeberangi lautan derita yang dialaminya untuk mendapatkan kebahagiaan kemudian.

448

2. Naskah (lontar) Tutur Jatiswara Naskah ini merupakan dokumentasi dinas Kebudayaan Provinsi Bali karangan Ida surya Agung Adriya, berisikan uraian tentang.

- Wejangan atau nasihat seorang ayah kepada anaknya dengan mengingat pengalaman yang dialaminya pada masa anak-anak, bila ingin menghadap orang tua untuk minta nasihat, tingkah laku yang baik patut dilaksanakan di dunia dan akhirat. Nasihat itu yang dapat dipakai bekal dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Nasihat orang tua seberapapun itu patut didengar karena hal itu merupakan tantangan sebagai anak untuk menghadapi jalannya kehidupan di dunia. Wejangan atau nasihat itu adalah bekal yang tak ternilai harganya dari pada segudang uang. Karena itu merupakan tuntunan untuk mencapai kesuksesan hidup. Oleh karena itu sudah sepatutnyalah rasa hormat dan sujud dihaturkan sebagai rasa bakti yang tulus dari seorang anak pada orang tuanya.

- Sang Hyang Jiwa, jiwa yang menyebabkan manusia bisa hidup. Jiwa berasal dari Ida SangHyang Widhi dan patut disembah. Segala mahluk hidup di dunia ini dihidupkan oleh adanya jiwa. Kita harus sujud bakti kepada jiwa sehingga akan mendapatkan kebahagiaan.

Petikan naskah menyebutkan bahwa.

Sahana ning jagate sakewala kalingganan antuk sang Hyang Jiwa (idup) patut sungsung makadi bhaktinin nanghing undakarayang tingkahe nyungsung wiadin maktinin nganutin padewekan sang kalingganin bahan Sang Hyang Jiwa. Segala yang ada di dunia ini apabila dijiwai oleh Sang Hyang Jiwa (hidup) seharusnya dijunjung serta dipuja oleh semua mahluk hidup, namun sesuaikan sikap menjunjung serta memuja dengan keadaan diri yang dihidupkan oleh Sang Hyang Jiwa.

Dijelaskan bahwa. Apapun yang ada di dunia ini dikuasai oleh Sang Hyang Jiwa, karena

hal itu yang menyebabkan hidup. Segala sesuatu yang digunakan untuk memuja, harus disesuaikan dengan kemampuan. Apabila kemampuan terbatas, jangan memaksakan diri. Jadi memuja dengan melihat situasi dan kondisi dari kemampuan umat untuk melakukan pemujaan. Sahana ning laksana, tusing ada kewehan teken laksanane bhakti nyungsung sarwa mahurip. Keto masih paolih-olihane, tusing ada lewihan teken paoliholihan bhakti nyungsung sarwa mahurip.

Segala perbuatan tidak ada yang lebih sukar dari hormat dan tunduk kepada mahluk hidup. Demikian pula hasilnya, tidak ada yang menyamai pahala dari bakti dan menjunjung semua makhluk hidup.

449

Dijelaskan bahwa. Sebagai umat yang berjiwa hormat tentunya tidak membedakan semua makhluk hidup. Hidup berdampingan saling membantu, tidak membunuh hewan sembarangan, serta menata pepohonan disekitar, itu sudah mencerminkan hormat dan bakti kepada semua makhluk hidup.

Awanan sang prajnyan pageh gati ngalaksanayang laksana keto, kandugi patuhan ida solah Idane bhakti nyungsung ragane teken padewekan anake elenan, solahe keto maadan laksana dharma. Sebabnya orang pandai sangat teguh melaksanakan perbuatan yang demikian, sehingga disamakan tingkah laku beliau (seperti) hormat dan tunduk pada diri sendiri terhadap orang lain, perbuatan itu dinamakan laksana dharma.

Dijelaskan bahwa. Inilah sesungguhnya orang yang pandai menempatkan diri dengan menunjukkan ciri khas pendidikan yang mempunyai keteguhan diri dengan menjunjung tinggi rasa hormat dan tunduk pada diri sendiri dalam menghadapi semua orang dengan tidak membedakan posisi atau pun kedudukan. - Laksana Dharma, tiada perbuatan yang lebih utama dari pada berbuat dharma, namun sangat sulit agar mampu berbuat dharma. Bila berbuat dharma berupa dana kepada yang miskin dengan harapan imbalan maka tidak akan jadi berdharma. Orang yang budiman akan selalu kukuh teguh melaksanakan dharma karena itu sudah tersirat dalam sastra agama. - Sang Hyang Pati (Kalamretyu), Yang menyebabkan mahluk mati. Tetapi yang mati itu raganya bukan jiwanya. Jiwa ini akan hidup di alam niskala dengan membawa hasil perbuatan selama hidupnya. Melaksanakan upacara yang besar tidak akan dapat mengubah hasil perbuatan. Disarankan berbuat yang baik selagi hidup. Disebutkan dalam hal ini.
Yan melah laksanane dugase hidup, melah tampina paolih-olihe teken atmane, dadi melah atmane (swargane) nanging yan jele laksanane dugase idup, jele polih- polihe tampina teken atmane, dadi jele atmane (naraka) Yuadin buka apa baan ngedenang pangupakarane, apang mangdane sida buung naraka, sinah tusing dadi. Umpama : cening malaksana jele (mamaling) tur patut sisip.

Bila baik perbuatannya semasih hidup, pahala yang baik akan diterima oleh atmanya, mendapat tempat yang baik atmanya (surga), namun

450

jika tidak baik perbuatannya saat hidup, tidak baik juga pahala yang akan diterima oleh atmanya, mendapat tempat yang tidak baik atmanya (neraka). Walau sebesar apapun upacara (yang dibuatkan) untuk membatalkan mendapat neraka, tentu tidak akan bisa, umpama : jika anakku berbuat tidak baik (mencuri) pasti disalahkan. Walau sebesar apa pun ayah membuat upacara agar bisa anakku tidak salah, pasti itu tidak akan mungkin. Jadi upacara tidak akan mampu untuk membatalkan hasil dari perbuatan seseorang di alam sana. Oleh karena itu selagi hidup diushakan untuk selalu berbuat yang terbaik sehingga tidak ada kesalahan yang ditebus kemudian, dan kebahagiaan akan terwujud hingga mampu untuk bertemu sang pencipta dan menuju asal semua yang ada di dunia ini. Buwina yan suba sida bahan ngundukang laksana kenehe sinah ngaranayang lantang tuwuh, dening kapah nepukin pakeweh (pangring), laksanane satata melah ngranayang nepukin rahayu, pageh salwiring gaenin, nyidayang asing kenehang magoba sakti, krana yuahna kapatutane wiadin kasugihanne buka tangan teken anake ane nyidayang ngundukan laksanan kenehe. Namun jika sudah berhasil mengendalikan jalannya keinginan akan menyebabkan panjang umur, karena jarang menemui rintangan, perbuatan yang selalu baik akan menemui kebahagiaan, teguh pada prinsip yang akan diperbuat, berhasil segala keinginan berupa kewibawaan, sebabnya kebenaran dan kekayaan akan ditemui oleh orang yang mampu mengendalikan keinginan (pikiran).

Intinya pengendalian diri mempunyai kedudukan yang paling tinggi sebagai pengikat indriya sehingga mampu untuk menekan segala emosi, ego, ambisi yang mengganggu, menggoda pikiran untuk menguasai hal-hal tertentu. Sehingga dengan keteguhan pada prinsip hidup yang akan membawa pada sinar kewibawaan diri karena hal itu melekat dari ketulusan hati sehingga akan menyempurnakan keinginan yang diharapkan. - Karmapata sepuluh macam pengendalian diri, tiga pengendalian pikiran, empat perbuatan pengendalian pikiran, tiga perbuat pengendalian tingkah laku. Disebutkan bahwa. Keto adan laksanane ane patut anggon ngundukang laksana kenehe, tur adasa bacakane. Lwire : laksanane klaksanayang bahan keneh tatelu bacakane, lwire : 1. Tusing jla irihati teken pagelahan anak. 2. Tusing gemes teken sarwa hidup. Ngugu ada mula paoliholihan salwring laksana jele wiadin melah.

451

Laksanayang bahan munyi patpat bacakane : 1. Munyi jele ngranayang nyakitin keneh 2. Munyi bangras 3. Munyi mamisuna 4. Munyi bobab (mokak) mrekak sekak Laksanane ento makapatpat eda pesan kenehanga lakar ngamunyiyang, apa buin ngamunyiang, makadi johang pesan uli dikenehe lakar mamunyi keto. Laksana 1. Ngamati-mati, ngamatiyang ane tuara patut matiyang. 2. Ngodag-ngodag, ngodagang ane tuara patut kodagang. 3. Parikosa, maksa ane tusing patut paksa. Ento maka tatelu eda pesan laksayanganga teken ane kagedegang, yuadin teken asing-asing anak, dening laksanane, kenehe, munyine, ngranayang anake demen, tuara demen teken anak, awanan laksanane melah stata laksanayang dikalane melaksana makeneh yuadin mamunyi. Sawireh keneh angranayang payu malaksana, mamunyi yuadin makeneh kene keto, awanan kenehe madewek wisesa. Ini namanya perbuatan yang dapat dipakai sebagai pengendali jalannya keinginan, serta bagiannya ada sepuluh, seperti : perbuatan yang bersumber dari pikiran ada tiga (pengendalinya) bagian, seperti: 1. Tidak merasa iri dengan kepunyaan orang lain. 2. Tidak menyakiti makhluk hidup. 3. Percaya dengan adanya karma phala yang merupakan hasil perbuatan baik dan buruk. Dari perkataan ada empat (pengendaliannya), yaitu : 1. Berkata yang menyebabkan orang lain sakit hati; 2. Menghardik; 3. Memfitnah; 4. Berkata bohong, sombong. Keempat hal tersebut hendaknya jangan diperbuat, apa lagi untuk mengucapkan hal itu, jauhkanlah hal itu dari pikiran untuk berkata demikian.

452

Dari perbuatan. 1. Membunuh, membunuh sesuatu yang tidak pantasnya dibunuh. 2. Mencuri, mencuri segala yang tidak patut dicuri. 3. Memperkosa, memaksa yang tidak patut dipaksa. Ketiga hal tersebut jangan diperbuat terhadap orang yang tidak disenangi, demikian pula terhadap orang lain, karena (kelakuan) perbuatan, perkataan dan pikiran yang membuat orang senang, sebabnya perbuatan baik selalu dilaksanakan, (disamping) berkata dan berpikir. Karena keinginan yang menyebabkan mampu berbuat, berkata dan berpikir itu, maka keinginan yang paling berkuasa. Jadi segala hal yang terkait dengan perkataan dan perbuatan hendaklah dipikirkan masak-masak terlebih dahulu agar tidak menimbulkan ketersinggungan walau kelihatannya amat sepele. Walau rambut sama hitam tetapi pikiran pasti tidak sama, setiap detik selalu berubah. Hendaknya segala perkataan dan sikap hendaknya dijaga guna terciptanya kebahagiaan dan kesenangan dalam pergaulan. Oleh karena itu di depan sudah disinggung bahwa sikap hormat dan tunduk hati mendominasi dalam pergaulan sehingga mampu menjadi penetral diantara yang tidak netral. - Menjelma, tidak ada yang lebih baik dari menjelma menjadi manusia. Berbahagialah menjelma menjadi manusia walau nista sekalipun. Sangat adil mendapatkannya. Penjelmaan menjadi manusia sebagai tangga untuk naik menuju taraf kehidupan bersatu dengan asalnya.
Semua penjelmaan baik manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, hanya penjelmaan sebagai manusia saja yang paling baik atau utama, karena hanya manusia saja yang dapat berbuat baik maupun buruk, demikian pula hanya manusia saja yang dapat memperbaiki perbuatan yang tidak baik dengan perbuatan yang baik. Demikian keutamaan menjelma menjadi manusia dbandingkan dengan penjelmaan yang lainnya dari manusia karenanya tidak sepantasnya manusia menyesalkan penjelmaannya walaupun keadaannya miskin sekalipun, karena sangat sulit untuk dapat menjelma menjadi manusia.

Disebutkan bahwa.

Intinya, sebagai manusia hendaknya bersyukur bisa mengetahui yang mana baik dan mana pula yang buruk. Serta yang sangat luar biasa adalah hidup sebagai manusia akan mampu menyeberangkan roh orang tuanya ke alam yang lebih indah yaitu ke Surga Loka. Oleh karena itu sebagai manusia harus bisa

453

membahagiakan orang tuanya walau keadaan miskin sekalipun, jangan pernah menyesal karena masih beruntung menjadi manusia. - Dharma, Perbuatan untuk mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Orang berbuat dharma itu bagai menggenangi air pada pohon tebu. Tidak tebu saja yang mendapatkan air, tetapi tumbuhan yang dekat dengannya juga akan merasakan genangan air itu. Disebutkan pula.
Keto adan laksanane ane anggon ngalih karahayuan (nepukin suarga) awanan yang manbuatang ngalih daging yuadin kalegan; dharma malu laksanayang sinah prajani bakat daginge yuadin kalegane. Demikian namanya perbuatan yang dipakai sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan (mencapai surga) karenanya bila ingin mendapat kekayaan dan kesenangan, dharmalah yang lebih dahulu diperbuat, pasti akan ketemu kekayaan dan kesenangan itu. Intinya, dengan berbuat yang baik maka segala kebahagiaan, kesenangan, kekayaan akan ditemui dengan segala kemurnian dan kesucian. Jika tidak dengan kebaikan dilakukan, bisa diperoleh semua itu tetapi terasa beban yang amt dalam bahkan belum waktunya sdah habis karena tidak pantas untuk memperolehnya.

- Sang Hyang Agama, bahwa di dunia ini banyak agama tetapi masing-masingagama mempunyai satu tujuan yaitu untuk mencari Tuhan. Disebutkan pula bahwa.
Keto karana cening buatang gati malajahin Agama, eda pisan maboya teken anak lingsir, nanging pepesan pesan parek mapinunas, dening tusing karowan dija-dija tongos dharmane, awanan paliyunin jalane tongos nunasang tur pepesang mapinunas. Itu sebabnya anakku, usahakan belajar agama, jangan menentang orang tua, namun sering-seringlah sujud dan mohon petunjuk, karena kita tidak akan tahu dimana letak kebaikan itu, karenanya perbanyak jalan untuk tempat memohon serta sering-seringlah memohon petunjuk. Disini diharapkan mengerti kedudukan anak tehadap orang tua, anak harus rajin sujud bakti pada orang tua karenanya kesuksesan dan kebahagiaan hidup akan tercapai dengan lebih sempurna, lebih suci dan lebih bijaksana. Karenanya sinar-sinar kewibawaan akan muncul dari ketulusan batin dan kebijakan diri dalam mengendalikan segala indriya.

454

Selain dari pitutur yang berasal dari tutur secara tertulis di atas, ada juga yang telah mentradisi secara lisan yang terucap tatkala ada seseorang menilai dirinya dan merasa lebih mampu dari yang lain, dengan ucapan kalimat.
Eda ngaden awak bisa depang anake ngadanin..... Jangan menilai dirimu bisa biarkanlah orang yang akan menilai atau menyebutkan.... Dan ketika adanya pertanyaan dari penjelasan orang tua kepada anaknya, karena pengetahuan orang tuanya terbatas, maka hanya dijawab. Anak mula keto Memang begitu

Hal-hal semacam itu sudah biasa dalam lokal wisdom di Bali. Hal itu bermakna bahwa agar menjadi manusia tidak bersikap sombong, intinya rendah hati, seberapapun kepintarannya dari yang lain. Serta hal lain kemungkinan karena terbatasnya pendidikan maka hanya dijawab memang begitu. Padahal masih ada jawaban yang lebih berbobot atau mengandung filsafat. Perlu disadari itulah keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Demikianlah kedua naskah lontar yang dijadikan acuan untuk bersikap bagi setiap generasi muda untuk memahami hakikat hidup ini sehingga mampu untuk menghidupkan wiweka jnana (mampu untuk menentukan mana hal yang baik dan yang buruk) sehingga akan menjadi putra suputra yaitu anak yang mamou menyeberangkan roh orang tuanya ke alam yang indah yaitu surga dan alam rohani.

DAFTAR PUSTAKA
Guruge, Ananda W.P. Proses Perencanaan Pendidikan. Surabaya : SIC Kerjasama LPM IKIP Surabaya Nugroho, Riant. 2008. Kebijakan Pendidikan Yang unggul. Jogjakarta : Pustaka Pelajar. Zoetmulder, P.J Bekerja sama dengan S.O. Robson., 2006. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

SALINAN NASKAH / LONTAR Anonim. 2003. Kajian Naskah Lontar Tutur Kumaratattwa. Denpasar : Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Anonim. 2004. Kajian Naskah Lontar Tutur Jatiswara. Denpasar : Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

455

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF PELAJARAN BAHASA BALI


I Nyoman Suwija IKIP PGRI BALI, Denpasar
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang dan Masalah alam rangka mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa, sektor pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting mendapatkan perhatian. Hanya melalui pendidikan yang berkualitas akan dapat melahirkan sumber daya manusia yang handal. Pendidikan yang baik pada masa pembangunan bangsa yang pelik ini adalah pendidikan yang melahirkan sumber daya manusia yang memiliki intelektualitas yang seimbang dengan moralitasnya. Dengan demikian pembangunan sektor pendidikan hendaknya dilandasi oleh nilai-nilai luhur karakter bangsa. Argumen di atas menghantarkan saya untuk menyepakati ide atau gagasan para insan pendidikan yang dimotori oleh Kementerian Pendidikan Nasional RI, yang mengangkat tema perayaan Hari Pendidikan Nasional tahun 2011, yaitu Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dengan subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pun telah mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mengimplementasikan tema dan subtema tersebut dengan ucapan Kita ingin bangsa Indonesia memiliki generasi unggul pada peringatan satu abad proklamasi kemerdekaan Indonesia. Generasi unggul adalah generasi yang memiliki karakter yang memenuhi kualifikasi unggul(2011:6). Mungkin kita semua setuju bahwa rendahnya martabat bangsa disebabkan rendahnya karakter bangsa yang dimiliki masyarakatnya. Manakala para elit politik dan elit pemerintahan sedang dilanda krisis kepercayaan maka dapat dipastikan akibat dari pergeseran nilai-nilai luhur yang patut dikedepankan. Dalam rangka membenahi negeri ini dari ancaman keterpurukan akibat ulah para pemimpin yang tidak jujur, banyak yang korup serta banyak yang terkena kasus suap dan sejenisnya yang tentunya banyak merugikan negara, maka mau tidak mau kita harus kembali ke jati diri bangsa ini, mengedepankan nilai-nilai luhur Pancasila yang sejak dahulu telah terbukti dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, presiden secara spesifik

456

mengedepankan lima hal penting, yaitu: (1) Manusia Indonesia hendaknya sungguh-sungguh bermoral, berakhlak, dan berperilaku baik. Oleh karena itu, masyarakat harus berwatak religius, beradab, dan anti kekerasan (2) Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang cerdas dan rasional, memiliki daya nalar yang tinggi, punya visi dan punya ide untuk membangun masa depan yang lebih baik (3) Manusia Indonesia ke depan harus semakin kreatif dan inovatif. Bekerja keras mengejar kemajuan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik (4) Bangsa Indonesia harus memperkuat semangat Harus Bisa (can do spirit), artinya, pantang menyerah, selalu berupaya mencari solusi dan akhirnya melaksanakan solusi tersebut (5) Semua anak negeri ini dari Sabang sampai Merauke harus menjadi patriot sejati yang mencintai bangsanya, negaranya, dan tanah airnya. Sekarang ini, kita tidak ingin menganut nasionalisme yang sempit (narrow nationalism), tetapi nasionalisme yang cerdas dan patriot yang sejati. Di sisi lain, Menteri Pendidikan Nasional, Bapak Mohammad Nuh (2011:8-9) menyatakan bahwa kebangkitan suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari sektor pendidikannya. Karakter pribadi seseorang sebagian besar dibentuk melalui proses pendidikan. Oleh karena itu, untuk membentuk pribadi yang terdidik dan bertanggung jawab, mutlak dibutuhkan pendidikan yang berkualitas. Mohammad Nuh sangat gencar mengampanyekan pendidikan untuk membentuk karakter bangsa. Dikatakannya bahwa kultur sekolah perlu dibangun karena kepribadian itu tidak hanya dibangun di dalam kelas, tetapi dipengaruhi oleh berbagai macam interaksi. Karakter unggullah yang akan dapat membangkitkan sebuah bangsa. Lebih jauh dikatakan bahwa pendidikan kita secara imperatif harus mampu membangun kembali karakter orisinil sebagai bangsa pejuang, tangguh, cerdas, cinta tanah air, santun, dan penuh kasih sayang. Menurut Mohammad Nuh (Diknas:8), dalam kaitan dengan pendidikan karakter bangsa, ada tiga lapis (layer) yang patut mendapat perhatian yaitu: (1) Tumbuhkan kesadaran bersama bahwa kita adalah mahluk Tuhan sehingga tidak boleh sombong, tidak boleh merasa paling super, dan akhirnya harus saling percayai dan saling menghargai (2) Membangun dan menumbuhkan karakter keilmuan yang sangat ditentukan oleh kepenasaran intelektual. Dari sinilah

457

akan muncul kreativitas dan produktivitas dan inovasi yang sangat menenmtukan daya saing bangsa (3) Pendidikan harus mampu menumbuhkan karakter kecintaan dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Kecintaan dibangun melalui rasa memilikii NKRI dan kebanggaan dibangun melalui sikap menumbuhkan tradisi budaya berprestasi (kontributif-positif). Menyinggung aplikasi dari konsep-konsep tadi, muncullah seruan Mendiknas kepada para guru untuk berkenan menjadi aktor tauladan dalam berbagai disiplin ilmu yang diampunya. Terkait dengan hal itu maka dalam sekolah formal ada empat faktor yang perlu disempurnakan yaitu (1) materi ajar, (2) metode pembelajaran, (3) guru, dan (3) kultur budaya sekolah. Berbagai seruan dari kementerian pendidikan tersebut muncul karena bangsa ini sedang mengalami masalah yang cukup serius. Persoalannya sekarang adalah: (1) Mampukah bangsa ini mengatasi persoalan negeri ini jika kembali pada jati dirinya? (2) Benarkah keterpurukan negeri ini disebabkan oleh rendaknya pendidikan karakter bangsa di kalangan pelajar? (3) Bagaimanakah caranya menerapkan pendidikan karakter bangsa itu? (4) Apakah masing-masing mata pelajaran termasuk Bahasa Daerah Bali dapat diperankan untuk menyampaikan nilai-nilai karakter bangsa? 1.2 Tujuan dan Manfaat Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan penulis dan peserta seminar tentang pendidikan karakter bangsa dan memberikan gambaran bahwa pendidikan bahasa daerah Bali memiliki ruang yang cukup banyak untuk menyelipkan pendidikan karakter bangsa yang cukup penting untuk dipahami dan dilaksanakan oleh para generasi muda Bali pada masa mendatang. Manfaat penelitian ini adalah untuk menjadi bahan masukan atau referensi bagi para pemegang kebijakan dalam dunia pendidikan dan dapat dijadikan acuan oleh para guru mata pelajaran bahasa Bali untuk menggali lebih jauh nilai-nilai karakter bangsa di dalam materi pembelajaran bahasa Bali. 2. Konsep dan Aplikasi Pendidikan Karakter 2.1 Konsep Pendidikan Karakter Ibnu Hamad, Kepala PIH Kemdiknas (2011:18) berpendapat bahwa tidak ada definisi tunggal untuk pendidikan karekter. Secara etimologis karekter berarti watak atau tabiat. Ada juga yang

458

menyamakan dengan kebiasaan dan ada juga yang menghubungkan dengan keyakinan atau akhlak. Dari pengertian tersebut maka jelaslah karakter terkait dengan masalah kejiwaan. Karenanya, karakter merupakan sistem keyakinan dan kebiasaan yang ada dalam diri seseorang yang mengarahkannya dalam bertingkah laku. Di manakah letak karekter itu dalam diri seseorang? Jawabannya, Pikiran menghasilkan ucapan; ucapan mempengaruhi tindakan; tindakan akan menghasilkan kebiasaan; kebiasaan membentuk karakter; dan karakter menentukan nasib. Jadi pikiran merupakan sumber sentral karakter seseorang. Pikiran yang baik akan menghasilkan perbuatan yang baik dan sebaliknya pikiran yang buruk melahirkan karakter yang buruk pula. Ini identik dengan ajaran Tri Kaya Parisudha umat Hindu, makanya tugas kita semua adalah mengendalikan pikiran agar menjadi perilaku yang baik. Pendapat Ibnu Hamad di atas melahirkan empat pilar nilai-nilai pendidikan karakter yaitu (1) olah pikir, (2) olah hati, (3) olah raga, dan (4) olah rasa/karsa. 1) Olah pikir, bermakna cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif. 2) Olah hati, bermakna beriman dan bertaqwa, jujur, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. 3) Olah raga, bermakna bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, handal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, kompetitif, ceria, dan gigih. 4) Olah rasa/karsa, bermakna ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. Bambang Indriyanto, Sektetaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar (2011:24) menegaskan bahwa pembangunan karakter merupakan hal yang sangat penting karena ia menyangkut kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Kemajuan dan perkembangan pembangunan akan berjalan timpang jika tidak didukung oleh SDM yang berkualitas dan berkarakter. Dasar hukum pendidikan berkarakter sudah jelas. Dalam UU RI No. 20 2003: Sistem Pendidikan Nasional, Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratrius serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional ini jelas-jelas menyasar karakter bangsa yang ideal. Hal inilah yang patut dipahami oleh para guru agar sanggup mengembangkan pesan-pesan pendidikan karekter melalui materi

