Anda di halaman 1dari 5

Kasih Sayang dari Seorang Teroris

RU Burhanudin namanya. Terlahir dari seorang ibu bernama Hj. Suprah dan bapak yang
Bernama RI Abdurrohim. Beliau dibesarkan di suatu daerah yang terkenal dengan tauco dan
berasnya, yaitu Kabupaten Cianjur, yang terletak di sebelah utara Kota Sukabumi. Beliau
hidup di lingkungan pesantren sehingga tumbuh dengan kepribadian yang religius.

Pendidikannya dimulai dari Sekolah Dasar yang tidak jauh dari lingkungan pesantren. Sejak
kecil beliau belajar mengaji di madrasah yang berada di lingkungan pesantren. Kemudian
melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah yang bernuansa islami, yaitu SMP Islam Al-
I’anah. Beliau di sekolah belajarnya sangat sederhana, tidak seperti teman-temannya yang
lain. Berpakaian dengan sangat sederhana, bahkan terkadang celananya terlihat lusuh dan
terdapat tambalan di beberapa bagian celananya. Sepatu pun terikat dengan tali rafia
dikarenakan menganga yang membuatnya sulit untuk berjalan. Ketika istirahat, seringkali ia
melihat teman-temannya jajan di kantin membeli makanan yang enak, sedangkan dia, Si
Pemakai Sepatu Menganga, yang dikenal oleh teman-temannya Umar, hanya melihat dari
kejauhan karena orangtuanya jarang memberinya uang jajan. Karena ia terlahir dari keluarga
yang sangat sederhana dan memiliki saudara sebanyak 12, Umar adalah anak terakhir.

Walaupun kehidupannya sederhana, itu tidak mengurangi semangat belajarnya, bahkan beliau
seringkali mendapat peringkat pertama di kelasnya.

Pada suatu saat ia tidak dapat melanjutkan pendidikannya dikarenakan ekonomi keluarga
tidak mendukung. Sehingga beliau melanjutkan pendidikan nonformalnya ke sebuah
pesantren di Bogor, bernama Pondok Pesantren Al-Ihya. Itu pun karena beliau diangkat
sebagai anak angkat dari pimpinan pondok pesantren itu. Di pesantren, beliau setiap harinya
sibuk dengan membantu kiainya bersih-bersih pesantren dan menjaga santri-santri di sana.

Karena pak kiai merasa iba melihatnya dan sayang kepadanya juga karena dia rajin maka
kiainya menyekolahkan ia di sebuah Madrasah Aliyah Negeri di Bogor dengan biaya dari
kiainya. Dia pun sering membantu mengajar menggantikan pak kiai atau sebagai badal dalam
mengajar ketika sang kiai tidak berada di tempat. Setelah menyelesaikan pendidikannya di
MAN, dia meneruskan pendidikannya ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lulus sebagai
sarjana S1 Bahasa Arab pada tahun 1992.

1
Di pertengahan ia menjalani pendidikan atau lebih tepatnya pada tahun 1991, Umar menikahi
seorang wanita asli Cianjur. Beliau membangun rumah tangga mulai dari nol. Memulai
dengan sangat sederhana. Mendirikan sebuah rumah tangga tentu saja bukan hal yang mudah
dan tidak selalu indah, tetapi harus dibekali iman dan ketaqwaan kepada Yang Maha Esa agar
terasa indah. Di awal pernikahannya, beliau hanya menempati sepetak rumah yang tidak
begitu besar, dengan perabotan rumah tangga yang tidak begitu lengkap juga. Terkadang
ketika musim penghujan tiba beliau dan sang istri sangat repot untuk menadah air dari atap
rumah yang bocor di beberapa titik.

Hari-hari dilalui sampai berganti tahun, akhirnya kehadiran yang ditunggu beliau pun tiba.
Tepat pada satu tahun pernikhan beliau dengan istrinya, Tuhan memberkati rumah tangga
beliau dengan kehadiran seorang anak laki-laki yang beliau beri nama Muhammad Luqman
Al-Fathin. Hanya berselang 2 tahun lahir anak kedua yang bernama Fahru Rozi Ramdhan.

Sekarang beliau kembali ke kampung halamannya untuk melanjutkan peninggalan ayahnya,


berupa lembaga pendidikan Islam bernama Pondok Pesantren Attaqwa yang beralamat di
Jalan Moh Ali No. 7B Cikidang Cianjur.

2
Di dalam kesibukan sehari-harinya beliau pun harus memikirkan bagaimana menafkahi anak
istrinya yang selalu menunggu di rumah. Tidak jarang beliau menambah waktu mengajar dan
mengisi pengajiannya hingga ke pelosok daerah atau bahkan beliau sering berminggu-minggu
menetap di Cianjur Selatan demi memenuhi undangan pengajian yang darinya ada sedikit
bekal untuk beliau bawa ke rumahnya di Cianjur kota.

Pada masa-masa membesarkan anak-anak beliau juga beliau sering menemukan titik di mana
tidak ada satu peserpun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangganya, sehingga
suatu saat tatkala beliau pulang dari pengajian kemudian beliau merasa lapar tapi teringat
keluarga di rumah, beliau membeli sebungkus sop ayam untuk dihidangkan menjadi hidangan
makan malam keluarganya, namun betapa tabah dan hebatnya beliau, sehingga beliau
hidangankan seutuhnya sop ayam tersebut dan beliau hanya mengambil tulangnya saja
dengan sedikit kuah sop untuk makan malamnya. Bukan hanya tentang membesarkan anak-
anak dan memenuhi kebutuhan istrinya, beliau pun harus menghadapi kenyataan yang lain,
yaitu mengasuh dan mendidik para santri di pondok pesantren peninggalan dari ayahnya.
Untuk memenuhi keperluan pondoknya beliau sampai pernah tidur di pinggiran Kota
Tangerang ketika akan bertemu dengan salah seorang donator pondok.

