Anda di halaman 1dari 31

I.

PENDAHULUAN

Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang disertai keterbelakangan mental,
gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Umumnya seorang bayi atau anak
yang mengalami gangguan pendengaran lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai
pasien yang terlambat berbicara
(1)
.
Insidens gangguan pendengaran pada neonatus di Amerika berkisar antara 1-3 dari
1000 kelahiran hidup. Sedangkan US Preventive Services Task Force melaporkan bahwa
prevalensi gangguan pendengaran neonatus di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) 10-
20 kali lebih besar dari populasi neonatus.

.
(2)
Grote melaporkan bahwa program skrining
pendengaran pada bayi belum mampu mendeteksi 10-20 persen kasus gangguan
pendengaran pada bayi sejak masa awal kehidupan. Hal ini ditunjukan dengan
perbandingan peningkatan prevalensi gangguan pendengaran pada anak usia sekolah
dibandingkan dengan prevalensi gangguan pendengaran pada bayi yang telah
diidentifikasi.
(3)
Pemerintah Inggris memprediksi bahwa Prevalensi gangguan
pendengaran permanen pada bayi dapat meningkat dua kali lipat dari prevalensi saat ini
yang berkisar 1 diantara 1000 kelahiran
(4)
Di Indonesia sampai saat ini belum ada data,
karena belum dilakukan program skrining pendengaran. Data menurut Survei Kesehatan
Indera Pendengaran di tujuh propinsi tahun 1994-1996 didapatkan 0,1% penduduk
menderita tuli sejak lahir.
(5)



Gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal. Watkin dkk
melaporkan bahwa pada anak tuli berat bilateral hanya 49% orangtua mereka yang
mencurigai kemungkinan adanya gangguan pendengaran tersebut, sedangkan pada anak
dengan gangguan pendengaran ringan sampai sedang atau unilateral hanya 29%. Di
Amerika gangguan pendengaran rata-rata diidentifikasi antara usia 20-24 bulan dan
gangguan pendengaran ringan sampai sedang umumnya tidak terdeteksi sampai usia 48
bulan atau lebih.
(5)

Gangguan pendengaran pada bayi dapt menjadi masalah bagi perkembangan anak.
Jika dibandingkan dengan anak normal, anak yang mengalami gangguan pendengaran
akan mengalami kesulitan dalam belajar bahasa serta kemampuan komunikasi. Gangguan
pendengaran pada anak terkait dengan keterlambatan berbahasa, belajar dan kemampuan
berbicara serta pencapaian hasil belajar yang rendah. Gangguan pendengaran pada anak
juga akan menjadi masalah terkait dengan permasalahan perilaku,dan buruknya
kemampuan adaptasi anak pada lingkungan.
(6)
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. EMBRIOLOGI DAN ANATOMI
Secara anatomi telinga dibagi menjadi 3 bagian: telinga luar, tengah dan dalam.
Telinga tengah dan luar berkembang dari alat brankial. Telinga dalam seluruhnya berasal
dari plakoda otika.
(7)

A. Telinga luar
Liang telinga berasal dari celah brankial pertama ektoderm. Membran timpani
mewakili membran penutup celah tersebut. Selama satu stadium perkembangannya, liang
telinga akhirnya tertutup sama sekali oleh suatu sumbatan jaringan telinga tapi kemudian
terbuka kembali. Pinna atau aurikula berasal dari pinggir-pinggir celah brankial pertama
dan arcus brankialis pertama dan kedua.
(7)


Gambar 1. Perkembangan telinga luar pada embrio
(8)

Telinga luar terdiri dari daun telinga ( aurikula ) dan liang telinga sampai
membran timpani.Aurikula mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi mengumpulkan
getaran udara. Aurikula terdiri dari lempeng tulang rawan elastik tipis yang ditutupi kulit.
Aurikula mempunyai otot intrinsik dan ekstrinsik, keduanya dipersarafi oleh N. Facialis.
Meatus akustikus eksternus (liang telinga) adalah tabung berkelok yang terbentang antara
aurikula sampai membran timphani. Berfungsi menghantarkan gelombang suara dari
aurikula ke membran timphani. Pada orang dewasa panjang nya 1 inci (2,5 cm) dan
dapat diluruskan untuk memasang otoskop dengan menarik aurikula ke atas dan ke
belakang. Pada anak, aurikula cukup ditarik lurus ke belakang, atau ke bawah dan
kebelakang. Daerah meatus yang paling sempit 5mm dari membran timpani.
(7),(9)

Sepertiga meatus bagian luar mempunyai kerangka tulang rawan elastik dan dua
pertiga dalam oleh tulang, yang dibentuk lempeng timpani. Meatus dilapisi kulit dan
sepertiga bagian luarnya memiliki rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar serumen. Yang
terakhir ini adalah modifikasi kelenjar keringat, yang menghasilkan lilin coklat
kekuningan. Rambut dan lilin ini.
(7),(9)







Gambar 2. Canalis auditorius external
(10)

B. Telinga tengah
Rongga telinga tengah berasal dari celah brankial pertama endoderm. Rongga
berisi udara ini meluas ke dalam resesus tubotimpanikus yang selanjutnya meluas
disekitar tulang-tulang dan saraf dari telinga tengah dan meluas kurang lebih kedalam
mastoid. Osikula berasal dari rawan arcus brankialis pertama (kartilage Meckel),
sedangkan incus dan stapes dari rawan arcus brankialis kedua (kartilago Reichert). Saraf
korda timpani berasal dari arcus kedua (fasialis) menuju saraf pada arcus pertama
(mandibularis-lingualis). Saraf timpanikus berasal dari saraf arcus brankialis ketiga
(glosofaringeus) menuju saraf fasialis. Kedua saraf ini terletak dalam rongga telinga
tengah. Otot tensor timpani yang melekat pada maleus, berasal dari arcus pertama dan
dipersarafi oleh saraf mandibularis (saraf kranial kelima). Otot stapedius berasal dari
arcus kedua, dipersarafi oleh suatu cabang saraf ketujuh.
(7),(9)


Gambar 3. Perkembangan telinga tengah pada minggu 7 masa embrional
(8)

Kavum timpani adalah ruang berisi udara dalam pars petrosa ossis temporalis
yang dilapisi membran mukosa. Di dalamnya didapatkan tulang-tulang pendengaran yang
berfungsi meneruskan getaran membran timpani (gendangan) ke perilimf telinga dalam.
Merupakan suatu ruang mirip celah sempit yang miring, dengan sumbu panjang terletak
sejajar dengan bidang membran timpani.
(7)

