Anda di halaman 1dari 24

Laporan Praktikum Budidaya Perairan

BUDIDAYA KEPITING LUNAK DI DESA LAMJABAT


- BANDA ACEH


OLEH:
Hardiansyah 1005102010001








JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SYIAHKUALA
BANDA ACEH
2014
BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Kepiting bakau (Scylla sp.) merupakan salah satu jenis komoditas perikanan
yang potensial untuk dibudidayakan. Kepiting bakau hidup di perairan pantai
khususnya di hutan bakau (mangrove). Dengan sumber daya hutan bakau yang
membentang luas di seluruh kawasan pantai nusantara maka tidak heran jika
Indonesia dikenal sebagai pengekspor kepiting yang cukup besar dibandingkan
dengan Negara-negara produsen kepiting lainnya.
Salah satu cara peningkatan nilai produksi dari kepiting bakau adalah
menjadikan spesies tersebut sebagai hewan yang bercangkang lunak (kepiting
soka). Kepiting soka adalah kepiting bakau fase ganti kulit (moulting). Kepiting
dalam fase ini mempunyai keunggulan yaitu mempunyai cangkang yang lunak
(soft carapace) sehingga dapat dikonsumsi secara utuh.
Berkaitan dengan potensi nilai ekonomis yang menjanjikan dari kepiting
bakau tersebut, maka perlu diperhatikan kecepatan pertumbuhan dari kepiting
bakau jenis Scylla serrata. Kecepatan pertumbuhan berkaitan erat dengan
kecepatan ganti kulit dikarenakan setiap pergantian fase juga diikuti dengan
pergantian kulit. Lamanya kecepatan ganti kulit pada kepiting bakau (Scylla
serrata) sangat berpengaruh terhadap lamanya pelunakan cangkang (soka)
sehingga menyebabkan ketidakstabilan dalam produksinya. Oleh karena itu,
diperlukan perlakuan khusus yaitu dengan pemotongan capit dan kaki jalan yang
diujikan pada kelamin berbeda sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan. Lama atau tidaknya kecepatan ganti kulit dari spesies ini akan
berpengaruh pula terhadap nilai produksi yang diperoleh, artinya semakin cepat
kecepatan ganti kulit maka hasil produksi akan meningkat pula.

Selain itu dengan berdasar kepada informasi pasar kepiting bakau yang
semakin meluas maka komoditas tersebut telah memberikan nilai ekonomis dan
peningkatan pendapatan bagi petani dan telah membuka peluang bisnis kepiting
bakau yang semakin berkembang. Pada awalnya bisnis ini hanya mengandalkan
hasil tangkapan untuk ukuran pasar siap jual, kemudian meningkat ke upaya
budidaya baik budidaya pembenihan maupun pembesaran. Seperti yang terjadi di
beberapa negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Filipina. Oleh karena itu
tidak saja kepiting besar yang ditangkap, tetapi ukuran kecil pun menjadi bernilai
ekonomis.
1.2 Tujuan
Untuk mempelajari dan mengetahui teknik budidaya kepiting lunak melalui
kegiatan praktek, serta memahami proses pertumbuhan dan perkembangan
kepiting lunak mulai dari proses pembibitan hingga proses panen. Dan melalui
praktikum ini dapat mengetahui usaha kepiting lunak ini dari segi ekonomis dan
pemasarannya.
1.3 Kegunaan
Laporan ini berguna untuk mempermudah mahasiswa untuk mengetahui
bagaimana pembudidayaan kepiting lunak. Selain itu laporan ini berguna sebagai
bahan pengetahuan bagi masyarakat untuk mengetahui lebih dalam mengenai
kepiting lunak serta untuk menarik minat masyarakat dalam hal pembudidayaan
kepiting lunak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting bakau
sebagai berikut;
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Pleocyemata
Famili : Portunidae
Genus : Scylla sp
Spesies : Scylla serrata
Perairan di sekitar mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau
karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia. Di alam
biasanya kepiting bakau yang besar akan memakan kepiting bakau yang kecil,
waktu makan kepiting bakau tidak beraturan tetapi malam hari lebih aktif
dibanding siang hari sehingga kepiting bakau digolongkan sebagai hewan
nocturnal yang aktif makan di malam hari (Queensland Departement of Primary
Industries, 1989).
Salinitas berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepiting bakau
terutama multing. Kisaran salinitas ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau
belum dapat ditentukan, namun diketahui bahwa larva zoea sangat sensitif dengan
kondisi perairan yang bersalinitas rendah. Sebaliknya kepiting dewasa kawin dan
mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyai salinitas 15% 20% dan
selanjutnya akan berupaya ke laut untuk memijah (Kasry, 1996).