459

ajar yang disusun dan disajikannya. 2.2 Aplikasi Pendidikan Karakter Setiap anak lahir ke dunia dalam keadaan fitrah dan suci. Proses sosialisasi masa usia dini, masa kanak-kanak dan remaja, lalu dewasa yang kemudian membentuk seseorang menjadi dirinya. Dulu, sebagian besar pembentukan kepribadian terjadi di keluarga. Pada masa sekarang, fungsi keluarga dalam pembentukan karakter anak dialihkan kepada lembaga sekolah. Para guru pun akhirnya menjadi tumpuan harapan masyarakat (Diknas, 2011:1). Para orang tua yang rata-rata sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya hampir tidak memiliki kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak-anak mereka. Hal inilah yang disinyalir merupakan ancaman baru dalam menjaga stabilitas keamanan di negeri tercinta ini. Menyadari akan hal itu, maka fungsi guru pada semua jenjang pendidikan menjadi teramat penting untuk dapat menyelipkan pesan-pesan karakter atau kepribadian kepada para anak didik. Saya juga ikut bersyukur karena pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) belakangan ini memberikan forsi khusus dalam pendidikan karakter. Hal itu dilakukan sejak pendidikan usia dini melalui level pendidikan usia dini (PAUD), level pendidikan menengah, dan juga pendidikan tinggi. Pendidikan karakter pun menjadi bagian dalam proses pendidikan formal yang diharapkan dapat melengkapi kualitas lulusan menjadi tidak hanya mampu dalam aspek kognitif, namun juga aspek afektif, dan psikomotor. Menurut Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar (2011:10), karakter ada yang universal dan abadi seperti nilai kejujuran dan disiplin, tetapi ada juga karakter yang mengikuti perkembangan zaman. Dalam upaya merevitalisasi dan meningkatkan efektivitas pendidikan karakter, kita perlu terus-menerus berupaya mencari metodologi dan strategi agar karakter bisa masuk dan tertanam kuat dalam kepribadian anak-anak. Pendidikan karakter merupakan proyek besar yang tidak mungkin dituntaskan oleh Kemendiknas sendiri, melainkan harus terbuka menerima masukan dan saran serta bantuan dari berbagai kalangan. Pendidikan karakter memerlukan agen perubahan, salah satunya adalah media. Sukemi, Staf Khusus bidang Komunikasi Media Kemendiknas (2011:12) mengatakan, karakter terdiri atas tiga unjuk perilaku yang saling berkaitan yaitu tahu arti kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berbuat baik. Ketiga substansi proses psikologi tersebut bermuara

460

pada kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata lain karakter dapat dimaknai sebagai kualitas pribadi yang baik. Aplikasi Pendidikan karakter bangsa tidak harus dengan menambah program tersendiri, melainkan bisa melalui transformasi budaya dan kehidupan di lingkungan sekolah. Melalui pendidikan karekter, semuanya komit untuk mengembangkan peserta didik menjadi pribadi yang utuh yang menginternalisasi kebajikan (tahu, mau), serta terbiasa mewujudkan kebajikan dalam kehidupan seharihari. Jadi, melalui pencana-ngan gerakan pendidikan karakter yang dilakukan pada puncak Hardiknas 2011, ingin dipertegas bahwa pendidikan karakter sangat penting, merupakan kebutuhan mutlak dalam hal membangun peradaban yang utuh dan unggul yaitu peradaban yang didasarkan pada nilai-nilai keilmuan dan kemuliaan kepribadian. Kata kuncinya adalah karakter itu ibarat ruh dari manusia, jika karakternya tidak benar, maka perilakunya juga tidak benar. Ditambahkan juga bahwa ada tiga kelompok pendidikan karakter yaitu (1) pendidikan karakter yang menumbuhkan kesadaran sebagai mahluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa, (2) pendidikan karakter yang terkait dengan keimuan, dan (3) pendidikan karakter yang menumbuhkan rasa cinta dan bangga menjadi masyarakat /orang Indonesia. Dalam hal pendidikan karakter yang terkait dengan keilmuan, metodologi dan materi pembelajaran yang merangsang tumbuhnya kepenasaran intelektual (ntelelectual curiosity) harus lebih ditonjolkan untuk membangun pola pikir, tradisi, dan budaya keilmuan yang memunculkan daya kreativitas dan inovasi. Di sini, peran guru menjadi sangat vital untuk mengelola bidang ilmunya sehiungga menjadi bahan konsumsi yang menarik dan secara sadar menyiratkan nilai-nilai karakter yang positif. Di sini pulalah guru harus mengerti bahwa pada setiap materi pembelajaran diupayakan ada ruang untuk menyelipkan pendidikan karakter. Yudhimulyanto, Kadis Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (2011:15) mengatakan pendidikan karakter dapat berkembang sangat kuat asalkan ditangani secara terencana dan bersinambungan. Bentuknya dapat bervariasi. Pendidikan karakter untuk seorang pelajar haruslah disesuaikan dengan peran dia sebagai pelajar. Dia dapat ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dari kesehariannya di sekolah, di rumah tangga, dan di lingkungan masyarakat. Dia harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya itu dan harus mampu menjaga etika kehidupan, bersikap sopan dan santun kepada teman

461

dan para gurunya, serta memiliki rasa percaya diri yang kuat bahwa dia adalah mahluk Tuhan yang tidak henti-hentinya untuk belajar. 3. Pendidikan Karakter dalam Materi Pelajaran Bahasa Bali Dalam tulisan yang berjudul Bangkitkan Karakter Berbahasa Indonesia, Yeyen Martyani, Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendiknas RI (2011:20) mengatakan bahwa dalam perilaku bahasa pun kita punya sejarah penting tentang kebangkitan karakter bangsa. Bagaimana para pemuda Indonesia bersumpah untuk berbahasa yang satu pada tahun 2008, nilai-nilainya patut dipakai landasan untuk bangkit memperbaiki bangsa ini. Kecintaan anak-anak negeri ini terhadap bahasa Indonesia telah teracuni oleh sikap xenofilia: kecenderungan perilaku, watak, atau karakter mengagungkan bahasa bangsa lain; tidak membanggakan bahasa sendiri. Contoh yang nyata, internasionalisasi standar pendidikan sering disalahartikan sebagai penggantian bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Kecenderungan sangat kuat, bahwa bahasa Indonesia lintas-kurikulum di sekolah-sekolah tidak difungsikan secara baik dan benar. Akibat penyakit xenofilia itu, pengajaran lintas-kurikulum berbasis bahasa asing dianggap lebih bergengsi dan dijadikan alasan bagi sekolah untuk menarik biaya lebih besar. Dalam hal itu sudah ada semacam euforia berbahasa asing di sekolah-sekolah yang berlabel standar internasi-onal dengan sikap merendahkan bahasa sendiri. Dalam dunia kerja juga terjadi hal yang serupa. Praktik berbahasa Indonesia semakin tidak populer. Makin sedikit kepedulian para pelaku pasar tenaga kerja akan pentingnya bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi kerja. Banyak tenaga asing yang direkrut bekerja di Indonesia, tetapi tidak pernah dituntut untuk memenuhi kualifikasi kompetensi bahasa Indonesia. Sebaliknya, tenaga kerja pribumi yang dituntut berbahasa asing dengan dalih akan bekerja dengan orang asing. Pemaparan Ibu Yeyen Martyani di atas membawa inspirasi tentang kondisi bahasa daerah Bali bagi masyarakat suku Bali. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi kehidupan ini telah berdampak negatif terhadap kebanggaan para generasi muda Bali dalam praktik berbahasa daerah Bali. Di satu sisi pemegang kebijakan yang merasakan bahwa bahasa Bali sebagai akar budaya Bali yang patut dipelihara dan dipertahankan masih memiliki komitmen yang sangat kuat untuk membina dan melestarikan bahasa daerah Bali. Hal ini terbukti dari keputusan pemeriuntah daerah menerapkan kurikulum muatan lokal bahasa daerah Bali dari SD sampai dengan

462

SLTA. Amanah ini tentunya patut dijaga oleh para guru bahasa daerah Bali. Tidak berlebihan bila dalam pencanangan pendidikan yang berbasis karanter bangsa ini untuk bersama-sama menggali nilainilai karakter bangsa yang tersirat di dalam materi pembelajaran bahasa Bali. Sudah tentu hal ini akan sangat berdampak potitif bagi kepentingan pembinaan etika dan moral para generasi muda kita di masa mendatang. Saya sebagai praktisi bahasa Bali sekaligus akademisi yang menekuni pembelajaran bahasa daerah Bali memiliki pandangan yang cukup baik bahwa sangat banyak nilai-nilai karakter bangsa yang dapat digali dari materi pembelajaran Bahasa Bali. Namun di dalam makalah ini hanya akan diungkap beberapa hal saja sebagai contoh yang tentunya diharapkan menjadi inspirasi bagi para guru pada setiap menyampaikan materi kepada anak didiknya dio sekolah masing-masing. 3.1 Karakter Bangsa dalam Pembelajaran Tembang Bali Pembelajaran tembang Bali meliputi tembang Bali tradisional dan tembang Bali moderen. Tembang Bali tradisional meliputi: (1) gegendingan (gending rar, gending jangr, gending sangiang), (2) sekar macapat atau sekar alit seperti pupuh-pupuh, (3) sekar madia atau tembang tengahan seperti kidung, dan (4) sekar agung atau tembang ged sepertii wirama. Sedangkan tembang Bali modern adalah lagu-lagu pop Bali. 3.1.1 Pendidikan Karakter dalam Tembang Bali Tradisional 1) Sekar Rare Putri Ayu Sekar rare ini merupakan bagian dari gegendingan, yaitu jenis tembang Bali yang bahasanya sederhana diperuntukkan bagi anakanak usia dini sampai pada tingkat sekolah dasar. Di sini dicontohkan salah satunya yang berjudul Putri Ayu.
Putri cening ayu, ngijeng cening jumah, meme luas malu, ka peken mablanja, apang ada daarang nasi. Meme tiang ngiring, ngijeng tiang jumah, sambilang mangempu, ajak tiang dadua di mulihne dong gapgapin. Terjemahannya: Putri cening ayu, diamlah nanda di rumah, ibu pergi dahalu, ke pasar berbelanja, agar ada dimakankan nasi. Ibu saya sanggup, saya menunggu di rumah, sambil mengasuh adik, saya berdua, pulangnya, tolong bawakan oleh-oleh.

463

Di dalam dua bait teks lagu Bali (tembang rare) ini ada nilai karakter yang ditanamkan oleh seorang ibu kepada anaknya, Ibunya berpesan kepada sang anak agar menunggu rumah karena akan ditinggal pergi ke pasar. Etika yang telah ditanamkan kepada anakanak di Bali tidak boleh melawan atau mengingkari perintah orang tua. Orang-orang yang berani melanggar perintah orang tua, sering melawan orang tua, membenci orang tuanya, tidak setia atau tidak menghormati orang tua disebut alpaka guru rupaka dan dosanya sangat besar. Orang Bali mengatakan bahwa orang tua terutama si ibu adalah Dewa Sekala Dewa Nyata dalam kehidupan ini. 2) Pupuh Ginanti Pupuh Ginanti adalah salah satu dari sepuluh pupuh dalam kesusastraan tembang Bali tradisional. Pupuh-pupuh ini merupakan bait-bait puisi yang disusun sesuai ketentuan pola atau struktur tembangnya masing-masing dan biasanya digunakan untuk membangun sebuah karya sastra puisi naratif yang disebut geguritan. Berikut disajikan satu bait Pupuh Ginanti yang sarat dengan nilai pendidikan karakter untuk para pelajar.
Saking tuhu manah guru, mituturin cening jani, kawruhane luir senjata, ne dadi prabotang sai, kaanggen ngaruruh merta, saenun ceninge urip. Terjemahannya: Dengan serius pikiran seorang guru, menasihati nanda sekarang, pengetahuan itu bagaikan senjata, yang bisa dipat diperalat sehari-hari, dipakai mencari nafkah, selagi ayat dikandung badan.

Teks Pupuh Ginanti ini mengajarkan kepada anak-anak bahwa pengetahuan itu maha penting, bagaikan senjata dalam hidup ini, yang dapat dipakai mencari nafkah. Jika diandaikan dia sebagai pancing, maka setiap hari pancing itu dapat dipakai mengail atau menangkap ikan. Oleh karena itu, lagu ini mengajarkan semuanya rajin belajar agar nantinya memiliki pengetahuan yang cukup untuk bekal kehidupan. Orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tak obahnya denmgan orang buta. Dengan demikian, kebodohan adalah musuh manusia yang paling utama dan harus diperangi. 2) Pupuh Ginada Tidak jauh berbeda dengan Pupuh Ginanti, Pupuh Ginada ini

464

juga salah satu dari sepuluh pupuh dalam kesusastraan tembang Bali tradisional. Yang berbeda hanya padalingsanya dan tembangnya. Yang dimaksud padalingsa adalah jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata pada masing-masing barus, dan suaru (vokal) akhir masing-masing bait. Dengan sendirinya tembang atau lagunya yang berbeda. Pupuh-pupuh Ginada juga merupakan bait-bait puisi yang biasa digunakan untuk membangun sebuah karya sastra puisi naratif yang disebut geguritan. Berikut disajikan satu bait Pupuh Ginada yang banyak dikenal masyarakat Bali dan sarat dengan pendidikan karakter.
Eda ngadn awak bisa, depang anak ngadanin, geginan buka nyampat, anak sai tumbuh luhu, ilang luhu buk katah, yadin ririh, liu enu paplajahan.

Terjemahan: Jangan menganggap diri pintar, biarkanlah orang lain yang menamai, kehidupan ini bagaikan orang menyapu, akan sering tumbuh kotoran, habis sampah masih banyak debu, walaupun pintar, masih banyak yang perlu dipelajari.

Satu bait Pupuh Ginada ini memberikan pendidikan karakter tentang tata krama merendahkan diri. Tidak boleh sombong, tidak boleh merasa diri super dan atau pintar, biarkanlah orang lain yang memberi merek. Artinya penilaian orang lain akan lebih objektif daripada penilaian diri-sendiri. Dalam hidup ini kita tidak boleh takebur karena hidup ini bagaikan orang menyapu, setiap hari akan ada sampah yang patut disaupu hingga bersih. Jika sampah itu habis, tentu masih banyak debu yang juga patut dibersihkan. Artinya, sepintar apa pun seseorang, masih banyak yang patut dipelajari. 3) Pupuh Sinom Pupuh Sinom merupakan jenis pupuh yang paling panjang, terdiri atas 10 bait. Pupuh Sinom yang hampir terdapat di berbagai geguritan di Bali memiliki watak romantis yang dapat dipakai memberikan nasihat, dipakai berdialog dan sebagainya. Hampir satiap geguritan yang menggunakan multipupuh memakai Pupuh Sinom. Pupuh Sinom ini banyak digemari oleh para pecinta tembang Bali karena memiliki

465

banyak jenis irama (tembang). Pupuh Sinom juga banyak dipakai dalam pembelajaran tembang Bali di sekolah-sekolah. Berikut ini dikutip satu bait Pupuh Sinom yang diambil dari Geguritan Tamtam yang kebetulan mengandung nilai pendidikan karakter.
Dabdabang dwa dabdabang, mungpung dwa kari alit, malajah ningkahang awak, dharma patut gugonin, eda pati iri ati, duleg kapin anak lacur, eda bonggan tekening awak, lagut kaucap ririh, eda ndn sumbung, mangunggulang awak bisa. Terjemahan: Hati-hatilah nak, hati-hatilah! berhubung nanda masih kecil, belajarlah bertingkah laku, dharma kebenaran itulah yang dikukuhkan, jangan sering irihati, meremehkan orang miskin, jangan terlalu membanggakan diri, walaupun disebut pintar, janganlah sombong, mengunggulkan diri pintar.

Arti dan makna satu bait Pupuh Sinom ini ada kemiripan dengan Pupuh Ginada tadi. Di sini ditegaskan kembali bahwa seorang anak harus memiliki etika pergaulan yang santun. Setiap saat hendaknya berhati-hati dalam berbicara dan bertindak, serta selalu mengkuhkan ajaran dharma. Tidak boleh irihati, tidak boleh meremehkan orangorang yang tidak mampu, walaupun pintar tidak boleh terlalu membanggakan diri dan juga tidak sombong walaupun sudah tergolong orang-orang terdidik. 3.1.2 Contoh Pendidikan Karakter dalam Lagu Pop Bali
Lagu Pop Bali Bungan Sandat Yen gumanti bajang, tan bina ya pucuk nedeng kembang, Di suba ya layu, tan ada ngarunguang ngemasin makutang, Becik malaksana, eda gumanti dadi kembang bintang, Mentik di rurunge, makejang mangempok raris kaentungang, To i bungan sandat, salayu-layu layune miik, to ya nyandang tulad saurupe malaksana becik Para truna-truni mangda saling asah asih asuh, Manyama beraya pakukuhin rahayu kapanggih. Terjemahannya:

466

Pesan karakter bangsa yang penting di dalam teks lagu pop Bali Bungan Sandat ini adalah tata cara hidup menjadi remaja atau pemuda. Sedapat mungkin diserukan untuk meniru si bunga Sandat, bukan si bunga Kembang Bintang. Bunga Sandat itu selalu diminati banyak orang untuk kebutuhan menghoasi sesajen dan walaupun sudah layu, baunya masih tetap harum. Sementara si kembang bintang adalah jenis bunga yang tumbuh di pinggir jalan, tidak pernah dipakai bahan sesajen, paling banter dipetik oleh sembarang orang, lalu dibuangnya. Di samping itu, ada petunjuk kepada para generasi muda untuk hidup saling asah (saling berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk kebaikan), saling asih (saling menyayangi), dan saling asuh (menumbuhkan sikap saling membantu atau tolong-menolong). Ditambahkan pula bahwa kalau ingin hidup selamat dan lebih sejahtera, hendaknya mengukuhkan kehidupan manyama beraya (menjaga hubungan baik dengan sanak saudara, keluarga besar, dan masyarakat sekitarnya). 3.2 Karakter Bangsa dalam Pembelajaran Satua (Dongeng Bali) Mungkin sama dengan daerah lainnya di Indonesia, di Bali cukup banyak terdapat cerita rakyat yang diajarkan secara turun temurun tanpa diketahui siapa pengarangnya. Cerita-cerita tersebut yang di Bali disebut satua pada dasarnya merupakan alat untuk mendidik perilaku santun bagi anak-anak pada masa lampau. Banyak kalangan yang mempercayai bahwa ketika dunia hiburan untuk anak-anak tidak marak seperti sekarang, satua-satua itu cukup ampuh untuk mentransfer nilai-nilai kehidupan. Di Bali cukup banyak ada satua Bali yang sampai saat ini masih digunakan sebagai salah satu materi pembelajaran bahasa daerah Bali. Perhatikan contoh berikut! 3.2.1 Satua Men Siap Selem Ada kon katuturan satua Mn Siap Selem. Ngelah kon ia panak pepitu. An paling cerika enu kon ulagan. tusing ngelah bulu. Kacritayang jani, Mn Siap Selem sedeng ngalih amahan di tengah alas. Sagt ada angin nglinus tur ujan bales. Sawirh tusing nyidang mulih, Mn Siap Selem

Kalau menjadi orang bujang, tak obahnya bunga pucuk sedang mekar, Kalau dia sudah layu, tak ada yang memperhatikan dan terbuang. Berbuatlah yang baik, janganlah menjadi bunga kembang bintang, tumbuh di jalanan, semuanya memetik lalu dibuang. Itulah si bunga sandat, sampai layu dia tetap harum, itulah yang patut ditiru, semasa hidupnya berbuat baik Para muda-mudi supaya saling asah, asih, dan asuh, Kehidupan manyama beraya dikukuhkan, akan menemui keselamatan.

467

nginep di umahn Mng Kuuk.

Ditu Mng Kuuk ngka daya apang sida ngamah panak-panakn Mn Siap Selem. Sasuban nyaluk peteng, Mn Siap Selem ajaka panakn nenem, suba makeber sakaukud. Enu I Ulagan medem di sampingan batun. Teka Mng Kuuk, jeg spanan nyaplok batun kadna ento panak siap. Mng Kuuk ngeling sengi-sengi sawirh gigin pungak nyagrep batu.

Satua Men Siap Selem ini mengisahkan dua tokoh yang berbeda karakter. Men Siap Selem dikisahkan sebagai sosok individu yang berkarakter baik-baik, sedangkan Meng Kuuk sebagai tokoh jahat. Pada akhirnya Meng Kuuk yang berniat jahat ingin memangsa semua anak Men Siap Selem mendapatkan malapetaka, giginya rontok akibat menyergap batu yang dikira anak-anak ayam. Jadi satua ini bertema ajaran Karma Phala. Barang siapa berbuat baik akan memetik pahala yang baik, sementara yang menanam kejahatan akan memetik buah karma yang tidak baik. Guru dapat memakai satua ini untuk mendidikan anak-nak untuk selalu berbuat kebajikan tidak punya keinginan untuk menyengsarakan orang lain. 3.2.2 Satua I Belog Ada katuturan anak cerik muani madan I Belog. Ia orahina ka peken meli bbk an baat-baat ban mmnn. Dimulihn, ulung kon bbk di tlabah. Tengkejut ia ningalin bbk kambang. Ditu ia marasa uluk-uluka ban dagang. Tigtiga bbk kanti makejang mati, laut ia mulih. Teked jumahn, mmn an tengkejut sawirh ia tusing ngaba bbk. I Belog nuturang bbkn suba makejang mati katigtig, sawirh ia suba nagih bbk baat-baat, nanging baanga bnbk puyung, kambang di tlabah. Mmnn ngopak tur makaengan ngelah pianak belog buka adan. Ento awanan cerik-cerik tusing dadi males, jemetang malajah apang tusing belog. Manut ajahan agama, belog ento tuah musuh an utama. Satua I Belog ini dapat dicermati mengandung nilai-nilai pendidikan karakter bangsa yang pada hakikatnya memberikan petunjuk bahwa anak-anak harus menjadi orang-orang pintar tidak menjadi anak-anak yang bodoh seperti I Belog. Untuk menjadi orang yang pintar tentunya harus bersedia selalu rajin belajar dan rajin bekerja membantu orang tua. Pendidikan karakter bangsa menyasar perilaku yang selalu kreatif dan inovatif, cerdas dalam menghadapi problematika kehidupan. Sangat tidak baik jika pada era ini kita menjadi orang-orang yang bodoh atau menjadi orang yang buta aksara dan sama sekali tidak mengerti persoalan kehidupan yang baik. Kuncinya adalah dengan berupaya selalu mengisi diri dengan slogan

468

tiada hari tanpa belajar. 3.2.3 Wiracarita Bhagawan Domya Kacarita wnten Sang Pandita, san maparab Bhagawan Domya, san madu sisia tigang diri: Sang Utamanyu, Sang Arunika, miwah Sang Wda. Makatiga sisan punika kauji, napi k sayuakti bhakti ring guru? Tata caran idan nguji utawi mintonin. Sang Arunika kandikayang makarya nandur pantun ring carik. Sang Utamaniu kandikain ngangonang lembu, Sang Weda makarya ring parantenan. Makatetiga sisiane punika sampun kapaica kaweruhan mawinan ri kala ngamargiang swagina soang-soang nenten pisan dados ngidih pitulung anake tiosan. Kaceritayang makatetiga sisianidane prasida ngamargiang titah sang maraga guru antuk becik pisan, mawinan sami kaicenin panugrahan mangda setata mangguhang kasukan sekala sidhi mantra, sandi ngucap. Kisah kehidupan berguru pada cerita Bhagawan Domya ini juga mengandung nilai pendidikan dan sekaligus pendidikan karakter bangsa. Kata kunci tema cerita ini adalah kesetiaan atau kesanggupan murid untuk mentaati sagala ajaran dan petuah serta petunjuk dari para gurunya. Murid yang taat akan perintah dan ajaran guru pastilah akan menjadi murid yang sukses menggapai cita-cita. Sang Arunika, Sang Abimaniu dan Sang Weda adalah contoh sisia atau murid dari Bhagawan Domya yang taat pada perintah gurunya, ketiganya memperoleh anugrah yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya. 3.3 Karakter Bangsa dalam Paribasa Bali Paribasa Bali merupakan jenis-jenis ungkapan berbahasa Bali yang sengaja sering digunakan oleh penutur bahasa Bali dengan tujuan untuk menambah greget atau menambah manisnya penampilan seseorang dalam pembicaraannya. Jadi dapat dikatakan materi pelajaran ini sering dipakai membumbui pembicaraan yang sedikit terselubung maknanya tetapi cukup mudah dipahami. Jenisjenis ungkapan ini cukup banyak tergolong wacana kearifan lokal yang dirasakan mengandung nilai-nilai sindiran, cemoohan, pujian, dan sejenisnya sehingga dapat dirasakan mengandung nuansa pendidikan karakter bangsa yang patut diketahui oleh para guru. Jika guru memahami dengan baik makna ungkapan-ungkapan tersebut, maka setiap saat dapat dipakai untuk menyampaikan ajaran etika dan moral demi kebaikan. Dari 16 jenis ungkapan paribasa Bali yang ada, dicontohkan 2 jenis untuk melihat nilai katakter.

