Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Praktik Pemberian Makan pada Anak
Praktek pemberian makan pada anak adalah perbuatan atau tindakan nyata
ibu dalam memberikan makan kepada anak (Kartini, 2008). Untuk anak yang
berusia 12-36 bulan, masih diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI).
Makan merupakan suatu keterampilan sehingga perlu dilatih. Terdapat berbagai
macam faktor yang mempengaruhi keterampilan makan yaitu waktu pertama kali
pemberian makan pendamping ASI (MP-ASI), kemampuan pengenalan bentuk
makanan, waktu pengenalan rumah tangga serta variasi makanan, dan adanya
unsur pemaksaan makanan tertentu (Health Odyssey International, 2011).
Pemberian MP-ASI yang benar membutuhkan informasi dan keterampilan
dari keluarga dan petugas kesehatan. Malnutrisi seringkali tidak disebabkan oleh
kekurangan makanan, melainkan karena pengetahuan yang rendah mengenai cara
penyiapan makanan dan praktek pemberian makan yang benar (WHO,2003).
Menurut Husaini (2000), perilaku ibu dalam memberi makan,mencakup jadwal
pemberian makan dan lamanya makan yang baik; pengaturan lingkungan yang
kondusif untuk anak makan; sampai prosedur pemberian makan, baik dari jumlah
porsi maupun urutan pemberian makan dapat membuat status gizi anak menjadi
baik. Sedangkan ketidaktepatan tata cara pemberian makan ini dengan sendirinya
menimbulkan masalah atau kesulitan dalam pemberian makan bayi dan anak.

2.1.1. Pengertian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang
mengandung zat gizi, yakni makanan pelengkap, makanan tambahan, makanan
padat, makanan sapihan, weaning food, makanan peralihan, beiskot (istilah dalam
bahasa jerman yang berarti makanan selain dari susu yang diberikan kepada bayi).



2.1.2. Usia Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus disesuaikan dengan usia anak.
Tahapan-tahapannya adalah :
1. Usia 0-6 bulan
Bayi hanya diberikan ASI saja. Lebih sering lebih baik karena ASI
mengandung antibodi yang dibutuhkan oleh tubuh, serta sangat baik untuk
perkembangan otak bayi.
2. Usia 6-9 bulan
Bayi telah diberikan makanan pendamping, karena alat cerna sudah
berfungsi dengan baik. makanan yang cocok diberikan di antaranya bubur
susu, nasi tim, tepung beras, bubur encer, pisang lumat, pepaya lumat.
3. Usia 9-12 bulan
Pada tahap ini, bayi yang telah diberikan ASI dan MP-ASI mulai
diperkenalkan dengan makanan keluarga seperti bubur dan nasi secara
bertahap dengan takaran yang cukup.
4. Usia 12-24 bulan
Frekuensi pemberian ASI dikurangi sedikit demi sedikit. Makanan
diberikan sekurang-kurangnya tiga kali sehari dengan besar porsi adalah
separuh dari makanan orang dewasa. Berikan makanan selingan dua kali
sehari.

2.1.3. Syarat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Dalam memberikan makanan pendamping ASI untuk anak, harus dipenuhi
syarat untuk memastikan bahwa kebutuhan nutrisi terpenuhi. MP-ASI tersebut
harus memenuhi syarat sebagai berikut (WHO,2003):
1. Makanan yang diberikan dapat memenuhi kebutuhannya, terutama zat besi,
protein, kalsium, vitamin A,B,C,D, dan K.
2. Bersih dan aman. Ini berarti makanan sebagai MP-ASI harus terbebas dari
organisme patogen dan bahan kimia berbahaya. MP-ASI juga harus disajikan
sesuai umur tahapan perkembangan agar mudah dicerna, kemudian disajikan
tidak terlalu panas, dan tidak terlalu pedas.
3. Diberikan pada waktu yang tepat, artinya MP-ASI diberikan pada saat
kebutuhan nutrisi dan energi tidak terpenuhi lagi dari ASI eksklusif.
4. Pemberian makan dengan cara yang benar, mencakup jadwal pemberian
makan yang teratur untuk melatih anak merasakan sinyal lapar dan kenyang
dan teknik pemberian makan sesuai usia, misalnya pemberian finger food
untuk bayi dan mendorong anak batita untuk makan sendiri.

