Anda di halaman 1dari 190

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu langkah yang sangat penting dalam mengadakan proses evaluasi terhadap siswa
adalah mengolah hasil evaluasi pembelajaran. Mengolah hasil evaluasi merupakan tindak lanjut
dari kegiatan merencanakan dan melaksanakan kegiatan evaluasi. Bila dalam merencanakan dan
melaksanakan evaluasi masalah utama yang dihadapi adalah bagaimana menentukan obyek
evaluasi, bagaimana menyusun alat evaluasi yang baik, dan bagaimana prosedur pelaksanaannya,
maka dalam mengolah hasil evaluasi masalah utaman yang dihadapi adalah bagaimana
menganalisis dan menginterpretasi hasil evaluasi.
Secara umum, ada dua kegiatan utama yang perlu dilaksanakan dalam mengolah hasil
evaluasi, yaitu mengadakan penyekoran (scoring), dan memberikan nilai (grading). Pada
hakekatnya mengadakan penyekoran atau memberikan skor adalah mengadakan kuantifikasi
terhadap hasil pekerjaan siswa. dengan kata lain mengadakan penyekoran adalah proses
mengubah jawaban siswa menjadi angka-angka. Skor merupakan harga kuantitatif suatu jawaban
butir tes. Sedangkan memberikan nilai adalah proses menterjemahkan skor hasil tes yang telah
dikonversikan ke dalam klasifikasi evaluatif berdasarkan norma atau riteria tertentu. Nilai
merupakan hasil ubahan dari skor yang disesuaikan pengaturannya dengan suatu standar tertentu.
Mengolah hsil evaluasi merupakan tugas yang cukup sulit. Paling sedikit ada tiga alasan
yang mendasari, yaitu: prestasi belajar cukup sulit diukur, sistem evaluasi sering kurang searah
dengan tujuan pendidikan dan mengadakan penilaian mengharuskan guru atau pendidik
mengadili siswa. Di satu sisi, seorang guru harus menjalin hubungan yang baik dengan siswa. Di
sisi lain, seorang guru juga dituntut untuk memberikan penilaian secara obyektif terhadap siswa.
memberikan nilai yang rendah merupakan pekerjaan yang tidak menyenangkan bagi guru.
Apalagi bila sudah memiliki hubungan yang sangat erat dengan siswa. Untuk itu, dalam
mengadakan penilaian terhadap pekerjaa siswa, harus dilakukan secara tepat dan benar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah, antara
lain:
A. Apa saja teknik penyekoran evaluasi?
B. Bagaimana teknik penilaian?
C. Bagaimana teknik analsis data kuantitatif?
D. Bagaimana teknik analsis data kualitatif?
E. Bagaimana cara penentuan nilai akhir?
F. Bagaimana pengolahan hasil evaluasi di perguruan tingi?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari makalah yaitu, untuk mengetahui:
1. Teknik penyekoran evaluasi
2. Teknik penilaian
3. Teknik analsis data kuantitatif
4. Teknik analsis data kualitatif
5. Cara penentuan nilai akhir
6. Pengolahan hasil evaluasi di perguruan tingi

BAB II
PEMBAHASAN

A. Teknik Penyekoran
Menurut Wiyono dan Sunarni (2009: 48) langkah pertama yang perlu dilakukan dalam
mengolah hasil evaluasi adalah mengadakan penyekoran terhadap jawaban siswa. ada beberapa
cara yang bisa dilakukan dalam mengadakan penyekoran hasil tes, sesuai dengan bentuk-bentuk
tes yang digunakan.
1. Pemberian skor untuk tes bentuk obyektif
Cara memberikan skor terhadap hasil tes bentuk obyektif relatif lebih mudah. Hal ini, karena
tes-tes bentuk obyektif cenderung hanya memerlukan satu jawaban mutlak tertentu yang paling
benar. Secara sederhana, cara memberikan skor terhadap hasil tes bentuk obyektif adapat
dilakukan dengan memberikan skor 1 untuk jawaban benar, dan memberikan skor 0 untuk
jawaban salah. Total skor diperoleh dengan menjumlahkan skor yang diperoleh dari semua
bentuk soal. Akan tetapi, hal ini juga perlu disesuaikan dengan sistem yang di anut dan jenis tes
obyektif yang dilaksanakan. Beberapa jenis tes bentuk obyektif, antara lain: tes benar salah (true
false), pilihan ganda (multiple choice). Menjodohkan (matching), melengkapi isian (completion),
dan jawaban singkat (short answer). Masing-masing jenis tes tersebut memiliki karakteristik
tersendiri. Cara pengolahan terhadap masing-masing jenis tersebut juga memiliki karakteristik
tersendiri.
a) Pemberian skor hasil tes benar salah
Dalam menentukan skor untuk benar salah (true false), digunakan dua cara, yaitu: (1) tanpa
hukuman atau denda dan (2) dengan hukuman atau denda. Yang dimaksud dengan cara tanpa
hukuman atau denda adalah memberikan skor terhadap hasil tes hanya dengan menjumlahkan
skor jawaban benar, tanpa memperhitungkan faktor tebakan (correction for guessing).
Sedangkan yang dimaksud dengan cara hukuman atau denda adalah dalam memberikan skor
diperhitungkan adanya faktor tebakan. Ada dua rumus yang bisa diterapkan, yaitu:
1) S = R-W
S = Score (Skor)
R = Right (Jawaban benar)
W = Wrong (Jawaban salah)
2) S = T-2W
S = Score (Skor)
T = Total (Jumlah soal)
W = Wrong (Jumlah butir soal dijawab salah)
Skor yang diperoleh adalah soal dikurangi dua kali jawaban soal yang salah. Miaslnya,
jumlah soal 10 butir, yang salah 2 butir, maka skor yang diperoleh adalah 10-(2x2)=6
b) Pemberian skor hasil tes pilihan ganda
Dalam memberikan skor terhadap hasil tes pilihan ganda (multiple choice) dilakukan dengan
dua cara, yaitu: (1) dengan tanpa hukuman atau denda, dan (2) dengan hukuman atau denda.
Yang dimaksud dengan tanpa hukuman atau denda adalah dalam memberikan penyekoran
terhadap hasil tes dilakukan hanya dengan menjumlahkan hasil angka yang benar. Sedangkan
yang dimaksud dengan cara memberikan skor dengan hukuman atau denda adalah dlam
membeirkan skor diperhatikan faktor tebakan. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
S = Score (Skor)
R = Right (Jawaban benar)
W = Wrong (Jawaban salah)
N = Banyakya pilihan jawaban
Sebagai contoh, jumlah soal 10 butir, alternatif pilihan jawaban 4, jawaban betul 7 butir,
jawaban salah 3 butir, maka skor yang diperoleh adalah 7.
c) Pemberian skor hasil tes menjodohkan
Cara memberikan skor terhadap hasil tes bentuk menjodohkan (matchig) pada dasarnya
sama dengan tes pilihan ganda. Perbedaannya terletak pada alternatif jawaban yang diberikan
pada tes menjodohkan dijadikan satu dan relatif lebih banyak. Dengan demikian, cara
memberikan skor hasil tes menjodohkan juga seirama dengan cara penyekoran bentuk tes pilihan
ganda. Untuk cara penyekoran tanpa hukuman, skor hasil tes diperoleh dengan cara
menjumlahkann semua jawaban benar. Sedangkan untuk cara hukam atau denda, digunakan
rumus sebagai berikut:
R =
Keterangan:
S = Skor
R = Right (Jawaban benar)
W = Wrong (Jawaban salah)
n1 = Jumlah butir pada lajur kiri (soal)
n2 = Jumlah butir pada lajur kanan (jawaban)
Penggantian sistem denda tersebut dimalsudkan untuk menetralisr kemungkinan
diperolehnya jawaban benar karena menerka, sebab tujuan ujian adalah untuk mengetahui status
kemajuan pengetahuan testee, bukan kehliannya menerka jawaban. Akan tetapi, penggunaan
rumus hukuman tersebut pada hakekatnya tidak bisa mengenai sasaran. Sulit sekali untuk
menentukan jawaban yang diperoleh memlalui pemikiran atau terkaan. Oleh karena itu, salah
satu cara paling tepat dalam menghindari unsur terkaan adalah justru terletak pada
penyusunannya. Soal yang dibuat diusahakan bisa menghindari unsur-unsur terkaan dalam
menjawab.
Bila di telaah dari bobotnya, pemberian skor terhadap hasil tes juga berbeda. Ada dua aspek
yang perlu diperhatikan dalam memberi skor, yaitu bentuk tes dan bobot masing-masing sub tes.
Bentuk menjodohkan relatif lebih tinggi bobotnya dibandingkan dengan bentuk benar salah.
Dmeikian juga, bentuk pilihan ganda relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk benar
salah. Butir soal yang banyak terkait dengan tujuan pelru diberikan bobot yang lebih tinggi.
Dengan demikian, hasil penyekoran tersebut bisa mencapai tujuan yang diharapkan.
d) Pemberian skor hasil tes jawaban singkat
Cara memberikan skor hasil tes bentuk jawaban singkat (short answer), bisa dianggap setara
dengan cara penyekoran bentuk tes benar salah, pilihan ganda atau menjodohkan. Cara
memberikan skor bisa dilaksanakan dengan menjumlahkan jawaban benar. Akan tetapi, bila
jawaban soal memiliki variasi, maka bisa diberikan skor sesuai dengan bentuk soal. Misalnya
dari sangat lengkap, cukup lengkap dan kurang lengkap. Untuk jawaban sangat lengkap diberi 3,
cukup lengkap 2, dan kurang lengkap 1, sedangkan jawaban salah 0.
Bentuk soal melengkapi (complation) dianggap setara dengan tes jawaban singkat. Untuk
itu, prosedur atau cara penyekorannya bisa dilakukan seperti dalam meberikan skor terhadap tes
jawaban singkat.

2. Pemberian skor tes bentuk esai


Pemberian skor terhadap hasil tes bentuk essai relatif lebih sulit dibandingkan tes bentuk
obyektif. Kesulitan pertama, karena pada butir tes essai jawaban tidak bersifat mutlak hanya satu
secara umum. Beberapa jawaban yang dikemukakan dalam variasi kalimat yang berbeda
memiliki kemungkinan sama sebenarnya, sepanjang isi jawaban masih relevan dengan yang
digharapkan. Kesulitan kedua, terletak pada penentuan bobot relatif setiap butir. Karena butir-
butir soal essai relatif berbeda kompleksitasnya antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga
angka yang harus diberikan pada setiap jawaban benar akan berbeda dari butir ke butir. Terdapat
variasi jawaban yang beragam, misalnya kurang lengkap, sangat lengkap, benar tapi hasilnya
salah sama sekali, hasilnya benar tapi caranya salah, dan sejenisnya. Untuk itu, dalam
memberikan skor terhadap hasil tes essai, perlu dilakukan secara hati-hati.
Ada dua cara memberikan skor terhadap hasil tes essai, yaitu cara penyekoran analitik
(anallytical scorring method), dan cara penyekoran holistik (holistic scorring method). Cara
penyekoran analitik adalah cara penyekoran yang mengacu pada elemen-elemen jawaban ideal.
Tinggi rendahnya skor jawaban siswa, tergantung pada lengkap tidaknya elemen yang dituju.
Sedangkan cara penyekoran holistik adalah cara penyekoran yang didasarkan pada keluasan
respon jawaban yang diberikan. Tinggi rendahnya skor jawaban siswa tergantung pada kualitas
keseluruhan jawaban.
Untuk memberikan skor terhadap hasil tes essai, perlu ditetapkan bobot masing-masing soal.
Skor yang diberikan pada setiap jawaban, juga bervariasi dari terendah sampai tertinggi, sesuai
dengan terpenuhinya kriteria-ktriteria jawaban yang dianggap benar. Salah satu rumus yang bisa
dugunakan dalam skoring adalah:
SBS = xc
Keterangan:
SBS = Skor Butir Soal
a = Skor mentah yang diperoleh siswa untuk butir soal itu
b = Skor mentah maksimum soal itu
c = Bobot soal
Disamping itu, ada beberapa prinsip yang perlu diikuti dalam melaksanakan penyekoran
terhadap hasil tes essai. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a) Untuk memberikan acuan dalam koreksi, perlu ditetapkan pedoman pemberian skor yang berisi
garis-garis besar atau pokok-pokok jawaban ideal yang diharapkan.
b) Pemberian skor dilakuka secara menyeluruh terhadap seluruh siswa pada setiap nomor butir
sebelum melakukan koreksi nomor berikutnya (whole method system).
c) Pemberian skor terhadap jawaban soal diusahakan tidak mengetahui nama pemilik kertas
jawaban.
d) Faktor-faktor lain diluar isi muatan soal diusahakan benar-benar terpisah dengan sisi muatan soal
yang diharapkan.
Prinsip-prinsip tersebut harus dipegang dalam memberikan skor hasil tes essai. Untuk
mengetahui skor total, maka dapat dilaksanakan denganmenjumlahkan angka-angka yang
diperoleh dari masing-masing butir. Jumlah dari seluruh butir merupakan skor total dari hasil tes
essai.

B. Teknik Penilaian
Setelah memberikan skor, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan dalam mengolah hasil
evaluasi adalah menganalisis data. Dari hasil data tersebut, selanjutnya dilakukan penilaian.
Mengadakan penilaian atau memberikan penilaian (grading) pada hakekatnya adalah mengubah
angka-angka yang diperoleh dari skor mentah menjadi suatu nilai yang memiliki suatu arti
maupun klasifikasi evaluatif, seperti baik-buruk, tinggi-rendah, atau memuaskan-tidak
memuaskan, berdasarkan kriteria tertentu. Di dalamnya termasuk interpretasi dan penilaian hasil.
Secara umum menurut Nitko dalam Wiyono dan Sunarni (2009: 53) ada dua cara yang
dipergunakan dalam penilaian, yaitu penilaian dengan acuan patokan (criterion referenced
interpretation), dan penilaian dengan acuan norma atau kelompok (norm referenced
interpretation). Penilaian acuan patokan adalah penilaian yang dalam menginterpretasikan hasil
pengukuran secara langsung didasarkan pada standar performansi tertentu yang ditetapkan.
Sedangkan penilaian acuan norma adalah proses penilaian yang dalam menginterpretasikan hasil
pengukuran didasarkan pada prestasi anggota kelompok lainnya.
Secara umum, gambaran penggunaan kedua pendekatan tersebut dapat dipaparkan sebagai
berikut:

Kriteria mutlak
Seleksi perlakuan untuk mencapai kompetensi
Penyesuaian perlakuan pada individu agar mencapai kompetensi
Kedudukan individu dibandingkan dengan kompetensi
PAP
Standar
Fungsi
Acuan Penilaian
Tujuan
Sifat
Untuk mencapai tingkah laku & kompetensi
7 kompetensi

Diagnosa
Kemampuan

Norma kelompok
Seleksi terhadap individu
Mengukur penyesuaian individu terhadap materi
Mengetahui kedudukan individu dalam kelompok
PAN
Untuk mewujudkan penguasaan konsep dan tingkah laku

1. Penilaian berdasarkan acuan patokan


Penilaian berdasrakan acuan patokan digunakan apabila tujuan pengajaran secara khusus
diarahkan untuk menguasai seperangkat kemampuan secara tuntas (mastery learning). Salah satu
pertimbangan yang mendasari adalah bahan kurikulum yang diajarkan cenderung bersifat statis.
Materi pokoknya relatif bersifat tetap. Dengan demikian, kriteria benar salah cenderung bersifat
tegas.
Patokan yang dipakai sebagai kriteria hasil belajar merupakan standar tertentu yang
ditetapkan. Hal itu bisa berupa ketercapaian tujuan pengajaran atau persentase penguasaan
materi yang dinyatakan dengan jelas.
Sebagai contoh gambaran dalam menetapkan persentase ketercapaian dalam penilaian
berdasarkan acuan patokan adalah sebagai berikut:

Taraf Angka Kualitas Nilai Huruf Kualifikasi


Penguasaan
91-100% 4 A Memuaskan
81-90% 3 B Baik
71-80% 2 C Cukup
61-70% 1 D Kurang
<60% 0 E Gagal
Tinggi rendahnya persentase yang dicatat untuk dikuasai siswa, tergantung pada penting
tidaknya bahan. Semakin penting suatu bahan, semakin tinggi persentase yang diharapkan. Salah
satu prinsip uang perlu dipegang dalam penyusunan tes yang dinilai berdasarkan acuan patokan
adalh hendaknya bahan tes yang disusun bisa mencerminkan secara keseluruhan bahan
pengajaran atau tujuan pengajaran. Hal itu, karena apabila sampai tidak memadai, gamvaran
persentase tersebut menjadi salah (over or under estimate).
2. Penilaian berdasarkan acuan kelompok
Penggunaan penilaian berdasarkan acuan norma atau kelompok didasrkan asumsi bahwa
semua individu memiliki kemampuan yang beragam. Keragaman tersebut bila ditarik dari
sejumlah populasi, akan membentuk distribusi normal. Sebagian besar berada di sekitar rerata
(mean), dan sebagian kecil ada di daerah ekor kanan (tinggi) atau ekor kiri (rendah).
Penilaian acuan norma cenderung digunaka apabila bahan cenderung bersifat diamis. Tujuan
pengajaran ditekankan untuk mengembangkan kretivitas individual, serta kemampuan
berkompetisi antar siswa.
Penilaian acuan norma ini sangat dinamis, tergantung pada jenis kelompok, tempat dan
waktu. Jika yang dihadapi dalam penilaian acuan patokan adalah sampling materi tes, dan
penetapan tinggi rendahnya patokan yang dijadikan kriteria keberhasilan, maka dalam penilaian
acuan kelompok terletak pada kesempurnaan tingkat butir soal dan pengolahan statistikanya.
Oleh karena kriteria penilaian acuan kelompok ini didasarkan kemampuan rerata kelompok,
maka butir tes harus dapat memebrikan gambaran tingkat daya beda dan tingkat kesukaran yang
baik. Untuk mengolah hasil tes bisa dilakukan secara langsung, tapi perlu ditelaah nilai
kelompok secara empirik.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam mengadakan penilaian berdasarkan acuan
kelompok dalah:
a. Memberikan skor tiap siswa (raw score)
b. Mencari nilai rata-rata kelompok
c. Mencari nilai simpangan baku (standart deviation)
d. Membuat pedoman konversi nilai berdasarkan pedoman konversi (skala nilai) yang dibuat.
Secara sederhana, konversi nilai yang biasa digunakan ada lima macam, yaitu:
1) Skala lima (stanfive), diwujudkan dengan 0,1,2,3,4, atau A,B,C,D,E.
2) Skala embilan (stannie), diwujudkan dengan 1,2,3,4,5,6,7,8,9.
3) Skala sepuluh (C-Scale), diwujudkan dengan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10
4) Skala sebelas (staneleven), diwujudkan dengan 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11.
5) Sakala seratus (T-Scale), diwujudkan dengan 0,1,2,3,...s.d...100.
Penggunaan skala tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan aturan yang diterapkan di
lemabaga pendidikan. Sebagai contoh, pembuatan konversi nilai adalah sebagai berikut:
1) Standar berskala lima (standard five/ stanfive/ five point scale)
(M + 1,5 SD) < X nilai A
(M + 0,5 SD) < X (M + 1,5 SD) nilai B
(M 0,5 SD) < X (M + 0,5 SD) niali C
(M 1,5 SD) < X (M 0,5 SD) nilai D
(M 1,5 SD) nilai E
Bila skor tes para siswa telah diubah menjadi skor standar (misalnya z-score), maka
norma tersebut dapat dietapkan sebagai berikut.
1,5 <Z nilai A
0,5 < Z 1,5 nilai B
-0, < Z 0,5 nilai C
-1, < Z -0,5 nilai D
Z -1,5 nilai E
2) Standar berskala sebelas (standard eleven/ stannel/ eleven points scale)
(M + 2,25 SD) < X nilai 10
(M + 1,75 SD) < X (M + 2,25 SD) nilai 9
(M + 1,25 SD) < X (M + 1,75 SD) nilai 8
(M + 0,75 SD) < X (M + 1,25 SD) nilai 7
(M + 0,25 SD) < X (M + 0,75 SD) nilai 6
(M 0,25 SD) < X (M + 0,25 SD) nilai 5
(M 0,75 SD) < X (M 0,25 SD) nilai 4
(M - 1,25 SD) < X (M 0,75 SD) nilai 3
(M 1,75 SD) < X (M 1,25 SD) nilai 2
(M 2,25 SD) < X (M 1,75 SD) nilai 1
X (M 2,25 SD) nilai 0
Demikian juga untuk konversi skala lainnya. Untuk pedoman konversi skala sembilan
berkisar dari (M 1,75 SD) ke bawah sampai (M + 1,75 SD). Sedangkan untuk pedoman
konversi ini tergantung yang diterapkan pada lembaga pendidikan yang bersangkutan. Misalnya,
untuk perguruan tinggi menggunakan skala lima, dengan nilai A,B,C,D dan E.
Berdasarkan hasil penjabarab di atas jelas bahwa interpretasi dengan menggunakan acuan
norma cenderung lebih banyak menggunakan teknik analisis data. Untuk interpretasi dengan
acuan patokan, banyak menggunakan persentase atau batas kelulusan (grade). Sedangkan
interpretasi dengan acuan norma menggunakan beberapa teknik analisis data, antara lain mean,
standar deviasi, skor standar, rank, dan juenjang persentil ataupun normalized standard scores.
Kadang kala penggunaan salah satu dari dua pendekatan tersebut belum bisa memenuhi
kebutuhan. Misalnya, distribusi skor hasil tes tidak memenuhi asumsi tertentu sebagai syarat
penggunaan salah satu pendekatan yang ada. Bila terjadi demikian, maka bisa digunakan
pendekatan kombinasi. Acuan pertama adalah tercapainya tujuan evaluasi pembelajaran secara
optimum.
Sedangkan, menurut Imron (2012: 138) ada dua kriteria penilaian atau evaluasi peserta
didik. Pertama, kriteria acuan patokan. Menurut kriteria ini, peserta didik dinilai baik dan
memenuhi syarat untuk dinaikkan, diluluskan atau dipromoiskan, jika yang bersangkutan
memenuhi standar yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pendidik atau lembaga pendidikan.
Konsekuensi dari pilihan pada kriteria ini adalah, jika seluruh peserta didik berada dalam atau di
atas standar, akan dinaikkan semua, dipromosikan semua atau diluluskan semua, sebaliknya jika
di bawah standar, tidak dinaikkan semua, tidak dipromosikan semua atau tidak diluluskan semua.
Oleh karena demikian berat konsekuensi bagi kriteria acuan patokan ini, maka lazim
dipergunakan pada tes formatif yang sifatnya memberikan umpan balik. Sebab, dengan
mengetahui apakah sebagian besar peserta didik sudah memenuhi standar atau belum, akan dapat
diambil langkah-langkah seperti perbaikan pembelajaran, bantuan kepada peserta didik yang
mengalami kesulitan, atau melanjutkan materi berikutnya sebagai akibat dari keberhasilan materi
seblumnya.
Kedua, kriteria acuan norma. Kriteria ini mengharuskan pendidik atau lembaga pendidikan
mendasarkan tafsiran penilaian pada keberhasilan rata-rata peserta didik di dalam kelas. Yang
dijadikan pembanding keberhasilan demikian adalah nilai peserta didik di dalam kelas. Jika salah
seorang peserta didikdi dalam kelas ternyata berada di atas rata-rata, dapat diidentifikasikan
sebagai berhasil, maka sebaliknya yang berada di bawah rata-rata kelas, dianggap belum atau
tidak berhasil. Konsekuensi dari jenis kriteria ini adalah akan selalu ada peserta didik yang
berhasil dan tidak berhasil, terutama jika kemampuan daya beda tes tersebut sangat tinggi. Bisa
jadi, peserta didik yang skornya di atas 50 atau 60 dianggap tidak berhasil, karena skor rat-rata
kelas ternyata di atas 60.
Oleh karena demikian berat konsekuensi dari penggunaan kriteria acuan norma, maka lazim
digunakan pada tes atau evaluasi sumatif. Sebagai sebuah alat ukur, kriteria acuan norma ini,
haruslah dapat membedakan antara peserta didik yang pandai dan tidak, yang berusaha sungguh-
sungguh dan tidak. Sebab, kalau tidak dapat, maka sebagai alat ukur, daya beda tes tersebut
dianggap rendah. Dalam praktik, diantara kedua kriteria ini seringkali digabungkan, sehingga
menjadi kriteria gabungan.

C. Teknik Analisis Data Kuantitatif


Untuk mengolah hasil pengukuran dalam evaluasi pembelajaran, banyak teknik analisis data
yang bisa digunakan. Menurut Wiyono dan Sunarni (2009: 56) analisis data pada hakekatnya
adalah mengolah angka-angka yang diperoleh dari skor mentah menjadi suatu skor yang mudah
dibaca dan disimpulkan. Untuk mengolah data hasil evaluasi formatif, mungkin tidak perlu
menggunakan banyak teknik analisis data. Hasil evaluasi formatif, banyak digunakan untuk
perbaikan proses belajar mengajar. Sebagai contoh sebagai berikut:

Pokok Bahasan : Konsep Dasar Evaluasi Jumlah


%
Topik Skor
No.soa
l Jumla
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sisw h Skor
a
9
1 A - 9
0
7
2 B - - - 7
0
5
3 C - - - - - 5
0
6
4 D - - - 6
0
4
5 E - - - - - - 4
0
4
6 F - - - - - - 4
0
4
7 G - - - - - 5
0
6
8 H - - - - 6
0
6
9 I - - - - 6
0
8
10 J - - 8
0
Jumlah Skor 6 4 4 6 4 6 9 4 8 9

Jumlah skor ideal 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

Dari hasil analisis data tersebut di atas, dapat digaris bawahi bahwa persentase yang
diperoleh masih sebesar 60 %. Untuk itu, perlu menyempurnakan pengajaran yang ada, karena
masih dibawah 75 %. Dari analisis individual dapat digaris bawahi bahwa terdapat 8 siswa yang
belum menguasai topik materi dengan baik, yaitusiswa nomor 2,3,4,5,6,7,8, dan 9. Persentase
pencapaiannya masih dibawah 75%. Bila dilihat butir soalnya, butir nomor 2,3,5, dan 8 hanya
dikuasai 4 siswa, dan butir 4 hanya dikuasai 6 siswa. Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar
siswa belum menguasai materi tersebut. Untuk itu, perlu dijelaskan kembali.
Banyak sekali teknik analisis data yang bisa diterapkan untuk mengolah data hasil
pengukuran di bidang evaluasi pembelajaran. Akan tetapi, tidak semua sering digunakan.
Beberapa yang banyak digunakan untuk mengolah data hasil evaluasi pembelajaran adalah
sebagai berikut:
1. Tendensi Sentral
Salah satu teknik analisis data yang banyak digunakan untuk mengolah data evaluasi adalah
tendensi sentral (central tendency) atau ukuran kecenderungan memusat. Ada 3 teknik utama
yang digunakan untuk mengukur tendensi sentrak, yakni mean, median, dan mode.
Mean adalah nilai rata-rata, dan dicari dengan rumus:
M=
Keterangan:
M = Mean (besarnya rata-rata)
X = Jumlah nilai
N = Jumlah peserta tes
Sebagai contoh, diketahui N=20, X = 1200, maka nilai mean diperoleh sebesar
1200:20=60. Apabila sampel cukup besar dan digunakan distribusi frekuensi makabisa
menggunakan rumus untuk data berkelompok sebagai berikut:
fx
M=
N
Keterangan:
M = Mean (nilai rata-rata)
Fx = Nilai dikalikan frekuensi
N = Jumlah Peserta
Median adalah nilai tengah. Median dicari dengan mencari nilai tengah. Misalnya angka
56, 58,65, 66,68, 70, 74,76, 87, maka mediannya adalah 68 (nilai tengah). Bila banyaknya skor
genap maka mediannya adalah jumlah dua skor yang berada ditengah dibagi 2. Bila datanya
berkelompok bisa menggunakan rumus berikut:
N - fa
Me = U 2 i
fme
Keterangan:
Me = Besarnya Median
U = Batasa Atas Kelas Interval
N = Jumlah Frekuensi (seluruhnya)
fa = Jumlah Frekuensi di atas Kelas mediam
fme = Jumlah Frekuensi Dalam Kelas Median
i = Besarnya Kelas Interval
Untuk menentukan letak median dapat digunakan rumus sebagai berikut:
N+1
Me = 2
Keterangan:
Me = Letak Median
N = Banyaknya Skor/Frekuensi
Mode adalah nilai yang paling banyak muncul. Mode dicari dengan menggunakan nilai yang
paling banyak muncul. Misalnya untuk skor 4 ada 1 orang, 5 ada 10 orang, 6 ada 4 orang, 7 ada 5
orang, dan skor 8 ada 3 orang, maka nilai modenya adalah 5 (yang banyak muncul).
Dari ketiga teknik yang ada, untuk menafsir kecenderungan memusat (mutu suatu
kelompok), yang paling baik adalah mean, karena mean tidak hanya berdasarkan pada skor
setempat, tetapi berdasarkan kelompok secara keseluruhan. Perhitungan memiliki kecermatan
tinggi, dan diperlukan untuk mencari kecermatan lain. Akan tetapi bila distribusi skor sangat
menceng, terlalu miring ke kiri atau ke kanan, maka bisa dipergunakan median. Sedangkan mode
dipergunakan bila hanya menginginkan nilai yang banyak muncul, dan bisa diperoleh secra
cepat.
2. Variabilitas
Variabilitas adalah keanekaragaman angka-angka dalam suatu distribusi skor. Variabilitas
merupakan variasi sebaran skor dari mean. Semakin luas penyebaran angka-angka, semakin
besar pula variabilitas distribusinya. Hal itu berarti skor yang ada cenderung hiterogen.
Sebaliknya, semakin kecil penyebaran angka-angka berarti semakin kecil juga variabilitasnya.
Hal itu berarti skor yang ada cenderung homogen.
Secara sederhana, ada tiga teknik untuk melihat ukuran variabilitas, yaitu jarak sebaran atau
range, deviasi rata-rata dan deviasi standar/simpangan baku. Range dicari dengan mengurangi
angka tertinggi dan terendah (R=Xtertinggi Xterendah). Misalnya angka tertinggi 96, dan terendah 66,
maka range diperoleh 96-66=30.
Deviasi rata-rata adalah rata-rata penyimpangan angka dari mean. Penyimpangan angka
merupakan selisih antara angka tersebut dengan mean. Rumus untuk mencari deviasi rata-rata
adalah:
f (X-M)
Deviasi rata-rata=
N
Keterangan:
X = Skor yang diperoleh
M = Nilai rata-rata
N = Jumlah peserta tes
Dibandingkan range dan deviasi rata-rata, simpangan baku merupakan cara terbaik untuk
pengukuran penyebaran. Simpangan baku adalah jarak standar (distance) yang terletak di atas
dan di bawah mean. Rumus untuk mencari simpangan baku (dari populasi) adalah:
SD =
Keterangan:
SD = Simpangan baku
X = skor yang diperoleh
M = Nilai rata-rata
Untuk data berkelompok bisa menggunakan rumus berikut:
SD =
Keterangan:
SD = Simpangan baku (Standar Deviation)
i = Besarnya kelas interval
N = Jumlah frekuensi seluruhnya
f = Jumlah frekuensi masing-masing kelas
d = Deviasi dari mean
Sebagai contoh, menghitung simpangan baku dari data tidak berkelompok. Skor yang
diperoleh peserta tes adalah 9, 12, 16, 18, 20, maka nilai simpangan baku yang diperoleh adalah
sebagai berikut:

X XM (X M)
9 -6 36
12 -3 9
16 1 1
18 3 9
20 3 25
X = 75 (X M)2=80

M= 75 : 5= 15
SD= = 4
Perhitungan dengan menggunakan data kelompok tidak akan secermat dengan rumus data
tunggal. Untuk itu, baik dalam mencari mean, median, deviasi standar atau lainnya, sebaiknya
menggunakan rumus untuk data tidak berkelompok atau tunggal secara langsung. Dengan
demikian hasilnya akan lebih tepat.
Satu hal yang terkait dengan analisis tendensi sentral dan variabilitas, terutama untuk
mengolah data dengan penilaian acuan kelompok adalah kurva normal. Kurva normal adalah
kurva berbentuk bel yang simetris dimana penyebaran skor terjadi secara normal. Dalam
mengintrepetasikan hasil tes, kurva normal ini dibagi menjadi beberapa unit simpangan baku,
yang masing-masing memiliki presentase tertentu. Secara garis besar dapat digambarkan sebagai
berikut:

Standar
Deviations
Dari data tersebut diatas, dapat diketahui bahwa dalam kondisi normal, daerah antara mean
sampai +1 SD meliputi 34% daerah antara +1SD sampai +2SD meliputi 14%, daerah antara
+14% sampai 3SD meliputi 2%, dan selebihnya sebanyak 0,13%. Hal ini berlaku untuk daerah
dibawah mean. Bila terjadi sebagian besar siswa memperoleh skor tinggi, maka kurva akan
miring ke kiri atau juling ke kiri (negative skewed curve). Sebaliknya, bila terjadi sebagian besar
siswa skornya rendah, maka akan juling ke kanan (positively skewed curve).
3. Skor standar
Kadang kala untuk kebutuhan menentukan nilai secara cepat tanpa melihat tabel konversi
secara keseluruhan, maka dapat dihitung dengan skor z. Banyak manfaat yang bisa diambil
dengan menggunakan skor standar z. Skor z adalah salah satu teknik untuk mengetahui posisi
testee dalam kelompoknya. Dengan skor z, dapat membandingkan antara skor satu dengan
lainnya. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
X-M
Z=
SD
Keterangan:
X = Skor yang diperoleh
M = Rata-rata (mean)
SD = Simpangan baku
Sebagai contoh, skor mentah yang diperoleh A adalah 72. Rata-rata nilai diperoleh sebesar
70, dan simpangan baku sebesar 3,95. Berdasarkan data tersebut, maka skor standar A adalah
0,51.
Hal itu berarti kedudukan nilai A berada pada +0,51 di atas rata-rata. Distribusi nilai Z
bertolak dari -1SD sampai dengan +1SD. Untuk menghindari kekacauan akibat skor yang terlalu
kecil, maka bisa digunakan standar skor lain, yaitu T score (standar skor T). Pada dasarnya skor
T sama dengan skor Z, yakni didasarkan atas penyampaian skor Z dari mean distribusinya.
Perbedaan skor T memiliki mean sebesar 50 dan standar deviasi 10. Rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut:
10X - M
T= 50 + , atau T= 50 + 10Z
SD
Sebagai contoh, B mendapat skor 75 pada matematika dan 85 pada fisika. Nilai rerata
matematika 55, dan simpangan baku sebesar 10. Sedangkan untuk fisika, diperoleh nilai rerata
sebesar 80 dengan simpangan baku sebesar 12. Skor T yang diperoleh B adalah sebagai berikut:
75 - 55
Z score Matematika = =2
10

85 - 80
Z score Fisika = = 0,42
12
T score Matematika = 50 + 10 (2) = 70
T score Fisika = 50 + 10 (0,41) = 54,2
Dengan melihat hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa prestasi B lebih tinggi pada tes
Matematika daripada Fisika, dilihat dari sisi kelompoknya.
4. Skor Komposit
Kadang kala nilai skor akhir siswa, tidak didasarkan pada hasil tes tunggal. Nilai akhir pada
bidang studi tertentu merupakan gabungan atau kombinasi dari skor-skor yang diperoleh dari
beberapa hasil pengukuran.
Bila skor tersebut didasarkan pada beberapa komponen, maka skor akhir dapat diperoleh
dengan melakukan penggabungan skor yang disebut skor komposit. Salah satu rumus komposit
yang bisa digunakan adalah sebagai berikut:
bZ
Skor komposit =
b
Keterangan:
B = Bobot komponen
Z = Skor Z setiap komponen
Sebagai contoh, seorang siswa memperoleh nilai ujian mid 40, dan nilai tugas I sebesar 10,
tugas II sebesar 17, nilai persentasi sebesar 20, dan nilai ujian akhir sebesar 50. Bobot masing-
masing nilai ditetapkan nilai mid 3, tugas I1, tugas II1, nilai presentasi 1, dan nilai akhir 4.
Sedangkan Z skor masing-masing diperoleh 0, 92, 0, 1,22, 1,03, 0,74. Berdasarkan nilai tersebut,
dapat ditetapkan nilai kompositnya sebagai berikut:

Komponen X Z B Bz
Ujian mid 40 0,92 3 2,76
Tugas I 10 0 1 0
Tugas II 17 1,22 1 1,22
Presentasi 20 1,03 1 1,03
Ujian final 50 0,74 4 2,96
Jumlah b = 10 bz =
7,97

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa skor komposit
diperoleh sebesar 7,97 : 10 = 0,797. Hal ini berarti siswa tersebut memperoleh nilai sebesar
0,797 SD, di atas rata-rata (mean).
Rumus lain yang bisa digunakan untuk menghitung skor komposit adalah sebagai berikut:
(X) xb
Skor komposit =
Xt
Keterangan:
X = Skor pada komponen
Xt = Skor maksimal setiap komponen
B = Bobot komponen
Melalui perhitungan rumus kedua ini akan bisa diperoleh skor komposit sesuai dengan skala
yang digunakan.
5. Persentil dan Jenjang Persentil
Konsep persentil (percentile) dan jenjang persentil (percentiles ranks) berkaitan dengan
kedudukan atau posisi relatif dalam distribusi frekuensi. Persentil menunjukkan angka yang n%
dari seluruh distribusi yang ada di bawahnya. Sedangkan jenjang persentil adalah besarnya
presentase frekuensi yang lebih kecil daripada angka tertentu.
Informasi yang diperoleh dari jenjang persentil adalah besarnya presentase skor lain yang
berada di bawah skor tersebut. Suatu skor yang memiliki jenjang persentil (PR) di bawah 70
menunjukkan bahwa skor tesebut berada di atas 70% skor lainnya, dan hanya 30% skor yang
lebih tinggi.
Hubungan antara jenjang persentil (PR) dengan persentil (P) sangat erat. Misalnya, bila skor
63 berada pada jenjang persentil (PR) 70, maka 70% dari frekuensi angka-angka dari distribusi
tersebut lebih kecil dari 63. Sebaliknya, nilai persentil 70 (P 70) adalah 63.
Dalam menentukan posisi tertentu dalam kelompoknya, juga bisa dilihat dari nilai ranking
sederhana (simple ranks). Ranking sederhana adalah urutan yang menunjukkan kedudukan
tertentu dalam kelompoknya dan dinyatakan dengan nomor atau angka biasa. Cara
perhitungannya, hanya dengan mengurutkan skor dari yang tertinggi sampai yang terendah. Bila
ada skor yang sama, maka dijumlahnya dibagi banyaknya bilangan skor yang sama. Akan tetapi,
ranking sederhana tidak bisa menunjukkan banyaknya individu dalam kelompok. Untuk
mengetahui banyaknya presentase kelompok yang ada di bawahnya atau di atasnya, hanya bisa
dicapai dengan jenjang persentil atau ranking presentase.

