Anda di halaman 1dari 5

MENGAPA SEBUAH KHOTBAH TIDAK MENARIK?

oleh: Pdt.

Benny Solihin, M.Th.

Bukan Pekerjaan yang Mudah Khotbah tidak seperti sebuah film. Film menyampaikan pesannya melalui paduan gambar, kata, dan musik, serta didukung oleh banyak artis profesional yang di samping cantik dan ganteng juga berakting dengan sempurna atas peran yang mereka jalankan. Itulah sebabnya, film menjadi begitu menarik dan hidup. Sangat berbeda dengan khotbah, hampir seluruh pesannya disampaikan hanya dengan sarana kata-kata, tidak ada latar belakang gambar yang berganti-ganti, tidak ada musik pendukung, dan tidak ada artisartis profesional selain si pengkhotbah itu sendiri. Jemaat hanya melihat satu orang yang sama dengan suara yang sama dan latar belakang panggung yang sama. Tidak heran, khotbah memang sangat sukar menarik perhatian pendengar, dan berkhotbah jelas bukan suatu pekerjaan yang mudah. Namun demikian, itu bukan berarti kita tidak mungkin berkhotbah dengan menarik. Dalam sejarah Kekristenan, tidak sedikit pengkhotbah yang berkhotbah dengan sangat menarik, bahkan pengaruhnya jauh lebih besar daripada sebuah film yang paling berpengaruh. Kekuatan seorang pengkhotbah tentu saja pertama-tama dan yang terutama terletak pada kuasa Roh Kudus yang menyertai pemberitaan hamba-hamba-Nya (Kisah Para Rasul 1:8). Roh Kudus memakai orang-orang yang biasa untuk mengabarkan kabar kesukaan yang luar biasa. Ia mengurapi mereka dengan kuasa-Nya sehingga apa yang mereka beritakan menjadi begitu menarik dan mengena pada kehidupan para pendengar mereka. Betapa pun besar dukungan penyertaan Roh Kudus, seorang pengkhotbah tetap mempunyai bagian untuk memberikan usahanya yang terbaik dalam membuat khotbahnya menjadi lebih menarik. Umumnya, khotbah yang menarik mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempengaruhi pendengar daripada khotbah yang tidak menarik. Oleh karena itu, seorang pengkhotbah perlu terus mengevaluasi khotbah-khotbahnya dan mempunyai kesediaan untuk mengubah bentuk khotbahnya dan cara khotbahnya jika memang itu
1

diperlukan. Tujuan tulisan ini adalah memberi sedikit sumbangsih bagi para pengkhotbah yang merasa perlu untuk terus membuat khotbahnya menjadi lebih menarik. Untuk membuat khotbah kita lebih menarik, akan lebih mudah jika kita pertama-tama mengetahui lebih dahulu apa yang membuat sebuah khotbah menjadi sangat membosankan. Kita akan membagi hal itu menjadi dua bagian. Bagian pertama menyangkut teknik penyampaian khotbah, sedangkan bagian kedua menyangkut isi khotbah. Penyampaian Khotbah: Bahasa Konsep yang Menjenuhkan Sekali lagi kita perlu menyadari bahwa hampir seluruh pesan suatu khotbah disampaikan hanya dengan sarana kata-kata, dan jemaat menangkap berita khotbah sebagian besar hanya melalui pendengaran mereka. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi jika bahasa dan suara yang digunakan oleh seorang pengkhotbah tidak hidup atau monoton. Mereka akan bosan dan pada akhirnya tidak akan menaruh minat lagi terhadap berita khotbah. Di sinilah seorang pengkhotbah ditantang untuk terus memperbaiki bahasa khotbahnya. Bahasa khotbah yang baik bukan berarti bahasa khotbah yang padat dengan istilah teologis, atau bahasa yang mempunyai tata bahasa yang baik. Bahasa khotbah yang baik adalah bahasa yang mengena, hidup, dan memancing imajinasi pendengar. Bahasa seperti ini kadang-kadang memiliki tata bahasa tidak terlalu tepat, tetapi sangat akrab dan mengena di telinga pendengar. Dampaknya langsung dirasakan oleh pendengar karena mereka tidak perlu mencerna dua tiga kali tentang apa yang dimaksud oleh si pengkhotbah. Jika kita memakai bahasa yang membutuhkan waktu bagi jemaat untuk memahami maksudnya, sedangkan sementara mereka berpikir kita sudah meneruskan dengan kalimat yang lain lagi yang mungkin juga membutuhkan waktu untuk mencernanya, maka jemaat akan merasa frustrasi dengan banyak hal yang mereka tidak mengerti. Pada akhirnya, mereka akan berhenti dalam mengikuti alur pikir khotbah kita walaupun secara lahiriah mata mereka masih menatap kita. Bahasa yang hidup adalah bahasa gambar, bukan bahasa konsep. Bahasa konsep berisi definisi, penjelasan-penjelasan abstrak yang lebih banyak bermain dalam kata benda atau kata ganti daripada kata kerja dan kata sifat. Bahasa gambar adalah bahasa yang menimbulkan sentuhan pada indra-indra kita dan menimbulkan gambaran atau imajinasi dalam benak pendengar. Bahasa seperti ini adalah bahasa cerita: penuh lukisan (metafora) dan sentuhan perasaan. Di sepanjang Alkitab, kita menemukan bahwa banyak penulis Alkitab imajinasi dalam tulisan
2

menggunakan

mereka.

Warren

W.

Wiersbe

dalam

bukunya Preaching and Teaching with Imagination mengutip perkataan L. Ryken yang berkata, Cara mengungkapkan kebenaran Allah yang paling umum dalam Alkitab bukan dalam bentuk khotbah atau kerangka teologis tetapi dalam bentuk cerita, puisi, visi, dan surat. Semuanya itu adalah bentuk sastra dan hasil dari imajinasi. Yang dimaksud dengan imajinasi di sini bukan sesuatu yang berhubungan dengan fantasi atau khayalan tetapi suatu kemampuan yang berhubungan dengan kapasitas untuk melihat dan merasakan sesuatu yang tidak ada di depan mata jasmani kita. Seperti halnya film yang menyajikan banyak gambar untuk menyampaikan berita, seorang pengkhotbah harus berusaha menciptakan gambar-gambar dengan kata-katanya sehingga jemaat yang mendengarkan bukan hanya mengerti berita yang disampaikan, tetapi juga melihat dan merasakannya. Mereka mengalami dan masuk ke dalam situasi yang dikatakan oleh si pengkhotbah. Seorang pengkhotbah yang berkhotbah dengan bahasa seperti ini akan selalu mampu memikat pendengarnya. Dengan bahasa seperti inilah Nabi Natan menyampaikan tegurannya kepada Daud pada waktu ia telah melakukan dosa yang amat keji di hadapan Allah, yakni berzinah dengan Batsyeba dan membunuh suaminya, Uria (2 Samuel 12:1-14). Bahasa gambar lebih cepat ditangkap dan juga bertahan lama dalam ingatan. Sering kita mendengar orang berkata, Wah pendeta kita kalau berkhotbah sangat encer, doktrinnya tidak jelas, dan yang diingat oleh jemaat paling-paling hanya ilustrasinya. Kalimat seperti ini pasti bukan kalimat penghormatan untuk pendeta tersebut. Namun demikian, kalimat ini mengandung sesuatu yang perlu kita perhatikan, yaitu mengapa jemaat lebih sering mengingat ilustrasi suatu khotbah daripada isi khotbah dan doktrinnya? Seorang bapak berkata, Saya lupa pendeta tersebut berkhotbah tentang apa dan dari teks Alkitab yang mana, tapi saya masih ingat ilustrasi yang digunakannya pada waktu itu ketika ia memimpin retret remaja kami tiga puluh tahun yang lalu. Fakta ini jelas mengatakan kepada kita bahwa bahasa gambar (cerita) lebih berkesan mendalam daripada bahasa konsep yang abstrak. Tidak heran bila Yesus lebih banyak menggunakan cerita dalam khotbah dan pengajaran-Nya daripada bahasa teologis yang rumit. Injil juga menyajikan banyak cerita, symbol, dan perumpamaan. Kita tidak akan mengerti Injil Yohanes dengan sepenuhnya bila kita membaca dan menganalisanya secara harafiah dan rational, karena penulis Injil tersebut menyajikan tulisannya dengan menggunakan bahasa simbol rohani. Umpamanya, Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya. Jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak akan dapat melihat kerajaan Allah. Angin bertiup ke mana ia
3

mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Akulah Air hidup. Akulah Roti hidup. Bahasa seperti ini bukan bahasa definisi tetapi bahasa gambar yang hidup. Perhatikan cara Yesus mengajar murid-murid-Nya dengan bahasa gambar dalam Matius 6:26. Kepada para murid-Nya yang sedang mengkhawatirkan masa depan mereka, Dia berkata, Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? Para murid tidak perlu berpikir dua kali tentang apa yang dimaksud Yesus dengan perkataannya itu, sebab bahasa yang Yesus gunakan sudah menciptakan dalam pikiran mereka gambaran tentang burung-burung yang terbang di langit bebas dan gambaran tentang petani yang sedang menabur, menuai, dan mengumpulkan bekal dalam lumbung. Dari perbandingan ini, mereka dengan cepat mengerti apa yang dimaksud oleh Yesus, yakni jangan khawatir. Menguasai Bahasa Gambar Atau Cerita Untuk dapat mahir menggunakan bahasa gambar atau cerita tentu saja diperlukan latihan. Salah satu cara yang terbaik untuk menguasainya adalah dengan menulis naskah khotbah kita secara lengkap. Dengan menulis, kita dipaksa untuk memikirkan dan memilih setiap kata yang hendak kita gunakan. Kita menyadari bahwa waktu khotbah kita terbatas dan daya konsentrasi jemaat untuk memperhatikan khotbah kita juga terbatas. Dengan demikian, tentunya kita tidak ingin membuang waktu dengan mengucapkan kata-kata yang berulangulang, tidak menyambung, dan tidak mengena. Seperti seorang tentara yang menghabiskan selusin peluru hanya untuk merobohkan seorang musuh, demikian pula halnya dengan seorang pengkhotbah yang tidak pernah melatih diri untuk menulis khotbahnya secara lengkap. Banyaknya kata yang tidak efektif yang dikatakan oleh pengkhotbah merupakan penghamburan energi dan waktu yang pada akhirnya melelahkan konsentrasi jemaat. Bila sudah demikian, mereka tidak tertarik lagi untuk terus mendengarkan khotbahnya. Harus kita akui bahwa kebiasaan berkhotbah tanpa teks lengkap membuat kita menjadi lebih lancar berkata-kata, tetapi itu tidak menjamin bahwa khotbah kita akan semakin menarik dan kita semakin mahir menggunakan bahasa yang hidup dan tepat dalam khotbah. Mungkin yang terjadi bisa sebaliknya, kita terperangkap dalam penggunaan kosakata yang itu-itu juga, dan kehilangan gregetnya. Akhirnya, jemaat menjadi bosan mendengarkan khotbah kita.
4

Bagi kita yang sudah menjalani pelayanan mimbar bertahun-tahun dan terbiasa membuat khotbah hanya dalam bentuk kerangka khotbah, ada baiknya kembali menulis naskah khotbah secara lengkap. Tulislah naskah khotbah dalam bahasa khotbah (bahasa lisan) dengan membayangkan bahwa seakan-akan kita sedang berkhotbah. Pergunakanlah lebih banyak bahasa gambar (cerita) daripada bahasa konsep. Kemudian, mulailah menghafalkan apa yang kita tulis. Tentu saja akan ada bagian-bagian yang tidak seratus persen tepat seperti yang kita tulis, tetapi itu tidak menjadi masalah karena secara keseluruhan bahasa dalam khotbah kita telah mengalami banyak kemajuan. Pada waktu kita berkhotbah, naskah khotbah itu bisa kita bawa ke mimbar, bukan untuk dibacakan melainkan untuk dikhotbahkan. Artinya, kita berkhotbah dengan lepas seakan-akan tidak terikat pada naskah khotbah kita, namun sesekali kita boleh melihatnya untuk tetap mengontrol alur pikir dan bahasa khotbah kita. Usaha seperti ini, untuk pertama kali memang terasa sulit karena kita perlu meluangkan waktu persiapan khotbah lebih banyak, namun lama kelamaan semua itu akan menjadi lebih mudah. Satu hal yang kemudian paling menghibur kita adalah kita akan mendapati bahwa jemaat semakin menaruh perhatian pada khotbah-khotbah kita, bahkan mereka begitu menantikannya. Itu berarti firman Tuhan yang dipercayakan kepada kita telah kita sampaikan sebagaimana mestinya, dan kita berharap melalui pelayanan kita nama-Nya semakin dimuliakan.

Profil Pdt. Benny Solihin: Pdt. Benny Solihin, S.E., S.Th., M.Th. adalah dosen Theologi Praktika di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Setelah menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1987 dan bekerja selama 8 tahun, ia menyerahkan diri mengikuti panggilan Tuhan untuk menjadi hamba-Nya. Beliau menamatkan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di SAAT Malang dan Master of Theology (M.Th.) in Preaching di Calvin Theological Seminary, U.S.A. Sejak tahun 2008 sampai sekarang, beliau sedang menyelesaikan studi Doctor of Ministry (D.Min.) in Preaching di Gordon-Conwell Theological Seminary, U.S.A. Beliau menikah dengan Megawati Rusli.

Anda mungkin juga menyukai