PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu langkah yang sangat penting dalam mengadakan proses evaluasi terhadap siswa
adalah mengolah hasil evaluasi pembelajaran. Mengolah hasil evaluasi merupakan tindak lanjut
dari kegiatan merencanakan dan melaksanakan kegiatan evaluasi. Bila dalam merencanakan dan
melaksanakan evaluasi masalah utama yang dihadapi adalah bagaimana menentukan obyek
evaluasi, bagaimana menyusun alat evaluasi yang baik, dan bagaimana prosedur pelaksanaannya,
maka dalam mengolah hasil evaluasi masalah utaman yang dihadapi adalah bagaimana
menganalisis dan menginterpretasi hasil evaluasi.
Secara umum, ada dua kegiatan utama yang perlu dilaksanakan dalam mengolah hasil
evaluasi, yaitu mengadakan penyekoran (scoring), dan memberikan nilai (grading). Pada
hakekatnya mengadakan penyekoran atau memberikan skor adalah mengadakan kuantifikasi
terhadap hasil pekerjaan siswa. dengan kata lain mengadakan penyekoran adalah proses
mengubah jawaban siswa menjadi angka-angka. Skor merupakan harga kuantitatif suatu jawaban
butir tes. Sedangkan memberikan nilai adalah proses menterjemahkan skor hasil tes yang telah
dikonversikan ke dalam klasifikasi evaluatif berdasarkan norma atau riteria tertentu. Nilai
merupakan hasil ubahan dari skor yang disesuaikan pengaturannya dengan suatu standar tertentu.
Mengolah hsil evaluasi merupakan tugas yang cukup sulit. Paling sedikit ada tiga alasan
yang mendasari, yaitu: prestasi belajar cukup sulit diukur, sistem evaluasi sering kurang searah
dengan tujuan pendidikan dan mengadakan penilaian mengharuskan guru atau pendidik
mengadili siswa. Di satu sisi, seorang guru harus menjalin hubungan yang baik dengan siswa. Di
sisi lain, seorang guru juga dituntut untuk memberikan penilaian secara obyektif terhadap siswa.
memberikan nilai yang rendah merupakan pekerjaan yang tidak menyenangkan bagi guru.
Apalagi bila sudah memiliki hubungan yang sangat erat dengan siswa. Untuk itu, dalam
mengadakan penilaian terhadap pekerjaa siswa, harus dilakukan secara tepat dan benar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah, antara
lain:
A. Apa saja teknik penyekoran evaluasi?
B. Bagaimana teknik penilaian?
C. Bagaimana teknik analsis data kuantitatif?
D. Bagaimana teknik analsis data kualitatif?
E. Bagaimana cara penentuan nilai akhir?
F. Bagaimana pengolahan hasil evaluasi di perguruan tingi?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari makalah yaitu, untuk mengetahui:
1. Teknik penyekoran evaluasi
2. Teknik penilaian
3. Teknik analsis data kuantitatif
4. Teknik analsis data kualitatif
5. Cara penentuan nilai akhir
6. Pengolahan hasil evaluasi di perguruan tingi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teknik Penyekoran
Menurut Wiyono dan Sunarni (2009: 48) langkah pertama yang perlu dilakukan dalam
mengolah hasil evaluasi adalah mengadakan penyekoran terhadap jawaban siswa. ada beberapa
cara yang bisa dilakukan dalam mengadakan penyekoran hasil tes, sesuai dengan bentuk-bentuk
tes yang digunakan.
1. Pemberian skor untuk tes bentuk obyektif
Cara memberikan skor terhadap hasil tes bentuk obyektif relatif lebih mudah. Hal ini, karena
tes-tes bentuk obyektif cenderung hanya memerlukan satu jawaban mutlak tertentu yang paling
benar. Secara sederhana, cara memberikan skor terhadap hasil tes bentuk obyektif adapat
dilakukan dengan memberikan skor 1 untuk jawaban benar, dan memberikan skor 0 untuk
jawaban salah. Total skor diperoleh dengan menjumlahkan skor yang diperoleh dari semua
bentuk soal. Akan tetapi, hal ini juga perlu disesuaikan dengan sistem yang di anut dan jenis tes
obyektif yang dilaksanakan. Beberapa jenis tes bentuk obyektif, antara lain: tes benar salah (true
false), pilihan ganda (multiple choice). Menjodohkan (matching), melengkapi isian (completion),
dan jawaban singkat (short answer). Masing-masing jenis tes tersebut memiliki karakteristik
tersendiri. Cara pengolahan terhadap masing-masing jenis tersebut juga memiliki karakteristik
tersendiri.
a) Pemberian skor hasil tes benar salah
Dalam menentukan skor untuk benar salah (true false), digunakan dua cara, yaitu: (1) tanpa
hukuman atau denda dan (2) dengan hukuman atau denda. Yang dimaksud dengan cara tanpa
hukuman atau denda adalah memberikan skor terhadap hasil tes hanya dengan menjumlahkan
skor jawaban benar, tanpa memperhitungkan faktor tebakan (correction for guessing).
Sedangkan yang dimaksud dengan cara hukuman atau denda adalah dalam memberikan skor
diperhitungkan adanya faktor tebakan. Ada dua rumus yang bisa diterapkan, yaitu:
1) S = R-W
S = Score (Skor)
R = Right (Jawaban benar)
W = Wrong (Jawaban salah)
2) S = T-2W
S = Score (Skor)
T = Total (Jumlah soal)
W = Wrong (Jumlah butir soal dijawab salah)
Skor yang diperoleh adalah soal dikurangi dua kali jawaban soal yang salah. Miaslnya,
jumlah soal 10 butir, yang salah 2 butir, maka skor yang diperoleh adalah 10-(2x2)=6
b) Pemberian skor hasil tes pilihan ganda
Dalam memberikan skor terhadap hasil tes pilihan ganda (multiple choice) dilakukan dengan
dua cara, yaitu: (1) dengan tanpa hukuman atau denda, dan (2) dengan hukuman atau denda.
Yang dimaksud dengan tanpa hukuman atau denda adalah dalam memberikan penyekoran
terhadap hasil tes dilakukan hanya dengan menjumlahkan hasil angka yang benar. Sedangkan
yang dimaksud dengan cara memberikan skor dengan hukuman atau denda adalah dlam
membeirkan skor diperhatikan faktor tebakan. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
S = Score (Skor)
R = Right (Jawaban benar)
W = Wrong (Jawaban salah)
N = Banyakya pilihan jawaban
Sebagai contoh, jumlah soal 10 butir, alternatif pilihan jawaban 4, jawaban betul 7 butir,
jawaban salah 3 butir, maka skor yang diperoleh adalah 7.
c) Pemberian skor hasil tes menjodohkan
Cara memberikan skor terhadap hasil tes bentuk menjodohkan (matchig) pada dasarnya
sama dengan tes pilihan ganda. Perbedaannya terletak pada alternatif jawaban yang diberikan
pada tes menjodohkan dijadikan satu dan relatif lebih banyak. Dengan demikian, cara
memberikan skor hasil tes menjodohkan juga seirama dengan cara penyekoran bentuk tes pilihan
ganda. Untuk cara penyekoran tanpa hukuman, skor hasil tes diperoleh dengan cara
menjumlahkann semua jawaban benar. Sedangkan untuk cara hukam atau denda, digunakan
rumus sebagai berikut:
R =
Keterangan:
S = Skor
R = Right (Jawaban benar)
W = Wrong (Jawaban salah)
n1 = Jumlah butir pada lajur kiri (soal)
n2 = Jumlah butir pada lajur kanan (jawaban)
Penggantian sistem denda tersebut dimalsudkan untuk menetralisr kemungkinan
diperolehnya jawaban benar karena menerka, sebab tujuan ujian adalah untuk mengetahui status
kemajuan pengetahuan testee, bukan kehliannya menerka jawaban. Akan tetapi, penggunaan
rumus hukuman tersebut pada hakekatnya tidak bisa mengenai sasaran. Sulit sekali untuk
menentukan jawaban yang diperoleh memlalui pemikiran atau terkaan. Oleh karena itu, salah
satu cara paling tepat dalam menghindari unsur terkaan adalah justru terletak pada
penyusunannya. Soal yang dibuat diusahakan bisa menghindari unsur-unsur terkaan dalam
menjawab.
Bila di telaah dari bobotnya, pemberian skor terhadap hasil tes juga berbeda. Ada dua aspek
yang perlu diperhatikan dalam memberi skor, yaitu bentuk tes dan bobot masing-masing sub tes.
Bentuk menjodohkan relatif lebih tinggi bobotnya dibandingkan dengan bentuk benar salah.
Dmeikian juga, bentuk pilihan ganda relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk benar
salah. Butir soal yang banyak terkait dengan tujuan pelru diberikan bobot yang lebih tinggi.
Dengan demikian, hasil penyekoran tersebut bisa mencapai tujuan yang diharapkan.
d) Pemberian skor hasil tes jawaban singkat
Cara memberikan skor hasil tes bentuk jawaban singkat (short answer), bisa dianggap setara
dengan cara penyekoran bentuk tes benar salah, pilihan ganda atau menjodohkan. Cara
memberikan skor bisa dilaksanakan dengan menjumlahkan jawaban benar. Akan tetapi, bila
jawaban soal memiliki variasi, maka bisa diberikan skor sesuai dengan bentuk soal. Misalnya
dari sangat lengkap, cukup lengkap dan kurang lengkap. Untuk jawaban sangat lengkap diberi 3,
cukup lengkap 2, dan kurang lengkap 1, sedangkan jawaban salah 0.
Bentuk soal melengkapi (complation) dianggap setara dengan tes jawaban singkat. Untuk
itu, prosedur atau cara penyekorannya bisa dilakukan seperti dalam meberikan skor terhadap tes
jawaban singkat.
B. Teknik Penilaian
Setelah memberikan skor, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan dalam mengolah hasil
evaluasi adalah menganalisis data. Dari hasil data tersebut, selanjutnya dilakukan penilaian.
Mengadakan penilaian atau memberikan penilaian (grading) pada hakekatnya adalah mengubah
angka-angka yang diperoleh dari skor mentah menjadi suatu nilai yang memiliki suatu arti
maupun klasifikasi evaluatif, seperti baik-buruk, tinggi-rendah, atau memuaskan-tidak
memuaskan, berdasarkan kriteria tertentu. Di dalamnya termasuk interpretasi dan penilaian hasil.
Secara umum menurut Nitko dalam Wiyono dan Sunarni (2009: 53) ada dua cara yang
dipergunakan dalam penilaian, yaitu penilaian dengan acuan patokan (criterion referenced
interpretation), dan penilaian dengan acuan norma atau kelompok (norm referenced
interpretation). Penilaian acuan patokan adalah penilaian yang dalam menginterpretasikan hasil
pengukuran secara langsung didasarkan pada standar performansi tertentu yang ditetapkan.
Sedangkan penilaian acuan norma adalah proses penilaian yang dalam menginterpretasikan hasil
pengukuran didasarkan pada prestasi anggota kelompok lainnya.
Secara umum, gambaran penggunaan kedua pendekatan tersebut dapat dipaparkan sebagai
berikut:
Kriteria mutlak
Seleksi perlakuan untuk mencapai kompetensi
Penyesuaian perlakuan pada individu agar mencapai kompetensi
Kedudukan individu dibandingkan dengan kompetensi
PAP
Standar
Fungsi
Acuan Penilaian
Tujuan
Sifat
Untuk mencapai tingkah laku & kompetensi
7 kompetensi
Diagnosa
Kemampuan
Norma kelompok
Seleksi terhadap individu
Mengukur penyesuaian individu terhadap materi
Mengetahui kedudukan individu dalam kelompok
PAN
Untuk mewujudkan penguasaan konsep dan tingkah laku
Dari hasil analisis data tersebut di atas, dapat digaris bawahi bahwa persentase yang
diperoleh masih sebesar 60 %. Untuk itu, perlu menyempurnakan pengajaran yang ada, karena
masih dibawah 75 %. Dari analisis individual dapat digaris bawahi bahwa terdapat 8 siswa yang
belum menguasai topik materi dengan baik, yaitusiswa nomor 2,3,4,5,6,7,8, dan 9. Persentase
pencapaiannya masih dibawah 75%. Bila dilihat butir soalnya, butir nomor 2,3,5, dan 8 hanya
dikuasai 4 siswa, dan butir 4 hanya dikuasai 6 siswa. Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar
siswa belum menguasai materi tersebut. Untuk itu, perlu dijelaskan kembali.
Banyak sekali teknik analisis data yang bisa diterapkan untuk mengolah data hasil
pengukuran di bidang evaluasi pembelajaran. Akan tetapi, tidak semua sering digunakan.
Beberapa yang banyak digunakan untuk mengolah data hasil evaluasi pembelajaran adalah
sebagai berikut:
1. Tendensi Sentral
Salah satu teknik analisis data yang banyak digunakan untuk mengolah data evaluasi adalah
tendensi sentral (central tendency) atau ukuran kecenderungan memusat. Ada 3 teknik utama
yang digunakan untuk mengukur tendensi sentrak, yakni mean, median, dan mode.
Mean adalah nilai rata-rata, dan dicari dengan rumus:
M=
Keterangan:
M = Mean (besarnya rata-rata)
X = Jumlah nilai
N = Jumlah peserta tes
Sebagai contoh, diketahui N=20, X = 1200, maka nilai mean diperoleh sebesar
1200:20=60. Apabila sampel cukup besar dan digunakan distribusi frekuensi makabisa
menggunakan rumus untuk data berkelompok sebagai berikut:
fx
M=
N
Keterangan:
M = Mean (nilai rata-rata)
Fx = Nilai dikalikan frekuensi
N = Jumlah Peserta
Median adalah nilai tengah. Median dicari dengan mencari nilai tengah. Misalnya angka
56, 58,65, 66,68, 70, 74,76, 87, maka mediannya adalah 68 (nilai tengah). Bila banyaknya skor
genap maka mediannya adalah jumlah dua skor yang berada ditengah dibagi 2. Bila datanya
berkelompok bisa menggunakan rumus berikut:
N - fa
Me = U 2 i
fme
Keterangan:
Me = Besarnya Median
U = Batasa Atas Kelas Interval
N = Jumlah Frekuensi (seluruhnya)
fa = Jumlah Frekuensi di atas Kelas mediam
fme = Jumlah Frekuensi Dalam Kelas Median
i = Besarnya Kelas Interval
Untuk menentukan letak median dapat digunakan rumus sebagai berikut:
N+1
Me = 2
Keterangan:
Me = Letak Median
N = Banyaknya Skor/Frekuensi
Mode adalah nilai yang paling banyak muncul. Mode dicari dengan menggunakan nilai yang
paling banyak muncul. Misalnya untuk skor 4 ada 1 orang, 5 ada 10 orang, 6 ada 4 orang, 7 ada 5
orang, dan skor 8 ada 3 orang, maka nilai modenya adalah 5 (yang banyak muncul).
Dari ketiga teknik yang ada, untuk menafsir kecenderungan memusat (mutu suatu
kelompok), yang paling baik adalah mean, karena mean tidak hanya berdasarkan pada skor
setempat, tetapi berdasarkan kelompok secara keseluruhan. Perhitungan memiliki kecermatan
tinggi, dan diperlukan untuk mencari kecermatan lain. Akan tetapi bila distribusi skor sangat
menceng, terlalu miring ke kiri atau ke kanan, maka bisa dipergunakan median. Sedangkan mode
dipergunakan bila hanya menginginkan nilai yang banyak muncul, dan bisa diperoleh secra
cepat.
2. Variabilitas
Variabilitas adalah keanekaragaman angka-angka dalam suatu distribusi skor. Variabilitas
merupakan variasi sebaran skor dari mean. Semakin luas penyebaran angka-angka, semakin
besar pula variabilitas distribusinya. Hal itu berarti skor yang ada cenderung hiterogen.
Sebaliknya, semakin kecil penyebaran angka-angka berarti semakin kecil juga variabilitasnya.
Hal itu berarti skor yang ada cenderung homogen.
Secara sederhana, ada tiga teknik untuk melihat ukuran variabilitas, yaitu jarak sebaran atau
range, deviasi rata-rata dan deviasi standar/simpangan baku. Range dicari dengan mengurangi
angka tertinggi dan terendah (R=Xtertinggi Xterendah). Misalnya angka tertinggi 96, dan terendah 66,
maka range diperoleh 96-66=30.
Deviasi rata-rata adalah rata-rata penyimpangan angka dari mean. Penyimpangan angka
merupakan selisih antara angka tersebut dengan mean. Rumus untuk mencari deviasi rata-rata
adalah:
f (X-M)
Deviasi rata-rata=
N
Keterangan:
X = Skor yang diperoleh
M = Nilai rata-rata
N = Jumlah peserta tes
Dibandingkan range dan deviasi rata-rata, simpangan baku merupakan cara terbaik untuk
pengukuran penyebaran. Simpangan baku adalah jarak standar (distance) yang terletak di atas
dan di bawah mean. Rumus untuk mencari simpangan baku (dari populasi) adalah:
SD =
Keterangan:
SD = Simpangan baku
X = skor yang diperoleh
M = Nilai rata-rata
Untuk data berkelompok bisa menggunakan rumus berikut:
SD =
Keterangan:
SD = Simpangan baku (Standar Deviation)
i = Besarnya kelas interval
N = Jumlah frekuensi seluruhnya
f = Jumlah frekuensi masing-masing kelas
d = Deviasi dari mean
Sebagai contoh, menghitung simpangan baku dari data tidak berkelompok. Skor yang
diperoleh peserta tes adalah 9, 12, 16, 18, 20, maka nilai simpangan baku yang diperoleh adalah
sebagai berikut:
X XM (X M)
9 -6 36
12 -3 9
16 1 1
18 3 9
20 3 25
X = 75 (X M)2=80
M= 75 : 5= 15
SD= = 4
Perhitungan dengan menggunakan data kelompok tidak akan secermat dengan rumus data
tunggal. Untuk itu, baik dalam mencari mean, median, deviasi standar atau lainnya, sebaiknya
menggunakan rumus untuk data tidak berkelompok atau tunggal secara langsung. Dengan
demikian hasilnya akan lebih tepat.
Satu hal yang terkait dengan analisis tendensi sentral dan variabilitas, terutama untuk
mengolah data dengan penilaian acuan kelompok adalah kurva normal. Kurva normal adalah
kurva berbentuk bel yang simetris dimana penyebaran skor terjadi secara normal. Dalam
mengintrepetasikan hasil tes, kurva normal ini dibagi menjadi beberapa unit simpangan baku,
yang masing-masing memiliki presentase tertentu. Secara garis besar dapat digambarkan sebagai
berikut:
Standar
Deviations
Dari data tersebut diatas, dapat diketahui bahwa dalam kondisi normal, daerah antara mean
sampai +1 SD meliputi 34% daerah antara +1SD sampai +2SD meliputi 14%, daerah antara
+14% sampai 3SD meliputi 2%, dan selebihnya sebanyak 0,13%. Hal ini berlaku untuk daerah
dibawah mean. Bila terjadi sebagian besar siswa memperoleh skor tinggi, maka kurva akan
miring ke kiri atau juling ke kiri (negative skewed curve). Sebaliknya, bila terjadi sebagian besar
siswa skornya rendah, maka akan juling ke kanan (positively skewed curve).
3. Skor standar
Kadang kala untuk kebutuhan menentukan nilai secara cepat tanpa melihat tabel konversi
secara keseluruhan, maka dapat dihitung dengan skor z. Banyak manfaat yang bisa diambil
dengan menggunakan skor standar z. Skor z adalah salah satu teknik untuk mengetahui posisi
testee dalam kelompoknya. Dengan skor z, dapat membandingkan antara skor satu dengan
lainnya. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
X-M
Z=
SD
Keterangan:
X = Skor yang diperoleh
M = Rata-rata (mean)
SD = Simpangan baku
Sebagai contoh, skor mentah yang diperoleh A adalah 72. Rata-rata nilai diperoleh sebesar
70, dan simpangan baku sebesar 3,95. Berdasarkan data tersebut, maka skor standar A adalah
0,51.
Hal itu berarti kedudukan nilai A berada pada +0,51 di atas rata-rata. Distribusi nilai Z
bertolak dari -1SD sampai dengan +1SD. Untuk menghindari kekacauan akibat skor yang terlalu
kecil, maka bisa digunakan standar skor lain, yaitu T score (standar skor T). Pada dasarnya skor
T sama dengan skor Z, yakni didasarkan atas penyampaian skor Z dari mean distribusinya.
Perbedaan skor T memiliki mean sebesar 50 dan standar deviasi 10. Rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut:
10X - M
T= 50 + , atau T= 50 + 10Z
SD
Sebagai contoh, B mendapat skor 75 pada matematika dan 85 pada fisika. Nilai rerata
matematika 55, dan simpangan baku sebesar 10. Sedangkan untuk fisika, diperoleh nilai rerata
sebesar 80 dengan simpangan baku sebesar 12. Skor T yang diperoleh B adalah sebagai berikut:
75 - 55
Z score Matematika = =2
10
85 - 80
Z score Fisika = = 0,42
12
T score Matematika = 50 + 10 (2) = 70
T score Fisika = 50 + 10 (0,41) = 54,2
Dengan melihat hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa prestasi B lebih tinggi pada tes
Matematika daripada Fisika, dilihat dari sisi kelompoknya.
4. Skor Komposit
Kadang kala nilai skor akhir siswa, tidak didasarkan pada hasil tes tunggal. Nilai akhir pada
bidang studi tertentu merupakan gabungan atau kombinasi dari skor-skor yang diperoleh dari
beberapa hasil pengukuran.
Bila skor tersebut didasarkan pada beberapa komponen, maka skor akhir dapat diperoleh
dengan melakukan penggabungan skor yang disebut skor komposit. Salah satu rumus komposit
yang bisa digunakan adalah sebagai berikut:
bZ
Skor komposit =
b
Keterangan:
B = Bobot komponen
Z = Skor Z setiap komponen
Sebagai contoh, seorang siswa memperoleh nilai ujian mid 40, dan nilai tugas I sebesar 10,
tugas II sebesar 17, nilai persentasi sebesar 20, dan nilai ujian akhir sebesar 50. Bobot masing-
masing nilai ditetapkan nilai mid 3, tugas I1, tugas II1, nilai presentasi 1, dan nilai akhir 4.
Sedangkan Z skor masing-masing diperoleh 0, 92, 0, 1,22, 1,03, 0,74. Berdasarkan nilai tersebut,
dapat ditetapkan nilai kompositnya sebagai berikut:
Komponen X Z B Bz
Ujian mid 40 0,92 3 2,76
Tugas I 10 0 1 0
Tugas II 17 1,22 1 1,22
Presentasi 20 1,03 1 1,03
Ujian final 50 0,74 4 2,96
Jumlah b = 10 bz =
7,97
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa skor komposit
diperoleh sebesar 7,97 : 10 = 0,797. Hal ini berarti siswa tersebut memperoleh nilai sebesar
0,797 SD, di atas rata-rata (mean).
Rumus lain yang bisa digunakan untuk menghitung skor komposit adalah sebagai berikut:
(X) xb
Skor komposit =
Xt
Keterangan:
X = Skor pada komponen
Xt = Skor maksimal setiap komponen
B = Bobot komponen
Melalui perhitungan rumus kedua ini akan bisa diperoleh skor komposit sesuai dengan skala
yang digunakan.
5. Persentil dan Jenjang Persentil
Konsep persentil (percentile) dan jenjang persentil (percentiles ranks) berkaitan dengan
kedudukan atau posisi relatif dalam distribusi frekuensi. Persentil menunjukkan angka yang n%
dari seluruh distribusi yang ada di bawahnya. Sedangkan jenjang persentil adalah besarnya
presentase frekuensi yang lebih kecil daripada angka tertentu.
Informasi yang diperoleh dari jenjang persentil adalah besarnya presentase skor lain yang
berada di bawah skor tersebut. Suatu skor yang memiliki jenjang persentil (PR) di bawah 70
menunjukkan bahwa skor tesebut berada di atas 70% skor lainnya, dan hanya 30% skor yang
lebih tinggi.
Hubungan antara jenjang persentil (PR) dengan persentil (P) sangat erat. Misalnya, bila skor
63 berada pada jenjang persentil (PR) 70, maka 70% dari frekuensi angka-angka dari distribusi
tersebut lebih kecil dari 63. Sebaliknya, nilai persentil 70 (P 70) adalah 63.
Dalam menentukan posisi tertentu dalam kelompoknya, juga bisa dilihat dari nilai ranking
sederhana (simple ranks). Ranking sederhana adalah urutan yang menunjukkan kedudukan
tertentu dalam kelompoknya dan dinyatakan dengan nomor atau angka biasa. Cara
perhitungannya, hanya dengan mengurutkan skor dari yang tertinggi sampai yang terendah. Bila
ada skor yang sama, maka dijumlahnya dibagi banyaknya bilangan skor yang sama. Akan tetapi,
ranking sederhana tidak bisa menunjukkan banyaknya individu dalam kelompok. Untuk
mengetahui banyaknya presentase kelompok yang ada di bawahnya atau di atasnya, hanya bisa
dicapai dengan jenjang persentil atau ranking presentase.
n
NA = + 2S
3
Keterangan:
NA = Nilai akhir
F = Nilai formatif (harian)
S = Nilai sumatif (ulangan umum)
2. Nilai akhir yang diperoleh dengan memperhitungkan nilai yugas (T), ulangan harian (H), dan
nilai ulangan umum (U)
2(T) + 3(H) + 5(U)
NA =
10
Keterangan:
HA = Nilai akhir
T = Nilai tugas
H = Nilai harian
U = Nilai ulangan umum
3. Nilai akhir yang diperoleh dengan memperhitungkan nilai sub sumatif, nilai sumatif, dan nilai ko
kurikuler.
2p + 2q + r
NA =
5
Keterangan:
p = Nilai sub sumatif
q = Nilai sumatif
r = Nilai ko kurikuler
4. Nilai akhir yang diperoleh dengan memperhitungkan nilai ulangan harian, dan nilai hasil UNAS.
H
+ 2E
N
NA =
3
Keterangan:
NA = Nilai akhir
H = Nilai harian
E = Nilai UNAS
Disamping mengo;ah data untuk memperoleh nilai kahir, kadang-kadang kita ingin
menghubungkan antara nilai satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Apabila ingin
melihat hubungan antara skor satu dengan yang lainnya, maka bisa dianalisis dengan analisis
korelasi. Bila datanya berskala interval, maka bisa digunakan analisis korelasi Produst Moment
Pearson. Rumusnya adalah sebagai berikut:
r=
Keterangan:
r = besarnya hubungan
x = deviasi dari mean untuk variabel X
y = deviasi dari mean untuk variabel Y
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam mengolah hasil evaluasi adalah mengadakan
penyekoran terhadap jawaban siswa. Setelah memberikan skor, langkah selanjutnya yang perlu
dilakukan dalam mengolah hasil evaluasi adalah menganalisis data. Dari hasil data tersebut,
selanjutnya dilakukan penilaian. Mengadakan penilaian atau memberikan penilaian (grading)
pada hakekatnya adalah mengubah angka-angka yang diperoleh dari skor mentah menjadi suatu
nilai yang memiliki suatu arti maupun klasifikasi evaluatif, seperti baik-buruk, tinggi-rendah,
atau memuaskan-tidak memuaskan, berdasarkan kriteria tertentu. Di dalamnya termasuk
interpretasi dan penilaian hasil.
Untuk mengolah hasil pengukuran dalam evaluasi pembelajaran, banyak teknik analisis data
yang bisa digunakan. analisis data pada hakekatnya adalah mengolah angka-angka yang
diperoleh dari skor mentah menjadi suatu skor yang mudah dibaca dan disimpulkan. Untuk
mengolah data hasil evaluasi formatif, mungkin tidak perlu menggunakan banyak teknik analisis
data. Hasil evaluasi formatif, banyak digunakan untuk perbaikan proses belajar mengajar.
Hasil pengumpulan data dalam evaluasi, kadang kala dapat berupa data kualitatif. Hal ini,
terutama bila diperoleh melalui teknik pengumpulan data kualitatif, misalnya melalui observasi,
interview, studi kasus, atau kuisioner terbuka. Teknik tersebut sering digunakan untuk mengukur
atau mengevaluasi minat, sikap, atau kemampuan afektif. Untuk itu, data kualitatif, harus diolah
dengan teknik analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif tidak melakukan usi statistik dalam
menarik suatu kesimpulan. Akan tetapi, sejumlah statistik seperti chi square atau statistik non
parametrik lainnya, bisa digunakan untuk membantu menyederhanakan informasi atau
menemukan hubungan dari data yang ada.