D. Teknik Analisis Data Kualitatif


Hasil pengumpulan data dalam evaluasi, kadang kala dapat berupa data kualitatif. Hal ini,
terutama bila diperoleh melalui teknik pengumpulan data kualitatif, misalnya melalui observasi,
interview, studi kasus, atau kuisioner terbuka. Teknik tersebut sering digunakan untuk mengukur
atau mengevaluasi minat, sikap, atau kemampuan afektif. Untuk itu, data kualitatif, harus diolah
dengan teknik analisis data kualitatif.
Tidak ada aturan formal yang tunggal untuk menganalisis, menginterprestasi dan
mengevaluasi data kualitatif. Menurut Wiyono dan Sunarni (2009: 64) analisis data merupakan
proses mendeskripsikan, mengorganisir kedalam pola, kategori atau unit-unit deskriptif dasar.
Interpretasi dilakukan dengan mencari makna, menjelaskan pola-pola deskriptif, kategori, dan
mencari hubungan antara dimensi-dimensi yang ada. Analisis isi merupakan salah satu teknik
yang dapat digunakan untuk membuat kesimpulan, dengan mengidentifikasi karakteristik pesan
khusus secara sistematis.
Analisis data kualitatif tidak melakukan usi statistik dalam menarik suatu kesimpulan. Akan
tetapi, sejumlah statistik seperti chi square atau statistik non parametrik lainnya, bisa digunakan
untuk membantu menyederhanakan informasi atau menemukan hubungan dari data yang ada.

E. Penentuan Nilai Akhir


Salah satu teknik analisis yang perlu dipahami adalah, teknik menentukan nilai akhir. Nilai
akhir diperlukan untuk menentukan penguasaan siswa, memberikan bimbingan, atau
memberikan balikan proses pembelajaran. Untuk menentukan nilai akhir, harus
mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu faktor pencapaian prestasi (achievement), faktor usaha
(effort), faktor kebiasaan kerja (work habit), atau faktor pribadi dan sosial (personal and social
characteristic).
Menurut Wiyono dan Sunarni (2009: 65) untuk menentukan nilai akhir, ada beberapa rumus
yang bisa digunakan. Hal ini disesuaikan dengan formula yang digunakan oleh lembaga. Berikut
ini, beberapa formula yang pernah digunakan di dalam sekolah.
1. Nilai akhir diperoleh dengan memperhitungkan nilai hasil tes formatif, yakni rata-rata nilai
harian, dan hasil tes sumatif, yakni nilai hasil ulangan umum atau UNAS.

(F1 + F2 + F3 + ... Fn)

n
NA = + 2S
3
Keterangan:
NA = Nilai akhir
F = Nilai formatif (harian)
S = Nilai sumatif (ulangan umum)
2. Nilai akhir yang diperoleh dengan memperhitungkan nilai yugas (T), ulangan harian (H), dan
nilai ulangan umum (U)
2(T) + 3(H) + 5(U)
NA =
10
Keterangan:
HA = Nilai akhir
T = Nilai tugas
H = Nilai harian
U = Nilai ulangan umum
3. Nilai akhir yang diperoleh dengan memperhitungkan nilai sub sumatif, nilai sumatif, dan nilai ko
kurikuler.
2p + 2q + r
NA =
5
Keterangan:
p = Nilai sub sumatif
q = Nilai sumatif
r = Nilai ko kurikuler
4. Nilai akhir yang diperoleh dengan memperhitungkan nilai ulangan harian, dan nilai hasil UNAS.

H
+ 2E
N
NA =
3

Keterangan:
NA = Nilai akhir
H = Nilai harian
E = Nilai UNAS
Disamping mengo;ah data untuk memperoleh nilai kahir, kadang-kadang kita ingin
menghubungkan antara nilai satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Apabila ingin
melihat hubungan antara skor satu dengan yang lainnya, maka bisa dianalisis dengan analisis
korelasi. Bila datanya berskala interval, maka bisa digunakan analisis korelasi Produst Moment
Pearson. Rumusnya adalah sebagai berikut:
r=
Keterangan:
r = besarnya hubungan
x = deviasi dari mean untuk variabel X
y = deviasi dari mean untuk variabel Y

F. Pengolahan Hasil Evaluasi di Perguruan Tinggi


Berbeda dengan evaluasi pembelajaran di tingkat sekolah dasar dan menengah. Ditingkat
perguruan tinggi seorang dosen mempunyai strategi sendiri-sendiri dalam mengolah hasil
evaluasi pembelajaran mahasiswa, dengan aturan yang telah ditetapkan oleh institusi. Ada dosen
yang mengolah data secara semi manual yaitu memakai kalkulator dan ada juga yang
menggunakan program excel (pengolah angka). Menurut Wiyono dan Sunarni (2009: 66) ada
beberapa variabel yang digunakan oleh dosen untuk menentukan nilai mahasiswa, misalnya:
kehadiran mahasiswa, tugas-tugas, baik tugas individu maupun tugas kelompok, nilai Ujian
Tengah Semester (UTS), Ujian Akhir Semester (UAS), keaktifan mahasiswa dalam diskusi atau
keaktifan mahasiswa bertanya/menjawab waktu pelajaran berlangsung, dan ada variabel-variabel
lainnya yang dipertimbangkan. Masing-masing variable diberikan bobot yang berbeda-beda,
sehingga nantinya setelah dikalikan dengan bobot masing-masing, dijumlahkan, dan dicari rata-
ratanya akan mendapat nilai akhir yang nantinya akan dikonversikan ke nilai huruf.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam mengolah hasil evaluasi adalah mengadakan
penyekoran terhadap jawaban siswa. Setelah memberikan skor, langkah selanjutnya yang perlu
dilakukan dalam mengolah hasil evaluasi adalah menganalisis data. Dari hasil data tersebut,
selanjutnya dilakukan penilaian. Mengadakan penilaian atau memberikan penilaian (grading)
pada hakekatnya adalah mengubah angka-angka yang diperoleh dari skor mentah menjadi suatu
nilai yang memiliki suatu arti maupun klasifikasi evaluatif, seperti baik-buruk, tinggi-rendah,
atau memuaskan-tidak memuaskan, berdasarkan kriteria tertentu. Di dalamnya termasuk
interpretasi dan penilaian hasil.
Untuk mengolah hasil pengukuran dalam evaluasi pembelajaran, banyak teknik analisis data
yang bisa digunakan. analisis data pada hakekatnya adalah mengolah angka-angka yang
diperoleh dari skor mentah menjadi suatu skor yang mudah dibaca dan disimpulkan. Untuk
mengolah data hasil evaluasi formatif, mungkin tidak perlu menggunakan banyak teknik analisis
data. Hasil evaluasi formatif, banyak digunakan untuk perbaikan proses belajar mengajar.
Hasil pengumpulan data dalam evaluasi, kadang kala dapat berupa data kualitatif. Hal ini,
terutama bila diperoleh melalui teknik pengumpulan data kualitatif, misalnya melalui observasi,
interview, studi kasus, atau kuisioner terbuka. Teknik tersebut sering digunakan untuk mengukur
atau mengevaluasi minat, sikap, atau kemampuan afektif. Untuk itu, data kualitatif, harus diolah
dengan teknik analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif tidak melakukan usi statistik dalam
menarik suatu kesimpulan. Akan tetapi, sejumlah statistik seperti chi square atau statistik non
parametrik lainnya, bisa digunakan untuk membantu menyederhanakan informasi atau
menemukan hubungan dari data yang ada.
Salah satu teknik analisis yang perlu dipahami adalah, teknik menentukan nilai akhir. Nilai
akhir diperlukan untuk menentukan penguasaan siswa, memberikan bimbingan, atau
memberikan balikan proses pembelajaran. Untuk menentukan nilai akhir, harus
mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu faktor
pencapaian prestasi (achievement), faktor usaha (effort), faktor kebiasaan kerja (work habit), atau
faktor pribadi dan sosial (personal and social characteristic).
Berbeda dengan evaluasi pembelajaran di tingkat sekolah dasar dan menengah. Ditingkat
perguruan tinggi seorang dosen mempunyai strategi sendiri-sendiri dalam mengolah hasil
evaluasi pembelajaran mahasiswa, dengan aturan yang telah ditetapkan oleh institusi. Ada dosen
yang mengolah data secara semi manual yaitu memakai kalkulator dan ada juga yang
menggunakan program excel (pengolah angka).

BAB I
PENDAHULUAN

Pengolahan data hasil evaluasi pembelajaran merupakan materi utama yang perlu
dipahami berkaitan dengan masalah evaluasi pembelajaran. Bahkan dapat dikatakan pengolahan
hasil evaluasi pembelajaran merupakan materi inti dalam kegiatan evaluasi karena pasti akan
dilakukan dalam melaksanakan suatu proses evaluasi. Berdasarkan hasil pengolahan data, akan
diperoleh suatu informasi yang jelas untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan. Beberapa materi yang akan dijabarkan dalam makalah ini adalah teknik
penilaian dan teknik analisis data untuk mengolah data hasil evaluasi.
Ada dua kegiatan utama yang perlu dilakukan dalam pengolahan hasil evaluasi, yaitu
penyekoran dan pemberian nilai. Penyekoran adalah proses mengubah jawaban siswa menjadi
angka-angka. Nilai adalah hasil ubahan dari skor yang telah disesuaikan pengaturannya dengan
suatu standar tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGOLAHAN HASIL EVALUASI

A. KETENTUAN DALAM PENILAIAN


Setelah memberikan skor atas jawaban siswa, langkah pengolahan data hasil evaluasi adalah
menganalisis data. Dari hasil analisis data tersebut selanjutnya dilakukan suatu penilaian.
Mengadakan penilaian atau memberikan penilaian pada hakekatnya adalah mengubah angka-
angka yang diperoleh dari skor mentah menjadi suatu nilai yang memiliki suatu arti maupun
klasifikasi evaluatif, seperti baik buruk, tinggi rendah, atau memuaskan tidak memuaskan,
berdasarkan kriteria tertentu. Didalamnya termasuk interpretasi dan penilaian hasil.
Secara umum, ada dua acuan yang digunakan dalam penilaian yaitu penilaian dengan acuan
patokan dan penilaian dengan acuan norma kelompok. Penilaian acuan patokan adalah penilaian
yang dalam menginterpretasikan hasil pengukuran secara langsung didasarkan pada standar
performansi tertentu yang ditetapkan. Sedangkan yang dimaksud dengan penilaian acuan norma
adalah proses penilaian yang dalam menginterpretasikan hasil pengukuran didasarkan pada
prestasi anggota kelompok lainnya.

B. PENILAIAN BERDASARKAN ACUAN PATOKAN


Penilaian berdasarkan acuan patokan digunakan apabila tujuan pengajaran secara khusus
diarahkan untuk menguasai seperangkat kemampuan secara tuntas. Salah satu pertimbangan
yang mendasari adalah beban kurikulum yang diajarkan cenderung bersifat statis, materi
pokoknya relatif bersifat tetap. Dalam penilaian model ini, kriteria benar salah cenderung bersifat
tegas. Patokan yang dipakai sebagai kriteria hasil belajar merupakan standar tertentu yang
ditetapkan. Hal itu bisa berupa ketercapaian tujuan pengajaran atau persentase penguasaan materi
yang dinyatakan dengan jelas.
Salah satu prinsip yang perlu dipegang dalam penyusunan tes yang dinilai berdasarkan acuan
patokan adalah hendaknya bahan tes yang disusun bisa mencerminkan keseluruhan bahan
pengajaran atau tujuan pengajaran. Hal itu, karena apabila tidak memadai, gambaran persentase
tersebut akan menjadi salah.

C. PENILAIAN BERDASARKAN ACUAN KELOMPOK


Penggunaan penilaian berdasarkan acuan norma atau kelompok didasarkan asumsi bahwa
semua individu memiliki kemampuan yang beragam. Keragaman tersebut bila ditarik dari
sejumlah populasi akan membentuk distribusi normal. Sebagian besar berada disekitar rerata dan
sebagian kecil ada didaerah ekor kanan (tinggi)atau ekor kiri (rendah).
Penilaian acuan norma ini sangat dinamis, tergantung pada jenis kelompok, tempat, dan
waktu. Jika yang dihadapi dalam penelitian acuan patokan adalah sampling materi tes dalam
penelitian acuan kelompok terletak pada kesempurnaan tingkat butir soal dan pengolahan
statistiknya. Oleh karena itu, kriteria penilaian acuan kelompok ini didasarkan pada kemampuan
rerata kelompok, maka butir tes harus dapat memberikan gambaran tingkat daya beda dan tingkat
kesukaran yang baik. Untuk mengolah hasil tes, tidak bisa dilakukan secara langsung, tapi perlu
ditelaah nilai kelompok secara empirik.
Berdasarkan langkah yang perlu dilakukan dalam mengadakan penilaian berdasarkan acuan
kelompok adalah sebagai berikut:
1. Memberikan skor tiap siswa
2. Mencari nilai rata-rata kelompok
3. Mencari nilai simpangan baku
4. Membuat pedoman konversi dan menentukan nilai berdasarkan pedoman konversi yang dibuat.
Secara sederhana, konversi nilai yang biasa digunakan ada lima macam, diantaranya adalah:
1. Skala lima, diwujudkan dengan 1,2,3,4 atau A, B,C,D,E
2. Skala sembilan, diwujudkan dengan 1,2,3,4,5,6,7,8,9
3. Skala sepuluh, diwujudkan dengan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10
4. Skala sebelas, diwujudkan dengan 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10
5. Skala seratus, diwujudkan dengan 0,1,2,3, s.d 100.

D. TEKHNIK ANALISIS DATA UNTUK MENGOLAH DATA HASIL EVALUASI


Untuk mengolah hasil pengukuran dalam evaluasi pembelajaran, banyak teknik analisis data
yang bisa digunakan. Analisis data pada hakekatnya adalah mengolah angka-angka yang
diperoleh dari skor mentah menjadi suatu skor yang mudah dibaca dan disimpulkan. Untuk
mengolah data hasil evaluasi formatif, mungkin tidak perlu menggunakan banyak tekhnik
analisis data. Hasil evaluasi formatif banyak digunakan untuk perbaikan proses belajar mengajar.
Contohnya adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1
Konsep Dasar Evaluasi

No. Sisw 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sko


a r
1 A V V - V V V V V V V 9
2 B V V V - V - V - V V 7
3 C - - - - - V V V V V 5
4 D V - - V - - V - V V 6
5 E V - - V - - V - - V 4
6 F - - - V - V - V - - 4
7 G V - - - V - V - V V 5
8 H - - V - V V V - V V 6
9 I - V V V - V V - V V 6
10 J V V V V - V V V V V 8
Jumlah 6 4 4 6 4 6 9 4 8 9
Skor
Jumlah 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Skor Ideal

Keterangan:
Tanda V menunjukan soal yang dijawab oleh siswa yang benar.
6 + 4 + 4 + 6 + 4 + 6 + 9 + 4 + 8 + 960
100x 100 % = 100 x 100% = 60%

Dari hasil analisis data tersebut dapat digarisbawahi bahwa persentase yang diperoleh masih
sebesar 60%. Untuk itu, perlu menyempurnakan pengajaran yang ada karena masih dibawah
75%. Dari analisis individual dapat digarisbawahi bahwa terdapat 8 siswa yang belum menguasai
topik materi dengan baik, yaitu siswa nomor2,3,4,5,6,7,8 dan 9. Persentase pencapaianya masih
dibawah 75%. Bila dilihat butir soalnya, butir soal nomor 2,3,5 dan 8 hanya dikuasai 4 siswa,
dan butir 4 hanya dikuasai 5 siswa. Hal itu menunjukan bahwa sebagian besar siswa belum
menguasai materi tersebut. Untuk itu, perlu dianalisis dan dijelaskan kembali.
Banyak sekali tekhnik data yang bisa diterapkan untuk mengolah data hasil pengukuran
dibidang evaluasi pembelajaran. Akan tetapi tidak semua sering digunakan. Beberapa model
yang banyak digunakan untuk mengolah data hasil evaluasi pembelajaran adalah sebagai
berikut:
1. Tendensi sentral
Salah satu tekhnik analisis data yang banyak digunakan untuk mengolah data evaluasi adalah
tendensi sentral atau ukuran kecenderungan memusat. Ada tip teknik utama yang digunakan
untuk mengukur tendensi sentral yaitu mean, median,dan mode.
2. Variabelitas
Variabelitas adalah keanekaragaman angka-angka dalam suatu distribusi skor. Variabelitas
merupakan variasi sebaran skor dari mean. Semakin luas penyebaran angka-angka, semakin
besar pula variabelitas distribusinya. Hal itu berarti skor yang ada cenderung heterogen.
Sebaliknya, semakin kecil penyebaran angka-angka berarti semakin kecil juga variabelitasnya.
Hal itu berarti skor yang ada cenderung homogen. Secara sederhana, ada tiga tekhnik untuk
melihat ukuran variabelitas, yaitu jarak sebaran atau range, deviasi rata-rata dan deviasi standar
atau simpangan buku. Range dicari dengan mengurangi angka tertinggi dengan terendah.
Rumus Range = (R - Xtertinggi - Xterendah).
Penyimpangan angka merupakan selisih antara angka tersebut dengan mean. Rumus untuk
mencari deviasi rata-rata adalah sebagai berikut ini:
Devisa Rata-rata =

Keterangan:
X = Skor yang diperoleh
M = Nilai rata-rata
N = Jumlah peserta tes
Dibandingkan range dan deviasi rata-rata, simpangan baku merupakan cara terbaik untuk
pengukuran penyebaran. Simpangan baku adalah jarak standar yang terletak diatas dan dibawah
mean. Rumus untuk mencari simpangan baku (dari populasi) adalah:
SD =

Keterangan:
SD = Simpangan baku
X = Skor uang diperoleh
M = Nilai rata-ratas
3. Skor standar
Kadang kala untuk kebutuhan menentukan nilai secara cepat tanpa melihat tabel konversi secara
keseluruhan, maka dapat dihitung dengan skor z. Banyak manfaat yang bisa diambil dengan
menggunakan skor standar z. Skor z merupakan salah satu tekhnik untuk mengetahui posisi
testee dalam kelompoknya. Dengan skor z, dapat membandingkan antara skor satu dengan yang
lainnya. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
Z = X-M
SD

Keterangan:
X = Skor yang diperoleh
M = rata-=rata (mean)
SD = Simpangan baku.

4. Skor Komposit
Kadang kala, nilai skor akhir siswa, tidak didasarkan pada hasil tes tunggal. Nilai akhir pada
bidang studi tertentu merupakan gabungan atau kombinasi dari skor-skor yang diperoleh dari
beberapa hasil pengukuran. Bila skor tersebut didasarkan pada beberapa komponen, maka skor
akhir dapat diperoleh dengan melakukan penggabungan skor yang disebut dengan skor komposit.
Salah satu rumus komposit yang bisa digunakan adalah sebagai berikut.
Skor Komposit :

Keterangan:
bz = Bobot komponen
Z = skor z setiap komponen
5. Penentuan Nilai Akhir
Setelah satu tekhnik analisis yang perlu dipahami adalah tekhnik menentukan nilai akhir. Nilai
akhir diperlukan untuk menentukan penguasaan siswa, kelulusan siswa memberikan bimbingan,
atau memberikan balikan proses pembelajaran. Untuk menentukan nilai akhir, harus
mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu faktor pencapaian prestasi, faktor usaha, faktor
kebiasaan kerja atau faktor pribadi dan sosial.
Untuk menentukan nilai akhir, ada beberapa rumus yang bisa digunakan. Hal ini disesuaiakan
dengan formula yang digunakan oleh lembaga. Berikut ini beberapa formula, yang pernah
digunakan disekolah/madrasah.
1. Nilai akhir diperoleh dengan memperhitungkan nilai hasil tes formatif, yaitu rata-rata nilai
harian, dan hasil tes sumatif, yakni nilai hasil ulangan umum atau EBTA.
(F1 + F2 + F3.......Fn)

N= n+ 2S
3

2. Nilai akhir diperoleh dengan memperhitungkan nilai tugas (T), ulangan harian (H), dan nilai
ulangan umum (U).
N1 = 2 (T) + 3 (H) + 5 (U)
10

Keterangan:
N1 = Nilai akhir
T = Nilai tugas
H = Nilai harian
U = Nilai ulangan umum.

3. Nilai akhir diperoleh dengan memperhitungkan nilai sub sumatif, nilai sumatif, dan nilai ko
kurikuler.
NA = 2p 2q +r
5

Keterangan:
p = Nilai sub sumatif
q = Nilai sumatif
r = Nilai ko kurikuler
4. Nilai akhir yang diperoleh dengan memperhitungkan nilai ulangan harian dan nilai hasil EBTA.
NA =

N
3
Keterangan:
NA = Nilai akhir
H = Nilai harians
E = Nilai EBTA
BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa dua kegiatan utama
yang perlu dilaksanakan dalam mengolah hasil evaluasi, yaitu penyekoran dan pemberian nilai.
Ada dua cara yang dipergunakan dalam penelitian, yaitu penelitian dengan acuan patokan dan
penilaian dengan acuan norma kelompok. Penilaian berdasarkan acuan patokan digunakan
apabila tujuan pengajaran secara khusus diarahakn untuk menguasai seperangkat kemampuan
secara tuntas.
Penggunaan penilaian berdasarkan acuan norma atau kelompok didasarkan pada asumsi
bahwa semua individu memiliki kemampuan yang beragam. Beberapa model pengolahan yang
sering digunakan diantaranya tendensi sentral, variabelitas, skor komposit, dan penentuan nilai
akhir

CARA MENGOLAH SKOR ATAU NILAI DAN

MENCARI NILAI AKHIR


Ditulis pada Februari 26, 2013 oleh noviaprian

MENSKOR DAN MENILAI

1. Menskor

Sementara orang berpendapat bahwa bagian yang paling penting dari pekerjaan

pengukuran dalam tes adalah penyusunan tes. Jika alat tesnya sudah disusun sebaik-

baiknya maka anggapannya sudah tercapailah sebagian besar dari maksudnya. Tentu saja

anggapan itu tidak benar sama sekali. Penyusunan tes baru merupakan satu bagian dari

serentetan pekerjaan mengetes.


Disamping penyusunan dan pelaksanaan tes itu sendiri, menskor dan menilai merupaken

pekerjaan yang menuntut ketekunan yang luar biasa dari penilai, ditambah dengan

kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu. Nama lain dari menskor adalah memberi angka.

Dal hal pekerjaan menskor atau menentukan angka, dapat digunakan 3 macam alat bantu

yaitu:

(1) Pembantu menentukan jawaban yang benar, disebut kunci jawaban.

(2) Pembantu menyeleksi jawaban yang benar dan yang salah, disebut kunci skoring.

(3) Pembantu menentukan angka, disebut pedoman penilaian.

Keterangan dan penggunaannya dalam berbagai bentuk tes.

a. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk betul-salah

Untuk tes bentuk betul-salah (true-false) yang dimaksud dengan kunci jawaban adalah

deretan jawaban yang kita persiapkan untuk pertanyaan atau soal-soal yang kia susun,

sedangkan kunci skoring adalah alat yang kita gunakan untuk mempercepat pekerjaan

skoring.

Oleh karena dalam hal ini testee (tercoba) hanya diminta melingkari huruf B atau S maka

kunci jawaban yang disediakan hanya berbentuk urutan nomor serta huruf di mana kita

menghendaki untuk melingkari (atau dapat juga diberi tanda X).

Ada baiknya kunci jawaban ini ditentukan terlebih dahulu sebelum menyusun soalnya agar

Pertama : dapat diketahui imbangan antara jawab B dan S.

Kedua : dapat diketahui letak atau pola jawaban B dan S.


Bentuk betul-salah sebaiknya disusun sedemikian rupa sehingga jumlah jawaban B hampir

sama banyaknya dengan jawaban S, dan tidak dapat ditebak karena tidak diketahui pola

jawaban.[1]

Dalam menentukan angka (skor) untuk tes bentuk B S ini kita dapat menggunakan 2 cara

yaitu:

a. Tanpa hukuman atau tanpa denda.

b. Dengan hukuman atau dengan denda.

Tanpa hukuman adalah apabila banyaknya angka yang diperoleh siswa sebanyak jawaban

yang cocok dengan kunci. Sedangkan dengan hukuman (karena diragukan adanya unsur

tebakan), digunakan 2 macam rumus, tetapi hasilnya sama.

Pertama, dengan rumus:

S=RW

Singkatan dari:

S = Score

R = Right

W = Wrong

Skor yang diperoleh siswa sebanyak jumlah soal yang benar dikurangi dengan jumlah soal

yang salah.

Kedua, dengan rumus:

S = T 2W

T singkatan dari Total, artinya jumlah soal dalam tes.


b. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk pilihan ganda

(multiple choice)

Dengan tes bentuk pilihan ganda, testee diminta melingkari salah satu huruf didepan pilihan

jawaban yang disediakan atau membubuhkan tanda lingkaran atau tanda silang (X) pada

tempat yang sesuai di lembar jawaban.

Dalam menentukan angka untuk tes bentuk pilihan ganda, dikenal 2 macam cara pula yakni

tanpa hukuman dan dengan hukuman. Tanpa hukuman apabila banyaknya angka dihitung

dari banyaknya jawaban yang cocok dengan kunci jawaban.

Dengan hukuman menggunakan rumus:

S = R W/(n-1)

Dimana:

S = Score

W = Wrong

n = banyaknya pilihan jawaban (yang pada umumnya di Indonesia 3, 4, atau 5)

c. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk jawab singkat (short

answer test)

Tes bentuk jawab singkat adalah bentuk tes yang menghendaki jawaban berbentuk kata

atau kalimat pendek. Melihat namanya, maka jawaban untuk tes tersebut tidak boleh

berbentuk kalimat-kalimat panjang, tetapi harus sesingkat mungkin dan mengandung satu

pengertian. Dengan persyaratan inilah maka bentuk tes ini dapat digolongkan ke dalam

bentuk tes objektif.

Tes untuk lisan, dianggap setaraf dengan tes jawab singkat ini.
Kunci jawaban tes bentuk ini merupakan deretan jawaban sesuai dengan nomornya.

Bagaimana kunci pemberian skornya?

Dengan mengingat jawaban yang hanya satu pengertian saja, maka angka bagi tiap nomor

soal mudah ditebak. Usaha yang dikeluarkan oleh siswa sedikit, tetapi lebih sulit daripada

tes bentuk betul-salah atau bentuk pilihan ganda. Sebaliknya setiap soal diberi angka 2

(dua). Dapat juga angka itu kita samakan dengan angka pada bentuk betul-salah atau

pilihan ganda jika memang jawaban yang diharapkannya ringan atau mudah. Tetapi

sebaliknya apabila jawaban bervariasi misalnya lengkap sekali, lengkap dan kurang

lengkap, maka angkanya dapat dibuat bervariasi pula misalnya 2; 1,5; dan 1.

d. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk menjodohkan

(matching)

Pada dasarnya tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda, dimana jawaban-

jawaban dijadikan satu, demikian pula pertanyaan-pertanyaannya. Dengan demikian, maka

pilihan jawabannya akan lebih banyak. Satu kesulitan lagi adalah bahwa jawaban yang

dipilih dibuat sedemikian rupa sehingga jawaban yang satu tidak diperlukan bagi

pertanyaan lain.

Kunci jawaban tes bentuk menjodohkan dapat berbentuk deretan jawaban yang

dikehendaki atau deretan nomor yang diikuti oleh huruf-huruf yang terdapat di depan

alternatif jawaban.

Telah dijelaskan bahwa tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda yang lebih

kompleks. Maka angka yang diberikan sebagai imbalan juga harus lebih banyak. Sebagai

ancar-ancar dapat ditentukan bahwa angka untuk tiap nomor adalah 2 (dua).

e. Kunci jawaban dana kunci pemberian skor untuk tes bentuk uraian (essay test)
Sebelum menyusun sebuah tes uraian sebaiknya kita tentukan terlebih dahulu pokok-pokok

jawaban yang kita hendaki. Dengan demikian, maka akan mempermudah kita dalam

pekerjaan mengoreksi tes itu.

Tidak ada jawaban yang pasti terhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang kita peroleh

akan sangat beraneka ragam, berada dari siswa sati ke siswa lain. Untuk menentukan

standar lebih dahulu, tentulah sukar. Ada sebuah saran, langkah-langkah apa yang harus

kita lakukan pada waktu kita mengoreksi dan memberi angka tes bentuk uraian. Saran

tersebut adalah sebagai berikut.

1) Membaca soal pertama dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban.

2) Menentukan angka untuk soal pertama tersebut.

3) Memberikan angka bagi soal pertama.

4) Membeca soal kedua dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban,

dilanjutkan dengan pemberian angka untuk soal kedua.

5) Mengulangi langkah-langkah tersebut bagi soal-soal tes ketiga, keempat, dan

seterusnya hingga seluruh soal diberi angka.

6) Menjumlahkan angka-angka yang diperoleh oleh masing-masing siswa untuk tes

bentuk uraian.

Apa yang diterangkan diatas ini adalah cara memberikan angka dengan menggunakan atau

mendasarkan pada norma kelompok (norm reference test). Apabila dalam memberikan

angka menggunakan atau mendasarkan pada standar mutlak (criterion referenced test),

maka langkah-langkahnya akan lain. Apa yang dilalui diatas, tidak diperlukan.

Yang dilakukan haruslah demikian


1) Membaca setiap jawaban yang diberikan oleh siswa dan dibandingkan dengan kunci

jawaban yang telah kita susun.

2) Membubuhkan skor di sebelah kiri setiap jawaban.

3) Menjumlahkan skor-skor yang telah dituliskan pada setiap soal, dan terdapatlah skor

untuk bagian soal yang berbentuk uraian.

Dengan cara kedua ini maka skor siswa tidak dibandingkan dengan jawaban paling lengkap

yang diberikan oleh siswa lain, tetapi dibandingkan dengan jawaban lengkap yang

dikehendaki dan sudah ditentukan oleh guru.

f. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tugas

Kunci jawaban untuk memeriksa tugas merupakan pokok-pokok yang harus termuat

didalam pekerjaan siswa. Hal ini menyangkut kriteria tentang isi tugas. Namun sebagai

kelengkapan dalam pemberian skor, digunakan suatu tolok ukur tertentu.

Tolok ukur yang disarankan adalah:

1) Ketepatan waktu penyerahan tugas.

2) Bentuk fisik pengerjaan tugas yang menandakan keseriusan mahsiswa dalam

mengenakan tugas.

3) Sistematika yang menunjukkan alur kerurutan pikiran.

4) Kelengkapan isi menyangkut ketuntasan penyelesaian dan kepadatan isi.

5) Mutu hasil tugas, yaitu kesesuaian hasil dengan garis-garis yang sudah ditentukan

oleh dosen.

Maka nilai akhir untuk tugas tersebut diberikan dengn rumus:


NAT adalah Nilai Akhir Tugas

2. Perbedaan antara Skor dan Nilai

Apa yang terjadi selama ini, banyak di antara para guru sendiri yang masih

mencampuradukkan antara dua pengertian yaitu skor dan nilai.

Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka

bagi setiap soal tes yang dijawab betul oleh siswa.

Pengubahan skor menjadi nilai dapat dilakukan untuk skor tunggal, misalnya sesudah

memperoleh skor ulangan harian atau untuk skor gabungan dari beberapa ulangan dalam

rangka memperoleh nilai akhir untuk rapor.

Secara rinci skor dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu skor yang diperoleh (obtained

score), skor sebenarnya (true score), dan skor kesalahan (error score).

Skor yang diperoleh adalah sejumlah biji yang dimiliki oleh testee sebagai hasil

mengerjakan tes. Kelemahan-kelemahan butir tes, situasi yang tidak mendukung,

kecemasan, dan lain-lain faktor yang dapat berakibat terhadap skor yang diperoleh ini.

Apabila faktor-faktor yang berpengaruh ini muncul, baik sebagian ataupun menyeluruh,

penilai tidak dapat mengira-ngira seberapa cermat skor yang diperoleh siswa ini mampu

mencerminkan pengetahuan dan keterampilan siswa yang sesungguhnya.

Skor sebenarnya (true score) sering kali juga disebut dengan istilah skor univers skor alam

(universe score), adalah nilai hipotesis yang sanga tergantung dari perbedaan individu

berkenaan dengan pengetahuan yang dimiliki secara tetap.

Perbedaan antara skor yang diperoleh dengan skor sebenarnya, disebut dengan istilah

kesalahan dalam pengukuran atau kesalahan skor, atau dibalik skor kesalahan. Hubungan

antara ketiga macam skor tersebut adalah sebagai berikut:


Skor yang diperoleh = skor sebenarnya + skor kesalahan[2]

Adapun yang dimaksud dengan nilai adalah angka (bisa juga huruf), yang merupakan hasil

ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainnya, serta disesuaikan

pengaturannya dengan standar tertentu.

Nilai, pada dasarnya adalah angka atau huruf yang melambangkan seberapa jauh atau

seberapa besar kemampuan yang telah ditunjukkan oleh testee terhadap materi atau bahan

yang diteskan, sesuai dengan tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai, pada

dasarnya juga melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas

jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya, makina banyak

jumlah butir soal yang dapat dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh

tester kepada testee akan semakin tinggi. Sebaliknya, jika jumlah butir item yang dapat

dijawab dengan betul hanya sedikit, maka penghargaan yang diberikan tester kepada testee

juga kecil atau rendah.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk sampai kepada nilai, maka skor-skor hasil tes yang

pada hakikatnya masih merupakan skor-skor mentah itu perlu diolah lebih dahulu sehingga

dapat diubah menjadi skor yang sifatnya baku atau standar.

1. Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes

Hasil belajar menjadi nilai standar (standar score)

Ada dua hal penting yang perlu dipahami terlebih dahulu dalam pengolahan dan

pengubahan skor mentah menjadi skor standar atau nilai, yaitu:

1. Bahwa dalam pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu ada dua cara

yang dapat ditempuh, yaitu:


a. Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dilakukan dengan

mengacu atau mendasarkan diri pada kriterium (patokan). Cara pertama ini sering dikenal

dengan istilah criterion referenced evaluation, yang dalam dunia pendidikan di tanah air kita

sering dikenal dengan istilah penilaian ber-acuan patokan.

Pertama-tama harus dipahami bahwa penilaian ber-acuan kriterium ini mendasarkan diri

pada asumsi, bahwa:

1) Hal-hal yang harus dipelajari oleh testee adalah mempunyai struktur hierarkis tertentu,

dan bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum testee tadi maju atau

sampai pada taraf selanjutnya.

2) Evaluator atau tester dapat mengidentifikasi masing-masing taraf itu sampai tuntas,

atau setidak-tidaknya mendekati tuntas, sehingga dapat disusun alat pengukurnya.

Apabila dalam penentuan nilai hasil tes hasil belajar itu digunakan acuan kriterium, maka

hal ini mengandung arti bahwa nilai yang akan diberikan kepada testee itu harus didasarkan

pada standar mutlak artinya, pemberian nilai kepada testee itu dilaksanakan dengan jalan

membandingkan antara skor mentah hasil tes yang dimiliki oleh masing-masing individu

testee, dengan skor maksimum ideal yang mungkin dapat dicapai oleh testee, kalau saja

seluruh soal tes dapat dijawab dengan betul.

Karena itu maka pada penentuan nilai yang mengacu kepada kriterium atau patokan ini,

tinggi rendahnya atau besar kecilnya nilai yang diberikan kepada masing-masing individu

testee, mutlak ditentukan oleh besar kecil atau tinggi rendahnya skor yang dapat dicapai

oleh masing-masing testee yang bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa penentuan nilai

dengan mengacu pada kriterium sering disebut sebagai: penentuan nilai secara mutlak

(absolut), atau penentuan nilai secara individual.


Disamping itu, karena penentuan nilai seorang testee dilakukan dengan jalan

membandingkan skor mentah hasil tes dengan skor maksimum idealnya, maka penentuan

nilai yang beracuan pada keriterium ini juga sering dikenal dengan istilah penentuan nilai

secara ideal, atau penentuan nilai secara teoritik, atau penentuan nilai secara das sollen.

Dengan istilah teoritik dimaksudkan di sini, bahwa: secara teoritik seorang siswa berhak

atas nilai 100-misalnya-apabila keseluruhan butir soal tes dapat dijawab dengan betul oleh

siswa tersebut. Dengan demikian maka dalam penentuan nilai yang beracuan pada

kriterium, sebelum tes hasil belajar dilaksanakan, patokan itu sudah dapat disusun (tanpa

menunggu selesainya pelaksanaan tes).

Selanjutnya patut diperhatikan, bahwa nilai yang berwujud angka, yang penentuannya

didasarkan pada standar mutlak itu sebenarnya adalah merupakan angka persentase (%)

mengenai tingkat kedalaman atau tingkat penguasaan testee terhadap materi tes yang

dihadapkan kepada mereka. Dalam pernyataan tersebut terkandung makna, bahwa nilai

yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak itu menunjukkan berapa persen dari

100% tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan, telah dapat dicapai atau dipahami

oleh testee. Jadi, jika seorang siswa memperoleh nilai 50 maka hal itu merupakan petunjuk

bahwa siswa tersebut hanya mampu memahami sebanyak 50% dari tujuan instruksional

khusus yang telah ditentukan.

Karena nilai hasil tes yang ditentukan dengan menggunakan standar mutlak atau mengacu

pada kriterium itu sebenarnya merupakan angka-angka presentase, maka tester akan

segera dapat mengetahui, siswa manakah yang tingkat penguasaannya tergolong tinggi,

sedng atau rendah.

Penilaian beracuan patokan ini sangat cocok diterapkan pada tes-tes formatif, dimana tester

ingin mengetahui sudah sampai sejauh manakah peserta didiknya telah terbentuk, setelah

mereka mengikuti program pengajaran dalam jangka waktu tertentu. Dengan menggunakan
criterion referenced evaluation di mana guru atau dosen dapat mengetahui berapa orang

siswa atau mahasiswa yang tingkat penguasaannya tinggi, cukup dan rendah, maka guru

atau dosen tersebut akan dapat melakukan upaya-upaya atau ikhtiar yang dipandang perlu

agar tujuan pengajaran dapat tercapai secara optimal.

b. Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dilakukan dengan

mengacu atau mendasarkan diri pada norma atau kelompok. Cara kedua ini sering dikenal

dengan istilah norm referenced avaluation, yang dalam dunia pendidikan di tanah air kita

sering dikenal dengan istilah penilaian ber-acuan norma.

Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil belajar menjadi nilai standar

dengan mendasarkan diri atau mengacu pada norma atau kelompok sering dikenal dengan

istilah PAN (penilaian beracuan norma).

Penilaian beracuan kelompok ini mendasarkan diri pada asumsi sebagai berikut:

1) Bahwa pada setiap populasi peserta didik yang sifatnya heterogen , akan selalu

didapati kelompok baik, kelompok sedang, dan kelompok kurang.

2) Bahwa tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk menentukan posisi relatif dari para

peserta tes dalam hal yang sedang dievaluasi itu, yaitu apakah seorang peserta tes posisi

relatifnya berada di atas, di tengah ataukah di bawah.

