0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
51 tayangan5 halaman
Novel Katak Hendak Jadi Lembu menceritakan tentang Suria, anak dari Haji Zakaria yang kaya raya namun sombong dan suka berfoya-foya. Ia menikahi Zubaedah meski tidak saling mencintai. Setelah ayahnya meninggal, Suria menghabiskan warisan dan meninggalkan Zubaedah. Kemudian, utang Suria menumpuk sehingga menyebabkan penderitaan bagi keluarganya. Akhirnya, sikap egois Suria
Novel Katak Hendak Jadi Lembu menceritakan tentang Suria, anak dari Haji Zakaria yang kaya raya namun sombong dan suka berfoya-foya. Ia menikahi Zubaedah meski tidak saling mencintai. Setelah ayahnya meninggal, Suria menghabiskan warisan dan meninggalkan Zubaedah. Kemudian, utang Suria menumpuk sehingga menyebabkan penderitaan bagi keluarganya. Akhirnya, sikap egois Suria
Novel Katak Hendak Jadi Lembu menceritakan tentang Suria, anak dari Haji Zakaria yang kaya raya namun sombong dan suka berfoya-foya. Ia menikahi Zubaedah meski tidak saling mencintai. Setelah ayahnya meninggal, Suria menghabiskan warisan dan meninggalkan Zubaedah. Kemudian, utang Suria menumpuk sehingga menyebabkan penderitaan bagi keluarganya. Akhirnya, sikap egois Suria
Pengarang : N. St. Iskandar Terbitan : 1935 Halaman : 176 halaman Cetakan : Kesebelas, 1995 Sinopsis :
Haji Zakaria adalah seorang haji kaya raya. Ia mempunyai anak
tunggal bernama Suria. Sejak kecil Suria hidup berkecukupan dan selalu dimanjakan ayahnya. Dengan didikan yang seperti itu, ia justru menjadi seorang anak yang ponah dan sombong. Bahkan sifat dan tabiatnya yang buruk itu tebawa sampai masa akhir hayatnya. Haji Hasbullah, teman karib Haji Zakaria, termasuk seorang haji yang kaya raya pula. Ia pun mempunyai seorang anak gadis satu satunya bernama Zubaedah (edah). Zubaedah beparas cantik dan berbudi baik. Ayah Zubaedah telah memilihkan calon suaminya, Raden Prawira, yang bepangkat manteri polisi. Akan tetapi,suatu ketika haji Zakaria datang kepada Haji Hasbullah, memohon agar Zubaedah dinikahkan dengan Suria. Haji Hasbullah tak dapat menolak pemintaan teman karibnya itu. Maka, penikahan Suria dan Zubaedah dilaksanakan. Perkawinan yang tanpa didasari rasa cinta sama cinta itu justru membawa petaka bagi Zubaedah. .Kesempatan bagi Suria adalah setelah ayahnya meninggal dunia. Ia befoya-foya dengan harta peninggalan ayahnya itu. Selama tiga tahun, ia pun meninggalkan Zubaedah yang baru melahirkan anaknya yang pertama Abdulhalim. Ketika harta ayahnya telah ludes, Suria kembali pada Zubaedah.Ia mengaku bahwa pebuatannya selama ini telah salah. Pada waktu itu Suria telah bekerja sebagai juru tulis di kantor asisten di kabupaten. Penghasilannya yang kecil selalu tak mencukupi kebutuhan keluarganya. Maka Abulhalim tepaksa dibawa kakeknya dan disekolahkan di sekolah Belanda, lalu dilanjutkan ke sekolah bergengsi di Bandung.Sementara itu, anak Suria terus bertambah. Kedua adik Abdulhalim benama Saleh dan Aminah. Oleh Suria, keduanya disekolahkan di HIS. Itu semua dilakukan Suria hanya karena ia ingin dipandang dan dihormati masyarakat. Layaknya orang mengatakan ”besar pasak daripada tiang.” Utang Suria semakin betumpuk.Untuk menutupi utang utang suami dan biaya sekolah anak anaknya, Zubaedah seing bekirim surat pada ayahnya, meminta agar dikirimi uang. Seringkali