469

3.3.1 Seseonggan Seseonggan adalah salah satu jenis ungkapan tradisional Bali yang dipakai mengungkap keadaan atau tingkahlaku manusia dengan perbandingan binatang atau barang. Misalnya: 1) Payuk prungpung misi berem Tegesnyane, kabaosang ring anake sane rupanipun kaon, nanging daging manah ipune utama pisan. Jika seseorang memiliki wajah yang tidak cantik atau tidak tampan, maka dia akan menjadi orang yang terhormat atau disegani bilamana perilakunya, isi hatinya, dan pemikirannya selalu baikbaik. 2) Sapuntul-puntulan besine, yen suba sangih pedas dadi mangan. Tegesipun, lamunapi ja belog/tambet anake, yening sampun jemet malajah, janten pacang dados anak dueg/wikan. Makna atau kandungan pendidikan karakter sasonggan ini adalah mengajak para siswa untuk selalu rajin belajar, karena jika rajin belajar, yang bodoh pun akan menjadi pintar. Dan yang sudah pintar tentu bertambah pintar lagi. 3.3.2 Sesenggakan Sesenggakan adalah salah satu jenis ungkapan tradisional Bali yang dipakai mengungkap keadaan manusia dengan perbendingan binatang atau barang. Bedanya dengan sasonggan terletak pada bentuk (struktur) luarnya. Sesenggakan menggunakan atau diaawali dengan kata buka, kadi, luir Misalnya: 1) Buka sandate di teba, bungane alap, punyane kiladin. Bagaikan pohon sandat di teba (belakang rumah), bunganya dipetik dan pohonnya diolesi kotoran Ada kalanya seorang laki-laki atau perempuan yang tidak bisa menghormati mertua. Ketika dia sudah berhasil mengambil anak orang dijadikan istri/suami, dia merasa bahwa pasangannya itu sudah mutlak menjadi miliknya. Hal inilah yang menyebabkan dia tidak bisa menaruh perhatian atau tidak hormat terhadap mertiuanya. Perilaku ini tentu sangat keliru. 2) Buka naar krupuke gedenan kroakan Bagaikan orang yang makan krupuk, hanya suaranya yang besar. Dalam bahasa Indonesia juga ada Air beriak tanda tak dalam. Makna ungkapan ini mengandung pendidikan karakter yang mengajarkan tidak baik jadi orang yang banyak berbicara namun tidak terbukti dia memiliki kemampuan atau kelebihan. Lebih baik sedikit bicara banyak bekerja daripada banyak bicara namun

470

tidak berbuat apa-apa. 3.3.3 Sloka Paribasa Bali yang tergolong jenis sloka juga tidak jauh berbeda dengan dua paribasa sebelumnya. Bedanya hanya dimukanya dibubuhi ucapan buka slokane, kadi slokan jagate, atau buka slokan gumine, Perhatikan contoh berikut! 1) Buka slokane, Suarga tumut papa mangsul Disebutkan dalam sloka Bahagia diam, menderita kembali Sloka ini mengandung makna bahwa ada orang yang ketika dia menggapai kebahagiaan dia tidak hirau siapa-siapa, diam saja, tetapi ketika dia menemui kesengsaraan, baru kemudian dia ribut minta belas kasihan. 2) Buka slokane, Tusing ada lemete elung. Disebutkan dalam sloka Tidak ada yang lemas itu patah Di dalam sloka ini dapat dipetik petuah karakter bangsa yang dalam bahasa Indonesia dikenal Mengalah demi menang. Jadi, seseorang yang santun, lemah lembut, tidak suka bersitegang, mau mengakui kekurangan diri, pada akhirnya akan mencapai keselamatan. Jarang yang demikian menemui akibat yang patal. Sedangkan tidak jarang orang yang bersikap kasar atau kaku, kurang menerima atau mengakui kelebihan orang lain akan menemui jalan buntu. 3.4 Karakter Bangsa dalam Anggah-ungguhing Basa Bali Berbicara bahasa Bali tidak sama dengan berbahasa Indonesia dan bahasa asing karena bahasa Bali memiliki sistem anggah-ungguhing basa Bali (tingkat-tingkatan bicara bahasa Bali). Dalam berbicara, orang Bali akan menempatkan diri sebagai orang yang patut menghormati orang lain. Siapa pun sedang berbiacara bahasa Bali wajib hukumnya untuk merendahkan diri dengan bahasa alus sor dan menghormati orang lain dengan bahasa alus singgih. Nilai-nilai pendidikan karakter bangsa dengan jelas dapat disimak dalam pembicaraan bahasa Bali Alus. Bahasa Bali Alus adalah tingkatan bicara bahasa Bali yang menggunakan pilihan kata-kata basa alus dengan maksud untuk menghormati lawan bicara dan orang yang dibicarakan. Orang-orang yang dikenai kata-kata tingkatan alus adalah orang yang berstatus sosial lebih tinggi dari si pembicara. Lewat bahasa alus ini sesungguhnya masyarakat Bali sudah terdidik perilakunya untuk menghormati orang yang patut dihormati. Jika dilihat nilai karakter bangsa di sini, sistem bicara bahasa Bali ini

471

sekaligus berfungsi untuk menuntun perilaku santun orang Bali. Jika ada seorang keturunan orang kebanyakan (wangsa Jaba) membicarakan orang lain yang keturunan Brahmana misalnya, orang tersebut akan memilih kata-kata bahasa Bali alus singgih untuk menyebut keadaan, milik, atau perilaku brahmana yang dibicarakan. Misalnya: 1. Ida Bagus Aji nenten jagi durus mabebaosan rahinane mangkin. (Asi) Ida Bagus Aji tidak akan jadi berbicara hari ini. Bandingkan dengan, 2. Bapak Made tusing payu lakar ngraos dinane jani. (Andap) Bapak Made tidakakan jadi berbicara hari ini. Kalimat (1) tergolong jenis kalimat Asi (Alus Singgih). Kalimat tersebut digunakan untuk menceritakan keadaan seorang Triwangsa (Ida Bagus Aji) yang dari segi lapisan masyarakat tradisional disebut sang singgih (golongan atas). Sementara kalimat (2) adalah kalimat Andap yang nilai rasanya biasa atau lepas hormat karena dipakai membicarakan Bapak Made yang terlahir sebagai masyarakat golongan bawah (wangsa Jaba). Walaupun demikian, perlu diingat bahwa tidak selamnya Bapak Made mendapat perlakuan seperti itu. Bagaimana halnya jika Bapak Made berstatus seorang pejabat fungsional dosen yang senior dan patut dihormati? Seorang mahasiswa yang akan datang ke rumah Pak Made dan menggunakan bahasa Bali akan menggunakan kalimatkalimat Alus Singgih. Walaupun misalnya mahasiswa tersebut berasal dari keturunan bangsawan (triwangsa). Misalmnya: 3) Ampura Pak Made, bapak wenten ring jero mangkin, titiang jadi parek nunas tanda tangan. Kalimat (3) ini menandai bahwa status sosial Pak Made dari wangsa Jaba yang kemudian menjadi pejabat fungsional dosen menyebabkan mahasiswanya mengubah bahasa dari basa andap ke basa alus. Mahasiswa menyebut rumah Pak Made menjadi jero (Asi). Demikian seterusnya. Nilai-nilai sosial dalam berbasa Bali ini dapat diangkat untuk memperkaya pendidikan karakter. 4. Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Berdasarkan paparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendidikan karakter bangsa telah menjadi wacana nasional yang patut direvitalisasi bersama-sama untuk dapat disosialisasikan pada

472

setiap kesempatan untuk menjaga stabilitas bangsa, sekaligus untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Aplikasi pendidikan karakter bangsa tidak perlu melalui bidang studi khusus, melainkan dapat dilakukan oleh berbagai elemen bangsa, baik melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal. Dalam pendidikan formal semua guru hendaknya memiliki pengertian bahwa materi pembelajarannya memang mengandung dan atau memiliki peluang untuk disisipi pendidikan karakter bangsa. Materi pembelajaran bahasa Bali yang sangat kental dengan nilai-nilai budaya Bali dan agama Hindu sangat banyak mengandung nilai-nilai karakter bangsa. Dengan demikian peran para guru bahasa Bali menjadi sangat strategis dalam penanaman nilai-nilai pendidikan karakter. 4.2 Saran Memahami banyaknya peluang guru bahasa Bali untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan karakter melalui materi pelajarannya, maka mau tidak mau para guru harus sanggup meenggali dan membumbui materi pembelajarannya untuk dijadikan media dalam pendidikan karekter. Penyusunan buku-buku pelajaran pun hendaknya selalu mempertimbangkan hal itu. DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pendidikan Provinsi Bali. 2006. Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Daerah Bali untuk SMA/SMK. Denpasar. Hamad, Ibnu. 2011. Pendidikan Karakter dan Kearifan Lokal Majalah Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta. Indriyanto, Bambang. 2011. Pembangunan Karakter Tugas Besar Sekolah dan Masyarakat Majalah Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta. Kementerian Pendidikan Nasional RI. 2011. Revitalisasi Pendidikan Karakter. Majalah Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta. Maryani, Yeyen. 2011. Bangkitkan Karakter Berbahasa Indonesia Majalah Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta. Naryana, Ida Bagus. Udara. 1983. Anggah-ungguhing Basa Bali dan Peranannya Sebagai Alat Komunikasi Bagi Masyarakat Suku Bali. Denpasar: Fak Sastra Universitas Udayana. Nuh, Mohammad. 2011. Karakter Unggul untuk Menggapai Kebangkitan Bangsa Majalah Diknas: Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta. Simpen AB, 1980. Basita Parihasa. Denpasar. Sukemi. 2011. Mencanagkan Gerakan Pendidikan Karakter Majalah Diknas, Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta. Suwija, 2011. Sari Kuliah Mabaos Bali 1. Materi Kuliah Berbicara Bahasa Bali, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Semni, IKIP PGRI Bali: Denpasar.

473

Suyanto. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah Perlu Direvitalisasi Majalah Diknas Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta. Yudhimulyanto, Taufik. 2011. Kembangkan Pendidikan Karakter yang Aplikatif Majalah Diknas, Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta. Yudhoyono, Soesilo Bambang. 2011. Mari Kita Kerja Keras Melalui jalur Pendidikan Majalah Diknas, Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta.

474

POLA PERUBAHAN PENGGARAPAN PERTANIAN PADA MASYARAKAT DESA TIRTASARI: Kajian Berdasarkan Pendekatan Postmodern
Ketut Yarsama IKIP PGRI BALI, Denpasar
1. Pendahuluan ebudayaan merupakan alat adaptasi manusia dalam menghadapi lingkungannya untuk dimanfaatkan, diubah, dijinakkan atau dilestarikan. Kebudayaan bersifat integratif dan meliputi berbagai institusi budaya yang dapat bertambah kompleksnya peradaban. Kebudayaan ialah produk segala kegiatan manusia untuk bertahan hidup, memperpanjang organ-organ biologisnya, memperluas ruang dan merentang waktu, serta memperbesar tenaga (T. Jakob, dalam Bagus, 1995: 2). Salah satu institut S1 adalah ilmu pengetahuan, yang juga mempelajari kebudayaan sendiri bahkan otak sendiri sebagai alat pemikir dan pengendali kegiatan. Menurut Koentjaraningrat (1986: 248), proses akulturasi atau kontak budaya terjadi dalam berbagai kehidupan social dimana kelompok manusia dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Dari kedua pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai jangkauan yang kompleks dan sifatnya dinamis. Bagus (1992: 13) menyatakan bahwa dalam membina dan mengembangkan secara dinamis unsur budaya pada perspektif pembangunan yang berkelanjutan harus ditekankan pada kreativitasnya sesuai dengan tahap perkembangan masing-masing budaya di Indonesia dengan berdasarkan ketahanan nasional. Unsur-unsur budaya asli yang eksistensinya diakui sebagai bagian dari kebudayaan nasional, merupakan khasanah yang telah terangkat ke permukaan menjadi puncak-puncak budaya, baik dalam aspek seni, system nilai maupun aspek kepranataan. Era sebelum kemerdekaan dan pembangunan nasional seperti sekarang ini, keaslian wujud budaya dalam dimensi pikir, perilaku, dan fisik masih nyata sekali menunjukkan bentuk-bentuk tradisional

475

tetapi unik. Namun karena pembangunan itu merupakan kebutuhan dan tuntutan masyarakat masa depan yang makin berkembang maju, tradisionalisme itu bukan menjadi hambatan. Konsekuensi pergeseran nilai adalah hal yang Iumrah di dalam setiap event perubahan masyarakat. Hanya saja perubahan yang terjadi itu tidak bersifat baku hantam. Pembongkaran tradisionalisme hendaknya bersifat selektif, karena tidak seluruhnya usang, bahkan sebaliknya banyak yang perlu dipelihara dan dilestarikan (Kumara, 1995: 19). Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, memperluas lapangan kerja, dan meningkatkan eksport. Untuk itu perlu dilanjutkan dan ditingkatkan usaha-usaha diversifikasi, intensifikasi, dan rehabilitasi pertanian yang dilaksanakan secara terpadu (GBHN, 1988). Secara umum telah diketahui beras adalah bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga beras tidak saja merupakan komoditi ekonomi dan sosial, tetapi juga dapat mempengaruhi kondisi politik (Lana, 1994: 2). Upaya pelestarian swasembada beras menghadapi tantangan karena makin menciutnya lahan pertanian dan tahun ke tahun. Menurut Sunaryo, dalam Taher (1990), penyusutan areal sawah produktif di Indonesia berkisar antara 10.000-20.000 ha per tahun. Di lain pihak jumlah penduduk yang membutuhkan beras terus meningkat. Untuk memecahkan masalah ini salah satu persoalan perlu dipecahkan adalah bagaimanakah cara meningkatkan produktivitas tanaman padi? Untuk mengatasi atau menjawab persoalan tersebut, masyarakat Desa Tirtasari sebagai salah satu desa yang terletak di Kecamatan Banjar, Kabupaten Tingkat II Buleleng ikut juga berpartisipasi mengatasi masalah tersebut. Dengan demikian, program pemerintah untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi bukan hanya dilakukan oleh masyarakat yang ada di kota, melainkan juga masyarakat di desa. Hal ini sesuai dengan pendapat Kumara (1995: 20), perubahan-perubahan pola kehidupan masyarakat tidak hanya terjadi di daerah perkotaan saja, tetapi juga terjadi di daerah pedesaan. Dengan mencermati pendapat di atas, ternyata perubahan budaya bukan hanya terjadi di daerah perkotaan melainkan juga di pedesaan. Hanya saja intensitas perubahan yang terjadi berbeda. Bisa saja pada masyarakat perkotaan perubahan budaya itu berjalan dengan cepat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Perubahan budaya diakibatkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor penyebabnya adalah faktor lingkungan. Penulis sangat setuju dengan pendapat

476

Sukardja, yakni kebudayaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Contoh, masyarakat yang tinggal di pantai akan terbentuk budaya pantai, masyarakat yang tinggal di dataran akan terbentuk budaya kota, masyarakat yang tmggal di pegunungan akan terbentuk budaya petani, dan sebagainya. Terkait dengan contoh yang dikemukakan oleh Sukardja, tersebut maka masyarakat Desa Tirtasari, yang letaknya di daerah pegunungan, sebagian besar penduduknya sebagai petani, dengan sendirinya muncul budaya petani. Penduduk atau masyarakat Desa Tirtasari di samping sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani, juga sebagian besar beragama Hindu. Sebagai umat yang beragama Hindu maka di desa tersebut dibangun Pura Puseh/Pura Desa, Pura Subak, dan Pura Dalem. Ketiga pura tersebut disungsung oleh semua anggota masyarakat Desa Tirtasari, baik anggota masyarakat yang berada di Banjar Dangin Margi maupun Dauh Margi. Di samping ada pura, masing-masing banjar tersebut mempunyai juga tempat pemujaan/bangunan suci yang disebut Sanggah. Masing-masing Sanggah disungsung oleh keluarga Sanggah yang bersangkutan. Di Banjar Dangin Margi ada tiga sekeha Sanggah, sedangkan di Banjar Dauh Margi ada tujuh sekeha Sanggah, Upacara keagamaan yang dilakukan oleh anggota masyarakat Desa Tirtasari berjalan sesuai dengan kaidah atau norma agama Hindu. Di samping anggota masyarakat Desa Tirtasari melaksanakan upacara keagamaan, mereka juga tidak lupa untuk bekerja, karena sebagian besar anggota masyarakat (penduduk) Desa Tirtasari bermata pencaharian sebagai petani maka mereka sudah tentu mengerjakan sawah, ada juga anggota masyarakat yang mengerjakan kebun, dan ada pula beberapa orang yang mengerjakan sawah dan kebun. Dalam tulisan ini akan diulas atau diuraikan pola penggarapan tanah sawah bukan penggarapan kebunnya. Bagaimanakah pola penggarapan tanah sawah oleh petani yang ada di masyarakat Desa Tirtasari? Untuk memecahkan atau menjawab pertanyaan tersebut dipandang perlu diadakan penelitian lapangan. Adapun alasan penulis untuk membahas persoalan ini adalah sebagai berikut: a. Penulis sendiri adalah anak seorang petani yang dilahirkan dan dibesarkan di Desa Tirtasari. b. Penulis melihat adanya perubahan pola penggarapan tanah sawah oleh petani yang ada di Desa Tirtasari. c. Dewasa ini, pemerintah sudah menaruh perhatian yang baik untuk meningkatkan kesejahteraan hidup petani. Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang perlu

477

dipecahkan adalah bagaimanakah pola perubahan penggarapan pertanian pada masyarakat Desa Tirtasari? Supaya arah yang ditempuh semakin pasti, sudah tentu diperlukan tujuan yang jelas pula. Dengan tujuan yang jelas maka sasaran yang ingin dicapai lebih terarah. Bertitik tolak pada latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui atau memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai pola perubahan penggarapan pertanian pada masyarakat Desa Tirtasari. Untuk memecahkan masalah yang telah diuraikan di atas maka diperlukan suatu metode. Metode mempunyai peranan yang sangat vital untuk memecahkan objek yang dikaji. Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan di atas, metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode observasi, interview (wawancara), dan kepustakaan. Menurut Hadi (1992: 136), metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematis fenornena-fenomena yang diselidiki. Metode observasi dipakai karena penulis langsung mengadakan pengamatan ke lapangan yaitu ke areal tanah sawah petani di Desa Tirtasari. Penulis juga mewawancarai sejumlah petani yang berkaitan dengan cara dan upaya yang mereka lakukan untuk memperoleh hasil/panen padi yang baik. Di samping itu, penulis menggunakan metode kepustakaan. Dengan metode ini, penulis mencari sumber-sumber atau bahan-bahan pustaka yang relevan dengan masalah yang dikaji. Dengan menerapkan ketiga metode pengumpulan data tersebut diharapkan data yang diperoleh valid. Metode pengolahan data yang digunakan dalam kajian ini adalah metode analisis deskriptif. Penulis mengadakan pengkajian atau penganalisisan setiap fenomena yang muncul, selanjutnya data disusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum. Pengkajian hasil analisis data dengan memaparkan pola perubahan penggarapan pertanian. Pola perubahan penggarapan pertanian tersebut dipaparkan dengan metode informal, yaitu paparan yang menggunakan rumusan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1988: 144). 2. Pembahasan 2.1 Sistem Religi Marret dalam Sukardja (2000) mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya sering kagum akan hal-hal serta peristiwa yang gaib dan luar biasa dan tidak dapat diterangkan dengan akal realitas.

478

Dengan demikian, timbul keyakinan bahwa kekuatan gaib itu ada dalam segala hal yang sifatnya luar biasa (pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, gejala alam, dan benda-benda lainnya) Muncul keyakinan dan emosi keagamaan tingkah laku upacara untuk menetralisir gejala yang dianggap merugikan dan kalau mungkin diubah agar bisa menguntungkan. Menurut Koentjaraningrat, ada tiga teori dalam sistem religi ini yaitu (1) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada keyakinan religi; (2) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada sikap manusia terhadap alam gaib atau hal yang l ; dan (3) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada upacara religi (1987 : 58). Tokoh-tokoh yang mempergunakan pendekatan pertama antara lain : A. Lang, R.R. Marret, dan A.C. Kruyt. Seorang tokoh yang mempergunakan pendekatan yang kedua adalah R. Otto, sedangkan tokoh-tokoh yang mempergunakan pendekatan yang ketiga adalah W. Robertson Smith, K.Th. Preusz, R. Herz, dan A van Gennep. Seorang tokoh yang mempergunakan pendekatan yang mengkombinasikan ketiga orientasi tersebut adalah N. Soderblom. 2.1.1 Teori-Teori yang Berorientasi Kepada Keyakinan Religi Teori Lang tentang Dewa Tertinggi. Andrew Lang (1844-1912) adalah seorang sastrawan Inggris yang banyak menulis sajak dan essei untuk majalah Times. Ada sebuah buku yang mengandung teori tentang bentuk religi yang kuno, berjudul The Making of Religion (1898). Lang ingin mengecam teori Taylor, ia kemudian menyatakan bahwa dalam jiwa manusia ada suatu kemampuan gaib yang dapat bekerja lebih kuat dengan makin lemahnya aktivitas pikiran manusia yang rasional. Lang menemukan tokoh dewa yang oleh suku-suku bangsa yang bersangkutan dianggap dewa tertinggi, pencipta seluruh alam semesta beserta isinya, penjaga ketertiban alam dan kesusilaan. Marret dalam Koentjaraningrat menyatakan bahwa bentuk religi yang tertua adalah berdasarkan keyakinan manusia akan adanya kekuatan gaib dalam hal-hal yang luar biasa dan yang menjadi sebab tiinbulnya gejala-gejala yang tidak dapat dilakukan manusia biasa (1987: 60). A.C. Kruyt dalam Koentjaraningrat (1987: 62) mengembangkan suatu teori mengenai bentuk religi manusia primitif atau manusia kuno, yang berpusat kepada suatu kekuatan gaib yang serupa dengan kekuatan mana dan kekuatan supernatural. Lebih lanjut mengatakan bahwa manusia primitif atau manusia zaman kuno pada umumnya

479

yakin akan adanya suatu zat halus yang memberi kekuatan hidup dan gerak kepada banyak hal di dalam alam semesta ini. 2.1.2 Teori yang Berorientasi kepada Sikap Manusia terhadap hal yang Gaib Konsepsi mengenai azas religi yang berorientasi kepada sikap manusia dalam menghadapi dunia gaib atau hal yang gaib berasal dari ahli teologi Rudolf Otto. Menurut Otto dalam Koentjaraningrat (1987 : 65), semua sistem religi, kepercayaan, dan agama di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang gaib (mysterius) yang dianggap maha dahsyat (tremendum) dan keramat (sacer) oleh manusia. Sifat dan hal yang gaib serta keramat itu adalah maha abadi, maha dahsyat, maha baik, maha adil, maha bijaksana, tidak terlihat, tidak berubah, tidak terbatas, dan sebagainya. Pokoknya, sifatnya pada azasnya sulit dilukiskan dengan bahasa manusia, karena hal yang gaib serta keramat itu memang memiliki sifat-sifat yang sebenarnya tidak mungkin dapat dicapai oleh pikiran dan akal manusia. Unsur penting dalam setiap sistem religi, kepercayaan atau agama, yaitu suatu emosi atau getaran jiwa yang sangat mendalam, yang disebabkan karena sikap kagum-terpesona terhadap hal-hal yang gaib dan keramat. 2.1.3 Teori-Teori yang Berorientasi kepada Upacara Reigi Teori mengenai azas-azas religi yang mendekati masalahnya dengan cara yang berbeda dengan teori-teori yang diuraikan di atas, adalah teori Robertson Smith tentang upacara bersaji. Perbedaan itu terletak pada teoriinya, yang tidak berpangkal pada analisis sistem keyakinan atau pelajaran doktrin dan religi, tetapi berpangkal pada upacaranya (Koentjaraningrat, 1987: 67). Robertson Smith dalam Koentjaraningrat (1987 67-68) mengemukakan tiga gagasan penting dalam sistem religi dan agama. Pertama, di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara merupakan suatu perwujudan religi atau agama yang memerlukan studi khusus. Dalam banyak agama upacaranya itu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud, dan doktrinnya berubah. Kedua, upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersamasama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Ketiga, teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada pokoknya upacara bersaji, di mana manusia menyajikan sebagian dan

480

seekor binatang, terutama darahnya kepada dewa kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya. Fungsinya untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dalam hal ini dewa atau para dewa dipandang sebagai warga komunitas, walaupun sebagian warga yang istimewa. K.T. Preusz dalam Koentjaraningrat (1987 : 68) mengatakan bahwa wujud religi yang tertua berupa tindakan-tindakan manusia untuk mengadakan keperluan-keperluan hidunya yang tidak dicapai secara naluri atau akalnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pusat dan setiap sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara. 2.2 Komponen-Komponen Religi Menurut Soderbiom dalam Koentjaraningrat (1987 80), ada lima komponen religi yang mempunyai peranannya sendiri-sendiri, tetapi sebagai bagian dan suatu sistem berkaitan erat satu dengan yang lain. Kelima komponen itu, yaitu : (1) emosi keagamaan; (2) sistem keyakinan; (3) sistem ritus dan upacara; (4) peralatan ritus dan upacara; (5) umat agama. Emosi keagamaan yang menyebabkan bahwa manusia mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Soederblom dalam Koentjaraningrat (1987) menyebutkan bahwa emosi keagamaan adalah sikap takut bercampur percaya kepada hal yang gaib serta keramat. Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia, yang menyatakan keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dan alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, makhluk halus lainnya. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lain, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya itu. Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja. Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacammacam sarana dan peralatan, seperti : tempat atau gedung pemujaan (mesjid, langgar, gereja, pura, pagoda, stupa, dan lain-lain), patung dewa, patung orang suci, dan para pelaku upacara sering kali harus menggunakan pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci.

481

Komponen kelima dan sistem religi adalah umatnya atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta upacara itu. Secara antropologi dan sosiologi, kesatuan sosial yang bersifat umat agama dapat berwujud: (1) keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan yang lain, (2) kelompok kekerabatan yang lebih besar; (3) kesatuan kornunitas; (4) organisasi atau gerakan religi seperti organisasi penyiaran agama. 2.3 Teori Struktural Menurut Radcliffe Brown dalam Koentjaraningrat (1987: 180), yang dimaksud struktur sosial adalah sebagai berikut. 1) Masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta sebenarnya terdiri atas serangkaian gejala-gejala yang disebut gejala sosial. 2) Masyarakat yang hidup sebenarnya juga merupakan suatu kelas dan gejala gejala di antara gejala-gejala alam yang lain. 3) Suatu masyarakat yang hidup merupakan suatu sistem sosial dan suatu sistem sosial rnempunyai struktur. 4) Suatu struktur sosial merupakan total dan janingan hubungan antara individu individu atau lebih, baik person-person dan kelompok-kelompok person. 5) Bentuk dan struktur sosial adalah tetap dan kalau toh berubah, proses itu biasanya berjalan lambat, sedangkan realitas struktur sosial atau wujud dan struktur sosial, yaitu person-person atau kelompok-kelompok yang ada di dalainnya, selalu berubah dan berganti. 6) Struktur sosial dapat juga dipakai sebagai kriterium untuk menentukan batas dan suatu sistem sosial atau suatu kesatuan masyarakat sebagai organisasi. 2.4 Materialisme Budaya Teori materialisme budaya yang dikemukakan Marvin Harris (1977) dalam Sukardja, diajukan penafsiran materialisme yang mengisyaratkan adanya rasionalitas tersembunyi, berupa adaptasi ekologis, bagi seperangkat praktek kehidupan budaya, yang pada permukaannya melambangkan ketidakrasionalitasan manusia dalam selubung budaya. Contoh: ternak suci di India-sapi adalah alat bantu pertanian dan produsen susu. Korban manusia dan kanibalisme dalam masyarakat Aztek-sebagai akibat beban jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan lahan pertanian dan binatang buruannya.