Penilaian beracuan norma atau penilaian beracuan kelompok ini sering dikenal dengan

istilah penentuan nilai secara relatif, atau penilaian dengan mendasarkan diri pada standar

relatif.

Dengan menggunakan standar relatif maka akan dapat terjadi, bahwa testee yang

sebenarnya pada kelompok I tergolong hebat (karena berhasil meraih skor hasil tes yang

tinggi sehingga ia tergolong dalam kategori testee yang amat pandai), jika dimasukkan ke

dalam kelompok II ternyata hanya termasuk dalam kelompok sedang atau cukupan atau
biasa-biasa saja kualitasnya, jadi kedudukan testee dimaksud di atas sebenarnya adalah

bersifat relatif.

Salah satu contoh sifat relatif dari suatu tes adalah sebagaimana dikemukakan berikut ini.

Misalkan Halim, siswa Madrasah Tsanawiyah kelas III-A dalam Evaluasi Belajar Tahap

Akhir (EBTA) untuk mata pelajaran matematika berhasil meraih nilai 7, sedangkan nilai rata-

rata kelas III-A untuk mata pelajaran matematika itu adalah 5, maka di kelas III-A itu Halim

adalah termasuk siswa yang tergolong pandai, sebab nilai yang berhasil diraihnya jauh

berada si atas rata-rata kelasnya.

Penentuan nilai dengan menggunakan standar relatif ini sangat cocok untuk diterapkan

pada tes-tessumatif (ulangan umum, ujian akhir semester, EBTANAS), sebab dipandang

lebih adil, wajar dan bersifat manusiawi

2. Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan

berbagai macam skala.

1) Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala lima (stanfive)

Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala lima atau nilai huruf,

menggunakan patokan sebagai berikut:

> A

Mean + 1,5 SD

> B

Mean + 0,5 SD

> C

Mean 0,5 SD
> D

Mean 1,5 SD

> E

2) Mengubah skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala sembilan (stannine)

Jika skor-skor mentah hasil tes itu akan diubah menjadi nilai standar berskala sembilan,

maka patokan yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

> 9

M + 1,75 SD

> 8

M + 1,25 SD

> 7

M + 0,75 SD

> 6

M + 0,25 SD

> 5

M 0,25 SD

> 4

M 0,75 SD

> 3

M 1,25 SD
> 2

M 1,75 SD

> 1

Nilai standar berskala sembilan adalah nilai standar yang meniadakan nilai 0 dan nilai 10.

Nilai standar tersebut tidak lazim digunakan di Indonesia.

3) Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala sebelas (standar

eleven)

Nilai standar berskala sebelas adalah rentangan nilai standar mulai dari 0 sampai dengan

10. Jadi di sini akan kita dapati 11 butir nilai standar, yaitu nilao 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.

Di Indonesia, nilai standar berskala sebelas ini umumnya digunakan pada lembaga

pendidikan tingkat dasar dan tingkat menengah. Pengubahan skor mentah menjadi stanel

itu menggunakan patokan sebagai berikut:

> 10

M + 2,25 SD

> 9

M + 1,75 SD

> 8

M + 1,25 SD

> 7

M + 0,75 SD

> 6
M + 0,25 SD

> 5

M 0,25 SD

> 4

M 0,75 SD

> 3

M 1,25 SD

> 2

M 1,75 SD

> 1

M 2,25 SD

4) Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar z (z score)

Nilai standar z umumnya dipergunakan untuk mengubah skor-skor mentah yang diperoleh

dari berbagai jenis pengukuran yang berbeda-beda.

Dengan menggunakan nilai standar z ini maka testee yang dipandang memiliki kemampuan

lebih tinggi adalah testee yang z scorenya bertanda positif (+). Adapun testee yang z

scorenya bertanda negatif (-) dipandang sebagai testee yang kemampuannya lebih lemah

jika dibandingkan dengan testee lainnya. Jika angka yang ditunjukkan oleh z score yang

bertanda positif itu makin besar, berarti kedudukan relatif dari testee yang bersangkutan
menjadi makin tinggi; sebaliknya, jika z score yang bertanda negatif itu makin besar, maka

standing position testee yang bersangkutan menjadi semakin rendah.

5) Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar T (Tscore)

Dimaksud dengan T score adalah angka skala yang menggunakan mean sebesar 50 dan

deviasi standar sebesar 10. T score dapat diperoleh dengan jalan memperkalikan z score

dengan angka 10, kemudian ditambah dengan 50:

T score = 10z + 50

T score dicari atau dihitung dengan maksud untuk meniadakan tanda minus yang terdapat

di depan nilai standar z, sehingga lebih mudah dipahami oleh mereka yang masih asing

atau awam terhadap ukuran-ukuran statistik.[3]

3. Norm-Referenced dan Criterion-Referenced

Dalam penggunaan criterion-referenced, siswa dibandingkan dengan sebuah standar

mutlak, yaitu standar 100. Dalam penggunaan norm-referenced, prestasi belajar seorang

siswa dibandingkan dengan siswa lain dalam kelompoknya.

Dasar pemikiran dari penggunaan standar ini adalah adanya asumsi bahwa disetiap

populasi yang heterogen, tentu dapat:

1) Kelompok baik,

2) Kelompok sedang,

3) Kelompok kurang,

dimulai dengan bakat yang dibawa sejak lahir yang dalam hal ini tampak sebagai indeks

kecerdasan atau Intelligence Quotient (IQ), maka seluruh populasi tergambar sebagai
sebuah kurva normal. Apabila anak-anak itu belajar, maka prestasi atau hasil belajar yang

diakibatkan itu pun akan tergambar sebagai kurva normal.

Pengguanaan penilaian dengan norma kelompok atau norma relatif ini untuk pertama kali

dikemukakan pada tahun 1908 (Cureton 1971), dengan landasan dasar bahwa tingkat

pencapaian belajar siswa akan tersebar menurut kurva normal. Dengan demikian maka

penilaian berdasarkan kurva normal merupakan hal yang tidak dapat dibantah lagi.

Apabila standar relatif dan standar mutlak ini dihubungkan dengan pengubahan skor

menjadi nilai, akan terlihat demikian.

a. Dengan standar mutlak

1) Pemberian skor terhadap siswa, berdasarkan atas pencapaian siswa terhadap tujuan

yang ditentukan.

2) Nilai diperoleh dengan mencari skor rata-rata langsung dari skor asal (skor mentah)

b. Dengan standar relatif

1) Pemberian skor terhadap siswa juga didasarkan atas pencapaian siswa terhadap

tujuan yang ditentukan.

2) Nilai diperoleh dengan 2 cara:

a) Mengubah skor dari tiap-tiap ulangan lalu diambil rata-ratanya.

b) Menjumlah skor tiap-tiap ulangan, baru diubah ke nilai.[4]


MENGOLAH NILAI

1. Beberapa Skala Penilaian

a. Skala bebas

Ani, seorang pelajar di suatu SMU, pada suatu hari berlari lari kegirangan setelah

menerima kembali kertas ulangan dari Guru Matematika. Pada sudut kertas itu tertulis

angka 10, yaitu angkayang diperoleh Ani dengan ulangan itu. Setekah tiba diluar kelas, Ani

berdiskusi dengan kawan kawannya. Ternyata cara mengerjakan dan pendapatnya tidak

sama dengan yang lain. Tetapi mereka juga tidak yakin mana yang betul. Oleh karena itu,

ketika kertas ulangan dikembalikan dan ia mendapat 10, ia kegirangan. Baru sampai

bertemu dengan 4 kawannya, wajahnya sudah menjadi malu tersipu sipu. Rupanya ia

menyadari kebodohannya karena setelah melihat angka yang diperoleh keempat orang

kawannya, ternyata kepunyaan Anil ah yang paling sedikit. Ada kawannya yang mendapat

15, 20 bahkan ada yang 25.Dan kata Guru, pekerjaan Tika yang mendapat angka 25 itulah

yang betul. Dari gambaran ini tampak bahwa dalam pikiran Ani, terpancang satu pengertian

bahwa angka 10 adalah angka tertinggi yang mungkin dicapai, ini memang lazim. Cara

pemberian angka seperti ini tidak salah. Hanya sayangnya, guru tersebut barangkali perlu

menerangkan kepada para siswanya, cara mana yang digunakan untuk memberikan angka

atau skor. Ia baru pindah dari sekolah lain. Ia sudah terbiasa menggunakan skala bebas,

yaitu skala yang tidak tetap. Adakalanya skor tertinggi 20, lain kali lagi 50. Ini semua

tergantung dari banyak dan bentuk soal. Jadi angka tertinggi dan skala yang digunakan

tidak selalu sama.

b. Skala 1 10
Apa sebab Ani dan kawan kawannya berpikiran bahwa angka 10 adalah angka tertinggi

untuk nilai ? Hal ini disebabkan karena pada umumnya guru guru di Indonesia

mempunyai kebiasaan menggunakan skala 1-10 untuk laporan prestasi belajar siswadalam

rapor. Adakalanya juga digunakan skala 1-100, sehingga memungkinkan bagi guru untuk

memberikan penilaian yang lebih halus. Dalam skala 1-10 guru jarang memberikan angka

pecahan, misalnya 5,5. Angka 5,5 akan dibulatkan menjadi 6. Dengan demikian maka

rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih hampir1) akan keluar di rapor dalam satu

wajah, yaitu angka 6.

c. Skala 1 100

Memang diseyogiakan bahwa angka itu merupakan bilangan bulat. Dengan menggunakan

skala 1- 10 maka bilangan bulat yang ada masih menunjukan penilaian yang agak kasar.

Ada sebenarnya hasil prestasi yang berada di antara kedua angka bulat itu. Untuk itulah

maka dengan menggunakan skala 1 100, memungkinkan melakukan penilaian yang lebih

halus karena terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalan skala 1 10 yang

biasanya dibulatkan mejadi 6, dalam skala 1 100 ini boleh dituliskan dengan 55 dan 64.[5]

d. Skala huruf

Di samping penilaian yang dinyatakan dengan angka, kita mengenal pula penilaian yang

dinyatakan dengan huruf. Seperti penilaian yang dilakukan oleh guru taman kanak- kanak

dan atau guru-guru di sekolah dasar kelas I dan kelas II, mereka menggunakan nilai huruf

A, B, C dan D.[6]

Selain itu ada juga yang menggunakan nilai huruf sampai dengan E dan G (tetapi pada

umumnya 5 huruf yaitu A, B, C, D, dan E). Sebenarnya sebutan skala diatas ini ada yang
mempersoalkan. Jarak antara hruuf A dan B tidak dapat digambarkan sama dengan jarak

antara B dan C, atau anatar C dan D. Dalam menggunakan angak dapat dibuktkan dengan

garis bilangan bahwa jarak antara 1 dan 2 sama denga jarak antara 2 dan 3. Demikian pula

jaran antara 3 dan 4, serta antara 4 dan 5. Akan tetapi justru alasan inilah lalu timbul pikiran

untuk menggunakan huruf sebagai alat penilain. Untuk menggambarkan kelemahan dalam

menggunakan angka adalah bahwa dengan angka dapat ditafsirkan sebagai nilai

perbandingan. Siswa A yang memperoleh dua kali lipat kecakapan siswa B yang

memperoleh angka 4 dalam rapor. Demikian pula siswa A tersebut tidaklah mempunya 8/9

kali kecakapan C yang mendapat nilai 9. Jadi sebenarnya menggunakan angka hanya

merupakan symbol yang menunjukan urutan tingkatan. Siswa A yang memperoleh angka 8

memiliki prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa B yang memperoleh angka

4, tetapi kecakapannya itu lebih rendah jika dibandingkan dengan kecakapan C. jadi, dalam

tingkatan prestasi sejarah urutannya adalah C, A, lalu B. Huruf terdapat dalam urutan abjad.

Penggunaan huruf dalam penilaian akan terasa lebih tepat digunakan karena tidak

ditafsirkan sebagai arti perbandingan. Huruf tidak menunjukan kuantitas, tetapi dapat

digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan kualitas.[7]

2. Distribusi Nilai

Distribusi nilai yang dimiliki oleh siswa-siswanya dalam suatu kelas didasarkan pada dua

macam standar, yaitu:

a. Distribusi Nilai Berdasarkan Standar Mutlak

Dengan dasar bahwa hasil belajar siswa dibandingkan dengan sebuah standar mutlak atau

dalam hal ini skor tertinggi yang diharapkan, maka tingkat penguasaan siswa akan terlihat

dalam berbagai bentuk kurva. Apabila soal-soal yang dibuat guru terlalu mudah, sebagian
besar siswa akan dapat berhasil mengerjakan soal-soal itu dan tingkat pencapaiannya

tinggi. Sebaliknya apabila soal-soal tes termasuk yang sukar maka pencapaian siswa juga

sebaliknya pula. Namun demikian dengan standar mutlak ini mungkin pula diperoleh

gambar kurva nomal jika soal-soal tes disusun oleh guru dengan tepat seperti gambaran

kecakapan siswa-siswanya.[8]

b. Distribusi nilai berdasarkan standar relative

Telah diterangka di depan bahwa dalam menggunakan standar relative atau norm

referenced, kedudukan seorang selalu dibandingkan dengan kawan kawannya dalam

kelompok. Dalam hal ini tanpa menghiraukan apakah distribusi skor terletak dalam kurva

juling positif atau juling negative tetapi dalam norm referenced selalu tergambar dalam

kurva normal.

4. Standar Nilai

a. Standard Nines/Stanines

Dari distribusi nilai, kita dapat membicarakan masalah standar nilai.

Pendapat Gronlund dalam distribusi nilai ini demikian. Skor skor siswa direntangkan

menjadi 9 nilai (disebut juga Standar Nines atau Stanines) seperti berikut ini.

STANINES INTERPRETASI
9 4% Tinggi (4%)

8 7%

Diatas rata-rata (19%)

7 12%

6 17%

Rata-rata
5 20%
(54%)

4 17%

3 12% Dibawah rata-rata

2 7% (19%)

1 4% Rendah (4%)

Dengan adanya persentase yang ditentukan inilah maka semua situasi skor siswa dapat

direntangkan menjadi nilai 1-9 diatas.

b. Standar Enam.

Selain dengan stanadar Sembilan (stanines), ada pula yang menggunakan standar enam.

Dalam hal ini, hanya berkisar antara 4-9, berikut persentasi penyebaran nilainya:

STANDAR ENAM Interpretasi


9 5% Baik sekali

8 10% Baik

7 20% Lebih dari cukup

6 40% Cukup

5 20% Kurang

4 5% Kurang sekali

Penyebaran nilai denga standar enam yang dimaksud, adalah berikut:

10% siswa yang mendapat nilai tertinggi diberi nilai 9

20% dibawahnya diberi 8

40% dibawahnya diberi 7

20% dibawahnya diberi 6

5% dibawahnya diberi 5

5% dibawahnya diberi 4
Dalam hal yang sangat khusus dimana siswa yang dianggap sangat cerdas ataupun sangat

kurang, dapat diberikan nilai 10 atau 3.

c. Standar Eleven (Stanel)

Standar ini dikembangkan oleh Fakultas Ilmu Pendidikan UGM yang sesuai dengan system

penilaian di Indonesia. Dengan stanel ini, system penilaian membagi skala menjadi 11

golongan yaitu angka-angka dari 0-10, yang satu sama lain berjarak sama. Tiap-tiap angka

menempati interval sebesar 0,55 SD, bertitik tolak dari Mean = 5 yang menempati jarak

antara -3,025 SD sampai +3,025 SD.

Bilangan-bilangan persentil untuk menentukan titik dalam Stanel ini adalah: P , P , P , P ,


1 3 8 21

P , P , P , P , P & P Dasar pemikiran Stanel ini dalah bahwa jarak praktis dalam kurva
39 61 79 92 97 99.

normal adalah 6 SD yang terbagi atas 11 skala.

11 skala = 6 SD

Skala = 6/11 SD

= 0,55 SD

STANEL ,0 ,1 ,2 ,3 ,4 ,5 ,6 ,7 ,8 ,9 ,10

d. Standar Sepuluh

Untuk mengubah skor menjadi nilai, diperlukan dahulu:

1) Mean (rata-rata skor)

2) Deviasi Standar (simpangan Baku)

3) Tabel konversi angka kedalam nilai berskala 1-10

Tahap-tahap yang dilalui dalam mengubah skor mentah menjadi nilai berskala 1-10 adalah

sebagai berikut:
Menyusun distribusi frekuensi dari angka-angka atau skor-skor mentah.

Menghitung rata-rata skor (mean).

Menghitung Deviasi Standar.

Mentransformasi (mengubah) angka-angka mentah kedalam nilai skala 1-10.

e. Standar Lima

Kembali kepada Grondlund selain ia mengemukakan penyebaran nilai dengan angka, juga

mengemukakan penyebaran nilai dengan huruf yang digambarkan dengan kurva normal

sebagai berikut. [9]

-1,5 -0.5 0,5 1,5

F D C B A

7% 24% 38% 24% 7%


MENCARI NILAI AKHIR

1. Fungsi Nilai Akhir

Bagi seorang siswa, nilai merupakan sesuatu yang sangat penting karena nilai merupakan

cermin dari keberhasilan belajar. Namun, bukan hanya siswa sendiri saja yang memerlukan

cermin keberhasilan belajar ini; guru dan orang lainpun, memer-lukannya.

Secara garis besar, nilai mempunyai 4 fungsi sebagai berikut:

a. Fungsi Instruksional

Tidak ada tujuan yang lebih penting dalam proses belajar-mengajar kecuali mengusahakan

agar perkembangan dan belajar siswa mencapai tingkat optimal. Pemberian nilai

merupakan salah satu cara dalam usaha ke arah tujuan itu, asal dilakukan dengan hati-hati

dan bijaksana.

Pemberian nilai merupakan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memberikan suatu

balikan (feed back/umpan balik) yang mencerminkan seberapa jauh seorang siswa telah

mencapai tujuan yang ditetapkan dalam pengajaran atau sistem instruksional.

Apabila pemberian nilai dapat dilakukan dengan cermat dan terperinci, maka akan lebih

mudah diketahui pula keberhasilan dan kegagalan siswa di setiap bagian tujuan. Oleh

karenanya, penggabungan nilai dari beberapa nilai sehingga menjadi nilai akhir, kadang-

kadang dapat menghilangkan arti dari petunjuk yang semula telah disajikan secara teliti.

b. Fungsi Informatif

Memberikan nilai kepada orang tuanya memberikan arti bahwa orang tua siswa tersebut

menjadi tahu akan kemajuan dan prestasi putranya di sekolah. Catatan ini akan sangat

berguna, terutama bagi orang tua yang ikut serta menyadari tujuan sekolah dan

perkembangan putranya. Dengan catatan nilai untuk orang tua maka:


1) Orang tua akan menjadi sadar akan keadaan putranya untuk kemudian lebih baik

memberikan bantuan berupa perhatian, dorongan, atau bimbingan.

2) Hubungan antara orang tua dengan sekolah menjadi baik.

c. Fungsi Bimbingan

Pemberian nilai kepada siswa akan memberi arti besar bagi pekerjaan bimbingan. Dengan

perincian gambaran nilai siswa, petugas bimbingan akan segera tahu bagian-bagian mana

dari usaha siswa di sekolah yang masih memerlukan bantuan. Catatan lengkap juga

mencakup tingkat (rating) dalam kepribadian siswa serta sifat-sifat yang berhubungan

dengan rasa sosial akan sangat membantu siswa dalam pengarahannya sebagai pribadi

seutuhnya.

d. Fungsi Administratif

Yang dimaksud fungsi administratif dalam penilaian antara lain mencakup:

1) Menentukan kenaikan dan kelulusan siswa

2) Memindahkan atau menempatkan siswa

3) Memberikan beasiswa

4) Memberikan rekomendasi untuk melanjutkan belajar, dan

5) Memberi gambaran tentang prestasi siswa/lulusan kepada siswa calon pemakai

tenaga

2. Faktor-Faktor yang Turut Diperhitungkan dalam Penilaian

Walaupun hal yang dinilai tidak sama bagi tiap sekolah, namun secara garis besar dapat

ditentukan unsur umum dalam penilaian yang menyangkut faktor-faktor yang harus

dipertimbangkan.
Unsur umum tersebut adalah sebagai berikut:

a. Prestasi/pencapaian (achievement)

Nilai prestasi harus mencerminkan tingkatan-tingkatan siswa sejauh mana telah dapat

mencapai tujuan yang ditetapkan di setiap bidang studi.

Simbol yang digunakan untuk menyatakan nilai, baik huruf maupun angka, hendaknya

merupakan gambaran tentang prestasi saja. Unsur pertimbangan atau kebijaksanaan guru

tentang usaha dan tingkah laku siswa tidak boleh ikut berbicara pada nilai tersebut.

b. Usaha (effort)

Terpisah dari nilai prestasi, guru menyampaikan laporannya kepada orang tua siswa.

Laporan atau nilai tidak boleh dicampuri dengan nilai prestasi sama sekali. Yang sering

tejadi adalah kecendrungan dari guru untuk menilai unsur usaha ini lebih rendah bagi anak

yang prestasinya rendah dan sebaliknya.

c. Aspek pribadi dan sosial (personal and social characteristics)

Unsur ini juga perlu dilaporkan terutama yang berhubungan dengan berlangsungnya proses

belajar mengajar, misalnya, menaati tata tertib sekolah. Dalam memberikan nilai pribadi ini

harus hati-hati sekali. Rentangan nilai sebaiknya tidak usah lebar-lebar (lebih baik 6-10).

Lebih baik lagi jika diterangkan dengan khusus dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh

guru pembimbing dan siapa saja.

d. Kebiasaan bekerja (working habits)


Yang dimaksud di sini adalah hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan melakukan

tugas. Misalnya mengerjakan PR, keuletan dalam usaha, bekerja teliti, kerapihan kerja, dan

sebagainya.

3. Cara Menentukan Nilai Akhir

Tiap guru mempunyai pendapat sendiri tentang cara menentukan nilai akhir. Hal ini sangat

dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap penting tidaknya bagian, kegiatan yang

dilakukan siswa. Yang dimaksudkan dengan kegiatan-kegiatan siswa misalnya:

menyelesaikan tugas, mengikuti diskusi, menempuh tes formatif, menempuh tes tengah

semester, tes semester, menghadiri pelajaran/kuliah, dan sebagainya

Sementara guru berpendapat bahwa menghadiri pelajaran dan mengikuti diskusi sudah

merupakan kegiatan yang sangat menunjang prestasi sehingga absensi siswa perlu

dipertimbangkan dalam menentukan nilai akhir. Guru lain berpendapat sebaliknya, karena

walaupun hadir dalam kuliah/pembelajaran, mungkin saja hanya raganya saja. Dengan

demikian tidak ada gunanya memperhitungkan absensi.

Penentuan nilai akhir dilakukan terutama pada waktu guru akan mengisi rapor atau STTB.

Biasanya dalam menentukan nilai akhir ini guru sudah dibimbing oleh suatu peraturan atau

pedoman yang dikeluarkan pemerintah atau kantor/badan yang membawahinya.

Dalam bab ini akan disajikan beberapa contoh:

a. Untuk menentukan nilai akhir, perlu diperhitungkan nilai tes formatif dan tes sumatif

dengan rumus:

dimana:

NA : nilai akhir

F : nilai tes formatif


S : nilai tes sumatif

Jadi, Nilai Akhir diperoleh dari rata-rata nilai tes formatif (diberikan bobot satu) dijumlahkan

dengan nilai tes sumatif (diberikan bobot dua) kemudian dibagi 3.

b. Nilai Akhir diperoleh dari nilai tugas, nilai ulangan harian, dan nilai ulangan umum

dengan bobot 2, 3, dan 5. Jadi jika dituliskan dalam rumus menjadi.

dimana

T : nilai tugas

H : nilai ulangan harian (rata-ratanya)

U : nilai ulangan umum

c. Nilai Akhir untuk STTB diperloleh dari rata-rata nilai ulangan harian (diberi bobot satu)

dan nilai EBTA (diberi bobot 2), kemudian dibagi 3. Rumusnya adalah:

dimana

H : jumlah nilai ulangan harian

E : nilai EBTA

nH : frekuensi ulangan harian

selanjutnya di dalam kurikulum SMA tahun 1984 disebutkan cara menentukan nilai akhir

bukan hanya didasarkan atas hasil kegiatan kurikuler saja, tetapi juga korikuler.

Rumusnya adalah:
Keterangan:

p = Nilai tes sub sumatif

q = Nilai tes sumatif

r = Nilai korikuler

Merata-ratakan hasil penilaian sumatif dengan hasil penilaian formatif

Setelah hasil-hasil penilaian formatif diubah ke dalam nilai berskala 1 10, kemudian untuk

setiap siswa dicari rata-rata hasil penilaian formatif dalam caturwulan/semester yang

bersangkutan.

Nilai rata-rata ini selanjutnya dijumlahkan dengan tes sumatif dan kemudian hasil

penjumlahan dibagi dua. Hasil yang terakhir inilah yang akan merupakan nilai akhir bagi

setiap siswa yang natinya dijadikan nilai rapor.

Perlu dikemukakan di sini bahwa apabila pada nilai akhir terdapat pecahan kurang dari

setengah, maka nilai itu dibulatkan ke bawah. Kalau pecahan itu setengah, nilai akhir tetap

seperti itu. Sedangkan dalam pecahan lebih dari setengah, maka nilai itu dibulatkan ke

atas.

Kecuali untuk nilai 5,5 itu dibulatkan menjadi 6.[10]

Latar Belakang
Telah kita ketahui bahwa tes hasil belajar dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung

bagaimana strategi dan metode yang diterapkan oleh guru. Adakalanya guru menyelenggarakan tes hasil

belajars ecara tertulis (tes tertulis), ada juga secara lisan (tes lisan) dan ada juga yang dengan perbuatan

(prektek).
Adanya perbedaan penyelenggaraan tes hasil belajar tersebut, sudah barang tentu menuntut

adanya pembedaan pula dalam pemeriksaan hasil-hasilnya (koreksi) dan adanya pembedaan pula dalam

rangka pemberian skor.


Untuk mengolah tes hasil belajar, perlu memperhatikan langkah-langkah dan rumus-rumus yang

telah ditetapkan. Agar skor dan nilai yang diperoleh siswa dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana teknik pemeriksaan hasil tes hasil belajar?

2. Bagaimana teknik pemberian skor hasil tes hasil belajar?

3. Bagaimana teknik pengolahan hasil tes hasil belajar?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui bagaimana teknik pemeriksaan hasil tes hasil belajar.

2. Untuk mengetahui bagaimana teknik pemberian skor hasil tes hasil belajar.

3. Untuk mengetahui bagaimana teknik pengolahan hasil tes hasil belajar.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Teknik Pemeriksaan Hasil Tes Hasil Belajar


Tes hasil belajar dapat diselenggarakan secara tertulis (tes tertulis), secara lisan (tes lisan) dan

dengan tes perbuatan. Adanya perbedaan pelaksanaan tes hasil belajar tersebut menuntut adanya

perbedaan dalam pemeriksaan hasil-hasilnya.

1. Teknik Pemeriksaan Hasil Tes Tertulis

Tes hasil belajar yang diselenggarakan secara tertulis dapat dibedakan menjadi dua golongan,

yaitu: tes hasil belajar (tertulis) bentuk uraian (subjective test = essay test) dan tes hasil belajar (tertulis)

bentuk obyektif (objective test). Karena kedua bentuk tes hasil belajar itu memiliki karakteristik yang

berbeda, sudah barang tentu teknik pemeriksaan hasil-hasilnya pun berbeda pula. 1[1]

a. Teknik Pemeriksaan Hasil Tes Bentuk Uraian

Dalam pelaksanaan pemeriksaan hasil tes uraian ini ada dua hal yang perlu dipertimbangkan,

yaitu: (1) apakah nantinya pengolahan dan penentuan nilai hasil tes uraian itu akan didasarkan pada

standar mutlak atau: (2) apakah nantinya pengolahan dan penentuan nilai hasil tes subyektif itu akan

didasarkan pada standar relatif.

Apabila nantinya pengolahan dan penentuan nilai hasil tes uraian itu akan didasarkan pada

standar mutlak (dimana penentuan nilai secara mutlak akan didasarkan pada prestasi individual), maka

prosedur pemeriksaannya adalah sebagai berikut:

1) Membaca setiap jawaban yang diberikan oleh testee dan membandingkannya dengan pedoman yang

sudah disiapkan.

2) Atas dasar hasil perbandingan tersebut, tester lalu memberikan skor untuk setiap butir soal dan

menuliskannya di bagian kiri dari jawaban testee tersebut.

3) Menjumlahkan skor-skor yang telah diberikan.

Adapun apabila nantinya pengolahan dan penentuan nilai akan didasarkan pada standar relative

(di mana penentuan nilai akan didasarkan pada prestasi kelompok), maka prosedur pemeriksaannya

adalah sebagai berikut:

1) Memeriksa jawaban atas butir soal nomor 1 yang diberikan oleh seluruh testee, sehingga diperoleh

gambaran secara umum mengenai keseluruhan jawaban yang ada.

2) Memberikan skor terhadap jawaban soal nomor 1 untuk seluruh testee.

3) Mengulangi langkah-langkah tersebut untuk soal tes kedua, ketiga, dan seterusnya

1
4) Setelah jawaban atas seluruh butir soal yang diberikan oleh seluruh testee dapat diselesaikan, akhirnya

dilakukanlah penjumlahan skor (yang nantinya akan dijadikan bahan dalam pengolahan dan penentuan

nilai.2[2]

b. Teknik Pemeriksaan Hasil Tes Bentuk Obyektif

Memeriksa atau mengoreksi jawaban atas soal tes objektif pada umumnya dilakukan dengan jalan

menggunakan kunci jawaban, ada beberapa macam kunci jawaban yang dapat dipergunakan untuk

mengoreksi jawaban soal tes objektif, yaitu sebagai berikut :3[3]

1) Kunci berdampingan ( strip keys )

Kunci jawaban berdamping ini terdiri dari jawaban jawaban yang benar yang ditulis dalam satu

kolom yang lurus dari atas kebawah, adapun cara menggunakannya adalah dengan meletakan kunci

jawaban tersebut berjajar dengan lembar jawaban yang akan diperiksa, lalu cocokkan, apabila jawaban

yang diberikan oleh teste benar maka diberi tanda ( + ) dan apabila salah diberi tanda ( - ).

2) Kunci system karbon ( carbon system key )


Pada kunci jawaban system ini teste diminta membubuhkan tanda silang ( X ) pada salah satu

jawaban yang mereka anggap benar kemudian kunci jawaban yang telah dibuat oleh teste tersebut

diletakan diatas lembar jawaban teste yang sudah ditumpangi karbon kemudian tester memberikan

lingkaran pada setiap jawaban yang benar sehingga ketika diangkat maka, dapat diketahui apabila

jawaban teste yang berada diluar lingkaran berarti salah sedangkan yang berada didalam adalah benar.
3) Kunci system tusukan ( panprick system key )
Pada dasarnya kunci system tusukan adalah sama dengan kunci system karbon. Letak

perbedaannya ialah pada kunci sistem ini, untuk jawaban yang benar diberi tusukan dengan paku atau

alat penusuk lainnya sementara lembar jawaban testee berada dibawahnya, sehingga tusukan tadi

menembus lembar jawaban yang ada dibawahnya. Jawaban yang benar akan tekena tusukan

dsedangkan yang salah tidak.


4) Kunci berjendela ( window key )

Prosedur kunci berjendela ini adalah sebagai berikut :

a) Ambilah blanko lembar jawaban yang masih kosong


b) Pilihan jawaban yang benar dilubangi sehingga seolah olah menyerupai jendela
c) Lembar jawaban teste diletakan dibawah kunci berjendela
d) Melalui lubang tersebut kita dapat membuat garis vertical dengan pencil warna sehingga jawaban yang

terkena pencil warna tersebut berarti benar dan sebaliknya.

2. Teknik Pemeriksaan Hasil Tes Lisan

3
Pemeriksaan yang dilaksanakan dalam rangka menilai jawaban jawaban testee pada tes hasil

belajar secara lisan pada umumnya bersifat subjektif, sebab dalam tes lisan itu tester tidak berhadapan

dengan lembar jawaban soal yang wujudnya adalah benda mati, melainkan berhadapan dengan individu

atau makhluk hidup yang masing masing mempunyai ciri dan karakteristik berbeda sehingga

memungkinkan bagi tester untuk bertindak kurang atau bahkan tidak objektif. 4[4]

Dalam hal ini, pemeriksaan terhadap jawaban testee hendaknya dikendalikan oleh pedoman yang

pasti, misalnya sebagai berikut :

a. Kelengkapan jawaban yang diberikan oleh testee.

Pernyataan tersebut mengandung makna apakah jawaban yang diberikan oleh testee sudah

memenuhi semua unsur yang seharusnya ada dan sesuai dengan kunci jawanban yang telah disusun

oleh tester

b. Kelancaran testee dalam mengemukakan jawaban

Mencakup apakah dalam memberikan jawaban lisan atas soal soal yang diajukan kepada testee

itu cukup lancar sehingga mencerminkan tingkat pemahaman testee terhadap materi pertanyaan yang

diajukan kepadanya

c. Kebenaran jawaban yang dikemukakan

Jawaban panjang yang dikemukakan oleh testee secara lancar dihadapan tester, belum tentu

merupakan jawaban yang benar sehingga tester harus benar benar memperhatikan jawaban testee

tersebut, apakah jawaban testee itu mengandung kadar kebenaran yang tinggi atau sebaliknya.

d. Kemampuan testee dalam mempertahankan pendapatnya

Maksudnya, apakah jawaban yang diberikan dengan penuh kenyakinan akan kebenarannya atau

tidak. Jawaban yang diberikan oleh testee secara ragu ragu merupakan salah satu indikator bahwa

testee kurang menguasai materi yang diajukan kepadanya.

Demikian seterusnya, penguji dapat menambahkan unsur lain yang dirasa perlu dijadikan bahan

penilaian seperti : perilaku, kesopanan, kedisiplinan dalam menghadapi penguji (tester). 5[5]

3. Teknik Pemeriksaan Hasil Tes Perbuatan

Dalam tes perbuatan ini pemeriksaan hasil-hasil tes nya dilakukan dengan menggunakan

observasi (pengamatan). Sasaran yang perlu diamati adalah tingkah laku, perbuatan, sikap dan lain

sebagainya. Untuk dapat menilai hasil tes tersebut diperlukan adanya instrument tertentu dan setiap

gejala yang muncul diberikan skor tertentu pula.

5
Contoh: misalkan instrument yang dipergunakan dalam mengamati calon guru yang

melaksanakan praktek mengajar, aspek-aspek yang diamati meliputi 17 unsur dengan skor minimum 1

(satu) dan maksimum (lima).6[6]

B. Teknik Pemberian Skor Hasil Tes Hasil Belajar


1. Penskoran
Penskoran merupakan langkah pertama dalam proses pengolahan hasil tes. Penskoran adalah

suatu proses pengubahan jawaban-jawaban tes menjadi angka-angka.


Angka-angka hasil penskoran itu kemudian diubah menjadi nilai-nilai melalui suatu proses

pengolahan tertentu. Penggunaan simbol untuk menyatakan nilai-nilai itu ada yang dengan angka,

seperti angka dengan rentangan 0 10, 0 100, 0 4, dan ada pula yang dengan huruf A, B, C, D, dan

E.7[7] Cara menskor hasil tes biasanya disesuaikan dengan bentuk soal-soal tes yang dipergunakan,

apakah tes objektif atau tes essay, atau dengan bentuk lain.
a. Pemberian skor untuk tes bentuk benar-salah
Dalam menentukan angka atau skor untuk tes bentuk benar-salah ini kita dapat menggunakan 2

cara, yaitu: (1) Tanpa denda, dan (2) Dengan denda.


Tanpa denda adalah banyaknya angka yang diperoleh siswa sebanyak jawaban yang cocok dengan

kunci. Sedangkan dnegan denda (karena diragukan ada unsur tebakan), digunakan 2 macam rumus: 8[8]
S=R-W
Pertama, dengan rumus:

S= Score
R = Right
W = Wrong
Skor yang diperoleh siswa sebanyak jumlah soal yang benar dikurangi dengan jumlah soal yang salah.
Contoh:
- Banyaknya soal = 10 butir
- Yang betul = 8 butir soal
- Yang salah = 2 butir soal
Jadi, 8 2 = 6
Kedua, dengan rumus:
S = T 2W

T = Total, artinya jumlah soal dalam tes


Contoh di atas dihitung: S = 10 (2 x 2) = 10 4 = 6
b. Pemberian skor untuk tes bentuk pilihan ganda (multiple choice)

8
Dengan tes bentuk pilihan ganda, testee diminta melingkari salah satu huruf di depan pilihan

jawaban yang disediakan atau membubuhkan tanda lingkaran atau tanda silang (X) pada tempat yang

sesuai di lembar jawaban.


Dalam menentukan skor untuk tes pilihan ganda, dikenal 2 macam cara pula yakni tanpa denda

dan dengan denda. Tanpa denda apabila banyaknya angka dihitung dari banyaknya jawaban yang cocok

dengan kunci jawaban. Sedangkan dengan denda menggunakan rumus: 9[9]

S=R-

S = Score
W = Wrong
n = Banyaknya pilihan jawaban
Contoh:
- Banyaknya soal = 10 butir
- Banyaknya yang betul = 8 butir soal
- Banyaknya yang salah = 2 butir soal
- Banyaknya pilihan = 3 butir
Maka skornya adalah: S = 8 - = 8 1 = 7
c. Pemberian skor untuk tes bentuk jawab singkat (short answer test)
Tes bentuk jawab singkat adalah bentuk tes yang menghendaki jawaban berbentuk kata atau

kalimat pendek. Maka jawaban untuk tes tersebut tidak boleh berbentuk kalimat-kalimat panjang, tetapi

harus sesingkat mungkin dan mengandung satu pengertian. Dengan persyaratan inilah maka bentuk tes

ini dpaat digolongkan ke dalam bentuk tes objektif.


Dengan mengingat jawaban yang hanya satu pengertian saja. Maka angka bagi tiap nomor soal

mudah ditebak. usaha yang dikeluarkan oleh siswa sedikit, tetapi lebih sulit daripada tes bentuk betul-

salah atau pilihan ganda. Dalam tes bentuk ini, sebaiknya tiap soal diberi angka 2 (dua). Tetapi apabila
jawabannya bervariasi misalnya lengkap sekali, lengkap, dan kurang lengkap, maka angkanya dapat

dibuat bervariasi pula misalnya 2, 1,5, dan 1.10[10]


d. Pemberian skor untuk tes bentuk menjodohkan (matching)
Pada dasarnya tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda, dimana jawaban-

jawaban dijadikan satu, demikian pula pertanyaan-pertanyaannya


Karena tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda yang lebih kompleks. Maka

angka yang diberikan sebagai imbalan juga harus lebih banyak. Sebagai ancar-ancar dapat ditentukan

bahwa angka untuk tiap nomor adalah 2 (dua).11[11]

10

11
e. Pemberian skor untuk tes bentuk uraian
Sebelum menyusun sebuah tes uraian sebaiknya kita tentukan terlebih dahulu pokok-pokok

jawaban yang kita kehendaki. Dengan demikian, maka akan mempermudah kita dalam mengoreksi tes

itu.
Tidak ada jawaban yang pasti terhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang kita peroleh akan

sangat beraneka ragam, beda antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Langkah-langkah

pemberian skornya adalah:


1) Membaca soal pertama dari seluruh siswa untuk memperoleh gambaran mengenai lengkap tidaknya

jawaban yang diberikan siswa secara keseluruhan.


