Anda di halaman 1dari 10

Tugas

EVALUASI PENDIDIKAN MATEMATIKA

OLEH :

MINARNI
(A1I1 18 014)

KELAS B

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
Evaluasi Hasil Belajar antara lain mengunakan tes untuk melakukan
pengukuran hasil belajar. Tes dapat didefinisikan sebagai seperangkat
pertanyaan dan/atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi
tentang trait, atribut pendidikan, psikologik atau hasil belajar yang setiap butir
pertanyaan atau tugas tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang
dianggap benar.

1. Penskoran
Pemberian skor (scoring) merupakan langkah pertama dalam proses
pengolahan hasil test, yaitu proses pengubahan jawaban-jawaban soal test
menjadi angka-angka. Dengan kata lain, pemberian skor itu merupakan
tindakan kuantitatif terhadap jawaban-jawaban yang diberikan oleh tester
dalam suatu test hasil belajar. Cara menskor hasil test biasanya disesuaikan
dengan bentuk soal-soal test yang dipergunakan. Apakah test itu objektif atau
non objektif (isian). Untuk soal-soal objektif biasanya setiap jawaban yang
benar diberi skor 1 (satu) dan setiap jawaban yang salah diberi skor 0 (nol).
Total skor diperoleh dari semua soal. Untuk soal-soal non objektif (essay)
dalam penskoran biasanya digunakan cara pemberian bobot (weighting)
kepada setiap soal menurut tingkat kesukuannya atau banyak-sedikitnya
unsur tingkat kesukarannya atau banyak-sedikitnya unsur terdapat dalam
jawaban yang dianggap paling benar. Dalam evaluasi pembelajaran
diperlukan pedoman penskoran yang dapat digunakan sebagai petunjuk
menilai pekerjaan siswa (Charlotte Danielson, 1997). Pedoman penskoran
adalah pedoman yang digunakan untuk menentukan skor hasil penyelesaian
pekerjaan siswa. Skor ini kemudian ditafsirkan menjadi nilai. Kesulitan yang
dihadapi adalah menetapkan skor dengan tepat terhadap penyelesaian
pekerjaan siswa, baik tugas, ulangan, atau yang lain. Konsistensi penskoran
sangat penting untuk pemerolehan hasil penilaian antar siswa yang tidak biasa
dikarenakan penilaian guru yang tidak konsisten.
1.2 Penskoran Tes Bentuk Pilihan
Cara penskoran tes bentuk pilihan ada dua, yaitu tanpa koreksi
terhadap jawaban tebakan dan dengan koreksi terhadap jawaban tebakan
(Djemari Mardapi. 2008).
a. Penskoran tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan
Untuk memperoleh skor dengan teknik penskoran ini digunakan
rumus sebagai berikut:
B
Skor = x 100
N
Keterangan:
B : banyaknya butir yang dijawab benar
N : banyaknya butir soal
Penskoran tanpa koreksi saat ini banyak digunakan dalam penilaian
pembelajaran. Namun teknik penskoran ini sesungguhnya mengandung
kelemahan karena kurang mampu mencegah peserta tes berspekulasi
dalam menjawab tes. Hal ini disebabkan tidak adanya resiko bagi
siswa ketika memberikan tebakan apapun dalam memilih jawaban
sehingga jika mereka tidak mengetahui jawaban mana yang paling
tepat maka mereka leluasa memilih salah satu pilihan secara
sembarang. Benar atau salahnya jawaban sembarang tidak
menunjukkan kemampuan siswa. Semakin banyak jawaban tebakan
semakin besar penyimpangan skor dengan penguasaan kompetensi
siswa yang sesungguhnya.
b. Penskoran dengan koreksi terhadap jawaban tebakan
Untuk memperoleh skor siswa dengan teknik penskoran ini
digunakan rumus sebagaiberikut:
S
Skor =
[ (B− P−1
N ]
) x 10
Keterangan
B : banyaknya butir soal yang dijawab benar
S : banyaknya butir yang dijawab salah
P : banyaknya pilihan jawaban tiap butir.
N : banyaknya butir soal
Butir soal yang tidak dijawab diberi skor 0. Keunggulan teknik
penskoran ini dibanding penskoran tanpa koreksi adalah teknik ini
lebih mampu meminimalisir spekulasi jawaban siswa. Jika siswa
mengetahui jawaban salah akan berdampak berkurangnya skor yang
akan mereka dapatkan maka siswa akan lebih hati-hati memilih
jawaban. Jika siswa tidak memiliki keyakinan yang cukup tentang
kebenaran jawabannya, maka siswa akan memilih mengosongkan
jawaban untuk menghindari pengurangan.
Contoh 1.
Andaikan Rizki mengerjakan soal pilihan ganda sebanyak 30 butir
dengan 4 alternatif jawaban. Pekerjaan yang benar sebanyak 16 butir.
Skor yang diperoleh Rizki dihitung sebagai berikut.
S
Skor = (
[
B−
P−1 )
N
x 100 ]
14
=
[ ( 16−
4−1
30
)
] x 100

