Anda di halaman 1dari 93

1

Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran :


Content Development Tema B1






Tim Penyusun

Didik Pradjoko, M.Hum (Koordinator))
Kasijanto, M.Hum (Anggota)
Dr. Suharto (Anggota)
Yuda B. Tangkilisan, M.Hum (Anggota)
Sudarini MA (Anggota)
Dra. MPB. Manus (Anggota)

Raisye Soleh Haghia (Pendukung)
Fathul Bari (Pendukung)







Program Hibah Kompetisi Berbasis Institusi (PHK-I)
Universitas Indonesia Tahun 2008
DIPA Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Nasional











UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK 2008

2
Bab 1

BEBERAPA PENGERTIAN TENTANG SEJARAH



1.1. Pengertian Sejarah dan Ilmu Sejarah
Kata sejarah yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab,
syajaratun yang berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah. Oleh karena itu
tidak terlalu dapat dipersalahkan jika banyak buku sejarah di masa lampau, yang lebih
banyak mengungkapkan riwayat seseorang atau satu keluarga daripada mengungkapkan
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dan Negara. Dalam bahasa Indonesia
terdapat juga kata-kata lain yang merupakan kata serapan dari bahasa lain yang
dipergunakan untuk mengkaji masa lampau seperti: silsilah yang menunjuk pada asal-
usul keluarga atau nenek moyang; hikayat yang banyak dipergunakan untuk
mengisahkan seseorang; babad dan carita atau cerita yang dipergunakan
mengisahkan kejadian-kejadian tertentu; dan masih aada kata-kata lainnya yang menjadi
kebudayaan daerah tertentu seperti tambo (Minangkabau) dan tutur teteek (Roti).
Apabila dilihat dari pemaknaan kata sejarah yang kita pahami baik sebagai masa
lampau maupun sebagai ilmu, kata sejarah itu lebih dekat dengan pengertian yang
terkandung pada kata historia - berasal dari ilmu kedokteran Yunani- yang berarti ilmu
(istor artinya orang pandai); dalam bahasa Inggris menjadi history yang mengandung arti
masa lampau manusia, dan dalambahasa J erman disebut gesischte yang artinya sudah
terjadi. Kata-kata lainnya yang juga dipergunakan untuk menunjukkan kajian masa
lampau antara lain: chronicle (kronika), geneology (keturunan), annals (tarikh), dan epic
(kepahlawanan). J ika sejarah itu adalah masa lampau, maka apa yang terjadi pada pagi
hari telah menjadi sejarah pada siang harinya. Secara logika pernyataan seperti itu dapat
dibenarkan. Namun cara berpikir seperti itu membuat masa lampau itu menjadi
bentangan yang tidak terbatasnya mulai dari detik-detik yang baru saja kita lewati
sampai jauh ke belakang, entah kapan dan di mana sejarah dapat mengungkapkannya.
Apa saja yang harus dimasukkan ke dalam masa lampau yang demikian panjang itu?
3
Perampokan? Gempa Bumi? Kerusuhan? Genocide? Krisis Moneter? Perang? Revolusi?
Perdamaian? Kesejahteraan? dan apa lagi?
Dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu terlihat bahwa konsep masa lampau
dalam arti sejarah, akan mempunyai arti jika pembatasan telah dilakukan. Pembatasan
yang paling awal adalah menyangkut dimensi waktu kapan sampai apabila. Salah satu
konsensus yang dicapai adalah bahwa sejarah satu bangsa atau etnis tertentu dimulai
manakala bukti-bukti tertulis mengenai bangsa atau etnis tersebut telah ditemukan. Atas
dasar kesepakatan itu maka zaman (periode) sejarah pun mulai bergulir. Adapun zaman
yang belum ditemukan bukti-bukti tertulis disebut zaman prasejarah, meskipun dari
zaman ini pun ditemukan jejak-jejak peradaban manusia, seperti seni pahat atau seni
patung.
Penulisan tentang masa lampau manusia dapat dikatakan berawal di Yunani
sekitar 500 tahun sebelumMasehi. Pada waktu itu penulisan sejarah atau historiografi
masih merupakan perpaduan antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Dari ilmu
kedokteran misalnya, historiografi Yunani mendapat pengaruh untuk mencari sebab-
musabab dari suatu kondisi atau kasus. Dalam menjelaskan sebab-musabab itu dilakukan
melalui suatu argumentasi yang lazim dilakukan oleh ilmu hukum (retorika), seperti
dilakukan seorang jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan pengacara
yang berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah. Ungkapan retorika seperti
itu tidak semata-mata untuk membuktikan kebenaran, tetapi juga menciptakan makna
atas kebenaran itu.
Sejarawan Yunani pertama yang melakukan pembuktian semacam itu adalah
Herodotus (ca. 484-425 SM) dalam karyanya tentang Perang Yunani-Persia tahun 478
SM yang dilukiskan sebagai perang peradaban antara peradaban Hellenic dan Perisa
(Timur). Dalam menyusun karyanya itu ia berusaha bertindak obyektif (dalam arti netral
sehingga dianggap kurang patriotik) dengan menggunakan sumber data dari kedua belah
pihak. Oleh karena itu dia dianggap sebagai bapak sejarah. Meskipun demikian karyanya
masih mempunyai dua kelemahan, yaitu kurang akurat dalam menyajikan data, dan
masih terbelenggu oleh kerangka pemikiran budaya itu, yaitu sebab-musabab
supernatural. Artinya perang itu terjadi karena kehendak para dewa.
4
Tulisan pertama dari sejarawan Yunani yang dinilai mampu melepaskan diri dari
sebab-musabab supernatural adalah Thucydides (ca. 456-396 SM). Ia menulis tentang
perang antara Athena dan Sparta yang disebut sebagai Perang Peloponnesos (431-404).
Dalam karyanya itu, Thucydides sebagai seorang jenderal dan politisi, mampu
menghindari penjelasan supernatural. Secara akurat ia mempu merekonstruksi perang
tersebut berdasarkan data-data yang diperolehnya dari kedua belah pihak, sekaligus
mampu menunjukkan bahwa sebab-musabab perang bukan karena kehendak para dewa,
melainkan karena ulah manusia. Perang itu terjadi karena didorong oleh persaingan
antara kedua belah pihak untuk menjadi nomor satu di wilayah Yunani.
Dari uraian di atas, khususnya dua contoh karya Herodotus dan Thucydides, dapat
didefinisikan di sini bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa lampau manusia atau masa
lalu manusia.
Meskipun Herodotus dan Thucydides sudah mengawali penulisan sejarah
berdasarkan sumber data, akan tetapi cara pembuktian para sejarawan Yunani waktu itu
pada dasarnya tidak menggunakan bukti (evidensi) seperti dokumen yang menjadi baku
dalam metode sejarah masa kini. Dokumen dalam arti naskah-naskah lebih banyak
digeluti oleh para ahli naskah atau filolog, yang membanding-bandingkan dua dokumen
atau lebih untuk mencari mana yang otentik (asli) dan mana yang tidak otentik (cara kerja
ini kemudian dikenal dengan sebutan kritik ekstern). Tradisi sejarawan seperti yang
dilakukan para sejarawan Yunani itu berlangsung sampai sekitar abad ke-18. Pada tahun
1776 terbit buku The History of the Decline and Fall of the Roman Empire karya
Edward Gibbon (1737-1794). Dalam karyanya itu Gibbon tidak lagi bersandar pada
retorika yang meyakinkan untuk membuktikan kebenaran sejarah, melainkan pada
dokumen-dokumen (bukti-bukti terturlis). Untuk mencari kebenaran sejarah, dia tidak
saja memanfaatkan kritik ekstern seperti yang dilakukan para filolog tetapi juga kritik
intern yang dikembangkan oleh para sejarawan. Gibbon dapat dikatakan merupakan
sejarawan pertama yang menggunakan cara kerja ilmiah.
Meskipun yang menerapkan cara kerja ilmiah dalam pembuktian sejarah adalah
Gibbon, akan tetapi yang kemudian dikenal oleh masyarakat sejarawan sebagai bapak
sejarah ilmiah (science historian) atau sejarah kritis adalah sejawan Jerman, Leopold von
5
Ranke (1795-1886). Dia dinilai sebagai peletak dasar dari metode sejarah yang bersifat
ilmiah. Ia memperkenalkan cara-cara menguji isi dokumen dan menetapkan fakta sejarah
yang benar. Metode sejarahnya itu diuraikannya dalam bukunya History of Romance
and Germanic Peoples, 1495-1535 yang terbit pada tahun 1824. Selain itu Ranke
menekankan pentingnya obyektivitas dalam penelitian sejarah. Ia menganjurkan supaya
menulis sejarah apa adanya dalam arti apa yang sebenarnya terjadi, wie es eigentlich
gewesen, sebab setiap periode sejarah akan dipengaruhi oleh semangat zamannya
(zeitgeist). Dalam bahasa Inggris kata eigentlich diartikan dalam dua kata, really
(atau essentially) dan actuality. Para sejarawan yang menerima actuality terjemahan
eigentlich berpendapat bahwa yang dimaksud oleh Ranke adalah menentukan fakta
sejarah seperti apa adanya tanpa diembel-embeli ide-ide tertentu sebagai pendorongnya.
Sementara yang menerima kata essentially atau really berpendapat bahwa Ranke
mengakui bahwa ide-ide tertentu menjadi faktor pendorong sejarah. Artinya ia mengakui
pula bahwa ilmu sejarah mempunyai keterkaitan dengan falsafah sejarah.
Langkah-langkah yang ditempuh Ranke bukan semata-mata pembuktian terhadap
kebenaran fakta sejarah, melainkan juga untuk menjadikan sejarah sebagai disiplin ilmu
atau cabang ilmu yang otonom sederajat dengan cabang-cabang ilmu lainnya.
Langkahnya itu kemudian diikuti oleh para sejarawan lainnya, sehingga akhirnya sejarah
diakui sebagai salah satu cabang ilmu yang mandiri. Sesuai dengan ketentuan sebagai
cabang ilmu (ilmiah) harus mempunyai metode serta obyek penelitiannya, maka ilmu
sejarah juga mempunyai metode penelitiannya yaitu metode sejarah serta obyek
penelitiannya yaitu masa lampau manusia dan struktur sosialnya. J ika sejarah adalah
rekonstruksi manusia, maka ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari sejarah dalam
arti bagaimana merekonstruksi semua data-data atau unsur-unsur masa lampau terkait
dalam sesuatu deskripsi.
1.2. Pembabakan Sejarah (Indonesia)
Pada hakekatnya masalah pembabakan atau periodesasi sejarah bukanlah sekedar
menentukan batas awal dan batas akhir, atau pembagian babak satu, dua dan tiga;
melainkan juga harus menjelaskan alasan-alasan rasional, yang berkaitan erat konsep
pemenggalan waktu tersebut, termasuk konsep ruang (spatial) dan waktu (temporal).
6
Artinya harus jelas tempat atau ruang di mana peristiwa itu terjadi dan kapan terjadinya.
Kalau konsep serta argumentasinya tidak jelas, maka akan terjadi kerancuan, bahkan
kekacauan.
Pada awalnya pembabakan Sejarah Indonesia disusun mengikuti pembabakan
yang telah dibuat oleh para sejarawan Kolonial Belanda, khususnya buku Geschiedenis
van Nederlandsch-Indi (terbit pertama kali tahun 1939) karya Stapel dkk. Ternyata
pembabakan tiruan itu selain banyak mengundang kritikan karena dinilai tidak cocok
dengan semangat Indonesia Sentris yang berkembang waktu itu. Masalah pembabakan
itu kemudian dibawa ke dalam Kongres Nasional Sejarah pada tahun 1957 yang
kemudian dibicarakana lagi pada Seminar Nasional Sejarah ke-2 tahun 1970. Salah satu
keputusan dari Seminar Nasional Sejarah yang kedua itu adalah penulisan Sejarah
Nasional Indonesia yang diharapkan nantinya menjadi semacam buku baboon sejarah
Indonesia.
Berdasarkan keputusan akhirnya pada pertengahan dekade 1970-an terbit buku
Sejarah Nasional Indonesia terdiri dari enam jilid, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka-
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pada cetakan pertama,
duduk sebagai editor umum adalah Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro
dan Nugroho Notosusanto. Dalam pemutakhiran yang dilakukan pada tahun 1984,
susunan editornya berubah menjadi Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto. Ada pun susunan pembabakannya berdasarkan cetakan kedelapan tahun
1993 adalah sebagai berikut:
J ilid I Jaman Prasejarah di Indonesia
J ilid II Jaman Kuno (awal M 1500 M)
J ilid III Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam
di Indonesia (1500-1800)
J ilid IV Abad Kesembilanbelas (1800-1900)
J ilid V Jaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda
(1900-1942)
J ilid VI Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (1942-1984
7
Ternyata terbitnya buku Sejarah Nasional Indonesia tidak menyelesaikan
permasalahan yang ada. Selain banyak yang pro dan kotra terhadap buku tersebut, juga
dalam praktiknya masaih banyak buku ajar sejarah, terutama untuk sekolah-sekolah
menengah yang terpengaruh oleh tulisan Stapel dkk, atau tidak jelas dalam
pembabakaannya. Sebagai contoh kesalahan dalam membuat pembabakan itu nampak
pada buku ajar Sejarah Indonesia untuk SMU yang diterbitkan oleh penerbit Bumi
Aksara. Penulis buku itu membagi periodisasi Sejarah Indonesia sebagai berikut:
I. Zaman Prasejarah, yaitu zaman ketika orang belum mengenal tulisan yang
diakhir pada abad ke-4 Masehi
II. Zaman Proto Sejarah yaitu zaman ambang sejarah. Pasa zaman ini sudah ada
tulisan-tulisan, tetapi sumber tulisan itu dari luar negeri dan beritanya samar-
samar.
III. Zaman Sejarah, yaitu zaman di mana orang sudah mengenal tulisan, yang
memberi keterangan tetang peristiwa-peristiwa masa lampau.
a. Indonesia abad ke-1 s/d abad ke-14 disebut Zaman Kuno yang
membicarakan masa berkembangnya kebudayaan Indonesia yang
dipengaruhi agama Hindu dan Buda
b. Indonesia abad ke-15 s/d abad ke -18 disebut Zaman Baru yang
membicarakan masa berkembangnya budaya Islam sampai jatuhnya
Mataramdan Banten ke tangan imperialis Belanda
c. Indonesia sesudah abad18 disebut Zaman Modern
Dari contoh ini terlihat penulis buku tidak konsisten dengan konsep yang
dibuatnya dalam menentukan periodisasi. Dia menyebutkan bahwa sejarah Indonesia
dimulai sejak abad ke-4 Masehi, yaitu dengan ditemukannya tulisan (hal yang sudah
menjadi kesepakatan umum). Jadi dasar pembabakannya itu jelas adalah adanya bukti
tertulis atau budaya aksara. Pada babak ke-1 Zaman Prasejarah konsep itu tercermin
cukup jelas. Namun pada babak ke-2 Zaman Proto Sejarah konsepnya itu menjadi
kabur. Babak kedua ini tidak lagi didasarkan pada keberadaan bukti tertulis itu sendiri
melainkan atas dasar asal bukti tertulis tersebut, yaitu dalamnegeri (kepulauan Indonesia)
8
dan luar negeri (luar kepulauan Indonesia). Ketidak jelasan itu juga terlihat pada babak
ke-3 Zaman Sejarah. Meskipun zaman ini disebutkan dimulai sejak abad ke-4 M,
namun dalam sub a yang diberi nama Zaman Kuno, dia menyebutkan bahwa zaman
kuno yang nota bene tercakup dalam zaman sejarah, diawali pada abad pertama Masehi
(kemungkinan besar kesalahan ini karena dia mengutip begitu saja pembabakan yang ada
dalam buku Sejarah Nasional Indonesia).
Terlepas dari masih adanya polemic sekitar buku Sejarah Nasional Indonesia
yang enam jilid, pembabakan dalam tulisan sejarah pada hakekatnya dapat disusun
berdasarkan kronologis atau tematis. Susunan secara kronologis artinya setiap babak
disusun berdasarkan penggalan-penggalan waktu kejadian sebenarnya. Pembabakan
secara kronologis ini terutama sangat membantu untuk penulisan sejarah yang mencakup
kurun waktu yang panjang seperti sejarah umum, sejarah nasional atau sejarah dunia.
Misalnya Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 karya M.C. Ricklefs yang diterbitkan
oleh Serambi tahun 2005. Struktur tulisannya adalah sebagai berikut:
I. Lahirnya Zaman Modern
II. Perjuangan Merebut Hegemoni, 1630-1800
III. Pembentukan Negara Jajahan, 1800-1910
IV. Munculnya Konsepsi Indonesia 1900-42
V. Runtuhnya Negara Jajahan 1942-50
VI. Indonesia Merdeka
Sedangkan pembabakan secara tematis akan sangat membantu jika tulisan sejarah
itu semacam studi kasus atau kajian khusus yang durasinya relative singkat namun
permasalahannya cukup rumit dan mendalam. Contoh tulisan itu antara lain
Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirdjo yang diterbitkan oleh
penerbit Pustaka Jaya tahun 1984. Ada pun struktur penulisannya adalah sebagai berikut:
Bab I Pengantar
Bab II Latar Belakang Sosio-Ekonomis
Bab III Perkembangan Politik
9
Bab IV Keresahan Sosial
Bab V Kebangunan Agama
Bab VI Gerakan Pemberontakan
Bab VII Pemberontakan Dimulai
Bab VIII Penumpasan Pemberontakan dan Kelanjutannya
Bab IX Kelanjutan Pemberontakan
Bab X Akhir Kata

1.3. Metodologi Sejarah
Pada dasarnya untuk mengetahui masa lampau manusia adalah dengan cara
mempelajari peninggalan-peninggalannya, baik berupa dokumen, artefak, maupun
keterangan lisan. Untuk mendapatkan hasil yang baik, diperlukan suatu metode yang baik
pula serta (kalau perlu) teori-teori tertentu yang tepat guna. Metode penelitian dalam ilmu
sejarah disebut metode sejarah, yang cara kerja mempunyai cirri yang berbeda dengan
metode penelitian bidang ilmu lain. Metode Sejarah merupakan suatu cara untuk
mengetahui otensitas tidaknya satu dokumen, benar atau tidaknya isi dokumen, serta
relevan tidaknya dengan permasalahan yang hendak dituliskan sebagai karya sejarah.
Dalam proses kerjanya memperlihatkan tahap-tahap mulai dari yang teoritis sampai pada
pelaksanaan teknis yang diterapkan dalampenelitian dan penulisan sejarah.
1.3.1. Metode Sejarah
Dalam proses kerjanya, metode sejarah memiliki pentahapan yang sebaiknya
diikuti dengan baik. Ada pun tahap-tahap penelitiannya itu adalah sebagai berikut:
heuristik, yaitu suatu kegiatan yang berkaitan dengan upaya mencari dan
menemukan data-data mentah (raw material) sesuai dengan tujuan dari
penelitian itu yang tertera dalam proposal atau outline penelitian yang telah
disusun sebelumnya. Bentuk sumber sejarah adalah: tekstual (dokumen,
10
Koran, majalah dan bentuk teks lainnya) dan nontekstual (foto, gambar, peta,
karikatur sezaman), lisan, kebendaan, dan audiovisual.
Verifikasi, yaitu mencakup kritik ekstern dan intern sumber sejarah. Dalam
tahap ini peneliti melakukan penyeleksian data yang ditemukannya melalui
suatu proses pengujian terhadap data-data tersebut, baik dari segi materi
maupun isinya. J ika yang diuji itu arsip atau dokumen, maka yang dimaksud
materi di sini adalah jenis kertasnya dan tintanya. Apakah benar kertas atau
tintanya berasal dari zamannya. J ika sumber sejarah itu merupakan sumber
lisan, maka yang diuji adalah orangnya, apakah orang tersebut betul pelaku
atau orang yang menyaksikan langsung, serta cukup sehatkah untuk
diwawancara. Setelah data-data tersebut teruji, kemudian dinilai apakah data-
data itu relevan dengan permasalahan yang hendak ditulis, baik dari segi tema,
maupun periodenya. Data-data yang telah teruji dan terpilih inilah yang
kemudian disebut sebagai fakta sejarah.
Interpretasi atau eksplanasi yaitu proses menafsirkan atau pemberian makna
serta merangkaikan unsur-unsur yang telah diperoleh dari tahap-tahap
sebelumnya, dengan tujuan untuk memperoleh kumpulan fakta yang memiliki
arti (fact of meaning). Berkaitan dengan masalah interpretasi dan eksplanasi
ini ada berbagai metode atau pendekatan yang dapat dipergunakan, seperti
metode naratif (history of event), struktural, dan strukturistik. Keberhasilan
penggunaan ketiga metode ini pada dasarnya sangat tergantung dari sifat
obyek penelitiannya.
Historiografi yaitu proses penulisan sejarah yang bertolak dari fakta-fakta
yang telah teruji dan terangkai tadi. Dalamproses penulisan ini, penguasaan
sang sejarawan atas teori dan metodologi sedikit banyak ikut mempengaruhi
mutu karya yang dihasilkannya.
1.3.2. Teori Sejarah
Pokok masalah dalam teori sejarah adalah kebenaran dari pengetahuan yang
dihasilkan oleh para ahli sejarah yang dilandasi oleh berbagai bentuk eksplanasi. Secara
11
umum teori sejarah dapat dibagi dua bagian, yaitu teori sejarah spekulatif dan kritis.
Sejarah spekulatif umumnya dianut oleh para sejarawan yang menyatukan sejarah dengan
filsafat. Dalam hal ini sejarah merupakan ungkapan dari suatu pandangan filsafah
mengenai perkembangan ummat manusia. Paling tidak ada tiga macam pertanyaan yang
umumdiajukan oleh para penulis sejarah spekulatif, yaitu :
1. Pola macamapa yang perlu diamati dalamproses sejarah
2. Mana motor yang menggerakkan sejarah
3. Apa dan bagaimana sasaran terakhir yang dituju oleh proses sejarah.
Para sejarawan Marxis dapat dikatakan merupakan salah satu contoh model sejarah
spekulatif. Mereka melihat faktor pertentangan kelas menjadi motor dari proses
sejarah. Penganut lainnya adalah Hegel, Spengler, dan Toynbee (Ankersmit, 1987: 17).
Bertolak dari tiga pertanyaan itu mereka membahas proses sejarah tidak sekedar apa yang
telah terjadi di masa lalu, tetapi seringkali juga mengungkapkan semacam prediksi, apa
yang harus terjadi. Seperti tercermin dalam ketiga macam pertanyaan tadi, nampak
bahwa sistemsejarah spekulatif sering membicarakan masa depan.
Adapun sejarah analitis justru memisahkan antara sejarah dan falsafah. Aliran ini
terutama berkembang pada sejarawan empirik. Bagi kalangan ini, ilmu sejarah adalah
kaidah-kaidah ilmiah untuk membuktikan adanya masa lampau. Mereka menolak
anggapan bahwa tugas sejarawan adalah mengungkapkan masa lampau sesuai dengan
falsafah tertentu. Bagaimana membuktikan adanya masa lampau melalui berbagai
peninggalan masa yang bersangkutan itulah yang menjadi inti persoalan teori sejarah.
Oleh karena banyak cara yang diajukan, maka tidak mengherankan jika sampai sekarang
berkembang pula teori-teori sejarah.
Salah seorang filsuf sejarah membedakan empat teori pokok yang sampai
sekarang muncul di kalangan sejarawan, yaitu narrativisme, hermeneutika,
kasualitas dan covering law model (Ankersmith, 1987). Meskipun pada dasarnya
keempat teori tersebut bersandar pula pada suatu pandangan tertentu, namun keempatnya
dapat diterima sebagai patokan kerja. Para sejarawan menyadari pula bahwa dari keempat
teori itu telah berkembang berbagai kombinasi, terutama antara teori yang disebut
12
pertama sampai ketiga. Kombinasi-kombinasi itu merupakan terobosan-terobosan yang
diupayakan untuk menembus berbagai kendala yang masih menyelimuti masa lampau
manusia yang diakibatkan oleh lemahnya atau terbatasnya data-data dari masa lampau.
1.3.3. Subyektivitas dan Obyektivitas Sejarah
Salah satu perbedaan pokok yang sering mencuat di kalangan sejarawan, terlepas
apakah ia menggunakan teori baku seperti kasualitas, narrative, atau kombinasi-
kombinasinya, adalah masalah obyektivitas dan subyektivitas. Ada yang berpendapat
bahwa pengetahuan kita tentang masa lampau adalah subyektif dan ada pula yang
menilainya obyektif. Perbedaan ini muncul terutama karena adanya pandangan yang
berbada mengenai sifat-sifat peninggalan masa lampau. Kelompok yang berpandangan
subyektif adalah yang menganggap bahwa peninggalan itu hanya sekedar lambang atau
wakil dari masa lampau, yang tidak mempunyai nilai obyektif sendiri. Artinya
peninggalan tersebut tidak dapat mengatakan kepada kita yang hidup di masa kini
mengenai apa yang terjadi pada masa lampau. Dengan kata lain fakta-fakta itu hanya
terdapat dalam alam pikiran para sejarawan yang menelitinya. Para sejarawanlah yang
membuat peninggal-peninggalan masa lampau itu berbicara.
Sementara itu kelompok sejarawan yang berpandangan obyektif menganggap
bahwa peninggalan-peninggalan itu sudah merupakan kenyataan dari masa lampau.
Artinya peninggalan-peninggalan itu sudah berbicara tentang masa lampau. Oleh karena
itu fakta-fakta yang ditampilkan merupakan evidensi itu sendiri, bukan hasil rekayasa
para sejarawan dan selalu mengacu ke masa silam.
Dalam praktek, pengertian subyektif dan obyektif dapat disamakan dengan
terpengaruh atau tidaknya sejarawan oleh nilai-nilai tertentu dari obyek yang ditelitinya.
Bila seorang sejarawan membiarkan keyakinan politik atau etisnya turut berperan
sehingga terlihat dalam karya sejarahnya, maka pelukisan sejarahnya disebut subyektif.
Sebaliknya bila seorang sejarawan mampu menjaga jarak dari obyek yang ditelitinya
sehingga nilai-nilai politik dan etisnya tidak larut dalameksplanasi karyanya, maka
pelukisan sejarahnya itu disebut subyektif.
13
Golongan obyektivitas menganut pandangan realis mengenai sejarah dan
mengggap peninggalan masa lampau sebagai sumber sejarah. Sedangkan golongan
subyektif menganut pandangan idealis mengenai sejarah dan menganggap peninggalan
masa lampau sebagai evidensi sejarah (barang bukti).
Dengan adanya dua sudut pandang ini, ditambah dengan adanya perkembangan
teori dan metodologi sejarah, maka penulisan sejarahpun semakin berkembang dan
bervariasi pula. J ika pada abad ke-19 dan sebelumnya jenis sejarah politik seakan-akan
satu-satunya karya sejarah yang absah, maka sejak awal abad ke-20 berbagai tema
sejarah sebagai alternatif dalam mengungkapkan masa lampau manusia seperti sejarah
sosial, sejarah petani, sejarah ekonomi, sejarah mentalitas dll.

