Anda di halaman 1dari 2

http://www.scribd.com/doc/128342266/adhf-eza http://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/09/07/asuhan-keperawatan-pasien-dengan-adhfacute-decompensated-heart-failure/ http://ikhsan-acheh.blogspot.com/2011/04/acute-decompensated-heart-failure-adhf.

html Furosemide, suatu loop diuretic yang umum digunakan, dapat mereduksi ventricular films pressures secara cepat dan bermakna setelah pemberiannya. Furosemide akan menurunkan gejala kongesti, meningkatkan cardiac output, dan menurunkan tahanan vaskular sistemik. Meski demikian, pada kenyataannya belum ada suatu studi yang dilakukan secara acak dan terkontrol yang membuktikan efikasi dan keamanannya pada kasus ADHF. Sebaliknya, penggunaan diuretik dosis tinggi justru berkorelasi dengan hasil keluaran yang lebih buruk. (Eshagian et a 1, 2006) Selain itu loop diuretic juga didapatkan ternyata berkaitan dengan penurunan GFR, aktivasi neurohormonal, dan vaskonstriksi sistemik pada pasien gagal jantung. Problem lain dalam penggunaan diuretik adalah adanya mekanisme toleransi yang menumpulkan efikasinya. Bahan inotropik yang kerap digunakan adalah simpatomimetik (dobutamine, dopamine), dan inhibitor phosphodiesterase (milrinone). Penggunaan inotropik didasarkan pada konsep bahwa penurunan kontraktilitas jantung merupakan penyebab gangguan hemodinamik ADHF. Dengan penggunaannya, diharapkan perfusi pada end-organ membaik dan memfasilitasi diuresis. Kenyataannya, data FIRST Trial menunjukkan bahwa penggunaan dobutamine berkaitan dengan keluaran yang lebih buruk, yaitu mortalitas dalam 6 bulan yang lebih tinggi. Optima-CHF Study juga menunjukkan bahwa pada kebanyakan pasien ADHF, milrinone tidak bermanfaat namun justru memberi efek samping yang lebih banyak. Sedangkan analisa ADHERE Registry, menyimpulkan bahwa pasien yang masih memiliki fungsi sistolik yang baik dan diberikan inotropik justru masa perawatannya lebih lama dan mortalitasnya meningkat hingga sembilan kali lipat. Sebagai pembicara kedua Dr. Nani mengangkat topik mengenai Penggunaan Vasodilator; Nesiritide atau Nitrogliserin? Pada awalnya Dr. Nani menyampaikan bahwa terapi ideal untuk GJDA antara lain adalah sebagai venodilatasi (venous dan arterial) yang harus dengan cepat menurunkan tekanan pengisian ventrikel, menurunkan simtom kongesti, tidak meningkatkan detak jantung/meningkatkan kontraktilitas (menurunkan kebutuhan otot jantung akan oksigen), tidak proaritmik, tidak menimbulkan takikardia, memberikan supresi neurohormonal, meningkatkan natriuresis/diuresis dan pemberian dosis yang simple. Vasodilator yang saat ini banyak digunakan adalah nitrogliserin, dimana untuk memberikan efek hemodinamik dan perbaikan gejala yang diharapkan, umumnya dibutuhkan titrasi dosis nitrogliserin intravena. Namun pada penggunaannya kerap dijumpal takifilaksis dini dan hipotensi sehingga dibutuhkan pengawasan hemodinamik yang ketat dan invasif di ICU. Nesiritide yang merupakan rekombinasi dan hBNP, adalah modalitas terbaru untuk GJDA dan saat ini

banyak mendapat sorotan, baik pro ataupun kontra. Salah satu publikasi negatif yang dimuat di Circulation melaporkan bahwa nesiritide dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal pada pasien GJDA. Dr. Nani secara gamblang kemudian memaparkan bahwa meta analisis tersebut terdiri dan 5 studi yang mana tidak ada satupun dari studi tersebut bertujuan untuk menilai fungsi ginjal. Selain itu kelima studi tersebut menggunakan dosis 50% - 300% lebih tinggi dari dosis yang direkomendasikan dengan lama waktu yang berbeda-beda (24 Jam hingga 6 hari). Pada penelitian klinis VMAC, yang membandingkan antara nesiritide + terapi standar dengan nitrogliserin+terapi standar pada pasien GJDA, hasilnya menunjukkan bahwa nesiritide. menimbulkan vasodilatasi pulmonal yang lebih besar dan lebih cepat" dibandingkan nitrogliserin tanpa harus dilakukan titrasi dosis. Dalam waktu 15 menit pertama nesiritide + terapi standar mampu menurunkan 60% dari angka penurunan yang dicapai hingga jam ketiga, bahkan dalam satu jam, penurunan tekanan pasak parunya mencapai 95% dan tetap stabil sampai dengan 24 jam. Pada intinya Dr. Nani mengatakan bahwa nesiritide memberikan perbaikan klinis yang lebih cepat, dapat diprediksi dan tidak menyebabkan toleransi. Karena nesiritide termasuk kedalam golongan vasodilator maka hanya dapat diberikan pada pasien dengan tekanan darah > 90 mm/hg. Sebagai kesimpulan Dr. Nani menyampaikan bahwa bagaimanapun juga nesiritide saat ini merupakan terapi GJDA yang paling ekstensif penelitiannya dibandingkan terapi yang lain, selain itu nesiritide pun telah disetujui oleh PDA sejak tahun 2001 dan masuk dalam rekomendasi penatalaksanaan gagal jantung HPSA (Heari Failure Societtf of America) tahun 2006. Oleh karena itu nesiritide saat ini merupakan salah satu pilihan terapi bagi pasien GJDA ideal yang terbukti aman dan ditoleransi dengan baik oleh pasien. (Tabloid Kardiovaskular. No 147.Th XIII. Nov 2007)

Anda mungkin juga menyukai