Telinga tengah berbentuk kubus dengan:
Batas luar : Membran timpani
Batas depan : Tuba eustachius
Batas Bawah : Vena Jugularis
Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis facialis pars vertikalis
Batas Dalam : Kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap
lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium
(7)

Membran timpani adalah membran fibrosa tipis yang berbentuk bundar yang
berwarna putih mutiara. Membran ini terletak miring, menghadap ke bawah, depan, dan
lateral. Permukaannya konkaf ke lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil,
yaitu umbo, yang terbentuk oleh ujung manubrium mallei. Bila membran terkena cahaya
otoskop, bagian cekung ini menghasilkan kerucut cahaya, yang memancar ke anterior
dan inferior dari umbo.
(7)

Tuba auditiva terbentang dari dinding anterior kavum timpani ke bawah, depan,
dan medial sampai ke nasofaring. Sepertiga bagian posteriornya adalah tulang dan dua
pertiga bagian anteriornya adalah kartilago. Tuba berhubungan dengan nasofaring dengan
berjalan melalui pinggir atas m. konstriktor faringes superior. Tuba berfungsi
menyeimbangkan tekanan udara di dalam kavum timpani dengan nasofaring.
(7)








Gambar 4. Telinga tengah dan struktur yang berhubungan
(10 )

C. Telinga dalam
Plakoda otika ectoderm terletak pada permukaan lateral dari kepala embrio.
Plakoda ini kemudian tenggelam dan membentuk suatu lekukan otika dan akhirnya
terkubur dibawah permukaan sebagai vesikel otika. Letak vesikel otika dekat dengan otak
belakang yang sedang berkembang dan sekelompok neuron yang dikenal sebagai
ganglion akustikofasialis. Ganglion ini penting dalam perkembangan dari saraf fasialis,
akustikus dan vestibularis. Vesikel auditorius membentuk suatu divertikulum yang
terletak dekat terhadap tabung saraf yang kelak akan menjadi duktus endolimfatikus.
Vesikel otika kemudian berkerut membentuk suatu utrikulus superior dan sakulus
inferior. Dari utrikulus kemudian timbul tiga tonjolan mirip gelang. Lapisan membran
yang jauh dari perifer gelang diserap, meninggalkan tiga kanalis semisirkularis pada
perifer gelang. Sakulus kemudian membentuk duktus koklearis membentuk spiral.
Dalam utrikulus dan sakulus membentuk makula, dan dalam koklea membentuk organ
korti. Organ-organ ini kemudian berhubungan dengan neuron ganglion akustikofasialis.
Neuron- neuron inilah yang membentuk ganglia saraf vestibularis dan ganglia spiralis
dari saraf koklearis. Masenkim disekitar ganglion otikum memadat untuk membentuk
suatu kapsul rawan disekitar membranosa dari vesikel otika, kemudian kapsul rawan ini
akan membentuk labirin membranosa dimana terdapat suatu rongga yang berhubungan
dengan rongga yang berisi LCS melalui akuaduktus koklearis, dan membentuk rongga
perilimfatik labirin tulang. Dimana labirin ini berisi endolimfe.
(7),(9)

Gambar 5. Pembentukan telinga dalam pada hari ke 28 sampai minggu ke sepuluh masa
embrional
(8)

Telinga dalam terdiri dari koklea ( rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis yaitu:
7
a) Kanalis semisirkularis superior
b) Kanalis semisirkularis posterior
c) Kanalis semisirkularis lateral
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli disebelah atas, skala timpani
disebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan
skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala
vestibuli disebut sebagai membran vestibule (Reissners membrane) sedangkan dasar
skala media adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ korti. Pada skala
media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan pada
membrane basalis melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, luas dan kanalis
korti, yang membentuk organ korti.
(11)













Gambar 6. Diagram telinga bagian dalam
(10)

II.2. PERKEMBANGAN AUDITORIK PADA MANUSIA
Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan
perkembangan otak. Neuron dibagian korteks mengalami proses pematangan dalam
waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan masa 12 bulan pertambahan kehidupan terjadi
perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,
upaya untuk melakukan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sedini
mungkin agar habilitas pendengaran sudah dapat di mulai pada saat perkembangan
otak masih berlangsung.
(1)

Telah diteliti bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa
setelah usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah dapat
memberikan respon terhadap suara yang ada disekitarnya, namun reaksi janin masih
bersifat refleks seperti refleks moro, terhentinya aktivitas (cessation reflex) dan
refleks auropalpebral yang konsisten pada janin normal usia 24-25 minggu.
(1)

Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditorik, berlangsung pula
perkembangan kemampuan berbicara. Kemahiran wicara dan berbahasa pada
seseorang hanya dapat dicapai bila input sensorik (auditorik) dan motorik dalam
keadaan normal.perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap mendengar, oleh
karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat diperkirakan adanya
gangguan pendengaran.
(1)

II.3. FISIOLOGI PENDENGARAN
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani dteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan
tingkap lonjong.
(1)
Amplitudo gerakan bidang depan stapes di setiap getaran suara, hanya tiga
perempat dari amplitudo tangkai maleus. Oleh karena itu, sistem pengungkit tulang
pendengaran tidak memperbesar jarak pergerakan dari stapes, seperti yang umumnya
diyakini, sebaliknya, sistem tersebut sebenarnya mengurangi jarak tetapi
meningkatkan tenaga pergerakan sekitar 1,3 kalinya. Selain itu, daerah permukaan
membran timpani adalah sekitar 55mm
2
, sedangkan luas permukaan stapes rata-rata
3,2 mm
2
. Rasio perbedaan yang 17 kali lipat ini dikali dengan rasio 1,3 kali dari
sistem pengungkit menyebabkan penekanan total sekitar 22 kali lipat yang diberikan
pada cairan koklea, seperti yang diberikan gelombang suara terhadap membran
timpani. Karena cairan mempunyai inersia yang jauh lebih besar daripada udara,
mudah dimengerti bahwa peningkatan jumlah tekanan diperlukan untuk menimbulkan
getaran pada cairan. Oleh karena itu, membran timpani dan sistemu tulang
pendengaran memberikan kesesuaian impedansi adalah sekitar 50-75% dari sempurna
untuk frekuensi suara antara 300 dan 3000 siklus per detik, sehingga hampir semua
energi digunakan untuk gelombang suara yang datang.
(12)
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Jika
kaki stapes bergerak ke dalam menghadap fenstra ovalis, fenestra rotundum harus
menonjol keluar, karena semua sisi koklea dikelilingi oleh dinding yang bertulang.
Koklea adalah suatu sistem tuba yang melingkar-lingkar. Koklea terdiri dari tiga tuba
melingkar yang saling bersisian : skala vestibuli, skala media, dan skala timpani.
Skala vestibuli dan skala media dipisahkan satu sama lain oleh mebran reissner atau
membran vestibular. Skala timpani dan skala media dipisahkan satu sama lain oleh
membran basilar. Pada permukaan membran basilar terletak organ korti yang
mengandung serangkaian sel yang sensitif secara elektromekanik, yaitu sel sel
rambut. Sel ini merupakan organ reseptif akhir yang membangkitkan impuls saraf
sebagai respon terhadap getaran suara.
(12)