Suhu air mempengaruhi pertumbuhan (multing), aktifitas dan nafsu makan
kepiting bakau . Suhu air yang lebih rendah dari 20
0
C dapat mengakibatkan
aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau turun secara drastis (Queensland
Departement of Primary Industries, 1989).
Nilai ekonomis kepiting yang terus meningkat merangsang para petani untuk
membudidayakannya di tambak. Hal ini terbukti dengan meningkatnya ekspor
kepiting dari Sulawesi Selatan tahun ke tahun. Ekspor kepiting dari Sulawesi
Selatan sebesar 5.200 kg pada tahun 1989 meningkat menjadi 1.567.527 kg pada
tahun 1994. Konsumen kepiting tertinggi di dunia adalah Amerika Serikat yang
mencapai 55% dari total kepiting dunia dengan peningkatan rata-rata 10,4 per
tahun (Departemen Perdagangan, 1990). Negara pengimpor kepiting lainnya
adalah Australia, Benelux, Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, Korea Utara,
dan Korea Selatan. Umumnya, Negara-negara tersebut mengimpor kepiting
berukuran 350 g/ekor atau 3ekor/kilogram dengan harga berkisar US$5 US$8
perkilogram(Kadarsan W.H, 1995).

BAB III
ASPEK TEKNIS USAHA

3.1 Pemilihan Lokasi
Budidaya kepiting soka dapat dilakukan di perairan payau yang tenang
seperti di perairan laguna atau berupa tambak yang memenuhi berbagai
persyaratan teknis. Kondisi perairan seperti ini dipilih untuk menghindari kondisi
perubahan kualitas air dan lingkungan lokasi budidaya yang ekstrim sehingga
akan mempengaruhi kelangsungan proses produksi.
Untuk pemilihan lokasi tambak yang akan dijadikan tempat budidaya
kepiting asoka perlu mempertimbangkan hal hal sebagai berikut:
Bebas dari pengaruh banjir;
Kualitas air ideal: salinitas 25-30 ppt, pH 6,5- 8,5 dan tidak tercemar;
Mudah dijangkau dan dekat dengan tempat tinggal/Penampungan;
Ketinggian air 80 120 cm
Letak tambak harus memudahkan kontrol kualitas air dan objek budidaya.
Budidaya kepiting soka juga dapat dilakukan di muara atau laguna yang
memungkinkan untuk dilakukannya pengontrolan kualitas air yang ideal bagi
kelangsungan hidup kepiting. Meskipun ada, budidaya kepiting asoka di perairan
seperti ini sangat sulit dilakukan dan membutuhkan pengontrolan yang ekstra
terutama jika terjadi perubahan kualitas air yang ekstrim.
Dengan orientasi bisnis budidaya kepiting asoka yang intensif, produksi
kepiting soka semakin berkembang dilakukan di tambak. Selain mudah dilakukan
pengontrolan, budidaya kepiting soka dapat dilakukan dengan sistem polikultur
bersama spesies budidaya lainnya diantaranya dengan budidaya pembesaran ikan
bandeng yang memiliki kecenderungan menyukai lingkungan yang relatif sama
seperti halnya kepiting bakau. Sistem budidaya seperti ini lebih menguntungkan
meskipun dibutuhkan modal investasi yang cukup besar.
Pengembangan usaha kepiting asoka di tambak tidak serta merta dapat
menghasilkan produk kepiting asoka yang bagus dan secara kuantitatif dalam
jumlah yang banyak tanpa pengelolaan tambak yang baik. Untuk menghasilkan
produk kepiting asoka unggulan diperlukan alat-alat dan fasilitas budidaya serta
perlakuan yang mendukung dalam proses budidaya, diantaranya; (a) persiapan
tambak, (b) metoda budidaya yang tepat, (c) pemilihan, perlakuan dan penebaran
benih, (d) pemeliharaan dan pemberian pakan (e) proses pemanenan serta (f)
perlakuan pasca panen.
Pada lokasi penelitian, ditemukan bahwasanya pemilihan lokasi berdasarkan
ketersediaan lahan bekas tambak udang yang sudah tidak layak digunakan akibat
dampak dari kontaminasi zat-zat kimia akibat bencana alam tsunami. Maka dari
itu untuk memanfaatkan dan memproduktifkan lahan kembali, pengelola
menggunakan lahan tersebut untuk usaha kegiatan budidaaya kepiting lunak yang
dapat bertahan hidup tanpa menyentuh dasar tambak yang telah terkontaminasi.
Selain itu, untuk kembali merevitalisasi ekosistem tambak, pengelola melakukan
penanaman tanaman bakau yang juga beguna sebagai ekosistem bertahan hidup
bagi makhluk hidup perairan dan kepiting itu sendiri.
