Anda di halaman 1dari 5

PROMOSI KESEHATAN

KAKI GAJAH

Nama NIM.

: I Gusti Nyoman Triadi : P07134012 036

Kelompok : 1 Jurusan : Analis Kesehatan

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR JURUSAN ANALIS KESEHATAN 2013

PENYAKIT KAKI GAJAH

A. PENDAHULUAN Penyakit kaki gajah atau elephantiasis (elephantiasis), dalam istilah medis dikenal dengan nama limfatik filariasis, merupakan sebuah penyakit kronik (menahun) yang disebabkan oleh nematoda parasit yang dikenal dengan filarial sehingga penyakitnya disebut filariasis. Karena menyerang system limfatik, penyakitya dikenal dengan istilah limfatik filariasis. Penyakit ini dapat menyebabkan pembengkakan pada bagian tubuh tertentu, terutama tungkai bawah (kaki) dan kantung zakar skrotum sehingga secara awam sering disebut dengan penyakit kaki gajah. Infeksi terjadi biasanya pada usia anaka-anak, tapi manifestasi penyakit yang menyakitkan dan perubahan bentuk tubuh baru terlihat setelah sekian waktu. Penyakit ini pada tahap akut dapat menyebabkan cacat sementara. Penyakit ini dapat menyebabkan cacat seumur hidup. Penyakit ini dapat ditemui di banyak wilayah tropis di seluruh dunia, namun sering terabaikan. Padahal penyakit ini mengancam hampir 1,4 miliar orang di 73 negara di seluruh dunia. Diperkirakan 120 juta penduduk dunia terinfeksi filariasis 40 juta cacat dan lumpuh oleh penyakit, dan 90% diantaranya berada di Asia Tenggara dan 30% lainnya berada di Afrika dan wilayah tropis lain.

B. PENYEBAB Penyakit ini disebabkan oleh cacing giling (nematode) seperti benang dari superfamili filariodidea yang dikenal dengan filaria. Di Indonesia ditemukan tiga jenis filarial yang menginfeksi manusia yakni dari spesies Wuchereria bancrofti (penyakitnya Bancroftian filariasis), Brugia malayi (penyakitnya Malayan filariasis), dan Brugia timori (penyakitnya Timorian filariasis) Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Seperti misalkan nyamuk Culex menyebarkan di sekitar daerah perkotaan (urban) dan semi-urban; nyamuk Anopheles di daerah pedesaan (rural); dan nyamuk Aedes di daerah pulau-pulau endemik di kawasan Pasifik.

C. SIKLUS HIDUP PARASIT DAN PENULARAN Untuk mengetahui bagaimana cara penularan penyakit ini, penting untuk mengetahui siklus hidup dari parasitnya. Siklus hidup filarial dimulai dari bertemunya cacing jantan dan betina dalam tubuh manusia, kemudian setelah keduanya melakukan perkawinan dan menghasilkan ribuan larva filarial yang disebut microfilaria yang kemudian akan menuju saluran limfatik mausia. Kemudian nyamuk yang menghisap darah yang mengandung microfilaria ini juga akan ikut menghisap mikrofilria. Microfilaria akan berkembang dalam tubuh nyamuk dari larva L1, microfilaria akan berkembang menjadi L2 dalam abdomen nyamuk. Kemudian L2 akan menjadi L3 yang akan masuk ke kelenjar ludah nyamuk. Nyamuk dengan larva L3 ini jika menggigit manusia, larva L3 akan masuk ke dalam saluran darah manusia dan terjadilah infeksi dari filaria ini.

D. GEJALA Infeksi filariasis limfatik memiliki kondisi asimtomatik, akut, dan kronis. Sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala (asimptomatik), tidak menunjukkan tanda-tanda eksternal infeksi. Infeksi tanpa gejala ini masih menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik dan ginjal serta mengubah sistem kekebalan tubuh. Tahap akut peradangan lokal yang melibatkan kulit, kelenjar getah bening dan pembuluh limfatik sering menyertai lymphoedema (pembengkakkan kelenjar limfa) kronis atau elephantiasis. Beberapa tahap ini disebabkan oleh respon kekebalan tubuh terhadap parasit. Namun sebagian besar adalah hasil dari infeksi bakteri kulit di mana pertahanan normal sebagian telah hilang akibat kerusakan limfatik yang mendasarinya. Ketika filariasis limfatik berkembang menjadi kondisi kronis, infeksi itu mengarah ke lymphoedema (pembengkakan jaringan) atau elephantiasis (penebalan kulit / jaringan) dari tungkai dan hidrokel (akumulasi cairan). Keterlibatan payudara dan organ genital adalah hal yang umum. Cacat tubuh tersebut menimbulkan stigma sosial, serta kesulitan keuangan dari hilangnya pendapatan dan peningkatan biaya pengobatan. Beban-beban sosial ekonomi isolasi dan kemiskinan sangat besar.