1.4. Historiografi
1.4.1. Zaman Yunani-Romawi.
Dalam masalah sejarah penulisan sejarah (historiografi), para pakar sejarah
umumnya melihat kepada historiografi Eropa karena dari wilayah inilah bermula
munculnya tradisi penulisan sejarah, khususnya sejarah sebagai kajian ilmiah. Di Yunani
tradisi penulisan itu sudah dimulai yang disusun dalam bentuk puisi, misalnya karya
Homer, yaitu Illiad-Odessy yang menceritakan kehancuran kerajaan Troya tahun 1200
SM. Meskipun karya ini bertolak dari suatu kenyataan masa lampau, namun budaya
zaman yang hidup waktu itu telah membuat karya lebih menyerupai mitologi daripada
karya sejarah. Banyak aspek supernatural dipergunakan sebagai dasar penjelasannya
mengenai sebab-musabab terjadinya suatu peristiwa. Seperti telah disinggung di atas,
penulisan sejarah yang lebih rasional baru muncul sekitar abad ke-5 SM, yaitu dengan
terbitnya karya Herodotus yang disusul oleh karya Thucydides.
Tradisi Yunani itu kemudian dijadikan model oleh para sejarawan Romawi,
antara lain oleh Polybius (orang Yunani yang dibesarkan di Roma). Ia banyak menulis
tentang masa akhir Yunani sampai awal berdirinya Romawi. Penulis Romawi sendiri
antara lain: Julius Caesar (100-44 SM), Gaius Sallustius Crispus (ca. 86-34 SM), Titus
Livius (59 SM-17 M), dan Pablius Cornelius Tacitus (ca. 55-120 M).
14
Julius Caesar adalah seorang jenderal yang kemudian menjadi kaisar, menulis
Commentaries on Gallic War, yang merupakan memoir tentang suku Gallia, dan civil
War yang merupakan penjelasan mengenai sebab-musabab terjadinya perang Gallia,
sekaaligus tentang adat-istiadat suku tersebut.
Sallustius terkenal dengan monografi dan biografinya. Bentuk karya yang disebut
terakhir sekaligus menjadi salah satu 14irri bagi penulisan sejarah era Romawi. Ia
menulis history of Rome, Conspiracy of Catiline, Jugurtbine War. Analisanya dinilai
cukup netral, namun saying dia ceroboh dalam masalah kronologi dan geografi sehingga
mengurangi nilai karyanya itu.
Livius merupakan salah satu contoh penulis yang hampir sepenuhnya
menggunakan model Yunani. Dalampembuktiannya ia lebih banyak mengemukakan
retorika sehingga mengorbankan kebenaran sejarah. Karyanya tentang berdirinya kota
Roma merupakan campuran antara data factual dan fantasi.
Tacitus menulis Annals, Histories, dan Germania. Karyanya itu merupakan
paduan antara karya Livius yang cenderung pada retorika dan Polybius yang cenderung
pada sejarah. Ia tercatat sebagai orang pertama yang melukiskan sebab moral runtuhnya
kekaisaran Romawi.

1.4.2. Zaman Abad Pertengahan.
Tradisi Yunani yang dilanjutkan oleh Romawi itu kemudian terhenti oleh
kemenangan Kristen di Eropa. Kebudayaan Yunani-Romawi yang bertumpu kepada
kekuatan akal dianggap sebagai hasil setan karenanya harus ditolak dan digantikan
dengan kebudayaan Kristen yang bertumpu pada agama dan supernatural. Menurut
pandangan yang disebut terakhir, sejarah tidak bisa dipisahkan dari teologi atau agama.
Sebagai contoh dalam periodisasi atau pembabakan sejarah disesuaikan dengan ajaran
yang ada pada kitab Injil (Perjanjian Baru). Sebagai contoh adalah skema periodesasi
yang disusun Augustine:
--O------- 1 ----0------ 2 -------0------ 3------0------- 4 -----0---- 5 -------0---- 6 ------0--------
Adam----------Nuh--------Ibrahim-------- Daud ---------Babylonia ----Jesus----- kedatangan
15
Jesus ke-2
The City of God adalah karya Augustine (ca. 354-430 M) yang merupakan filsafat
sejarah Kristen yang cukup berpengaruh, khususnya pada abad pertengahan yang sering
dikenal dengan sebutan Abad Kegelapan (The Dark Ages) yang melahirkan struktur
masyarakat feudal di Eropa. Menurut pandangan Kristen orang harus memilih antara
Tuhan dan setan. Orang yang terlibat dalam sejarah suci akan dimenangkan oleh Tuhan.
Pada masa ini pusat penulisan sejarah terdapat di gereja dan Negara dengan pendeta dan
raja sebagai pelaku utama. Tinjauan kritis dan netral yang didukung oleh data-data
faktual tidak terlihat pada zaman Kristen di Abad Pertengahan ini.
Karya-karya yang lahir pada abad-abad ini antara lain: Chronographia karya
Sextus Julius Africanus (ca. 180-250 M) yang mengungkapkan bahwa dunia diciptakan
Tuhan pada 5499 SM; Seven Books Against the Pagan karya Paulus Orosius (ca. 380-420
M) murid Augustine, yang menguangkapkan pembelaannya atas peradaban Kristen yang
dituduh sebagai penyebab runtuhnya Romawi (Barat) pada abad ke-5 M. Dalamkaryanya
itu itu Orosius mengatakan bahwa keruntuhan paganisme sudah menjadi kehendak
Tuhan, karena orang-orang kafir itu akan runtuh.

1.4.3. Zaman Renaissance, Reformasi dan Kontra Reformasi.
Sejalan dengan semakin pulihnya keamanan dan perdagangan di Eropa, sekaligus
sebagai pertanda berakhirnya Abad Pertengahan pada abad ke-15, untuk memasuki era
Renaissance. Pada era ini semangat paga dan kebudayaan klasik Yunani-Romawi
menjadi model. Corak penulisan sejarah pun kembali mengalami perubahan. Pembuktian
kebenaran sejarah tidak lagi bersandar pada wahyu melainkan pada akal, teologi yang
dogmatis diganti dengan ilmu. Hal ini antara lain tercermin dari karya Lorenzo Valla
(1407-1457) yang menulis The History of Ferdinand I of Aragon, The History of
Ferdinand I of Aragon, yang berupaya membuktikan bahwa berita kaisar Konstantinus
(memerintah 305-337) telah memberikan hak politik kepada paus adalah tidak palsu.
Meskipun kebenaran yang dikemukakannya juga dapat disangkal oleh yang lain, namun
keberaniannya dalam melakukan kritik merupakan satu langkah yang maju waktu itu.
16
Dekonstruksi terhadap historiografi Abad Pertengahan berlanjut pada masa
Reformasi. Hal ini antara lain tercermin dari karya lacich Illyricus (1520-1575),
Magdeburg Centuries yang merupakan sejarah polemik. Dalam bukunya itu ia banyak
menyerang institusi kepausan dari segi hukumdan konstitusi. Buku ini benyak dikecam
oleh gerakan kontra Reformasi yang berupaya menegakkan kembali kewibawaan
gereja Katholik yang dinilai telah dirusak oleh gerakan Reformasi. Cardinal Caesar
Baronius (1538-1607) misalnya menulis buku Ecclesistical Annals yang merupakan
jawaban langsung terhadap tuduhan dari buku Magdeburg Centuries. Tulisannya itu jelas
merupakan karya yang memihak dan apologetis, yang banyak mengalihkan isu yang
penting ke isu sekunder yang tidak relevan. Meskipun demikian nilai buku itu cukup
tinggi, terutama dalam penggunaan sumber datanya.

1.4.4. Dari Rasionalisme ke Liberalisme.
Seperti telah disinggung di atas, dari segi pengungkapan kebenaran sejarah, model
Yunani dengan retorikanya masih cukup Nampak pada abad ke-17 dan ke-18. Abad ini
yang sering disebut sebagai Abad Rasionalisme-Pencerahan telah melahirkan banyak
karya, misalnya: Essay on the manners and spirit of the Nation karya Voltaire (1697-
1778) yang terbir pada tahun 1756. Buku ini merupakan sejarah umum yang
membeberkan sumbangan bangsa-bangsa Timur dan Islam terhadap peradaban dunia dan
Eropa; History of England from the Invasion of Julius Caesar to the Revolution of 1698
karya David Hume (1711-1776); dan The History of the Decline and Fall of the Roman
Empire karya Edward Gibbon yang terbit pada tahun 1776. Seperti telah disinggung di
atas, Gibbon merupakan sejarawan pertama yang menggunakan eviden (dokumen) untuk
pembuktian kebenaran sejarah. Selain gayanya yng berbeda, akurasinya dalam penulisan
yang didukung dengan bukti-bukti membuat karyanya menjadi penting dan abadi dalam
historiografi dunia. Meskipun ia tergolong sejarawaan rasionalis, namun dalammenulis
tentang kemunculan agama Kristen di dunia Barat cukup obyektif, demikian pula
mengenai sumbangan Islam pada peradaban dunia.
Historiografi pada abad ke-19 ditandai dengan beberapa cirri yang cukup
menonjol, antara lain: (1) penghargaan kembali pada Abad Pertengahan, (2) munculnya
17
liberalism, (3) munculnya filsafat sejarah, dan (4) nasionalisme. Sejarah yang bersifat
nasionalistis misalnya Address to the German Nation karya Johann Gottlieb Fitchte
(1762-1814). Dalam buku ini ia mengemukakan perbedaan antara orang-orang Jerman
yang disebutnya Urvolk alias bangsa yang masih murni dan orang-orang Eropa selatan
yang disebutnya Mischvolk alias bangsa campuran yang sedang mengalami keruntuhan.
Tulisannya itu telah member dorongan timbulnya nasionalisme Jerman.
Abad 19 selain melahirkan Leopold von Ranke yang dianggap sebagai bapak
sejarah science, juga melahirkan banyak pemikir-pemikir sejarah (filsafat sejarah) yang
berpengaruh pada perkembangan teori dan metode sejarah pada tahun-tahun berikutnya.
Misalnya: Georg Wilhelm Friederich Hegel (1770-1831) yang menulis buku Philosophy
of History. Dalam bukunya itu ia berpendapat bahwa sejarah itu naju dengan cara
dialeksis. Diawali dengan tesis yang mendapat perlawanan dari satu kekuatan yang
disebut anti-tesis. Dari pertarungannya itu melahirkan sintesis sebagai tujuan akhir. Pada
gilirannya nanti sintesis ini akan berubah menjadi tesis baru, yang kemudian berproses
sampai menghasilkan sintesa baru, dst. Heinrich Karl Marx (1818-1883) memakai
dialektika Hegel, dengan proletariat sebagai sarana pembebasan manusia.
Pengaruh filsafat sejarah Hegel ini antara lain nampak pada karya Francis
Fukuyama, The End of History and The Last Man yang terbit pertama kali pada tahun
1992. Dalam karyanya itu Fukuyama menginterpretasikan perkembangan masyarakat
dunia (masa kontemporer) didorong oleh dua faktor, yaitu (1) perkembangan ekonomi
yang didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan (2) keinginan untuk diakui,
dihargai, dan persamaan hak. Kedua faktor inilah yang sering digugat oleh sistem
komunis yang dapat dinilai sebagai kekuatan anti-tesis yang kemudian menghasilkan
tujuan akhir sejarah manusia, yaitu masyarakat kapitalis dengan sistempolitik demokrasi
liberalnya.
Menjelang akhir abad ke-19 kebenaran yang dikemukakan oleh Ranke mulai
diragukan, sebab menulis sejarah sebagaimana yang terjadi dinilai bertentangan dengan
psikologi. Sadar atau tidak, setiap orang yang menulis pasti mempunyai maksud dan
tujuan tertentu. Fakta sejarah bukanlah batu bata yang tinggal dipasang saja, melainkan
fakta yang dipilih dengan sengaja oleh sejarawan. Seperti dikemukakan oleh Carl L.
18
Becker (1873-1945), pemujaan terhadap fakta hanyalah ilusi. Sementara itu James
Harvey Robinson (1863-1936) mengatakan bahwa sejarah kritis kita hanya dapat
menangkap permukaan, tidak dapat menangkap realitas di bawah dan tidak dapat
memahami perilaku manusia. Atas dasar pemikiran itu maka muncul gagasan baru
tentang perlunya sejarah baru atau new perpective on historical writing.
Berbeda dengan historiografi modern yang dipelopori Ranke yang menekankan
kritik, maka sejarah baru menekankan perlunya penggunaan ilmu-ilmu sosial, sekaligus
mendekatkan kembali ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, sehingga seringkali sejarah
baru itu disebut sebagai sejarah sosial.

1.4.5. Historiografi Indonesia.
Penulisan sejarah di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa kerajaan Hindu-
Buddha berkembang di kepulauan Indonesia, misalnya Pararaton, Negara
Kertagama, dan Carita Parahiyangan. Demikian pula era kesultanan atau kesunanan
yang bercorak Islam, terbit misalnya; Hikayat Tanah Hitu, Tuhfat al Nafis, Babad
Tanah Jawi, dan Babad Kraton. Akan tetapi karya-karya para sejarawan atau tepat
para pujangga dinilai kurang bernilai sejarah karena sarat dengan mitos-mitos seperti
halnya historiografi Abad Pertengahan di Eropa. Sifatnya primordial atau istana sentries,
legitimasi, anakronis, dengan sumber data yang seringkali sulit dilacak serta analisa
sebab-musabab supernaturalnya. Oleh karena itu pada awalnya tidak sedikit sejarawan
akademik yang menilai karya-karya seperti itu tidak patut dijadikan sebagai referensi
penelitian sejarah ilmiah.
Salah satu pujangga istana Surakarta, Yasadipura (1729-1805) barangkali dapat
disebut sebagai sejarawan yang mulai mengkaji kembali karya-karya historiografi
tradisional Indonesia. Ia menulis Babad Giyanti yang merupakan penafsiran kembali
karya-karya yang lebih tua, yang disesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Kemudian
pada abad ke-19 beberapa pelaku sejarah juga menuliskan sejarahnya, seperti Pangeran
Dipenogoro menulis Babad Dipenogoro, yang ditulisnya pada tahun 1835, semasa dia
berada di pengasingan. Mungkin saja masih banyak pujangga dan pelaku sejarah
19
Indonesia yang menulis, namun sejalan dengan perkembangan dunia kolonial, penelitian,
pengumpulan data dan komunikasi pemikiran sejarah pada abad ke-19 hampir
sepenuhnya berada di tangan orang-orang Belanda/Barat. Selain itu mereka mempunyai
tradisi dalam historiografi kolonial yang cukup lama Oleh karena itu pada masa kolonial,
sejarah dianggap benar dan penting-bahkan oleh orang-orang Indonesia berpendidikan-
adalah babad londo dengan tokoh-tokohnya yang berkuasa seperti gubernur jenderal
dan para residennya, bukan sultan, susuhunan, kiai atau pemimpin Indonesia lainnya.
Awal abad ke-20 perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan
munculnya studi sejarah yang kritis. Husein Djajadiningrat dapat dikatakan sebagai orang
Indonesia pertama yang melakukan prinsip-prinsip metode kritis sejarah. Karyanya,
Critische Beschouwingen van de Sejarah Banten (1913) sebenarnya merupakan studi
filologis yang menggunakan historiografi tradisional sebagai obyeknya. Kemudian pada
tahun 1936 giliran saudaranya, Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat yang menerbitkan
karya biografinya, Kenang-kenangan Pangran Aria Achmad Djajadiningrat
(Herrineringen van Pangran Aria Achmad Djajadiningrat) dalamdua bahasa, Indonesia
dan Belanda.
Sejalan dengan berkembangnya metode kritis, perkembangan nasionalisme
Indonesia yang berkembang sejak awal tahun 1920-an, membutuhan pula sejarah yang
dapat menunjukkan identitas dan simbol keindonesiaan. Semangat inilah yang
mendorong penulisan sejarah dengan pendekatan Indonesia sentries menggantikan
sudut pandang Eropa sentries atau Belanda sentries yang berkembang waktu itu.
Namun seperti dikemukakan oleh Coolhaas bahwa harapan penulisan sejarah Indonesia
akan sulit berkembang mengingat orang-orang Indonesia masih sedikit yang terlibat
secara aktif dalam politik. Kenyataannya memang demikian, sampai meletusnya Perang
Dunia II karya-karya sejarah kolonial masih mendominasi, di antaranya karya FW Stapel
dkk, Geschiedenis van Nederlandsch-Indi, yang mempunyai pengaruh besar terhadap
penulisan sejarah Indonesia kemudian, terutama buku-buku ajar sejarah pada tingkat
sekolah menengah.
Setelah proklamasi kemerdekaan literatur sejarah Indonesia mengalami
booming. Semangat nasionalisme yang berkobar-kobar dalam periode post kolonial
20
telah mendorong diterbitkannya buku-buku sejarah yang Indonesia Sentris. Oleh
karena itu pada periode post revolusi ini banyak diterbitkan biografi tokoh-tokoh maupun
pahlawan nasional seperti: Teuku Umar, Imam Bonjol, Pattimura, Nuku dan Diponegoro
karena obyek-obyek penulisan seperti ini yang mampu menunjukkan identitas dan
symbol keindonesiaan. Demikian pula sejarah perlawanan terhadap penjajah, seperti
Perang Dipenogoro, Perang Aceh, Perang Padri, pergerakan nasional dan sebagainya
menempati posisi yang sama seperti biografi para tokoh tadi. Tidak sedikit politisi aktif
yang ikut menulis sejarah seperti Mr. Muhammad Yamin menghasilkan beberapa karya
sejarah, antara lain 6000 Tahun Sang Merah Putih, atau menuliskan memoarnya, seperti
TB Simatupang menulis Laporan dari Banaran (1960)
Semangat patriotisme yang berkobar-kobar namun tidak disertai dengan
penguasaan metode sejarah teknis membuat banyak karya sejarah terbit pada periode ini
sulit dipertanggungjawabkan dengan metode kritis. Dapat dikatakan sebagian besar karya
sejarah waktu itu tidak lebih dari sejarah kolonial yang diputar balik peranan pelakunya,
dari pemberontak menjadi pahlawan, dari jahat menjadi baik, dari pemberontak
Diponegoro menjadi pahlawan Diponeogoro dan seterusnya. Karena itu pula banyak
kritik terhadap karya seperti itu. Tidak sedikit pula sejarawan asing yang pesimistis
terhadap obyektivitas sejarah yang Indonesia sentries.
Pesimistis yang sempat berkembang itu kemudian menghilang sejalan dengan
dibukanya kembali programstudi sejarah di beberapa perguruan tinggi Indonesia. Pada
tahun 1966 terbit buku The Peasants Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course
and Sequel (terjemahannya, Pemberontakan Petani Banten 1888 terbit pada tahun 1984)
karya Sartono Kartodirdjo. Dengan karyanya ini, yang disusul oleh karyanya yang lain
seperti Protest Movement in Rural Java (1973), Sartono menawarkan alternatife dan
perspektif baru dalam penulisan sejarah Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai
sejarah sosial.
Meskipun sudah muncul alternatif baru dengan multidimensinya, namun sampai
sampai dekade 1970-an, sejarah politik-khususnya masa pendudukan Jepang dan revolusi
kemerdekaan- masih cukup dominan. Pada tahun 1977-1979 terbit secara bertahap karya
monumental AH Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan Kemerdekaan Indonesia yang
21
terdiri dari 11 jilid. Buku ini banyak memberikan informasi tentang jalannya perang pada
periode 1945-1949, Namun buku yang cukup tebal ini mempunyai satu kelemahan yang
cukup mendasar, yaitu dalammasalah sumber data. Dalamwaktu yang hampir sama
terbit kumpulan biografi singkat dari berbagai tokoh yaitu Manusia Dalam Kemelut
Sejarah (1978). Buku ini semula adalah artikel-artikel yang dimuat dalam majalah
Prisma No.8 tahun 1977. Setelah itu pada tahun 1979 terbit buku Tentara Peta pada
jaman pendudukan Jepang di Indonesia (1979) karya Nugroho Notosusanto yang
merupakan studi akademik pertama tentang masa pendudukan Jepang yang dikalakukan
oleh orang Indonesia.
Meskipun ada perkembangan dalam penulisan sejarah Indonesia, namun banyak
orang Indonesia yang menilai penulis-penulis asing masih lebih baik dalam tulisan
sejarah yang bertema perang kemerdekaan Indonesia, misalnya Nationalism and
Revolution in Indonesia (1970) karya George Mc T Kahin dan Java in a Time of
Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 (1972) karya BROG Anderson.
Demikian pula dengan sejarah sosial Indonesia, sampai akhir dekade 1970-an masih lebih
banyak ditulis oleh peneliti asing, di samping beberapa orang Indonesia dalam bentuk
disertasi, misalnya Onghokham (1975) yang menulis tentang Madiun pada abad ke-19,
yang sampai akhir hayatnya belumsempat diterbitkan.
Selain itu, dalam dekade 1970-an, tepatnya tahun 1977 terbit buku Sejarah
Nasional Indonesia (SNI) yang terdiri dari 6 jilid yang diterbitkan oleh Balai Pustaka-
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini merupakan karya bersama sejarawan
Indonesia waktu itu dalamupaya mewujudkan sejarah nasional. Duduk sebagai editor
umumnya adalah Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto. Di satu pihak kehadiran buku SNI berhasil menjawab kebutuhan akan
adanya buku sejarah Indonesia yang nasionalistis; namun di pihak lainnya telah
mengundang polemik dan keprihatinan dari beberapa sejarawan lainnya. Buku SNI
dinilai masih mengandung banyak kelemahan, baik dari segi metode maupun data
faktualnya.. Keprihatinan inilah antara lain yang menjadi salah satu faktor untuk menulis
buku sejarah nasional sejenis yang lebih baik. Upaya itu mulai dirintis sejak penghujung
abad ke-21. Para sejarawan yang dimotori oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah dan Prof. Dr.
22
A.B. Lapian yang bertindak sebagai editor umum, merencanakan untuk menulis sejarah
Indonesia yang nantinya terdiri dari 8 jilid (plus satu jilid tambahan).
Di luar keprihatinan itu, sebenarnya perkembangan historiografi Indonesia
tidaklah sesuram itu. Justru sejak akhir abad ke-20 telah berkembang pula penulisan
sejarah dengan pendekatan baru. Namun perkembangan itu luput dari pengamatan para
pakar sejarah, karena sebagian besar lebih tertarik untuk mengamati dan mendekonstruksi
sejarah politik masa Orde Baru, khususnya yang menyangkut tema sekitar Gerakan
September Tiga Puluh atau G-30-S PKI. Metode baru itu, yaitu metode strukturistik,
dapat dikatakan semacam jembatan antara metode naratif dengan metode struktural.
Perintis pendekatan strukturistik di Indonesia adalah R.Z. Leirissa dari Universitas
Indonesia. Penggunaan metode strukturistik itu terlihat dalam beberapa karyanya seperti
Halmahera Timur dan Raja Jailolo (1996) dan Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan
Kemerdekaan Indonesia (2006).

23

1.5. Rangkuman
Sejarah adalah rekonstruksi masa lampau manusia yang dibatasi oleh ruang dan
waktu.
Penguasaan teori dan metodologi sangat berpengaruh terhadap mutu penulisan
sejarah
Historiografi Indonesia modern mulai berkembang sejak awal abad ke-20 yang
ditandai dengan terbitnya karya Husein Djajadinigrat, Critische Beschouwingen
van de Sejarah Banten (1913) dan semakin berkembang sejalan dengan
dibukanya program-program studi sejarah pada beberapa perguruan tinggi di
Indonesia.
1.6.Latihan
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ilmu sejarah
2. Tunjukkan bentuk sejarah tekstual dan nontekstual
3. Buatlah laporan sebuah biografi pahlawan Indonesia
1.6.1.Tes Formatif
a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan zeitgeist?
b. Jelaskan bagaimana cara pembuktian kebenaran sejarawan Yunani dibandingkan
sejarawan masa kini?
c. Mengapa Leopold von Ranke diberi gelar bapak sejarah akademik (father of
historical science)?
d. Jelaskan bagaimana cara kerja filsafat Hegel dalam membuktikan kebenaran
sejarah?
e. Jelaskan mengapa historiografi tradisional Indonesia dinilai tidak patut dijadikan
sebagai sumber data atau bahan referensi sejarah?
f. Coba sebutkan beberapa buku sejarah Indonesia yang ditulis oleh sejarawan
Indonesia, yang bertemakan perang kemerdekaan atau revolusi Indonesia?
24

Daftar Sumber
Abdulah, Taufik, Aswab Mahasin, dan Daniel Dhakidae (red), Manusia Dalam Kemelut
Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1978.
Barraclough, Geoffrey, Main Trends in History. New York-London: Holmes & Meier,
1991.
Bentley, Michael, Modern Historiography An Introduction. London-New York:
Routledge, 2006.
Breisach, Ernst, Historiography: Ancient, Medievel, & Modern.Chicago-London: The
University of Chicago Press, 1983.
Frederick, William H., Soeri Soeroto (peny.), Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum
dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES, 1982.
Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme
dan Demokrasi Liberal. (Terjemahan oleh H.M. Amarullah) Yogyakarta: Qalam,
2004.
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2006.
Kahin, Goerge Mc T., Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca-London: Cornell
University Press, 1970.
Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu
Alternatif. Jakarta: Gramedia, 1982.
---------------, Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan
Kelanjutannya. (terjemahan oleh: Hasan Basari) Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
---------------, Protest Meovement in Rural Java.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, 1995.
Leirissa, R.Z.,Halmahera Timur dan Raja Jailolo. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
---------------, Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sejarah, 2006.
Lloyd, Christopher, The Structures of History. Oxford-Cambridge: Blacwell, 1993.
Notosusanto, Nugroho, Tentara Peta pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia, 1979.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005.




25


BAB II
PEMBENTUKAN BANGSA INDONESIA

2 .1. Pendahuluan

2.1.1. Deskripsi Singkat
Pertemuan ini akan memberikan bekal kepada mahasiswa untuk dapat memahami
proses pembentukan bangsa Indonesia. Uraian dimulai sejak pra-Indonesia, sejak
adanya kerajaan-kerajaan kuna pada abad ke-5 Masehi hingga tahun 1945 ketika
bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan. Di sini juga dikemukakan nama
Indonesia yang diciptakan oleh J.R. Logan pada pertengahan abad ke-19 dan nama
atau Indonesia sebagai konsep ketatanegaraan yang dibuat Perhimpunan Indonesia.


2.1.2. Manfaat
Manfaat utama bagi mahasiswa setelah mempelajari bab ini adalah agar mereka
memahami bagaimana proses terbentuknya bangsa dan negara Indonesia yang
memakan waktu panjang.


2.1.3. Tujuan Instruksional Khusus
Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:
1. Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Indonesia
2. Memahami penciptaan nama Indonesia dan konsep Indonesia sebagai
konsep ketatanegaraan.
3. Lahir dan perkembangan nasionalisme Indonesia
4. Terbentuknya bangsa dan negara Indonesia


26
2.2. Pra-Indonesia
Tanggal 17 Agustus 1945 bangsa dan negara Indonesia resmi terbentuk
sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Pembentukan bangsa dan negara Indonesia
melalui suatu proses yang panjang, mulai 1908, sejak bangkitnya nasionalisme Indonesia
yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo (BU), organisasi pertama bangsa Indonesia.
Sebelum 1908 merupakan masa pra-Indonesia yang sejarahnya dimulai sejak adanya
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha pada Abad ke-5 Masehi. Adanya perang-perang antara
raja-raja dan pemimpin rakyat melawan penguasa asing yang berlangsung sejak abad ke-
17 hingga abad ke-19 menunjukkan adanya proto nasionalisme di kalangan mereka.
Walaupun perang-perang itu hanya meliputi suatu wilayah tertentu, namun karena perang
itu karena adanya keinginan untuk mengusir penguasa asing dari wilayah mereka, dapat
dikatakan bahwa mereka telah mempunyai rasa nasionalisme dalam bentuk awal (proto
nasionalisme).
Sejarah kerajaan-kerajaan Hindu, Buddha, kemudian Islamyang ada di wilayah
Indonesia, berada pada masa pra-Indonesia. Dua kerajaan yaitu Sriwijaya di Sumatra
Selatan dan Majapahit di Jawa Timur, oleh Sukarno dan Muhammad Yamin masing-
masing kerajaan tersebut merupakan negara kebangsaan (nationale staat) pertama dan
kedua. Muhammad Yamin juga menyebut Negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai Negara Kebangsaan ketiga.