2) Menentukan angka untuk soal pertama tersebut. Misalnya jika jawabannya lengkap diberi angka 5,

kurang sedikit diberi angka 4, begitu seterusnya.


3) Mengulangi langkah-langkah tersebut untuk soal tes kedua, ketiga, dan seterusnya.
4) Menjumlahkan angka-angka yang diperoleh oleh masing-masing siswa untuk tes bentuk uraian.

Alternatif kedua untuk pemberian skor pada tes bentuk uraian adalah dengan menggunakan cara

pemberian angka yang relatif. Misalnya untuk sesuatu nomor soal jawaban yang paling lengkap hanya

mengandung 3 unsur, padahal yang kita kita menghendaki 5 unsur, maka kepada jawaban yang paling

lengkap itulah kita berikan angka 5, sedangkan yang menjawab hanya 2 atau 1 unsur, kita beri angka

lebih sedikit, yaitu misalnya 3,5; 2; 1,5; dan seterusnya.

Apa yang telah diterangkan di atas ini adalah cara memberikan angka dengan menggunakan atau

mendasarkan pada norma kelompok (norm referenced test). Apabila dalam memberikan angka

menggunakan atau mendasarkan pada standar mutlak (Criterion referenced test), maka langkah-

langkahnya adalah:

1) Membaca setiap jawaban yang diberikan oleh siswa dan dibandingkan dengan kunci jawaban yang telah

disusun.
2) Membubuhkan skor di sebelah kiri setiap jawaban. Ini dilakukan per nomor soal.
3) Menjumlahkan skor-skor yang telah dituliskan pada setiap soal.

Dengan cara ini maka skor yang diperoleh siswa tidak dibandingkan dnegan jawaban paling

lengkap yang diberikan oleh siswa lain, tetapi dibandingkan dengan jawaban lengkap yang dikehendaki

dan sudah ditentukan oleh guru.12[12]

f. Pemberian skor untuk tes bentuk tugas13[13]


Tolak ukur yang digunakan sebagai ukuran keberhasilan tugas adalah:
1) Ketepatan waktu
2) Bentuk fisik pengerjaan tugas yang menandkan keseriusan dalam mengerjakan tugas.
3) Sistematika yang menunjukkan alur keruntutan pikiran.
4) Kelengkapan isi menyangkut ketuntasan penyelesaian dan kepadatan isi.
5) Mutu hasil tugas, yaitu kesesuaian hasil dengan garis-garis yang sudah ditentukan oleh guru.

12

13
Dalam mempertimbangkan nilai akhir perlu dipikirkan peranan masing-masing aspek kriteria

tersebut, misalnya demikian:


- Ketepatan waktu, diberi bobot 2
- Bentu fisik, diberi bobot 1
- Sistematika, diberi bobot 3
- Kelengkapan isi, diberi bobot 3
- Mutu hasil, diberi bobot 3
Maka nilai akhir untuk tugas tersebut diberikan rumus:
NAT =
NAT adalah Nilai Akhir Tugas
2. Perbedaan Skor dan Nilai
Apa yang terjadi selama ini, banyak di antara para guru yang masih mencampuradukkan antara

dua pengertian, yaitu skor dan nilai.

Skor: hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang

dijawab betul oleh siswa, dengan memperhitungkan bobot jawaban betulnya. 14[14]

Nilai: angka (bisa juga huruf) yang merupakan hasil ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-

skor lainnya, serta dengan menggunakan acuan/standar tertentu, yakni acuan patokan dan acuan

norma.15[15]

a. Penilaian Acuan Patokan (PAP)


Suatu penilaian disebut PAP jika dalam melakukan penilaian itu mengacu pada suatu kriteria

pencapaian tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya.


Sebagai contoh, misalkan untuk dapat diterima sebagai calon penerbang di sebuah lembaga

penerbangan, setiap calon harus memenuhi syarat antara lain tinggi badan sekurang-kurangnya 165 cm

dan memiliki tingkat kecerdasan (IQ) serendah-rendahnya 130. Berdasarkan kriteria atau patokan itu,

siapapun calon yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut dinyatakan gagal dalam tes atau tidak akan

diterima sebagai calon penerbang.16[16]


b. Penilaian Acuan Norma (PAN)
Penilaian acuan norma adalah penilaian yang dilakukan dengan mengacu pada norma kelompok,

nilai-nilai yang diperoleh siswa diperbandingkan dengan nilai-nilai siswa yang lain yang termasuk di

dalam kelompok itu.


Yang dimaksud dengan norma dalam hal ini adalah kapasitas atau prestasi kelompok,

sedangkan yang dimaksud dengan kelompok adalah semua siswa yang mengikuti tes tersebut. Nilai

hasil PAN tidak mencerminkan tingkat kemampuan dan penguasaan siswa tentang materi pengajaran

yang diteskan, tetapi hanya menunjukkan kedudukan siswa di dalam peringkat kelompoknya. 17[17]

14

15

16

17
C. Teknik Pengolahan Hasil Tes Hasil Belajar
1. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai Huruf
Pengolahan skor mentah menjadi nilai huruf menggunakan sifat-sifat yang terdapat pada kurva

normal sebagai dasar perhitungan. Adapun ciri-ciri atau sifat-sifat distribusi normal antara lain adalah

seperti berikut:18[18]
Memiliki jumlah atau kepadatan frekuensi yang tetap pada jarak deviasi-deviasi tertentu seperti pada

gambar:
-2
-3
-2
-1
M
+1
+2
+3
b.
a.
-1
M
+1
+2
+3
-3

68,26

95,44

-3
-1
M
+1
+2
+3
c.
-2
99,72

18
Dalam gambar tersebut, dapat kita lihat bahwa:

- (gambar a.) 68,26 persen data/populasi terletak di dalam interval M 1 DS dan M + 1 DS


- (gambar b.) 95,44 persen data/populasi terletak di dalam interval M 2 DS dan M + 2 DS
- (gambar c.) 99,72 persen data/populasi terletak di dalam interval M 3 DS dan M + 3 DS
Dengan kata lain. Pada distribusi normal hampir 100 persen data/populasi terletak pada jarak range -3

DS dan +3 DS. Itulah sebabnya dalam perhitungan-perhitungan selanjutnya selalu akan kita lhat

penggunaan jarak range -3 DS dan +3 DS.


Pada distribusi normal, mean, median,dan mode berimpit (sama besar), terletak tepat di tengah kurva

dan membagi dua sama besar jarak deviasi antara -3 DS dan +3 DS.

Berdasarkan sifat-sifat distribusi normal itulah maka untuk penjabaran skor mentah menjadi nilai

huruf dipergunakan mean dan DS.

a. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai Huruf dengan Menggunakan Mean (M) dan Deviasi Standar (DS)
Mencari mean (M) dan Deviasi Standar (DS) dalam rangka mengolah skor mentah menjadi nilai

huruf dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu jika banyaknya skor yang diolah kurang dari 30,

digunakan tabel distribusi frekuensi tunggal. Dan jika banyaknya skor yang diolah lebih dari 30,

misalnya sampai 40 atau 50 skor atau lebih, sebaiknya digunakan tabel distribusi frekuensi bergolong.

Berikut ini sebuah contoh yang menggunakan tabel distribusi frekuensi tunggal.
Misalkan seorang guru memperoleh skor mentah dari haisl tes yang telah diberikan kepada 20

orang siswa sebagai berikut:19[19]

73 70 68 68 67 67 65 65 63 62

60 59 59 58 58 56 52 50 41 40

Skor mentah itu akan diolah menjadi nilai huruf A, B, C, D, TL dengan menggunakan M dan DS. Untuk

itu kita membuat tabel sebagai berikut:


Langkah-langkah menyusun tabel:
1) Masukkan nama siswa (ke dalam kolom 1) dan skor masing-masing siswa (ke dalam kolom 2), kemudian

jumlahkan. Kita akan memperoleh .


2) Hitunglah mean (M) dengan membagi jumlah skor itu ( ) dengan N (banyaknya siswa yang dites). Jadi

rumus untuk mencari M itu adalah: M =


3) Isilah kolom 3 dengan selisih (deviasi) tiap-tiap skor dari mean (X-M)
4) Isilah kolom 4 dengan menguadratkan angka-angka dari kolom 3. Kemudian jumlahkan sehingga kita

peroleh
5) Langkah terakhir adalah menghitung mean dan DS dengan rumus-rumus sebagai berikut:

M = dan DS =

Tabel untuk menghitung Mean dan DS


NamaSiswa SkorMentah(X) (X-M)atau(d) atau

19
1 2 3 4

Amrin 73 13 169

Dahron 70 10 100

Mardi 68 8 64

Popon 68 8 64

Jamilah 67 7 49

Sarman 67 7 49

Ronald 65 5 25

Nursam 65 5 25

Marnah 63 3 9

Kamerun 62 2 4

Djufri 60 0 0

Rajiman 59 -1 1

Jugil 59 -1 1

Bonteng 58 -2 4

Pairah 58 -2 4

Gurita 56 -4 16

Marlopo 52 -8 64

Karmin 50 -10 100

Nirmala 41 -19 361

Brutal 40 -20 400

Jumlah 1201( ) 1509

Dari tabel itu kemudian dicari mean dan DS dengan rumus sebagai berikut:

M= = = 60,05 dibulatkan = 60
DS = = = = 8,69
Dari perhitungan dalam tabel di atas kita telah memperoleh mean (M) = 60 dan DS = 8,69.

Selanjutnya kita dapat menjabarkan skor-skor mentah yang kita peroleh itu ke dalam nilai huruf melalui

langkah-langkah sebagai berikut:


1) Pertama-tama kita menentukan besarnya Skala Unit Deviasi (SUD). Misalnya dalam penjabaran ini kita

akan menggunakan seluruh jarak range dari kurva normal, yaitu antara -3 DS s.d. + 3 DS = 6 DS.

Karena nilai huruf yang akan digunakan adalah A B C D E TL yang berarti = 4 unit, dan kita

tentukan besarnya SUD = 6 DS : 4 = 1,5 DS. Jadi, SUD = 1,5 x 8,69 = 13,035, dibulatkan = 13.
2) Titik tengah nilai C terletak pada mean = 60 karena C merupakan nilai tengah pada skala penilaian A - B

C D TL.
3) Langkah selanjutnya kita menentukan batas bawah (lower limit) dan batas atas (upper limit) dari masing-

masing nilai huruf.


- Karena titik tengah C = M = 60, maka
- Batas bawah C = M 0,5 SUD
60 - (0,5 x 13) = 53,5

- Batas atas C = M + 0,5 SUD


60 + (0,5 x 13) = 66,5
- Batas bawah D = M 1,5 SUD
60 (1,5 x 13) = 34
- Skor di bawah 34 = TL
- Batas atas B = M + 1,5 SUD

60 + (1,5 x 13) = 79,5

- Skor di atas 79, 5 = A


4) Selanjutnya kita mentransfer skor-skor mentah dari 20 siswa tersebut ke dalam niali huruf sebagai

berikut:
- Skor 80 ke atas =A = Tidak ada
- Skor 67 s.d 79,5 =B = 6 Orang
- Skor 54 s.d 66,5 =C = 10 Orang
- Skor 34 s.d 53,5 =D = 4 orang
- Skor di bawah 34 = TL = Tidak ada
Dengan cara penjabaran seperti di atas, ternyata hasilnya lebih baik dalam arti banyak yang lulus

meskipun hanya memperoleh nilai D. Hal ini dimungkinkan karena dalam penjabaran tersebut kita

menggunakan seluruh range dari kurva normal, yaitu dari -3 DS s.d. +3 DS.
b. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai Huruf dengan Batas Lulus = Mean
Misalkan seorang guru memperoleh skor dari hasil ujian semester dari 50 siswa sebagai berikut: 20

[20]
97 93 92 90 87 86 86 83 81 80
80 78 76 76 75 74 73 72 72 71
69 67 67 67 64 63 63 62 62 60
58 57 57 56 56 54 52 50 47 45
43 39 36 36 32 29 27 26 20 16

Skor mentah ini akan kita olah menjadi nilai huruf A, B, C, D, dan TL. Untuk mencari mean dan

DS kita susun skor mentah tersebut ke dalam tabel frekuensi, kita cari dulu range untuk menentukan

besarnya interval dan kelas interval.


Range = 97 16 = 81
Kelas interval = + 1 = + 1 = 9
Jadi, dengan menentukan besarnya interval = 10, kita peroleh kelas interval = 9.

Tabel Distribusi Frekuensi

Kelas Interval f d fd

1 96 105 1 +4 +4 16

2 86 95 6 +3 +18 54

3 76 - 85 7 +2 +14 28

4 66 - 75 10 +1 +10 10

5 56 - 65 11 0 0 0

20
6 46 - 55 4 -1 -4 4

7 36 - 45 5 -2 -10 20

8 26 - 35 3 -3 -9 27

9 16 - 25 3 -4 -12 48

50 (N) +11 ( ) 207 ( )

Dari tabel ini, kita cari mean dengan rumus:


M = M + i ( )

M = mean sebenarnya yang akan dicari


M = mean dugaan dalam tabel itu
= = = 60,5
i = inteval = 10
= jumlah dari kolom fd = +11
Dengan rumus tersebut di atas maka:

Mean (M) = 60,5 + 10 ( ) = 60,5 +


= 60,5 + 2,2 = 62,7, dibulatkan menjadi 63

Cara mencari deviasi standar (DS) ialah dnegan rumus:

DS = i

Dari tabel di atas kita dapat menghitung DS sebagai berikut:

DS = 10

= 10

= 10

= 10 x 1,9 = 19

Selanjutnya jika kita akan mengubah skor mentah yang diperoleh menjadi nilai huruf A, B, C, D,

dan TL dengan batas lulus = mean. Caranya adalah sebagai berikut:

Telah ditentukan bahwa batas lulus = mean = 63. Jadi, skor mentah dari 63 ke atas kita bagi

menjadi nilai huruf A, B, C, D dan skor di bawah 63 dinyatakan TL. Perhatikan gambar berikut:
-2
-1
0
+1
+2
+3
D
C
B
A
TL
-3
M
2,25
1,5
0,75
- Batas bawah D atau batas lulus = mean = 63
- Skor di bawah 63 = TL
- Batas atas D = M + 1 SUD = M + 0,75 DS
= 63 + 14,25 = 77 (dibulatkan)
- Batas atas C = M + 2 SUD = M + 1,5 DS
= 63 + 28,5 = 92 (dibulatkan)
- Batas atas B = M + 3 SUD = M + 2,25 DS
= 63 + 42,75 = 106 (dibulatkan)
- Skor di atas 106 = A
Dengan perhitungan tersebut, maka hasil kelulusan dari 50 siswa adalah sebagai berikut:
Yang tidak lulus (TL), skor di bawah 63 = 23 orang
Yang mendapat nilai D, skor 63 77 = 15 orang
Yang mendapat nilai C, skor 78 92 = 10 orang
Yang mendapat nilai B, skor 93 106 = 2 orang
Yang mendapat nilai A, akor di atas 106 = tidak ada

Jika dibandingkan dengan cara penjabaran terdahulu, maka cara yang terakhir ini ternyata lebih

mahal. Dari 50 orang siswa yang ujian, ternyata sebanyak 23 orang tidak lulus (hampir 50%).

c. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai Huruf dengan Menggunakan Mean Ideal dan DS Ideal
Misalkan jika skor maksimum ideal dari tes yang diberikan kepada 50 siswa tersebut = 120, maka:
mean ideal = x skor maksimum ideal = 60
DS ideal vdari tes tersebut = x 60 = 20

Dengan cara menjabarkan yang telah diuraikan sebelumnya, yakni dengan ketentuan batas lulus =

mean, dan dengan demikian, 1 SUD = 0,75 DS, kita peroleh perhitungan sebagai berikut:

- Batas bawah D atau batas lulus = mean = 60


- Skor di bawah 60 = TL
- Batas atas D = M + 1 SUD = M + 0,75 DS
= 60 + (0,75 x 20) = 60 + 15 = 75
- Batas atas C = M + 2 SUD = M + 1,5 DS
= 60 + (1,5 x 20) = 60 + 30 = 90
- Batas atas B = M + 3 SUD = M + 2,25 DS
= 60 + (2,25 x 20) = 60 + 45 = 105
- Skor di atas 105 = A

Dengan perhitungan tersebut, maka hasil kelulusan dari 50 siswa adalah:

Yang tidak lulus (TL), skor di bawah 60 = 20 orang


Yang mendapat nilai D, skor 60 - 75 = 16 orang
Yang mendapat nilai C, skor 76 - 90 = 11 orang
Yang mendapat nilai B, skor 91 105 = 3 orang
Yang mendapat nilai A, akor di atas 105 = tidak ada
Jika dibandingkan dengan hasil perhitungan sebelumnya, ternyata hasil kelulusan berimbang

atau hampir sama. Yang tidak lulus hanya selisih 3 orang, yang kedua-duanya tidak ada yang

memperoleh nilai A. Hal ini antara lain adalah karena skor maksimum ideal dari tes yang diolah adalah

120, sedangkan nilai maksimum aktual (nilai tertinggi dari kelompok yang dites) adalah 97, yang berarti

masih jauh di bawah nilai maksimum ideal 120. Akan tetapi, jika nilai maksimum ideal dari tees itu 100

misalnya, maka mean ideal = 50 dan DS ideal = 16,7, dibulatkan menjadi 17. Dengan demikian,

mungkin ada beberapa orang yang memperoleh nilai A, dan yang tidak lulus pun jumlahnya berkurang. 21

[21]
2. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai 1 10
Umpamakan seorang guru memperoleh skor mentah dari hasil ulangan sejarah di kelas III SMP

yang berjumlah 50 orang siswa sebagai berikut:

16 64 87 36 65 42 43 54 47 51
77 55 68 42 40 47 42 46 45 50
20 57 28 7 44 51 40 39 39 57
28 39 21 48 46 37 41 43 49 71
29 44 34 50 45 35 44 52 56 45

Untuk mengolah skor mentah di atas menjadi nilai 1-10, kita perlu mencari mean (angka rata-rata) dan

DS. Untuk itu skor mentah tersebut kita susun ke dalam tabel distribusi frekuensi. Langkah-langkah

menyusunnya adalah sebagai berikut:


a. Kita tentukan dulu banyaknya kelas interval dengan jalan:
- Mencari range (R), dengan mengurangi skor maksimum dengan skor minimum (range = selisih antara

skor maksimum dan skor minimum)


- Bagilah range ke dalam interval-interval yang sama sedemikian rupa sehingga jumlah kelas interval

antara 6 15 atau 11 19.


Rumus untuk mencari kelas interval: +1
b. Mengisi kolom 2 (kolom interval) di dalam tabel yang telah tersedia. Mulailah dari skor minimum

berturut-turut dengan interval yang telah ditemukan dan sejumlah kelas yang telah ditentukan pada

langkah pertama
c. Membuat tally pada kolom 3 (menabulasikan tiap-tiap skor ke dalam kelasnya).
d. Mengisi angka (jumlah) tally ke dalam kolom 4 (f)
e. Menentukan deviasi pada lajur d dengan menetapkan letak mean dugaan (M) dengan angka nol pada

kelas tertentu. Untuk menduga letak nol tersebut dapat kita pilih kelas yang mengandung frekuensi yang

paling tinggi. Selanjutnya kita letakkan angka-angka deviasi itu dari nol ke atas dan ke bawah. Angka-

angka di atas nol kita beri tanda + (plus) dan angka-angka di bawah nol diberi tanda (minus)
f. Mengisi lajur fd dengan mengalikan angka-angka pada lajur f dan d. Kemudian hasilnya dijumlahkan

pada bagian bawah dari tabel (= fd). Sampai pada kolom 6 (fd) kita telah dapat menghitung besarnya

mean yang sebenarnya dari tabel tersebut. Akan tetapi, karena kita masih memerlukan mencari DS

(deviasi standar), kita perlu menambah satu kolom lagi untuk mencari .

21
g. Mengisi lajur , kemudian dijumlahkan pula pada bagian bawah dari tabel sehingga kita peroleh yang

diperlukan dalam rumus untuk mencari DS.


Dari skor mentah hasil ulangan tersebut, kita dapat menyusun tabel distribusi frekuensi seperti

berikut:
Skor maksimum = 87
Skor minimum =7
Range = 87 7 = 80
Banyaknya kelas interval:
+ 1 = + 1 = 11
Jadi, interval (i) = 8, kelas interval = 11

Tabel Distribusi Frekuensi

Kelas Interval Tally f d fd

1 87-94 I 1 +6 6 36

2 79-86 0 +5 0 0

3 71-78 II 2 +4 8 32

4 63-70 III 3 +3 9 27

5 55-62 IIII 4 +2 8 16

6 47-54 IIIIIIIII 11 +1 11 11

7 39-46 IIIIIIIIIIIIIII 18 0 0 0

8 31-38 IIII 4 -1 -4 4

9 23-30 III 3 -2 -6 12

10 15-22 III 3 -4 -9 27

11 7-14 I 1 -4 -4 16

N=50 +19( ) 181( )

Sekarang kita cari angka rata-rata (mean) dari tabel di atas:


Rumus mean M = M + i ( )

Dengan melihat pada tabel distribusi frekuensi maka:


M = 42,5 + 8 ( ) = 42,5 + 3,04 = 45,54
Mean dugaan (M) sebesar 42,5 adalah nilai titik tengah dari kelas interval 39 46, yaitu kelas

interval yang kita duga sebagai tempat letaknya mean. Cara menghitung:
M = = = 42,5
Dari tabel itu, sekarang kita mencai DS.
Rumusnya: DS = i

Dengan menggunakan rumus tersebut maka:


DS =8
=8
=8
= 8 x 1,89 = 15,12 dibulatkan = 15
Setelah kita temukan besarnya mean dan DS, (mean = 45,54 dan DS = 15), langkah selanjutnya

ialah menjabarkan skor mentah yang kita peroleh ke dalam nilai 1 10 dengan menggunakan rumus

penjabaran sebagai berikut:


M - 0,25 DS =5
M - 0,75 DS =4
M - 1,25 DS =3
M - 1,75 DS =2
M - 2,25 DS =1

Rumus Penjabaran

M + 2,25 DS = 10
M + 1,75 DS = 9
M + 1,25 DS = 8
M + 0,75 DS = 7
M + 0,25 DS = 6
Penjabarannya
79 ke atas = 10
72 s.d. 78 = 9
64 s.d. 71 = 8
57 s.d. 63 = 7
49 s.d. 56 = 6
42 s.d. 48 = 5

Hasil Perhitungan
45,54 + (2,25 x 15) = 79,29 dibulatkan = 79
45,54 + (1,75 x 15) = 71,79 dibulatkan = 72
45,54 + (1,25 x 15) = 64,29 dibulatkan = 64
45,54 + (0,75 x 15) = 56.79 dibulatkan = 57
45,54 + (0,25 x 15) = 49,29 dibulatkan = 49
45,54 - (0,25 x 15) = 41,79 dibulatkan = 42
34 s.d. 41 = 4
27 s.d. 33 = 3
19 s.d. 26 = 2
12 s.d. 18 = 1
11 ke bawah =0

45,54 - (0,75 x 15) = 34,29 dibulatkan = 34

45,54 - (1,25 x 15) = 26,79 dibulatkan = 27


45,54 - (1,75 x 15) = 19,29 dibulatkan = 19
45,54 - (2,25 x 15) = 11,79 dibulatkan = 12

Kebaikan sistem penskoran seperti ini ialah bahwa nilai-nilai yang diperoleh siswa benar-benar

mencerminkan kapasitas kelompok (disesuaikan dengan kondisi atau tingkat kepandaian kelompok yang

bersangkutan).
Akan tetapi, kelemahannya ialah bahwa nilai-nilai yang diperoleh sistem tersebut belum

mencerminkan sampai dimana pencapaian scope bahan pelajaran yang diteskan. Oleh karena itu, untuk

mengurangi kelemahan ini kita juga melakukan sistem penskoran dengan menggunakan mean ideal dan

DS ideal. Caranya adalah sebagai berikut:


Misalkan tes yang dipergunakan untuk ulangan sejarah di atas memiliki skor maksimum ideal =

100.
Mean ideal = = = 50

DS ideal = =
= 16,6
Dengan menggunakan rumus penjabaran tersebut, maka:
50 + (2,25 x 16,6) = 87,35 dibulatkan = 87 10
50 + (1,75 x 16,6) = 79,05 dibulatkan = 79 9
50 + (1,25 x 16,6) = 70,75 dibulatkan = 71 8
50 + (0,75 x 16,6) = 62,45 dibulatkan = 62 7
50 + (0,25 x 16,6) = 54,15 dibulatkan = 54 6
50 - (0,25 x 16,6) = 45,85 dibulatkan = 46 5
50 - (0,75 x 16,6) = 37,55 dibulatkan = 38 4
50 - (1,25 x 16,6) = 29,25 dibulatkan = 29 3
50 - (1,75 x 16,6) = 20,95 dibulatkan = 21 2
50 - (2,25 x 16,6) = 12,65 dibulatkan = 13 1
Dengan menggunakan mean ideal dan DS ideal, ternyata hasilnya berlainan. Siswa yang mendapat

nilai 10 adalah siswa yang memperoleh skor mentah 87 ke atas, dan bukan 79 ke atas seperti hasil

perhitungan menggunakan mean dan DS aktual. Juga yang mendapat nilai 6 adalah siswa yang

memperoleh skor mentah 54 s.d. 61, bukan 49 s.d. 56. 22[22]


3. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai dengan Persen
Yakni besarnya nilai yang diperoleh siswa merupakan persentase dari skor maksimum ideal yang

seharusnya dicapai jika tes tersebut dikerjaan dengan hasil 100% betul.
Rumus penilaian adalah sebagai berikut: NP =
Keterangan:
MP = nilai persen yang dicari atau diharapkan
R = skor mentah yang diperoleh siswa
SM = skor maksimum ideal dari tes yang bersangkutan
100 = bilangan tetap
Beberapa contoh sebagai penjelasan:
- Siswa A memperoleh skor 64 dari tes matematika yang memiliki skor maksimum ideal = 80
Maka nilai A yang sebenarnya adalah x 100 = 80
- Siswa B memperoleh skor 64 dari tes bahasa indonesia yang memiliki skor maksimum ideal = 100. Maka

nilai B = 64
Cara menilai dengan persen sering dilakukan oleh guru-guru, hal ini karena dianggap lebih

mudah dan praktis.23[23]


4. Mengolah Skor Mentah Menjadi Skor Standar z
Yang dimaksud dengan skor z adalah skor yang penjabarannya didasarkan atas unit deviasi

standar dari mean. Dalam hal ini mean dinyatakan = 0 (nol). Oleh karena itu, dnegan penjabaran skor-

skor mentah menjadi skor standar z kita dapat melihat bagaimana kedudukan skor tersebut

dibandingkan dengan rata-rata skor kelompoknya.

Misalkan hasil tes umar sebagai berikut:

22

23
Bahasa Indonesia= 65
Matematika = 55
IPS = 70
Dengan melihat sepintas, kita beranggapan bahwa Umar cukup dalam Bahasa Indonesia, kurang

dalam Matematika, dan cukup baik dalam IPS. Untuk mengetahui kecakapan Umar sebenarnya

dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya, kita perlu mengetahui besarnya mean dan DS dari tiap

mata pelajaran, misalkan sebagai berikut:

Mata
Skor Mean DS
Pelajaran
Bahasa
65 60 4.0
Indonesia
Matematika 55 45 4.0
IPS 70 75 5.0

Dengan membandingkan skor yang dicapai Umar dengan mean nya masing-masing, sepintas kita

lihat bahwa Umar bukan sangat pandai dalam IPS, malah ia lebih baik dalam matematika dan bahasa

indonesia. Dengan menggunakan mean dan DS itu kita dapat mengubah skor-skor yang diperoleh Umar

menjadi skor z.
Rumusnya: Skor z =

Dengan menggunakan rumus tersebut, kita dapat mengubah skor yang dicapai Umar ke dalam skor z

sebagai berikut:
Bahasan Indonesia = = = +1,25
Matematika = = = +2,5
IPS = = = - 1,0
Melihat hasil skor z di atas kita dapat mengetahui bahwa Umar dalam bahasa indonesia adalah

1,25 DS di atas mean, untuk matematika 2,5 DS di atas mean, sedangkan untuk IPS 1,0 DS di bawah

mean.24[24]
5. Mengolah Skor Mentah Menjadi Skor Standar T
Yang dimaksud dengan skor T ialah angka skala yang menggunakan dasar mean = 50 dan jarak

tiap deviasi standar (DS) = 10. Di dalam range -3 DS sampai dengan +3 DS, T tersebar dari 20 s.d. 80,

tanpa bilangan bilangan minus.


Suatu panitia ujian sekolah misalnya, dapat menentukan batas lulus dari berbagai mata

pelajaran dengan kedudukan nilai skor yang sama setelah setiap skor dari mata pelajaran tersebut

dijabarkan ke dalam skor T.


Rumusnya: Skor T = ( ) 10 + 50 atau
Skor T = 10 Z + 50

Jika skor-skor yang diperoleh Umar tadi kita jabarkan ke dalam skor T, akan kita peroleh sebagai

berikut:
Bahasa Indonesia = ( ) x 10 + 50 = (+1,25) x 10 + 50 = 62,5

24
Matematika = ( ) x 10 + 50 = (+2,5) x 10 + 50 = 75,0
IPS = ( ) x 10 + 50 = (-1,0) x 10 + 50 = 40,0
Dengan melihat hasil penjabaran ke dalam skor T di atas, secara cepat kita dapat mengatakan

bahwa Umar memiliki prestasi yang cukup baik dalam matematika dibandingkan dengan teman

sekelompoknya, dan kurang baik prestasinya dalam IPS. 25[25]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Nilai pada dasarnya melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas

jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya makin banyak jumlah butir soal

dapat dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee akan semakin

tinggi. sebaliknya, jika jumlah butir item yang dapat dijawab dengan betul itu hanya sedikit, maka

penghargaan yang diberikan kepada testee juga kecil atau rendah.

Tes hasil belajar dapat diselenggarakan secara tertulis (tes tertulis), secara lisan (tes lisan) dan

dengan tes perbuatan. Adanya perbedaan pelaksanaan tes hasil belajar tersebut menuntut adanya

perbedaan dalam pemeriksaan, pemberian skor, dan pengolahan hasil-hasilnya.


Teknik pengolahan hasil tes hasil belajar dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni: mengolah

skor mentah menjadi nilai huruf, mengolah skor mentah menjadi nilai 1 10, mengolah skor mentah

menjadi nilai dengan persen, mengolah skor mentah menjadi skor standar z, dan mengolah skor mentah

menjadi skor standar T

1. Pendekatan penilaian bersangkut paut dengan penggunaan standar penilaian dalam

mengolah hasil penilaian.26[1] Yaitu :


1. Penilaian Acuan Norma (PAN)
PAN adalah membandingkan skor yang diperoleh peserta didik dengan standar
atau norma relatif.27[2] Karena apabila seorang siswa yang terjun ke kelompok A

25

26

27
termasuk Hebat, mungkin jika pindah ke kelompok lainnya hanya menduduki kualitas
Sedang saja.28[3] PAN digunakan untuk menafsirkan hasil tes sumatif. Dalam PAN,
makna angka (skor) seorang peserta didik ditemukan dengan cara membandingkan hasil
belajarnya dengan hasil belajar peserta didik lainnya dalam satu kelompok/kelas. Peserta
didik dikelompokkan berdasarkan jenjang hasil belajar sehingga dapat diketahui
kedudukan relatif seorang peserta didik dibandingkan dengan teman sekelasnya. Tujuan
PAN adalah untuk membedakan peserta didik atas kelompok-kelompok tingkat
kemampuan, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi. Secara ideal,
pendistribusian tingkat kemampuan dalam satu kelompok menggambarkan suatu kurva
normal.
Pada umumnya, PAN dipergunakan untuk seleksi. Soal tes dalam pendekatan ini
dikembangkan dari bagian bahan yang dianggap oleh guru urgen sebagai sampel dari
bahan yang telah disampaikan. Guru berwenang untuk menentukan bagian mana yang
lebih urgen. Untuk itu, guru harus dapat membatasi jumlah soal yang diperlukan, karena
tidak semua materi yang disampaikan kepada peserta didik dapat dimunculkan soal-
soalnya secara lengkap. Soal-soal harus dibuat dengan tingkat kesukaran yang bervariasi,
mulai dari yang mudah sampai dengan yang sukar sehingga memberikan kemungkinan
jawaban peserta didik bervariasi, soal dapat menyebar, dan dapat membandingkan peserta
didik yang satu dengan lainnya.
Peringkat dan klasifikasi anak yang didasarkan PAN lebih banyak mendorong
kompetisi daripada membangun semangat kerja sama. Lagi pula tidak menolong sebagian
besar peserta didik yang mengalami kegagalan. Dengan kata lain, keberhasilan peserta
didik hanya ditentukan oleh kelompoknya. PAN biasanya digunakan pada akhir unit
pembelajaran untuk menentukan tingkat hasil belajar peserta didik. Pedoman konversi
yang digunakan dalam pendekatan PAN sama dengan pendekatan PAP. Perbedaannya
hanya terletak dalam menghitung rata-rata dan simpangan baku. Dalam pendekatan PAN,
rata-rata dan simpangan baku dihitung dengan rumus statistik sesuai dengan skor mentah
yang diperoleh peserta didik.29[4]

28

29
Contoh :
Dari HASIL TES 20 SISWA
Skor 45 = 2 orang
Skor 40 = 3 orang
Skor 35 = 7 orang
Skor 30 = 6 orang
Skor 20 = 2 orang

Nilai ( x ) Frekuensi x.f f.


(f)
45 2 90 11,25 126,562 253,124

40 3 120 6,25 39,062 117,186

35 7 245 1,25 1,562 10,934

30 6 180 -3,75 14,062 84,372

20 2 40 -13,75 189,062 378,124


Jumlah N= 20 6 843,74

75

Mean = = = 33,75

SD= = = = 6,495
Nila Skor Minimal
i
10 M + ( 2,25 x SD )= 33,75 + ( 2,25 x 1,086 ) = 36,195
9 M + ( 1,75 x SD = 33,75 + ( 1,75 x 1,086 ) = 35,650
8 M + ( 1,25 x SD ) = 33,75 + ( 1,25 x 1,086 ) = 35,107
7 M + (0,75 x SD ) = 33,75 + ( 0,75 x 1,086 ) = 34,564
6 M + ( 0,25 x SD ) = 33,75 + ( 0,25 x 1,086 ) = 34,021
5 M - ( 0,25 x SD ) = 33,75 - (0,25 x 1,086) = 33,478
4 M - ( 0,75 x SD ) = 33,75 - (0,75 x 1,086 ) = 32,935
3 M - ( 1,25 x SD ) = 33,75 - (1,25 x 1,086 ) = 32,392
2 M - ( 1,75 x SD ) = 33,75 - (1,75 x 1,086 ) = 31,849
1 M - ( 2,25 x SD ) = 33,75 - (2,25 x 1,086 ) = 31,306

2. Penilaian Acuan Patokan (PAP)


PAP adalah membandingkan skor yang diperoleh peserta didik dengan suatu standar
atau norma absolut.30[5] PAP pada umumnya digunakan untuk menafsirkan hasil tes
formatif. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada apa yang dapat dilakukan oleh
peserta didik. Dengan kata lain, kemampuan-kemampuan apa yang telah dicapai oleh
peserta didik sesudah menyelesaikan satu bagian kecil dari suatu keseluruhan program.
Jadi, PAP meneliti apa yang dapat dikerjakan oleh peserta didik dan bukan
membandingkan seorang peserta didik dengan teman sekelasnya, melainkan dengan suatu
kriteria atau patokan yang spesifik. Kriteria yang dimaksud adalah suatu tingkat
pengalaman belajar atau sejumlah kompetensi dasar yang telah ditetapkan terlebih dahulu
sebelum kegiatan belajar berlangsung. Misalnya, kriteria yang digunakan 75% atau 80%.
Bagi peserta didik yang kemampuannya dibawah kriteria yang telah ditetapkan
dinyatakan tidak berhasil dan harus mendapatkan remedial.
Tujuan PAP adalah untuk mengukur secara pasti tujuan atau kompetensi yang
ditetapkan sebagai kriteria keberhasilannya. PAP sangat bermanfaat dalam upaya
meningkatkan kualitas hasil belajar sebab peserta didik diusahakan untuk mencapai
standar yang telah ditentukan, dan hasil belajar peserta didik dapat diketahui derajat
pencapaiannya. Untuk menentukan batas lulus (passing grade) dengan pendekatan ini,

30
setiap skor peserta didik dibandingkan dengan skor ideal yang mungkin dicapai oleh
peserta didik.31[6]
Contoh :
Seorang guru merencanakan tes hasil belajar dalam bidang studi Fiqh. Soal-soal yang
dikeluarkan dalam tes tersebut terdiri atas 75 butir soal tes obyektif dan 1 butir soal
tes uraian dengan rincian sbb :
Nomor Bentuk Tes/Model Soal Jumlah Bobot Jawaban Skor
Butir Soal Butir Betul
Soal
01-10 Tes Obyektif bentuk True-False 10 1 10
11-20 Tes Obyektif bentuk Matching 10 1 10
21-30 Tes Obyektif bentuk Completion 10 1 10
31-40 Tes Obyektif bentuk MCI model 10 1 10
melengkapi lima pilihan
41-50 Tes Obyektif bentuk MCI model 10 1 15
melengkapi berganda
51-60 Tes Obyektif bentuk MCI model 10 1 15
asosiasi dengan lima pilihan
61-70 Tes Obyektif bentuk MCI model 10 2 20
analisis hubungan antarhal
71-75 Tes Obyektif bentuk MCI model 5 4 20
analisis kasus
76 Tes Uraian 1 10 10
Skor Maksimum Ideal 120

Berdasarkan rincian butir-butir soal diatas tersebut dapat diketahui bahwa Skor
Maksimum Ideal (SMI) dari tes hasil belajar tersebut adalah = 120. Kemudian Skor-
skor mentah hasil THB bidang studi Fiqh yang dicapai oleh 20 orang siswa setelah
diubah (dikonversi) menjadi nilai standar dengan menggunakan standar mutlak
(penilaian beracuan kriterium).
Dengan menggunakan Rumus : Nilai = Skor Mentah/Skor Maksimum Ideal X 100
No. Skor Mentah Nilai
1. 60 60/120 X 100 = 50
2. 40 40/120 X 100 = 33
31
3. 80 80/120 X 100 = 67
4. 30 30/120 X 100 = 25
5. 75 75/120 X = 62
6. 52 52/120 X 100 = 43
7. 59 59/120 X 100 = 49
8. 71 71/120 X 100 = 59
9. 41 41/120 X 100 = 34
10. 58 58/120 X 100 = 48
11. 61 61/120 X 100 = 51
12. 56 56/120 X 100 = 47
13. 53 53/120 X 100 = 44
14. 63 63/120 X 100 = 52
15. 85 785/120 X 100 = 71
16. 54 54/120 X 100 = 45
17. 60 60/120 X 100 = 50
18. 49 49/120 X 100 = 41
19. 55 55/120 X 100 = 46
20. 43 43/120 X 100 = 36

Dari nilai-nilai yang telah diperoleh, maka jika diterjemahkan menjadi nilai huruf
dengan patokan adalah :
Rentang Skor Nilai
Nilai 80% s.d. 100% = A
Nilai 70% s.d. 79% = B
Nilai 60% s.d. 69% = C
Nilai 45% s.d. 59% = D
Nilai <44% E / Tidak lulus
Maka dari 20 orang siswa yang mengikuti tes hasil belajar tersebut tidak ada seorang pun
yang mendapat nilai A, yang mendapat nilai B hanya 1 orang (%), Nilai C dicapai
oleh 2 orang siswa (2,5 %), Nilai D ada 5 orang siswa (%) dan siswa yang tidak lulus
pada tes bidang studi Fiqh ini ada 7 orang siswa (%)

skor menjadi nilai


PENGOLAHAN DAN PENGUBAHAN SKOR MENJADI NILAI

Perbedaan antara Skor dan Nilai

Skor adalah hasil pekerjaan menyekor atau memberikan angka yang diperoleh
dengan jalan menjumlahkan angka-angka setiap butir item oleh testee telah dijawab dengan
betul,dengan memperhitungkan bobot jawaban betulnya. Contoh : misalakan tes hasil belajar
bidang studi bahasa Inggris menyajikan lima butir soal tes uraian dimana untik setiap butir soal
yang dijawab dengan betul diberikan bobot 10. Siswa bernama Fatimah, untuk kelima butir soal
tes uraian tersebut memberikan jawaban sebagai berikut :

Untuk butir soal nomor 1 dapat dijawab dengan sempurna, sehingga kepadanya diberikan skor
10
Untuk butir soal nomor 2 hanya dijawab betul separuhnya, sehingga skor yang diberikan kepada
siswa tersebut adalah 5
Untuk butir soal nomor 3, hanya sekitar seperempat bagian saja yang dapat dijawab dengan
betul sehingga diberikan skor 2,5
Untuk butir soal nomor 4 dijawab betul sekitar separuhnya, sehingga diberikan skor 5
Untuk butir soal nomor 5 dijawab betul sekitar tiga perempatnya, sehingga diberikan skor 7,5

Dengan demikian untuk kelima butir soal tes uraian tersebut siswa bernama Fatimah
tersebut mendapatkan skor sebesar = 10 +5 + 2,5 + 5 + 7,5 = 30. Angka 30 disini belum dapat
disebut nilai, sebab angka 30 itu masih merupakan skor mentah (raw score), yang untuk dapat
disebut nilai masih memerlukan pengolahan atau pengubahan. Yang dimaksud dengan nilai
adalah angka (bisa juga huruf ) yang merupakan hasil ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu
dengan skor-skor lainnya, serta disesuaikan pengaturannya dengan standar tertentu. Itulah
sebabnya mengapa nilai sering disebut skor standar.