E. DIAGNOSIS Sebelumnya perlu diketahui bahwa keberadaan microfilaria dalam darah memiliki periodisitas, artinya hanya ada pada saat-saat tertentu. Periodisitas ini dibedakan menjadi 2, yakni Periodic occurrence dan Continuous occurrence. Continuous occurrence dibagi lagi menjadi 2, yakni Sub-periodic dan Non-periodic Periodic occurrence ini berarti microfilaria hanya terdapat pada saat tertentu. Dibedakan menjadi 2, yakni Nocturnal (banyak pada malam hari) dan Diurnal (banyak pada pagi hari) Sub-periodic artinya microfilaria selalu ada, namun pada saat-saat tertentu jumlahnya meningkat. Dibedakan menjadi 2 seperti periodic, yakni Nocturnal (banyak pada malam hari) dan Diurnal (banyak pada pagi hari) Non-periodic berarti microfilaria ada dengan jumlah microfilaria tetap kapanpun itu. Hal ini penting diketahui dalam rangka pengambilan sampel darah untuk penegakkan diagnosis. Apabila sampel diambil tidak sesuai dengan perodisitasnya, maka kemungkinan hasilnya akan negatif. Sulit menemukan cacing dewasa, karena itu tidak lazim melakukan penegakkan diagnosis dengan menemukan cacing dewasanya. Penegakkan diagnosis dilakukan dengan menemukan microfilaria yang ada dalam darah. Sampel yang digunakan adalah darah kapiler (diambil di ujung jari) yang diambil beberapa tetes. Darah ini dibuat apusan, diwarnai dengan pewarna khusus yakni pewarna giemsa kemudian diamati di bawah mikroskop. Selain menemukan ada tidaknya microfilaria, pemeriksaan ini juga dapat melihat jenis dari microfilaria tersebut dengan memperhatikan beberapa indikasi yang menjadi cirri-ciri dari setiap jenis filarial. Indicator tersebut yakni 1. Ada tidaknya selubung (Sheath) 2. Jumlah dan penyebaran body nuclei (banyak/sedikit), serta letak body nuclei (menyebar/bergerombol) 3. Ukuran cephalic space 4. Inner body 5. Letak dari nerve ring, excretory apparatus, dan anus 6. Letak dan ukuran genital cell (G cells)

F. PENGOBATAN Obat yang dianjurkan untuk pengobatan melalui pemberian obat massal (mass drug administration / MDA) adalah dosis tunggal dari dua obat yang diberikan bersamaan albendazole (400 mg) ditambah ivermectin (150-200 mg / kg) untuk daerah yang juga endemik onchocerciasis/kebutaan sungai (juga merupakan penyakit akibat microfilaria; jenis Oncecerca volvulus) atau diethylcarbamazine citrate (DEC) (6 mg / kg) untuk daerah di mana onchocerciasis tidak endemik. Obat-obatan ini membunuh mikrofilaria dari aliran darah. Pasien dengan cacat kronis seperti elephantiasis, lymphoedema, atau hidrokel disarankan untuk menjaga kebersihan yang ketat dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah infeksi sekunder dan memburuknya kondisi penyakit.

G. PENCEGAHAN Hal yang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ini ialah memutus mata rantai penyebarnya yakni gigitan nyamuk. Beberapa langkah yang dapat dilakukan diantaranya tidur dalam ruangan dengan Air conditioner, tidur menggunakan kelambu, menggunakan lotion anti nyamuk, ataupun mengenakan pakaian tertutup. Selain itu, perlu juga dilakukan pemberantasan terhadap sarang nyamuk, salah satunya dengan langkah yang telah biasa dilakukan, yakni gerakan 3M Plus, yaitu menutup, menguras, dan mengubur, plus mengganti air pada vas bunga, memelihara ikan pemakan jentik, serta menaburkan bubuk abate pada tempat air yang sulit dijangkau.

Anda mungkin juga menyukai