2.1.4. Faktor faktor yang Memengaruhi Pemberian MP-ASI

Beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian makanan pendamping ASI
yaitu tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan penduduk, sosial ekonomi, begitu
pula faktor kebudayaan, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat yang turun
temurun mengenai pemberian MP-ASI pada bayi.

1. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap subyek tertentu (Notoatmojo, 2000). Pengetahuan ibu
adalah faktor yang penting dalam pemberian makanan tambahan pada bayi karena
dengan pengetahuan yang baik, ibu tahu kapan waktu pemberian makanan yang
tepat. Pengetahuan dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan orang lain,
media cetak media elektronik, atau penyuluhan-penyuluhan. Pengetahuan
didukung oleh pendidikan karena pendidikan merupakan suatu proses untuk
mengembangkan semua aspek kepribadian manusia meliputi pengetahuan, nilai,
sikap, dan keterampilan sehingga terjadi perubahan perilaku yang positif.
Pemberian MP-ASI yang benar membutuhkan informasi dan keterampilan
dari keluarga dan petugas kesehatan. Malnutrisi seringkali tidak disebabkan oleh
kekurangan makanan, melainkan karena pengetahuan yang rendah mengenai cara
penyiapan makanan dan praktik pemberian makan yang benar. (WHO, 2003)



2. Tingkat pendidikan
Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian,
mengembangkan pengetahuan jasmani dan rohani agar mampu melaksanakan
tugas.
Pendidikan bukan sekedar usaha pemberian informasi dan keterampilan
tetapi diperluas ruang lingkupnya sehingga mencakup usaha mewujudkan
kehidupan pribadi sosial yang memuaskan. Makin tinggi tingkat pendidikan,
pengetahuan, dan keterampilan, maka terdapat kemungkinan makin baik tingkat
ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, makin mengerti
waktu yang tepat memberikan makanan tambahan bagi bayi serta mengerti
dampak yang ditimbulkan jika makanan tersebut diberikan terlalu dini. Ibu yang
berpendidikan akan memahami informasi dengan baik penjelasan yang diberikan
oleh petugas kesehatan, selain itu tidak akan terpengaruh dengan informasi yang
tidak jelas.

3. Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi berhubungan erat dengan pekerjaan dan pendapatan
orang tua yang nantinya bepengaruh terhadap konsumsi energi. Ibu yang bekerja
akan berpengaruh terhadap pola asuh anak, ibu menjadi kurang perhatian dan
kurang dekat dengan anak karena sebagian besar waktu siang digunakan untuk
bekerja di luar rumah.
Orang tua yang mempunyai pendapatan tinggi akan mempunyai daya beli
yang lebih tinggi pula, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk
memilih berbagai jenis makanan. Adanya peluang tersebut mengakibatkan
pemilihan jenis makanan dan jumlah makanan tidak lagi didasarkan pada
kebutuhan dan pertimbangan kesehatan, termasuk pada pemberian makanan
pendamping ASI bagi bayi.

2.2. Masalah Makan
Masalah makan ditandai dengan selektivitas atau pilih-pilih makan yang
ekstrim. Pemilihan makanan didasarkan pada jenis, tekstur, merek, bentuk, atau
warna. Permasalahan ini berpotensi untuk memengaruhi hubungan antara anak
dan orang tua saat pemberian makan serta menghambat pertumbuhan dan
perkembangan kognitif.

2.2.1. Klasifikasi Masalah Makan
Telah banyak klasifikasi masalah makan yang telah diajukan, di antaranya
adalah menurut DSM IV, Bonnin, Chatoor, dan UKK nutrisi dan penyakit
metabolik.

2.2.2. Klasifikasi Masalah Makan Menurut DSM IV
Masalah makan pada DSM IV dinamai sebagai Feeding and Eating
Disorders of Infancy and Early Childhood dan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Feeding disorders of Infancy and Early Childhood
2. Pika
3. Ruminasi

2.2.3. Klasifikasi Masalah Makan Menurut Bonnin
Bonnin mengelompokkan masalah makan secara umum menjadi tiga
kelompok besar, yaitu :
1. Abnormalitas struktural
Abnormalitas struktural meliputi abnormalitas pada naso-orofaring (atresia
koana, bibir sumbing, makroglosia, ankiloglosia), laring-trakea (laryngeal
cleft, kista laring, stenosis subglotis, laringotrakeomalasia) dan esophagus
(fistula esophageal, atresia/stenosis esophagus, striktur esophagus, cincin
vaskular).
2. Kelainan neurodevelopmental
Kelainan meliputi palsi serebral, malformasi Arnold-Chiari,
meningomielokel, disautonomia familial, distrofi muskular, miastenia gravis,
distrofi okulofaringeal.
3. Masalah perilaku makan

