Anda di halaman 1dari 21

CARA MENGOLAH SKOR ATAU NILAI DAN MENCARI NILAI AKHIR

Ditulis pada Februari 26, 2013


MENSKOR DAN MENILAI
1. Menskor
Sementara orang berpendapat bahwa bagian yang paling penting dari pekerjaan pengukuran dalam
tes adalah penyusunan tes. Jika alat tesnya sudah disusun sebaik-baiknya maka anggapannya sudah
tercapailah sebagian besar dari maksudnya. Tentu saja anggapan itu tidak benar sama sekali.
Penyusunan tes baru merupakan satu bagian dari serentetan pekerjaan mengetes.
Disamping penyusunan dan pelaksanaan tes itu sendiri, menskor dan menilai merupaken pekerjaan
yang menuntut ketekunan yang luar biasa dari penilai, ditambah dengan kebijaksanaan-
kebijaksanaan tertentu. Nama lain dari menskor adalah memberi angka.
Dal hal pekerjaan menskor atau menentukan angka, dapat digunakan 3 macam alat bantu yaitu:
(1) Pembantu menentukan jawaban yang benar, disebut kunci jawaban.
(2) Pembantu menyeleksi jawaban yang benar dan yang salah, disebut kunci skoring.
(3) Pembantu menentukan angka, disebut pedoman penilaian.
Keterangan dan penggunaannya dalam berbagai bentuk tes.
a. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk betul-salah
Untuk tes bentuk betul-salah (true-false) yang dimaksud dengan kunci jawaban adalah deretan
jawaban yang kita persiapkan untuk pertanyaan atau soal-soal yang kia susun, sedangkan kunci
skoring adalah alat yang kita gunakan untuk mempercepat pekerjaan skoring.
Oleh karena dalam hal ini testee (tercoba) hanya diminta melingkari huruf B atau S maka kunci
jawaban yang disediakan hanya berbentuk urutan nomor serta huruf di mana kita menghendaki
untuk melingkari (atau dapat juga diberi tanda X).
Ada baiknya kunci jawaban ini ditentukan terlebih dahulu sebelum menyusun soalnya agar
Pertama : dapat diketahui imbangan antara jawab B dan S.
Kedua : dapat diketahui letak atau pola jawaban B dan S.
Bentuk betul-salah sebaiknya disusun sedemikian rupa sehingga jumlah jawaban B hampir sama
banyaknya dengan jawaban S, dan tidak dapat ditebak karena tidak diketahui pola jawaban.[1]
Dalam menentukan angka (skor) untuk tes bentuk B S ini kita dapat menggunakan 2 cara yaitu:
a. Tanpa hukuman atau tanpa denda.
b. Dengan hukuman atau dengan denda.
Tanpa hukuman adalah apabila banyaknya angka yang diperoleh siswa sebanyak jawaban yang
cocok dengan kunci. Sedangkan dengan hukuman (karena diragukan adanya unsur tebakan),
digunakan 2 macam rumus, tetapi hasilnya sama.
Pertama, dengan rumus:
S = R W
Singkatan dari:
S = Score
R = Right
W = Wrong
Skor yang diperoleh siswa sebanyak jumlah soal yang benar dikurangi dengan jumlah soal yang
salah.
Kedua, dengan rumus:
S = T 2W
T singkatan dari Total, artinya jumlah soal dalam tes.
b. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk pilihan ganda (multiple choice)
Dengan tes bentuk pilihan ganda, testee diminta melingkari salah satu huruf didepan pilihan
jawaban yang disediakan atau membubuhkan tanda lingkaran atau tanda silang (X) pada tempat
yang sesuai di lembar jawaban.
Dalam menentukan angka untuk tes bentuk pilihan ganda, dikenal 2 macam cara pula yakni tanpa
hukuman dan dengan hukuman. Tanpa hukuman apabila banyaknya angka dihitung dari banyaknya
jawaban yang cocok dengan kunci jawaban.
Dengan hukuman menggunakan rumus:
S = R W/(n-1)
Dimana:
S = Score
W = Wrong
n = banyaknya pilihan jawaban (yang pada umumnya di Indonesia 3, 4, atau 5)
c. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk jawab singkat (short answer test)
Tes bentuk jawab singkat adalah bentuk tes yang menghendaki jawaban berbentuk kata atau kalimat
pendek. Melihat namanya, maka jawaban untuk tes tersebut tidak boleh berbentuk kalimat-kalimat
panjang, tetapi harus sesingkat mungkin dan mengandung satu pengertian. Dengan persyaratan
inilah maka bentuk tes ini dapat digolongkan ke dalam bentuk tes objektif.
Tes untuk lisan, dianggap setaraf dengan tes jawab singkat ini.
Kunci jawaban tes bentuk ini merupakan deretan jawaban sesuai dengan nomornya.
Bagaimana kunci pemberian skornya?
Dengan mengingat jawaban yang hanya satu pengertian saja, maka angka bagi tiap nomor soal
mudah ditebak. Usaha yang dikeluarkan oleh siswa sedikit, tetapi lebih sulit daripada tes bentuk
betul-salah atau bentuk pilihan ganda. Sebaliknya setiap soal diberi angka 2 (dua). Dapat juga angka
itu kita samakan dengan angka pada bentuk betul-salah atau pilihan ganda jika memang jawaban
yang diharapkannya ringan atau mudah. Tetapi sebaliknya apabila jawaban bervariasi misalnya
lengkap sekali, lengkap dan kurang lengkap, maka angkanya dapat dibuat bervariasi pula misalnya 2;
1,5; dan 1.
d. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk menjodohkan (matching)
Pada dasarnya tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda, dimana jawaban-jawaban
dijadikan satu, demikian pula pertanyaan-pertanyaannya. Dengan demikian, maka pilihan
jawabannya akan lebih banyak. Satu kesulitan lagi adalah bahwa jawaban yang dipilih dibuat
sedemikian rupa sehingga jawaban yang satu tidak diperlukan bagi pertanyaan lain.
Kunci jawaban tes bentuk menjodohkan dapat berbentuk deretan jawaban yang dikehendaki atau
deretan nomor yang diikuti oleh huruf-huruf yang terdapat di depan alternatif jawaban.
Telah dijelaskan bahwa tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda yang lebih
kompleks. Maka angka yang diberikan sebagai imbalan juga harus lebih banyak. Sebagai ancar-ancar
dapat ditentukan bahwa angka untuk tiap nomor adalah 2 (dua).
e. Kunci jawaban dana kunci pemberian skor untuk tes bentuk uraian (essay test)
Sebelum menyusun sebuah tes uraian sebaiknya kita tentukan terlebih dahulu pokok-pokok jawaban
yang kita hendaki. Dengan demikian, maka akan mempermudah kita dalam pekerjaan mengoreksi
tes itu.
Tidak ada jawaban yang pasti terhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang kita peroleh akan sangat
beraneka ragam, berada dari siswa sati ke siswa lain. Untuk menentukan standar lebih dahulu,
tentulah sukar. Ada sebuah saran, langkah-langkah apa yang harus kita lakukan pada waktu kita
mengoreksi dan memberi angka tes bentuk uraian. Saran tersebut adalah sebagai berikut.
1) Membaca soal pertama dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban.
2) Menentukan angka untuk soal pertama tersebut.
3) Memberikan angka bagi soal pertama.
4) Membeca soal kedua dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban, dilanjutkan dengan
pemberian angka untuk soal kedua.
5) Mengulangi langkah-langkah tersebut bagi soal-soal tes ketiga, keempat, dan seterusnya
hingga seluruh soal diberi angka.
6) Menjumlahkan angka-angka yang diperoleh oleh masing-masing siswa untuk tes bentuk uraian.
Apa yang diterangkan diatas ini adalah cara memberikan angka dengan menggunakan atau
mendasarkan pada norma kelompok (norm reference test). Apabila dalam memberikan angka
menggunakan atau mendasarkan pada standar mutlak (criterion referenced test), maka langkah-
langkahnya akan lain. Apa yang dilalui diatas, tidak diperlukan.
Yang dilakukan haruslah demikian
1) Membaca setiap jawaban yang diberikan oleh siswa dan dibandingkan dengan kunci jawaban
yang telah kita susun.
2) Membubuhkan skor di sebelah kiri setiap jawaban.
3) Menjumlahkan skor-skor yang telah dituliskan pada setiap soal, dan terdapatlah skor untuk
bagian soal yang berbentuk uraian.
Dengan cara kedua ini maka skor siswa tidak dibandingkan dengan jawaban paling lengkap yang
diberikan oleh siswa lain, tetapi dibandingkan dengan jawaban lengkap yang dikehendaki dan sudah
ditentukan oleh guru.
f. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tugas
Kunci jawaban untuk memeriksa tugas merupakan pokok-pokok yang harus termuat didalam
pekerjaan siswa. Hal ini menyangkut kriteria tentang isi tugas. Namun sebagai kelengkapan dalam
pemberian skor, digunakan suatu tolok ukur tertentu.
Tolok ukur yang disarankan adalah:
1) Ketepatan waktu penyerahan tugas.
2) Bentuk fisik pengerjaan tugas yang menandakan keseriusan mahsiswa dalam mengenakan
tugas.
3) Sistematika yang menunjukkan alur kerurutan pikiran.
4) Kelengkapan isi menyangkut ketuntasan penyelesaian dan kepadatan isi.
5) Mutu hasil tugas, yaitu kesesuaian hasil dengan garis-garis yang sudah ditentukan oleh dosen.
Maka nilai akhir untuk tugas tersebut diberikan dengn rumus:

