Anda di halaman 1dari 19

TRANSPLANTASI ORGAN

(dalam aspek etika kedokteran)


dr. Betta kurniawan, M.Kes
PENDAHULUAN
Pada saat ini jumlah pasien gagal ginjal
yang membutuhkan transplantasi ginjal di
Indonesia mencapai 40.000 orang.
Di Indonesia, transplantasi ginjal pertama
kali dilakukan di RSCM pada tahun 1977
Sampai saat ini, hanya 500 pasien yang telah
menjalani cangkok ginjal di Indonesia,
dimana 200 diantaranya dilakukan di RS PGI
Cikini.
Donor ginjal di Indonesia semuanya adalah
donor hidup dan jumlahnya amat sedikit
dibandingkan kebutuhan.
Sebagian besar pasien lain ternyata
menjalani cangkok ginjal di China, karena
jumlah donor yang banyak dan biayanya
yang relatif murah
Sebagai suatu tindakan medis,
transplantasi organ memiliki potensi untuk
disalahgunakan dan menimbulkan
sengketa, sehingga untuk pelaksanaannya
dirasakan memerlukan pengaturan bukan
hanya dari segi etika, tetapi juga hukum.
Pada makalah ini akan dibahas tentang
transplantasi, aspek etik dan
medfikolegalnya
PENGATURAN HUKUM
TRANSPLANTASI
UU No 23/1992 tentang Kesehatan
PP No. 18/1981 tentang Bedah Mayat
Klinis dan Bedah Mayat Anatomis, serta
Transplantasi Alat dan Jaringan Tubuh
Manusia. PP ini merupakan pelaksanaan
dari UU No 9/1960 tentang Pokok-pokok
Kesehatan, yang telah dicabut.


Transplantasi organ merupakan suatu
tindakan medis memindahkan sebagian
tubuh atau organ yang sehat untuk
menggantikan fungsi organ sejenis yang
tidak dapat berfungsi lagi.
Transplantasi dapat dilakukan pada diri orang
yang sama (auto transplantasi), pada orang
yang berbeda (homotransplantasi) ataupun
antar spesies yang berbeda (xeno-
transplantasi)
Transplantasi organ biasanya dilakukan pada
stadium terminal suatu penyakit, dimana
organ yang ada tidak dapat lagi menanggung
beban karena fungsinya yang nyaris hilang
karena suatu penyakit.
Pasal 33 UU No 23/1992 menyatakan bahwa
transplantasi merupakan salah satu
pengobatan yang dapat dilakukan untuk
penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan.
Secara legal transplantasi hanya boleh
dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan
tidak boleh dilakukan untuk tujuan
komersial (pasal 33 ayat 2 UU 23/ 1992).
Penjelasan pasal tersebut menyatakan
bahwa organ atau jaringan tubuh
merupaka anugerah Tuhan YME sehingga
dilarang untuk dijadikan obyek untuk
mencari keuntungan atau komersial.

TENAGA KESEHATAN YANG
BERWENANG
Di Indonesia transplantasi hanya boleh dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang memiliki
kewenangan, yang melakukannya atas dasar
adanya persetujuan dari donor maupun ahli
warisnya (pasal 34 ayat 1 UU No. 23/1992).
Karena transplantasi organ merupakan tindakan
medis, maka yang berwenang melakukannya
adalah dokter. Dalam UU ini sama sekali tidak
dijelaskan kualifikasi dokter apa saja yang
berwenang. Dengan demikian, penentuan siapa
saja yang berwenang agaknya diserahkan kepada
profesi medis sendiri untuk menentukannya.
Secara logika, transplantasi organ dalam
pelaksanaannya akan melibatkan banyak dokter
dari berbagai bidang kedokteran seperti bedah,
anestesi, penyakit dalam, dll sesuai dengan jenis
transplantasi organ yang akan dilakukan. Dokter
yang melakukan transplantasi adalah dokter yang
bekerja di RS yang ditunjuk oleh Menkes (pasal
11 ayat 1 PP 18/1981). Untuk menghindari adanya
konflik kepentingan, maka dokter yang melakukan
transplantasi tidak boleh dokter yang mengobati
pasien (pasal 11 ayat 2 PP 18/1981)
SYARAT PELAKSANAAN
TRANSPLANTASI
1. Keamanan: tindakan operasi harus aman bagi donor
maupun penerima organ. Secara umum keamanan
tergantung dari keahlian tenaga kesehatan,
kelengkapan sarana dan alat kesehatan
2. Voluntarisme: transplantasi dari donor hidup maupun
mati hanya bisa dilakukan jika telah ada persetujuan
dari donot dan ahli waris atau keluarganya (pasal 34
ayat 2 UU No. 23/1992).
(Sebelum meminta persetujuan dari donor dan ahli
waris atau keluarganya, dokter wajib memberitahu
resiko tindakan transplantasi tersebut kepada donor
(pasal 15 PP 18/1981)
TRANSPLANTASI DARI DONOR
JENAZAH
Dalam hal pengambilan organ dari jenazah dikenal
ada 2 sistem sistem yaitu :
1. Sistem izin (toestemming system): sistem ini
menyatakan bahwa transplantasi baru dapat
dilakukan jika ada persetujuan dari donor sebelum
pengambilan organ. Indonesia menganut sistem ini.
2. Sistem tidak berkeberatan (geen bezwaar system):
dalam sistem ini transplantasi organ dapat dilakukan
sejauh tidak ada penolakan dari pihak donor. Tidak
adanya penolakan dari donor, dalam sistem ini,
ditafsirkan sebagai donor tidak keberatan dilakukan
pengambilan organ
Pasal 14 PP No 18/1981 menyatakan bahwa
pengambilan organ dari korban yang meninggal dunia
dilakukan atas dasar persetujuan dari keluarga
terdekat. Dalam keluarga terdekat tidak ada, maka
keluarga jenazah harus diberitahu. Jika setelah lewat
2 x 24 jam keluarga tidak ditemukan, maka dapat
dilakukan pengambilan organ tanpa izin keluarga.
Pengaturan ini tidak bermanfaat banyak dalam
praktek, karena setelah lewat waktu tersebut, organ
sudah membusuk dan tidak dapat digunakan lagi,
kecuali jika kesegaran jaringan dipertahankan dengan
tetap mempertahankan sistem sirkulasi dan
pernapasan dengan alat bantu penopang hidup