Seiring berjalannya waktu yang selaras dengan keistiqomahannya, Tuhan mulai memberikan
secercah cahaya kebahagiaan, anak-anaknya dapat beliau sekolahkan bahkan dipesantrenkan
di luar kota, santri-santri bertambah banyak begitu pun para jamaah pengajian, namun seperti
yang kita semua ketahui, di mana ada kenikmatan selalu dibarengi dengan ujian pula. Ketika
keluarga beliau telah menapaki jalan mulus juga pesantren, suatu saat beliau diuji dengan
hinaan masyarakat setempat, adapula penolakan-penolakan yang bermacam-macam
bentuknya; digunting kabel speaker, dicoret-coret dinding pondok yang masih terbuat dari
bilik, belum lagi minimnya dukungan dari pihak manapun bahkan hutang pembangunan
pondok yang terus bertambah tanpa ada jalan solusi untuk membayarnya. Pada saat itulah
kekuatan Ilahi tiba di hati beliau. Maka saat itu beliau acuhkan pengharapan kepada sesama
manusia kemudian beliau kencangkan tali harapan kepada Tuhan. Lambat laun dengan

3
kegigihannya mendekatkan diri kepada Tuhan, secercah cahaya yang pernah datang
kepadanya menjadi besar dan bertambah besar. Anak-anak beliau sukses menyelesaikan
pendidikan pondok pesantrennya dengan hasil hafalan beberapa juz Al-Qur’an, hutang
pembangunan pondok pun berangsur selesai, juga masyarakat yang mulai Tuhan bukakan
pintu hidayahnya.

Dalam sepak terjangnya mengembangkan Ponpes Attaqwa, terkadang beliau berurusan


dengan aparat keamanan karena ceramah-ceramahnya yang seringkali mengkritik pemerintah.
Sehingga beliau pun turun ke jalan dengan membawa massa berjumlah ribuan dalam rangka
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kepada pemerintah yang diperkirakan melakukan
kezaliman. Pada masa tertentu beliau pun datang ke kantor PEMDA Kab. Cianjur untuk
mengkritisi Bupati Cianjur dalam masalah korupsi sehingga beliau berhasil menjatuhkan
bupati dengan tertangkap OTT oleh KPK. Beliau juga seringkali berbenturan dengan
beberapa preman di Cianjur yang membackup tempat-tempat maksiat dan membackup
pejabat-pejabat yang zalim. Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah, saat ini preman-
preman menjadi pengikutnya dan menjadi hamba-hamba Allah yang saleh.

Bahkan pada beberapa tahun yang lalu di saat ramainya konflik seorang pejabat yang
menistakan agama serta ricuhnya kegiatan pemilu saat itu yang selalu diberitakan dengan
tagline “Kegiatan Keagamaan Berkedok Kampanye” atau lebih akrab dikenal dengan ”Aksi
212”, ia sempat terseret kasus pemfitnahan kekerasan dan demo anarkis yang terjadi saat itu.
Beliau dan beberapa santrinya ditangkap oleh pihak kepolisian karena diduga menjadi
provokator demo tersebut. Pada nyatanya beliau tidak sama sekali melakukan hal tersebut.
Barang-barang yang dulu diduga menjadi bukti beliau sebagai provokator sama sekali bukan
dibawa atau dilakukan untuk kegiatan demo tersebut.

4
Adanya “Aksi 212” yang diisi oleh banyak tokoh agama menjadikan para Islamophobia di
kalangan petinggi negara menggiring opini bahwa hal tersebut adalah kegiatan keagamaan
yang mana sudah sangat kita ketahui bahwa kata “Islam” dan kata “Kekerasan” selalu
dikaitkan dengan terorisme. Hal inilah yang menjadikan Umar juga terseret dan diduga
sebagai teroris yang nyatanya tidak sama sekali melakukan kegiatan terorisme. Namun beliau
tetap ditangkap dan ditahan selama beberapa untuk menjalani proses hukum. Setelah selesai
masa tahanan yang ia jalani, akhirnya ia dibebaskan dan pulang kembali Cianjur.

Sampailah pada sebuah garis di mana kepedihan, kesulitan, kesedihan dan juga hal-hal yang
sangat buruk dia lalui kemudian segala karunia dan kenikmatan telah beliau rasakan,
terbentuklah jati diri beliau yang memiliki kepasrahan tingkat tinggi kepada Tuhan, sehingga
pada saat itu, tidak ada kepedihan yang beliau rasakan kecuali jauhnya diri dari Tuhan dan
tiada kenikmatan kecuali kasih sayang yang diberikan oleh Tuhan.

Begitulah seutas kisah perjalanan R. Umar Burhanudin layaknya sebuah taman yang ditanami
banyak tumbuh-tumbuhan, yang dimana sebagian tanamannya berduri dan sebagiannya lagi
indah nan harum tetapi semua orang suka untuk berdiam diri di taman tersebut.

Anda mungkin juga menyukai