Nilai pada dasarnya adalah angka atau huruf yang melambangkan seberapa jauh atau
seberapa besar kemampuan yang telah ditunjukkan oleh testee terhadap materi atau bahan yang
diteskan, sesuai dengan tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai pada dasarnya
juga melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas jawaban betul
yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya, makin banyak jumlah butir soal dapat
dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee akan semakin
tinggi. Sebaliknya, jika jumlah butir item yang dapat dijawab dengan betul itu hanya sedikit,
maka penghargaan yang diberikan kepada testee juga kecil atau rendah.

Jadi, untuk sampai menjadi nilai maka skor-skor hasil tes yang pada hasil tes yang pada
hakikatnya masih merupakan skor-skor mentah itu perlu diolah terlebih dahulu sehingga dapat
dikonversi menjadi skor yang sifatnya baku atau standar ( standar score).

Pengolahan dan Pengubahan Skor Menjadi Nilai

Ada 2 hal penting yang perlu dipahami terlebih dahulu dalam pengolahan dan
pengubahan skor mentah menjadi skor standar atau nilai, yaitu:

1. Bahwa dalam pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu ada dua cara yang
dapat ditempuh yaitu :
a. Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dengan mengacu atau berdasarkan pada
kriterium (patokan). Cara pertama ini sering dikenal dengan istilah criterion referenced yang
dalam dunia pendidikan di Indonesia sering dikenal dengan istilah penilaian ber-Acuan patokan (
PAP).
b. Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan mengacu pada norma
atau kelompok. Cara kedua ini sering dikenal dengan istilah norm referenced evaluation, yang
dalam dunia pendidikan sering dikenal dengan istilah Penilaian ber-Acuan Norma (PAN), atau
penilaian ber-Acuan Kelompok (PAK).
2. Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan berbagai
macam skala, seperti skala lima (stanfive), yaitu nilaistandar berskala lima atau yang sering
dikenal dengan istilah nilai huruf A,B, C,D, dan F,skala sembilan (stanine), yaitu nilai standar
berskala sembilan diman rentangan nilainya mulai dari 1 sampai dengan 9 ( tidak ada nilai nol
dan tidak ada nilai 10), skala sebelas (stanel=standard eleven=eleven points scale, yaitu
rentangan nilai mulai dari 0 sampai dengan 10), z score ( nilai standar z) dan T score ( nilai
standar T).
Dalam dunia pendidikan di Indonesia ,nilai standar yang dipergunakan pada lembaga pendidikan
tingkat dasar dan tingkat menengah adalah nilai standar berskala sebelas (stanel), sedangkan
pada lembaga pendidikan tinggi pada umumnya digunakan nilai standar berskala lima (stanfive)
atau nilai huruf.
A. PENGOLAHAN DAN PENGUBAHAN SKOR MENTAH HASIL TES HASIL
BELAJAR MENJADI NILAI STANDAR DENGAN MENGACU PADA
KRITERIUM

Pertama-tama harus dipahami bahwa penilaian beracuan kriterium ini berdasar pada asumsi,
bahwa :

1. Hal-hal yang harus dipelajari oleh testee (murid,siswa,mahasiswa) adalah mempunyai struktur
hirarkis tertentu dan bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum testee tadi
maju atau sampai pada taraf selanjutnya.
2. Evaluator atau tester (dalam hal ini guru, dosen dan lain-lain) dapat mengidentifikasi masing-
masing taraf itu sampai tuntas atau setidak-tidaknya mendekati tuntas sehingga dapat disusun
alat pengukurnya.

Apabila dalam penentuan nilai tes hasil belajar itu digunakan acuan kriterium (menggunakan
PAP), maka hal ini mengandung arti bahwa nilai yang akan diberikan kepada testee itu harus
didasarkan pada standar mutlak, artinya, pemberian nilai kepada testee itu dilaksanakan dengan
jalan membandingkan antara skor mentah hasil tes yang dimiliki oleh masing-masing individu
testee, dengan skor maksimum ideal (SMI) yang mungkin dapat dicapai oleh testee kalu saja
seluruh soal tes dapat dijawab dengan betul.

Karena itu maka pada penentuan nilai yang mengacu kepada kriterium atau patoakn ini,
tinggi rendahnya atau besar kecilnya nilai yang diberikan kepada masing-masing individu testee,
mutlak ditentukan oleh besar kecil atau tinggi rendahnya skor yang dapat dicapai oleh masing-
masing testee yang bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa penentuan nilai dengan mengacu
pada kriterium sering disebut sebagai penentuan nila secara individual.

Disamping itu, karena penentuan nilai seorang testee dilakukan dengan jalan
membandingkan skor mentah hasil belajar dengan skor maksimum idealnya, maka penentuan
nilai yang beracuan pada kriterium ini juga sering dikenal dengan istilah penentuan nilai secara
teoritik, atau penentuan nilai secara das sollen. Dengan istilah teoritik dimaksudkan disini adalah
bahwa secara teoritik seorang siswa berhasil mendapatkan nilai 100 misalnya apabila
keseluruhan butir soal tes dapat dijawab dengan betul oleh siswa tersebut. Dengan demikian,
dalam penentuan nilai yang beracuan pada kriterium, sebelum tes hasil belajar dilaksanakan,
patokan itu sudah dapat disusun (tanpa menunggu selesainya pelaksanaan tes).

Maka rumus yang dipakai adalah:

Nilai= ( skor mentah / skor maksimum ideal ) x 100 %

Sehingga dengan menggunakan standar mutlak ini maka nasib seorang siswa mutlak ditentukan
oleh dirinya sendiri secara individual, tanpa melibatkan atau mempertimbangkan sam sekali
skor-skor yang dicapai oleh siswa lainnya. Tinggi rendahnya nilai yang dicapai oleh masing-
masing individu siswa mutlak ditentukan oleh standar yang sudah ditentukan.

Nilai yang berwujud angka yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak ini
sebenarnya adalah merupakan angka persentase mengenai tingkat kedalaman atau penguasaan
testee terhadapa materi tes yang dihadapkan kepada mereka. Dalam pernyataan ini terkandung
makna bahwa nilai yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak itu menunjukkan berapa
persen dari 100 % tujuan instruksioanal khusus yang telah ditentukan telah dapat dicapai atau
dipahami oleh testee.

Penialian beracuan patokan (PAP) ini sangat baik diterapkan pada tes-tes formatif,
dimana tester (guru,dosen, dan lain-lain) ingin mengetahui sudah sampai sejauh manakah peserta
didiknya sudah terbentuk setelah mereka mengikuti program pengajaran dalam jangka waktu
tertentu . dengan menggunakan criterion referenced evaluation dimana guru atau dosen dapat
mengetahui berapa orang siswa atau mahasiswa yang tingkat penguasaannya tinggi, cukup,
rendah, maka guru atau dosen tersebut dapat melakukan upaya-upaya yang dipandang perlu agar
tujuan pengajaran dapat tercapai dengan optimal.

Namun criterion referenced evaluation ini seyogyanya jangan digunakan dalam


pengolahan dan penentuan nilai hasil tes sumatif seperti pada ulangan umum dalam rangka
mengisi nilai raport atau pada ujian akhir dalam rangka mengisi nilai ijazah atau STTB, sebab
criterion referenced evaluation ini dalam penerapannya sama sekali tidak mempertimbangkan
kemampuan kelompok (rata-rata kelas) sehingga dikatakan kurang manusiawi maka dengan
menerapkan acuan kriterium ini dalam tes sumatif bisa terjadi bahwa sebagian besar siswa atau
mahasiswa tidak dapat dinyatakan lulus atau tidak dapat dinyatakan naik kelas

Kelemahan lain dari penentuan nilai beracuan kriterium ini adalah, bahwa apabaila butir-
butir soal yang dikeluarkan dalam tes hasil belajar terlalu sukar, maka dalam tes tersebut, testee
betapapun pandainya akan memperoleh nilai-nilai yang rendah. Sebaliknya apabila butir-butir
soal yang dikeluarkandalam tes hasil belajar itu terlalu mudah , maka testee betapapun bodohnya
akan berhasil meraih nilai-nilai yang tinggi, sehingga gambaran yang sebenarnya teentang
tingkat kemampuan atau penguasaan testee terhadap materi tes tidak dapat diperoleh sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya. Dalam hubungan ini maka penilaian beracuan kriterium ini
sebaiknya diterapkan pada tes hasil belajar dimana tes tersebut sudah bersifat standar( setidak-
tidaknya mendekati standar), dalam arti bahwa tes tersebut sudah mengalami uji coba secara
berulang kali dan telah memberikan bukti yang nyata bahwa tes tersebut sudah memiliki sifat
handal baik yang dilihat dari segi derajat kesulitanitemnya, daya pembeda itemnya, fungsi
distraktornya, validitasnya maupun reliabilitasnya.

B. PENGOLAHAN DAN PENGUBAHAN SKOR MENTAH HASIL TES HASIL


BELAJAR MENJADI NILAI STANDAR DENGAN MENGACU PADA NORMA
ATAU KELOMPOK

Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai standar dengan mendasarkan pada norma
atau kelompok sering di kenal dengan istilah PAN( Penilaian beracuan norma )atau PAK
(Penilaian Beracuan Kelompok)

Penilaian beracuan kelompok ini berdasarkan pada asumsi sebagai berikut :

Bahwa pada setiap populasi peserta didik yang sifatnya heterogen ( berbeda jenis kelamin, latar
belakang, lingkungan social , I.Q.nya, dan sebagainya) , akan selalu didapati kelompok
baik,kelompok sedang dan kelompok kurang yang distribusinya membentuk kurva normal

Asumsi ini mengandung makna bahwa pada setiap kegiatan pengukuran dan penilaian hasil
belajar peserta didik , sebagian besar dari peserta didik tersebut nilai-nilai hasil belajarnya
terkonsentrasi atau memusat di sekitar nilai pertengahan ( nilai rata-rata) dan, hanya sebagian
kecil saja yang nilainya sangat tinggi atau sangat rendah

Penilaian beracuan norma ini sering dikenal dengan istilah penentuan nilai secara relative ,
dikatakan demikian ,sebab dalam penentuan nilai hasil tes , skor mentah hasil tes yang dicapai
oleh seorang peserta tes diperbandingkan dengan skor mentah hasil tes dicapai oleh peserta tes
yang lain ,sehingga kualitas yang dimiliki oleh peserta tes akan sangat tergantung kepada atau
sangat di tentukan oleh kualitas kelompoknya,kedudukan testee sebenarnya dalam penentuan
norma bersifat relative.

Istilah lain untuk penentuan nilai beracuan kelompok adalah:

Penentuan nilai secara actual


Dikatakan demikian sebab penentuan nilai itu di dasarkan kepada distribusi skor yang secara
actual ( kenyataan) di capai oleh testee dalam suatu hasil belajar,yang di jadikan patokan dalam
penentuan nilai adalah prestasi kelompok atau prestasiyang dicapai kelompok secara totalitas dan
bukan prestasi individual
Penentuan secara empiric
Dikatakan penentuan nilai secara empiric karena dilakukan dengan memperhatikan, atau
mempertimbangkan hasi tes secara empiric yaitu skor skor hasil tes sebagaimana yang dapat di
lihat ,diamati,atau di saksikan dalam praktek di lapangan,setelah tes berakhir , dan tidak
mendasarkan diri pada patokan-patokan yang bersifat teoritik

Penentuan nilai dengan menggunakan standar relative ini sangat cocok untuk di terapkan pada
tes-tes sumatif( UAN,UAS,atau setara dengan itu),sebab dipandang lebih adil, manusiawi,dan
wajar.

Apabila dalam penentuan standar digunakan standar relatif , maka prestasi kelompok itu dicari
dengan menggunakan metode statistik , dimana prestasi kelompok atau nilai rata-rata kelas itu
identik dengan rata-rata hitung ,yang dapat diperoleh dengan menggunakan salah satu rumus di
bawah ini:

1. Mx = ;atau
2. Mx = ; atau

3. Mx = M+ i

Selain itu untuk menentukan tingkat homogenitas atau heterogenitas dapat di tentukan dengan
standar deviasi dengan menggunakan rumus berikut:

1. SDx = atau

2. SDx = atau

3. SDx = atau

4. SDx =i

Setelah diperoleh besarnya nilai rata-rata hitun dan standar deviasi, skor-skor hasil dari tes
yang bersangkutan di konversi atau diubah menjadi nilai standar

Dalam evaluasi hasil belajar dikenal berbagai jenis nilai standar , seperti :

1. Nilai standar berskala lima ,yang sering dikenal dengan istilah nilai huruf , yaitu nilai, A ,B ,C ,D
,dan E
2. Nilai standar berskala sembilan ,yaitu rentangan atau skala nilai yang bergerak mulai dari 1
sampai 9
3. Nilai standar berskala sebelas, yaitu skala nilai yang bergerak mulai dari 0 sampai dengan 10
4. Nilai standat z
5. Nilai standar T

1. Pengubahan Skor Mentah Hasil Tes Menjadi Nilai Standar Berskala Lima (Stanfive)

Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala lima atau nilai huruf
,menggunakan patokan sebagai berikut :
Mean + 1,5 SD = A

Mean + 0,5SD = B

Mean 0.5 SD = C

Mean 1,5 SD = E

Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam mengubah skor mentah hasil ujian adalh sebagai
berikut:

Langkah Pertama
Mengatur ,menyusun dan menyajikan skor-skor mentah hasil ujian tersebut dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi
Contoh: Skor tertinggi ( highest score = H) =72

Skor terendah ( lowest score = L)= 15

Maka R= ( H - L ) + 1

= (72 15) + 1= 58

= 10 20

i = interval kelas

Dengan didapat interval kelas 5 selanjutnya di susun kedalam tabel distribusi frekuensi

Langkah Kedua
Mencari nilai rata-rata hitung ( arithmetic mean ) yang melambangkan prestasi dan deviasi
standar yang mencerminkan variasi dari skor-skor mentah hasil ujian
Langkah Ketiga
Mengubah skor mentah menjadi skala lima, dengan menggunakan patokan seperti diatas
Langkah Keempat
Buat tabel konversi
Langkah kelima
Mengkonversi skor-skor mentah yang di miliki oleh masing-masing individu mahasiswa menjadi
standar berskala lima ( nilai huruf A ,B,C,D, dan E)

2.Pengubahan Skor Mentah Hasil Tes Menjadi Nilai Standar Berskala Sembilan ( Stannine)
M-0,75SD=3-4

M1,25SD=2-
3M1,75SD=
1-2

M+1,75SD=8-9

M+1,25SD=7-8

M+0,75SD=6-7

M+0,25SD=5-6

M0,25SD=4-5

Jika skor-skor mentah hasil tes itu akan diubah menjadi nilai standar berskala sembilan , maka
patokan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Nilai standar berskala sembilan adalah nilai standar yang meniadakan nilai 0 dan 10 . nilai
standar tersebut tidak bisa di pakai di gunakan di Indonesia

3.Pengubahan Skor Mentah Hasil Tes Menjadi Nilai Standar Yang Berskala Sebelas (
Standar Eleven)
Nilai standar berskala sebelas adalah

rentangan nilai standar mulai dari 0 sampai 10, nilai berskala sebelas ini biasanya digunakan
pada lembaga pendidikan tingktat dasar dan tingkat menengah , pengubahan skor mentah
menjadi standar itu menggunakan patokan sebagai berikut :

4.Pengubah Skor Mentah Hasil Tes Menjadi Nilai Standar Z ( Z Score )

Nilai standar z atau z score umumnya dipergunakan untuk mengubah sko-skor mentah yang
diperoleh dari berbagai jenis pengukuran yang berbeda-beda. Untuk pengubahan score mentah
jadi score z, diperlukan adanya nilai bersifat baku ( standar ),di mana dengan nilai standar kita
dapat mengetahui kedudukan relatif ( standar position ) untuk peserta testee, dengan cara
menggunakan rumus berikut :

Dimana :

z = z score

x = Deviasi skor x, selisih antara skor x dengan Mx

SDx= Deviasi standar dari skor-skor


Dengan menggunakan nilai standar z ini maka testee yang dipandang memiliki kemampuan lebih
tinggi adalah testee yang skornya bertanda positif (+). Adapun testee yang skornya bertanda
negatif () dipandang sebagai testee yang kemampuanya lebih lemah jika dibandingkan dengan
testee lainya.

Untuk mengkonversi skor mentah menjadi nilai standar z, langkah-langkah yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut:

Menjumlahkan skor-skor variable X1,X2,X3,X4,X5 sehingga diperoleh:

Mencari rata-rata hitung ( mean ) dari variable X 1,X2,X3,X4,X5 dengan menggunakan rumus:

Mencari ( menghitung ) deviasi X1,X2,X3,X4,X5 dengan rumus: = =

= = =

Mengkuadratkan deviasi X1,X2,X3,X4,X5 kemudian di jumlahkan, sehingga diperoleh :

Hitung deviasi standar untuk kelima variable tersebut diatas, dengan menggunakan rumus berikut

:
Hitung z score, dengan rumus : setelah selesai

lalu dijumlahkan, sehingga diperoleh

Z score yang dimiliki oleh masing-masing testee kita jumlahkan ( dari kiri ke kanan ), dan dari
sini akan dapat kita ketahui testee yang memiliki total z score yang bertanda positif (+) dan testee
yang memiliki total z score yang bertanda negative ()

5.Pengubahan Skor Mentah Hasil Tes Menjadi Nilai Standar T(T Score )

Dimaksud dengan T score adalah angka skala yang menggunakan mean sabesar 50 (M=50) dan
standar deviasi sebesar 10 ( SD=10 ). T skor dapat di peroleh dengan jalan memperkalikan z
score dengan angka 10 kemudian ditambah dengan 50.T score dicari dengan maksud untuk
meniadakan tanda minus yang terdapat di depan nilai standar z

C. MEMBANDINGKAN PENILAIN ACUAN KRITERIUM DENGAN PENILAAN


ACUAN NORMA.

1. Penilain Acuan kriterium


Penilain acuan kriterium didasarkan kepada standar mutlak.
Artinya pemberian nilai kepada testee dilakukan dengan cara membandingkan antara skor
mentah hasil test yang dimiliki oleh masing-masing individu tanpa melibatkan atau
mempertimbangkan sama sekali skor-skor yang dicapai oleh siswa lainnya.
Penentuan nilai yang beracuan kepada priperium dikenal dengan istilah nilai secara ideal atau
penentuan nilai secara teoritik atau penentuan niaii secara bas sollen.
Istilah teoritik maksutnya bahwa secara teoritik siswa berhak atas nilai 100 jika betual semua dan
hanya mendapatkan nilai 50% jika betul setengah.
Penilaian acua priperium sangat baik atau sangat cocok diterapkan pada test-test formatis,
dimana tester ingin mengetahui sudah sampai sejauh mana peserta didiknya setelah mereka
mengikuti pelajaran dalam jangka waktu tertentu.
Penilai bercaun priperium yang menggunkan standar mutlak sebaiknya diterapkan pada hasil
belajar yag sudah bersifat standar, artinya tes hasil belajar itu sudah mengalami uji coba secara
berulang kali dan telah memberikan bukti yang nyata bahwa test tersebut memiliki sifat handal.
Penilaian beracuan priperium jangan digunakan dalam pengolahan dan penetuan nilai hasil test
sumatif seperti ulangan umum dalam rangka mengisi nilai rapor karna penerapan peniaan ini
tidak mempertimbangkan kemampuan kelompok (kurang manusiawi)
Nilai standar ditentukan dengan rumus

2. Penilaian Acuan Norma


Penilaian acuan norma berdasarkan kepada standar relatif
Sebab dalam penentuan nilai hasil test, skor mentah hasil test yang dicapai oleh seorang peserta
test diperbandingkan dengan skor metah hasil test yang dicapai peserta lain.
Peniaian acuan norma diistilahkan dengan penentuan nilai secara empiris, penentuan nilai secara
aktual atau penentuan nilai secara bas sein.
Dikatakan penentuan nilai secara aktual sebab didasarkan pada distribusi skor yang secara aktual
yang dicapai oleh testee dalam suatu test belajar. Dikatakan penentuan nilai secara empiris
karena penentuan nilai dilakukan dengan menperhatian hasil-hasil test secara empiris yaitu skor
hasil test berdasarkan pengamatan praktek dilapangan.
Penetuan nilai berdasarkan standar relatif sangat cocok diterapkan pada tes-tes somatif sebab
dipandang lebih adil, wajar dan manusiawi.
Nilai standar dapat ditentukan dengan lima cara yaitu : nilai standar berskla 5, nilai standar
berskala 9, nilai standar berskala 11, niali standar z dan nilai standar p.

BAB I. PENULISAN / PEMBUATAN

Kegiatan mengukur atau melakukan pengukuran adalah merupakan kegiatan yang paling
umum dilakukan dan merupakan tindakan yang mengawali kegiatan evaluasi dalam penilaian
hasil belajar. Kegiatan mengukur itu pada umumnya tertuang dalam bentuk tes dengan
berbagai variasinya.

Teknik tes bukan satu-satunya teknik untuk melakukan evaluasi hasil belajar, sebab masih ada
teknik lainnya yang dapat dipergunakan, yaitu teknik non-tes. Dengan teknik non-tes maka
penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan dengan tanpa menguji peserta
didik, melainkan dengan berbagai cara, seperti:

1. Skala
2. Angket

3. Wawancara

4. Observasi

5. Dll.

1. SKALA

Pengertian

Skala adalah alat untuk mengukur nilai, sikap, minat, perhatian, yang disusun dalam bentuk
pernyataan untuk dinilai oleh responden dan hasilnya dalam bentuk rentangan nilai sesuai
dengan kriteria yang ditentukan.

Jenis-jenis Skala

Skala penilaian

Skala penilaian mengukur penampilan atau perilaku orang lain oleh seseorang melalui
pernyataan perilaku individu pada suatu kategori yang bermakna nilai. Titik atau kategori diberi
nilai rentangan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah. Rentangan bisa dalam bentuk
huruf, angka, kategori seperti; tinggi, sedang, baik, kurang, dsb.

Contoh:

Skala Penilaian

Penampilan Guru Mengajar

Nama guru: Bidang studi yang diajarkan:

Skalanilai
No Pernyataan
A B C D
1.2. PenguasaanbahanpelajaranHubungandengan
3. siswaBahasayangdigunakan

4. Pemakaian metode dan alat bantu mengajar

5. Jawaban terhadap pertanyaan siswa

Keterangan

A: baik sekali C: cukup

B: Baik D: kurang

Hal yang penting diperhatikan dalam skala penilaian adalah kriteria skala nilai, yakni penjelasan
operasional untuk setiap alternatif jawaban. Adanya kriteria yang jelas untuk setiap alternatif
jawaban akan mempermudah pemberian penilaian dan terhindar dari subjektivitas penilai. Tugas
penilai hanya memberi tanda cek (V) dalam kolom rentangan nilai. Penyusunan skala penilaian
hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Tentukantujuanyangakandicapaidariskalapenilaianinisehinggajelasapa
yangseharusnyadinilai.

2. Berdasarkantujuantersebut,tentukanaspekatauvariabelyangakan
diungkapmelaluiinstrumenini.

3. Tetapkanbentukrentangannilaiyangakandigunakan,misalnyanilaiangka
ataukategori.

4. Buatlahitem-itempernyataanyangakandinilaidalamkalimatyangsingkat
tetapibermaknasecaralogisdansistematis.

5. Adabaiknyamenetapkanpedomanmengolahdanmenafsirkanhasilyang
diperolehdaripenilaianini.
Skala yang penilaiannya tidak dibuat dalam bentuk rentangan nilai tetapi hanya mendiskripsikan
apa adanya, disebut daftar checklist.

Skala sikap

Skala sikap digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa
kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya
adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga dapat diartikan reaksi seseorang
terhadap suatu stimulus yang datang pada dirinya.

Skala sikap dinyatakan dalam bentuk pernyataan untuk dinilai oleh responden, apakah
pernyataan itu didukung atau ditolak, melalui rentangan nilai tertentu. Oleh sebab itu, pernyataan
yang diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan pernyataan negatif.
Pernyataan sikap, di samping kategori positif dan negatif, harus pula mencerminkan dimensi
sikap, yakni kognisi, afeksi, dan konasi.

Bentuk Skala Sikap

Bentuk skala yang dapat di pergunakan dalam pengukuran bidang pendidikan yaitu:[1]

1.Skala Likert

Skala likert ialah skala yang dapat di pergunakan untuk mengukur sikap,pendapat,dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang suatu gejala atau fenomena pendidikan. Skala ini
memuat item yang diperkirakan sama dalam sikap atau beban nilainya, subjek merespon dengan
berbagai tingkat intensitas berdasarkan rentang skala antara dua sudut yang berlawanan,
misalnya:

Setuju tidak setuju

Suka tak suka

Menerima menolak
Model skala ini banyak digunakan dalam kegiatan penelitian, karena lebih mudah
mengembangkannya dan interval skalanya sama.

Contoh:

Semua peserta latihan dapat menyusun program studinya sendiri.

Alternatif jawaban :

Sangat setuju ( SS ), Setuju ( S ), Ragu-Ragu ( RR ), Sangat Tidak Setuju ( STS )

2. Skala Guttman

Skala guttman yaitu skala yang mengiginkan tipe jawan tegas, seperti jawaban benar salah,ya
tidak, pernah tidak pernah,positif- negatif, tinggi rendah, baik buruk, dan seterusnya.pada
skala Guttman ada dua interval yaitu setuju dan tidak setuju.selain dapat dibuat dalam bentuk
pertanyaan pilihan ganda, skala Guttman dapat juga dibuat dalam bentuk daftar checklist.

3. Semantik Differensial

Skala differensial yaitu skala untuk mengukur sikap,tetapi bentuknya bukan pilihan ganda atau
checklis, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum dimana jawaban yang sangat positif terletak
dibagian kanan garis,dan jawaban negatif disebelah kiri garis, atau sebaliknya.

Data yang diperoleh melalui pengukuran dengan skala mantik differensial adalah data interval.
Skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang.
Sebagai contoh penggunaan skala semantik differensial ialah menilai gaya kepemimpinan kepala
sekolah.

4. Rating Scale

Data data skala yang diperoleh melaui tiga macam skala diatas adalah data kualitatif yang
kemudian dikuantitatifkan. Berbeda dengan rating scale,data yang diperoleh adalh data
kuanitatif(angka) yakng kemudian ditafsirkan dalm pengertian kualitatif. Skala ini lebih
fleksibel, tidak saja untuk mengukur sikap tetapi juga digunakan untuk mengukur persepsi
responden terhadap fenomena lingkungan, seperti skala untuk mengukur status sosial ekonomi,
pengetahuan,kemampuan,dan lain-lain.

5. Skala Thurstone

Skala thurstone ialah skala yang disusun dengan memilih butir yang berbentuk skala interval.
Setiap butir memiliki kunci skor dan jika diurut, kunci skor menghasilkan nilai yang berjarak
sama. Skala thurstone dibuat dalam bentuk sejumlah (40-50) pertanyaan yang relevan dengan
variabel yang hendak diukurkemudian sejumlah ahli (20-40) orang yang menilai relevansi
pertanyaan itu dengan konten atau konstruk variabel yang hendak diukur. Nilai 1 pada skala
diatas menyatakan sangat tidak relevan, sedangkan nilai 11 menyatakan sangat relevan.

Prosedur Penyusunan Skala Sikap

Langkah-langkah penyusunan skala pada umumnya adalah:[2]

1. Tentukanobjekyangdituju,kemudiantetapkanvariabelyangakandiukur
denganskalatersebut

2. Lakukananalisisvariabeltersebutmenjadibeberapasubvariabelatau
dimensivariabel,lalukembangkanindikatorsetiapdimensitersebut

3. Darisetiapindikator,tentukanruanglingkuppernyataansikapyang
berkenaandenganaspekkognisi,afeksi,dankonasiterhadapobjeksikap.

4. Susunlahpernyataanuntukmasing-masingaspektersebutdalamdua
kategoriyaknipernyataanpositifdanpernyataannegatif,secaraseimbang
banyaknya.

Prosedur Penyusunan Item Utuk Skala Sikap

Pada garis besarnya penysunan item untuk skala, perlu ditempuh langkah langkah sebagai
berikut:[3]

1. Tentukanobyekataugejalaapa
2. Rumuskanperilakuapayangmengacusikapapaterhadapobyekataugejala
tersebut

3. Rumuskankarakteristikdariperilakusikaptersebut

4. Rincilahlebihlanjuttiapkarekteristikmenjdisejumlahatributyanglebih
speifik.

5. Tentukanindicatorpenilaianterhadapsetiapatributtersebut

6. Sususnlahperangkatitemsesuaidenganindicatoryangtelahdirumuskan

7. suatuskalaterdiridariantara20sampaidengan30item

8. Susunlahitemtersebut,yangterdiridariseparuhnyadalambentuk
pernyataanpositifdanseparuhnyadalmbentukpernyataannegative

9. Tentukanbanyakskala:limaatautujuhatausebelasalternative

10.tentukanbobotnilaibagitiapskalanya.Misalnya4,3,2,1.0untuklimanilai
skala,sebagaidasarperhitungankuantitatif.

Contoh:[4]

Misalnya menilai bagaimana sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika di sekolah.
Subvariabelnya adalah:

a) sikap terhadap tujuan dan isi mata pelajaran matematika

b) sikap terhadap cara mempelajari mata pelajaran matematika

c) sikap terhadap guru mata pelajaran matematika

d) dst

setiap subvariabel tersebut kemudian dijabarkan indikator-indikatornya:


1) paham dan yakin akan pentingnya tujuan dan isi matematika

2) kemauan untuk mempelajari materi matematika

3) kemauan untuk menerapkan atau menggunakan konsep matematika

4) dst.

SKALA SIKAP

Jenis kelamin : ..

Umur : .. tahun

Kelas/ semester : ..

Petunjuk:

Terhadap setiap pernyataan di bawah ini Anda diminta menilainya dengan cara memilih salah
satu di antara sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

Tidak Sangat
Sangat Tidak
Pernyataan Setuju punya tidak
setuju setuju
pendapat setuju

1. Sayatidakperlumemahami 5.
tujuanpelajaranmatematika

2. Pelajaranmatematikaharus
menarikminatsiswa

3. Konsep-konsepyangada
dalammatematikaterlalu
abstrak
4. Dst.

Tanda tangan responden

2. ANGKET

Angket juga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam rangka penilaian hasil belajar. Berbeda
dengan wawancara dimana penilaian (evaluator) berhadapan secara langsung dengan peserta
didik atau dengan pihak lainnya, maka dengan menggunakan angket, pengumpulan data sebagai
bahan penilaian hasil belajar jauh lebih praktis,menghemat waktu dan tenaga.

Petunjuk yang lebih teknis dalam membuat kuesioner adalah sebagai berikut:[5]

1. Mulaidenganpengantaryangisinyapermohonanmengisikuesionersambil
dijelaskanmaksuddantujuannya.

2. Jelaskanpetunjukataucaramengisinyasupayatidaksalah

3. Mulaidenganpertanyaanuntukmengungkapkanresponden

4. Isipertanyaansebaiknyadibuatbeberapakategoriataubagiansesuai
denganvariabelyangdiungkapkansehinggamudahmengolahnya.

5. Rumusanpertanyaandibuatsingkat,tetapijelassehinggatidak
membingungkandanmengakibatkansalahpenafsiran.

6. Hubunganantarapertanyaanyangsatudenganyanglainharusdijaga
sehinggatampaklogikanyadalamsaturangkaianyangsistematis.

7. Usahakankemungkinanagarjawaban,kalimat,ataurumusannyatidaklebih
panjangdaripertanyaan.

8. Kuesioneryangterlalubanyakatauterlalupanjangakanmelelahkandan
membosankanrespondensehinggapengisiannyatidakakanobjektiflagi.
9. Adabaiknyakuesionerdiakhiridengantandatangansipengisiuntuk
menjaminkeabsahanjawabannya.

Contoh 1 : Kuesioner Bentuk Pilihan Ganda untuk Mengungkap Hasil Belajar Ranah Afektif
(Kurikulum dan GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam Tahun 1994)[6]

1. Terhadapteman-temansekelassayayangrajiandankhusudalam
menjalankanibadahshalat,saya:

1. Merasatidakharusmenirumereka

2. Merasabelumpernahmemikirkanuntukshalatdenganrajindankhusu

3. Merasainginsepertimereka,tetap[iterasamasihsulit

4. Sedangberusahaagarrajindankhusu

5. Merasairihatidaninginsepertimereka.

Contoh 2 : Kuesioner Bentuk Skala Likert dalam Rangka Mengungkap Hasil Belajar Pendidikan
Agama Islam Ranah Afektif[7]

1. Membayarinfaqataushadaqahitumemangbaikuntukdikerjakan,akan
tetapisebenarnyabagiorangyangtelahmembayarkanzakatnyatidakperlu
lagiuntukmembayarinfaqataushadaqah.

Terhadap pertanyaan tersebut, saya:

1. Sangatsetuju

2. Setuju

3. Ragu-ragu

4. Tidaksetuju

5. Sangattidaksetuju
Kuesioner sebagai alat evaluasi juga sangat berguna untuk mengungkap latar belakang orang tua
peserta didik maupun peserta didik itu sendiri, dimana data yang berhasil diperoleh melalui
kuesioner itu pada suatu saat akan diperlukan, terutama apabila terjadi kasus-kasus tertentu yang
menyangkut diri peserta didik. Contoh dari kuesioner dimaksud diatas adalah sebagai berikut:[8]

I.ORANG TUA SISWA:

A. Ayah

1. nama lengkap ayah :

2. tempat dan tanggal lahir :

3. jenjang pendidikan : a. ( ) pendidikan dasar

b. ( ) pendidika menengah

c. ( ) pendidikan tinggi

4. jenis pekerjaan : a. ( ) petani

b. ( ) pedagang

c. ( ) pengusaha

d. ( ) pegawai negri sipil

e. ( ) Anggota ABRI

f. ( ) Tidak mempunyai pekerjaan tetap

B. Ibu

1. nama lengkap :

2. tempat dan tanggal lahir :


3. jenjang pendidikan :a. ( ) pendidika dasar

b. ( ) pendidikan menengah

c. ( ) pendidikan tinggi

4.jenis pekerjaan : a. ( ) petani

b. ( ) pedagang

c. ( ) Pegawai Negri Sipil

e. ( ) AnggotaABRI

f. ( ) Tidak bekerja

II. SISWA :

1. Nama lengkap :

2. tempat dan tanggal lahir :

3. jenis kelamin : a. ( ) Pria

b. ( ) Wanita

4. status anak dalam keluarga : a. ( ) Anak sulung

b. ( ) anak bungsu

c. ( ) anak ke

5. jumlah saudara kandung : ..orang

6.Tinggal bersama ayah ibu : a. ( ) ya

b. ( ) tidak
7.pernah dirawat dirumah sakit : a. ( ) belum pernah

Yang serius? b. ( ) pernah, karena menderita sakit..

.dan seterusnya

3. WAWANCARA

Pengertian

Secara umum yang dimaksud dengan wawancara adalah cara menghimpun bahan-bahan
keterangan yang dilaksanakan dengan melakukan tanya jawab lisan secara sepihak, berhadapan
muka, dan dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan. Ada dua jenis wawancara yang dapat
digunakan sebagai alat evaluasi, yaitu:

1. Wawancaraterpimpin(guided Interview)yangjugadikenaldenganistilah
wawancaraberstrukturatauwawancarasistematis

2. Wawancaratidakterpimpin(unguided Interview)yangseringdikenaldengan
wawancarasederhanaatauwawancaratidaksistematisataupunwawancara
bebas

Mempersiapkan Wawancara

Sebelum melaksanakan wawancara, perlu dirancang pedoman wawancara. Pedoman ini disusun
dengan langkah-langkah sebagai berikut:[9]

1. Tentukantujuanyangingindicapaidariwawancara.

2. Berdasarkantujuandiatastentukanaspek-aspekyangakandiungkapdari
wawancaratersebut.Aspek-aspektersebutdijadikandasardalammenyusun
materipertanyaanwawancara.