Pasal 1g PP 18/1981 menyatakan bahwa mati adalah
keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan dan atau denyut
jantung seseorang telah berhenti. Secara medis definisi
tersebut sudah lama ditinggalkan karena kematian yang
dianut saat ini adalah mati batang otak.
Mati batang otak merupakan kematian yang paling mudah
dideteksi, karena untuk mendeteksinya tidak diperlukan
peralatan yang canggih. Adanya kematian batang otak
ditandai oleh adanya gangguan pada refleks pupil terhadap
cahaya, refleks mata boneka, refleks kornea, EEG, TCD
(untuk mengecek adanya aliran darah ke otak).
Penentuan kematian harus dilakukan oleh dua orang dokter
yang tidak ada sangkut pautnya dengan dokter yang akan
melakukan transplantasi (pasal 12 PP No 18/1981)
TRANPLANTASI ORGAN
DARI DONOR HIDUP
Harus memenuhi 4 persyaratan:
1. Resiko yang dihadapi oleh donor harus
proporsional dengan manfaat yang didatangkan
oleh tindakan tersebut atas diri penerima
2. Pengangkatan organ tubuh tidak boleh
mengganggu secara serius kesehatan donor
atau fungsi tubuhnya
3. Perkiraan penerimaan organ tersebut oleh
penerima
4. Donor wajib memutuskan dengan penuh
kesadaram dan bebas, dengan mengetahui
resiko yang mungkin terjadi
China menjadi tujuan pertama pasien-pasien yang
memerlukan donor organ. Banyaknya suplay,
tingginya ketrampilan dokter dan harganya yang relatif
terjangkau membuatAda kecurigaan, sejak tahun 2001
China telah melakukan pelanggaran Hak Azasi
Manusia karena telah mengeksekusi secara sengaja
para pengikut Falun Gong yang dipenjara, untuk
diambil organ tubuhnya. Organ-organ ini lalu dijual
kepada pasien yang membutuhkan dengan
mengambil keuntungan besar (laporan David Kilgour
dan David Matas, 2007). Dalam beberapa tahun
terakhir transplantasi ginljal di China mencapay
41.500 kasus.


Istambul Summit yang diadakan pada
pertengahan tahun 2008, dan dihadiri oleh
150 orang perwakilan ilmiah dan dokter dari
78 negara, pegawai pemerintah, ilmuwan
sosial dan pakar etika, semua menyatakan
ikrar untuk menentang organ trafficking
(penjualan organ manusia), komersialisasi
transplantasi (pengobatan organ sebagai
komoditas) dan transplant tourisme (turisme
dalam rangka penyediaan organ untuk
pasien dari negara lain)
Dalam hukum di Indonesia, pada prinsipnya ada
beberapa larangan:
1. Larangan komersialisasi organ atau jaringan tubuh:
Pasal 16 PP 18/1981 menyatrakan bahwa donor
dilarang menerima imbalan material dalam bentuk
apapun. Pasal 80 ayat 3 UU No 23/1992 menyatakan
bahwa barangsiapa dengan sengaja melakukan
perbuatan dengan tujuan komersial dalam
pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan
tubuh atau tranfusi darah dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda
paling banyak 300 juta rupiah.
2. Larangan pengiriman dan penerimaan organ jaringan
dari dan keluar negeri (pasal 19 PP No. 18/1981)

Anda mungkin juga menyukai