Anda di halaman 1dari 17

RESENSI NOVEL

Anggota Kelompok:
Catur Ringo. H. (02)
Gede Novantara (08)
M. Adam Akbar. L. (13)
Paul Manason. S. S. (19)
AND THE MOUNTAINS ECHOED
(DAN GUNUNG-GUNUNG PUN BERGEMA)
SMA NEGERI 3 SIDOARJO
TAHUN PELAJARAN 2013/2014
XII IPA 4

RESENSI NOVEL
AND THE MOUNTAINS ECHOED
(DAN GUNUNG-GUNUNG PUN BERGEMA)


A. IDENTITAS BUKU
Judul : And The Mountains Echoed
(Dan Gunung-Gunung Pun Bergema)
Penulis : Khaled Hosseini
Penerjemah : Berliani Mantili Nugrahani
Penyunting : Esti A. Budihabsari
Proofreader : Wiwien Widyawanti
Penerbit : Qanita (Mizan Grup)
Halaman : 516
Terbit : Juli, 2013
Cetakan Ke : 1

B. KEPENGARANGAN
Khaled Hosseini adalah seorang novelis Amerika kelahiran Afghanistan dan seorang
dokter. Setelah lulus kuliah, ia bekerja sebagai dokter di California, suatu pekerjaan yang ia
sangat sukai. Dia telah menerbitkan tiga novel, terutama debutnya di tahun 2003 menerbitkan
novel berjudul The Kite Runner, yang berlatar kehidupan di Afghanistan dan fitur Afghanistan
sebagai protagonis. Menyusul keberhasilan The Kite Runner, ia memutuskan untuk berhenti
dalam pekerjaan kedokteran dan menjadi seorang penulis penuh waktu.
Hosseini lahir di Kabul, Afghanistan pada tanggal 4 Maret 1965. Ayahnya bekerja sebagai
diplomat, dan ketika Hosseini berusia 11 tahun, keluarganya pindah ke Prancis. Empat tahun
kemudian, mereka mengajukan permohonan untuk tinggal di Amerika Serikat. Dia bersekolah di
Amerika dengan sedikit pengetahuan tentang bahasa Inggris pada saat itu dan kemudian resmi
menjadi warga negara di Amerika. Hosseini tidak kembali ke Afghanistan hingga tahun 2003
pada usia 38 , di mana ia "merasa seperti seorang turis di negara sendiri". Dalam wawancara
tentang pengalaman, ia mengaku terkadang merasa bersalah selamat karena telah mampu
untuk meninggalkan negara itu sebelum invasi Soviet dan perang berikutnya.
Ketiga novelnya menjadi buku terlaris, dengan The Kite Runner menghabiskan 101
minggu di daftar buku terlaris (nomor satu selama empat berturut-turut ) kategori novel fiksi.
Pada tahun 2007, The Kite Runner diikuti oleh A Thousand Splendid Suns, yang 21 minggu
berturut-turut masuk di daftar The New York Times Best Seller untuk kategori fiksi paperback
dan 49 minggu di The New York Times Best Seller daftar untuk kategori fiksi hardcover (nomor
satu selama 15 minggu-minggu). Kedua novel telah terjual lebih dari 38 juta kopi internasional.
Dan buku ketiga berjudul And The Mountains Echoed pun terbit di tahun 2013, dengan
tema seperti buku-buku sebelumnya yaitu kehidupan keras di Afghanistan.