Salah satu teknik analisis yang perlu dipahami adalah, teknik menentukan nilai akhir. Nilai
akhir diperlukan untuk menentukan penguasaan siswa, memberikan bimbingan, atau
memberikan balikan proses pembelajaran. Untuk menentukan nilai akhir, harus
mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu faktor
pencapaian prestasi (achievement), faktor usaha (effort), faktor kebiasaan kerja (work habit), atau
faktor pribadi dan sosial (personal and social characteristic).
Berbeda dengan evaluasi pembelajaran di tingkat sekolah dasar dan menengah. Ditingkat
perguruan tinggi seorang dosen mempunyai strategi sendiri-sendiri dalam mengolah hasil
evaluasi pembelajaran mahasiswa, dengan aturan yang telah ditetapkan oleh institusi. Ada dosen
yang mengolah data secara semi manual yaitu memakai kalkulator dan ada juga yang
menggunakan program excel (pengolah angka).
BAB I
PENDAHULUAN
Pengolahan data hasil evaluasi pembelajaran merupakan materi utama yang perlu
dipahami berkaitan dengan masalah evaluasi pembelajaran. Bahkan dapat dikatakan pengolahan
hasil evaluasi pembelajaran merupakan materi inti dalam kegiatan evaluasi karena pasti akan
dilakukan dalam melaksanakan suatu proses evaluasi. Berdasarkan hasil pengolahan data, akan
diperoleh suatu informasi yang jelas untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan. Beberapa materi yang akan dijabarkan dalam makalah ini adalah teknik
penilaian dan teknik analisis data untuk mengolah data hasil evaluasi.
Ada dua kegiatan utama yang perlu dilakukan dalam pengolahan hasil evaluasi, yaitu
penyekoran dan pemberian nilai. Penyekoran adalah proses mengubah jawaban siswa menjadi
angka-angka. Nilai adalah hasil ubahan dari skor yang telah disesuaikan pengaturannya dengan
suatu standar tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGOLAHAN HASIL EVALUASI
Keterangan:
Tanda V menunjukan soal yang dijawab oleh siswa yang benar.
6 + 4 + 4 + 6 + 4 + 6 + 9 + 4 + 8 + 960
100x 100 % = 100 x 100% = 60%
Dari hasil analisis data tersebut dapat digarisbawahi bahwa persentase yang diperoleh masih
sebesar 60%. Untuk itu, perlu menyempurnakan pengajaran yang ada karena masih dibawah
75%. Dari analisis individual dapat digarisbawahi bahwa terdapat 8 siswa yang belum menguasai
topik materi dengan baik, yaitu siswa nomor2,3,4,5,6,7,8 dan 9. Persentase pencapaianya masih
dibawah 75%. Bila dilihat butir soalnya, butir soal nomor 2,3,5 dan 8 hanya dikuasai 4 siswa,
dan butir 4 hanya dikuasai 5 siswa. Hal itu menunjukan bahwa sebagian besar siswa belum
menguasai materi tersebut. Untuk itu, perlu dianalisis dan dijelaskan kembali.
Banyak sekali tekhnik data yang bisa diterapkan untuk mengolah data hasil pengukuran
dibidang evaluasi pembelajaran. Akan tetapi tidak semua sering digunakan. Beberapa model
yang banyak digunakan untuk mengolah data hasil evaluasi pembelajaran adalah sebagai
berikut:
1. Tendensi sentral
Salah satu tekhnik analisis data yang banyak digunakan untuk mengolah data evaluasi adalah
tendensi sentral atau ukuran kecenderungan memusat. Ada tip teknik utama yang digunakan
untuk mengukur tendensi sentral yaitu mean, median,dan mode.
2. Variabelitas
Variabelitas adalah keanekaragaman angka-angka dalam suatu distribusi skor. Variabelitas
merupakan variasi sebaran skor dari mean. Semakin luas penyebaran angka-angka, semakin
besar pula variabelitas distribusinya. Hal itu berarti skor yang ada cenderung heterogen.
Sebaliknya, semakin kecil penyebaran angka-angka berarti semakin kecil juga variabelitasnya.
Hal itu berarti skor yang ada cenderung homogen. Secara sederhana, ada tiga tekhnik untuk
melihat ukuran variabelitas, yaitu jarak sebaran atau range, deviasi rata-rata dan deviasi standar
atau simpangan buku. Range dicari dengan mengurangi angka tertinggi dengan terendah.
Rumus Range = (R - Xtertinggi - Xterendah).
Penyimpangan angka merupakan selisih antara angka tersebut dengan mean. Rumus untuk
mencari deviasi rata-rata adalah sebagai berikut ini:
Devisa Rata-rata =
Keterangan:
X = Skor yang diperoleh
M = Nilai rata-rata
N = Jumlah peserta tes
Dibandingkan range dan deviasi rata-rata, simpangan baku merupakan cara terbaik untuk
pengukuran penyebaran. Simpangan baku adalah jarak standar yang terletak diatas dan dibawah
mean. Rumus untuk mencari simpangan baku (dari populasi) adalah:
SD =
Keterangan:
SD = Simpangan baku
X = Skor uang diperoleh
M = Nilai rata-ratas
3. Skor standar
Kadang kala untuk kebutuhan menentukan nilai secara cepat tanpa melihat tabel konversi secara
keseluruhan, maka dapat dihitung dengan skor z. Banyak manfaat yang bisa diambil dengan
menggunakan skor standar z. Skor z merupakan salah satu tekhnik untuk mengetahui posisi
testee dalam kelompoknya. Dengan skor z, dapat membandingkan antara skor satu dengan yang
lainnya. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
Z = X-M
SD
Keterangan:
X = Skor yang diperoleh
M = rata-=rata (mean)
SD = Simpangan baku.
4. Skor Komposit
Kadang kala, nilai skor akhir siswa, tidak didasarkan pada hasil tes tunggal. Nilai akhir pada
bidang studi tertentu merupakan gabungan atau kombinasi dari skor-skor yang diperoleh dari
beberapa hasil pengukuran. Bila skor tersebut didasarkan pada beberapa komponen, maka skor
akhir dapat diperoleh dengan melakukan penggabungan skor yang disebut dengan skor komposit.
Salah satu rumus komposit yang bisa digunakan adalah sebagai berikut.
Skor Komposit :
Keterangan:
bz = Bobot komponen
Z = skor z setiap komponen
5. Penentuan Nilai Akhir
Setelah satu tekhnik analisis yang perlu dipahami adalah tekhnik menentukan nilai akhir. Nilai
akhir diperlukan untuk menentukan penguasaan siswa, kelulusan siswa memberikan bimbingan,
atau memberikan balikan proses pembelajaran. Untuk menentukan nilai akhir, harus
mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu faktor pencapaian prestasi, faktor usaha, faktor
kebiasaan kerja atau faktor pribadi dan sosial.
Untuk menentukan nilai akhir, ada beberapa rumus yang bisa digunakan. Hal ini disesuaiakan
dengan formula yang digunakan oleh lembaga. Berikut ini beberapa formula, yang pernah
digunakan disekolah/madrasah.
1. Nilai akhir diperoleh dengan memperhitungkan nilai hasil tes formatif, yaitu rata-rata nilai
harian, dan hasil tes sumatif, yakni nilai hasil ulangan umum atau EBTA.
(F1 + F2 + F3.......Fn)
N= n+ 2S
3
2. Nilai akhir diperoleh dengan memperhitungkan nilai tugas (T), ulangan harian (H), dan nilai
ulangan umum (U).
N1 = 2 (T) + 3 (H) + 5 (U)
10
Keterangan:
N1 = Nilai akhir
T = Nilai tugas
H = Nilai harian
U = Nilai ulangan umum.
3. Nilai akhir diperoleh dengan memperhitungkan nilai sub sumatif, nilai sumatif, dan nilai ko
kurikuler.
NA = 2p 2q +r
5
Keterangan:
p = Nilai sub sumatif
q = Nilai sumatif
r = Nilai ko kurikuler
4. Nilai akhir yang diperoleh dengan memperhitungkan nilai ulangan harian dan nilai hasil EBTA.
NA =
N
3
Keterangan:
NA = Nilai akhir
H = Nilai harians
E = Nilai EBTA
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa dua kegiatan utama
yang perlu dilaksanakan dalam mengolah hasil evaluasi, yaitu penyekoran dan pemberian nilai.
Ada dua cara yang dipergunakan dalam penelitian, yaitu penelitian dengan acuan patokan dan
penilaian dengan acuan norma kelompok. Penilaian berdasarkan acuan patokan digunakan
apabila tujuan pengajaran secara khusus diarahakn untuk menguasai seperangkat kemampuan
secara tuntas.
Penggunaan penilaian berdasarkan acuan norma atau kelompok didasarkan pada asumsi
bahwa semua individu memiliki kemampuan yang beragam. Beberapa model pengolahan yang
sering digunakan diantaranya tendensi sentral, variabelitas, skor komposit, dan penentuan nilai
akhir
1. Menskor
Sementara orang berpendapat bahwa bagian yang paling penting dari pekerjaan
pengukuran dalam tes adalah penyusunan tes. Jika alat tesnya sudah disusun sebaik-
baiknya maka anggapannya sudah tercapailah sebagian besar dari maksudnya. Tentu saja
anggapan itu tidak benar sama sekali. Penyusunan tes baru merupakan satu bagian dari
pekerjaan yang menuntut ketekunan yang luar biasa dari penilai, ditambah dengan
Dal hal pekerjaan menskor atau menentukan angka, dapat digunakan 3 macam alat bantu
yaitu:
(2) Pembantu menyeleksi jawaban yang benar dan yang salah, disebut kunci skoring.
a. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk betul-salah
Untuk tes bentuk betul-salah (true-false) yang dimaksud dengan kunci jawaban adalah
deretan jawaban yang kita persiapkan untuk pertanyaan atau soal-soal yang kia susun,
sedangkan kunci skoring adalah alat yang kita gunakan untuk mempercepat pekerjaan
skoring.
Oleh karena dalam hal ini testee (tercoba) hanya diminta melingkari huruf B atau S maka
kunci jawaban yang disediakan hanya berbentuk urutan nomor serta huruf di mana kita
Ada baiknya kunci jawaban ini ditentukan terlebih dahulu sebelum menyusun soalnya agar
sama banyaknya dengan jawaban S, dan tidak dapat ditebak karena tidak diketahui pola
jawaban.[1]
Dalam menentukan angka (skor) untuk tes bentuk B S ini kita dapat menggunakan 2 cara
yaitu:
Tanpa hukuman adalah apabila banyaknya angka yang diperoleh siswa sebanyak jawaban
yang cocok dengan kunci. Sedangkan dengan hukuman (karena diragukan adanya unsur
S=RW
Singkatan dari:
S = Score
R = Right
W = Wrong
Skor yang diperoleh siswa sebanyak jumlah soal yang benar dikurangi dengan jumlah soal
yang salah.
S = T 2W
(multiple choice)
Dengan tes bentuk pilihan ganda, testee diminta melingkari salah satu huruf didepan pilihan
jawaban yang disediakan atau membubuhkan tanda lingkaran atau tanda silang (X) pada
Dalam menentukan angka untuk tes bentuk pilihan ganda, dikenal 2 macam cara pula yakni
tanpa hukuman dan dengan hukuman. Tanpa hukuman apabila banyaknya angka dihitung
S = R W/(n-1)
Dimana:
S = Score
W = Wrong
c. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk jawab singkat (short
answer test)
Tes bentuk jawab singkat adalah bentuk tes yang menghendaki jawaban berbentuk kata
atau kalimat pendek. Melihat namanya, maka jawaban untuk tes tersebut tidak boleh
berbentuk kalimat-kalimat panjang, tetapi harus sesingkat mungkin dan mengandung satu
pengertian. Dengan persyaratan inilah maka bentuk tes ini dapat digolongkan ke dalam
Tes untuk lisan, dianggap setaraf dengan tes jawab singkat ini.
Kunci jawaban tes bentuk ini merupakan deretan jawaban sesuai dengan nomornya.
Dengan mengingat jawaban yang hanya satu pengertian saja, maka angka bagi tiap nomor
soal mudah ditebak. Usaha yang dikeluarkan oleh siswa sedikit, tetapi lebih sulit daripada
tes bentuk betul-salah atau bentuk pilihan ganda. Sebaliknya setiap soal diberi angka 2
(dua). Dapat juga angka itu kita samakan dengan angka pada bentuk betul-salah atau
pilihan ganda jika memang jawaban yang diharapkannya ringan atau mudah. Tetapi
sebaliknya apabila jawaban bervariasi misalnya lengkap sekali, lengkap dan kurang
lengkap, maka angkanya dapat dibuat bervariasi pula misalnya 2; 1,5; dan 1.
d. Kunci jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk menjodohkan
(matching)
Pada dasarnya tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda, dimana jawaban-
pilihan jawabannya akan lebih banyak. Satu kesulitan lagi adalah bahwa jawaban yang
dipilih dibuat sedemikian rupa sehingga jawaban yang satu tidak diperlukan bagi
pertanyaan lain.
Kunci jawaban tes bentuk menjodohkan dapat berbentuk deretan jawaban yang
dikehendaki atau deretan nomor yang diikuti oleh huruf-huruf yang terdapat di depan
alternatif jawaban.
Telah dijelaskan bahwa tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda yang lebih
kompleks. Maka angka yang diberikan sebagai imbalan juga harus lebih banyak. Sebagai
ancar-ancar dapat ditentukan bahwa angka untuk tiap nomor adalah 2 (dua).
e. Kunci jawaban dana kunci pemberian skor untuk tes bentuk uraian (essay test)
Sebelum menyusun sebuah tes uraian sebaiknya kita tentukan terlebih dahulu pokok-pokok
jawaban yang kita hendaki. Dengan demikian, maka akan mempermudah kita dalam
Tidak ada jawaban yang pasti terhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang kita peroleh
akan sangat beraneka ragam, berada dari siswa sati ke siswa lain. Untuk menentukan
standar lebih dahulu, tentulah sukar. Ada sebuah saran, langkah-langkah apa yang harus
kita lakukan pada waktu kita mengoreksi dan memberi angka tes bentuk uraian. Saran
1) Membaca soal pertama dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban.
4) Membeca soal kedua dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban,
bentuk uraian.
Apa yang diterangkan diatas ini adalah cara memberikan angka dengan menggunakan atau
mendasarkan pada norma kelompok (norm reference test). Apabila dalam memberikan
angka menggunakan atau mendasarkan pada standar mutlak (criterion referenced test),
maka langkah-langkahnya akan lain. Apa yang dilalui diatas, tidak diperlukan.
3) Menjumlahkan skor-skor yang telah dituliskan pada setiap soal, dan terdapatlah skor
Dengan cara kedua ini maka skor siswa tidak dibandingkan dengan jawaban paling lengkap
yang diberikan oleh siswa lain, tetapi dibandingkan dengan jawaban lengkap yang
Kunci jawaban untuk memeriksa tugas merupakan pokok-pokok yang harus termuat
didalam pekerjaan siswa. Hal ini menyangkut kriteria tentang isi tugas. Namun sebagai
mengenakan tugas.
5) Mutu hasil tugas, yaitu kesesuaian hasil dengan garis-garis yang sudah ditentukan
oleh dosen.
Apa yang terjadi selama ini, banyak di antara para guru sendiri yang masih
Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka
Pengubahan skor menjadi nilai dapat dilakukan untuk skor tunggal, misalnya sesudah
memperoleh skor ulangan harian atau untuk skor gabungan dari beberapa ulangan dalam
Secara rinci skor dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu skor yang diperoleh (obtained
score), skor sebenarnya (true score), dan skor kesalahan (error score).
Skor yang diperoleh adalah sejumlah biji yang dimiliki oleh testee sebagai hasil
kecemasan, dan lain-lain faktor yang dapat berakibat terhadap skor yang diperoleh ini.
Apabila faktor-faktor yang berpengaruh ini muncul, baik sebagian ataupun menyeluruh,
penilai tidak dapat mengira-ngira seberapa cermat skor yang diperoleh siswa ini mampu
Skor sebenarnya (true score) sering kali juga disebut dengan istilah skor univers skor alam
(universe score), adalah nilai hipotesis yang sanga tergantung dari perbedaan individu
Perbedaan antara skor yang diperoleh dengan skor sebenarnya, disebut dengan istilah
kesalahan dalam pengukuran atau kesalahan skor, atau dibalik skor kesalahan. Hubungan
Adapun yang dimaksud dengan nilai adalah angka (bisa juga huruf), yang merupakan hasil
ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainnya, serta disesuaikan
Nilai, pada dasarnya adalah angka atau huruf yang melambangkan seberapa jauh atau
seberapa besar kemampuan yang telah ditunjukkan oleh testee terhadap materi atau bahan
yang diteskan, sesuai dengan tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai, pada
dasarnya juga melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas
jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya, makina banyak
jumlah butir soal yang dapat dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh
tester kepada testee akan semakin tinggi. Sebaliknya, jika jumlah butir item yang dapat
dijawab dengan betul hanya sedikit, maka penghargaan yang diberikan tester kepada testee
Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk sampai kepada nilai, maka skor-skor hasil tes yang
pada hakikatnya masih merupakan skor-skor mentah itu perlu diolah lebih dahulu sehingga
Ada dua hal penting yang perlu dipahami terlebih dahulu dalam pengolahan dan
1. Bahwa dalam pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu ada dua cara
mengacu atau mendasarkan diri pada kriterium (patokan). Cara pertama ini sering dikenal
dengan istilah criterion referenced evaluation, yang dalam dunia pendidikan di tanah air kita
Pertama-tama harus dipahami bahwa penilaian ber-acuan kriterium ini mendasarkan diri
1) Hal-hal yang harus dipelajari oleh testee adalah mempunyai struktur hierarkis tertentu,
dan bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum testee tadi maju atau
2) Evaluator atau tester dapat mengidentifikasi masing-masing taraf itu sampai tuntas,
Apabila dalam penentuan nilai hasil tes hasil belajar itu digunakan acuan kriterium, maka
hal ini mengandung arti bahwa nilai yang akan diberikan kepada testee itu harus didasarkan
pada standar mutlak artinya, pemberian nilai kepada testee itu dilaksanakan dengan jalan
membandingkan antara skor mentah hasil tes yang dimiliki oleh masing-masing individu
testee, dengan skor maksimum ideal yang mungkin dapat dicapai oleh testee, kalau saja
Karena itu maka pada penentuan nilai yang mengacu kepada kriterium atau patokan ini,
tinggi rendahnya atau besar kecilnya nilai yang diberikan kepada masing-masing individu
testee, mutlak ditentukan oleh besar kecil atau tinggi rendahnya skor yang dapat dicapai
oleh masing-masing testee yang bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa penentuan nilai
dengan mengacu pada kriterium sering disebut sebagai: penentuan nilai secara mutlak
membandingkan skor mentah hasil tes dengan skor maksimum idealnya, maka penentuan
nilai yang beracuan pada keriterium ini juga sering dikenal dengan istilah penentuan nilai
secara ideal, atau penentuan nilai secara teoritik, atau penentuan nilai secara das sollen.
Dengan istilah teoritik dimaksudkan di sini, bahwa: secara teoritik seorang siswa berhak
atas nilai 100-misalnya-apabila keseluruhan butir soal tes dapat dijawab dengan betul oleh
siswa tersebut. Dengan demikian maka dalam penentuan nilai yang beracuan pada
kriterium, sebelum tes hasil belajar dilaksanakan, patokan itu sudah dapat disusun (tanpa
Selanjutnya patut diperhatikan, bahwa nilai yang berwujud angka, yang penentuannya
didasarkan pada standar mutlak itu sebenarnya adalah merupakan angka persentase (%)
mengenai tingkat kedalaman atau tingkat penguasaan testee terhadap materi tes yang
dihadapkan kepada mereka. Dalam pernyataan tersebut terkandung makna, bahwa nilai
yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak itu menunjukkan berapa persen dari
100% tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan, telah dapat dicapai atau dipahami
oleh testee. Jadi, jika seorang siswa memperoleh nilai 50 maka hal itu merupakan petunjuk
bahwa siswa tersebut hanya mampu memahami sebanyak 50% dari tujuan instruksional
Karena nilai hasil tes yang ditentukan dengan menggunakan standar mutlak atau mengacu
pada kriterium itu sebenarnya merupakan angka-angka presentase, maka tester akan
segera dapat mengetahui, siswa manakah yang tingkat penguasaannya tergolong tinggi,
Penilaian beracuan patokan ini sangat cocok diterapkan pada tes-tes formatif, dimana tester
ingin mengetahui sudah sampai sejauh manakah peserta didiknya telah terbentuk, setelah
mereka mengikuti program pengajaran dalam jangka waktu tertentu. Dengan menggunakan
criterion referenced evaluation di mana guru atau dosen dapat mengetahui berapa orang
siswa atau mahasiswa yang tingkat penguasaannya tinggi, cukup dan rendah, maka guru
atau dosen tersebut akan dapat melakukan upaya-upaya atau ikhtiar yang dipandang perlu
b. Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dilakukan dengan
mengacu atau mendasarkan diri pada norma atau kelompok. Cara kedua ini sering dikenal
dengan istilah norm referenced avaluation, yang dalam dunia pendidikan di tanah air kita
Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil belajar menjadi nilai standar
dengan mendasarkan diri atau mengacu pada norma atau kelompok sering dikenal dengan
Penilaian beracuan kelompok ini mendasarkan diri pada asumsi sebagai berikut:
1) Bahwa pada setiap populasi peserta didik yang sifatnya heterogen , akan selalu
2) Bahwa tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk menentukan posisi relatif dari para
peserta tes dalam hal yang sedang dievaluasi itu, yaitu apakah seorang peserta tes posisi
Penilaian beracuan norma atau penilaian beracuan kelompok ini sering dikenal dengan
istilah penentuan nilai secara relatif, atau penilaian dengan mendasarkan diri pada standar
relatif.
Dengan menggunakan standar relatif maka akan dapat terjadi, bahwa testee yang
sebenarnya pada kelompok I tergolong hebat (karena berhasil meraih skor hasil tes yang
tinggi sehingga ia tergolong dalam kategori testee yang amat pandai), jika dimasukkan ke
dalam kelompok II ternyata hanya termasuk dalam kelompok sedang atau cukupan atau
biasa-biasa saja kualitasnya, jadi kedudukan testee dimaksud di atas sebenarnya adalah
bersifat relatif.
Salah satu contoh sifat relatif dari suatu tes adalah sebagaimana dikemukakan berikut ini.
Misalkan Halim, siswa Madrasah Tsanawiyah kelas III-A dalam Evaluasi Belajar Tahap
Akhir (EBTA) untuk mata pelajaran matematika berhasil meraih nilai 7, sedangkan nilai rata-
rata kelas III-A untuk mata pelajaran matematika itu adalah 5, maka di kelas III-A itu Halim
adalah termasuk siswa yang tergolong pandai, sebab nilai yang berhasil diraihnya jauh
Penentuan nilai dengan menggunakan standar relatif ini sangat cocok untuk diterapkan
pada tes-tessumatif (ulangan umum, ujian akhir semester, EBTANAS), sebab dipandang
2. Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan
1) Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala lima (stanfive)
Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala lima atau nilai huruf,
> A
Mean + 1,5 SD
> B
Mean + 0,5 SD
> C
Mean 0,5 SD
> D
Mean 1,5 SD
> E
2) Mengubah skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala sembilan (stannine)
Jika skor-skor mentah hasil tes itu akan diubah menjadi nilai standar berskala sembilan,
> 9
M + 1,75 SD
> 8
M + 1,25 SD
> 7
M + 0,75 SD
> 6
M + 0,25 SD
> 5
M 0,25 SD
> 4
M 0,75 SD
> 3
M 1,25 SD
> 2
M 1,75 SD
> 1
Nilai standar berskala sembilan adalah nilai standar yang meniadakan nilai 0 dan nilai 10.
3) Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala sebelas (standar
eleven)
Nilai standar berskala sebelas adalah rentangan nilai standar mulai dari 0 sampai dengan
10. Jadi di sini akan kita dapati 11 butir nilai standar, yaitu nilao 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.
Di Indonesia, nilai standar berskala sebelas ini umumnya digunakan pada lembaga
pendidikan tingkat dasar dan tingkat menengah. Pengubahan skor mentah menjadi stanel
> 10
M + 2,25 SD
> 9
M + 1,75 SD
> 8
M + 1,25 SD
> 7
M + 0,75 SD
> 6
M + 0,25 SD
> 5
M 0,25 SD
> 4
M 0,75 SD
> 3
M 1,25 SD
> 2
M 1,75 SD
> 1
M 2,25 SD
Nilai standar z umumnya dipergunakan untuk mengubah skor-skor mentah yang diperoleh
Dengan menggunakan nilai standar z ini maka testee yang dipandang memiliki kemampuan
lebih tinggi adalah testee yang z scorenya bertanda positif (+). Adapun testee yang z
scorenya bertanda negatif (-) dipandang sebagai testee yang kemampuannya lebih lemah
jika dibandingkan dengan testee lainnya. Jika angka yang ditunjukkan oleh z score yang
bertanda positif itu makin besar, berarti kedudukan relatif dari testee yang bersangkutan
menjadi makin tinggi; sebaliknya, jika z score yang bertanda negatif itu makin besar, maka
Dimaksud dengan T score adalah angka skala yang menggunakan mean sebesar 50 dan
deviasi standar sebesar 10. T score dapat diperoleh dengan jalan memperkalikan z score
T score = 10z + 50
T score dicari atau dihitung dengan maksud untuk meniadakan tanda minus yang terdapat
di depan nilai standar z, sehingga lebih mudah dipahami oleh mereka yang masih asing
mutlak, yaitu standar 100. Dalam penggunaan norm-referenced, prestasi belajar seorang
Dasar pemikiran dari penggunaan standar ini adalah adanya asumsi bahwa disetiap
1) Kelompok baik,
2) Kelompok sedang,
3) Kelompok kurang,
dimulai dengan bakat yang dibawa sejak lahir yang dalam hal ini tampak sebagai indeks
kecerdasan atau Intelligence Quotient (IQ), maka seluruh populasi tergambar sebagai
sebuah kurva normal. Apabila anak-anak itu belajar, maka prestasi atau hasil belajar yang
Pengguanaan penilaian dengan norma kelompok atau norma relatif ini untuk pertama kali
dikemukakan pada tahun 1908 (Cureton 1971), dengan landasan dasar bahwa tingkat
pencapaian belajar siswa akan tersebar menurut kurva normal. Dengan demikian maka
penilaian berdasarkan kurva normal merupakan hal yang tidak dapat dibantah lagi.
Apabila standar relatif dan standar mutlak ini dihubungkan dengan pengubahan skor
1) Pemberian skor terhadap siswa, berdasarkan atas pencapaian siswa terhadap tujuan
yang ditentukan.