NAT adalah Nilai Akhir Tugas
2. Perbedaan antara Skor dan Nilai
Apa yang terjadi selama ini, banyak di antara para guru sendiri yang masih mencampuradukkan
antara dua pengertian yaitu skor dan nilai.
Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap
soal tes yang dijawab betul oleh siswa.
Pengubahan skor menjadi nilai dapat dilakukan untuk skor tunggal, misalnya sesudah memperoleh
skor ulangan harian atau untuk skor gabungan dari beberapa ulangan dalam rangka memperoleh
nilai akhir untuk rapor.
Secara rinci skor dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu skor yang diperoleh (obtained score), skor
sebenarnya (true score), dan skor kesalahan (error score).
Skor yang diperoleh adalah sejumlah biji yang dimiliki oleh testee sebagai hasil mengerjakan tes.
Kelemahan-kelemahan butir tes, situasi yang tidak mendukung, kecemasan, dan lain-lain faktor yang
dapat berakibat terhadap skor yang diperoleh ini. Apabila faktor-faktor yang berpengaruh ini
muncul, baik sebagian ataupun menyeluruh, penilai tidak dapat mengira-ngira seberapa cermat skor
yang diperoleh siswa ini mampu mencerminkan pengetahuan dan keterampilan siswa yang
sesungguhnya.
Skor sebenarnya (true score) sering kali juga disebut dengan istilah skor univers skor alam (universe
score), adalah nilai hipotesis yang sanga tergantung dari perbedaan individu berkenaan dengan
pengetahuan yang dimiliki secara tetap.
Perbedaan antara skor yang diperoleh dengan skor sebenarnya, disebut dengan istilah kesalahan
dalam pengukuran atau kesalahan skor, atau dibalik skor kesalahan. Hubungan antara ketiga macam
skor tersebut adalah sebagai berikut:
Skor yang diperoleh = skor sebenarnya + skor kesalahan[2]
Adapun yang dimaksud dengan nilai adalah angka (bisa juga huruf), yang merupakan hasil ubahan
dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainnya, serta disesuaikan pengaturannya
dengan standar tertentu.
Nilai, pada dasarnya adalah angka atau huruf yang melambangkan seberapa jauh atau seberapa
besar kemampuan yang telah ditunjukkan oleh testee terhadap materi atau bahan yang diteskan,
sesuai dengan tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai, pada dasarnya juga
melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas jawaban betul yang
diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya, makina banyak jumlah butir soal yang dapat
dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee akan semakin
tinggi. Sebaliknya, jika jumlah butir item yang dapat dijawab dengan betul hanya sedikit, maka
penghargaan yang diberikan tester kepada testee juga kecil atau rendah.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk sampai kepada nilai, maka skor-skor hasil tes yang pada
hakikatnya masih merupakan skor-skor mentah itu perlu diolah lebih dahulu sehingga dapat diubah
menjadi skor yang sifatnya baku atau standar.
1. Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes
Hasil belajar menjadi nilai standar (standar score)
Ada dua hal penting yang perlu dipahami terlebih dahulu dalam pengolahan dan pengubahan skor
mentah menjadi skor standar atau nilai, yaitu:
1. Bahwa dalam pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu ada dua cara yang
dapat ditempuh, yaitu:
a. Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dilakukan dengan mengacu
atau mendasarkan diri pada kriterium (patokan). Cara pertama ini sering dikenal dengan istilah
criterion referenced evaluation, yang dalam dunia pendidikan di tanah air kita sering dikenal dengan
istilah penilaian ber-acuan patokan.
Pertama-tama harus dipahami bahwa penilaian ber-acuan kriterium ini mendasarkan diri pada
asumsi, bahwa:
1) Hal-hal yang harus dipelajari oleh testee adalah mempunyai struktur hierarkis tertentu, dan
bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum testee tadi maju atau sampai pada
taraf selanjutnya.
2) Evaluator atau tester dapat mengidentifikasi masing-masing taraf itu sampai tuntas, atau
setidak-tidaknya mendekati tuntas, sehingga dapat disusun alat pengukurnya.
Apabila dalam penentuan nilai hasil tes hasil belajar itu digunakan acuan kriterium, maka hal ini
mengandung arti bahwa nilai yang akan diberikan kepada testee itu harus didasarkan pada standar
mutlak artinya, pemberian nilai kepada testee itu dilaksanakan dengan jalan membandingkan antara
skor mentah hasil tes yang dimiliki oleh masing-masing individu testee, dengan skor maksimum ideal
yang mungkin dapat dicapai oleh testee, kalau saja seluruh soal tes dapat dijawab dengan betul.
Karena itu maka pada penentuan nilai yang mengacu kepada kriterium atau patokan ini, tinggi
rendahnya atau besar kecilnya nilai yang diberikan kepada masing-masing individu testee, mutlak
ditentukan oleh besar kecil atau tinggi rendahnya skor yang dapat dicapai oleh masing-masing testee
yang bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa penentuan nilai dengan mengacu pada kriterium
sering disebut sebagai: penentuan nilai secara mutlak (absolut), atau penentuan nilai secara
individual.
Disamping itu, karena penentuan nilai seorang testee dilakukan dengan jalan membandingkan skor
mentah hasil tes dengan skor maksimum idealnya, maka penentuan nilai yang beracuan pada
keriterium ini juga sering dikenal dengan istilah penentuan nilai secara ideal, atau penentuan nilai
secara teoritik, atau penentuan nilai secara das sollen. Dengan istilah teoritik dimaksudkan di sini,
bahwa: secara teoritik seorang siswa berhak atas nilai 100-misalnya-apabila keseluruhan butir soal
tes dapat dijawab dengan betul oleh siswa tersebut. Dengan demikian maka dalam penentuan nilai
yang beracuan pada kriterium, sebelum tes hasil belajar dilaksanakan, patokan itu sudah dapat
disusun (tanpa menunggu selesainya pelaksanaan tes).
Selanjutnya patut diperhatikan, bahwa nilai yang berwujud angka, yang penentuannya didasarkan
pada standar mutlak itu sebenarnya adalah merupakan angka persentase (%) mengenai tingkat
kedalaman atau tingkat penguasaan testee terhadap materi tes yang dihadapkan kepada mereka.
Dalam pernyataan tersebut terkandung makna, bahwa nilai yang penentuannya didasarkan pada
standar mutlak itu menunjukkan berapa persen dari 100% tujuan instruksional khusus yang telah
ditentukan, telah dapat dicapai atau dipahami oleh testee. Jadi, jika seorang siswa memperoleh nilai
50 maka hal itu merupakan petunjuk bahwa siswa tersebut hanya mampu memahami sebanyak 50%
dari tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan.
Karena nilai hasil tes yang ditentukan dengan menggunakan standar mutlak atau mengacu pada
kriterium itu sebenarnya merupakan angka-angka presentase, maka tester akan segera dapat
mengetahui, siswa manakah yang tingkat penguasaannya tergolong tinggi, sedng atau rendah.
Penilaian beracuan patokan ini sangat cocok diterapkan pada tes-tes formatif, dimana tester ingin
mengetahui sudah sampai sejauh manakah peserta didiknya telah terbentuk, setelah mereka
mengikuti program pengajaran dalam jangka waktu tertentu. Dengan menggunakan criterion
referenced evaluation di mana guru atau dosen dapat mengetahui berapa orang siswa atau