2.2.1. Pra-Indonesia: Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha
Masa pra-Indonesia dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan tertua, yaitu Kutai di
Kalimantan Timur dan Tarumanagara di Bogor, Jawa Barat, keduanya berdiri pada abad
ke-5 Masehi. Kerajaan Hindu Kutai diperintah berturut-turut oleh Kundungga,
Aswawarman, dan Mulawarman, sedangkan kerajaan Tarumanagara diperintah oleh
Purnawarman. Pada abad ke-7 Masehi, kedua kerajaan tersebut tidak terdengar lagi
beritanya.
Selanjutnya, pada abad ke-7 Masehi di pantai timur Sumatra bagian selatan
berdiri dua kerajaan Buddha yaitu Sriwijaya dan Malayu. Kerajaan Sriwijaya kemudian
dapat mengalahkan kerajaan Malayu dan penguasa-penguasa daerah lainnya, sehingga
daerah kekuasaannya meliputi seluruh pulau Sumatra dan pulau-pulau di sebelah
27
timurnya, Semenanjung Malayu, dan sebagian Jawa Barat. Kerajaan Sriwijaya
menguasai jalar lalu lintas perdagangan antara India dan Cina dan menjamin
keamanannya dari ancaman bajak laut. Sriwijaya merupakan pusat pengajaran agama
Buddha yang bertaraf internasional. Seorang pendeta agama Buddha yang mau belajar ke
India dapat belajar lebih dahulu di Sriwijaya, kemudian baru belajar ke India. Mengenai
pusat pemerintahan Sriwijaya, sampai sekarang masih diperdebatkan, namun pendapat
yang kuat berada di Palembang.
Pada waktu yang relatif bersamaan, di J awa Tengah berdiri kerajaan Holing atau
Kalingga. Salah seorang rajanya yang terkenal adalah Ratu Hsi-mo atau Sima, ratu yang
memerintah secara adil. Putra mahkota sendiri yang tidak sengaja telah menginjak
pundi-pundi berisi emas yang ditaruh di jalan, dihukum dengan memotong jari-jari
kakinya untuk pelajaran terhadap rakyatnya.
Setelah Kalingga, pada awal abad ke-8 di Jawa Tengah berdiri kerajaan Mataram
yang beribukota di Medang. Raja pertama, Sanjaya, menaklukkan raja-raja di sekitarnya.
Penggantinya, Rakai Panangkaran, menamakan dirinya sebagai permata wangsa
Sailendra. Ia mendirikan candi Kalasan dan Sewu. Penggantinya lagi, Samarattungga,
mendirikan candi Borobudur, Pawon, dan Mendut.
Waktu pemerintahan Mpu Sindok, pusat pemerintahan Mataramdipindahkan ke
Jawa Timur. Ada beberapa kemungkinan alasan kepindahannya, antara lain karena
bencana alam, mungkin juga karena kerajaan tidak dapat hidup hanya dari hasil
pertanian, melainkan perlu juga dari hasil perdagangan, dan Jawa Timur memenuhi
tuntutan itu. Mpu Sindok menamakan dirinya Sri Isanawikrama mendirikan wangsa Isana
yang menurunkan raja-raja di Jawa Timur sampai tahun 1222.
Setelah pemerintahan Mpu Sindok, ada masa yang gelap, kemudian ada seorang
raja bernama Dharmawangsa. Pada tahun 1017 ketika ia merayakan pernikahan putrinya
dengan Airlangga, istana diserang, dibakar, dan ia terbunuh. Airlangga sebagai
menantunya berhak naik tahta menggantikan mertuanya. Tahun 1019 Airlangga naik
tahta, kemudian mengalahkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya satu per satu. Wilayah
kerajaannya meliputi J awa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan beberapa pulau di Nusa
Tenggara. Pada masa pemerintahannya ditulis kekawin Arjunawiwaha oleh Mpu Kanwa.
Untuk menghindari perang saudara, sebelum ia meninggal kerajaan dibagi dua.
28
Pembagian kerajaan dilakukan oleh Mpu Barada. Setelah Airlangga meninggal, kerajaan
pecah dua, sebelah timur dinamakan kerajaan Jenggala dan sebelah barat kerajaan
Panjalu yang kemudian terkenal dengan nama Daha atau Kediri.
Kerajaan Jenggala akhirnya lenyap, sedangkan kerajaan Kediri tumbuh dan
berkembang. Di antara raja-raja Kediri yang terkenal karena ramalan-ramalannya adalah
Jayabaya. Pada masa pemerintahannya ditulis kitab Bhratayuddha oleh Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh. Raja Kediri terakhir, Kertajaya, tahun 1222 dikalahkan oleh Ken Arok,
penguasa bawahannya di Tumapel setelah membunuh Tunggul Ametung. Kediri
dikuasai, dan lahirlah kerajaan baru, Singhasari. Ken Arok naik tahta dan menamakan
dirinya Rajasa, mendirikan wangsa Rajasa yang memerintah di kerajaan Singhasari dan
Majapahit.
Setelah Ken Arok, penggantinya berturut-turut adalah Anusapati, Tohjaya,
Ranggawuni, dan raja terakhir adalah Kertanegara. Ia dikalahkan oleh Jayakatwang, raja
bawahannya, Kediri. Jayakatwang kemudian dikalahkan oleh pasukan Kubilai Khan yang
sesungguhnya datang untuk menyerang Kertanegara yang telah menyakiti utusannya.
Pasukan Kubilai Khan kemudian dapat dikalahkan oleh R. Wijaya, keturunan Singhasari.
Tahun 1293 berdiri kerajaan Majapahit, R. Wijaya menobatkan diri menjadi raja
pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Ia kemudian digantikan oleh putranya,
Jayanegara. Setelah Jayanegara meninggal, penggantinya adalah adiknya perempuan
yang bergelar Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwardhani. Puncak kebesaran atau
zaman keemasan Majapahit ada di bawah pemerintahan raja Hayam Wuruk yang
didampingi oleh patihnya, Gajah Mada. Ia mengucapkan sumpah palapa di hadapan
raja dan para pembesar Majapahit dalam rangka melaksanakan politik nusantaranya.
Dalam rangka melaksanakan politik tersebut ia menundukkan daerah-daerah yang belum
bernaung di bawah Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit, luas, meliputi hampir seluas
wilayah Indonesia sekarang, meliputi Sumatera di bagian barat sampai daerah Maluku
dan Irian di bagian timur, bahkan pengaruhnya sampai ke beberapa negara tetangga di
Asia Tenggara. Politik untuk menguasai seluruh nusantara berakhir tahun 1357
29
sehubungan dengan terjadinya peristiwa di Bubat.
1
Pada masa itu ditulis kitab
Negarakertagama oleh Mpu Prapanca.
Setelah Hayam Wuruk meninggal, terjadi perang-perang saudara, tidak ada raja
yang kuat. Kerajaan Majapahit runtuh sekitar tahun 1527 dikalahkan oleh Demak.
2

Bagaimana penaklukan Majapahit oleh Demak, dan bagaimana nasib para penguasa
Majapahit sesudah penaklukan, tidak diketahui secara pasti.
3

Di Bali, pada abad ke-9 terdapat kerajaan Singhamandawa, diperkirakan terletak
di sekitar Tampaksiring. Nama raja yang memerintah antara lain Ratu Sri Ugrasena,
sesudah itu raja yang memerintah memakai gelar Warmadewa. Salah seorang rajanya
bernama Dharma Udayana Warmadewa yang memerintah pada akhir abad ke-10. Salah
seorang putra Udayana adalah Airlangga yang menjadi raja di Jawa Timur. Kerajaan
tersebut kemudian dikalahkan oleh Majapahit, selanjutnya kerajaan dikuasai oleh
keluarga raja Jawa. Selain itu di Bali berdiri kerajaan-kerajaan lain seperti Gianyar,
Mengwi, Tabanan, Karangasem, dan Buleleng.
Di Jawa Barat, setelah Tarumanagara runtuh menjelang akhir abad ke-7, terdapat
satu kerajaan Hindu-Buddha bernama Kerajaan Sunda. Menurut sumber asing, pusat
pemerintahannya berpindah-pindah. Menurut sumber lokal/asli, di Jawa Barat ada
beberapa kerajaan, namanya sesuai dengan pusat pemerintahannya. Kerajaan-kerajaan itu
adalah kerajaan Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan yang sangat terkenal adalah
kerajaan Pakwan Pajajaran. Selain itu di Jawa Barat ada kerajaan-kerajaan kecil, yaitu
kerajaan Kuningan dan Saunggalah. Kerajaan Sunda pada masa pemerintahan raja
terakhir, Nusiya Mulya, tahun 1579 dikalahkan oleh kerajaan Islam.
4


1
Peristiwa atau perang di Bubat terjadi ketika Raja Kerajaan Sunda bersama putrinya, Dyah Pitaloka,
beserta para pembesar kerajaan dan pengiringnya sampai di Majapahit. Rombongan raja Sunda itu datang
untuk mengawinkan putrinya dengan Hayam Wuruk sebagai permaisuri. Perselisihan terjadi ketika Gajah
Mada tidak menghendaki jika perkawinan itu dilangsungkan begitu saja. Ia menghendaki agar putri itu
dipersembahkan oleh raja Sunda kepada raja Majapahit sebagai tanda tunduk terhadap kerajaan Majapahit.
Para pembesar tidak setuju dengan sikap Gajah Mada, terjadilah perang di Bubat. Semua orang Sunda
termasuk Dyah Pitaloka gugur.. Hayam Wuruk kemudian menikah dengan Paduka Sori, anak Bhre
Wengker Wijayarajasa.
2
Ricklefs, H.C., Sejarah Indonesia Modern, (Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono), Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1991. hlm. 26.
3
Sumber utama tentang kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha adalah karya Marwati Djoened Poesponegoro
dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum) berjudul Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II, Edisi
Pemutakhiran, Jakarta: Bali Pustaka, 2008.
4
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum), Sejarah Nasional Indonesia,
Edisi Pemutakhiran, Jilid II, hlm. 400.
30
Di Kalimantan ada kerajaan-kerajaan Hindu yaitu kerajaan Negara Dipa, Daha,
dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai sekarang.
Kerajaan Negara Dipa pernah mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit, karena
itu pengaruh Majapahit sampai di sana.
Di Kalimantan Timur, terutama Kutai, ada kerajaan Kutai yang beragama
Hindu. Kerajaan tersebut selalu mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit. Salah
seorang rajanya, Raja Mahkota, kemudian masuk Islam setelah kalah bertanding
kesaktian dengan mubaligh yang menyebarkan Islamke sana.

2.2.2. Pra-Indonesia: Kerajaan-kerajaan Islam
Setelah agama Islammasuk ke Indonesia, muncul kerajaan-kerajaan baru yang
menganut agama Islam. Kerajaan-kerajaan itu ada di Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara,
Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Di Sumatra, banyak kerajaan, terutama ada
di sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat.
5
Di Jawa, terdapat kerajaan Demak,
Pajang, Mataram, Banten, dan Cirebon. Di Nusa Tenggara terdapat kerajaan Lombok,
Sumbawa, Bima, Tambora, Kalongkong, dan Dompu. Di Kalimantan terdapat kerajaan
Banjar, Kutai, dan Pontianak. Di Sulawesi terdapat kerajaan Gowa-Tallo, Bone, Wajo,
Soppeng, dan Luwu. Di Maluku terdapat kerajaan Ternate dan Tidore.
Kerajaan Samudra Pasai di Sumatra bagian utara tumbuh pada pertengahan abad
ke-13, raja pertama bergelar Sultan Malik As-Shaleh. Kerajaan ini sudah menggunakan
mata uang yang terbuat dari emas yang disebut dramas. Kerajaan mengadakan hubungan
pernikahan dengan kerajaan Malaka di Malaysia.
Kerajaan Aceh Darussalam tumbuh dan berkembang pada abad ke-16. Raja
pertama adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Di bawah pemerintahannya
Aceh menaklukkan Samudra Pasai dan Pedir. Kemudian salah seorang raja penggantinya
mengalahkan beberapa kerajaan seperti Batak, Aru, dan Barus. Kerajaan juga pernah
mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Timar Tengah. Kerajaan ini
mengalami puncak kekuasaan atau zaman keemasan di bawah Sultan Iskandar Muda

5
Kerajaan-kerajaan di Sumatera banyak sekali, yaitu kerajaan Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Aru,
Pedir, Jambi, Bican, Lambri atau Lamaru atau Tamni, Pirada, Pase, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal,
Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, Daya, Batak, dan Barus.

31
(1607-1636). Di bawah pemerintahannya Aceh menjadi negara yang paling kuat di
Nusantara bagian barat. Ia menaklukkan kerajaan-kerajaan di pesisir timur dan barat
Sumatra, Johor di Malaysia, mengalahkan armada Portugis di Bintan, merebut Pahang,
dan Nias. Setelah pemerintahannya, Aceh memasuki masa perpecahan yang panjang.
Pada tahun 1873-1904 kerajaan ini berperang melawan Belanda. Para pimpinan perang di
antaranya Panglima Polem, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan Cut Nyak Din. Perang
diakhiri dengan kalahnya Aceh pada tahun 1904.
Di pantai timur Sumatra ada kerajaan-kerajaan Islam Siak atau Siak Sri
Indrapura, Kampar, dan Indragiri yang berdiri pada abad ke-15. Di J ambi kerajaan Islam
berdiri pada sekitar tahun 1500 di bawah pemerintahan Sultan Orang Kayo Hitam.
Sumatra bagian selatan, Palembang, pada abad ke-16 berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Demak. Raja pertama kesultanan Palembang bergelar Abdurrakhman Khalifat
al-Mukminan Sayidil Iman atau Pangeran Kusumo Abdurrakhman. Antara tahun 1659-
1706 Kesultanan Palembang diperintah oleh sebelas orang sultan. Pada waktu
pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II tahun 1819 kerajaan diserang Belanda.
Dalam serangan Belanda kedua, Sultan Mahmud Badaruddin ditangkap lalu dibuang ke
Ternate. Sejak 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan, daerahnya langsung dikuasai
oleh pemerintah Hindia Belanda.
Di Sumatra Barat, agama Islambaru masuk pada akhir abad ke-14 atau awal
abad ke-15. Sedangkan agama Islam masuk ke Minangkabau sekitar akhir abad ke-15. Di
Minangkabau, raja berkedudukan di Pagaruyung, raja sebagai lambang negara,
sedangkan kekuasaan ada di tangan para penghulu yang tergabung dalam Dewan
Penghulu atau Dewan Nagari. Di Minangkabau antara tahun 1821-1838 terjadi perang
Paderi, perang antara kaum Paderi melawan kaumAdat yang dibantu oleh Belanda.
Perang berlangsung dua babak, pertama antara tahun 1821-1825 dan kedua antara tahun
1830-1938. Kaum Padri akhirnya kalah, akibatnya Belanda berhasil mengukuhkan
kekuasaan politik dan ekonominya di Minangkabau atau Sumatra Barat. Pemimpin Kaum
Padri antara lain Tuanku Imam Bonjol tertangkap, kemudian diasingkan ke Cianjur, dari
sana dipindahkan ke Ambon, lalu dipindah lagi ke Manado dan meninggal di sana tahun
1864.
32
Di Jawa berdiri kerajaan-kerajaan baru yang menganut agama Islam yaitu
Demak, Pajang, kemudian Mataramdi Jawa Tengah, Banten dan Cirebon di J awa Barat,
dan Surabaya di Jawa Timur. Demak didirikan pada perempat terakhir abad ke-15 oleh
seorang asing yang beragama Islam. Sultan Demak pertama, Raden Patah, adalah putra
Prabu Brawijaya Kertabhumi, raja Majapahit terakhir. Setelah Raden Patah, raja
berikutnya adalah Pati Unus (1518-1521), dan berikutnya lagi Sultan Trenggono. Di
bawah pemerintahan Sultan Trenggono Demak mengalami zaman keemasan. Wilayah
Demak meliputi daerah Jawa Timur dan Jawa Barat. Sultan Trenggono mengalahkan
penguasa-penguasa Tuban, Lamongan, Surabaya, Pasuruan, Panarukan, Madiun, dan
Blitar. Demak di bawah Sultan Trenggono merupakan zaman keemasannya. Sultan
Trenggono terbunuh ketika melakukan ekspedisi melawan Panarukan tahun 1546.
Raja-raja Demak terkenal sebagai pelindung agama. Antara raja-raja dan ulama
erat berhubungan, terutama dengan Wali Sanga. Pendirian Mesjid Agung Demak oleh
para wali dengan arsiteknya Sunan Kali Jaga merupakan pusat dakwah para wali.
Termasuk Wali Sanga adalah: Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan
Muria, Sunan Bonang, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Syeh Lemah
Abang atau Syeh Siti J enar.
Setelah Sultan Trenggono meninggal tahun 1546, terjadi perebutan kekuasaan di
kalangan keluarga. Berturut-turut raja-raja yang memerintah sesudahnya adalah Sultan
Prawoto, Arya Penangsang, dan kemudian Jaka Tingkir yang menobatkan dirinya sebagai
Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
6
Kerajaan Pajang yang ada di pedalaman
Jawa Tengah, merupakan pengganti Demak. Kemudian pengganti Kerajaan Pajang
adalah kerajaan Mataramyang pusatnya di kota Surakarta dan Yogyakarta.
Daerah Mataram yang termasuk wilayah kerajaan Pajang, dihadiahkan Sultan
Pajang kepada Kyai Gede (Ageng) Pemanahan yang merupakan keturunan raja Majapahit
terakhir. Wilayah itu pertama kali diperintah olehnya pada tahun 1578. Setelah ia
meninggal, tahun 1484 pemerintahan dipegang oleh anaknya, Senopati ing Alogo Sayidin
Panotogomo (1584-1601). Ia menantu Sultan Pajang Hadiwijoyo yang meninggal tahun
1587. (Setelah Hadiwijoyo, pemerintahan Pajang di tangan Pangeran Banowo). Di bawah
pemerintahannya, kerajaan Mataram dikembangkan ke daerah pesisir utara Jawa Tengah,

6
Rikleft, hlm. 56.
33
Jawa Timur, dan Jawa Barat. Setelah merasa kuat, Senopati melepaskan diri sebagai
vasal kerajaan Pajang dan kemudian mengalahkan Pajang sekitar tahun 1587-1588.
Benda-benda kerajaan yang keramat seperti pusaka yang merupakan simbul dan hiasan
supra natural, dibawa ke Mataram. Selanjutnya, Senopati meluaskan kekuasaannya,
menaklukkan Demak, Kedu, Bagelen, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruhan.
Setelah Senopati meninggal, kedudukannya digantikan oleh Raden Mas Jolang (1601-
1613). Mas Jolang tahun 1613 meninggal di Krapyak, tahun 1613, kemudian namanya
sebagai Panembahan Seda ing Krapyak. Ia kemudian digantikan lagi oleh Sultan Agung,
raja terbesar Mataram(1613-1646). Sultan Agung kembali menyerang Surabaya tahun
1625, Pati, Giri, dan Blambangan. Sultan Agung mau menusir VOC dari Batavia. Tahun
1628 ia mengirim pasukannya ke Batavia tetapi tapi gagal. Pengiriman pasukan diulangi
lagi tahun 1629, juga gagal. Mataramdi bawah Sultan Agung selain bersifat agraris juga
mengembangkan perdagangan ekspor dan impor melalui pelabuhan di pesisir utara Jawa
seperti Jepara, Kendal, dan Tegal. Mataram di bawah pemerintahannya mengalami
puncak kejayaannya. Tahun 1645 ia sakit dan meninggal. Setelah Sultan Agung
meninggal, digantikan oleh anaknya yang bergelar Susuhunan Amangkurat I (1647-
1677). Ia memindahkan kraton dari Kota Gede ke Plered. Ia lebih dekat dengan VOC dan
mengadakan perjanjian dengan VOC, Matarammengakui kekuasaan VOC. Waktu mau
minta bantuan pada VOC karena pemberontakan Trunajaya, tahun 1677 ia jatuh sakit di
Wanayasa. Jenazahnya dimakamkan di Tegal Arum, Tegal. Ia digantikan oleh
Amangkurat II. Tahun 1755 melalui Perjanjian Gianti, Mataram dibagi dua yaitu
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surabarta.
Di Jawa Barat berdiri kerajaan Banten. Mula-mula Banten sebelum 1525/1526
merupakan kadipaten dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu, berpusat di Banten
Girang yang diperintah oleh Pucuk Umun. Banten kemudian dikalahkan oleh Sunan
Gunungjati, suami saudara perempuan Sultan Trenggono, pusat kerajaan dipindahkan ke
Surasowan di teluk Banten. Banten kemudian diperintah oleh Gunungjati sebagai vasal
Demak. Tahun 1552 Sunan Gunungjati pindah ke Cirebon, pemerintahan diserahkan
kepada anaknya Sultan Hasanuddin (1552-1570). Sultan meluaskan wilayah
kekuasaannya ke Lampung. Kemudian Hasanuddin digantikan oleh Molama Yusuf
(1570-1580) yang berhasil menaklukkan kerajaan Pajajaran tahun 1579. Kalahnya
34
Pajajaran berarti lenyaplan kerajaan besar yang menganut agama Hindu-Buddha di Jawa.
Setelah Pajajaran dikalahkan, kalangan elite Sunda memeluk agama Islam. Kesultanan
Banten mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Raja ini
melakukan perlawanan dengan putranya, sultan Haji yang dibantu VOC. Sultan Ageng
Tirtayasa kalah.
Cirebon semula menjadi pelabuhan kerajaan Sunda Pajajaran. Diperkirakan
tahun 1470 agama Islam masuk Cirebon dibawa oleh Syarif Hidayatullah salah seorang
wali sanga yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunung J ati. Tahun 1513
Cirebon di bawah kekuasaan Lebe Usa dikuasai Raden Patah dari Demak. Tahun 1479
Syarif Hidayatullah menggantikan mertuanya sebagai penguasa Cirebon. Ia mendirikan
keraton yang diberi nama Pakungwati, sebelah timar Keraton Kasepuhan. Syarif
Hidayatullah terkenal juga dengan gelar Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Sanga. Ia
menghentikan memberi upeti ke pusat kerajaan Pajajaran di Pakuan. Pada masa
pemerintahan Sunan Gunung Jati, Islam disebarkan, antara lain ke Kuningan, Talaga, dan
Galuh sekitar tahun 1528-1530 dan ke daerah Banten bersama putranya Maulana
Hasanuddin tahun 1525-1526.
7
Sunan Gunung Jati meninggal tahun 1568
Surabaya merupakan pelabuhan perdagangan yang besar pada awal abad ke-16,
tetapi baru pada awal abad ke- 17 Surabaya muncul sebagai kekuatan pantai yang
terkemuka. Surabaya dikuasai Sultan Agung tahun 1625.
Di Kalimantan ada beberapa kerajaan Islam baik yang besar maupun kecil.
Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan adalah kerajaan Banjar atau Banjarmasin di
Kalimantan Selatan, Kutai di Kalimantan Timur, dan Pontianak di Kalimantan Barat.
Agama Islam masuk ke kerajaan Banjar karena dibawa Demak tahun 1550. Kerajaan
Banjar dibawah Sultan Surnyanullah meluaskan kekuasaannya ke Sambas, Batanglawai,
Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Kerajaan Banjar
mengirimkan upeti pada keraaan Demak, kemudian Pajang. Ketika diperintah raja Sultan
Mustain Billah, awal abad ke-17 ibu kota kerajaan dipindahkan ke Amuntai. Kerajaan
dapat menguasai Kalimantan Timur Tenggara, Tengah, dan Barat. Dia juga kemudian
memindahkan lagi ibu kotanya ke Kayu Tangi. Sejak pengaruh Belanda masuk ke

7
Sumber utama tentang kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia diambil dari karangan Marwati Djoened
Poesponegooro dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum) berjudul Sejarah Nasional Indoensia, Jilid III,
Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
35
Kalimantan Selatan, perselisihan-perselisihan terjadi baik dengan Belanda maupun
lingkungan kerajaan. Setelah Sultan Adam meninggal 1857, terjadi perlawanan terhadap
Belanda antara 1859-1863. Perlawanan dari pihak kerajaan Banjar di antaranya dipimpin
oleh Pangeran Antasari.
Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, pada masa pemerintahan Raja Mahkota
datang dua mubalig Islam, Dato`ri Bandang dan Tunggang Parangan setelah meng-
Islamkan makassar. Setelah beadu kesaktian antara mubalig dengan dengan Raja
Mahkota, raja kalah dan masuk Islam, waktunya diperkirakan tahun 1575. Selanjutnya
kerajaan Kutai menyebarkan agama Islam ke daerah sekitarnya.
Di Kalimantan Barat antara lain ada kerajaan Tanjungpura dan Lawe (daerah
Sukadana). Diperkirakan Islam masuk ke sana pada sekitar abad ke-14-15. Kedua
kerajaan itu diperintah oleh Pate atau mungkin Adipati, tunduk pada Pate Unus dari
Demak. Pada abad ke-17 kedua kerajaan itu ada di bawah epngaruh kerajaan Mataram.
Peng-Islaman di Pontianak dilakukan oleh Habib Husein Al-Gadri pendakwah dari
Hadramaut. Setelah meninggal, digantikan oleh outranya, Pangeran Sayid Abdurrahman
Nurul Alamyang mendirikan keraton dan mesjid di Pontianak. Ia memerintah tahun
1773-1808. selanjutnya sultan-sultannya diperintah oleh sultan-sultan keluarga Habib al-
Gadri.
Di Sulawesi Selatan terdapat lima kerajaan Islam, yaitu Gowa-Tallo, Bone,
Wajo, Soppeng, dan Luwu. Islamisasi di Sulawesi Selatan oleh tiga mubalig yang disebut
Dalto Tallu ketiganya bersaudara dan berasal dari Koto Tengah, Minangkabau. Para
mubalig itu yang mengislaamkan raja Luwu tahun 1605, raja Tallo tahun 1605, raja tahun
1607. Kerajaan Gowa-Tallo mengalahkan kerajaan Wajo tahun 1610 dan Bone tahun
1611. Karena adanya ancaman dari VOC, kerajaan Gowa-Tallo mengadakan hubungan
baik dengan Portugis. Sejak tahun 1616 antara kerajaan Gowa dan VOC terjadi
permusuhan. Perang besar-besaran terjadi tahun 1654-1655. Tahun 1656 ada perjanjian
perdamaian, tetapi kemudian terjadi peperangan antara kerajaan Gowa di bawah Sultan
Hasanuddin melawan VOC yang dibantu tentara Bugis di bawah Arung Palaka. Perang
berakhir melalui Perjanjian Bongaya tahun 1667, kerajaan Gowa diseahkan kepada VOC.
Tahun 1670 kerajaan Wajo diserang VOC bersama tentara Bone. Kerajaan wajo
menyerah, kerajaan diserahkan kepada VOC.
36
Di Nusa Tenggara, masuknya agama Islamke Lombok diperkirakan pada abad
ke-16 yang diperkenalkan oleh Sunan Perapen, putra Sunan Giri. Akan tetapi, Islam
masuk ke Sumbawa mungkin melalui Sulawesi, melalui para mubaligh dari Makassar
antara tahun 1540-1550. Pusat kerajaan Lombok di Selaparang di bawah pemerintahan
prabu Rangkesari mengalami zaman keemasan. Kerajaan Lombok dan kerajaan-kerajaan
di Sumbawa dikuasai kerajaan Gowa. Setelah terjadi perjanjian Bongaya, kerajaan-
kerajaan di Nusa Tenggara ditekan VOC. Kerajaan Lombok dan Sumbawa akhirnya
dikuasai VOC.
Di Nusa Tenggara ada juga kerajaan Bima dengan raja pertama Ruma Ta Ma Bata
Wada yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Kerajaan Bima akhirnya
dikuasai oleh VOC.
Di Maluku, kerajaan Islam yang menonjol adalah kerajaan Ternate dan Tidore.
Islam memasuki Maluku antara tahun 1460-1465. Ternate di bawah Sultan Hairun
berhasil mempersatukan daerah-daerah di Maluku Utara di bawah Ternate.Akan tetapi
persatuan itu pecah lagi setelah kedatangan orang Portugis dan Spanyol ke Tidore.
Portugia memusatkan perhatiannya ke Ternate, Spanyol ke Tidore. Tahun 1565 Sultan
Khairun menyerang Portugis, tahun 1570 sultan ini dibunuh Portugis. Putranya, Sultan
Baabullah, meneruskan perlawanan dan dapat mengusir Portugis dari Ternate. Akan
tetapi setalah Baabullah meninggal, Ternate diserang orang Spanyol. Rajanya ditangkap
dan diasingkan ke Manila.
Dari uraian di atas tampak bahwa di Indonesia sebelum berdiri Negara Kesatuan
RI tahun 1945, terdapat banyak sekali penguasa-penguasa daerah atau wilayah yang
dinamakan kerajaan atau kesultanan atau lainnya. Setiap penguasa bebas untuk
melakukan ekspansi ke wilayah penguasa lain dalamrangka untuk memperluas wilayah
dan memperbesar kekuasaan mereka, asal mereka kuat. Siapa yang kuat, dia yang
mempunyai kekuasaan luas dan besar. Suatu kerajaan atau kesultanan setelah berdiri
kemudian tumbuh, berkembang dalam waktu lama, namun bisa juga menjadi kecil
kembali bahkan mati karena dikalahkan oleh penguasa lain. Besar kecilnya kerajaan
tergantung pada raja yang memerintah. Keadaan seperti itu terjadi terus silih berganti.
Waktu itu, di wilayah Indonesia tidak ada satu kekuatan yang tetap yang menjadi super
power. Setiap kerajaan atau kesultanan melakukan ekspansi untuk bisa menjadi maharaja
37
atau super power. Ada dua kerajaan yang besar yang oleh Sukarno dan Muhammad
yamin sebagai Nationale Staat yaitu Sriwijaya dan Majapahit.
Selain banyaknya kerajaan atau kesultanan, dalam hal pergantian raja atau sultan
sering terjadi kericuhan di antara keluarga atau bahkan terjadi pembunuhan terhadap raja
yang berkuasa, meskipun telah ada semacam aturan. Pelanggaran terhadap aturan dan
adanya ambisi untuk menggantikan raja sebelumnya sering memicu adanya perang-
perang.
Setelah datang bangsa Barat khususnya Belanda dengan VOC-nya, muncul
kekuatan baru di Indonesia di samping kerajaan-kerajaan. Kekuatan baru ini pun
berusaha untuk mengembangkan usahanya. Dalamrangka itu, sering terjadi bentrokan-
bentrokan dan peperangan-peperangan dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Politik devide
et impera dilakukan Belanda untuk memperluas wilayah dan memperbesar
kekuasaannya. Perang-perang terhadap Belanda selalu diakhiri dengan perjanjian yang
selalu merugikan pihak kerajaan. Dalam suatu perjanjian paling sedikit Belanda
mendapat hak monopoli dalam perdagangan, lebih dari itu Belanda memperoleh sebagian
bahkan bisa seluruh wilayah suatu kerajaan, dan Belanda diakui sebagai penguasa di
atasnya.
Usaha dari phak kerajaan maupun rakyat untuk mengusir Belanda dari wilayah
suatu kerajaan karena dirasa sangat menekan dan merugikan, sering terjadi yang
dilakukan oleh seorang raja dan atau keluarga raja. Perang-perang itu dilakukan sejak
abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Perlawanan-perlawanan itu antara lain perlawanan
oleh Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Sultan Agung dari Mataram, Sultan
Ageng Tirtayasa dari Banten, Diponegoro dari Jawa Tengah, Pangeran Antasari dari
Banjar, Imam Bonjol dari Sumatra Barat, dan Teuku Umar dari Aceh. Perang-perang itu
yang masih bersifat kedaerahan dapat disebut sebagai rasa proto nasionlisme di kalangan
mereka. Mereka bersatu untuk bersama-sama melawan Belanda, bahkan sering terjadi di
antara kerajaan-kerajan digunakan oleh Belanda untuk bersamanya melawan suatu
kerajaan. Karena kalahnya persenjataan pihak kerajaan, dan karena taktik dan politik
devide et impera Belanda, maka kerajaan-kerajaan yang mengadakan perlawanan
mengalami kekalahan. Akhirnya semua kerajaan di Indonesia setelah kalahnya Aceh
pada tahun 1904 berada di bawah kekuasaan Belanda. Tahun 1905 Belanda
38
mencanangkan Pax Neerlandica, bahwa seluruh wilayah Nusantara sebagai wilayah
Hindia Belanda menjadi satu pengawasan keamanan oleh Belanda.