2) Nilai diperoleh dengan mencari skor rata-rata langsung dari skor asal (skor mentah)
1) Pemberian skor terhadap siswa juga didasarkan atas pencapaian siswa terhadap
a. Skala bebas
Ani, seorang pelajar di suatu SMU, pada suatu hari berlari lari kegirangan setelah
menerima kembali kertas ulangan dari Guru Matematika. Pada sudut kertas itu tertulis
angka 10, yaitu angkayang diperoleh Ani dengan ulangan itu. Setekah tiba diluar kelas, Ani
berdiskusi dengan kawan kawannya. Ternyata cara mengerjakan dan pendapatnya tidak
sama dengan yang lain. Tetapi mereka juga tidak yakin mana yang betul. Oleh karena itu,
ketika kertas ulangan dikembalikan dan ia mendapat 10, ia kegirangan. Baru sampai
bertemu dengan 4 kawannya, wajahnya sudah menjadi malu tersipu sipu. Rupanya ia
menyadari kebodohannya karena setelah melihat angka yang diperoleh keempat orang
kawannya, ternyata kepunyaan Anil ah yang paling sedikit. Ada kawannya yang mendapat
15, 20 bahkan ada yang 25.Dan kata Guru, pekerjaan Tika yang mendapat angka 25 itulah
yang betul. Dari gambaran ini tampak bahwa dalam pikiran Ani, terpancang satu pengertian
bahwa angka 10 adalah angka tertinggi yang mungkin dicapai, ini memang lazim. Cara
pemberian angka seperti ini tidak salah. Hanya sayangnya, guru tersebut barangkali perlu
menerangkan kepada para siswanya, cara mana yang digunakan untuk memberikan angka
atau skor. Ia baru pindah dari sekolah lain. Ia sudah terbiasa menggunakan skala bebas,
yaitu skala yang tidak tetap. Adakalanya skor tertinggi 20, lain kali lagi 50. Ini semua
tergantung dari banyak dan bentuk soal. Jadi angka tertinggi dan skala yang digunakan
b. Skala 1 10
Apa sebab Ani dan kawan kawannya berpikiran bahwa angka 10 adalah angka tertinggi
untuk nilai ? Hal ini disebabkan karena pada umumnya guru guru di Indonesia
mempunyai kebiasaan menggunakan skala 1-10 untuk laporan prestasi belajar siswadalam
rapor. Adakalanya juga digunakan skala 1-100, sehingga memungkinkan bagi guru untuk
memberikan penilaian yang lebih halus. Dalam skala 1-10 guru jarang memberikan angka
pecahan, misalnya 5,5. Angka 5,5 akan dibulatkan menjadi 6. Dengan demikian maka
rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih hampir1) akan keluar di rapor dalam satu
c. Skala 1 100
Memang diseyogiakan bahwa angka itu merupakan bilangan bulat. Dengan menggunakan
skala 1- 10 maka bilangan bulat yang ada masih menunjukan penilaian yang agak kasar.
Ada sebenarnya hasil prestasi yang berada di antara kedua angka bulat itu. Untuk itulah
maka dengan menggunakan skala 1 100, memungkinkan melakukan penilaian yang lebih
halus karena terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalan skala 1 10 yang
biasanya dibulatkan mejadi 6, dalam skala 1 100 ini boleh dituliskan dengan 55 dan 64.[5]
d. Skala huruf
Di samping penilaian yang dinyatakan dengan angka, kita mengenal pula penilaian yang
dinyatakan dengan huruf. Seperti penilaian yang dilakukan oleh guru taman kanak- kanak
dan atau guru-guru di sekolah dasar kelas I dan kelas II, mereka menggunakan nilai huruf
A, B, C dan D.[6]
Selain itu ada juga yang menggunakan nilai huruf sampai dengan E dan G (tetapi pada
umumnya 5 huruf yaitu A, B, C, D, dan E). Sebenarnya sebutan skala diatas ini ada yang
mempersoalkan. Jarak antara hruuf A dan B tidak dapat digambarkan sama dengan jarak
antara B dan C, atau anatar C dan D. Dalam menggunakan angak dapat dibuktkan dengan
garis bilangan bahwa jarak antara 1 dan 2 sama denga jarak antara 2 dan 3. Demikian pula
jaran antara 3 dan 4, serta antara 4 dan 5. Akan tetapi justru alasan inilah lalu timbul pikiran
untuk menggunakan huruf sebagai alat penilain. Untuk menggambarkan kelemahan dalam
menggunakan angka adalah bahwa dengan angka dapat ditafsirkan sebagai nilai
perbandingan. Siswa A yang memperoleh dua kali lipat kecakapan siswa B yang
memperoleh angka 4 dalam rapor. Demikian pula siswa A tersebut tidaklah mempunya 8/9
kali kecakapan C yang mendapat nilai 9. Jadi sebenarnya menggunakan angka hanya
merupakan symbol yang menunjukan urutan tingkatan. Siswa A yang memperoleh angka 8
memiliki prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa B yang memperoleh angka
4, tetapi kecakapannya itu lebih rendah jika dibandingkan dengan kecakapan C. jadi, dalam
tingkatan prestasi sejarah urutannya adalah C, A, lalu B. Huruf terdapat dalam urutan abjad.
Penggunaan huruf dalam penilaian akan terasa lebih tepat digunakan karena tidak
ditafsirkan sebagai arti perbandingan. Huruf tidak menunjukan kuantitas, tetapi dapat
2. Distribusi Nilai
Distribusi nilai yang dimiliki oleh siswa-siswanya dalam suatu kelas didasarkan pada dua
Dengan dasar bahwa hasil belajar siswa dibandingkan dengan sebuah standar mutlak atau
dalam hal ini skor tertinggi yang diharapkan, maka tingkat penguasaan siswa akan terlihat
dalam berbagai bentuk kurva. Apabila soal-soal yang dibuat guru terlalu mudah, sebagian
besar siswa akan dapat berhasil mengerjakan soal-soal itu dan tingkat pencapaiannya
tinggi. Sebaliknya apabila soal-soal tes termasuk yang sukar maka pencapaian siswa juga
sebaliknya pula. Namun demikian dengan standar mutlak ini mungkin pula diperoleh
gambar kurva nomal jika soal-soal tes disusun oleh guru dengan tepat seperti gambaran
kecakapan siswa-siswanya.[8]
Telah diterangka di depan bahwa dalam menggunakan standar relative atau norm
kelompok. Dalam hal ini tanpa menghiraukan apakah distribusi skor terletak dalam kurva
juling positif atau juling negative tetapi dalam norm referenced selalu tergambar dalam
kurva normal.
4. Standar Nilai
a. Standard Nines/Stanines
Pendapat Gronlund dalam distribusi nilai ini demikian. Skor skor siswa direntangkan
menjadi 9 nilai (disebut juga Standar Nines atau Stanines) seperti berikut ini.
STANINES INTERPRETASI
9 4% Tinggi (4%)
8 7%
7 12%
6 17%
Rata-rata
5 20%
(54%)
4 17%
2 7% (19%)
1 4% Rendah (4%)
Dengan adanya persentase yang ditentukan inilah maka semua situasi skor siswa dapat
b. Standar Enam.
Selain dengan stanadar Sembilan (stanines), ada pula yang menggunakan standar enam.
Dalam hal ini, hanya berkisar antara 4-9, berikut persentasi penyebaran nilainya:
8 10% Baik
6 40% Cukup
5 20% Kurang
4 5% Kurang sekali
5% dibawahnya diberi 5
5% dibawahnya diberi 4
Dalam hal yang sangat khusus dimana siswa yang dianggap sangat cerdas ataupun sangat
Standar ini dikembangkan oleh Fakultas Ilmu Pendidikan UGM yang sesuai dengan system
penilaian di Indonesia. Dengan stanel ini, system penilaian membagi skala menjadi 11
golongan yaitu angka-angka dari 0-10, yang satu sama lain berjarak sama. Tiap-tiap angka
menempati interval sebesar 0,55 SD, bertitik tolak dari Mean = 5 yang menempati jarak
P , P , P , P , P & P Dasar pemikiran Stanel ini dalah bahwa jarak praktis dalam kurva
39 61 79 92 97 99.
11 skala = 6 SD
Skala = 6/11 SD
= 0,55 SD
STANEL ,0 ,1 ,2 ,3 ,4 ,5 ,6 ,7 ,8 ,9 ,10
d. Standar Sepuluh
Tahap-tahap yang dilalui dalam mengubah skor mentah menjadi nilai berskala 1-10 adalah
sebagai berikut:
Menyusun distribusi frekuensi dari angka-angka atau skor-skor mentah.
e. Standar Lima
Kembali kepada Grondlund selain ia mengemukakan penyebaran nilai dengan angka, juga
mengemukakan penyebaran nilai dengan huruf yang digambarkan dengan kurva normal
F D C B A
Bagi seorang siswa, nilai merupakan sesuatu yang sangat penting karena nilai merupakan
cermin dari keberhasilan belajar. Namun, bukan hanya siswa sendiri saja yang memerlukan
a. Fungsi Instruksional
Tidak ada tujuan yang lebih penting dalam proses belajar-mengajar kecuali mengusahakan
agar perkembangan dan belajar siswa mencapai tingkat optimal. Pemberian nilai
merupakan salah satu cara dalam usaha ke arah tujuan itu, asal dilakukan dengan hati-hati
dan bijaksana.
Pemberian nilai merupakan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memberikan suatu
balikan (feed back/umpan balik) yang mencerminkan seberapa jauh seorang siswa telah
Apabila pemberian nilai dapat dilakukan dengan cermat dan terperinci, maka akan lebih
mudah diketahui pula keberhasilan dan kegagalan siswa di setiap bagian tujuan. Oleh
karenanya, penggabungan nilai dari beberapa nilai sehingga menjadi nilai akhir, kadang-
kadang dapat menghilangkan arti dari petunjuk yang semula telah disajikan secara teliti.
b. Fungsi Informatif
Memberikan nilai kepada orang tuanya memberikan arti bahwa orang tua siswa tersebut
menjadi tahu akan kemajuan dan prestasi putranya di sekolah. Catatan ini akan sangat
berguna, terutama bagi orang tua yang ikut serta menyadari tujuan sekolah dan
c. Fungsi Bimbingan
Pemberian nilai kepada siswa akan memberi arti besar bagi pekerjaan bimbingan. Dengan
perincian gambaran nilai siswa, petugas bimbingan akan segera tahu bagian-bagian mana
dari usaha siswa di sekolah yang masih memerlukan bantuan. Catatan lengkap juga
mencakup tingkat (rating) dalam kepribadian siswa serta sifat-sifat yang berhubungan
dengan rasa sosial akan sangat membantu siswa dalam pengarahannya sebagai pribadi
seutuhnya.
d. Fungsi Administratif
3) Memberikan beasiswa
tenaga
Walaupun hal yang dinilai tidak sama bagi tiap sekolah, namun secara garis besar dapat
ditentukan unsur umum dalam penilaian yang menyangkut faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan.
Unsur umum tersebut adalah sebagai berikut:
a. Prestasi/pencapaian (achievement)
Nilai prestasi harus mencerminkan tingkatan-tingkatan siswa sejauh mana telah dapat
Simbol yang digunakan untuk menyatakan nilai, baik huruf maupun angka, hendaknya
merupakan gambaran tentang prestasi saja. Unsur pertimbangan atau kebijaksanaan guru
tentang usaha dan tingkah laku siswa tidak boleh ikut berbicara pada nilai tersebut.
b. Usaha (effort)
Terpisah dari nilai prestasi, guru menyampaikan laporannya kepada orang tua siswa.
Laporan atau nilai tidak boleh dicampuri dengan nilai prestasi sama sekali. Yang sering
tejadi adalah kecendrungan dari guru untuk menilai unsur usaha ini lebih rendah bagi anak
Unsur ini juga perlu dilaporkan terutama yang berhubungan dengan berlangsungnya proses
belajar mengajar, misalnya, menaati tata tertib sekolah. Dalam memberikan nilai pribadi ini
harus hati-hati sekali. Rentangan nilai sebaiknya tidak usah lebar-lebar (lebih baik 6-10).
Lebih baik lagi jika diterangkan dengan khusus dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh
tugas. Misalnya mengerjakan PR, keuletan dalam usaha, bekerja teliti, kerapihan kerja, dan
sebagainya.
Tiap guru mempunyai pendapat sendiri tentang cara menentukan nilai akhir. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap penting tidaknya bagian, kegiatan yang
menyelesaikan tugas, mengikuti diskusi, menempuh tes formatif, menempuh tes tengah
Sementara guru berpendapat bahwa menghadiri pelajaran dan mengikuti diskusi sudah
merupakan kegiatan yang sangat menunjang prestasi sehingga absensi siswa perlu
dipertimbangkan dalam menentukan nilai akhir. Guru lain berpendapat sebaliknya, karena
walaupun hadir dalam kuliah/pembelajaran, mungkin saja hanya raganya saja. Dengan
Penentuan nilai akhir dilakukan terutama pada waktu guru akan mengisi rapor atau STTB.
Biasanya dalam menentukan nilai akhir ini guru sudah dibimbing oleh suatu peraturan atau
a. Untuk menentukan nilai akhir, perlu diperhitungkan nilai tes formatif dan tes sumatif
dengan rumus:
dimana:
NA : nilai akhir
Jadi, Nilai Akhir diperoleh dari rata-rata nilai tes formatif (diberikan bobot satu) dijumlahkan
b. Nilai Akhir diperoleh dari nilai tugas, nilai ulangan harian, dan nilai ulangan umum
dimana
T : nilai tugas
c. Nilai Akhir untuk STTB diperloleh dari rata-rata nilai ulangan harian (diberi bobot satu)
dan nilai EBTA (diberi bobot 2), kemudian dibagi 3. Rumusnya adalah:
dimana
E : nilai EBTA
selanjutnya di dalam kurikulum SMA tahun 1984 disebutkan cara menentukan nilai akhir
bukan hanya didasarkan atas hasil kegiatan kurikuler saja, tetapi juga korikuler.
Rumusnya adalah:
Keterangan:
r = Nilai korikuler
Setelah hasil-hasil penilaian formatif diubah ke dalam nilai berskala 1 10, kemudian untuk
setiap siswa dicari rata-rata hasil penilaian formatif dalam caturwulan/semester yang
bersangkutan.
Nilai rata-rata ini selanjutnya dijumlahkan dengan tes sumatif dan kemudian hasil
penjumlahan dibagi dua. Hasil yang terakhir inilah yang akan merupakan nilai akhir bagi
Perlu dikemukakan di sini bahwa apabila pada nilai akhir terdapat pecahan kurang dari
setengah, maka nilai itu dibulatkan ke bawah. Kalau pecahan itu setengah, nilai akhir tetap
seperti itu. Sedangkan dalam pecahan lebih dari setengah, maka nilai itu dibulatkan ke
atas.
Latar Belakang
Telah kita ketahui bahwa tes hasil belajar dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung
bagaimana strategi dan metode yang diterapkan oleh guru. Adakalanya guru menyelenggarakan tes hasil
belajars ecara tertulis (tes tertulis), ada juga secara lisan (tes lisan) dan ada juga yang dengan perbuatan
(prektek).
Adanya perbedaan penyelenggaraan tes hasil belajar tersebut, sudah barang tentu menuntut
adanya pembedaan pula dalam pemeriksaan hasil-hasilnya (koreksi) dan adanya pembedaan pula dalam
telah ditetapkan. Agar skor dan nilai yang diperoleh siswa dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
2. Untuk mengetahui bagaimana teknik pemberian skor hasil tes hasil belajar.
PEMBAHASAN
dengan tes perbuatan. Adanya perbedaan pelaksanaan tes hasil belajar tersebut menuntut adanya
Tes hasil belajar yang diselenggarakan secara tertulis dapat dibedakan menjadi dua golongan,
yaitu: tes hasil belajar (tertulis) bentuk uraian (subjective test = essay test) dan tes hasil belajar (tertulis)
bentuk obyektif (objective test). Karena kedua bentuk tes hasil belajar itu memiliki karakteristik yang
berbeda, sudah barang tentu teknik pemeriksaan hasil-hasilnya pun berbeda pula. 1[1]
Dalam pelaksanaan pemeriksaan hasil tes uraian ini ada dua hal yang perlu dipertimbangkan,
yaitu: (1) apakah nantinya pengolahan dan penentuan nilai hasil tes uraian itu akan didasarkan pada
standar mutlak atau: (2) apakah nantinya pengolahan dan penentuan nilai hasil tes subyektif itu akan
Apabila nantinya pengolahan dan penentuan nilai hasil tes uraian itu akan didasarkan pada
standar mutlak (dimana penentuan nilai secara mutlak akan didasarkan pada prestasi individual), maka
1) Membaca setiap jawaban yang diberikan oleh testee dan membandingkannya dengan pedoman yang
sudah disiapkan.
2) Atas dasar hasil perbandingan tersebut, tester lalu memberikan skor untuk setiap butir soal dan
Adapun apabila nantinya pengolahan dan penentuan nilai akan didasarkan pada standar relative
(di mana penentuan nilai akan didasarkan pada prestasi kelompok), maka prosedur pemeriksaannya
1) Memeriksa jawaban atas butir soal nomor 1 yang diberikan oleh seluruh testee, sehingga diperoleh
3) Mengulangi langkah-langkah tersebut untuk soal tes kedua, ketiga, dan seterusnya
1
4) Setelah jawaban atas seluruh butir soal yang diberikan oleh seluruh testee dapat diselesaikan, akhirnya
dilakukanlah penjumlahan skor (yang nantinya akan dijadikan bahan dalam pengolahan dan penentuan
nilai.2[2]
Memeriksa atau mengoreksi jawaban atas soal tes objektif pada umumnya dilakukan dengan jalan
menggunakan kunci jawaban, ada beberapa macam kunci jawaban yang dapat dipergunakan untuk
Kunci jawaban berdamping ini terdiri dari jawaban jawaban yang benar yang ditulis dalam satu
kolom yang lurus dari atas kebawah, adapun cara menggunakannya adalah dengan meletakan kunci
jawaban tersebut berjajar dengan lembar jawaban yang akan diperiksa, lalu cocokkan, apabila jawaban
yang diberikan oleh teste benar maka diberi tanda ( + ) dan apabila salah diberi tanda ( - ).
jawaban yang mereka anggap benar kemudian kunci jawaban yang telah dibuat oleh teste tersebut
diletakan diatas lembar jawaban teste yang sudah ditumpangi karbon kemudian tester memberikan
lingkaran pada setiap jawaban yang benar sehingga ketika diangkat maka, dapat diketahui apabila
jawaban teste yang berada diluar lingkaran berarti salah sedangkan yang berada didalam adalah benar.
3) Kunci system tusukan ( panprick system key )
Pada dasarnya kunci system tusukan adalah sama dengan kunci system karbon. Letak
perbedaannya ialah pada kunci sistem ini, untuk jawaban yang benar diberi tusukan dengan paku atau
alat penusuk lainnya sementara lembar jawaban testee berada dibawahnya, sehingga tusukan tadi
menembus lembar jawaban yang ada dibawahnya. Jawaban yang benar akan tekena tusukan
3
Pemeriksaan yang dilaksanakan dalam rangka menilai jawaban jawaban testee pada tes hasil
belajar secara lisan pada umumnya bersifat subjektif, sebab dalam tes lisan itu tester tidak berhadapan
dengan lembar jawaban soal yang wujudnya adalah benda mati, melainkan berhadapan dengan individu
atau makhluk hidup yang masing masing mempunyai ciri dan karakteristik berbeda sehingga
memungkinkan bagi tester untuk bertindak kurang atau bahkan tidak objektif. 4[4]
Dalam hal ini, pemeriksaan terhadap jawaban testee hendaknya dikendalikan oleh pedoman yang
Pernyataan tersebut mengandung makna apakah jawaban yang diberikan oleh testee sudah
memenuhi semua unsur yang seharusnya ada dan sesuai dengan kunci jawanban yang telah disusun
oleh tester
Mencakup apakah dalam memberikan jawaban lisan atas soal soal yang diajukan kepada testee
itu cukup lancar sehingga mencerminkan tingkat pemahaman testee terhadap materi pertanyaan yang
diajukan kepadanya
Jawaban panjang yang dikemukakan oleh testee secara lancar dihadapan tester, belum tentu
merupakan jawaban yang benar sehingga tester harus benar benar memperhatikan jawaban testee
tersebut, apakah jawaban testee itu mengandung kadar kebenaran yang tinggi atau sebaliknya.
Maksudnya, apakah jawaban yang diberikan dengan penuh kenyakinan akan kebenarannya atau
tidak. Jawaban yang diberikan oleh testee secara ragu ragu merupakan salah satu indikator bahwa
Demikian seterusnya, penguji dapat menambahkan unsur lain yang dirasa perlu dijadikan bahan
penilaian seperti : perilaku, kesopanan, kedisiplinan dalam menghadapi penguji (tester). 5[5]
Dalam tes perbuatan ini pemeriksaan hasil-hasil tes nya dilakukan dengan menggunakan
observasi (pengamatan). Sasaran yang perlu diamati adalah tingkah laku, perbuatan, sikap dan lain
sebagainya. Untuk dapat menilai hasil tes tersebut diperlukan adanya instrument tertentu dan setiap
5
Contoh: misalkan instrument yang dipergunakan dalam mengamati calon guru yang
melaksanakan praktek mengajar, aspek-aspek yang diamati meliputi 17 unsur dengan skor minimum 1
pengolahan tertentu. Penggunaan simbol untuk menyatakan nilai-nilai itu ada yang dengan angka,
seperti angka dengan rentangan 0 10, 0 100, 0 4, dan ada pula yang dengan huruf A, B, C, D, dan
E.7[7] Cara menskor hasil tes biasanya disesuaikan dengan bentuk soal-soal tes yang dipergunakan,
apakah tes objektif atau tes essay, atau dengan bentuk lain.
a. Pemberian skor untuk tes bentuk benar-salah
Dalam menentukan angka atau skor untuk tes bentuk benar-salah ini kita dapat menggunakan 2
kunci. Sedangkan dnegan denda (karena diragukan ada unsur tebakan), digunakan 2 macam rumus: 8[8]
S=R-W
Pertama, dengan rumus:
S= Score
R = Right
W = Wrong
Skor yang diperoleh siswa sebanyak jumlah soal yang benar dikurangi dengan jumlah soal yang salah.
Contoh:
- Banyaknya soal = 10 butir
- Yang betul = 8 butir soal
- Yang salah = 2 butir soal
Jadi, 8 2 = 6
Kedua, dengan rumus:
S = T 2W
8
Dengan tes bentuk pilihan ganda, testee diminta melingkari salah satu huruf di depan pilihan
jawaban yang disediakan atau membubuhkan tanda lingkaran atau tanda silang (X) pada tempat yang
dan dengan denda. Tanpa denda apabila banyaknya angka dihitung dari banyaknya jawaban yang cocok
S=R-
S = Score
W = Wrong
n = Banyaknya pilihan jawaban
Contoh:
- Banyaknya soal = 10 butir
- Banyaknya yang betul = 8 butir soal
- Banyaknya yang salah = 2 butir soal
- Banyaknya pilihan = 3 butir
Maka skornya adalah: S = 8 - = 8 1 = 7
c. Pemberian skor untuk tes bentuk jawab singkat (short answer test)
Tes bentuk jawab singkat adalah bentuk tes yang menghendaki jawaban berbentuk kata atau
kalimat pendek. Maka jawaban untuk tes tersebut tidak boleh berbentuk kalimat-kalimat panjang, tetapi
harus sesingkat mungkin dan mengandung satu pengertian. Dengan persyaratan inilah maka bentuk tes
mudah ditebak. usaha yang dikeluarkan oleh siswa sedikit, tetapi lebih sulit daripada tes bentuk betul-
salah atau pilihan ganda. Dalam tes bentuk ini, sebaiknya tiap soal diberi angka 2 (dua). Tetapi apabila
jawabannya bervariasi misalnya lengkap sekali, lengkap, dan kurang lengkap, maka angkanya dapat
angka yang diberikan sebagai imbalan juga harus lebih banyak. Sebagai ancar-ancar dapat ditentukan
10
11
e. Pemberian skor untuk tes bentuk uraian
Sebelum menyusun sebuah tes uraian sebaiknya kita tentukan terlebih dahulu pokok-pokok
jawaban yang kita kehendaki. Dengan demikian, maka akan mempermudah kita dalam mengoreksi tes
itu.
Tidak ada jawaban yang pasti terhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang kita peroleh akan
sangat beraneka ragam, beda antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Langkah-langkah
Alternatif kedua untuk pemberian skor pada tes bentuk uraian adalah dengan menggunakan cara
pemberian angka yang relatif. Misalnya untuk sesuatu nomor soal jawaban yang paling lengkap hanya
mengandung 3 unsur, padahal yang kita kita menghendaki 5 unsur, maka kepada jawaban yang paling
lengkap itulah kita berikan angka 5, sedangkan yang menjawab hanya 2 atau 1 unsur, kita beri angka
Apa yang telah diterangkan di atas ini adalah cara memberikan angka dengan menggunakan atau
mendasarkan pada norma kelompok (norm referenced test). Apabila dalam memberikan angka
menggunakan atau mendasarkan pada standar mutlak (Criterion referenced test), maka langkah-
langkahnya adalah:
1) Membaca setiap jawaban yang diberikan oleh siswa dan dibandingkan dengan kunci jawaban yang telah
disusun.
2) Membubuhkan skor di sebelah kiri setiap jawaban. Ini dilakukan per nomor soal.
3) Menjumlahkan skor-skor yang telah dituliskan pada setiap soal.
Dengan cara ini maka skor yang diperoleh siswa tidak dibandingkan dnegan jawaban paling
lengkap yang diberikan oleh siswa lain, tetapi dibandingkan dengan jawaban lengkap yang dikehendaki
12
13
Dalam mempertimbangkan nilai akhir perlu dipikirkan peranan masing-masing aspek kriteria
Skor: hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang
dijawab betul oleh siswa, dengan memperhitungkan bobot jawaban betulnya. 14[14]
Nilai: angka (bisa juga huruf) yang merupakan hasil ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-
skor lainnya, serta dengan menggunakan acuan/standar tertentu, yakni acuan patokan dan acuan
norma.15[15]
penerbangan, setiap calon harus memenuhi syarat antara lain tinggi badan sekurang-kurangnya 165 cm
dan memiliki tingkat kecerdasan (IQ) serendah-rendahnya 130. Berdasarkan kriteria atau patokan itu,
siapapun calon yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut dinyatakan gagal dalam tes atau tidak akan
nilai-nilai yang diperoleh siswa diperbandingkan dengan nilai-nilai siswa yang lain yang termasuk di
sedangkan yang dimaksud dengan kelompok adalah semua siswa yang mengikuti tes tersebut. Nilai
hasil PAN tidak mencerminkan tingkat kemampuan dan penguasaan siswa tentang materi pengajaran
yang diteskan, tetapi hanya menunjukkan kedudukan siswa di dalam peringkat kelompoknya. 17[17]
14
15
16
17
C. Teknik Pengolahan Hasil Tes Hasil Belajar
1. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai Huruf
Pengolahan skor mentah menjadi nilai huruf menggunakan sifat-sifat yang terdapat pada kurva
normal sebagai dasar perhitungan. Adapun ciri-ciri atau sifat-sifat distribusi normal antara lain adalah
seperti berikut:18[18]
Memiliki jumlah atau kepadatan frekuensi yang tetap pada jarak deviasi-deviasi tertentu seperti pada
gambar:
-2
-3
-2
-1
M
+1
+2
+3
b.
a.
-1
M
+1
+2
+3
-3
68,26
95,44
-3
-1
M
+1
+2
+3
c.
-2
99,72
18
Dalam gambar tersebut, dapat kita lihat bahwa:
DS dan +3 DS. Itulah sebabnya dalam perhitungan-perhitungan selanjutnya selalu akan kita lhat
dan membagi dua sama besar jarak deviasi antara -3 DS dan +3 DS.
Berdasarkan sifat-sifat distribusi normal itulah maka untuk penjabaran skor mentah menjadi nilai
a. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai Huruf dengan Menggunakan Mean (M) dan Deviasi Standar (DS)
Mencari mean (M) dan Deviasi Standar (DS) dalam rangka mengolah skor mentah menjadi nilai
huruf dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu jika banyaknya skor yang diolah kurang dari 30,
digunakan tabel distribusi frekuensi tunggal. Dan jika banyaknya skor yang diolah lebih dari 30,
misalnya sampai 40 atau 50 skor atau lebih, sebaiknya digunakan tabel distribusi frekuensi bergolong.
Berikut ini sebuah contoh yang menggunakan tabel distribusi frekuensi tunggal.
Misalkan seorang guru memperoleh skor mentah dari haisl tes yang telah diberikan kepada 20
73 70 68 68 67 67 65 65 63 62
60 59 59 58 58 56 52 50 41 40
Skor mentah itu akan diolah menjadi nilai huruf A, B, C, D, TL dengan menggunakan M dan DS. Untuk
peroleh
5) Langkah terakhir adalah menghitung mean dan DS dengan rumus-rumus sebagai berikut:
M = dan DS =
19
1 2 3 4
Amrin 73 13 169
Dahron 70 10 100
Mardi 68 8 64
Popon 68 8 64
Jamilah 67 7 49
Sarman 67 7 49
Ronald 65 5 25
Nursam 65 5 25
Marnah 63 3 9
Kamerun 62 2 4
Djufri 60 0 0
Rajiman 59 -1 1
Jugil 59 -1 1
Bonteng 58 -2 4
Pairah 58 -2 4
Gurita 56 -4 16
Marlopo 52 -8 64
Dari tabel itu kemudian dicari mean dan DS dengan rumus sebagai berikut:
M= = = 60,05 dibulatkan = 60
DS = = = = 8,69
Dari perhitungan dalam tabel di atas kita telah memperoleh mean (M) = 60 dan DS = 8,69.
