Anda di halaman 1dari 3

Katak Hendak Jadi Lembu (1935)

Katak Hendak Jadi Lembu, sebuah novel yang dikarang oleh Nur Sutan Iskandar.
Novel itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1935 oleh Balai Pustaka, Jakarta. Katak
Hendak Jadi Lembu dicetak untuk kedua kalinya pada tahun 1952 juga oleh Balai Pustaka,
Jakarta.

Novel itu mengisahkan kehidupan seorang priyayi ambtenar, Suria, yang menjabat
sebagai Manteri Gubernemen di kota Sumedang. Ayahnya bernama Haji Zakaria yang sangat
memanjakannya semasa Suria masih kecil. Ia menjadi anak yang manja dan tinggi hati.

Suria menikah dengan Zubaedah, anak tunggal seorang kaya, yang bernama Haji
Hasbullah. Haji Zakaria adalah sahabat karib Haji Hasbullah. Kekariban persahabatan itulah
yang mendorong pernikahan Suria dan Zubaedah. Tidak lama setelah pernikahan itu Haji
Zakaria meninggal dunia dan semua warisan Haji Zakaria jatuh ke tangan Suria. Harta
peninggalan itu dibawa oleh Suria berfoya-foya sehingga tidak berapa lama saja harta itu
habis.

Setelah Zubaedah melahirkan anak, Abdulhalim, Suria meninggalkan Zubaedah. Tiga


tahun lamanya Zubaedah hidup sebagai seorang janda. Hal itu dijalaninya dengan sabar dan
tawakal.

Suria mengalami penderitaan berat setelah semua uang dan hartanya itu habis. Ia
menyesal dan kembali ke rumah Zubaedah, kemudian meminta maaf serta ampun kepada
Haji Hasbullah agar Zubaedah dapat menerimanya kembali. Zubaedah menerima Suria
kembali. Suria kemudian diangkat sebagai Manteri Kabupaten. Akan tetapi, penghasilannya
sebagai manteri itu tak pernah sampai ke rumah. Uang sekolah anaknya tidak pernah
dibayarnya. Oleh sebab itu, Abdulhalim dibawa oleh kakek dan neneknya ke Tasikmalaya
dan disekolahkan di sana. Abdulhalim disekolahkan di sekolah Belanda, kemudian
diteruskan ke sekolah menak di Bandung dengan dibiayai oleh kakeknya, Haji Hasbullah.

Walaupun Abdulhalim telah ditanggung oleh Haji Abdullah, adik-adik Abdulhalim,


yaitu Saleh dan Hamid sekolahnya tetap terbengkalai. Uang sekolah untuk kedua anak itu
sering belum terbayar, belanja dapur pun tidak tercukupi dan utang semakin besar. Para
penagih utang sering kecewa karena tidak dapat memperoleh piutangnya dari Zubaedah.
Zubaedah ingin pergi ke rumah orang tuanya, tetapi sebagai istri yang setia hal itu tidak
dilakukannya.

Perselisihan itu disebabkan oleh Suria yang selalu menurut hawa nafsunya untuk
berfoya-foya. Selanjutnya, karena sudah tidak tahan lagi, Zubaedah menyalahkan semua
persoalan pada Suria. Suria merasa malu karena ia di kantornya berlagak kaya, ternyata di
rumah utangnya menumpuk. Akan tetapi, sifat sombongnya tak pernah hilang. Ia gila
hormat dan gila pangkat. Agar semua dapat diatasi dengan tuntas, Suria melakukan
penggelapan uang di kantornya. Akan tetapi, perbuatan itu diketahui oleh atasannya. Untuk
menutupi rasa malunya itu, ia minta berhenti dari pekerjaannya.

Sementara itu, Abdulhalim telah dewasa dan telah berumah tangga dengan
berbahagia. Zubaedah mengirim surat kepada Abdulhalim dan bercerita tentang kejatuhan
ayahnya, Suria. Abdulhalim menyuruh ibu, ayah, dan adik-adiknya datang ke Bandung
karena rumah ayah ibunya itu telah dilelang dalam usaha membayar utang. Keluarga Suria
itu pun pindah ke Bandung.

Ternyata kesombongan Suria tidak pernah hilang. Suria ikut campur tangan dalam
masalah keluarga anaknya. Ia mencela dan memerintah seperti layaknya seorang majikan
pada bawahannya. Hal itu menimbulkan pertengkaran Abdulhalim dengan istrinya. Melihat
keadaan seperti itu, Zubaedah sangat bersedih sehingga akhirnya ia meninggal dunia.

Sepeninggal ibunya, Abdulhalim menjadi sedih. Kemarahan Abdulhalim ditujukan


kepada ayahnya, Suria. Karena malu pada anak dan menantunya, Suria angkat kaki dari
rumah itu. Suria akhirnya jatuh miskin dan terlunta-lunta dalam keadaan sakit jiwa.

Melalui novel itu, pengarang hendak menyampaikan pesan, bahwa jika penghasilan
sedikit, jangan melakukan pengeluaran melebihi penghasilan. Katak Hendak Jadi Lembu
termasuk novel bertendens yang penting untuk zamannya.

H.B. Jassin (1967) dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai 1
mengatakan, bahwa novel Katak Hendak Jadi Lembu banyak memberikan warna
Minangkabau, meskipun cerita ini bermain di Sumedang. Suasana cerita tidak terasa seperti
suasana di Pasundan karena bahasa cerita dan percakapan-percakapan terlalu kebuku-
bukuan; ia mengingatkan kita kepada suasana dari alam pikiran Minangkabau. Judul novel
Katak Hendak Jadi Lembu menimbulkan kesan, seolah-olah cerita ini terjadi di Minangkabau.
Banyak dipergunakan peribahasa, kias, dan ibarat yang spesifik Minangkabau. Misalnya,
"Tak usah direntang panjang jua perkara itu", "Bagai terapung tak hanyut, dan terendam tak
basah".

Ajip Rosidi (1976) dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia berpendapat, bahwa
dalam novel ini pengarang dianggap gagal dalam melukiskan kehidupan yang diceritakannya
karena ia tidak mengetahui adat kebiasaan orang Sunda.

Sapardi Djoko Damono (1976) dalam Perkembangan Novel Sastra Indonesia


Sebelum Perang Dunia Kedua mengatakan, bahwa novel ini tidak lagi mempersoalkan kasih
sayang antara kaum muda, tetapi mencoba menyoroti persoalan keluarga, memerankan
tokoh yang tidak muda lagi dan menampilkan pegawai kantor yang merangkap sebagai
suami dan seorang ayah.

Maman S. Mahayana dkk. (1992) menyebutkan, bahwa Katak Hendak Jadi Lembu
termasuk salah satu novel terbaik yang dihasilkan Nur Sutan Iskandar. Agak mengherankan
bahwa pengarang kelahiran Sumatra Barat, mampu menulis novel yang begitu kuat
menghadirkan latar tempat dan latar sosial mayarakat Pasundan. Secara tersirat pengarang
hendak melakukan kritik terhadap priyayi atau bangsawan Sunda yang terlalu
membanggakan kebangsawanannya hingga tidak mau bekerja keras dan lebih suka dilayani.
Hal itu tampak dari gambaran sosok pribadi Suria.

Anda mungkin juga menyukai