3. Tentukanbentukpertanyaanyangakandigunakan,yaknibentukberstruktur
ataubentukterbuka
4. Buatlahpertanyaanwawancarasesuaidengananalisisbutir(c)diatas,yakni
membuatpertanyaanyangberstrukturatauyangbebas

5. Adabaiknyaapabiladibuatpulapedomanmengolahdanmenafsirkanhasil
wawancara.

Contoh pedoman wawancara terbuka:

Tujuan : Memperoleh informasi mengenai cara belajar yang dilakukan oleh siswa
di rumahnya

Bentuk : Wawancara bebas

Responden : Siswa yang memperoleh prestasi belajar cukup tinggi.

Nama siswa :

Kelas / semester :

Jenis kelamin :

Pertanyaanguru Jawabansiswa Komentardankesimpulan


hasilwawancara

1. kapandanberapalama 7.
andabelajardirumah?

2. bagaimanacaraanda
mempersiapkandiriuntuk
belajarsecaraefektif?

3. kegiatanapayanganda
lakukanpadawaktu
mempelajaribahan
pelajaran?
4. seandainyaanda
mengalamikesulitandalam
mempelajarinya,usahaapa
yangandalakukanuntuk
mengatasikesulitan
tersebut?

5. bagaimanacarayanganda
lakukanuntukmengetahui
tingkatpenguasaanbelajar
yangtelahandacapai?

6. dst.

Tanggal, bulan, tahun

Pewawancara

4. PENGAMATAN

Pengertian

Pengamatan merupakan cara menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang dilakukan


dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena
yang sedang dijadikan sasaran pengamatan / observasi. Observasi sevagai alat evaluasi banyak
digunakan untuk menilai tingkah laku individu atau proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat
diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan.

Macam-Macam Observasi

Observasi dapat dilakukan secara:[10]

1. Partisipatif
Observer (dalam hal ini pendidik yang sedang melakukan kegiatan observasi) melibatkan diri di
tengah-tengah kegiatan observee (yang diamati)

1. Non-Partisipatif

Evaluator / observer berada di luar garis, seolah-olah sebagai penonton belaka.

1. Eksperimental

Observasi yang dilakukan dalam situasi buatan. Pada observasi eksperimental, peserta didik
dikenai perlakuan (treatment) atau suatu kondisi tertentu, maka diperlukan perencanaan dan
persiapan yang benar-benar matang.

1. Non-Eksperimental

Observasi dilakukan dalam situasi yang wajar, pelaksanaannya jauh lebih sederhana

1. Sistematis

Observasi yang dilakukan dengan terlebih dahulu membuat perencanaan secara matang. Pada
jenis ini, observasi dilaksanakan dengan berlandaskan pada kerangka kerja yang memuat faktor-
faktor yang telah diatur kategorisasinya.

1. Non-sistematis

Observasi di mana observer atau evaluator dalam melakukan pengamatan dan pencatatan tidak
dibatasi oleh kerangka kerja yang pasti, maka kegiatan observasi hanya dibatasi oleh tujuan dari
observasi itu sendiri.

Membuat Pedoman Observasi

Langkah yang ditempuh dalam membuat pedoman observasi langsung adalah sebagai berikut :
[11]

1. Lakukanterlebihdahuluobservasilangsungterhadapsuatuprosestingkah
laku,misalnyapenampilangurudikelas.Lalucatatkegiatanyang
dilakukannyadariawalsampaiakhirpelajaran.Halinidilakukanagardapat
menentukanjenisperilakugurupadasaatmengajarkansebagaisegi-segi
yangakandiamati

2. Berdasarkangambarandarilangkah(a)diatas,penilaimenentukansegi-
segimanadariperilakugurutersebutyangakandiamatisehubungandengan
keperluannya.Urutkansegi-sejgitersebutsesuaidenganapayang
seharusnyaberdasarkankhasanahpengetahuanilmiah,misalnya
berdasarkanteorimengajar.Rumusantingkahlakutersebutuharusjelasdan
spesifiksehinggadapatdiamatiolehpengamatnya

3. Tentukanbentukpedomanobservasitersebut,apakahbenrukbebas(tak
perlujawaban,tetapimencatatapayangtampak)ataupedomanyangn
berstruktur(memakaikemungkinanjawaban).Biladipakaibentukyang
berstruktur,tetapkanpilihanjawabansertaindikator-indikatordansetiap
jawabanyangdisediakansebagaipeganganbagipengamatpadasaat
melakukanobservasinanti

4. Sebelumobservasidilaksanakan,diskusikandahulupedomanobservasiyang
telahdibuatdancalonobservanagarsetiapsegiyangdiamatidapat
dipahamimaknanyadanbagaimanacaramengisinya.

5. Bilaadahalkhususyangmenarik,tetapitidakadadalampedomanobservasi,
sebaiknyadiadakancatatankhususataukomentarpengamatdibagianakhir
pedomanobservasi.

Pencatatan hasil observasi itu pada umumnya jauh lebih sukar daripada mencatat jawaban-
jawaban yang diberikan oleh peserta didik terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dalam
suatu tes. Pencatatan terhadap segala sesuatu yang dapat disaksikan dalam observasi itu penting
sekali sebab hasilnya akan dijadikan landasan untuk menilai makna yang terkandung di balik
tingkah laku peserta didik tersebut. Pedoman observasi itu wujud kongkretnya adalah sebuah
atau beberapa buah formulir (blangko atau form) yang di dalamnya dimuat segi-segi, aspek-
aspek atau tingkah laku yang perlu diamati dan dicatat pada waktu berlangsungnya kegiatan
peserta didik.
Contoh:

Mata Pelajaran : Keterampilan

Topik : Membuat Kaligrafi dari kertas

Kelas :

Nama Siswa :

Hari & Tanggal :

Jam Pelajaran :

No Kegiatan/Aspekyangdinilai Skor/Nilai Keterangan

Persiapanalat-alat(bahan)
1.2.3.
KombinasibahanKombinasiwarna


4.
Cara mengerjakan

5.
Sikap waktu mengerjakan

6.
Ketetapan waktu mengerjakan

7.
Kecekatan

8.
Hasil pekerjaan

Jumlahnilai

Hasil penilaian dengan menggunakan instrumen tersebut diatas sifatnya adalah individual.
Setelah selesai, nilai-nilai individual itu dimasukkan ke dalam daftar nilai yang sifatnya kolektif,
seperti contoh berikut ini:

Mata pelajaran : Keterampilan


Topik : Membuat Kaligrafi dari kertas

Kelas : ..

Cawu/semester : ..

Skor/Nilaiuntuk
Rata-
tiap-tiap Jumlah
No. NamaSiswa rata
kegiatan/Aspek

1 2 3 45678

1.2.
3. . ..
..
.. ..

4. .

..
Dan seterusnya
..

Contoh Instrumen Observasi berupa rating scale, dalam rangka menilai sikap peserta didik
dalam mengikuti pengajaran pendidikan agama islam di sekolah:

Nama siswa : .

Kelas : .

Kadang- Tidak
No. Kegiatan/aspekyangdinilai Selalu Sering
kadang pernah

1.2.3. DatangtepatpadawaktunyaRapi
dalamberpakaianRapidalam
menulisdanmengerjakanpekerjaan

4.
5. Menjaga kebersihan badan

6. Hormat kepada guru

7. Rukun dengan teman-teman sekelasnya

Dan seterusnya

Jumlahskor

BAB II. PENGOLAHAN DATA HASIL NON TES

Pada umumnya data hasil nontes bertujuan untuk mendeskripsikan hasil pengukuran sehingga
dapat dilihat kecenderungan jawaban responden melalui alat ukur tersebut. Misalnya bagaimana
kecenderungan jawaban yang diperoleh dari wawancara, kuesioner, observasi, skala.

Pengolahan data hasil wawancara dan kuesioner

Dari data hasil wawancara dan atau kuesioner pada umumnya dicari frekuensi jawaban
responden untuk setiap alternatif yang ada pada setiap soal. Frekuensi yang paling tinggi
ditafsirkan sebagai kecenderungan jawaban alat ukur tsb, seperti;

Contoh: Melalui kuesioner ataupun wawancara diungkapkan pandangan siswa mengenai guru
yang diharapkan dalam:

1. Kemampuanmengajar

2. Hubungandengansiswa

Kuesioner atau wawancara diajukan kepada 40 orang siswa dengan pertanyaan sbb.:

1. Guruyangsayaharapkanadalahguruyang:

1. Menguasaibahanpelajaranataupandaidalambidangilmunya.

2. Caramenjelaskanbahannyadapatsayapahamisekalipuntidakbegitu
pandai/
3. Pandaidalambidangilmunyadandapatmenjelaskannyakepadasiswa
denganbaik.

4. Sebaiknyadimulaidariyangumum,kemudiandibahassecarakhusus

5. Sebaiknyadimulaidariyangkhusus,kemudianmenujukepadayangumum.

6. Dimulaidarimanasajaasaldijelaskansecarasistematis.

1. Padawaktumengerjakanbahanpelajaran:

dan seterusnya

Kuesioner yang telah diisi oleh siswa kemudian diperiksa dan diolah dengan menghitung
frekuensi jawaban seluruh siswa terhadap setiap pertanyaan tersebut. Misalnya hasil pemeriksaan
tersebut sbb.:[12]

Tabel 1: Frekuensi jawaban siswa

Mengenai masalah kemampuan guru mengajar (n=40)

Peringkat
Masalahyangdiungkapkan F %
jawaban

412 1030 32
1. Kemampuanmengajar

1.1. Kemampuan mengajar


24
60 1
1. Menguasaibahan
10
25 2
2. Mampumenjelaskanbahan
6
12 3
3. Menguasaibahandanmampu
24
menjelaskannya 60 1

1.2. Prosedur mengajarkan bahan pelajaran


1. Dimulaidariyangumum

2. Dimulaidariyangkhusus

3. Harussistematis

Cara lain dalam mengolah data diatas ialah dengan menggunakan khi kuadrat (x2) rumus yang
digunakan :

Dalam khi kuadrat, yang dicari ialah adakah perbedaan yang berarti di antara frekuensi hasil;
pengamatan atau jawaban nyata (fo ) dengan frekuensi jawaban yang diharapkan ( fe ). Jika ada
perbedaan, artinya jawaban tersebut betul-betul adanya, bukan karena faktor kebetulan.

Contoh:

Kita ambil jawaban nomor 1 dari tabel 1

Jawaban fo fe

a.menguasaibahanb.mampu 41224 13,313,313,3 6,500,138,61


menjelaskanc.menguasai
bahandandapat
menjelaskannya

X2=15,24

Ket:

Fe=13,3diperolehdari40/3=133

Hargax2=15,24kemudiandibandingkandenganhargatabeluntuktingkat
kepercayaan0,05denganderajatbebas3-1(alternatifjawaban=3)

Hargax2dalamtabel=5,99.
Dengan demikian x2 = 15,24 > 5,99 sehingga perbedaan itu cukup berarti ini berarti bahwa
interpretasi yang menyatakan bahwa guru yang diharapkan adalah guru yang menguasai bahan
dan dapat menjelaskannya pada siswa adalah sah sebagai kesimpulan dari data tsb.

Pengolahan data hasil observasi

Contoh: [13]

OBSERVASI KEMAMPUAN GURU DALAM MENGAJAR

Nama guru : .. Pendidikan :


..

Nilaipengamatan
Aspekyangdiamati
4 3 2 1

vv vvv
1. Penguasaanbahan

2. Kemampuanmenjelaskanbahan

3. Hubungandengansiswa

4. Penguasaankelas

5. Keaktifanbelajarsiswa

Pengamat,

Dari contoh di atas skor hasil observasi adalah

3 + 4 + 3 + 4 + 3 = 17

Nilai rata-rata untuk kelima aspek tsb. Adalah 17/5 = 3,4. Skor ini cukup tinggi sebab maksimum
rata-rata atau skor maksimum untuk setiap aspek adalah 4 atau 20 untuk semua aspek (54).
Skor ini bisa juga dikonversikan ke dalam bentuk standar 100 atau standar 10.

Konversikedalamstandar100adalah17/20x100=85

Konversikedalamstandar10adalah17/20x10=8,5

Jika dibuat interpretasi untuk setiap aspek, maka dapat disimpulkan bahwa guru tersebut sangat
istimewa dalam hal kemampuan menjelaskan dan penggunaan kelas, sedangkan dalam
penguasaan bahan, komunikasi dengan siswa, dan dalam mengaktifkan siswa termasuk
memuaskan.

Pengolahan data skala penilain atau skala sikap

Data hasil skala pengolahannya hampir sama dengan pengolahan data hasil observasi yang
menggunakan skor atau nilai dalam pengamatannya. Dengan demikian, untuk setiap siswa yang
diukur melalui skala penilaian atau skala sikap bisa ditentukan;

a) Perolehan skor dari seluruh butir pertanyaan,

b) Skor rata-rata dari setiap pertanyaan dengan membagi jumlah skor oleh banyaknya
pertanyaan

c) Interpretasi terhadap pertanyaan mana yang positif atau baik dan pertanyaan atau aspek
mana yang negatif atau kurang baik

Lebih jauh lagi data hasil penilaian dan skala sikap sebenarnya menyerupai data hasil tes, dengan
demikian dapat diolah seperti mengolah data hasil tes.

Untuk skala sikap, berilah skor terhadap jawaban siswa dengan ketentuan sbb: untuk pernyataan
positif (mendukung) ialah 5 untuk sangat setuju, dst. Untuk pernyataan negatif (menolak) ialah 5
untuk sangat setuju, dst.

Konversi Nilai
Standar yang sering digunakan dalam menilai hasil belajar dapat dibedakan ke dalam bebrapa
kategori, yakni:

1. Standarseratus(0-100)

2. Standarsepuluh(0-10)

3. Standarempat(1-4)ataudenganhuruf(A-B-C-D)

Dalam konversi nilai digunakan dua cara, yakni:

a. Konversi tanpa menggunakan nilai rata-rata dan simpangan baku.

Cara ini sangat sederhana, yakni dengan menentukan kriteria sebagai dasar untuk melakukan
konversi nilai.

Nilaikonversi
Skor(%)
Huruf Standar10 Standar4

(90-99)(80-89) 432
ABC 9/1087
(70-79)

1
D 6
(60-69)
Gaga
E (gagal) Gagal
Kurang dari 60

1. b. Konversi nilai dengan menggunakan nilai rata-rata dan simpangan


baku

Konversi nilai ini perlu dihitung terlebih dahulu nilai rata-rata dan simpangan baku yang
diperoleh siswa, kemudian terhadap nilai-nilai atai skor mentah tersebut dilakukan konversi.
Kriteria yang digunakan untuk melakukan konversi skor mentah ke dalam standar 10 adalah
sebagai berikut:
M + 2,25 S = 10

M + 1,75 S = 9

M + 1,25 S = 8

M + 0,75 S = 7

M + 0,25 S = 6 M = nilai rata-rata

M 0,25 S = 5 S = Simpangan baku (deviansi standar)

M 0,75 S = 4

M 1,25 S = 3

M 1,75 S = 2

M 2,25 S = 1

Contoh:

Tes diberikan kepada siswa dalam bentuk tes objektif sebanyak 90 soal. Setiap soal yang dijawab
benar diberi skor satu sehingga skor maksimum yang dapat dicapai siswa adalah 90. setelah
diperiksa, ternyata skor yang paling tinggi mencapai 50 dan skor terendah 30. nilai rata-rata
(setelah dihitung) adalah 40 dan simpangan bakunya 4,0.

Dengan menggunakan rumus atau kriteria tersebut, diperoleh nilai dalam standar sepuluh sebagai
berikut:

Standar 10

40 + (2,25) (4,0) = 49 10

40 + (1,75) (4,0) = 47 9
40 + (1,25) (4,0) = 45 8

40 + (0,75) (4,0) = 43 7

40 + (0,25) (4,0) = 41 6 (batas lulus)

40 (0,25) (4,0) = 39 5

40 (0,75) (4,0) = 37 4

40 (1,25) (4,0) = 35 3

40 (1,75) (4,0) = 33 2

40 (2,25) (4,0) = 31 1

Konversi lainnya adalah konversi skor mentah ke dalam standar huruf dan standar empat. Dalam
standar ini huruf A setara dengan 4, artinya istimewa; huruf B setara dengan 3, artinya
memuaskan; dst. Kriteria yang digunakan pada dasarnya tidak berbeda dengan kriteria untuk
konversi nilai ke dalam standar 10.

Secara sederhana untuk nilai C berada pada nilai rata-rata atau deviasi standar nol. Untuk
menentukan kedudukan nilai, perlu dicari batas bawah dan batas atas setiap nilai. Ukuran atau
kriterianya adalah sebagai berikut:

Nilai Batas bawah Batas atas

D M 1,5 S M 0,5 S

C M 0,5 S M + 0,5 S

B M + 0,5 S M + 1,5 S

A M + 1,5 S M + 2,5 S

Contoh:
Apabila berdasarkan perhitungan diperoleh nilai rata-rata (M) = 40 dan simpangan baku (S) =
10, mak konversi nilainya menjadi:

Batas bawah D = 40 1,5 (10) = 25

Batas bawah D = 40 0,5 (10) = 35

Dst., maka hasilnya adalah:

Skor Nilai

25-35 D (1)

36-45 C (2)

46-55 B (3)

56-60 A (4)

sikap adalah afeksi positif atau negatif yang berhubungan dengan beberapa objek psikologis.
Objek sikap dapat berupa simbol, ungkapan, slogan, orang, institusi, ideal, ide, dsb.

Sikap sebagai suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya berintegrasi ke
dalam pola yang lebih luas. Dari sudut motivasi, sikap merupakan suatu keadaan kesediaan
untuk bangkitnya motif (Marat, 1981). Sikap belum merupakan tindakan/aktivitas, melainkan
berupa kecenderungan (tendency) atau predisposisi tingkah laku.

Menurut George J. Mouly (1967) sikap memiliki tiga komponen :


1. Komponen afektif kehidupan emosional individu, yakni perasaan tertentu (positif atau
negatif) yang mempengaruhi penerimaan atau penolakan terhadap objek sikap, sehingga timbul
rasa senang-tidak senang, takun-tidak takut.

2. Komponen kognitif aspek intelektual yang berhubungan dengan bilief, idea atau konsep
terhadap objek sikap.

3. Komponen behavioral kecenderungan individu untuk bertingkah laku tententu terhadap


objek sikap.

Sikap dapat diukur dengan metode/teknik :

1. Measurement by scales pengukuran sikap dengan menggunakan skala munculah skala


sikap.

2. Measurement by rating pengukuran sikap dengan meminta pendapat atau penilaian para
ahli yang mengetahui sikap individu yang dituju.

3. Indirect method pengukuran sikap secara tidak langsung yakni mengamati (eksperimen)
perubahan sikap/pendapat ybs.

Salah satu pengukuran skala sikap adalah dalam bentuk Skala Likert.

Skala Likert menurut Djaali (2008:28) ialah skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur
sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu gejala atau
fenomena pendidikan. Skala Likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam
kuesioner, dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa survei. Nama
skala ini diambil dari nama Rensis Likert, pendidik dan ahli psikolog Amerika Serikat. Rensis
Likert telah mengembangkan sebuah skala untuk mengukur sikap masyarakat di tahun 1932.
Skala itu sendiri salah satu artinya, sekedar memudahkan, adalah ukuran-ukuran berjenjang.
Skala penilaian, misalnya, merupakan skala untuk menilai sesuatu yang pilihannya berjenjang,
misalnya 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10. Skala Likert juga merupakan alat untuk mengukur
(mengumpulkan data dengan cara mengukur-menimbang) yang itemnya (butir-butir
pertanyaannya) berisikan (memuat) pilihan yang berjenjang.

Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan Skala Likert, variabel yang akan diukur
dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak
untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan. Jawaban
setiap item instrumen yang menggunakan Skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif
sampai sangat negatif.

Skala Likert itu aslinya untuk mengukur kesetujuan dan ketidaksetujuan seseorang terhadap
sesuatu objek, yang jenjangnya bisa tersusun atas:

sangat setuju

setuju

netral antara setuju dan tidak

kurang setuju

sama sekali tidak setuju.

Penskalaan ini apabila dikaitkan dengan jenis data yang dihasilkan adalah data Ordinal. Selain
pilihan dengan lima skala seperti contoh di atas, kadang digunakan juga skala dengan tujuh atau
sembilan tingkat. Suatu studi empiris menemukan bahwa beberapa karakteristik statistik hasil
kuesioner dengan berbagai jumlah pilihan tersebut ternyata sangat mirip. Skala Likert merupakan
metode skala bipolar yang mengukur baik tanggapan positif ataupun negatif terhadap suatu
pernyataan.
Empat skala pilihan juga kadang digunakan untuk kuesioner skala Likert yang memaksa orang
memilih salah satu kutub karena pilihan netral tak tersedia. Selain pilihan dengan lima skala
seperti contoh di atas, kadang digunakan juga skala dengan tujuh atau sembilan tingkat. Suatu
studi empiris menemukan bahwa beberapa karakteristik statistik hasil kuesioner dengan berbagai
jumlah pilihan tersebut ternyata sangat mirip. Skala Likert merupakan metode skala bipolar yang
mengukur baik tanggapan positif ataupun negatif terhadap suatu pernyataan. Empat skala pilihan
juga kadang digunakan untuk kuesioner skala Likert yang memaksa orang memilih salah satu
kutub karena pilihan netral tak tersedia.

Pernyataan yang diajukan mengenai objek penskalaan harus mengandung isi yang akan dinilai
responden, apakah setuju atau tidak setuju. Contoh di bawah ini pernyataannya berbunyi
Doktrin Presiden Republik Mimpi merupakan kebijakan luar negeri yang efektif. Objek
khasnya adalah efektivitas (kefektivan) kebijakan. Responden diminta memilih satu dari lima
pilihan jawaban yang dituliskan dalam angka 1-5, masing-masing menunjukkan sangat tidak
setuju (1), tidak setuju (2), netral atau tidak berpendapat (3), setuju (4), sangat setuju (5).

Apa artinya? Artinya setujukah responden bahwa kebijakan luar negeri Presiden RM itu sebagai
kebijakan yang efektif (memecahkan masalah luar negeri RM)? Jadi, responden tinggal milih:
setuju atau tidak setuju, atau tak memilih keduanya (netral saja, tidak berpendapat).

Tidak sedikit mahasiswa dan peneliti lain yang hanya melihat Skala Likert itu sebagai angket
pilihan setujutidak setuju. Jadi, jika pilihan jawabannya setuju-tidak setuju, maka itu namanya
Skala Likert. Lalu, segala macam pernyataan dimintakan kepada responden untuk memilih
menjawab setuju atau tidak setuju. Ini contohnya:

Salat itu penting, karena salat itu merupakan tiang agama.

1. Sangat setuju (SS)

2. Setuju (S)

3. Setuju tidak, tidak setuju pun tidak, alias netral (N)

4. Tidak setuju (TS)


5. Sangat tidak setuju (STS)

Jelas isi pernyataan itu bukan sesuatu yang harus disetujui atau tidak disetujui. Itu pengetahuan,
pengetahuan agama, yang diajarkan oleh para ustad dan kiyai. Jadinya itu soal murid tahu atau
tidak tahu bahwa salat itu penting, dan pentingnya itu karena (dengan alasan) merupakan tiang
agama (ash-shalatu imaaduddin), bukan harus setuju atau tidak setuju.

Kedua, itu tidak bisa dijenjangkan kesetujuan-ketidaksetujuannya, karena tidak logis. Kalau
misalnya setuju salat itu penting, apa bedanya dengan sangat setuju. Jika jawabannya diubah
jadi setujuagak setuju, makna dari agak setuju itu apa, tak jelas. Tentu tidak bisa ditafsirkan
bahwa jika agak setuju berarti menunjukkan menurut responden salat itu agak penting, dan jika
setuju sekali berarti salat itu sangat amat penting, dan sebaliknya.

Ketiga, ada dua isi yang harus disetujui atau tidak disetujui di dalam satu pernyataan itu, yaitu:
(1) salat itu penting, dan (2) salat itu tiang agama. Ini tidak boleh terjadi dalam penyusunan
angket, sebab akan membingungkan. Salat mungkin bisa dianggap penting (setuju bahwa
penting), tapi alasannya sebagai tiang agama tidak setuju, setujunya karena ia rukun Islam
kedua. Jadi, jawabannya apa? Setuju, atau tidak setuju, atau netral saja?

Skala Likert ada kalanya menghilangkan tengah-tengah kutub setuju dan tidak setuju.
Responden dipaksa untuk masuk ke blok setuju atau tidak setuju. Ini contohnya.

Mahasiswa boleh tidak ikut kuliah, asal sungguh-sungguh belajar mandiri.

1. Sangat setuju

2. Setuju

3. Tidak setuju

4. Sangat tidak setuju

Pertanyaan dibuat demikian agar orang berpendapat, tidak bersikap netral atau tidak
berpendapat.
Berapa jenjang skala dibuat dalam Skal Likert? Itu amat tergantung pada kata-kata yang
digunakan di dalam butir (item) Skala Likert. Kalau digunakan model verbal (kata-kata) setuju
tidak setuju, maka paling tidak ada tiga, yaitu setujunetraltidak setuju. Perubahan lebih banyak
tentu akan mengikuti kutubnya (kutub setuju dan kutub tidak setuju). Jadi, jika ditambah, akan
menjadi, misalnya: sangat setujusetujunetraltidak setujusangat tidak setuju (ada 5 skala).
Tentu bisa jadi tujuh jika ditambahi lagi dengan sangat setuju sekali dan sama sekali tidak setuju.
Atau tambahannya berupa agak setuju (sebelum setuju) dan agak tidak setuju (sebelum tidak
setuju). Jika digabungkan, maka jadi sembilan skala (jenjang).

1. Sangat setuju sekali

2. Sangat setuju

3. Setuju

4. Agak setuju

5. Netral

6. Agak tidak setuju

7. Tidak setuju

8. Sangat tidak setuju

9. Sama sekali tidak setuju

Ada angket yang semodel dengan Skala Likert, seperti di bawah ini.

Seberapa sering Anda meminjam buku dari perpustakaan?

1. Tidak pernah

2. Jarang

3. Kadang-kadang
4. Sering

5. Sangat sering

Pertanyaan angket ini pun berjenjang, mirip dengan Skala Likert. Tentu itu bukan skala sikap. Itu
angket biasa, angket deskriptif yang isinya punya jenjang ( intensitas meminjam buku dari
perpustakaan). Perhatikan jenjangnya. Ada tengah-tengahnya seperti netral dalam skala sikap.
Oleh sebab itulah angket (butir angket) seperti itu suka disebut juga sebagai mirip Skala
Likert.

Pertanyaan angket berikut, kendati ada jenjang, bukan Skala Likert dan bukan mirip Skala
Likert. Kuncinya terletak pada titik tengah pilihan jawaban ( di sisi yang satu positif, di sisi yang
lain negatif; di sisi yang satu tinggi di sisi yang lain rendah). Item tentang usia berikut tidak
bersifat seperti itu, hanya perjenjangan biasa, tidak ada kutub ekstrim dan tengah-tengahnya.

Usia Bapak/Ibu saat ini:

a. di atas 80 tahun

b. 61 70 tahun

c. 51 60 tahun

d. 41 50 tahun

e. 31 40 tahun

Menganalisis data Skala Likert

1. Analisis Frekuensi (Proporsi)

Nah, yang sering dilakukan kesalahan adalah pada saat menganalisis data dari Skala Likert.
Ingat, Skala Likert berkait dengan setuju atau tidak setuju terhadap sesuatu. Jadi, ada dua
kemungkinan. Pertama, datanya data ordinal (berjenjang tanpa skor). Angka-angka hanya urutan
saja. Jadi, analisisnya hanya berupa frekuensi (banyaknya) atau proporsinya (persentase). Contoh
(pilihan netral dalam angket ditiadakan) dengan responden 100 orang:

Yang sangat setuju 30 orang (30%)

Yang setuju 50 orang (50%)

Yang tidak setuju 15 orang (15%)

Yang sangat tidak setuju 5 orang (5%).

Jika digabungkan menurut kutubnya, maka yang setuju (gabungan sangat setuju dan setuju) ada
80 orang (80%), dan yang tidak setuju (gabungan sangat tidak setuju dan tidak setuju) ada 20
orang (20%).

2. Analisis Terbanyak (Mode)

Analisis lain adalah dengan menggunakan mode, yaitu yang terbanyak. Dengan contoh data di
atas, maka jadinya Yang terbanyak (50%) menyatakan setuju (Dari data yang sangat setuju
15%, setuju 50%, netral 20%, tidak setuju 10%, sangat tidak setuju 5%).

Skala Likert Sebagai Skala Penilaian

Skala Likert kerap digunakan sebagai skala penilaian karena memberi nilai terhadap sesuatu.
Contohnya skala Likert mengenai produk komputer di atas, komputer yang baik atau tidak.
Terhadapnya bisa diberlakukan angka skor. Jadi, yang dianalisis skornya. Dalam contoh di atas
angka 7 sebagai skor tertinggi. Datanya bukan ordinal, melainkan interval.

Ingat! Pilihan ordinal setujuagak setujunetralkurang setujutidak setuju tak bisa diskor.
Misalnya setuju diberi skor 5, agak setuju 4, netral 3, kurang setuju 2, dan tidak setuju 1.

Kenapa?
Pertama, tidak logis, yang netral lebih tinggi skornya dari yang tidak setuju. Padahal yang netral
itu sebenarnya tidak berpendapat. Kedua, coba jika ada dua orang yang ditanya, yang satu
menjawab setuju (skor 5), yang satu lagi menjawab tidak setuju (skor 1). Berapa reratanya? [5 +
1] : 2 = 3. Skor 3 itu sama dengan netral. Lucu, kan?! Simpulannya kedua orang responden
bersikap netral. Padahal realitanya yang satu setuju, yang satu tidak. Nah, ini bisa terjadi juga
dengan yang sangat setuju (skor 5) 20 orang, setuju (skor 4) 25 orang, netral (skor 3) 10 orang,
tidak setuju (skor 2) 25 orang, dan sangat tidak setuju (skor 1) 20 orang. Berapa rerata skornya?
Pasti 3 (netral). Jadi, semua orang (diwakili 100 orang sampel) bersikap netral. Lucu, kan?!!!
Padahal yang netral hanya 10 orang (10%)!!!

Skala Penilaian

Di atas dicontohkan Skala Likert untuk penilaian (menilai produk komputer). Sebenarnya tidak
perlu menggunakan Skala Likert, cukup skala penilaian (rating scale). Responden diminta
menilai produk itu dengan membubuhkan nilai (skor) jika ada kolom kosong untuk menilai, atau
memilih skor tertentu yang sudah disediakan. Jadinya skornya bisa bergerak dari 0 sampai
dengan 10 sebagai skor tertinggi.

Contohnya mengenai kepuasan konsumen terhadap layanan perpustakaan di bawah ini.


Responden cukup diminta melingkari angka skor sesuai dengan penilaiannya.

1. Kemudahan menemukan koleksi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2. Kenyamanan ruangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

3. Layanan petugas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Analisisnya bisa menggunakan dua macam, proporsi (persentase) dan mode (terbanyak menilai
berapa), dan rerata atau means (rerata skornya berapa), dan termasuk pengkateorian puas atau
tidak puas.

Jelasnya:
Pertama, dihitung banyaknya responden yang memberi nilai pada skor tertentu secara
keseluruhan (seluruh butir pernyataan). Lihat yang terbanyak (mode) dari responden memilih
pada skor berapa.

Kedua, hitung skor dari keseluruhan butir (responden yang menjawab dikalikan skor), lalu
disusun reratanya. Rerata skor itu (bilangannya tentu akan 0 10) termasuk kategori tinggi atau
rendah. Sebelumnya tentu sudah disusun kategorisasinya. Jadi, jika rerata skornya misalnya
7,76, angka 7,76 itu termasuk kategori rendah, sedang, ataukah tinggi? Ingat, skor terendah
berapa, dan skor tertinggi berapa! Jadi, 7,76 dari rentangan skor 1 10 tentu termasuk tinggi
(tapi tidak sangat tinggi, kan?!)

Kelemahan skala Likert:

1. Karena ukuran yang digunakan adalah ukuran ordinal, skala Likert hanya dapat mengurutkan
individu dalam skala, tetapi tidak dapat membandingkan berapa kali satu individu lebih baik dari
individu yang lain. 2. Kadangkala total skor dari individu tidak memberikan arti yang jelas,
karena banyak pola respons terhadap beberapa item akan memberikan skor yang sama

Sosiometri
Artikel Terpopuler

Tidakada

kunjungan

100,581hits

cari
Cari Cari

artikel baru

ANALISISSOSIOMETRIDENGANMENGGUNAKANSISTEMKOMPUTER

Sosiometri

ASESMENMASALAHKONSELI

PERATURANMENTERINEGARAPENDAYAGUNAANAPARATURNEGARADAN
REFORMASIBIROKRASINOMOR16TAHUN2009TENTANGJABATAN
FUNGSIONALGURUDANANGKAKREDITNYA

InstrumenIdentifikasiMasalahSiswa

MODELMODELKONSELING

TEKNIK-TEKNIKBIMBINGANDANKONSELING

PelayananBimbingandanKonseling

TERAPIKONSELINGDENGANHIPNOTIS

Halodunia!

arsip
arsip
Pilih Bulan

bimbingan konseling
bimbingankonseling
Pilih Kategori

Meta
Daftar

Masuk

RSSEntri

RSSKomentar

WordPress.com

visitor

Komentar

ARIdJATININGSIHdiANALISISSOSIOMETRIDENGANMEN

ANALISISSOSIOMETRIdiANALISISSOSIOMETRIDENGANMEN

Teknik-teknikDasardiTEKNIK-TEKNIKBIMBINGANDAN

zakybkdiTEKNIK-TEKNIKBIMBINGANDAN

RaymondiANALISISSOSIOMETRIDENGANMEN

ayisyahdiTEKNIK-TEKNIKBIMBINGANDAN

sandazyrechsmartsdiPelayananBimbingandanK
khusnadiTEKNIK-TEKNIKBIMBINGANDAN

AnggaPriprambudi(@diTEKNIK-TEKNIKBIMBINGANDAN

TuanWordPressdiHalodunia!

Ikuti Blog melalui Email


Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan
tentang pos baru melalui surat elektronik.

Bergabunglah dengan 10 pengikut lainnya

subscribe 40535748 https://bimbingand w idget blog_subscription a0dd784798 Ikuti

pengunjung

SOSIOMETRI
( Oleh : Drs. Mastur, Kons. }

Sosiometri merupakan teknik yang tepat untuk mengumpulkan data mengenai hubungan sosial
dan tingkah laku sosial siswa. Dengan teknik ini dapat diperoleh data tentang suasana hubungan
antar individu, struktur dan arah hubungan sosial. Gambaran suasana hubungan sosial yang
diperoleh dengan sosiometri disebut sosiogram. Dari data sosiometri individu dapat diketahui
keluasan dan kedalaman pergaulan (keintiman pergaulan), status pemilihan atau penolakan
sesama teman, dan popularitas dalam pergaulan.

Fungsi dari sosiometri


a. Sebagai alat untuk meneliti struktur sosial dari suatu kelompok individu dengan dasar terhadap
relasi sosial dan status dari masing-masing anggota kelompok yang bersangkutan.
b. Sebagai alat untuk memperbaiki hubungan insani (human relation) diantara anggota-anggota
kelompok tertentu.
c. Dapat digunakan untuk menentukan kelompok kerja.
d. Dapat digunakan untuk meneliti kemampuan memimpin seorang individu dalam kelompok
tertentu untuk suatu kegiatan tertentu.

Cara Pengerjaan Sosiometri


a. Siswa diberi daftar isian/angket sosiometri dan diminta untuk menuliskan identitas dirinya.
b. Konselor memberikan penjelasan maksud dan tujuan dari angket sosiometri, dan menjelaskan
petunjuk pengisiannya.
c. Konselor mempersilahkan kepada siswa untuk mengisi angket sosiometri, yaitu dengan cara
menuliskan teman yang paling disukai dan yang paling tidak ia sukai disertai alasan-alasannya.
d. Memotivasi siswa agar dapat mengerjakan dengan jujur, dengan memberikan jaminan
kerahasiaan terhadap semua jawabannya
e. Menginformasikan bahwa hasil angket sosiometri ini akan dijadikan acuan dalam memberikan
layanan (bantuan) pada siswa.

Pengolahan Hasil
Pengolahan hasil Instrumen sosiometeri mengacu pada langkah-langkah sebagai berikut :
a. Siapkan tabel sosiometri yang berisikan nama pemilih / penolak dan nama yang dipilih /
ditolak dalam satu kelas.
b. Masukkan data yang diperoleh dari angket sosiometri ke dalam tabel tersebut dengan
ketentuan angka 1 untuk pilihan pertama ( 1 ) angka 2 untuk pilihan kedus ( 2 ), angka 3 untuk
penolakan pertama ( 3 ) dan angka 4 untuk penolakan kedua ( 4 ), sehingga akan tampak skor
pilihan dengan rumus jumlah angka 1 ditambah jumlah angka 2 serta skor penolakan dengan
rumus jumlah angka 3 ditambah jumlah angka 4..
c. Dari tabulasi yang ada dituangkan dalam tebel varian pilihan ( Cs ) untuk mengetahui indeks
pilihan dengan rumus :
SKOR
(Nxp)
N : Jumlah Responden
P : Jumlah Pilihan
d. Selanjutnya dituangkan dalam tebel varian penolakan ( Rs ) untuk mengetahui indeks
penolakan dengan rumus :
SKOR
X1
(Nxp)

N : Jumlah Responden
P : Jumlah Penolakan
e. Selanjutnya dituangkan lagi dalam tebel varian pemilihan dan penolakan ( CRs ) untuk
mengetahui indeks pemilihan dan penolakan dengan rumus :
SKOR Pemilihan + SKOR Penolakan

(Nxq)

N : Jumlah Responden
q : Jumlah Pemilihan dan Penolakan
f. Dari tabulasi yang ada dituangkan dalam bentuk sosiogram untuk melihat hubungan antar
individu dalam kelompok tersebut.