Getaran suara memasuki skala vestibuli dari bidang depan stapes pada fenestra
ovalis. Bidang depan akan menutupi fenestra ini dan dihubungkan dengan tei fenestra
oleh ligamentum anularis yang longgar, sehingga fenestra dapat bergerak ke dalam
dan keluar bersama getaran suara. Pergerakan ke dalam menyebabkan cairan bergerak
ke dalam skala vestibuli dan skala media, dan pergerakan keluar menyebabkan cairan
keluar ke arah sebaliknya.

Gambar 7. Perjalanan gelombang suara di dalam telinga
Efek awal dari gelombang suara yang masuk ke fenestra ovalis adalah untuk
menyebabkan membran basilar pada basis koklea menekuk ke arah fenestra rotundum.
Namun, tegangan elastik yang dibentuk dalam serabut basilar pada waktu serabut
menekuk ke arah fenestra rotundum, mencetuskan gelombang cairan yang berjalan di
sepanjang membran basilar menuju arah helikotrema. Pergerakan gelombang di
sepanjang membran basilar sebanding dengan pergerakan gelombang tekanan di
sepanjang dinding arteri.
(12)
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses
ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel
sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari
badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area
39-40) di lobus temporalis.
(1)
II.4. PENYEBAB GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI/ANAK
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dapat dibedakan berdasarkan saat
terjadinyan gangguan pendengaran, yaitu masa pra natal,perinatal, dan postnatal
(1)
.

- Masa Pranatal:
Dapat berupa faktor genetik herediter ataupun faktor non genetik seperti gangguan
pada masa kehamilan, kelainan struktur anatomi dan kekurangan zat gizi seperti
yodium. Gangguan pada masa kehamilan terutama pada trimester pertama merupakan
periode yang sangat penting dalam menentukan gangguan pendengaran pada bayi.
Infeksi bakteri atau virus serta penggunaan obat-obat ototoksik dan teratogenik pada
masa ini berpotensi menyebabkan gangguan pendengaran pada bayi.
(1)
- Masa Perinatal:
Yang menjadi faktor resiko gangguan pendengaran pada bayi pada masa ini antara
lain kelahiran prematur, bayi dengan berat badan lahir rendah, hiperbilirubinemia,
dan asfiksia. Umumnya ketulian yang terjadi akibat faktor pra dan perinatal adalah
tuli sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat dan sangat berat.
(1)
- Masa Postnatal:
Hal ini dapat terjadi akibat adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubella,campak,
parotis, infeksi otak, perdarahan pada telinga tengah dan trauma temporal.
(1)

II.5. SKRINING PENDENGARAN PADA BAYI
Untuk dapat melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada seluruh bayi
dan anak relatif sulit, karena akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang
besar. Program skrining sebaiknya di prioritaskan pada bayi dan anak yang
mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan pendengaran. Untuk maksud tersebut
Joint Comitee on infant Hearing (2000) menetapkan pedoman registrasi resiko tinggi
terhadap ketulian sebagai berikut
(1)
:
Untuk bayi 0-28
(1)
:
- Riwayat keluarga dengan tuli sensorineural sejak lahir
- Infeksi masa hamil
- Kelainan kraniofasial termasuk kelainan pada pinna dan liang telinga
- Berat badan lahir <1500 gr
- Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi
- Obat ototoksik
- Meningitis bakterialis
- Nilai apgar 0-4 pada menit pertama; 0-6 pada menit kelima
- Ventilasi mekanik 5 hari atau lebih di NICU
Untuk bayi usia 29 hari-2 tahun
(1)
:
- Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran,
keterlambatan berbicara, berbahasa dan atau keterlambatan perkembangan
- Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran menetap sejak masa anak-anak
- Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui memilki
hubungan dengan tuli sensorineural,atau konduktif atau gangguan fungsi tuba
eustachius. Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran
sensorineural termasuk meningitis bakterialis
- Infeksi intrauterin
- Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal yang
memerlukan ventilator.
- Sindroma yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang progresif
seperti usher syndrom,neurofibromatosis,osteoporosis.
- Adanya kelainan neurodegeneratif seperti hunter syndrome dan kelainan neuropati
sensomotorik misalnya friederichs ataxia, charcot-marie tooth syndrome
- Trauma kapitis
- Otitis media yang menetap dan berulang disertai efusi telinga tengah minimal 3
bulan.
Bayi yang mempunyai salah satu faktor risiko diatas mempunyai kemungkinan
ketulian 10,2 kali lebih besar. Bila terdapat 3 buah faktor risiko, kecenderungan
menderita ketulian diperkirakan 63 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang tidak
memilki faktor risiko. Perkiraan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak
dapt dilihat berdasarkan kemampuan bicara pada anak.

perkiraan adanya gangguan
pendengaran pada bayi dan anak berdasarkan kemampuan bicara dapat dilihat jika
(1)
:
- Usia 12 bulan : anak belum mampu mengoceh (babling) atau meniru bunyi
- Usia 18 bulan : tidak dapat menyebutkan 1 kata yang mempunyai arti
- 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
- 30 bulan : belum dapat merangkai kata-kata
Skrining yang dapat dilakukan untuk mendetesi gangguan pendengaran pada bayi
sebelum dilakukan tes pendengaran. Adapun metode-metode pendekatan yang dapat
dilakukan antara lain :
- Family Questionaries
Merupakan metode dimana orang tua atau perawat bayi/anak ditanyakan
mengenai respon bayi terhadap suara dan perkembangan wicara. Bayi yang
memiliki respon buruk terhadap suara dan perkembangan wicara dapat dijadikan
sebagai rujukan untuk dilakukan pemeriksaan audiologi
(13)