2.2.4. Klasifikasi Masalah Makan Menurut Chatoor
Chatoor mengelompokkan masalah makan dengan menitikberatkan pada
aspek perilaku makan. Terdapat enam kelompok, yaitu :
1. Feeding disorder of state regulation (0-2 bulan)
2. Feeding disorder of reciprocity (2-6 bulan)
3. Infantile anorexia (6 bulan 3 tahun)
4. Sensory food aversions
5. Feeding disorder associated with concurrent medical condition
6. Posttrumatic feeding disorder


2.2.5. Klasifikasi Masalah Makan Berdasarkan UKK Nutrisi dan Penyakit
Metabolik
Klasifikasi disusun berdasarkan gabungan klasifikasi Chatoor, dan etiologi
lain yang tidak ada namun cukup banyak ditemukan di Indonesia, yaitu
inappropriate feeding practice (sekitar 30%). Klasifikasi masalah makan beserta
karakteristiknya dirangkum dalam tabel 1. Dapat ditemukan lebih dari satu
penyebab masalah makan pada seorang anak.

Tabel 1. Klasifikasi Masalah Makan pada Batita
Klasifikasi Karakteristik Status Gizi
Anoreksia
Infantil
Onset penolakan makan terjadi sejak bayi
atau saat transisi pemberian makan
menggunakan sendok
Menolak makan semua jenis makanan
selama minimal 1 bulan
Tidak ada peristiwa traumatik terhadap
orofarings sebelumnya
Tidak ada underlying medical illness
Anak mungkin lebih suka bermain atau bicara
daripada makan
Gizi kurang/
buruk
Gagal
tumbuh
Sensory food
aversion
Menolak makanan tertentu secara konsisten
karena rasa, tekstur, atau bau selama minimal
1 bulan tetapi menerima dengan baik bila
ditawarkan makanan tertentu
Tidak ada peristiwa traumatik terhadap
orofaring sebelumnya
Tidak berhubungan dengan alergi makanan
Tidak ada underlying medical illness
Mungkin terdapat defisiensi mikronutrien
spesifik
Mungkin terdapat keterlambatan bicara
ekspresif
Gizi baik
Gizi kurang
Posttraumatic
feeding
disorder
Onset penolakan makan dapat terjadi pada
usia kapanpun
Terdapat riwayat trauma terhadap orofarings
(misalnya sonde, suctioning, intubasi,
pemaksaan makan, tersedak, muntah)
Menolak makanan padat karena riwayat
trauma (muntah) tapi mungkin mau menerima
susu atau makanan lumat
Penolakan terhadap makanan bila melihat atau
berdekatan dengan alat-alat makan (sendok,
garpu, botol, orang yang biasa memberi
makan)
Takut/menghindar/menangis/tidak mau
membuka mulut bila ditawarkan makanan
Menolak makan dengan cara tertentu yang
berkaitan dengan peristiwa traumatik,
misalnya menolak minum dari botol tetapi
mau minum dengan sendok
Gizi baik
Gizi kurang/
buruk
Gagal
tumbuh

Parental
misperception
Orang tua mengeluh anak kurus atau makan
hanya sedikit, ATAU
Anak mau makan semua jenis makanan,
ATAU
Anak mau makan semua jenis makanan tapi
tidak mau makan sayur atau buah
Feeding practice benar
Gizi baik

Inapropriate
feeding
practice
Praktik pemberian makan yang tidak sesuai
usia atau tahapan perkembangan, misalnya
terlambat mengenalkan MP-ASI, hanya
memberikan ASI/susu formula sebagai
makanan utama, dan prosedur pemberian
makan yang tidak mengikuti basic feeding
rules
Gizi baik
Gizi kurang
Feeding
disorder
associated
with a
concurrent
medical
Terdapat kondisi medis yang menyebabkan
masalah makan (misalnya : refluks
gastroesofagus, infeksi salurak kemih,
tuberkulosis, penyakit jantung bawaan, dan
lain-lain)
Masalah makan sudah berlangsung selama
sedikitnya 2 minggu
Anak bersemangat pada awal makan, namun
setelah beberapa waktu menunjukkan distress
dan menolak melanjutkan makan
Gizi kurang/
buruk
Gagal
tumbuh
Sumber : UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik

2.2.6. Penatalaksanaan Masalah Makan
Penatalaksanaan masalah makan bergantung pada etiologinya. Dari
klasifikasi yang telah dijelaskan sebelumnya, diketahui bahwa penyebab masalah
makan pada anak bukan hanya karena kelainan organik saja, tetapi juga karena
kesalahan dalam praktik perilaku pemberian makan atau aspek psikososial anak.
Oleh karena itu, penatalaksanaan pada anak dengan masalah makan harus
dilakukan oleh tim multidisiplin, yang meliputi ahli nutrisi, psikiater,
gastroenterolog, dan terapis. Intervensi yang diberikan harus komprehensif,
meliputi terapi medis, modifikasi perilaku untuk mengubah praktik pemberian
makan yang salah, dan edukasi orang tua (Chatoor, 2009).
Masalah makan juga dapat dicegah agar tidak terjadi. Pencegahan dilakukan
dengan memberikan orang tua anak edukasi saat awal proses pemberian makan.
Untuk mengenali dan mengobati masalah makan pada anak, perlu pendekatan
sistematis dalam identifikasi dan tata laksana kesulitan makan. Tata laksana dasar
dan pencegahan untuk semua masalah makan adalah penerapan basic feeding
rules, sedangkan tata laksana spesifik bergantung pada etiologi.