mahasiswa yang tingkat penguasaannya tinggi, cukup dan rendah, maka guru atau dosen tersebut
akan dapat melakukan upaya-upaya atau ikhtiar yang dipandang perlu agar tujuan pengajaran dapat
tercapai secara optimal.
b. Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dilakukan dengan mengacu
atau mendasarkan diri pada norma atau kelompok. Cara kedua ini sering dikenal dengan istilah norm
referenced avaluation, yang dalam dunia pendidikan di tanah air kita sering dikenal dengan istilah
penilaian ber-acuan norma.
Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil belajar menjadi nilai standar dengan
mendasarkan diri atau mengacu pada norma atau kelompok sering dikenal dengan istilah PAN
(penilaian beracuan norma).
Penilaian beracuan kelompok ini mendasarkan diri pada asumsi sebagai berikut:
1) Bahwa pada setiap populasi peserta didik yang sifatnya heterogen , akan selalu didapati
kelompok baik, kelompok sedang, dan kelompok kurang.
2) Bahwa tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk menentukan posisi relatif dari para peserta
tes dalam hal yang sedang dievaluasi itu, yaitu apakah seorang peserta tes posisi relatifnya berada di
atas, di tengah ataukah di bawah.
Penilaian beracuan norma atau penilaian beracuan kelompok ini sering dikenal dengan istilah
penentuan nilai secara relatif, atau penilaian dengan mendasarkan diri pada standar relatif.
Dengan menggunakan standar relatif maka akan dapat terjadi, bahwa testee yang sebenarnya pada
kelompok I tergolong hebat (karena berhasil meraih skor hasil tes yang tinggi sehingga ia tergolong
dalam kategori testee yang amat pandai), jika dimasukkan ke dalam kelompok II ternyata hanya
termasuk dalam kelompok sedang atau cukupan atau biasa-biasa saja kualitasnya, jadi
kedudukan testee dimaksud di atas sebenarnya adalah bersifat relatif.
Salah satu contoh sifat relatif dari suatu tes adalah sebagaimana dikemukakan berikut ini.
Misalkan Halim, siswa Madrasah Tsanawiyah kelas III-A dalam Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA)
untuk mata pelajaran matematika berhasil meraih nilai 7, sedangkan nilai rata-rata kelas III-A untuk
mata pelajaran matematika itu adalah 5, maka di kelas III-A itu Halim adalah termasuk siswa yang
tergolong pandai, sebab nilai yang berhasil diraihnya jauh berada si atas rata-rata kelasnya.
Penentuan nilai dengan menggunakan standar relatif ini sangat cocok untuk diterapkan pada tes-
tessumatif (ulangan umum, ujian akhir semester, EBTANAS), sebab dipandang lebih adil, wajar dan
bersifat manusiawi
2. Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan berbagai
macam skala.
1) Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala lima (stanfive)
Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala lima atau nilai huruf, menggunakan
patokan sebagai berikut:
> A
Mean + 1,5 SD
> B
Mean + 0,5 SD
> C
Mean 0,5 SD
> D
Mean 1,5 SD
> E
2) Mengubah skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala sembilan (stannine)
Jika skor-skor mentah hasil tes itu akan diubah menjadi nilai standar berskala sembilan, maka
patokan yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
> 9
M + 1,75 SD
> 8
M + 1,25 SD
> 7
M + 0,75 SD
> 6
M + 0,25 SD
> 5
M 0,25 SD
> 4
M 0,75 SD
> 3
M 1,25 SD
> 2
M 1,75 SD
> 1
Nilai standar berskala sembilan adalah nilai standar yang meniadakan nilai 0 dan nilai 10. Nilai
standar tersebut tidak lazim digunakan di Indonesia.
3) Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala sebelas (standar eleven)
Nilai standar berskala sebelas adalah rentangan nilai standar mulai dari 0 sampai dengan 10. Jadi di
sini akan kita dapati 11 butir nilai standar, yaitu nilao 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.
Di Indonesia, nilai standar berskala sebelas ini umumnya digunakan pada lembaga pendidikan
tingkat dasar dan tingkat menengah. Pengubahan skor mentah menjadi stanel itu menggunakan
patokan sebagai berikut:
> 10
M + 2,25 SD
> 9
M + 1,75 SD
> 8
M + 1,25 SD
> 7
M + 0,75 SD
> 6
M + 0,25 SD
> 5
M 0,25 SD
> 4
M 0,75 SD
> 3
M 1,25 SD
> 2
M 1,75 SD
> 1
M 2,25 SD
0
4) Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar z (z score)
Nilai standar z umumnya dipergunakan untuk mengubah skor-skor mentah yang diperoleh dari
berbagai jenis pengukuran yang berbeda-beda.
Dengan menggunakan nilai standar z ini maka testee yang dipandang memiliki kemampuan lebih
tinggi adalah testee yang z scorenya bertanda positif (+). Adapun testee yang z scorenya bertanda
negatif (-) dipandang sebagai testee yang kemampuannya lebih lemah jika dibandingkan dengan
testee lainnya. Jika angka yang ditunjukkan oleh z score yang bertanda positif itu makin besar,
berarti kedudukan relatif dari testee yang bersangkutan menjadi makin tinggi; sebaliknya, jika z
score yang bertanda negatif itu makin besar, maka standing position testee yang bersangkutan
menjadi semakin rendah.
5) Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar T (Tscore)
Dimaksud dengan T score adalah angka skala yang menggunakan mean sebesar 50 dan deviasi
standar sebesar 10. T score dapat diperoleh dengan jalan memperkalikan z score dengan angka 10,
kemudian ditambah dengan 50:
T score = 10z + 50
T score dicari atau dihitung dengan maksud untuk meniadakan tanda minus yang terdapat di depan
nilai standar z, sehingga lebih mudah dipahami oleh mereka yang masih asing atau awam terhadap
ukuran-ukuran statistik.[3]
3. Norm-Referenced dan Criterion-Referenced
Dalam penggunaan criterion-referenced, siswa dibandingkan dengan sebuah standar mutlak, yaitu
standar 100. Dalam penggunaan norm-referenced, prestasi belajar seorang siswa dibandingkan
dengan siswa lain dalam kelompoknya.
Dasar pemikiran dari penggunaan standar ini adalah adanya asumsi bahwa disetiap populasi yang
heterogen, tentu dapat:
1) Kelompok baik,
2) Kelompok sedang,
3) Kelompok kurang,
dimulai dengan bakat yang dibawa sejak lahir yang dalam hal ini tampak sebagai indeks kecerdasan
atau Intelligence Quotient (IQ), maka seluruh populasi tergambar sebagai sebuah kurva normal.
Apabila anak-anak itu belajar, maka prestasi atau hasil belajar yang diakibatkan itu pun akan
tergambar sebagai kurva normal.
Pengguanaan penilaian dengan norma kelompok atau norma relatif ini untuk pertama kali
dikemukakan pada tahun 1908 (Cureton 1971), dengan landasan dasar bahwa tingkat pencapaian
belajar siswa akan tersebar menurut kurva normal. Dengan demikian maka penilaian berdasarkan
kurva normal merupakan hal yang tidak dapat dibantah lagi.
Apabila standar relatif dan standar mutlak ini dihubungkan dengan pengubahan skor menjadi nilai,
akan terlihat demikian.
a. Dengan standar mutlak
1) Pemberian skor terhadap siswa, berdasarkan atas pencapaian siswa terhadap tujuan yang
ditentukan.
2) Nilai diperoleh dengan mencari skor rata-rata langsung dari skor asal (skor mentah)
b. Dengan standar relatif
1) Pemberian skor terhadap siswa juga didasarkan atas pencapaian siswa terhadap tujuan yang
ditentukan.
2) Nilai diperoleh dengan 2 cara:
a) Mengubah skor dari tiap-tiap ulangan lalu diambil rata-ratanya.
b) Menjumlah skor tiap-tiap ulangan, baru diubah ke nilai.[4]