482

2.5 Latar Belakang Teoritis Postmodernisme Pemikiran atau ide tentang postmodernisrne dimulai dengan adanya diskusi-diskusi baik lewat media massa maupun seminar pada tahun 1993. Diskusi yang dilakukan bukan berhenti pada tahun itu saja, melainkan masih berlanjut. Masyarakat umum merasakan bahwa postmodernisme memberikan hal-hal baru yang menyegarkan dan membebaskan kita dan belenggu formalisme teoritis modernis. Postmodernisme bukanlah sebuah teori yang begitu saja jatuh dan langit. Benih filosofisnya sudah ada pada filsafat Nietzsche akhir abad ke-19 dan aspek fisika sudah dimulai oleh Thomas Khun. Thomas Khun mempunyai andil terbesar terhadap dasar perkembangan teori postmodemisme. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari teori paradigma dalam hubungannya dengan postmodernisme, yaitu (1) istilah paradig sendiri dan konsekuensinya, (2) ketidakpastian kebenaran, dan (3) kebenaran menurut konvensi. Paradigma adalah keseluruhan konstelasi baik dari teknik-teknik rasional maupun sistem-sistem kepercayaan yang ada tidak atau dapat diberlakukan sebagai sebuah pedoman riset (Suyoto, dkk., 1994 : 4). Pandangan panadigmatis ini dijadikan pijakan teoritis postmodernisme yang memandang bahwa tidak ada hubungan vertikal atau subordinat antara dunia rasional dan irasional di dalam realitas. Menurut Jean Francois Lyotard dalam Suyoto, dkk. Edit (1994: 5), ilmu pengetahuan telah kehilangan narasi besarnya (grand narrative) yaitu argumentasi rasionalitasnya, sehingga kepastian kebenaranpun telah kehilangan legitimasi. Lebih lanjut dikatakan di dalam masyarakat maju, yaitu masyarakat yang serba komputerisasi hidupnya, ilmu pengetahuan tidak lagi mendapat kredibilitas pada kebenarannya melainkan pada sifat gunanya, sehingga ia tidak lepas dari jarring-jaring perdagangan dan kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu. Transformasi besar dalam teori paradigma Kuhn memiliki konsekuensi besar bagi teori postmodernisme di dalam memahami sejarah. Postmodemisme mempersoalkan kembali nilai-nilai irasionalitas tradisional dan menganggap rasionalitas modernisme hanyalah mistifikasi represif belaka, demi efesiensi sebuah status-quo. Postmodernisme bukanlah sebuah teori yang original, tetapi lahir dari latar belakang historis tertentu dan dipengaruhi oleh teorii-teori yang relevan.

483

2.6 Pengertian Postmodernisme Keyakinan akan kemampuan untuk menemukan kebenaran merupakan salah satu cara dunia yang sering disebut dunia yang modern Progress, kemajuan, rasionalitas, dan teknologi adalah hal yang menjadi ideologi mereka yang menganggap dirinya modern. Goenawan Mohammad dalam Suyoto, dkk. Edit (1994 : 10) menyebut era postmodern sebagai era kebutuhan, malah ia mengaitkan ide postmodern (khususnya Heidegger) sebagai upaya memberi legitimasi pada gerakan-gerakan kaum Nazi. Arief Budiman dalam Suyoto, dkk. Edit, (1994: 10) meminjam argumen Pauline Marie Rosenan, membedakan antara postmodern yang skeptis (yang menggaris bawahi kontrakdiksi dalam setiap teori) serta post modern yang afirmatif (yang mempertanyakan kebenaran teori besar untuk kemudian menuju teori yang lebih kecil). Menurut Jean-Francois Lyotard dalam Suyoto, dkk. Edit. (1994 : 11), postmodernisme berarti pencarian ketidakstabilan (instabilities). Kalau pengetahuan modern mencari kestabilan melalui metodologi dengan kebenaran sebagai titik akhir pencarian, pengetahuan postmodern meminjam argumen Lyotard ditandai oleh runtuhnya kebenaran, rasionalitas, dan objektivitas. Prinsip dasarnya bukan benar-salah, tetapi apa yang oleh Lyotard disebut dengan paralogy, membiarkan segala sesuatunya terbuka, untuk kemudian sensitif terhadap perbedaan-perbedaan. Stabilitas dan kebenaran menjadi problematik dalam pengetahuan postmodern, karena bahasa dan benak manusia tidak bebas dan distorsi. Di pihak lain realitas sosial selalu muncul dalam bentuknya yang serba tercampur. Sebagai epistemologi, ide-ide postmodern juga memiliki sejumlah paralel (untuk tidak mengatakan sama) dengan ide kaum poststrukturalis, seperti Jacques Derrida dan Michell Foucault. Bagi kita di Indonesia, paseamodernisme sebagai konsep memang suatu hal baru. Tetapi, seperti gejala pemikiran, pascamodernisme bisa dilihat dan dicari gejalanya dalam perkembangan intelektual. Kita sebenamya sudah lama mengalami masa modern, walaupun proses modemisasi yang direkayasa, baru terjadi secara nyata pada dasa warsa 70-an. Masa modern itu bisa diirnerpretasikan sudah terjadi di Indonesia sejak zaman kolonial. Post-Modernisme (Posmo) adalah aliran pemikiran yang sekaligus menjadi gerakan yang bereaksi terhadap kegagalan manusia menciptakan dunia yang lebih baik. Bagi penganut Posmo, manusia tidak akan mengetahui realitas yang objektil dan benar. Yang diketahui

484

manusia hanyalah sebuah versi dan realitas. Gerakan Posmo, seperti dinyatakan oleh Pauline Marie Rosenan dalam Suyoto, dkk. Edit, (1994 22), terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu Posmo yang skeptis (PS) dan Posmo Afirmatif (PA). PS berhenti pada perdebatan epistemologi tentang pengertian manusia. Melalui metode dekonstruksi, yakni melakukan analisisi kritis, mereka menunjukkan adanya kontradiksi dalam teori apa pun. Tetapi kelompok PS tidak memberikan alternatif. Oleh karena itu, timbul kesan yang kuat bahwa aliran PS cendrung larut dalarn aliran pemikiran nihilisme. PA melangkah lebih jauh Mereka juga tidak percaya path kebenara teori yang ada, terutama teori besar. Kian besar sebuah teori yang kebenarannya mencakup ruang dan waktu yang bias, kian lemah. Sebab teori itu menjadi makin absthk dan makin jauh dan yang mau direpresentasikannya. 2.7 Postmodernisme dan Problematikanya Kultur Barat kini meniasiJci apa yang sering dikenal dengan era postmodern atau pascamodern. Gerakan kultural dan filosofis ini banyak mengundang reaksi pro-kontra. Kadang ia dianggap sebagai gejala kemandegan pemikiran Barat, yang tidak mampu lagi menghasilkan gagasan-gagasan besar. Kadang ia pun dipahami sebagai konsekuensi logis dan rasionalisme yang berlebihan dan represif. Istilah postmodernisme konon mulanya muncul dalam arsitektur. Sejak 1950-an istilah ini populer di dunia sastra-budaya. Di bidang filsafat dan ilmu ilmu sosial, postmodemisme barn menggema 1970an. Tidak ada definisi yang pasti mengenai istilah itu, karena sejak ia dilabelkan pada berbagai bidang tersebut, terjadi pertentangan pendapat. Tentu saja ada yang pro maupunm kontra terhadap pandangan postmodernisme. Jurgen Habermas, misalnya, menganggap rasionalisasi (modemisasi) sebagai proyek pencerahan belum selesai (modernity as unfinish protect) di dunia Barat, terlebih-lebih di negaranegara yang barn merangkak ke modernisasi. Senada dengan Ilabermas, Giddens dalam Suyoto (1994 28) menolak bahwa era sekarang adalah era postmodem. Malah ia menyebutnya sebagai high modernity. Habermas dengan sikap kritis dan tajam mengamati tendensitendensi postmodern dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya. Menurutnya, asal usul konsep postmodemitas sendiri layak diteliti. Kelemahan mendasar pemikiran postmodern adalah pemahamannya

485

yang ahistoris dan netral atas konsep modernitas itu. Habennas menganggap postmodern termasuk dalam modernitas. Dengan demikian, postmodern sebagai istilah yang baru masih memuncukan suatu problem atau masalah yang perlu sebagai istilah yang baru masih memunculkan suatu problem atau masalah yang perlu dikaji dan diseskripsikan lebih intensif lagi. Di kalangan sebagian intelektual kaum muda di tanah air, postmodernisme menjadi kosa kata barn yang penuh daya tank. Mereka mendiskusikan postmodemisme dalam hubungannya dengan agama, sastra, politik, atau pun kultur dalam pengertian yang luas. Di negara Eropa dan Amerika Serikat unsur-unsur modernitas telah mengalami kematangan dan bahkan menjadi ekses. Postmodernisme menjadi semacam respon kreatif atas ekses modernitas itu. Namun, kenyataan sosial di Indonesia sangatlah berbeda. Unsurunsur modernitas bukan saja belum mencapai ekses, bahkan belum sampai pada tingkat kematangannya. Mengambil postmodemisme sebagai sikap intelektual dan model berpikir, terasa sebagai kegenitan yang terlepas dan situasi masyarakat kita sendiri. Postmodernisme hanya dapat dipahami secara utuh jika ia dikaitkan dengan modernitas. Modernitas bersandar pada tiga unsur, yaitu akal budi, ilmu pengetahuan, dan antroposentnisme. Ketiga unsur tersebut bergabung menjadi satu dan membentuk paham modernitas. Di Indonesia, ketiga unsur modernitas itu baru tumbuh dan justru harus didukung ui4uk sampai pada tingkat kematangannya. Mengambil postmodemisme adalah sikap melompat. Kita dapat mencontohkan kegiatan menanak nasi sebagai analog, di dunia Barat, nasi sudah matang, dengan sendirinya api harus dikecilkan agar nasi tiak Sedangkan kita di sini, nasi belumlah matang, mengapa pula ap harus dikecilkan. 2.8 Pola Peuggarapan Pertanian Masyarakat Desa Tirtasari Penduduk (masyarakat) Desa Tirtasari sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani dan sebagian besar beragama Hindu. Sebagai umat yang beragama Hindu, upacara keagamaan berjalan dengan balk. Buktinya setiap enam bulan sekali ada upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh, beberapa bulan benikutnya upacara Dewa Yadnya juga dilaksanakan di Pura Dalem. Enam bulan berikutnya dilaksanakan upacara Dewa Yadnya di Pura Subak. Di samping upacara Dewa Yadnya, masyarakat Desa Tirtasari juga melaksanakan upacara Bhuta Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Rsi Yadnya. Dengan demikian, masyarakat Desa Tirtasari sampai sekarang ini masih yakin

486

akan - kebesaran Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi).Prinsip yang mereka pegang adalah berdoa, bekerja, dan berniasyarakat. Prinsip berdoa yang dimaksud yakni anggota masyarakat mendahulukan sujud atau bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan) sebelum melakukan pekerjaan atau aktifitas. Prinsip bekerja, maksudnya mereka melaksanakan pekerjaan/aktifitas dengan tekun dan ulet. Bennasyarakat artinya anggota masyarakat Desa Tirtasari di dalam kehidupan sehari-hari mencerminkan sikap saling menghormati, menghargai, dan menolong antar sesama warga. Ketiga prinsip di atas dipegang oleh semua anggota masyarakat Desa Tirtasari dan berbagai profesilpekerjaan. Apakah ia seorang petani, pegawai negeri atau swasta, atau sebagai pengusaha. Karena ketiga prinsip itu dilaksanakan dengan baik maka sampai sekarang ini (ketika tulisan ini dibuat) tidak ada seorang warga yang kesepekang. Kesepekang maksudnya dikucilkan atau dijauhkan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kasus adat tidak pemah terjadi di Desa Tirtasari. Seperti yang telah diunaikan di atas, anggota masyarakat Desa Tirtasari sebagian besar sebagai petani. Pekerjaan sebagai petani sudah tentu tugas pokoknya adalah mengerjakan tanah persawahan dengan baik agan produktifitas tanaman padi dapat mencapai hasil yang optimal. Pam petani selain memilih hari yang baik (ayuning dewasa) yang berhubungan pertanian juga memilih cocoknya tanah, bibit, musim, serta pemeliharaan sebaik-baiknya. Supaya produktifitas tanaman padi mencapai hasil yang maksimal maka semua komponen tersebut mendapat perhatian dan petani di Desa Tirtasari. Kegiatan awal petani yakni memilih bibit padi yang unggul. Mulai mewinih (membibit padi) juga mencari hari yang baik. Tujuannya adalah agar bibit padi yang ditanam nantinya dapat hidup subur. Setelah membibit padi, petani mencangkul tanah. Di dalam mencangkul tanah sawah, petani bukan bekerja sendirian. Sebelum tahun 90-an seorang petani di dalam menggarap tanah sawah dengan pola penggarapan ngajak. Ngajak maksudnya suatu kegiatan yang dilaksanakan secara bersama-sama tanpa memperoleh imbalan/jasa yang berupa uang. Seorang petani, yang bernama, Pan Sudeken menceritakan pengalamannya menggarap sawah miliknya. Dia mengatakan, dulu sebelum tahun 90-an dalam mencangkul tanah sawah digarap atau dikerjakan dengan sistem ngajak. Pan Sudeken memberitahukan warga yang lain, misalnya Pan Taman, Pan Suwini, Pan Suwela, Pan Kariam, dan Pan Jumu bahwa lagi tiga hari akan ngajak numbeg. Kelima orang yang diberitahu itu pun menyanggupi. Pan Sudeken

487

dan Men Sudeken hanya mempersiapkan minuman yaitu minuman kopi dan makanan. Satu hari sebelum hari H-nya, Pan Sudekin Men Sudeken sibuk mempersiapkan makanan dan minuman. Pada hari H-nya kelima orang itu datang ke tanah sawah milik Pan Sudeken. Mereka bekerja dengan tekun dan ulet. Kira kira pukul 10.00 Wita datanglah Men Sudeken ke sawah untuk membawakan makanan dan minuman. Mereka berhenti bekerja lalu makan bersama-sama. Sambil makan mereka bercakap-cakap tentang cam mengeijakan sawah yang baik sehingga hasil padinya banyak. Sesudah makan dan minum mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Penggarapan tanah sawah selanjutnya seperti malikang, melasah, memula juga digarap secara ngajak. Malikang maksudnya tanah yang sudah dicangkul pada tahap awal, kembali dicangkul lagi. Melasah maksudnya tanah yang sudah kembali dicangkul lalu diratakan, sehingga keadaan tanah sawah posisinya datar dan rata. Memula artinya menanam bibit padi. Sebelum padi itu ditanam, Men Sudeken melaksanakan upacara persembahyangan dengan tujuan memohon kehadapan Dewi Sri agar padi yang ia tanam tumbuh subur dan terhindar dan ganguan penyakit. Setelah tanaman padi itu berumur kira-kira satu bulan, Pan Sudeken memberi pupuk tanaman padi tersebut. Demikian juga dengan pengairan dilakukan secara teratur.Kira-kira padi itu sudah berumur empat bulan maka sudah siap untuk dipanen. Warga masyarakat yang lain melaksanakan pekerjaan menuai padi dengan mendapatkan imbalan yang berupa gabah. Sebelum padi itu dipanen, Men Sudeken juga melakukan upacara persembahyangan di tempat pemujaan Dewi Sri sebagai upcara bersyukur karena padinya dapat hidup dengan subur dan buah yang jelih. Jell artinya buah padi itu kualitasnya baik. Kepercayaan atau keyakinan para petani terhadap keagungan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan) sangat besar. Hal ini terbukti pengamatan penulis terhadap setiap tanah sawah yang dikerjakan oleh setiap petani ada tempat pemujaan (sejenis pelinggih / tempat suci). Penggarai? tanah sawah seperti yang dikerjakan oleh Pan Sudeken ternyata juga dilakukan oleh petani yang lain. Penulis langsung mewawancarai lima orang petani, yaitu Pan Narmi, Pan Suta, Pan Resten, Pan cerana, dan Pan Kasta. Kelima petani itu mengatakan bahwa penggarapan tanah sawah yang dikerjakan dengan sistem ngajak. Pola penggarapan tanah sawah dengan sistem ngajakang itu

488

hanya terjadi sampai tahun 1990. Mulai tahun 1991 sampai sekarang temyata penggarapan tanah sawah bukan lagi digarap dengan pola ngajak melainkan dengan pola ngupahang. Ngupahang artinya menyuruh orang lain untuk menggarap tanah sawah dengan memberikan upah/imbalan berupa uang. Sistem ngupahang ada dua jenis, yaitu dengan gaji harian dan borongan. Gaji harian rnaksudnya mereka sudah membuat kesepakatan untuk menggaji mereka sehari misalnya Rp.15.000,00 (lima belas ribu rupiah). Jadi, upah dalam satu hari kerja sudah dipastikan. Sedangkan upah dengan sistem borongan maksudnya upah atau gaji yang diterima bukan dihitung harian, melainkan ditentukan berapa luas tanah yang digarap dengan upah yang telah disepakati. Misalnya, upah numbeg mencangkul seluas tanah 10 are diberikan upah borongan Rp..500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Berapa hari dia mencangkul tanah seluas 10 are itu maka ia tetap menerima upah Rp500.000,00. Penggarapan tanah sawah yang berikutnya seperti malikang, melasah, dan memula juga dengan sistem ngupahang. Penggarapan yang masih berlaku sampai sekarang ini adalah menuai padi. Pada saat menuai padi, orang yang menuai bukan mendapat upah/gaji berupa uang, melainkan dalam bentuk gabah. Misalnya, orang yang menuai padi (memanyi atau mederep) memperoleh gabah lima ember. Orang yang memiliki tanah tersebut memperoleh empat ember sedangkan orang yang menuai (mederep) mendapat satu ember. Pola penggarapan tanah sawah oleh petani yang ada di Desa Tirtasari masih bersifat tradisional. Dikatakan tradisional karena penggarapan tanah sawah belum menggunakan alat-alat yang modem seperti traktor. 3. Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Masyarakat Desa Tirtasari pada umuninya dan petani pada khususnya mempunyai keyakinan atau kepercayaan yang kuat terhadap Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Hal ini dibuktikan dengan dibangun Pura Puseh, Pura Dalem, dan Pura Subak dan diadakan upacara (yadnya), yakni Panca Yadnya secara teratur. Setiap tanah sawah yang digarap petani ternyata ada tempat suci sebagai tempat pemujaan Dewi Sri. Pola penggarapan tanah sawah oleh petani di Desa Tirtasari sebelum tahun 1990 sebagian besar dengan sistem ngajak. Mulai tahun 1991 sampai sekarang pola penggarapan tanah sawah dengan sistem ngupahang. Dengan demikian ada pola perubahan penggarapan pertanian dan sistem ngajakang ke sistem ngupahang. Penggarapan

489

pertanian yang masih bertahan yakni penggarapan menua (memanyi atau mederep). Dan dulu sampai sekarang, upah yang mereka terima adalah dalam bentuk gabah bukan berupa uang.

DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I Gusti Ngurah. 1992. Hubungan Pariwisata dengan Budaya di Indonesia Prospek dan Masalahnya. Dalam Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah VIII. Tahun ke-4. 2 Mei 1992. Bagus, I Gusti Ngurah. 1995. Menumbuhkembangkan Budaya Ilmu di Universitas Udayana. Denpasar Depdikbud Unud. Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : Universitas Indonesia. Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta Aksara Baru. Kumara, I Nyoman. 1995. Kharisma dan Kemampuan Banjar sebagai Komunitas Tradisional dalam Menangkal Ekses Negatif Perubahan Sosial di Bali dalam Majalah Kopertis Wilayah VIII. Tahun ke-7 Oktober 1995. Lana, Wayan. 1994. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi Varietas IR-36 dan IR-64 pada Berbagai Tinggi Penggenangan dalam Majalah Ilmiah. Kopertis Wilayah VII Tahun ke-16, I Oktober 1994. Suastawan, I Nyoman Goya. 1993. Analisis Perbandingan Penyerapan Tenaga Kerja dan Pendapatan Antara Tiga Pola Pengelolaan Usaha Tami Tembakau Virginia dalam Majalah Ilrniah Kopertis Wilayah VIII. Tahun ke15, 2 Mei 1993. Suyoto, dkk. 1994. Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban. Yogyakarta: Aditya Media. Sunaryo, H.S.dkk. 1997. Perkembangan Ludruk di Jawa Timur Kajian Analisis Wacana. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Tah A. 1990. Perpaduan Dunia Transmigrasi dan Pengeiolaan Sawah B Baru di Indonesia dalam Seminar Fakultas Pertanian Universitas Ekasakti, Padang.

490

PESAN TIPIKAL DRIJI DALAM BUDAYA JAWA


Daru Winarti dan Sulistyowati Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
1. Pengantar anusia menyampaikan lebih dari duapertiga pesan-pesan mereka melalui tubuh; 700.000 tanda fisik yang di antaranya berupa 1.000 postur tubuh yang berbeda-beda, 5.000 isyarat tangan, dan 250.000 ekspresi wajah (Morris et al. dalam Danesi, 2010). Pemaknaan manusia terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya bersifat verbal (semiotika verbal) dan verbal (semiotika nonverbal). Objekobjek yang menjadi sumber pemaknaan bukan hanya memberikan suatu informasi namun juga hendak mengkomunikasikan maksud dan tujuan dari suatu tanda yang digunakan. Tanda sebagai suatu objek umum dapat dijumpai dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Tanda-tanda tubuh umumnya memiliki fungsi sosial dan mengatur hubungan diri-liyan (Danesi, 2010). Dalam budaya Jawa, driji jari, sebagai salah satu anggota tubuh dapat mengatur perilaku nonverbal dan mengomunikasikan sesuatu yang relevan dengan budaya dalam situasi-situasi tertentu. Driji jari terdiri atas jempol ibu jari, panuduh telunjuk, panunggul jari tengah, jenthik manis jari manis, dan jenthik kelingking. Dalam budaya Jawa jari-jari tersebut tidak hanya berfungsi untuk beraktivitas secara fisik, misalnya untuk muluk aktivitas makan menggunakan jari tangan, menggaruk, mencubit, dan sebagainya, tetapi juga berfungsi sebagai tanda penyampai pesan yang sarat makna simbolik. Isyarat jari sebagai tanda yang bermakna digunakan dalam berbagai aktivitas, di antaranya dalam kehidupan sehari-hari, dalam permainan anak-anak, dan juga dalam lagu dolanan driji permainan jari. Dalam kehidupan sehari-hari, jari yang cukup dominan digunakan sebagai tanda adalah jempol ibu jari dan panuduh telunjuk. Dalam permainan anak, Jari yang digunakan adalah jempol, ibu jari, panuduh telunjuk, dan jenthik kelingking. Sementara itu, dalam lagu dolanan driji permainan jari semua jari difungsikan sebagai tanda. Tanda-tanda jari tersebut merepresentasikan benda-benda di sekitar, ide, emosi, dan perasaan. Bagaimana makna masing-masing jari pada budaya Jawa

491

tersebut akan diungkap dengan analisis semiotis model Peirce. Pemaknaan perilaku nonverbal isyarat driji dalam konteks kultural dapat mengidentifikasi ciri-ciri dasar tanda di balik perilaku teramati. Hal ini pada gilirannya memberikan kontribusi pada pembentukan karakter yang merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dikatakan oleh Peirce (1960: 122-124) bahwa tanda-tanda berfungsi sebagai mediator antara dunia eksternal dan dunia ide. Peirce menyebut tanda sebagai representamen, dan konsep, benda, gagasan yang diacunya sebagai objek. Makna yang diperoleh dari sebuah tanda dinamakan interpretan. Tanda adalah representasi mental dari objek, dan objek dapat dikenali dari persepsi tandanya. Peirce mendefinisikan semiosis sebagai proses representasi fungsi objek sebagai tanda (sign) (Hoed, 2001: 199). Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri, yaitu objek yang dipahami oleh seseorang; dan objek memiliki efek bagi interpretan (Noth, 1990: 42). Proses pemaknaan dari tanda, objek, dan interpretan yang disebut semiosis terjadi dengan sangat cepat dalam pikiran manusia (Hoed, 2001:118). Menurut Peirce (via Noth, 1990: 42) semiosis merupakan hubungan antara tanda, petanda, dan kognisi yang dihasilkan dalam minda. Karena yang ada di indera sebenanya adalah representamen, maka sering disebut tanda. Dan tidak satupun dapat disebut tanda kecuali tanda itu diinterpretasikan sebagai tanda. Peirce melihat semiosis tersebut sebagai suatu proses yang secara teoritis berlajut tanpa akhir, karena manusia akan terus berpikir (Hoed, 2001: 200). 3. Pesan dalam Tanda Driji Berikut akan diuraikan bekerjanya proses semiosis Peirce tersebut dalam implementasinya pada tanda driji jari dalam budaya Jawa. Yang akan dijadikan model di sini yaitu jempol ibu jari dan panuduh telunjuk yang digunakan dalam ketiga situasi yang menggunakan driji jari seperti yang djelaskan di atas. 3.1 Driji jari dalam Kehidupan Sehari-hari Representasi driji dalam kehidupan masyarakat Jawa sehari-hari diwakili oleh jempol ibu jari dan panuduh telunjuk. Jempol ibu jari sebagai tanda dapat distilir mengarah lurus ke atas dan mengarah ke kanan. Sementara panuduh telunjuk sebagai tanda dapat distilir mengarah lurus ke atas dan mengacung agak miring ke depan.