2.3. Konsep Indonesia
Dalam membicarakan Pembentukan bangsa Indonesia, perlu dikemukakan
tentang kata atau nama Indonesia. Kata atau nama tersebut diusulkan oleh J.R. Logan,
seorang etnolog Inggris di Pinang yang menjadi redaktur Journal of the Indian
Archipelago and Eastern Asia. Pada tahun 1850 ia melalui artikelnya berjudul The
Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing inquires into the continental relation of
the Indo-Pacific Inlanders mengusulkan istilah atau kata Indonesia untuk nama pulau-
pulau atau kepulauan Hindia dan penduduknya.
Akan tetapi sebelumnya, seorang etnolog Inggris lainnya, G. Windsor(?)
Winsdor(?) Earl dalam majalah yang sama menulis tentang ciri-ciri utama penduduk
Irian, penduduk asli Australia, dan Melayu-Polinesia. Ia mengusulkan digunakannya
istilah Indus-nesians dan Melayu-nesians bagi penduduk kepulauan Hindia. Ia
memberi pertimbangan bahwa istilah penduduk Hindia sebagai kelompok pulau-pulau,
tidak memberikan pengertian tepat dan jelas bagi penduduk pribumi. Earl lebih suka pada
pemakaian istilah Melayu-nesians karena istilah Indu-nesians terlalu luas karena
termasuk di dalamnya penduduk Sailon, Kepulauan Maladiva, dan Lakadiva.
Adolf Bastian, sarjana Jerman, kemudian menggunakan kata Indonesien sebagai judul
bukunya yaitu Indonesien onder die Insln des Malayischen Archipels yang terbit tahun
1884. Adapun yang dimaksud oleh A. Bastian dengan istilah tersebut adalah istilah di
bidang etnografi. Sejak itu istilah tersebut dipakai dalam ilmu etnologi, hukum adat, dan
ilmu bahasa. Para guru besar Universitas Leiden seperti R.A. Kern, Snouck Horgronye,
dan Prof. Van Vollenhoven menyebarluaskan pemakaian iastilah Indonesi,
Indonesir, dan ajektif Indonesisch dalam karya mereka. Kemudian para mahasiswa
Indonesia di Negeri Belanda yang tergabung Perhimpunan Indonesia (PI) mengetahui
istilah-istilah tersebut.
Pada tahun 1913 Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara ketika menjalani
pembuangan di Nederland memberikan nama biro pers yang didirikannya dengan
Indonesisch Persbureau. Nama organisasi mahasiswa Indonesia yang semula bernama
39
Indische Vereeniging tahun 1922 diganti menjadi Indonesische Vereeniging dan tahun
1924 nama Indonesische Vereeniging diganti menjadi Perhimpunan Indonesia. Nama
majalahnya yang semula bernama Hindia Putera pada tahun 1922 diganti dengan
Indonesia Merdeka. Perhimpunan Indonesia menggunakan nama Indonesia dalam
pengertian politik ketatanegaraan yang artinya sama dengan Nederlandsch-Indi. J.Th.
Petrus Blumberger, penulis buku De Nationalistische Beweging in Nederlandsch Indi
yang terbit tahun 1931 menyatakan bahwa sekitar tahun 1925 banyak organisasi yang
berwawasan nasional memakai namaIndonesia sebagai pengganti Nederlandsch-Indi.
8


2.4. Pembentukan Bangsa dan Negara Indonesia
Memasuki tahun 1901, Ratu Wilhelmina mengumumkan di depan Parlemen
Belanda programpemerintah. Ia mengakui bahwa pemerintah Belanda telah mengeruk
keuntungan yang besar sekali dari Hindia Belanda, sementara penduduknya semakin
miskin. Dikatakan bahwa pada masa datang, pemerintah akan memperbaiki kesejahteraan
rakyat. Diakuinya bahwa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Indonesia,
karena itu Pemerintah Belanda akan membalasnya dengan melaksanakan politik etika.
Dalam kaitan politik itu pemerintah akan memperluas pendidikan Barat bagi anak
Indonesia khususnya anak-anak kalangan atas.
Garis politik pemerintah Hindia Belanda yang seperti itu pertama kali
dikemukakan oleh anggota Parlemen Belanda Van Dedem tahun 1891. Perjuangan
melancarkan politik kolonial yang baru itu kemudian diteruskan oleh Van Kol, C. Th.
Van Deventer, dan P. Brooschooft, pemimpin redaksi surat kabar De Locomotief. Van
Deventer, pemimpin kaum liberal, tahun 1899 menulis karangan di Jurnal De Gids
berjudul Een Eereschuld (Hutang Budi). Dalamkarangannya ia mengecam politik
pemerintah Belanda yang tidak memisahkan keuangan negera Belanda dengan daerah
jajahan, Hindia Belanda. Menurut Kielstra berdasarkan hasil surveinya bahwa sejak tahun
1816 uang yang disedot pemerintah Belanda dari Indonesia sebesar 832 juta gulden.
Tulisan Van Deventer tersebut berpengaruh terhadap perubahan politik kolonial di Hindia
Belanda.

8
Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah nasional
Indonesia, Jilid V, Yakarta: Departemen P dan K, 1976, 290.
40
Politik etika yang dilaksanakan mulai tahun 1901 mempunyai dua tujuan yaitu
pertama, meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi; dan kedua, berangsur-angsur
menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Belanda. Akan tetapi, dalam
kenyataannya, peralihan kekuasaan dari Negeri Belanda ke Hindia Belanda tidak pernah
dilaksanakan, kecuali untuk beberapa tahun pada waktu pecah Perang Dunia I ketika
komunikasi antara negeri Belanda dan Hindia Belanda terputus.
Sementara itu, di luar Indonesia pada awal abad ke-20 terjadi peristiwa-peristiwa
penting yang berdampak terhadap bangsa Asia, khususnya Indonesia. Peristiwa
kemenangan J epang terhadap Rusia tahun 1905 menunjukkan bahwa bangsa Barat dapat
dikalahkan oleh bangsa Timur. Kemenangan J epang tersebut merupakan Kebangkitan
Asia menimbulkan gelombang antusiasme di Asia. Di Turki muncul gerakan Turki
Muda untuk mencapai perbaikan nasib, yang akhirnya tahun 1908 muncul revolusi anti
kaum kolot. Kejadian-kejadian tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap
munculnya gerakan nasional di Indonesia.
Sejalan dengan perubahan politik pemerintah kolonial yang hendak memajukan
bidang pendidikan, dokter Wahidin Sudirohusodo yang sejak tahun 1901 menjadi
redaktur majalah Retnodhumilah, melalui majalahnya ia mempropagandakan pentingnya
pendidikan. Menurut pendapatnya bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan,
diperlukan pendidikan secukupnya bagi kalangan luas orang pribumi. Ia
mempropagandakan tentang pemberian beasiswa bagi pemuda-pemuda yang pandai
tetapi tidak mampu. Kemudian, karena cara tersebut dinilai kurang efektif, ia meletakkan
jabatan sebagai redaktur Retnodhumilah karena alasan kesehatan. Selanjutnya sejak bulan
November 1906, ia melakukan perjalanan keliling pulau J awa untuk mempropagandakan
cita-citanya. Ia yang didampingi Pangeran Noto Dirojo, putra Paku AlamV, mula-mula
mendekati para priyayi yang lebih tua dan lebih tinggi, khususnya bupati yang kaya dan
berpengaruh. Pada akhir tahun 1907 dalam perjalannya yang jauh, ia berhenti dan
beristirahat di Jakarta. Ketika berada di Jakarta, ia diundang Sutomo dan Suraji ke
sekolah STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen) untuk mendengarkan
gagasan-gagasannya. Maksud Wahidin untuk mendirikan Dana Belajar itu dibicarakan
oleh Sutomo dengan teman-temannya di STOVIA. Tujuan untuk mendirikan suatu Dana
Belajar itu diperluas jangkauannya. Demikianlah pada tanggal 20 Mei 1908 di sekolah
41
STOVIA oleh pelajar-pelajar STOVIA didirikan organisasi bernama Budi Utomo dan
Sutomo ditunjuk sebagai ketua.
Budi Utomo merupakan organisasi pribumi pertama menurut model Barat, suatu
organisasi yang pengurusnya secara periodik dipilih, mempunyai Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga, mempunyai program, mengadakan rapat-rapat, kongres, dan
anggotanya mempunyai hak suara. Lahirnya BU oleh Akira Nagazumi sebagai
bangkitnya nasionalisme Indonesia. Setelah itu, mahasiswa Indonesia yang belajar di
Negeri Belanda pada tahun yang sama mendirikan organisasi bernama Indische
Vereeniging (IV) yang bergerak di bidang sosial dan kebudayaan.
Pada tahun-tahun belasan, karena mengikuti jejak BU di satu pihak dan karena
adanya pengaruh dari luar Indonesia, bermunculan berbagai macamorganisasi.
9
Secara
khronologis, tahun 1911 di Solo, Jawa Tengah berdiri organisasi Sarekat Dagang Islam
(SDI) oleh H. Samanhudi yang bergerak di bidang social ekonomi. Organisasi itu
didirikan untuk menghadapi pedagang-pedagang Cina di kota itu yang telah
mempermainkan harga bahan batik. Setahun kemudian, namanya diganti menjadi Sarekat
Islam (SI) agar lebih banyak orang-orang Islam dapat masuk menjadi anggota. Di
Yogyakarta tahun 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi sosial keagamaan
bernama Muhammadiyah. Pada tahun 1912 E.F.E. Douwes Dekker di Bandung
mendirikan organisasi politik Indische Partij, statu organisasi yang pertama kali memakai
nama partai yang mempunyai konsep nasionalisme Hindia (Indisch Nationalism).
Organisasi ini yang menerima berbagai etnik yaitu kaum Indo-Eropa dan pribumi,
radikal, menuntut kemerdekaan Hindia. H.J.F.M. Sneevliet tahun 1914 di Semarang
mendirikan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), suatu organisasi yang
bersifat internasional menyebarkan ideologi sosialisme. Dalam perkembangannya, karena
pengaruh revolusi Rusia, organisasi ini tahun 1923 berganti nama menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI). Selain organisasi politik, berdiri juga sarekat-sarekat sekerja,
organisasi pemuda, perempuan, dan kepanduan. Organisasi-organisasi tersebut

9
Kejadian-kejadian di luar Indonesia yang menambah kemauan mendirikan organisasi di Indonesia adalah
Revolusi di Tiongkok tahun 1911 yang menggulingkan pemerintahan Dinasti Manchu dan berdirinya
Republik Tiongkok; pan-Islamisme, menyebarnya ajaran Marxismo (sosialisme dan sesudah revolusi di
Rusia juga komunisme), azas-azas Perjanjian Versailles yang tidak dijalankan (hak bangsa untuk mengatur
diri sendiri), berdirinya Volkenbond dan Labour office, gerakan di Irlandia, gerakan di India ; empat belas
Pasal Presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat, khususnya hak menentukan nasib sendiri bangsa-
bangsa.
42
merupakan organisasi gerakan nasional yang tujuan akhirnya adalah kemerdekaan
Indonesia.
Mahasiswa Indonesia di Negri Belanda yang datang ke sana setelah Perang Dunia
Kedua, lebih banyak kesadaran politiknya dari pada angkatan-angkatan sebelumnya.
Sebabnya karena mereka sebelum berangkat ke Negeri Belanda telah memasuki berbagai
gerakan kebangsaan. Mereka terus bergabung dalam organisasi mahasiswa Indonesia
Indische Vereeniging (IV) yang didirikan tahun 1908. Pada tahun 1920-an peran sosial
dan kebudayaan dari IV masih ada, tetapi yang utama adalah bidang politik. Pada tahun
1922 namanya diubah menjadi Indonesische Vereeniging
10
dan nama majalahnya yang
semula bernama Hindia Poetera diganti menjadi Indonesia Merdeka.
11
Pada tahun 1924
keterangan dasar IV adalah sebagai berikut: (1) Hanya Indonesia yang bersatu, dengan
menyingkirkan perbedaan-perbedaan golongan, dapat mematahkan kekuasaan
penjajahan; (2) Tujuan bersama memerdekakan Indonesia menghendaki adanya
suatu aksi massa nasional yang insyaf dan berdasar kepada tenaga sendiri; (3) Melihat
dua macam penjajahan, politik dan ekonomi, aksi itu adalah suatu persediaan bagi
kemerdekaan politik dan satu sikap menentang kapital asing yang menyedot kekayaan
Indonesia.
Ketua IV Nazir Pamoncak menegaskan politik nonkoperasi sebagai sendi
perjuangan rakyat Indonesia. Kerjasama dengan si penjajah untuk mencapai cita-cita
kemerdekaan Indonesia, tidak lain dari menipu diri sendiri. Kerjasama hanya mungkin
antara dua golongan yang sama hak, kewajibannya, dan kepentingannya. Apabila syarat
ini tidak dipenuhi, maka kerja sama berarti mempermainkan yang lemah oleh yang kuat,
memperlakukan yang lemah sebagai alat untuk kepentingannya sendiri. Sebab itu PI
menolak kerjasama dan tetap menuju tujuan sendiri.
12
Sejak 8 Februari 1925 nama
organisasi diganti menjadi Perhimpunan Indonesia (PI),
13
dan organisasai dikembangkan

10
Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 126.
11
PI adalah organisasi pertama yang pertama kali menggunakan Istilah Indonesia sebagai nama
organisasinya.
12
Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 156 dan 158.
13
Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 171.
43
menjadi organisasi yang mengutakan masalah-masalah politik sebagai bagian dari
identitas nasional yang baru.
14

Perkembangan PI menjadi organisasi politik terutama merupakan hasil usaha
Mohammad Hatta. Kegiatan PI diarahkan untuk mencapai tiga tujuan, pertama,
menyadarkan mahasiswa agar semakin percaya merasa diri sebagai orang Indonesia.
Kedua, PI harus berusaha menghapuskan gambaran tentang Indonesia yang diciptakan
oleh pemerintah Belanda. Ketiga, yang terpenting adalah mereka harus mengembangkan
ideologi yang kuat dan bebas dari pembatasan-pembatasan Islam dan komunisme.
15

Para anggota PI dari Negeri Belanda mengamati gerakan nasional di Indonesia.
Mereka kecewa terhadap semangat partai-partai politik dan terhadap kegagalan mereka
menciptakan suatu organisasi massa yang kuat untuk melawan Belanda. Oleh karena itu
mereka membuat ideologi baru sebagai langkah pertama untuk menyusun gerakan
kebangsaan jika mereka kembali ke tanah air.
Ada empat pikiran pokok dalam ideologi PI yang dikembangkan sejak tahun
1925. Ideologi PI menempatkan kemerdekaan sebagai tujuan politik yang utama. Pokok-
pokok pikiran PI adalah sebagai berikut.
Kesatuan nasional: perlu mengesampingkan perbedaan berdasarkan daerah dan perlu
dibentuk kesatuan aksi melawan Belanda untuk menciptakan negara kebangsaan
Indonesia yang merdeka dan bersatu;
Solidaritas: tanpa melihat perbedaan antara sesama orang Indonesia, perlu disadari
adanya pertentangan kepentingan yang mendasar antara penjajah dan terjajah. Kaum
nasionalis harus mempertajamkonflik antara orang kulit putih dan orang kulit sawo
matang;
Nonkoperasi: keharusan untuk menyadari bahwa kemerdekaan bukan hadiah sukarela
dari Belanda melainkan harus direbut oleh bangsa Indonesia dengan mengandalkan
kekuatan dan kemampuan sendiri, oleh karena itu tidak perlu mengindahkan dewan
perwakilan kolonial seperti Volksraad;

14
Mereka yang menjadi anggota PI hanya sekelompok kecil dari seluruh mahasiswa Indonesia di Negeri
Belanda. Tahun 1926, puncak aktivitas PI, jumlah anggota PI hanya 38 orang. Akhir tahun 1927 jumlah
seluruh mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda diperkirakan 109 orang, hanya 20 orang yang menjadi
anggota PI. (Ingleson, hlm. 2).
15
Ingleson, hlm. 4.
44
Swadaya: dengan mengandalkan kekuatan sendiri perlu dikembangkan struktur alternatif
dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang berakar dalam
masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial.
16

PI menekankan bahwa ideologi PI harus dilaksanakan benar-benar oleh suatu partai yang
merasa bertanggung jawab kepada rakyat yang berusaha mencapai kemerdekaan melalui
jalan aksi massa.
Melalui majalahnya dan anggota PI yang kembali ke tanah air, ideologi PI sampai
di Indonesia. Para anggota PI yang kembali ke tanah air mencoba memasuki organisasi-
organisasi etnis seperti BU dan Pasundan dan berusaha untuk merubah wawasannya dari
dalam. Usahanya tidak berhasil, oleh karena itu mereka tetap di luar dan mereka
mendirikan kelompok-kelompok studi. Ada kelompok yang penting yaitu Indnosesische
Studieclub di Surabaya pimpinan dr. Sutomo dan Algemene Studieclub di Bandung
pimpinan Sukarno.
Atas usaha Sukarno dan orang-orang yang tergabung dalam Algemene Studieclub
pada 4 Juli 1927 didirikan partai baru bernama Perserikatan
17
Nasional Indonesia (PNI).
Partai ini melaksanakan ideologi PI, yaitu kesatuan nasional, solidaritas, nonkoperasi, dan
swadaya. Kemudian, untuk menyatukan gerakan nasional menjadi lebih besar, pada bulan
Desember 1927 didirikan badan federatif partai-partai politik dengan nama Permufakatan
Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Beberapa partai
politik yaitu PNI, PSI, Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, KaumBetawi, dan
Kelompok Studi Indonesia bergabung dalam satu fron bersama sebagai fron sawo
matang melawan fron kulit putih Belanda.
Di kalangan pemuda ada hasrat untuk menyatukan organisasi-organisasi pemuda.
Untuk itu pada tahun 1926 dan kemudian tahun 1928 diselenggarakan kongres pemuda
nasional pertama dan kedua. Kongres nasional pemuda kedua bulan Oktober 1928
menghasilkan Sumpah Pemuda, satu nusa: Indonesia, satu bangsa: Indonesia, dan
menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Semangat persatuan itu menyatukan
berbagai organisasi pemuda yang berdasarkan etnis/daerah menjadi satu, lahirlah
Indonesia Muda pada awal tahun 1931.

16
Ingleson, hlm. 5.
17
Dalam kongresnya pertama kata Perserikatan diganti menjadi Partai.
45
Organisasi perempuan pada bulan Desember tahun 1928 menyelenggarakan
kongres perempuan pertama, diputuskan didirikan badan persatuan organisasi perempuan
bernama Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII). Di kalangan organisasi
kepanduan pada tahun 1931 organisasi kepanduan berfusi lahirlah Kepanduan Bangsa
Indonesia (KBI). Tahun tiga puluhan rasa persatuan nasional telah meliputi berbagai
organisasi. Badan-badan federatif yang baru yang mencakup organisasi lebih banyak,
kemudian dibentuk.

Pembentukan bangsa dan negara Indonesia dimulai dengan pembentukan
nasionalisme Indonesia. Sejak awal abad ke-20 di Indonesia lahir gerakan emansipasi,
gerakan perlawanan terhadap Belanda yang dipelopori dengan lahirnya organisasi Budi
Utomo (BU). Tujuan perlawanan itu adalah kemerdekaan bangsa. Gerakan melawan
penjajahan bangsa Barat menggunakan senjata dari Barat, berupa organisasi.
Sesungguhnya perlawanan terhadap penguasa bangsa lain di Indonesia sudah
dimulai sejak adanya kekuasaan bangsa tersebut di Indonesia yaitu sejak awal abad ke-
17. Sejak itu ada perlawanan orang di Indonesia melawan Belanda kemudian melawan
Jepang. Perlawanan itu berupa perang-perang untuk mengusir penguasa bangsa asing itu
dari wilayang mereka. Perlawanan itu bersifat lokal, oleh Sartono Katodirdjo disebut
sebagai proto nasionlisme.
Gerakan rakyat Indonesia adalah usaha untuk perubahan dan pembaruan menuju
kemerdekaan.Gerakan itu diorganisasikan menurut model gerakan Barat. Ada keinginan
untuk memegang nasib di tangan sendiri. Rakyat terjajah menentang kekuasaan asing.
Sifat nasionalisme Indonesia ada dua, yaitu: (1) Usaha nasionalisme lebih dari
hanya ditujukan di bidang politik dan budaya, tetapi juga di bidang sosial, ekonomi, dan
keagamaan; (2) Keinginan-keinginan akan pembaruan di bidang sosial dan keagamaan.
(Pluvier, hlm. 17-18).
Menurut PNI, kemerdekaan nasional merupakan syarat utama pembangunan
masyarakat Indonesia. Sedangkan Parindra merumuskannya tidak terlalu tajam, tujuan
gerakan adalah penghapusan setiap bentuk kekuasaan kolonial. Mereka ingin mengatur
urusannya sendiri, diperintah oleh orang-orangnya sendiri, walaupun nanti keadaan pada
umumnya lebih jelek dari pada di bawah kekuasaan asing. Yang disebut belakangan ini
46
disadari oleh kaum nasionlis, dan mereka berani mengambil risiko. Kata-kata klasik dari
Quezon: We would rather be governed like hell and do it ourselves than like heaven and
have it done for us (Lebih baik kita hidup seperti di neraka tetapi diperintah oleh orang-
orang kita sendiri, dari pada hidup seperti di sorga, tetapi diperintah oleh bangsa asing.
(Pluvier, hlm. 18). Bagaimadiirna wujud dari masyarakat baru sesudah merdeka itu
merupakan pokok pembicaraan penting, namun yang lebih penting adalah tuntutan agar
supaya diutamakan lebih dahulu lenyapnya rezimkolonial.
Nasionalisme Indonesia dalam keseluruhannya merupakan gejala yang sama
seperti nasionalisme lainnya. Tujuan pertama diarahkan terhadap kekuasaan asing yang
dipandangnya sebagai bahaya yang paling besar mengancam masyarakat. Taktik untuk
mencapai tujuan ada dua cara, yaitu koperasi dan nonkoperasi. Kaum nonkoperator
menyisihkan diri dari pemerintah HB, mereka tidak duduk dalam dewan perwakilan, baik
di Dewan Rakyat maupun di dewan-dewan local yaitu Dewan Propinsi atau Dewan
Kabupaten. Mereka mempunyai keyakinan, bahwa berhubung dengan dasar perbedaan
kepentingan antara yang yang berkuasa dan yang dikuasai, tidak mungkin ada kerjasama
untuk mewujudkan aspirasi-aspirasi nasional. Kerja sama demikian dengan pemerintah
hanya berarti memperkuat kekuasaan penjajah. Orang harus melaksanakan politik yang
prinsipiil dan yakin, bahwa perubahan-perubahan itu harus dipaksakan dengan jalan self-
reliance, kepercayaan kepada kekuatan diri sendiri, tidak dengan mengemis-ngemis
(Tilak). (Pluvier, hlm. 19.) Pemerintah Hindia Belanda memandang mereka sebagai kaum
ekstremis yang destruktif, tidak loyal.
Sebaliknya, kaum koperator dinamakan sebagai kaum sederhana dan loyal.
Perbedaan di antara kedua golongan itu adalah pada taktik dan keyakinan mereka.
Menurut kaum koperator, kemerdekaan ekonomi harus lebih didahulukan dari
keperdekaan politik. Mereka kurang keras dan agresif dan rapat-rapat mereka bukan rapat
massa kaum marhaen. Walaupun demikian, mereka tetap kaumnasionalis, karena mereka
juga bercita-cita untuk meningkatkan ekonomi dan kemerdekaan.
Sikap kaum bangsawan terhadap pergerakan itu bercabang dua. Sebagian karena
takut, bahwa gerakan rakyat yang kuat tidak saja merupakan bahaya bagi rezim colonial,
tetapi dapat juga membahayakan kekuasaan mereka sendiri, sehingga orang berusaha
untuk menahan perkembangannya. Sebagian lain orang berusaha merebut kepemimpinan
47
dalam pergerakan itu untuk mendapatkan sokongan dari rakyat dan dengan demikian
pengaruhnya yang lama, walau hanya sebagian, dapat dipulihkan kembali.
Kelas kedua dalam masyarakat adalah kaumambtenaar, kaumintelek atau semi
intelek yang bekerja pada gubernemen atau perusahaan-perusahaan, merasa tertelan oleh
stelsel kolonial yang tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat
menduduki pos-pos yang lebih tinggi dalamkehidupan politik dan ekonomi.
18