- Behavioral Measure
Melalui tahapan ini, bayi yang diperiksa akan dinilai responnya terhadap
behavioural measuring devices ( mulai dari penanda suara yang sederhana sampai
penanda suara yang kompleks ) dapat diidentifikasi jika terdapat gangguan
pendengaran.
(13)

- Physiological Measures
Pada pemeriksaan ini metode Otoacoustic Emission (OAE) dan Auditory
Brainstem Response (ABR) merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan
efektif untuk skreening gangguan pendengaran pada bayi dan anak-anak.
(13)

Meskipun tanpa menggunakan alat pemeriksaan yang mungkin sulit didapatkan,
orang tua dapat secara sederhana melakukan skrining pendengaran kepada anaknya
dengan memberikan stimulus suara dan memperhatika respon anak terhadap stimulus
tersebut. Berikut ini adalah respon normal yang diberikan bayi dan anak terhadap
stimulus suara berdasarkan kelompok umurnya.
(14)



a. Respon neonatal
Selama minggu pertama kehidupan, respon bayi terhadap suara keras adalah
dengan refleks terkejut. Respon ini termasuk aural palpebra reflex, perubahan
pada denyut jantung, dan pola dari pernapasan, sentakan kepala ke belakang,
respon menangis, gerakan tubuh (refleks morrow) atau kadang-kadang
penghentian aktifitas. Nada murni antara 500-4000Hz dengan intensitas 85-
95dB dapat menimbulkan refleks ini pada neonatus sampai umur 2 minggu.
(14)

b. Respon pada bayi di bawah 4 bulan
Pada usia ini mulai memperhatikan suara dan merespon dengan diam dan
mendengarkan. Pada usia 4 bulan, bayi diam dan tersenyum untuk merespon
suara orang tuanya, bahkan ketika sumber suara tak terlihat. Respon in
terutama muncul pada suara keras dan tidak tetap pada suara yang lebih
tenang.
(14)

c. Respon pada usia 4-6 bulan
Pada usia ini bayi mulai menggerakkan kepala ke sumber suara dengan lebih
konsisten. Respon ini terjadi juga pada intensitas suara yang rendah
(14)

d.Respon pada usia 7-9 bulan
Pada usia ini anak dapat menentukan lokasi suara intensitas rrendah secara
tepat pada arah horizontal.Anak akan bergerak ke arah suara orang tuanya
yang berada di luar kamar dan mencari sumber suara yang menarik
perhatiannya. Anak juga akan berceloteh nyaring dan mulai untuk meniru
suara-suara dengan lebih jelas.
(14)

e. Respon pada usia 10-12 bulan
Pada usia ini, anak dapat melokalisasi suara intensitas rendah pada berbagai
tempat bila ia tidak terlalu sibuk dengan kegiatan lain. Pengucapan kata-kata
mulai perkembang untuk kata-kata tunggal seperti namanya, kata tidak, dan
objek yang telah dikenal baik olehnya.
(14)


f. Respon pada usia 13-24 bulan
Anak pada usia ini mampu melokalisasi suara secara cepat tetapi mulai dapat
mengantisipasi dan mengamati sumber suara selama uji tingkah laku
dilakukan. Terjadi perkembangan dalam pemahaman kata-kata, juga beberapa
anak usia 18 bulan dapat mengenali beberapa bagian tubuh.
(14)

g. Respon pada usia lebih dari 2 tahun
Pada usia ini anak biasanya akan bereaksi terhadap rangsangan suara yang
pertama diberikan, dan akan mengabaikan suara yang diberikan berikutnya.
(14)

II.6. PROGRAM SKRINING PENDENGARAN PADA BAYI
Gejala awal gangguan pendengaran pada umumnya tidak jelas sehingga program
skrining menjadi cara yang paling efektif untuk deteksi dini. Deteksi dini gangguan
pendengaran dan intervensi segera sangat mempengaruhi prognosis. Untuk deteksi
dini, diperlukan suatu program skrining gangguan pendengaran dengan alat skrining
yang efektif, efisien, dan mudah digunakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi. The Centers for Disease Control and Prevention Early Hearing
Detection and Intervention (EHDI) dan The Joint Commitee on Infant Hearing
(JCIH), merekomendasikan skrining gangguan pendengaran pada semua bayi baru
lahir sebelum berusia tiga bulan dan memberikan intervensi sebelum berusia enam
bulan agar proses tumbuh kembang tidak terhambat. Pemeriksaan dengan teknologi
elektrofisiologi (BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) dan Otoacoustic
Emission (OAE)) merupakan alat skrining yang direkomendasikan karena memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi gangguan pendengaran.
(15)



Baku emas (gold standard) pemeriksaan skrining pendengaran pada bayi
(1) Otoacoustic Emission(OAE) (2) Automated ABR ( BERA Otomatik)




Pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak harus dapat menentukan
(1)
:
a. Jenis gangguan pendengaran (sensorineural, konduktif, dan campuran)
b. Derajat gangguan pendengaran (ringan sampai berat)
c. Lokasi kelainan (telinga luar, tengah, dalam, koklea, retrokoklea)
d. ambang pendengaran dengan frekuensi spesifik
Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based hearing screening)
dikelompokan menjadi
(1)
:
1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)
2. Targeted Newborn Hearing Screening

1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)
Dilakukan pada semua bayi baru lahir (dengan atau tanpa faktor risiko
terhadap gangguan pendengaran). Skrining awal dilakukan dengan pemeriksaan
Otoacoustic Emission (OAE) sebelum bayi keluar dari rumah sakit (usia 2 hari). Bila
bayi lahir pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki sarana OAE, paling lambat
pada usia 1 bulan telah melakukan pemeriksaan OAE di tempat lain. Bayi dengan
hasil skrining Pass (lulus) maupun Refer (tidak lulus) harus menjalani pemeriksaan
BERA (atau BERA otomatis) pada usia 1 3 bulan. Pada usia 3 bulan, diagnosis
harus sudah dipastikan berdasarkan hasil pemeriksaan: OAE, BERA, timpanometri
(menilai kondisi telinga tengah). Untuk bayi yang telah dipastikan mengalami
gangguan pendengaran sensorineural, perlu dilakukan pemeriksaan ASSR (Auditory
Steady State Response) atau BERA dengan stimulus tone burst, agar diperoleh
informasi ambang dengar pada masing-masing frekuensi; hal ini akan membantu
proses pengukuran alat bantu dengar yang optimal. Khusus untuk bayi yang tidak
memiliki liang telinga (atresia) diperlukan pemeriksaan tambahan berupa BERA
hantaran tulang (bone conduction). Berdasarkan tahapan waktu tersebut di atas,
habilitasi pendengaran sudah harus dimulai pada usia 6 bulan.
(16)

Kriteria UNHS:
1. Mudah dikerjakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi sehingga
kejadian refer minimal.
2. Tersedia intervensi untuk habilitasi gangguan pendengaran.
3. Skrining, deteksi dan intervensi yang dilakukan secara dini akan menghasilkan
outcome yang baik.
4. Cost-effective.