terjadi petengkaran mulut antara Zubaedah dan Suria. Zubaedah tak kuat lagi menahan malu kepada para penagih yang selalu datang ke rumahnya. Namun Suria sendiri bersikap acuh tak acuh menghadapi kenyataan itu.Bahkan, ia kini ingin naik pangkat ketika didengarnya ada lowongan klerek. Hal itu ia ceritakan kepada istrinya bahwa beberapa hari yang lalu ia mengirim pemohonan untuk mengisi lowongan itu. Ia begitu yakin atasannya akan berusaha menolongnya.”Tak usah mengeluh juga,Edah,”ujarnya, ”Kalau sudah keluar surat angkatan akang jadi klerk, tentu klerk kelas 1, tak pelu kita disokong ayah ari Rasik lagi. Dengan sekejap saja kita sudah lebih daripada manteri polisi yang tertua dinasnya” Utang Suria terus menggunung. Apalagi karena Suria berani mengambil barang barang lelangan atasannya. Maka, untuk melunasi utang-utang itu, Suria menjadi gelap mata. Ia ”telan” uang kas di kantornya. Perbuatannya itu diketahui atasannya. Kemudian, ketika Suria dipanggil atasannya, ia bahkan mengajukan permohonan berhenti bekerja. Rupanya, Suria telah merencanakan sebelumnya. Dalam pikirannya, setelah berhasil menggelapkan uang kas, ia akan membawa istri dan anak anaknya pindah ke rumah Abulhalim yang kini telah bekerja dan telah pula berkeluarga. Suria mengirim surat kepada anaknya dan mengutarakan maksudnya itu. Sebagai seorang anak yang ingin membalas budi orang tua, Abdulhalim sama sekali tak merasa berkeberatan dengan keinginan ayahnya. Mulai saat itu, Suria tinggal di rumah anaknya. Orang tua itu rupanya benar benar tak tahu diri. Ia tetap bersikap seperti tuan rumah layaknya. Adapun Abulhalim dan menantunya dianggap sebagai anak yang harus patuh pada orangtua, sekalipun Abdulhalim sebagai kepala rumahtangga.”..Patutkah seorang menantu menghinakan mertuanya, patutkah seorang perempuan berkata sekasar itu terhadapku, bekas manteri kabupaten? Sudah salah ayahmu mengawinkan Abdulhalim dengan anak jaksa kepala itu. Mengharapkan gelar dan paras saja. Coba diturutkan nasihatku dahulu:dikawinkan Abdulhalim dengan anak wedana, yang telah jadi guru di Tasik itu, tentu takkan begini jadinya.” Tak kuasa Zubaedah melihat tingkah laku suaminya yang sering mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Hal itu pula yang membuat kehidupan rumah tangga anaknya mulai sering diwarnai percekcokan. Bagi Zubaedah, keadaan demikian sungguh membuatnya tidak enak hati. Bagaimanapun sebagai seorang ibu, ia ingin melihat anaknya hidup bahagia. Kebahagiaan anaknya, justru terganggu oleh sikap Suria yang merasa bebas bebuat sekehendak hati tehadap anaknya. Ia menyesalkan sikap suaminya. ”Sesal Zubaedah terhadap Suria semata mata, dan sesal tak putus itulah yang mendatangkan penyakit kepadanya” Tekanan batin yang mendatangkan itu pula yang mengantarkan Zubaedah menghembuskan napasnya yang penghabisan. Ia meninggal di hadapan semua kaum keluarganya. Kematian istrinya telah membuat Suria merasa sangat malu terhadap kelakuannya sendiri. Ia telah mengganggu ketentraman kehidupan rumah tangga anaknya. Ia pula yang menyebabkan istrinya menderita hingga maut menjemputnya. Perasaan malu yang tak tertanggungkan itu, memaksa Suria mengambil keputusan; ia pergi entah ke mana. Pergi bersama kesombongan dan keangkuhannya. Menggelandang membawa sifatnya yang tak juga berubah.