3.2 Persiapan Tambak
Persiapan tambak yang baik adalah tambak yang memperhatikan beberapa
aspek berikut:
3.2.1 Perbaikan kontruksi tambak dan pembuatan jembatan kontrol
Pada umumnya, tambak-tambak bertekstur lumpur, produktivitas tambak
cenderung menurun setelah periode pemeliharaan tahun kedua. Hal ini terjadi
karena penumpukan lumpur, sehingga diperlukan pekerjaan tambahan yang
disebut dengan keduk teplok yaitu upaya membuang lapisan lumpur pada dasar
tambak sebelum periode tanam dilakukan.
Proses keduk teplok biasanya dilakukan bersamaan dengan
pembuatan/pembenahan jembatan (bambu) yang akan digunakan sebagai sarana
pengontrolan pada saat proses budidaya kepiting asoka dilakukan. Jembatan tersebut
dibuat secara melintang/memotong tambak menjadi dua bagian yang sama.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang dihasilkan dari pengkajian konstruksi
tambak oleh Direktorat Pengkajian Sistem Industri Primer, BPP Teknologi bekerjasama
dengan fakultas Perikanan IPB konstruksi tambak di lahan pantai berpasir dapat
menggunakan bahan baku yang murah dan tersedia di lapangan, tetapi tetap menjamin
persyaratan tambak yang baik. Konstruksi seperti ini disebut dengan istilah BIOSEAL
(Bottom Isolation from Organic Substances to Eliminate Acid Layer).
Keunggulan dari konstruksi BIOSEAL dibandingan dengan konstruksi lainnya
(misalnya beton cor) yang sama-sama digunakan untuk lahan pasir adalah: (a) biaya yang
relatif murah; (b) proses konstruksi yang mudah dan cepat; (c) mudah dalam perawatan;
(c) kualitas air relatif stabil sehingga sangat mendukung pertumbuhan spesies yang
dibudidayakan.
3.2.2 Memperdalam tambak
Salah satu faktor pendukung untuk menjaga kestabilan kualitas air di media
budidaya (tambak) adalah dengan mengatur kedalaman air tambak. Selain tingkat
salinitas dan derajat keasaman (pH), suhu air di tambak sangat dipengaruhi oleh
kedalaman tingkat penetrasi cahaya matahari yang masuk ke perairan. Dari hasil
aplikasi di Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut (BPBAPL)
Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat; menunjukkan bahwa kedalaman air
tambak untuk budidya kepiting asoka adalah 80 120 cm.
Untuk menjaga posisi ketinggian air tambak dapat dilakukan dengan
penambahan atau pengurangan air payau yang telah disesuaikan secara kualitatif
agar tidak menimbulkan stres pada kepiting yang sedang dibudidayakan.
3.2.3 Pengeringan, pengangkatan lumpur dasar tambak dan pengapuran
Kondisi dasar tambak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan
kondisi dan kualitas perairan tambak, yaitu jika perairan tambak berada pada
keseimbangan ekosistem dan bersifat stabil serta kondisi/kualitas kepiting bagus
maka kondisi dasar tambak akan terjaga dengan sendirinya.
Proses pengeringan dan pengangkatan lumpur dilakukan untuk menekan
timbulnya gangguan pada kepiting asoka yang disebabkan penurunan kualitas air
akibat adanya timbunan racun dari proses dekomposisi material dasar tambak
yang tidak sempurna selama proses produksi. Gas beracun yang terakumulasi di
dasar tambak seperti amonia, nitrat, nitrit, sulfat dan lain-lain sering menimbulkan
permasalahan apabila tidak dilakukan pengangkatan lumpur tersebut sebelum
proses budidaya diaplikasikan.
Pengapuran tambak dilakukan untuk menekan gangguan bibit penyakit dan
menstabilkan derajat keasaman tanah. Proses pengapuran dilakukan sebelum
proses pemasukan air dengan konsentrasi kapur yang disesuaikan dengan jenis
tanah dan kebutuhan pemakaian.
3.2.4 Pemasangan saringan air pada pipa pemasukan.
Sebelum air dimasukan ke dalam tambak, air payau diendapkan terlebih
dahulu di bak tandon yang biasanya ditanami tanaman bakau untuk menjaga
kestabilan kualitas air. Proses penyaringan pada pipa pemasukan air harus
dilakukan untuk mengurangi masuknya organisma penganggu (hama) ke dalam
tambak. Organisma tersebut dapat berupa jasad renik dan ikan-ikan yang akan
menjadi kompetitor atau penggangu dalam proses budidaya.