Kriteria keberhasilan : cakupan (coverage) 95 %, nilai refferal : < 4 %
(16)


2.Targeted Newborn Hearing Screening
Skrining pendengaran yang dilakukan hanya pada bayi yang mempunyai
faktor risiko terhadap gangguan pendengaran. Kelemahan metode ini adalah sekitar
50 % bayi yang lahir tuli tidak mempunyai faktor risiko. Model ini biasanya
dilakukan di NICU (Neonatal ICU) atau ruangan Perinatologi.
(16)

Adapun jenis-jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan pada skrining
pendengaran pada bayi antara lain :
A. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Tes BOA dilakukan dengan memprovokasi respon perilaku untuk stimulus
akustik dan respon gerakan tubuh, pelebaran mata, membuka mata, atau atau
perubahan tingkat menghisapnya setelah diberikan stimulus. Digunakan untuk bayi
baru lahir sampai usia 6 bulan. Tes ini digunakan untuk menyingkirkan gangguan
pendengaran pada bayi.
(17)
Tujuan : membantu dalam menentukan perkembangan kemampuan audiotorik
secara global. Tes ini tidak tepat jika digunakan sebagai skrining pendengaran atau
untuk menentukan ambang batas pendengaran, atau untuk memilih dan memodifikasi
proses amplifikasinya.
(17)

Sasaran pemeriksaan : bayi dan neonatal berusia kurang dari 6 bulan.
Metode :
- tes dilakukan di ruangan tenang
- Otoskopi : bukanlah sebuah prasyarat dalam pemeriksaan ini, pemeriksaan
eksternal telinga meliputi apakah terrdapat deformitas dan abnornmalitas.
- Persiapan pasien : pasien berada pada keadaan yang tenang dan pencahayaan
yang mendukung untuk menidurkan pasien,duduk di car seat, digendong, atau
dibaringkan memakai bantal. Jika bayi berada di pangkuan orang tua, harus
dipastikan bahwa orang tua tidak akan memberikan isyarat bagi bayi ketika
pemeriksaan berlangsung.
- Rangsangan yg direkomendasikan : stimulus akustik yang kompleks (seperti
berbicara-bising) antara 60 dan 90 dB. Durasi pemberian stimulus antara 3-4
detik, respon pada bayi yang lebih muda lebih lama dari bayi yg lebih tua.
- Tidak ada suara lain atau percobaan lain yang dapat ditangkap oleh bayi yang
dapat memberikan interpretasi salah pada gerakan si bayi.
- Hanya 2-3 stimulus yang mungkin diberikan pada bayi.
Interpretasi : pada keadaan normal dapat terlihat refleks terkejut pada pemberian
stimulus 60-90dB. Refleks terkejut sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi
bayi, seperti jika bayi kelaparan atau kelelahan. Bayi harus diberi perhatian
khusus jika ia tidak membrikan refleks terkejut dan dapat ditindaklanjuti dengan
menghubungkan hasil yang diperoleh pada pemeriksaan ini denggan pemeriksaan
lainnya. Pada pemeriksaan ini hanya diinterpretasikan sebagai ada respon dari
bayi atau tidak ada respon. Tidak ada interpretasi seperti batas respon level pada
pasien.
(18)










Gambar 8. Pemeriksaan BOA
(19)



B. Timpanometri
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk menilai
fungsi telinga tengah dan mengevaluasi otitis media dan gangguan telinga
tengah lainnya. Sasaran dari pemeriksaan ini adalah bayi dan anak-anak.
Gambaran timpanometri yang abnormal ( adanya cairan atau tekanan negatif
di telinga tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran
konduktif
(1)









Gambar 9 . Timpanometer
(21)

Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang
telinga dapat diketahui besarnya tekanan di liang telinga berdasarkan energi
suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang telinga. Pada
orang dewasa atau bayi berusia diatas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi
226 Hz. Khusus untuk bayi di bawah usia 6 bulan tidak digunakan probe tone
226 Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga tengan sehingga harus
digunakan probe tone frekuensi tinggi (668,678 atau 1000 hz).
(1)

Terdapat 4 jenis timpanogram
(1)
yaitu ;
- Tipe A ( normal )
terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal.
mempunyai bentuk khas, dengan puncak imitans berada pada titik 0 daPa dan
penurunan imitans yang tajam dari titik 0 ke arah negatif atau positif. Kelenturan
maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, memberi kesan tekanan
udara telinga tengah yang normal.


- Tipe Ao (diskontinuitas tulang-tulang pendengaran)
- Tipe As (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)
Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang berparut.
Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), di mana puncak berada
atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang secara
signifikan berkurang. Huruf s di belakang A berarti stiffness atau
shallowness.
Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, tapi
kelenturan lebih rendah daripada tipe A. Fiksasi atau kekauan sistem
osikular seringkali dihubungkan dengan tipe As.

- Tipe B (cairan didalam telinga tengah)
Timpanogram tidak memiliki puncak melainkan pola cenderung mendatar,
atau sedikit membulat yang paling sering dikaitkan dengan cairan di
telinga tengah (kavum timpani), misalnya pada otitis media efusi. ECV
dalam batas normal, terdapat sedikit atau tidak ada mobilitas pada telinga
tengah. Bila tidak ada puncak tetapi ECV > normal, ini menunjukkan
adanya perforasi pada membran timpani.