= 37,777778 ≈ 38
1.2 Penskoran bentuk uraian
Pedoman penskoran tes bentuk urian ada dua macam, yaitu pedoman
penskoran analitik dan penskoran holistic (Djemari Mardapi. 2008).
a. Menggunakan penskoran analitik
Penskoran analitik digunakan untuk permasalahan yang batas
jawabannya sudah jelas dan terbatas. Biasanya teknik penskoran ini
digunakan pada tes uraian objektif yang mana jawaban siswa diuraikan
dengan urutan tertentu. Jika siswa telah menulis rumus yang benar
diberi skor, memasukkan angka ke dalam formula dengan benar diberi
skor, menghasilkan perhitungan yang benar diberi skor, dan kesimpulan
yang benar juga diberi skor. Jadi, skor suatu butir merupakan
penjumlahan dari sejumlah skor dari setiap respon pada soal tersebut.
b. Menggunakan penskoran dengan skala global (holistik)
Teknik ini cocok untuk penilaian tes uraian non objektif. Caranya
adalah dengan membaca jawaban secara keseluruhan tiap butir
kemudian meletakkan dalam kategorikategori mulai dari yang baik
sampai kurang baik, bisa tiga sampai lima. Jadi tiap jawaban siswa
dimasukkan dalam salah satu kategori, dan selanjutnya tiap jawaban
tiap kategori diberi skor sesuai dengan kualitas jawabannya. Kualitas
jawaban ditentukan oleh penilai secara terbuka, misalnya harus ada data
atau fakta, ada unsur analisis, dan ada kesimpulan.
Penskoran soal uraian kadang menggunakan pembobotan.
Pembobotan soal adalah pemberian bobot pada suatu soal dengan
membandingkan terhadap soal lain dalam suatu perangkat tes yang sama.
Pembobotan soal uraian hanya dilakukan dalam penyusunan perangkat tes.
Apabila soal uraian berdiri sendiri tidak dapat ditetapkan bobotnya. Bobot
setiap soal mempertimbangkan faktor yang berkaitan materi dan
karakteristik soal itu sendiri, seperti luas lingkup materi yang hendak
dibuatkan soalnya, esensialitas dan tingkat kedalaman materi yang
ditanyakan serta tingkat kesukaran soal. Hal yang juga perlu
dipertimbangkan adalah skala penskoran yang hendak digunakan,
misalnya skala 10 atau skala 100. Apabila digunakan skala 100, maka
semua butir soal dijawab benar, skornya 100; demikian pula bila skala
yang digunakan 10. Hal ini untuk memudahkan perhitungan skor.
Skor akhir siswa ditetapkan dengan jalan membagi skor mentah yang
diperoleh dengan skor mentah maksimumnya kemudian dikalikan dengan
bobot soal tersebut. Rumus yang dipakai untuk penghitungan skor butir
soal (SBS) adalah :
a
SBS = x c
b
Keterangan SBS : skor butir soal
a : skor mentah yang diperoleh siswa untuk butir soal
b : skor mentah maksimum soal
c : bobot soal
Setelah diperoleh SBS, maka dapat dihitung total skor butir soal
berbagai skor total siswa (STP) untuk serangkaian soal dalam tes yang
bersangkutan, dengan menggunakan rumus :
STP = ΣSBS
Keterangan
STP : skor total peserta
SBS : skor butir soal
Contoh 2. Bobot soal sama, dengan skala 0 sampai dengan 100