3.2.5 Pemasangan instalasi listrik dan pipa air.
Untuk kemudahan dalam proses pengontrolan kualitas air dan organisma
budidaya, pemasangan instalasi pipa air dan listrik harus ditata sedemikian rupa
agar memberikan kemudahan akses pengontrolan baik pada siang maupun malam
hari. Proses pengontrolan ini dilakukan terhadap kondisi perairan (turun naik
permukaan air) dan pengawasan terhadap kemungkinan adanya proses moulting
kepiting bakau yang dapat terjadi kapan saja.
Dari kelima aspek diatas, pada lokasi prektikum yang kami amati
bahwasanya pengelola usaha tambak kepiting lunak ini hanya melibatkan
beberapa aspek persiapan diantaranya, pembuatan jembatan control dan
pemasangan instalasi listrik saja dengan menggunakan satu pintu air sebagai
tempat keluar masuknya air.
3.2.6 Persiapan Rakit/Karamba
Bentuk keramba yang umum dipakai ada 2 model:
Takir, yaitu wadah pemeliharaan yang terbuat dari bilah bamboo yang
disusun selang-seling sehingga terbentuk kotak-kotak kecil. Setiap takir
dilengkapi dengan pelampung dari Botol plastic bekas.
Keranjang, wadah pemeliharaan kepiting yang berbentuk kotak hitam
berbahan plastic. Keranjang ini memiliki daya tahan sampai 10 tahun.
Keranjang ini kemudian di rangkai dengan menggunakan pipa parolon
yang berukuran 1 ,5 dengan panjang 5,80 m. Setiap 1 rangkaian keramba
ini lebih kurang terdiri dari 1000 unit basket. Agar keramba dapat
mengapung dengan baik di setiap sisinya di sisipi botol air mineral yang
berguna sebagai pelampung


3.3 Metode (Budidaya) Membuat Kepiting Soka
3.3.1 Metode Natural (Alami)
Karena tidak melakukan rekayasa (treatment) apapun, cara budidaya
kepiting asoka dengan metode alami biasanya memerlukan waktu yang cukup
lama untuk mencapai moulting yakni sekitar 1 3 bulan. Selain itu, tempat yang
digunakan untuk budidaya harus berupa keranjang (basket) tertutup untuk
menghindari kepiting keluar dari tempat budiddaya. Meskipun demikian, metode
ini dapat menghasilkan kepiting asoka yang lebih baik secara kualitatif dan
kelangsungan hidup selama proses budidaya dapat mencapai lebih dari 90%.
3.3.2 Metode Popeye
Metode ini melakukan proses pemotongan kaki jalan kepiting sehingga
kepiting yang dibudidayakan hanya memiliki kaki renang dan kedua capitnya.
Selama 20 30 hari kepiting ini akan mencapai masa moulting dan umumnya
kepiting yang dihasilkan lebih besar di bagian capit sehingga dapat menaikan
harga jual. Proses budidaya dilakukan pada keranjang tertutup untuk menghindari
kepiting hilang selama pemeliharaan.
3.3.3 Metode Gunting
Pada metode ini dilakukan perlakuan merekayasa kepiting dengan
memotong capit dan kaki jalan. Wadah dapat berupa keramba bambu yang sudah
dianyam dan tutup bawah sehingga biaya proses budidaya lebih ekonomis.
Meskipun kelangsungan hidup pada proses budidaya ini lebih rendah namun lama
moulting jauh lebih cepat yakni berkisar 15 sampai dengan 25 hari. Dalam hal ini,
pengusaha memilih metode ini sebagai metode yang paling tepat untuk
mempercepat proses moulting kepiting.