C. SINOPSIS
Alkisah di sebuah kampung miskin bernama Shadbagh, di negeri Afghanistan, hidup
seorang pria bernama Saboor. Seperti layaknya pria yang lahir dan tumbuh di perkampungan
miskin, hidup Saboor pun penuh dengan keterbatasan dan perjuangan. Untuk mempertahankan
hidup dia dan keluarganya yang terdiri dari seorang istri (Parwana), tiga orang anak (Abdullah,
Pari, dan Iqbal). Abdullah dan pari adalah anak Saboor hasil pernikahan beliau dengan istri
pertamanya. Walaupun Saboor tergolong pria pekerja keras, namun apalah yang bisa
diharapkan dari desa miskin seperti Shadbagh. Pekerjaan Saboor hanya seputar pekerjaan kasar
seperti menjadi kuli bangunan atau mengolah lahan perkebunannya.
Saboor memiliki adik ipar laki-laki bernama Nabi. Nabi adalah adik Parwana. Di awal
cerita, Nabi merupakan pria berusia sekitar 20-an. Pria berwajah tampan ini pergi dari kampung
halamannya, mengadu nasib ke ibu kota, Kabul. Laki-laki inilah yang memulai segala kisah
berantai dan berliku namun berujung pada satu titik temu, dalam buku setebal 516 halaman ini.
Abdullah sangat menyayangi Pari. Sejak pari dilahirkan sebagai piatu, ibunya meninggal
ketika melahirkan Pari, Abdullah-lah yang merawatnya. Dia yang selalu menjaganya.
Mengajaknya bermain, bahkan membersihkan kotorannya. Para tetangga di Shadbagh tahu
bahwa mereka berdua tidak terpisahkan. Bagi Abdullah, Pari adalah cahaya matahari di hatinya.
Malapetaka pun datang. Peristiwa yang mengancurkan hati Abdullah. Ketika cahaya
matahari di hati Abdullah direnggut. Nabi mengambil Pari, dijual kepada keluarga Wahdati.
Keluarga kaya di Kabul, tempat Nabi bekerja sebagai sopir. Pasangan tersebut tidak memiliki
anak. Di satu sisi, kehadiran Pari membawa cahaya baru bagi pasangan Wahdati. Namun di sisi
lain, Abdullah kehilangan cahaya mataharinya. Kepergian Pari ibarat pisau tajam yang menyayat
hati, menyisakan luka yang sangat dalam. Hati Abdullah hancur. Abdullah tidak mengerti
bagaimana bisa orangtuanya begitu tega menjual Pari. Namun, orangtua Abdullah memiliki
alasan tersendiri, alasan yang bijaksana menurut mereka. Afghanistan memiliki musim dingin
yang dahsyat. Di kampung Shadbagh, musim dingin yang keji kadang mampu merenggut hidup
anak-anak mereka yang tidak sanggup bertahan. Dan, dengan menjual Pari kepada keluarga
yang lebih kuat secara ekonomi, mereka berharap Pari bisa selamat dari musim dingin di
Shadbagh dan dari segala keterbatasan fasilitas hidup yang akan dia temui nanti. Pun uang hasil
adopsi Pari bisa berguna untuk menjalani kehidupan keluarga Saboor yang tersisa. Satu jari
harus dipotong untuk menyelamatkan satu tangan, begitu pesan Parwana kepada Abdullah.
Kisah pun bergulir ke Kabul, ke rumah besar dan mewah kediaman keluarga Wahdati.
Suleman Wahdati adalah seorang pria kaya yang hidup berkecukupan dari harta warisan
orangtuanya. Dia menikah dengan Nila Wahdati. Nila merupakan wanita berdarah campuran
Afghanistan-Perancis. Perpaduan asia-eropa menghasilkan keindahan, kecantikan, dan
modernitas. Tiga hal tersebut terangkum dalam satu sosok cantik Nila Wahdati. Bahkan Nabi
pun yang berprofesi sebagai supir keluarga Wahdati, tidak bisa menghindari untuk tidak jatuh
hati pada wanita ini.
Pari yang saat itu masih berusia 3 tahun, hidup penuh siraman cinta dari Pasangan
Wahdati. Bukan saja siraman cinta, Pari memiliki segala yang mungkin tidak akan dia dapatkan
jika menjalanai masa kanak-kanaknya di Shadbagh. Segala macam mainan dan rekreasi pada
akhirnya mampu menghapus kenangan akan Shadbagh dari memori Pari. Perlahan-lahan, wajah