Faktor penting bagi perkembangan nasionalisme ialah sifat dari agama Islam yang
mengandung unsur-unsur yang baik. Perluasan agama ini dalam abad ke-15 dan 16
adalah sejajar dengan mendesaknya pengaruh dari Barat. Di zaman VOC mereka
merupakan unsur yang paling keras. Di abad ke-19 posisi mereka bertambah kuat setelah
rakyat di sebagian besar kepulauan nusantara masuk agama Islam. Raja-raja sering
bersekutu dengan mereka melawan pembesar-pembesar Belanda. Politik orang-orang
Belanda adalah sebanyak mungkin bekerja sama dengan pembesar-pembesar feodal dan
tentang menjalankan agama Islam. Pengaruh agama Islam itu kuat sekali Ia memberikan
kepada bangsa rasa senasib sepenangungan. Ia menciptakan semacam pra-nasionalisme
yang memberikan sokongan kepada nasionalisme. Reaksi agama Islam dan nasionalisme
adalah terhadap pengaruh Barat. Di satu pihak kaumnasionalis melancarkan perlawanan
yang aktif dengan cara Barat, reaksi orang-orang Islam memakai cara-cara yang
antagonistis yaitu dengan suatu gerakan yang sifatnya reformistis, menentang
tradisionalisme dan formalisme.
19

Dalam nasionalisme Indonesia hidup suatu tendensi untuk bersatu. Meski terdiri
dari berjenis-jenis rakyat, lama-lama timbul kesadaran untuk bersatu menjadi satu bangsa
Indonesia. Belanda telah menempatkan suku-suku dan bangsa-bangsa di kepulauan
Nusantara di bawah satu lingkungan kenegaraan. Persatuan yang sedikit banyak hendak
dipertahankan oleh kaumnasionalis. Perbedaan bahasa dan kebiasaan bukan penghalang
dalam perjuangan bersama mencapai kemerdekaan nasional. Pihak Belanda sering
ditunjukkan, berhubung dengan perbedaan besar di antara pelbagai penduduk itu, bahwa
tidak akan ada bangsa Indonesia dan bahwa nasionalisme Indonesia itu sama sekali tidak
mempunyai hak hidup. Perbedaan itu benar, tapi keliru untuk mengambil kesimpulan

18
J.M. Pluvier, Overzicht van de Ontwikkwling der Nationalistische Beweging in Indonesie in jaren 1930-
1942, Den Haag-Bandung: W. Van Hoeve, 1953.
19
J.M. Pluvier, op. cit.
48
seperti di atas. Untuk terbentuknya suatu nasion itu, dan ini penting, tidak cukup dengan
adanya persamaan bahasa, agama, dan kultur, adanya persamaan hal-hal sejarah dan
pemerintahan. Yang perlu adalah dalam unsur-unsur yang membentuk masyarakat itu,
sedikit banyak berkembang kesadaran untuk bersatu, untuk mempertahankan dan
mengorganisir persatuan itu. Soalnya bukan apakah ada persatuan, tapi apakah ada
sesuatu yang tumbuh; Yang terakhir ini yang terjadi. Tumbuhnya rasa senasib-
sepenanggungan, kemauan dari suatu bangsa. Cokroaminoto di tahun 1916 pada kongres
nasional menunjukkan bahwa istilah nasional itu berarti bahwa pergerakan rakyat itu
bertujuan membentuk suatu persatuan yang kokoh kuat dari seluruh rakyat di kepulauan
nusantara yang dengan seia sekata berusaha menjadi satu nasion. Di lain pihak sikap
Belanda lebih senang dengan nasionalisme Sunda, Jawa, atau Bali dari pada nasionalisme
yang melingkupi seluruh Nusantara.
Orang berusaha untuk menyokong nasionalisme lokal supaya lebih kuat
menghadapi nasionalisme Indonesia dan orang menunjukkan akan bahaya dari pada
penjajahan orang-orang Jawa atas golongan-golongan penduduk lainnya.
Mengadudomba perbedaan-perbedaan dari rakyat itu satu alat politik pemecah belah dari
golongan kecil yang memerintah massa berjuta-juta yang harus mereka anut untuk dapat
bertahan.
Kebanyakan pembesar-pembesar feodal memperlihatkan nasionalisme
kedaerahan yang didasarkan atas tradisi dan adat yang menjadikan mereka berkuasa.
Pemerintah menyokong patriotisme lokal membuat kaum nasionalis curiga. Sebelum
tahun 1927 pergerakan politik berada pada taraf kedaerahan. Satu-satunya pergerakan
yang semua nasional adalah SI. Baru sesudah PNI, ide persatuan Indonesia dengan sadar
maju kemuka. Kemudian ide ini diambil oleh partai-partai lain, juga oleh partai-partai
lokal.
20

Gerakan nasional di India banyak memberi isi kepada perkembangan
nasionalisme di Indonesia. Tilak, Gokhale, Gandhi, dan Nehru mempunyai arti lebih
besar. Partai Kongres contoh yang ditiru kaum nasionalis Indonesia dalam organisasi-
organisasi mereka. Politik nonkoperasi ditiru, suatu usaha swadesi, boikot ekonomi, juga
dilancarkan. (Pluvier, hlm. 26). Kebangkitan dari negeri Cina membawa pengaruh besar.

20
J.M. Pluvier, op. cit.
49
Nasionalisme merupakan hasil dari pengaruh kekuasaan Barat di negara-negara
Asia. Nasionalisme sebagai jawaban yang ditimbulkan oleh situasi kolonial. Banyak
sebab yang dapat menimbulkan nasionalisme. Nasionalisme dan kolonialisme tidak
terlepas satu sama lain, ada pengaruh satu sama lain. Kebangunan nasional di Indonesia
berhubungan erat dengan kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905. Gerakan Turki
Muda, Revolusi Cina, dan gerakan nasional di negara-negara tetangga seperti India dan
Filipina memberi pengaruh besar terhadap perkembangan nasionalisme, memperbesar
kesadaran nasional dan menyebabkan bangsa Indonesia memiliki rasa harga diri
kembali.
21

Gerakan emansipasi mencapai titik-titik terang pada ongres BU pertama tahun
1908, kongres kebudayaan tahun 1916, kongres nasional pemuda kedua tahun 1928 yang
menghasilkan satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa yaitu indonesia.



2.5. Daftar Pustaka

Hatta, Mohammad, Memoir, Yakarta: Tintamas, 1979.

Ingleson, John, Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun
1927-1934, (Terj. Zamakhsyari Dhofier), Jakarta: LP3ES, 1983.

Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional, J ilid 2, Jakarta: Gramedia, 1990.

Miert, Hans Van, Dengan Semangat Berkobat: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di
Indonesia, 1918-1930), (Terj. Sudewo Satiman), Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka
Utan Kayu, KITLV, 2003.

Nagazumi, Akira, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo, 1908-1918,
(Terj. Grafiti dan KITLV), Yakarta: Grafiti, 1989.

Poesponegoro, Marwati, Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia,J ilid II, III, IV, V, dn VI, (Edisi Pemutakhiran), Jakarta: Balai Pustaka,
2008.

Pluvier, J.M. Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische beweging in

21
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Jakarta: PT
Gramedia, hlm. 59.
50
Indonesie, in de jaren 1930 tot 1942, Den Haag Bandung: W. van Hoeve, 1953

Pringgodigdo, A.K., Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Djakarta: Pustaka
Rakjat, Cetakan ke-4, 1960.

Ricklefs, H.C., Sejarah Indonesia Modern, (Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono),
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.

Sukarno, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Sukarno di hadapan Hakim
Colonial Tahun 1930.

























51
Bab 3
Ekonomi dan Perdagangan di Indonesia


Perdagangan dan Pelayaran di Nusantara Masa Awal sampai Abad ke-19
Letak geografis kepulauan Indonesia yang berada dalam jalur pelayaran dan
perdagangan yang ramai antara Asia Timur dengan Asia Selatan dan Asia Barat membuat
laut, selat, dan pulau-pulau yang berada di sekitar Selat Karimata dan Selat Malaka
menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru tempat. Selain itu
hasil produk yang terkenal sebagai mata dagangan ekspor yang sangat laris di pasaran
adalah cengkeh, pala, bunga pala, kayu cendana, lada, dan lain sebagainya merupakan
produk lokal Nusantara. Sehingga sudah sejak masa sebelum abad ke-10, banyak kapal-
kapal dagang dari Cina, India, Arab, Malaka, Jawa, Bugis, Makasar, dan berbagai suku di
Nusantara yang menjadi pedagang dengan mengunjungi wilayah-wilayah yang menjadi
penghasil produk yang diinginkan. Cengkeh dihasilkan dari Ternate, Tidore, Halmahera,
Seram, dan Ambon, sementara pala dan bunga pala banyak dihasilkan di kepulauan
Banda. Kayu cendana banyak dihasilkan di Pulau Timor dan Sumba, sedangkan lada
banyak dihasilkan dari Banten, Lampung, dan pesisir timur dan utara Pulau Sumatra.
Adanya perbedaan produk dari masing-masing daerah, kemudian memunculkan
sistempertukaran dan jual beli di banyak pelabuhan di Nusantara, di mana kapal-kapal
asing dan lokal saling menukarkan barang-barangnya, seperti tekstil, porselain, sutera,
alat-alat logam, beras, dan lain-lain dengan produk-produk setempat. Sejak itulah wilayah
Nusantara bagian tengah dan timur kemudian menjadi jalur pelayaran dan perdagangan
yang cukup ramai.
Dalam dunia pelayaran selama abad ke-16 sampai abad ke-18, pengetahuan
tentang sistemangin dan musim menjadi pengetahuan yang penting untuk dimiliki para
pelaut. Karena bagaimanapun juga kapal layar mereka sangat membutuhkan tiupan angin
yang secara berkala berubah sesuai dengan musimnya. Dengan mengikuti sistemangin
ini maka para pedagang dapat memperkirakan keberangkatan atau kepulangan perahu-
perahu mereka. Bahkan beberapa nama angin diberi nama sesuai dengan arah angin yang
datang ketika kapal sedang berlayar, seperti angin buritan atau angin haluan, nama yang
52
lain misalnya angin turutan yang mendorong keras dari arah buritan, angin sakal yang
menghambat pelayaran karena bertiup dari depan, dan angin paksa yang membuat kapal-
kapal terpaksa membuang sauh di pelabuhan atau di teluk demi keamanan dari ancaman
badai.
22

Letak kepulauan Nusantara di tengah-tengah garis katulistiwa (equator)
menyebabkan di sebelah selatan katulistiwa bertiup Angin Pasat Tenggara dan di sebelah
utara katulistiwa bertiup Angin Pasat Timur Laut yang bertiup sepanjang tahun. Namun
karena letak Nusantara adalah di antara benua-benua yang berbeda tekanan udaranya dan
posisi peredaran bumi terhadap matahari, membuat angin yang bertiup berubah arah
ketika melintasi katulistiwa. Angin tenggara berubah menjadi angin barat daya sedangkan
angin timur laut berubah menjadi angin barat laut. Pada bulan-bulan Desember sampai
Pebruari bertiup angin barat dan pada bulan September sampai Nopember bertiup angin
timur. Pada saat-saat itu kapal-kapal dapat berlayar dari Aceh, Malaka, Jawa, dan
Makasar berangkat ke arah Maluku dengan angin barat, sedangkan mereka pulang
dengan dorongan angin timur kembali ke tempat asal kapal-kapal dagang tersebut.
23

Dengan mengikuti pola angin yang sama kapal-kapal dari India dapat berangkat ke arah
Malaka dan sebaliknya.
Untuk perjalanan ke arah Campa, Cina, Vietnam, dan negeri-negeri di Asia
Timur, kapal-kapal dagang dapat berlayar pada bulan Juni sampai Agustus ketika angin
bertiup ke arah utara. Kemudian kapal-kapal tersebut dapat kembali ke selatan pada
bulan September sampai Desember dengan mengikuti angin yang bertiup ke selatan.
24

Dalam satu contoh, adanya hubungan pelayaran dan perdagangan awal antara
India dengan Nusantara, dapat kita lihat dari ditemukannya sebuah prasasti berbahasa
Tamil (India Selatan) yang berangka tahun 1088 M. Prasasti ini menggambarkan adanya
hubungan dagang antara Sumatra dan India sejak 1088 M, karena ternyata isi dari
prasasti ditulis oleh perkumpulan pedagang asal Tamil di Barus, Sumatera Utara. Dalam
ulasan lain digambarkan bagaimana komoditi kapur Barus telah dikenal luas di kalangan
pedagang Arab dan India bahkan produk ini juga diperdagangkan sampai Eropa. Kapur

22
Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Balai Pustaka,
Depdikbud, Jakarta, hal.101-102
23
Ibid., hal. 102
24
Ibid.,, hal. 103
53
barus ini merupakan bahan wewangian dan obat-obatan yang dipergunakan di Arab dan
India. Selain itu ditemukannya keramik-keramik Cina di Barus menunjukkan sudah
adanya hubungan perdagangan antara Cina dengan Barus di pantai barat Sumatera
Utara.
25

Dengan demikian sudah sejak lama hubungan perdagangan antara Nusantara
dengan daerah-daerah di Asia Barat, Asia Selatan, dan Cina berlangsung. Dari beberapa
keterangan pelaut Portugis, mereka mengatakan bahwa para pelaut di Asia dan juga di
Nusantara sudah menggunakan peta dan alat-alat navigasi seperti yang dimiliki oleh
Portugis. Tambahan lagi banyak kapal-kapal Portugis ataupun Belanda yang melakukan
pelayaran menuju kepulauan Nusantara menyewa tenaga navigator dari masyarakat
setempat.
26

Kondisi geografis kepulauan Nusantara yang dilingkupi laut dan selat,
menjadikan wilayah pantai di Nusantara sangat panjang dan luas, sehingga mata
pencaharian penduduk juga sangat tergantung dari mengolah laut. Kegiatan ini sudah
tentu membutuhkan alat transportasi yang dapat dipakai untuk berlayar ke tengah laut
mencari ikan atau menyeberangi laut dan selat untuk berdagang dengan daerah seberang
selat atau laut.
Namun penduduk di Asia Tenggara dan Indonesia sejak abad ke-16 mampu
membuat kapal dengan konstruksi badan kapal terbuat dari papan. Dalampenelitian
Antony Reid disebutkan bahwa kapal-kapal yang berlayar di Asia Tenggara dan
Indonesia jauh lebih besar dengan dua atau tiga tiang, lambung yang berpasak, dan
kemudi kembar. Selain itu kapal-kapal dengan berat ratusan ton juga dibuat di galangan
kapal di pantai utara Jawa.
27

Dalam kebudayaan Nusantara kemampuan membuat perahu sudah mereka miliki
sejak lama. Perkembangan perahu-perahu bercadik yang dibuat secara sederhana dari
kayu yang dilubangi tengahnya seperti lesung dan diberikan kayu penyeimbang di kiri
dan kanan badan kapal. Gambar Relief kapal besar bercadik pada candi Borobudur
memperlihatkan kemampuan bahari masyarakat terutama yang dipergunakan di pantai

25
Y. Subbarayalu, Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil di Barus: Suatu Peninjauan
Kembali, dalam Claude Guillot, ed., Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, EFEO-Pusat Penelitian
Arkeologi-Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002.
26
Marwati Djoened Poesponegoro, op. cit., hal. 104-107
27
Antony Reid, op. cit., hal. 48-55
54
utara Jawa pada abad ke-9 M. Pantai utara Jawa dalam laporan Portugis merupakan pusat
penghasil kapal-kapal berbadan besar selain yang di datangkan dari Pegu, Burma. Kapal
jenis jukung, mayang janggolan, golekan, lambo, padewakang, pinisi, peledang, kora-
kora, Ternate, Tidore, dan sebagainya menunjukkan keanekaragaman jenis kapal di
Nusantara. Banyaknya jenis kapal tersebut menunjukkan pula kemampuan masyarakat
mampu membuat kapal yang baik untuk pelayaran jarak jauh maupun jarak dekat.
Barang-barang yang diperdagangkan dalam pelayaran dan perdagangan di
Nusantara itu sangat banyak dan bervariasi. Beberapa daerah menjual produk setempat
yang tidak diproduksi di tempat lain seperti cengkeh, pala, bunga pala, kayu manis, kayu
cendana, kayu sapan, sagu, beras, dan sebagianya. Mereka menjualnya kepada para
pedagang yang datang dengan menukarkannya dengan barang-barang dari Cina, Asia
Barat, dan India, seperti sutera, kain yang halus, kain yang kasar, porselain, alat-alat
logam, batu permata, senjata api, dan sebagainya. Barang-barang ini seringkali
dipertukarkan secara barter atau dengan mata uang perak atau emas.
28
Ramainya
perdagangan dan pelayaran tidak terlepas dari peran bandar atau pelabuhan yang
menyediakan bermacam fasilitas bagi para pedagang yang hendak menjual atau membeli
barang dagangan. Pelabuhan-pelabuhan ini menyebar mulai dari bagian utara, timur, dan
selatan Pulau Sumatra, Semenanjung Malayu, sepanjang pantai utara Jawa, Sulawesi
Selatan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, dan begitu banyak yang lainnya di pulau-
pulau besar dan kecil.
Namun perdagangan yang paling utama pada abad ke-16 sampai 18 adalah
rempah-rempah. Rempah-rempah inilah yang menarik perhatian bangsa Eropa
berdatangan ke Nusantara dengan melakukan pelayaran samudera menyusuri pantai
Afrika menuju ke India dan Selat Malaka. Sepertinya rempah-rempah yang produksinya
lebih sedikit dibandingkan produksi beras, tekstil, tuak, dan ikan asin ini telah menjadi
produk yang sangat dicari karena harganya yang mahal. Di samping itu rempah-rempah
yang terdiri dari cengkeh, pala, dan bunga pala hanya tumbuh di kepulauan Maluku.
Cengkeh hanya dihasilkan di Ternate, Tidore, Makian, dan Motir. Kemudian pada abad
ke-16 pohon cengkeh juga ditanam di Pulau Bacan, Ambon, dan Seram. Sedangkan
bunga pala hanya tumbuh di kepulauan Banda dan Seram Selatan. Sementara itu hasil

28
Marwati Djoened Poesponegoro, op. cit., hal. 144-148
55
hutan berupa kayu cendana juga merupakan mata dagangan yang laku di pasaran Cina
dan India sehinga kayu cendana yang berasal dari Timor tersebut memiliki nilai jual yang
tinggi. Tome Pires dalam pelayarannya tahun 1515 di Maluku, menuliskan pendapatnya
tentang tanaman rempah-rempah dan kayu cendana, sebagai berikut:
Pedagang Melayu mengatakan bahwa Tuhan menciptakan Timor untuk kayu
cendana dan Banda untuk bunga pala (fuli) dan Maluku untuk cengkeh, dan
barang dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia kecuali di tempat itu.
29


Laporan Tome Pires di atas menunjukkan bahwa produk rempah-rempah dan
kayu cendana merupakan mata dagangan ekspor yang menjanjikan keuntungan besar
bagi para pedagang. Para pedagang dari Jawa, Bugis, Makasar, Melayu, dan lain-lain
berbondong-bondong berdatangan ke Maluku dan Nusa Tenggara bagian timur untuk
membeli rempah-rempah dan kayu cendana. Di sana para pedagang menukarkan barang-
barang yang mereka bawa dari tempat asalnya atau dari Cina dan India, seperti beras,
tekstil, benda logam, sutera, porselain, dan lain sebagainya.
Armada Portugis pertama kali melakukan pelayaran ke Nusantara di bawah
pimpinan Affonso de Albuquerque, sekaligus menaklukkan Bandar Malaka pada tahun
1511 yang dikenal sebagai pasar rempah-rempah di Asia Tenggara. Namun kenyataannya
Malaka hanyalah gudang rempah-rempah, sedangkan penghasil rempah-rempah ada di
kepulauan Maluku. Dengan demikian maka segera dikirim armada kapal ke Maluku,
terutama ke Ternate dan Tidore. Selama hampir setengah abad kekuatan Portugis
mendominasi Maluku, sampai kemudian mengalami kemerosotan dan puncaknya adalah
ketika kekuatan Portugis berhasil diusir dari Ternate.
30

Tetapi kelemahan Portugis diakibatkan tidak mampunya armadanya
mengamankan jalur pelayaran di Selat Malaka dan juga Goa di India Selatan, sehingga
banyak kapal-kapal dagang yang membawa rempah-rempah dan produk lain dari
Indonesia bagian tengah dan timur tidak singgah ke Malaka namun melalui jalur pantai
barat Sumatra, Aceh, dan kepulauan Maladewa, menyeberangi Lautan Hindia dan
langsung menuju ke Laut Merah. Jalur baru ini membuat Portugis tidak lagi menjadi

29
Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis II: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara
1450-1680, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 2, 4
30
Anthony Reid, op. cit., hal. 17-18, 27
56
pusat bagi pasaran Eropa, karena produk rempah-rempah mengalir melalui Mesir dan
Laut Tengah.
31

Pada akhir abad ke-16 orang-orang Belanda mulai berdatangan ke Nusantara
untuk mencari rempah-rempah langsung ke tempat produksinya di Maluku. Kegairahan
para pelaut dan kapal-kapal dagang Belanda mengunjungi Nusantara disebabkan antara
lain karena pecahnya perang kemerdekaan Belanda terhadap Spanyol selama 1560
sampai 1648. Sementara orang-orang Belanda adalah pedagang yang melayari rute
Lisabon, Portugal, dan Eropa Utara. Tetapi pemerintah Spanyol yang menguasai
Portugal melarang kapal-kapal dagang Belanda membeli rempah-rempah dari Lisabon.
Pelayaran pertama kapal-kapal Belanda dipimpin oleh Cornelis de Houtman, yang
berangkat tahun 1595 dan tiba di Pelabuhan Banten, Jawa Barat pada tahun 1596.
32

Penyebab lain dari pelayaran orang Belanda dipengaruhi oleh penerbitan buku
Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien (Catatan Perjalanan ke Timor atau Hindia
Portugis) karya Jan Huygen van Linschoten. Van Linschoten adalah seorang pelaut
Belanda yang bekerja pada armada Portugis yang melakukan pelayaran perdagangan di
kepulauan Nusantara pada awal abad ke-16. Dalam bukunya tersebut dia menuliskan
dengan baik keindahan pohon penghasil rempah-rampah dan keajaiban buah itu, yang
memiliki khasiat penyembuh bermacam penyakit.
Daya tarik rempah-rempah dari kepulauan Maluku telah menarik kedatangan para
pedagang pribumi dengan membawanya ke pusat-pusat pasar perdagangan di J awa dan di
Malaka. Dari Bandar Malaka inilah rempah-rempah menyebar ke Cina, India, Asia Barat,
dan Eropa. Laporan Van Lindsshchotten di atas membawa pengaruh bagi pelayaran
kapal-kapal Belanda ke Maluku untuk mencari rempah-rempah. Perjalanan kapal-kapal
dagang asing dan pribumi terutama dari arah barat ke Maluku menjadikan rute laut yang
menyusuri Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda menjadi sangat ramai. Sudah barang
tentu kapal-kapal tersebut akan menyinggahi daerah-daerah di Nusa Tenggara sebagai
tempat transit. Di samping itu daerah Nusa Tenggara juga menghasilkan produk-produk

31
Anthony Reid, op. cit, hal. 27
32
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University
Press, 1998, hal. 36-38

57
yang laku di kalangan pedagang asing terutama hasil kayu cendana, madu, lilin, dan kayu
sapan.
Ramainya perdagangan rempah-rempah dan berbagai produk lainnya menjadikan
India Timur (East Indies) bukan hanya menjadi kutub yang menarik namun juga menjadi
jalur persilangan yang sibuk bagi pelayaran dan perdagangan. Posisi Selat Malaka
menjadi sangat strategis bagi lalu lintas pelayaran, terutama bagi kota Malaka yang
berdiri sejak awal abad ke-15. Adanya hubungan pelayaran antara Malaka dan Maluku,
menjadikan pelabuhan Malaka menjadi pasar rempah-rempah asal Maluku, yaitu
cengkeh dan pala. Pelabuhan Malaka terus berkembang sebagai penyedia sarana
pelabuhan, peralatan rumah tangga, membentuk lembaga perlindungan bagi keamanan
kapal-kapal asing, penyediaan komoditi dari berbagai wilayah. Di antara orang asing
yang menjadi pedagang dalam jumlah besar adalah penduduk muslim asal Gujarat dan
Calicut. Pedagang Hindu asal Coromandel yang dikenal dengan Keling juga banyak yang
menjadi pedagang yang melayari rute India-Malaka. Menurut Tome Pires, antara empat
sampai lima ribu pelaut datang dan pergi dari Pelabuhan Malaka. Para pedagang asal
Gujarat inilah yang membawa lada dan rempah-rempah sampai ke wilayah Timur
Tengah dan sekitar Laut Mediterania.
33

Ramainya Bandar Malaka membuat banyak para pedagang dari Jawa, Bugis,
Makasar, dan dari daerah lain di Indonesia bagian timur, membawa komoditi asal Maluku
yang sangat laku di pasaran India dan Cina. Namun jangan lupa bahwa pelayaran ke
Maluku mau tidak mau melewati Laut Flores di mana berhimpun beberapa pulau besar
dan kecil, seperti Flores, Alor, Pantar, Timor, dan lain-lain. Dalambeberapa laporan,
produk kayu cendana asal Timor dan juga Sumba sangat laku di pasaran Cina. Dengan
demikian wilayah tersebut sudah tersentuh dinamika pelayaran dan perdagangan yang
sangat ramai.
Kejatuhan Malaka pada tahun 1511 akibat serangan Armada Portugis yang
dipimpin Afonso dalbuquerque, membawa kemunduran bagi Malaka. Banyak para
pedagang Muslim yang mencari persinggahan di tempat lain terutama di pantai timur dan
barat Sumatra dan juga di pesisir utara Jawa. Masuknya bangsa Belanda sejak akhir abad
ke-16 (1596) di Nusantara membawa perubahan yang besar. Pedagang Belanda dengan

33
Fernand Braudel, op. cit., hal. 526-528
58
segera mendirikan Veerenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602 untuk
mengkonsolidasikan kekuatan menghadapi para pedagang Eropa lainnya terutama Inggris
dan Portugis.
34

Untuk memantapkan kedudukannya di Hindia Timur, VOC merebut Jayakarta
dan menggantikannya dengan Batavia pada tahun 1619. Batavia kemudian dijadikan
pusat administrasi bagi jaringan pelayaran dan perdagangannya di Asia. Sejak itu, VOC
terus memperluas kekuasaan politik dan ekonominya di wilayah Hindia Timur. Beberapa
wilayah direbut dari Portugis, seperti Ambon (tahun 1605) dan Pelabuhan Malaka (tahun
1640). Selain itu beberapa kerajaan lokal seperti Kesultanan Makasar dipaksa untuk
menerima monopoli perdagangan rempah-rempah, sehingga menimbulkan perang
Makasar 1660-1667. Kesultanan Ternate dan Tidore dipaksa menerima pertuanan VOC,
hal ini berakibat VOC memonopoli perdagangan rempah-rempah di pusat produksinya
dan bahkan mengatur penanaman dan pengaturan panen untuk mengendalikan harga.
VOC memberlakukan pengawasan terhadap sentra-sentra produksi rempah-rempah
dengan pelayaran Hongi (Hongi Tochten), pelanggaran atas kuota produksi akan
menghadapi penangkapan dan penghancuran kebun rempah-rempah milik penduduk.
Banten direbut, Priangan, Cirebon, dan pantai utara Jawa diambil alih dari Mataram
sampai pertengahan abad ke-18.
Kekuatan laut VOC sejak abad ke-16 belum ada yang menandinginya di
Nusantara. Penaklukkan benteng-benteng Portugis di Ambon, Malaka, penaklukkan
Makasar, Banten, dan juga sebagian wilayah Mataramdi pantai utara Jawa membuktikan
kekuatan laut yang dimiliki oleh VOC. Hal ini mengakibatkan VOC menguasai hegemoni
politik dan ekonomi di Nusantara. Perebutan hegemoni pelayaran dan perdagangan di
Nusantara yang dilakukan VOC menghadapi tantangan dari pelaut-pelaut Makasar dan
juga Sultan Makasar.
Makasar merupakan pelabuhan yang ramai sejak abad ke-16. Berbagai macam
komoditi dari berbagai daerah dapat dibeli dari Pelabuhan Makasar, seperti barang-
barang dari Maluku, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Timor, Irian, Jawa,
Kalimantan, dan Philipina Selatan. Budak, rempah-rempah, produk dari laut, dan juga