MENGOLAH NILAI
1. Beberapa Skala Penilaian
a. Skala bebas
Ani, seorang pelajar di suatu SMU, pada suatu hari berlari lari kegirangan setelah menerima
kembali kertas ulangan dari Guru Matematika. Pada sudut kertas itu tertulis angka 10, yaitu
angkayang diperoleh Ani dengan ulangan itu. Setekah tiba diluar kelas, Ani berdiskusi dengan kawan
kawannya. Ternyata cara mengerjakan dan pendapatnya tidak sama dengan yang lain. Tetapi
mereka juga tidak yakin mana yang betul. Oleh karena itu, ketika kertas ulangan dikembalikan dan ia
mendapat 10, ia kegirangan. Baru sampai bertemu dengan 4 kawannya, wajahnya sudah menjadi
malu tersipu sipu. Rupanya ia menyadari kebodohannya karena setelah melihat angka yang
diperoleh keempat orang kawannya, ternyata kepunyaan Anil ah yang paling sedikit. Ada kawannya
yang mendapat 15, 20 bahkan ada yang 25.Dan kata Guru, pekerjaan Tika yang mendapat angka 25
itulah yang betul. Dari gambaran ini tampak bahwa dalam pikiran Ani, terpancang satu pengertian
bahwa angka 10 adalah angka tertinggi yang mungkin dicapai, ini memang lazim. Cara pemberian
angka seperti ini tidak salah. Hanya sayangnya, guru tersebut barangkali perlu menerangkan kepada
para siswanya, cara mana yang digunakan untuk memberikan angka atau skor. Ia baru pindah dari
sekolah lain. Ia sudah terbiasa menggunakan skala bebas, yaitu skala yang tidak tetap. Adakalanya
skor tertinggi 20, lain kali lagi 50. Ini semua tergantung dari banyak dan bentuk soal. Jadi angka
tertinggi dan skala yang digunakan tidak selalu sama.