Abollah (panggilan Pari kepada Abdullah), Saboor, Iqbal, Parwana, bahkan Shuja (anjing yang
menjadi teman Pari ketika di Shadbagh) semakin memudar. Seperti memudarnya foto tua hitam
putih yang tidak terawat.
Rumah besar pasangan Wahdati yang selama ini ibarat rumah besar yang jauh dari
nuansa sebuah keluarga. Kini sejak kehadiran Pari, menjadi lebih segar ibarat sebuah rumah
besar yang dihuni oleh sebuah keluarga. Suleman Wahdati yang biasanya mengurung diri di
kamar untuk melukis atau membuat sketsa, kini sering terlihat menghabiskan waktu bersama
Pari. Suleman akan menggenggam tangan Pari yang memegang pensil, membuat sketsa hewan
di sebuah kertas putih kosong. Mereka membuat sketsa Jerapah dan hewan-hewan lainnya.
Begitu pula dengan Nila. Nila yang sering menulis puisi, kerap membacakan cerita untuk Pari.
Pada suatu hari, Suleman terserang stroke yang mengakibatkan dia harus berbaring di
tempat tidur dan melakuakan segala aktivitasnya dari tempat tidur tersebut. Mulai dari makan,
tidur, urusan ke kamar mandi, bahkan menerima tamu. Nila yang merupakan istri tanpa keahlian
mengurus suami atau rumah tangga kehabisan kesabaran menghadapi sindiran orangtua
Suleman. Dia bahkan tidak mampu menghadapi tatapan Suleman, suaminya sendiri. Di tengah
segala keputusasaan, dia mengambil koper, mengajak Pari, meninggalkan Afghanistan menuju
Perancis. Sejak saat itu, Nila tidak pernah lagi kembali ke Afghanistan. Bahkan untuk sekadar
mengunjungi suaminya. Tinggallah Nabi yang mengurus segala keperluan Suleman. Nabi
menyuapinya, menjadi penerjemah ucapan Suleman (yang mengalami kesulitan bicara akibat
serangan stroke) dengan orang lain. Mengganti pakaiannya, memasangkan popok orang
dewasa, membaca untuknya, dan mengganti popok yang dia juga yang memasangnya. Sempat
terbersit niat Nabi untuk berhenti bekerja pada tuan Suleman. Dia akan mencari penggantinya.
Namun pada akhirnya, Nabi bertahan di rumah tersebut sampai bertahun-tahun kemudian.
Sampai Suleman meninggal.
Nabi menjalani hari-hari di rumah besar tersebut. Menjadi saksi perang yang dialami
negerinya, perang yang datang silih berganti walaupun dengan tokoh dan pemeran utama
berbeda. Nabi dan rumah terebut menjadi saksi perubahan yang terjadi di negeri Afghanistan.
Rumah itu ikut merasakan roket yang menimpa tembok besarnya. Sebagian perabot dan karpet
yang menghiasi rumah pun menjadi korban penjarahan orang-orang yang ikut rusak moralnya
akibat perang. Nabi hanya bisa pasrah menghadapi efek buruk dari perang yang tidak
berkesudahan. Kerusakan fisik yang menimpa bangunan-bangunan yang ada di Kabul maupun
rusaknya moral para tentara perang tersebut. Nabi tetap tinggal di rumah Wahdati selama 63
tahun, menemani Suleman sampai wafat. Dan pada akhirnya Suleman mewariskan rumah
tersebut pada Nabi. Pada masa Afghanistan kedatangan para relawan internasional, Nabi
mengizinkan rumah tersebut digunakan sebagai kantor para sukarelawan dari luar negeri. Salah
seorang tenaga sukarelawan terebut bernama Markos, dokter ahli bedah dari Yunani. Nabi
membuat surat yang dibaca Markos setelah Nabi wafat. Dalam surat tersebut, Nabi
menceritakan tentang pemilik rumah yang sesungguhnya, tuan Suleman. Tentang Nila, juga
tentang Pari yang direnggut dari keluarganya. Nabi minta bantuan Markos untuk mencari Pari,
menceritakan kisah hidup yang sebenarnya tentang Pari dan menyerahkan hak waris rumah
kepada Pari.

Di Paris, setelah dewasa, Pari kuliah matematika di Sorbonne university. Nila menjadi
penulis puisi yang cukup terkenal di Paris. Dia juga mengelola toko buku. Sampai usia dewasa,
Nila tidak pernah menceritakan perihal sejarah keluarga Pari yang sebenarnya. Bahwa dia
bukanlah anak kandungnya. Bahwa Pari memiliki keluarga di Shadbagh. Bahwa Nila dan Suleman
telah merenggut Pari dari kakak yang sangat menyayanginya, Abdullah.
Nila yang hidupnya diwarnai dengan alkohol, rokok, pria, dan puisi pada akhirnya wafat
karena bunuh diri. Pari menjalani kehidupan di Paris. Menikah, memiliki 3 anak, menjadi
profesor, dan megajar di sebuah universitas. Anak-anak pari pun tumbuh dewasa, menikah, dan
Pari pun menjadi nenek. Eric, suami Pari meninggal ketika Pari berusia 48 tahun.
Pada suatu hari, Pari menerima telepon jarak jauh dari Kabul, Markos. Dalam
pembicaraan melalui telepon, Markos menceritakan soal catatan panjang yang ditulis Nabi.
Mendengar nama Nabi disebut, ingatan Pari kembali ke Kabul. Markos membaca seluruh
catatan Nabi. Dan ingatan Pari pun menyeruak keluar dari kedalaman benaknya. Perlahan-lahan,
kenangan akan kampung Shadbagh terurai kembali, tentang gunung-gunung yang mengelilingi
Shadbagh, kincir angin, pohon besar, dan anjing dengan luka di telinga yang selalu mencari Pari.
Samar-samar, dia teringat akan potongan sebuah syair dan sosok kakak laki-laki yang menjadi
pendaran cahaya hatinya. Selekasnya, Pari mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk
melakukan perjalanan ke tanah kelahirannya, Afghanistan.
Di Kabul, di rumah besar keluarga Wahdati, dia bertemu Markos. Pari sangat terharu
dan mencoba mengingat-infat lebih jelas dengan barang-barang yang masih bertahan di rumah
yang kini menjadi miliknya sebagai hak waris sesuai wasiat Nabi. Mobil yang pernah membawa
Pari jalan-jalan keliling kota Kabul bersama Abdullah masih ada di sana, menjadi saksi
perubahan-perubahan yang terjadi terhadap rumah tersebut dan pergantian para pemiliknya. Di
sinilah, pada akhirnya Pari merasa menemukan sejarah dirinya.
Pada akhir kisah buku ini. Pada akhirnya, Pari menemukan informasi tentang Abdullah.
Kakak laki-lakinya terebut sekarang tinggal di Amerika dan memiliki putri bernama sama
dengannya, Pari. Setelah 58 tahun terpisah, adik-kakak terebut akhirnya bertemu kembali.
Namun ironis, Abdullah pada usia tersebut sudah hampir kehilangan kemampuanya untuk
mengingat. Kesehatannya sudah sangat rapuh. Tidak ada air mata kebahagiaan dalam
pertemuan dua saudara ini. Rasa bahagia itu hanya dapat dirasakan oleh Pari remaja dan Pari
dewasa. Karena faktor usia dan kesehatan, Abdullah sudah tidak mampu utnuk mengingat Pari
adiknya.