3.4 Seleksi, Perlakuan Dan Penebaran Benih
Langkah awal dari seleksi benih (bahan baku) kepiting asoka adalah
melakukan sortasi kepiting bakau yang memiliki kriteria yang sehat, segar dan
tidak lembek. Kepiting diusahakan memiliki bobot rata- rata 60 -120 gram atau 1
Kg berisi 10 -13 ekor. Untuk mendapatkan bibit yang berkriteria baik, pengusaha
dapat memesan langsung dari pedagang pengumpul kepercayaannya. Adapun ciri
fisik bibit kepiting muda yang cocok adalah:
1. Jantan muda atau betina yang belum matang gonad (bencong)
2. Berat 70 120 gram
3. Cangkang keras dan berwarna merah
4. Bentuk tubuh sempurna.
Setelah dilakukan pemeriksaan secara visual kelengkapan fisik kepiting
kemudian kepiting diberi perlakuan sesuai metode budidaya yang diaplikasikan.
Pada metode Popeye dan Gunting, proses pemotongan kaki atau capit yang
paling menentukan tingkat persentase keberhasilan panen kepiting soka karena
apabila perlakuannya salah dan tidak berhati-hati saat menggunting kaki atau capit
kepiting bibit, maka akan menimbulkan dampak pendarahan pada kepiting yang
sangat berpengaruh terhadap kematian bibit sebelum sampai ketahap molting.
Sangat disarankan bagi yang baru memulai usaha ini untuk lebih dahulu
memperdalam pengetahuan dasar teknik pemotongan
Setelah dilakukan pemotongan, bibit kepiting dilepas atau ditebar kedalam
keranjang hitam plastik. Masing-masing keranjang diisi dengan 1 benih kepiting.
Pelepasan benih sebaiknya tidak tergesa-gesa dan melempar kepiting bibit
kedalam kotak agar tidak menambah kondisi "stress namun meletakkannya
dengan perlahan-lahan. Angka kematian sebanyak 10 - 25% umumnya terjadi
pada awal pemeliharaan disebabkan oleh benih kepiting pada awal penebaran
tidak kuat selama perjalanan, proses adaptasi pada lingkungan air yang baru masih
kurang, dan proses pemotongan capit dan kaki kepiting yang kurang baik.
3.5 Pemeliharaan Dan Pemberian Pakan
Pengontrolan dan pembersihan kepiting dari lumut atau organisma lain yang
menempel, dilakukan 3 kali sehari atau dengan melihat ada atau tidaknya
organisma yang menempel. Selama pemeliharaan pengecekan kulaitas air tetap
dijaga agar fluktuasi salinitas air yang tinggi tidak terjadi sehingga daya hidup
kepiting akan bertahan lebih lama. Pemeliharaan berlangsung selama 1 3 bulan
tergantung pada perlakuan dan tingkat moulting kepiting. Pemberian pakan berupa
ikan segar (ikan rucah berupa ikan tembang) atau keong mas yang didapat dari
sisa ikan hasil penjualan pedagang ikan yang tidak diperlukan lagi. Dengan
demikian, pengusaha hanya membayar pakan sebagai uang rokok semata.
Sebaiknya pakan diberikan sebanyak 5-10% bobot kepiting/hari dengan frekuensi
pemberian 1 kali sehari pada sore hari. Namun, pengusaha hanya memberikan
perlakuan untuk pemberian pakan 2 hari sekali pada waktu pagi hari sebanyak 1/3
dari bobot kepiting. Sebelum pakan diberikan, rucah dibersihkan dahulu kemudian
dipotong-potong sesuai dengan kebutuhan dan masih dalam keadaan segar.
Pengecekan dan kontrol juga dilakukan tiap harinya di waktu pagi, siang dan
malam untuk memonitir keadaan kepiting yang sakit, mati dan siap panen.
3.6 Panen, Pasca Panen Dan Penjualan
Panen dilakukan secara selektif yaitu memilih kepiting yang telah
melakukan moulting kemudian diangkat dan dipisahkan. Kepiting yang telah
moulting memiliki tubuh yang sangat lunak sehingga harus hati hati dalam
mengangkatnya.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat panen diantaranya:
Cara pemanenan kepiting dari keramba dengan melakukan pengecekan
terlebih dahulu Waktu pengecekan kepiting pada pagi hari pukul 6, siang
pukul 12, sore pukul 6 dan malam hari pukul 12.
Kepiting yang sudah jadi soka diambil kemudian dikumpulkan dalam
wadah baskom direndam dengan air tawar selama 1 jam dan sebelum
masuk ruangan pendingin kepiting dibasahi dengan kain. Didalam air asin,
kepiting akan kembali keras secara perlahan dalam rentang waktu selama
4-6 jam.
Perlakuan pasca panen setelah kepiting bakau menjadi kepiting soka
adalah membungkus kepiting tersebut ke dalam plastik satu persatu.
Mempersiapkan sterofoam sebagai wadah untuk pengiriman apabila akan
langsung dilakukan pemasaran. Jika tidak langsung dipasarkan, kepiting
tersebut dapat di simpan di lemari pendingin (freezer). Dalam pengemasan
kepiting, harus diperhatikan dengan seksama untuk mencegah kerusakan
fisik pada kepiting yang dapat menurunkan kualitas dan daya jual kepiting
tersebut.
BAB IV
ASPEK EKONOMIS
4.1 Analisa Laba-Rugi
4.1.1 Biaya Investasi
Pembuatan Konstruksi = Rp. 50.000.000
Freezer = Rp. 2.000.000
Basket = Rp. 10.000.000
Pembelian Peralatan = RP. 150.000
Total = RP. 62.150.000