b. Skala 1 10
Apa sebab Ani dan kawan kawannya berpikiran bahwa angka 10 adalah angka tertinggi untuk nilai
? Hal ini disebabkan karena pada umumnya guru guru di Indonesia mempunyai kebiasaan
menggunakan skala 1-10 untuk laporan prestasi belajar siswadalam rapor. Adakalanya juga
digunakan skala 1-100, sehingga memungkinkan bagi guru untuk memberikan penilaian yang lebih
halus. Dalam skala 1-10 guru jarang memberikan angka pecahan, misalnya 5,5. Angka 5,5 akan
dibulatkan menjadi 6. Dengan demikian maka rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih
hampir1) akan keluar di rapor dalam satu wajah, yaitu angka 6.

c. Skala 1 100
Memang diseyogiakan bahwa angka itu merupakan bilangan bulat. Dengan menggunakan skala 1- 10
maka bilangan bulat yang ada masih menunjukan penilaian yang agak kasar. Ada sebenarnya hasil
prestasi yang berada di antara kedua angka bulat itu. Untuk itulah maka dengan menggunakan skala
1 100, memungkinkan melakukan penilaian yang lebih halus karena terdapat 100 bilangan bulat.
Nilai 5,5 dan 6,4 dalan skala 1 10 yang biasanya dibulatkan mejadi 6, dalam skala 1 100 ini boleh
dituliskan dengan 55 dan 64.[5]
d. Skala huruf
Di samping penilaian yang dinyatakan dengan angka, kita mengenal pula penilaian yang dinyatakan
dengan huruf. Seperti penilaian yang dilakukan oleh guru taman kanak- kanak dan atau guru-guru di
sekolah dasar kelas I dan kelas II, mereka menggunakan nilai huruf A, B, C dan D.[6]