D. NILAI BUKU
a) Kelebihan
Buku ini memiliki alur yang sangat unik. Alur tersebut tidak runtut dari peristiwa awal
hingga akhir sehingga alur tersebut memiliki jangka waktu yang melompat-lompat namun
masih dalam satu alur. Jangka waktu tersebut menceritakan setiap karakter yang sangat
detail hingga sifat, ciri-ciri, serta latar belakang hidupnya terpaparkan dengan jelas di dalam
satu cerita. Inilah keunikan dari novel ini, alur tersebut membuat kita lebih menikmati dalam
membaca setiap peristiwa karakter dengan baik sehingga karakter-karakter tersebut memiliki
peran yang sangat kuat dalam cerita. Detail setiap tempat pun sangatlah akurat. Harus diakui,
kami berdecak kagum akan kepiawaian Hosseini dalam menggambarkan atau

mendeskripsikan suasana tempat. Hosseini menuliskan bagaimana rumah Wahdati yang
megah dengan sangat detail dan indah. Terlebih lagi saat menggambarkan suasana di
Perancis. Banyak juga pesan-pesan yang terkandung dalam novel ini salah satunya yaitu saat
Saboor menceritakan sebuah cerita kepada Pari dan Abdullah dimana dalam hidup janganlah
kita putus asa dalam menjalankan ujian hidup yang menimpa kita.

Taman di belakang rumah tampak cantik, dengan berderet-
deret bunga beraneka warna yang terpangkas rapi, semak-
semak setinggi lutut, dan pohon buah di sana-sini-Abdullah
mengenali pohon ceri, apel, aprikot, dan delima.

(Khaled_Hosseini_hal 56)

b) Kelemahan
Di samping kelebihan, setiap novel pun pasti memiliki kelemahan. Novel ini terkadang
memiliki satu peristiwa yang sangat berlebihan sehingga membuat kami membacanya sangat
bosan di beberapa peristiwa. Hosseini terlalu jauh dalam mengembangkan setiap karakter
terutama dalam karakter-karakter pendukung yang menurut kami terlalu bertele-tele
sehingga membuat ikatan emosional antara pembaca dan tokoh utama semakin jauh.
Banyaknya karakter pendukung yang tidak terlalu penting membuat pembaca sedikit bingung
dengan hubungan antara satu karakter utama dengan karakter pendukung lain sehingga
terkadang pembaca akan lupa dengan hubungan yang pernah terjadi antar karakter tersebut.
Tidak seperti dua karya Hosseini sebelumnya, And the Mountains Echoed tidak terlalu
membuat pembaca merasakan gejolak emosional yang mendalam walaupun banyak
peristiwa-peristiwa yang sangat mengharukan dan membuat merinding dengan cerita yang
cukup menyayat hati.

Kadang-kadang, semua itu terlalu berlebihan bagi Masooma.
Seakan-akan malu, dia mengatakan kepada Parwana keinginannya
untuk berada di rumah seharian, agar tidak ada yang memandangnya.

(Khaled_Hosseini_hal 88)

E. KECOCOKAN PEMBACA
Novel And The Mountains Echoed sangat cocok dibaca oleh kalangan pemuda juga
orang dewasa kisaran umur 15 tahun ke atas. Buku ini sangatlah inspiratif, banyak mengandung
pesan-pesan moral yang mendalam dan peristiwa-peristwa yang dapat dijadikan pelajaran
dalam hidup. Terlebih lagi novel ini banyak mempunyai kutipan-kutipan yang mudah diingat.
Menceritakan kehidupan Abdullah, Pari, Nabi, dan beberapa karakter lain di setiap peristiwa
selalu memiliki pesan-pesan yang dapat membangkitkan hidup dan pelajaran yang dapat
menggugah kehidupan kita untuk menjadi lebih baik. Sisi emosional yang didapat juga cukup
membuat kita terlarut dalam cerita hingga membuat merinding dalam membacanya.
Novel yang pantas dibaca untuk kalangan remaja hingga dewasa ini hendaknya dapat
dijadikan inspirasi dalam kehidupan dan selalu merasa bersyukur akan hidup sebagaimana yang
banyak diceritakan dalam novel ini. Novel yang bagus, memukau, dan menakjubkan, dapat
menggugah hati yang membacanya.