- Tipe C (gangguan fungsi tuba eustachius)
Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan malfungsi dari
tuba Eustachius.Tekanan telinga tengah dengan puncaknya di wilayah tekanan
negatif di luar -150 mm H2O indikatif ventilasi telinga tengah miskin karena
tabung estachius disfungsi. Pola timpanometrik, dalam kombinasi dengan pola
audiogram, ijin diferensiasi antara dan klasifikasi gangguan telinga tengah.
Suatu timpanogram berbentuk huruf W dihubungkan dengan parut atrofik
pada membrana timpani atau dapat pula suatu adhesi telinga tengah, namun
biasanya membutuhkan nada dengan frekuensi yang lebih tinggi sebelum
dapat didemonstrasikan.
(20)

Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE,
dan apabila terdapat gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE
harus di tunda sampai telinga tengah normal.
(1)











Gambar 10. Timpanogram

C. Visual Reinforcement Audiometry
Metode audiometri yang dilakukan pada anak usia 6 bualn sampai 3 tahun dengan
menggunakan nada murni.metode ini sangat spesifik untuk anak usia tersebut dengan
menimbulkan respon perilaku untuk nada dengan frekuensi yang spesifik dan
rangsangan lainnya. Kadang respon anak akan berubah-ubah jika diberikan
rangsangan dengan intensitas rendah. Refleks terkejut dapat diamati jika anak diberi
suara keras, namun ini hanya menunjukkan bahwa anak dapat mendengar suara
tersebut atau tidak, belum tentu bahwa mereka memiliki fungsi pendengaran yang
normal.
(21)
Prinsip pemeriksaan :
Pemeriksaan ini didasarkan dengan prinsip bahwa ketika seorang anak
mendengar suara, ia akan mencari tahu suara apa itu. Jadi, misalnya anak mendengar
suara di sisi kirinya, ia akan menoleh ke kiri. VRA dilakukan dengan menggunakan
earphone atau sound-field.
Cara pemeriksaan :
Pemeriksaan dilakukan di ruangan khusus yang dilengkapi dengan mainan yang
terletak di kedua sisi anak, sekitar 90 derajat sisi kiri dan kanan. Mainan ini biasanya
diletakkan di dalam kotak plastik gelap dan tidak dapat terlihat sampai mainan
tersebut diaktifkan oleh alat tes.
(21)
Setelah aktivasi, mainan akan menyala dan bergerak dalam kotak. alat tes
diletakkan di luar ruang tes dan terkontrol dari sinyal pendengaran dan visual.
Awalnya stimulus pendengaran dengan intensitas tinggi disajikan secara bersamaan
dengan penguatan visual. Hal ini sangat ideal apada anak dengan mengasosiasikan
mainan yang bercahaya dengan suara yang mereka dengar. Jika anak menoleh untuk
melihat asal suara dalam kotak maka akan terbaca pada sinyal penguatan visual, jika
tidak maka perlu dilakukan kembali, atau mengarahkan anak untuk menoleh ke sisi
yang terdengar suara. Interpretasi yang muncul adalah anak dapat menyadari bahwa
mainan pada kotak akan menyala jika anak mendengar suaranya.
(21)








Gambar 11. Bagan Ruang Pemeriksaan VRA, P1:pemeriksa 1, P2: pemeriksa
2,A:Audiometri, LS1: pengeras suara 1, LS2: pengeras suara 2, SV: stimulus Visual, M:meja,
A:anak, I:ibu, JP:jendela pengamatan
(1)


D. Otoacoustic Emission (OAE)
Otoaacoustic emission merupakan produk sampingan koklea berupa energi
bunyi yang tidak dikirimkan ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju
liang telinga. Dasar biologik OAE yaitu gerakan sel rambut luar koklea yang
sangat kecil, memproduksi energi mekanik yang diubah menjadi energi
akustik sebagai respons terhadap getaran dari organ di telinga tengah. Sel
rambut luar koklea ini sangat rentan terhadap faktor eksternal (suara
berlebihan), internal (bakteri, virus) dan kondisi (defek genetik).
(4)

Terdapat dua jenis OAE yaitu 1). Spontaneous OAE (SPOAE) dan 2).
Evoked OAE. Spontaneous OAE (SPOAE)adalah mekanisme aktif koklea
untuk memproduksi OAE tanpa harus diberikan stimulus, namun tidak semua
orang dengan pendengaran normal memilki SPOAE. EOAE hanya akan
timbul bila diberikan stimulus akustik, dibedakan menjadi (1). Transient
Evoked OAE (TEOAE) dimana stimulus berupa click dan (2). Distortion
Product OAE (DPOAE) menggunakan stimulus berupa 2 buah nada murni
yang berbeda frekuensi dan intensitasnya.
(1)






Gambar 12. a. alat untuk pemeriksaan OAE
(1)










Gambar 13. Ilustrasi rangkaian alat pada pemeriksaan OAE
(14)


Pada telinga sehat, OAE yang timbul dapat dicatat secara sederhana dengan
memasang probe (sumbat) dari bahan spons berisi mikrofon mini ke dalam liang
telinga untuk memberi stimulus akustik dan untuk menerima emisi yang dihasilkan
koklea tersebut. Bila terdapat gangguan pada saat suara dihantarkan dari telinga luar
seperti debris/serumen, gangguan pada telinga tengah seperti otitis media maupun
kekakuan membran timpani, maka stimulus akustik yang sampai ke koklea akan
terganggu dan akibatnya emisi yang dibangkitkan dari koklea juga akan berkurang.
Alat OAE didesain secara otomatis mendeteksi adanya emisi (pass/ lulus) atau bila
emisi tidak ada/berkurang (refer/rujuk), sehingga tidak membutuhkan tenaga terlatih
untuk menjalankan alat maupun menginterpretasikan hasil. EOAE merupakan respons
elektrofisiologik koklea terhadap stimulus akustik, berupa bunyi jenis clicks atau tone
bursts. Respons tersebut dipancarkan ke arah luar melalui telinga tengah, sehingga
dapat dicatat oleh mikrofon mini yang juga berada di dalam probe di liang telinga.
EOAE dapat ditemukan pada 100% telinga sehat, dan akan menghilang/berkurang
pada gangguan pendengaran yang berasal dari koklea. EOAE mempunyai beberapa
karakteristik yaitu dapat diukur pada fungsi koklea yang normal bila tidak ada
kelainan telinga luar dan tengah; bersifat frequency specific (dapat mengetahui tuli
pada frekwensi tertentu); pada neonatus dapat diukur frekuensi dengan rentang yang
luas yaitu frekuensi untuk bicara dan bahasa (500-6000 kHz). OAE tidak muncul pada
hilangnya pendengaran lebih dari 30-40 dB.2,12,,20-2 EOAE dipengaruhi oleh
verniks kaseosa, debris dan kondisi telinga tengah (cavum tympani), hal ini
menyebabkan hasil refer 5-20% bila skrining dilakukan 24 jam setelah lahir.9
Balkany seperti dikutip dari Chang dkk melaporkan neonatus berusia kurang dari 24
jam liang telinganya terisi verniks caseosa dan semua verniks caseosa ini akan
dialirkan keluar dalam 24-48 jam setelah lahir. Sehingga angka refer < 3% dapat
dicapai bila skrining dilakukan dalam 24-48 jam setelah lahir. Bonfils dkk
melaporkan maturasi sel rambut luar lengkap terjadi setelah usia gestasi 32 minggu.
(4)

EOAE merupakan respons elektrofisiologik koklea terhadap stimulus akustik,
berupa bunyi jenis clicks atau tone bursts.