34
Untuk melihat sejarah singkat VOC lihat C.R. Boxer, Jan Kompeni: Sejarah VOC Dalam
Perang dan Damai 1602-1799, sebuah Sejarah Singkat tentang Persekutuan Dagang Hindia Belanda,
Sinar Harapan, Jakarta, 1983
59
kayu cendana merupakan produk utama dari daerah timur. Selain itu Makasar juga
memperdagangkan produk-produk dari India dan Cina yang didapat dari kehadiran kapal-
kapal asing di Malaka, atau para pedagang Makasar yang membelinya dari Pelabuhan
Malaka. Penguasaan VOC atas Makasar membuat perubahan yang mendasar bagi
Makasar. VOC melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah dan yang lainnya.
Barang-barang dari India dan Cina dikenakan pajak dan barang-barang komoditi ekspor
dijual dengan harga yang tinggi.
35

Kebijakan ini menjadikan VOC melakukan ekspansi perdagangan dengan kapal-
kapal sendiri, menggunakan gudang-gudang sendiri, termasuk menjualnya melalui toko-
tokonya sendiri. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perlawanan dari kapal-kapal dagang
dari berbagai bangsa dan daerah di Nusantara yang kemudian melakukan perdagangan
ilegal atau penyelundupan. Hal ini terutama dilakukan oleh Inggris sampai abad ke-18.
Para pedagang swasta Inggris dalam melakukan perdagangan dengan Asia, juga
melakukan ekspansi dengan menjual tekstil India, opium, dan senjata untuk
dipertukarkan dengan berbagai mata dagangan dari berbagai pelabuhan di Asia, termasuk
juga di Nusantara. Di samping itu para pedagang Cina dengan kapal-kapalnya yang besar
sangat aktif berlayar dan memperdagangkan komoditi dari Cina ke Nusantara. Pelayaran
kapal-kapal Cina yang mendatangkan banyak keuntungan ini sangat menarik perhatian
VOC. Namun peristiwa pembantaian Cina di Batavia, J awa tahun 1740, VOC mulai
membatasi kedatangan Jung Cina ke Nusantara, kapal-kapal Cina hanya diijinkan
berdagang di Banjarmasin dan Makasar. Di samping itu banyak para pelaut dan pedagang
Makasar yang juga melakukan perdagangan ilegal dengan menjual berbagai macam
komoditi dari seluruh Nusantara. Dengan mengunakan perahu-perahunya orang-orang
Makasar mengangkut berbagai komoditas dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.
36

Tetapi sejak kejatuhan pelabuhan Makasar, perdagangan bebas di Nusantara
mengalami kemerosotan. VOC melakukan praktek monopoli perdagangan yang

35
Heather A. Sutherland dan David S. Bree, Quantitative and Qualitative Approaches
to The Sudy of Indonesia Trade: The Case of Makasar, dalamT. IbrahimAlfian, eds., Dari
Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, Gadjah Mada University Press, 1992, hal. 372-374


36
T. IbrahimAlfian, eds., op. cit., hal. 375-377


60
kemudian menjadikan perdagangan rempah-rempah menjadi kurang menarik. Eksploitasi
Pulau Jawa yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda selama abad ke-19 juga
menelantarkan daerah luar Jawa terutama di Indonesia bagian timur. Namun munculnya
pelabuhan bebas Singapura yang dibangun oleh Inggris tahun 1819, menyadarkan
pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk melakukan usaha-usaha untuk menyaingi
ramainya perdagangan di Singapura. Tarif bea yang rendah yang diberlakukan Inggris di
Pelabuhan Singapura membuat banyak pedagang dari Cina, Arab, India, dan bahkan
kapal-kapal dari Bugis dan Makasar secara rutin berkunjung ke Singapura untuk menjual
barang-barang yang dibawanya dari kepulauan Indonesia bagian timur. Kapal-kapal
pinisi dan padewakang milik orang Bugis-Makasar membawa produk-produk seperti
lilin lebah, sarang burung, kayu cendana, beras, dan lain-lain.
Dibangunnya Singapura sebagai pelabuhan membuat pengaruh Inggris dalam
perdagangan di Asia Tenggara meningkat pesat. Antara tahun 1830 sampai akhir 1860-an
pelayaran dagang antara Singapura dan pelabuhan-pelabuhan di Nusantara juga
meningkat pesat. Mulai dari perahu-perahu kecil berbobot 20 ton sampai kapal-kapal
yang bermuatan 200 ton terutama dari Makasar, hilir mudik antara Singapura dan
pelabuhan-pelabuahn di luar Pulau Jawa. Rata-rata ada 2000 kapal yang singgah di
Singapura per tahunnya, atau 6 kapal per hari. Dalam periode tersebut jumlah barang
yang diangkut lebih dari 200.000 metrik ton. Pelayaran yang menyinggahi Singapura itu
terdiri atas tiga jenis, yaitu pelayaran jarak jauh dengan wilayah Eropa, kedua, pelayaran
regional Asia Tenggara, dan terakhir pelayaran lokal.
37

Pelabuhan Singapura merupakan pelabuhan yang dipersiapkan secara matang oleh
para pembangunnya sejak 1819, ketika Inggris dan Belanda saling bertukar wilayah,
Inggris melepas Bengkulu dan Belanda memberikan semenanjung Melayu. Pelabuhan
Singapura betul-betul dipersiapkan sebagai bandar besar, atau pelabuhan laut dalam.
Kondisi alam pulau yang pantainya berlumpur menjadikan pekerjaan menggali atau
mengorek lumpur dan menghilangkan batu karang menjadi penting untuk mendapatkan

37
J . Thomas Lindblad, The Outer Islands in the Nineteenth Century: Contest for
Periphery, dalamHoward Dick, eds., The Emergence of a National Economy: An Economic
History of Indonesia 1800-2000, edisi draf, Passau, 1999, hal. 97.

61
pelabuhan yang dapat disinggahi kapal-kapal besar, terutama setelah banyaknya kapal-
kapal uap yang berlayar ke Singapura.
38

Pelayaran perahu-perahu Cina juga makin meningkat pada awal abad ke-19,
mereka juga mengganti kapal tradisional mereka, jung, dengan kapal yang bermuatan
lebih besar. Kapal-kapal Cina berdagang di banyak wilayah di Nusantara, terlebih lagi
orang Ciuna sudah sejak berabad yang lampau menjadi pendatang di Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, dan di kota-kota pelabuhan di Nusantara, jumlah mereka sekitar
135.000 orang atau sepersepuluh dari jumlah orang Cina di Asia Tenggara pada tahun
1880. Selain itu perahu-perahu tradisional dari berbagai wilayah kepulauan juga ikut
meramaikan perdagangan interregional, meski muatan yang dibawanya kecil namun jika
ditotal sangat besar volume perdagangannya. Mereka melalui jalur pelayaran dari
daerah pinggirann menuju jalur utama pelayaran. Pelayaran perahu ini masih memainkan
peranan yang penting di perairan Indonesia sampai abad ke-20.
39

Selain itu peran pedagang Bugis yang berdagang ke Singapura sangat besar,
bahkan mereka memiliki kampung yang bernama kallang di Singapura. Para pedagang
lokal Singapura secara berkala bertransaksi dengan para pedagang Bugis dalam jumlah
yang besar pada saat-saat tertentu yang mereka beri nama Bugis Season , atau musim
Bugis. Kedatangan perahu-perahu Bugis ini merupakan panen besar bagi para pedagang
lokal, karena mereka membawa sejumlah besar barang yang bisa mereka beli.
40

Sementara itu sejak tahun 1824, pemerintah Belanda mendirikan Nederlansch
Handel-Maatschappij (NHM) atau Perusahaan Perdagangan Belanda. Perusahaan ini
menjadi perusahaan yang memiliki armada kapal yang mengangkut hasil-hasil dari
Hindia Belanda ke Eropa. Kapal-kapal Eropa lainnya juga melakukan hal yang sama,
terutama kapal-kapal Inggris. Perkembangan Pelabuhan Singapura membuat Pelabuhan
Makasar merosot perannya dalam perdagangan interregional dan regional. Karena
Belanda melarang perdagangan bebas di sini.

38
Hanizah Idris, Pelabuhan Singapura A Port By Design, 1819-1941, Jati, Jurnal Jabatan asia
Tenggara, Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Malaya No.1, 1995, hal.23-25
39
Howard Dick, eds., op. cit.., hal. 98.
40
Howard Dick, eds., op.cit.,, hal. 99


62
Selain itu Inggris juga mendirikan perusahaan pelayaran dengan bendera
Belanda, yaitu Nederlandsch Indie Stoomvaart-Maatschappij (NISM), dan menjadi
perusahaan pelayaran yang disewa pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 1865
sampai 1890. Namun pemerintah Hindia Belanda tidak ingin tergantung dengan
perusahaan tersebut, dan mendirikan perusahaan pelayaraan kerajaan, yaitu Koninlijk
Paketvaart Maatschappij (KPM). Perusahaan ini kemudian mengambil alih pengiriman
paket pelayaran dari NISM yang telah habis masa kontraknya. KPM ini kemudian
mendapat keistimewaan dari pemerintah, seperti memonopoli pengiriman barang-barang
milik pemerintah, pengiriman surat, dan perjalanan pegawai pemerintah Hindia Belanda.
Sejak itu KPM telah mendominasi pelayaran di Hindia Belanda dengan menyinggahi 225
pelabuhan di seluruh kepulauan Hindia Belanda.
41

Kondisi tersebut yang membuat pemerintah Belanda berusaha menyaingi
Singapura dengan membuka pelabuhan bebas di Riau (1829), Pontianak, dan Sambas
(1834), Sukadana (1837), Makasar (1847), Manado (1848), Ambon, Banda, serta Ternate
(1852).
42
Usaha ini sedikit berhasil seperti dapat kita lihat dari tulisan Sutherland tentang
kedatangan kapal-kapal Cina langsung ke Pelabuhan Makasar selama pertengahan abad
ke-19.
Kedatangan kapal-kapal Eropa membawa pengaruh yang cukup penting dalam
dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Kekuatan armada kapal yang
diperlengkapi dengan meriam yang canggih menjadikan kapal-kapal Portugis dan
terutama Belanda mempunyai kekuatan memaksakan perdagangan monopolinya. Peran
para pedagang Eropa pada bad ke-16 sampai 18, seringkali dijadikan studi sejarah oleh
sejarawan kolonial yang seringkali tidak menuliskan peran para pedagang lokal dan Asia
dalam pelayaran dan perdagangan pada masa itu.
Kajian yang menggambarkan dinamika perdagangan masyarakat lokal di
Nusantara dilakukan oleh J.C. van Leur. Dia dianggap sejarawan yang mempelopori
kajian sejarah maritim yang mengkritik cara penulisan historiografi kolonial tentang
sejarah ekonomi di Nusantara. Dalam kumpulan tulisan yang dibukukan setelah dia

41
Howard Dick, eds., op.cit.,, hal. 111-112
42
Howard W. Dick, Perdagangan Antarpulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya suatu
Perekonomian Nasional, dalam Anne Booth, et.al. eds., Sejarah Ekonomi Indonesia, LP3ES, 1988, hal.
404-407
63
meninggal kita dapat membacanya dalam Indonesian Trade and Society: Essays in
Asian and Economic History.
43
Dalam bukunya itu, dia melihat perkembangan dari
pelayaran dan perdagangan pribumi yang marak selama kekuasaan VOC berkuasa di
Nusantara.
Namun van Leur masih terpengaruh dengan cara pandang bahwa ekonomi Eropa
berkembang dengan baik karena adanya kapitalisme, sedangkan perdagangan pribumi
berekembang secara terbatas.
Kesimpulan dari penelitiannya menunjukkan bahwa kegiatan dan motivasi
ekonomi yang muncul dalam kegiatan pelayaran niaga adalah peddling trade
(perdagangan penjaja). Peddling trade adalah perdagangan dengan kapasitas dan ciri-ciri
tertentu. Pertama-tama perdagangan dilakukan dari satu tempat ke tempat lain, dari pulau
ke pulau, dan dari benua ke benua dengan membawa sejumlah barang dagangan tertentu
yang tidak besar volumenya. Pedagang tersebut mengunjungi satu pelabuhan ke
pelabuhan yang lain sampai barang dagangannya habis. Tidak terdapat sikap yang
menonjol dalam kapitalisme modern, yaitu investasi modal dari keuntungan. Perbedaan
lainnya adalah bahwa barang dagangannya tidak banyak dibandingkan dengan
kapitalisme modern yang menghasilkan komoditas dalamjumlah massal. Sebab itu tidak
mengherankan bahwa barang yang diperdagangkan hanya barang yang mahal dan
mewah. Sementara itu ada sedikit pedagang besar yang didominasi oleh kaum bangsawan
(merchant gentlement.)
44

Dalam uraian selanjutnya Van Leur menggambarkan ukuran kapal-kapal layar di
Nusantara yang paling besar berbobot 100 ton, di India sekitar 200 ton, dan di Cina
sekitar 600 ton. Namun secara keseluruhan daya muat semua kapal di Nusantara
diperkirakan 50.000 ton.
45
Dengan kaca mata Asia sentris Van Leur berupaya mengkritik
para sejarawan kolonial yang tidak melihat perdagangan oleh orang Asia termasuk juga
di Nusantara sebagai sesuatu yang otonomyang ada sejak dahulu.

43
Van Leur, J .C., Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic History,
Bandung, Sumur Bandung, Bandung, 1960.

44
RZ. Leirissa, Dr. J.C. Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan Historiografi, dalam
Taufik Abdullah, eds., Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing, PPKB-LP
UI, Depok, 1997, hal. 191
45
Taufik Abdullah, eds., op. cit., hal. 192
64
Banyak para sejarawan yang tertarik dengan konsep Van Leur tentang pandangan
Asia sentrisnya itu, namun tidak mengulas argumennya tentang perdagangan di Asia
yang dia tuliskan. Sebuah buku yang ditulis sejarawan ekonomi Inggris yang berasal dari
India yaitu Dr. K. N. Chauduri
46
mengemukakan konsep emporia trade atau perdagangan
emporium. Penelitian Chauduri ini menyanggah pendapat Van Leur yang mengemukakan
tidak adanya perubahan selama ribuan tahun dalampelayaran niaga di Asia. Menurutnya
sejak abad ke-10 M sudah muncul apa yang dinamakan emporia trade yaitu pelayaran
niaga melalui beberapa kota pelabuhan terbesar seperti Aden, Hormus, Calicut, Malaka,
Kanton, dan sebagainya. Para pedagang Asia berlayar dari satu emporia ke emporia lain
tanpa harus mengarungi seluruh rute perdagangan itu dari Asia Barat sampai ke Cina.
47

Perdagangan seperti itu melahirkan bandar-bandar besar yang memiliki fasilitas yang
memadai untuk persinggahan kapal-kapal besar.
Konsep perdagangan emporia ini menggugurkan konsep Van Leur tentang
perdagangan penjaja. Menurut Chauduri perdagangan penjaja terlalu sederhana untuk
dipakai memahami pelayaran niaga di Asia sebelum abad ke-18. Menurutnya para
pedagang besar atau yang disebut oleh Van Leur sebagai merchant gentlement
merupakan kategori pedagang yang terpenting dan menentukan dalampelayaran emporia.
Namun demikian kita berhutang budi kepada Van Leur karena telah berjasa membuka
cakrawala baru dalampenulisan sejarah di Indonesia.



3.1. Pelayaran Perahu Bugis- Makasar di Nusantara
Peran orang-orang Bugis-Makasar dalam pelayaran di Nusantara sudah
berlangsung sejak abad ke-16. Pada waktu itu kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan,
seperti Gowa dengan pelabuhannya di Makasar, Bone, Wajo, Luwu, dan lain-lainnya
merupakan kerajaan dagang yang kuat. Kekuatan perdagangan laut ini didukung oleh
penduduk yang mayoritas hidup dari hasil laut dan perniagaan di laut. Sudah sejak

46
K. N. Chauduri, op. cit.,
47
Lihat artikel RZ. Leirissa, Dr. J.C. Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan
Historiografi, dalam Taufik Abdullah, eds., op. cit., hal. 201-202

65
sebelum abad ke-16, mereka memperdagangkan produk-produk rempah-rempah dari
Maluku untuk dipertukarkan dengan membawa barang-barang yang dibeli dari Jawa dan
Malaka, seperti beras, tekstil, barang-barang logam, sutera, porselain, dan lain lain.
Namun persebaran orang Makasar dan Bugis secara besar-besaran dan tidak
hanya sekedar berdagang, tetapi juga berpindah tempat, mengakibatkan orang Bugis dan
Makasar menetap di kepulauan Riau, Jawa Timur, dan kepulauan Nusa Tenggara.
Keadaan ini dipicu oleh penaklukkan kerajaan Gowa-Tallo yang bersuku Makasar
terhadap kerajaan-kerajaan Bugis, seperti Wajo, Bone, Luwu, dan lain-lainnya.
Penaklukkan oleh orang-orang Makasar ini membuat banyak orang-orang Bugis yang
pindah dan menyebar ke seluruh Nusantara, terutama di daerah sekitar Sumatera Timur
dan Semenanjung Malaya. Sementara itu pengungsian besar-besaran dilakukan oleh
orang-orang Makasar pasca penaklukkan Kerajaan Gowa-Tallo oleh kekuatan militer
VOC dalam Perang Makasar 1666-1669. Dalamcatatan sumber-sumber Belanda, sejak
perjanjian Bongaya, 1667, yang menandai kekalahan Kerajaan Gowa, membuat
bangsawan Makasar dan para pengikutnya merasa terhina dan pergi meninggalkan tanah
Makasar. Pengungsian besar-besaran terjadi pada tahun 1669 ketika secara final VOC
mengalahkan pemberontakan orang Makasar, terlebih lagi ketika Arung Palakka,
penguasa Bone, menjadi pemimpin utama di wilayah Sulawesi Selatan.
48

Perang Makasar (1666-1668) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara
Kerajaan Makasar yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-kapal
dari Eropa ataupun dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan
monopoli. Pelabuhan Makasar dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC
untuk mengontrol jalur perniagaan laut, ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Dalam
kebudayaan bahari yang dimiliki oleh orang Makasar, mereka memiliki filosofi bahwa
secara umum laut adalah milik bersama, siapapun boleh melayarinya.
Permintaan VOC agar Sultan menerima monopoli perdagangan di Makasar
ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan mengatakan:

48
Leonard Y. Andaya,The Bugis-Makasar Diaspora, Journal of The Malaysian Branch of The
Royal Asiatic Society, Vol. LXVIII, part I, 1995, hal. 119-120
66
Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara
umat manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah
kedengaran larangan buat siapapun untuk mengarungi lautan.
49


Jawaban ini meneguhkan semangat orang-orang Makasar untuk melawan
tindakan yang memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia
Tenggara ini berjalan dengan sistempasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol
keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan.
Bahkan para penguasa juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal-
kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan,
saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung halamannya pergi merantau
ke seluruh kepulauan Nusantara.
Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo yang menjadi sekutu
Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora
dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke-18
antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin
menambah besar jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan
Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Kebanyakan
orang Bugis kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya,
sementara orang Makasar di J awa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka
menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia.
50

Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar
awalnya mengalami kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di
Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan
Trunojoyo melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada
tahun 1679. Hal yang sama juga terjadi di Banten ketika Karaeng Bontomarannu tiba di
Banten dengan 800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari Sultan

49
A.B. lapian,Perebutan Samudera: Laut Sulawesi pada Abad XVI dan XVII, Prisma,
No.11 tahun 1984, hal. 37

50
Leonard Y. Andaya, loc. cit., hal. 120-121

67
Banten, sampai kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun
1680.
51

Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan
sebagai musuh VOC dengan tidak mendukung perlawanan penguasa setempat terhadap
VOC. Sehingga orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan
Bugis dan pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan
oleh Sultan Johor, Abd al-J alil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin
merebut tahta dengan bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan
memberikan daerah kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad
ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom di
kepulauan Riau.
52

Dampak lain yang terjadi pada abad ke-18 adalah munculnya jaringan
perdagangan laut antara kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan. Perniagaan ini menjadikan
Riau sebagai daerah yang menjanjikan keuntungan besar karena lalu-lalangnya kapal-
kapal dagang Bugis yang berdatangan dari J awa dan Sulawesi Selatan, tanah air orang
Bugis. Selain itu pada abad ke-18, orang-orang Makasar sudah mulai beralih sikap hanya
menjadi pelaut dan pedagang, dan bersama-sama orang Bugis mengarungi lautan di
Nusantara dengan kapal-kapal padewakang dan pinisinya yang besar dan kuat.
Kegiatan dagang dan perantauan orang Bugis dan Makasar menyebar ke banyak
wilayah di kepulauan Nusantara. Kepulauan Maluku yang banyak menghasilkan rempah-
rempah merupakan tujuan utama pelayaran mereka. Kehadiran pelaut dan pedagang
Bugis-Makasar pun tidak ketinggalan. Sejak abad ke-16, di Pelabuhan Ternate terdapat
komunitas pedagang Makasar yang menetap di sana, sebuah tempat di tepi pantai dekat
Benteng Oranje milik Belanda, yang bernama kampung Makasar. Kampung ini sampai
abad ke-19 merupakan kampung yang tidak hanya didiami oleh orang Makasar tetapi
juga dari para pedagang J awa dan Melayu. Selain di Ternate pelaut Bugis-Makasar juga
menetap di Ambon, sampai abad ke-19. Kampung-kampung muslimini juga didiami oleh

51
Leonard Y. Andaya, loc. cit., hal. 121-125
52
Leonard Y. Andaya, loc. cit., hal. 125-128
68
pelaut dari Mandar, Melayu, dan Jawa. Pelayaran kapal-kapal padewakang itu juga
menyinggahi pulau-pulau di Banda, Kei dan Aru.
53

Dalam peta yang dibuat oleh orang Bugis, kita dapat melihat begitu luasnya
pelayaran yang dilakukan oleh perahu-perahu Bugis. Kajian Le Roux atas peta yang
ditemukan di perkampungan bajak laut di Santhel yang terletak di Teluk Sekana di Pulau
Singkep tahun 1854, menggambarkan peta-peta wilayah di seluruh Nusantara, sebagian
Asia Tenggara, Australia Utara, dan wilayah Cina. Nama-nama daerah seperti Kalantang
(Kelantan), Djoro (Johor), Atje (Aceh), Palimbang (Palembang), Sibiro (Siberut),
Ballitong (Belitung), Poelo Lao (Pulau Laut), Tjinabaloe (Kinabalu), Koetaringang
(Kotawaringin), Taranate (Ternate), Koeantong (Kanton), Saiang (Siam), Pigo (Pegu),
Maladiwa (Maladewa), Tana Palawang (Pulau Palawan), Mangindano (Mindanao),
Marege (Australia Utara), dan lain-lain. Dari Nama-nama tempat yang terdapat dalam
peta Bugis ini menunjukkan luasnya pengetahuan tentang daerah-daerah di Asia
Tenggara, Pilipina Selatan, Australia Utara, dan Cina. Peta itu juga menunjukkan rute dan
tujuan pelayaran kapal-kapal Bugis sebelumpertengahan abad ke-19.
54



3.2. Perdagangan Penjaja (Peddler-Trade)

Pelayaran kapal-kapal Belanda pada akhir abad ke-16 dipengaruhi oleh terbitnya
buku Itinerario yang ditulis oleh J an Huygen van Linschoten, dia adalah seorang pelaut
Belanda yang bekerja pada armada Portugis yang melakukan pelayaran perdagangan di
kepulauan Nusantara pada awal abad ke-16. Dalam bukunya tersebut dia menuliskan
dengan baik keindahan pohon penghasil rempah-rampah dan keajaiban buah itu, yang
memiliki khasiat penyembuh bermacam penyakit. Tulisannya tentang pala, bunga pala
dan cengkeh diuraikan sebagai berikut:

53
R.Z. Leirissa, The Bugis-Makasarese in the Port Town:Ambon and Ternate Through the
Nineteenth Century, Bijdragen Tot de Taal-land-En Volkenkunde, Deel 156, 2000, hal. 619-633
54
Le Roux, C.C.F.M., A.A. Cense, Boegineesche Zeekaarten van den Indischen Archipel,
Tijdschrift van het Koninlijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, Tweede Serie, Deel LII, Leiden,
E. Brill, 1935, hal. 706-714

69
Pohon-pohon yang membuahkan pala dan bunga pala itu tidak berbeda
dengan pohon buah pir, tetapi daunnya lebih pendek dan bundar, baik untuk
peneyembuh sakit kepala, untuk ibu dan untuk syaraf. Pala terbalut oleh tiga jenis
kulit. Yang paling utama dan paling luar seperti daging kelapa, yang membalut
buahnya, adalah bunga pala, yang berguna bagi obat-obatan. Buah pala
menenangkan otak, menajamkan daya ingat, menghangatkan dan menguatkan
tenggorokan, mengusir angin dari tubuh, menyegarkan nafas, melancarkan
kencing dan menghentikan mencret. bunga pala terutama baik untuk selesma
dan untuk pria yang lemah, menghilangkan rasa marah dan memudahkan buang
angin.Pohon cengkeh banyak dahannya dan bunganya tidak sedikit, yang
kemudian menjadibuah-buah yang dinamakan cloves karena bentunya mirip
cakar atau claws. Cengkeh banyak digunakan untuk memasak daging maupun
meramu obat. Air cengkeh hijau yang disuling harumbaunya, dan menguatkan
jantung, yang sakit cacar menjadi berkeringat dengan cengkih, bunga pala, dan
cabe hitam.Cengkeh memperkuat hati, tenggorokan, jantung, melancarkan
pencernaan, memudahkan ke luarnya kencing, dan bila ditaruh di mata dapat
memelihara penglihatan.
55


Daya tarik rempah-rempah dari kepulauan Maluku telah menarik kedatangan para
pedagang pribumi dengan membawanya ke pusat-pusat pasar perdagangan di Jawa yang
terutama di Malaka. Dari Bandar Malaka inilah rempah-rempah menyebar ke Cina, India,
Asia Barat, dan Eropa. Laporan Van lindsshchotten di atas membawa pengaruh bagi
pelayaran kapal-kapal Belanda ke Maluku untuk mencari rempah-rempah. Perjalanan
kapal-kapal dagang asing dan pribumi terutama dari arah barat ke Maluku menjadikan
rute laut yang menyususri Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda menjadi sangat ramai.
Sudah barang tentu kapal-kapal tersebut akan menyinggahi daerah-daerah di Nusa
Tenggara sebagai tempat transit. Di samping itu daerah Nusa tenggara juga menghasilkan
produk-produk yang laku di kalangan pedagang asing terutama hasil kayu cendana,
madu, lilin, dan kayu sapan.