F. PENDEKATAN
a) Pendekatan Obyektif
Tema
Tema yang terkandung dalam novel ini yaitu tentang Usaha manusia untuk
melampaui Perbedaan.

Rekomendasi fiksi terbaik memukau And The Mountains Echoed,
kisah tentang usaha manusia untuk melampaui perbedaan.

(Bookpage_hal 6)

Alur
Alur yang dimiliki oleh novel ini yaitu Alur Maju Mundur, dimana alur nya menceritakan
peristiwa dengan waktu yang tidak runtut dan melompat-lompat antara satu peristiwa
dengan peristiwa lain.
Alur Maju:

Abdullah berbaring di dekat api, meringkuk di bawah selimut
wol di bawah Pari, merasakan tekanan tumit dinginnya.

(Khaled_Hosseini_hal 46)

Alur Mundur:

Abdullah mengingat musim dingin dua tahun silam, ketika
semuanya tertelan kegelapan pekat, dan angin menembus
masuk kendati pintu sudah ditutup, berderu pelan, panjang
dan nyaring, menerobos setiap celah kecil di langit-langit.

(Khaled_Hosseini_hal 47)

Penokohan
- Abdullah: penyayang, pengertian, perhatian

Saat Pari masih bayi, dialah yang dibangunkan-
nya dengan lengkingan dan ocehan, dialah yang
menatih dan menimangnya dalam kegelapan.

(Khaled_Hosseini_hal 49)

Abdullah kembali berbaring, memeluk erat adiknya,
jantungnya berdegup kencang hingga terasa di tenggorokan.

(Khaled_Hosseini_hal 52)

- Pari : Ceria, terlalu berhati-hati, pasrah, mudah beradaptasi


Di dalam kepalanya terdengar gemericik tawa Pari
di sekitar rumah, seperti dahulu.

(Khaled_Hosseini_hal 70)

Dia terlalu berhati-hati, banyak perhitungan, pasrah,
dan mudah beradaptasi, secara keseluruhan lebih
stabil dan tidak seheboh Maman atau Colette.

(Khaled_Hosseini_hal 257)
- Saboor: Pendiam, harga dirinya tinggi

Ayah berwatak pendiam. Dia jarang mengucapkan
lebih dari dua kalimat berurutan dalam sekali waktu.

(Khaled_Hosseini_hal 49)

Tetapi Saboor, sebagaimana kebanyakan pria di
desa saya, memiliki harga diri tinggi, sifat yang
menyebalkan tetapi tidak tergoyahkan.

(Khaled_Hosseini_hal 134)

- Parwana: Keras, kasar

Namun, Parwana sepertinya tidak memperoleh
kepuasan dari memukul Abdullah, meskipun dia juga
tidak bisabersikap lembut kepada anak-anak tirinya.

(Khaled_Hosseini_hal 38)

- Masooma: suka cari perhatian, rela berkorban

Masooma menyisir rambut dan membingkai
mata dengan selapis celak, seperti yang selalu
dilakukannya untuk menyambut kunjungan Nabi.

(Khaled_Hosseini_hal 85)

Berbahagilah, Parwana. Kumohon, berbahagialah.
Lakukanlah ini untukku.

(Khaled_Hosseini_hal 96)
- Nabi: Setia, rendah hati

Ya, sayalah yang paling sering berada di samping ranjang
Tuan Wahdati, sayalah yang membantunya minum pil dan
menyambut siapapun yang memasuki kamarnya.


(Khaled_Hosseini_hal 143)


Ya, secara hukum, rumah dan segala sesuatu di dalamnya
sekarang milik saya, tetapi saya tidak punya rasa memiliki,
dan saya tahu bahwa rasa itu tidak akan pernah ada.

(Khaled_Hosseini_hal 168)

- Zahid: Menyebalkan

Pria menyebalkan yang selalu mendecakkan lidah
setiap mengucapkan satu kalimat, dan suara bergosip.

(Khaled_Hosseini_hal 110)

- Nila Wahdati: Perokok, banyak bicara (suka bercerita)

Nyonya Wahdati meraih bungkus rokok di
dekat piring biskuit dan menyalakan sebatang.

(Khaled_Hosseini_hal 59)

Dia biasanya banyak bicara, dan itu sesuai untuk saya;
saya sudah cukup senang bisa menjadi curahan cerita-ceritanya.

(Khaled_Hosseini_hal 118)

- Suleiman Wahdati: Pemurung, tangguh, mudah cemas dan khawatir

Suleiman adalah pria tua murung yang
terperangkap di tubuh pemuda.