Respons tersebut dipancarkan ke arah luar
melalui telinga tengah, sehingga dapat dicatat oleh mikrofon mini yang juga berada di
dalam probe di liang telinga. EOAE dapat ditemukan pada 100% telinga sehat, dan
akan menghilang/berkurang pada gangguan pendengaran yang berasal dari koklea.19
EOAE mempunyai beberapa karakteristik yaitu dapat diukur pada fungsi koklea yang
normal bila tidak ada kelainan telinga luar dan tengah; bersifat frequency specific
(dapat mengetahui tuli pada frekwensi tertentu); pada neonatus dapat diukur frekuensi
dengan rentang yang luas yaitu frekuensi untuk bicara dan bahasa (500- 6000 kHz).11
OAE tidak muncul pada hilangnya pendengaran lebih dari 30-40 dB.
(4)

Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek negatif dari obat
ototoksik, diagnostik neuropati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu
dengar, skrining pemaparan bising (noise induced hearing loss) dan sebagai
pemeriksaan penunjang pada kasus-kasus yang berkaitan dengan gangguan koklea.
(1)

















Gambar 14. Mekanisme respon OAE, P: probe tone (berisi loudspeaker dan mikrofon
mini),a:stimulus akustik, b:otoacustic emision
(1)


E. Auditory Brainstem Response (ABR)
Merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai fungsi nervus VIII dan jalur
pendengaran di batang otak dengan merekam potensial listrik yang dikeluarkan sel
koklea selama menempuh perjalanan mulai telinga dalam hingga nukleus tertentu di
batang otak
(4)
.
Cara pemeriksaan :
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan elektroda permukaan yang
diletakkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau lobulus telinga.
Prinsip pemeriksaan ABR adalah menilai perubahan potensial listrik di otak setelah
pemberian rangsangan sensoris berupa bunyi. Rangsangan bunyi yang diberikan
melalui headphone atau insert probe akan menempuh perjalanan melalui koklea
(gelombang I), nukleus koklearis (gelombang II), nukleus olivarius superior
(gelombang III), lemnikus lateralis (gelombang IV), kolikulus inferior (gelombang V)
kemudian menuju ke korteks auditorius di lobus temporalis otak.Yang penting untuk
dicatat adalah gelombang I, III, dan V. ABR konvensional merupakan click evoked
ABR air conduction, dan frekuensi yang diberikan sebesar 2000-4000Hz, dengan
intensitas dapat mencapai 105dB. ABR membutuhkan waktu lebih lama dan tenaga
terlatih dalam mengoperasikan alat maupun menginterpretasikan hasil. Respons
neural terhadap stimulus bunyi yang diterima akan direkam komputer melalui
elektroda pemukaan (surface electrode) yang ditempelkan pada kepala (dahi dan
prosesus mastoid). Parameter yang dinilai berdasarkan morfologi gelombang,
amplitudo dan masa laten. Hasil penilaian adalah intensitas stimulus terkecil
(desibel/dB) yang masih memberikan gelombang BERA. Ada 5 gelombang BERA
yang dapat dibaca, masing masing menggambarkan respons dari bagian-bagian jaras
auditorik mulai dari nervus akustikus sampai kolikulus inferior. . Rangsangan bunyi
yang diberikan melalui head phone atau insert probe akan menempuh perjalanan
melalui koklea (gelombang I), nukleus koklearis (gelombang II), nukleus olivarius
superior (gelombang III), lemnikus lateralis (gelombang IV), kolikulus inferior
(gelombang V) kemudian menuju ke korteks auditorius di lobus temporalis otak.
Yang penting dicatat adalah gelombang I,III dan V. Pada bayi yang paling mudah
diidentifikasi adalah gelombang V (kolikulus inferior). Perlu diperhatikan agar
pemeriksaan BERA pada bayi dibawah usia 3 bulan atau bayi lahir prematur,
mungkin terjadi pemanjangan masa laten sehingga didapat kesan adanya tuli
konduktif, pada kasus seperti ini perlu dilakukan BERA ulangan pada saat usia lebih
dari 3 bulan dan dilakukan koreksi usia (pada prematur).
(4)










Gambar 15. Berbagai gelombang BERA sesuai dengan lokasi respon (neural generator)
(1)

ABR tidak terpengaruh oleh debris di liang telinga luar dan tengah namun
memerlukan bayi dengan keadaan tenang, karena dapat timbul artefak akibat gerakan.
ABR dapat mendeteksi adanya tuli konduktif dan tuli sensorineural. Sensitivitas 100%
dan spesifitas 97-98%.
(4)








Gambar 16. Elektroda pada pemeriksaan ABR (a) dan gambaran gelombang (b)
(19)


Automated auditory brainstem responese (AABR) Merupakan pemeriksaan
BERA otomatis sehingga tidak diperlukan analisis gelombang evoked potential
karena hasil pencatatan mudah dibaca, berdasarkan kriteria pass atau refer (tidak
lulus). Pemeriksaan ini sama dengan BERA konvensional yaitu menggunakan
elektroda permukaan dengan pemberian stimulus click, mudah dilakukan, praktis,
tidak invasif dan hanya dapat menggunakan intensitas 30 40 dB. Umumnya
digunakan untuk keperluan skrining pendengaran. Metode ini jauh lebih praktis
dari ABR karena tidak memerlukan interpretasi dari audiologist. Metode ini
dilakukan dengan tujuan untuk uji terhadap integritas struktur jalur pendengaran,
tetapi bukan pemeriksaan pendengaran yang sebenarnya. Pendengaran tidak dapat
dikatakan normal sampai anak cukup matang untuk menjalani behavioral
audiometry.
(4)









Gambar 17. Perbandinagan ABR bayi dengan ABR dewasa
(1)

Perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf pada bayi dan anak yang
usianya kurang dari 12-18 bulan, kareana terdapat perbedaan masa laten ,
amplitudo dan morfologi gelombang dibandingkan dengan anak yang lebih besar
maupun orang dewasa.
(1)

Ciorba et.al memberikan gambaran alur skreening pendengaran pada bayi
baru lahir berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Ferrara University
Hospital. Adapun alur skrining yang dilakukan seperti yang ditunjukan pada
gambar 18.