2.3. Basic Feeding Rules
Basic feeding rules berati aturan dasar praktik pemberian makan. Aturan ini
dirancang oleh seorang profesor psikiatrik dan pediatrik George Washington
University School of Medicine di Washington, DC pada tahun 2009. Aturan ini
menerangkan bagaimana jadwal makan dan bagaimana menolong anak untuk
belajar merasakan sinyal untuk makan. Orang tua juga sebaiknya bersama-sama
ikut menerapkan basic feeding rules ini, karena anak akan lebih mudah
menerapkan aturan ini dengan meniru cara makan orang tuanya.
Pada pengenalan basic feeding rules, terapis dapat menjelaskan prinsip dari
regulasi eksternal dan internal. Tujuannya adalah anak akan makan karena
mengetahui adanya sinyal makan dari lingkungan luar (eksternal), seperti makan
bersama keluarganya, dan juga mengenali sinyal makan dari dirinya sendiri
(internal), misalnya rasa lapar dan kenyang.
Berikut ini adalah basic feeding rules :
1. Untuk menciptakan sinyal rasa lapar yang lebih besar pada anak, susun
jadwal makan dengan interval waktu 3-4 jam, terdiri dari 3 kali
makanan utama dan 2 kali snack, susu dapat diberikan pada saat bangun
tidur, sebelum tidur siang, dan sebelum tidur malam. Jangan berikan
camilan, susu, atau jus di antara waktu makan. Jika anak haus, tawarkan
air putih.
Anak biasanya senang untuk minum jus, minum satu atau dua gelas susu, atau
makan jajan-janan yang mengakibatkan meraka tidak mau lagi makan saat
waktu makan. Oleh karena itu, penting sekali untuk menciptakan rasa lapar
pada anak batita, agar mereka mau makan dengan lahap saat waktu makan
utama. Aturan pertama ini biasanya sulit dilakukan, karena dibutuhkan
disiplin tinggi dari orang tua untuk membentuk waktu makan yang tetap setiap
harinya, selain itu orang tua pasti sulit menolak permintaan makan anak di
luar jam makan, karena mereka khawatir anaknya tidak mendapatkan
makanan yang cukup nantinya. Karena itu, sebaiknya jadwal waktu makan
anak disamakan dengan jadwal makan keluarga, agar mereka bisa makan
bersama-sama. Jika anak makan sedikit ketika waktu makan utama, lalu
beberapa jam kemudia meminta ASI atau susu, orang tua harus menjelaskan
pada anak mereka bahwa mereka harus menunggu waktu makan selanjutnya
untuk bisa makan dan coba untuk mengalihkan perhatian mereka. Anak akan
cepat beradaptasi dengan aturan baru selama orang tua tetap konsisten
menjalankan jadwal makan yang telah ada.
2. Tawarkan makan dalam porsi kecil dan biarkan anak sendiri yang
meminta porsi kedua, ketiga, keempat untuk menjaga anak terlibat
dalam proses makan dan mencegah anak bosan atau putus asa karena
melihat makanan dalam porsi besar sekaligus tersaji di depan mereka.
Dengan hanya memberikan porsi yang kecil, orang tua dapat tetap terlibat
dalam proses makan anak tanpa mengintervensi, dan anak pun akan punya
kesadaran bahwa makan dilakukan sampai merasa kenyang, bukan makan
sampai piring kosong.
3. Anak harus duduk di high chair sampai semua orang di meja kenyang
dan selesai makan.
Anak-anak biasanya tidak suka duduk di atas high chair. Mereka akan
berusaha memanjat keluar ketika didudukkan di high chair. Sedangkan pada
anak yang lebih besar, jika mereka diletakkan di kursi biasa, dalam beberapa
menit mereka akan turun dari kursi dan mulai berlari ke sekeliling ruangan.
Bila anak dibiasakan untuk duduk di kursi makan sampai semua orang di meja
merasa kenyang, maka mereka cenderung tertarik untuk terus makan dan
belajar untuk makan sampai kenyang.
Anak yang berusaha memanjat keluar dari high chair dapat diberi mainan
beberapa menit sebelum makan, tapi mainan itu harus diambil kembali saat
makanan mulai dihidangkan di meja. Anak usia di bawah 18 bulan yang ingin
memanjat keluar dari high chair dapat diperingatkan dengan tegas oleh orang
tua, seperti kamu harus tetap duduk di kursi. Jika peringatan saja tidak
cukup, anak bisa dihukum dengan memberikan time-out, seperti memutar
kursi membelakangi muka orang tua dan meja makan selama 30 detik.
Sedangkan untuk anak usia di atas 18 bulan yang tidak mau tetap duduk di
kursinya hingga semua orang di meja selesai makan dapat diberi time-out
yang lebih tegas.
Untuk anak usia prasekolah yang lebih besar dan anak usia sekolah yang mau
menuruti peraturan untuk tetap duduk di kursi, mereka bisa mendapatkan
imbalan yang positif. Mereka bisa mendapatkan sebuah stiker setiap berhasil
duduk di kursi hingga semua orang di meja selesai makan, dan jika 10 stiker
tadi dikumpulkan, maka anak tersebut berhak mendapat satu mainan. Jika
mereka bisa mengumpulkan sampai 50 stiker, mereka bisa mendapat hadiah
yang lebih besar lagi, seperti pergi ke kebun binatang atau museum.
4. Durasi waktu makan 20-30 menit. Tidak boleh lebih dari 30 menit.
Sebagian besar batita membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk
menghabiskan makanan. Sedangkan beberapa anak dengan anoreksia infantile
makan lebih lambat, yaitu sekitar 30 menit. Orang tua harus mengatur
kecepatan makan mereka agar durasi makan berlangsung selama 20-30 menit,
ini dilakukan supaya anak bisa mencontohnya. Terkadang orang tua
memanjangkan waktu makan anak mereka hingga lebih dari 30 menit dengan
harapan anak mau menambah suap makanannya. Namun, jika durasi waktu
makan terlalu lama, anak masih akan merasa kenyang saat waktu makan
selanjutnya, inilah yang membuat mereka menjadi malas makan saat waktu
makan selanjutnya. Anak akan belajar untuk meningkatkan porsi makannya
jika mereka merasa lapar.
5. Orang tua tidak dibenarkan untuk memuji atau mengkritik anak
mengenai betapa banyak atau betapa sedikitnya makanan yang dimakan
oleh anak
Untuk batita yang sedang belajar makan dengan merasakan sinyal lapar dan
kenyang, jumlah makan mereka sebaiknya tidak menjadi suatu hal yang bisa
membahagiakan atau membuat sedih orang tua. Jika orang tua ingin agar
anaknya bisa tetap semangat dan fokus pada kegiatan makannya, orang tua
bisa mendorong atau mengomentari kemampuan anak mereka untuk bisa
mulai makan sendiri, dengan berkata seperti, wah, anak pintar! sekarang
sudah bisa makan pakai sendok sendiri ya!.
6. Selama makan berlangsung, tidak boleh ada mainan dan televisi yang
bisa mendistraksi perhatian anak
Bila anak terdistraksi, mereka tidak dapat merespons terhadap sinyal internal
rasa lapar atau kenyang. Anak yang menyukai makan akan cenderung makan
berlebih, sedangkan anak yang memiliki dorongan makan rendah cenderung
lupa makan bila perhatian mereka teralih oleh mainan dan televisi.
7. Makanan tidak boleh digunakan sebagai hadiah atau bentuk kasih
sayang orang tua
8. Anak tidak boleh melempar atau membuang makanan atau peralatan
makan
Anak yang sulit makan lebih suka bermain dengan makanan dan peralatan
makan daripada memakan makanannya, lalu ketika sudah bosan, mereka akan
mulai membuang semua makanan beserta peralatan makan yang ada di
hadapannya. Orang tua sebaiknya memberikan sendok lagi untuk mendorong
anak agar mulai belajar makan dengan mandiri. Namun jika anak terus
membuang makanan dan peralatan makannya, orang tua dapat memberikan
time-out.
9. Pada batita yang lebih besar, anak prasekolah, dan anak usia sekolah,
jika ada percakapan atau hal lain yang membuat perhatian mereka
teralih dari kegiatan makan, orang tua harus membantu agar perhatian
anak kembali fokus pada makanan mereka
Anak dengan anoreksia infantile senang berbicara pada waktu makan sehingga
lupa untuk makan. Orang tua harus tetap konsisten dengan tidak menanggapi
pembicaraan anak namun tetap terlibat dengan anak dan membantu anak
untuk kembali fokus pada makan.