Selain itu ada juga yang menggunakan nilai huruf sampai dengan E dan G (tetapi pada umumnya 5
huruf yaitu A, B, C, D, dan E). Sebenarnya sebutan skala diatas ini ada yang mempersoalkan. Jarak
antara hruuf A dan B tidak dapat digambarkan sama dengan jarak antara B dan C, atau anatar C dan
D. Dalam menggunakan angak dapat dibuktkan dengan garis bilangan bahwa jarak antara 1 dan 2
sama denga jarak antara 2 dan 3. Demikian pula jaran antara 3 dan 4, serta antara 4 dan 5. Akan
tetapi justru alasan inilah lalu timbul pikiran untuk menggunakan huruf sebagai alat penilain. Untuk
menggambarkan kelemahan dalam menggunakan angka adalah bahwa dengan angka dapat
ditafsirkan sebagai nilai perbandingan. Siswa A yang memperoleh dua kali lipat kecakapan siswa B
yang memperoleh angka 4 dalam rapor. Demikian pula siswa A tersebut tidaklah mempunya 8/9 kali
kecakapan C yang mendapat nilai 9. Jadi sebenarnya menggunakan angka hanya merupakan symbol
yang menunjukan urutan tingkatan. Siswa A yang memperoleh angka 8 memiliki prestasi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa B yang memperoleh angka 4, tetapi kecakapannya itu lebih rendah
jika dibandingkan dengan kecakapan C. jadi, dalam tingkatan prestasi sejarah urutannya adalah C, A,
lalu B. Huruf terdapat dalam urutan abjad. Penggunaan huruf dalam penilaian akan terasa lebih
tepat digunakan karena tidak ditafsirkan sebagai arti perbandingan. Huruf tidak menunjukan
kuantitas, tetapi dapat digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan kualitas.[7]
2. Distribusi Nilai
Distribusi nilai yang dimiliki oleh siswa-siswanya dalam suatu kelas didasarkan pada dua macam
standar, yaitu:

a. Distribusi Nilai Berdasarkan Standar Mutlak
Dengan dasar bahwa hasil belajar siswa dibandingkan dengan sebuah standar mutlak atau dalam hal
ini skor tertinggi yang diharapkan, maka tingkat penguasaan siswa akan terlihat dalam berbagai
bentuk kurva. Apabila soal-soal yang dibuat guru terlalu mudah, sebagian besar siswa akan dapat
berhasil mengerjakan soal-soal itu dan tingkat pencapaiannya tinggi. Sebaliknya apabila soal-soal tes
termasuk yang sukar maka pencapaian siswa juga sebaliknya pula. Namun demikian dengan standar
mutlak ini mungkin pula diperoleh gambar kurva nomal jika soal-soal tes disusun oleh guru dengan
tepat seperti gambaran kecakapan siswa-siswanya.[8]
b. Distribusi nilai berdasarkan standar relative
Telah diterangka di depan bahwa dalam menggunakan standar relative atau norm referenced,
kedudukan seorang selalu dibandingkan dengan kawan kawannya dalam kelompok. Dalam hal ini
tanpa menghiraukan apakah distribusi skor terletak dalam kurva juling positif atau juling negative
tetapi dalam norm referenced selalu tergambar dalam kurva normal.
4. Standar Nilai
a. Standard Nines/Stanines
Dari distribusi nilai, kita dapat membicarakan masalah standar nilai.
Pendapat Gronlund dalam distribusi nilai ini demikian. Skor skor siswa direntangkan menjadi 9
nilai (disebut juga Standar Nines atau Stanines) seperti berikut ini.




STANINES INTERPRETASI
9 4% Tinggi (4%)
8 7% Diatas rata-rata (19%)
7 12%
6 17% Rata-rata
(54%)
5 20%
4 17%
3 12% Dibawah rata-rata
(19%)
2 7%
1 4% Rendah (4%)

Dengan adanya persentase yang ditentukan inilah maka semua situasi skor siswa dapat direntangkan
menjadi nilai 1-9 diatas.
b. Standar Enam.
Selain dengan stanadar Sembilan (stanines), ada pula yang menggunakan standar enam. Dalam hal
ini, hanya berkisar antara 4-9, berikut persentasi penyebaran nilainya:STANDAR ENAM Interpretasi
9
8
7
6
5
4 5%
10%
20%
40%
20%
5% Baik sekali
Baik
Lebih dari cukup
Cukup
Kurang
Kurang sekali



