Anda di halaman 1dari 8

BAB V KEBUTUHAN MINERAL MAKRO PADA HEWAN

5.1

Kalsium (Ca) Kalsium (Ca) merupakan elemen mineral yang paling banyak dibutuhkan

oleh tubuh ternak (McDonald et al., 2002). Ca memiliki peranan penting sebagai penyusun tulang dan gigi. Sekitar 99 % dari total tubuh terdiri dari Ca. Selain itu Ca berperan sebagai penyusun sel dan jaringan (McDonald et al., 2002). Menurut Piliang (2002), fungsi Ca yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai penyalur rangsangan-rangsangan syaraf dari satu sel ke sel lain. Jika ransum ternak pada masa pertumbuhan defisien Ca maka pembentukan tulang menjadi kurang sempurna dan akan mengakibatkan gejala penyakit tulang. Gejala penyakit tulang diantaranya adalah wajah keriput, pembesaran tulang sendi, tulang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sedangkan pada ransum ternak dewasa yang mengalami defisien Ca akan menyebabkan osteomalacia (Piliang, 2002). Ca air susu cukup stabil walaupun defisiensi Ca, namun produksi susu akan turun. Ransum yang memiliki kadar Ca yang rendah akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin (Foley et al.,1972). Ca untuk ternak berfungsi sebagai pembentuk tulang dan gigi, transmisi saraf, pengaturan jantung, pembekuan darah, aktivitas dan stabilisasi enzim dan sebagai komponen mineral dalam susu pada sapi laktasi (NRC, 2002; Horst et al., 1994). Beberapa faktor makanan dapat membantu meningkatkan absorpsi Ca, sedangkan beberapa faktor lain dapat menurunkan absorpsi Ca oleh usus halus. Asam fitat dan asam oksalat dapat menurukan absorpsi mineral Ca dengan jalan mengikat Ca dan membentuk garam Ca yang tidak larut dalam lumen usus halus (Piliang, 2002).

5.2

Magnesium (Mg) Magnesium merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan oleh ternak

yang berfungsi dalam perkembangan tulang dan aktivitas sistem enzim (McDonald, 1988), kadarnya dalam tulang sekitar 62% dan 1% dalam sel. Kadar

Mg plasma dalam keadaan normal adalah 1,70-2,50 mg/dl (Georgievskii, 1982) atau 2-4 mg/dl (McDowell, 1992). Magnesium dalam plasma sebagian terikat dalam protein yang tidak terdifusi, sebagian dalam bentuk molekul dan bentuk bebas (Vrzgula, 1990). Tubuh hewan dewasa mengandung 0,05% Mg. Retensi dan absorpsi Mg pada sapi perah erat kaitannya dengan kebutuhannya. Enam puluh persen Mg dalam tubuh hewan terkonsentrasi di tulang sebagai bagian dari mineral yang mengkristal dan permukaan kristal terhidrasi (Linder, 1992). Menurut McDonald et al. (2002), Mg berperan dalam membantu aktivitas enzim seperti thiamin phyrofosfat sebagai kofaktor. Ketersediaan Mg dalam ransum harus selalu tersedia. Perubahan konsentrasi Mg dari keadaan normal selama 2-18 hari dapat menyebabkan hipomagnesemia (Toharmat dan Sutardi, 1985). Sekitar 30-50% Mg dari rata-rata konsumsi harian ternak akan diserap di usus halus. Penyerapan ini dipengaruhi oleh protein, laktosa, vitamin D, hormon pertumbuhan dan antibiotik (Ensminger et al., 1990). Magnesium sangat penting peranannya dalam metabolisme karbohidrat dan lemak. Defisiensi Mg dapat meningkatkan iritabilitas urat daging dan apabila iritabilitas tersebut parah akan menyebabkan tetany (Linder, 1992). Defisiensi Mg pada sapi laktasi dapat menyebabkan hypomagnesemic tetany atau grass tetany. Keadaan ini disebabkan tidak cukupnya Mg dalam cairan ekstracellular, yaitu plasma dan cairan interstitial (National Research Council, 1989). Kebutuhan Mg untuk hidup pokok adalah 2-2,5 gram dan untuk produksi susu adalah 0,12 gram per milligram susu. Ransum yang mengandung 0,25% Mg cukup untuk sapi perah yang berproduksi tinggi (National Research Council, 1989).