Basic feeding rules terangkum dalam tabel 2 :
Tabel 2 Aturan Dasar Pemberian Makan (Basic Feeding Rules)
Jadwal Ada jadwal makan yang teratur dan terencana, tidak boleh
mendapat cemilan di luar jadwal makan
Waktu makan berdurasi 20-30 menit
Di antara waktu makan, hanya boleh mengonsumsi air putih
Lingkungan Lingkungan yang menyenangkan (tidak boleh ada paksaan
untuk makan
Dudukkan anak di kursi high chair
Anak harus duduk di high chair sampai semua orang di meja
kenyang dan selesai makan
Orang tua tidak boleh memuji atau mengkritik makanan yang
dimakan oleh anak
Jangan berikan mainan atau televisi saat anak makan
Jangan memberikan makanan sebagai hadiah
Anak tidak boleh melempar atau membuang makanan atau
peralatan makan
Fokuskan kembali perhatian anak ke makan jika ada hal yang
mengalihkan perhatian mereka
Prosedur Porsi kecil
Berikan makanan padat terlebih dahulu, baru cair
Beri dorongan anak untuk makan sendiri
Singkirkan makanan jika setelah 10-15 menit anak hanya
bermain tanpa mau makan
Akhiri makan bila anak mengamuk

2.4. Status Gizi
2.4.1. Pengertian Status Gizi
Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam level individu (level yang
paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara langsung adalah asupan
makanan dan infeksi. Pengaruh tidak langsung dari status gizi ada tiga faktor yaitu
ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, dan lingkungan kesehatan
yang tepat, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan (Riyadi, 2001 yang
dikutip oleh Simarmata, 2009).
Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari
ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi (nutritional imbalance),
yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, di samping kesalahan dalam
memilih bahan makanan untuk disantap (Arisman, 2004).

2.4.2. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi penting untuk mengidentifikasi baik keadaan kurang
maupun kelebihan gizi dan memperkirakan asupan energi optimum untuk
pertumbuhan dan kesehatan. Untuk menilai status gizi digunakan dua metode
penilaian status gizi, yaitu secara pemeriksaan fisik secara langsung dan tidak
langsung. Penilaian fisik secara langsung, dapat dibagi menjadi empat penilaian,
yaitu penilaian antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan untuk
penilaian fisik secara tidak langsung, dapat dibagi menjadi tiga yaitu survey
konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa dkk, 2001). Di
sini akan dibahas mengenai antropometri.