Pada dasarnya STP merupakan penjumlahan SBS, bobot tiap soal


sama semuanya. Contoh ini berlaku untuk soal uraian objektif dan uraian
non-objektif, asalkan bobot semua butir soal sama. Pembobotan juga
digunakan dalam soal bentuk campuran, yaitu pilihan dan uraian.
Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian
ditentukan oleh cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat
berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal. Pada umumnya cakupan
materi soal bentuk pilihan ganda lebih banyak, sedang tingkat berpikir
yang terlibat dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih banyak
dan lebih tinggi.
Suatu ulangan terdiri dari N1 soal pilihan ganda dan N2 soal uraian.
Bobot untuk soal pilihan ganda adalah w1 dan bobot untuk soal uraian
adalah w2. Jika seorang siswa menjawab benar n1 pilihan ganda dan n2
soal uraian, maka siswa itu mendapat skor:
n1 n
w1 x [ N1 ] [
x 100 + w2 x 2 x 100
N2 ]
Misalkan, suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4
pilihan dan 4 buah soal bentuk uraian. Soal pilihan ganda dijawab benar
16 dan dijawab salah 4, sedang bentuk uraian dijawab benar 20 dari skor
maksimum 40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40 dan bentuk uraian
0,60, skor dapat dihitung:
16
a) Skor pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan: × 100 =80
20
20
b) Skor bentuk uraian adalah: ×100 = 50.
40
c) Skor akhir adalah: 0,4 × (80) + 0,6 × (50) = 62.
2. Penilaian
Nilai pada dasarnya angka atau huruf yang merupakan hasil ubahan dari
skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainnya,sesuai dengan tujuan
indikator yang telah ditentukan. Dalam evaluasi hasil belajar, penilaian
merupakan langkah lanjutan setelah dilakukan pengukuran, informasi yang di
peroleh dari hasil pengukuran selanjutnya di deskripsikan dan di tafsirkan.
Karenanya, menurut Djemari Mardapi (1999; 8) penilaian adalah kegiatan
menafsirkan atau ,medeskripsikan hasil pengukuran.
Hasil pengukuran dapat menggambarkan derajat kualitas, kuantitas dan
eksistensi keadaan yang diukur. Namun demikian hasil pengukuran ini belum
memiliki makna sama sekali apabila belum dibandingkan dengan suatu acuan
atau bahan pembanding. Proses membandingkan inilah yang disebut proses
penilaian. Terdapat dua pendekatan yang berlaku dalam penilaian hasil
belajar, yaitu Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan
(PAP).
2.1 Penilaian Acuan Norma (PAN / Norm Referenced Evalution)
Penilaian Acuan Norma (PAN) adalah penilaian yang dilakukan dengan
mengacu pada norma kelompok atau nilai-nilai yang diperoleh siswa
dibandingkan dengan nilai-nilai siswa lain dalam kelompok tersebut.
Dengan kata lain PAN merupakan sistem penilaian yang didasarkan pada
nilai sekelompok siswa dalam satu proses pembelajaran sesuai dengan
tingkat penguasaan pada kelompok tersebut. Artinya pemberian nilai
mengacu pada perolehan skor pada kelompok itu.
Dalam hal ini “norma” berarti kapasistas atau prestasi kelompok,
sedangkan “kelompok” adalah semua siswa yang mengikuti tes tersebut
dapat kelompok siswa dalam satu kelas, sekolah, rayon, propinsi, dan lain-
lain. Pan juga dapat dikatakan penilaian “apa adanya” dengan pengertian
bahwa acuan pembandingnya semata-mata diambil dari kenyataan yang
diperoleh (rata-rata dan simpangan baku) pada saat penilaian dilakukan
dan tidak dikaitkan dengan hasil pengukuran lain.
PAN menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku pada kurva normal.
Hasil-hasil perhitungannya dipakai sebagai acuan penilaian dan memiliki
sifat relatif sesuai dengan naik turunnya nilai rata-rata dan simpangan baku