5.3

Sodium, Potassium, dan Chlorin Sodium, potasium, dan klor merupakan elektrolit yang tersebar luas dalam

tubuh hewan. Sodium dan klor terdapat dalam cairan ekstra selular. Adapun potasium banyak dijumpai dalam intra selular. Sodium, potasium dan klor sangat penting dalam pengontrolan tekanan osmotik dan keseimbangan asam-basa.

Membran plasma mengandung suatu energi dan energi ini tergantung kepada kemampuan Na+. Na+ dalam intra selular ditransfer ke ekstra selular, akibatnya Na+ berlebih dalam ektra selular sehingga mengakibatkan K+ dalam ektra selular masuk ke intra selular. Sebaliknya K+ akan berlebih dalam intra seullar sehingga akan dikeluarkan dan masuklah Na+, begitu seterusnya. Sodium adalah ion utama monovalen dari cairan ekstra selular, di dalam aliran darah mengandung 93 persen ion sodium. Fungsi lain dari sodium adalah mempengaruhi irritabilitas otot dan berperan dalam penyerapan karbohidrat. Potasium adalah kation terbanyak dari cairan intra selular dan mengatur tekanan osmotik intra selular serta mengatur keseimbangan asam-basa. Potasium seperti halnya sodium mempunyai efek stimulasi terhadap irritabilitas otot. Potasium juga diperlukan untuk sintesa glikogen dan protein. Klor adalah anion utama monovalen dalam cairan ekstra selular. Klor dalam plasma darah dan cairan ekstra selular terdapat sekitar 65 persen dari anion yang ada. Klor juga mempunyai peranan sebagai pengatur tekanan osmotik dan kesimbangan asam basa. Klor juga berperan khusus dalam transpor oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan pemeliharaan cairan tubuh.

5.4

Phosphor (P) Fosfor (P) merupakan mineral kedua terbanyak dalam tubuh dengan

distribusi dalam jaringan yang menyerupai distribusi Ca. Fosfor memegang peranan penting dalam proses mineralisasi tulang (Piliang, 2002). Fosfor (P) adalah mineral yang jumlahnya terbesar kedua setelah Ca yaitu29% dari total mineral tubuh (McDowell, 1992), atau sekitar 80%-85% total P tubuh; P seperti juga Ca berfungsi dalam pembentukan tulang dan gigi, dan berperan dalam fosforilasi dan oksidasi beberapa enzim penting. Fosfor juga merupakan pembentuk protein fosfor, asam nukleat dan lipida-lipida fosfor, dan mempunyai peranan dalam metabolisme Ca(Williamson dan Payne, 1993). Pada ruminansia P dibutuhkan untuk perkembangan mikroba rumen (Vrzgula, 1990). P pada ruminansia juga sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan sel mikroba rumen dan mencerna serat maksimal oleh bakteri selulolitik serta menstimulir produksi VFA (Chruch 1988; Rukebusch dan Stivend, 1980). Fosfor dibutuhkan oleh semua sel