(Khaled_Hosseini_hal 119)

Dia adalah pria tertangguh yang pernah saya kenal,
tetapi sejak stroke menyerangnya, hal-hal paling sepele
saja bisa membuatnya cemas, khawatir, dan menangis.

(Khaled _Hosseini_hal 147)

- Maskor: Suka menolong, baik

Aku berniat menjadi sukarelawan selama tiga bulan.

(Khaled_Hosseini_hal 418)


Kau ternyata tumbuh menjadi orang baik.

(Khaled_Hosseini_hal 435)

- Eric: Ramah, perhatian, sopan

Dan meskipun tidak mendebarkan hati seperti wajah
Julien, wajahnya jauh lebih ramah dan, sebagaimana
yang diketahui Pari sesaat kemudian, menyiratkan
perhatian besar, ketenangan, dan kesopanannya.

(Khaled_Hosseini_hal 282)

Setting
Latar:
- Shadbagh

Kehidupan terus berjalan di Shadbagh.

(Khaled_Hosseini_hal 69)
- Gurun Pasir

Gurun membentang di hadapan mereka, luas dan ter-
buka, seolah-olah tercipta hanya untuk mereka, udara
pengap, panas membara, serta langit tinggi dan biru.

(Khaled_hosseini_hal 34)

- Kabul

Bagaimana Kabul menurut kalian, Anak-anak?

(Khaled_Hosseini_hal 54)

- Rumah Wahdati

Rumah itu terbukti lebih menawan
begitu Paman Nabi mempersilahkan
Abdullah, Pari, dan Ayah masuk.

(Khaled_Hosseini_hal 56)
- Abes Kabob House

Mereka mendatangi Abes Kabob House di sisi timur San Jose,
di dekat pasar loak tua Berryessa Flea Market.

(Khaled_Hosseini_hal 208)
- Kota Courbevoie, Paris


Kami duduk di ruang tamu apartemen mungil
Nila Wahdati di lantai tiga belas sebuah gedung
permukiman di kota Courbevoie, barat laut Paris.

(Khaled_Hosseini_hal 230)

- Tinos

Seperti kebanyakan rumah di Tinos, dinding rumah
kami terbuat dari batu berkapur putih, dan atapnya
datar, dengan ubin merah berbentuk intan.

(Khaled_Hosseini_hal 356)
Waktu:
- Sejak 1947 hingga 2000

Aku bekerja untuk Tuan Wandari di sini sejak 1947
sampai 2000, ketika dia meninggal. Dengan baik hati,
dia memberikan rumah ini kepada ku dalam wasiatnya, ya.

(Khaled_Hosseini_hal 187)

- Musim dingin 1952

Barangkali pada pagi berangin di musim gugur,
ketika saya menghidangkan teh untuk Nila, ketika saya
membungkuk dan mengiris kue roat untuknya, ketika
radio yang bertengger di kusen jendelanya mengudarakan
laporan bahwa musim dingin 1952 akan segera tiba,
mungkin akan lebih brutal daripada yang sebelumnya.

(Khaled_Hosseini_hal 133)

- Tahun 2002

Pada masa itulah. Mr. Markos, rumah ini paling banyak
menerima kerusakan, sebagaimana yang anda
saksikan sendiri pada tahun 2002.

(Khaled_Hosseini_hal 161)

- Pukul 09.30

Pria yang menelepon pada pukul 09.30 itu
bernama Markos Varvaris.

(Khaled_Hosseini_hal 297)


- Pukul 21.30 dan pukul tujuh malam

Aku menyelesaikan catatanku dan melirik arlojiku.
Sekarang sudah pukul 21.30. Pukul tujuh malam di Yunani.

(Khaled_Hosseini_hal 353)

Suasana:
- Ramai dan berisik

Mobil-mobil berlalu lalang ribut di jalanan yang padat,
mengklakson, melesat di antara bus, pejalan kaki, dan sepeda.

(Khaled_Hosseini_hal 52)

- Mencekam

Jeritan Nila terdengar dari atas, dari kamar tidur utama.

(Khaled_Hosseini_hal 140)

- Perang

Peluru-peluru menghantam setiap rumah. Roket-roket
berdesing di langit. RPG meledak di sepanjang jalan dan
meninggalkan lubang-lubang menganga di aspal.

(Khaled_Hosseini_hal 161)

- Canggung

Aku nyaris bisa melihat keraguan dan kebingungan
beriak di wajahnya seperti kedutan.