Selanjutnya kita dapat menjabarkan skor-skor mentah yang kita peroleh itu ke dalam nilai huruf melalui
akan menggunakan seluruh jarak range dari kurva normal, yaitu antara -3 DS s.d. + 3 DS = 6 DS.
Karena nilai huruf yang akan digunakan adalah A B C D E TL yang berarti = 4 unit, dan kita
tentukan besarnya SUD = 6 DS : 4 = 1,5 DS. Jadi, SUD = 1,5 x 8,69 = 13,035, dibulatkan = 13.
2) Titik tengah nilai C terletak pada mean = 60 karena C merupakan nilai tengah pada skala penilaian A - B
C D TL.
3) Langkah selanjutnya kita menentukan batas bawah (lower limit) dan batas atas (upper limit) dari masing-
berikut:
- Skor 80 ke atas =A = Tidak ada
- Skor 67 s.d 79,5 =B = 6 Orang
- Skor 54 s.d 66,5 =C = 10 Orang
- Skor 34 s.d 53,5 =D = 4 orang
- Skor di bawah 34 = TL = Tidak ada
Dengan cara penjabaran seperti di atas, ternyata hasilnya lebih baik dalam arti banyak yang lulus
meskipun hanya memperoleh nilai D. Hal ini dimungkinkan karena dalam penjabaran tersebut kita
menggunakan seluruh range dari kurva normal, yaitu dari -3 DS s.d. +3 DS.
b. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai Huruf dengan Batas Lulus = Mean
Misalkan seorang guru memperoleh skor dari hasil ujian semester dari 50 siswa sebagai berikut: 20
[20]
97 93 92 90 87 86 86 83 81 80
80 78 76 76 75 74 73 72 72 71
69 67 67 67 64 63 63 62 62 60
58 57 57 56 56 54 52 50 47 45
43 39 36 36 32 29 27 26 20 16
Skor mentah ini akan kita olah menjadi nilai huruf A, B, C, D, dan TL. Untuk mencari mean dan
DS kita susun skor mentah tersebut ke dalam tabel frekuensi, kita cari dulu range untuk menentukan
Kelas Interval f d fd
1 96 105 1 +4 +4 16
2 86 95 6 +3 +18 54
3 76 - 85 7 +2 +14 28
4 66 - 75 10 +1 +10 10
5 56 - 65 11 0 0 0
20
6 46 - 55 4 -1 -4 4
7 36 - 45 5 -2 -10 20
8 26 - 35 3 -3 -9 27
9 16 - 25 3 -4 -12 48
DS = i
DS = 10
= 10
= 10
= 10 x 1,9 = 19
Selanjutnya jika kita akan mengubah skor mentah yang diperoleh menjadi nilai huruf A, B, C, D,
Telah ditentukan bahwa batas lulus = mean = 63. Jadi, skor mentah dari 63 ke atas kita bagi
menjadi nilai huruf A, B, C, D dan skor di bawah 63 dinyatakan TL. Perhatikan gambar berikut:
-2
-1
0
+1
+2
+3
D
C
B
A
TL
-3
M
2,25
1,5
0,75
- Batas bawah D atau batas lulus = mean = 63
- Skor di bawah 63 = TL
- Batas atas D = M + 1 SUD = M + 0,75 DS
= 63 + 14,25 = 77 (dibulatkan)
- Batas atas C = M + 2 SUD = M + 1,5 DS
= 63 + 28,5 = 92 (dibulatkan)
- Batas atas B = M + 3 SUD = M + 2,25 DS
= 63 + 42,75 = 106 (dibulatkan)
- Skor di atas 106 = A
Dengan perhitungan tersebut, maka hasil kelulusan dari 50 siswa adalah sebagai berikut:
Yang tidak lulus (TL), skor di bawah 63 = 23 orang
Yang mendapat nilai D, skor 63 77 = 15 orang
Yang mendapat nilai C, skor 78 92 = 10 orang
Yang mendapat nilai B, skor 93 106 = 2 orang
Yang mendapat nilai A, akor di atas 106 = tidak ada
Jika dibandingkan dengan cara penjabaran terdahulu, maka cara yang terakhir ini ternyata lebih
mahal. Dari 50 orang siswa yang ujian, ternyata sebanyak 23 orang tidak lulus (hampir 50%).
c. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai Huruf dengan Menggunakan Mean Ideal dan DS Ideal
Misalkan jika skor maksimum ideal dari tes yang diberikan kepada 50 siswa tersebut = 120, maka:
mean ideal = x skor maksimum ideal = 60
DS ideal vdari tes tersebut = x 60 = 20
Dengan cara menjabarkan yang telah diuraikan sebelumnya, yakni dengan ketentuan batas lulus =
mean, dan dengan demikian, 1 SUD = 0,75 DS, kita peroleh perhitungan sebagai berikut:
atau hampir sama. Yang tidak lulus hanya selisih 3 orang, yang kedua-duanya tidak ada yang
memperoleh nilai A. Hal ini antara lain adalah karena skor maksimum ideal dari tes yang diolah adalah
120, sedangkan nilai maksimum aktual (nilai tertinggi dari kelompok yang dites) adalah 97, yang berarti
masih jauh di bawah nilai maksimum ideal 120. Akan tetapi, jika nilai maksimum ideal dari tees itu 100
misalnya, maka mean ideal = 50 dan DS ideal = 16,7, dibulatkan menjadi 17. Dengan demikian,
mungkin ada beberapa orang yang memperoleh nilai A, dan yang tidak lulus pun jumlahnya berkurang. 21
[21]
2. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai 1 10
Umpamakan seorang guru memperoleh skor mentah dari hasil ulangan sejarah di kelas III SMP
16 64 87 36 65 42 43 54 47 51
77 55 68 42 40 47 42 46 45 50
20 57 28 7 44 51 40 39 39 57
28 39 21 48 46 37 41 43 49 71
29 44 34 50 45 35 44 52 56 45
Untuk mengolah skor mentah di atas menjadi nilai 1-10, kita perlu mencari mean (angka rata-rata) dan
DS. Untuk itu skor mentah tersebut kita susun ke dalam tabel distribusi frekuensi. Langkah-langkah
berturut-turut dengan interval yang telah ditemukan dan sejumlah kelas yang telah ditentukan pada
langkah pertama
c. Membuat tally pada kolom 3 (menabulasikan tiap-tiap skor ke dalam kelasnya).
d. Mengisi angka (jumlah) tally ke dalam kolom 4 (f)
e. Menentukan deviasi pada lajur d dengan menetapkan letak mean dugaan (M) dengan angka nol pada
kelas tertentu. Untuk menduga letak nol tersebut dapat kita pilih kelas yang mengandung frekuensi yang
paling tinggi. Selanjutnya kita letakkan angka-angka deviasi itu dari nol ke atas dan ke bawah. Angka-
angka di atas nol kita beri tanda + (plus) dan angka-angka di bawah nol diberi tanda (minus)
f. Mengisi lajur fd dengan mengalikan angka-angka pada lajur f dan d. Kemudian hasilnya dijumlahkan
pada bagian bawah dari tabel (= fd). Sampai pada kolom 6 (fd) kita telah dapat menghitung besarnya
mean yang sebenarnya dari tabel tersebut. Akan tetapi, karena kita masih memerlukan mencari DS
(deviasi standar), kita perlu menambah satu kolom lagi untuk mencari .
21
g. Mengisi lajur , kemudian dijumlahkan pula pada bagian bawah dari tabel sehingga kita peroleh yang
berikut:
Skor maksimum = 87
Skor minimum =7
Range = 87 7 = 80
Banyaknya kelas interval:
+ 1 = + 1 = 11
Jadi, interval (i) = 8, kelas interval = 11
1 87-94 I 1 +6 6 36
2 79-86 0 +5 0 0
3 71-78 II 2 +4 8 32
4 63-70 III 3 +3 9 27
5 55-62 IIII 4 +2 8 16
6 47-54 IIIIIIIII 11 +1 11 11
7 39-46 IIIIIIIIIIIIIII 18 0 0 0
8 31-38 IIII 4 -1 -4 4
9 23-30 III 3 -2 -6 12
10 15-22 III 3 -4 -9 27
11 7-14 I 1 -4 -4 16
interval yang kita duga sebagai tempat letaknya mean. Cara menghitung:
M = = = 42,5
Dari tabel itu, sekarang kita mencai DS.
Rumusnya: DS = i
ialah menjabarkan skor mentah yang kita peroleh ke dalam nilai 1 10 dengan menggunakan rumus
Rumus Penjabaran
M + 2,25 DS = 10
M + 1,75 DS = 9
M + 1,25 DS = 8
M + 0,75 DS = 7
M + 0,25 DS = 6
Penjabarannya
79 ke atas = 10
72 s.d. 78 = 9
64 s.d. 71 = 8
57 s.d. 63 = 7
49 s.d. 56 = 6
42 s.d. 48 = 5
Hasil Perhitungan
45,54 + (2,25 x 15) = 79,29 dibulatkan = 79
45,54 + (1,75 x 15) = 71,79 dibulatkan = 72
45,54 + (1,25 x 15) = 64,29 dibulatkan = 64
45,54 + (0,75 x 15) = 56.79 dibulatkan = 57
45,54 + (0,25 x 15) = 49,29 dibulatkan = 49
45,54 - (0,25 x 15) = 41,79 dibulatkan = 42
34 s.d. 41 = 4
27 s.d. 33 = 3
19 s.d. 26 = 2
12 s.d. 18 = 1
11 ke bawah =0
Kebaikan sistem penskoran seperti ini ialah bahwa nilai-nilai yang diperoleh siswa benar-benar
mencerminkan kapasitas kelompok (disesuaikan dengan kondisi atau tingkat kepandaian kelompok yang
bersangkutan).
Akan tetapi, kelemahannya ialah bahwa nilai-nilai yang diperoleh sistem tersebut belum
mencerminkan sampai dimana pencapaian scope bahan pelajaran yang diteskan. Oleh karena itu, untuk
mengurangi kelemahan ini kita juga melakukan sistem penskoran dengan menggunakan mean ideal dan
100.
Mean ideal = = = 50
DS ideal = =
= 16,6
Dengan menggunakan rumus penjabaran tersebut, maka:
50 + (2,25 x 16,6) = 87,35 dibulatkan = 87 10
50 + (1,75 x 16,6) = 79,05 dibulatkan = 79 9
50 + (1,25 x 16,6) = 70,75 dibulatkan = 71 8
50 + (0,75 x 16,6) = 62,45 dibulatkan = 62 7
50 + (0,25 x 16,6) = 54,15 dibulatkan = 54 6
50 - (0,25 x 16,6) = 45,85 dibulatkan = 46 5
50 - (0,75 x 16,6) = 37,55 dibulatkan = 38 4
50 - (1,25 x 16,6) = 29,25 dibulatkan = 29 3
50 - (1,75 x 16,6) = 20,95 dibulatkan = 21 2
50 - (2,25 x 16,6) = 12,65 dibulatkan = 13 1
Dengan menggunakan mean ideal dan DS ideal, ternyata hasilnya berlainan. Siswa yang mendapat
nilai 10 adalah siswa yang memperoleh skor mentah 87 ke atas, dan bukan 79 ke atas seperti hasil
perhitungan menggunakan mean dan DS aktual. Juga yang mendapat nilai 6 adalah siswa yang
seharusnya dicapai jika tes tersebut dikerjaan dengan hasil 100% betul.
Rumus penilaian adalah sebagai berikut: NP =
Keterangan:
MP = nilai persen yang dicari atau diharapkan
R = skor mentah yang diperoleh siswa
SM = skor maksimum ideal dari tes yang bersangkutan
100 = bilangan tetap
Beberapa contoh sebagai penjelasan:
- Siswa A memperoleh skor 64 dari tes matematika yang memiliki skor maksimum ideal = 80
Maka nilai A yang sebenarnya adalah x 100 = 80
- Siswa B memperoleh skor 64 dari tes bahasa indonesia yang memiliki skor maksimum ideal = 100. Maka
nilai B = 64
Cara menilai dengan persen sering dilakukan oleh guru-guru, hal ini karena dianggap lebih
standar dari mean. Dalam hal ini mean dinyatakan = 0 (nol). Oleh karena itu, dnegan penjabaran skor-
skor mentah menjadi skor standar z kita dapat melihat bagaimana kedudukan skor tersebut
22
23
Bahasa Indonesia= 65
Matematika = 55
IPS = 70
Dengan melihat sepintas, kita beranggapan bahwa Umar cukup dalam Bahasa Indonesia, kurang
dalam Matematika, dan cukup baik dalam IPS. Untuk mengetahui kecakapan Umar sebenarnya
dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya, kita perlu mengetahui besarnya mean dan DS dari tiap
Mata
Skor Mean DS
Pelajaran
Bahasa
65 60 4.0
Indonesia
Matematika 55 45 4.0
IPS 70 75 5.0
Dengan membandingkan skor yang dicapai Umar dengan mean nya masing-masing, sepintas kita
lihat bahwa Umar bukan sangat pandai dalam IPS, malah ia lebih baik dalam matematika dan bahasa
indonesia. Dengan menggunakan mean dan DS itu kita dapat mengubah skor-skor yang diperoleh Umar
menjadi skor z.
Rumusnya: Skor z =
Dengan menggunakan rumus tersebut, kita dapat mengubah skor yang dicapai Umar ke dalam skor z
sebagai berikut:
Bahasan Indonesia = = = +1,25
Matematika = = = +2,5
IPS = = = - 1,0
Melihat hasil skor z di atas kita dapat mengetahui bahwa Umar dalam bahasa indonesia adalah
1,25 DS di atas mean, untuk matematika 2,5 DS di atas mean, sedangkan untuk IPS 1,0 DS di bawah
mean.24[24]
5. Mengolah Skor Mentah Menjadi Skor Standar T
Yang dimaksud dengan skor T ialah angka skala yang menggunakan dasar mean = 50 dan jarak
tiap deviasi standar (DS) = 10. Di dalam range -3 DS sampai dengan +3 DS, T tersebar dari 20 s.d. 80,
pelajaran dengan kedudukan nilai skor yang sama setelah setiap skor dari mata pelajaran tersebut
Jika skor-skor yang diperoleh Umar tadi kita jabarkan ke dalam skor T, akan kita peroleh sebagai
berikut:
Bahasa Indonesia = ( ) x 10 + 50 = (+1,25) x 10 + 50 = 62,5
24
Matematika = ( ) x 10 + 50 = (+2,5) x 10 + 50 = 75,0
IPS = ( ) x 10 + 50 = (-1,0) x 10 + 50 = 40,0
Dengan melihat hasil penjabaran ke dalam skor T di atas, secara cepat kita dapat mengatakan
bahwa Umar memiliki prestasi yang cukup baik dalam matematika dibandingkan dengan teman
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nilai pada dasarnya melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas
jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya makin banyak jumlah butir soal
dapat dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee akan semakin
tinggi. sebaliknya, jika jumlah butir item yang dapat dijawab dengan betul itu hanya sedikit, maka
Tes hasil belajar dapat diselenggarakan secara tertulis (tes tertulis), secara lisan (tes lisan) dan
dengan tes perbuatan. Adanya perbedaan pelaksanaan tes hasil belajar tersebut menuntut adanya
skor mentah menjadi nilai huruf, mengolah skor mentah menjadi nilai 1 10, mengolah skor mentah
menjadi nilai dengan persen, mengolah skor mentah menjadi skor standar z, dan mengolah skor mentah
25
26
27
termasuk Hebat, mungkin jika pindah ke kelompok lainnya hanya menduduki kualitas
Sedang saja.28[3] PAN digunakan untuk menafsirkan hasil tes sumatif. Dalam PAN,
makna angka (skor) seorang peserta didik ditemukan dengan cara membandingkan hasil
belajarnya dengan hasil belajar peserta didik lainnya dalam satu kelompok/kelas. Peserta
didik dikelompokkan berdasarkan jenjang hasil belajar sehingga dapat diketahui
kedudukan relatif seorang peserta didik dibandingkan dengan teman sekelasnya. Tujuan
PAN adalah untuk membedakan peserta didik atas kelompok-kelompok tingkat
kemampuan, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi. Secara ideal,
pendistribusian tingkat kemampuan dalam satu kelompok menggambarkan suatu kurva
normal.
Pada umumnya, PAN dipergunakan untuk seleksi. Soal tes dalam pendekatan ini
dikembangkan dari bagian bahan yang dianggap oleh guru urgen sebagai sampel dari
bahan yang telah disampaikan. Guru berwenang untuk menentukan bagian mana yang
lebih urgen. Untuk itu, guru harus dapat membatasi jumlah soal yang diperlukan, karena
tidak semua materi yang disampaikan kepada peserta didik dapat dimunculkan soal-
soalnya secara lengkap. Soal-soal harus dibuat dengan tingkat kesukaran yang bervariasi,
mulai dari yang mudah sampai dengan yang sukar sehingga memberikan kemungkinan
jawaban peserta didik bervariasi, soal dapat menyebar, dan dapat membandingkan peserta
didik yang satu dengan lainnya.
Peringkat dan klasifikasi anak yang didasarkan PAN lebih banyak mendorong
kompetisi daripada membangun semangat kerja sama. Lagi pula tidak menolong sebagian
besar peserta didik yang mengalami kegagalan. Dengan kata lain, keberhasilan peserta
didik hanya ditentukan oleh kelompoknya. PAN biasanya digunakan pada akhir unit
pembelajaran untuk menentukan tingkat hasil belajar peserta didik. Pedoman konversi
yang digunakan dalam pendekatan PAN sama dengan pendekatan PAP. Perbedaannya
hanya terletak dalam menghitung rata-rata dan simpangan baku. Dalam pendekatan PAN,
rata-rata dan simpangan baku dihitung dengan rumus statistik sesuai dengan skor mentah
yang diperoleh peserta didik.29[4]
28
29
Contoh :
Dari HASIL TES 20 SISWA
Skor 45 = 2 orang
Skor 40 = 3 orang
Skor 35 = 7 orang
Skor 30 = 6 orang
Skor 20 = 2 orang
75
Mean = = = 33,75
SD= = = = 6,495
Nila Skor Minimal
i
10 M + ( 2,25 x SD )= 33,75 + ( 2,25 x 1,086 ) = 36,195
9 M + ( 1,75 x SD = 33,75 + ( 1,75 x 1,086 ) = 35,650
8 M + ( 1,25 x SD ) = 33,75 + ( 1,25 x 1,086 ) = 35,107
7 M + (0,75 x SD ) = 33,75 + ( 0,75 x 1,086 ) = 34,564
6 M + ( 0,25 x SD ) = 33,75 + ( 0,25 x 1,086 ) = 34,021
5 M - ( 0,25 x SD ) = 33,75 - (0,25 x 1,086) = 33,478
4 M - ( 0,75 x SD ) = 33,75 - (0,75 x 1,086 ) = 32,935
3 M - ( 1,25 x SD ) = 33,75 - (1,25 x 1,086 ) = 32,392
2 M - ( 1,75 x SD ) = 33,75 - (1,75 x 1,086 ) = 31,849
1 M - ( 2,25 x SD ) = 33,75 - (2,25 x 1,086 ) = 31,306
30
setiap skor peserta didik dibandingkan dengan skor ideal yang mungkin dicapai oleh
peserta didik.31[6]
Contoh :
Seorang guru merencanakan tes hasil belajar dalam bidang studi Fiqh. Soal-soal yang
dikeluarkan dalam tes tersebut terdiri atas 75 butir soal tes obyektif dan 1 butir soal
tes uraian dengan rincian sbb :
Nomor Bentuk Tes/Model Soal Jumlah Bobot Jawaban Skor
Butir Soal Butir Betul
Soal
01-10 Tes Obyektif bentuk True-False 10 1 10
11-20 Tes Obyektif bentuk Matching 10 1 10
21-30 Tes Obyektif bentuk Completion 10 1 10
31-40 Tes Obyektif bentuk MCI model 10 1 10
melengkapi lima pilihan
41-50 Tes Obyektif bentuk MCI model 10 1 15
melengkapi berganda
51-60 Tes Obyektif bentuk MCI model 10 1 15
asosiasi dengan lima pilihan
61-70 Tes Obyektif bentuk MCI model 10 2 20
analisis hubungan antarhal
71-75 Tes Obyektif bentuk MCI model 5 4 20
analisis kasus
76 Tes Uraian 1 10 10
Skor Maksimum Ideal 120
Berdasarkan rincian butir-butir soal diatas tersebut dapat diketahui bahwa Skor
Maksimum Ideal (SMI) dari tes hasil belajar tersebut adalah = 120. Kemudian Skor-
skor mentah hasil THB bidang studi Fiqh yang dicapai oleh 20 orang siswa setelah
diubah (dikonversi) menjadi nilai standar dengan menggunakan standar mutlak
(penilaian beracuan kriterium).
Dengan menggunakan Rumus : Nilai = Skor Mentah/Skor Maksimum Ideal X 100
No. Skor Mentah Nilai
1. 60 60/120 X 100 = 50
2. 40 40/120 X 100 = 33
31
3. 80 80/120 X 100 = 67
4. 30 30/120 X 100 = 25
5. 75 75/120 X = 62
6. 52 52/120 X 100 = 43
7. 59 59/120 X 100 = 49
8. 71 71/120 X 100 = 59
9. 41 41/120 X 100 = 34
10. 58 58/120 X 100 = 48
11. 61 61/120 X 100 = 51
12. 56 56/120 X 100 = 47
13. 53 53/120 X 100 = 44
14. 63 63/120 X 100 = 52
15. 85 785/120 X 100 = 71
16. 54 54/120 X 100 = 45
17. 60 60/120 X 100 = 50
18. 49 49/120 X 100 = 41
19. 55 55/120 X 100 = 46
20. 43 43/120 X 100 = 36
Dari nilai-nilai yang telah diperoleh, maka jika diterjemahkan menjadi nilai huruf
dengan patokan adalah :
Rentang Skor Nilai
Nilai 80% s.d. 100% = A
Nilai 70% s.d. 79% = B
Nilai 60% s.d. 69% = C
Nilai 45% s.d. 59% = D
Nilai <44% E / Tidak lulus
Maka dari 20 orang siswa yang mengikuti tes hasil belajar tersebut tidak ada seorang pun
yang mendapat nilai A, yang mendapat nilai B hanya 1 orang (%), Nilai C dicapai
oleh 2 orang siswa (2,5 %), Nilai D ada 5 orang siswa (%) dan siswa yang tidak lulus
pada tes bidang studi Fiqh ini ada 7 orang siswa (%)
Skor adalah hasil pekerjaan menyekor atau memberikan angka yang diperoleh
dengan jalan menjumlahkan angka-angka setiap butir item oleh testee telah dijawab dengan
betul,dengan memperhitungkan bobot jawaban betulnya. Contoh : misalakan tes hasil belajar
bidang studi bahasa Inggris menyajikan lima butir soal tes uraian dimana untik setiap butir soal
yang dijawab dengan betul diberikan bobot 10. Siswa bernama Fatimah, untuk kelima butir soal
tes uraian tersebut memberikan jawaban sebagai berikut :
Untuk butir soal nomor 1 dapat dijawab dengan sempurna, sehingga kepadanya diberikan skor
10
Untuk butir soal nomor 2 hanya dijawab betul separuhnya, sehingga skor yang diberikan kepada
siswa tersebut adalah 5
Untuk butir soal nomor 3, hanya sekitar seperempat bagian saja yang dapat dijawab dengan
betul sehingga diberikan skor 2,5
Untuk butir soal nomor 4 dijawab betul sekitar separuhnya, sehingga diberikan skor 5
Untuk butir soal nomor 5 dijawab betul sekitar tiga perempatnya, sehingga diberikan skor 7,5
Dengan demikian untuk kelima butir soal tes uraian tersebut siswa bernama Fatimah
tersebut mendapatkan skor sebesar = 10 +5 + 2,5 + 5 + 7,5 = 30. Angka 30 disini belum dapat
disebut nilai, sebab angka 30 itu masih merupakan skor mentah (raw score), yang untuk dapat
disebut nilai masih memerlukan pengolahan atau pengubahan. Yang dimaksud dengan nilai
adalah angka (bisa juga huruf ) yang merupakan hasil ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu
dengan skor-skor lainnya, serta disesuaikan pengaturannya dengan standar tertentu. Itulah
sebabnya mengapa nilai sering disebut skor standar.
Nilai pada dasarnya adalah angka atau huruf yang melambangkan seberapa jauh atau
seberapa besar kemampuan yang telah ditunjukkan oleh testee terhadap materi atau bahan yang
diteskan, sesuai dengan tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai pada dasarnya
juga melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas jawaban betul
yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya, makin banyak jumlah butir soal dapat
dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee akan semakin
tinggi. Sebaliknya, jika jumlah butir item yang dapat dijawab dengan betul itu hanya sedikit,
maka penghargaan yang diberikan kepada testee juga kecil atau rendah.
Jadi, untuk sampai menjadi nilai maka skor-skor hasil tes yang pada hasil tes yang pada
hakikatnya masih merupakan skor-skor mentah itu perlu diolah terlebih dahulu sehingga dapat
dikonversi menjadi skor yang sifatnya baku atau standar ( standar score).
Ada 2 hal penting yang perlu dipahami terlebih dahulu dalam pengolahan dan
pengubahan skor mentah menjadi skor standar atau nilai, yaitu:
1. Bahwa dalam pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu ada dua cara yang
dapat ditempuh yaitu :
a. Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dengan mengacu atau berdasarkan pada
kriterium (patokan). Cara pertama ini sering dikenal dengan istilah criterion referenced yang
dalam dunia pendidikan di Indonesia sering dikenal dengan istilah penilaian ber-Acuan patokan (
PAP).
b. Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan mengacu pada norma
atau kelompok. Cara kedua ini sering dikenal dengan istilah norm referenced evaluation, yang
dalam dunia pendidikan sering dikenal dengan istilah Penilaian ber-Acuan Norma (PAN), atau
penilaian ber-Acuan Kelompok (PAK).
2. Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan berbagai
macam skala, seperti skala lima (stanfive), yaitu nilaistandar berskala lima atau yang sering
dikenal dengan istilah nilai huruf A,B, C,D, dan F,skala sembilan (stanine), yaitu nilai standar
berskala sembilan diman rentangan nilainya mulai dari 1 sampai dengan 9 ( tidak ada nilai nol
dan tidak ada nilai 10), skala sebelas (stanel=standard eleven=eleven points scale, yaitu
rentangan nilai mulai dari 0 sampai dengan 10), z score ( nilai standar z) dan T score ( nilai
standar T).
Dalam dunia pendidikan di Indonesia ,nilai standar yang dipergunakan pada lembaga pendidikan
tingkat dasar dan tingkat menengah adalah nilai standar berskala sebelas (stanel), sedangkan
pada lembaga pendidikan tinggi pada umumnya digunakan nilai standar berskala lima (stanfive)
atau nilai huruf.
A. PENGOLAHAN DAN PENGUBAHAN SKOR MENTAH HASIL TES HASIL
BELAJAR MENJADI NILAI STANDAR DENGAN MENGACU PADA
KRITERIUM
Pertama-tama harus dipahami bahwa penilaian beracuan kriterium ini berdasar pada asumsi,
bahwa :
1. Hal-hal yang harus dipelajari oleh testee (murid,siswa,mahasiswa) adalah mempunyai struktur
hirarkis tertentu dan bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum testee tadi
maju atau sampai pada taraf selanjutnya.
2. Evaluator atau tester (dalam hal ini guru, dosen dan lain-lain) dapat mengidentifikasi masing-
masing taraf itu sampai tuntas atau setidak-tidaknya mendekati tuntas sehingga dapat disusun
alat pengukurnya.
Apabila dalam penentuan nilai tes hasil belajar itu digunakan acuan kriterium (menggunakan
PAP), maka hal ini mengandung arti bahwa nilai yang akan diberikan kepada testee itu harus
didasarkan pada standar mutlak, artinya, pemberian nilai kepada testee itu dilaksanakan dengan
jalan membandingkan antara skor mentah hasil tes yang dimiliki oleh masing-masing individu
testee, dengan skor maksimum ideal (SMI) yang mungkin dapat dicapai oleh testee kalu saja
seluruh soal tes dapat dijawab dengan betul.