4.1.2 Biaya Operasional
Biaya Produksi (per-bulan)
1. Biaya Bibit = @32.000/kg x 1000 kg = Rp 32.000.000
2. Biaya Tenaga Kerja = @1.500.000/orang x 2 = Rp 3.000.000
3. Biaya Angkut/bulan = Rp 500.000
4. Biaya Administrasi = @100.000/bulan = Rp 100.000
Biaya Pemasaran
1. Biaya pengemasan
Biaya Stereofoam = @30.000/unit x 3 = Rp 90.000
Biaya Plastik =@2000/ons x 1 = Rp 2000
Total = Rp 35.692.000
4.1.3 Penyusutan Modal
Penyusutan Modal = 10% x Biaya Investasi
= Rp. 6.215.000




4.1.4 Total Biaya
Total biaya = Biaya Operasional + Penyusutan Modal
= Rp 35.692.000 + Rp. 6.215.000
= Rp. 41.907.000

4.1.5 Hasil Penerimaan
Hasil penjualan: 900(*) x Rp. 62.000,-/kg = Rp. 55.800.000
(*) dengan asumsi tingkat kematian bibit sebesar 10%

4.1.6 Laba Operasional
Laba operasional = Hasil Penjualan Total Biaya
= Rp. 55.800.000 - Rp. 41.907.000
= Rp. 13.893.000
4.1.7 Laba Dalam 1 Tahun
Laba dalam 1 Tahun = Laba Operasional x 12 bulan
= Rp. 13.893.000 x 12 bulan
= Rp. 166.716.000

4.2 Analisa Biaya
4.2.1 Cash Flow
Cash Flow = Laba dalam 1 tahun + Biaya Investasi
= Rp. 166.716.000 + Rp. 62.150.000
= Rp. 228.866.000

4.2.2 Rentabilitas
Rentabilitas =



=



= 14%
4.2.3 B/C Ratio
B/C Ratio =


= 1,3

4.2.4 Pay Back Period
Pay Back Period =



=


= 5 bulan
4.2.5 Break Even Point
BEP untuk volume produksi :
Rp 97.842.000 : Rp. 62.000,00/ kg = 1.578 kg( Titik balik modal
tercapai jika produksi kepiting lunak mencapai 1.578 kg).