3.2.1. Sejarah Ekonomi menurut J.C. Van Leur

Sumbangan van Leur dalam penulisan sejarah Indonesia cukup besar artinya,
terutama kritikannya terdapat penulisan sejarah Hindia Belanda yang lebih banyak
bercorak Eropa sentris. Dalam kajiannya tentang sejarah perekonomian di Asia dan juga

55
Laporan Van Lindschotten dalam bukunya, Titinerario, Amsterdam, 1595, kutipan di atas merupakan
terjemahan langsung oleh Wilard A. Hanna dan Des Alwi, dalam Ternate dan Tidore: Masa Lalu Penuh
Gejolak, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 9-10
70
di Indonesia, van Leur mengemukakan bahwa selalam ini sejarawan Belanda lebih
memfokuskan peran orang-orang Belanda sendiri. Sehingga kekuasaan dan dominasi
VOC atas berbagai wilayah di Nusantara dianggap mewakili dinamika pelayaran dan
perdagangan di wilayah tersebut. Padahal dalam kajian van Leur, dia mengungkapkan
bahwa pelayaran dan perdagangan pribumi juga berkembang dengan pesat.
56

Namun van Leur masih terpengaruh dengan cara pandang bahwa ekonomi Eropa
berkembang dengan baik karena adanya kapitalisme, sedangkan perdagangan pribumi
berekembang secara terbatas.
Kesimpulan dari penelitiannya menunjukkan bahwa kegiatan dan motivasi
ekonomi yang muncul dalam kegiatan pelayaran niaga adalah peeddling trade
(perdagangan penjaja). Peeddling trade adalah perdagangan dengan kapasitas dan ciri-
ciri tertentu. Pertama-tama perdagangan dilkukan dari satu tempat ke tempat lain, dari
pulau ke pulau, dari benua ke benua, dengan membawa sejumlah barang dagangan
tertentu yang tidak besar volumenya. Pedagang tersebut mengunjungi satu pelabuhan ke
pelabuhan yang lain sampai barang dagangannya habis. Tidak terdapat sikap yang
menonjol dalam kapitalisme modern, yaitu investasi modal dari keuntungan. Perbedaan
lainnya adalah bahwa barang dagangannya tidak banyak dibandingkan dengan
kapitalisme modern yang menghasilkan komoditas dalamjumlah massal. Sebab itu tidak
mengherankan bahwa barang yang diperdagangkan hanya barang yang mahal dan
mewah. Sementara itu ada sedikit pedagang besar yang didominasi oleh kaum bangsawan
(merchant gentlement.)
57

Dalam uraian selanjutnya Van Leur menggambarkan ukuran kapal-kapal layar di
Nusantara yang paling besar berbobot 100 ton, di India sekitar 200 ton, dan di Cina
sekitar 600 ton. Namun secara keseluruhan daya muat semua kapal di Nusantara
diperkirakan 50.000 ton.
58
Dengan kaca mata Asia sentris Van Leur berupaya mengkritik

56
Dalam buku yang ditulis oleh Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680:
Tanah di Bawah Angin, Jilid I, Yayasan Obor Indonesia, jakarta, 1992 dan Jilid II Anthony Reid, Dari
Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Yayasan Obor
Indoensia, Jakarta, 1999, membuktikan tentang ramainya perdagangan di Nusantara sejak abad ke-15
sampai abad ke-17
57
RZ. Leirissa, Dr. J.C. Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan Historiografi, dalam
Taufik Abdullah, eds., Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing, PPKB-LP
UI, Depok, 1997, hal. 191
58
Taufik Abdullah, eds., op. cit., hal. 192
71
para sejarawan kolonial yang tidak melihat perdagangan oleh orang Asia termasuk juga
di Nusantara sebagai sesuatu yang otonomyang ada sejak dahulu.
Banyak para sejarawan yang tertarik dengan konsep Van Leur tentang pandangan
Asia sentrisnya, namun tidak mengulas argumennya tentang perdagangan di Asia yang
dia tuliskan. Sebuah buku yang ditulis sejarawan ekonomi Inggris yang berasal dari India
yaitu Dr. K. N. Chauduri
59
mengemukakan konsep emporia trade atau perdagangan
emporium. Penelitian Chauduri ini menyanggah pendapat Van Leur yang mengemukakan
tidak adanya perubahan selama ribuan tahun dalampelayaran niaga di Asia. Menurutnya
sejak abad ke-10 M sudah muncul apa yang dinamakan emporia trade yaitu pelayaran
niaga melalui beberapa kota pelabuhan terbesar seperti Aden, Hormus, Calicut, Malaka,
Kanton, dan sebagainya.Para pedagang Asia berlayar dari satu emporia ke emporia lain
tanpa harus mengarungi seluruh rute perdagangan itu dari Asia Barat sampai ke Cina.
60

Perdagangan seperti itu melahirkan bandar-bandar besar yang memiliki fasilitas yang
memadai untuk persinggahan kapal-kapal besar.
Konsep perdagangan emporia ini menggugurkan konsep Van Leur tentang
perdagangan penjaja. Menurut Chauduri perdagangan penjaja terlalu sederhana untuk
dipakai memahami pelayaran niaga di Asia sebelum abad ke-18. Menurutnya para
pedagang besar atau yang disebut oleh Van Leur sebagai merchant gentlement
merupakan kategori pedagang yang terpenting dan menentukan dalampelayaran emporia.
Namun demikian kita berhutang budi kepada Van Leur karena telah berjasa membuka
cakrawala baru dalampenulisan sejarah di Indonesia.








59
K. N. Chauduri, Trade and Civilisation in The Indian Ocean: An Economic History from the
Rise of Islam to 1750 , Cambritge, Univercity Press, Cambritge, 1989
60
Lihat artikel RZ. Leirissa, Dr. J.C. Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan
Historiografi, dalam Taufik Abdullah, eds., op. cit., hal. 201-202

72

3.2.2. Ekonomi dan perdagangan Maritim Periode Hindia Belanda

Dibangunnya Singapura sebagai pelabuhan membuat pengaruh Inggris dalam
perdagangan di Asia Tenggara meningkat pesat. Antara tahun 1830 sampai akhir 1860-an
pelayaran dagang antara Singapura dan pelabuhan-pelabuhan di Nusantara meningkat
pesat. Mulai dari perahu-perahu keci berbobot 20 ton sampai kapal-kapal yang
bermuatan 200 ton terutama dari Makasar, hilir mudik antara Singapura dan pelabuhan-
pelabuahn di luar pulau Jawa. Rata-rata ada 2000 kapal yang singgah di Singapura
pertahunnya, atau 6 kapal perhari. Dalam periode tersebut jumlah barang yang diangkut
lebih dari 200.000 metrik ton. Pelayaran yang menyinggahi Singapura terdiri atas tiga
jenis, yaitu pelayaran jarak jauh dengan wilayah Eropa, kedua, pelayaran regional Asia
Tenggara dan terakhir pelayaran lokal.
61

Pelabuhan Singapura merupakan yang dipersiapkan secara matang oleh para
pembangunnya sejak 1819, ketika Inggris dan Belanda saling bertukar wilayah. Inggris
melepas Bengkulu dan Belanda memberikan semenanjung Melayu. Pelabuhan Singapura
betul-betul dipersiapkan sebagai bandar besar, atau pelabuhan laut dalam. Kondisi alam
pulau yang pantainya berlumpur menjadikan pekerjaan mengali atau mengorek lumpur
dan menghilangkan batu karang menjadi penting untuk mendapatkan pelabuhan yang
dapat disinggahi kapal-kapal besar, terutama setelah banyaknya kapal-kapal uap yang
berlayar ke Singapura.
62

Pelayaran perahu-perahu Cina juga makin meningkat pada awal abad ke-19,
mereka juga mengganti kapal tradisional mereka, jung, dengan kapal yang bermuatan
lebih besar. Kapal-kapal Cina berdagang dengfan bayak wilayah di Nusantara, terlebih
lagi orang Ciuna sudah sejak berabad yang lampau menjadi pendatang di Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi dan dikota-kota pelabuhan di Nusantara, jumlah mereka sekitar
135.000 orang atau sepersepuluh dari jumlah orang Cina di Asia Tenggara pada tahun

61
J. Thomas Lindblad, The Outer Islands in the Nineteenth Century: Contest for Periphery, dalam
Howard Dick, eds., The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-
2000, edisi draf, Passau, 1999, hal. 97.

62
Hanizah Idris, Pelabuhan Singapura A Port By Design, 1819-1941, Jati, Jurnal Jabatan asia
Tenggara, Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Malaya No.1, 1995, hal.23-25
73
1880. Selain itu perahu-perahu tradisional dari berbagai wilayah kepulauan juga ikut
meramaikan perdagangan interregional, meski muatan yang dibawanya kecil namun jika
ditotal sangat besar volume perdagangannya. Mereka melalui jalur pelayaran dari
daerah pinggirann menuju jalur utama pelayaran. Pelayaran perahu ini masih memainkan
peranan yang penting di perairan Indonesia sampai abad ke-20.
63

Selain itu peran pedagang bugis yang berdagang ke Singapura sangat besar,
bahkan mereka memiliki kampung yang bernama kallang di Singapura. Para pedagang
lokal Singapura secara berkala bertransaksi dengan para pedagang Bugis dalam jumlah
yang besar pada saat-saat tertentu yang mereka beri nama Bugis Season , atau musim
Bugis. Kedatangan perahu-perahu Bugis ini merupakan panen besar bagi para pedagang
lokal, karena mereka membawa sejumlah besar barang yang bisa mereka beli.
64

Sementara itu sejak tahun 1824, pemerintah Belanda mendirikan Nederlansch
Handel-Maatschappij (NHM) atau Perusahaan Perdagangan Belanda. Perusahaan ini
menjadi perusahaan yang memiliki armada kapal yang mengangkut hasil-hasil dari
Hindia Belanda ke Eropa. Kapal-kapal Eropa lainnya juga melakukan hal yang sama,
terutama kapal-kapal Inggris. Perkembngan pelabuhan Singapura membuat pelabuhan
Makasar merosot perannya dalam perdagangan interregional dan regional. Karena
Belanda melarang perdagangan bebas di sini.
Selain itu Inggris juga mendirikan perusahaan pelayaran dengan bendera
Belanda, yaitu Nederlandsch Indie Stoomvaart-Maatschappij (NISM), dan menjadi
perusahaan pelayaran yang disewa pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 1865
sampai 1890. Namun pemerintah Hindia Belanda tidak ingin tergantung dengan
perusahaan tersebut, dan mendirikan perusahaan pelayaraan kerajaan, yaitu, Koninlijk
Paketvaart Maatschappij (KPM). Perusahaan ini kemudian mengambil alih pengiriman
paket pelayaran dari NISM yang telah habis masa kontraknya. KPM ini kemudian
mendapat keistimewaan dari pemerintah, seperti memonopoli pengiriman barang-barang

63
J. Thomas Lindblad, The Outer Islands in the Nineteenth Century: Contest for Periphery, dalam
Howard Dick, eds., The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000,
edisi draf, Passau, 1999, hal. 98.


64
Howard Dick, eds., op.cit.,, hal. 99


74
milik pemerintah, surat dan perjalanan pegawai pemerintah Hindia Belanda. Sejak itu
KPM telah mendominasi pelayaran di Hindia Belanda dengan menyinggahi 225
pelabuhan di seluruh kepulauan Hindia Belanda.
65


3.2.3. Indonesia Pokok-Pokok Kajian Sejarah dan Budaya Masyarakat Maritim di
Indonesia

Kelompok masyarakat maritim ini biasanya tinggal di perkampungan di
sepanjang pantai, teluk atau muara sungai. Mereka hidup dengan cara mengolah hasil laut
dan perdagangan antar pulau atau wilayah. Beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan
bahwa karakter budaya maritim ditentukan oleh enam unsure (Van Leur dan Verhoeven,
1974:5-8), yaitu ;
a. Kedudukan geografinya berupa wilayah daratan yang dekat dengan laut,
b. Bentuk tanah dan pantainya
c. Luas wilayah daratan yang menghasilkan produk-produk komoditi
perdagangan maritim,
d. Jumlah penduduk yang hidup dari mengolah laut
e. Karakter maritimdari penduduk yang tinggal di wilayah tersebut
f. Sifat pemerintah (untuk kasus Indonesia dapat diterapkan ditingkat suku
bangsa, pemerintahan lokal atau pada masa lalu adalah kerajaan atau
kesultanan yang pernah ada pada suatu wilayah) dan lembaga-lembaganya
yang mendukung eksplorasi kearah laut.
Dari enamunsur di atas, kita dapat memetakan suku-suku bangsa manakah di
Indonesia yang memiliki semua atau sebagian dari unsure-unsur tersebut. Kemudian
dilakukan suatu penelitian baik itu yang bersifat pustaka mapun penelitian lapangan yang
menggunakan sumber-sumber sejarah lisan melalui wawancara atau tradisi lisan. Sebagai
upaya untuk memudahkan kajian terhadap masyarakat maritimada baiknya kita lihat
beberapa rujukan berikut.
Dalam aspek kajian sosial budaya maritim dapat meliputi sebagian suku bangsa di
Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya dari

65
Howard Dick, eds., op.cit.,, hal. 111-112

75
mengolah laut maupun menggunakan teknologi perahunya untuk melakukan pelayaran
dan perdagangan maritim. Keseluruhan aspek dari kehidupan dan kegiatan ekonomi
social, budaya dan religi yang terkait dengan dunia maritim ini dapat juga disebut sebagai
etnografi maritim (Sedyawati, 2005: 3-5).
Adapun tema-tema yang dapat dijadikan pokok kajian adalah:
a. Kosmologi dan mitologi yang berkenaan dengan laut. Sebagai contoh adanya
tokoh mitos Sawerigading dalam masyarakat Bugis, yang menjelajahi perairan Nusantara
dengan armada perahunya pada masa lalu, mitos tentang pelayaran nenek moyang orang
Lamalera di Pulau Lembata asal Luwuk, Sulawesi Selatan, yang ikut dalam pelayaran
armada Majapahit ke Maluku dan Nusa Tenggara. (Barnes, 1996)
b. Membuat deskripsi geografi pantai dan laut yang menjadi tempat tinggal
masyarakat maritim, seperti membuat catatan tentang satuan-satuan perairan yang
menjadi wilayah eksplorasi masyarakat maritim, seperti; pantai-pantai, laut lepas, muara-
muara sungai, teluk dan juga sungai-sungai yang menjadi penghubung wilayah
pedalaman (hinterland) dengan daerah pantai, termasuk juga mendeskripsikan iklim
sistemangin dan demografinya.
c. Peralatan untuk membuat perahu atau kapal kayu
d. Aspek kesenian dari budaya masyarakat maritim, seperti karya-karya sastra
berupa tradisi tulis, dan tradisi lisannya, seni tarinya, musik, seni rupa, seni tenunan,
kerajinan dan busana yang terkait dengan tradisi maritim
e. Teknologi perkapalan dan pelayaran, meliputi penggunaan tiang-tiang layar dan
layarnya, bentuk perahu, tonase, persenjataan, peralatan penangkap ikan, sistemnavigasi,
peta, jalur-jalur pelayaran,
f. J enis-jenis kota pelabuhan dan pemukiman-pemukiman suku-suku maritim.
Kota yang menjadi pusat kerajaan maritim hidup dari ekonomi perdagangan dan untuk
mengamankan jalur-jalur pelayarannya, dibentuklah armada angkatan laut. Kota-kota ini
juga harus dideskripsikan segregasinya dan munculnya kampung-kampung ditepi pantai,
akibat adanya pelayaran, perdagangan dan migrasi yang dilakukan oleh suku-suku
maritim, sebagai contoh di Kota Banten lama terdapat kampung Pamarican, dari kata
merica atau lada, yaitu tempat para pedagang merica, Pecinan (tempat tinggal pedagang
76
Cina), Dermayon (tempat tinggal orang Indramayu), di Jakarta terdapat kampung Pekojan
(tempat tinggal penduduk dari anak benua India)
g. Organisasi pelayaran, seperti adanya pembagian tugas kerja dan juga termasuk
pembagian hasil keuntungan yang di Bugis dan Makasar disebut Amanna Gappa. Sistem
pajak dan upeti.
h. Catatan tentang pola pemukiman dan pola migrasi yang terjadi, adanya
bencana alam, seperti tsunami (ibeuna-Aceh), cerita mitos tenggelamnya
pulau Lepan Batan yang menjadi tempat tinggal nenek moyang orang
Lamalera, cerita banjir besar atau tsunami yang menghanyutkan orang Bajo
(berasal dari kata bajo-bajo atau bayang-bayang dari orang-orang yang
terseret air bah atau banjir).
i. Deskripsi tentang pasar-pasar lokal dan J enis-jenis komoditi yang
diperdagangkan oleh mereka, baik produk dari pedalaman atau hasil laut yang
mereka eksplorasi. (Wahyono, 2000). Sebagai contoh lada menjadi mata
dagangan ekspor kerajaan Banjar, sehingga Babad Banjar mencatat bahwa
lada adalah dagangan negri. (Boomgaard, 1997). Selain itu ada contoh upeti
(wase) atau pajak yang dikenakan terhadap jual beli di pasar (pekan) Aceh
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, dalam Hikayat Bustanus
Salatin dikutipkan:
Dan ialah yang memaknakan Bail Um Mal dan uzur negeri Aceh Dar-
us-Salam dan Cukai pekan dan ialah yang sangat murah karunianya akan
segala rakyat dan mengaruniai sedekah akan segala fakir miskin, pada
tiap-tiap berangkat sembahyang Jumat. (Poesponegoro, 1984: 267)

j. Sistemreligi masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut
k. Sistem hak ulayat laut (sea tenure) yang ada dan mekanisme adat yang
mengaturnya terkait sistem pengelolaan sumber daya laut yang
menggambarkan rumitnya usaha adaptasi yang dilakukan manusia dengan
lingkungan laut sekitarnya. Dan juga gambaran tentang kearifan masyarakat
yang melakukan pengaturan untuk tidak merusak laut dan habitatnya.
77
l. Kekuasaan politik yang muncul, baik ditingkat lokal maupun adanya
kesultanan atau kerajaan yang ada.
Sebagai tambahan untuk melakukan kajian untuk mendokumentasikan kehidupan
masyarakat yang bercorak maritime kita dapat mendata beberapa hal yang dikemukakan
oleh David A. Taylor (1992):
1. Tentang berbagai hal yang bersifat tradisi lisan yang ada dalam
masyarakat maritime tersebut, seperti; legendanya, lagu-lagu rakyat,
cerita mitos dan asal usul nama tempat (toponimi)
2. Kemudian tentang kepercayaan-kepercayaan tradisional yang terkait
dunia maritime masyarakat. Misalnya adanya kepercayaan tentang
tahyul, nasib baik dan buruk, tanda-tanda alam yang dapat dipakai
memprediksi cuaca.
3. Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut, berupa
upacara-upacara tradisional memberkati kapal, memulai menangkap
ikan dan upacara ritus peralihan
4. Kebudayaan fisik yang dihasilkan dalam masyarakat tersebut (material
culture), berupa bangunan perahu atau kapal, bagian-bagian
pembentuknya, peralatan penangkap ikan atau produk laut lainnya,
senjata dan lain-lain.
5. Cara dan kebiasaan makan, dan makna makanan tertentu dalam
masyarakat

Pokok-pokok bahasan tersebut tentunya dapat dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan dan juga tingkat keluasan area yang dikaji. Sebagai contoh kita bias melihat
suatu wilayah satuan bahari mulai dari sebuah teluk atau selat yang kecil, muara sungai
sampai satuan bahari yang lebih besar seperti kawasan Laut Jawa, Laut Flores, Selat
Malaka, Selat Makasar, Laut Banda dan lain-lain. Dengan mendata point-poin diatas
diharapkan akan membantu kita yang hendak melakukan kajian peradaban sejarah atas
masyarakat maritime yang sangat dipengaruhi oleh karakteristik geografi dan
wilayahnya.

78

3.3.3.1.Pentingnya Kajian Sejarah Maritim Lokal
Dengan demikian sebetulnya sudah sejak lama sejarah dan kehidupan bahari di
Nusantara itu sudah menyatu sebagai suatu kenyataan yang ada dari abad ke abad.
Namun kenyataan yang ada kajian sejarah bahari masih jauh dari cukup, seperti yang
diungkapkan oleh sejarawan A.B. Lapian dalam pidato guru besarnya yang mengambil
tema Sejarah Nusantara Sejarah Bahari.
66
Sehingga studi tentang sejarah bahari dan
berbagai aspeknya sangat dibutuhkan bagi sebuah rekonstruksi sejarah Indonesia yang
lebih utuh.
Dalam tulisan AB. Lapian, pendekatan sejarah maritim indonesia harus bisa
melihat seluruh wilayah perairannya, sebagai pemersatu yang mengintegrasikan ribuan
pulau yang terpisah-pisah itu. Di samping itu integrasi yang dimaksudkannya bisa
beragam sesuai dengan kondisi geografisnya atau bisa juga dilihat dari sudut politis,
ekonomis, sosial, dan kultural. AB. Lapian juga memberikan pandangan bahwa kajian
tentang sejarah maritimdapat dimulai dari sejarah teluk kecil atau selat yang sempit
sebagai tempat para nelayan mengembangkan kegiatan matapencahariannya. Di samping
itu akibat adanya pengaruh politik dan ekonomi, kajian bisa ditingkatkan lebih luas lagi
dengan melihat selat dan laut yang lebih besar dan ramai oleh perdagangan. Semisal Selat
Makasar, Selat Malaka, Selat Madura, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Sulawesi, dan lain-
lain.
67

Dengan demikian kajian sejarah bahari di Indonesia terdiri atas berbagai macam
satuan bahari atau yang dikenal dengan sea systems. Menurut pandangan AB. Lapian,
heartland atau daerah inti dari sebuah negara kepulauan bukanlah suatu pulau melainkan
suatu wilayah maritim yang sentral letaknya. Dengan pendekatan seperti itu penulisan
sejarah dapat melahirkan deskripsi dan analisa yang baru.
68

Gambaran yang cukup menarik diberikan oleh A.B. Lapian tentang beragam jenis
perahu dan kapal yang bisa dipakai oleh penduduk pribumi di Nusantara. Pilihan untuk
berlayar tersedia banyak jenis sarana, dengan sampan, perahu, jukung, galai, gobang,

66
AB. Lapian, Sejarah Nusantara Sejarah bahari: Pidato Pengukuhan Guru besar Luar Biasa,
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 4 Maret 1992
67
AB. Lapian, op. cit., hal. 5-6
68
AB. Lapian, op. cit., hal. 6-7
79
lancang, lepa-lepa, londe, padewakang, pencalang, pinisi, rah, soppe, wangkang, dan
berbagai sarana angkutan air lainnya. J enis-jenis angkutan laut tersebut ini
mencerminkan kekayaan perbendaharaan alat angkutan yang digunakan untuk
mengadakan hubungan antar pulau. Beberapa di antaranya hanya dikenal dalam
lingkungan sukubangsa tertentu, sedangkan ada jenis perahu yang tersebar di seluruh
Nusantara. Berbagai jenis perahu yang disebut dalam daftar di atas mempunyai tingkat
kelayakan laut yang berbeda-beda.
69

Selain itu kajian sejarah maritim juga membuka kajian yang luas tentang
komunikasi lintas budaya (cross cultural communication) lewat media laut antara satu
komunitas dan komunitas yang lain yang dapat menjadi dasar bagi proses integrasi di
kalangan masyarakat Indonesia. Laut telah menjadi sarana bagi terwujudnya persatuan,
pengangkutan, sarana pertukaran dan hubungan. Meski laut juga merupakan kondisi alam
yang dapat memisahkan kalau masyarakat tidak mengatasinya dengan pembangunan di
bidang teknologi perkapalannya.
70


3.3.3.2. Beberapa pokok Kajian tentang Masyarakat Maritim
71

Kelompok masyarakat maritim ini biasanya tinggal di perkampungan di
sepanjang pantai, teluk atau muara sungai. Mereka hidup dengan cara mengolah hasil laut
dan perdagangan antar pulau atau wilayah. Beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan
bahwa karakter budaya maritim ditentukan oleh enam unsur (Van Leur dan Verhoeven,
1974:5-8), yaitu ;
g. Kedudukan geografinya berupa wilayah daratan yang dekat dengan laut,
h. Bentuk tanah dan pantainya
i. Luas wilayah daratan yang menghasilkan produk-produk komoditi
perdagangan maritim,
j. Jumlah penduduk yang hidup dari mengolah laut
k. Karakter maritimdari penduduk yang tinggal di wilayah tersebut

69
AB. Lapian, Sejarah Nusantara Sejarah bahari: Pidato Pengukuhan Guru besar Luar Biasa,
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 4 Maret 1992, hal.4

70
Singgih Tri Sulistiono, Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, Jakarta, DIKTI, 2004, hal. 7
71
sebagian draft tulisan dikutip dari tulisan Penulis dalam draft Kajian Peradaban Maritim dalam
Buku Pedoman Kajian Geografi Sejarah oleh Agus Aris Munandar dkk, Direktorat Geografi Sejarah,
Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, 2006
80
l. Sifat pemerintah (untuk kasus Indonesia dapat diterapkan ditingkat suku
bangsa, pemerintahan lokal atau pada masa lalu adalah kerajaan atau
kesultanan yang pernah ada pada suatu wilayah) dan lembaga-lembaganya
yang mendukung eksplorasi kearah laut.
Dari enamunsur di atas, kita dapat memetakan suku-suku bangsa manakah di
Indonesia yang memiliki semua atau sebagian dari unsure-unsur tersebut. Kemudian
dilakukan suatu penelitian baik itu yang bersifat pustaka mapun penelitian lapangan yang
menggunakan sumber-sumber sejarah lisan melalui wawancara atau tradisi lisan.
Dalam aspek kajian sosial budaya maritim dapat meliputi sebagian suku bangsa di
Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya dari
mengolah laut maupun menggunakan teknologi perahunya untuk melakukan pelayaran
dan perdagangan maritim. Keseluruhan aspek dari kehidupan dan kegiatan ekonomi
social, budaya dan religi yang terkait dengan dunia maritim ini dapat juga disebut sebagai
etnografi maritim
72


3.3.3.3. Tema Tema Pokok Kajian
a. Kosmologi dan mitologi yang berkenaan dengan laut. Sebagai contoh cerita
mitos tentang pelayaran nenek moyang orang Lamalera di Pulau Lembata asal Luwuk,
Sulawesi Selatan, yang ikut dalam pelayaran armada Majapahit ke Maluku dan Nusa
Tenggara, yang tersurat dalamSyair Asal usul atau Lia Asa Usu. Orang Lamalera
juga memiliki cerita mitos tentang perahu tradisional mereka pertama yang dibuat nenek
moyangnya di pulau Lepanbatan yang kemudian diceritakan tenggelam karena bencana
alam, perahu peledang inilah yang membawa nenek moyang orang Lamalera ke pulau
Lembata.
73
Dalam tradisi lisan yang dikenal oleh masyarakat Roti, mereka mengenal apa
yang disebut dengan tutui teteek (kisah nyata). Dikisahkan adanya seorang nusak

di Tola
Manu (Termanu) yang melawan kompeni Belanda dan juga dikisahkan adanya
keterangan tentang ramainya pelabuhan dagang di Tola Manu. Kisahnya sebagai berikut:

72
Edi Sedyawati, ed, Eksplorasi Sumber Budaya Maritime, Jakarta, Departemen Kelautan dan
Perikanan RI dan PPKB, UI, 2005, hal. 3-5
73
lihat Ambrosius Oleana dan Pieter Tedu Bataona, Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi
Penangkapan Ikan Paus, Depok, Lembaga Galekat Lefo Tanah, 2001 dan R.H. Barnes, Sea Hunters of
Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera, Oxford, Clarendon Press, 1996
81
Pulau Roti menamakan Nusak Tola Manu, Nusak yang membantai
kompeni (Nusa Manatati Koponi). Sebelumnya nusak Tola Manu disebut Koli
Oe do Buna Oe, kemudian dipendekkan menjadi Koli do Buna.Dikatakan
bahwa ketika Koli do Buna masih merupakan pelabuhan besar, perahu dagang
tidak pernah berhenti berdagang mengunjungi Roti dan mereka biasanya berlabuh
di kota Leleuk; orang Buton, Makssar, Solor, Sawu, dan Ndau pergi dan datang.
74


Dengan demikian dari cerita tutui teteek tersebut digambarkan juga adanya
pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Buton, Makassar, Solor,
Sawu dengan menyinggahi pelabuhan di Pulau Roti.
b. Membuat deskripsi geografi pantai dan laut yang menjadi tempat tinggal
masyarakat maritim, seperti membuat catatan tentang satuan-satuan perairan yang
menjadi wilayah eksplorasi masyarakat maritim, seperti; pantai-pantai, laut lepas, muara-
muara sungai, teluk dan juga sungai-sungai yang menjadi penghubung wilayah
pedalaman (hinterland) dengan daerah pantai, termasuk juga mendeskripsikan iklim
sistemangin dan demografinya.
c. Peralatan atau teknologi untuk membuat perahu atau kapal kayu, sebagai
contoh perahu peledang yang dipergunakan oleh para nelayan Lamalera di Pulau
Lembata untuk berburu ikan paus. Perahu peledang ini merupakan perahu besar
sepanjang 9-10 meter dengan lebar 2 meter dan tinggi dinding perahu anatara 1 sampai
1,5 meter. Perahu ini dibangun dari bahan papan kayu (ara blikeng) dengan konstruksi
kuat tanpa menggunakan paku besi tetapi dari pasak kayu dan ikatan rotan.
75
Selain itu di
Selat Sape, sebagai alat transportasi menangkap ikan orang Komodo membuat perahu
atau sampan yang terbuat dari kayu rengo atau kawu puah (bombax ceiba) yang bisa