Karena itu maka pada penentuan nilai yang mengacu kepada kriterium atau patoakn ini,
tinggi rendahnya atau besar kecilnya nilai yang diberikan kepada masing-masing individu testee,
mutlak ditentukan oleh besar kecil atau tinggi rendahnya skor yang dapat dicapai oleh masing-
masing testee yang bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa penentuan nilai dengan mengacu
pada kriterium sering disebut sebagai penentuan nila secara individual.
Disamping itu, karena penentuan nilai seorang testee dilakukan dengan jalan
membandingkan skor mentah hasil belajar dengan skor maksimum idealnya, maka penentuan
nilai yang beracuan pada kriterium ini juga sering dikenal dengan istilah penentuan nilai secara
teoritik, atau penentuan nilai secara das sollen. Dengan istilah teoritik dimaksudkan disini adalah
bahwa secara teoritik seorang siswa berhasil mendapatkan nilai 100 misalnya apabila
keseluruhan butir soal tes dapat dijawab dengan betul oleh siswa tersebut. Dengan demikian,
dalam penentuan nilai yang beracuan pada kriterium, sebelum tes hasil belajar dilaksanakan,
patokan itu sudah dapat disusun (tanpa menunggu selesainya pelaksanaan tes).
Sehingga dengan menggunakan standar mutlak ini maka nasib seorang siswa mutlak ditentukan
oleh dirinya sendiri secara individual, tanpa melibatkan atau mempertimbangkan sam sekali
skor-skor yang dicapai oleh siswa lainnya. Tinggi rendahnya nilai yang dicapai oleh masing-
masing individu siswa mutlak ditentukan oleh standar yang sudah ditentukan.
Nilai yang berwujud angka yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak ini
sebenarnya adalah merupakan angka persentase mengenai tingkat kedalaman atau penguasaan
testee terhadapa materi tes yang dihadapkan kepada mereka. Dalam pernyataan ini terkandung
makna bahwa nilai yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak itu menunjukkan berapa
persen dari 100 % tujuan instruksioanal khusus yang telah ditentukan telah dapat dicapai atau
dipahami oleh testee.
Penialian beracuan patokan (PAP) ini sangat baik diterapkan pada tes-tes formatif,
dimana tester (guru,dosen, dan lain-lain) ingin mengetahui sudah sampai sejauh manakah peserta
didiknya sudah terbentuk setelah mereka mengikuti program pengajaran dalam jangka waktu
tertentu . dengan menggunakan criterion referenced evaluation dimana guru atau dosen dapat
mengetahui berapa orang siswa atau mahasiswa yang tingkat penguasaannya tinggi, cukup,
rendah, maka guru atau dosen tersebut dapat melakukan upaya-upaya yang dipandang perlu agar
tujuan pengajaran dapat tercapai dengan optimal.
Kelemahan lain dari penentuan nilai beracuan kriterium ini adalah, bahwa apabaila butir-
butir soal yang dikeluarkan dalam tes hasil belajar terlalu sukar, maka dalam tes tersebut, testee
betapapun pandainya akan memperoleh nilai-nilai yang rendah. Sebaliknya apabila butir-butir
soal yang dikeluarkandalam tes hasil belajar itu terlalu mudah , maka testee betapapun bodohnya
akan berhasil meraih nilai-nilai yang tinggi, sehingga gambaran yang sebenarnya teentang
tingkat kemampuan atau penguasaan testee terhadap materi tes tidak dapat diperoleh sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya. Dalam hubungan ini maka penilaian beracuan kriterium ini
sebaiknya diterapkan pada tes hasil belajar dimana tes tersebut sudah bersifat standar( setidak-
tidaknya mendekati standar), dalam arti bahwa tes tersebut sudah mengalami uji coba secara
berulang kali dan telah memberikan bukti yang nyata bahwa tes tersebut sudah memiliki sifat
handal baik yang dilihat dari segi derajat kesulitanitemnya, daya pembeda itemnya, fungsi
distraktornya, validitasnya maupun reliabilitasnya.
Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai standar dengan mendasarkan pada norma
atau kelompok sering di kenal dengan istilah PAN( Penilaian beracuan norma )atau PAK
(Penilaian Beracuan Kelompok)
Bahwa pada setiap populasi peserta didik yang sifatnya heterogen ( berbeda jenis kelamin, latar
belakang, lingkungan social , I.Q.nya, dan sebagainya) , akan selalu didapati kelompok
baik,kelompok sedang dan kelompok kurang yang distribusinya membentuk kurva normal
Asumsi ini mengandung makna bahwa pada setiap kegiatan pengukuran dan penilaian hasil
belajar peserta didik , sebagian besar dari peserta didik tersebut nilai-nilai hasil belajarnya
terkonsentrasi atau memusat di sekitar nilai pertengahan ( nilai rata-rata) dan, hanya sebagian
kecil saja yang nilainya sangat tinggi atau sangat rendah
Penilaian beracuan norma ini sering dikenal dengan istilah penentuan nilai secara relative ,
dikatakan demikian ,sebab dalam penentuan nilai hasil tes , skor mentah hasil tes yang dicapai
oleh seorang peserta tes diperbandingkan dengan skor mentah hasil tes dicapai oleh peserta tes
yang lain ,sehingga kualitas yang dimiliki oleh peserta tes akan sangat tergantung kepada atau
sangat di tentukan oleh kualitas kelompoknya,kedudukan testee sebenarnya dalam penentuan
norma bersifat relative.
Penentuan nilai dengan menggunakan standar relative ini sangat cocok untuk di terapkan pada
tes-tes sumatif( UAN,UAS,atau setara dengan itu),sebab dipandang lebih adil, manusiawi,dan
wajar.
Apabila dalam penentuan standar digunakan standar relatif , maka prestasi kelompok itu dicari
dengan menggunakan metode statistik , dimana prestasi kelompok atau nilai rata-rata kelas itu
identik dengan rata-rata hitung ,yang dapat diperoleh dengan menggunakan salah satu rumus di
bawah ini:
1. Mx = ;atau
2. Mx = ; atau
3. Mx = M+ i
Selain itu untuk menentukan tingkat homogenitas atau heterogenitas dapat di tentukan dengan
standar deviasi dengan menggunakan rumus berikut:
1. SDx = atau
2. SDx = atau
3. SDx = atau
4. SDx =i
Setelah diperoleh besarnya nilai rata-rata hitun dan standar deviasi, skor-skor hasil dari tes
yang bersangkutan di konversi atau diubah menjadi nilai standar
Dalam evaluasi hasil belajar dikenal berbagai jenis nilai standar , seperti :
1. Nilai standar berskala lima ,yang sering dikenal dengan istilah nilai huruf , yaitu nilai, A ,B ,C ,D
,dan E
2. Nilai standar berskala sembilan ,yaitu rentangan atau skala nilai yang bergerak mulai dari 1
sampai 9
3. Nilai standar berskala sebelas, yaitu skala nilai yang bergerak mulai dari 0 sampai dengan 10
4. Nilai standat z
5. Nilai standar T
1. Pengubahan Skor Mentah Hasil Tes Menjadi Nilai Standar Berskala Lima (Stanfive)
Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala lima atau nilai huruf
,menggunakan patokan sebagai berikut :
Mean + 1,5 SD = A
Mean + 0,5SD = B
Mean 0.5 SD = C
Mean 1,5 SD = E
Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam mengubah skor mentah hasil ujian adalh sebagai
berikut:
Langkah Pertama
Mengatur ,menyusun dan menyajikan skor-skor mentah hasil ujian tersebut dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi
Contoh: Skor tertinggi ( highest score = H) =72
Maka R= ( H - L ) + 1
= (72 15) + 1= 58
= 10 20
i = interval kelas
Dengan didapat interval kelas 5 selanjutnya di susun kedalam tabel distribusi frekuensi
Langkah Kedua
Mencari nilai rata-rata hitung ( arithmetic mean ) yang melambangkan prestasi dan deviasi
standar yang mencerminkan variasi dari skor-skor mentah hasil ujian
Langkah Ketiga
Mengubah skor mentah menjadi skala lima, dengan menggunakan patokan seperti diatas
Langkah Keempat
Buat tabel konversi
Langkah kelima
Mengkonversi skor-skor mentah yang di miliki oleh masing-masing individu mahasiswa menjadi
standar berskala lima ( nilai huruf A ,B,C,D, dan E)
2.Pengubahan Skor Mentah Hasil Tes Menjadi Nilai Standar Berskala Sembilan ( Stannine)
M-0,75SD=3-4
M1,25SD=2-
3M1,75SD=
1-2
M+1,75SD=8-9
M+1,25SD=7-8
M+0,75SD=6-7
M+0,25SD=5-6
M0,25SD=4-5
Jika skor-skor mentah hasil tes itu akan diubah menjadi nilai standar berskala sembilan , maka
patokan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Nilai standar berskala sembilan adalah nilai standar yang meniadakan nilai 0 dan 10 . nilai
standar tersebut tidak bisa di pakai di gunakan di Indonesia
3.Pengubahan Skor Mentah Hasil Tes Menjadi Nilai Standar Yang Berskala Sebelas (
Standar Eleven)
Nilai standar berskala sebelas adalah
rentangan nilai standar mulai dari 0 sampai 10, nilai berskala sebelas ini biasanya digunakan
pada lembaga pendidikan tingktat dasar dan tingkat menengah , pengubahan skor mentah
menjadi standar itu menggunakan patokan sebagai berikut :
Nilai standar z atau z score umumnya dipergunakan untuk mengubah sko-skor mentah yang
diperoleh dari berbagai jenis pengukuran yang berbeda-beda. Untuk pengubahan score mentah
jadi score z, diperlukan adanya nilai bersifat baku ( standar ),di mana dengan nilai standar kita
dapat mengetahui kedudukan relatif ( standar position ) untuk peserta testee, dengan cara
menggunakan rumus berikut :
Dimana :
z = z score
Untuk mengkonversi skor mentah menjadi nilai standar z, langkah-langkah yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut:
Mencari rata-rata hitung ( mean ) dari variable X 1,X2,X3,X4,X5 dengan menggunakan rumus:
= = =
Hitung deviasi standar untuk kelima variable tersebut diatas, dengan menggunakan rumus berikut
:
Hitung z score, dengan rumus : setelah selesai
Z score yang dimiliki oleh masing-masing testee kita jumlahkan ( dari kiri ke kanan ), dan dari
sini akan dapat kita ketahui testee yang memiliki total z score yang bertanda positif (+) dan testee
yang memiliki total z score yang bertanda negative ()
5.Pengubahan Skor Mentah Hasil Tes Menjadi Nilai Standar T(T Score )
Dimaksud dengan T score adalah angka skala yang menggunakan mean sabesar 50 (M=50) dan
standar deviasi sebesar 10 ( SD=10 ). T skor dapat di peroleh dengan jalan memperkalikan z
score dengan angka 10 kemudian ditambah dengan 50.T score dicari dengan maksud untuk
meniadakan tanda minus yang terdapat di depan nilai standar z
Kegiatan mengukur atau melakukan pengukuran adalah merupakan kegiatan yang paling
umum dilakukan dan merupakan tindakan yang mengawali kegiatan evaluasi dalam penilaian
hasil belajar. Kegiatan mengukur itu pada umumnya tertuang dalam bentuk tes dengan
berbagai variasinya.
Teknik tes bukan satu-satunya teknik untuk melakukan evaluasi hasil belajar, sebab masih ada
teknik lainnya yang dapat dipergunakan, yaitu teknik non-tes. Dengan teknik non-tes maka
penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan dengan tanpa menguji peserta
didik, melainkan dengan berbagai cara, seperti:
1. Skala
2. Angket
3. Wawancara
4. Observasi
5. Dll.
1. SKALA
Pengertian
Skala adalah alat untuk mengukur nilai, sikap, minat, perhatian, yang disusun dalam bentuk
pernyataan untuk dinilai oleh responden dan hasilnya dalam bentuk rentangan nilai sesuai
dengan kriteria yang ditentukan.
Jenis-jenis Skala
Skala penilaian
Skala penilaian mengukur penampilan atau perilaku orang lain oleh seseorang melalui
pernyataan perilaku individu pada suatu kategori yang bermakna nilai. Titik atau kategori diberi
nilai rentangan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah. Rentangan bisa dalam bentuk
huruf, angka, kategori seperti; tinggi, sedang, baik, kurang, dsb.
Contoh:
Skala Penilaian
Skalanilai
No Pernyataan
A B C D
1.2. PenguasaanbahanpelajaranHubungandengan
3. siswaBahasayangdigunakan
Keterangan
B: Baik D: kurang
Hal yang penting diperhatikan dalam skala penilaian adalah kriteria skala nilai, yakni penjelasan
operasional untuk setiap alternatif jawaban. Adanya kriteria yang jelas untuk setiap alternatif
jawaban akan mempermudah pemberian penilaian dan terhindar dari subjektivitas penilai. Tugas
penilai hanya memberi tanda cek (V) dalam kolom rentangan nilai. Penyusunan skala penilaian
hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tentukantujuanyangakandicapaidariskalapenilaianinisehinggajelasapa
yangseharusnyadinilai.
2. Berdasarkantujuantersebut,tentukanaspekatauvariabelyangakan
diungkapmelaluiinstrumenini.
3. Tetapkanbentukrentangannilaiyangakandigunakan,misalnyanilaiangka
ataukategori.
4. Buatlahitem-itempernyataanyangakandinilaidalamkalimatyangsingkat
tetapibermaknasecaralogisdansistematis.
5. Adabaiknyamenetapkanpedomanmengolahdanmenafsirkanhasilyang
diperolehdaripenilaianini.
Skala yang penilaiannya tidak dibuat dalam bentuk rentangan nilai tetapi hanya mendiskripsikan
apa adanya, disebut daftar checklist.
Skala sikap
Skala sikap digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa
kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya
adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga dapat diartikan reaksi seseorang
terhadap suatu stimulus yang datang pada dirinya.
Skala sikap dinyatakan dalam bentuk pernyataan untuk dinilai oleh responden, apakah
pernyataan itu didukung atau ditolak, melalui rentangan nilai tertentu. Oleh sebab itu, pernyataan
yang diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan pernyataan negatif.
Pernyataan sikap, di samping kategori positif dan negatif, harus pula mencerminkan dimensi
sikap, yakni kognisi, afeksi, dan konasi.
Bentuk skala yang dapat di pergunakan dalam pengukuran bidang pendidikan yaitu:[1]
1.Skala Likert
Skala likert ialah skala yang dapat di pergunakan untuk mengukur sikap,pendapat,dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang suatu gejala atau fenomena pendidikan. Skala ini
memuat item yang diperkirakan sama dalam sikap atau beban nilainya, subjek merespon dengan
berbagai tingkat intensitas berdasarkan rentang skala antara dua sudut yang berlawanan,
misalnya:
Menerima menolak
Model skala ini banyak digunakan dalam kegiatan penelitian, karena lebih mudah
mengembangkannya dan interval skalanya sama.
Contoh:
Alternatif jawaban :
2. Skala Guttman
Skala guttman yaitu skala yang mengiginkan tipe jawan tegas, seperti jawaban benar salah,ya
tidak, pernah tidak pernah,positif- negatif, tinggi rendah, baik buruk, dan seterusnya.pada
skala Guttman ada dua interval yaitu setuju dan tidak setuju.selain dapat dibuat dalam bentuk
pertanyaan pilihan ganda, skala Guttman dapat juga dibuat dalam bentuk daftar checklist.
3. Semantik Differensial
Skala differensial yaitu skala untuk mengukur sikap,tetapi bentuknya bukan pilihan ganda atau
checklis, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum dimana jawaban yang sangat positif terletak
dibagian kanan garis,dan jawaban negatif disebelah kiri garis, atau sebaliknya.
Data yang diperoleh melalui pengukuran dengan skala mantik differensial adalah data interval.
Skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang.
Sebagai contoh penggunaan skala semantik differensial ialah menilai gaya kepemimpinan kepala
sekolah.
4. Rating Scale
Data data skala yang diperoleh melaui tiga macam skala diatas adalah data kualitatif yang
kemudian dikuantitatifkan. Berbeda dengan rating scale,data yang diperoleh adalh data
kuanitatif(angka) yakng kemudian ditafsirkan dalm pengertian kualitatif. Skala ini lebih
fleksibel, tidak saja untuk mengukur sikap tetapi juga digunakan untuk mengukur persepsi
responden terhadap fenomena lingkungan, seperti skala untuk mengukur status sosial ekonomi,
pengetahuan,kemampuan,dan lain-lain.
5. Skala Thurstone
Skala thurstone ialah skala yang disusun dengan memilih butir yang berbentuk skala interval.
Setiap butir memiliki kunci skor dan jika diurut, kunci skor menghasilkan nilai yang berjarak
sama. Skala thurstone dibuat dalam bentuk sejumlah (40-50) pertanyaan yang relevan dengan
variabel yang hendak diukurkemudian sejumlah ahli (20-40) orang yang menilai relevansi
pertanyaan itu dengan konten atau konstruk variabel yang hendak diukur. Nilai 1 pada skala
diatas menyatakan sangat tidak relevan, sedangkan nilai 11 menyatakan sangat relevan.
1. Tentukanobjekyangdituju,kemudiantetapkanvariabelyangakandiukur
denganskalatersebut
2. Lakukananalisisvariabeltersebutmenjadibeberapasubvariabelatau
dimensivariabel,lalukembangkanindikatorsetiapdimensitersebut
3. Darisetiapindikator,tentukanruanglingkuppernyataansikapyang
berkenaandenganaspekkognisi,afeksi,dankonasiterhadapobjeksikap.
4. Susunlahpernyataanuntukmasing-masingaspektersebutdalamdua
kategoriyaknipernyataanpositifdanpernyataannegatif,secaraseimbang
banyaknya.
Pada garis besarnya penysunan item untuk skala, perlu ditempuh langkah langkah sebagai
berikut:[3]
1. Tentukanobyekataugejalaapa
2. Rumuskanperilakuapayangmengacusikapapaterhadapobyekataugejala
tersebut
3. Rumuskankarakteristikdariperilakusikaptersebut
4. Rincilahlebihlanjuttiapkarekteristikmenjdisejumlahatributyanglebih
speifik.
5. Tentukanindicatorpenilaianterhadapsetiapatributtersebut
6. Sususnlahperangkatitemsesuaidenganindicatoryangtelahdirumuskan
7. suatuskalaterdiridariantara20sampaidengan30item
8. Susunlahitemtersebut,yangterdiridariseparuhnyadalambentuk
pernyataanpositifdanseparuhnyadalmbentukpernyataannegative
9. Tentukanbanyakskala:limaatautujuhatausebelasalternative
10.tentukanbobotnilaibagitiapskalanya.Misalnya4,3,2,1.0untuklimanilai
skala,sebagaidasarperhitungankuantitatif.
Contoh:[4]
Misalnya menilai bagaimana sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika di sekolah.
Subvariabelnya adalah:
d) dst
4) dst.
SKALA SIKAP
Jenis kelamin : ..
Umur : .. tahun
Kelas/ semester : ..
Petunjuk:
Terhadap setiap pernyataan di bawah ini Anda diminta menilainya dengan cara memilih salah
satu di antara sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Tidak Sangat
Sangat Tidak
Pernyataan Setuju punya tidak
setuju setuju
pendapat setuju
1. Sayatidakperlumemahami 5.
tujuanpelajaranmatematika
2. Pelajaranmatematikaharus
menarikminatsiswa
3. Konsep-konsepyangada
dalammatematikaterlalu
abstrak
4. Dst.
2. ANGKET
Angket juga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam rangka penilaian hasil belajar. Berbeda
dengan wawancara dimana penilaian (evaluator) berhadapan secara langsung dengan peserta
didik atau dengan pihak lainnya, maka dengan menggunakan angket, pengumpulan data sebagai
bahan penilaian hasil belajar jauh lebih praktis,menghemat waktu dan tenaga.
Petunjuk yang lebih teknis dalam membuat kuesioner adalah sebagai berikut:[5]
1. Mulaidenganpengantaryangisinyapermohonanmengisikuesionersambil
dijelaskanmaksuddantujuannya.
2. Jelaskanpetunjukataucaramengisinyasupayatidaksalah
3. Mulaidenganpertanyaanuntukmengungkapkanresponden
4. Isipertanyaansebaiknyadibuatbeberapakategoriataubagiansesuai
denganvariabelyangdiungkapkansehinggamudahmengolahnya.
5. Rumusanpertanyaandibuatsingkat,tetapijelassehinggatidak
membingungkandanmengakibatkansalahpenafsiran.
6. Hubunganantarapertanyaanyangsatudenganyanglainharusdijaga
sehinggatampaklogikanyadalamsaturangkaianyangsistematis.
7. Usahakankemungkinanagarjawaban,kalimat,ataurumusannyatidaklebih
panjangdaripertanyaan.
8. Kuesioneryangterlalubanyakatauterlalupanjangakanmelelahkandan
membosankanrespondensehinggapengisiannyatidakakanobjektiflagi.
9. Adabaiknyakuesionerdiakhiridengantandatangansipengisiuntuk
menjaminkeabsahanjawabannya.
Contoh 1 : Kuesioner Bentuk Pilihan Ganda untuk Mengungkap Hasil Belajar Ranah Afektif
(Kurikulum dan GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam Tahun 1994)[6]
1. Terhadapteman-temansekelassayayangrajiandankhusudalam
menjalankanibadahshalat,saya:
1. Merasatidakharusmenirumereka
2. Merasabelumpernahmemikirkanuntukshalatdenganrajindankhusu
3. Merasainginsepertimereka,tetap[iterasamasihsulit
4. Sedangberusahaagarrajindankhusu
5. Merasairihatidaninginsepertimereka.
Contoh 2 : Kuesioner Bentuk Skala Likert dalam Rangka Mengungkap Hasil Belajar Pendidikan
Agama Islam Ranah Afektif[7]
1. Membayarinfaqataushadaqahitumemangbaikuntukdikerjakan,akan
tetapisebenarnyabagiorangyangtelahmembayarkanzakatnyatidakperlu
lagiuntukmembayarinfaqataushadaqah.
1. Sangatsetuju
2. Setuju
3. Ragu-ragu
4. Tidaksetuju
5. Sangattidaksetuju
Kuesioner sebagai alat evaluasi juga sangat berguna untuk mengungkap latar belakang orang tua
peserta didik maupun peserta didik itu sendiri, dimana data yang berhasil diperoleh melalui
kuesioner itu pada suatu saat akan diperlukan, terutama apabila terjadi kasus-kasus tertentu yang
menyangkut diri peserta didik. Contoh dari kuesioner dimaksud diatas adalah sebagai berikut:[8]
A. Ayah
b. ( ) pendidika menengah
c. ( ) pendidikan tinggi
b. ( ) pedagang
c. ( ) pengusaha
e. ( ) Anggota ABRI
B. Ibu
1. nama lengkap :
b. ( ) pendidikan menengah
c. ( ) pendidikan tinggi
b. ( ) pedagang
e. ( ) AnggotaABRI
f. ( ) Tidak bekerja
II. SISWA :
1. Nama lengkap :
b. ( ) Wanita
b. ( ) anak bungsu
c. ( ) anak ke
b. ( ) tidak
7.pernah dirawat dirumah sakit : a. ( ) belum pernah
.dan seterusnya
3. WAWANCARA
Pengertian
Secara umum yang dimaksud dengan wawancara adalah cara menghimpun bahan-bahan
keterangan yang dilaksanakan dengan melakukan tanya jawab lisan secara sepihak, berhadapan
muka, dan dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan. Ada dua jenis wawancara yang dapat
digunakan sebagai alat evaluasi, yaitu:
1. Wawancaraterpimpin(guided Interview)yangjugadikenaldenganistilah
wawancaraberstrukturatauwawancarasistematis
2. Wawancaratidakterpimpin(unguided Interview)yangseringdikenaldengan
wawancarasederhanaatauwawancaratidaksistematisataupunwawancara
bebas
Mempersiapkan Wawancara
Sebelum melaksanakan wawancara, perlu dirancang pedoman wawancara. Pedoman ini disusun
dengan langkah-langkah sebagai berikut:[9]
1. Tentukantujuanyangingindicapaidariwawancara.
2. Berdasarkantujuandiatastentukanaspek-aspekyangakandiungkapdari
wawancaratersebut.Aspek-aspektersebutdijadikandasardalammenyusun
materipertanyaanwawancara.
3. Tentukanbentukpertanyaanyangakandigunakan,yaknibentukberstruktur
ataubentukterbuka
4. Buatlahpertanyaanwawancarasesuaidengananalisisbutir(c)diatas,yakni
membuatpertanyaanyangberstrukturatauyangbebas
5. Adabaiknyaapabiladibuatpulapedomanmengolahdanmenafsirkanhasil
wawancara.
Tujuan : Memperoleh informasi mengenai cara belajar yang dilakukan oleh siswa
di rumahnya
Nama siswa :
Kelas / semester :
Jenis kelamin :
1. kapandanberapalama 7.
andabelajardirumah?
2. bagaimanacaraanda
mempersiapkandiriuntuk
belajarsecaraefektif?
3. kegiatanapayanganda
lakukanpadawaktu
mempelajaribahan
pelajaran?
4. seandainyaanda
mengalamikesulitandalam
mempelajarinya,usahaapa
yangandalakukanuntuk
mengatasikesulitan
tersebut?
5. bagaimanacarayanganda
lakukanuntukmengetahui
tingkatpenguasaanbelajar
yangtelahandacapai?
6. dst.
Pewawancara
4. PENGAMATAN
Pengertian
Macam-Macam Observasi
1. Partisipatif
Observer (dalam hal ini pendidik yang sedang melakukan kegiatan observasi) melibatkan diri di
tengah-tengah kegiatan observee (yang diamati)
1. Non-Partisipatif
1. Eksperimental
Observasi yang dilakukan dalam situasi buatan. Pada observasi eksperimental, peserta didik
dikenai perlakuan (treatment) atau suatu kondisi tertentu, maka diperlukan perencanaan dan
persiapan yang benar-benar matang.
1. Non-Eksperimental
Observasi dilakukan dalam situasi yang wajar, pelaksanaannya jauh lebih sederhana
1. Sistematis
Observasi yang dilakukan dengan terlebih dahulu membuat perencanaan secara matang. Pada
jenis ini, observasi dilaksanakan dengan berlandaskan pada kerangka kerja yang memuat faktor-
faktor yang telah diatur kategorisasinya.
1. Non-sistematis
Observasi di mana observer atau evaluator dalam melakukan pengamatan dan pencatatan tidak
dibatasi oleh kerangka kerja yang pasti, maka kegiatan observasi hanya dibatasi oleh tujuan dari
observasi itu sendiri.
Langkah yang ditempuh dalam membuat pedoman observasi langsung adalah sebagai berikut :
[11]
1. Lakukanterlebihdahuluobservasilangsungterhadapsuatuprosestingkah
laku,misalnyapenampilangurudikelas.Lalucatatkegiatanyang
dilakukannyadariawalsampaiakhirpelajaran.Halinidilakukanagardapat
menentukanjenisperilakugurupadasaatmengajarkansebagaisegi-segi
yangakandiamati
2. Berdasarkangambarandarilangkah(a)diatas,penilaimenentukansegi-
segimanadariperilakugurutersebutyangakandiamatisehubungandengan
keperluannya.Urutkansegi-sejgitersebutsesuaidenganapayang
seharusnyaberdasarkankhasanahpengetahuanilmiah,misalnya
berdasarkanteorimengajar.Rumusantingkahlakutersebutuharusjelasdan
spesifiksehinggadapatdiamatiolehpengamatnya
3. Tentukanbentukpedomanobservasitersebut,apakahbenrukbebas(tak
perlujawaban,tetapimencatatapayangtampak)ataupedomanyangn
berstruktur(memakaikemungkinanjawaban).Biladipakaibentukyang
berstruktur,tetapkanpilihanjawabansertaindikator-indikatordansetiap
jawabanyangdisediakansebagaipeganganbagipengamatpadasaat
melakukanobservasinanti
4. Sebelumobservasidilaksanakan,diskusikandahulupedomanobservasiyang
telahdibuatdancalonobservanagarsetiapsegiyangdiamatidapat
dipahamimaknanyadanbagaimanacaramengisinya.