Penyebaran nilai denga standar enam yang dimaksud, adalah berikut:
10% siswa yang mendapat nilai tertinggi diberi nilai 9
20% dibawahnya diberi 8
40% dibawahnya diberi 7
20% dibawahnya diberi 6
5% dibawahnya diberi 5
5% dibawahnya diberi 4
Dalam hal yang sangat khusus dimana siswa yang dianggap sangat cerdas ataupun sangat kurang,
dapat diberikan nilai 10 atau 3.
c. Standar Eleven (Stanel)
Standar ini dikembangkan oleh Fakultas Ilmu Pendidikan UGM yang sesuai dengan system penilaian
di Indonesia. Dengan stanel ini, system penilaian membagi skala menjadi 11 golongan yaitu angka-
angka dari 0-10, yang satu sama lain berjarak sama. Tiap-tiap angka menempati interval sebesar 0,55
SD, bertitik tolak dari Mean = 5 yang menempati jarak antara -3,025 SD sampai +3,025 SD.
Bilangan-bilangan persentil untuk menentukan titik dalam Stanel ini adalah: P1, P3, P8, P21, P39,
P61, P79, P92, P97 & P99. Dasar pemikiran Stanel ini dalah bahwa jarak praktis dalam kurva normal
adalah 6 SD yang terbagi atas 11 skala.
11 skala = 6 SD
Skala = 6/11 SD
= 0,55 SD
STANEL ,0 ,1 ,2 ,3 ,4 ,5 ,6 ,7 ,8 ,9 ,10
d. Standar Sepuluh
Untuk mengubah skor menjadi nilai, diperlukan dahulu:
1) Mean (rata-rata skor)
2) Deviasi Standar (simpangan Baku)
3) Tabel konversi angka kedalam nilai berskala 1-10
Tahap-tahap yang dilalui dalam mengubah skor mentah menjadi nilai berskala 1-10 adalah sebagai
berikut:
Menyusun distribusi frekuensi dari angka-angka atau skor-skor mentah.
Menghitung rata-rata skor (mean).
Menghitung Deviasi Standar.
Mentransformasi (mengubah) angka-angka mentah kedalam nilai skala 1-10.
e. Standar Lima
Kembali kepada Grondlund selain ia mengemukakan penyebaran nilai dengan angka, juga
mengemukakan penyebaran nilai dengan huruf yang digambarkan dengan kurva normal sebagai
berikut. [9]
-1,5 -0.5 0,5 1,5
F D C B A
7% 24% 38% 24% 7%









MENCARI NILAI AKHIR
1. Fungsi Nilai Akhir
Bagi seorang siswa, nilai merupakan sesuatu yang sangat penting karena nilai merupakan cermin
dari keberhasilan belajar. Namun, bukan hanya siswa sendiri saja yang memerlukan cermin
keberhasilan belajar ini; guru dan orang lainpun, memer-lukannya.
Secara garis besar, nilai mempunyai 4 fungsi sebagai berikut:
a. Fungsi Instruksional
Tidak ada tujuan yang lebih penting dalam proses belajar-mengajar kecuali mengusahakan agar
perkembangan dan belajar siswa mencapai tingkat optimal. Pemberian nilai merupakan salah satu
cara dalam usaha ke arah tujuan itu, asal dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana.
Pemberian nilai merupakan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memberikan suatu balikan (feed
back/umpan balik) yang mencerminkan seberapa jauh seorang siswa telah mencapai tujuan yang
ditetapkan dalam pengajaran atau sistem instruksional.
Apabila pemberian nilai dapat dilakukan dengan cermat dan terperinci, maka akan lebih mudah
diketahui pula keberhasilan dan kegagalan siswa di setiap bagian tujuan. Oleh karenanya,
penggabungan nilai dari beberapa nilai sehingga menjadi nilai akhir, kadang-kadang dapat
menghilangkan arti dari petunjuk yang semula telah disajikan secara teliti.
b. Fungsi Informatif
Memberikan nilai kepada orang tuanya memberikan arti bahwa orang tua siswa tersebut menjadi
tahu akan kemajuan dan prestasi putranya di sekolah. Catatan ini akan sangat berguna, terutama
bagi orang tua yang ikut serta menyadari tujuan sekolah dan perkembangan putranya. Dengan
catatan nilai untuk orang tua maka:
1) Orang tua akan menjadi sadar akan keadaan putranya untuk kemudian lebih baik memberikan
bantuan berupa perhatian, dorongan, atau bimbingan.
2) Hubungan antara orang tua dengan sekolah menjadi baik.
c. Fungsi Bimbingan
Pemberian nilai kepada siswa akan memberi arti besar bagi pekerjaan bimbingan. Dengan perincian
gambaran nilai siswa, petugas bimbingan akan segera tahu bagian-bagian mana dari usaha siswa di
sekolah yang masih memerlukan bantuan. Catatan lengkap juga mencakup tingkat (rating) dalam
kepribadian siswa serta sifat-sifat yang berhubungan dengan rasa sosial akan sangat membantu
siswa dalam pengarahannya sebagai pribadi seutuhnya.
d. Fungsi Administratif
Yang dimaksud fungsi administratif dalam penilaian antara lain mencakup:
1) Menentukan kenaikan dan kelulusan siswa
2) Memindahkan atau menempatkan siswa
3) Memberikan beasiswa
4) Memberikan rekomendasi untuk melanjutkan belajar, dan
5) Memberi gambaran tentang prestasi siswa/lulusan kepada siswa calon pemakai tenaga
2. Faktor-Faktor yang Turut Diperhitungkan dalam Penilaian
Walaupun hal yang dinilai tidak sama bagi tiap sekolah, namun secara garis besar dapat ditentukan
unsur umum dalam penilaian yang menyangkut faktor-faktor yang harus dipertimbangkan.
Unsur umum tersebut adalah sebagai berikut:
a. Prestasi/pencapaian (achievement)
Nilai prestasi harus mencerminkan tingkatan-tingkatan siswa sejauh mana telah dapat mencapai
tujuan yang ditetapkan di setiap bidang studi.
Simbol yang digunakan untuk menyatakan nilai, baik huruf maupun angka, hendaknya merupakan
gambaran tentang prestasi saja. Unsur pertimbangan atau kebijaksanaan guru tentang usaha dan
tingkah laku siswa tidak boleh ikut berbicara pada nilai tersebut.