2.4.3. Antropometri
Kata antropometri berasal dari bahasa latin antropos yang berarti manusia
(human being). Sehingga antropometri dapat diartikan sebagai pengukuran pada
tubuh manusia (Soekirman, 2000). Metode antropometri mencakup pengukuran
dari dimensi fisik dan komposisi nyata dari tubuh (WHO cit Gibson, 2005).
Pengukuran antropometri, khususnya bermanfaat bila ada ketidakseimbangan
antara protein dan energi. Dalam beberapa kasus, pengukuran antropometri dapat
mendeteksi malnutrisi tingkat sedang maupun parah, namun metode ini tidak
dapat digunakan untuk mengidentifikasi status kekurangan (defisiensi) gizi
tertentu (Gibson, 2005)
Pengukuran antropometri memiliki beberapa keuntungan dan kelebihan,
yaitu mampu menyediakan informasi mengenai riwayat gizi masa lalu, yang tidak
dapat diperoleh dengan bukti yang sama melalui metode pengukuran lainnya.
Pengukuran ini dapat dilakukan dengan relatif cepat, mudah, dan reliable
menggunakan peralatan-peralatan yang portable, tersedianya metode-metode yang
terstandardisasi, dan digunakannya peralatan yang terkaliberasi. Untuk membantu
dalam menginterpretasi data antropometrik, pengukuran umumnya dinyatakan
sebagai suatu indeks, seperti tinggi badan menurut umur (Gibson, 2005).
Penilaian antropometris status gizi didasarkan pada pengukuran berat dan
tinggi badan, serta usia. Data ini dipakai dalam menghitung 3 macam indeks,
yaitu indeks (1) berat terhadap tinggi badan (BB/TB) yang diperuntukkan sebagai
petunjuk dalam penentuan status gizi sekarang; (2) tinggi terhadap usia (TB/U)
yang digunakan sebagai petunjuk tentang keadaan gizi di masa lampau; dan (3)
berat terhadap usia (BB/U) yang menunjukkan secara sensitif gambaran status gizi
saat ini (saat diukur). Kekurangan tinggi terhadap usia meriwayatkan satu masa
ketika pertumbuhan tidak terjadi (gagal) pada usia dini selama periode yang
cukup lama (Soekirman, 2000 yang dikutip oleh Agustina, 2009).

Jenis Parameter
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh
manusia, antara lain : umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar
kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa
dkk, 2001).
a. Umur.
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan
penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil
penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti
bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering
muncul adalah adanya kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti 1
tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung
dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30
hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam
hari tidak diperhitungkan ( Depkes, 2004).
b. Berat Badan
Pengukuran tunggal dari berat badan tidak dapat membedakan antara
malnutrisi akut atau kronik. Pengukuran tunggal berat badan hanya dapat melihat
status gizi sesaat (Djumadias Abunain, 1990). Sedangkan pengukuran berat badan
secara berkala dan rutin merupakan cara yang paling umum untuk menilai
pertumbuhan anak. Setelah berat diukur, hasilnya diplot berdasarkan umur dan
jenis kelamin. Setelah itu hasilnya dibandingkan dengan standar rujukan yang
tersedia di Negara masing-masing. Berat badan menggambarkan jumlah dari
protein, lemak, air, dan mineral pada tulang.
Beberapa keadaan klinis dapat mempengaruhi berat badan, seperti
terdapatnya edema, organomegali, hidrosefalus, dan lain sebagainya. Dalam
keadaan ini maka indeks antropometri yang menggunakan berat badan tidak dapat
dipergunakan untuk menilai status nutrisi. Untuk dapat mengevaluasinya
diperlukan data antropometri lainnya, yaitu umur, jenis kelamin, dan acuan
standar. Hasil pengukuran berat badan dipetakan pada kurva standar berat
badan/umur (BB/U) dan beratbadan/tinggi badan (BB/TB) atau dihitung
persentasenya terhadap standar yang diacu.

c. Tinggi Badan
Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari
keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat
keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir
rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk
Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB (Berat Badan
menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang
lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada
umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik,
kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun ( Depkes RI, 2004).
Pengukuran tinggi badan untuk anak balita yang sudah dapat berdiri
dilakukan dengan alat pengukur tinggi mikrotoa (microtoise) yang mempunyai
ketelitian 0,5 cm.
Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk
menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan
status gizi. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator
status gizi untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi
tubuh (M.Khumaidi, 1994).

Tabel 3 . Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB
Standar Baku Antropometeri WHO-NCHS
No Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Sebutan Status Gizi
1 BB/U < -3 SD
- 3 s/d <-2 SD
- 2 s/d +2 SD
> +2 SD
Sangat Kurus
Kurus
Normal
Gemuk
2 TB/U < -3 SD
- 3 s/d <-2 SD
- 2 s/d +2 SD
> +2 SD
Sangat Pendek
Pendek
Normal
Tinggi
3 BB/TB < -3 SD
- 3 s/d <-2 SD
- 2 s/d +2 SD
+2 SD s/d +3 SD
> +3 SD
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih
Obesitas
Sumber : Depkes RI 2004.