5. Bilaadahalkhususyangmenarik,tetapitidakadadalampedomanobservasi,
sebaiknyadiadakancatatankhususataukomentarpengamatdibagianakhir
pedomanobservasi.
Pencatatan hasil observasi itu pada umumnya jauh lebih sukar daripada mencatat jawaban-
jawaban yang diberikan oleh peserta didik terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dalam
suatu tes. Pencatatan terhadap segala sesuatu yang dapat disaksikan dalam observasi itu penting
sekali sebab hasilnya akan dijadikan landasan untuk menilai makna yang terkandung di balik
tingkah laku peserta didik tersebut. Pedoman observasi itu wujud kongkretnya adalah sebuah
atau beberapa buah formulir (blangko atau form) yang di dalamnya dimuat segi-segi, aspek-
aspek atau tingkah laku yang perlu diamati dan dicatat pada waktu berlangsungnya kegiatan
peserta didik.
Contoh:
Kelas :
Nama Siswa :
Jam Pelajaran :
Persiapanalat-alat(bahan)
1.2.3.
KombinasibahanKombinasiwarna
4.
Cara mengerjakan
5.
Sikap waktu mengerjakan
6.
Ketetapan waktu mengerjakan
7.
Kecekatan
8.
Hasil pekerjaan
Jumlahnilai
Hasil penilaian dengan menggunakan instrumen tersebut diatas sifatnya adalah individual.
Setelah selesai, nilai-nilai individual itu dimasukkan ke dalam daftar nilai yang sifatnya kolektif,
seperti contoh berikut ini:
Kelas : ..
Cawu/semester : ..
Skor/Nilaiuntuk
Rata-
tiap-tiap Jumlah
No. NamaSiswa rata
kegiatan/Aspek
1 2 3 45678
1.2.
3. . ..
..
.. ..
4. .
..
Dan seterusnya
..
Contoh Instrumen Observasi berupa rating scale, dalam rangka menilai sikap peserta didik
dalam mengikuti pengajaran pendidikan agama islam di sekolah:
Nama siswa : .
Kelas : .
Kadang- Tidak
No. Kegiatan/aspekyangdinilai Selalu Sering
kadang pernah
1.2.3. DatangtepatpadawaktunyaRapi
dalamberpakaianRapidalam
menulisdanmengerjakanpekerjaan
4.
5. Menjaga kebersihan badan
Dan seterusnya
Jumlahskor
Pada umumnya data hasil nontes bertujuan untuk mendeskripsikan hasil pengukuran sehingga
dapat dilihat kecenderungan jawaban responden melalui alat ukur tersebut. Misalnya bagaimana
kecenderungan jawaban yang diperoleh dari wawancara, kuesioner, observasi, skala.
Dari data hasil wawancara dan atau kuesioner pada umumnya dicari frekuensi jawaban
responden untuk setiap alternatif yang ada pada setiap soal. Frekuensi yang paling tinggi
ditafsirkan sebagai kecenderungan jawaban alat ukur tsb, seperti;
Contoh: Melalui kuesioner ataupun wawancara diungkapkan pandangan siswa mengenai guru
yang diharapkan dalam:
1. Kemampuanmengajar
2. Hubungandengansiswa
Kuesioner atau wawancara diajukan kepada 40 orang siswa dengan pertanyaan sbb.:
1. Guruyangsayaharapkanadalahguruyang:
1. Menguasaibahanpelajaranataupandaidalambidangilmunya.
2. Caramenjelaskanbahannyadapatsayapahamisekalipuntidakbegitu
pandai/
3. Pandaidalambidangilmunyadandapatmenjelaskannyakepadasiswa
denganbaik.
4. Sebaiknyadimulaidariyangumum,kemudiandibahassecarakhusus
5. Sebaiknyadimulaidariyangkhusus,kemudianmenujukepadayangumum.
6. Dimulaidarimanasajaasaldijelaskansecarasistematis.
1. Padawaktumengerjakanbahanpelajaran:
dan seterusnya
Kuesioner yang telah diisi oleh siswa kemudian diperiksa dan diolah dengan menghitung
frekuensi jawaban seluruh siswa terhadap setiap pertanyaan tersebut. Misalnya hasil pemeriksaan
tersebut sbb.:[12]
Peringkat
Masalahyangdiungkapkan F %
jawaban
412 1030 32
1. Kemampuanmengajar
2. Dimulaidariyangkhusus
3. Harussistematis
Cara lain dalam mengolah data diatas ialah dengan menggunakan khi kuadrat (x2) rumus yang
digunakan :
Dalam khi kuadrat, yang dicari ialah adakah perbedaan yang berarti di antara frekuensi hasil;
pengamatan atau jawaban nyata (fo ) dengan frekuensi jawaban yang diharapkan ( fe ). Jika ada
perbedaan, artinya jawaban tersebut betul-betul adanya, bukan karena faktor kebetulan.
Contoh:
Jawaban fo fe
X2=15,24
Ket:
Fe=13,3diperolehdari40/3=133
Hargax2=15,24kemudiandibandingkandenganhargatabeluntuktingkat
kepercayaan0,05denganderajatbebas3-1(alternatifjawaban=3)
Hargax2dalamtabel=5,99.
Dengan demikian x2 = 15,24 > 5,99 sehingga perbedaan itu cukup berarti ini berarti bahwa
interpretasi yang menyatakan bahwa guru yang diharapkan adalah guru yang menguasai bahan
dan dapat menjelaskannya pada siswa adalah sah sebagai kesimpulan dari data tsb.
Contoh: [13]
Nilaipengamatan
Aspekyangdiamati
4 3 2 1
vv vvv
1. Penguasaanbahan
2. Kemampuanmenjelaskanbahan
3. Hubungandengansiswa
4. Penguasaankelas
5. Keaktifanbelajarsiswa
Pengamat,
3 + 4 + 3 + 4 + 3 = 17
Nilai rata-rata untuk kelima aspek tsb. Adalah 17/5 = 3,4. Skor ini cukup tinggi sebab maksimum
rata-rata atau skor maksimum untuk setiap aspek adalah 4 atau 20 untuk semua aspek (54).
Skor ini bisa juga dikonversikan ke dalam bentuk standar 100 atau standar 10.
Konversikedalamstandar100adalah17/20x100=85
Konversikedalamstandar10adalah17/20x10=8,5
Jika dibuat interpretasi untuk setiap aspek, maka dapat disimpulkan bahwa guru tersebut sangat
istimewa dalam hal kemampuan menjelaskan dan penggunaan kelas, sedangkan dalam
penguasaan bahan, komunikasi dengan siswa, dan dalam mengaktifkan siswa termasuk
memuaskan.
Data hasil skala pengolahannya hampir sama dengan pengolahan data hasil observasi yang
menggunakan skor atau nilai dalam pengamatannya. Dengan demikian, untuk setiap siswa yang
diukur melalui skala penilaian atau skala sikap bisa ditentukan;
b) Skor rata-rata dari setiap pertanyaan dengan membagi jumlah skor oleh banyaknya
pertanyaan
c) Interpretasi terhadap pertanyaan mana yang positif atau baik dan pertanyaan atau aspek
mana yang negatif atau kurang baik
Lebih jauh lagi data hasil penilaian dan skala sikap sebenarnya menyerupai data hasil tes, dengan
demikian dapat diolah seperti mengolah data hasil tes.
Untuk skala sikap, berilah skor terhadap jawaban siswa dengan ketentuan sbb: untuk pernyataan
positif (mendukung) ialah 5 untuk sangat setuju, dst. Untuk pernyataan negatif (menolak) ialah 5
untuk sangat setuju, dst.
Konversi Nilai
Standar yang sering digunakan dalam menilai hasil belajar dapat dibedakan ke dalam bebrapa
kategori, yakni:
1. Standarseratus(0-100)
2. Standarsepuluh(0-10)
3. Standarempat(1-4)ataudenganhuruf(A-B-C-D)
Cara ini sangat sederhana, yakni dengan menentukan kriteria sebagai dasar untuk melakukan
konversi nilai.
Nilaikonversi
Skor(%)
Huruf Standar10 Standar4
(90-99)(80-89) 432
ABC 9/1087
(70-79)
1
D 6
(60-69)
Gaga
E (gagal) Gagal
Kurang dari 60
Konversi nilai ini perlu dihitung terlebih dahulu nilai rata-rata dan simpangan baku yang
diperoleh siswa, kemudian terhadap nilai-nilai atai skor mentah tersebut dilakukan konversi.
Kriteria yang digunakan untuk melakukan konversi skor mentah ke dalam standar 10 adalah
sebagai berikut:
M + 2,25 S = 10
M + 1,75 S = 9
M + 1,25 S = 8
M + 0,75 S = 7
M 0,75 S = 4
M 1,25 S = 3
M 1,75 S = 2
M 2,25 S = 1
Contoh:
Tes diberikan kepada siswa dalam bentuk tes objektif sebanyak 90 soal. Setiap soal yang dijawab
benar diberi skor satu sehingga skor maksimum yang dapat dicapai siswa adalah 90. setelah
diperiksa, ternyata skor yang paling tinggi mencapai 50 dan skor terendah 30. nilai rata-rata
(setelah dihitung) adalah 40 dan simpangan bakunya 4,0.
Dengan menggunakan rumus atau kriteria tersebut, diperoleh nilai dalam standar sepuluh sebagai
berikut:
Standar 10
40 + (2,25) (4,0) = 49 10
40 + (1,75) (4,0) = 47 9
40 + (1,25) (4,0) = 45 8
40 + (0,75) (4,0) = 43 7
40 (0,25) (4,0) = 39 5
40 (0,75) (4,0) = 37 4
40 (1,25) (4,0) = 35 3
40 (1,75) (4,0) = 33 2
40 (2,25) (4,0) = 31 1
Konversi lainnya adalah konversi skor mentah ke dalam standar huruf dan standar empat. Dalam
standar ini huruf A setara dengan 4, artinya istimewa; huruf B setara dengan 3, artinya
memuaskan; dst. Kriteria yang digunakan pada dasarnya tidak berbeda dengan kriteria untuk
konversi nilai ke dalam standar 10.
Secara sederhana untuk nilai C berada pada nilai rata-rata atau deviasi standar nol. Untuk
menentukan kedudukan nilai, perlu dicari batas bawah dan batas atas setiap nilai. Ukuran atau
kriterianya adalah sebagai berikut:
D M 1,5 S M 0,5 S
C M 0,5 S M + 0,5 S
B M + 0,5 S M + 1,5 S
A M + 1,5 S M + 2,5 S
Contoh:
Apabila berdasarkan perhitungan diperoleh nilai rata-rata (M) = 40 dan simpangan baku (S) =
10, mak konversi nilainya menjadi:
Skor Nilai
25-35 D (1)
36-45 C (2)
46-55 B (3)
56-60 A (4)
sikap adalah afeksi positif atau negatif yang berhubungan dengan beberapa objek psikologis.
Objek sikap dapat berupa simbol, ungkapan, slogan, orang, institusi, ideal, ide, dsb.
Sikap sebagai suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya berintegrasi ke
dalam pola yang lebih luas. Dari sudut motivasi, sikap merupakan suatu keadaan kesediaan
untuk bangkitnya motif (Marat, 1981). Sikap belum merupakan tindakan/aktivitas, melainkan
berupa kecenderungan (tendency) atau predisposisi tingkah laku.
2. Komponen kognitif aspek intelektual yang berhubungan dengan bilief, idea atau konsep
terhadap objek sikap.
2. Measurement by rating pengukuran sikap dengan meminta pendapat atau penilaian para
ahli yang mengetahui sikap individu yang dituju.
3. Indirect method pengukuran sikap secara tidak langsung yakni mengamati (eksperimen)
perubahan sikap/pendapat ybs.
Salah satu pengukuran skala sikap adalah dalam bentuk Skala Likert.
Skala Likert menurut Djaali (2008:28) ialah skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur
sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu gejala atau
fenomena pendidikan. Skala Likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam
kuesioner, dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa survei. Nama
skala ini diambil dari nama Rensis Likert, pendidik dan ahli psikolog Amerika Serikat. Rensis
Likert telah mengembangkan sebuah skala untuk mengukur sikap masyarakat di tahun 1932.
Skala itu sendiri salah satu artinya, sekedar memudahkan, adalah ukuran-ukuran berjenjang.
Skala penilaian, misalnya, merupakan skala untuk menilai sesuatu yang pilihannya berjenjang,
misalnya 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10. Skala Likert juga merupakan alat untuk mengukur
(mengumpulkan data dengan cara mengukur-menimbang) yang itemnya (butir-butir
pertanyaannya) berisikan (memuat) pilihan yang berjenjang.
Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan Skala Likert, variabel yang akan diukur
dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak
untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan. Jawaban
setiap item instrumen yang menggunakan Skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif
sampai sangat negatif.
Skala Likert itu aslinya untuk mengukur kesetujuan dan ketidaksetujuan seseorang terhadap
sesuatu objek, yang jenjangnya bisa tersusun atas:
sangat setuju
setuju
kurang setuju
Penskalaan ini apabila dikaitkan dengan jenis data yang dihasilkan adalah data Ordinal. Selain
pilihan dengan lima skala seperti contoh di atas, kadang digunakan juga skala dengan tujuh atau
sembilan tingkat. Suatu studi empiris menemukan bahwa beberapa karakteristik statistik hasil
kuesioner dengan berbagai jumlah pilihan tersebut ternyata sangat mirip. Skala Likert merupakan
metode skala bipolar yang mengukur baik tanggapan positif ataupun negatif terhadap suatu
pernyataan.
Empat skala pilihan juga kadang digunakan untuk kuesioner skala Likert yang memaksa orang
memilih salah satu kutub karena pilihan netral tak tersedia. Selain pilihan dengan lima skala
seperti contoh di atas, kadang digunakan juga skala dengan tujuh atau sembilan tingkat. Suatu
studi empiris menemukan bahwa beberapa karakteristik statistik hasil kuesioner dengan berbagai
jumlah pilihan tersebut ternyata sangat mirip. Skala Likert merupakan metode skala bipolar yang
mengukur baik tanggapan positif ataupun negatif terhadap suatu pernyataan. Empat skala pilihan
juga kadang digunakan untuk kuesioner skala Likert yang memaksa orang memilih salah satu
kutub karena pilihan netral tak tersedia.
Pernyataan yang diajukan mengenai objek penskalaan harus mengandung isi yang akan dinilai
responden, apakah setuju atau tidak setuju. Contoh di bawah ini pernyataannya berbunyi
Doktrin Presiden Republik Mimpi merupakan kebijakan luar negeri yang efektif. Objek
khasnya adalah efektivitas (kefektivan) kebijakan. Responden diminta memilih satu dari lima
pilihan jawaban yang dituliskan dalam angka 1-5, masing-masing menunjukkan sangat tidak
setuju (1), tidak setuju (2), netral atau tidak berpendapat (3), setuju (4), sangat setuju (5).
Apa artinya? Artinya setujukah responden bahwa kebijakan luar negeri Presiden RM itu sebagai
kebijakan yang efektif (memecahkan masalah luar negeri RM)? Jadi, responden tinggal milih:
setuju atau tidak setuju, atau tak memilih keduanya (netral saja, tidak berpendapat).
Tidak sedikit mahasiswa dan peneliti lain yang hanya melihat Skala Likert itu sebagai angket
pilihan setujutidak setuju. Jadi, jika pilihan jawabannya setuju-tidak setuju, maka itu namanya
Skala Likert. Lalu, segala macam pernyataan dimintakan kepada responden untuk memilih
menjawab setuju atau tidak setuju. Ini contohnya:
2. Setuju (S)
Jelas isi pernyataan itu bukan sesuatu yang harus disetujui atau tidak disetujui. Itu pengetahuan,
pengetahuan agama, yang diajarkan oleh para ustad dan kiyai. Jadinya itu soal murid tahu atau
tidak tahu bahwa salat itu penting, dan pentingnya itu karena (dengan alasan) merupakan tiang
agama (ash-shalatu imaaduddin), bukan harus setuju atau tidak setuju.
Kedua, itu tidak bisa dijenjangkan kesetujuan-ketidaksetujuannya, karena tidak logis. Kalau
misalnya setuju salat itu penting, apa bedanya dengan sangat setuju. Jika jawabannya diubah
jadi setujuagak setuju, makna dari agak setuju itu apa, tak jelas. Tentu tidak bisa ditafsirkan
bahwa jika agak setuju berarti menunjukkan menurut responden salat itu agak penting, dan jika
setuju sekali berarti salat itu sangat amat penting, dan sebaliknya.
Ketiga, ada dua isi yang harus disetujui atau tidak disetujui di dalam satu pernyataan itu, yaitu:
(1) salat itu penting, dan (2) salat itu tiang agama. Ini tidak boleh terjadi dalam penyusunan
angket, sebab akan membingungkan. Salat mungkin bisa dianggap penting (setuju bahwa
penting), tapi alasannya sebagai tiang agama tidak setuju, setujunya karena ia rukun Islam
kedua. Jadi, jawabannya apa? Setuju, atau tidak setuju, atau netral saja?
Skala Likert ada kalanya menghilangkan tengah-tengah kutub setuju dan tidak setuju.
Responden dipaksa untuk masuk ke blok setuju atau tidak setuju. Ini contohnya.
1. Sangat setuju
2. Setuju
3. Tidak setuju
Pertanyaan dibuat demikian agar orang berpendapat, tidak bersikap netral atau tidak
berpendapat.
Berapa jenjang skala dibuat dalam Skal Likert? Itu amat tergantung pada kata-kata yang
digunakan di dalam butir (item) Skala Likert. Kalau digunakan model verbal (kata-kata) setuju
tidak setuju, maka paling tidak ada tiga, yaitu setujunetraltidak setuju. Perubahan lebih banyak
tentu akan mengikuti kutubnya (kutub setuju dan kutub tidak setuju). Jadi, jika ditambah, akan
menjadi, misalnya: sangat setujusetujunetraltidak setujusangat tidak setuju (ada 5 skala).
Tentu bisa jadi tujuh jika ditambahi lagi dengan sangat setuju sekali dan sama sekali tidak setuju.
Atau tambahannya berupa agak setuju (sebelum setuju) dan agak tidak setuju (sebelum tidak
setuju). Jika digabungkan, maka jadi sembilan skala (jenjang).
2. Sangat setuju
3. Setuju
4. Agak setuju
5. Netral
7. Tidak setuju
Ada angket yang semodel dengan Skala Likert, seperti di bawah ini.
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Sangat sering
Pertanyaan angket ini pun berjenjang, mirip dengan Skala Likert. Tentu itu bukan skala sikap. Itu
angket biasa, angket deskriptif yang isinya punya jenjang ( intensitas meminjam buku dari
perpustakaan). Perhatikan jenjangnya. Ada tengah-tengahnya seperti netral dalam skala sikap.
Oleh sebab itulah angket (butir angket) seperti itu suka disebut juga sebagai mirip Skala
Likert.
Pertanyaan angket berikut, kendati ada jenjang, bukan Skala Likert dan bukan mirip Skala
Likert. Kuncinya terletak pada titik tengah pilihan jawaban ( di sisi yang satu positif, di sisi yang
lain negatif; di sisi yang satu tinggi di sisi yang lain rendah). Item tentang usia berikut tidak
bersifat seperti itu, hanya perjenjangan biasa, tidak ada kutub ekstrim dan tengah-tengahnya.
a. di atas 80 tahun
b. 61 70 tahun
c. 51 60 tahun
d. 41 50 tahun
e. 31 40 tahun
Nah, yang sering dilakukan kesalahan adalah pada saat menganalisis data dari Skala Likert.
Ingat, Skala Likert berkait dengan setuju atau tidak setuju terhadap sesuatu. Jadi, ada dua
kemungkinan. Pertama, datanya data ordinal (berjenjang tanpa skor). Angka-angka hanya urutan
saja. Jadi, analisisnya hanya berupa frekuensi (banyaknya) atau proporsinya (persentase). Contoh
(pilihan netral dalam angket ditiadakan) dengan responden 100 orang:
Jika digabungkan menurut kutubnya, maka yang setuju (gabungan sangat setuju dan setuju) ada
80 orang (80%), dan yang tidak setuju (gabungan sangat tidak setuju dan tidak setuju) ada 20
orang (20%).
Analisis lain adalah dengan menggunakan mode, yaitu yang terbanyak. Dengan contoh data di
atas, maka jadinya Yang terbanyak (50%) menyatakan setuju (Dari data yang sangat setuju
15%, setuju 50%, netral 20%, tidak setuju 10%, sangat tidak setuju 5%).
Skala Likert kerap digunakan sebagai skala penilaian karena memberi nilai terhadap sesuatu.
Contohnya skala Likert mengenai produk komputer di atas, komputer yang baik atau tidak.
Terhadapnya bisa diberlakukan angka skor. Jadi, yang dianalisis skornya. Dalam contoh di atas
angka 7 sebagai skor tertinggi. Datanya bukan ordinal, melainkan interval.
Ingat! Pilihan ordinal setujuagak setujunetralkurang setujutidak setuju tak bisa diskor.
Misalnya setuju diberi skor 5, agak setuju 4, netral 3, kurang setuju 2, dan tidak setuju 1.
Kenapa?
Pertama, tidak logis, yang netral lebih tinggi skornya dari yang tidak setuju. Padahal yang netral
itu sebenarnya tidak berpendapat. Kedua, coba jika ada dua orang yang ditanya, yang satu
menjawab setuju (skor 5), yang satu lagi menjawab tidak setuju (skor 1). Berapa reratanya? [5 +
1] : 2 = 3. Skor 3 itu sama dengan netral. Lucu, kan?! Simpulannya kedua orang responden
bersikap netral. Padahal realitanya yang satu setuju, yang satu tidak. Nah, ini bisa terjadi juga
dengan yang sangat setuju (skor 5) 20 orang, setuju (skor 4) 25 orang, netral (skor 3) 10 orang,
tidak setuju (skor 2) 25 orang, dan sangat tidak setuju (skor 1) 20 orang. Berapa rerata skornya?
Pasti 3 (netral). Jadi, semua orang (diwakili 100 orang sampel) bersikap netral. Lucu, kan?!!!
Padahal yang netral hanya 10 orang (10%)!!!
Skala Penilaian
Di atas dicontohkan Skala Likert untuk penilaian (menilai produk komputer). Sebenarnya tidak
perlu menggunakan Skala Likert, cukup skala penilaian (rating scale). Responden diminta
menilai produk itu dengan membubuhkan nilai (skor) jika ada kolom kosong untuk menilai, atau
memilih skor tertentu yang sudah disediakan. Jadinya skornya bisa bergerak dari 0 sampai
dengan 10 sebagai skor tertinggi.
2. Kenyamanan ruangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
3. Layanan petugas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Analisisnya bisa menggunakan dua macam, proporsi (persentase) dan mode (terbanyak menilai
berapa), dan rerata atau means (rerata skornya berapa), dan termasuk pengkateorian puas atau
tidak puas.
Jelasnya:
Pertama, dihitung banyaknya responden yang memberi nilai pada skor tertentu secara
keseluruhan (seluruh butir pernyataan). Lihat yang terbanyak (mode) dari responden memilih
pada skor berapa.
Kedua, hitung skor dari keseluruhan butir (responden yang menjawab dikalikan skor), lalu
disusun reratanya. Rerata skor itu (bilangannya tentu akan 0 10) termasuk kategori tinggi atau
rendah. Sebelumnya tentu sudah disusun kategorisasinya. Jadi, jika rerata skornya misalnya
7,76, angka 7,76 itu termasuk kategori rendah, sedang, ataukah tinggi? Ingat, skor terendah
berapa, dan skor tertinggi berapa! Jadi, 7,76 dari rentangan skor 1 10 tentu termasuk tinggi
(tapi tidak sangat tinggi, kan?!)
1. Karena ukuran yang digunakan adalah ukuran ordinal, skala Likert hanya dapat mengurutkan
individu dalam skala, tetapi tidak dapat membandingkan berapa kali satu individu lebih baik dari
individu yang lain. 2. Kadangkala total skor dari individu tidak memberikan arti yang jelas,
karena banyak pola respons terhadap beberapa item akan memberikan skor yang sama
Sosiometri
Artikel Terpopuler
Tidakada
kunjungan
100,581hits
cari
Cari Cari
artikel baru
ANALISISSOSIOMETRIDENGANMENGGUNAKANSISTEMKOMPUTER
Sosiometri
ASESMENMASALAHKONSELI
PERATURANMENTERINEGARAPENDAYAGUNAANAPARATURNEGARADAN
REFORMASIBIROKRASINOMOR16TAHUN2009TENTANGJABATAN
FUNGSIONALGURUDANANGKAKREDITNYA
InstrumenIdentifikasiMasalahSiswa
MODELMODELKONSELING
TEKNIK-TEKNIKBIMBINGANDANKONSELING
PelayananBimbingandanKonseling
TERAPIKONSELINGDENGANHIPNOTIS
Halodunia!
arsip
arsip
Pilih Bulan
bimbingan konseling
bimbingankonseling
Pilih Kategori
Meta
Daftar
Masuk
RSSEntri
RSSKomentar
WordPress.com
visitor
Komentar
ARIdJATININGSIHdiANALISISSOSIOMETRIDENGANMEN
ANALISISSOSIOMETRIdiANALISISSOSIOMETRIDENGANMEN
Teknik-teknikDasardiTEKNIK-TEKNIKBIMBINGANDAN
zakybkdiTEKNIK-TEKNIKBIMBINGANDAN
RaymondiANALISISSOSIOMETRIDENGANMEN
ayisyahdiTEKNIK-TEKNIKBIMBINGANDAN
sandazyrechsmartsdiPelayananBimbingandanK
khusnadiTEKNIK-TEKNIKBIMBINGANDAN
AnggaPriprambudi(@diTEKNIK-TEKNIKBIMBINGANDAN
TuanWordPressdiHalodunia!
pengunjung
SOSIOMETRI
( Oleh : Drs. Mastur, Kons. }
Sosiometri merupakan teknik yang tepat untuk mengumpulkan data mengenai hubungan sosial
dan tingkah laku sosial siswa. Dengan teknik ini dapat diperoleh data tentang suasana hubungan
antar individu, struktur dan arah hubungan sosial. Gambaran suasana hubungan sosial yang
diperoleh dengan sosiometri disebut sosiogram. Dari data sosiometri individu dapat diketahui
keluasan dan kedalaman pergaulan (keintiman pergaulan), status pemilihan atau penolakan
sesama teman, dan popularitas dalam pergaulan.
Pengolahan Hasil
Pengolahan hasil Instrumen sosiometeri mengacu pada langkah-langkah sebagai berikut :
a. Siapkan tabel sosiometri yang berisikan nama pemilih / penolak dan nama yang dipilih /
ditolak dalam satu kelas.
b. Masukkan data yang diperoleh dari angket sosiometri ke dalam tabel tersebut dengan
ketentuan angka 1 untuk pilihan pertama ( 1 ) angka 2 untuk pilihan kedus ( 2 ), angka 3 untuk
penolakan pertama ( 3 ) dan angka 4 untuk penolakan kedua ( 4 ), sehingga akan tampak skor
pilihan dengan rumus jumlah angka 1 ditambah jumlah angka 2 serta skor penolakan dengan
rumus jumlah angka 3 ditambah jumlah angka 4..
c. Dari tabulasi yang ada dituangkan dalam tebel varian pilihan ( Cs ) untuk mengetahui indeks
pilihan dengan rumus :
SKOR
(Nxp)
N : Jumlah Responden
P : Jumlah Pilihan
d. Selanjutnya dituangkan dalam tebel varian penolakan ( Rs ) untuk mengetahui indeks
penolakan dengan rumus :
SKOR
X1
(Nxp)
N : Jumlah Responden
P : Jumlah Penolakan
e. Selanjutnya dituangkan lagi dalam tebel varian pemilihan dan penolakan ( CRs ) untuk
mengetahui indeks pemilihan dan penolakan dengan rumus :
SKOR Pemilihan + SKOR Penolakan
(Nxq)
N : Jumlah Responden
q : Jumlah Pemilihan dan Penolakan
f. Dari tabulasi yang ada dituangkan dalam bentuk sosiogram untuk melihat hubungan antar
individu dalam kelompok tersebut.