b. Usaha (effort)
Terpisah dari nilai prestasi, guru menyampaikan laporannya kepada orang tua siswa. Laporan atau
nilai tidak boleh dicampuri dengan nilai prestasi sama sekali. Yang sering tejadi adalah kecendrungan
dari guru untuk menilai unsur usaha ini lebih rendah bagi anak yang prestasinya rendah dan
sebaliknya.
c. Aspek pribadi dan sosial (personal and social characteristics)
Unsur ini juga perlu dilaporkan terutama yang berhubungan dengan berlangsungnya proses belajar
mengajar, misalnya, menaati tata tertib sekolah. Dalam memberikan nilai pribadi ini harus hati-hati
sekali. Rentangan nilai sebaiknya tidak usah lebar-lebar (lebih baik 6-10). Lebih baik lagi jika
diterangkan dengan khusus dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh guru pembimbing dan siapa
saja.
d. Kebiasaan bekerja (working habits)
Yang dimaksud di sini adalah hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan melakukan tugas.
Misalnya mengerjakan PR, keuletan dalam usaha, bekerja teliti, kerapihan kerja, dan sebagainya.
3. Cara Menentukan Nilai Akhir
Tiap guru mempunyai pendapat sendiri tentang cara menentukan nilai akhir. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap penting tidaknya bagian, kegiatan yang dilakukan
siswa. Yang dimaksudkan dengan kegiatan-kegiatan siswa misalnya: menyelesaikan tugas, mengikuti
diskusi, menempuh tes formatif, menempuh tes tengah semester, tes semester, menghadiri
pelajaran/kuliah, dan sebagainya
Sementara guru berpendapat bahwa menghadiri pelajaran dan mengikuti diskusi sudah merupakan
kegiatan yang sangat menunjang prestasi sehingga absensi siswa perlu dipertimbangkan dalam
menentukan nilai akhir. Guru lain berpendapat sebaliknya, karena walaupun hadir dalam
kuliah/pembelajaran, mungkin saja hanya raganya saja. Dengan demikian tidak ada gunanya
memperhitungkan absensi.
Penentuan nilai akhir dilakukan terutama pada waktu guru akan mengisi rapor atau STTB. Biasanya
dalam menentukan nilai akhir ini guru sudah dibimbing oleh suatu peraturan atau pedoman yang
dikeluarkan pemerintah atau kantor/badan yang membawahinya.
Dalam bab ini akan disajikan beberapa contoh:
a. Untuk menentukan nilai akhir, perlu diperhitungkan nilai tes formatif dan tes sumatif dengan
rumus:
dimana:
NA : nilai akhir
F : nilai tes formatif
S : nilai tes sumatif
Jadi, Nilai Akhir diperoleh dari rata-rata nilai tes formatif (diberikan bobot satu) dijumlahkan dengan
nilai tes sumatif (diberikan bobot dua) kemudian dibagi 3.
b. Nilai Akhir diperoleh dari nilai tugas, nilai ulangan harian, dan nilai ulangan umum dengan
bobot 2, 3, dan 5. Jadi jika dituliskan dalam rumus menjadi.
dimana
T : nilai tugas
H : nilai ulangan harian (rata-ratanya)
U : nilai ulangan umum
c. Nilai Akhir untuk STTB diperloleh dari rata-rata nilai ulangan harian (diberi bobot satu) dan nilai
EBTA (diberi bobot 2), kemudian dibagi 3. Rumusnya adalah:

dimana
H : jumlah nilai ulangan harian
E : nilai EBTA
nH : frekuensi ulangan harian
selanjutnya di dalam kurikulum SMA tahun 1984 disebutkan cara menentukan nilai akhir bukan
hanya didasarkan atas hasil kegiatan kurikuler saja, tetapi juga korikuler.

Rumusnya adalah:

Keterangan:
p = Nilai tes sub sumatif
q = Nilai tes sumatif
r = Nilai korikuler
Merata-ratakan hasil penilaian sumatif dengan hasil penilaian formatif
Setelah hasil-hasil penilaian formatif diubah ke dalam nilai berskala 1 10, kemudian untuk setiap
siswa dicari rata-rata hasil penilaian formatif dalam caturwulan/semester yang bersangkutan.
Nilai rata-rata ini selanjutnya dijumlahkan dengan tes sumatif dan kemudian hasil penjumlahan
dibagi dua. Hasil yang terakhir inilah yang akan merupakan nilai akhir bagi setiap siswa yang natinya
dijadikan nilai rapor.
Perlu dikemukakan di sini bahwa apabila pada nilai akhir terdapat pecahan kurang dari setengah,
maka nilai itu dibulatkan ke bawah. Kalau pecahan itu setengah, nilai akhir tetap seperti itu.
Sedangkan dalam pecahan lebih dari setengah, maka nilai itu dibulatkan ke atas.
Kecuali untuk nilai 5,5 itu dibulatkan menjadi 6.[10]
[1] Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta:Bumi Aksara,2003), h.
223-224
[2] Ibid, Prof. Dr. Suharsimi, h. 237
[3] Prof. Drs. Anas Sudijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan.1995. Yogyakarta : Rajawali Pers. Hal
309-353
[4] Opcit, Prof. Dr. Suharsimi, h. 225-239
[5] file:///D:/document/MENGOLAH-NILAI.htm
[6] Drs.M.Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran (Bandung : Remaja
Rosdakarya ,2009), h. 87
[7] file:///D:/document/MENGOLAH-NILAI.htm
[8] file:///D:/document/cara-mengolah-skornilai-dan-mencari.html
[9] file:///D:/document/MENGOLAH-NILAI.htm
[10] Opcit, Prof. Dr. Suharsimi, h. 274 280

sumber : http://kampusryan.blogspot.com/2012/06/cara-mengolah-skor-atau-nilai-dan.html

Anda mungkin juga menyukai