Data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disajikan dalan
dua versi, yakni persentil (percentile) dan skor simpang baku (standard deviation
score = z). Gizi anak-anak di negara-negara yang populasinya relatif baik (well-
nourished), sebaiknya digunakan persentil, sedangkan di negara untuk anak-
anak yang populasinya relatif kurang (under nourished) lebih baik menggunakan
skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku rujukan
(Djumadias Abunaim,1990).
Tabel 4 Interpretasi Status Gizi Berdasarkan Tiga Indeks Antropometri
(BB/U,TB/U, BB/TB Standar Baku Antropometeri WHO-NCHS)
No
Indeks yang digunakan
Interpretasi
BB/U TB/U BB/TB

1 Rendah Rendah Normal Normal, dulu kurang gizi
Rendah Tinggi Rendah Sekarang kurang ++
Rendah Normal Rendah Sekarang kurang +
2 Normal Normal Normal Normal
Normal Tinggi Rendah Sekarang kurang
Normal Rendah Tinggi Sekarang lebih, dulu kurang
3 Tinggi Tinggi Normal Tinggi, normal
Tinggi Rendah Tinggi Obesitas
Tinggi Normal Tinggi Sekarang lebih, belum obesitas
Keterangan : untuk ketiga indeks ( BB/U,TB/U, BB/TB) :
Rendah : < -2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS
Normal : -2 s/d +2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS
Tinggi : > + 2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS
Sumber : Depkes RI 2004.
Status gizi berdasarkan rujukan WHO-NCHS dan kesepakatan Cipanas 2000
oleh para pakar Gizi dikategorikan seperti diperlihatkan pada tabel 3 di atas serta
diinterpretasikan berdasarkan gabungan tiga indeks antropometri seperti yang
terlihat pada tabel 4.


2.4.4 Faktor yang Memengaruhi Status Gizi
Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi
di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara
efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin (Almatsir, 2001). Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi,
faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain. Faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi secara garisbesar dapat digolongkan menjadi penyebab
langsung dan tidak langsung (Soekirman, 2000) :
1. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin
diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang
kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang baik
tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi.
Demikian pada anak yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuh
akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan
maupun penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.
2. Penyebab tidak langsung, yaitu :
Ketahanan pangan di keluarga. Ketahanan pangan adalah kemampuan
keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga
dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Ketahanan pangan keluarga
sangat terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan daya beli
keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.
Pola pengasuhan anak. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga
untuk menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak
agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental,
dan sosial. Tingkat pengetahuan ibu sangat mempengaruhi pola
pengasuhan anak, kebiasaan yang salah atau kurang tepat dalam
pemberian makanan pada anak akan mempengaruhi status gizi anak.
Kesalahan pemberian makan pada anak dapat diartikan sebagai
kekeliruan dalam menyajikan makanan, baik dari jadwal pemberian
makan dan lamanya makan yang baik; pengaturan lingkungan yang
kondusif untuk anak makan; sampai prosedur pemberian makan, baik
dari jumlah porsi maupun urutan pemberian makan. Dalam keadaan
demikian diperlukan pengetahuan yang cukup agar anak dapat terjamin
kebutuhan gizi akibat pengetahuan tentang makanan bergizi bagi anak
yang dimiliki ibunya (Burhanudin, 2006).
Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan
Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air
bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh
seluruh keluarga.





















2.5. Kerangka Teori





















Gambar 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Usia 12-36 Bulan


Pertumbuhan anak
Emosi/kasih
sayang
Faktor genetik Faktor Lingkungan
Penyakit
Infeksi
(Gizi)
Pemberian
makan
Sanitasi air &
pelayanan kesehatan
dasar(Imunisasi,
deteksi &
pengobatan dini
penyakit)
Sosial
ekonomi
Diberikan
sesuai
perkem-
bangan
usia
Diberikan
dgn cara
yang benar,
mencakup
jadwal &
teknik
pemberian
Status Gizi Anak Usia 12-36 Bulan
Basic Feeding Rules
Gizi buruk Gizi baik Gizi lebih

Anda mungkin juga menyukai