Penyampaian Hasil
Hasil dari pengolahan Instrumentasi perlu disampaikan kepada fihak-fihak yang terkait secara
langsung dengan responden. Dalam penyampaian hasil instrumentasi ini tetap harus menjaga
kerahasiaan, tidak boleh disampaikan/diumumkan secara terbuka dan dijadikan pembicataan
umum.
Dalam forum khusus, hasil instrumentasi dapat dijadikan topik bahasan/diskusi, namun tetap
harus menjaga kerahasiaan responden (tidak menyebut nama responden).
Dari keseluruhan penyelenggaraan Aplikasi Instrumentasi ini hasil yang diperoleh disampaikan
kepada masing-masing responden, dalam bentuk Profil Individual, sedangkan kepada Guru
bimbingan dan konseling/Kepala Sekolah diberikan Data rekap dan data pendukung lainnya,
sebagai bahan untuk pemberian layanan lebih lanjut.
Penyampaian hasil instrumentasi kepada masing-masing responden akan lebih baik apabila
disampiakan secara individual, sehingga konselor dapat berkomunikasi dan menjelaskan isi dari
laporan hasil instrumentasi yang akan diberikan dalam bentuk format individual, dan sekaligus
bagi siswa yang memiliki permasalahan dapat diberikan penjelasan untuk langkah-langkah
tindak lanjut berikutnya
5. Pengembangan.
Dalam upaya pengembangan layanan konseling, dasar utama yang diperlukan adalah data yang
akurat dan handal. Dalam hal ini, data hasil Aplikasi Instrumentasi dengan tingkat validitas dan
reliabilitas yang tinggi dapat secara tepat menunjang pengembangan program pelayanan
konseling dalam jangka panjang. Dalam hal ini diperlukan berbagai instrumentasi yang
komprehensip, dari berbagai kelompok responden dalam jangka waktu yang relatif memadai.
Dengan data gabungan tersebut, akan nampak arah pokok yang dapat dijadikan arah dan garis
besar pengembangan layanan konseling.
Secara khusus, penyelenggaraan Aplikasi Instrumentasi SOSIOMETRI yang telah dilaksanakan,
implikasinya dalam layanan konseling dapat dijelaskan sebagai berikut :
Hasil analisis sosiogram akan membantu konselor dalam memahami hubungan sosial dan
hubungan individu yang berlangsung dalam suatu kelompok. Dari hasil tersebut akan tampak
individu-individu yang memerlukan bantuan layanan konseling secara perorangan maupun
kelompok.
Setalah hasil angket sosiometri dianalisa akan tampaklah gambaran hubungan sosial dalam
kelompok siswa, yaitu siswa-siswa yang memiliki hubungan sosial yang tinggi dengan melihat
skore pemilihan dan juga akan tampak siswa-siswa yang memiliki hubungan social rendah atau
terisolir. Dari gambaran ini konselor sekolah dapat merencanakan layanan-layanan apa yang
tepat bagi mereka. Terutama untuk siswa-siswa yang memiliki hubungan sosial rendah atau
terisolir, konselor harus memberikan perhatian lebih dari siswa yang lain.
Dari analisa angket sosiometri di atas dapat ditentukan prioritas siswa yang perlu mendapatkan
layanan konseling, yaitu terutama untuk siswa yang memperoleh skore penolakan kategori tinggi
A. Pengertian Sosiometri
Menurut Beberapa Ahli :
1. I. Djumhur dan Muh. Surya, 1985
Sosiometri adalah alat yang tepat untuk mengumpulkan data mengenai hubungan-hubungan
sosial dan tingkah laku sosial murid.
2. Bimo Walgito, 1987
Sosiometri adalah alat untuk dapat melihat bagaimana hubungan sosial atau hubungan
berteman seseorang.
3. WS. Winkel, 1985
Sosiometri merupakan suatu metode untuk memperoleh data tentang hubungan sosial dalam
suatu kelompok, yang berukuran kecil sampai sedang ( 10 - 50 orang ), berdasarkan preferensi
pribadi antara anggota-anggota kelompok
4. Dewa Ktut Sukardi, 1983
Sosiometri adalah suatu alat yang dipergunakan mengukur hubungan sosial siswa dalam
kelompok.
5. Depdikbud, 1975
Sosiometri adalah alat untuk meneliti struktur sosial dari suatu kelompok individu dengan
dasar penelaahan terhadap relasi sosial dan status sosial dari masing-masing anggota kelompok
yang bersangkutan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan pengertian sosiometri adalah suatu
tehnik untuk mengumpulkan data tentang hubungan sosial seorang individu dengan individu lain,
struktur hubungan individu dan arah hubungan sosialnya dalam suatu kelompok.
Metode Sosiometri adalah suatu metode pengumpulan serta analisis data mengenai pilihan
komunikasi dan pola interaksi antar individu dan kelompok. dapat dikatakan bahwa sosiometri
adalah kajian dan pengukuran pilhan sosial, sosiometri disebut juga sebagai sarana untuk
mengkaji "tarikan" (traction) dan "tolakan" (repulsion) anggota-anggota suatu kelompok
D. Bentuk-bentuk sosiometri
Ada beberapa bentuk analisis sosiometri diantaranya :
1. Matrix sosiometri
Matrix adalah tatanan angka-angka atau lambang-lambang lain dalam bentuk segi empat. Data
yang diperoleh dari angket sosiometri kemudian dirangkum dalam matrik sosiometri yaitu dalam
suatu tabel yang berisi nama pilihan. Nama pilihan tersebut yaitu yang sudah dipilih oleh peserta.
Bentuk hubungan nya seperti :
Bentuk ini merupakan suatu persahabatan atau hubungan yang mempunyai intensitas yang cukup
kuat.
b) Bentuk bintang (star).
Bentuk ini kurang baik sebab jika A (yang berkedudukan sebagai pusat)tidak ada maka
kelompok itu akan pecah.
Hubungan cukup menyeluruh, baik, kuat dan hilangnya seseorang tidak akan membuat
kelompoknya pecah karena hubungan ini mempunyai intensitas yang cukup kuat.
Hubungan searah atau sepihak, tidak menyeluruh. Kelompok demikian ini keadaanya rapuh.
2. Sosiogram
Arti sosiogram sendiri yaitu bagan pilihan yang dibuat dalam sekelompok, lebih banyak pada
hal-hal yang praktis dari pada maksud dan tujuan penelitian, atau karena analisisnya matematis
dan sulit sehingga membutuhkan ruang yang demikian banyak yang tidak dimungkinkan.
3. Indeks sosiometri
Indeks sosiometri adalah angka tunggal yang terhitung dari suatu angka bilangan atau lebih yang
dihasilkan oleh data sosiometri. Indeks ini menunjukan karakteristik sosiometri individu,
kelompok dan merupakan kesimpulan.
H. Pengolahan Hasil
Pengolahan hasil Instrumen sosiometeri mengacu pada langkah-langkah sebagai berikut :
a. Siapkan tabel sosiometri yang berisikan nama pemilih / penolak dan nama yang dipilih / ditolak dalam
satu kelas.
b. Masukkan data yang diperoleh dari angket sosiometri ke dalam tabel tersebut dengan ketentuan angka
1 untuk pilihan pertama ( 1 ) angka 2 untuk pilihan kedus ( 2 ), angka 3 untuk penolakan pertama ( 3 )
dan angka 4 untuk penolakan kedua ( 4 ), sehingga akan tampak skor pilihan dengan rumus jumlah
angka 1 ditambah jumlah angka 2 serta skor penolakan dengan rumus jumlah angka 3 ditambah jumlah
angka 4..
c. Dari tabulasi yang ada dituangkan dalam tebel varian pilihan ( Cs ) untuk mengetahui indeks pilihan
dengan rumus :
SKOR
(Nxp)
N : Jumlah Responden
P : Jumlah Pilihan
d. Selanjutnya dituangkan dalam tebel varian penolakan ( Rs ) untuk mengetahui indeks penolakan
dengan rumus :
SKOR
X1
(Nxp)
N : Jumlah Responden
P : Jumlah Penolakan
e. Selanjutnya dituangkan lagi dalam tebel varian pemilihan dan penolakan ( CRs ) untuk mengetahui
indeks pemilihan dan penolakan dengan rumus :
SKOR Pemilihan + SKOR Penolakan
(Nxq)
N : Jumlah Responden
q : Jumlah Pemilihan dan Penolakan
f. Dari tabulasi yang ada dituangkan dalam bentuk sosiogram untuk melihat hubungan antar individu
dalam kelompok tersebut.
d. Penyampaian Hasil
Hasil dari pengolahan Instrumentasi perlu disampaikan kepada fihak-fihak yang terkait secara langsung
dengan responden. Dalam penyampaian hasil instrumentasi ini tetap harus menjaga kerahasiaan, tidak
boleh disampaikan/diumumkan secara terbuka dan dijadikan pembicataan umum.
Dalam forum khusus, hasil instrumentasi dapat dijadikan topik bahasan/diskusi, namun tetap harus
menjaga kerahasiaan responden (tidak menyebut nama responden).
Dari keseluruhan penyelenggaraan Aplikasi Instrumentasi ini hasil yang diperoleh disampaikan kepada
masing-masing responden, dalam bentuk Profil Individual, sedangkan kepada Guru bimbingan dan
konseling/Kepala Sekolah diberikan Data rekap dan data pendukung lainnya, sebagai bahan untuk
pemberian layanan lebih lanjut.
Penyampaian hasil instrumentasi kepada masing-masing responden akan lebih baik apabila disampiakan
secara individual, sehingga konselor dapat berkomunikasi dan menjelaskan isi dari laporan hasil
instrumentasi yang akan diberikan dalam bentuk format individual, dan sekaligus bagi siswa yang
memiliki permasalahan dapat diberikan penjelasan untuk langkah-langkah tindak lanjut berikutnya
I. Kegunaan Sosiometri
Sosiometri dapat dipergunakan untuk :
Memperbaiki hubungan insani.
Menentukan kelompok kerja
Mengetahui bagaimana hubungan sosial atau berteman seorang individu denganindividu lainnya.
Mencoba mengenali problem penyesuaian diri seorang individu dalam kelompok sosial tertentu.
Menemukan individu mana yang diterima atau ditolak dalam kelompok social tertentu.
K. Kelebihan Sosiometri
Beberapa kelebihan sosiometri antara lain :
a. Sosiometri mudah dilakukan karena guru tinggal meminta anak didik untukmenyebutkan
dengan siapa anak senang bermain atau belajar
b. Pengolahan hasil pengumpulan data relatif mudah karena guru tinggalmentabulasi pilihan
masing-masing anak
c. Dalam waktu singkat dapat diperoleh informasi yang diperlukan
d. Tidak menelan biaya banyak
e. Tidak perlu kemampuan khusus untuk melakukan sosiometri
L. Kelemahan sosiometri
Dua kelemahan Sosiometri anatara lain :
a. Informasi terkumpul hanya dari ungkapan yang disampaikan anak
b. Bersifat sangat situasional (tergantung keadaan anak saat itu)
Dengan melihat angket sosiometri, kita dapat mengetahui macam/ bentuk dalam
menentukan hubungan sosial :
Pemilihan sebagai arah yang positif.
Pemilihan sebagai arah yang negatif.
O. Bentuk-bentuk Sosiogram
Sosiogram adalah diagram yang menunjukkan hubungan atau interaksi individu dalam
sebuah kelompok, yang sekaligus dapat pula ditemukan pola hubungan sosial individu dengan
individu lainnya. Sosiogram dapat dituangkan dalam bentuk sejumlah lingkaran (dari terkecil
sampai terbesar) dan dalam bentuk lajur.
Contoh sosiogram :
Bentuk Lajur.
Bentuk Lingkaran
Sosiometri merupakan suatu teknik untuk menyelidiki hubungan sosial antara anggota-
anggota dalam suatu kelompok.Tes sosiometri menghasilkan data atau informasi mengenai
jaringan-jaringan komunikasi dalam kelompok-kelompok tertentu, yang terdiri dari 10-50 orang.
Ada beberapa bentuk analisis sosiometri diantaranya :
a. Matrix sosiometri
b. Sosiogram
c. Indeks sosiometri
Dengan mempelajari data sosiometri seorang konselor dapat :
1. Menemukan murid mana yang ternyata mempunyai permasalahan dalam proses penyesuaian diri
dengan kelompoknya.
2. Membantu meningkatkan partisipasi sosial diantara murid-murid dengan penerimaan sosialnya.
3. Membantu meningkatkan pemahaman dan pengertian murid terhadap masalah pergaulan yang
sedang dialami oleh individu tersebut.
4. Merencanakan program yang konstruktif untuk menciptakan iklim sosial yang lebih baik dan
sekaligus membantu mengatasi masalah penyesuaian dikelas tertentu.
Kegiatan mengukur atau melakukan pengukuran adalah merupakan kegiatan yang paling
umum dilakukan dan merupakan tindakan yang mengawali kegiatan evaluasi dalam penilaian
hasil belajar. Kegiatan mengukur itu pada umumnya tertuang dalam bentuk tes dengan
berbagai variasinya.
Teknik tes bukan satu-satunya teknik untuk melakukan evaluasi hasil belajar, sebab masih ada
teknik lainnya yang dapat dipergunakan, yaitu teknik non-tes. Dengan teknik non-tes maka
penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan dengan tanpa menguji peserta
didik, melainkan dengan berbagai cara, seperti:
1. Skala
2. Angket
3. Wawancara
4. Observasi
5. Dll.
1. SKALA
Pengertian
Skala adalah alat untuk mengukur nilai, sikap, minat, perhatian, yang disusun dalam bentuk
pernyataan untuk dinilai oleh responden dan hasilnya dalam bentuk rentangan nilai sesuai
dengan kriteria yang ditentukan.
Jenis-jenis Skala
Skala penilaian
Skala penilaian mengukur penampilan atau perilaku orang lain oleh seseorang melalui
pernyataan perilaku individu pada suatu kategori yang bermakna nilai. Titik atau kategori diberi
nilai rentangan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah. Rentangan bisa dalam bentuk
huruf, angka, kategori seperti; tinggi, sedang, baik, kurang, dsb.
Contoh:
Skala Penilaian
Skalanilai
No Pernyataan
A B C D
1.2. PenguasaanbahanpelajaranHubungandengan
3. siswaBahasayangdigunakan
Keterangan
Hal yang penting diperhatikan dalam skala penilaian adalah kriteria skala nilai, yakni penjelasan
operasional untuk setiap alternatif jawaban. Adanya kriteria yang jelas untuk setiap alternatif
jawaban akan mempermudah pemberian penilaian dan terhindar dari subjektivitas penilai. Tugas
penilai hanya memberi tanda cek (V) dalam kolom rentangan nilai. Penyusunan skala penilaian
hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tentukantujuanyangakandicapaidariskalapenilaianinisehinggajelasapa
yangseharusnyadinilai.
2. Berdasarkantujuantersebut,tentukanaspekatauvariabelyangakan
diungkapmelaluiinstrumenini.
3. Tetapkanbentukrentangannilaiyangakandigunakan,misalnyanilaiangka
ataukategori.
4. Buatlahitem-itempernyataanyangakandinilaidalamkalimatyangsingkat
tetapibermaknasecaralogisdansistematis.
5. Adabaiknyamenetapkanpedomanmengolahdanmenafsirkanhasilyang
diperolehdaripenilaianini.
Skala yang penilaiannya tidak dibuat dalam bentuk rentangan nilai tetapi hanya mendiskripsikan
apa adanya, disebut daftar checklist.
Skala sikap
Skala sikap digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa
kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya
adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga dapat diartikan reaksi seseorang
terhadap suatu stimulus yang datang pada dirinya.
Skala sikap dinyatakan dalam bentuk pernyataan untuk dinilai oleh responden, apakah
pernyataan itu didukung atau ditolak, melalui rentangan nilai tertentu. Oleh sebab itu, pernyataan
yang diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan pernyataan negatif.
Pernyataan sikap, di samping kategori positif dan negatif, harus pula mencerminkan dimensi
sikap, yakni kognisi, afeksi, dan konasi.
Bentuk skala yang dapat di pergunakan dalam pengukuran bidang pendidikan yaitu:[1]
1.Skala Likert
Skala likert ialah skala yang dapat di pergunakan untuk mengukur sikap,pendapat,dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang suatu gejala atau fenomena pendidikan. Skala ini
memuat item yang diperkirakan sama dalam sikap atau beban nilainya, subjek merespon dengan
berbagai tingkat intensitas berdasarkan rentang skala antara dua sudut yang berlawanan,
misalnya:
Menerima menolak
Model skala ini banyak digunakan dalam kegiatan penelitian, karena lebih mudah
mengembangkannya dan interval skalanya sama.
Contoh:
Alternatif jawaban :
2. Skala Guttman
Skala guttman yaitu skala yang mengiginkan tipe jawan tegas, seperti jawaban benar salah,ya
tidak, pernah tidak pernah,positif- negatif, tinggi rendah, baik buruk, dan seterusnya.pada
skala Guttman ada dua interval yaitu setuju dan tidak setuju.selain dapat dibuat dalam bentuk
pertanyaan pilihan ganda, skala Guttman dapat juga dibuat dalam bentuk daftar checklist.
3. Semantik Differensial
Skala differensial yaitu skala untuk mengukur sikap,tetapi bentuknya bukan pilihan ganda atau
checklis, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum dimana jawaban yang sangat positif terletak
dibagian kanan garis,dan jawaban negatif disebelah kiri garis, atau sebaliknya.
Data yang diperoleh melalui pengukuran dengan skala mantik differensial adalah data interval.
Skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang.
Sebagai contoh penggunaan skala semantik differensial ialah menilai gaya kepemimpinan kepala
sekolah.
4. Rating Scale
Data data skala yang diperoleh melaui tiga macam skala diatas adalah data kualitatif yang
kemudian dikuantitatifkan. Berbeda dengan rating scale,data yang diperoleh adalh data
kuanitatif(angka) yakng kemudian ditafsirkan dalm pengertian kualitatif. Skala ini lebih
fleksibel, tidak saja untuk mengukur sikap tetapi juga digunakan untuk mengukur persepsi
responden terhadap fenomena lingkungan, seperti skala untuk mengukur status sosial ekonomi,
pengetahuan,kemampuan,dan lain-lain.
5. Skala Thurstone
Skala thurstone ialah skala yang disusun dengan memilih butir yang berbentuk skala interval.
Setiap butir memiliki kunci skor dan jika diurut, kunci skor menghasilkan nilai yang berjarak
sama. Skala thurstone dibuat dalam bentuk sejumlah (40-50) pertanyaan yang relevan dengan
variabel yang hendak diukurkemudian sejumlah ahli (20-40) orang yang menilai relevansi
pertanyaan itu dengan konten atau konstruk variabel yang hendak diukur. Nilai 1 pada skala
diatas menyatakan sangat tidak relevan, sedangkan nilai 11 menyatakan sangat relevan.
Prosedur Penyusunan Skala Sikap
1. Tentukanobjekyangdituju,kemudiantetapkanvariabelyangakandiukur
denganskalatersebut
2. Lakukananalisisvariabeltersebutmenjadibeberapasubvariabelatau
dimensivariabel,lalukembangkanindikatorsetiapdimensitersebut
3. Darisetiapindikator,tentukanruanglingkuppernyataansikapyang
berkenaandenganaspekkognisi,afeksi,dankonasiterhadapobjeksikap.
4. Susunlahpernyataanuntukmasing-masingaspektersebutdalamdua
kategoriyaknipernyataanpositifdanpernyataannegatif,secaraseimbang
banyaknya.
Pada garis besarnya penysunan item untuk skala, perlu ditempuh langkah langkah sebagai
berikut:[3]
1. Tentukanobyekataugejalaapa
2. Rumuskanperilakuapayangmengacusikapapaterhadapobyekataugejala
tersebut
3. Rumuskankarakteristikdariperilakusikaptersebut
4. Rincilahlebihlanjuttiapkarekteristikmenjdisejumlahatributyanglebih
speifik.
5. Tentukanindicatorpenilaianterhadapsetiapatributtersebut
6. Sususnlahperangkatitemsesuaidenganindicatoryangtelahdirumuskan
7. suatuskalaterdiridariantara20sampaidengan30item
8. Susunlahitemtersebut,yangterdiridariseparuhnyadalambentuk
pernyataanpositifdanseparuhnyadalmbentukpernyataannegative
9. Tentukanbanyakskala:limaatautujuhatausebelasalternative
10.tentukanbobotnilaibagitiapskalanya.Misalnya4,3,2,1.0untuklimanilai
skala,sebagaidasarperhitungankuantitatif.
Contoh:[4]
Misalnya menilai bagaimana sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika di sekolah.
Subvariabelnya adalah:
d) dst
4) dst.
SKALA SIKAP
Jenis kelamin : ..
Umur : .. tahun
Kelas/ semester : ..
Petunjuk:
Terhadap setiap pernyataan di bawah ini Anda diminta menilainya dengan cara memilih salah
satu di antara sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Tidak Sangat
Sangat Tidak
Pernyataan Setuju punya tidak
setuju setuju
pendapat setuju
1. Sayatidakperlumemahami 5.
tujuanpelajaranmatematika
2. Pelajaranmatematikaharus
menarikminatsiswa
3. Konsep-konsepyangada
dalammatematikaterlalu
abstrak
4. Dst.
2. ANGKET
Angket juga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam rangka penilaian hasil belajar. Berbeda
dengan wawancara dimana penilaian (evaluator) berhadapan secara langsung dengan peserta
didik atau dengan pihak lainnya, maka dengan menggunakan angket, pengumpulan data sebagai
bahan penilaian hasil belajar jauh lebih praktis,menghemat waktu dan tenaga.
Petunjuk yang lebih teknis dalam membuat kuesioner adalah sebagai berikut:[5]
1. Mulaidenganpengantaryangisinyapermohonanmengisikuesionersambil
dijelaskanmaksuddantujuannya.
2. Jelaskanpetunjukataucaramengisinyasupayatidaksalah
3. Mulaidenganpertanyaanuntukmengungkapkanresponden
4. Isipertanyaansebaiknyadibuatbeberapakategoriataubagiansesuai
denganvariabelyangdiungkapkansehinggamudahmengolahnya.
5. Rumusanpertanyaandibuatsingkat,tetapijelassehinggatidak
membingungkandanmengakibatkansalahpenafsiran.
6. Hubunganantarapertanyaanyangsatudenganyanglainharusdijaga
sehinggatampaklogikanyadalamsaturangkaianyangsistematis.
7. Usahakankemungkinanagarjawaban,kalimat,ataurumusannyatidaklebih
panjangdaripertanyaan.
8. Kuesioneryangterlalubanyakatauterlalupanjangakanmelelahkandan
membosankanrespondensehinggapengisiannyatidakakanobjektiflagi.
9. Adabaiknyakuesionerdiakhiridengantandatangansipengisiuntuk
menjaminkeabsahanjawabannya.
Contoh 1 : Kuesioner Bentuk Pilihan Ganda untuk Mengungkap Hasil Belajar Ranah Afektif
(Kurikulum dan GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam Tahun 1994)[6]
1. Terhadapteman-temansekelassayayangrajiandankhusudalam
menjalankanibadahshalat,saya:
1. Merasatidakharusmenirumereka
2. Merasabelumpernahmemikirkanuntukshalatdenganrajindankhusu
3. Merasainginsepertimereka,tetap[iterasamasihsulit
4. Sedangberusahaagarrajindankhusu
5. Merasairihatidaninginsepertimereka.
Contoh 2 : Kuesioner Bentuk Skala Likert dalam Rangka Mengungkap Hasil Belajar Pendidikan
Agama Islam Ranah Afektif[7]
1. Membayarinfaqataushadaqahitumemangbaikuntukdikerjakan,akan
tetapisebenarnyabagiorangyangtelahmembayarkanzakatnyatidakperlu
lagiuntukmembayarinfaqataushadaqah.
1. Sangatsetuju
2. Setuju
3. Ragu-ragu
4. Tidaksetuju
5. Sangattidaksetuju
Kuesioner sebagai alat evaluasi juga sangat berguna untuk mengungkap latar belakang orang tua
peserta didik maupun peserta didik itu sendiri, dimana data yang berhasil diperoleh melalui
kuesioner itu pada suatu saat akan diperlukan, terutama apabila terjadi kasus-kasus tertentu yang
menyangkut diri peserta didik. Contoh dari kuesioner dimaksud diatas adalah sebagai berikut:[8]
A. Ayah
c. ( ) pendidikan tinggi
b. ( ) pedagang
c. ( ) pengusaha
e. ( ) Anggota ABRI
B. Ibu
1. nama lengkap :
b. ( ) pendidikan menengah
c. ( ) pendidikan tinggi
b. ( ) pedagang
e. ( ) AnggotaABRI
f. ( ) Tidak bekerja
II. SISWA :
1. Nama lengkap :
b. ( ) Wanita
b. ( ) anak bungsu
c. ( ) anak ke
b. ( ) tidak
.dan seterusnya
3. WAWANCARA
Pengertian
Secara umum yang dimaksud dengan wawancara adalah cara menghimpun bahan-bahan
keterangan yang dilaksanakan dengan melakukan tanya jawab lisan secara sepihak, berhadapan
muka, dan dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan. Ada dua jenis wawancara yang dapat
digunakan sebagai alat evaluasi, yaitu:
1. Wawancaraterpimpin(guided Interview)yangjugadikenaldenganistilah
wawancaraberstrukturatauwawancarasistematis
2. Wawancaratidakterpimpin(unguided Interview)yangseringdikenaldengan
wawancarasederhanaatauwawancaratidaksistematisataupunwawancara
bebas
Mempersiapkan Wawancara
Sebelum melaksanakan wawancara, perlu dirancang pedoman wawancara. Pedoman ini disusun
dengan langkah-langkah sebagai berikut:[9]
1. Tentukantujuanyangingindicapaidariwawancara.
2. Berdasarkantujuandiatastentukanaspek-aspekyangakandiungkapdari
wawancaratersebut.Aspek-aspektersebutdijadikandasardalammenyusun
materipertanyaanwawancara.
3. Tentukanbentukpertanyaanyangakandigunakan,yaknibentukberstruktur
ataubentukterbuka
4. Buatlahpertanyaanwawancarasesuaidengananalisisbutir(c)diatas,yakni
membuatpertanyaanyangberstrukturatauyangbebas
5. Adabaiknyaapabiladibuatpulapedomanmengolahdanmenafsirkanhasil
wawancara.
Tujuan : Memperoleh informasi mengenai cara belajar yang dilakukan oleh siswa
di rumahnya
Kelas / semester :
Jenis kelamin :
1. kapandanberapalama 7.
andabelajardirumah?
2. bagaimanacaraanda
mempersiapkandiriuntuk
belajarsecaraefektif?
3. kegiatanapayanganda
lakukanpadawaktu
mempelajaribahan
pelajaran?
4. seandainyaanda
mengalamikesulitandalam
mempelajarinya,usahaapa
yangandalakukanuntuk
mengatasikesulitan
tersebut?
5. bagaimanacarayanganda
lakukanuntukmengetahui
tingkatpenguasaanbelajar
yangtelahandacapai?
6. dst.
4. PENGAMATAN
Pengertian
Macam-Macam Observasi
1. Partisipatif
Observer (dalam hal ini pendidik yang sedang melakukan kegiatan observasi) melibatkan diri di
tengah-tengah kegiatan observee (yang diamati)
1. Non-Partisipatif
1. Eksperimental
Observasi yang dilakukan dalam situasi buatan. Pada observasi eksperimental, peserta didik
dikenai perlakuan (treatment) atau suatu kondisi tertentu, maka diperlukan perencanaan dan
persiapan yang benar-benar matang.
1. Non-Eksperimental
Observasi dilakukan dalam situasi yang wajar, pelaksanaannya jauh lebih sederhana
1. Sistematis
Observasi yang dilakukan dengan terlebih dahulu membuat perencanaan secara matang. Pada
jenis ini, observasi dilaksanakan dengan berlandaskan pada kerangka kerja yang memuat faktor-
faktor yang telah diatur kategorisasinya.
1. Non-sistematis
Observasi di mana observer atau evaluator dalam melakukan pengamatan dan pencatatan tidak
dibatasi oleh kerangka kerja yang pasti, maka kegiatan observasi hanya dibatasi oleh tujuan dari
observasi itu sendiri.