mikroba terutama untuk menjaga integritas dari membran sel dan dinding sel, komponen dari asam nukleat dan bagian dari molekul berenergi tinggi seperti ATP dan ADP (Bravo et al., 2003; Rodehutscord et al., 2000). McDonald et al. (2002) menyatakan P mempunyai fungsi sangat penting bagi tubuh ternak diantara elemen mineral lainnya. Fosfor umumnya ditemukan dalam bentuk phospholipid, asam nukleat dan phosphoprotein. Kandungan P dalam tubuh ternak lebih rendah daripada kandungan Ca. Gejala defisiensi P yang parah dapat menyebabkan persendian kaku dan otot menjadi lembek. Ransum yang rendah kandungan P-nya dapat menurunkan kesuburan (produktivitas), indung telur tidak berfungsi normal, depresi dan estrus tidak teratur. Pada ternak ruminansia mineral P yang dikonsumsi, sekitar 70% akan diserap, kemudian menuju plasma darah dan 30% akan keluar melalui feses. Fosfor yang berasal dari makanan diabsorpsi tubuh dalam bentuk ion fosfat yang larut (PO4-). Gabungan mineral P dan mineral Fe dan Mg akan menurunkan absorpsi P (Piliang, 2002). Asam fitat yang mengandung P ditemukan dalam biji-bijian dapat mengikat Ca untuk membentuk fitat. Fitat yang terbentuk tidak dapat larut sehingga menghambat absorpsi Ca dan P. Dari seluruh jumlah P yang terdapat dalam makanan sekitar 30% melewati saluran pencernaan tanpa diabsorpsi. Seperti halnya dengan kalsium, maka vitamin D dapat meningkatkan absorpsi P dari usus halus (Piliang, 2002).

5.5

Sulfur (S) Sulfur (S) merupakan komponen penting protein pada semua jaringan

tubuh. Pada ruminansia 0,15% komponen jaringan tubuh terdiri atas unsur S, sedangkan pada air susu sebesar 0,03%. Pada hewan ruminansia terjadi sintesis asam-asam amino yang mengandung mineral S dengan vitamin B oleh mikroba di dalam rumen. Terdapat dua macam mekanisme metabolisme mineral S pada hewan ruminansia, yaitu mekanisme yang menyerupai mekanisme mineral S pada hewan-hewan monogastrik dan mekanisme yang dihubungkan dengan aktivitas mikroorganisme dalam rumen (Piliang, 2002). Kandungan mineral S pada tanaman hijauan dapat berkisar dari 0,04% sampai melebihi 0,3%. Bahan

makanan yang mengandung protein tinggi akan mengandung kadar mineral S yang tinggi pula (Piliang, 2002). Sulfur adalah komponen penting dari beberapa asam amino (metionin dan sistein), vitamin (thiamin dan biotin), hormon insulin dan eksoskleton krustacea. Sulfur dalam bentuk asam sulfat merupakan komponen penting dari chondrotin, fibrinogen, dan taurin. Beberapa enzim seperti koenzim A dari glutathione, keaktifan mereka tergantung kepada gugus sulphidril bebas. Sulfur juga terlibat dalam detoksifikasi senyawa-senyawa aromatik di dalam tubuh unggas dan hewan lainnya. Sulfur atau belerang adalah salah satu unsur penting yang mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen. Sulfur berperan dalam pembentukan protein mikroba. Rasio N : S dalam protein mikroba berkisar antara (11:1) sampai (22:1), dengan perbandingan rata 14:1. Sulfur diabsorpsi di dalam rumen dalam bentuk sulfida (Arora,1989). Belerang berada dalam bentuk sulfat yang terdapat pada tulang rawan dan terikat dalam ikatan ester ke asam amino serin dalam hormon peptide kolesistokinin. Peran S sangat penting dalam tubuh yaitu untuk pembentukan protein mikroba dan defisien S mengindikasikan defisien protein mikroba dalam tubuh (McDonald, 2002). Selain berperan dalam pembentukan protein mikroba, S juga berperan dalam menstimulir produksi VFA (Ruckebusch dan Stivend,1980). Sebagian besar senyawa sulfur dapat disintesis secara in vivo dari asam amino esensial. Kadar S dalam ransum sebesar 0,20% diperkirakan cukup untuk memenuhikebutuhan sapi perah laktasi. Hewan-hewan yang diberi ransum defisien dalam mineral sulfur akan menunjukkan penyakit anorexia, penurunan bobot badan, penurunan produksi susu, kekurusan, kusut, lemah dan akhirnya mati. Tanda-tanda tersebut berhubungan erat dengan menurunnya fungsi rumen dan fungsi sistem peredaran darah (McDowell, 1992).