492

Gambar 1. Jempol kanan mengarah ke atas Proses semiosis 1 Jempol distilir

Jempol (tanda)

bukan sembarang jempol

Proses semiosis 2 Jempol mengarah ke atas bukan sembarang jempol jempol diacungkan

pujian, baik, hebat, setuju

Gambar 2. Jempol kanan mengarah ke kanan

493

Proses semiosis 1 Jempol distilir

Jempol

bukan sembarang jempol

Proses semiosis 2 jempol mengarah ke kanan

bukan sembarang jempol hormat, mempersilahkan jempol diacungkan menunjuk

Gambar 3. Panuduh telunjuk kanan mengarah ke atas Proses semiosis 1 Panuduh distilir

panuduh

bukan sembarang panuduh

Proses semiosis 2 panuduh mengarah ke atas

bukan sembarang panuduh panuduh diacungkan

merepresentasikan diri

494

Gambar 4 Panuduh kanan diacungkan mengarah miring ke depan Proses semiosis 1 panuduh distilir

panuduh

bukan sembarang panuduh

Proses semiosis 2 panuduh mengarah miring ke depan

bukan sembarang panuduh panuduh diacungkan

peringatan, larangan

Interpretan dari panuduh telunjuk ini kemungkinan diadopsi dari arca Budha yang mempuyai sifat atau tanda yang mirip, yaitu jari menunjuk ke atas dan mempunyi makna mengajari atau menggurui. 3.2 Driji jari dalam Permainan Anak Dalam memulai permainan, anak-anak Jawa menggunakan driji jari, khususnya jempol ibu jari, panuduh telunjuk, dan jenthik kelingking untuk menentukan siapa pemenangnya, yang akan memulai permainan terlebih dahulu. Isyarat driji ini dikenal dengan istilah disebut pingsut, seperti terlihat dalam gambar 5 berikut.

495

Gambar 5. Tanda driji melakukan gerakan pingsut (Sumber: wikipedia.org. id)

Pemaknaan driji jempol, panuduh, dan jenthik dalam gerakan pingsut dapat disajikan dalam tabel 1. berikut ini. Tabel 1. Makna driji pada pingsut

Tanda Driji dalam Permainan Anak 1. jempol ibu jari dan panuduh telunjuk 2. panuduh telunjuk dan jenthik kelingking 3. jenthik kelingking dan jempol ibu jari

Objek jempol diadu dengan panuduh panuduh diadu dengan jenthik jenthik diadu dengan jempol

Interpretan Gajah melawan manusia, gajah lebih besar menang dan manusia kalah Manusia melawan semut, manusia lebih besar menang dan semut kalah Semut melawan gajah, semut lebih kecil tapi bias mengalahkan si gajah dengan cara masuk telinga gajah, gajah kesakitan dan mati, semut menang dan gajah kalah.

Pesan yang tersirat dalam pingsut bahwa tidak selalu yang besar itu selalu menang. Gajah lebih besar daripada manusia, manusia lebih besar daripada semut. Gajah dan manusia menang karena lebih besar. Namun, semut yang lebih kecil daripada gajah ternyata dapat

496

mengalahkan gajah dengan strategi yang dimiliki. 3.3 Driji Jari dalam Dolanan Driji Permainan Jari Permainan ini biasanya dilakukan oleh seorang ibu atau seorang kakak perempuan untuk menghibur anaknya atau adiknya. Permainan ini menggambarkan percakapan antarjari secara bergantian. Jari yang digunakan adalah jari tangan kiri. Caranya dengan mengulurkan telapak tangan kiri dihadapkan ke wajah. Jari yang mendapat giliran berbicara digerak-gerakkan dengan menggunakan telunjuk tangan kanan. Berbicara yang dimaksud di sini berupa iringan lagu Enthik. Dengan kata lain, dalam dolanan driji permainan jari, selain tanda visual disertai juga dengan tanda verbal yang berupa lirik lagu. Driji jari dalam konteks ini dibaca oleh penutur Jawa sebagai sebuah bentuk personifikasi benda yang berfungsi sebagai identitas manusia. Pemakaian driji sebagai identitas manusia dalam dolanan driji permainan jari dengan iringan lagu enthik dimaksudkan sebagai benda yang sangat dekat dengan anak-anak sehingga lebih mudah dipahami.

Gambar 6a. Dolanan driji Gambar 6b. Dolanan driji model model tunjuk jari-jari menempel Sesuai urutan lirik lagu dolanan driji, permainan dimulai dengan disentuhnya jenthik manis jari manis kiri dengan diringi lirik Enthikenthik patenana si temunggul kelingking-kelingking bunuhlah si jari tengah; kemudian dijawab oleh jenthik kelingking kiri Temunggul dosane apa apa dosa jari tengah jenthik manis jari manis kiri menjawab: Dosane ngungkul-ungkuli dosanya dia melebihi kita; panuduh telunjuk menjawab Aja dhi aja dhi sedulur tuwa amalati jangan dik

497

jangan dik saudara tua mencelakai; dan terakhir jempol berkata Ya bener ya bener tai laler enak seger ya betul ya betul tahi lalat enak segar. Secara lengkap lirik lagu tersebut seperti urutan berikut ini.
Enthik-enthik patenana si temunggul Temunggul dosane apa Dosane ngungkul-ungkuli Aja dhi aja dhi sedulur tuwa malati Ya bener ya bener tai laler enak seger (Overback, 1935)

(Kelingking-kelingking bunuhlah si jari tengah apa dosa jari tengah dosanya dia melebihi kita jangan dhik jangan dhik saudara tua mencelakai ya betul ya betul tahi lalat enak segar)

Dalam dolanan driji, lagu Enthik memiliki versi lain, seperti berikut ini.
Enthik-enthik, patenana si panunggul Aja dhi aja dhi tak kandhani Sedulur tuwa malati Bener bener aja mbeler ndak keblinger Sayuk-sayuk soyang-soyang Rukunena dimen rosa Ra dha congkrah dadi bubrah (Katno, 1940)

(Kelingking-kelingking bunuhlah si jari tengah Jangan Dik, jangan Dik, saya nasihati Saudara tua membuat sengsara Betul betul jangan membantah akan lupa diri Setuju-setuju hati menjadi tidak tenang Rukunlah supaya kuat Jangan bertengkar menjadi berantakan)

Berkut ini pemaknaan dolanan driji permainan jari dan lirik lagu Enthik.

498

Tabel 2. Pemaknaan dolanan driji


Tanda Driji dalam Permainan Anak 1. Panunggul tengah

Objek

Interpretan

Personifikasi. Secara fisik orang yang punya badan paling besar. Anak tertua. Menang. Malati. Orang yang sombong dan merasa paling hebat. 2. jenthik manis jari jenthik manis jari manis Personifikasi. Secara fisik orang yang lebih kecil. Lebih muda. manis yang ditunjuk oleh Kuwalat. Kalah. Orang yang iri telunjuk kanan dan berniat jahat. 3 . j e n t h i k jenthik kelingking yang Personifikasi. Secara fisik orang yang lebih kecil . Lebih muda. kelingking ditunjuk oleh telunjuk Kuwalat. Kalah. Orang yang kanan diajak berniat jahat . 4.panuduh telunjuk panuduh telunjuk yang Personifikasi. Orang yang mengingatkan dan melarang ditunjuk oleh telunjuk kanan Personifikasi. Orang yang 5. jempol ibu jari jempol ibu jari yang bijaksana, menyetujui untuk hal ditunjuk oleh telunjuk yang baik dan mengarahkan. kanan

jari Panunggul jari tengah yang ditunjuk oleh telunjuk kanan

Lagu dolanan driji akan lebih lengkap bila dikaji mengikuti analisis Roland Barthes (1967) yang mengelompokkan tanda atau yang disebut oleh Jakobson sebagai sistem kode, menjadi lima kisi-kisi kode, di antaranya kode narasi dan kode kebudayaan. Kode narasi yaitu kode yang mengandung cerita atau narasi, Secara singkat isi lagu tersebut menggambarkan keributan driji jari yang saling bertengkar tidak rukun. Keributan dimulai ketika jethik manis jari manis merasa iri karena badannya tidak setinggi driji tengah jari tengah utawa panunggul jari tengah. Terbawa rasa iri, jenthik manis jari manis menyuruh jenthik kelingking supaya membunuh panunggul jari tengah. Jenthik kelingking yang tidak merasa punya masalah apa-apa dengan panunggul jari tengah bertanya, mengapa panunggul jari tengah harus dibunuh? Pertanyaan ini dijawab oleh driji manis, jari manis bahwa dosa panunggul adalah karena tingginya melebihi driji manis, jari manis. Pada waktu terjadi pembicaraan antara driji manis jari manis dan jenthik, kelingking terdengar oleh

499

panuduh telunjuk. Walaupun pada kenyataannya tinggi panuduh juga kalah dengan panunggul jari tengah, tapi panuduh tidak iri dan dia melarang driji manis jari manis dan jenthik, kelingking untuk tidak membunuh. jempol ibu jari membenarkan apa yang dikatakan panuduh telunjuk. Kode kebudayaan atau kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda. Lagu dolanan driji menggunakan kode kebudayaan, khususnya mitos dan moral. Dolanan driji merupakan gambaran keadaan manusia di dunia. Di dalam budaya Jawa, tua muda menempati tempatnya masing-masing. Posisi orang tua itu nuwasi-malati. Artinya, orang yang muda harus menghargai dan menghormati orang yang lebih tua. Jika tidak, akan kuwalat, hidupnya akan menderita. Orang yang lebih tua tidak boleh diremehkan, diejek, apa lagi dipermalukan. Sebaliknya, orang yang lebih tua tidak boleh semena-mena, gampang mengumbar kemarahan, sombong, merasa berkuasa. 4. Penutup Dengan menggunakan analisis semiosis model Peirce pada masing-masing penggunaan driji jari di atas, pada pemakaian seharihari, permainan anak, dan lagu dolanan driji permainan jari, nampak adanya keterkaitan penggunaan tanda dan interpretan dari ketiganya. Hal tersebut akan diuraikan secara singkat sebagai berikut. Pertama, pada pemakaian sehari-hari, jempol ibu jari punya interpretan baik, bagus, hebat, setuju, dan juga menunjuk, sementara itu pada dolanan driji permainan jari punya interpretan sebagai orang yang bijaksana, selalu mengarahkan, menyetujui hal yang baik. Kedua, pada pemakaian sehari-hari panuduh telunjuk punya interpretan memperingatkan dan melarang, sementara pada dolanan driji perminan jari punya interpretan orang yang mengingatkan dan melarang. Ketiga, secara umum pada permainan anak pingsut, punya interpretan besar dan kecil, kalah dan menang. Sementara secara umum interpretan pada dolanan driji permainan jari adalah orang yang secara fisik lebih besar dan lebih kecil, dan yang lebih besar ngungkuli merasa lebih (menang). ***

500

DAFTAR PUSTAKA
Barthes, Roland. 1967. Elements of Semiology. London: Jonathan Cape, Ltd Danesi, Marsel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Hoed, Benny H. 2001. Dari Logika Tuyul ke Erotisme. Magelang: Indonesia Tera. Katno. 1940. Taman Suka. Mataram. Nth, Winfried. 1990. Peirce, dalam Handbook of Semiotics. Bloomington: Indiana Press. Overback, H. 1935. Javaache Meisjesspelen en Kinderliedjes. Jogjakarta: Java Instituut. http://akhmadsudrajat.wordpress.com www.wikipedia.org.id

501

REDEFINISI KETENANGAN HIDUP ABDI DALEM DI TENGAH DUNIA MODERN Studi Keseharian Juru Kunci Makam Imogiri dalam Menyikapi Perubahan Zaman
Sulistyowati dan Slamet Pinardi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
A. PENGANTAR ecara sederhana mungkin akan sulit ditemukan nalar bagaimana mungkin seorang abdi dalem dapat hidup di zaman sekarang. Zaman yang mencerminkan kebutuhan hidup bukan sekedar kebutuhan subsisten namun lebih dari itu. Konsep hidup prihatin bagi orang Jawa mulai terkikis oleh gaya hidup hedonis yang mengedepankan kepuasan diri berdasarkan materi. Di zaman yang serba ada seperti sekarang, apapun bisa diperoleh dengan mudah asalkan ada uang. Gaya hidup yang berorientasi pada selera sudah tidak lagi dimonopoli kelompok leisure class, seperti yang diungkapkan oleh Veblen (1991:355), tetapi sudah menjadi semacam virus yang menyebar ke semua lapisan sosial. Kapitalisme menyebabkan benda bukan sekedar memiliki nilai fungsional namun nilai sosial atau gengsi bagi penggunanya (Giddens, 1986). Dunia modern dengan kapitalismenya yang begitu kuat mampu menggeser orientasi hidup dan seolah sudah menjadi agama.1 Dunia modern menawarkan sebuah simulacra2 yang memaksa setiap orang memasukinya. Modernitas telah menciptakan semacam habitus baru. Dengan berbasis pada pencapaian standar kehidupan material yang semakin tinggi, modernitas membawa warna yang sangat kental pada seluruh aspek kehidupan manusia (Suhartono, 1997) Nilai-nilai hidup yang sarat filosofis Jawa melingkupi kehidupan

1 Bayang-bayang kapitalisme yang hadir bersama globalisasi telah memberikan pengaruhnya yang semakin mantap sejak revolusi industri yang terjadi pada awal abad ke-19 di Eropa. 2 Baudrillard dalam Simulations (1983) menjelaskan bahwa masyarakat simulasi merupakan perpecahan kualitatif dengan masyarakat yang berdasarkan produksi material. Simulasi (simulacra) memuat kecenderungan untuk memikirkan hidup sendiri-sendiri dan melebih-lebihkan kenyataan (Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana)

502

seorang abdi dalem. Sebagai keluarga Jawa, seorang abdi dalem umumnya juga berperan sebagai kepala keluarga atau rumah tangga. Abdi dalem, yang bisa dikatakan merepresentasikan sosok orang Jawa yang masih menghayati nilai-nilai tradisional, juga tak luput dari gerusan modernitas. Melihat kondisi itu, muncul pertanyaan besar yang ingin dicari jawabannya, yaitu apakah benar menjadi abdi dalem bukan sekedar perkara mencari uang untuk kehidupan, namun untuk menemukan kehidupan yang tenang? Kalau memang demikian, lalu bagaimana mereka menyelaraskan nilai-nilai filosofis Jawa yang penuh dengan nilai spiritual dengan perubahan zaman yang mengusung nilai material? Mampukah filosofi ketenangan hidup meredam gempuran citra kehidupan modern yang ada? Untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut di atas, maka penelitian ini mencoba menelusurinya melalui tiga pertanyaan besar, bagaimana abdi dalem mengenal simbol-simbol modernitas, sejauh mana modernitas mempengaruhi rumah tangga abdi dalem, dan bagaimana abdi dalem menyikapi perubahan zaman yang terjadi di sekelilingnya dan mengapa abdi dalem menyikapinya. Sejauh pengamatan peneliti, topik mengenai gaya hidup keseharian juru kunci dalam menyikapi dunia modern belum diperoleh. Wishnu (1994) menjelaskan bahwa profesi sebagai abdi dalem dipilih dikarenakan adanya keyakinan dengan menjadi abdi dalem akan memperoleh ketentraman batin, memperoleh gelar sebagai bangsawan yang dapat menjamin kehormatan seseorang karena dengan mengabdi pada keraton akan memperoleh berkah dari raja yang menyebabkan ketentraman batin, walaupun dalam segi materi tidak menjanjikan. Rulanto (1986) mengungkapkan bahwa Makam Imogiri sebagai makam raja-raja Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta perlu dijaga dan dipelihara. Untuk tugas itu keraton mengangkat abdi dalem juru kunci. Bagi mereka, walaupun jabatan itu hanya sebagai tenaga rendahan tetapi tujuan utamanya adalah martabatnya akan naik. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan diperolehnya nama dan gelar dari keraton memperoleh kesempatan bergaul dengan para bangsawan, dan memperoleh perlakuan yang lebih terhormat bila dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya. Salah satu faktor yang mendorong seseorang menjadi abdi dalem sebagaimana diungkapkan Rostiati (1987) adalah kharisma raja sebagai tokoh yang sakral. Kesakralan ini dianggap akan mendatangkan berkah tersendiri bagi seorang abdi dalem sehingga ngalap berkah menunjukkan keloyalan mereka pada sang raja.

503

Menjadi abdi dalem adalah sebuah kebanggaan karena dengan menjadi abdi dalem, seseorang bisa memperoleh posisi yang cukup istimewa baik dengan adanya tambahan gelar keningratan ataupun peran-peran khusus yang dipercayakan langsung dari sultan (Guinness, 1986; Soelist, 1991; Soelist dan Kustara, 1995; dan Rustopo, 2007). Terkait dengan gelar-gelar keningratan, Kuntowijoyo (2003) menjelaskan bahwa keberadaan para abdi dalem pada akhirnya menciptakan semacam kelas sosial baru yaitu kelas priyayi yang berasal dari kelompok abdi dalem. Proses menjadi priyayi bagi para abdi dalem tidaklah mudah, sehingga para abdi dalem yang berhasil memenuhi kriteria sebagai priyayi luhur adalah orang-orang yang memang terpilih. Terjadi tarik menarik antara semangat pengabdian (caos bekti) dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan subsistensi. Meskipun demikian, belum ada yang secara khusus mengkaji dinamika yang terjadi dalam kehidupan seorang abdi dalem, terkait dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan subsistensi tersebut. Mengacu pada Smelser (1973:265), modern diartikan sebagai bagian dari sebuah proses umum dari diferensiasi yang di dalamnya mengimplikasikan adanya pertumbuhan struktur produksi yang bebas dan perubahan fungsi-fungsi. Simbol modern bercirikan: (1) revolusi demografis, tingkat natalitas maupun mortalitas yang menurun drastis; (2) peningkatan ukuran, cakupan, dan jaringan dalam keluarga, (3) sistem stratifikasi yang semakin terbuka menuju tingkat mobilitas yang lebih tinggi, (4) transisi dari struktur masyarakat kesukuan atau feodal ke dalam tipe birokrasi yang demokratis atau totaliter, (5) berkurangnya pengaruh agama, (6) pemisahan pendidikan dari keluarga atau komunitas dalam proses pendidikan yang lebih terbuka, proses pendidikan yang semakin panjang, kompleks dan menyebar, (7) pertumbuhan budaya massa yang diperkaya oleh pendidikan dan perkembangan media komunikasi massa, (8) munculnya ekonomi pasar, dan yang lebih penting lagi adalah industrialisasi. Modernitas pada kenyataannya menandai sebuah pola organisasi produksi yang baru, yang secara tidak langsung memaksa penyesuaian nilai dan norma dalam masyarakat (Abdullah, 2006:154). Masuknya pasar menyebabkan terjadinya integrasi pasar serta ekspansi pasar sehingga menegaskan suatu masyarakat telah bergeser dari tatanan lama. Suatu tatanan baru yang lahir tidak hanya merupakan suatu bentuk dan gaya baru yang dianut masyarakat, tetapi juga suatu cara baru di dalam melihat diri sendiri dan orang lain di dalam konteks yang berbeda. Modernitas ini pada tahap selanjutnya melahirkan tuntutan-

504

tuntutan yang menjadi ancaman cukup serius bagi keberlangsungan simbol-simbol kultural tradisional. Kehidupan modern menciptakan experince of rupture (Miller, 1995). Di sinilah konsumsi menjadi ide utama yang muncul. Konsumsi massa pada produk menjadi titik superordinat baru dari identitas sehingga menciptakan sebuah homogenisasi global. Tulisan ini berusaha mengungkapkan makna, maka metode penelitian kualitatif yang mensyaratkan kerja lapangan menjadi metode utama. Sementara, untuk memperkuat konteks penafsiran atas temuan lapangan akan digunakan data sekunder atau literatur yang terkait dengan tema penelitian ini. Adapun fokus penelitian pada unitunit rumah tangga keluarga abdi dalem juru kunci Makam Pajimatan, Imogiri. Unit rumah tangga dipilih sebagai fokus penelitian karena pada dasarnya citra kehidupan modern tidak hanya dapat dirasakan dalam dunia publik tetapi juga kuat pengaruhnya pada tataran privat atau domestik. B. MODERNITAS MASYARAKAT JAWA Wong Jawa akan kehilangan jawane, demikian disampaikan Suhartono (1997:54) untuk menggambarkan betapa kuatnya gelombang modernitas yang sedang mengancam eksistensi nilai-nilai dan aspekaspek kehidupan tradisional dalam budaya Jawa. Kehidupan para abdi dalem di makam Pajimatan pun tidak bisa dilepaskan dari dinamika kehidupan keraton yang selama ini menjadi payung ketentraman yang menaungi dan memberikan nafas pada semangat pengabdian mereka. Raja dan keraton yang menempati struktur kekuasaan tertinggi dalam sistem organisasi dan kepangkatan abdi dalem mengalami hantaman perubahan yang demikian intensif. B.1 Keraton yang Mulai Berubah
Di era modern ini, kita membutuhkan seorang ratu yang benar-benar dapat menyesuaikan diri dengan zaman yang berubah dengan cepat dan mampu mengimbanginya, 3

Sebagaimana dapat dicermati dalam kutipan di atas, seorang ratu yang bisa menyesuaikan diri adalah satu bentuk konsekuensi dari tuntutan-tuntutan zaman modern.4 Modernitas tidak bisa
3 Lihat Kompas, 16 Juli 2004 4 Mengacu pada KBBI istilah modern diartikan sebagai sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman (2002:751).

505

tidak, sudah menjadi bagian dari perubahan yang membawa keraton meninggalkan kejayaan masa lalunya. Bagi masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta, keraton merupakan pusat budaya terutama budaya adi luhung (elite culture). Keraton merupakan pusat kekuatan, terutama yang berhubungan dengan kekuatan spiritual. Keraton memiliki dan mengkreasi budaya adi luhung yang secara khusus diperuntukkan bagi kalangan bangsawan keraton. Demikian pula dalam kekuasaan dan politik, keraton menduduki hierarki tertinggi. Dengan demikian, terjadi kesejajaran antara kedudukan tertinggi dengan peran budaya yang dimilikinya (Suhartono, 1997). Dalam posisi ini, keraton merupakan simbol, pusat, dan sekaligus penjaga nilai-nilai budaya tradisional. Seiring dengan zaman yang mulai berubah, keraton pun telah berbeda dengan keraton pada masa Kerajaan Mataram. Dahulu, keraton mempunyai pengaruh penuh karena kekuasaannya sebagai sebuah kerajaan untuk mengatur pemerintahan dan rakyatnya, meskipun ketika itu terdapat pemerintahan Hindia Belanda. Akan tetapi, justru melalui birokrasi kolonial inilah budaya keraton dirembeskan ke masyarakat. Kini, keraton bukan lagi ibukota kerajaan tetapi hanya merupakan warisan budaya (cultural heritage). Sebagai sebuah cultural heritage, keraton sangat terbatas untuk menyebarkan budayanya di tengah-tengah masyarakat yang semakin heterogen dan kompleks. Keraton masa kini pun mempunyai persoalan intern dan ekstern. Intern terkait dengan pendukung budaya internal dan pemeliharaannya, mengalami kesulitan untuk mencukupinya. Ekstern karena keraton tidak lagi mempunyai kekuasaan dan kewenangan terhadap lingkungan di luar keraton sekalipun pada awalnya seluruh tanah kerajaan dari negaragung, kotanegara hingga mancanegara adalah milik raja. Keraton sedang dan terus mengalami gempuran penyesuaian dengan kehidupan modern. Rencana pembangunan parkir bawah tanah di kawasan alun-alun utara adalah salah satu bagian dari sekian tuntutan kebutuhan masa kini yang mengejar segala macam tuntutan kepraktisan dan pundi-pundi rupiah. Seperti dicatat dalam situs Heritage of Java (2009), keraton Yogyakarta sebenarnya sudah mulai memasuki masa transisi menuju modernisasi sejak masa kepemimpinan Sultan HB VII pada tahun 1900-an. Modernitas pada masa ini ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah modern serta keharusan bagi putra-putri sultan untuk mengenyam pendidikan modern bahkan sampai ke negeri seberang (Belanda). Budaya belajar di sekolah-sekolah modern ini berlanjut hingga masa kepemimpinan HB VIII, HB IX, dan HB X. Transisi pendidikan modern yang diadopsi oleh

506

sultan dan keluarganya menjadi salah satu dari sekian bukti konkrit yang memberikan gambaran bahwa keraton tidak menutup mata pada pengaruh-pengaruh modernitas. Sultan dan kerabatnya tidak lagi hadir dengan ikon kebangsawanan masa lalu dengan mahkota, sanggul, pakaian kebesaran dan kereta kudanya, tetapi mulai tampil dengan gaya modernnya bercelana jeans dan mengendarai mobil. Tak hanya keraton dan Sultan Yogya yang mulai berubah, keraton Surakarta yang juga menaungi sebagian abdi dalem Pajimatan juga mengalami hal serupa. Tavarez (2004), mengistilahkan kondisi keraton Surakarta sekarang dengan sebutan mati suri. Setelah kehilangan hampir seluruh aset ekonomi peninggalan Dinasti Paku Buwono pada akhir revolusi fisik, berawal dengan dikeluarkannya surat keputusan pemerintah pada 1946, yang mengambil alih kekuasaan keraton dan menjadikannya sebagai wilayah karesidenan, Keraton Surakarta praktis tidak lagi menjadi pusat kekuasaan yang bisa dijadikan rujukan politis. B.2 Imogiri Masa Kini Imogiri adalah salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Bantul yang secara administratif berbatasan dengan Kecamatan Jetis dan Plered di sebelah utara, Kecamatan Dlingo di sebelah timur, Kecamatan Pundong dan Kecamatan Panggang di sebelah selatan serta Bambanglipuro di sebelah barat. Seperti halnya keraton, Imogiri pun tidak luput dari perubahan. Imogiri sebagai sebuah kota kecamatan kecil dapat dikatakan cukup semarak. Barisan minimarket, toko, dan warung makan sekilas memberikan gambaran bahwa wilayah ini juga sedang menggeliat dengan ragam kebutuhan konsumsi warganya. Kota kecil di pinggiran Yogyakarta ini adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari dinamika kota dan keraton. Di tempat inilah tinggal lebih dari 80 abdi dalem yang mengabdikan hidupnya menjadi juru kunci makam. Sugeng Rawuh ing Pasareyan Dalem Para Nata Pajimatan Girirejo Imogiri, demikianlah ucapan selamat datang yang menyambut setiap pengunjung ke makam Imogiri. Dalam peta daerah tujuan wisata, Imogiri memang merupakan salah satu pesona unggulan yang ditawarkan. Wedang uwuh dan nuansa mistis makam adalah beberapa keistimewaan yang memiliki nilai jual tersendiri sebagai ikon pariwisata. Selain kompleks makam Pajimatan,5 Imogiri juga