(Khaled_Hosseinin_hal 467)
Sudut Pandang
Sudut pandang atau Point of View yang digunakan dalam novel ini bersudut pandang
dua: Sudut Pandang Orang Pertama dan Sudut Pandang Orang Ketiga. Sudut Pandang
Orang Ketiga lebih banyak digunakan dalam novel ini. Sudut Pandang Orang Pertama
banyak digunakan dalam alur saat tokoh utamanya adalah Markos, dan ada satu bab
dimana Nabi menceritakan kisahnya dalam POV Orang Pertama.
Sudut Pandang Orang Ketiga:

Abdullah tidak menjawab. Dia menelan ludah dan memicingkan mata,

berkedip di hadapan wajah yang menghalangi matahari dari wajahnya.

(Khaled_Hosseini_hal 32)
Sudut Pandang Orang Pertama:

Malam ini aku pulang dari klinik dan menemukan
pesan dari Thalia di pesawat telepon di kamarku.

(Khaled_Hosseini_hal 352)
Kebahasaan
Dalam novel ini, bahasa yang digunakan cukup dimengerti dan menggunakan bahasa
Indonesia formal khas novel terjemahan. Bahasa Indonesia yang lugas, luwes, dan jelas
pun digunakan cukup baik dan terstruktur dengan baik pula. Cukup membaca dengan
sekali baca, kita dapat memahami kalimat demi kalimat yang tertulis dalam novel
tersebut. Banyak menggunakan kosa kata yang mudah namun bukan kata-kata biasa
sehingga dapat memperindah dan mempercantik setiap cerita itu sendiri. Juga terdapat
berbagai kalimat dalam bahasa Perancis.

Pari bertemu kembali dengan Julien setahun silam,
pada 1973, setelah hamper satu dasawarsa.

(Khaled_Hosseini_hal 254)

Dia meringis. Parfois je pense que tu es mon seul ami, Nabi.

(Khaled_Hosseini_hal 133)

Amanat
Amanat yang terkandung dalam novel ini antara lain:
- Kekejaman dan kemuliaan hanya nuansa berbeda dari warna yang sama

Jika kau sudah hidup selama aku, jawab sang div,
kau akan mengerti bahwa kekejaman dan kemuliaan
hanyalah nuansa berbeda dari warna yang sama.

(Khaled_Hosseini_hal 27)

- Jangan suka membuang waktu

Waktu kami yang sudah terbuang tidak mungkin diperoleh lagi.

(Khaled_Hosseini_hal 435)

- Optimis dalam melakukan sesuatu

Dia akan memilih arah dan mulai berjalan. Dia
akan berjalan sejauh mungkin dari Shadbagh,
ke mana pun kakinya membawa.

(Khaled_Hosseini_hal 72)

b) Pendekatan Sosiologi
Dalam novel tersebut, menceritakan bahwa terdapat suatu peristiwa dimana tradisi
pernikahan saat bayi berumur sepuluh bulan di Kabul, diadakan suatu perayaan besar-
besaran dalam rangka melakukan tradisi tersebut.

Para wanita dengan tekun menyiapkan baki-baki
berisi piramida nasi putih pulen bercampur safron.
Mereka mengiris-iris roti, mengeruk kerak nasi dari
dasar panci, mengedarkan piring-piring berisi terung
goreng bersaus yoghurt dan mint kering.

(Khaled_Hosseini_hal 79)

Dalam novel ini terdapat banyak cerita yang bersetting di Perancis sehingga banyak
menerangkan suatu kebiasaan dalam Negara tersebut. Salah staunya yaitu kebiasaan
minum anggur dan merokok di Perancis yang sering dilakukan oleh masyarakatnya.

Sebuah kantung kertas berisi botol-botol anggur kosong
tergeletak di meja, nyaris jatuh.

(Khaled_Hosseini_hal 252)

Pari menyalakan rokok, dan saat Julien memasuki kamar
dan bertanya, Kau tidak jadi ikut kan? dia tidak menjawab.

(Khaled_Hosseini_hal 228)

Dengan banyaknya cerita yang bersetiing di Tinos Yunani pula, tradisi dalam kota
tersebut juga banyak diterangkan, salah satunya yaitu perayaan Perjamuan Dormition
setiap tanggal 15 Agustus di Tinos yang sering dihadiri oleh umat yang beragama
Nasrani. Perayaan tersebut sangat istimewa dan umat yang menghadiri harus
mengenakan pakaian sopan yang digemari dan benar-benar khusyuk dalam
melaksanakan perjamuan tersebut.


Setelah selesai berbenah-benah, mama mengenakan busana
andalannya, yang dikenakannya setiap tanggal 15 Agustus untuk
merayakan Perjamuan Dormittion di Gereja Panagia Evangelistria,
ketika para peziarah mendatangi Tinos dari seluruh penjuru
Mediterania untuk berdoa di hadapan ikon tersohor gereja.

(Khaled_Hosseini_hal 356-357)

c) Pendekatan Psikologis/Ekspresif
Saat Pari dijual oleh ayahnya kepada pasangan Wahdati di Kabul, Abdullah merasa
kehilangan seseorang sehingga dia merasa sebagian dirinya hilang ketika Parri tidak
ada lagi di sisinya. Ayahnya mengatakan harus ada yang dikorbankan agar mereka
dapat bertahan hidup pada msuim dingin.