Gambar 18. Skrining pendengaran pada bayi berdasarkan tiga tahap
(22)

Pada bagan di atas dijelaskan bahwa pada bayi baru lahir yang tidak
memilki risiko untuk mengalami gangguan pendengaran dapat dilakukan skrining
pendengaran dengan tiga tahap yaitu OAE-OAE-ABR dalam 48 jam setelah
lahir.dalam pemeriksaan OAE dapat digunakan TEOAE ataupun DPOAE. Hasil
yang didapatkan dapat berupa pass/lulus atau refer/rujuk. Jika hasi yang
diapatkan rujuk, maka dalam waktu 30 hari dilakukan kembali tes OAE,dan jika
hasilnya masih didapatkan refer maka dilanjutkan dengan tes ABR pada usia 3
bulan. Jika dari tes ABR didapatkan kecurigaan adanya gangguan pendengaran
maka dapat dilakukan pemantauan audiologi berupa elektrochocleography. Hal
yang sama dilakukan pada bayi yang memilki faktor risiko gangguan
pendengaran, misalnya pada bayi prematur dengan usia kandungan 32 minggu,
tes OAE dilakukan dua kali. Apabila didapatkan hasil refer pada tes OAE yang
kedua, maka dilanjutkan dengan tes Automated ABR(AABR). Jika didapatkan
hasil berupa kecurigaan gangguan pendengaran maka dilanjutkan dengan
pemantauan audiologi berupa elektrochocleography.
(23)



















III. KESIMPULAN

Gangguan pendengaran pada masa bayi akan menyebabkan gangguan wicara,
berbahasa, kognitif, masalah sosial, dan emosional. Penggunaan daftar indikator risiko tinggi
direkomendasikan oleh The joint committee on infant Hearing tahun 2000 untuk
mengidentifikasi kemungkinan adanya gangguan pendengaran kongenital maupun didapat
pada neonatus. Skrining pendengaran pada bayi dapat dimulai dengan mengidentifikasi faktor
risko pada bayi serta menilai ada tidaknya keterlambatan perkembangan wicara pada bayi.
Adapun metode pemeriksaan gangguan pendengaran pada bayi yang dapat dilakukan
diantaranya Behavioral Observation Audiometry (BOA), Visual Reinforcement Audiometry,
Timpanometri, Otoacoustic Emission (OAE). Otoacoustic emissions (OAE), Auditory
Brainstem Response (ABR), , dan/atau automated auditory brainstem response (AABR)
direkomendasikan sebagai metode skrining pendengaran pada neonatus. The joint committee
on infant Hearing tahun 2000 merekomendasikan pemeriksaan baku pada skrining
pendengaran pada bayi adalah Otoacoustic emissions (OAE) dan automated auditory
brainstem response (AABR).












DAFTAR PUSTAKA
1. Suwento Ronny dkk. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. In: buku ajar
ilmu kesehatan telinga,hidung,tenggorok,kepala, dan leher FKUI ed. Ketujuh. balai
penerbit FKUI : Jakarta.2012.
2. Anderson KL. The charge of the task force was to develop evidence-based
recommendations for screening hearing of children age 6 months through high
school. American Academy of Audiology Childhood Hearing Screening
Guidelines.US:2011
3. Hyde ML. Newborn Hearing Screening Programs: Overview. The Journal of
Otolaryngology, Volume 34, Supplement 2, August 2005
4. Rundjan Lily, dkk. Skrining Gangguan pendengaran pada neonatus resiko tinggi. In:
Sari Pediatri vol.6. 2005.Pg;149-154.
5. Delaney MA. Newborn Hearing Screening.[diakses tanggal 8 Maret 2014]. Available
from : http://emedicine.medscape.com/article/836646-overview#showall
6. Nelson HD. Universal Newborn Hearing Screening:Systematic Review to Update the
2001U.S. Preventive Services Task Force Recommendation. AHRQ Publication No.
08-05117-EF-1.July:2008
7. Boies R.L. in effendi H, santoso K. Penyakit Telinga Luar Boies Buku Ajar Penyakit
THT (BOIES Fundamentalof otolaringology), ed 6. penerbit buku kedokteran, hal 84-
85
8. Sadler, T.W., Langmans Medical Embryology, Sadler: Montana. 2005, Hal. 403-414
9. Soertirto I dan Bashiruddin J in Soepardi A.E iskandar N edt. Gangguan
Pendengaran in buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung dan tenggorokan kepala
leher, ed 6, FKUI 2007, Hal 10-16
10. Menner Albert L. A Pocket Guide To The Ear. New York. 2006. Hal. 26-33
11. Mardiah Ainul. Fistula Preaurikula Congenital. Pada majalah kedokteran Nusantara
volume 38. No.4. FKUSU. Medan. 2005
12. Guyton AC, Hall JE.Indera pendengaran.In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.11.
EGC :Jakarta.2006
13. World Health Organization. Newborn and Infant Hearing Screening.Geneva :2009
14. Trihandani okti. Gambaran Hasil Pemeriksan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining
Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di Rsup H.Adam Malik Dan Balai Pelayanan
Kesehatan Dr.Pirngadi Medan. USU.2008
15. Andriani Rini,dkk. Peran instrumen modifikasi tes daya dengar sebagai alat skrining
gangguan pendengaran pada bayi risiko tinggi usia 0-6 bulan. Sari Pediatri vol 12.
Departemen ilmu penyakit telinga, hidung,tenggorokan, FKUI,Jakarta.2010
16. Skrining bayi baru lahir. Dalam : buku panduan tata laksana bayi baru lahir.HTA
Indonesia.2010.
17. Audiology .[diakses tanggal 13 Maret 2014].Available from
http://www.headneck.com/audiology. Southern california
18. Judith gravel,et.al . Audiologic Guidelines For The Assesment Of Hearing Infants
And Young Children.UK.:August. 2012
19. National Acoustic Laboratories. Hearing Assesment. [diakses tanggal 13 maret
2014]. Available from : www.nal.gov.au/hearing
20. Hidayat B. Hubungan Antara Gambaran Timpanometri dengan Letak dan Stadium
Tumor Pada Penderita Karsinoma Nasofaring. FK USU. Medan :2009
21. Mc grath Andrew. Visual reinforcement audiometry and conditioned play audio .
[diakses tanggal 13 maret 2014]. Available from : http://www.womenandinfants.org
22. Ciorba A,et.al. Neonatal newborn hearing screening:four years experience at
Ferrara University Hospital (CHEAP Project): Part 1. Acta Otorhinolaryngol Ital
2007;27:10-16

Anda mungkin juga menyukai