5 Makam Pajimatan adalah makam raja-raja Mataram Islam (Surakarta dan Yogyakarta)

507

memiliki kawasan wisata lain seperti Makam Banyusumurup6 dan Makam Giriloyo.7 Seperti dituturkan Mas Ngabehi Rekso Sumarto (74), Imogiri mulai ramai sejak makam raja-raja yang ada, resmi dibuka sebagai kawasan wisata religius pada tahun 50-an: Nggih, sakbibaripun tahun 50 menika, bibaripun landi kesah menika, ha menika lak Imogiri ki saiki tempat pariwisata, pariwisata religius. (Ya, sesudah tahun 50 itu, setelah Belanda pergi, Imogiri sekarang menjadi tempat pariwisata, pariwisata religius). Sejak dibuka sebagai kawasan wisata religius, makam yang semula hanya bisa dikunjungi oleh kerabat raja kini mulai dibuka untuk pengunjung umum. Sejak itu banyak warga perempuan yang semula mengandalkan kegiatan membatik sebagai mata pencaharian, kemudian beralih pada beragam profesi seperti penjual bunga, penjual cenderamata, guide, juru foto, persewaan busana jawa, penjaga parkir, serta penjual makanan dan minuman. Imogiri yang semula hanya khusus buka pada hari Senin dan Jumat, akhirnya ditambah satu hari buka yaitu hari Minggu. Tambahan hari buka ini, bisa menjadi tolok ukur bahwa pembukaan kawasan Imogiri sebagai tujuan wisata religi cukup berhasil. Ikon Imogiri sebagai kawasan wisata religius mulai terlihat dari plang-plang penunjuk jalan yang terpasang di sepanjang jalan menuju Imogiri. Tanda panah serta tulisan Imogiri-makam raja-raja, seolah menjadi simbol kebanggaan tersendiri bagi kawasan ini. Para penjual wedang uwuh dan pusat oleh-oleh bertebaran, dari mulai kawasan terminal menuju kawasan makam dan di sepanjang tangga masuk menuju makam. Berkah pariwisata tak hanya memasyurkan wilayah Imogiri, tetapi juga memberikan berkah tersendiri bagi puluhan abdi dalem juru kunci makam. Sejak dibuka sebagai kawasan wisata, kawasan makam banyak dijadikan sebagai sandaran kehidupan. Ada banyak peluang yang dapat dimanfaatkan oleh para abdi dalem untuk nyambi di antaranya dengan menjadi guide, tukang parkir, ataupun pelantar. Banyaknya jumlah pengunjung yang datang juga menjadi berkah tersendiri. Abdi dalem dapat memperoleh masukan tambahan
6 Makam Banyusumurup adalah tempat dimakamkannya Pangeran Pekik, putra Pangeran Purbaya seorang penguasa di Surabaya pada sekitar abad 17 M. 7 Makam Giriloyo adalah tempat dimakamkannya Pangeran Juminah (Paman Sultan Agung). Pada mulanya makam ini dipersiapkan untuk makam Sultan Agung beserta keluarganya, akan tetapi karena sang Paman mangkat lebih dahulu dan berkeinginan untuk dimakamkan di lokasi itu maka Pangeran Juminahlah yang pertama kali dimakamkan. Atas kejadian itu Sultan Agung membatalkan kemudian rencana makam untuk dirinya dipindahkan ke makam Pajimatan.

508

dari sumbangan sukarela yang sering disebut juga tambahan pandonga (tambahan doa), dana saeklasipun (sukarela), baik dari para pengunjung makam maupun bledug (tips) dari para pengunjung seperti dituturkan kembali oleh Dono Puspoko (60 tahun): Kathah ingkang nyuwun pangestu sowan mlebet kaliyan anu doa, menika tahlil menika yen caleg-caleg wonten pinten mriki. (Banyak yang meminta restu berziarah berdoa, tahlil, demikian caleg-caleg ada beberapa ke sini). C. ABDI DALEM Abdi dalem adalah pegawai keraton yang kerapkali dianggap sebagai fenomena yang kontradiktif di era kehidupan modern, seperti dapat dilihat berikut ini:

Penampilan mereka mudah dikenali dengan ikat kepala blangkon, berbaju kain pranakan biasanya berwarna biru tua bergaris vertikal 3 dan 4 (telupat). Mereka juga mengenakan kain dan sebilah keris terselip di pinggang belakangnya. Kaki mengenakan selop, namun banyak juga di antara mereka yang tidak beralas kaki. Ada nuansa fantastis melihat keteguhan mereka menjalani profesinya yang begitu tenang, seolah berlawanan dengan derasnya dinamika era globalisasi. Hal lain yang lebih fantastis dari rutinitas kehidupan mereka, adalah masalah gaji mereka8

Ada yang menganggap bahwa mereka adalah kelompok masyarakat yang eksklusif, ada juga yang menganggap bahwa mereka sebagai kelompok yang begitu bersahaja dan yang terakhir ada yang beranggapan bahwa mereka tidak lebih dari manusia biasa. Keragaman pandangan ini tidak hanya menjadi wacana di sekitar makam, tetapi juga pada sebagian orang yang melihat sosok para abdi dalem. Pada kenyataannya memang tidak semua abdi dalem terbuka, ada beberapa di antara mereka yang cukup tertutup dan menyimpan rapat riwayat kehidupannya. Abdi dalem juru kunci pada dasarnya adalah abdi dalem keraton yang ditugaskan di kompleks makam. Abdi dalem juru kunci kebanyakan berasal dari wilayah Imogiri juga. Tempat tinggal mereka biasanya tidak jauh dari lingkungan makam. Mereka biasanya memiliki nama tambahan yang khas, yaitu reksa dan jaga. Jumlah mereka secara keseluruhan sekarang ini sekitar 80 orang, meliputi abdi dalem Yogyakarta maupun Surakarta. Para abdi dalem juru kunci bertugas menjaga makam dan melayani keluarga raja bila berziarah. Dalam perkembangannya mereka juga melayani masyarakat umum saat melakukan ziarah di
8 Lihat Pudjo (2009:39)

509

kompleks makam raja-raja Mataram. C.1 Konsep Modernitas bagi Abdi Dalem Kebudayaan dan juga kesenian rakyat dalam ranah peradaban modern senantiasa dipandang sebagai sajian yang eksotis begitupun keberadaan para abdi dalem. Menelusuri kehidupan mereka bak menengok masa lalu itu. Pada masa kita memasuki invasi era modernisasi dengan hiperkonsumsi sebagai sebuah gaya hidup, kebersahajaan para abdi dalem tentu bukanlah sebuah romantisasi terhadap kehidupan yang sudah kekotaan, bukan pula kecintaan berlebihan pada eksotika. Realitas kehidupan abdi dalem adalah bagian dari upaya penggalian terhadap nilai-nilai human, yang bisa jadi tertinggal di saat kita gandrung pada sesuatu yang baru. Di sinilah mereka memiliki persepsi sendiri terhadap modernitas. Konsep modernitas bagi abdi dalem diterjemahkan dengan membandingkan antara keadaan zaman dahulu dan zaman sekarang. Zaman modern adalah masa sekarang yang secara umum ditandai dengan perubahan-perubahan, baik ke arah yang positif maupun negatif. Zaman yang berubah memang disadari sepenuhnya oleh abdi dalem. Waktu sudah bergulir demikian cepat dan generasi modern zaman sekarang bukanlah generasi yang berangkat dengan situasi sosial yang sama dengan apa yang mereka alami puluhan tahun yang lalu. Zaman Modern: Zaman Memperturutkan Keinginan Sebetulnya kalau orang bisa memahami dan bisa katakanlah memanfaatkan kesempatan, semua kesempatan itu enak sekarang, itulah penuturan Mas Dono Puspoko (60) ketika memaknai istilah zaman modern. Zaman modern atau zaman sekarang menawarkan begitu banyak kesempatan dan kenyamanan hidup. Setiap orang hanya tinggal berusaha untuk melihat dan memanfaatkan kesempatan yang ada. Zaman sekarang adalah zaman serba mungkin. Setiap orang bisa dengan mudah makan di restoran, yang di zaman dulu kebiasaan serupa ini hanya menjadi kebiasaan para pejabat tinggi atau tingkatan tamu agung. Zaman sekarang adalah zaman di mana orang bisa menuruti keinginannya. Sekarang banyak fasilitas yang bisa dimanfaatkan. Anak-anak tidak lagi dipaksakan untuk membantu orang tuanya bekerja. Mereka diberikan otoritas yang lebih besar untuk menikmati masa kanak-kanaknya dengan mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Kesulitan yang muncul di zaman modern ini pada dasarnya karena tuntutan yang semakin tinggi. Zaman modern menurut

510

Jagasara (66 tahun) adalah zaman yang semakin hancur dan serba tidak jelas. Zaman di mana orang-orang semakin sapenak udele dhewe ini dianggap sebagai biang dari semua kesulitan. Zaman sekarang segala hal sudah maju sehingga mau membuka usaha atau kerja pun tantangannya menjadi lebih berat. Sebenarnya, bisa saja orang tetap makan ubi dan membeli pakaian sekali dalam satu tahun. Namun, kenyataan ini tidak mungkin terjadi di zaman sekarang, Tuntutan zaman sekarang kita akan menyamai negara maju. Ya kan dulu prinsipnya itu, saiki aku arep padha Amerika, arep padha karo Singapura. Sekarang ini hidup memberikan banyak sekali tuntutan. Orang harus berpakaian bagus ketika menghadiri suatu acara pernikahan, orang tidak mau lagi kalau hanya sekedar makan ubi, orang harus sekolah di sekolah yang bagus, setiap orang harus jadi anak yang pintar. Inilah kenyataan yang muncul di zaman sekarang, tidak hanya kebutuhan perut saja yang harus dipikirkan, tetapi juga kebutuhan lain yang semakin hari semakin banyak jenisnya, mulai dari biaya sosial seperti sumbangan untuk hajatan, biaya pendidikan anak-anak, sampai keinginan untuk naik haji. Zaman Dulu: Masa Generasi Prihatin Zaman modern adalah kelanjutan dari masa lalu yang disebut juga zaman mbiyen. Zaman dulu adalah bagian dari kepahitan hidup yang dialami oleh abdi dalem. Rawan pangan, kurang sandang, dan segala hal yang serba terbatas, menciptakan strategi bertahan tersendiri yang disebut dengan istilah prihatin. Para abdi dalem yang sudah sepuh-sepuh ini rata-rata mengalami kepahitan hidup masa lalu yang menempatkan mereka untuk menerapkan pola hidup prihatin. Hal ini dialami oleh Mas Dono Puspoko (60). Pengalaman hidup masa lalu dengan segala macam keterbatasan yang ada, demikian membekas di benak Mas Dono Puspoko. Sebagai salah satu generasi yang pernah mengalami sendiri masa-masa kesulitan pangan, diakuinya bahwa zaman dulu memang benar-benar berbeda dengan zaman modern sekarang ini. Kebutuhan pangan adalah prioritas utama yang pemenuhannya membutuhkan banyak pengorbanan. Hari-hari diisi dengan ketidakpastian akan kecukupan pangan esok hari. Pengalaman hidup prihatin juga dialami oleh Mas Ngabehi Rekso Sumarto (74 tahun) seperti disampaikannya: Nggih rumiyin mriki ngrekaos sanget, trus dipadoske saking luar negeri menika bulgur, nggih pun tampi, nggih piye raose kaya thiwul. Lagi-lagi kebutuhan pangan adalah prioritas yang utama. Tidak ada beras, yang ada hanyalah bulgur yang

511

rasanya seperti thiwul. Kenyataan ini membuat Mas Dono Puspoko harus menerapkan konsep hidup prihatin untuk seluruh keluarganya. Anak-anak diharuskan untuk selalu mematuhi orang tua dan tidak pernah diberi uang saku. Tidak ada uang, asal perut tetap kenyang, adalah upaya yang dilakukannya untuk membiasakan anak-anaknya hidup apa adanya. Tidak ada jajan dan belanja, perut kenyang dalam hal ini dimaknai dengan makan seadanya di rumah. Lugu adalah istilah yang digunakan Mas Dono Puspoko untuk menggambarkan betapa anak-anaknya pun begitu penurut dan tidak pernah memberontak. Mereka adalah bagian dari generasi masa lalu yang bagi dirinya adalah teladan orang-orang yang bisa hidup di masa yang serba sulit. C.2 Abdi Dalem Masa Kini Santun, kalem, tenang dan bersahaja adalah gambaran umum sosok seorang abdi dalem. Pengabdian dan kepasrahan kepada raja sebagai junjungan, tampaknya mengajarkan para sentana dalem ini mengadaptasi keunggulan-keunggulan dari tata cara, kebiasaan serta perilaku bendara mereka. Sosok abdi dalem memang meninggalkan kesan yang cukup eksotis. Dengan blangkon, jarit, keris serta surjan yang selalu dikenakan, mereka seringkali dianggap sebagai sosok yang unik di masa sekarang ini. Keunikan ini semakin terlihat nyata ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa menjadi abdi dalem tidak menjanjikan keuntungan finansial apapun. Gaji per bulan yang demikian kecil seringkali membuat orang menggelengkan kepala dan menganggap bahwa mereka benar-benar sekelompok orang yang tidak rasional. Meskipun lekat dengan beragam keunikan, sosok abdi dalem pada kenyataannya tetap memiliki caranya sendiri untuk menikmati kenyamanan hidup dan berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh kehidupan modern. Tidak harus Berbusana Adat Lengkap Selain hari buka, suasana Makam Pajimatan biasanya lengang karena hanya ada 2-3 pengunjung. Kelengangan ini berbeda 180 derajat dengan kesibukan seorang guide yang terus berusaha untuk mencari pengunjung yang berminat menggunakan jasanya. Dalam situasi seperti ini, dapat saja mas-mas abdi dalem hanya mengenakan surjan dan celana pendek. Apabila melihat ada beberapa pengunjung yang memasuki wilayah makam, dengan terburu-buru ia segera mengambil jarit yang entah dari mana datangnya langsung dibebetkan di bawah surjan, menutupi celana pendeknya. Dapat terlihat pula seorang abdi dalem lain yang membawa segelas penuh kopi susu dan sebuah buku

512

tebal segera duduk bersila di pendapa dekat masjid, sambil sesekali membetulkan kacamata dan mulai sibuk menekuni bukunya. Suasana yang tidak jauh berbeda juga dijumpai di pendapa utama. Minimnya pengunjung tampaknya membuat abdi dalem lebih santai. Mereka terlihat lebih santai dengan kaos oblongnya. Guyonan dan celetukan-celetukan pun sempat muncul juga dari beberapa abdi dalem. Hal ini menggambarkan sebuah kelonggaran aturan yang begitu mereka nikmati. Memakai surjan lengkap dengan blangkon mungkin memang tidak cocok di siang yang terik itu. Kacamata hitam dan kaos oblong terasa lebih nyaman, apalagi ditambah dengan tidurtiduran di lantai pendapa yang dingin, tentu mak nyess rasanya. Tidak Berarti Ketinggalan Teknologi Zaman modern yang salah satunya disebut sebagai zaman kemajuan, tampaknya juga tidak lepas dari keseharian abdi dalem. Ikon modernitas seperti mobile phone adalah wujud yang paling nyata. Handphone adalah alat komunikasi yang rata-rata dimiliki oleh abdi dalem. Handphone tampaknya dianggap sebagai alat komunikasi praktis, baik untuk berkomunikasi dengan keluarga maupun dengan sesama abdi dalem dan tentu saja tidak terkecuali tamu-tamu yang berkunjung ke makam. Mas Dono Puspoko (60 tahun) memanfaatkan handphone untuk berkomunikasi dengan tamu-tamu yang datang dari jauh. Ia seringkali diminta secara pribadi untuk mengantarkan tamu-tamu ke makam. Tak hanya handphone, ikon modernitas lebih kental terlihat dalam rumah tangga abdi dalem. Meskipun di satu sisi menganggap zaman modern sebagai zaman yang serba tidak jelas, abdi dalem bukanlah sosok yang anti dengan ikon-ikon modernitas. Rumah-rumah megah dengan arsitektur modern, parabola, serta peralatan elektronik serba modern, semua ini dapat dengan mudah dijumpai di rumah-rumah abdi dalem. Salah satunya adalah rumah Mas Ngabehi Rekso Sumarto (74 tahun). Rumah bercat warna terang ini dilengkapi dengan beragam elektronik sebagai simbol kepraktisan ala kehidupan zaman sekarang. Tidak ada lagi tungku tradisional yang memakai kayu, yang ada adalah kompor gas yang ditata dengan apik di sebuah dapur modern bergaya barat lengkap dengan bak cucinya. Beranjak ke sudut belakang rumah, tidak dijumpai papan cucian ataupun pancuran, tetapi ada mesin cuci modern lengkap dengan pengering. Hal serupa juga dapat dilihat di rumah Mantri Jagasara (66). Desain rumah limasan dengan lantai keramik berwarna merah mengesankan sebuah rumah megah nan mewah. Rumah Mas Lurah Jogo Mandolo juga memberikan kesan

513

serupa. Rumah bergaya limasan dengan lantai keramik ini dilengkapi dengan mushola pribadi, ayunan, dan meja tenis. Tak hanya rumah dan segala macam perlengkapannya, kendaraan bermotor sebagai ikon modernitas pun juga dengan mudah didapati di rumah abdi dalem. Mas Dono Puspoko (60) yang awalnya lebih memilih bepergian naik sepeda onthelnya, lambat laun menyadari bahwa ternyata menggunakan sepeda motor lebih praktis dan bisa menghemat waktu. Naik sepeda sekarang hanya sekedar menjadi kegiatan pengisi waktu dan alternatif berolahraga di pagi hari. Tidak Cukup Sekedar Berbahasa Jawa Tutur kata dalam bahasa Jawa nan halus berulang kali berganti dengan bahasa Indonesia dan kadang bahasa Jawa ngoko yang cukup kasar meskipun hanya sekedar gurauan, begitulah gambaran percakapan para abdi dalem juru kunci makam. Abdi dalem sekarang memang tidak lagi menyiratkan budaya feodal yang sangat kaku. Meskipun konon para abdi dalem ini hanya mau dipanggil jika disapa dengan menggunakan den9, pada kenyataannya mereka tidak berkeberatan dipanggil dengan bapak ataupun simbah. Mas Dono Puspoko mengakui bahwa generasi abdi dalem sekarang sudah agak berbeda dengan generasi pada tahun 90-an seperti dituturkan dari pengalaman awalnya ketika masuk menjadi abdi dalem:
Sik kathah nika sepuh-sepuh niku dha ra isa nulis, ra isa bahasa Indonesia, dados abdi dalem menika ngaten, nem-neman dereng kathah rumiyin, ming dha isa ngaji, maca Arab, ning nek bahasa Indonesia ra isa, mengko nek turis ki ya bahasa Inggris ra ketang ming haha Kebanyakan yang tua-tua itu tidak bisa menulis, tidak bisa bahasa Indonesia, jadi begitulah abdi dalem, generasi muda belum banyak dulu, hanya bisa mengaji, membaca tulisan Arab, tetapi bahasa Indonesia tidak bisa, nanti kalau turis ya bahasa Inggris meski hanya haha...

Mas Dono Puspoko masuk menjadi abdi dalem karena kebetulan ketika itu, dibutuhkan abdi dalem yang bisa berbahasa Indonesia. Pada zaman dulu, kebanyakan yang menjadi abdi dalem memang sudah berumur dan jarang dijumpai abdi dalem yang masih muda. Abdi dalem tersebut rata-rata fasih berbahasa Jawa dan Arab, tetapi tidak begitu fasih berbahasa Indonesia. Dengan bahasa Indonesia, unggah ungguh menjadi lebih cair. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam sistem atau struktur abdi dalem pun sudah mulai terbuka.
9 Bentuk singkat dari raden yang merupakan gelar kebangsawanan

514

Tidak hanya bahasa Indonesia yang menjadi salah satu bahasa yang dibutuhkan oleh abdi-abdi dalem juru kunci makam, penguasaan bahasa Inggris pun disarankan. Hal ini tidak lain adalah untuk mengantisipasi kunjungan turis yang dalam hal ini pula bisa dilihat sebagai rembesan dari pengaruh modernisasi dalam melihat makam yang tidak lagi sebagai tempat ziarah, tetapi juga tempat berwisata. Tidak Harus Macapatan dan Campursari Kula mboten remen ningali wayang, kethoprak utawa musik. Kula namung remen ningali tinju. Menawi ten TV wonten acara tinjukula nonton nek mboten nggih mboten, begitulah penuturan Mas Lurah Jogo Mandolo ketika ditanya tentang kegemarannya. Salah satu citra yang cukup melekat dalam gaya hidup modern adalah konsep mencari kesenangan. Budaya hedon juga dikenal dalam masyarakat Jawa tradisional dengan menyebutnya sebagai klangenan. Cara mencari kesenangan dilakukan abdi dalem dengan berbagai cara, misalnya menonton tinju, sepakbola, bersepeda, jajan sate, turu (tidur), mendengarkan langgam, menyanyi, serta karawitan. Kesenangan pribadi ini diakui seperti sudah menjadi candu. Mas Dono Puspoko (60) sangat menyukai siaran pertandingan bola di televisi. Itulah sebabnya di rumah tempat tinggalnya terpasang dua buah televisi. Satu khusus untuk ibu-ibu bersama anak-anak yang lebih suka melihat sinetron dan film, sementara satu lagi dijadikan ajang menonton bola untuknya bersama anak dan menantu lakilakinya. Jajan sate juga dilakukan sebagai kesenangan tersendiri. Klangenan khas para abdi dalem juru kunci Makam Pajimatan menunjukkan sebuah keragaman yang dinamis. Mereka tidak hanya menyukai segala sesuatu yang bersifat tradisional tetapi juga memadukannya dengan yang bersifat modern. Mereka mengenal waktu luang yang beberapa di antaranya digunakan untuk memenuhi kesenangannya ini. D. Abdi Dalem Merespon Modernitas Citra kehidupan modern pada kenyataannya telah hadir dalam kehidupan abdi dalem. Kehadiran dunia modern yang penuh dengan segala macam mimpi yang bernuansa hedonis, memberikan gambaran betapa setiap individu sedang dihadapkan pada sisi kehidupan yang telah sedemikian kuat terbungkus oleh euphoria kapitalisme yang membuat sebuah kehidupan seolah-olah terlihat begitu menawan. Dalam merespon modernitas, abdi dalem pun memiliki kekhasan cara seperti berikut ini:

515

D.1 Filosofi Hidup Cukup Hidup di zaman modern atau di zaman sekarang ini menawarkan begitu banyak kenikmatan hidup. Manusia dimudahkan dengan berbagai fasilitas sehingga tidak lagi harus berhadapan dengan masamasa rawan pangan seperti zaman dulu. Di sinilah kemudian disadari oleh abdi dalem bahwa pada dasarnya kebutuhan dan keinginan manusia itu tidak mengenal batas. Orang seringkali melihat milik orang lain dan membandingkannya dengan apa yang sudah dimiliki. Istilah sawang-sinawang, menjadi salah satu rasionalitas seperti dituturkan oleh Mas Ngabehi Rekso Sumarto (74): dados menika pribadinipun piyambak, wonten ta jane wah kae ki ya nganu gajine ya gedhe, pensiune ya gedhe, ning kok isih golek anu. Orang kerapkali melihat orang lain lebih dalam segala hal atau yang bisa diistilahkan dengan rumput tetangga selalu tampak lebih hijau. Kenyataan ini kerapkali dihadapi manusia zaman sekarang. Zaman modern menghadirkan tuntutan dan kebutuhan yang semakin tinggi sekaligus juga menawarkan pilihan pemenuhan yang beragam. Hal inilah yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan. Untuk bisa mengendalikan diri dan menjaga diri agar tidak ikut terhanyut dalam situasi semacam ini adalah dengan menerapkan filosofi hidup cukup. Cukup dalam hal ini dimaknai dengan selalu bersyukur, menerima semua yang diberikan tanpa harus mengeluh. Waseludin Jagasara (66) menyebut filosofi hidup cukup ini dengan istilah tidak nggaya. Hidup seharusnya bisa dijalani apa adanya, tidak perlu memaksakan diri. Satu hal terpenting yang harus dilakukan agar bisa merasa cukup adalah dengan menerapkan pola hidup sederhana. Hidup yang baik adalah samadya, tidak berlebihan juga tidak berkekurangan. Dalam hal ini perlu sekali lagi ditekankan bahwa zaman hidup prihatin yang pernah dialami pada masa lalu adalah sebuah pengalaman yang membuat abdi dalem bisa melihat bahwa zaman modern sudah jauh lebih baik dan banyak membawa kebaikan. Kebaikan-kebaikan ini sudah seharusnya tidak dikalahkan dengan gaya hidup zaman sekarang yang seringkali lalai untuk bisa hidup samadya. Hidup sekarang ini dirasa sudah cukup, demikianlah yang rata-rata disampaikan. Rasa cukup ini terlihat dari tidak adanya keinginan mengejar materi oleh abdi dalem. Keinginan yang menonjol lebih banyak ditujukan untuk memperoleh ketenangan hidup. Mas Ngabehi Rekso Sumarto (74) menuturkan bahwa hidupnya sekarang sudah entheng. Kebahagiaan dan kebanggaan terlihat jelas dari raut mukanya ketika menceritakan anak-anaknya yang sudah mentas