Langkah yang ditempuh dalam membuat pedoman observasi langsung adalah sebagai berikut :
[11]
1. Lakukanterlebihdahuluobservasilangsungterhadapsuatuprosestingkah
laku,misalnyapenampilangurudikelas.Lalucatatkegiatanyang
dilakukannyadariawalsampaiakhirpelajaran.Halinidilakukanagardapat
menentukanjenisperilakugurupadasaatmengajarkansebagaisegi-segi
yangakandiamati
2. Berdasarkangambarandarilangkah(a)diatas,penilaimenentukansegi-
segimanadariperilakugurutersebutyangakandiamatisehubungandengan
keperluannya.Urutkansegi-sejgitersebutsesuaidenganapayang
seharusnyaberdasarkankhasanahpengetahuanilmiah,misalnya
berdasarkanteorimengajar.Rumusantingkahlakutersebutuharusjelasdan
spesifiksehinggadapatdiamatiolehpengamatnya
3. Tentukanbentukpedomanobservasitersebut,apakahbenrukbebas(tak
perlujawaban,tetapimencatatapayangtampak)ataupedomanyangn
berstruktur(memakaikemungkinanjawaban).Biladipakaibentukyang
berstruktur,tetapkanpilihanjawabansertaindikator-indikatordansetiap
jawabanyangdisediakansebagaipeganganbagipengamatpadasaat
melakukanobservasinanti
4. Sebelumobservasidilaksanakan,diskusikandahulupedomanobservasiyang
telahdibuatdancalonobservanagarsetiapsegiyangdiamatidapat
dipahamimaknanyadanbagaimanacaramengisinya.
5. Bilaadahalkhususyangmenarik,tetapitidakadadalampedomanobservasi,
sebaiknyadiadakancatatankhususataukomentarpengamatdibagianakhir
pedomanobservasi.
Pencatatan hasil observasi itu pada umumnya jauh lebih sukar daripada mencatat jawaban-
jawaban yang diberikan oleh peserta didik terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dalam
suatu tes. Pencatatan terhadap segala sesuatu yang dapat disaksikan dalam observasi itu penting
sekali sebab hasilnya akan dijadikan landasan untuk menilai makna yang terkandung di balik
tingkah laku peserta didik tersebut. Pedoman observasi itu wujud kongkretnya adalah sebuah
atau beberapa buah formulir (blangko atau form) yang di dalamnya dimuat segi-segi, aspek-
aspek atau tingkah laku yang perlu diamati dan dicatat pada waktu berlangsungnya kegiatan
peserta didik.
Contoh:
Kelas :
Nama Siswa :
Jam Pelajaran :
4.
Cara mengerjakan
5.
Sikap waktu mengerjakan
6.
Ketetapan waktu mengerjakan
7.
Kecekatan
8.
Hasil pekerjaan
Jumlahnilai
Hasil penilaian dengan menggunakan instrumen tersebut diatas sifatnya adalah individual.
Setelah selesai, nilai-nilai individual itu dimasukkan ke dalam daftar nilai yang sifatnya kolektif,
seperti contoh berikut ini:
Kelas : ..
Cawu/semester : ..
Skor/Nilaiuntuk
Rata-
tiap-tiap Jumlah
No. NamaSiswa rata
kegiatan/Aspek
1 2 3 45678
1.2.
3. . ..
..
.. ..
4. . ..
Dan seterusnya
..
Contoh Instrumen Observasi berupa rating scale, dalam rangka menilai sikap peserta didik
dalam mengikuti pengajaran pendidikan agama islam di sekolah:
Nama siswa : .
Kelas : .
Kadang- Tidak
No. Kegiatan/aspekyangdinilai Selalu Sering
kadang pernah
1.2.3. DatangtepatpadawaktunyaRapi
dalamberpakaianRapidalam
menulisdanmengerjakanpekerjaan
4.
Dan seterusnya
Jumlahskor
Pada umumnya data hasil nontes bertujuan untuk mendeskripsikan hasil pengukuran sehingga
dapat dilihat kecenderungan jawaban responden melalui alat ukur tersebut. Misalnya bagaimana
kecenderungan jawaban yang diperoleh dari wawancara, kuesioner, observasi, skala.
Pengolahan data hasil wawancara dan kuesioner
Dari data hasil wawancara dan atau kuesioner pada umumnya dicari frekuensi jawaban
responden untuk setiap alternatif yang ada pada setiap soal. Frekuensi yang paling tinggi
ditafsirkan sebagai kecenderungan jawaban alat ukur tsb, seperti;
Contoh: Melalui kuesioner ataupun wawancara diungkapkan pandangan siswa mengenai guru
yang diharapkan dalam:
1. Kemampuanmengajar
2. Hubungandengansiswa
Kuesioner atau wawancara diajukan kepada 40 orang siswa dengan pertanyaan sbb.:
1. Guruyangsayaharapkanadalahguruyang:
1. Menguasaibahanpelajaranataupandaidalambidangilmunya.
2. Caramenjelaskanbahannyadapatsayapahamisekalipuntidakbegitu
pandai/
3. Pandaidalambidangilmunyadandapatmenjelaskannyakepadasiswa
denganbaik.
4. Sebaiknyadimulaidariyangumum,kemudiandibahassecarakhusus
5. Sebaiknyadimulaidariyangkhusus,kemudianmenujukepadayangumum.
6. Dimulaidarimanasajaasaldijelaskansecarasistematis.
1. Padawaktumengerjakanbahanpelajaran:
dan seterusnya
Kuesioner yang telah diisi oleh siswa kemudian diperiksa dan diolah dengan menghitung
frekuensi jawaban seluruh siswa terhadap setiap pertanyaan tersebut. Misalnya hasil pemeriksaan
tersebut sbb.:[12]
Peringkat
Masalahyangdiungkapkan F %
jawaban
412 1030 32
1. Kemampuanmengajar
1. Dimulaidariyangumum
2. Dimulaidariyangkhusus
3. Harussistematis
Cara lain dalam mengolah data diatas ialah dengan menggunakan khi kuadrat (x2) rumus yang
digunakan :
Dalam khi kuadrat, yang dicari ialah adakah perbedaan yang berarti di antara frekuensi hasil;
pengamatan atau jawaban nyata (fo ) dengan frekuensi jawaban yang diharapkan ( fe ). Jika ada
perbedaan, artinya jawaban tersebut betul-betul adanya, bukan karena faktor kebetulan.
Contoh:
Jawaban fo fe
X2=15,24
Ket:
Fe=13,3diperolehdari40/3=133
Hargax2=15,24kemudiandibandingkandenganhargatabeluntuktingkat
kepercayaan0,05denganderajatbebas3-1(alternatifjawaban=3)
Hargax2dalamtabel=5,99.
Dengan demikian x2 = 15,24 > 5,99 sehingga perbedaan itu cukup berarti ini berarti bahwa
interpretasi yang menyatakan bahwa guru yang diharapkan adalah guru yang menguasai bahan
dan dapat menjelaskannya pada siswa adalah sah sebagai kesimpulan dari data tsb.
Contoh: [13]
Nilaipengamatan
Aspekyangdiamati
4 3 2 1
vv vvv
1. Penguasaanbahan
2. Kemampuanmenjelaskanbahan
3. Hubungandengansiswa
4. Penguasaankelas
5. Keaktifanbelajarsiswa
Pengamat,
3 + 4 + 3 + 4 + 3 = 17
Nilai rata-rata untuk kelima aspek tsb. Adalah 17/5 = 3,4. Skor ini cukup tinggi sebab maksimum
rata-rata atau skor maksimum untuk setiap aspek adalah 4 atau 20 untuk semua aspek (54).
Skor ini bisa juga dikonversikan ke dalam bentuk standar 100 atau standar 10.
Konversikedalamstandar100adalah17/20x100=85
Konversikedalamstandar10adalah17/20x10=8,5
Jika dibuat interpretasi untuk setiap aspek, maka dapat disimpulkan bahwa guru tersebut sangat
istimewa dalam hal kemampuan menjelaskan dan penggunaan kelas, sedangkan dalam
penguasaan bahan, komunikasi dengan siswa, dan dalam mengaktifkan siswa termasuk
memuaskan.
b) Skor rata-rata dari setiap pertanyaan dengan membagi jumlah skor oleh banyaknya
pertanyaan
c) Interpretasi terhadap pertanyaan mana yang positif atau baik dan pertanyaan atau aspek
mana yang negatif atau kurang baik
Lebih jauh lagi data hasil penilaian dan skala sikap sebenarnya menyerupai data hasil tes, dengan
demikian dapat diolah seperti mengolah data hasil tes.
Untuk skala sikap, berilah skor terhadap jawaban siswa dengan ketentuan sbb: untuk pernyataan
positif (mendukung) ialah 5 untuk sangat setuju, dst. Untuk pernyataan negatif (menolak) ialah 5
untuk sangat setuju, dst.
Konversi Nilai
Standar yang sering digunakan dalam menilai hasil belajar dapat dibedakan ke dalam bebrapa
kategori, yakni:
1. Standarseratus(0-100)
2. Standarsepuluh(0-10)
3. Standarempat(1-4)ataudenganhuruf(A-B-C-D)
Cara ini sangat sederhana, yakni dengan menentukan kriteria sebagai dasar untuk melakukan
konversi nilai.
Nilaikonversi
Skor(%)
Huruf Standar10 Standar4
(90-99)(80-89) 432
ABC 9/1087
(70-79)
1
D 6
(60-69)
Gaga
E (gagal) Gagal
Kurang dari 60
Konversi nilai ini perlu dihitung terlebih dahulu nilai rata-rata dan simpangan baku yang
diperoleh siswa, kemudian terhadap nilai-nilai atai skor mentah tersebut dilakukan konversi.
Kriteria yang digunakan untuk melakukan konversi skor mentah ke dalam standar 10 adalah
sebagai berikut:
M + 2,25 S = 10
M + 1,75 S = 9
M + 1,25 S = 8
M + 0,75 S = 7
M 0,75 S = 4
M 1,25 S = 3
M 1,75 S = 2
M 2,25 S = 1
Contoh:
Tes diberikan kepada siswa dalam bentuk tes objektif sebanyak 90 soal. Setiap soal yang dijawab
benar diberi skor satu sehingga skor maksimum yang dapat dicapai siswa adalah 90. setelah
diperiksa, ternyata skor yang paling tinggi mencapai 50 dan skor terendah 30. nilai rata-rata
(setelah dihitung) adalah 40 dan simpangan bakunya 4,0.
Dengan menggunakan rumus atau kriteria tersebut, diperoleh nilai dalam standar sepuluh sebagai
berikut:
Standar 10
40 + (2,25) (4,0) = 49 10
40 + (1,75) (4,0) = 47 9
40 + (1,25) (4,0) = 45 8
40 + (0,75) (4,0) = 43 7
40 (0,25) (4,0) = 39 5
40 (0,75) (4,0) = 37 4
40 (1,25) (4,0) = 35 3
40 (1,75) (4,0) = 33 2
40 (2,25) (4,0) = 31 1
Konversi lainnya adalah konversi skor mentah ke dalam standar huruf dan standar empat. Dalam
standar ini huruf A setara dengan 4, artinya istimewa; huruf B setara dengan 3, artinya
memuaskan; dst. Kriteria yang digunakan pada dasarnya tidak berbeda dengan kriteria untuk
konversi nilai ke dalam standar 10.
Secara sederhana untuk nilai C berada pada nilai rata-rata atau deviasi standar nol. Untuk
menentukan kedudukan nilai, perlu dicari batas bawah dan batas atas setiap nilai. Ukuran atau
kriterianya adalah sebagai berikut:
D M 1,5 S M 0,5 S
C M 0,5 S M + 0,5 S
B M + 0,5 S M + 1,5 S
A M + 1,5 S M + 2,5 S
Contoh:
Apabila berdasarkan perhitungan diperoleh nilai rata-rata (M) = 40 dan simpangan baku (S) =
10, mak konversi nilainya menjadi:
Skor Nilai
25-35 D (1)
36-45 C (2)
46-55 B (3)
56-60 A (4)
Pengolahan Data. Tesis merupakan salah satu karya ilmiah dimana setiap mahasiswa pascasarjana wajib membuat
tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar megister. Untuk itu setiap mahasiswa harus mengetahui
bagaimana menyusun sebuah tesis yang baik. Penulisan tesis yang baik tidak terlepas dari mengangkat suatu
masalah hingga mencari solusi yang tepat untuk penyelesaian masalah tersebut.
Bagian-bagian tesis, mulai dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitia, kajian pustaka, hingga metode penelitian adalah merupakan bagian-bagian yang harus
diperhatikan, maksudnya masalah yang dingkat harus sesuai dengan proses pemecahan masalah (metode
penelitian)sampai pada solusi dari masalah tersebut, apakah menjawab dari masalah yang diangkat atau yang
sedang terjadi/diteliti.
Salah satu bagian dari penulisan sebuah tesis yaitu metode penelitian. Ada beberapa poin dalam metode penelitian
diantaranya yaitu tehnik pengumpulan data atau metode pengumpulan data. Didalam makalah ini, istilah tehnik
pengumpulan data dan metode pengumpulan data kami samakan dengan pertimbangan bahwa buku refrensi yang
kami jadikan sebagai acuan ada yang menyamakan namun ada juga didapat bahwa tehnik terkait dengan metode,
atas pertimbangan bahwa pengertian tehnik adalah sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam
mengimplementasikan suatu metode secara spesifik.
Uraian tentang tehnik pengumpulan data, jenis data dan sumber data akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan
berikut ini:
:)
Pembahasan
Penelitian merupakan suatu aktifitas ilmiah yang dilakukan untuk menyelidiki, menjelaskan dan/atau menyelesaikan
permasalahan tertentu. Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa poin dalam metode penelitian diantaranya
adalah tehnik pengumpulan data. Sebelum membahas lebih lanjut tentang tehnik pengumpulan data, terlebih dahulu
dibahas tentang yang mana dimaksud data dalam sebuah penelitian.
Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa fakta ataupun angka. Dari SK Menteri P dan K No.
0259/U/1977 tanggal 11 juli 1977 disebutkan bahwa data adalah segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan
untuk menyusun suatu informasi, sedang informasi adalah hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu
keperluan.
Tidak jauh berbeda dengan di atas bahwa data adalah hasil pengukuran sebuah peubah (variabel)(Tiro, 2000:1).
Data merupakan suatu informasi atau fakta dan biasanya dinyatakan dalam bentuk angka (Tiro,2000:3). Jadi dapat
disimpulkan bahwa data adalah hasil pengukuran sebuah variable yang dapat memberikan suatu informasi atau
fakta.
1.Kuesioner (angket)
Kuesioner (angket) adalah tehnik pengumpulan data yang berupa daftar pertanyaan yang disampaikan kepada
responden untuk dijawab secara tertulis atau dengan kata lain peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan
responden. Biasanya menggunakan skala likert.
Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam
arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang diketahui.Kuesioner dipakai untuk menyebutkan metode maupun
instrumen. Jadi dalam menggunakan metode angket atau kuesioner instrumen yang dipakai adalah angket atau
kuesioner.
Angket atau kuesioner dijawab atau diisi oleh responden dan peneliti tidak selalu bertemu langsung dengan
responden, maka dalam penyusuna angket perlu diperhatikan beberapa hal yaitu:
Sebelum butir-butir pertanyaan atau pernyataan ada pengantar atau petunjuk pengisian.
Butir-butir pertanyaan dirumuskan secara jelas menggunakan kata-kata yang lazim digunakan (popular), kalimat
tidak terlalu panjang.
Untuk setiap pertanyaan atau pernyataan terbuka dan berstruktur disediakan kolom untuk menuliskan jawaban atau
respon dari responden secukupnya.
* Kuesioner terbuka, yang memberi kesempatan kepada responden untuk menjawab dengan kalimat sendiri.
* Kuesioner tertutup, yang sudah disediakan jawabanya sehingga responden tinggal memilih.
* Kuesioner tidak langsung, yaitu jika responden menjawab tentang orang lain
* Chek list sebuah daftar dimana responden tinggal membubuhkan tanda chek pada kolom yang sesuai.
* Rating scale (skala bertingkat) yaitu sebuah pertanyaan diikuti oleh kolom-kolom yang menunjukan tingkatan-
tingkatan.
* Dapat dijawab oleh responden menurut kecepatannya masing-masing menurut waktu senggang responden.
* Dapat dibuat anonim sehingga responden bebas, jujur dan tidak malu-malu menjawab.
* Dapat dibuat berstandar sehingga semua responden dapat diberi pertanyaan yang benar-benar sama.
* Responden sering tidak teliti dalam menjawab sehingga ada pertanyaan yang terlewati tidak terjawab, padahal
sukar diulangi diberikan kembali padanya.
* Walaupun dibuat anonim, kadang-kadang responden sengaja memberikan jawaban yang tidak betul atau tidak jujur
* Angket yang dikirim lewat pos pengembaliannya sangat rendah, hanya sekitar 20%. Seringkali tidak dikembalikan
tertutama jika dikirim lewat pos menurut penelitian
* Waktu pengembaliannya tidak sama-sama, bahkan kadang-kadang ada yang terlalu lama sehingga terlambat
2. Wawancara (interview)
Wawancara (Interview), yaitu tehnik pengumpulan data yang bercakap-cakap dengan sumber data baik langsung
maupun tidak langsung. Tehnik wawancara bertumpu kepada factor manusia sebagai alat pengumpul data.
Interview adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk-
dijawab secara lisan pula. ciri utama dari interview adalah kontak langsung dengan tatap muka (face to face
relationship) antara si pencari informasi (interviewer atau information hunter) dengan sumber informasi
(interviewee).
Interview adalah dialog (interview) yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari
terwawancara (interviewee)
Jenis interview
* Interview bebas (tak berstruktur), yaitu pewawancara bebas menanyakan data apa saja yang akan dikumpulkan
sesuai dengan kebutuhan peneliti.
* Interview terpimpin (terstruktur), yaitu interview yang dilakukan oleh pewawancara dengan membawa seperangkat
pertanyaan lengkap dan terperinci.
* Interview bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara interview bebas dan interview terpimpin
Personal interview
Dalam wawancara ini seorang pewawancara berhadapan langsung dengan seorang responden yang diwawancarai.
Group interview
Dalam wawancara ini sekelompok pewawancara berhadapan langsung dengan seseorang atau sekelompok
responden.
*Diperoleh informasi dalam suasana komunikasi secara langsung, yang memungkinkan seseorang memberikan data
factual seperti mengungkapkan sikap, pikiran, harapan, dan perasaan.
* Dapat ditanyakan hal-hal yang bersifat sensitive, seperti suasana keluarga, corak pergaulan dengan saudara
kandung dan teman sebaya, penggunaan bahan narkotika, pengalaman seksual, dsb.
*Interview penting untuk memperoleh informasi, tidak hanya mengenai item-item yang factual namun juga mengenai
sikap, ambisi dan harapan.
*Fact-Finding interview dapat digunakan karena data sebelumnya tidak jelas atau karena perasaan yang mendasari
perlu ditemukan dan dipahami.
* Peserta wawancara berprasangka terhadap petugas wawancara dan memberikan informasi yang tidak sesuai
dengan kenyataan.
* Petugas wawancara mendengarkan terlalu selektif atau bertanya-tanya dengan cara yang sugestif.
* Pembuatan catatan memberikan kesan kepada siswa bahwa dia sedang berhadapan dengan petugas kepolisian.
* Interview mungkin mengubah informasi mengenai interview mereka sendiri, reaksi mereka, dan pengalaman
mereka.
* Interview dapat menjadikan sumber kesalahan. Mereka dapat mencatat informasi karena pendengaran yang selektif.
Mungkin mereka hanya gagal mendengarkan pernyataan interviewee yang bertentangan dengan opini,reaksi, sikap
atau ide tentang situasi mereka sendiri.
3. Pengamatan (Observasi)
Pengamatan (Observasi), yaitu tehnik pengumpulan data dengan cara mengamati kegiatan tertentu. Tehnik ini
banyak digunakan, baik dalam penelitian sejarah, deskriptif ataupun experimental, karena dengan pengamatan
memungkinkan gejala-gejala penelitian dapat diamati dari dekat, pelaksanaan observasi menempuh tiga cara utama
yaitu:
1) Pengamatan langsung
Yaitu pengamatan yang dilakukan tanpa perantara terhadap objek yang diteliti.
Yaitu pengmatan yang dilakukan terhadap suatu objek tanpa perantaraan suatu alat atau cara , baik dilaksanakan
dalam situasi sebenarnya maupun buatan.
3) Partisipasi
Yaitu pengamatan yang dilakukan dengan cara ikut ambil bagian atau melibatkan diri dalam situasi objek yang diteliti.
Untuk memudahkan dalam perekaman data atau informasi yang diperoleh melalui observasi, perlu menggunakan
beberapa instrument observasi, instrument tersebut antara lain:
1) Daftar cek
Pada suatu daftar cek semua gejala yang akan atau mungkin akan muncul pada suatu subjek yang menjadi objek
penelitian, didaftar secermat mungkin sesuai dengan masalah yang diteliti, juga disediakan kolom cek yang
digunakan selama mengadakan pengmatan.
2) Daftar isian
Daftar isian memuat daftar butir (item) yang diamati dan kolom tentang keadaan atau gejala tentang item-item
tersebut.
3) Skala penilaian
Skala penilaian adalah pencatatan objek atau gejala penilaian menurut tingkatan-tingkatannya. Alat ini untuk
meperoleh gambaran mengenai keadaan objek menurut tingkatannya masing-masing.
Kurang efektif mengamati gejala pada individu seperti sikap, motivasi, pandangan dan sebagainya.
4. Dokumentasi
Dokumentasi, yaitu tehnik pengumpulan dan menganalisis data dengan mengambil data yang sudah tercatat dalam
dokumen (tertulis, gambar, maupun elektronik)
Dalam menggunakan metode dukumentasi, biasanya penelitian membuat instrument dokumentasi yang berisi
instansi variable-variabel yang akan didokumentasikan dengan menggunakan dua cara, yaitu: (1) pedoman
dukumentasi yang memuat garis-garis besar atau kategori yang akan dicari datanya dan, (2) check list untuk
mencatat variable yang sudah ditentukan dan nantinya tinggal membubuhkan tanda cek ditempat yang sesuai.
*dokumen pribadi
*dokumen resmi
5. Tes
Tes yaitu tehnik pengumpulan data yang bersifat potensial, tes merupakan serentetan atau latihan yang digunakan
untuk mengukur keterampilan pengetahuan, sikap, intelegensi, kemapuan atau bakat yang dimiliki individu atau
kelompok. Beberapa jenis tes yang bisadigunakan dalam pendidikan yaitu tes kepribadian, tes bakat, tes intelegensi,
tes minat, tes prestasi dan tes vokasional.
Tes bakat mengukur taraf kemampuan seseorang untuk berhasil dalam bidang studi tertentu, program pendidikan
vokasional tertentu atau bidang pekerjaan tertentu, lingkupnya lebih terbatas dari tes kemampuan intelektual (Test of
Specific Ability; Aptitude Test ). Kemampuan khusus yang diteliti itu mencakup unsur-unsur intelegensi, hasil belajar,
minat dan kepribadian yang bersama-sama memungkinkan untuk maju dan berhasil dalam suatu bidang tertentu dan
mengambil manfaat dari pengalaman belajar dibidang itu.
Tes intelegensi adalah tes kemampuan intelektual, mengukur taraf kemampuan berfikir, terutama berkaitan dengan
potensi untuk mencapi taraf prestasi tertentu dalam belajar di sekolah (Mental ability Test; Intelegence Test;
Academic Ability Test; Scholastic Aptitude Test). Jenis data yang dapat diambil dari tes ini adalah kemampuan
intelektual atau kemampuan akademik.
Tes minat mengukur kegiatan-kegiatan macam apa paling disukai seseorang. Tes macam ini bertujuan membantu
orang muda dalam memilih macam pekerjaan yang kiranya paling sesuai baginya (Test of Vocational Interest).
Tes prestasi/hasil belajar (Achievement Test) adalah tes yang mengukur apa yang telah dipelajari pada berbagai
bidang studi, jenis data yang dapat diambil menggunakan tes hasil belajar (Achievement Test) ini adalah taraf
prestasi dalam belajar.
Tes perkembangan vokasional, tes ini mengukur taraf perkembangan orang muda dalam hal kesadaran kelak akan
memangku suatu pekerjaan atau jabatan (vocation); dalam memikirkan hubungan antara memangku suatu jabatan
dan cirri-ciri kepribadiannya serta tuntutan-tuntutan social-ekonomis; dan dalam menyusun serta
mengimplementasikan rencana pembangunan masa depannya sendiri. Kelebihan tes semacam ini meneliti taraf
kedewasaan orang muda dalam mempersiapkan diri bagi partisipasinya dalam dunia pekerjaan (career maturity).
Jenis Data
Jenis data dalam suatu penelitian dibedakan atas dua, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif.
Data Sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Peneliti mendapatkan data
yang sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode baik secara komersial maupun
non komersial. Contohnya adalah pada peneliti yang menggunakan data statistik hasil riset dari surat kabar atau
majalah.
Data Internal adalah data yang menggambarkan situasi dan kondisi pada suatu organisasi secara internal. Misal :
data keuangan, data pegawai, data produksi padi, dsb.
Data eksternal adalah data yang menggambarkan situasi serta kondisi yang ada di luar organisasi. Contohnya
adalah data jumlah penggunaan suatu produk pada konsumen, tingkat preferensi pelanggan, persebaran penduduk,
dan lain sebagainya.
Sesuai dengan sifat penelitiannya, pelaksanaan wawancara, observasi dan dokumentasi dalam penelitian kuantitatif
berbeda dengan kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif baik angket, wawancara, observasi maupun dokumentasi,
umumnya dapat digunakan bentuk atau format instrumen: kategorikal (nominal), skala ordinal, skala interval, skala
rasio, dan check-list. Dalam penelitian kualitatif bentuk-bentuk instrumen yang menghasilkan angka-angka tidak
biasa digunakan. Yang biasa digunakan adalah bentuk deskriptif naratif kulaitatif. Dalam deskripsi tersebut mungkin
juga ada angka-angka, tetapi angka tersebut dalam hubungan deskripsi naratif tersebut, dan ditafsirkan secara
kualitatif.
Dalam bekerja dengan menggunakan statistika, semua data dinyatakan dalam bentuk angka atau bilangan. Jadi
untuk jenis data kualitatif terlebih dahulu dikuantitatifkan yang disebut suatu proses pengukuran. Hasil pengukuran
dapat dibedakan atas empat macam skala sebagai berikut:
Skala nominal
Sakala nominal dapat dinyatakan sebagai ukuran yang tidak sebenarnya. Skor untuk setiap satuan pengamatan,
atau individu hanya merupakan symbol atau tanda yang menunjukkan kedalam kelompokm atau kelas mana individu
tersebut termasuk. Misalnya jenis kelamin dengan skor yang mungkin 1 untuk laki-laki dan 0 untuk perempuan.
Skala ordinal
Skala ordinal menunjukkan urutan (peringkat, tingkatan, atau rengking) di samping berfungsi sebagai
pengelompokan (sakala nominal). Misal, peubah tingkatan dalam suatu rumah susun dengan angka 1, 2, 3, .
Skala interval
Sakala interval termasuk ukuran yang bersifat numeric, yaitu interval antara dua ukuran yang berbeda mempunyai
arti. Misalnya temperatur dalam celcius; interval dari 0 sampai 20 derajat sama dengan interval dari 10 sampai 30
derajat, akan tetapi panasnya 30 derajat celcius tidak sama dengan tiga kali 10 derajat celcius, karena 0 derajat
celcius tidak berarti panas tidak adasama sekali. Titik nol tidak merupakan titik mutlak.
Skala rasio
Sakala rasio mempunyai titik nol mutlak, contoh peubah umur dalam bulan, tinggi badan dalam meter dan lain
sebagainya
Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:
* Person (data berupa orang) yaitu sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara
atau jawaban tertulis melalui angket.
* Place (berupa tempat) yaitu sumber data yang menyajikan tampilan berupa keadaan diam (ruangan, kelengkapan
alat, wujud benda, warna, dll) dan bergerak (aktivitas, kinerja, laju kendaraan, ritme nyayian, gerak tari, sajian
sinetron, dll).
* Paper (data berupa simbol) yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, gambar, atau
symbol-simbol lain. Jadi tidak terbatas pada kertas saja bisa berwujud batu, kayu, tulang, daun lontar, dll
Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer, dan sumber
sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data
(pengamatan dan wawancara), dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.