yang dihasilkan pada saat itu.
Penggunaan sistem PAN membiarkan siswa berkembang seperti apa
adanya. Namun demikian guru tetap merumuskan Tujuan Khusus
Pembelajaran (TKP) sesuai dengan tuntutan kompetensi. TKP yang
berorientasi pada kompetensi tetap dipakai sebagai tumpuan dalam
penyusunan evaluasi akan tetapi pada saat pemberian skor yang diperoleh
siswa maka TKP tidak dipergunakan sebagai pedoman. Batas kelulusan
tidak ditentukan oleh penguasaan minimal siswa terhadap kompetensi
yang ditetapkan dalam TKP, melainkan didasarkan pada nilai rata-rata dan
simpangan baku yang dihasilkan kelompoknya.
Dengan demikian kelemahan sistem PAN dapat terlihat jelas bahwa tes
apapun, dalam kelompok apapun, dengan kadar prestasi yang
bagaimanapun pemberian nilai dengan model pendekan PAN selalu dapat
dilakukan. Oleh karena itu penggunaan model pendekatan ini dapat
dilakukan denga baik apabila memenuhi syarat antara lain:
a). skor nilai terpencar atau dapat dianggap terpencar sesuai dengan
pencaran kurva normal;
b). jumlah yang dinilai minimal 50 orang atau lebih dari 100 orang
dalam arti sampel yang digunakan besar.
Dalam penerapan sistem PAN ada dua hal pokok yang harus ditetapkan
yaitu: banyaknya siswa yang akan lulus dan penetapan batas lulus.
Terdapat dua cara di dalam menentukan batas kelulusan antara lain:
menetapkan terlebih dahulu jumlah yang diluluskan, misalnya 75% dari
seluruh peserta tes, kemudian skor tiap siswa disusun dan diranking
sehingga akan diketemukan skor terendah. Cara kedua dengan
menggunakan data statistik yang terdapat dalam kurva normal dengan
menggunakan nilai rata-rata dan simpangan baku, sehingga akan
diketemukan luas daerah kurva normal atau jumlah anak yang diluluskan.
2.2 Penilaian Acuan Patokan (PAP / Criterion Referenced Evaluation)
Penilaian Acuan Patokan (PAP) adalah model pendekatan penilaian
yang mengacu kepada suatu kriteria pencapaian tujuan (TKP) yang telah
ditetapkan sebelumnya. PAP merupakan suatu cara menentukan kelulusan
siswa dengan menggunakan sejumlah patokan. Bilamana siswa telah
memenuhi patokan tersebut maka dinyatakan berhasil. Tetapi bila siswa
belum memenuhi patokan maka dikatakan gagal atau belum menguasai
bahan pembelajaran tersebut. Nilai-nilai yang diperoleh siswa
dihubungkan dengan tingkat pencapaian penguasaan siswa tentang materi
pembelajaran sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Siswa yang telah melampaui atau sama dengan kriteria atau patokan
keberhasilan dinyatakan lulus atau memenuhi persyaratan. Guru tidak
melakukan penilaian apa adanya melainkan berdasarkan kriteria
keberhasilan yang telah ditetapkan sejak pembelajaran dimulai. Guru yang
menggunakan model pendekatan PAP ini dituntut untuk selalu
mengarahkan, membantu dan membimbing siswa kearah penguasaan
minimal sejak pembelajaran dimulai, sedang berlangsung dan sampai
berakhirnya pembelajaran.Kompetensi yang dirumuskan dalam TKP
merupakan arah, petunjuk, dan pusat kegiatan dalam pembelajaran.
Penggunaan tes formatif dalam penilaian ini sangat mendukung untuk
mengetahui keberhasilan belajar siswa. Pelaksanaan PAP tidak
memerlukan perhitungan statistik melainkan hanya tingkat penguasaan
kompetensi minimal.
Sebagai contoh misalnya: untuk dapat diterima sebagai calon tenaga
pengajar di perguruan tinggi adalah IP minimal 3,00 dan setiap calon harus
lulus tes potensi akademik yang diadakan oleh lembaga yang
bersangkutan. Berdasarkan kriteria di atas siapapun calon yang tidak
memenuhi persyaratan di atas maka dinyatakan gagal dalam tes atau tidak
diterima sebagai calon tenaga pengajar.

Anda mungkin juga menyukai