Penyampaian Hasil
Hasil dari pengolahan Instrumentasi perlu disampaikan kepada fihak-fihak yang terkait secara
langsung dengan responden. Dalam penyampaian hasil instrumentasi ini tetap harus menjaga
kerahasiaan, tidak boleh disampaikan/diumumkan secara terbuka dan dijadikan pembicataan
umum.
Dalam forum khusus, hasil instrumentasi dapat dijadikan topik bahasan/diskusi, namun tetap
harus menjaga kerahasiaan responden (tidak menyebut nama responden).
Dari keseluruhan penyelenggaraan Aplikasi Instrumentasi ini hasil yang diperoleh disampaikan
kepada masing-masing responden, dalam bentuk Profil Individual, sedangkan kepada Guru
bimbingan dan konseling/Kepala Sekolah diberikan Data rekap dan data pendukung lainnya,
sebagai bahan untuk pemberian layanan lebih lanjut.
Penyampaian hasil instrumentasi kepada masing-masing responden akan lebih baik apabila
disampiakan secara individual, sehingga konselor dapat berkomunikasi dan menjelaskan isi dari
laporan hasil instrumentasi yang akan diberikan dalam bentuk format individual, dan sekaligus
bagi siswa yang memiliki permasalahan dapat diberikan penjelasan untuk langkah-langkah
tindak lanjut berikutnya

IMPLIKASI HASIL APLIKASI INSTRUMENTASI DALAM PELAYANAN KONSELING


Hasil Aplikasi Instrumentasi pada hakekatnya dapat diaplikasikan dalam seluruh spektrum
kegiatan pelayanan konseling, mulai dari perencanaan sampai dengan penilaian dan
pengembangannya. Bahkan memungkinkan kegiatan Aplikasi Instrumentasi ini merupakan
langkah yang menentukan dalam penentuan pemberian layanan konseling
Secara umum Implikasi hasil Aplikasi Instrumentasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Perencanaan Program Konseling.


Penyusunan program layanan konseling di sekolah, baik program tahunan maupun semesteran
seharusnya didasarkan pada data tentang variasi masalah siswa, hasil ulangan/ujian, bakat dan
minat serta kecenderungan siswa, dan data lainnya yang kesemuanya terkumpul dalam kegiatan
Need Assessment..
Hasil Aplikasi Instrumentasi secara jelas telah menunjukkan berbagai data yang menyangkut
kondisi responden, maka akan ditemuka Need Assessment sebagai dasar
penyusunan/perencanaan Program Konseling. Dengan data yang lengkap dari Aplikasi
Instrumentasi ini dapat dirumuskan Program Konseling secara menyeluruh, untuk setiap kelas,
dengan mengacu kepada kebutuhan siswa, baik perorangan maupun kelompok. Pada intinya
untuk berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling direncanakan berdasarkan data
hasil Need Assessment.

2. Penetapan Peseta Layanan


Berdasarkan data hasil instrumentasi, Konselor dapat menetapkan individu yang perlu mendapat
layanan konseling, baik layanan dengan format klasikal, kelompok maupun individual. Kegiatan
dengan format lapangan dan politik bagi klien tertentupun dapat direncanakan oleh Konselor
dengan mendasarkan pada hasil Aplikasi Instrumentasi ini.

3. Sebagai Isi Layanan


Data yang terungkap dari penyelenggaraan Aplikasi Instrumentasi ini dapat pula menjadi isi dari
layanan konseling.Hal ini disebabkan karena dalam penyelenggaraan Aplikasi Instrumentasi
khususnya yang mengungkap tentang hubungan sosial (sosiogram), inteligensi, bakat dan minat
dapat dijadikan sebagai isi layanan Untuk hal ini diperlukan kecermatan Konselor dalam melihat
relevansi antara hasil Aplikasi Instrumentasi dengan kebutuhan Klien dan menggunakannya
secara tepat, dengan senantiasa menerapkan asas kerahasiaan sebagaimana mestinya.

4. Tindak lanjut Layanan


Hasil instrumentasi, khususnya hasil evaluasi (laiseg, laijapen dan laijapang) dapat digunakan
sebagai pertimbangan bagi upaya tindak lanjut pelayanan terhadap klien. Kecermatan Konselor
terhadap kesesuaian antara hasil evaluasi dan upaya tindak lanjutnya sangat diperlukan.

5. Pengembangan.
Dalam upaya pengembangan layanan konseling, dasar utama yang diperlukan adalah data yang
akurat dan handal. Dalam hal ini, data hasil Aplikasi Instrumentasi dengan tingkat validitas dan
reliabilitas yang tinggi dapat secara tepat menunjang pengembangan program pelayanan
konseling dalam jangka panjang. Dalam hal ini diperlukan berbagai instrumentasi yang
komprehensip, dari berbagai kelompok responden dalam jangka waktu yang relatif memadai.
Dengan data gabungan tersebut, akan nampak arah pokok yang dapat dijadikan arah dan garis
besar pengembangan layanan konseling.
Secara khusus, penyelenggaraan Aplikasi Instrumentasi SOSIOMETRI yang telah dilaksanakan,
implikasinya dalam layanan konseling dapat dijelaskan sebagai berikut :
Hasil analisis sosiogram akan membantu konselor dalam memahami hubungan sosial dan
hubungan individu yang berlangsung dalam suatu kelompok. Dari hasil tersebut akan tampak
individu-individu yang memerlukan bantuan layanan konseling secara perorangan maupun
kelompok.
Setalah hasil angket sosiometri dianalisa akan tampaklah gambaran hubungan sosial dalam
kelompok siswa, yaitu siswa-siswa yang memiliki hubungan sosial yang tinggi dengan melihat
skore pemilihan dan juga akan tampak siswa-siswa yang memiliki hubungan social rendah atau
terisolir. Dari gambaran ini konselor sekolah dapat merencanakan layanan-layanan apa yang
tepat bagi mereka. Terutama untuk siswa-siswa yang memiliki hubungan sosial rendah atau
terisolir, konselor harus memberikan perhatian lebih dari siswa yang lain.
Dari analisa angket sosiometri di atas dapat ditentukan prioritas siswa yang perlu mendapatkan
layanan konseling, yaitu terutama untuk siswa yang memperoleh skore penolakan kategori tinggi

A. Pengertian Sosiometri
Menurut Beberapa Ahli :
1. I. Djumhur dan Muh. Surya, 1985
Sosiometri adalah alat yang tepat untuk mengumpulkan data mengenai hubungan-hubungan
sosial dan tingkah laku sosial murid.
2. Bimo Walgito, 1987
Sosiometri adalah alat untuk dapat melihat bagaimana hubungan sosial atau hubungan
berteman seseorang.
3. WS. Winkel, 1985
Sosiometri merupakan suatu metode untuk memperoleh data tentang hubungan sosial dalam
suatu kelompok, yang berukuran kecil sampai sedang ( 10 - 50 orang ), berdasarkan preferensi
pribadi antara anggota-anggota kelompok
4. Dewa Ktut Sukardi, 1983
Sosiometri adalah suatu alat yang dipergunakan mengukur hubungan sosial siswa dalam
kelompok.
5. Depdikbud, 1975
Sosiometri adalah alat untuk meneliti struktur sosial dari suatu kelompok individu dengan
dasar penelaahan terhadap relasi sosial dan status sosial dari masing-masing anggota kelompok
yang bersangkutan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan pengertian sosiometri adalah suatu
tehnik untuk mengumpulkan data tentang hubungan sosial seorang individu dengan individu lain,
struktur hubungan individu dan arah hubungan sosialnya dalam suatu kelompok.
Metode Sosiometri adalah suatu metode pengumpulan serta analisis data mengenai pilihan
komunikasi dan pola interaksi antar individu dan kelompok. dapat dikatakan bahwa sosiometri
adalah kajian dan pengukuran pilhan sosial, sosiometri disebut juga sebagai sarana untuk
mengkaji "tarikan" (traction) dan "tolakan" (repulsion) anggota-anggota suatu kelompok

B. Macam- Macam Sosiometri


Tes Sosiometri ada dua macam , yaitu :
Tes yang mengharuskan untuk memilih beberapa teman dalam kelompok sebagai pernyataan
kesukaan untuk melakukan kegiatan tertentu criteriumbersama-sama dengan teman-teman yang
dipilih.
Tes yang mengharuskan menyatakan kesukaannya atau ketidaksukaannya terhadap teman-teman
dalam kelompok pada umumnya.
Tes sosiometri jenis pertama paling sering digunakan di institusi-institusi pendidikan
dengan tujuan meningkatkan jaringan hubungan sosial dalam kelompok,sedangkan jenis yang
kedua jarang digunakan, dan inipun untuk mengetahui jaringan hubungan sosial pada umumnya
saja.

C. Ciri- Ciri Sosiometri


Berikut adalah ciri khas penggunaan angket sosiometri atau tes sosiometri , yang terikat pada
situasi pergaulan sosial atau kriterium (creterium) tertentu.
o Dijelaskan kepada siswa yang tergabung dalam suatu kelompok, misalnya satuan kelas, bahwa
akan dibentuk kelompok-kelompok lebih kecil ( 4-6 orang ) dalam rangka mengadakan kegiatan
tertentu, seperti belajar kelompok dalam kelas, rekreasi bersama ke pantai, dsb. Kegiatan tertentu
itu merupakan situasi pergaulan sosial ( criterion ) yang menjadi dasar bagi pilihan-pilihan.
o Setiap siswa diminta untuk menulis pada blanko yang disediakan namabeberapa teman di dalam
kelompok, dengan siapa dia ingin dan lebih suka melakukan kegiatan itu. Jumlah teman yang
boleh dipilih biasanya tiga orang, dalam urutan pilihan pertama, kedua, dan ketiga. Yang
terungkap dalam pilihan-pilihan itu bukanlah jaringan hubungan sosial yang sekarang ini sudah
ada, melainkan keinginan masing-masing siswa terhadap kegiatan-kegiatan tertentu dalam hal
pembentukan kelompok.
o Setiap siswa dalam kelompok menangkap dengan jelas kegiatan apa yang dimaksud, dan
mengetahui bahwa kegiatan itu terbuka bagi semua.
o Pilihan-pilihan dinyatakan secara rahasia dan hasil keseluruhan pemilihan juga dirahasiakan. Hal
ini mencegah timbulnya rasa tidak enakpada siswa, yang tidak suka pilihannya diketahui umum
atau akan mengetahui bahwa ia tidak dipilih. Ciri kerahasiaan juga memungkinkan bahwa
dibentuk kelompok-kelompok kecil yang tidak seluruhnya sesuai dengan pilihan-pilihan siswa
sendiri.
o Biasanya siswa diminta untuk menyatakan siapa yang mereka pilih, bukan siapa yang tidak
mereka pilih dalam urutan tidak begitu disukai, kurang disukai, tidak disukai, sama sekali tidak
disukai. Menyatakan pilihan yang negatif mudah dirasakan sebagai beban psikologis lebih-lebih
dalam lingkungan kebudayaan yang menekankan kelincahan dalam pergaulan sosial sebagai
ideal.
Tenaga kependidikan yang dapat menerapkan tes sosiometri adalah guru bidang studi, wali
kelas, dan tenaga ahli bimbingan, tergantung dari kegiatan yang akan dilakukan.

D. Bentuk-bentuk sosiometri
Ada beberapa bentuk analisis sosiometri diantaranya :

1. Matrix sosiometri

Matrix adalah tatanan angka-angka atau lambang-lambang lain dalam bentuk segi empat. Data
yang diperoleh dari angket sosiometri kemudian dirangkum dalam matrik sosiometri yaitu dalam
suatu tabel yang berisi nama pilihan. Nama pilihan tersebut yaitu yang sudah dipilih oleh peserta.
Bentuk hubungan nya seperti :

a) Bentuk segitiga (triangle).

Bentuk ini merupakan suatu persahabatan atau hubungan yang mempunyai intensitas yang cukup
kuat.
b) Bentuk bintang (star).

Bentuk ini kurang baik sebab jika A (yang berkedudukan sebagai pusat)tidak ada maka
kelompok itu akan pecah.

c) Berbentuk jala (network).

Hubungan cukup menyeluruh, baik, kuat dan hilangnya seseorang tidak akan membuat
kelompoknya pecah karena hubungan ini mempunyai intensitas yang cukup kuat.

d) Berbentuk rantai (chain).

Hubungan searah atau sepihak, tidak menyeluruh. Kelompok demikian ini keadaanya rapuh.

2. Sosiogram

Arti sosiogram sendiri yaitu bagan pilihan yang dibuat dalam sekelompok, lebih banyak pada
hal-hal yang praktis dari pada maksud dan tujuan penelitian, atau karena analisisnya matematis
dan sulit sehingga membutuhkan ruang yang demikian banyak yang tidak dimungkinkan.

3. Indeks sosiometri

Indeks sosiometri adalah angka tunggal yang terhitung dari suatu angka bilangan atau lebih yang
dihasilkan oleh data sosiometri. Indeks ini menunjukan karakteristik sosiometri individu,
kelompok dan merupakan kesimpulan.

Semua bentuk sosiometri diatas memiliki kemungkinan-kemungkinan serta implikasi paling


banyak untuk penilitian behavioral.

E. Fungsi dari Sosiometri


Sebagai alat untuk meneliti struktur sosial dari suatu kelompok individu dengan dasar terhadap
relasi sosial dan status dari masing-masing anggota kelompok yang bersangkutan.
Sebagai alat untuk memperbaiki hubungan insani (human relation) diantara anggota-anggota
kelompok tertentu.
Dapat digunakan untuk menentukan kelompok kerja.
Dapat digunakan untuk meneliti kemampuan memimpin seorang individu dalam kelompok
tertentu untuk suatu kegiatan tertentu

F. Manfaat atau Tujuan Sosiometri


Dengan mempelajari data sosiometri seorang konselor dapat :
1. Menemukan murid mana yang ternyata mempunyai permasalahan dalam proses penyesuaian
diri dengan kelompoknya.
2. Membantu meningkatkan partisipasi sosial diantara murid-murid dengan penerimaan
sosialnya.
3. Membantu meningkatkan pemahaman dan pengertian murid terhadap masalah pergaulan yang
sedang dialami oleh individu tersebut.
4. Merencanakan program yang konstruktif untuk menciptakan iklim sosial yang lebih baik dan
sekaligus membantu mengatasi masalah penyesuaian dikelas tertentu.
Cara untuk menciptakan suasana/iklim sosial yang baik :
a. Membentuk kelompok belajar / kelompok kerja
b. Mempersatukan kelompok yang minoritas di dalam satu kelas dengan kelompok mayoritas
c. Menciptakan hubungan yang harmonis dan baik
d. Membangun perasaan berhasil dan berprestasie. Hendaknya ditanamka Untuk memperbaiki
struktur hubungan sosial para siswa di dalam kelasnya.

5. Memperbaiki penyesuaian hubungan sosial siswa secara individual.

6. Mempelajari akibat-akibat praktik-praktik sekolah terhadap hubungan sosial di kalangan


siswa.

7. Mempelajari mutu kepemimpinan dalam stuasi yang bermacam-macam.

8. Menemukan norma-norma pergaulan antarsiswa yang diinginkan dalam kelompok / kelas


bersangkutan.

G. Cara Pengerjaan Sosiometri


1. Siswa diberi daftar isian/angket sosiometri dan diminta untuk menuliskan identitas dirinya.
Konselor memberikan penjelasan maksud dan tujuan dari angket sosiometri, dan menjelaskan
petunjuk pengisiannya.
2. Konselor mempersilahkan kepada siswa untuk mengisi angket sosiometri, yaitu dengan cara
menuliskan teman yang paling disukai dan yang paling tidak ia sukai disertai alasan-alasannya.
3. Memotivasi siswa agar dapat mengerjakan dengan jujur, dengan memberikan jaminan
kerahasiaan terhadap semua jawabannya
4. Menginformasikan bahwa hasil angket sosiometri ini akan dijadikan acuan dalam memberikan
layanan (bantuan) pada siswa.

H. Pengolahan Hasil
Pengolahan hasil Instrumen sosiometeri mengacu pada langkah-langkah sebagai berikut :
a. Siapkan tabel sosiometri yang berisikan nama pemilih / penolak dan nama yang dipilih / ditolak dalam
satu kelas.
b. Masukkan data yang diperoleh dari angket sosiometri ke dalam tabel tersebut dengan ketentuan angka
1 untuk pilihan pertama ( 1 ) angka 2 untuk pilihan kedus ( 2 ), angka 3 untuk penolakan pertama ( 3 )
dan angka 4 untuk penolakan kedua ( 4 ), sehingga akan tampak skor pilihan dengan rumus jumlah
angka 1 ditambah jumlah angka 2 serta skor penolakan dengan rumus jumlah angka 3 ditambah jumlah
angka 4..
c. Dari tabulasi yang ada dituangkan dalam tebel varian pilihan ( Cs ) untuk mengetahui indeks pilihan
dengan rumus :
SKOR
(Nxp)
N : Jumlah Responden
P : Jumlah Pilihan
d. Selanjutnya dituangkan dalam tebel varian penolakan ( Rs ) untuk mengetahui indeks penolakan
dengan rumus :
SKOR
X1
(Nxp)
N : Jumlah Responden
P : Jumlah Penolakan
e. Selanjutnya dituangkan lagi dalam tebel varian pemilihan dan penolakan ( CRs ) untuk mengetahui
indeks pemilihan dan penolakan dengan rumus :
SKOR Pemilihan + SKOR Penolakan
(Nxq)
N : Jumlah Responden
q : Jumlah Pemilihan dan Penolakan
f. Dari tabulasi yang ada dituangkan dalam bentuk sosiogram untuk melihat hubungan antar individu
dalam kelompok tersebut.
d. Penyampaian Hasil
Hasil dari pengolahan Instrumentasi perlu disampaikan kepada fihak-fihak yang terkait secara langsung
dengan responden. Dalam penyampaian hasil instrumentasi ini tetap harus menjaga kerahasiaan, tidak
boleh disampaikan/diumumkan secara terbuka dan dijadikan pembicataan umum.
Dalam forum khusus, hasil instrumentasi dapat dijadikan topik bahasan/diskusi, namun tetap harus
menjaga kerahasiaan responden (tidak menyebut nama responden).
Dari keseluruhan penyelenggaraan Aplikasi Instrumentasi ini hasil yang diperoleh disampaikan kepada
masing-masing responden, dalam bentuk Profil Individual, sedangkan kepada Guru bimbingan dan
konseling/Kepala Sekolah diberikan Data rekap dan data pendukung lainnya, sebagai bahan untuk
pemberian layanan lebih lanjut.
Penyampaian hasil instrumentasi kepada masing-masing responden akan lebih baik apabila disampiakan
secara individual, sehingga konselor dapat berkomunikasi dan menjelaskan isi dari laporan hasil
instrumentasi yang akan diberikan dalam bentuk format individual, dan sekaligus bagi siswa yang
memiliki permasalahan dapat diberikan penjelasan untuk langkah-langkah tindak lanjut berikutnya

I. Kegunaan Sosiometri
Sosiometri dapat dipergunakan untuk :
Memperbaiki hubungan insani.
Menentukan kelompok kerja
Mengetahui bagaimana hubungan sosial atau berteman seorang individu denganindividu lainnya.
Mencoba mengenali problem penyesuaian diri seorang individu dalam kelompok sosial tertentu.
Menemukan individu mana yang diterima atau ditolak dalam kelompok social tertentu.

J. Norma- Norma Sosiometri


Baik tidaknya hubungan sosial individu dengan individu lain dapat dilihat dari beberapa segi
yaitu :
Frekuensi hubungan, yaitu sering tidaknya individu bergaul. makin sering individu bergaul, pada
umumnya individu itu makin baik dalam segi hubungan sosialnya. Bagi individu yang
mengisolir diri, di mana ia kurang bergaul, hal ini menunjukkan bahwa di dalam pergaulannya
kurang baik.
Intensitas hubungan, yaitu intim tidaknya individu bergaul. Makin intim atau mendalamseseorang
dalam hubungan sosialnya dapat dinyatakan bahwa hubungan sosialnya makin baik. Teman intim merupakan teman
akrab yang mempunyai intensitas hubungan yang mendalam.
Popularitas hubungan, yaitu banyak sedikitnya teman bergaul. Makin banyak teman di dalam
pergaulan pada umumnya dapat dinyatakan makin baik dalam hubungan sosialnya. Faktor
popularitas tersebut digunakan sebagai ukuran atau kriteria untuk melihat baik tidaknya
seseorang dalam hubungan atau kontak sosialnya.

K. Kelebihan Sosiometri
Beberapa kelebihan sosiometri antara lain :
a. Sosiometri mudah dilakukan karena guru tinggal meminta anak didik untukmenyebutkan
dengan siapa anak senang bermain atau belajar
b. Pengolahan hasil pengumpulan data relatif mudah karena guru tinggalmentabulasi pilihan
masing-masing anak
c. Dalam waktu singkat dapat diperoleh informasi yang diperlukan
d. Tidak menelan biaya banyak
e. Tidak perlu kemampuan khusus untuk melakukan sosiometri
L. Kelemahan sosiometri
Dua kelemahan Sosiometri anatara lain :
a. Informasi terkumpul hanya dari ungkapan yang disampaikan anak
b. Bersifat sangat situasional (tergantung keadaan anak saat itu)

M. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan dalam Penggunaan Sosiometri


Sosiometri tidak seharusnya dipergunakan sendirian, terlepas dari data yang dikumpulkan
melalui metode lain.
Agar menghasilkan data yang valid, pembimbing/pengumpul data harus mengikuti semua
prosedur / langkah-langkah penyelenggaraan sosiometri secara tepat.
Informasi yang diperoleh harus dijaga kerahasiannya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya anak yang terisolir menjadi makin rendah diri.
Perlu diusahakan untuk meniadakan klik-klik di dalam kelompok sosial.
Pemindahan anak-anak yang terisolir masuk ke dalam kelompok lain, harus diperhatikan
interaksi penerimaan kedua belah pihak.Pembimbing perlu menyadari kebutuhan khusus apa
yang diperlukan oleh individu-individu tertentu.

N. Angket / Kuesioner Sosiometri


Untuk mendapatkan materi di dalam sosiometri, biasanya dipergunakan angket sosiometri dan
hasil dari kuesioner ini diolah lebih lanjut sehingga menghasilkan sosiometri itu. Angket tersebut
dapat berbentuk sebagai berikut :
1. Bentuk pertama
Tanggal : ...........................
Nama : ..............................
Kriterium : ........................
Yang disukai : Yang tidak disukai :
1. ............................................. 1. ............................................
2. ............................................. 2. ............................................
3. ............................................. 3. ............................................
2. Bentuk kedua.
A. Siapakah diantara teman-temanmu yang kamu pilih sebagai teman belajar ?
1. ............................................alasan ...............................................
2. ............................................alasan ...............................................
3. ............................................alasan ...............................................
B. Siapakah diantara teman-temanmu yang tidak kamu sukai untuk belajar bersama ?
1. ............................................alasan ...............................................
2. ............................................alasan ...............................................
3. ............................................alasan ...............................................

Dengan melihat angket sosiometri, kita dapat mengetahui macam/ bentuk dalam
menentukan hubungan sosial :
Pemilihan sebagai arah yang positif.
Pemilihan sebagai arah yang negatif.

O. Bentuk-bentuk Sosiogram
Sosiogram adalah diagram yang menunjukkan hubungan atau interaksi individu dalam
sebuah kelompok, yang sekaligus dapat pula ditemukan pola hubungan sosial individu dengan
individu lainnya. Sosiogram dapat dituangkan dalam bentuk sejumlah lingkaran (dari terkecil
sampai terbesar) dan dalam bentuk lajur.
Contoh sosiogram :
Bentuk Lajur.

Bentuk Lingkaran

P. Konfigurasi dalam Sosiogram


Sehubungan dengan macam/bentuk hubungan sosial (pemilihan dan penolakan), maka kita
dapat mengetahui adanya beberapa konfigurasi yang menyatakan erat tidaknya hubungan/relasi
sosial yang terjadi.Konfigurasi adalah hubungan atau relasi sosial dari individu -individu dalam
suatu kelompok sehingga membentuk suatu susunan yang tertentu (Bimo Walgito, 1987).

Q. Tahap- Tahap Pelaksanaan Sosiometri


Tahap-tahap dalam pelaksanaan sosiometri adalah:
a. Tahap persiapan
b. Menentukan kelompok siswa yang akan diselidiki.
c. Memberikan informasi atau keterangan tentang tujuan penyelenggaraan sosiometri.
d. Mempersiapkan angket sosiometri
e. Tahap Pelaksanaan
f. Membagikan dan mengisi angket sosiometri.
g. Mengumpulkan kembali dan memeriksa apakah angket sudah diisi dengan benar
h. Tahap Pengolahan
i. Memeriksa hasil angket
Mengolah data sosiometri dengan cara menganalisa indeks, menyusun table tabulasi, membuat
sosigram.
BAB III
PENUTUP

Sosiometri merupakan suatu teknik untuk menyelidiki hubungan sosial antara anggota-
anggota dalam suatu kelompok.Tes sosiometri menghasilkan data atau informasi mengenai
jaringan-jaringan komunikasi dalam kelompok-kelompok tertentu, yang terdiri dari 10-50 orang.
Ada beberapa bentuk analisis sosiometri diantaranya :
a. Matrix sosiometri
b. Sosiogram
c. Indeks sosiometri
Dengan mempelajari data sosiometri seorang konselor dapat :
1. Menemukan murid mana yang ternyata mempunyai permasalahan dalam proses penyesuaian diri
dengan kelompoknya.
2. Membantu meningkatkan partisipasi sosial diantara murid-murid dengan penerimaan sosialnya.
3. Membantu meningkatkan pemahaman dan pengertian murid terhadap masalah pergaulan yang
sedang dialami oleh individu tersebut.
4. Merencanakan program yang konstruktif untuk menciptakan iklim sosial yang lebih baik dan
sekaligus membantu mengatasi masalah penyesuaian dikelas tertentu.

BAB I. PENULISAN / PEMBUATAN

Kegiatan mengukur atau melakukan pengukuran adalah merupakan kegiatan yang paling
umum dilakukan dan merupakan tindakan yang mengawali kegiatan evaluasi dalam penilaian
hasil belajar. Kegiatan mengukur itu pada umumnya tertuang dalam bentuk tes dengan
berbagai variasinya.

Teknik tes bukan satu-satunya teknik untuk melakukan evaluasi hasil belajar, sebab masih ada
teknik lainnya yang dapat dipergunakan, yaitu teknik non-tes. Dengan teknik non-tes maka
penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan dengan tanpa menguji peserta
didik, melainkan dengan berbagai cara, seperti:

1. Skala

2. Angket

3. Wawancara

4. Observasi

5. Dll.

1. SKALA

Pengertian
Skala adalah alat untuk mengukur nilai, sikap, minat, perhatian, yang disusun dalam bentuk
pernyataan untuk dinilai oleh responden dan hasilnya dalam bentuk rentangan nilai sesuai
dengan kriteria yang ditentukan.

Jenis-jenis Skala

Skala penilaian

Skala penilaian mengukur penampilan atau perilaku orang lain oleh seseorang melalui
pernyataan perilaku individu pada suatu kategori yang bermakna nilai. Titik atau kategori diberi
nilai rentangan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah. Rentangan bisa dalam bentuk
huruf, angka, kategori seperti; tinggi, sedang, baik, kurang, dsb.

Contoh:

Skala Penilaian

Penampilan Guru Mengajar

Nama guru: Bidang studi yang diajarkan:

Skalanilai
No Pernyataan
A B C D

1.2. PenguasaanbahanpelajaranHubungandengan
3. siswaBahasayangdigunakan

4. Pemakaian metode dan alat bantu mengajar

5. Jawaban terhadap pertanyaan siswa

Keterangan

A: baik sekali C: cukup


B: Baik D: kurang

Hal yang penting diperhatikan dalam skala penilaian adalah kriteria skala nilai, yakni penjelasan
operasional untuk setiap alternatif jawaban. Adanya kriteria yang jelas untuk setiap alternatif
jawaban akan mempermudah pemberian penilaian dan terhindar dari subjektivitas penilai. Tugas
penilai hanya memberi tanda cek (V) dalam kolom rentangan nilai. Penyusunan skala penilaian
hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Tentukantujuanyangakandicapaidariskalapenilaianinisehinggajelasapa
yangseharusnyadinilai.

2. Berdasarkantujuantersebut,tentukanaspekatauvariabelyangakan
diungkapmelaluiinstrumenini.

3. Tetapkanbentukrentangannilaiyangakandigunakan,misalnyanilaiangka
ataukategori.

4. Buatlahitem-itempernyataanyangakandinilaidalamkalimatyangsingkat
tetapibermaknasecaralogisdansistematis.

5. Adabaiknyamenetapkanpedomanmengolahdanmenafsirkanhasilyang
diperolehdaripenilaianini.

Skala yang penilaiannya tidak dibuat dalam bentuk rentangan nilai tetapi hanya mendiskripsikan
apa adanya, disebut daftar checklist.

Skala sikap

Skala sikap digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa
kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya
adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga dapat diartikan reaksi seseorang
terhadap suatu stimulus yang datang pada dirinya.

Skala sikap dinyatakan dalam bentuk pernyataan untuk dinilai oleh responden, apakah
pernyataan itu didukung atau ditolak, melalui rentangan nilai tertentu. Oleh sebab itu, pernyataan
yang diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan pernyataan negatif.
Pernyataan sikap, di samping kategori positif dan negatif, harus pula mencerminkan dimensi
sikap, yakni kognisi, afeksi, dan konasi.

Bentuk Skala Sikap

Bentuk skala yang dapat di pergunakan dalam pengukuran bidang pendidikan yaitu:[1]

1.Skala Likert

Skala likert ialah skala yang dapat di pergunakan untuk mengukur sikap,pendapat,dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang suatu gejala atau fenomena pendidikan. Skala ini
memuat item yang diperkirakan sama dalam sikap atau beban nilainya, subjek merespon dengan
berbagai tingkat intensitas berdasarkan rentang skala antara dua sudut yang berlawanan,
misalnya:

Setuju tidak setuju

Suka tak suka

Menerima menolak

Model skala ini banyak digunakan dalam kegiatan penelitian, karena lebih mudah
mengembangkannya dan interval skalanya sama.

Contoh:

Semua peserta latihan dapat menyusun program studinya sendiri.

Alternatif jawaban :

Sangat setuju ( SS ), Setuju ( S ), Ragu-Ragu ( RR ), Sangat Tidak Setuju ( STS )

2. Skala Guttman
Skala guttman yaitu skala yang mengiginkan tipe jawan tegas, seperti jawaban benar salah,ya
tidak, pernah tidak pernah,positif- negatif, tinggi rendah, baik buruk, dan seterusnya.pada
skala Guttman ada dua interval yaitu setuju dan tidak setuju.selain dapat dibuat dalam bentuk
pertanyaan pilihan ganda, skala Guttman dapat juga dibuat dalam bentuk daftar checklist.

3. Semantik Differensial

Skala differensial yaitu skala untuk mengukur sikap,tetapi bentuknya bukan pilihan ganda atau
checklis, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum dimana jawaban yang sangat positif terletak
dibagian kanan garis,dan jawaban negatif disebelah kiri garis, atau sebaliknya.

Data yang diperoleh melalui pengukuran dengan skala mantik differensial adalah data interval.
Skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang.
Sebagai contoh penggunaan skala semantik differensial ialah menilai gaya kepemimpinan kepala
sekolah.

4. Rating Scale

Data data skala yang diperoleh melaui tiga macam skala diatas adalah data kualitatif yang
kemudian dikuantitatifkan. Berbeda dengan rating scale,data yang diperoleh adalh data
kuanitatif(angka) yakng kemudian ditafsirkan dalm pengertian kualitatif. Skala ini lebih
fleksibel, tidak saja untuk mengukur sikap tetapi juga digunakan untuk mengukur persepsi
responden terhadap fenomena lingkungan, seperti skala untuk mengukur status sosial ekonomi,
pengetahuan,kemampuan,dan lain-lain.

5. Skala Thurstone

Skala thurstone ialah skala yang disusun dengan memilih butir yang berbentuk skala interval.
Setiap butir memiliki kunci skor dan jika diurut, kunci skor menghasilkan nilai yang berjarak
sama. Skala thurstone dibuat dalam bentuk sejumlah (40-50) pertanyaan yang relevan dengan
variabel yang hendak diukurkemudian sejumlah ahli (20-40) orang yang menilai relevansi
pertanyaan itu dengan konten atau konstruk variabel yang hendak diukur. Nilai 1 pada skala
diatas menyatakan sangat tidak relevan, sedangkan nilai 11 menyatakan sangat relevan.
Prosedur Penyusunan Skala Sikap

Langkah-langkah penyusunan skala pada umumnya adalah:[2]

1. Tentukanobjekyangdituju,kemudiantetapkanvariabelyangakandiukur
denganskalatersebut

2. Lakukananalisisvariabeltersebutmenjadibeberapasubvariabelatau
dimensivariabel,lalukembangkanindikatorsetiapdimensitersebut

3. Darisetiapindikator,tentukanruanglingkuppernyataansikapyang
berkenaandenganaspekkognisi,afeksi,dankonasiterhadapobjeksikap.

4. Susunlahpernyataanuntukmasing-masingaspektersebutdalamdua
kategoriyaknipernyataanpositifdanpernyataannegatif,secaraseimbang
banyaknya.

Prosedur Penyusunan Item Utuk Skala Sikap

Pada garis besarnya penysunan item untuk skala, perlu ditempuh langkah langkah sebagai
berikut:[3]

1. Tentukanobyekataugejalaapa

2. Rumuskanperilakuapayangmengacusikapapaterhadapobyekataugejala
tersebut

3. Rumuskankarakteristikdariperilakusikaptersebut

4. Rincilahlebihlanjuttiapkarekteristikmenjdisejumlahatributyanglebih
speifik.

5. Tentukanindicatorpenilaianterhadapsetiapatributtersebut

6. Sususnlahperangkatitemsesuaidenganindicatoryangtelahdirumuskan

7. suatuskalaterdiridariantara20sampaidengan30item
8. Susunlahitemtersebut,yangterdiridariseparuhnyadalambentuk
pernyataanpositifdanseparuhnyadalmbentukpernyataannegative

9. Tentukanbanyakskala:limaatautujuhatausebelasalternative

10.tentukanbobotnilaibagitiapskalanya.Misalnya4,3,2,1.0untuklimanilai
skala,sebagaidasarperhitungankuantitatif.

Contoh:[4]

Misalnya menilai bagaimana sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika di sekolah.
Subvariabelnya adalah:

a) sikap terhadap tujuan dan isi mata pelajaran matematika

b) sikap terhadap cara mempelajari mata pelajaran matematika

c) sikap terhadap guru mata pelajaran matematika

d) dst

setiap subvariabel tersebut kemudian dijabarkan indikator-indikatornya:

1) paham dan yakin akan pentingnya tujuan dan isi matematika

2) kemauan untuk mempelajari materi matematika

3) kemauan untuk menerapkan atau menggunakan konsep matematika

4) dst.

SKALA SIKAP

Jenis kelamin : ..

Umur : .. tahun
Kelas/ semester : ..

Petunjuk:

Terhadap setiap pernyataan di bawah ini Anda diminta menilainya dengan cara memilih salah
satu di antara sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

Tidak Sangat
Sangat Tidak
Pernyataan Setuju punya tidak
setuju setuju
pendapat setuju

1. Sayatidakperlumemahami 5.
tujuanpelajaranmatematika

2. Pelajaranmatematikaharus
menarikminatsiswa

3. Konsep-konsepyangada
dalammatematikaterlalu
abstrak

4. Dst.

Tanda tangan responden

2. ANGKET

Angket juga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam rangka penilaian hasil belajar. Berbeda
dengan wawancara dimana penilaian (evaluator) berhadapan secara langsung dengan peserta
didik atau dengan pihak lainnya, maka dengan menggunakan angket, pengumpulan data sebagai
bahan penilaian hasil belajar jauh lebih praktis,menghemat waktu dan tenaga.

Petunjuk yang lebih teknis dalam membuat kuesioner adalah sebagai berikut:[5]
1. Mulaidenganpengantaryangisinyapermohonanmengisikuesionersambil
dijelaskanmaksuddantujuannya.

2. Jelaskanpetunjukataucaramengisinyasupayatidaksalah

3. Mulaidenganpertanyaanuntukmengungkapkanresponden

4. Isipertanyaansebaiknyadibuatbeberapakategoriataubagiansesuai
denganvariabelyangdiungkapkansehinggamudahmengolahnya.

5. Rumusanpertanyaandibuatsingkat,tetapijelassehinggatidak
membingungkandanmengakibatkansalahpenafsiran.

6. Hubunganantarapertanyaanyangsatudenganyanglainharusdijaga
sehinggatampaklogikanyadalamsaturangkaianyangsistematis.

7. Usahakankemungkinanagarjawaban,kalimat,ataurumusannyatidaklebih
panjangdaripertanyaan.

8. Kuesioneryangterlalubanyakatauterlalupanjangakanmelelahkandan
membosankanrespondensehinggapengisiannyatidakakanobjektiflagi.

9. Adabaiknyakuesionerdiakhiridengantandatangansipengisiuntuk
menjaminkeabsahanjawabannya.

Contoh 1 : Kuesioner Bentuk Pilihan Ganda untuk Mengungkap Hasil Belajar Ranah Afektif
(Kurikulum dan GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam Tahun 1994)[6]

1. Terhadapteman-temansekelassayayangrajiandankhusudalam
menjalankanibadahshalat,saya:

1. Merasatidakharusmenirumereka

2. Merasabelumpernahmemikirkanuntukshalatdenganrajindankhusu

3. Merasainginsepertimereka,tetap[iterasamasihsulit
4. Sedangberusahaagarrajindankhusu

5. Merasairihatidaninginsepertimereka.

Contoh 2 : Kuesioner Bentuk Skala Likert dalam Rangka Mengungkap Hasil Belajar Pendidikan
Agama Islam Ranah Afektif[7]

1. Membayarinfaqataushadaqahitumemangbaikuntukdikerjakan,akan
tetapisebenarnyabagiorangyangtelahmembayarkanzakatnyatidakperlu
lagiuntukmembayarinfaqataushadaqah.

Terhadap pertanyaan tersebut, saya:

1. Sangatsetuju

2. Setuju

3. Ragu-ragu

4. Tidaksetuju

5. Sangattidaksetuju

Kuesioner sebagai alat evaluasi juga sangat berguna untuk mengungkap latar belakang orang tua
peserta didik maupun peserta didik itu sendiri, dimana data yang berhasil diperoleh melalui
kuesioner itu pada suatu saat akan diperlukan, terutama apabila terjadi kasus-kasus tertentu yang
menyangkut diri peserta didik. Contoh dari kuesioner dimaksud diatas adalah sebagai berikut:[8]

I.ORANG TUA SISWA:

A. Ayah

1. nama lengkap ayah :

2. tempat dan tanggal lahir :

3. jenjang pendidikan : a. ( ) pendidikan dasar


b. ( ) pendidika menengah

c. ( ) pendidikan tinggi

4. jenis pekerjaan : a. ( ) petani

b. ( ) pedagang

c. ( ) pengusaha

d. ( ) pegawai negri sipil

e. ( ) Anggota ABRI

f. ( ) Tidak mempunyai pekerjaan tetap

B. Ibu

1. nama lengkap :

2. tempat dan tanggal lahir :

3. jenjang pendidikan :a. ( ) pendidika dasar

b. ( ) pendidikan menengah

c. ( ) pendidikan tinggi

4.jenis pekerjaan : a. ( ) petani

b. ( ) pedagang

c. ( ) Pegawai Negri Sipil

e. ( ) AnggotaABRI

f. ( ) Tidak bekerja
II. SISWA :

1. Nama lengkap :

2. tempat dan tanggal lahir :

3. jenis kelamin : a. ( ) Pria

b. ( ) Wanita

4. status anak dalam keluarga : a. ( ) Anak sulung

b. ( ) anak bungsu

c. ( ) anak ke

5. jumlah saudara kandung : ..orang

6.Tinggal bersama ayah ibu : a. ( ) ya

b. ( ) tidak

7.pernah dirawat dirumah sakit : a. ( ) belum pernah

Yang serius? b. ( ) pernah, karena menderita sakit..