74
James J. Fox, Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan karangan Mengenai masyarakat Pulau
Roti, Jakarta, Djambatan, 1986, hal. 14, 26, 28
75
lihat R.H. Barnes, Lamalerap: A Whaling Village in Eastern Indonesia, Jurnal Indonesia
(Cornell University), No. 17, April 1974, Lihat juga Ambrosius Oleana dan Pieter Tedu Bataona,
Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus, Depok, Lembaga Galekat Lefo
Tanah, 2001 dan R.H. Barnes, Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera, Oxford,
Clarendon Press, 1996
82
bertahan selama tiga tahun, sedangkan sampan yang dibuat dari kayu pohon woh
(sterculia foetida) bisa bertahan selama sepuluh tahun.
76

d. Aspek kesenian dari budaya masyarakat maritim, seperti karya-karya sastra
berupa tradisi tulis, dan tradisi lisannya, seni tarinya, musik, seni rupa, seni tenunan,
kerajinan dan busana yang terkait dengan tradisi maritim.
e. Teknologi perkapalan dan pelayaran, meliputi penggunaan tiang-tiang layar dan
layarnya, bentuk perahu, tonase, persenjataan, peralatan penangkap ikan, sistemnavigasi,
peta, jalur-jalur pelayaran.
77
Untuk kajian tentang perahu-perahu tradisional lihat juga
karya Horst Liebner, .
78
Untuk jalur-jalur pelayaran yang melewati wilayah utara Nuasa
Tenggara kemudian langsung ke Maluku, kemudian jalur selatan yang menyusuri ke
selatan via selat Lombok menuju bagian selatan Sumbawa kemudian menuju Sumba atau
Ende dan terus ke Kupang.
79

f. J enis-jenis kota pelabuhan dan pemukiman-pemukiman suku-suku maritim.
Kota yang menjadi pusat kerajaan maritim hidup dari ekonomi perdagangan dan untuk
mengamankan jalur-jalur pelayarannya, dibentuklah armada angkatan laut. Kota-kota ini
juga harus dideskripsikan segregasinya dan munculnya kampung-kampung ditepi pantai,
akibat adanya pelayaran, perdagangan dan migrasi yang dilakukan oleh suku-suku
maritim. Di Lombok ada Pelabuhan Labuhan Haji (Saboaji) dan Piju (Picu) di Lombok
Timur, Pelabuhan Ampenan dan Tanjungkarang di Lombok Barat, setiap pelabuhan
dipimpin oleh Subandar (syahbandar).
g. Organisasi pelayaran, seperti adanya pembagian tugas kerja dan juga termasuk
pembagian hasil keuntungan yang di Bugis dan Makasar disebut Amanna Gappa. Di

76
J.A.J. Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasanya, Balai Pustaka, Jakarta, 1987,
hal. 7-9
77
Untuk perkembangan perahu lokal di Nusa Tenggara lihat lihat R.H. Barnes, Lamalerap: A
Whaling Village in Eastern Indonesia, Jurnal Indonesia (Cornell University), No. 17, April 1974, Lihat
juga Ambrosius Oleana dan Pieter Tedu Bataona, Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan
Ikan Paus, Depok, Lembaga Galekat Lefo Tanah, 2001 dan R.H. Barnes, Sea Hunters of Indonesia:
Fishers and Weavers of Lamalera, Oxford, Clarendon Press, 1996, sedangkan orang Bali, Lombok, dan
Sumbawa banyak didatangi oleh para pedagang Bugis dan Makasar yang mempengaruhi penggunaan
perahu mereka pada masyarakat pedagang lokal, namun para pedagang Bugis dan Makasar dengan perahu
padewakang dan pinisinya yang mewarnai pelayaran di Nusa Tenggara, lihat I Putu Suwitha, Perahu Pinisi
di Sunda kecil: Suatu Studi tentang Pola-pola perniagaan Abad XVIII-XIX, dalam Edi Sedyawati dan
Susanto Zuhdi, ed., op. cit.,
78
Lihat Edi Sedyawati, ed, Eksplorasi Sumber Budaya Maritime, Jakarta, Departemen Kelautan
dan Perikanan RI dan PPKB, UI, 2005
79
lihat I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, Penerbit
Djambatan-KITLV, Jakarta, 2002
83
pelabuhan Bima yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Bima di Sumbawa Timur,
pihak kesultanan mengeluarakan Hukum Adat Undang-Undang Bandar Bima yang
memuat aturan-aturan pembayaran bea cukai di bandar Bima, mengatur tentang izin dan
pelayanan kecelakaan pelayaran, mengatur perdagangan di Manggarai, mengatur
perjanjian dengan VOC soal pelayaran dan Perdagangan. Sebagai contoh kapal-kapal
Eropa yang singgah di Bima dikenakan bea 10 real untuk barang dagangan seberat 10
koyan (20 ton), kapal-kapal dari Jawa, yang singgah di Bima akan dikenakan bea 1 real
untuk muatan dagangan senilai 20 real, namun kapal yang hanya singgah tanpa
berdagang selama seminggu tidak dikenakan bea. Undang-Undang ini juga mengatur
larangan berdagang pada siang hari di hari Jumat dan menghukum para pelaut yang
berkelahi ditempat umum. Untuk peraturan yang diterapkan di Manggarai, terutama
dikenakan pada perdagangan dan kepemilikan budak.
80

m. Catatan tentang pola pemukiman dan pola migrasi yang terjadi, adanya
bencana alam, seperti tsunami (ibeuna-Aceh), cerita mitos tenggelamnya pulau Lepan
Batan yang menjadi tempat tinggal nenek moyang orang Lamalera, cerita banjir besar
atau tsunami yang menghanyutkan orang Bajo (berasal dari kata bajo-bajo atau bayang-
bayang dari orang-orang yang terseret air bah atau banjir).
n. Deskripsi tentang pasar-pasar lokal dan Jenis-jenis komoditi yang
diperdagangkan oleh mereka, baik produk dari pedalaman atau hasil laut yang mereka
eksplorasi. Pelabuhan-pelabuhan di wilayah Lombok, Sumbawa, Flores, Timor, Sumba
merupakan pasar-pasar diwilayahnya masing-masing. Perbedaan komoditi yang khas
diantara pelabuhan-pelabuhan tersebut kemudian memunculkan pertukaran baik ditingkat
lokal maupun regional, bahkan ditingkat global. Sebagai contoh Pulau Sumbawa sudah
dikenal lama sebagai penghasil kayu sapan yang banyak tumbuh baik di Sumbawa Barat
(Alas, Utan), Dompo, Sanggar, Dompo dan Bima. Kayu sapan (Caesalpinia Sappan) atau
kayu Brazil dapat tumbuh antara 5-10 meter dan tumbuh liar dihutan-hutan di Sumbawa.
Dalam bahasa Melayu kayu ini dinamakan sepang, dan perahu yang dibuat dari kayu
sapan ini disebut dengan sampan. Kayu ini sudah lama dikenal sebagai bahan pembuat
perahu karena sifat kayunya yang keras, dan memiliki daya tahan di dalam air laut. Selain

80
Siti Maryam R. Salahudin (penyunting), Hukum Adat Undang-Undang Bandar Bima,
Mataram, Lengge, 2004
84
untuk pasak kayu, perabot rumah tangga, kayu ini juga dipakai untuk pewarna merah
terbaik bagi tekstil, kertas dan cat oleh orang Cina, India dan Eropa. Tidak heran kayu
sapan banyak dicari oleh para pedagang lokal maupun dari Asia dan Eropa. Daerah
penghasil kayu sapan yang lain adalah di Siam (Thailand) dan Philipina. Bahkan menurut
catatan orang Portugis, Tome Pires (1513) melaporkan bahwa,Pulau Bima (sic)
menghasilkan kayu Brazil (sapan-penulis) yang dijual ke Malaka, karena laku dipasaran
Cina. Kayu ima Brazil tipis dan kalah bersaing dengan Siam. Sudah sejak awal
Perhimpunan Dagang Hindia Timur (VOC) membeli kayu sapan ini untuk
diperdagangkan ke wilayah lain, bahkan sejak perjanjian Bungaya 1667, Kesultanan
Bima tidak boleh menjual kayu sapan selain ke VOC, kecuali jalur lain melalui
perdagangan gelap. Pada tahun 1627 di negeri belanda harga kayu sapan bisa mencapai f
48-58 per 49,5 kg. Sedangkan saat itu harga lada hanya f 24 per 49,5 kg. Sejak saat itu
kayu sapan banyak dibeli oleh VOC melalui para Sultan di Sumbawa Besar, Dompo dan
Bima, namun eksploitasi ini berakibat makin menyusutnya hutan sapan pada abad ke-
19.
81

Perdagangan opium (candu) juga merupakan komoditi perdagangan yang cukup
ramai diperdagangkan, meski Sultan Mataram(Lombok) melarang rakyatnya memakai
candu. Candu banyak diperdagangkan di Bali, Lombok, Sumbawa sampai ke Timor.
Kebanyakan candu didatangkan oleh pedagang Eropa, Bugis, Makasar dari Singapura.
Dengan harga f 10.000 per peti atau f 100 per kati (o,6 kg). Pada abad XIX, Pelabuhan
Padangbai di Karangasem, pelabuhan Tuban di Badung, candu dijual bebas di pasar.
Sementara itu di Sumbawa Besar dan Bima ada larangan berdagang candu oleh Sultan,
namun candu beredar lewat pasar gelap bahkan laporan pejabat Belandapada abad XIX
banyak pejabat kerajaan yang ikut mencandu.
82

Perdagangan budak juga merupakan komoditi perdagangan yang sudah marak sejak
abad ke-16. Sumber utama budak terutama didatangkan dari wilayah Nusa Tenggara

81
Bernice de Jong Boers, Sustainability and Time perspectives in Natural Resource
Management: Exploitation of Sappan Trees in the Forest of Sumbawa, Indonesia 1500-1875, dalam
Boomgaard, Peter, et.al.eds., Paper Landscapes: Explorations In The Environmental History of Indonesia,
Leiden, KITLV, 1997

82
I Gde Parimartha, opium dalam Sejarah di Nusa Tenggara Barat, dalam Edi Sedyawati dan
Susanto Zuhdi, eds, Arung Samudera: Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian, Depok,
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, LPUI, 2001
85
(Bali, Lombok, sumbawa, Manggarai, Flores, Sumba, Rote, Sawu dan timor). Banyak
kajian-kajian yang menggambarkan bahwa perdagangan budak sejak abad ke-16 sampai
awal bad ke-19 adalah lumrah, sebelumInggris dan Belanda kemudian melarangnya pada
pertengahan abad ke-19. Sebagai contoh Pulau bali merupakan penyedia budak yang
sangat besar bagi VOC di Batavia, mereka dipekerjakan di perkebunan tebu disekitar
Batavia, sebagai tukang, dan juga direkrut sebagai serdadu. Pada tahun 1673 ada 27.068
budak dan 1681 ada 30.740 budak yang berasal dari kepulauan Indonesia Timur. Para
Raja dan Sultan menjadi pihak yang mengorganisasikan perdagangan budak. Bahkan
para pelaut Bugis dan Makasar mencari budak dengan cara menculik penduduk dengan
melakukan serangan bersenjata ke Tambora, Dompu, Manggarai, sepanjang pantai utara
Flores dan Sumba. Menurut laporan pelaut Portugis, Duarte Barbosa tahun 1516
menceritakan bahwa kapal-kapal yang datang dari arah Indonesia Timur menuju Jawa
dan Malaka tidak hanya membawa muatan cendana, kuda, madu, lilin dan lada tetapi juga
budak.
83

Selain itu sejak abad XVIII diwilayah Nusa Tenggara menjadi ramai oleh kehadiran
kapal-kapal Bugis dan Makasar yang mencari tripang (Holothuria), produk laut yang
sangat mahal harganya dipasaran Cina. Selain dihasilkan di perairan Sumbawa, Flores,
Sumba, Rote dan Timor. Pelaut Bugis dan makasar juga berlayar ke perairan utara
australia untuk mencari tripang. Untuk kajian lebih jauh lihat tulisan C.C. Macknight, AA
Cense, HJ. Heeren dan Heather Sutherland.
84

o. Sistemreligi masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut
p. Sistem hak ulayat laut (sea tenure) yang ada dan mekanisme adat yang
mengaturnya terkait sistempengelolaan sumber daya laut yang menggambarkan rumitnya
usaha adaptasi yang dilakukan manusia dengan lingkungan laut sekitarnya. Dan juga

83
lihat I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, Penerbit
Djambatan-KITLV, Jakarta, 2002, lihat Alfons de Kraan, Bali: slavery and Slave Trade, dan Heather
Sutherland, Slavery and The Slave Trde in South Sulawesi 1660s-1800s, dalam Anthony reid, ed,
Slavery, Bondage & Dependency in Southeast asia, St Lusia, University of Qoueensland Press, lihat juga
Rodney Needham,Sumba and The slave Trade, makalah seminar Center for comparative Studies on
Southeast asia, Oxford, Januari 1983, working Paper No. 31.
84
Lihat C.C. Macknight, The Voyage to Marege: Macassar Trepangers in Northern Australia, Melbourne
University Press, 1976, lihat juga Heather Sutherland, Trepang and Wangkang: China Trade of
Eighteenth-Century Makassar c. 1720s-1840s, Bijdragen tot de Taal Land En Volkenkunde (BKI), Deel
156.3, tahun 2000., lihat juga A.A. Cense dan H.J. Heeren, Pelajaran dan Pengaruh Kebudajaan Makasar-
Bugis di Pantai Utara Australia, Bhratara, Jakarta, 1972

86
gambaran tentang kearifan masyarakat yang melakukan pengaturan untuk tidak merusak
laut dan habitatnya.
q. Kekuasaan politik yang muncul, baik ditingkat lokal maupun adanya
kesultanan atau kerajaan yang ada. (Kerajaan-kerajaan di Bali, Kesultanan di Lombok,
Sumbawa, Kerajaan-kerajaan di Flores dan Timor) sebagai contoh Kerajaan Lombok
yang menjadi kaya karena perdagangan beras. Para penguasa di Lombok menjadi kaya
dan makmur bukan karena aktifitas ekonomi dan perdagangan yang mereka jalankan
namun hasil dari pajak yang mereka tarik dari para petani. Kekuatan politiklah yang
menjadikan mereka kaya. Selain itu kekayaan Raja Lombok juga berasal dari kontrol atas
dua pelabuhan, yaitu Ampenan di barat dan Labuhanhaji di timur. Banyaknya pedagang
Arab dan Cina yang datang membuat perdagangan menjadi ramai dan raja memungut
cukai atas perdagangan. Menurut van Der Kraan dalam bukunya, Lombok: Conquest,
Colonization and Underdevelopment 1870-1940, disebutkan bahwa penghasilan yang
diterima Raja Lombok karena mengontrol pelabuhan dan perdagangan sekitar f. 126.625
pertahun.
85

Peningkatan produksi beras di Nusa Tenggara pada abad ke-19, memicu
perdagangan beras yang ramai, terutama mengeksportnya kedaerah lainnya di Nusa
Tenggra di mana tanah sawah sangat sedikit. Di Lombok pada abad ke-19, termasuk
daerah yang cukup subur dengan luas sawah irigasi lebih dari 25.000 Ha dan lebih dari
45.000 Ha sawah tadah hujan. Sehingga Lombok merupakan daerah dengan hasil beras
yang melimpah. Pada tahun 1890, Lombok mengeksport beras seharga 20.000
rijksdaalder, minyak kelapa 600 rijksdaalder, dan tembakau 13.000 rijksdaalder. Serta
mengimpor opiumseharga 4200 rijsdaalde, tekstil 3200 rijksdaalder dan Arak dan Brendi
senilai 900 rijsdaalder.
86
Selain itu juga kuda dan teripang merupakan mata dagangan
ekspor dari Lombok.
Barang-barang tersebut seringkali dipertukarkan dengan produk-produk tekstil,
senjata, porselaian, sutera dan juga opium. Perdagangan opium di Lombok berasal dari
para pedagang Inggris, Belanda dan Bugis sejak tahun 1840-an. Perdagangan ini
dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena raja Lombok melarang pemakaian opium,

85
Alfons van der Kraan, Lombok: Conquest, Colonization and Underdevelopment 1870-1940,
ASAA, Singapore-Heinemann Educational Books (Asia) Ltd, 1980, hal. 11
86
Alfons van der Kraan, op.cit., hal. 11-12
87
meski dia mempunyai pabrik pengolahan opium di Bali yang dikerjakan oleh orang Cina.
Bisnis opium ini memberikan keuntungan yang besar bagi raja, karena banyak orang
Cina dan Bali menghisap opium atau candu.

Penutup
Uraian yang singkat dari makalah pengantar diskusi ini dengan contoh-contoh
kasus penelitian sejarah maritim lokal tersebut tentunya sangat tidak memadai, namun
begitu beberapa contoh diatas dapat dijadikan awal dari kajian sejarah maritim lokal yang
lebih jauh dan lebih mendalamlagi seperti yang kami kutip dari sumber karya-karya
sejarawan dan antropolog yang telah menuliskannya. Semoga makalah ini dapat menjadi
pemiju penelitian lebih lanjut. Untuk itu saran dan kritik akan saya terima dengan senang
hati


3.2.4. Indonesia Pokok-Pokok Kajian Sejarah dan Budaya Masyarakat Petani-Sawah
atau Masyarakat Agraris
Peradaban masyarakat agraris dapat dijumpai diseluruh dunia, baik dalam
lingkungan tropis, sub-tropis maupun lingkungan dingin. Untuk wilayah Indonesia,
sistembercocok tanampadi sawah atau agraris ini umumnya terdapat di Jawa dan Bali,
juga terdapat dibeberapa wilayah di Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Selatan,
Lombok dan Sumbawa. Peradaban agraris telah melahirkan peradaban yang maju di Jawa
dan bali, hal ini dapat kita lihat dari peninggalan-peninggalan yang sangat maju dari sisa-
sisa kerajaan MataramHindu, Syailendra, Kediri, Majapahit, Pajajaran dan banyaknya
kerajaan yang muncul dan berkembang di Bali sejak abad ke-10 sampai awal abad ke-20.
kajian tentang sejarah Pertanian dan pedesaan juga bisa dilakukan sejak masuknya
bangsa Barat, terutama eksploitasi kolonial Belanda yang sejak awal abad ke-19
memberlakukan kebijakan Cultuur Stelsel atau sistem perkebunan yang dipaksakan
kepada penduduk Jawa dan Sumatera sebagai kewajiban membayar pajak. Sedangkan
sejak tahun 1870, sejak dikeluarkan UU Agraria memunculkan sistem perkebunan swasta
(ekonomi liberal) yang sangat mempengaruhi perubahan masyarakat terutama di Jawa
dan Sumatera. Kajian juga dapat dilanjutkan dari masa kemerdekaan sampai saat ini.
88
Seperti halnya dengan kajian peradaban maritim, maka kajian peradaban agraris
juga dapat dilakukan dengan mendata poin-poin di bawah ini, dengan catatan bahwa
setiap wilayah dengan pengaruh lingkungan geografi tertentu dapat berbeda antara satu
tempat dengan tempat yang lain. Beberapa hal yang bisa dijadikan bahan untuk
direkonstruksi adalah;
a. Legenda tentang asal-usul masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.
Sebagai contoh penduduk pertama pulau Jawa adalah kedatangan bangsa Rum
dan para penguasa Jawa berasal dari dewa-dewa Hindu dan nabi-nabi Islam,
atau Orang Bali yang percaya mereka keturunan masyarakat kerajaan
majapahit dari Jawa Timur.
b. Deskripsi demografi (kependudukan)
Membuat deskripsi geografi yang menjadi tempat tinggal masyarakat agraris,
seperti membuat catatan tentang satuan-satuan tanah yang dijadikan areal persawahan,
karena setiap wilayah memiliki nama-nama yang khas bagi peruntukan tanah.
c. Upacara ritus peralihan atau upacara yang dilakukan ketika kelahiran sampai
pasca kematian warga penduduk tersebut.
d. Religi masyarakat di wilayah tersebut dan upacara terkait kegiatan bercocok
tanam
e. Kosmologi dan mitologi yang berkenaan dengan masyarakat agraris. Cerita
tentang Dewi Sri yang dipuja sebagai dewi kesuburan di Jawa dan Bali, juga ditempat-
tempat lain ada juga kepercayaan tentang dewi padi.
f. Peralatan yang diperlukan untuk mengolah tanah dan bercocok tanam.
g. Aspek kesenian dari budaya masyarakat agraris, seperti karya-karya sastra
berupa tradisi tulis, dan tradisi lisannya, mantra-mantra, seni tarinya, musik, seni rupa
dan busana (kain batik dengan beragammotifnya) yang terkait dengan tradisi agraris.
h. Teknologi yang dipakai untuk mengolah tanah, pada saat panen dan pasca
panen. Termasuk juga peralatanyang dihasilkan, peralatan membuat tekstil atau tenunan
i. Perkembangan kota-kota di pedalaman yang ekonominya bertumpu pada
ekonomi pertanian atau agraris. Dijelaskan masalah demografinya (kependudukannya),
aspek pelapisan sosial penduduknya (bangsawan, priyayi, orang bebas (to maradeka
dalam masyarakat Bugis dan Makasar) aspek sosial dan militernya yang bertumpu pada
89
kekuatan prajurit darat, dan juga segregasi(pembagian atau pemisahan) penduduk
berdasarkan etnis atau profesinya, misalnya di kota-kota dipedalaman Jawa Tengah
terdapat kampung pandean (tukang pande besi/kerajinan), pejagalan (tempat
pemotongan hewan, tamtaman (kampung prajurit), loji (tempat tinggal orang Eropa),
kauman (kampung santri) dan lain-lain.
j. Pertumbuhan pasar-pasar desa, di Jawa dikenal hari pasaran (buka pasar pada
hari tertentu)., seperti Pon, Wage, Kliwon, Paing dan Legi (di Sunda disebut
Manis).
k. Munculnya kekuasaan politik lokal sampai kerajaan Besar seperti Majapahit,
mataramIslam, dan banyak kerajaan di Bali.
l. Sistem pertanian dan Kehidupan petani sebelum dan sesudah kedatangan
Bangsa Barat, sampai abad ke-18.
m. Pengaruh sistem cultuur stel sel dan sistem ekonomi liberal terhadap
kehidupan masyarakat petani di J awa dan Sumatera.
n. Jenis-jenis alat transportasi di daerah pertanian dan perkebunan, penggunaan
gerobak sapi, bahkan di Jawa Tengah sejak akhir tahun 1860-an sudah dikenal
transportasi kereta api yang menghubungkan Semarang-Solo-Yogyakarta.
o. Sistempemerintahan di wilayah swapraja (Vorstenlanden) di Yogyakarta dan
Surakarta. Termasuk hubungan antara tuan tanah (bangsawan, priyayi) dengan
para cacahnya (petani penggarap), sistempajak atau upeti dan sistem bagi
hasilnya.
p. Pemberontakan yang dilakukan oleh petani terhadap kekuasaan kolonial yang
yang menekan mereka dan fenomena perbanditan atau kejahatan sosial di
pedesaan (Kartodirdjo, 1983 dan Suhartono, 1991).
Sebagai tambahan untuk melakukan kajian untuk mendokumentasikan kehidupan
masyarakat yang bercorak agraris, dapat dilakukan dengan menadaptasikan kajian yang
dilakukan David A. Taylor (1992), yaitu:
1. Tentang berbagai hal yang bersifat tradisi lisan yang ada dalammasyarakat
agraris tersebut, seperti; legendanya, lagu-lagu rakyat, cerita mitos dan asal
usul nama tempat (toponimi)
90
2. Kemudian tentang kepercayaan-kepercayaan tradisional yang terkait dunia
agraris. Misalnya adanya kepercayaan tentang tahyul, nasib baik dan buruk,
keberhasilan atau kegagalan panen, tanda-tanda alam yang dapat dipakai
memprediksi cuaca.
3. Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut, berupa upacara-
upacara tradisional ketika memulai menanam, memelihara, pada masa panen,
oragnisasi adat yang mengurusi pertanian (contoh subak di Bali), maupun
pasca panen. dan upacara ritus peralihan
4. Kebudayaan fisik yang dihasilkan dalam masyarakat tersebut (material
culture), berupa bangunan rumah tinggal, lumbung, bekas istana-istana
kerajaan, pola perkampungan, bangunan irigasi,
5. Cara dan kebiasaan makan, dan makna makanan tertentu dalam masyarakat.



















91
DAFTAR SUMBER


Alimuddin, Muhammad Ridwan, Orang Mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari
Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman, Jakarta, KPG-Yayasan
Adikarya IKAPI, 2005

Asnan, Gusti, Dari sungai ke Jalan Raya: Perubahan Sosial-Ekonomi di Daerah
Perbatasan Sumatra Barat-Riau pada awal Abad XX dalam Edi Sedyawati dan
Susanto Zuhdi, eds, Arung Samudera: Persembahan Memperingati Sembilan
Windu A.B. Lapian, Depok, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, LPUI,
2001

Barnes, R.H., Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera, Oxford,
Clarendon Press, 1996

Braudel, Fernand, The Mediterranean and The Mediterranean World in the Age of Phillip
II, vol. I, New York, Fontana /Collins, Harper & Row, fourth edition, 1981

Boomgaard, Peter, et.al.eds., Paper Landscapes: Explorations In The Environmental
History of Indonesia, Leiden, KITLV, 1997

Burke, Peter, The French Historical Revolution: The Annales School, 1929-1989,
Stanford: Stanford University Press. 1990 .


Daldjoeni, N. Seluk beluk Masyarakat Kota, 1978

Fox, James J., Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Rote
dan Sawu, Jakarta, Sinar Harapan, 1996

Geertz, Clifford, Santri Abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Pustaka Jaya,
1983

Iskandar, Johan, Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari daerah Baduy
Banten selatan, Jawa Barat, Jakarta, Djambatan, 1992

Kana, Niko L., Dunia Orang Sawu, Jakarta, Sinar Harapan, 1983

Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustaka Jaya, 1984

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Jilid I dan II, Jakarta, Rineka Cipta, 1998

Lapian, A.B., Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Pada
Abad XIX, Disertasi pada Universitas Gadjah Mada, 20 April 1987

92
van Leur, J.C. dan F.R.J. Verhoeven, Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia,
Bhratara, 1974

Liebner, Horst H., Perahu-Perahu Tradisional Nusantara: Suatu Tinjauan Sejarah
Perkapalan dan Pelayaran dalamEdi Sedyawati,Kajian Maritim Aspek Sosial-
Budaya Ragam dan Peluangnya, dalam Edi sedyawati, ed., Eksplorasi Sumber
Budaya Maritim, Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan RI dan PPKB-
DRPM Universitas Indonesia, 2005

Lohanda, Mona, Bekerja dengan Sumber Sejarah: sebuah pengalaman Intelektual.

Lombard, Dennis, Nusa Jawa Silang Budaya, J ilid I Batas-Batas Pembaratan, J ilid II
Jaringan Asia, J ilid III Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, Jakarta, Gramedia,
1996

Melalatoa, Junus, Sistem Budaya Indonesia, Jakarta, Pamator, 1997

Pelras, Christian, Manusia Bugis, Jakarta, ForumJ akarta-Paris, EFEO, 2006

Poesponegoro, Marwati Djoened. Eds., Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Jakarta,
Balai Pustaka, 1984

Rahardjo, Supratikno, Peradaban Jawa Abad ke-8 Sampai dengan Abad ke-15: Sebuah
Kajian Tentang Dinamika Pranata-Pranata Politik, Agama dan Ekonomi, Jawa
Kuno, Jakarta, Komunitas Bambu, 2002

Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jilid I, Tanah di Bawah
Angin, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1992

__________, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara 1450-1680, Yayasan Obor Indonesia, 1999

Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi, eds, Arung Samudera: Persembahan Memperingati
Sembilan Windu A.B. Lapian, Depok, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya, LPUI, 2001

Sedyawati, Edi ed., Eksplorasi Sumber Budaya Maritim, Jakarta, Departemen Kelautan
dan Perikanan RI dan PPKB-DRPM Universitas Indonesia, 2005,

Soedjatmoko, Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta, Gramedia, 1995


Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1930,
Yogyakarta, Tiara wacana, 1991


93
Wangania, J., Jenis-Jenis Perahu di Pantai Utara Jawa Madura, Jakarta, Ditjen
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980/1981

Wahyono, Ary, dkk, Hak Ulayat laut di Kawasan Timur Indonesia, Yogyakarta, Media
Pressindo, 2000

Anda mungkin juga menyukai