516

semua. Hal serupa juga dituturkan Mas Dono Puspoko (60), hidup yang terpenting baginya adalah melihat putri tunggal dan istrinya bahagia. Seperti Mas Ngabehi Rekso Sumarto dan Mas Dono Puspoko, Jogo Sukismo juga menuturkan bahwa sejak kecil dirinya sudah berlatih untuk tidak hidup bermewah-mewah. D.2 Semendhe pada Tuhan Selain filosofi hidup cukup, berpasrah diri atau semendhe pada Tuhan adalah jalan yang juga ditempuh oleh abdi dalem di zaman modern ini. Sudah seharusnya kalau setiap orang itu harus tetap tenang, bertawakal dan selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Sikap berpasrah kepada Tuhan ini yang kemudian memberikan kepercayaan bagi para abdi dalem bahwa pemenuhan kebutuhan hidup hendaknya tidak usah terlalu dirisaukan ana dina ana upa (jika masih ada hari, pasti ada rezeki). Yang Kuasa akan mencukupkan semuanya dengan caranya sendiri. Hal inilah yang selalu memunculkan jawaban sama ketika ditanya mengenai kenyataan antara gaji yang sangat minim dengan kebutuhan yang tentu saja banyak. Mangkih mesthi wonten, saking pundi menika njih mboten mangertos. Pasti ada adalah penjelasan yang jamak diberikan. Yang muncul adalah keyakinan akan tercukupinya segala kebutuhan. Ra kena dipestheke ning kok nggih ndilalahipun (tidak bisa dipastikan, tapi kok ya ada). Keyakinan akan kekuasaan Tuhan atas kehidupan pribadi abdi dalem memang terlihat sangat kuat. Hal inilah yang dituturkan kembali oleh Mas Dono Puspoko (60),
Pertama ketika di lingkungan itu penuh dengan doa-doa. Ketika buka kunci aja harus doa, harus tahlil dulu. Itu yang kenapa saya dulu bismillah saja, tahlil aja nggak bisa. Agama saya juga Islam. Itu kan berarti sudah mendapat suatu peningkatan. Bahwa saya ada pendekatan khusus kepada yang nggawe urip, iman saya sedikit diberikan

Kedekatan Mas Dono Puspoko kepada Tuhan muncul ketika ia masuk menjadi abdi dalem. Mas Dono Puspoko yang telah sekian lama berkutat dengan kebiasaan yang diakuinya kurang baik, pada akhirnya menemukan pemulihan diri ketika berada bersama abdi dalem yang lain. Keseharian abdi dalem di makam yang sangat lekat dengan upaya pendekatan diri pada Tuhan atau sing nggawe urip (pencipta kehidupan) yang terus dihidupkan ternyata memang menjadi kekuatan tersendiri bagi komunitas abdi dalem juru kunci. Keseharian yang lekat dengan doa-doa adalah satu bagian dari wujud konkrit dari kepasrahan kepada Yang Kuasa yang pada akhirnya juga dipakai sebagai sumber penjelasan dari semua ketidakpastian yang

517

muncul di zaman modern ini. Sikap pasrah mereka menjalani hidup yang diberikan oleh Sang Pencipta terpancar dari roman muka yang terlihat jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. SIMPULAN Keberadaan abdi dalem adalah sebuah fenomena yang kerapkali dipandang kontradiktif ketika disandingkan dengan realitas kehidupan modern. Tentu saja karena tolok ukur yang dipakai semata adalah materi yaitu gaji. Sebagai punggawa yang menjadi garda depan penjaga keadiluhungan budaya Jawa yang masyur, abdi dalem pada kenyataannya juga tidak menutup diri pada perubahan zaman yang kemudian disebut sebagai zaman modern. Mereka menandai modernitas sebagai satu titik yang berbeda dengan kehidupan di masa lalu,\ dengan menyebutnya dalam istilah zaman memperturutkan keinginan dan zaman hidup prihatin. Gelombang modernitas pun tidak lepas dari keseharian abdi dalem. Hal ini terlihat nyata dari kenyamanan dan kenikmatan hidup yang juga menjadi bagian dari keseharian mereka. Budayabudaya yang bersifat fisik seperti penampilan, penggunaan fasilitas hidup modern, perilaku, serta bahasa adalah beberapa wujud citra kehidupan modern yang muncul dalam sosok abdi dalem. Kehidupan modern dipahami sebagai sebuah kehidupan yang menawarkan kepraktisan dan kenyamanan yang sangat berbeda dengan kehidupan yang dialami abdi dalem pada masa-masa sulit zaman dulu. Berkah yang dibawa kehidupan modern bukan berarti menggerus filosofi ketenangan hidup yang dimiliki oleh abdi dalem. Pengabdian di tengah segala kebersahajaan dan keterbatasan materi, ibarat sebuah pelajaran hidup yang telah membangun sebuah kepasrahan hidup dan kepercayaan yang tinggi terhadap kuasa di luar dirinya. Ketenangan hidup dan ketentraman hati menjadi obat dan penghiburan tersendiri untuk menapaki kehidupan ala zaman sekarang. Citra kehidupan modern yang menawarkan begitu banyak kenyamanan, kemudahan, dan kenikmatan tidak harus dimusuhi, begitu pun sebaliknya dengan pilihan kebersahajaan dan pengabdian mereka melalui profesi abdi dalem bukanlah sesuatu yang kemudian menjadi ketinggalan zaman. Citra kehidupan modern dan tradisional disandingkan secara arif dalam sikap kepasrahan yang tinggi terhadap kuasa ilahiah. Hidup berjalan dan terus berganti dari generasi ke generasi, tetapi perubahan ini dinegosiasikan dalam keseharian abdi dalem melalui konsep hidup cukup.

518

DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Mazhab Frankfrut, Karl Max, Cultural Studies, Teori Feminis, Derrida Postmodernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Anonim. 2005. Makanan dan Globalisasi. Dalam Laporan Utama. Antar Budaya. Media Informasi Program Antarbudaya-Antarregional PSAP UGM. Darusuprapta. 1982. Serat Wulang Reh: Anggitan Dalaem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sunan Paku Buwana IV Ing Surakarta. Disalin kembali K.M.T. Prajasuwasana. KHP Kridhamardawa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Guinness, Patrick. 1986. Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung. Oxford: Oxford University Press. Ignaz Kleden. 1987. Kritik Kebudayaan. Jakarta: Rajawali Press. Kuntowijoyo. Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi dan Wong Cilik Biasa di Kasunanan Surakarta. Dalam Humaniora Vol XV, No.2/2003 hlm 54-55. Miller, Daniel. 1995. World Apart: Modernity Through the Prism of the Local. London dan New York: Routledge. Moertono, Soemarsaid. 1981. Negara dan Usaha Bina - Negara di Jawa Masa Lampau. Jakara: Yayasan Obor. Pudjo, Sapto. Loyalitas Abdi Dalem, Manusia Melayani. Dalam Warta Pertamina No.04/Thn XLIV/April 2009 hlm 39-41. Rostiati, Ani. 1987. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Seseorang Masuk Menjadi Abdi Dalem Kraton Surakarta. Skripsi. Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Rustopo. 2007. Menjadi Jawa: Orang-Orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998. Yogyakarta: Ombak. Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer: Sebuah Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media. Septiani, Evi. 2005. Abdi Dalem Keparak di Keraton Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta Smelser, Neil. Toward a Theory of Modernization. Dalam Halevy, Eva Etzioni and Etzioni, Amitai. 1973. Social Change: Sources, Patterns and Consequences. New York: Basic Book Inc Publisher. Soelist, B. Beli Darah Terhormat Rp. 6000. Dalam Intisari, No. 335. Juni, 1991 hlm 20-32. Soelist, B dan Kustara, Heru. Gugurnya Mitos dan Hilangnya Wangsit. Dalam Intisari, No. 378. Januari, 1995 hlm. Suharto. 1997. Budaya Materialistik dan Kesenjangan Sosial. Dalam Humaniora. Edisi V/ Th. 1997. Suhartono. 1997. Budaya Jawa dalam Era Global dalam Jawa: Majalah Ilmiah Kebudayaan Volume I, Lembaga Studi Jawa. Suhartono dan Gayung Kasuma. 2008. Korupsi: Penyakit Sosial Manusia Indonesia: Analisis Kultural (1945-sekarang) Laporan Hasil Penelitian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suparto, Toto. Asketisisme Intelektual. Dalam Kompas, Jumat, 21 April 2006.

519

Syam, Nur. 2007. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara. Wishnu, R.M.A. 1994. Abdi Dalem Keraton Yogyakarta: Studi tentang Kegiatan dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tavarez, Antonio. Relevansi Keraton Surakarta dalam Konteks Kekinian Indonesia. www.suaramerdeka.co.id. Diakses 26 Juni 2009. www.antara.co.id. Abdi Dalem Makam Raja yang Selalu Ayem. Diakses 30 Januari 2009. www.batampos.co.id. Tahan Hadapi Krisis ala Abdi Dalem Keraton Jogja. Diakses 30 Januari 2009. www.heritageofjava.com. Diakses 26 Juni 2009. www.kompas.com. Forum Bela Raos Abdi dalem Kehendaki Sinuhun yang Berkualitas. Diakses 25 Juni 2009. www2.kompas.com. Dua Abdi dalem Ex Officio. Sabtu, 03 Desember 2005. Diakses 30 Januari 2009. www.majalah.tempointeraktif.com. Barisan caos bekti. 33/XXI 12 Oktober 1991 Diakses 30 Januari 2009 .

520

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM DIAH SAWITRI: Model Untuk Eksistensi Diri pada Era Globalisasi
Ni Nyoman Karmini IKIP Saraswati Tabanan
I. PENDAHULUAN ada hakikatnya karya sastra merupakan salah satu hasil aktivitas manusia yang didasarkan atas imajinasi dan kreativitas emosional penulisnya, yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam karya sastra dapat diketahui gambaran kehidupan budaya pada masanya. Aspek budaya yang tercermin pada karya sastra, antara lain: agama, bahasa, sastra, seni, dan tradisi lingkungan karya sastra itu diciptakan (Karmini, 2008:1). Pengetahuan yang diperoleh dari karya sastra daerah dapat membantu untuk mengetahui dan mempelajari perkembangan budaya Indonesia secara umum, dan secara khusus dapat membantu untuk mengetahui perkembangan budaya Bali, terutama sistem nilai, etika, moral, religius, adat istiadat, dan pendidikan. Dalam karya sastra daerah terkandung unsur-unsur keindahan dan memiliki manfaat untuk membimbing manusia ke arah yang lebih positif. Dengan membaca hasil karya sastra, pembaca dibuat merenungkan masalah kehidupan, yang pada akhirnya dapat mengasah batinnya, menjadi lebih peka, berbudaya, serta dapat menghargai apa yang dimilikinya serta dimiliki oleh orang lain. Dengan membaca hasil karya sastra, pembaca dapat mempelajari keindahan dalam karya, baik keindahan bahasa maupun keindahan suatu pemikiran. Melalui karya sastra, pembaca dapat belajar melalui pengalaman yang dialami sang tokoh cerita, baik pengalaman yang baik maupun pengalaman yang buruk. Dengan merenungkan pengalaman-pengalaman sang tokoh cerita, pembaca dapat menentukan sikap, dapat menentukan pilihan hidup dan kehidupan yang dicita-citakannya. Hidup ini adalah pilihan dan tujuan hidup yang telah ditetapkan dalam kehidupan ini pada hakikatnya adalah hasil pilihan. Apapun pilihan hidup yang dipilih tentu semua ada resiko kehidupan yang dialami. Uraian di atas, senada dengan pernyataan Teeuw, bahwa sastra adalah kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik dan hasil

521

ciptaan yang baik dan indah (1984:23). Senada pula dengan pernyataan Kutha Ratna, yakni kandungan isi karya sastra dapat menggugah dan memberi inspirasi dalam menghadapi kehidupan, sebab karya sastra mengandung nilai-nilai yang berfungsi untuk meningkatkan kehidupan (2005:9). Diah Sawitri adalah sebuah kisah yang diambil dari sebuah geguritan. Geguritan termasuk sastra tradisional Bali (Bali Purwa). Geguritan dikelompokkan ke dalam tutur/tatwa/filsafat atau itihasa, karena masalah yang diungkapkan di dalamnya berupa nasihatnasihat dan pedoman-pedoman tentang hidup dan kehidupan manusia sesuai ajaran agama Hindu (dalam Karmini, 2008:75). Geguritan termasuk karya sastra yang berbentuk puisi (tembang) yang dibentuk oleh pupuh-pupuh. Geguritan mengikuti persyaratan yang disebut padalingsa, dan biasanya menggunakan tembang macapat atau sekar alit dalam penyampaiannya. Padalingsa meliputi: sejumlah silabel atau suku kata dalam tiap-tiap baris (carik); jumlah baris pada tiap-tiap bait (pada); dan bunyi akhir tiap-tiap baris (Agastia, 1987:13; Warna, 1990:557; Tinggen, 1994:31; Hasan Alwi, 1996:799; Medera, 1997: 34). Geguritan sebagai karya sastra masih berkembang pada masyarakat Bali dalam arti masih dihayati, dan pembacaannya disampaikan lewat tembang. Tradisi matembang di Bali dapat dilakukan oleh perorangan dan dapat pula oleh kelompok santi (sekaa santi). Dalam pasantian, sekaa santi sering melakukan apresiasi sastra yang disebut mabebasan. Geguritan sarat dengan pedoman-pedoman kehidupan, tentang etika, dan moral. Pedoman-pedoman kehidupan yang termuat di dalamnya dapat dipahami oleh pembaca lewat pembacaan biasa, tetapi menjadi semakin mudah diresapi oleh pendengarnya apabila disampaikan lewat tembang (dinyanyikan). Kebiasaan matembang melahirkan konsep malajah sambilang magending, magending sambilang malajah (belajar sambil menyanyi, menyanyi sambil belajar). Setelah cerita Diah Sawitri dikaji secara mendalam, ternyata di dalamnya termuat banyak hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal dimaksud, sangat penting dikaji dan diangkat kepermukaan, sebab nilai-nilai kearifan lokal yang dimuat di dalamnya masih sangat relevan untuk menghadapi kehidupan masa kini dalam era globalisasi. Nilai-nilai kearifan lokal dalam cerita Diah Sawitri menjadi model yang dapat memberi inspirasi kepada seseorang yang menikmati dan menghayatinya, sehingga sangat menbantu dan sangat mendukung eksistensi diri dalam menghadapi era globalisasi. Nilai-nilai kearifan lokal yang termuat dalam cerita Diah Sawitri itulah yang memotori sang tokoh sehingga dapat melakukan hal-hal luar

522

biasa dalam hidupnya. Diah Sawitri adalah seorang tokoh yang memerankan peran perempuan yang luar biasa, yang mampu menunjukkan bahwa ia menjadi subjek, menjadi diri, dibutuhkan, serta mampu menunjukkan keperempuanannya. Ia menjadi penyebab kebahagiaan suaminya dan mampu menghindarkan suaminya dari kematian dalam usia muda, berkat perilaku, tapa brata dan segala usahanya. Sawitri juga menjadi penyebab kebahagiaan mertuanya, kebahagiaan orang tuanya, dan keturunannya selanjutnya. Mengingat nilai-nilai kearifan lokal yang memotori perilaku sang tokoh cerita, maka yang menjadi permasalahannya adalah nilai-nilai kearifan lokal apa saja yang terkandung dalam Geguritan Diah Sawitri yang dapat menjadi model untuk eksistensi diri di era globalisasi. Tujuan tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijadikan model dalam menjalankan kehidupan di era globalisasi. II. PEMBAHASAN 1. Sinopsis Sejak pertemuan itu, Sawitri memutuskan memilih Satyawan sebagai calon suaminya walaupun ia dilarang oleh Hyang Narada karena usia Satyawan hanya setahun lagi. Setelah menjadi istri Satyawan, Sawitri tidak pernah lupa hari kematian suaminya. Singkat cerita, Satyawan akan meninggal empat hari lagi. Sawitri telah siap melakukan tapa brata triratra, yakni tapa yang dilakukan tiga hari tiga malam. Pada hari keempat, pagi-pagi sekali Sawitri melaksanakan upacara homa untuk Hyang Ageni. Satyawan merasakan sakit luar biasa di kepalanya, seperti ditusuk panah. Satyawan lalu dibaringkan di pangkuan Sawitri. Saat itu pula, Sawitri melihat sosok yang sangat menakutkan datang berdiri di dekat Satyawan, yang ternyata adalah Sang Hyang Yama (Dewa Pencabut nyawa). Sawitri dapat melihat dan berbicara dengan Sang Hyang Yama karena ia satia, patibrata, dan berhasil melaksanakan tapa brata. Setelah nyawa Satyawan diambil, Sang Hyang Yama berjalan ke arah Selatan. Dengan dasar tapa brata, melaksanakan ajaran agama, hormat kepada orang tua, patibrata, bakti kepada orang yang dipuja, dan seizin Hyang Yama, Sawitri pun dapat mengikuti perjalanan Sang Hyang Yama, yang membawa roh Satyawan. Dalam perjalanan itu, Sawitri menyampaikan hal-hal tentang kebaikan, tentang persahabatan sejati, tentang perilaku sadhu budi, tentang sang darmika, sehingga Sang Hyang Yama sangat suka dan menyuruh Sawitri memohon anugerah,

523

kecuali roh Satyawan. Berkali-kali Sang Hyang Yama menasihati Sawitri supaya tidak menyiksa diri, dan berkali-kali pula menyuruh Sawitri pulang untuk membakar mayat suaminya, tetapi Sawitri tetap teguh imannya, tetap menolak membakar mayat suaminya, serta tetap mengikuti perjalanan Sang Hyang Yama yang membawa roh suaminya. Betapa pun sulitnya perjalanan itu, Sawitri tetap berjalan sambil selalu membicarakan hal-hal kebaikan, sehingga akhirnya Sang Hyang Yama luluh hatinya dan memberikan lima anugerah kepada Sawitri. Anugerah pertama, kesembuhan mata bagi mertuanya; kedua, kerajaan mertuanya kembali; ketiga, orang tua kandungnya memperoleh keturunan; keempat, Sawitri mempunyai keturunan; setelah suaminya dihidupkan kembali (kelima). Sawitri dan orang-orang yang dicintainya beserta semua keturunannya hidup berbahagia dan terhormat. 2. Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Cerita Diah Sawitri Nilai-nilai kearifan lokal dalam cerita Diah Sawitri tidak dapat dilepaskan dari fungsi keagamaan, dalam hal ini adalah agama Hindu. Fungsi keagamaan yang dimaksud di sini adalah kerangka dasar agama Hindu, yang terdiri atas: tatwa (filsafat), etika (susila), dan ritual (upacara). Berdasarkan tatwa-nya agama Hindu mempunyai lima kepercayaan yang disebut dengan istilah panca radha. Kerangka dasar agama Hindu dan lima kepercayaannya (panca radha) tercermin dalam cerita Diah Sawitri. 1) Tatwa (filsafat) (1) Filsafat Tri hita karana Dalam rangka filsafat atau tatwa, cerita Diah Sawitri mencerminkan filsafat tri hita karana. Ajaran tri hita karana mendapat inspirasi dari Bhagawadgita percakapan III dalam ajaran Karma yoga. Dalam hidup ini, ilmu pengetahuan lebih mulia daripada tindakan (kerja) sebab kerja merupakan hukum-alam. Bekerja telah diwajibkan dengan kebaktian dan pengabdian kepada brahman, tanpa mengharap keuntungan pribadi demi kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia. Berikut dikutip percakapan III.10 (Pendit, 1989:69), yang slokanya berbunyi sebagai berikut. Sahayajnah prajah srishtva
puro vacha prajapatih anena prasavishya dhvam esha vo stv istha kamadhuk

Artinya:

524

Kaler (dalam Dharmayudha, 1996:6), menyatakan tri hita karana terdiri atas kata tri yang artinya tiga, hita artinya baik, senang, gembira, lestari, dan karana artinya sebab-musabab atau sumbernya sebab. Dengan demikian, tri hita karana berarti tiga buah unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan. Sudharma (dalam Dharmayudha, 1996:7), menyatakan unsur-unsur tri hita karana adalah (1) Sang Hyang Widhi, yang merupakan super natural power, (2) bhuwana, yang merupakan macrocosmos, (3) manusia, yang merupakan microcosmos. Ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam tata hidup masyarakat Hindu di Bali. Ketiga unsur tersebut senantiasa diterapkan dan dilaksanakan pada setiap aspek kehidupan secara harmonis dan dinamis. Tri hita karana mengajarkan pola hidup seimbang di antara ketiga sumber kesejahteraan dan kedamaian hidup. Manusia selalu berusaha untuk menjaga keharmonisan hubungan di antara ketiga unsur dimaksud, yaitu (1) hubungan manusia dengan Tuhan, (2) hubungan manusia dengan alam, (3) hubungan manusia dengan manusia (Dharmayudha, 1996:8). Dalam pandangan masyarakat Hindu, hubungan manusia dengan Tuhan dikonsepsikan sebagai kaula (yang dikuasai) dan gusti (yang menguasai). Hubungan ini melahirkan paham Tuhan sebagai Sang sangkan paraning dumadi atau Tuhan sebagai asal dan tujuan hidup manusia. Dari hubungan tersebut muncul kesadaran untuk bhakti yang menumbuhkan loyalitas untuk mengabdi. Rasa bhakti masyarakat Hindu diwujudkan dalam bentuk yadnya yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam hubungan manusia dengan alam, manusia membedakan alam menjadi dua, yakni alam nyata dan alam tidak nyata/alam gaib. Paham subjektif masyarakat Hindu tampak dari konsepsi bhuana agung dan bhuana alit. Konsepsi ini didasari oleh ide dasar, yaitu ide kesatuan. Manusia harus melakukan penyatuan terhadap alam secara serasi, selaras, dan seimbang. Alam semesta disebut bhuana agung dan diri manusia disebut bhuana alit. Sifat tersebut identik yang terlihat pada dikotomis manusia ada unsur purusa (Atman) yang merupakan unsur aktif dan unsur prakerti (pradana), yaitu badan wadah yang merupakan unsur pasif. Pada alam semesta ada unsur Paramatman (Tuhan) sebagai purusa, yaitu unsur aktif dan bumi sebagai unsur prakerti, yaitu unsur pasif. Atman dan Paramatman kualitasnya sama yang ditunjukkan dengan ucapan Brahman Atman Aikyam (Dharmayudha, 1996:12).

Dahulu kala Prajapati menciptakan manusia bersama bakti persembahannya dan berkata, dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah ini jadi sapi perahanmu.

525

Dalam hubungan antara manusia dengan manusia, kehidupan masyarakat Hindu di Bali didasarkan atas asas yang disebut tat twam asi. Secara harfiah tat artinya itu (ia), twam artinya kamu dan asi artinya adalah. Jadi, tat twam asi artinya itu (ia) adalah kamu. Tat twam asi mengandung makna yang luas dan dalam. Di dalamnya terkandung suatu ajaran dan dasar kesusilaan untuk dikembangkan dalam pergaulan hidup antarsesama makhluk. Prinsip dasar tat twam asi dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali dikonsepsikan ke dalam asas: suka duka, paras paros, salunglung sabayantaka, dan asas saling asih, saling asuh, saling asah (Dharmayudha, 1996:24). Setelah cerita Diah Sawitri dicermati, dapat dikatakan memuat makna dari konsep tri hita karana, yakni menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam (lingkungan), dan hubungan manusia dengan manusia. Hal ini tercermin dalam tujuan hidup para tokoh cerita, yakni moksartham jagathitaya ca iti dharmah, maksudnya adalah tujuan dharma adalah untuk mencapai kesejahteraan di dunia ini dan di dunia lain. (2) Panca rada Panca radha meliputi: percaya adanya Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Mahaesa); percaya adanya Atma; percaya adanya hukum karma phala; percaya adanya samsara (punarbhawa); percaya adanya moksa (Parisada Hindu Dharma, 1967:9). Kepercayaan yang diyakini oleh umat Hindu (panca radha) tercermin dalam geguritan yang diteliti, seperti yang dipaparkan berikut ini. (a) Percaya adanya Sang Hyang Widhi Percaya pada Sang Hyang Widhi tersurat dan tercermin atau tersirat dalam cerita Diah Sawitri yakni saat roh Satyawan diambil oleh Sang Hyang Yama. Sang Hyang Yama merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi (Tuhan) dalam tugasnya mengambil roh manusia. Hal ini tersurat pada bait 69104. Berikut hanya dicontohkan bait 69 dan 72 pupuh Ginada.
69. Bapa wantah Sang Hyang Yama, 69. Sang Satyawan swamin cening, sangkukalannya wus prapta, awanan ya Bapa rawuh, ngambil atman Sang Satyawan, kal talinin, keto dewa apang tatas. 72.Puput nabda sapunika, Sang Hyang 72. Yama nuli gelis, nyabud jiwatman Satyawan, kasidan sampun kategul, angga stulan Sang Satyawan, pramangkin, nenten pateja mamantang. Bapa adalah Sang Hyang Yama, Sang Satyawan suamimu, waktunya telah tiba, itu sebabnya Bapa datang, men-cabut jiwa Sang Satyawan, akan diikat, begitulah dewa (anakku supaya diketahui Selesai berkata demikian, Sang Hyang Yama segera, mencabut roh Satyawan, sudah diikat, tubuh Sang Satyawan segera kaku tidak bersinar.