.dan seterusnya

3. WAWANCARA

Pengertian

Secara umum yang dimaksud dengan wawancara adalah cara menghimpun bahan-bahan
keterangan yang dilaksanakan dengan melakukan tanya jawab lisan secara sepihak, berhadapan
muka, dan dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan. Ada dua jenis wawancara yang dapat
digunakan sebagai alat evaluasi, yaitu:
1. Wawancaraterpimpin(guided Interview)yangjugadikenaldenganistilah
wawancaraberstrukturatauwawancarasistematis

2. Wawancaratidakterpimpin(unguided Interview)yangseringdikenaldengan
wawancarasederhanaatauwawancaratidaksistematisataupunwawancara
bebas

Mempersiapkan Wawancara

Sebelum melaksanakan wawancara, perlu dirancang pedoman wawancara. Pedoman ini disusun
dengan langkah-langkah sebagai berikut:[9]

1. Tentukantujuanyangingindicapaidariwawancara.

2. Berdasarkantujuandiatastentukanaspek-aspekyangakandiungkapdari
wawancaratersebut.Aspek-aspektersebutdijadikandasardalammenyusun
materipertanyaanwawancara.

3. Tentukanbentukpertanyaanyangakandigunakan,yaknibentukberstruktur
ataubentukterbuka

4. Buatlahpertanyaanwawancarasesuaidengananalisisbutir(c)diatas,yakni
membuatpertanyaanyangberstrukturatauyangbebas

5. Adabaiknyaapabiladibuatpulapedomanmengolahdanmenafsirkanhasil
wawancara.

Contoh pedoman wawancara terbuka:

Tujuan : Memperoleh informasi mengenai cara belajar yang dilakukan oleh siswa
di rumahnya

Bentuk : Wawancara bebas

Responden : Siswa yang memperoleh prestasi belajar cukup tinggi.


Nama siswa :

Kelas / semester :

Jenis kelamin :

Pertanyaanguru Jawabansiswa Komentardankesimpulan


hasilwawancara

1. kapandanberapalama 7.
andabelajardirumah?

2. bagaimanacaraanda
mempersiapkandiriuntuk
belajarsecaraefektif?

3. kegiatanapayanganda
lakukanpadawaktu
mempelajaribahan
pelajaran?

4. seandainyaanda
mengalamikesulitandalam
mempelajarinya,usahaapa
yangandalakukanuntuk
mengatasikesulitan
tersebut?

5. bagaimanacarayanganda
lakukanuntukmengetahui
tingkatpenguasaanbelajar
yangtelahandacapai?

6. dst.

Tanggal, bulan, tahun


Pewawancara

4. PENGAMATAN

Pengertian

Pengamatan merupakan cara menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang dilakukan


dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena
yang sedang dijadikan sasaran pengamatan / observasi. Observasi sevagai alat evaluasi banyak
digunakan untuk menilai tingkah laku individu atau proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat
diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan.

Macam-Macam Observasi

Observasi dapat dilakukan secara:[10]

1. Partisipatif

Observer (dalam hal ini pendidik yang sedang melakukan kegiatan observasi) melibatkan diri di
tengah-tengah kegiatan observee (yang diamati)

1. Non-Partisipatif

Evaluator / observer berada di luar garis, seolah-olah sebagai penonton belaka.

1. Eksperimental

Observasi yang dilakukan dalam situasi buatan. Pada observasi eksperimental, peserta didik
dikenai perlakuan (treatment) atau suatu kondisi tertentu, maka diperlukan perencanaan dan
persiapan yang benar-benar matang.

1. Non-Eksperimental

Observasi dilakukan dalam situasi yang wajar, pelaksanaannya jauh lebih sederhana
1. Sistematis

Observasi yang dilakukan dengan terlebih dahulu membuat perencanaan secara matang. Pada
jenis ini, observasi dilaksanakan dengan berlandaskan pada kerangka kerja yang memuat faktor-
faktor yang telah diatur kategorisasinya.

1. Non-sistematis

Observasi di mana observer atau evaluator dalam melakukan pengamatan dan pencatatan tidak
dibatasi oleh kerangka kerja yang pasti, maka kegiatan observasi hanya dibatasi oleh tujuan dari
observasi itu sendiri.

Membuat Pedoman Observasi

Langkah yang ditempuh dalam membuat pedoman observasi langsung adalah sebagai berikut :
[11]

1. Lakukanterlebihdahuluobservasilangsungterhadapsuatuprosestingkah
laku,misalnyapenampilangurudikelas.Lalucatatkegiatanyang
dilakukannyadariawalsampaiakhirpelajaran.Halinidilakukanagardapat
menentukanjenisperilakugurupadasaatmengajarkansebagaisegi-segi
yangakandiamati

2. Berdasarkangambarandarilangkah(a)diatas,penilaimenentukansegi-
segimanadariperilakugurutersebutyangakandiamatisehubungandengan
keperluannya.Urutkansegi-sejgitersebutsesuaidenganapayang
seharusnyaberdasarkankhasanahpengetahuanilmiah,misalnya
berdasarkanteorimengajar.Rumusantingkahlakutersebutuharusjelasdan
spesifiksehinggadapatdiamatiolehpengamatnya

3. Tentukanbentukpedomanobservasitersebut,apakahbenrukbebas(tak
perlujawaban,tetapimencatatapayangtampak)ataupedomanyangn
berstruktur(memakaikemungkinanjawaban).Biladipakaibentukyang
berstruktur,tetapkanpilihanjawabansertaindikator-indikatordansetiap
jawabanyangdisediakansebagaipeganganbagipengamatpadasaat
melakukanobservasinanti

4. Sebelumobservasidilaksanakan,diskusikandahulupedomanobservasiyang
telahdibuatdancalonobservanagarsetiapsegiyangdiamatidapat
dipahamimaknanyadanbagaimanacaramengisinya.

5. Bilaadahalkhususyangmenarik,tetapitidakadadalampedomanobservasi,
sebaiknyadiadakancatatankhususataukomentarpengamatdibagianakhir
pedomanobservasi.

Pencatatan hasil observasi itu pada umumnya jauh lebih sukar daripada mencatat jawaban-
jawaban yang diberikan oleh peserta didik terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dalam
suatu tes. Pencatatan terhadap segala sesuatu yang dapat disaksikan dalam observasi itu penting
sekali sebab hasilnya akan dijadikan landasan untuk menilai makna yang terkandung di balik
tingkah laku peserta didik tersebut. Pedoman observasi itu wujud kongkretnya adalah sebuah
atau beberapa buah formulir (blangko atau form) yang di dalamnya dimuat segi-segi, aspek-
aspek atau tingkah laku yang perlu diamati dan dicatat pada waktu berlangsungnya kegiatan
peserta didik.

Contoh:

Mata Pelajaran : Keterampilan

Topik : Membuat Kaligrafi dari kertas

Kelas :

Nama Siswa :

Hari & Tanggal :

Jam Pelajaran :

No Kegiatan/Aspekyangdinilai Skor/Nilai Keterangan


Persiapanalat-alat(bahan)
1.2.3.
KombinasibahanKombinasiwarna


4.
Cara mengerjakan

5.
Sikap waktu mengerjakan

6.
Ketetapan waktu mengerjakan

7.
Kecekatan

8.
Hasil pekerjaan

Jumlahnilai

Hasil penilaian dengan menggunakan instrumen tersebut diatas sifatnya adalah individual.
Setelah selesai, nilai-nilai individual itu dimasukkan ke dalam daftar nilai yang sifatnya kolektif,
seperti contoh berikut ini:

Mata pelajaran : Keterampilan

Topik : Membuat Kaligrafi dari kertas

Kelas : ..

Cawu/semester : ..

Skor/Nilaiuntuk
Rata-
tiap-tiap Jumlah
No. NamaSiswa rata
kegiatan/Aspek

1 2 3 45678

1.2.
3. . ..
..
.. ..

4. . ..

Dan seterusnya
..

Contoh Instrumen Observasi berupa rating scale, dalam rangka menilai sikap peserta didik
dalam mengikuti pengajaran pendidikan agama islam di sekolah:

Nama siswa : .

Kelas : .

Kadang- Tidak
No. Kegiatan/aspekyangdinilai Selalu Sering
kadang pernah

1.2.3. DatangtepatpadawaktunyaRapi
dalamberpakaianRapidalam
menulisdanmengerjakanpekerjaan

4.

5. Menjaga kebersihan badan

6. Hormat kepada guru

7. Rukun dengan teman-teman sekelasnya

Dan seterusnya

Jumlahskor

BAB II. PENGOLAHAN DATA HASIL NON TES

Pada umumnya data hasil nontes bertujuan untuk mendeskripsikan hasil pengukuran sehingga
dapat dilihat kecenderungan jawaban responden melalui alat ukur tersebut. Misalnya bagaimana
kecenderungan jawaban yang diperoleh dari wawancara, kuesioner, observasi, skala.
Pengolahan data hasil wawancara dan kuesioner

Dari data hasil wawancara dan atau kuesioner pada umumnya dicari frekuensi jawaban
responden untuk setiap alternatif yang ada pada setiap soal. Frekuensi yang paling tinggi
ditafsirkan sebagai kecenderungan jawaban alat ukur tsb, seperti;

Contoh: Melalui kuesioner ataupun wawancara diungkapkan pandangan siswa mengenai guru
yang diharapkan dalam:

1. Kemampuanmengajar

2. Hubungandengansiswa

Kuesioner atau wawancara diajukan kepada 40 orang siswa dengan pertanyaan sbb.:

1. Guruyangsayaharapkanadalahguruyang:

1. Menguasaibahanpelajaranataupandaidalambidangilmunya.

2. Caramenjelaskanbahannyadapatsayapahamisekalipuntidakbegitu
pandai/

3. Pandaidalambidangilmunyadandapatmenjelaskannyakepadasiswa
denganbaik.

4. Sebaiknyadimulaidariyangumum,kemudiandibahassecarakhusus

5. Sebaiknyadimulaidariyangkhusus,kemudianmenujukepadayangumum.

6. Dimulaidarimanasajaasaldijelaskansecarasistematis.

1. Padawaktumengerjakanbahanpelajaran:

dan seterusnya
Kuesioner yang telah diisi oleh siswa kemudian diperiksa dan diolah dengan menghitung
frekuensi jawaban seluruh siswa terhadap setiap pertanyaan tersebut. Misalnya hasil pemeriksaan
tersebut sbb.:[12]

Tabel 1: Frekuensi jawaban siswa

Mengenai masalah kemampuan guru mengajar (n=40)

Peringkat
Masalahyangdiungkapkan F %
jawaban

412 1030 32
1. Kemampuanmengajar

1.1. Kemampuan mengajar


24
60 1
1. Menguasaibahan
10
25 2
2. Mampumenjelaskanbahan
6
12 3
3. Menguasaibahandanmampu
24
menjelaskannya 60 1

1.2. Prosedur mengajarkan bahan pelajaran

1. Dimulaidariyangumum

2. Dimulaidariyangkhusus

3. Harussistematis

Cara lain dalam mengolah data diatas ialah dengan menggunakan khi kuadrat (x2) rumus yang
digunakan :

Dalam khi kuadrat, yang dicari ialah adakah perbedaan yang berarti di antara frekuensi hasil;
pengamatan atau jawaban nyata (fo ) dengan frekuensi jawaban yang diharapkan ( fe ). Jika ada
perbedaan, artinya jawaban tersebut betul-betul adanya, bukan karena faktor kebetulan.
Contoh:

Kita ambil jawaban nomor 1 dari tabel 1

Jawaban fo fe

a.menguasaibahanb.mampu 41224 13,313,313,3 6,500,138,61


menjelaskanc.menguasai
bahandandapat
menjelaskannya

X2=15,24

Ket:

Fe=13,3diperolehdari40/3=133

Hargax2=15,24kemudiandibandingkandenganhargatabeluntuktingkat
kepercayaan0,05denganderajatbebas3-1(alternatifjawaban=3)

Hargax2dalamtabel=5,99.

Dengan demikian x2 = 15,24 > 5,99 sehingga perbedaan itu cukup berarti ini berarti bahwa
interpretasi yang menyatakan bahwa guru yang diharapkan adalah guru yang menguasai bahan
dan dapat menjelaskannya pada siswa adalah sah sebagai kesimpulan dari data tsb.

Pengolahan data hasil observasi

Contoh: [13]

OBSERVASI KEMAMPUAN GURU DALAM MENGAJAR

Nama guru : .. Pendidikan :


..

Nilaipengamatan
Aspekyangdiamati
4 3 2 1
vv vvv
1. Penguasaanbahan

2. Kemampuanmenjelaskanbahan

3. Hubungandengansiswa

4. Penguasaankelas

5. Keaktifanbelajarsiswa

Pengamat,

Dari contoh di atas skor hasil observasi adalah

3 + 4 + 3 + 4 + 3 = 17

Nilai rata-rata untuk kelima aspek tsb. Adalah 17/5 = 3,4. Skor ini cukup tinggi sebab maksimum
rata-rata atau skor maksimum untuk setiap aspek adalah 4 atau 20 untuk semua aspek (54).

Skor ini bisa juga dikonversikan ke dalam bentuk standar 100 atau standar 10.

Konversikedalamstandar100adalah17/20x100=85

Konversikedalamstandar10adalah17/20x10=8,5

Jika dibuat interpretasi untuk setiap aspek, maka dapat disimpulkan bahwa guru tersebut sangat
istimewa dalam hal kemampuan menjelaskan dan penggunaan kelas, sedangkan dalam
penguasaan bahan, komunikasi dengan siswa, dan dalam mengaktifkan siswa termasuk
memuaskan.

Pengolahan data skala penilain atau skala sikap


Data hasil skala pengolahannya hampir sama dengan pengolahan data hasil observasi yang
menggunakan skor atau nilai dalam pengamatannya. Dengan demikian, untuk setiap siswa yang
diukur melalui skala penilaian atau skala sikap bisa ditentukan;

a) Perolehan skor dari seluruh butir pertanyaan,

b) Skor rata-rata dari setiap pertanyaan dengan membagi jumlah skor oleh banyaknya
pertanyaan

c) Interpretasi terhadap pertanyaan mana yang positif atau baik dan pertanyaan atau aspek
mana yang negatif atau kurang baik

Lebih jauh lagi data hasil penilaian dan skala sikap sebenarnya menyerupai data hasil tes, dengan
demikian dapat diolah seperti mengolah data hasil tes.

Untuk skala sikap, berilah skor terhadap jawaban siswa dengan ketentuan sbb: untuk pernyataan
positif (mendukung) ialah 5 untuk sangat setuju, dst. Untuk pernyataan negatif (menolak) ialah 5
untuk sangat setuju, dst.

Konversi Nilai

Standar yang sering digunakan dalam menilai hasil belajar dapat dibedakan ke dalam bebrapa
kategori, yakni:

1. Standarseratus(0-100)

2. Standarsepuluh(0-10)

3. Standarempat(1-4)ataudenganhuruf(A-B-C-D)

Dalam konversi nilai digunakan dua cara, yakni:

a. Konversi tanpa menggunakan nilai rata-rata dan simpangan baku.

Cara ini sangat sederhana, yakni dengan menentukan kriteria sebagai dasar untuk melakukan
konversi nilai.
Nilaikonversi
Skor(%)
Huruf Standar10 Standar4

(90-99)(80-89) 432
ABC 9/1087
(70-79)

1
D 6
(60-69)
Gaga
E (gagal) Gagal
Kurang dari 60

1. b. Konversi nilai dengan menggunakan nilai rata-rata dan simpangan


baku

Konversi nilai ini perlu dihitung terlebih dahulu nilai rata-rata dan simpangan baku yang
diperoleh siswa, kemudian terhadap nilai-nilai atai skor mentah tersebut dilakukan konversi.
Kriteria yang digunakan untuk melakukan konversi skor mentah ke dalam standar 10 adalah
sebagai berikut:

M + 2,25 S = 10

M + 1,75 S = 9

M + 1,25 S = 8

M + 0,75 S = 7

M + 0,25 S = 6 M = nilai rata-rata

M 0,25 S = 5 S = Simpangan baku (deviansi standar)

M 0,75 S = 4

M 1,25 S = 3
M 1,75 S = 2

M 2,25 S = 1

Contoh:

Tes diberikan kepada siswa dalam bentuk tes objektif sebanyak 90 soal. Setiap soal yang dijawab
benar diberi skor satu sehingga skor maksimum yang dapat dicapai siswa adalah 90. setelah
diperiksa, ternyata skor yang paling tinggi mencapai 50 dan skor terendah 30. nilai rata-rata
(setelah dihitung) adalah 40 dan simpangan bakunya 4,0.

Dengan menggunakan rumus atau kriteria tersebut, diperoleh nilai dalam standar sepuluh sebagai
berikut:

Standar 10

40 + (2,25) (4,0) = 49 10

40 + (1,75) (4,0) = 47 9

40 + (1,25) (4,0) = 45 8

40 + (0,75) (4,0) = 43 7

40 + (0,25) (4,0) = 41 6 (batas lulus)

40 (0,25) (4,0) = 39 5

40 (0,75) (4,0) = 37 4

40 (1,25) (4,0) = 35 3

40 (1,75) (4,0) = 33 2

40 (2,25) (4,0) = 31 1
Konversi lainnya adalah konversi skor mentah ke dalam standar huruf dan standar empat. Dalam
standar ini huruf A setara dengan 4, artinya istimewa; huruf B setara dengan 3, artinya
memuaskan; dst. Kriteria yang digunakan pada dasarnya tidak berbeda dengan kriteria untuk
konversi nilai ke dalam standar 10.

Secara sederhana untuk nilai C berada pada nilai rata-rata atau deviasi standar nol. Untuk
menentukan kedudukan nilai, perlu dicari batas bawah dan batas atas setiap nilai. Ukuran atau
kriterianya adalah sebagai berikut:

Nilai Batas bawah Batas atas

D M 1,5 S M 0,5 S

C M 0,5 S M + 0,5 S

B M + 0,5 S M + 1,5 S

A M + 1,5 S M + 2,5 S

Contoh:

Apabila berdasarkan perhitungan diperoleh nilai rata-rata (M) = 40 dan simpangan baku (S) =
10, mak konversi nilainya menjadi:

Batas bawah D = 40 1,5 (10) = 25

Batas bawah D = 40 0,5 (10) = 35

Dst., maka hasilnya adalah:

Skor Nilai

25-35 D (1)

36-45 C (2)
46-55 B (3)

56-60 A (4)

Pengolahan Data. Tesis merupakan salah satu karya ilmiah dimana setiap mahasiswa pascasarjana wajib membuat
tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar megister. Untuk itu setiap mahasiswa harus mengetahui
bagaimana menyusun sebuah tesis yang baik. Penulisan tesis yang baik tidak terlepas dari mengangkat suatu
masalah hingga mencari solusi yang tepat untuk penyelesaian masalah tersebut.

Bagian-bagian tesis, mulai dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitia, kajian pustaka, hingga metode penelitian adalah merupakan bagian-bagian yang harus
diperhatikan, maksudnya masalah yang dingkat harus sesuai dengan proses pemecahan masalah (metode
penelitian)sampai pada solusi dari masalah tersebut, apakah menjawab dari masalah yang diangkat atau yang
sedang terjadi/diteliti.

Salah satu bagian dari penulisan sebuah tesis yaitu metode penelitian. Ada beberapa poin dalam metode penelitian
diantaranya yaitu tehnik pengumpulan data atau metode pengumpulan data. Didalam makalah ini, istilah tehnik
pengumpulan data dan metode pengumpulan data kami samakan dengan pertimbangan bahwa buku refrensi yang
kami jadikan sebagai acuan ada yang menyamakan namun ada juga didapat bahwa tehnik terkait dengan metode,
atas pertimbangan bahwa pengertian tehnik adalah sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam
mengimplementasikan suatu metode secara spesifik.

Uraian tentang tehnik pengumpulan data, jenis data dan sumber data akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan
berikut ini:

:)
Pembahasan

Penelitian merupakan suatu aktifitas ilmiah yang dilakukan untuk menyelidiki, menjelaskan dan/atau menyelesaikan
permasalahan tertentu. Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa poin dalam metode penelitian diantaranya
adalah tehnik pengumpulan data. Sebelum membahas lebih lanjut tentang tehnik pengumpulan data, terlebih dahulu
dibahas tentang yang mana dimaksud data dalam sebuah penelitian.

Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa fakta ataupun angka. Dari SK Menteri P dan K No.
0259/U/1977 tanggal 11 juli 1977 disebutkan bahwa data adalah segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan
untuk menyusun suatu informasi, sedang informasi adalah hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu
keperluan.

Tidak jauh berbeda dengan di atas bahwa data adalah hasil pengukuran sebuah peubah (variabel)(Tiro, 2000:1).
Data merupakan suatu informasi atau fakta dan biasanya dinyatakan dalam bentuk angka (Tiro,2000:3). Jadi dapat
disimpulkan bahwa data adalah hasil pengukuran sebuah variable yang dapat memberikan suatu informasi atau
fakta.

Tehnik pengumpulan data

1.Kuesioner (angket)

Kuesioner (angket) adalah tehnik pengumpulan data yang berupa daftar pertanyaan yang disampaikan kepada
responden untuk dijawab secara tertulis atau dengan kata lain peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan
responden. Biasanya menggunakan skala likert.

Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam
arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang diketahui.Kuesioner dipakai untuk menyebutkan metode maupun
instrumen. Jadi dalam menggunakan metode angket atau kuesioner instrumen yang dipakai adalah angket atau
kuesioner.

Angket atau kuesioner dijawab atau diisi oleh responden dan peneliti tidak selalu bertemu langsung dengan
responden, maka dalam penyusuna angket perlu diperhatikan beberapa hal yaitu:

Sebelum butir-butir pertanyaan atau pernyataan ada pengantar atau petunjuk pengisian.

Butir-butir pertanyaan dirumuskan secara jelas menggunakan kata-kata yang lazim digunakan (popular), kalimat
tidak terlalu panjang.

Untuk setiap pertanyaan atau pernyataan terbuka dan berstruktur disediakan kolom untuk menuliskan jawaban atau
respon dari responden secukupnya.

Bentuk-bentuk penyusunan angket meliputi:

a. Angket berstruktur, yakni angket yang menyediakan kemungkinan jawaban

b. Angket tak berstruktur, yakni angket yang tidak jawaban.

Jenis kuesioner (angket)dapat dibeda-bedakan dari berbagai sudut pandang :

Dipandang dari cara menjawabnya, maka ada:

* Kuesioner terbuka, yang memberi kesempatan kepada responden untuk menjawab dengan kalimat sendiri.

* Kuesioner tertutup, yang sudah disediakan jawabanya sehingga responden tinggal memilih.

Dipandang dari jawaban yang diberikan ada:

* Kuesioner langsung, yaitu responden menjawab tentang dirinya

* Kuesioner tidak langsung, yaitu jika responden menjawab tentang orang lain

Dipandang dari bentuknya maka ada:


* Kuesioner pilihan ganda, yang dimaksud adalah sama dengan kuesionr tertutup.

* Kuesioner isian yang dimaksud adalah kuesioner terbuka.

* Chek list sebuah daftar dimana responden tinggal membubuhkan tanda chek pada kolom yang sesuai.

* Rating scale (skala bertingkat) yaitu sebuah pertanyaan diikuti oleh kolom-kolom yang menunjukan tingkatan-
tingkatan.

Kelebihan kuesioner sebagai berikut:

* Tidak memerlukan hadirnya peneliti.

* Dapat dibagikan secara serentak kepada responden.

* Dapat dijawab oleh responden menurut kecepatannya masing-masing menurut waktu senggang responden.

* Dapat dibuat anonim sehingga responden bebas, jujur dan tidak malu-malu menjawab.

* Dapat dibuat berstandar sehingga semua responden dapat diberi pertanyaan yang benar-benar sama.

Kelemahan kuesioner adalah sebagai berikut:

* Responden sering tidak teliti dalam menjawab sehingga ada pertanyaan yang terlewati tidak terjawab, padahal
sukar diulangi diberikan kembali padanya.

* Seringkali sukar dicari validitasnya

* Walaupun dibuat anonim, kadang-kadang responden sengaja memberikan jawaban yang tidak betul atau tidak jujur

* Angket yang dikirim lewat pos pengembaliannya sangat rendah, hanya sekitar 20%. Seringkali tidak dikembalikan
tertutama jika dikirim lewat pos menurut penelitian

* Waktu pengembaliannya tidak sama-sama, bahkan kadang-kadang ada yang terlalu lama sehingga terlambat

2. Wawancara (interview)

Wawancara (Interview), yaitu tehnik pengumpulan data yang bercakap-cakap dengan sumber data baik langsung
maupun tidak langsung. Tehnik wawancara bertumpu kepada factor manusia sebagai alat pengumpul data.

Interview adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk-
dijawab secara lisan pula. ciri utama dari interview adalah kontak langsung dengan tatap muka (face to face
relationship) antara si pencari informasi (interviewer atau information hunter) dengan sumber informasi
(interviewee).

Interview adalah dialog (interview) yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari
terwawancara (interviewee)

Jenis interview

* Interview bebas (tak berstruktur), yaitu pewawancara bebas menanyakan data apa saja yang akan dikumpulkan
sesuai dengan kebutuhan peneliti.
* Interview terpimpin (terstruktur), yaitu interview yang dilakukan oleh pewawancara dengan membawa seperangkat
pertanyaan lengkap dan terperinci.

* Interview bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara interview bebas dan interview terpimpin

Dilihat dari tujuan, wawancara dapat dibedakan atas

Personal interview

Dalam wawancara ini seorang pewawancara berhadapan langsung dengan seorang responden yang diwawancarai.

Group interview

Dalam wawancara ini sekelompok pewawancara berhadapan langsung dengan seseorang atau sekelompok
responden.

Keunggulan wawancara sebagai berikut:

*Diperoleh informasi dalam suasana komunikasi secara langsung, yang memungkinkan seseorang memberikan data
factual seperti mengungkapkan sikap, pikiran, harapan, dan perasaan.

* Rumusan pertanyaan dapat disesuaikan dengan daya tangkap yang diwawancara.

* Dapat ditanyakan hal-hal yang bersifat sensitive, seperti suasana keluarga, corak pergaulan dengan saudara
kandung dan teman sebaya, penggunaan bahan narkotika, pengalaman seksual, dsb.

*Interview penting untuk memperoleh informasi, tidak hanya mengenai item-item yang factual namun juga mengenai
sikap, ambisi dan harapan.

*Fact-Finding interview dapat digunakan karena data sebelumnya tidak jelas atau karena perasaan yang mendasari
perlu ditemukan dan dipahami.

Kelemahan dari wawancara sebagai berikut :

* Memakan banyak waktu bagi petugas wawancara.

* Peserta wawancara berprasangka terhadap petugas wawancara dan memberikan informasi yang tidak sesuai
dengan kenyataan.

* Petugas wawancara mendengarkan terlalu selektif atau bertanya-tanya dengan cara yang sugestif.

* Pembuatan catatan memberikan kesan kepada siswa bahwa dia sedang berhadapan dengan petugas kepolisian.

* Interview mungkin mengubah informasi mengenai interview mereka sendiri, reaksi mereka, dan pengalaman
mereka.

* Interview dapat menjadikan sumber kesalahan. Mereka dapat mencatat informasi karena pendengaran yang selektif.
Mungkin mereka hanya gagal mendengarkan pernyataan interviewee yang bertentangan dengan opini,reaksi, sikap
atau ide tentang situasi mereka sendiri.

3. Pengamatan (Observasi)
Pengamatan (Observasi), yaitu tehnik pengumpulan data dengan cara mengamati kegiatan tertentu. Tehnik ini
banyak digunakan, baik dalam penelitian sejarah, deskriptif ataupun experimental, karena dengan pengamatan
memungkinkan gejala-gejala penelitian dapat diamati dari dekat, pelaksanaan observasi menempuh tiga cara utama
yaitu:

1) Pengamatan langsung

Yaitu pengamatan yang dilakukan tanpa perantara terhadap objek yang diteliti.

2) Pengamatan tak langsung

Yaitu pengmatan yang dilakukan terhadap suatu objek tanpa perantaraan suatu alat atau cara , baik dilaksanakan
dalam situasi sebenarnya maupun buatan.

3) Partisipasi

Yaitu pengamatan yang dilakukan dengan cara ikut ambil bagian atau melibatkan diri dalam situasi objek yang diteliti.

Untuk memudahkan dalam perekaman data atau informasi yang diperoleh melalui observasi, perlu menggunakan
beberapa instrument observasi, instrument tersebut antara lain:

1) Daftar cek

Pada suatu daftar cek semua gejala yang akan atau mungkin akan muncul pada suatu subjek yang menjadi objek
penelitian, didaftar secermat mungkin sesuai dengan masalah yang diteliti, juga disediakan kolom cek yang
digunakan selama mengadakan pengmatan.

2) Daftar isian

Daftar isian memuat daftar butir (item) yang diamati dan kolom tentang keadaan atau gejala tentang item-item
tersebut.

3) Skala penilaian

Skala penilaian adalah pencatatan objek atau gejala penilaian menurut tingkatan-tingkatannya. Alat ini untuk
meperoleh gambaran mengenai keadaan objek menurut tingkatannya masing-masing.

Kelebihan pengamatan (observasi):

Derajat kepercayaan tinggi.

Konteks sosial yang diamati belum dipengaruhi faktor lain (natural).

Tidak terbatas hanya pada manusia.

Dapat menggunakan alat bantu.


Kelemahan pengamatan (observasi)

Memerlukan waktu yang lama.

Kurang efektif mengamati gejala pada individu seperti sikap, motivasi, pandangan dan sebagainya.

Tidak dapat mengamati gejala yang peka / rahasia.

Tidak dapat mengamati gejala masa lampau.

4. Dokumentasi

Dokumentasi, yaitu tehnik pengumpulan dan menganalisis data dengan mengambil data yang sudah tercatat dalam
dokumen (tertulis, gambar, maupun elektronik)

Dalam menggunakan metode dukumentasi, biasanya penelitian membuat instrument dokumentasi yang berisi
instansi variable-variabel yang akan didokumentasikan dengan menggunakan dua cara, yaitu: (1) pedoman
dukumentasi yang memuat garis-garis besar atau kategori yang akan dicari datanya dan, (2) check list untuk
mencatat variable yang sudah ditentukan dan nantinya tinggal membubuhkan tanda cek ditempat yang sesuai.

Proses pengumpulan data :

*Menentukan bahan yang dicari

*Mencari sumber bahan (data sekunder) yang diperlukan

*Melakukan content identification (dengan mempelajari substansi)

*Mencatat data/bahan dalam form pencatat dokumen

*Mengklasifikasi data dalam form pencatat sesuai permasalahan yang diteliti.

Dokumen dapat dibagi atas:

*dokumen pribadi

berisi catatan-catatan yang bersifat pribadi

*dokumen resmi

berisis catatan-catatan yang sifatnya formal

5. Tes
Tes yaitu tehnik pengumpulan data yang bersifat potensial, tes merupakan serentetan atau latihan yang digunakan
untuk mengukur keterampilan pengetahuan, sikap, intelegensi, kemapuan atau bakat yang dimiliki individu atau
kelompok. Beberapa jenis tes yang bisadigunakan dalam pendidikan yaitu tes kepribadian, tes bakat, tes intelegensi,
tes minat, tes prestasi dan tes vokasional.

Dijelaskan beberapa jenis tes sebagai berikut:


Tes kepribadian mengukur ciri-ciri kepribadian yang bukan khas bersifat kognitif, seperti sifat karakter, sifat
temperamen, corak kehidupan emosional, kesehatan mental, relasi-relasi social dengan orang lain, serta bidang-
bidang kehidupan yang menimbulkan kesukaran dalam penyesuaian diri. Tes Proyektif, meneliti sifat-sifat
kepribadian seseorangmelalui reaksi-reaksinya terhadap suatu kisah, suatu gambar atau suatu kata; angket
kepribadian, meneliti berbagai ciri kepribadian seseorang dengan menganalisa jawaban-jawaban tertulis atas
sejumlah pertanyaan untuk menemukan suatu pola bersikap, bermotivasi atau bereaksi emosional, yang khas untuk
orang itu.
Kelemahan Tes Proyektif hanya diadministrasi oleh seorang psikolog yang berpengalaman dalam menggunakan alat
itu dan ahli dalam menafsirkannya.

Tes bakat mengukur taraf kemampuan seseorang untuk berhasil dalam bidang studi tertentu, program pendidikan
vokasional tertentu atau bidang pekerjaan tertentu, lingkupnya lebih terbatas dari tes kemampuan intelektual (Test of
Specific Ability; Aptitude Test ). Kemampuan khusus yang diteliti itu mencakup unsur-unsur intelegensi, hasil belajar,
minat dan kepribadian yang bersama-sama memungkinkan untuk maju dan berhasil dalam suatu bidang tertentu dan
mengambil manfaat dari pengalaman belajar dibidang itu.

Tes intelegensi adalah tes kemampuan intelektual, mengukur taraf kemampuan berfikir, terutama berkaitan dengan
potensi untuk mencapi taraf prestasi tertentu dalam belajar di sekolah (Mental ability Test; Intelegence Test;
Academic Ability Test; Scholastic Aptitude Test). Jenis data yang dapat diambil dari tes ini adalah kemampuan
intelektual atau kemampuan akademik.

Tes minat mengukur kegiatan-kegiatan macam apa paling disukai seseorang. Tes macam ini bertujuan membantu
orang muda dalam memilih macam pekerjaan yang kiranya paling sesuai baginya (Test of Vocational Interest).

Tes prestasi/hasil belajar (Achievement Test) adalah tes yang mengukur apa yang telah dipelajari pada berbagai
bidang studi, jenis data yang dapat diambil menggunakan tes hasil belajar (Achievement Test) ini adalah taraf
prestasi dalam belajar.

Tes perkembangan vokasional, tes ini mengukur taraf perkembangan orang muda dalam hal kesadaran kelak akan
memangku suatu pekerjaan atau jabatan (vocation); dalam memikirkan hubungan antara memangku suatu jabatan
dan cirri-ciri kepribadiannya serta tuntutan-tuntutan social-ekonomis; dan dalam menyusun serta
mengimplementasikan rencana pembangunan masa depannya sendiri. Kelebihan tes semacam ini meneliti taraf
kedewasaan orang muda dalam mempersiapkan diri bagi partisipasinya dalam dunia pekerjaan (career maturity).

Jenis Data

Jenis data dalam suatu penelitian dibedakan atas dua, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif.

Jenis data menurut cara memperolehnya terbagi atas dua yaitu


Data Primer adalah secara langsung diambil dari objek / obyek penelitian oleh peneliti perorangan maupun
organisasi. Contoh : Mewawancarai langsung penonton bioskop 21 untuk meneliti preferensi konsumen bioskop.

Data Sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Peneliti mendapatkan data
yang sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode baik secara komersial maupun
non komersial. Contohnya adalah pada peneliti yang menggunakan data statistik hasil riset dari surat kabar atau
majalah.

Jenis data berdasarkan sumber datanya sebagai berikut:

Data Internal adalah data yang menggambarkan situasi dan kondisi pada suatu organisasi secara internal. Misal :
data keuangan, data pegawai, data produksi padi, dsb.

Data eksternal adalah data yang menggambarkan situasi serta kondisi yang ada di luar organisasi. Contohnya
adalah data jumlah penggunaan suatu produk pada konsumen, tingkat preferensi pelanggan, persebaran penduduk,
dan lain sebagainya.

Sesuai dengan sifat penelitiannya, pelaksanaan wawancara, observasi dan dokumentasi dalam penelitian kuantitatif
berbeda dengan kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif baik angket, wawancara, observasi maupun dokumentasi,
umumnya dapat digunakan bentuk atau format instrumen: kategorikal (nominal), skala ordinal, skala interval, skala
rasio, dan check-list. Dalam penelitian kualitatif bentuk-bentuk instrumen yang menghasilkan angka-angka tidak
biasa digunakan. Yang biasa digunakan adalah bentuk deskriptif naratif kulaitatif. Dalam deskripsi tersebut mungkin
juga ada angka-angka, tetapi angka tersebut dalam hubungan deskripsi naratif tersebut, dan ditafsirkan secara
kualitatif.

Dalam bekerja dengan menggunakan statistika, semua data dinyatakan dalam bentuk angka atau bilangan. Jadi
untuk jenis data kualitatif terlebih dahulu dikuantitatifkan yang disebut suatu proses pengukuran. Hasil pengukuran
dapat dibedakan atas empat macam skala sebagai berikut:

Skala nominal

Sakala nominal dapat dinyatakan sebagai ukuran yang tidak sebenarnya. Skor untuk setiap satuan pengamatan,
atau individu hanya merupakan symbol atau tanda yang menunjukkan kedalam kelompokm atau kelas mana individu
tersebut termasuk. Misalnya jenis kelamin dengan skor yang mungkin 1 untuk laki-laki dan 0 untuk perempuan.

Skala ordinal

Skala ordinal menunjukkan urutan (peringkat, tingkatan, atau rengking) di samping berfungsi sebagai
pengelompokan (sakala nominal). Misal, peubah tingkatan dalam suatu rumah susun dengan angka 1, 2, 3, .

Skala interval

Sakala interval termasuk ukuran yang bersifat numeric, yaitu interval antara dua ukuran yang berbeda mempunyai
arti. Misalnya temperatur dalam celcius; interval dari 0 sampai 20 derajat sama dengan interval dari 10 sampai 30
derajat, akan tetapi panasnya 30 derajat celcius tidak sama dengan tiga kali 10 derajat celcius, karena 0 derajat
celcius tidak berarti panas tidak adasama sekali. Titik nol tidak merupakan titik mutlak.

Skala rasio

Sakala rasio mempunyai titik nol mutlak, contoh peubah umur dalam bulan, tinggi badan dalam meter dan lain
sebagainya

Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:

* Person (data berupa orang) yaitu sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara
atau jawaban tertulis melalui angket.

* Place (berupa tempat) yaitu sumber data yang menyajikan tampilan berupa keadaan diam (ruangan, kelengkapan
alat, wujud benda, warna, dll) dan bergerak (aktivitas, kinerja, laju kendaraan, ritme nyayian, gerak tari, sajian
sinetron, dll).

* Paper (data berupa simbol) yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, gambar, atau
symbol-simbol lain. Jadi tidak terbatas pada kertas saja bisa berwujud batu, kayu, tulang, daun lontar, dll

Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer, dan sumber
sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data
(pengamatan dan wawancara), dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.

Anda mungkin juga menyukai