BAB V
ASPEK PASAR
Kepiting Lunak bisa dijual ke:
Pasar lokal ke rumah makan yang menyediakan menu kepiting lunak.
Untuk wilayah Aceh, harga kepiting lunak berkisar antara Rp 55,000
sampai dengan Rp 65,000/Kg.
Ke pabriknya biasanya lebih banyak dibandingkan ke rumah makan yang
berada di Banda Aceh.
Eksportir yang ada di Medan.
Jakarta.
BAB VI
PERMASALAHAN DAN SOLUSI

Permasalahan yang terjadi dalam kegiatan budidaya kepiting lunak,
diantaranya:
1. Minimnya tempat budidaya bibit kepiting di Aceh. Sehingga persediaan bibit
kepiting untuk budidaya sedikit.
2. Pembelian bibit kepiting dilakukan pengusaha dari bibit kepiting yang telah di
kumpulkan oleh pedagang pengumpul dari daerah Panton Labu, Aceh Utara
dikarenakan tidak adanya supply bibit dari daerah Banda Aceh dan sekitarnya.
3. Dalam menjalankan usaha, pemilik, pengelola dan pemodal ditangani oleh
orang yang sama sehingga pemilik mengambil andil yang cukup besar dalam
kegiatannya.
4. Tidak adanya pabrik untuk pengemasan, sehingga pengusaha harus membawa
kepiting yang telah dipanen ke pabrik lain.
5. Sisa cangkang kepiting yang telah moulting dibuang sia-sia oleh pengusaha
dan menjadi limbah usaha.
Atas dasar paparan permasalahan di atas, dalam laporan ini kami
memberikan beberapa solusi pemecah masalah, diantaranya;
1. Diperlukan adanya tempat pembudidayaan bibit kepiting yang lebih banyak.
Agar persediaan bibit tercukupi.
2. Tersedianya tempat bibit kepiting di sekitar Banda Aceh dapat menghemat
waktu dan biaya dalam budidaya kepiting. Sehingga lebih efektif dan efisien,
dan juga dapat membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar.
3. Ada baiknya disamping penggunaan buruh tambak, sebaiknya pengusaha
menetapkan seseorang sebagai pengelola tambak sehingga pengusaha dapat
lebih teratur dalam pngendalian keuangan dan aktivitas pekerja.
4. Pemerintah hendaknya dapat memberikan bantuan dalam membangun dan
menyediakan pabrik dan penggudangan yang baik untuk pengemasan dan
penyimpanan hasil kepiting yang telah dipanen. Sehingga pengusaha dapat
menghemat biaya dalam pengemasan.
5. Perlu adanya perhatian dari pemerintah atau instansi lain yang peduli terhadap
sisa cangkang kepiting yang terbuang dengan sia-sia untuk diolah menjadi
pakan sehingga dapat membantu petani lebih efisien dalam penggunaan pakan
kepiting mereka dan juga dapat menjadi nilai tambah bagi para petambak.
















BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Kepiting bakau (Scylla sp.) merupakan salah satu jenis komoditas
perikanan yang potensial untuk dibudidayakan. Kepiting bakau hidup di
perairan pantai khususnya di hutan hutan bakau (mangrove).
2. Perairan di sekitar mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau
karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia
3. Salinitas berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepiting bakau
terutama molting.
4. Tambak kepiting harus mempunyai konstruksi yang berorientasi pada
faktor lingkungan yang mendukung kehidupan dan pertumbuhan secara
normal, sehingga efisiensi pemanfaatan lahan dan waktu saat
pemeliharaan. Secara prinsip, bangunan tambak harus kuat & kedap air.
5. Teknik budidaya kepiting adalah Memperdalam tambak, Persiapan
Tambak, pengangkatan lumpur dasar tambak dan pengapuran,
Pengeringan, Pemasangan saringan air pada pipa pemasukan, Persiapan
Rakit/Karamba.
6. Ketimpangan antara teori dan praktik merupakan hal yang sering terjadi
dalam setiap kegiatan termasuk kegiatan budidaya kepiting lunak ini
sendiri.

B. Saran
Untuk mendapatkan lebih jelas perbandingan pemasukan dari tahun ke tahun dari
usaha kepiting lunak ini, alangkah bagusnya jika pemilik usaha membuat
pembukuan tahunan.



DAFTAR PUSTAKA
Kasry. 1996. Kepiting Bakau-Scylla Serrata (Forskal) Dari Perairan Indonesia .
LON-LIPI. Jakarta.
Kadarsan, W.H. 1995. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan
Agribisnis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sulistiono. N., Watanabe, S, Yokota and R. Fusera. 1996. The Fishing Gears And
Methods Of The Mud Crab In Indonesia Cancer (S). Hal 23-26 (In
Japanese).
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai