Anda di halaman 1dari 5

Siti Afifah (112311077)

Filsafat hukum islam

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM


I. PENDAHULUAN Ajaran Islam merupakan ajaran terakhir didunia, yang diturunkan oleh allah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Berbeda dengan ajaran sebelumnya, ajaran dalam alQuran dan Hadits tidak hanya diperuntukan bagi suatu umat diwilayah tetentu dan dalam jangka waktu tertentu. Dimana ajaran tersebut berakhir dengan diutus nabi selanjutnya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu timbul berbagai permasalahan yang tidak dijelaskan secara rinci dalam al-Quran. Dengan kata lain, masalah tersebut sebetulnya telah disinggung dalam al-Quran. Namun, hanya dijelaskan pada tataran permukaan saja. Sehingga dalam mengambil sebuah hukum harus dipilah terlebih dahulu, apahak memungkinkan nash tersebut dapat digali suatu hukum. Berangkat dari permasalahan tersebut, didalam makalah ini akan di paparkan tentang karakteristik dari ajaran islam. Ditinjau dari aspek-aspek nash, yang kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan tentang subsansi yang dapat digali dalam nash-nash tersebut. II. POKOK BAHASAN A. Aspek Syariat yang Berubah dan yang Abadi (tidak menerima perubahan) B. Ruang Lingkup Hukum Islam III. PEMBAHASAN Karakteristik hukum islam pada umumnya dapat dikaji melalui dua bidang. Bidang pertama ialah aspek-aspek dasar dari syariat islam. Pada bagian ini dikaji tentang dua kriteria dari nash-nash yang disampaikan oleh nabi. Yaitu tentang sapek dari nash yang dapat berubah dan yang tidak menerima perubahan (tatap). Bagian kedua, ruanglingkup dari hukum islam. Hukum islam secara sistematis berada diantara ajaran yang bersifat revelation dan reason, stability dan change, otoritarianisme dan democracy, moral dan legal. Lebih detailnya kedua bidang ini akan dikaji pada pembahasan dibawah ini : A. Aspek Syariat yang Berubah dan yang Abadi (tidak menerima perubahan. Al-syatibi sebagai seorang ahli fiqih membedakan materi hukum Islam menjadi dua bagian. Bagian pertama berisikan materi tentang ajaran hukum islam yang berorientasi pada bidang muamalah. Bagian kedua berisikan tentang materi hukum islam yang membahas bidang ibadah. Secara filosofis ia merumuskan hal tersebut sebagai berikut :


Prinsip dalam hal ibadat bagi mukallaf adalah taabbud tanpa perlu melihat nilai atau hikmah. Sedangkan prinsip dalam persoalan adat (muamalah) adalah melihat nilai atau hikmah.[1]

[1], Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat Hukum Islam. Ciputat:Logos Wacana Ilmu.hlm.41

Berdasarkan statement tersebut maka dapat dipahami bahwa segala macam bentuk muamalah dalam hukum Islam bisa mengalami suatu perubahan berdasarkan suatu peristiwa maupun keadaan social dalam sebuah masyarakat. Hal ini dikarenakan pada umumnya bidang muamalah hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hukum secara umum. Oleh karena itu, bidang muamalah sering disebut sebagai aspek syariat yang berubah. Sebab hanya disampaikan dengan keumuman suatu lafaz. Sehingga untuk mencapai kemaslahatan dalam suatu lingkup masyarakat, perincian hukumnya diserahkan kepada umat itu sendiri. Selagi tidak menyeleweng dari prinsi-prinsip dan jiwa syariat yang telah disampaikan oleh rasul. Akan tetapi perlu digaris bawahi, al-Syatibi sendiri mengakui adanya beberapa bentuk muamalah yang mempunyai nilai taabbudi. Yang dimaksud nilai taabbudi disini ialah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang terperinci. Aspek hukum yang kedua ialah hukum Islam dalam bidang ibadah mahdhoh. Didalamnya tidak memberikan ruang untuk terjadinya perubahan dalam materi. Sebab materinya selalu berorientasi pada nash al-Quran dan Hadits yang mengatur secara jelas tentang ibadah tersebut. Akan tetapi perubahan dalam bidang sarana dan teknis masih dimungkinkan terjadi. B. Substansi Hukum Islam a. Revelation dan Reason Substansi hukum islam yang pertama, berada diantara dua pokok dalil Islam. Yaitu ajaran yang bersifat absolute, universal, dan permanen, tidak dapat berubah maupun diubah. Ajaran ini termasuk dalam kelompok ajaran yang terkandung dalam al-Quran dan hadits mutawatir, dimana kebenarannnya telah jelas (QathI alDalalah). Mengenai nash ini, seluruh ulama telah sepakat dalam penggunaan alQuran untuk mengambil suatu hukum. Hal ini dilaksanakan tanpa meragukan eksistensi dari ayat pertama hingga ayat terakhir yang telah termaktub dalam alQuran. Akan tetapi berbeda dengan Hadits. Para ulama hanya menggunakan hadits mutawatir untuk menemukan suatu produk hukum. Pasalnya eksistensi hadits yang peringkatnya lebih rendah dari peringakat hadis mutawatir, tidak lagi diakui. Sebab dalam periwayatannya terdapat illat. Sedangkan ajaran yang bersifat relative tidak universal, dan tidak permanen, melainkan dapat diubah dan berubah (danny ad-Dalalah). Ajaran islam yang berada pada kelompok ini ialah ajaran yang diperoleh dari proses ijtihad. Karena diambil dari dalil yang bersifat dhanny, maka hukum yang dihasilkan pun bersifat relative pula. Ajaran Islam pada bagian ini selalu memberkan euforia tersendiri terhadan dunia keilmuan Islam. Ini ditunjukan dengan mulai ditemukannya cabang interpretasi terhadap al-Quran, seperti tafsir hadits sampai bidang filsafat, theology dan hukum Islam. Harun Nasution secara ilustratif menyatakan : Kelompok ajaran Islam itu kecil dimasa Nabi, lebih besar dizaman Khulafaurrasyidin, lebih banyak di zaman Bani Umayah, lebuh banyak lagi di zaman Bani Abbas, lebih banyak lagi di zaman Bani Usman, begitulah selanjutnya berkembang. Akan tetapi al-Qurannya itu-itu saja. Melalui pernyataan itu, maka memugkinkan terjadinya perubahan dan pembaharuan ajaran Islam yang bersifat relative. Ini sekaligus menyatakan bahwa ajaran Islam telah siap menjawab pertanyaan dan permasalahan yang berkembang sesuai dengan zaman.[2]
[2] Fathurrahman Djamil. Ibid .hlm 44-45

b. Stability dan Change Hukum-hukum Islam yang diturunkan dalam bentuk umum dan garis besar permasalahannya bersifat tetap, tidak berubah-ubah, lantaran berubahnya masa dan berlainan tempat. Hukum tersebut lebih rinci dan hanya memberikan kaidah dan patokan umum. Sedangkan penjelasan dan rincian diserahkan pada pihak pemuka masyarakat. Dengan menentukan patokan umum tersebut, maka terciptalah suatu prodak hukum yang stabil bagi para pengikutnya. Artinya syariat islam berpotensi menjadi petunjuk yang bersifat universal. Karena didalam pemakaiannya tidak terkesan memaksakan suatu kehendak tanpa memikirkan kecenderungan dalam sebuah lingkup masyarakat. Uniknya, dunia tidaklah mengenal akan suatu hukum yang bersifat universal (alami dan stabil) selain daripada Islam saja. Baik di masa yang lalu maupun masa yang akan datang.[3] Barulah setelahnya, setiap saat umat manusia dapat menyesuaikan tingkah laku dengan garis-garis kebijaksanaan al-Quran sehingga tidak melenceng. Penetapan al-quran tentang hukum yang global dan simple dimaksudkan untuk memberi ruang gerak melakukan ijtihad sesuai situasi dan kondisi zaman. Hukum Islam bersifat berubah, luwes elastis, meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Syariat ini meliputi permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani rohani, hubungan sesama mahluk, hubungan mahluk sengan khaliq serta tuntunan hidup dunia dan akhirat. Hukum ini memperhatikan berbagai segi kehidupan baik muamalah, ibadah, jinayah dan lain sebagainya. Namun tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa. Dengan demikian, diharapkan para umat islam tumbuh dan berkemmbang dalam proses ijtihad. Hal ini sering disebut sebagai prinsip gerak dalam islam. Bukti bahwa hukum Islam bersifat elastis. Dapat dilihat dalam kasus jual beli yang terkandung dalam syrat Al-Baqarah : 275, 282 ,An-Nisa : 29, Al-Jumuah :9 Dari beberapa pemaparan ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa diperbolehkannya jual beli dengan persyaratan keridhoan antara kedua belah pihak. Larangan riba dan larangan jual beli waktu adzan dihari jumat. Rasulullah menjelaskan beberapa aspek jual beli yang lazim berlaku pada masa beliau.selebihnya, tradisi masyarakat tertentu dapat dijadikan sebagai penetapan hukum jual beli. c. Otoritarianisme dan Democracy Substansi Islam pada bagian ini berada pada bagaimana kekuasaan ajarannya yang bersifat universal dan dinamis yang dapat dikompromikan pada setiap zaman. Kekuasaan ajaran yang bersifat universal ini sesuai dengan kekuasaan dari penggagasnya yang tidak terbatas. Allah berfirman dalam surat as-Sabi ayat 28:

[3] Prof. DR.Teunku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Falsafah Hukum Islam. 1975. Jakart:Bulan

Bintang.hlm.166 3

Dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad ), melainkan kepada umat manusia seluruhnya, untuk membawa berita gembira dan berita peringatan.akan tetapin kkebanyakan manusia tidak mengetahui. Kemudian dalam surat al-Anbiya ayat 107:


Dan kami (allah) tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat sekalian umat. Selanjutnya, kekuasaan ajaran yang bersifat dinamis ialah ketika ajarannya itu bukan ajaran yang mandul. Disini ajaran islam memberikan kompromi pada berbagai situasi. Misalnya, ketika pengadilan dalam islam tidak memberikan hukuman potong tangan pada pencuri ketika keadaan masyarakat sedang kacau dan terjadi kelaparan, dan lain sebagainya. d. Moral dan Legal Dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai taabbudi. Artinya manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah disyariatkan. Dalam bidang ini tidak dibuka pintu ijtihad bagi umat islam. Sedangkan dalam bidang muamalah, didalamnya terkandung nilai taaqquli. Artinya, umat Islam dituntut untuk berijtihad untuk membumikan ketentuan-ketentuan syariat hukum. Disini hukum bersatu dengan moral. Hukum tanpa moral adalah suatu kezaliman. Dan moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus pada peri kebinatangan. Hukum dan moral adalah pokok dari hukum itu sendiri dan harus selalu berdampingan. Namun demikian ada pengamat hukum Islam yang menyatakan bahwa dalam praktik hukum Islam tidak dapat berlaku universal. Pendapat ini, lebih banyak melihat dari kenyataan sejarah bahwa penguasa Islam tidak memberlakukan hukum Islam dikawasan non muslim. Atau kepada nonmuslim yang berada di wilayahnya. Penilaianya tersebut kurang tepat jika dihubungkan dengan fakta sejarah pada masa rasul. Sebab jika ditinjau dari konstitusi Negara muslim pertama (piagam Madinah). Didalamnya berisi persetujuan dan perlindungan kepercayaan non muslim dan kebebasan mereka untuk mendakwahkan agamanya. Hal ini merupakan kesepakatan antara muslim dan yahudi serta orang-orang Arab yang bergabung didalamnya. IV. PENUTUP Kesimpulan : Al-Quran dan Hadits sebagai ajaran yang diturunkan allah sebagai ajaran penutup. Nampaknya disampaikan dengan pesan yang begitu luas. Sehingga darisini terlihat bahwa otoritasnya mengikat pada seluruh umat manusia. Hal ini ditandai dengan nash-nash yang ada di dalamnya tidak sebatas nash yang hanya berupa perintah (ibadah mahdhot), tapi juga terdapat nash yang menerangkan tentang muamalat. Sehingga berangkat dari nash tersebut terciptalah dalil yang dinamis sesuai dengan akal dan moral dan dapat dikompromikan dengan situasi yang memang sebetulnya nash itu diperuntukan. Penutup :
4

Demikianlah tugas makalah filsafat hukum islam ini saya sampaikan, saya menyadarai, tentunya dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dari berbagai sudut pandang. Oleh karena itu tentunya kritik dan saran menjadi suatu hal yang telah ditunggu-tunggu. Atas kekurangannya saya mohon kemaklumannya. DAFTAR PUSTAKA Ash Shiddieqy, Teunku Muhammad Hasbi. 1975. Falsafah Hukum Islam. Bulan Bintang : Jakarta Ahmad Al-Jurjawi, Ali. 1992. Terjemah Filsafat dan Hikmah Hukum Islam. Asy Syfa : Semarang Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Logos Wacana Ilmu : Ciputat Rahman, Fazlur.1994. Islam. Penerbit Pustaka : Bandung.

Anda mungkin juga menyukai