Tabel 5.1 Kebutuhan Mineral Makro Pada Ternak Mineral Makro Kalsium (Ca) Fosfor (P) Magnesium (Mg) Bobot Tubuh (g/kg) 15 10 0,4

Sulfur (S) Natrium (Na) Kalium (K) Klor (Cl) Sumber: McDonald et al. (2002)

1,5 1,6 2 1,1

Tabel 5.2 Kebutuhan Mineral untuk Sapi Perah Laktasi Awal laktasi 0,77 0,48 0,25 0,25 Laktasi Kering 0,39 0,24 0,16 0,16 Produksi 7- Produksi 13-20 13 liter liter 0,43 0,51 0,28 0,33 0,20 0,20 0,20 0,20

Mineral

Jantan

Dara 0,41 0,30 0,16 0,16

Ca (%) 0,30 P (%) 0,19 Mg (%) 0,16 S (%) 0,16 Sumber: NRC (2002)

Tabel 5.3. Kebutuhan Mineral Sapi Pedaging Mineral Growing Finishing Ca (%) 0,13 P (%) 0,05 Mg (%) 0,10 S (%) 0,15 Na (%) 0,06 -0,08 Fe (mg/kg) 50 Mn (mg/kg) 20 Zn (mg/kg) 30 Sumber: NRC (2002) Dara 0,27 0,19 0,12 0,15 0,06-0,08 50 40 30 Awal laktasi 0,16 0,09 0,20 0,15 0,10 50 40 30

Daftar Pustaka

Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Edisi Indonesia. Penerbit Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta. Bravo, D., D. Sanvant, C. Bogaert and F. Meschy. 2003. Quantitative aspect of phosphorous absorption in ruminant. Reproductive Nutrition Development 43 : 271-284. INRA. EDP. Sciences. Church, D. C. 1988. Livestock Feed and Feeding. Third Edition. Prentice Hall. International Edition. Rhoma, Italy. Foley, T. P., Owings, J., Hayford, J. T., and Blizzard, R. M. (1972). Serum thyrotropin responses to synthetic thyrotropin-releasing hormone in normal children and hypopituitary patients. J'ournal of Clinical Investigation, 51, 431. Georgievskii. 1982. Mineral Nutrition of Animal. English Transition Butterworth and Co. English. Linder, C. M., 1992 Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Terjemahan : A. Parakkasi. UI Press. Jakarta. McDonald, P. ; Edwards, R.A. ; Greenhalgh, J. F. D., 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. Longman, London and New York. 543 pp McDowell, L. R. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. Academic Press, Inc. Publisher, San Fransisco. NRC. 1989. National Research Council Nutrient Requirement of Dairy Cattle. 7th Edition. Natl. Acad. Sci., Washington, D. C. Piliang, W. G. 2002. Nutrisi Vitamin. Volume I. Edisi ke-5. Institut Pertanian Bogor. Press, Bogor. Piliang, W. G. & S. Djojosoebagio. 2000. Fisiologi Nutrisi. Ruckebusch, Y and P. Thivend, 1980. Digestive Physiologi and Metabolism in in Ruminant. Avi Publishing Co. Westport, Connecticut.

Toharmat, T & T. Sutardi. 1985. Kebutuhan mineral makro untuk produksi Susu pada sapi perah laktasi Dihubungkan dengan kondisi faalnya. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. VRZGULA, L., SOKOL, J. 1990: Interpretacia enzymatickeho profilu. In: VRZGULA L. a kol.: Poruchy latkoveho metabolizmu hospodarskych zvierat a ich prevencia. 2th ed., Priroda Bratislava, pp. 479-481 Williamson dan Payne G. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Diterjemahkan oleh Djiwa Darmaja. Yogyakarta : UGM Press.

Anda mungkin juga menyukai