526

(b) Percaya adanya Atma Atma adalah merupakan percikan-percikan dari Paramatman yaitu Sang Hyang Widhi. Manusia dihidupkan oleh Atma. Atma dan badan ini ibarat kusir dengan kereta (Parisada Hindu Dharma, 1967:19). Percaya pada adanya Atma tersurat dan tersirat dalam cerita Diah Sawitri pada bait 69 sampai bait 75 pupuh Ginada, bait 76 sampai 87 pupuh Sinom, bait 88 sampai bait 95 pupuh Smarandana, bait 96 sampai 104 pupuh Ginada. Bait-bait dimaksud melukiskan tentang Atma Satyawan yang diambil oleh Hyang Yama. Sebagai contoh dikutip bait 104 pupuh Ginada.
104.Sang Hyang Yama mangandika, Bapa 104 ngalugrahin cening, atman Satyawan linepas, sinambi malih mawuwus, mogi cening manggih sadia, istri lewih, sadhu budhi patibrata. Sang Hyang Yama berkata, Bapa menganugrahi anakku, roh Satyawan dilepaskan, sambil berkata lagi, semoga anakku bahagia, perempuan utama, luhur budhi patibrata.

(c) Percaya adanya hukum karma phala Karma phala artinya hasil perbuatan. Karma phala dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sancita, prarabda, dan kriyamana. Sancita ialah phala dari perbuatan dalam kehidupan dahulu yang belum habis dinikmati dan merupakan benih yang menentukan kehidupan sekarang. Prarabda, ialah phala dari perbuatan pada kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi. Kriyamana, ialah hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang (Parisada Hindu Dharma, 1967:21). Dalam cerita Diah Sawitri tercermin adanya hukum karma phala, yakni prarabda dan kriyamana. Segala perbuatan baik Diah Sawitri untuk keselamatan suaminya, mertua dan orang tuanya, phalanya diterima saat itu pula (prarabda) berupa lima macam anugerah dari Hyang Yama. Hal itu tersurat dan tercermin pada sebagian besar jalan ceritanya. Phala dari perbuatan baik Diah Sawitri, akan dinikmati pula oleh seluruh keturunannya (kriyamana). Contoh dapat dilihat pada kutipan pupuh Sinom di bawah ini.

527

105.Sang Satyawan ater budal, cening 105 karwa suka trepti, samas warsa punang yusa, wibhuh prajnyan tan patanding, phalan yajnyane kinardi, tur maderbe putra satus, maka sami dados raja, rawuh putun cening malih, kasub nerus, kertin ceninge ngawinang. 106. Diah Malawi biang i dewa, 106 maputra ya satus diri, nglanturang Malawa wangsa, kesatrya pilih tanding, kadi dewa nenten pahi, kasub nerus tekeng putu, sapupute mangandika, Sang Hyang Yama glis mawali, jaga mantuk, mawali ka swargaloka.

Sang Satyawan diantar pulang, anakku berdua supaya damai dan damai, em-pat ratus tahun usiamu, besar pandai tiada tandingan, pahala dari yadnya yang dibangun, dan mempunyai anak seratus, semuanya menjadi raja sampai cucu nanti, terkenal terus, perbuatan anakku yang menyebabkan. Diah Malawi ibumu, mempunyai anak serartus orang, melanjutkan bangsa Malawa, kesatria pilih tanding, tidak bedanya dengan dewa, terkenal terus sampai cucu, selesai berbicara, Sang Hyang Yama segera pergi, kembali ke Surgaloa.

(d) Percaya adanya samsara (punarbhawa) Punarbhawa atau samsara ialah kelahiran berulang-ulang, yang disebut juga dengan penitisan. Penitisan ini membawa akibat suka duka. Punarbhawa terjadi karena atma masih dipengaruhi oleh kenikmatan dunia (Parisada Hindu Dharma, 1967:23). Samsara (punarbhawa) tersurat dan tercermin dalam Geguritan Diah Sawitri. Contoh hanya dikutip bait 6 pupuh Sinom dan bait 121 pupuh Durma.
6. Hyang Sawitri raris nabda, uduh kita 6. sri nrepti, pinunase kadagingin, kita maputra sawiji, istri lewih prajnya buddhi, rupa hayu lir sitangsu, waranugran Sang Hyang Brahma, aja kita walang ati, puput muwus, nuli ical tan pamatra. 121. Diah Sawitri yening sampun 121 kudang warsa, maputra ya satus diri, sami sadhu purusa, ngamanggehang Salwa wangsa, munggwing Prabhu Aswapati, taler maputra, satus diri sura sakti. Hyang Sawitri bersabda, wahai anak-Ku Raja Madra, permintaanmu dipenuhi, kamu memiliki satu anak, perempuan yang pandai berbudi, sangat cantik, anugrah Sang Hyang Brahma, janganlah raguragu, selesai bersabda lalu Beliau menghilang. Diah Sawitri, entah telah beberapa tahun, mempunyai anak seratus orang, semua laki-laki dan berbudhi luhur, meneruskan bangsa Salwa, sedangkan Raja Aswapati, juga mempunyai anak, seratus orang semua sakti dan gagah berani.

(e) Percaya adanya moksa Moksa menjadi tujuan agama (dharma). Moksa berarti kebebasan dari ikatan keduniawian, bebas dari karma phala, bebas dari samsara. Moksa tidak hanya dicapai setelah meninggal tetapi dapat pula dicapai

528

di dunia ini. Moksa di dunia hanya dapat dicapai jika sudah bebas dari ikatan-ikatan duniawi yang disebut dengan jiwan mukti (moksa semasih hidup). Cara mencapai moksa di dunia adalah dengan jalan berbakti kepada dharma dalam arti seluas-luasnya (Parisada Hindu Dharma, 1967:25). Moksa di dunia tersurat dan tersirat dalam cerita Diah Sawitri. Dikatakan demikian karena semua tokoh cerita berbakti kepada dharma. 2) Etika Etika atau susila adalah ajaran tentang tingkah laku. Tingkah laku dapat dikategorikan ke dalam tingkah laku yang baik (subha karma) dan tingkah laku yang tidak baik (ashuba karma). Tingkah laku yang baik (subha karma), meliputi: tat twam asi, tri kaya parisuda, dasa nyama brata, dan dasa yama brata, sedangkan tingkah laku yang tidak baik (asubha karma/asusila), meliputi: sad ripu, sapta timira, sad tatayi. (1) Tingkah laku baik atau subha karma (a) Tat twam asi Tat twam asi sebagai salah satu ajaran subha karma berarti aku adalah engkau, engkau adalah aku. Kalimat ini berarti bahwa kita wajib mengasihi orang lain seperti kita mengasihi diri sendiri. Hal ini sebagai dasar utama untuk mewujudkan masyarakat yang santi (damai) dan kerta (makmur). Karena itu, tat twam asi harus dilaksanakan dengan cinta kasih, bakti dan rela berkorban (Adia Wiratmadja, 1988:19). Ajaran tat twam asi tersurat dan tersirat pada seluruh cerita Diah Sawitri. Sebagai contoh dikutip bait 49 pupuh Sinom.
49. Uning ring indik punika, 49. Dyumatsena nabda aris, uduh cening mantun bapa, bratan cening berat yukti, sajeroning tigang wengi, upawasane linaku, mireng bawos matuan ida, Sawitri mahatur aris, keni sampun, Ratu sangsaya ring arsa. Mengetahui hal itu, Dyumatsena berkata, wahai anak menantu, bratamu berat sekali, selama tiga hari brata dijalankan, Sawitri lalu berkata, pasti ayah merasa ragu di hati.

(b) Tri kaya parisuda Tri kaya parisudha merupakan tiga laksana baik, yang meliputi kayika (tingkah laku yang baik), wacika (perkataan yang baik), dan manacika (pikiran yang baik). Kayika merupakan tiga macam pengendalian diri dalam bertingkah laku, yakni tidak membunuh (ahimsa), tidak mencuri, tidak berzina. Wacika merupakan empat macam pengendalian melalui perkataan, yakni tidak mencaci maki

529

orang lain, tidak berkata kasar walaupun benar atau sebaliknya tidak berkata lembut tetapi dusta, tidak memfitnah, dan tidak ingkar janji. Manacika merupakan tiga macam pengendalian diri melalui pikiran, yakni tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, tidak berpikir buruk terhadap orang lain, dan tidak mengingkari hukum karma phala (Parisada Hindu Dharma, 1967:50-51, Adia Wiratmadja, 1988: 21-23). Ajaran tri kaya parisudha tersurat dan tersirat pada cerita Diah Sawitri. Ajaran ini tercermin pada perilaku semua tokoh atau pelaku cerita. Sebagai contoh dikutip bait yang melukiskan tidak ingkar janji (wacika) bagian dari tri kaya. Sawitri telah berjanji dalam hati untuk memilih Satyawan sebagai suaminya walaupun ia mengetahui Satyawan usianya sangat pendek.
31. Taler ya wantah apisan, bebawose 31. kengin mijil, pacang manyerahang angga, maring onengin ring kayun, maka tetiga punika, tan mindowin, wantah apisan punika. 32. Napi ida Sang Satyawan, cendek yusa 32. dirgha nawi, napi becik napi kawon, durus dados swami ingsun, sane sampun pilih titiang, tan mindowin, pacang niwakang pilihan. 33. Napi sane pilih titiang, matiti manahe 33. tiling, wedar titiang antuk sabda, punika margiang ingsun, sajeroning malaksana, sri nrepti, sapunika manah titiang. Juga perkataan hanya sekali ke luarnya, untuk menyerahkan diri, kepada yang berkenan di hati, ketiganya itu (tri kaya), tidak mendua lagi, hanya sekali. Sang Satyawan panjang umur atau tidak, baik atau tidak, tetap jadi suami pilihan, tidak dua kali memilih Yang dipilih, berdasarkan keinginan, diucapkan sesuai kata, itulah yang dilaksanakan, dalam setiap berperilaku ayahanda, begitulah keinginanku.

(c) Dasa niyama brata Dasa niyama brata adalah sepuluh pengendalian diri atau sikap mental. Dasa niyama brata, meliputi: dana yaitu pemberian sedekah, ijya artinya hormat atau memuja kepada leluhur dan Hyang Widhi, tapa artinya melatih diri untuk mencapai ketenangan hati, dyana artinya memusatkan pikiran kepada Hyang Widhi, swadhyaya artinya tekun mempelajari ajaran-ajaran suci, upasthanigraha artinya mengendalikan hawa nafsu, brata artinya taat kepada sumpah atau janji, upawasa artinya berpuasa, mona artinya membatasi perkataan, snana artinya melakukan pensucian diri (Parisada Hindu Dharma, 1967:52). Dalam cerita Diah Sawitri, ajaran dasa niyama brata dilaksanakan oleh semua pelaku cerita pada keseluruhan jalan cerita. Sebagai contoh dikutip bait yang melukiskan sikap mental melakukan dana (bait 13 pupuh Durma), upawasa dan brata (bait 48 pupuh Sinom).

530

13. Pamarginnya nyusup alas adoh 13. pisan, pasramane kaparanin, sinambi mapunia, sapupute raris lunga, pasraman liyan paranin, kudang dina, pamargine mrika-mriki. 48. Dinan ida Sang Satyawan, pacang 48. ninggal jagat iki, nenten mari kaelingang, kapetek jeroning ati, crita petang dina malih, Sang Satyawan pacang lampus, Diyah Sawitri sayaga, nangun brata dahat siddhi, wastan ipun, Brata Triratra tan liyan.

Perjalanan mereka masuk-masuk hu-tan, pasraman disinggahi dan mapu-nia (bersedekah), lalu berangkat lagi dan singgah lagi di pasraman lainnya, entah beberapa hari lamanya perjalanan itu. Hari kematian suaminya selalu diingat, dan dihitung-hitung di hati, singkat cerita empat hari lagi, Satyawan akan meninggal, Sawitri bersiap-siap melakukan tapa brata, yang disebut Brata Triratra.

(d) Dasa yama brata Dasa yama brata adalah sepuluh pengendalian atau pengekangan hawa nafsu. Dasa yama brata, meliputi: anresangsya atau arimbawa artinya tidak mementingkan diri sendiri, ksama artinya suka mengampuni dan tahan uji dalam kehidupan, satya artinya setia, ahimsa artinya tidak membunuh, dama artinya dapat menasihati diri sendiri, ardjawa artinya jujur mempertahankan kebenaran, priti artinya cinta kasih kepada sesama makhluk, prasada artinya berpikir dan berhati suci tanpa pamerih, madurya artinya ramah tamah, lemah lembut, mardawa artinya rendah hati (Parisada Hindu Dharma, 1967:5152). Ajaran dasa yama brata dilaksanakan oleh semua tokoh cerita dalam Geguritan Diah Sawitri. Sebagai contoh dikutip bait 101 dan 104 pupuh Ginada yang melukiskan satya.
101.Sang Hyang Yama mangandika, 101 sayan akeh atur cening, lewih tan pendah amreta, sane patut ya pituhu, duh dewa sang patibrata, durus cening, malih nunas waranugra. 104.Sang Hyang Yama mangandika, 104 Bapa ngalugrahin cening, atman Satyawan linepas, sinambi malih mawuwus, mogi cening manggih sadia, istri lewih, sadhu budhi patibrata. Sang Hyang Yama berkata, semakin banyak perkataan anakku, utama seperti amreta, yang sebaiknya ditaati, wahai dewa sang patibrata, silakan anakku memohon lagi. Sang Hyang Yama berkata, Bapa menganugrahi anakku, roh Satyawan dilepaskan, sambil berkata lagi, semoga anakku bahagia, perempuan utama, luhur budhi patibrata.

3) Ritual (Upacara) Ritual adalah cara-cara melakukan hubungan antara Atman dengan Paramatman, antara manusia dengan Hyang Widhi serta semua manifestasi-Nya dengan jalan yadnya untuk mencapai kesucian jiwa.

531

Dalam upacara digunakanlah upakara sebagai alat penolong untuk memudahkan manusia menghubungkan diri dengan Hyang Widhi dan manifestasi-Nya (Parisada Hindu Dharma, 1967:5). Upacara keagamaan yang terbesar dalam agama Hindu dapat dibedakan menjadi lima, yang disebut dengan panca yadnya. Panca Yadnya, meliputi: (1) Dewa yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada Hyang Widhi dan segala manifestasi-Nya; (2) pitra yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk mengembalikan Atman dari bhuh loka (bumi) dan buah loka (alam pitara) ke swah loka (Sorga atau alam Hyang Widhi); (3) Rsi yadnya, yaitu pengorbanan suci untuk Rsi-rsi atau orang suci; (4) Bhuta yadnya, yaitu pengorbanan suci kepada semua makhluk dan kepada alam semesta untuk memperkuat keharmonisan hidup; (5) manusa yadnya, yaitu pengorbanan suci yang ditujukan untuk kesempurnaan hidup manusia. Upacara manusa yadnya dilakukan sejak bayi dalam kandungan, bayi baru lahir, bayi berumur 42 hari (tutug kambuhan), bayi berumur 3 bulan, bayi berumur 6 bulan (oton), anak meningkat dewasa (rajasewala), potong gigi, dan menikah (Parisada Hindu Dharma, 1967:5559). Dalam cerita Diah Sawitri tercermin upacara Dewa yadnya, Rsi yadnya dan Manusa yadnya. Upacara Dewa yadnya tersurat pada bait 26 pupuh Sinom, yakni saat-saat Prabhu Madra (Sang Aswapati) melakukan tapa brata dan agnihotra dalam rangka supaya memperoleh keturunan. Sebagai contoh hanya dikutip bait 3.
3. Munggwing yusan Prabhu Madra, sampun reko ngawit lingsir, sakewanten tan maputra, ngardi sungkawaning ati, tapa brata ya kinardi, Agenihotra winangun, Hyang Sawitri inastawa, wolulas warsa pinasti, raris turun, Hyang Sawitri mangandika. 3. Adapun usia Sang Raja Madra, Beliau telah berumur, tetapi tidak mempunyai anak, yang menyebabkan sedih, tapa brata dilakukan, upacara Agni hotra dilakukan, dengan memuja Hyang Sawitri, selama 18 tahun memuja, maka turun dan bersabdalah Beliau.

Upacara Dewa yadnya juga dilakukan oleh Sawitri pada saat menjelang kematian suaminya (Satyawan) yang tersurat pada bait 40 sampai bait 54 pupuh Pangkur dan pupuh Sinom. Di bawah ini dikutipkan bait 51 pupuh Sinom sebagai contoh.

532

51. Crita mangkin dalu kala, benjang Sang Satyawan mati, tumuli sang patibrata, nincapang bratane lewih, benjang pasemengan raris, suryane sampun umetu, nuli ida nangun homa, katur maring Hyang Ageni, sampun puput, raris nunas pangastutiya.

51.

Dikisahkan telah tengah malam, dan keesokan harinya Satyawan akan me-ninggal, Sang patibrata meningkatkan bratanya lagi, pagi-pagi sekali saat matahari terbit, Sawitri mengadakan upacara (homa) dipersembahkan kepa-da Hyang Agni, lalu meminta pemujaan.

Upacara Manusa yadnya, yakni saat dilaksanakan perkawinan Sawitri dengan Satyawan. Hal ini dinyatakan pada bait 36 39 pupuh Ginada yang menyangkut proses pernikahan, dan bait 40 46 pupuh Pangkur tentang pelaksanaan pernikahan. Di bawah ini dikutipkan bait 45 pupuh Pangkur sebagai contoh.
45. Sampun adung pawirasan, nuli 45. gelis sang kalih ya katiwakin, sangaskara manut unduk, Aswapati nganugrahang, sarwa mule, lan busana jangkep cukup, maring putrin ida tunggal, raris mawali ka puri. Setelah sepakat, keduanya segera diupacarai sesuai tata cara, Aswapati menyerahkan, oleh-oleh dan busana lengkap, kepada putrinya, lalu kembali ke kerajaan.

Upacara Rsi yadnya dilaksanakan pula oleh Sawitri pada saat ia mencari calon suami. Ia pergi sangat jauh sampai masuk ke pasramanpasraman di hutan. Setiap masuk pasraman, Sawitri memberikan punia tanpa pamrih. Menurut Wangsa (1998:11 dan 37), punia seperti itu termasuk sadhana ri kasiddhaning dharma (dharmarthah), artinya dana itu untuk menjalankan dharma, yang kualitasnya termasuk sattwic dana, yaitu pemberian berkualitas putih. Maksudnya adalah pemberian itu diberikan pada waktu, tempat, dan orang yang tepat dan tanpa maksud di balik pemberian itu. Pemberian punia itu tersurat pada bait 13 pupuh Durma. Berikut ini kutipannya.
13. Pamarginnya nyusup alas adoh pisan, pasramane kaparanin, sinambi mapunia, sapupute raris lunga, pasraman liyan paranin, kudang dina, pamargine mrikamriki. 13. Perjalanan mereka masuk-masuk hu-tan, pasraman disinggahi dan mapu-nia, lalu berangkat lagi dan singgah lagi di pasraman lainnya, entah beberapa hari lamanya perjalanan itu.

Berpedoman pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan pupuh Sinom, pupuh Durma, pupuh Ginada, pupuh Pangkur dan pupuh Smarandana, pengarang berhasil menggambarkan filsafat, etika dan ritual agama Hindu lewat perilaku/penokohan sang tokoh cerita. Dengan teknik persona ketiga (third-person), pengarang berhasil

533

melukiskan sebuah dunia dalam kata lewat rangkaian peristiwa sebuah cerita (plot), penokohan, latar serta gaya bahasa yang indah dan menarik. Tujuan hidup sang tokoh cerita yang dilukiskan oleh pengarang adalah kebahagiaan dan kedamaian bagi orang-orang yang dicintainya (moksartham jagathitaya ca iti dharmah). Tujuan hidup sang tokoh cerita tercapai berkat perilakunya yang satya, patibrata, dan subha karma, serta didukung oleh tekad dan kemauan keras untuk mencapai tujuan hidupnya. Manusia diciptakan oleh Tuhan telah dilengkapi dengan akal-pikiran. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial, yang pada dirinya terdapat dorongan untuk bergaul, dan hasrat untuk meniru. Manusia mempunyai tiga kemampuan yang disebut tri sakti, yaitu iccha-sakti (kemauan), kryasakti (prana/kekuatan) dan jenana-sakti (intelek), yang biasanya disebut cipta, rasa dan karsa atau bayu-sabda-idep. Untuk dapat mengembangkan kehidupan ke arah yang lebih baik dan dapat mewujudkan kebahagiaan, manusia harus taat pada hukum dan peraturan-peraturan kehidupan sesuai agama yang dianutnya. Manusia harus mencari dan membina kebahagiaannya sendiri, sebab hal itu datangnya dari dalam diri manusia sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk termulia derajat dan martabatnya dibandingkan ciptaan Tuhan lainnya. Manusia tidak hanya berada di dunia, tetapi juga mengatasi dunia. Manusia sadar akan perbuatannya dan juga sadar akan caranya berbuat. Manusia dapat menentukan dan mengatur hidupnya karena manusia menggunakan akal-pikiran untuk mengelola alam ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, manusia menggunakan akal-pikirannya untuk senantiasa menciptakan sesuatu yang dapat meringankan beban hidup dan menyenangkan dirinya. Dalam kenyataan hidup ini, kehidupan mempunyai hubungan timbal balik dengan agama. Hubungan dimaksud bersifat dinamis. Manusia harus insaf terhadap panggilan dan tanggung jawabnya kepada kehidupan ini. Setiap kegiatan dalam kehidupan selalu membutuhkan anugerah Tuhan. Pada dasarnya manusia mempunyai kekuatan, daya/tenaga yang harus diwujudkan dan disempurnakan. Misalnya, kekuatan pikiran dapat menciptakan pengetahuan, teknik, filsafat. Kekuatan kehendak apabila disalurkan ke jalan yang benar dapat menimbulkan tata susila. Dan, manusia sendiri mempunyai kerinduan, yaitu kerinduan kepada sesama manusia dan kepada Hyang Widhi (Tuhan). Jika kerinduan terhadap sesama manusia diwujudkan dapat melahirkan kehidupan yang bahagia, adat istiadat, bangsa dan negara.

534

Bila kerinduan terhadap Tuhan disempurnakan dapat menimbulkan sembahyang, iman (sradha) dan dharma sedana sesama manusia dan bakti kepada Hyang Widhi. Kehidupan yang digambarkan dalam cerita Diah Sawitri masih relevan dengan kehidupan orang-orang yang beragama Hindu di Bali khususnya dan orang-orang di jagat raya secara umum dalam kenyataan. Masyarakat Bali Hindu selalu mulat sarira/melakukan pembenahan diri ke arah yang lebih baik, demi harga diri, jati diri dan martabat keluarga, namun tetap berdasarkan swadharma. Masyarakat Bali Hindu sangat percaya pada ajaran agama Hindu yang meliputi filsafat, etika dan ritual. Dalam menempuh perjalanan kehidupan ini, lima kepercayaan (panca rada) dijadikan landasan berpijak oleh masyarakat Bali Hindu. Segala tindakan dan perilaku tokoh cerita dalam menghadapi permasalahan kehidupannya ada relevansinya dengan tindakan dan perilaku yang dilakukan masyarakat Bali Hindu dalam kehidupan nyata. Hanya saja tindakan yang dilakukan tidak persis sama seperti dalam teks. Yang relevan adalah adanya suatu usaha dan tekad untuk mengatasi permasalahan kehidupan. Sebagai manusia biasa, yang memiliki keterbatasan kemampuan, masalah hasil dari sebuah usaha, sepenuhnya dipasrahkan kepada Tuhan, sebab manusia hanya bisa merencanakan, sedangkan keputusan akhir ada pada Tuhan. Dengan membaca dan memahami cerita Diah Sawitri, masyarakat Bali Hindu yang telah memiliki keyakian terhadap ajaran agamanya lebih terinspirasi lagi untuk selalu mulat sarira/melakukan pembenahan diri ke arah yang lebih baik dalam menghadapi kehidupan di era globalisasi ini. III. SIMPULAN Cerita Diah Sawitri merupakan sebuah karya sastra geguritan, yang dapat dijadikan model kehidupan. Model kehidupan yang terlukiskan di dalamnya dapat memberi inspirasi bagi pembaca berkaitan dengan eksistensi dirinya dalam era globalisasi. Di dalamnya terkandung nilai-nilai kearifan lokal, baik yang tersurat maupun tersirat. Nilainilai kearifan lokal dimaksud berkaitan dengan ajaran agama Hindu, yang meliputi filsafat/tatwa, etika/susila dan ritual. Filsafat/tatwa yang termuat dalam Geguritan Diah Sawitri meliputi: filsafat tri hita karana dan panca rada. Etika yang dilukiskan dalam geguritan dimaksud hanyalah tingkah laku subha karma, yang meliputi: tat twam asi, tri kaya parisuda, dasa niyama brata, dan dasa yama brata, sedangkan ritual yang dilukiskan di dalamnya meliputi: dewa yadnya, rsi yadnya dan manusa yadnya.

535

DAFTAR PUSTAKA
Adia-Wiratmaja, G.K. 1988. Etika Tata Susila Hindu Dharma. Agastia. I.B.G. 1987. Sagara Giri:Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna. Denpasar: Wyasa Sanggraha. Dharmayuda, I.M.S. dan I Wayan Koti antika. 1991. Filsafat Adat Bali. Denpasar: Upada Sastra. Hasan Alwi. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Karmini, Ni Nyoman. 2008. Sosok Perempuan dalam Teks Geguritan di Bali: Analisis Feminisme. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana. Kutha-Ratna, I.N. 2005. Sastra dan Cultural Studies:Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Medera, N. 1997. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Upada Sastra. Parisada Hindu Dharma. 1967. Upadea. Pendit, N.S. 1989. Bhagavadgita. Yayasan Dharma Sarathi. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tinggen, I.N. 1994. Aneka sari Gending-gending Bali. Denpasar: Rhika Dewata. Wangsa, I. 1998.Mencari Harta dan Mengelola Dana. Warta Hindu Dharma, No.380 November 1998. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat. Warna, I.W. 1990. Kamus Bali-Indonesia. Bali: Dinas Pendidikan Dasar Provinsi.

536

Pendidikan yang berkarakter Nusantara mendesak untuk dirumuskan! Perumusan itu hendaknya dilakukan oleh segenap komponen bangsa yang memangku kepentingan di bidang pendidikan dan yang berminat untuk itu. Isi pendidikan yang berkarakter se-Nusantara diambil dari nilai-nilai luhur budaya daerah yang ada di Nusantara.
Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum. Rektor IKIP PGRI Bali

ISBN 979379077-6

9 789793 790770

Anda mungkin juga menyukai