Hilang. Lenyap. Tiada yang tersisa. Tiada yang terungkap.
Seruas jari harus dipotong untuk menyelamatkan tangan.

(Khaled_Hosseini_hal 70)

Dalam novel, Parwana merasakan gjoak hatinya yang luar biasa saat mengetahui
Masooma diam-diam juga menyukai orang yang dicintainya, Saboor. Dia patah hati,
merasakan hatinya hancur dan rasa sakit yang mendalam saat Saboor pun juga
mencintai balik kakak kembarannya yang memiliki paras lebih baik dari dirinya.

Parwana mengaku tidak keberatan,
tetapi hatinya hancur berantakan.

(Khaled_Hosseini_hal 82)

Saat Pari mendapat suatu kisah yang membuatnya sedikit bingung dari Maskor melalui
telepon, dia terkejut dan kenangan-kenangan pun mulai membanjiri ingatannya.
Kenangan-kenangan atas masa kecilnya, atas kakak yang selalu menyayanginya, dan
akan keluarga kecil yang ditinggalkannya di Afghanistan.

Tangan Pari gemetar. Sesuatu yang mengejutkan tengah
menimpanya. Sesuatu yang sungguh menakjubkan.
Inilah yang terjadi padanya, kenangan menyeruak,
menyembur dari kedalaman benaknya.

(Khaled_Hosseini_hal 301)



d) Pendekatan Moral
Terdapat suatu peristiwa dimana Abdullah dan Pari meminta izin kepada Ayahnya
ketika hendak mengambil kue yang disediakan oleh Nyonya Wahdati kepada mereka.
Hal ini merupakan salah satu pendekatan moral dimana mereka berdua meminta izin
kepada ayahnya terlebih dahulu untuk melakukan sesuatu.


Abdullah menoleh kepada Ayah untuk
meminta izin, dan Pari menirunya.

(Khaled_Hosseini_hal 57)

Kepribadian Nila Wahdati banyak disinggung dalam novel ini. Dia digambarkan sangat
ekstrovert, terbuka, dan tak acuh dalam hidupnya. Dia sering minum, merokok, dan
merasa tak perlu memiliki harga diri. Kepribadian Nila ini masuk dalam pendekatan
moral yang juga membahas tentang kepribadian.

Saya mengatakan kepadanya bahwa saya tidak peduli
pada kehormatan. Bahwa saya tidak berminat
mengalungkan tali kekang di leher saya.

(Khaled_Hosseini_hal 268)

Nilai-nilai keagamaan di novel ini banyak disinggung. Salah satunya yaitu saat Neal
bersedia masuk islam. Banyak sekali nilai-nilai yang disinggung terutama karena latar
dan setting tempat ini terjadi di tempat yang banyak menganut islam yaitu
Afghanistan.

Bahkan ketika Neal bersedia pindah Islam, dan
belajar bahasa Farsi, aku selalu mencari-cari
kesalahan lain, kekurangan dan alasan lain.

(Khaled_Hosseini_hal 492)

G. KESIMPULAN
Secara keseluruhan, novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca bagi yang ingin
membacanya. Alur yang kompleks dan unik, karakter-karakter dengan pengenalan tokoh yang
luar biasa, serta berbagai tempat yang belum pernah kita tahu sebelumnya, membuat novel ini
memiliki nilai sastra yang tinggi dan dapat membuat para pembacanya berdecak kagum. Pesan-
pesan yang disampaikan pun penuh dengan makna, dan dapat menginspirasi bagi yang

membacanya. Novel ini mampu memberi ikatan emosional yang cukup baik antara pembaca
dengan alur.
Namun sayang, pengenalan tokoh sampingan yang terlalu detail membuat tokoh utama
sedikit terlupakan dan jalinan alur sebelumnya pada tokoh utama sedikit kabur ketika masuk ke
dalam kisah tokoh sampingan yang tidak terlalu penting tersebut. Seharusnya, tokoh sampingan
memiliki kisah yang ringkas namun jelas. Sehingga pada novel ini ada beberapa bagian yang agak
membosankan. Gejolak emosional kurang bisa didapat saat membaca novel ini, ada beberapa
peristiwa yang dapat membuat kami terharu namun tidak terlalu berbekas di dalam diri kami.
Dengan semua kelebihan dan kekurangan tersebut, novel And The Mountains Echoed
sangat layak untuk dibaca dan dapat menjadikan buku ini dengan berbagai hikmah dan pesan
yang terkandung di dalamnya. Kami merekomendasikan novel ini untuk dibaca oleh para
pembaca remaja dan orang dewasa.

Anda mungkin juga menyukai